Disusun Oleh :
Kristian 201921500362
JAKARTA
2020
1
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup
untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada
baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu berupa sehat
fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
dari mata kuliah Kajian Puisi dengan judul “Ketidaklangsungan ekspresi dalam puisi dan analisis semiotik”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat
kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah ini kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Kajian Puisi kami
yang telah membimbing dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
2
Daftar isi ...........................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan ............................................................................................................4
A. Latar belakang ......................................................................................................4
B. Rumusan masalah .................................................................................................4
C. Tujuan Penulisan Makalah ...................................................................................5
D. Manfaat Penulisan ................................................................................................5
E. Metode ..................................................................................................................5
Bab II Pembahasan ...........................................................................................................6
A. Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi .............................................................6
1. Penggantian Arti (displacing of meaning) ......................................................6
2. Penyimpangan Arti (distorting of meaning)....................................................8
3. Penciptaan Arti (creating of meaning) ..........................................................13
B. Analisis Semiotik ................................................................................................16
1. Jenis-jenis Semiotika ....................................................................................17
Bab III Simpulan ................................................................................................................
a. Kesimpulan .........................................................................................................21
b. Saran ...................................................................................................................21
Daftar Pustaka .................................................................................................................22
BAB 1
PENDAHULUAN
3
A. Latar Belakang
Pada hakikatnya puisi berkaitan dengan keindahan, pemadatan, dan ketidaklangsungan ekspresi. Puisi
pada dasarnya adalah sebuah karya seni. Puisi adalah karya yang fungsi estetiknya dominan. Selanjutnya,
puisi merupakan sebuah pernyataan yang hanya mengedepankan inti gagasan, pemikiran, maupun peristiwa.
Terakhir, pada hakikatnya puisi merupakan ekspresi yang tidak langsung. Menurut Riffaterre (dalam
Pradopo, 2009: 210) ketidaklangsungan ekspresi itu disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti,
dan penciptaan arti. Pada beberapa karangan puisi ada yang mungkin dapat dengan mudah dipahami dan
tidak. Ketidakpahaman ini membuat pembaca harus menebak makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Ketidaklangsungan ekspresi di dalam puisi terjadi karena makna puisi tidak secara eksplisit menyampaikan
ekspresi atau perasaannya.
Semiotik merupakan kajian keilmuan yang mempelajari tanda-tanda yang ada pada sebuah karya sastra.
Pemahaman mengenai semiotika perlu dilakukan oleh pegiat sastra, karena sebuah puisi pasti mengandung
penanda sebagai sebuah karya sastra yang estetika. Pada pengkajajian puisi melalui ranah semiotika menjadi
lebih menarik karena kajian ini membahas bagaimana cara mengkaji sebuah puisi dengan menikmati
penandanya. Dari penanda itulah puisi dibangun menjadi sebuah karya yang otentik dan memiliki keindahan
bahasa yang terkandung di dalamnya. Semiotika memiliki peran penting dalam membangun sebuah puisi
agar puisi tersebut bisa memberikan gambaran dan pemahaman pada pembaca. Maka dari itulah semiotika
sangat penting dipelajari dan dipahami, karena bahasa dan semiotika tidak bisa dilepaskan.
B. Rumusan Masalah
Oleh sebab itu, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai :
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan dalam penulisan makalah ini untuk:
1. Mendeskripsikan penggunaan arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti dalam puisi
4
2. Memberikan penjelasan tentang kata kiasan yang digunakan dalam puisi dan bisa mengetahui
ekspresi puisi
3. Mengetahui makna yang terkandung dalam puisi
4. Mengetahui tanda-tanda kebahasaan
D. Manfaat Penulisan
E. Metode
Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan metode pustaka. Dimana
peneliti mengumpulkan dari elektronik maupun non- elektronik untuk memudahkan pemecahan masalah.
