Anda di halaman 1dari 5

1.

Bahasa Sebagai Unsur Fiksi

Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam semi lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung nilai lebih daripada
sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra Sastra lebih dari
sekadar bahasa, deretan kata, namun unsur "kelebihan" nya itu pun hanya dapat diungkap dan
ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu. mendialogkan
sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa Bahasa dalam sastra
pun mengemban fungsi utamanya fungsi komunikatif (Nurgiyantoro, 1993 1),

a. Bahasa Sastra: Sebuah Fenomena

Pada umumnya orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa non sastra, bahasa
yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) pengucapan sastra. Namun, dalam “perbedaan”-nya itu
sendiri tidaklah bersifat mutlak, atau bahkan sulit didefinisikan. Bahasa sastra, bagaimanapun, perlu
diakui eksistensinya, keberadaannya sebab tak dapat disangkal lagi ia menawarkan sebuah
fenomena yang lain. Keberadaannya paling tidak perlu disejajarkan dengan ragam-ragam bahasa-
seperti dalam konteks sosiolinguistik-yang lain (Nurgiyantoro. 1993 2). Seperti apa ciri sosok bahasa
sastra itu seolah-olah, masih bagaikan rumusan hipotesis yang perlu dibuktikan kebenarannya
Banyak orang telah mencoba mengidentifikasikan dan mudah diduga, sebab bahasa sastra memang
bukan merupakan sesuatta yang bersifat eksak mereka mengemukakan rumusan dan atau ciri-ciri
yang berbeda Artinya tak ditemukan kata sepakat Kata sepakat barangkali, memang tak diperlukan
Yang penting adalah kesadaran dar pengakuan kita, usaha kita untuk memanam dan menerimanya
secara wajar.

Bahasa sastra, menurut kaum Formalis Rusia adalah bahasa yang mempunyai ciri deotomatisasi,
penyimpangan dari cara penuturan yang telah bersifat otomatis, rutin, biasa, dan wajar. Penuturan
dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain cara baru cara yang belum (pernah) dipergunakan
orang. Sastra mengutamakan keaslian pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin
sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Unsur
kebaruan dan keashan merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya Kaum Formalis
berpendapai bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra
yang mendasar (Teeuw, 1984: 131). Penggunaan bahasa kias merupakan salah satu bentuk
penyimpangan (penyimpangan semantik), namun hal itu bukan merupakan ciri khas bahasa sastra
sebab dalam penuturan nonsastra pun banyak dipergunakan. Namun, ia mempunyai perbedaan:
dalam penuturan sehari-hari penggunaan bahasa kias mempunyai efek mempercepat pengertian,
misalnya terlihat pada penggunaan ungkapan-ungkapan yang telah lazim. Sebaliknya, pemakaian
ungkapan-ungkapan konotatif itu pada bahasa sastra justru memperlambat pemahaman, berefek
mengasingkan karena bentuk bentuk yang dipergunakan baru. atau lain dari yang telah biasa
(Luxenburg. 1984:6).

b. Stile dan Stiliska


1. Stile dan Hakikat Stile

Stile, (style, gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang
pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams, 1981: 190-1). Stile ditandai
oleh cincin formal kebahasaan seperti pilihan kata struktur kalimat bentuk-bentuk Nahasa figuratif,
penggunaan kohesi dan lain-lain. Makna stile menurut Leach & Short (1981: 10), suatu hal yang pada
umumnya tak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan
bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya.
Dengan demikian, stile dapat bermacam-macam sifatnya, ia tergantung konteks di mana
dipergunakan, selera pengarang, namun juga tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri. Stile pada
hakikatnya merupakan teknik, teknik pemilihan ungkapan kebahasan yang dirasa dapat mewakili
sesuatu yang akan diungkapkan.

Stile: Masalah Struktur Lahir Bentuk ungkapa kebahasaan seperti yang terlihat dalam sebuah novel
merupakan suatu bentuk performansi (kinerja) kebahasaan seseorang pengarang. la merupakan
pernyataan lahiriah dari sesuatu yang bersifat batiniah. Jika hal itu dikaitkan dengan teori
kebahasaan nya Saussure, yang membedakan antara langue dengan parole, stile merupakan suatu
bentuk parole. Langue merupakan sistem kaidah yang berlaku dalam suatu bahasa, sedangkan
parole merupakan penggunaan dan perwujudan sistem, seleksi terhadap sistem, yang dipergunakan
oleh penutur (pengarang) sesuai dengan konteks dan atau situasi. Parole adalah bentuk performansi
kebahasaan yang telah melewati proses seleksi dari keseluruhan bentuk kebahasaan. Untuk
melakukan pilihan terhadap suatu bentuk performansi kebahasaan, pengarang, tentu saja, memiliki
kompetensi terhadap bahasa yang bersangkutan, dan itulah langue.

