Anda di halaman 1dari 17

KARAKTERISTIK BAHASA PUISI

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kajian Puisi


Dosen Pengampu: Mulasih Tary, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok 7

1. Agista Refi Armadani Z (1801040056)


2. Ema Muktiani (1801040058)

3. Gresy Gareta Ulfi K (1801040060)

4. Lutfiah Riana Zuhry (1801040062)

5. Tsaniyatul Khoiriyah (1801040063)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2021

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Puisi termasuk salah satu jenis sastra yang digemari masyarakat. Karena
kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu terus meningkat, maka corak, sifat
dan bentuk puisi pun berubah, mengikuti perkembangan jaman. Puisi sebagai
karya seni yang puitis. Kata-kata puitis sudah mengandung nilai keindahan
yang khusus untuk puisi. Sifat yang disebut puitis, sukar didefinisikan. Hanya
saja, dalam karya sastra sesuatu dikatakan puitis apabila membangkitkan
perasaan, menarik perhatian, menimbulkan tanggapan yang jelas. Secara
umum, bila menimbulkan keharuan disebut puitis (Pradopo, 2009:13).

Setiap pengarang mempunyai gaya tersendiri dalam mendayagunakan


bahasa. Karena gaya seorang pengarang adalah suara pribadi yang terekam
dalam karyanya (Sayuti, 1991: 93), maka tidak ada istilah lebih baik dan lebih
buruk dalam hal gaya. Yang ada hanya perbedaan gaya antara pengarang
yang satu dengan pengarang yang lain. Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan membahas mengenai berbagai macam karakteristik bahasa puisi yang
terdisi dari bahasa kiasaan, citraan atau pecintraan, reotika dan gaya bahasa.

Dalam puisi bahasa kiasan, pencitraan, retorika dan gaya bahasa adalah
unsur yang wajib atau selalu ada dalam puisi. Karena bertujuan untuk
memberikan atau membangun estetika (keindahan). Selain itu, juga
digunakan untuk membangun rasa yang terdapat dalam sebuah karya sastra
khususnya puisi. Yang tentu saja menarik untuk dikaji dan sebagai ilmu dasar
yang harus dipahami tidak hanya oleh pengarang tetapi juga pembaca atau
penikmat karya sastra.

B. RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan bahasa kiasan?

2. Apa yang dimaksud dengan pencitraan?

3. Apa yang dimaksud dengan retorika dalam puisi ?

4. Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa dalam puisi?

C. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami maksud dari bahasa kiasan yang terdapat
dalam puisi.
2. Mengetahui dan memahami maksud dari pecintraan atau citraan yang
terdapat dalam puisi.
3. Mengetahui dan memahami maksud dari retorika yang terdapat dalam
puisi.
4. Mengetahui dan memahami maksud dari gaya bahasa yang terdapat
dalam puisi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Macam-macam Karakteristik Bahasa Puisi


1. Bahasa Kiasan
Abrams (melalui Nurgiyantoro, 2014:211) mendefinisikan bahasa
figuratif sebagai suatu bentuk penggunaan bahasa yang maknanya
menyimpang dari pemakaian yang biasa, baku, atau urutan kata dengan
tujuan untuk mencapai efek tertentu, yaitu efek keindahan. Bahasa kiasan
merupakan sarana yang digunakan penulis atau penyair untuk
mengungkapkan, melukiskan, menggambarkan, dan menegaskan suatu
inspirasi, ide, atau perasaan dalam bentuk bahasa lain yang indah dan
padat untuk mendapatkan efek puitis. Tujuan dari penggunaan bahasa
kiasan yaitu untuk mendapatkan efek puitis, meski terkadang bahasa yang
digunakan tidak sesuai dengan ketatabahasaan. Selain itu, bahasa kiasan
juga berfungsi untuk membangkitkan tanggapan pembaca.

