Anda di halaman 1dari 20

SOSIOLOGI SASTRA

Sosiologi Sastra (Robert Escarpit)

DISUSUN OLEH:

Gita Novianti ( F1012171029 )

Verawati ( F1012171002 )

Siska ( F1012171049 )

Yuyun (F1012171031)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA


INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PONTIANAK
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Penyayang karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan Ringkasan buku Sosiologi Sastra Karya Robert Escarpit. Laporan ini diajukan
sebagai syarat untuk tugas terstruktur Mata Kuliah Sosiologi Sastra.

Penulisan ringkasan buku ini dapat dilakukan berkat bimbingan dan arahan dari pihak-
pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, diucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai
berikut.
1. Drs. Parlindungan Nadeak, M.Pd. Selaku dosen pembimbing mata kuliah Sosiologi
Sastra sehingga ringkasan buku ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Teman-teman kelompok dan juga teman-teman kelas yang telah berpartisipasi, sehingga
ringkasan buku ini dapat diselesaikan.
Semoga semua bantuan, dukungan dan motivasi yang telah diberikan dapat bermanfaat dan
mendapat balasan yang setimpal oleh Tuhan Yang Maha Esa. Diharapkan ringkasan buku ini
dapat bermanfaat untuk pembaca.
Penulis telah berusaha maksimal dalam menyempurnakan penulisan laporan ini. Oleh
karena itu, apabila terdapat kesalahan, diharapkan kritik dan saran yang membangun agar
laporan ini semakin sempurna dan bermanfaat.

