Anda di halaman 1dari 193

ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN

DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN


KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

SKRIPSI

Oleh:
TUTUT DWI HANDAYANI
K1206041

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN
DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
KARYA ABIDAH EL KHALIEQY

Oleh:
TUTUT DWI HANDAYANI
K1206041

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

ii
PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji


Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.

Surakarta, Mei 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Budi Setiawan, M. Pd. Sri Hastuti, S. S., M. Pd.


NIP 19610524 198901 1001 NIP 19690628 200312 2001

iii
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas


Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : 18 Mei 2010


Tanggal : Selasa

Tim Penguji Skripsi


Nama Terang tanda tangan
Ketua : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. _________
Sekretaris : Dra. Suharyanti, M. Hum. __________
Anggota I : Dr. Budi Setiawan, M. Pd. _________
Anggota II : Sri Hastuti, S. S., M. Pd. __________

Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan

Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.


NIP 19600727 198702 1001

iv
ABSTRAK

Tutut Dwi Handayani. ANALISIS NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK


PESANTREN DALAM NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
KARYA ABIDAH EL KHALIEQY, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei. 2010.

Tujuan penelitian adalah: (1) mengetahui dan mendeskripsikan proses


kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan
Berkalung Sorban; (2) mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultur pondok
pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban; (3) mengetahui relevansi
nilai-nilai kultur pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban jika
digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA; dan (4)
mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra karena
penelitian berfokus pada resepsi pembaca terhadap karya sastra. Penelitian
dilakukan di Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan
Kabupaten Rembang. Narasumber berasal dari pengurus dan santri yang sedang
belajar di sana. Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis dokumen
dan teknik libat cakap (wawancara) dengan narasumber dengan menggunakan
handphone sebagai alatnya. Teknik cuplikan yang digunakan adalah metode
purposive sampling. Pemilihan sampel diarahkan pada sumber data yang
dipandang memiliki data yang paling erat berkaitan dengan permasalahan yang
sedang diteliti.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: (1) Proses kreatif
penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban adalah adanya keinginan dari
penulis untuk mensosialisasikan hak-hak reproduksi yang harus diketahui oleh
perempuan. Penulisan novel ini dilakukan dengan kerjasama dengan Yayasan
Kesejahteraan Fatayat (YKF). (2) Pondok pesantren yang dijadikan latar dalam
novel ini adalah pondok pesantren tradisional (salafi) yang masih kental dengan
ajaran kitab kuning. Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan
Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang
sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Nilai-
nilai yang kental terdapat dalam novel tersebut adalah kesamaan hak antara laki-
laki dan perempuan. (3) Novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan
sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA karena isu dan kearifan
lokal yang dimilikinya. (4) Novel ini menuai penilaian yang berbeda-beda dari
kalangan pembaca. Namun, layaknya sebuah karya sastra yang bernilai adalah
karya sastra yang mampu memberikan suatu hiburan sekaligus pendidikan (dulce
et utile) kehadiran novel Perempuan Berkalung Sorban juga diakui pembaca
mampu memberikan satu hal yang baru. Abidah El Khalieqy berani membuka hal-
hal yang sudah lama ditutup-tutupi dari kalangan pondok pesantren agar
masyarakat mengetahuinya.

Kata kunci: proses kreatif, kultur, pondok pesantren, resepsi sastra.

v
MOTTO

Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap.


Kalau tidak dia takkan menjadi apa-apa.
(Pramudya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.
Tetapi tidak berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.
(Kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia)

vi
PERSEMBAHAN

Kusuntingkan skripsi ini untuk:

1. Ibu-Bapak terkasih di rumah; anugerah


terbesar yang dihadiahkan Allah SWT
untukku.
2. Mak Ni; perempuan bermahkota mutiara.
Simbahku tersayang yang telah membuatku
merasa menjadi cucu tersayangnya.
3. Mbak Vivin, Mas Faruq, dan Dek Dian
tercinta; semangat yang selalu menyala dan
membuatku menjadi Adek dan Mbak yang
merasa dicinta.
4. Pemuda, pemilik senyum sederhana.
5. Mardiyah, Yusuf, dan Kris; sahabat-sahabat
kecilku, sahabat kehidupanku.
6. Kawan-kawanku di Lembaga Pers
Mahasiswa (LPM) Motivasi.
7. Bastind ’06; Terimakasih telah menjadi
teman dan memberi kenangan yang indah
selama di Solo.
8. Almamater; Kampus yang menempaku
menjadi manusia seutuhnya. Yang telah
memberiku gelar mahasiswa dan aku bangga
karenanya.