Jenis-jenis bahasa kiasan:


a. Metafora, merupakan bentuk perbandingan yang bersifat tidak
langsung, tidak eksplisit. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak
mempergunakan kata: seperti, bak, bagaikan, bagai, laksana, dan
sebagainya.
b. Simile, sebuah majas yang mempergunakan kata-kata pembanding
langsung atau eksplisit untuk membandingkan sesuatu yang
dibandingkan dengan pembandingnya.
c. Metonimi, merupakan suatu bahasa kiasan yang menggunakan kata lain
untuk hal lain yang masih mempunyai hubungan dekat.
d. Sinekdoki, merupakan suatu gaya bahasa yang menyebutkan sebagian
untuk maksud keseluruhan, atau menyebutkan keseluruhan untuk
maksud sebagian.
e. Personofikasi, merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat
benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan.

2. Citraan
Menurut Sayuti (2010:170) citraan merupakan kesan yang
terbentuk dalam rongga imajinasi melalui sebuah kata atau rangkaian
kata, yang seringkali merupakan gambaran dalam angan-angan. Citraan
merupakan bentuk bahasa yang digunakan oleh penyair untuk
membangun komunikasi atau untuk menyampaikan pengalaman
inderanya dan untuk mendapatkan efek puitis. Melalui citraan kita sebagai
pembaca dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai pikiran dan
perasaan yang diungkapan oleh penulis atau penyair.

Jenis-jenis citraan:
a. Citraan Penglihatan (visual) adalah citraan yang terkait dengan
pengongkretan objek yang dapat dilihat oleh mata, objek yang
tampak.
b. Citraan Pendengaran (Auditoris) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga.
c. Citraan Gerak (Kinestik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata.
d. Citraan Rabaan (taktil termal) merupakan citraan yang berhubungan
dengan indra perabaan, seperti rasa halus, kasar, lembut, dan
sebagainya. Citraan perabaan ini berfungsi untuk mengonkretkan dan
menghidupkan sebuah penuturan.
e. Citraan Penciuman (okfaktori) merupakan citraan yang berhubungan
dengan indra penciuman, pembaca seolah-olah mencium sesuatu yang
berbau, seperti harum, busuk, anyir, dan sebagainya.
3. Gaya Bahasa
Secara singkat (Guntur Tarigan, 2009 : 4) mengemukakan bahwa
gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam
berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak
atau pembaca. Gaya bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa
atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams,1981).
Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau
penutur (Keraf, 1990). Dengan gaya bahasa, penutur bermaksud
menjadikan paparan bahasanya menarik, kaya, padat, jelas dan lebih
mampu menekankan gagasan yang ingin disampaikan, menciptakan
suasana tertentu dan menampilkan efek estetis. Efek estetik tersebut
menyebabkan karya sastra bernilai seni. Nilai seni karya sastra tidak
semata-mata disebabkan oleh gaya bahasa saja, tapi juga oleh gaya
bercerita atau penyusunan alurnya.
Namun, gaya bahasalah yang sangat besar sumbangannya
terhadap pencapaian nilai. Style dapat diartikan sebagai cara khas yang
dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan
diri atau gaya pribadi. Pengertian style sangat luas, bisa meliputi style
sekelompok pengarang, style suatu bangsa, style perseorangan, dapat juga
merupakan style pada periode tertentu atau gaya penulisan tertentu
(Soediro Satoto, 1995: 36). Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya
bahasa dalam kesusastraan saja, tetapi juga studi gaya dalam bahasa pada
umumnya meskipun ada perhatian khusus pada bahasa kesusastraan yang
paling sadar dan paling kompleks. Stilistika berguna untuk membeberkan
kesan pemakaian susun kata dalam kalimat yang menyebabkan gaya
kalimat, di samping ketepatan pemilihan kata, memegang peranan penting
dalam ciptaan sastra.
Gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga unsur yaitu
kejujuran, sopan santun dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita
mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam
berbahasa. Pemakaian kata yang kabur tidak terarah serta menggunakan
kalimat yang berbelit-belit adalah jalan mengandung ketidak jujuran.
Sopan santun adalah memberi penghargaan atau menghormati orang yang
diajak berbicara. Kata hormat bukan berarti memberikan penghargaan
atau penciptaan kenikmatan melalui kata-kata manis sesuai dengan basa-
basi dalam pergaulan masyarakat beradap. Pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan bahasa yang
indah melalui pemikiran. Gaya bahasa memperlihatkan jiwa dan
kepribadian penulis dengan membandingkan sesuatu dengan hal lain.