BAB II
PEMBAHASAN
5
Dikemukakan oleh Riffaterre (1978:1) bahwa puisi itu dari dahulu hingga sekarang selalu berubah
karena evolusi selera dan konsep setetik yang selalu berubah dari periode ke periode. Ia menganggap bahwa
puisi adalah sebagai salah satu wujud aktivitas bahasa. Puisi berbicara mengenai sesuatu hal dengan maksud
yang lain. Artinya, puisi berbicara secara tidak langsung sehingga bahasa yang digunakan pun berbeda dari
bahasa sehari-hari. Jadi, ketidaklangsungan ekspresi itu merupakan konvensi sastra pada umumnya. Karya
sastra itu merupakan ekspresi yang tidak langsung, yaitu menyatakan pikiran atau gagasan secara tidak
langsung, tetapi dengan cara lain (Pradopo, 2010:124).
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian
arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa
yang disebut dengan mimesis.
Landasan mimesis adalah hubungan langsung antara kata dengan objek. Pada tataran ini, masih terdapat
kekosongan makna tanda yang perlu diisi dengan melihat bentuk ketidaklangsungan ekspresi untuk
menghasilkan sebuah pemaknaan baru (significance).
Penggantian arti ini menurut Riffaterre disebabkan oleh penggunaan metafora dan metonimi dalam karya
sastra. Metafora dan metonimi ini dalam arti luasnya untuk menyebut bahasa kiasan pada umumnya. Jadi,
tidak terbatas pada bahasa kiasan metafora dan metonimi saja. Hal ini disebabkan oleh metafora dan
metonimi itu merupakan bahasa kiasan yang sangat penting hingga dapat mengganti bahasa kiasan lainnya.
Di samping itu, ada jenis bahasa kiasan yang lain, yaitu simile (perbandingan), personifikasi, sinekdoke,
epos, dan alegori. Metafora itu bahasa kiasan yang mengumpamakan atau mengganti sesuatu hal dengan
tidak mempergunakan kata pembanding bagai, seperti, bak, dan sebagainya.Metonimi merupakan bahasa
kiasan yang digunakan dengan memakai nama atau ciri orang atau sesuatu barang untuk menyebutkan hal
yang bertautan dengannya.
Nafas Pertama
6
gemuruh ruh meluruh tubuh
1999
Dalam puisi tersebut terdapat “gelembung yang sungguh luas namun terbatas” merupakan lambang dari
keterbatasan, sepertinya terlihat bebas namun sebenarnya gerak-geriknya terbatas. Seperti bayi yang masih
berada dalam rahim.
Metafora. Misalnya, “hidup adalah napasmu” maksudnya hidup seseorang bergantung pada setiap
hembusan napas, “dinding jantung” maksudnya jantung manusia.
Dalam puisi untuk memberi gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang khusus untuk
membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan dan juga untuk menarik perhatian, penyair
juga memberikan gambaran angan/pikiran (citraan).
Citra penglihatan contohnya : “aku mengembara tanpa rupa”, “terkurung di dalam gelembung”
Citra gerak contohnya: “kautiup aku ke rongga bola kaca”, “napasmu menjelma”, “napasmu nyusup,
“dipantulkan dinding jantungku”, “dibisiki denyutmu.”
Citra pendengaran contohnya : “gemuruh ruh”
Penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa ditujukan untuk membentuk
kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Riffaterre (1978:2) mengemukakan bahwa
7
penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu pertama oleh ambiguitas, kedua oleh kontradiksi, dan
ketiga oleh nonsense.
Pertama, ambiguitas disebabkan oleh bahasa sastra itu berarti ganda (polyinterpretable), lebih-lebih
bahasa puisi. Kegandaan arti itu dapat berupa kegandaan arti sebuah kata, frase ataupun kalimat.
Kedua, kontradiksi berarti mengandung pertentangan disebabkan oleh paradoks dan atau ironi. Paradoks
merupakan suatu pernyataan yang berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat
umum, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya mengandung suatu kebenaran, sedangkan ironi
menyatakan sesuatu secara berkebalikan, biasanya untuk mengejek atau menyindir suatu keadaan.
Ketiga, nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti sebab hanya berupa
rangkaian bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, puisi nonsense itu memiliki makna. Makna itu
timbul karena adanya konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Nonsense berfungsi untuk menimbulkan
kekuatan gaib atau magis, untuk mempengaruhi dunia gaib. Nonsense banyak terdapat dalam puisi mantra
atau puisi yang bergaya mantra.