2. Stilistika dan Hakikat Stiliska

Stilistika (stylistics) menyaran pada pengertian studi tentang stile (lecch dan short, 1981: 13), kajian
terhadap wujud performansi kebahasaan, khusunya yang terdapat dalam karya sastra. Kajian
stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditunjukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak
terbatas dalam sastra saja (chapman, 1973: 13), namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan
dengan bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan untuk menerangkan sesuatu, yang
pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi
artistik dan maknanya (Leech & Short, 1981: 13; Wellek & Warren, 1956 180). Di samping itu, ia
dapat juga bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang
dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang mempergunakan
tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus (Chapman, 1973: 15).

c. Stile dan Nada

Nada (tone), nada pengarang (authorial tone) dalam pengertian yang luas, dapat diartikan sebagai
pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap pembaca dan
terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan. Sebelumnya, Kenny (1966: 69) juga telah
mengemukakan bahwa nada merupakan ekspresi sikap, sikap pengarang terhadap masalah yang
dikemukakan dan terhadap pembaca. Dalam bahasa lisan, nada dapat dikenali melalui intonasi
ucapan, misalnya nada rendah dan lemah lembut, santai, meninggi dan sengit, dan sebagainya.
Dalam bahasa tulis, di pihak lain, nada akan sangat ditentukan oleh kualitas stile. Oleh karena itu,
Kenny mengemukakan bahwa stile adalah sarana, sedangkan nada adalah tujuan Salah satu
kontribusi penting dari stile adalah untuk membangkitkan nada (Kenny. 1966: 57).

2. Unsur Stile

Abrams (1981: 193) mengemukakan bahwa unsur stile terdiri dari unsur fonologi sintaksis, leksikal,
retorika (rhetorical), yang berupa karakteristik penggunaan bahasa figuratif, pencitraan dan
sebagainya. Di pihak lain, Leech & Short (1981: 75-80) mengemukakan bahwa unsur stile (ia
memakai istilah stylistic categories) terdiri dari unsur (kategori) leksikal, gramatikal, figures of
speech, dan konteks dan kohesi.

a. Unsur Leksikal

Unsur leksikal yang dimaksud sama pengertiannya dengan diksi, yaitu yang mengacu pada
pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat bahwa
karya fiksi adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata, pemilihan
kata-kata tersebut tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek
tertentu, efek ketepatan (estetis). Masalah ketepatan itu sendiri secara sederhana dapat
dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis
karya yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan makna, pesan, dan mampu mengungkapkan
gagasan seperti yang dimaksudkan oleh pengarang.

Masalah pemilihan kata, menurut Chapman (1973: 61), dapat melalui pertimbangan-pertimbangan
formal tertentu. Pertama, pertimbangan fonologis, misalnya untuk kepentingan alitrasi, irama dan
efek bunyi tertentu, khususnya dalam karya puisi. Dalam fiksi walau tak seintensif seperti halnya
dalam sajak, unsur fonologs mungkin juga dipertimbangkan pengarang. Kedua, pertimbangan dari
segi mode. bentuk, dan makna yang dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan gagasan.

b. Unsur gramatikal

Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat. Dalam kegiatan
komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile, kalimat lebih penting dan bermakna dari
pada sekedar kata walau kegayaan kalimat dalam banyak hal juga dipengaruhi oleh pilihan katanya.
Sebuah gagasan, pesan (back struktur batin), dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat
(baca: struktur lahir) yang berbeda-beda struktur dan kosa katanya. Dalam Rilema, kaka berbungan
dan berurutan secara linier yang kemudian dikenal dengan sebutan sintagmatik. Hubungan tersebut
dapat dilihat dalam bentuk realisasi grafologis kalimat dalam bentak baris-bris sepesta posda
halaman buku. Untuk menjadi sebuah kalima hubungan sintagmatik kata-kata tersebut harus
gramatikal, sesuai dengan sistem kadah yang berlaku dalam bahasa yang bersangkut. Secara teoretis
jumlah kata yang berhubungan secara sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat berapa
saja sehingga mungkin panjang sekali. Secara formal, memang tak ada batas berapa jumlah kata
yang seharusaya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973 45).

c. Retorika

Retorika merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat
diperoleh melalui kreatifitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa
sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra, seperti
telah dibicarakan di atas, mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus
dimaksudkan untuk mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada. Untuk
itu, bentuk pengungkapan bahasa haruslah efektif: mampu mendukung gagasan secara tepat
sekaligus mengandung sifat estetis sebagai sebuah karya seni. Retorika, pada dasarnya, berkaitan
dengan pembicaraan tentang dasar-dasar penyusunan sebuah wacana yang efektif.