Jenis-jenis gaya bahasa:


a. Perumpamaan atau Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit atau menyatakan
sesuatu sama dengan hal lain (Keraf, 2004: 138). Similie atau
perumpamaan dapat diartikan suatu majas membandingkan dua hal
atau benda yang menggunakan kata penghubung, contoh: caranya
bercinta selalu mengagetkan, seperti petasan. Kata seperti petasan
digunakan sebagai persamaan bahwa petasan itu sebuah benda yang
bunyinya sangat keras sekali.
b. Metafora
Metafora juga dapat diartikan dengan majas yang memperbandingkan
suatu benda lain. Sementara itu menurut Keraf, metafora merupakan
semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung
tetapi dalam bentuk yang singkat (Keraf, 2004: 139). Demikian
dengan kesimpulan bahwa metafora adalah gaya bahasa yang
membandingkan secara implisit yang tersusun singkat, pada dan rapi.
c. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahsa kiasan yang mengambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-
olah memiliki sifat kemanusiaan (Keraf, 2004: 140). Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa personifikasi adalah gaya
bahasa yang memperamalkan benda-benda mati seolah-olah hidup
atau mempunyai sifat kemanusiaan. Berdasarkan pendapat tersebut
gaya bahasa personifikasi mempunyai contoh: pohon melambai-
lambai diterpa angin. Kata melambai-lambai bermakna bergerak-
gerak ke kanan ke kiri bahkah sampai seperti mau roboh.
d. Pleonasme dan Tautologi
Pleonasme adalah pemakaian kata yang mubazir (berlebihan), yang
sebenarnya tidak perlu (seperti menurut sepanjang adat; saling tolong-
menolong) (Poerwadarminta, 1976: 761). Suatu acuan disebut
pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan artinya tetap
utuh. Prinsip pleonasme dan tautologi ialah acuan yang menggunakan
kata-kata lebih banyak daripada yang dibutuhkan untuk menyatakan
suatu gagasan atau pikiran.
e. Hiperbola
Hiperbola adalah sejenis dengan gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya
dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau
situasi untuk memperhebat kata frase, atau kalimat (Tarigan, 1984:
143). Kata hiperbola berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“pemborosan; berlebih-lebihan” dan diturunkan dari hyper “melebihi”
+ ballien “melemparkan”. Hiperbola merupakan suatu cara yang
berlebih-lebihan mencapai efek suatu gaya yang di dalamnya berisi
kebenaran yang direntang panjangkan (Dale, 1971: 233). Dengan kata
lain hiperbola ialah ungakapan yang melebih-lebihkan apa yang
sebenarnya dimaksudkan; jumlahnya, ukurannya atau sifatnya
(moeliono, 1984:3).
f. Litotes
Litotes berasal dari kata yunanilitos yang berarti “sederhana”. Litotes,
lawan dari hiperbola, merupakan sejenis gaya bahasa yang membuat
pernyataan mengenai sesuat dengan cara menyangkl atau mengingkari
kebalikannya (Dale, 1971: 237). Litotes adalah gaya bahasa yang di
dalam perungkapannya menyatakan sesuatu yang positif dengan
bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan. Litotes
mengurangi atau melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya
(Moeliono, 1984: 3). Litotes kebalikan dari hiperbola, ialah sejenis
gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang dikurangi dari
kenyataan yang sebenarnya, misalnya untuk merendahkan diri
(Tarigan, 1984: 144).
g. Ironi
Menurut Tarigan (2013: 61), menggungkapkan ironi merupakan
sejenis gaya bahasa yang mengaplikasikan sesuatu yang nyata berbeda
bahkan sering kali bertentangan dengan yang sebenarnya dikatakan.
Jadi kesimpulannya ironi adalah gaya bahasa yang betujuan untuk
menyindir seseorang secara halus dan tersirat.
h. Eufemisme
Kata eufemisme berasal dari bahasa Yunani euphemizein yang berarti
“berbicara dengan kat-kata yang jelas dan wajar” dan diturunkan dari
eu “baik” + phanai “berbicara”. Jadi secara singkat eufemisme berarti
“pandai berbicara; berbicara baik” (Tarigan, 1985: 194). Eufemisme
ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang
dirasakan kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak
menyenangkan.
i. Asonansi
Asonansi adalah sejenis gaya bahasa seperti yang berwujud
perulangan vokal yang sama. biasanya dipakai dalam karya puisi
ataupun dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau
menyelamatkan keindahan (Keraf, 1985: 130).
j. Anafora
Anafora adalah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata
pertama pada setiap baris atau setiap kalimat.
k. Alegori, Parebel dan fable
Alegori adalah gaya bahasa perbandingan yang bertautan satu
dengan yang lainnya dalam satuan yang utuh (Keraf, 2004: 140). Gaya
bahasa alegori dapat disimpulkan kata yang digunakan sebagai
lambang yang untuk pendidikan serta mempunyai kesatuan yang utuh.
Parabel (parabola) adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-
tokoh biasanya manusia, yang selalu mengandung tema moral. Istilah
parabel dipakai untuk menyebut cerita-cerita fiktif di dalam Kitab suci
yang bersifat alegoris, untuk menyampaikan suatu kebenaran moral
atau kebenaran spiritual.
Fabel adalah suatu metafora berbentuk cerita mengenai dunia
binatang, di mana binatangbinatang bahkan makhluk-makhluk yang
tidak bernyawa bertindak seolah-olah sebagai manusia. Tujuan fabel
seperti parabel ialah menyampaikan.