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………..…………...i
PERSETUJUAN…..………………......................……………….........................iii
PENGESAHAN......................................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
MOTTO..................................................................................................................vi
PERSEMBAHAN..................................................................................................vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………..…...viii
KATA PENGANTAR............................................................................................xi
DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Pembatasan Masalah ...................................................................................9
C. Perumusan Masalah.....................................................................................9
D. Tujuan Penelitian.........................................................................................9
E. Manfaat Penelitian.....................................................................................10

BAB II KAJIAN PUSTAKA


A. Landasan Teori...........................................................................................12
1. Hakikat Proses Kreatif.........................................................................12
2. Kebudayaan..........................................................................................14
a. Hakikat Kebudayaan......................................................................14
b. Unsur-unsur Kebudayaan...............................................................16
c. Perubahan Sosial Budaya...............................................................22
d. Bentuk-Bentuk perubahan Sosial Budaya......................................26
e. Penetrasi Kebudayaan....................................................................28
f. Cara Pandang Terhadap Kebudayaan............................................29

viii
g. Faktor Mental Bangsa Indonesia...................................................32
3. Pondok Pesantren.................................................................................33
a. Hakikat Pondok Pesantren.............................................................33
b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia................37
c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren.................................40
4. Hakikat Bahan Ajar.............................................................................41
a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik......................................................41
b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra...................................................47
c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan................................................50
5. Telaah Sastra.......................................................................................51
6. Sosiologi Sastra...................................................................................55
a. Resepsi Sastra...............................................................................60
b. Kritik Sastra..................................................................................62
7. Profil Abidah El Khalieqy..................................................................69
B. Penelitian yang Relevan...........................................................................70
C. Kerangka Berpikir....................................................................................71

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Waktu dan Tempat Penelitian..................................................................73
B. Bentuk dan Strategi Penelitian.................................................................74
C. Bentuk dan Sumber Data.........................................................................74
D. Teknik Pengumpulan Data.......................................................................76
E. Teknik Cuplikan.......................................................................................77
F. Validitas Data...........................................................................................77
G. Analisis Data............................................................................................78

BAB IV HASIL PENELITIAN


A. Deskripsi Data…………………………………………………………..81
B. Analisis Unsur Intrinsik Novel Perempuan Berkalung Sorban………...82
1. Tema………………………………………………………………...82
2. Tokoh dan Penokohan………………………………………………86

ix
3. Latar (Setting)……………………………………………………….107
4. Alur (Plot)…………………………………………………………..112
5. Sudut Pandang…...………………………………………………….120
6. Amanat…………...…………………………………………………120
7. Gaya Bahasa………………………………………………………...122
C. Proses Kreatif Novel Perempuan Berkalung Sorban…………………...123
D. Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung
Sorban…………………………………………………………………..130
E. Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal Novel Perempuan Berkalung Sorban
terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................136
F. Penilaian Pembaca terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban...….140

BAB V PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………………..144
B. Implikasi………………………………………………………………..146
C. Saran…………………………………………………………………….148

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................150


LAMPIRAN........................................................................................................153

x
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah
memberikan persetujuan skripsi;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dr. Budi Setiawan, M. Pd., selaku pembimbing I dan Sri Hastuti, S. S., M.
Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar;
5. Drs. H. Purwadi, Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan
selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UNS;
6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;
7. Abidah El Khalieqy, Penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban yang
berkenan untuk menjadi narasumber genetik atas novel tersebut;
8. Pengurus dan santri pondok pesantren Alquran, Narukan, Kragan, Rembang
yang bersedia membantu penulis sebagai narasumber penelitian skripsi ini;
9. Ibu, Bapak, Mak Ni, Mbak Vivin, Dek Dian, Mas Faruq dan saudara di rumah
yang senantiasa membuatku tersenyum dengan ikhlas. Kalian adalah semangat
yang selalu menyala;