1. Pemajasan
Pemajasan (figure of speech) merupakan teknik pengungkapan bahasa
penggayabahasaan, yang maknanya tak menunjuk pada makna harfiah kata-kata yang
mendukungnya, melainkan pada makna yang ditambahkan, makna yang tersirat Jadi ia
merupakan gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan
bahasa kias. Sebenarnya masih ada hubungan makna antara bentuk harfiah dengan
makna kiasnya, namun hubungan itu bersifat tak langsung atau paling tidak ia
membutuhkan tafsiran pembaca. Memahami pengungkapan pengungkapan bahasa kias,
kadang-kadang, memerlukan perhatian tersendiri, khususnya untuk menangkap pesan
apa sesungguhnya yang dimaksudkan oleh pengarang. Penggunaan bentuk-bentuk kiasan
dalam kesastraan, dengan demikian, merupakan salah satu bentuk penyimpangan
kebahasaan, yaitu penyimpangan makna.
2. Penyiasatan Struktur
Keefektifan sebuah wacana sangat dipengaruhi oleh bangunan struktur kalimat secara
keseluruhan, bukan semata-mata oleh sejumlah bangunan dengan gaya tertentu. Namun,
memang dari semua unsur gramatikal yang ada itu sering terdapat sejumlah bangunan
struktur tertentu yang menonjol, yang mampu memberikan kesan lain. Pembicaraan
tentang struktur kalimat sebagai bagian retorika ini lebih ditujukan pada bangunan
struktur kalimat yang menonjol tersebut struktur yang barangkali merupakan suatu
bentuk penyimpangan namun yang sengaja disusun secara demikian oleh penulisnya
untuk memperoleh efek tertentu, khususnya efek estetis dan efeknya terhadap pembaca,
atau pendengar jika berupa pidato.
3. Pencitraan
Dalam dunia kesastraan dikenal adanya istilah citra (image) dan penciman (magiery) yang
keduanya menyaran pada adanya reproduksi mental. Ciura merupakan sebuah gambaran
pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata, gambaran berbagai pengalaman
sensoris yang dibangkitkan oleh kata-kata. Pencitraan, di pihak lain, merupakan
kumpulan citra, the collection of images, yang dipergunakan untuk melukiskan objek dan
kualitas tanggapan indera yang dipergunakan dalam karya sastra, baik dengan deskripsi
secara harfiah maupun secara kias (Abrams, 1981; 78; Kenny, 1966: 64). Macam
pencitraan itu sendiri meliputi kelima indera manusia: citraan penglihatan (visual),
pendengaran (auditoris), gerakan (kinestetik), rabaan (uktil termal), dan penciuman
(olfaktori), namun pemanfaatannya dalam sebuah karya tak sama intensitasnya.
4. Kohesi
Antara bagian kalimat yang satu dengan bagian yang lain, atau kalimat yang satu dengan
yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antarbagian kalimat atau
antarkalimat itu. Bagian-bagian dalam sebuah kalimat, atau kalimat-kalimat dalam
sebuah alinea, yang masing-masing mengandung gagasan, tidak mungkin disusun secara
acak. Antarunsur tersebut secara alami dihubungkan oleh unsur makna unsur semantik.
Hubungan semantik merupakan bentuk hubungan yang esensial dalam kohesi yang
mengaitkan makna-makna dalam sebuah teks (Halliday & Hasa, 1989: 73). Hubungan itu
mungkin bersifat eksplisit yang ditandai oleh adanya kata penghubung, atau kata kata
tertentu yang bersifat menghubungkan, namun mungkin juga hanya berupa hubungan
kelogisan, hubungan yang disimpulkan (oleh pembaca) (infered connection), hubungan
implisit Hubungai tersebut dalam ilmu bahasa disebut kohesi (cohesion, keutuhan).

3. Percakapan dalam Novel

a. Narasi dan Dialog


Sebuah karya fiksi umum nya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog. Kedua
bentuk tersebut hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat
monoton, tersa fariatif, dan segar.

b. Unsur Pragmatik dalam Percakapan

Percakapan yang hidup dan wajar, walau hal itu terdapat dalam sebuah nofel, adalah percakapan
yang sesuai dengan konteks pamakaiannya, percakapan yang mirip dengan situasi nyata penggunaan
bahasa. Bentuk percakapan yang demikian bersifat pragmatik. Istilah pragmatik itu sendiri mungkin
diartikan pada beberapa pengertian yang berbeda, namun intinya adalah mengacu pada (telaah)
penggunaan bahasa yang mencerminkan kenyataan. Dalam situasi nyata, orang mempergunakan
bahasa tak hanya berurusan dengan unsur bahasa itu sendiri, melainkan juga mempertimbangkan
unsur-unsur lain yang di laur konteks bahasa: konteks ekstralinguistik

c. Tindak Ujar

Salah satu hal yang penting dalam interpretasi percakapan secara pragmatik, konsep yang
menghubungkan antara makna percakapan dengan konteks, adalah konsep tindak ujar (speech
acts), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Austin (1962) dan Searle (1969) (lewat Leech & Short,
1981: 290). Konsep tersebut berangkat dari adanya kenyataan bahwa, jika seseorang mengucapkan
kalimat-kalima dalam percakapan yang dilakukan umumnya disertai oleh adanya perform acts yang
berbeda-beda. Misalnya, penampilan tindak ujar yang berupa penjelasan, pernyataan, permintaan,
perintah, dan sebagainya. Bagaimana dan apa wujud penampilan tindak ujar para pelaku percakapan
ditentukan oleh konteks percakapan itu sendiri yang tentunya juga tergantung pada "keperluan".

Anda mungkin juga menyukai