4. Retorika
Sarana retorika merupakan salah satu unsur pembangun puisi yang
digunakan penyair sebagai alat untuk menyampaikan  pikiran, perasaan
dan gagasan kepada pembaca atau pendengar. Kedudukannya untuk
mendukung makna puisi. Altenbernd (1970) mengistilahkan sarana
retorika sarana kepuitisan yang berupa muslihat pikiran. Dengan muslihat
itu para penyair berusaha menarik perhatian, pikiran, hingga pembaca
berkontemplasi atas apa yang dikemukakan penyair. Pada umumnya
sarana retorika menimbulkan ketegangan puitis karena pembaca harus
memikirkan efek apa yang ditimbulkan dan dimaksudkan oleh penyairnya
(Pradopo, 2005).
Dalam puisi sarana retorika berupa  rangkaian kata-kata frase, atau
kalimat yang akan merangsang pikiran. Makna puisi merupakan wilayah
isi atau unsur isi puisi, sarana retorika adalah unsur pembangun struktur
puisi merupakan wilayah bentuk lahiriah. 
Jenis-jenis sarana retorika:
a. Hiperbola, adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara
berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi dari
kenyataan yang sesungguhnya.
b. Understatement, kebalikan dari hiperbola karena sarana retorika
berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu. Suatu hal atau keadaan
yang digambarkan lebih kecil atau lebih rendah dari kenyataan yang
sesungguhnya. Understatement biasa juga disebut litotes.
c. Ambiguitas, artinya makna ganda yang dimiliki oleh kata, frase,
kalusa, ataupun kalimat sebagai akibat sifat puisi yang berupa
pemadatan  kata, frase, kalausa ataupun kalimat (Pradopo, 1994).
d. Elipsis, sarana retorika yang ditandai dengan penghilangan bagian dari
suatu kalimat dari suatu baris yang memungkinkan pembaca untuk
mengisinya dengan imajinya, (Alternbernnd, 1970). Ellipsis
menantang pembaca untuk memikirkan apa kira-kira yang akan
diisikan pada bagian yang tidak lengkap itu.
e. Tautologi, ialah sarana retorika yang menyatakan hal atau keadaan
dua kali, maksudnya supaya arti kata atau keadaan itu lebih mendalam
bagi pembaca atau pendengar, sering kata yang dipergunakan untuk
mengulang itu tidak sama, tetapi artinya sama atau hampir sama.
Misalnya: silih berganti tiada berdaya.
f. Pleonasme, ialah sarana retorika yang sepintas lalu seperti tautologi,
tetapi kata yang kedua sebenarnya telah tersimpul dalam kata yang
pertama. Dengan cara demikian, sifat atau hal yang dimaksudkan itu
lebih terang bagi pembaca atau pendengar. Misalnya; naik meninggi,
turun melembah jauh ke bawah, tinggi membukit.
g. Enumerasi, ialah sarana retorika yang berupa pemecahan suatu hal
atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan agar hal atau
keadaan itu lebih jelas dan nyata bagi pembaca atau pendengar
(Slametmulyana, Tt). Dengan demikian, juga menguatkan suatu
pernyataan atau keadaan, memberi intensitas. 
Jenis gaya bahasa retoris:
a. Aliterasi. Gaya  bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama.
b. Asonansi. Gaya  bahasa yang berupa pengulangan bunyi vokal yang
sama.
c. Anastrof. Gaya  bahasa yang diperoleh dengan membalikkan susunan
kalimat yang biasa. Gaya bahasa ini disebut kalimat inversi.
d. Apofasisi atau Preterosio. Gaya  bahasa yang menegaskan sesuatu,
tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu
berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal yang itu. Berpura-pura
melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya
memamerkannya.
e. Apostrof. Gaya  bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para
hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Misalnya kepada mereka
yang sudah meninggal atau kepada barang atau objek khayalan atau
sesuatu yang abstrak, sehingga ia tampaknya tidak berbicara kepada
para hadirin atau pembaca.
f. Asindenton. Gaya bahasa yang menyebutkan banyak orang barang
atau sifat yang berturut-turur dengan tidak banyak menggunakan kata
penghubung. Bentuk-bentuk ini biasanya dipisahkan dengan tanda
koma.
g. Polisendeton. Gaya bahasa kebalikan dari asindeton yaitu penyebutan
banyak orang, barang atau sifat berturut-turut dengan banyak
memergunakan kata penghubung.
h. Kiasmus. Gaya  bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik frase atau
klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain,
tetapi susunan frase atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan
dengan frase atau klausa lain.
i. Paradoks, gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata
dengan fakta-fakta yang ada. Dapat pula berarti semua hal yang
menarik pehatian karena kebenarannya.
B. Analisis Puisi Berdasarkan Karakteristik Bahasa Puisi