Pontianak, 13 Februari 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sekarang ini masyarakat membuat sastra pada zaman lampau masyarakat
memilikinya. Demikian salah satu pandangan Escarpit. Sastra adalah kristalisasi
keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang disepakati masyarakat setidaknya begitulah
yang diyakini di masa lampau ketika kepengarangan tidak dipermasalahkan dan berbagai
jenis tradisi lisan dimiliki beramai-ramai oleh masyarakat tidak oleh individu. Pada waktu
itu diproduksi, penyebarluasan, konsumen, dan lain sebagainya boleh dikatakan non-
issue, hal yngan tak perlu digunjingkan karena berlangsung begitu saja.
Pada waktu itu apresiasi sastra dalam pengertian kita sekarang ini, berbagai jenis
pengungkapan pengalaman dan penghayatan manusia disampaikan oleh nenek ditempat
tidur, pawang dalam suasana ritual, dan pemuka masyarakat dalam berbagai jenis
upacara. Tidak peduli apakah khalayak yang mendengarkan memiliki apresiasi atau tidak
dan pewarisan tradisi yang berupa nilai-nilai yang berupa social pun berlangsung begitu
saja.
Tetapi itu berlangsung di zaman lama dahulu ketika kita belum mengenal lembaga
kepengarangan, penerbitan, dan distribusi yang kita kenal seperti di zaman ini.
Penghayatan dan pengalaman kehidupan dalam berbagai bentuknya sama sekali
tidak mengenal pengalaman panjang mulai dari naskah sampai ketangan pembaca melalui
proses reproduksi yang melibatkan sejumlah kegiatan berbagai lembaga social seperti
agen, penerbit, dan toko buku. Keadaan ini masih berlangsung sampai kita mengenal
tulisan tetapi belum menyebarluaskannya kepasar, ketika pengarang dengan sadar
menulis untuk khalayak yang sangat terbatas tanpa mempermasalahkan apakah ada
konsumen yang memahami apa yang ditulisnya, bahkan apakah konsumennya benar-
benar ada.
Sastra sebagai buku, tidak sekedar sebagai gagasan atau pandangan kita mengenai
bagaimana dan seperti apa sastra itu seharusnya. Dan karena adalam pengertian itu
pengarang, sebagai individu yang membuat dan memiliki karya itu menjadi penting maka
definisi pengarang juga dipermasalahkan. Kedukukan sastra dalam masyarakat, misalnya,
tidak dilihat sebatas biografi pengarang sebagai individu, tetapi pada saampai sifat-sifat
kolektif dan asal usulnya.
Escarpit mengacu pada penelitian Havelock Ellis yang melakukan analisis orang-
orang jenius yang melakukan metode statistic. Escarpit mencontohkan hasil “Penelitian
Kilat” yang biasanya menunjukan apa yang diharapkan dari penelitian jenis itu. Ia
mencoba melihat, menganalisis, dan mengambil kesimpulan mengenai hubungan-
hubungan anatara profesi orang tua pengarang ( yang juga berarti juga asal usulnya ) dan
profesi pengarang itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Ringkasan Buku Sosiologi Sastra Karya Robert Escarpit?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Bagaimana Ringkasan Buku Sosiologi Sastra Karya Robert
Escarpit.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sosiologi Sastra
Mengingat fakta sastra merupakan bagian tak terpisahkan dari bagian cara berpikir
individual, bentul-bentuk abstrak dan sekaligus struktut kolektif, pembahasaannya cukup
menyulitkan. Pada kenyataannya sampai berabad-abad, bahkan sampai kini sejarah sastra
ditulis berdasarkan study manusia dan karyanya-Biografi spiritual dan komentar teks karena
konteks polektif hanya dianggap sebagai semacam dekor, hiasan yang dibiarkan menjadi
objek study pakar sejarah politik. Istilah sastra seperti yang kita pahami sekarang berasal dari
tahun-tahun terakhir abad XVIII. Sejak abad XV telah terjadi evolusi yang bergerak lebih
cepat pada abad XVIII. Disatu pihak, ketika pengetahuan menjadi terkotak-kotak dalan
spesialisasi, proyek-proyek sains dan teknis cenderung berangsur-angsur terpisah dari
kesustraan yang sesungguhnya, sehinggap cakupannya menciut dan terbatas pada hiburan
saja. Sejak itu, karena seolah-olah ditinggal sendiri, kesustraan berusaha untuk membina
hubungan baru dengan kolektifitas atau masyarakat. Dipahak lain, kemajuan-kemajuan
budaya dan teknik tadi telah membuat kesusastraan lebih terpuruk. Dikalangan masyarakat
pemakaian kebutuhan akan sastra justru meningkat dan melipatgandakan alat
pengembangannya. Vladimir Jdanov untuk mendefinisikan sikap tersebut pada tahun 1956:
“sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan kehidupan masyarkat,
latar belakang unsur, sejarah dan sosial yang mempengaruhi pengarang dan harus
mengabaikan sudut pandang subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai
suatu karya yang independent dan berdiri sendiri”. Menurut metode itu dengan sendirinya
“kriteria pertama suatu karya seni adalah tingkat kesetiaannya dalam mengungkapkan
kenyataannya dengan segala kerumitannya.” Sejak tahun 1960, perkembangan gagasan-
gagasan strukturalis telah membuka prespektif baru bagi sosiologi sastra, pada awlanya