xi
10. Heri Budiyawan Suryanto, pemilik senyum sederhana. Angin gunung telah
menunggumu!!! Seperti puncak-puncak gunung yang telah kau taklukkan,
wujudkan mimpi-mimpimu!!!
11. Rose, Irna, Dewi, Andi, Vandi, Lia, Ida, Mira, Dias, Yanti, Dwi, Doni, Rika,
Gancar, Dini, dan teman-teman Bastind 2006 yang menjadi satu kenangan
terindah dalam perjalanan hidup;
12. Mbak Nisa, Mbak Septi, Mas Nuno, Rika, Listyawati, Dhika, Listya Putri,
Tisna, Zulaihah, Kikis, Fitri, Hanif, Anjar, Jatmiko, Endah, Leoni, Duwi,
Mufti, Djoko, dan kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang membuatku
kuat dan membantuku menemukan hakikat diriku.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah
ilmu pengetahuan bagi para pembaca.

Surakarta, Mei 2010

Penulis

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun
1942 (Survai kantor Urusan Agama)......................................................38
Tabel 2. Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978 (Laporan
Departemen Agama RI)..........................................................................39
Tabel 3. Jadwal penelitian.....................................................................................74

xiii
DAFTAR GAMBAR

Bagan 1. Kriteria Umum Pemilihan Isi Kurikulum...............................................43


Bagan 2. Kerangka Berpikir...................................................................................72
Bagan 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman).................................................79

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban...............................153


Lampiran 2. Curriculum Vitae Abidah El Khalieqy............................................155
Lampiran 3. Wawancara dengan Abidah El Khalieqy…………………………158
Lampiran 4. Profil Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan………………..164
Lampiran 5. Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren…………………….170
Lampiran 6. Foto Wawancara…………………………………………………..175
Lampiran 7. Komentar Pembaca Terhadap Novel Perempuan Berkalung
Sorban…………………………………………………………….176
Lampiran 8. Contoh Silabus Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
kelas XI SMA.................................................................................178
Lampiran 8. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Tentang Izin Menyusun Skripsi/Makalah………………………..202
Lampiran 9. Permohonan Izin Menyusun Skripsi……………………………..203
Lampiran 10. Permohonan Izin Research/Try out untuk Rektor…………..…..204
Lampiran 11. Permohonan Izin Research/Try out untuk Pimpinan Pondok
Pesantren…………………………………………………………205

xv
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk
mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan
ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa
bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Berdiskusi perihal kebudayaan barangkali dapat dianggap sebagai suatu
perjalanan mental yang dalam. Tukar menukar pikiran yang hangat seringkali
terjadi untuk mencari definisi atau makna yang tepat untuk menjelaskan hakikat
kebudayaan. Diskusi dan pembicaraan yang bersentuhan langsung dengan dimensi
yang berhubungan dengan aspek kehidupan akan membuat diskusi tersbut
menjadi lebih dalam.
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat disepakati bahwa pembangunan
manusia dan masyarakat mengandung permasalahan kebudayaan. Kalau
pembangunan manusia dan masyarakat itu dapat diibaratkan sebagai transformasi,
maka proses transformasi tersebut tidak mungkin dapat lepas dari transformasi
kebudayaan. Dengan kata lain, pembangunan manusia dan masyarakat tidak
mungkin terjadi tanpa transformasi kebudayaan. Karena itulah kebudayaan perlu
dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan sesuatu yang terus berkembang.
Permasalahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat berkembang seperti
halnya Indonesia relatif jauh lebih rumit daripada yang ditemui di masyarakat-
masyarakat maju. Contoh sederhana saja adalah tradisi Jawa yang masih kental
dengan hal-hal yang berbau klenik yang membuat segala sesuatunya semakin
rumit. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya bersifat jamak atau multi yang
dipengaruhi oleh warna kebudayaan suku bangsa, nilai agama yang dianut,
kebudayaan asing atau bahkan persepsi yang dipengaruhi oleh ideologi bersama,
yakni Pancasila dan UUD 1945.