(a) Ambiguitas
Ambiguitas ini disebabkan oleh bahasa sastra itu bermakna ganda (polyinterpretable), apalagi di dalam
puisi. Ambiguitas ini dapat berupa kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal ini disebabkan oleh sifat puisi
yang berupa pemadatan.
Analisis Puisi :
juntaian bunga api, bilur fajar pagi, dan kilau cahaya galaksi
8
menyentuh ulu hatiku dengan sisa kenangan, seperempat abad silam :
Di lereng tebing ruhaniku, serpihan masa kanak-kanak itu melukiskan gelombang tangis nyeri pada gari,
doa-doa para sufi beterbangan. meniti tangga-tangga dan pintu langit ampunanmu
tapi seperti Ibrahim, aku masih menemukan isyarat dan getar rahasia
juga semenanjung karang, perahu para perusuh yang datang dari jauh
kelak melumuri separoh kota menjadi kilang minyak, kau seduh dengan gembira
dan menyekapku di tengah kepulauan negeri, dihujani arak serta ledakan perang?
kini, kulupakan kenangan seperempat abad silam masa kanak-kanak yang syahdu:
peisisir bendungan dengan tanah segar, laut ganggang dan mendung bagai salju
Semuanya berakhir: para pemimpin memaksa jalan pikiranku menjadi serdadu dan…
Cirebon, 1999-2000
Dalam puisi, sebuah kata tidak hanya mengandung aspek denotasi, bukan hanya berisi arti yang
ditunjuk saja, masih ada arti tambahannya yang ditimbulkan oleh asosiasi-asosiasi yang keluar dari
denotasinya. Misalnya, penyair lebih memilih kata “serdadu” daripada tentara, kata “pematang tubuhku”
dinilai penyair lebih apik daripada kata badanku. Frasa “kilau cahaya galaksi” dinilai lebih bermakna
9
daripada kata cahaya langit. “bunga api” labih bagus daripada percikan api. Selain itu “alunan dzikir” dinilai
lebih mengena daripada suara dzikir.
Baris kalimat yang mempunyai tugas ganda : meghubungkan bagian yang mendahuluinya dan bagian
berikutnya atau bagian yang mengikutinya (Suharianto, 2009 : 30 ). Dalam puisi tersebut ada baris yang
berupa kalimat atau kata yang masih merupakan kelanjutan dari baris sebelumnya, namun dipisah dalam
baris yang berbeda. Hal tersebut dilakukan karena untuk menonjolkan makna yang ada dalam setiap baris
tersebut.
Contoh :
(b) Kontradiksi
Seringkali puisi itu menyatakan sesuatu secara kebalikannya. Hal itu untuk membuat pembaca berpikir,
hingga pikiran pembaca terpusat pada apa yang dikatakan di dalam sajak. Kontradiksi atau pertentangan ini
disebabkan oleh paradoks dan ironi.
Analisis Puisi :
SUJUD
Mustofa Bisri
Pasrah
Sumringah
dan indah
Begitu pongah
Minta sajadah
tanah
menyembah bapakmu
10
Dengan congkak
Lahan pemanjaan
Yang menyusuimu
Menuju keabadian?
Ratakan keningmu
Latakan heningmu
Tanahkan wajahmu
Pasrahkan jiwamu
Alloh membelaimu
Paradoks mengandung arti bertentangan, seperti tampak pada bait pertama, baris /bagaimana kau
hendak bersujud/ pasrah/ sedang wajahmu yang bersih/ sumringah/ begitu pongah/ minta sajadah/ agar tak
menyentuk tanah/. Seseorang yang mau bersujud tetapi minta tidak menyentuh tanah. Selanjutnya pada bait
11
kedua, penyair menyindir dengan pertanyaan yang di dalamnya berisi pernyataan-pernyataan iblis yang
tidak mau bersujud kepada Adam (Iblis menolak perintah Alloh). Selanjutnya, pada bait ketiga, penyair
mengingatkan kepada pembaca /apakah kau lupa/ bahwa tanah adalah bapak/ dari mana ibumu dilahirkan/
tanah adalah ibu/ yang menyusuimu/ dan seterusnya.