terutama dibawah pengaruh Roland Barthes. Semiologi dan semoiotika memberi tekanan
pada tulisan dan teks sebagai tempat penyusupannya unsur-unsur soisologis. Artikel-artikel
yang muncul dalam maja;ah Tel Quel merupakan ujung tombak kencenderungan ini yang
juga mendapat inspirasi dari marxisme. Sosiologi sastra harus memperhatikan kekhasan fakta
sastra dengan memberi keuntungan kepada profesional, ia harus juga menguntungkan
pembaca dengan jalan membantu ilmu sastra tradisional sejarah atau kritik dalam tugas-tugas
khusus yang harus menjadi cakupannya. Secara tidak langsung kegiatan itu tetap menjadi
tugasnya: perananya adalah mengamati pada tingkatan masyarakat. Progrma seperti itu
memerlukan persiapan yang jauh di atas kemampuan perorangan secara terpisah-pisah
ataupun tim yang bekerja sendiri.
Unsur terpenting dari fakta sastra adalah: buku, pembacaan buku, dan sastra. Dalam
bahasa sehari-hari, sering kata-kata di atas dipertukarkan. Sesungguhnya makna ketiga
tersebut memang saling bertumpang tindih sebagian dan batas-batasnya sangat tidak jelas.
Karena mendefinisikan buku cukup membingungkan. Satu-satunya definisi yang kurang
lebih lengkap yang sekarang diberikan masih begitu kabur sehingga tidak dapat digunakan:
“alat yang dibuat dari bahan dnegan ukuran tertentu, terkadang dilipat atau digulung, dimana
ditulis tnada-tand ayang mengungkapkan data-data intelektual.” Littre ragu-ragu antara
definisi materi kumpulan beberapa lembar kertas yang ditulis tangan atau dicetak dan
didefinisi setengah intelektual karya yang mengungkapkan pikiran, baik dengan prosa
muapun puisi, yang beukuran cukup besar sehingga membentuk sebuah jilid.” Sebetulnya
tidak hanya satu definisi buku. Sebetulnya tidak hanya datu definisi buku. Setiap negara,
setiap lembaga administrasi memiliki definisi sendiri. Kekurangan definisi-definisi tersebut
adalah bahwa semuanya menganggap buku sebagai objek materi dan bukan sebagai alat
pertukaran budaya. Padahal buku adalah “mesin untuk dibaca” dan pembacanyalah (lecture)
yang menentukan definisinya: usaha terpadu dari pengarang dan pembaca yang
memunculkan benda konkret dan hayalan, yakni buku, yang ditulis dengan nalar (esprit).
Baik disalin, dicetak atau dipotret, tujuan buku adalah melipat gandaan parole (ujaran) dan
sekaligus menyimpannya: satu buku untuk satu orang tidak ada artinya. Jadi, jumlah
pembaca hendaknya masuk juga dalam definisi tersebut. Namun, yang dimaksud dalam
satuan statistic adalah judulnya dan bukan eksemplar. Untuk menganalisis unsur “membaca”,
harus dipertimbangkan pula tiras-bukan hanya dari penerbitan buku-tetapi juga surat kabar.
Tiras surat kabar biasanya diketahui, sedangkan untuk penerbitan buku lebih susah diperoleh.
Tidak semua pembacaan buku (lecture, reading) yang diperkirakan itu memang efektif.
Dengan bertitik tolak pada jumlah kertas yang dikemukakan di atas, dan dengan menyisihkan
orang yang buta huruf dan anak-anak, serta mempertimbangkan bahwa materi yang sama
digunakan oleh tiga atau empat pembaca, harus diakui bahwa seorang Prancis rata-rata
membaca 40.000 kata setiap hari (artinya, satu setengah kali buku ini) dan orang Inggris tiga
kali lipat! Seperti yang kita lihat, buku hanya merupakan sebagian kecil dari bahan bacaan
yang mungkin dipilih dan lebih kecil lagi dari bahan bacaan yang sebenarnya. Penilaiannya
menjadi terbalik bila unsur sastra menjadi bahan pertimbangan. Dengan sendirinya sastra
tidak didefinisikan berdasarkan kriteria kualitatif. Yang dipakai sebagai kriteria di sini adalah
“sesuatu yang dibaca secara sukarela”. Semua karya yang tidak merupakan “alat” melainkan
“tujuan” dipandang sebagai sastra. Semua bacaan yang tidak fungsional, artinya yang tidak
dimanfaatkan kegunaanya secara praktis melainkan untuk memuaskan kebutuhan budaya,
disebut sastra. Diantara bacaan yang nyata diambil, sebagian besar fungsional, terutama
koran, dimana yang terutama dicari adalah informasi, dokumentasi. Tetapi buku pun tidak
semuanya sastra. Sastra hanyalah satu diantara sepuluh kategori besar klasifikasi decimal
yang ditemukan 80 tahun yang lalu oleh ahli perpustakaan Amerika Melvil Dewey dan yang
dipakai oleh sebagian besar negara untuk statistic mereka: umum, filsafat, agama, ilmu
humaniora, filologi, ilmu-ilmu murni, ilmu-ilmu terapan, seni dan rekreasi sastra, sejarah dan
geografi. Jadi, kita tidak dapat mengandalkan klasifikasi formal dan sistem matis untuk
memperoleh ide yang jelas tentang hubungan bacaan-sastra. Yang lebih penting adalah jenis
hubungan pengarang-publik yang memungkinkan kita untuk menentukan apa yang sastra dan
yang bukan. Sebaliknya karya sastra dapat digunakan secara non-sastra; konsumsi sastra
tidak identic dengan membaca sastra. Perlu dicermati bahwa nilai inteligensia (intelligence)
fakta sastra-apa pun cara untuk memasukinya-menimbulkan masalah psikologis individual
dan kolektif. Definisi sastra yang kaku menyiratkan maksud yang berbeda-beda antara