1
2

Adanya persepsi kebudayaan yang multi inilah yang menunjukkan kepada


kita bahwa masyarakat kita masih berada dalam taraf transformasi kebudayaan.
Dalam sebuah masyarakat atau bangsa yang sudah maju, masalah transformasi
kebudayaan boleh dikatakan berhasil mereka selesaikan sehingga mereka bisa
memiliki sebuah kebudayaan yang mantap dan mampu berkembang secara
dinamis (Alfian, 1985: 21).
Sedangkan di sisi lain, karya sastra sebagai salah satu produk sebuah
kebudayaan dapat dikatakan sebagai cerminan dari masyarakat tempat karya
sastra itu lahir. Sebuah penelitian yang membicarakan tentang maju tidaknya atau
tinggi rendahnya sebuah kebudayaan tidak hanya ditilik dari karya-karya atau
tulisan ilmiah yang dihasilkannya. Tetapi, penilaian tentang hal tersebut dapat
juga dilakukan dengan melihat karya-karya sastra yang dihasilkan oleh
masyarakat yang bersangkutan. Hal tersebut karena bahasa adalah satu unsur yag
tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suatu masyarakat. Bahasa adalah cermin
dari sebuah kultur masyarakat. Begitu sering diistilahkan.
Karena itulah, tidak perlu harus terjun masuk ke dalam masyarakat yang
bersangkutan untuk mengetahui kebudayaan suatu masyarakat. Penelitian dapat
dilakukan dengan cara menggali karya-karya fiksi, seperti buku-buku sastra atau
novel. Suatu hal yang dapat dimengerti bahwa karya sastra fiksi merupakan suatu
produk kehidupan yang banyak mengandung nilai-nilai sosial, politis, etika, religi,
filosofis. Seorang pengarang mempunyai banyak kemungkinan untuk dapat
mempengaruhi suatu kebudayaan masyarakat tertentu dibalik karya sastra yang
diciptakannya. Kemungkinan tersebut misalnya pengarang mengubah pola pikir
masyarakat. Sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dapat dimanfaatkan
untuk menumbuhkan sikap sosial yang mungkin atau bahkan untuk mencetuskan
peristiwa sosial tertentu.
Anggapan lain menyatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang indah
yang berasal dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Karya sastra dapat
mencerminkan masyarakat tempat karya tersebut dilahirkan. Karya sastra yang
baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan masyarakat di masa itu atau
paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk masyarakat penikmatnya,
3

baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa
menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan
dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat
ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan bahasa dalam pengungkapan karya sastra.
Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan
dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk
hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat
mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu
masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak
disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada
perkembangan sastra di Indonesia.
Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai
menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawan-
sastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar
Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko
Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya.
Dalam perkembangannya, nama Abidah Al Khalieqy merupakan satu
nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karya-
karya yang dihadirkannya, Abidah biasa melukis kisah wanita dengan aneka
perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di
negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul
Perempuan Berkalung Sorban diakui membuat para pembaca mampu mengetahui
sisi lain dari sebuah kehidupan dalam pesantren. Sebuah fakta yang kerap kali
disembunyikan di hadapan publik diungkap secara mendetail oleh Abidah dalam
novel tersebut. Karya tersebut membuat ia terpilih sebagai juara kedua dalam
acara sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kala
itu.
Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren
dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok
pesantren digunakaan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya.
Kebiasaan yang terjadi dalam sebuah pondok pesantren dapat digunakan sebagai
4

gambaran kebudayaan yang hadir di dalamnya. Hal tersebut karena sedikit banyak
kehidupan masyarakat kita masih banyak dipengaruhi oleh golongan santri yang
menimba ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren diakui sebagai tempat
penggemblengan manusia menjadi manusia yang lebih baik setelah mereka keluar
dari sebuah pondok pesantren. Pandangan bahwa lulusan dari pondok pesantren
akan mampu menjadi tokoh dan panutan dalam masyarakat kita masih mengakar
dalam paradigma masyarakat kita.
Layaknya sebuah komunitas masyarakat yang tidak dapat lari dari
perubahan. Komunitas pondok pesantren pun mengalami hal yang demikian. Jika
dahulu pondok pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan
ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan
memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah
bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia.
Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja. Yakni seberapa banyak pesantren
mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam
komunitasnya (Mayra Walsh, 2002).
Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri
yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Misalnya saja, ilmu-
ilmu keagamaan tradisional di pondk pesantren pada khususnya dipelajari dengan
media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi.
Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada
model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren.
Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi
juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan
sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan
yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat.
Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki
bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup
dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap
memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk
keperluan tertentu.
5