Sesat
Oleh Ekky Gurin Andika

Hujan hari ini terlalu pagi


Melecehkan jalan setapak di pesisir pantai
Meriuhkan suasana kelam yang sempat datang
Tumpah melimpah bergenang sebatas mata kaki
Hajat menyantap dalam angan bocah pupuslah sudah

Memang tak terkayuh langkah itu lagi


Gontai membopong badan yang mulai kuyup
Bersengokol di bibir sembilu telah membiru
Membentang telapak menumpang iba para pembantu

Mengapa ia tak hendak pergi atau tersesat juga di bumi


Seperti aku
Sudah lama memilih
Mati tak pula menuhankan diri
Pergi sajalah

Sebelum petang menyingsing malu


Bersembunyi menyedap-nyedap bias yang samar
Menampung secanang logam di celah tingkap para saudagar
Atau sisa pewaris, memendap di kerapuhan saku yang pengap
Sebab engkau begitu
Sebab pula aku begini
Hingga kita sama tak peduli
Analisisnya:
1. Bahasa Kiasan
Dalam puisi “Sesat” karya Ekky Gurin Andika ini terdapat
beberapa bahasa kiasan seperti ;
a. Metafora, dimana bentuk perbandingan yang bersifat tidak langsung,
tidak eksplisit. Contohnya : Melecehkan jalan setapak di pesisir
pantai
b. Personofikasi, merupakan bentuk pemajasan yang memberi sifat-sifat
benda mati dengan sifat-sifat kemanusiaan. Contoh :
Melecehkan jalan setapak di pesisir pantai
Meriuhkan suasana kelam yang sempat datang
Tumpah melimpah bergenang sebatas mata kaki