pembaca dan pengarang, paling tidak definisi yang lebih luas menuntut kesesuaian. Jalan
masuk (Akses). Metode yang paling ampu untuk memahami gejala psikologis sekaligus
kolektif adalah dnegan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada sekelompok orang dengan
jumlah yang memadai yang telah dipilih secara cermat. Kesempatan untuk memperoleh
jawaban sungguh-sungguh dan terus terang sangat kecil begitu kita menanyai seseorang
tentang bacaannya. Cukup dengan membandingkan hasil yang diperoleh dengan pengamatan
langsung dan sistematis atas perilaku budaya seseorang dnegan informasi yang diberikan
oleh yang bersnagkutan sendiri, bahkan dengan kemauan baik, untuk memahami betapa
sulitnya membahas informasi yang subjektif sifatnya itu. Jika kita menanyai pengarang,
setelah meragukan kesaksian pembaca, jawabannya mungkin lebih mengecewakan.
Mengigngat tindak kreasi sastra dilakukan oleh pengarang sendirian secara bebas, harus ada
jarak tertentu dari tuntutan-tuntutan masyarakat. Dengan kata lain, jika selaku manusia dan
selaku seniman, penulis harus membayangkan publiknya dan merasa merupakan bagian dari
mereka, berbahayalah kalua ia terlalu sadar akan keharusan-keharusan yang dibebankan
publik terhadap dirinya. Berdasarkan data statistik, garis besar fakta sastra dapat
diungkapkan. Data-data itu harus diinterpretasikan dengan menggunakan data objektif tipe
lain, yang diperoleh dalam studi struktur sosial yang menjadi wadah fakta sastra tersebut dan
peralatan teknis yang mendukung: rezim politik, Lembaga-lembaga budaya, kelas, lapisan
dan kategori sosial, profesi, organisasi hiburan, tingkatan buta huruf, status ekonomi dan
hokum pengarang, pemilik tokoh buku, penerbit, masalh kebahasaan, sejarah perbukuan, dan
sebagainya. Definisi Pengarang Produksi sastra berkaitan erat dengan masalah populasi
pengarang yang, dari abad ke abad, mengalami fluktuasi yang sama seperti kelompok
demografis yang lain: menjadi tua, peremajaan, kelebihan penduduk, kekurangan penduduk,
dan lain-lain. Untuk memperoleh defenisi, atau paling tiadak sampel populasi sastra yang
berarti, dapat dipakai dengan dua cara yang ekstrem. Pertama, dengan mendata semua data
pengarang buku yang diterbitkan (melalui percetakan atau dengan cara lain). Kedua, dengan
mengandalkan sesuatu daftar, misalnya indeks buku pelajaran sejarah sastra yang sejarahnya
diakui. Maka pengamatan indeks secara kritis tampaknya lebih tepat. Dengan mempelajari
indeks buku pelajaran sastra, dan dengan mengamtai pertumbuhan jumlah pengarang, kita
melihat bahwa semakin dekat dengan tanggal ketika buku itu disusun, profesi pengarang
yang dikutip semakin besar. Mula-mula perkembanganya cukup lambat dan nyaris dapat
diabaikan sampai zaman ketika muncul para pengarang yang masa hidupnya bersamaan
dengan penulis buku itu, artinya mereka masih hidup ketika penulis buku pelajaran itu
memulai penelitiannya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa gambaran populasi
pengarang yang benar-benar berarti dalam segi sastra hanya dapat diperoleh dengan
mengambil jarak waktu tertentu. Hasil itu dapat dibahas dengan berbagai cara. Bagaimana
pun dapat dicatat bahwa gambaran seorang pengarang, aspek yang akan menempel pada
dirinya sebagai warga populasi sastra “sebagaimana akan diubah dengan sendirinya oleh
perjalanan waktu” adalah gambaran dirinya sekitar usia 40 tahun. Unsur pertama yang
diperlukan untuk mempelajari sampel seperti itu adalah angkatan. Sebagai contoh dapat
disebut generasi/angkatan pengarang romantic prancis yang besar, sekitar tahun 1800.
Namun, istilah “angkatan” hanya dapat digunakan secara hati-hati. Generasi dan Tim, unsur
pertama yang diperlukan untuk mempelajari sampel seperti itu adalah angkatan. Angktan
menurut pengertian Albert Thibaudet atau Henri Peyre adalah unsur yang jelas: dalam
kesusastraan, tanggal lahir para pengarang dikelompokkan menurut “peleton” dalam zona
kronologis. Namun, istilah “angkatan” hanya dapat digunakan secara hati-hati. Hal pertama
yang harus dihindari adalah godaan untuk membuat siklus. Ambillah sebagai contoh “usia”
sebuah genre sastra, misalnya tragedy Elisabethan, tragedy klasik, roman realis Inggris abad
XVIII, gerakan romantic, pada umumnya 30-35 tahun, artinya setengah usia manusia.
Pengamatan kedua, generasi atau angkatan sastra berbeda dengan generasi biologis dalam hal
bahwa generasi atau angkatan sastra itu terdiri dari kelompok yang secara numeric yang
dapat diidentifikasikan, yaitu berupa “peleton-peleton”. Pengamatan ketiga didasarkan atas
yang terdahulu. Bila kita berbicara tentang generasi pengarang, tanggal yang bermakna
bukanlah tanggal lahir, bukan pula usia dua puluh tahun. Istilah generasi, yang pada awalnya
menarik, ternyata tidak terlalu jelas. Mungkin sebaiknya istilah itu digantikan dengan “tim”
yang lebih lentur dan organis sifatnya.

Untuk menempatkan pengarang dalam masyarakat, tampaknya hal perama yang harus

dilakukan adalah mencari keterangan tentang asal-usulnya. Dalam kasus individual , sebagian

besar biografi sudah melakukan hal itu.. Namun, biasanya penjelesan tentang sifat-sifat kolektif

dari asal usul itu tidak baik. Psikolog Inggris Henry Havelock Ellis patut mendapat penghargaan

karena dalam bidang tersebut ia adalah pelopor. Sejak awal abad XX ini , ia telah menerapkan

metode statistik pada apa yang disebutnya analisis orang-orang jenius.Pada dasarnya hanya ada

dua cara untuk memungkinkan pengarang hidup. Pembiyaan internal dengan hak cipta, yang

akan dibicarakan di bagian selanjutnya , dan pembiayaan dari luar. Yang terakhir itu dapat di

rangkum menjadi dua jenis: sponsor (mecenat) dan biaya sendiri (auto-financement).Kegiatan

membiayai diri sendiri dapat juga berupa campuran berbagai aktifitas yang mendatangkan uang

seperti yang telah memungkinkan Voltaire, misalnya , untuk hidup dan menjadi kaya. Sumber

keuangannya sangat beraneka ragam, termasuk tunjangan mecenat, keuntungan penerbitan , hak
cipta pengarang , dan juga kemampuan berspekulasi, kelihaian berbisnis dalam industri jam serta

kegigihan pengawasan selaku tuan tanah yang pelit.Jika harus menentukan tahun simbolis

pemunculan “orang sastra”, mungkin dapat diusulkan tahun 1755. Pada tahun itu, Samuel

Johnson menulis surat terkenal kepada Lord Chesterfield untuk menolok bantuan yang beberapa

tahun sebelumnya sia-sia diajukan, ketika ia sedang menulis dictionnaire.Perlindungan hak cipta

pengarang menyangkut jaminan bagi pengarang untuk menimati karya ciptanya selama periode

yang dapat bervariasi dari 28 tahun yang dapat diperpanjang di Amerika Serikat , untuk

selamanya di Portugal.

Mempublikasikan karya berarti juga menuntaskannya dengan menyerahkan nya kepada

orang lain. Agar suatu karya benar-banar eksis sebagai unsur yang otonom san bebas, sebagai

suatu hasil ciptaan, ia harus memisahkan diri dari penciptanya dan menjalani sendiri nasibnya di

antara orang-orang. Itulah yang disimbolkan acara “pelucuran pertama” atauu juga “peresmian”

pameran lukisan: dengan peresmian itu, pelukis tidak boleh membuat

Penerbit adalah tokoh yang baru muncul belakangan dalam sejarah institusi sastra. Namun, sejak

coretan baru dengan kwasnyadengan menyerahkannya untuk dijual di pameran.zaman dahulu

sekali sudah ada cara-cara untuk mengandalkan ujaran (parole) yang ditulis untuk menyebarkan

karya. Sejak abad V, di athena , dan pada zaman klasik di Roma, sudah ada bengkel-bengkel

penulis yang dipekerjakan oleh pengusaha untuk menyalin naskah-naskah. Salinan-salinan itu

kemudian di jual di tokoh-tokoh buku yang waktu memang jugaa sudah ada.Pada akhir abad XV,

sudah ada perusahaan dagang yang sangat besar seperti kepunyaaan Anton Koburger, Permilik

percetakan di Nuremberg yang memiliki 16 tokoh penjualan dan agen-agen di kota-kota kristen

terpenting, atau juga milik Aldo Manuzio di Venisia. Pada abad XVI, di praancis ada dinasti

penerbit Estienne, di Belanda keluarga plantin dan Elzevir. Belanda dikenal memegang peranan
penting bagi pasar buku internasional pada abad XVIII.Pada tahun 1618 , di Prancis peraturan

pajak masih mengelompokkan percetakan dan toko buku dan grup yang sama. Sampai akhir abad

XVIII, masih susah untuk dikatakan siapa di antara keduanya yang bertanggung jawab secara

moral dan dari segi keuangan atas publikasi buku , siapa yang menanggung riskiko investasi an

menyelesaikan berbabagai urusan yang mungkin di perlukan oleh karya yang diterbitkan. Secara

tradisional, tugas berat itu dibebankan kepada percetakan, tetapi kemudian pemilik buku pun

mendapat bagiannya.Latar belakang pergantian itu adalah peningkatan ekonomi, politik dan

kultural golongan borjuis. Pada masa itulah, seperti yang telah kita lihat , sastra tidak lagi

merupakan hak istimewa orang-orang sastra. Golongan borjuis yang telah mengalami

peningkatan sosial menuntut kesusastraan yang cocok dengan ukurannya: publik pembaca

meningkat banyaknya, tetapi seleranya mengalami perubahan besar: mulai waktu itu roman

realis atau sentimental, puisi praromantik dan romantik akan merupakan karya yang diterbitkan

dengan tiras besar dan disebarluaskan. Untuk mengelolanya diperlukan suatu sistem ekonomi-

keuangan yang canggih, yang telah sukses dipakai dalam cabang kegiatan industri dan

perdagangan lain.Penerbitan merupakan kasus unik, karena mengantar suatu karya individual

kedalam kehidupan kolektif. Setiap fungsi teknis yang kami gambarkan tadi berkaitan dengan

satu tipe hubungan antara individual dan masyarakat.dalam kegiatan selektif, penerbit (atau

orang yang ditugasinya) telah membayangkan calon publikasinya dan dari sejumlah tulisan ia

memilih mana yang paling cocok untuk konsumsi publik tersebut. Idealnya bagi seorang penerbit

adalah menemukan seseorang pengarang yang dapat, berlanjut. Faktor kebetulan dan biaya

peluncuran memang biasanya habis pakai. Namun, mengingat daya jual seorang pengarangnya

telah dikenal, tanpa terlalu banyak risiko, ia dapat memintanya untuk terus berproduksi sesuai

dengan prototipe yang sudah diuji.