(c) Nonsense
Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab hanya berupa rangkaian
bunyi, tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi, di dalam karya sastra, nonsense itu tetap bermakna dalam
arti memiliki makna berdasarkan konvensi sastra, misalnya konvensi mantra. Digunakan kata-kata yang
bernonsense itu ditujukan untuk menimbulkan kekuatan gaib atau magis, berhubungan dengan dunia mistik,
bisa juga disebut puisi sufistik.
Analisis Puisi :
AMUK
aku depan
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot
mencari pot
pot
Izukalizu
Mapakazaba itasatali
tutulita
12
tutukaliba dekodega zamzam logotokoco
Kata-kata seperti pot, izukalizu, mapakazaba, itasatali, tutulita, papaliko arukabazaku kodega
zuzukalibu, dan seterusnya adalah contoh kata-kata yang nonsense. Di sinilah terjadinya penyimpangan arti
tersebut.
Penciptaan arti merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk visual yang secara linguistik tidak
mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna dalam sajak (dalam karya sastra). Jadi, penciptaan arti ini
merupakan pengorganisasian teks di luar linguistik. Termasuk di dalam penciptaan arti ini adalah pembaitan,
enjambement, persajakan (rima), tipografi, dan homologues. Pembaitan adalah pengaturan bait-bait;
Enjambement bermakna pemenggalan kata-kata pada baris yang berbeda; Rima dimaksudkan sebagai
pengaturan bunyi pada akhir baris; Tipografi berarti penyusunan baris-baris dalam keseluruhan sajak;
Homologues adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar (misalnya pada pantun).
Ngung Cak
Karya Danarto
Ng
Ngung
ngung ngung
13
cak cak cak
cak cak
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst
kIst kIst
kIst
Dalam puisi Ngung Cak karya Danarto, terdapat persamaan konsonan yaitu Aliterasi [ng] pada bait
Ngung ngung ngung ngung ngung.
Aliterasi [c] dan [k] pada larik Cak cak cak cak cak cak.
Selain aliterasi, juga terdapat asonansi yaitu persamaan vocal yaitu asonansi [u] pada bait
Asonansi [a] pada larik Cak cak cak cak cak cak
Puisi Ngung Cak memiliki kode-kode leksikal yang sulit untuk dipahami secara gamblang. Hal ini
dikarenakan puisi tipografi ini hanya terdiri dari 3 kata saja yaitu ngung cak dan Klst. Dan ketiga kata
tersebut bukan merupakan kata yang memiliki arti, ketiganya hanya ujaran bunyi. Untuk membantu
memahami kode-kode leksikal maka dijabarkan sebagai berikut :
(1) ngung berarti tiruan bunyi sesuatu yang berdengung. Dalam puisi ngung cak terdapat 2 ngung yang
berbeda, “ngung” dan “Ngung” dalam penulisan EYD Bahasa Indonesia huruf capital diawal kata berfungsi
sebagai ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan kitab suci. Selain itu juga sering digunakan
sebagai nama gelar kehormatan, keturunan dan keagamaan yang diikuti nama orang.
(2) cak didalam kamus Bahasa Indonesia edisi ketiga Balai Pustaka disebutkan bahwa cak berarti tiruan
bunyi mengecap makanan, ukuran sebesar lengkungan ujung jari kedua belah tangan dan cak juga berarti
tarian yang berlatar cerita Ramayana, dilakukan oleh puluhan orang laki-laki bertelanjang dada yang
berperan sebagai pasukan kera yang menyuarakan bunyi “cak”, “cak” sepanjang pertunjukan kecak. Cak
14
pada puisi ngung cak ini menggunakan kode leksikal ketiga yaitu cak pada tari kecak yang merupakan
symbol kebaktian manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cak yang berulang-ulang dalam puisi merupakan
makna dan perulangan bunyi yang ada di tari Kecak.
Jika ditinjau dari segi prakmatiknya ada sesuatu makna yang ingin disampaikan dalam tiga kata yang
dirangkai. Sebagai pengapresiasi atau pembaca awal puisi tersebut, maka dengan segera akan timbul
pemikiran bahwa puisi tersebut serupa dengan tari Kecak. Dalam hal ini maka pengapresiasi menarik
kesimpulan bahwa pilihan kata cak Danarto dimaksudkan sama dengan makna pengucapan “cak cak” tari
Kecak yang digunakan sebagai tari ritual persembahan kepada Tuhan. Hal ini juga dapat dilihat dari susunan
penari yang melingkari satu pusat sambil memujanya.