Bahasa kiasan juga terdapat pada bait ke empat baris pertama dan
ke dua. Pada baris pertama bait ke tiga ini, yaitu : Sebelum petang
menyingsing malu.
Pada baris ke dua bait empat yang dianggap sebagai manusia, yaitu :
Bersembunyi menyedap-nyedap bias yang samar.

2. Pencitraan
Dalam puisi “Sesat” karya Ekky Gurin Andika ini terdapat
beberapa pencitraan atau citraan seperti ;
a. Citraan Penglihatan, citraan yang terkait dengan pengongkretan objek
yang dapat dilihat oleh mata, objek yang tampak. Contohnya :
Hujan hari ini terlalu pagi
Tumpah melimpah bergenang sebatas mata kaki
b. Citraan Pendengaran (Auditoris) adalah pengonkretan objek bunyi
yang didengar oleh telinga. Contohnya :
Meriuhkan suasana kelam yang sempat dating
c. Citraan Gerak (Kinestik) adalah citraan yang terkait dengan
pengonkretan objek gerak yang dapat dilihat oleh mata. Contohnya :
Memang tak terkayuh langkah itu lagi
Gontai membopong badan yang mulai kuyup

3. Gaya Bahasa
Hiperbola adalah sejenis dengan gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang berlebiha-lebihan jumlahnya, ukurannya atau sifatnya
dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi
untuk memperhebat kata frase, atau kalimat (Tarigan, 1984: 143). Gaya
bahasa hiperbola dalam puisi “Sesat” ditujukan pada bait kedua baris
kedua.
Gontai membopong badan yang mulai kuyup
Pada bait kedua baris kedua tersebut menyatakan hal yang
berlebihan yaitu seseorang lambat atau terhuyung-huyung  mengangakat
atau lebih tepatnya menggerakan tubuhnya yang lembab dan basah, hal ini
bertentangan dengan yang sebenarya yaitu seseorang pasti bisa
menggerakan tubunya yang lembab dan basah tanpa harus terhuyung-
huyung.

4. Retorika
Gaya bahasa kiasmus adalah gaya bahasa yang dipakai untuk
menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Gaya bahasa
kiasmus dalam puisi “Sesat” ini ditunjukan pada bait ke dua baris satu.
Memang tak terkayuh langkah itu lagi
Pada bait kedua baris pertama ini menerangkan bahwa seseorang
merendahkan dirinya dengan pernyataan merasa tidak mampu untuk
menggapai sebuah harapan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam puisi bahasa kiasan, pencitraan, retotila dan gaya bahasa adalah
unsur yang wajib atau selalu ada dalam puisi. Karena bertujuan untuk
memberikan atau membangun estetika (keindahan). Selain itu, juga
digunakan untuk membangun rasa yang terdapat dalam sebuah karya sastra
khususnya puisi. Yang tentu saja menarik untuk dikaji dan sebagai ilmu dasar
yang harus dipahami tidak hanya oleh pengarang tetapi juga pembaca atau
penikmat karya sastra.

Setiap karya puisi yang satu dengan yang lainnya memiliki


karakteristiknya masing-masing, tergantung dari masing-masing pengarang. Hal
itu karena agar setiap pengarang memiliki ciri khas dan keistimewaan yang
berbeda-beda sehingga, pembaca dapat mengetahui sebuah karya puisi dan
pengarangannya hanya dari membaca atau mendengarnya.

B. Saran

Makalah ini dapat dijadikan salah satu bahan referensi bagi pembaca
untuk lebih memahami dan mengetahui karakteristik dalam puisi. Akan lebih
baik, jika setelah membaca makalah ini pembaca juga mencari buku
tambahan guna menambah pemahaman terkait karakteristik bahasa dalam
puisi.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai