Anda di halaman 1dari 7

LATAR BELAKANG

Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk. Menurut
Soeharianto (1982: 39), cerpen adalah wadah yang biasanya dipakai oleh pengarang untuk
menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan tokoh yang paling menarik perhatian pengarang.

Menurut Soeharianto (1982) cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk
mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih
disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi
jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup
permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.

Media yang digunakan oleh cerpen untuk menyampaikan pikiran pengarang adalah bahasa. Bahasa
dalam karya sastra merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian atau
konvensi dari masyarakat. Bahasa yang digunakan di dalam karya sastra cenderung menyimpang dari
kaidah kebahasaan, bahkan menggunakan bahasa yang dianggap aneh atau khas. Penyimpangan
penggunaan bahasa dalam karya sastra, menurut Riffaterre (dalam Supriyanto, 2009: 2) disebabkan oleh
tiga hal yaitu displacing of meaning (pengganitan arti), dan creating of meaning (perusakan atau
penyimpangan arti), dan creating of meaning (penciptaan arti).

Oleh karena banyak penyimpangan arti di dalam karya sastra, maka pengamatan atau pengkajian
terhadap karya sastra (cerpen) khususnya dilihat dari gaya bahasanya sering dilakukan. Pengamatan
terhadap karya sastra (cerpen) melalui pendekatan struktur untuk menghubungkan suatu tulisan
dengan pengalaman bahasanya disebut sebagai analisis stilistika.

Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen
Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak
majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.

MASALAH PENELITIAN

Masalah pada penelitian ini adalah

LANDASAN TEORETIS

1. Diksi

Pemilihan kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih dan
digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia dalam kata, komunikasi
dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-
pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1995: 290).
Pengarang hendaknya mencurakan perasaan dan isi pikirannya dengan setepattepatnya seperti yang
dialamai oleh batinnya. Selain itu seharusnya ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat
menjilmakan setepatnya. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
Persoalan diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan kata atau
diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai tujuan yang
ingin dicapai. Pengarang dari Jawa dengan bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan
istilah bahasa Indonesia untuk kata-kata khas Jawa yang padan kata Indonesia yang kurang tepat sama.

Keraf (2000: 76) mengungkapkan bahwa pilihan kata merupakan hasil yang diperoleh para leksigraf yang
berusaha merekam sebuah kata, bukannya menentukan makna sebuah kata supaya digunakan para
pemakainya. Istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan
suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan
demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata
itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide
atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan uangkapan (Keraf, 2000: 23).

Kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang
bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian, penggunaan kata daerah
alih-alih kata Indonesia menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan. Latar tempat menjadi lebih
berterima, sedangkan tokoh terasa lebih wajar karena warna tempatnya yang ia peroleh (Sudjiman,
1993: 25).

2. Gaya dan Kalimat

Istilah gaya secara leksikal yang berpadanan dengan style berasal dari bahasa Yunani stylos atau stilus
dalam bahasa Latin. Secara umum makna stylos adalah wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur yang
memiliki ciri sesuai dengan karakteristik ruang dan waktu. Sedangkan stilus bermakna alat untuk menulis
sesuai dengan cara yang digunakan oleh penulisnya. Pengertian ini memberikan dimensi bentuk dan
cara yang menyebabkan istilah style mengandung kategori nomina dan verba (Aminuddin, 1995: 1).

Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan
menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa
sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982: 49-50).

Menurut Sudjiman (1993: 13) pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang
pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.
Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, karena gaya bahasa adalah cara
menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi,
secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.

Konsep tentang gaya menyatakan bahwa sesungguhnya gaya adalah soal pilihan. Teeuw (1983: 19)
mengatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra yaitu
prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan.

Sebenarnya, prinsip kesepadanan dan prinsip penyimpangan tidak berlaku pada konvensi bahasa, tetapi
juga pada konvensi sastra. Jurij Lotman, ahli teori sastra dan semiotikus Rusia yang terkenal, tidak
menggunakan insilah prinsip, tetapi estetika: estetika persamaan dan estetika pertentangan (dalam
Teeuw, 1983: 26-27).

Enkvist (dalam Junus, 1989: 4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1)
bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai
pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5)
sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih
luas dari pada kalimat.

Umumnya beberapa sastrawan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Mereka sering melakukan
penyimpangan dalam membentuk atau menyusun kalimat yang diluar kaidah sebenarnya. Biasanya
struktur sintaksis dari suatu kalimat adalah memiliki subyek dan predikat. Tetapi kalimat tersebut
dinamai dengan kalimat sederhana atau kalimat dasar, karena hanya memiliki kedua komponen. Kalimat
dasar adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok atau belum mendapat perluasan (Arifin, 2008:
55).

Kalimat dikatakan efektif apabila memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada pikiran
pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis kalimat itu (Arifin,
2008: 74). Kalimat efektif tidak sekadar menghadirkan subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Tetapi
juga menghendaki tataran yang lebih tinggi dan luas daripada itu.

Umumnya kalimat majemuk hanya terdiri dari dua atau tiga klausa yang digabungkan menjadi satu.
Tetapi kadang kala ada sastrawan yang menyalahi hal tersebut dengan membuat kalimat yang panjang.
Bahkan satu kalimat dapat membentuk satu paragraf yang ide gagasannya belum selesai dan masih
digunakan untuk paragraf berikutnya. Pembaca juga kadang dibuat kesulitan untuk memahami kalimat
tersebut. Hal tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam tataran gaya kalimat.