Sedangkan ngung adalah bunyi berdengung yang bisa diapresiasikan sebagai doa yuang dipanjatkan
kepada Tuhan. Ngung yang berdengung karena suara yang berulang-ulang dan dalam waktu yang tidak
singkat sama seperti setelah menyaksikan pementasan tari Kecak, maka di telinga akan masih berdengung.
Dapat pula diimplementasikan ketika manusia tak henti berdoa dan doa itu sampai kepada Tuhan. Danarto
membuat makna Tuhan dengan kode di bait 1, dengan hanya menuliskan satu kata “Ng” bertanda Tuhan itu
hanya satu.
Klst merupakan kata yang belum diketahui makna sebenarnya ataupun maksud Danarto memilih empat
huruf yang dirangkai, dan dua huruf diantaranya saling berdekatan sesuai abjad. Dalam puisi pengapresiasi
memaknainya sebagai manusia (dilihat dari bagian tipografi yang berada di bawah) dan mengingat juga
bahwa puisi ini tentang hubungan manusia selalu berada di bawah kekuasaan Tuhan.
Bentuk puisi yang dibuat Danarto menyerupai layang-layang putus tidak dibuat begitu saja tanpa
maksud. Danarto ingin menyampaikannya dalam bentuk sedemikian rupa untuk lebih menciptakan makna
dan suasana tertentu.
Puisi Ngung Cak terdiri dari rima sempurna yang pengulangan bunyi terjadi apabila bunyi vocal,
diftong, dan konsonan yang mengikutinya memiliki kesamaan bunyi atau seluruh suku akhirannya sama
bunyinya. Rima sempurna juga bisa dikatakan rima penuh. “Ngung ngung ngung”, “cak cak”, “Klst” vokal,
diftong dan konsonan sama persis setiap lariknya.
Penulisan tipografi, pada puisi Ngung Cak karya Danarto ini memang lebih ditekankan pada bentuk
pemilihan kode leksikal dan bentuk tipografinya, sehingga dengan terdapat tiga kata “ngung”, “cak” dan
“klst”, maka tidak ditemukan majas, citraan, dan hal-hal yang berkaitan dengan pemaknaan secara tersurat.
B. Analisis Semiotik
Awal kemunculan kajian ranah semiotika dimulai pada abad ke 20. Kemunculannya dikarenakan oleh
stagnasi sturturalisme dikalangan pegiat sastra. Oleh karena itu, para penikmat dan pemerhati sastra
mendalami semiotika untuk mengenalkan tanda-tanda yang ada pada puisi. Perkembangan semiotika
dimulai sejak zaman romawi hingga zaman modern seperti sekarang ini.
Mempelajari semiotika sastra berarti kita mempelajari bahasa yang merupakan sistem komunikasi
manusia. Jadi ketika kita mempelajari bahasa, kita akan bersinggungan dengan semiotika, begitupun
15
sebaliknya. Selain itu, ketika kita belajar sastra kitapun akan menemukan penanda pada karya tersebut,
penanda itu bisa berupa penciptaan makna, pergantian makna, hiprogram atau hereumatika. Penanda-
penanda tersebut bisa ditemukan pada semua karya sastra, terutama sajak atau puisi.
Dalam semiotika dibahas secara mendalam penanda dan pertanda sebuah puisi yang ditelaah dari tataran
bahasa atau maknanya. Puisi yang indah selalu meyelipkan makna pada setiap kata, kalimat atau baitnya.
Tanda-tanda itulah yang mengarahkan pembaca menafsirkan sendiri pemaham tentang puisi yang dibacanya.
Penanda dari segi tataran bahasa biasanya bersifat denotatif tidak menimbulkan pengertian lain atau
makna lain. Kata itu sudah memiliki arti yang sebenarnya. Sedangkan dari segi makna, seluruh kata yang
digunakan dalam puisi memiliki makna lain yang perlu diterjemahkan atau dipahami sendiri oleh pembaca.
Makna itu tercipta dari setiap diksi, majas, kata konkret, dan pengimajian yang digunakan pada puisi.
berdasarkan esensinya tanda-tanda yang terdapat pada sebuah karya sastra tidak terbatas pada kata-kata atau
teks tertulis saja, namun tanda-tanda tersebut sangat luas tergantung pemahaman penikmat sastra,
pemahaman makna sebuah puisi setiap individunya bisa berbeda-beda, tergantung dari pikiran dan daya
tangkap pembacanya serta cara menilai sastra dari sudut pandang yang sesuai dengan prespektif sendiri.
Oleh karena itu, pendekatan semiotik dalam puisi akan memperjelas makna yang selama ini menjadi
tanda-tanda dalam eskpresi seorang penyair. Sejalan dengan hal itu, maka dalam mengkaji karya sastra harus
disadari secara utuh bahwa karya sastra pada dasarnya memiliki kecendrungan pemaknaan yang berbeda,
Faruk menyebut karya sastra sebagai sistem tanda (2012: 93). Untuk itu, pengkajian puisi adalah proses
pemaknaan yang tidak berhenti pada kata yang diterjemahkan dengan kamus, namun mencarinya 101 dalam
tanda-tanda lain yang terdapat dalam lingkungan agama, sosial, dan budaya masyarakat. Untuk memaknai
tanda-tanda tersebut, harus dipahami bahwa setiap teks yang disampaikan oleh penyair di dalam puisinya,
harus dimaknai dengan dua cara, yaitu maksud yang ingin disampaikan oleh kalimat dan oleh penyair.
Hal ini yang ditegaskan oleh Riceour, bahwa dalam memaknai kalimat, tidak hanya berkaitan dengan
apa yang diinginkan oleh pembicara, namun juga berkaitan dengan kalimat. Semiotika adalah suatu disiplin
ilmu dan metode analisis untuk mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada suatu objek untuk diketahui makna
yang terkandung dalam objek tersebut. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri dan makna
adalah hubungan antara sesuatu objek atau ide dari sesuatu tanda.
1. Jenis-Jenis Semiotika
Menurut Hoed (dalam Sobur, 2006:15), terdapat dua jenis kajian semiotika, yaitu sebagai berikut:
a. Semiotika komunikasi
Semiotika komunikasi menekankan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu diantara nya
mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda),
pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).
b. Semiotika signifikasi
Semiotika signifikasi menekankan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu.
Pada jenis yang kedua ini tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi sebaliknya yang di utamakan
16
adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih di perhatikan
daripada proses komunikasinya.
Sedangkan menurut Pateda (2001:29), terdapat sembilan macam semiotik yaitu sebagai berikut:
1. Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda. Semiotik berobjekan tanda dan
penganalisisnya menjadi ide, objek, dan makna. Ide dapat dikaitkan sebagai lambang, sedangkan
makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami
sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya,
langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga
sekarang tetap saja seperti itu. Demikian pula jika ombak memutih di tengah laut, itu menandakan
bahwa laut berombak besar. Namun, dengan majunya ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, telah
banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.
3. Semiotik faunal (Zoo Semiotik), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang
dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya,
tetapi juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam
betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti.
Tanda-tanda yang dihasilkan oleh hewan seperti ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam
bidang semiotik faunal.
4. Semiotik kultural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam
kebudayaan tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem
budaya tertentu yang telah turun temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam
masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yang
membedakannya dengan masyarakat yang lain.
5. Semiotik naratif, yaitu semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan
cerita lisan (Folklore). Telah diketahui bahwa mitos dan cerita lisan, ada diantaranya memiliki nilai
kultural tinggi.
6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Air
sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu
gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya
memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.
7. Semiotik normatif, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia
yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas. Di ruang kereta api sering dijumpai
tanda yang bermakna dilarang merokok.
8. Semiotik sosial, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia
yang berwujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun lambang berwujud kata dalam satuan
yang disebut kalimat. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah sistem tanda yang terdapat dalam
bahasa.
9. Semiotik struktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan
melalui struktur bahasa
17
Bulan menyebarkan aroma berahi
dari tubuhnya.
yang gemetaran.
18
hanyut di langit
a. Pergantian Makna
Pada baris pertama kita dapat membaca kalimat “Bulan menyebarkan aroma berahi dari tubuhnya”
kalimat tersebut telah mengalami pergantian makna, kalimat itu bermakna jika seorang wanita telah
membuat seorang pria tergoda oleh paras cantiknya. Pada kata bulan yang merupakan kata konkret
menyimbolkan seorang wanita cantik, sedangkan kata berahi menurut KBBI edisi ke IV (Departemen
Pendidikan Nasional, 2008) memiliki pengertian perasaan cinta yang tumbuh antara pria dan wanita.
Selanjutnya baris dua kata itu merupakan kalimat puitis yang Rendra tulis dalam puisinya. Tapi baris tiga
“seekor kucing jantan mengerang dengan suara ajaib” kucing jantan disimbolkan seorang laki-laki, jadi
makna keseluruhan baris itu ialah seorang pria yang bersedihan dan kecewa namun pria itu berupaya
merahasiakannya. Lalu kesedihan seorang pria diperjelas di baris selanjutnya, yaitu baris ke empat
“mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan” artinya pria itu bersedih karena ketidakmampuannya
mengucapkan perasaan yang sedang dia rasakan atau perasaan itu dia pendam sendiri. Pada baris kelima
“Dan, Ma, aku meraih sukmamu” dan baris keenam “Yang jauh dari jangkauanku” memperjelas kembali
bahwa pria itu bersedih karena tidak bisa mengungkapkan perasaanya kepada orang yang dia kasihi.
Baris ketujuh dan delapan merupakan kalimat puitis yang diungkapkan oleh Rendra, sedangkan pada baris
kesembilan dan sepuluh mengalami pembentukan makna. Pada baris kesembilan “Rindu mengarungi senin,
selasa, rabu dan seluruh minggu” pada baris ini memiliki makna bahwa setiap hari orang tersebut
merasakan rindu. Pada baris kesepuluh kita menemui kata “air liur langit” makna dari kata tersebut adalah
hujan yang terjatuh dari langit.
b. Penciptaan Makna
(Purwati., Rosdiani, R., Lestari, RD., & Firmansyah, n.d.) sebuah karya sastra yang diciptakan telah
melalui proses pengimajinasian penyajak ketika proses berpikir kreatif. Pada penciptaan makna sebuah puisi
akan mengubah sebuah kata yang memiliki arti sebenarmya (denotasi) menjadi kata yang mempunyai arti
yang bukan sebenarnya (konotasi). Pada penciptaan makna ini biasanya penyair memilih diksi-diksi yang
jarang digunakan oleh kebanyakan orang, dari diksi itulah puisi menjadi indah dan banyak mengandung
makna. Pada saat Rendra menciptakan puisi ini terdapat beberapa pengulangan bunyi, pada bait ketiga
pengulangan bunyi “r” pada bait ke 18 dan 19. Pengulang bunyi itu memberikan bunyi efoni. (Pradopo,
2012) efoni yaitu gabungan bunyi yang merdu dan indah.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketidaklangsungan ekspresi itu menurut Riffaterre (1978:2) disebabkan oleh tiga hal, yaitu penggantian
arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning), dan penciptaan arti (creating of
meaning). Ketiga jenis ketidaklangsungan ini jelas-jelas akan mengancam representasi kenyataan atau apa
yang disebut dengan mimesis.
Semiotika adalah suatu disiplin ilmu dan metode analisis untuk mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada
suatu objek untuk diketahui makna yang terkandung dalam objek tersebut. Suatu tanda menandakan sesuatu
selain dirinya sendiri dan makna adalah hubungan antara sesuatu objek atau ide dari sesuatu tanda.
B. Saran
Sebaiknya kita memahami tentang Teori dan Apresiasi Puisi, pemahaman bahan ajar ini akan membantu
kita dalam menentukan strategi pembelajaran yang sesuai dengan perkembangan pendidikan sehingga akan
tercapai hasil belajar yang optimal.
20
DAFTAR PUSTAKA
Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan
Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Danesi, Marcel. 2011. Pesan, Tanda, dan Makna Teori Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori
Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Pradopo, Rahmat Joko. “Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya Dalam Pemaknaan Sastra.”
Humainiora, No. 10, Januari-April 1999., hlm. 76.
21