Blok-blok besar bahasa dari penduduk yang mampu membaca adalah blok inggris (
menjelang tahun 1960 jumlahnya 225 juta orang), blok Cina (210 orang), blok Rusia Jepang
(62 juta), dan blok prancias (47 juta). Di dalam setiap blok ada sirkulasi sastra yang otonom,
yang dapat berbagi-bagi lagi oleh institusi polirtik dan perbatasan nasional, tetapi sirkulasi
tersebit tidak memiliki intensitas sama di mana-mana. Perbatasan nasional (yang tidak
selamanya sama dengan perbatasan wilayah bahasa atau budaya) juga menawarkan wadah-
wadah untuk sirkulasi buku. Bahkan di negara-negara seperti perancis, yang banyak
melakukan ekspor buku, baik melalui penerjemahan maupun penjualan karya secara
langsung , sebagai besar hasil produksi di cadangkan untuk pasar dalam negri. Dahulu grup
yang “Bersastra” adalah golongan aristokrasi. Kemudian sebutan itu beralih ke golongan
borjuis terpelajar yang memiliki bekal budaya yang diperoleh disekolah menengah umum
klasik. Tambahanya kemudian adalah para pegawai intelektual, pegawai bidang artistik, dan
sebagian pekerja kasar yang pernah belajar di sekolah dasar. Di Prancis, tokoh buku relatif
masih bersifat pengrajin seperti halnya penerbit. Di Negara-negara dengan struktur yang
sangat kapitalis, khususnya di Inggris, Jerman, Amerika Serikat, konsentrasi buku luar biasa
mengagumkan, seperti misalnyaterlihat di Basil Blackwall di oksford, yang tentunya
memerlukan modal besar sekali. Peranan menyebarkan buku “sastra” di seluruh wilayaah
dipegang oleh tokoh-tokoh buku yang sedang besarnya. Prancis, jumlahnya sekitar 3.500
toko buku ukuran sedang, artinya satu untuk setiap 12 ribu orang penduduk. Dapat di
pastikan bahwa angka itu salah satu tertinggi didunia. Spesialisasi adalah salah satu cara bagi
tokoh buku yang sedang besarnya untuk mengarahkan dan membatasi kegiatannya. Khasus
khusus dan sering terjadi ditunjukkan oleh tokoh buku klasik yang membatasi diri pada
penjualan keperluan sekolah. Spesialisasi lain adalah tokoh buku seni yang juga sering
beerfungsi sebagai tokoh buku bekas. Dapat di perkiraka sekitar 7-8% toko buku yang
sedang besarnya yang mengkhususkan diri pada penjualan buku bekas tetapi pasar buku
bekas untuk sementara belum terpantau oleh statistik. Penyebaran tokoh-tokoh buku sedang
yang mengkhususkan diri pada penjualan buku-buku baru ( sastra ) jauh lebi terbagi secara
teratur dari pada tokoh buku besar serba ada. Distribusi komersial bacaan sastra kepada
massa dilakukan terutama melalui pedagang eceran dan tokoh-tokoh jenis tokoh rokok
(tabac) atau surat kabar yang melaksanakan penjualan buku yang sebagai kegiatan tambahan.
Sastra penjaja keliling itu terutama terdiri dari sejumlah besar alamanak, yang diantaranya
masih ada pada masa kini : Almanach Vermont atau Almanach Hachette. Walaupun sudah
lebih dipermodern, buku tersebut masih mengandung unsur-unsur khayalan tetapi tidak
begitu naif lagi. Disemua sirkuit distribusi populer itu, dikaitkan pada press sehari-hari atau
majalah. Seperti telah kita lihat, di kebanyakan negara, jenis bacaan tersebut paling banyak
diminati dan telah menggantikan cara-cara lama penyebaran lisan. Kini cara penyebaran lisan
itu dapat dikatakan telah melancarkan sebagian balasan berkat teknik audiovisul melalui film
radio dan televisi. Buku-buku populer memiliki hubungan erat dengan cara penyebaran
mutakhir itu. Jadi nornal saja jika mekanisme ditribusi buku popuker lebih banyak disalurka
melalui penyebaran press dari pada melalui tokoh buku. Disini terlihat kebalikan situsasi
sirkuit sastra ini. Dalam sirkuit sastra ini, berlimpahnya produsen untuk jumlah konsumen
yangtidak cukup banyak, permintaan yang terus menerus di perbaharui dalam lingkup suatu
sisitem yang didasarkan atas seleksi terus menerus menimbulkan penghamburan dan
sterilisasi. Dalam sirkuit populer, tidak adanya produsen yang beradaptasi secara sosial,
penyerahan inisiatif kepada ditributor, beesarnya jumlah permintaan yang anonim dan tidak
berbicara, tetapi yang menkonsumsi , di satu pihak. Menyebabkan kerusakan degradasi
mekanisme bentuk-bentuk sastra di lain pihak, hilangnya kebebasan budaya masa.
Sebenarnya ide sederhana adalah memperluas produksi dan penyebaran produksi sastra ke
sirkuit populer tanpa mengubah metode komersial.Solusinya adalah penerbitan edisi murah
buku ssatra yang dapat di jual di penyalur-penyalur sirkuit sastra. Mungkin solusi selanjutnya
adalah meninggalkan cara pemasaran buku tradisonal yang melewati tahapan yang tidak
dapat dihindari dan mahal “ penerbit, distributor, tokoh-tokoh buku, itulah yang dilakukan
oleh club buku yang telah dibicarakan di bagian terdahulu. Perlu pula di catat bahwa dari
sudut ekonomi, pembelian sebuah buku dapat di anggap sebagai sesuatu yg absoult jika buku
tersebut tidak dipakai berkali-kali. Dalam kegiatan pinjam meminjam di perpustakaan yang
menjadi masalah adalah stok buku, yang keadaannya lebih gawat dari pada di tokoh buku.
Untuk meninjam adanya stok buku yang lengkap dan umum, perpustakaan pusat mendapat
kiriman semua buku yang di terbitkan, dan membeli buku secara teratur dan mahal. Dengan
demikian dapat dilihat bahwa ketidakseimbangan distribusi merupakan reaksi dari
ketidakseimbangan produksi tetapi kedua ketidaksenambungan tersebut hanyalah sebagian
aspek dari masalah yang sama. Solusi institusional jenis bank sastra untuk produksi atau jenis
organisasi budaya untuk distribusi hanyalah solusi teknik sementara solusinya pada tataran
perilaku kelompok manusia terhadap sastra artinya pada tataran konsumsi. Publik. Ketika
menulis, semua pengarang memiliki public yang hadir dalam pikirannya, paling tidak dirinya
sendiri. Sesuatu hanyalah benar-benar dikatakan, jika dia dikatakan kepada seseorang. Itulah
makna tinda publikasi, sebagaimana telah kita lihat. Demikian halnya Samuel Pepys, yang
menulis hanya untuk diri sendiri dalam Journal-nya. Buku Harian (Buktinya ia telah
mengambil tindakan hati-hati dengan menulisnya dengan steno dan kriptografi). Jadi, ia
sendiri lah lawan bicaranya. Setelah meninggal, “ia berbicara” kepada pulik yang besarsekali
berkat penerbit (dalam maknanya yang positif) yang telah mempublikasikannya. Public
lawan-bicara (interlocuteur) dapat menciut sampai satu orang saja, satu individu. Berapa
banyak karya sastra dunia yang pada mulanya hanya berupa pesan pribadi? Sekali-sekali,
kritikus yang handal menemukan pesan itusekaligus denganpenerima pesanya dan merasa
telah memberi penjelasan tentang karya itu secara tuntas. Fungsional kalau public-lawan
bicara cocok dengan public nyata yang dituju oleh peluncuran buku dengan
mempublikasinya. Namun, sebaliknya karya sastra memasukan pembaca anonom sebagai
orang yang terasing dari dialog tersebut. Semuakesenangan yang diperoleh berkat suatu
estetika dan semua penikmatan sastra (echange litteraire) akan menjadi tidak mungkin jika
public kehilangan sifatnya yang anonym, kehilangan jarak yang memungkinkanya
berpartisipasi tanpa melibatkan diri (sedangkan pengarang-pengarang mau tidak mau harus
melibatkan diri). Masuknya public sastra dalam dialog pencipta hanya mungkin karena ia
sudah berada di tempat itu, sedangkan public popular berada di luar dan memahami dialog
tersebut secara harafiah. Justru suatu terjemahan karya Shakespeare yang baru-baru ini
memunculkan kembali polemic abadi tentang hasil-hasih penerjemahan. Yang kita lihat
hanyalah sebagian table dan studi public-lingkungan, budaya, bahasa, genre sastra, dan gaya
yang tidak mencukupi untuk mengetahui keseluruhan fakta sastra. Di bagian terdahulu telah
kami kemukakan bahwa public umum tidak memiliki kemampuan bertindak terhadap
pengarang. Hal itu sebetulnya tidak sepenuhnya tepat. Sering pengarang mengandalkan
public tersebut dengan melakukan “dosa sastra" yang paling besar: menerima suatu sukses
yang sebetulnya bukan miliknya, tetapi milik mitos. 2. Sukses Penerbitan. Public yang telah
kami perkirakan sampai sekarang (lawan bicara, lingkungan, public umum) tidak dapat
dipakai sebagai ukuran untuk keberhasilan komersial karena mereka semata-mata berada
dalam teori. Dalam pengertian ini dapat dikatakan bahwa ada empat tingkatan hasil
komersial : kegagalan, setengah sukses, sukses ormal, dan best-seller. Penerbit dan
pengusaha toko buku tidak pernah mau mengatakan semuanya atau manajemen
perusahaannya terlalu primitive sehingga mereka tidak dapat memberi keterangan yang
diperlukan. Ahli sastra dan konsumen. Jarak yang memisahkan sastra yang dipelajari di
sekolah dan sastra yang benar-benar hidup merupakan objek lelucon tradisional atau bahkan
skandal. Karakteristik orang yang “bersastra” (letter) adalah kemampuan teoritis untuk
membuat penilaian tentang sastra. Mengingat bahwa melakukan penilaian sastra merupakan
pembawaan khas grup yang bersastra (letter) (ia sendiri sering merupakan bagian dari suatu
“kasta” atau “kelas” sebagaimana halnya dulu grup “secondaires” di Prancis) grup tersebut
memaksakan sikap seorang ahli sastra kepada para anggotanya ( di bawah “ancaman
hukuman” moral: jika tidak memiliki sikap itu, ia akan dipandang sebagai orang yang tak
berselera, kampungan, bahkan “promaire”). Peranan ahli sastra adalah melihat “apa yang
ada di balik dekor”, mengamati keadaan sekitar kreasi sastra tersebut, memahami maksud-
maksud penulis, menganalisis alat-alat pengungkapannya. Baginya suatu karya tidak pernah
menjadi tua atau mati karena setiap saat ia dapat merekonstruksi kembali dengan pikirannya
sistem referensi yang menonjolkan relief estetis karya itu. Sikapnya itu bersifat historis.
Sebaliknya para konsumen hidup di masa kini (walaupun, sepertinya yang telah kita lihat,
masa kini tersebut terbentang jauh ke belakang). Ia tidak mempunyai peranan, tetapi
eksistensi. Ia menikmati apa yang disuguhkan kepadanya dan memutuskan apakah ia
menyukainya atau tidak. Disemua lapisan masyarakat, perilaku pembaca perempuan
tampaknya lebih homogen daipada pembaca laki-laki. Homogenitas itu pastilah disebabkan
oleh gaya hidup perempuan, dan terutama pada zaman modern, yang relative seragam:
masalah rumah tangga dan anak-anak yang sering digabung dengan kegiatan professional
membagi kehidupan perempuan untuk menghadapi majikan. Hal yang sama terjadi di semua
lapisan masyarakat dan di semua daerah. Secara umu (hal ini berlaku bagi perempuan
maupun laki-laki), tatkala usia pembaca semakin tua, pilihan bacaan cenderung semakin
bersifat sastra. Para pensiunan adalah pembaca yang berkualitas baik sekali, mungkin karena
ia mempunyai waktu lebih banyak untuk membaca, dan juga karena beban kehidupan mereka
lebih ringan. Maka perlu teliti motivasi psikologis dan situasi materi yang melatari perilaku
“pembaca menengah”. Motivasi. Kita tahu bahwa mengkonsumsi buku tidak sama dengan
membaca buku. Terkadang konsumen membeli buku (atau lebih jarang: memeinjam) tanpa
bermaksud secara khusus membacanya, bahkan jika akhirnya ia membacanya. Dapat juga
dikemukakan di sini pengumpulan “buku yang harus dipunyai” untuk “dipajang” sebagai ciri
kekayaan, budaya atau selera baik (ini adalah salah satu kesempatan yang paling sering
dimanfaatkan klub buku di Prancis), pembelian buku edisi langka untuk investasi, pembelian
koleksi tertentu karena kebiasaan, pembelian karena kesetiaan pada suatu perjuangan atau
pada seseorang, pembelian karena senang barang bagus karena pada masa itu buku dianggap
sebagai karya seni berkat jilid, tipografi atau ilustrasinya.Selain itu kita tau bahwa dalam
konsumsi bacaan, kita harus membedakan konsumsi fungsional dan konsumsi sastra, dan
bahwa masing-masing memiliki tipe motivasi berbeda. Di sini akan diuraikan motivasi
fungsional hanya untuk sekedar mengingatkan. Pertama-tama adalah informasi, dokumentasi,
dan pembacaan buku secara professional. Yang lebih rumit adalah pemakaian buku sastra
untuk tujuan fungsional. Motivasi sastra yang sesungguhnya adalah yang menghormati
kenetralan karya (gratuite) dan tidak menjadikan kegiatan membaca sebagai alat melainkan
tujuan. Jadi, kegiatan membaca karya sastra (acte de lecture littreaire) bersifat sosial dan
sekaligus asocial. Untuk sementara ia emnghapuskan hubungan individu dengan alam
sekelilingnya demi hubungan baru yang ada dalam karya. Maka motivasinya hamper selalu
berupa ketidakpuasan, ketidakseimbangan antara pembaca dengan lingkungannya, dan
bahwa ketidakseimbangan itu ditimbulkan oleh sebab-sebab yang inheren dengan hakikat
manusia (pendek dan rapuhnya eksistensi) atau bentrokan antarindividu (cinta, kebencian,
rasa kasihan) atau dtruktur sosial (tekanan, kesengsaraan, takut masa depan, kejenuhan).
Singkatnya ia merupakan jalan keluar untuk melawan absurditas kondisi manusia. Istilah
“sastra pelarian” (literature d’evasion) sering dipakai mungkin selalu tanpa mengetahui
dengan jelas apa artinya. Nuansa cemoohan atau tantangan yang sangat sering disisipkan di
dalam makna kata tersebut bersifat arbitrer. Motivasi apapun yang mendorong orang untuk
membaca hanya akan efektif dalam kondisi materi yang menguntungkan. Situasi membaca.
Kami tidak akan mengulangi aoa yang telah dibicarakan mengenai distribusi. Mengingat
bahwa buku apat dicapai oleh pembaca, masalah baru muncul: di manaa dan kapan orang
dapat membaca? Faktor-faktor yang berpengaruh pada ketersediaan waktu untuk membaca,
harus juga disebutkan antara lain kegiatan professional, tempat tinggal, kondisi iklim, situasi
keluarga, dsb. Secara umum dapat doteima bahwa bagi seorang terpelajar abad XX jenis
waktu yang tersedia dapat diringkas menjadi tiga kategori: saat-saat kosong yang tidak dapat
dimanfaatkan (transport, makan, dsb). Jam-jam bebas yang teratur (setelah sepanjang hari
bekerja), periode-periode ketika orang tidak melakukan apa-apa (minggu, hari libur, sakit,
pensiun). Keterangan0keterangan yang singkat ini menunjukan betapa kegiatan membaca
buku terkait dengan situasi dan secara umum menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Maka
mau tidak mau kita terkejut melihat kesenjangan, disproporsisi, yang ada antara kenyataan
tersebut dan alat sosial sastra sebagaimana telah kami gambarkan.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR ISI

Anda mungkin juga menyukai