Disusun oleh :
Kelompok 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puisi termasuk salah satu jenis sastra yang digemari masyarakat. Karena
kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu terus meningkat, maka corak, sifat
dan bentuk puisi pun berubah, mengikuti perkembangan jaman. Puisi sebagai
karya seni yang puitis. Kata-kata puitis sudah mengandung nilai keindahan
yang khusus untuk puisi. Sifat yang disebut puitis, sukar didefinisikan. Hanya
saja, dalam karya sastra sesuatu dikatakan puitis apabila membangkitkan
perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas. Secara
umum, bila menimbulkan keharuan disebut puitis (Pradopo, 2009:13).
Dalam puisi bahasa kiasan, pencitraan, retorika dan gaya bahasa adalah
unsur yang wajib atau selalu ada dalam puisi. Karena bertujuan untuk
memberikan atau membangun estetika (keindahan). Selain itu, juga
digunakan untuk membangun rasa yang terdapat dalam sebuah karya sastra
khususnya puisi. Yang tentu saja menarik untuk dikaji dan sebagai ilmu dasar
yang harus dipahami tidak hanya oleh pengarang tetapi juga pembaca atau
penikmat karya sastra.
B. RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan bahasa kiasan?
C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami maksud dari bahasa kiasan yang terdapat
dalam puisi.
2. Mengetahui dan memahami maksud dari pecintraan atau citraan yang
terdapat dalam puisi.
3. Mengetahui dan memahami maksud dari retorika yang terdapat dalam
puisi.
4. Mengetahui dan memahami maksud dari gaya bahasa yang terdapat
dalam puisi.
BAB II
PEMBAHASAN
2. Citraan
Menurut Sayuti (2010:170) citraan merupakan kesan yang
terbentuk dalam rongga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian
kata, yang seringkali merupakan gambaran dalam angan-angan. Citraan
merupakan bentuk bahasa yang digunakan oleh penyair untuk
membangun komunikasi atau untuk menyampaikan pengalaman
inderanya dan untuk mendapatkan efek puitis. Melalui citraan kita sebagai
pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pikiran dan
perasaan yang diungkapan oleh penulis atau penyair.
Jenis-jenis citraan:
a. Citraan Penglihatan (visual) adalah citraan yang terkait dengan
pengongkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, objek yang
tampak.
b. Citraan Pendengaran (Auditoris) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga.
c. Citraan Gerak (Kinestik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata.
d. Citraan Rabaan (taktil termal) merupakan citraan yang berhubungan
dengan indra perabaan, seperti rasa halus, kasar, lembut, dan
sebagainya. Citraan perabaan ini berfungsi untuk mengonkretkan dan
menghidupkan sebuah penuturan.
e. Citraan Penciuman (okfaktori) merupakan citraan yang berhubungan
dengan indra penciuman, pembaca seolah-olah mencium sesuatu yang
berbau, seperti harum, busuk, anyir, dan sebagainya.
3. Gaya Bahasa
Secara singkat (Guntur Tarigan, 2009 : 4) mengemukakan bahwa
gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam
berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak
atau pembaca. Gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa
atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams,1981).
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau
penutur (Keraf, 1990). Dengan gaya bahasa, penutur bermaksud
menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih
mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan
suasana tertentu dan menampilkan efek estetis. Efek estetik tersebut
menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni karya sastra tidak
semata-mata disebabkan oleh gaya bahasa saja, tapi juga oleh gaya
bercerita atau penyusunan alurnya.
Namun, gaya bahasalah yang sangat besar sumbangannya
terhadap pencapaian nilai. Style dapat diartikan sebagai cara khas yang
dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan
diri atau gaya pribadi. Pengertian style sangat luas, bisa meliputi style
sekelompok pengarang, style suatu bangsa, style perseorangan, dapat juga
merupakan style pada periode tertentu atau gaya penulisan tertentu
(Soediro Satoto, 1995: 36). Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya
bahasa dalam kesusastraan saja, tetapi juga studi gaya dalam bahasa pada
umumnya meskipun ada perhatian khusus pada bahasa kesusastraan yang
paling sadar dan paling kompleks. Stilistika berguna untuk membeberkan
kesan pemakaian susun kata dalam kalimat yang menyebabkan gaya
kalimat, di samping ketepatan pemilihan kata, memegang peranan penting
dalam ciptaan sastra.
Gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu
kejujuran, sopan santun dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita
mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam
berbahasa. Pemakaian kata yang kabur tidak terarah serta menggunakan
kalimat yang berbelit-belit adalah jalan mengandung ketidak jujuran.
Sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang
diajak berbicara. Kata hormat bukan berarti memberikan penghargaan
atau penciptaan kenikmatan melalui kata-kata manis sesuai dengan basa-
basi dalam pergaulan masyarakat beradap. Pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa yang
indah melalui pemikiran. Gaya bahasa memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis dengan membandingkan sesuatu dengan hal lain.
4. Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang
digunakan penyair sebagai alat untuk menyampaikan pikiran, perasaan
dan gagasan kepada pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk
mendukung makna puisi. Altenbernd (1970) mengistilahkan sarana
retorika sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat
itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca
berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya
sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus
memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya
(Pradopo, 2005).
Dalam puisi sarana retorika berupa rangkaian kata-kata frase, atau
kalimat yang akan merangsang pikiran. Makna puisi merupakan wilayah
isi atau unsur isi puisi, sarana retorika adalah unsur pembangun struktur
puisi merupakan wilayah bentuk lahiriah.
Jenis-jenis sarana retorika:
a. Hiperbola, adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara
berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi dari
kenyataan yang sesungguhnya.
b. Understatement, kebalikan dari hiperbola karena sarana retorika
berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu. Suatu hal atau keadaan
yang digambarkan lebih kecil atau lebih rendah dari kenyataan yang
sesungguhnya. Understatement biasa juga disebut litotes.
c. Ambiguitas, artinya makna ganda yang dimiliki oleh kata, frase,
kalusa, ataupun kalimat sebagai akibat sifat puisi yang berupa
pemadatan kata, frase, kalausa ataupun kalimat (Pradopo, 1994).
d. Elipsis, sarana retorika yang ditandai dengan penghilangan bagian dari
suatu kalimat dari suatu baris yang memungkinkan pembaca untuk
mengisinya dengan imajinya, (Alternbernnd, 1970). Ellipsis
menantang pembaca untuk memikirkan apa kira-kira yang akan
diisikan pada bagian yang tidak lengkap itu.
e. Tautologi, ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan
dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam
bagi pembaca atau pendengar, sering kata yang dipergunakan untuk
mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama.
Misalnya: silih berganti tiada berdaya.
f. Pleonasme, ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi,
tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu
lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya; naik meninggi,
turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit.
g. Enumerasi, ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal
atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau
keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar
(Slametmulyana, Tt). Dengan demikian, juga menguatkan suatu
pernyataan atau keadaan, memberi intensitas.
Jenis gaya bahasa retoris:
a. Aliterasi. Gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama.
b. Asonansi. Gaya bahasa yang berupa pengulangan bunyi vokal yang
sama.
c. Anastrof. Gaya bahasa yang diperoleh dengan membalikkan susunan
kalimat yang biasa. Gaya bahasa ini disebut kalimat inversi.
d. Apofasisi atau Preterosio. Gaya bahasa yang menegaskan sesuatu,
tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu
berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal yang itu. Berpura-pura
melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya
memamerkannya.
e. Apostrof. Gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para
hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya kepada mereka
yang sudah meninggal atau kepada barang atau objek khayalan atau
sesuatu yang abstrak, sehingga ia tampaknya tidak berbicara kepada
para hadirin atau pembaca.
f. Asindenton. Gaya bahasa yang menyebutkan banyak orang barang
atau sifat yang berturut-turur dengan tidak banyak menggunakan kata
penghubung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan dengan tanda
koma.
g. Polisendeton. Gaya bahasa kebalikan dari asindeton yaitu penyebutan
banyak orang, barang atau sifat berturut-turut dengan banyak
memergunakan kata penghubung.
h. Kiasmus. Gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frase atau
klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain,
tetapi susunan frase atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan
dengan frase atau klausa lain.
i. Paradoks, gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata
dengan fakta-fakta yang ada. Dapat pula berarti semua hal yang
menarik pehatian karena kebenarannya.
B. Analisis Puisi Berdasarkan Karakteristik Bahasa Puisi
Sesat
Oleh Ekky Gurin Andika
Bahasa kiasan juga terdapat pada bait ke empat baris pertama dan
ke dua. Pada baris pertama bait ke tiga ini, yaitu : Sebelum petang
menyingsing malu.
Pada baris ke dua bait empat yang dianggap sebagai manusia, yaitu :
Bersembunyi menyedap-nyedap bias yang samar.
2. Pencitraan
Dalam puisi “Sesat” karya Ekky Gurin Andika ini terdapat
beberapa pencitraan atau citraan seperti ;
a. Citraan Penglihatan, citraan yang terkait dengan pengongkretan objek
yang dapat dilihat oleh mata, objek yang tampak. Contohnya :
Hujan hari ini terlalu pagi
Tumpah melimpah bergenang sebatas mata kaki
b. Citraan Pendengaran (Auditoris) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga. Contohnya :
Meriuhkan suasana kelam yang sempat dating
c. Citraan Gerak (Kinestik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Contohnya :
Memang tak terkayuh langkah itu lagi
Gontai membopong badan yang mulai kuyup
3. Gaya Bahasa
Hiperbola adalah sejenis dengan gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang berlebiha-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya
dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi
untuk memperhebat kata frase, atau kalimat (Tarigan, 1984: 143). Gaya
bahasa hiperbola dalam puisi “Sesat” ditujukan pada bait kedua baris
kedua.
Gontai membopong badan yang mulai kuyup
Pada bait kedua baris kedua tersebut menyatakan hal yang
berlebihan yaitu seseorang lambat atau terhuyung-huyung mengangakat
atau lebih tepatnya menggerakan tubuhnya yang lembab dan basah, hal ini
bertentangan dengan yang sebenarya yaitu seseorang pasti bisa
menggerakan tubunya yang lembab dan basah tanpa harus terhuyung-
huyung.
4. Retorika
Gaya bahasa kiasmus adalah gaya bahasa yang dipakai untuk
menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Gaya bahasa
kiasmus dalam puisi “Sesat” ini ditunjukan pada bait ke dua baris satu.
Memang tak terkayuh langkah itu lagi
Pada bait kedua baris pertama ini menerangkan bahwa seseorang
merendahkan dirinya dengan pernyataan merasa tidak mampu untuk
menggapai sebuah harapan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam puisi bahasa kiasan, pencitraan, retotila dan gaya bahasa adalah
unsur yang wajib atau selalu ada dalam puisi. Karena bertujuan untuk
memberikan atau membangun estetika (keindahan). Selain itu, juga
digunakan untuk membangun rasa yang terdapat dalam sebuah karya sastra
khususnya puisi. Yang tentu saja menarik untuk dikaji dan sebagai ilmu dasar
yang harus dipahami tidak hanya oleh pengarang tetapi juga pembaca atau
penikmat karya sastra.
B. Saran
Makalah ini dapat dijadikan salah satu bahan referensi bagi pembaca
untuk lebih memahami dan mengetahui karakteristik dalam puisi. Akan lebih
baik, jika setelah membaca makalah ini pembaca juga mencari buku
tambahan guna menambah pemahaman terkait karakteristik bahasa dalam
puisi.
DAFTAR PUSTAKA