3. Majas

Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan
konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan
gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah
(figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak
menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna
yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan
memanfaatkan bahasa kias.

Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai
alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian
gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal
yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan.

Majas ada bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal
(sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan
sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan, majas
penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).

PEMBAHASAN

Penelitian stilistika menaruh perhatian pada penggunaan bahasa dalam karya sastra. Persoalan yang
menjadi fokus perhatian stilistika adalah pemakaian bahasa yang menyimpang dari bahasa sehari-hari,
atau disebut bahasa khas dalam wacana sastra. Penyimpangan penggunaan bahasa bisa berupa
penyimpangan terhaap kaidah bahasa, banyaknya pemakaian bahasa daerah, dan pemakaian bahasa
asing atau unsur-unsur asing. Penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan tersebut diduga dilakukan
untuk tujuan tertentu.

Pusat perhatian stilistika adalah penggunaan bahasa (gaya bahasa) secara literer dan sehari-hari.
Sebagai stylist, seseorang harus mampu menguasai norma bahasa pada masa yang sama dengan bahasa
yang dipakai dalam karya sastra. Penggunaan gaya bahasa juga diarahkan oleh bentuk karya sastra yang
ingin dihasilkan. Misalnya, gaya penataan prosa fiksi (cerpen) berbeda dengan gaya penataan bentuk
puisi. Dalam cerpen, selain fokus dalam alur cerita, penulis dapat menggunakan gaya bahasa dan bahasa
kiasan agar cerpen yang dihasilkan lebih hidup dan menarik pembaca.

Salah satu cerpen yang sarat dengan gaya bahasa dan bahasa kiasan adalah Cerpen Gerhana Mata karya
Djenar Maesa Ayu. Hampir semua barisnya menggunakan kata kiasan sehingga pembaca diajak untuk
menikmati kalimat demi kalimat, bukan hanya menikmati alur ceritanya saja. Gaya bahasa dan bahasa
kiasan yang terdapat di dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu antara lain Paralelisme,
paradoks, hiperbola, simile, metafora, dan personifikasi.

a.Gaya Bahasa

(1)Paralelisme

Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya
bahasa paralelisme yang terkandung di dalam cerpen Gerhana Mata antara lain:

Paragraf ke-2

..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga
listrik .... .

Paragraf ke-5

.... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya
lihat. ....

Paragraf ke-6

.... Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suranya melantunkan senandung ....

..... Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Paragraf ke-13

.... . Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya.
Mungkin malam akan membuat saya takut. ...

Paragraf ke-15

..... Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa
hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan
saya. ....

Pada cerpen karya Djenar tersebut ditemukan empat gaya bahasa paralelisme. Gaya bahasa ini biasanya
digunakan penulis sebagai penekanan makna, bahwa si tokoh benar-benar merasakan pengalaman hal
itu lebih dari pengalaman yang lainnya.

(2)Paradoks

Paradoks adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu secara berlawanan, tetapi sebenarnya tidak
apabila dicermati dan dipikir dengan sungguh-sungguh.

Paragraf ke-3

Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.

Paragraf ke-6

Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat
terindah untuk sekarat.

(3)Hiperbola

Hiperbola merupakan gaya bahasa yang melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga
ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola.

Paragraf ke-4

Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.

Paragraf ke-6

Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.

b.Bahasa Kiasan

Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna
dan mempertahankan unsur estetis. Bahasa kiasan yang terdapat pada cerpen tersebutada beberapa
bahasa kiasan di antaranya:
(1)Simile

Simile adalah basa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding.
Bahasa kiasan Simile terdapat pada:

Paragraf ke-2

Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.

Paragraf ke-6

.... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hgentinya......

Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.

(2)Metafora

Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata
pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata antara lain:

Paragraf ke-4

Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.

Paragraf ke-5

Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.

Paragraf ke-6

Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.

Paragraf ke-7

Kala api rindu, sudah semalaman memanggang.

(3)Personifikasi

Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-
benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi
dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:

Paragraf ke-1

.... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan
telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .

Paragraf ke-4
.... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang
membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam membuat cerpen, Djenar Maesa Ayu sangat
memperhatikan nilai estetisnya sehingga banyak ditemukan gaya bahasa dan bahasa kiasan. Selain itu,
dalam cerpen karya Djenar tersebut juga ditemukan beberapa rima yang sama. Hal ini membuat karya
Djenar berbeda dengan cerpen lainnya. Karena biasanya rima ditemukan dalam karya yang bergenre
puisi. Persamaan rima itu ditemukan di dua paragraf yang berbeda, yaitu:

Paragraf ke-6

.... Semakin kabur. Semakin dalam muara cinta ini tercebur.

Paragraf ke-12

.... Kala siang dengan durasi waktu yang sangat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa
amat panjang dalam pennantian dan rindu yang menghimpit. Membuat saya merasa sangat terjepit.

Dari kedua contoh di atas, dapat dilihat bahwa rima yang sama adalah rima [ur] dan [pit]. Kedua
pengulangan rima ini biasanya digunakan oleh pengarang untuk mempertegas arti dan menjelasan
suasana secara jelas. Di samping itu penggunaan rima yang sama dapat memberikan efek keindahan,
sehingga menjadikan cerpen Gerhana Mata berbeda dari cerpen-cerpen yang lain.

SIMPULAN

Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu mengandung gaya bahasa dan bahasa kiasan yang terdiri
dari paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa
kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan. Selain itu, dalam cerpen karya
Djenar tersebut ditemukan persamaan rima. Hal ini menjadikan karya Djenar menjadi lebih hidup dan
berbeda degan karya lainnya.

Anda mungkin juga menyukai