Di luar itu, kehidupan dalam pondok pesantren merupakan kehidupan


yang cenderung tertata dengan aneka ragam aturan di dalamnya. Pondok
pesantren yang dapat juga diidentifikasikan sebagai tempat menuntut ilmu
sekaligus tempat istirahat - bahkan makan - mengatur segala tata cara yang
dilakoni orang-orang yang hidup di dalamnya. Cara mereka makan, mandi,
mengaji, bersih-bersih, atau hal-hal kecil yang lain tidak lepas dari aturan yang
disorot oleh pengurus pondok pesantren. Aturan yang terkadang terlalu kolot dan
kuno - bagi beberapa pondok pesantren - membuat beberapa penulis memilih
keadaan tersebut sebagai salah satu sumber ide kreatif mereka untuk membuat
sebuah karya sastra yang layak dinikmati pembaca.
Sebagaimana diketahui bahwa karya sastra merupakan sebuah totalitas
yang dibangun oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra dapat
diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian
yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang
indah (Abrams, dalam Nurgiantoro 2002: 36). Strukturalisme memang sering
dipahami sebagai bentuk. Karya sastra adalah bentuk (Junus, dalam Endaraswara
2003: 49). Menurut Hawkes dalam Nurgiyantoro (2002: 37) strukturalisme pada
dasarnya dipandang sebagai cara berpikir tentang dunia kesastraan yang lebih
merupakan susunan hubungan daripada susunan benda.
Dengan demikian, kodrat setiap unsur dalam bagian sistem struktur itu
baru mempunyai makna setelah berada dalam hubungannya dengan unsur-unsur
yang lain yang terkandung di dalamnya. Karena itulah, secara umum analisis
struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar
berbagai unsur karya sastra, seperti halnya unsur eksternal berupa pengetahuan
dan pendidikan pengarang.
Dalam hal ini, Abidah Al Khalieqy menangkap peluang itu. Peluang untuk
membuat sebuah karya sastra yang layak dinikmati oleh pembaca. Dalam karya-
karya yang dibuatnya, Abidah sering menggunakan latar kehidupan pondok
pesantren sebagai setting novel yang dibuatnya. Latar belakang kehidupannya
yang juga berasal dari kalangan pondok pesantren jugalah yang diyakini sebagai
6

modal kuat baginya untuk menggambarkan kehidupan pondok pesantren dalam


sebuah karya sastra.
Beberapa karyanya merupakan karya yang mendapatkan predikat Best
Seller. Kemampuan menulisnya sudah mendapat pengakuan di antara penulis
sastra, terutama penulis wanita. Dalam karya-karya yang dihasilkannya, Abidah
sering mengangkat isu gender dengan latar kehidupan pondok pesantren atau
pendidikan Islam yang lain. Ini jugalah yang menimbulkan kontroversi pada
setiap hasil karya yang terbit atas namanya. Aneka ragam penilaian atas karya
yang dihasilkannya muncul ke permukaan setelah tulisannya sampai kepada para
penikmat sastra.
Penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi menjadi
wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah
diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah
karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau
pendidikan) penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif
sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat
sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati
publik.
Pada beberapa karya Abidah Al Khalieqy yang mampu menjuarai
beberapa sayembara sastra pun tidak lepas dari kontroversi semacam ini. Di luar
kontroversi tersebut, karya-karya sastra Abidah dinilai telah berhasil membuka
tabir tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Sekaligus juga
menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas
perempuan dalam pandangan Islam. Ahmadun Yosi Herfanda bahkan
menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novel-
novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami - bukan fiksi pop Islami
(Aning Ayu, 2009).
Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel yang berbingkai
feminisme. Persfektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya-
karya sastra yang ditulis perempuan sekaligus menampilkan tokoh perempuan
dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang
7

novel dari kacamata estetika, tetapi juga memfokuskan kajian pada makna dan
hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.
Selain itu, novel Perempuan Berkalung Sorban ditulis dengan
menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang
bernama Annisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan
bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Annisa, Perempuan
Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga,
ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh
ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban
telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang
terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis
maupun pragmatis.
Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah
berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami
perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi
dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan
tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan
konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan
tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial
tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk
melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat
patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga
mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap
masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar
tokoh itu berada.
Abidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai seorang santri yang
ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya
terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan
kecerdasannya pula, Annisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang
dianggap menyimpang dari nilai agama. Pada akhirnya, setelah Annisa keluar dari
8

pesantren ayahnya, dan menjadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, tak
putus-putusnya ia berusaha melakukan penafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis
sebagai sarana juang untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-laki.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kecenderungan pokok
untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut
dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh
pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan
untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana
cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi
kekuasaan patriarki yang dalam novel tersebut diwakili oleh dominasi kaum pria
di lingkungan pondok pesantren.
Setting yang dipilih inilah yang kemudian menghadirkan penilaian yang
melahirkan bermacam-macam kontroversi karena pembaca atau penikmat novel
tersebut disuguhi fenomena dan gambaran yang cukup berbeda dengan yag
selama ini diketahui oleh masyarakat awam. Novel tersebut menggambarkan
budaya pondok pesantren yang menempatkan wanita dalam posisi “yang menjadi
objek”. Satu hal yang bertentangan dengan Islam karena dalam ajarannya, Islam
menempatkan wanita dalam posisi yang mulia. Sejajar dengan kaum pria.
Beberapa kontroversi yang sempat hadir adalah kecaman yang hadir dari para kyai
atas hadirnya novel tersebut. Para Kyai di Jawa Timur menolak penggambaran
pondok pesantren seperti yang terdapat dalam novel. Kontroversi semakin
menajam ketika novel tersebut kemudian difilmkan ke dalam layar lebar.
Kecaman tersebut mengakibatkan film Perempuan Berkalung Sorban tidak
bertahan lama di bioskop. Pada minggu pertamanya, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) meminta semua pemilik bioskop untuk menurunkan film tersebut dari
penanyangannya.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji karya-
karya Abidah Al Khalieqy khususnya novel Perempuan Berkalung Surban yang
menuai cukup banyak kontroversi dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul
Analisis Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban Karya Abidah Al-Khaleqy.
9

B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi pada kajian novel Perempuan Berkalung
Sorban karya Abidah Al Khalieqy. Kajian akan dibatasi pada proses kreatif
penulis dalam penciptaan novel tersebut, penggambaran kultur atau budaya
pesantren oleh penulis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, relevansi
novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran
sastra di SMA, dan penilaian pembaca terhadap novel tersebut.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses kreatif Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel
Perempuan Berkalung Sorban?
2. Bagaimanakah nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran
sastra di SMA?
4. Bagaimana penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban?

D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al
Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban.
2. Mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban.
3. Mengetahui relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban jika digunakan sebagai media alternatif pembelajaran
sastra di SMA.
10

4. Mengetahui penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung


Sorban.

E. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Bagi peserta didik
Penelitian ini diharapkan akan membuat peserta didik semakin sadar dan
tertarik dengan pelajaran sastra yang ada di kelas. Sekaligus memotivasi
siswa untuk menunangkan ide kreatif mereka dalam karya sastra.
b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan
referensi untuk meningkatkan pemahaman peserta didik tentang
pembelajaran sastra di kelas.
c. Bagi kepala sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan
bagi kepala sekolah untuk membina guru sastra agar lebih kreatif dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat membuat kepala sekolah memperhatikan dan menambah sarana dan
prasarana serta media ajar dalam pembelajaran sastra.
d. Bagi pemegang kebijakan
Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu pertimbangan
bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kurikulum. Terutama
dalam kurikulum yang berhubungan dengan pengajaran sastra. Ini perlu
dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah menjadi satu hal yang bisa
mendapatkan porsi yang seimbang.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu referensi yang
dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra dalam segi analisis kultural sebuah
produk sastra. Sekaligus dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam hal
11

penilaian atau resepsi sastra bagi para penulis dan penikmat sastra. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan akan mendorong hadirnya penelitian sastra yang
baru yang akan lebih inovatif dan kreatif.
12

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Hakikat Proses Kreatif
Penulis dan sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway (dalam
Naning, 2006: 1) menyatakan bahwa menulis adalah petualangan (writing is
adventure). Pendapat ini didukung oleh para sastrawan Amerika Latin, Pablo
Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz dan sastrawati Afrika Selatan Nadine
Gordimer serta Milan Kundera, sastrawan Cheko. Petualangan yang dimaksud
bukan merupakan pengalaman raga melainkan paduan dari kekayaan batin dan
intelektual (materi dasar atau bahan tulisan), imajinasi (kreativitas dan
pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan ini kemudian
dirangkai menjadi suatu tulisan melalui suatu proses yang disebut proses kreatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „kreatif‟ diartikan: (1)
memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses
kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah
mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-
fiksi. Seseorang yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis
non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pada
umumnya sedikit pengarang yang menjadi penulis. Hambatan tersebut biasanya
terdapat pada kedalaman referensi yang harus dimiliki oleh seorang penulis
karena tulisan yang dibuat harus memiliki kadar ilmiah dan bersifat objektif.
Proses menulis memerlukan sebuah proses kreatif. Proses ini dimulai
dengan adanya ide yang berupa kekayaan batin dan intelektual sebagai bahan
tulisan. Sumber utama munculnya ide adalah bacaan, pergaulan, perjalanan
(traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun
dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan
mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan
sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki
proses kreatif menulis (Naning, 2006: 2).

12
13

Ide yang muncul berupa kakayaan intelektual atau bahkan yang berbentuk
seperti ilham bukan hasil ajaran atau karena mempelajari. Sitor Situmorang
(dalam Eneste, 1984: 19) menyatakan:
Tidak semua ilham jadi karya; ia bisa menumpuk untuk kemudian
tanpa diduga dan tanpa bisa direncanakan terlebih dahulu muncul di
kemudian hari, kadang-kadang setelah lewat bertahun-tahun; atau lenyap
sama sekali; atau menjadi bagian dari ide/ilham sastra yang lebih luas
cakupannya.
Si penyair tak bisa menentukan “saat”-nya, pun tidak memilih bentuk
untuk kemudian diisi dengan ide sastra (kecuali pada sajak pesanan – jenis
yang di luar pembicaraan). Di antara ilham atau gelombang ilham bisa
terbentang masa-antara dan masa menunggu yang pendek atau lama.

Wallace dalam bukunya The Art of Thought menyatakan bahwa proses


kreatif meliputi 4 tahap, yakni:
1. Tahap Persiapan, memperisapkan diri untuk memecahkan masalah dengan
mengumpulkan data/ informasi, mempelajari pola berpikir dari orang lain,
bertanya kepada orang lain.
2. Tahap Inkubasi, pada tahap ini pengumpulan informasi dihentikan,
individu melepaskan diri untuk sementara masalah tersebut. Ia tidak
memikirkan masalah tersebut secara sadar, tetapi “mengeramkannya‟
dalam alam pra sadar.
3. Tahap Iluminasi, tahap ini merupakan tahap timbulnya “insight” atau “Aha
Erlebnis”, saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru.
4. Tahap Verifikasi, tahap ini merupakan tahap pengujian ide atau kreasi baru
tersebut terhadap realitas. Disini diperlukan pemikiran kritis dan
konvergen. Proses divergensi (pemikiran kreatif) harus diikuti proses
konvergensi (pemikiran kritis).

Proses kreatif bersifat individual. Proses kreatif ini terkadang membuat


penulis atau pengarang menjadi pribadi yang lepas dari dunia di luarnya.
Pramudya Ananta Toer (dalam Eneste, 1984: 54) menjelaskan:
Proses kreatif adalah semata-mata bersifat individual, yang bisa terjadi
hanya setelah terbentuk mistikum sebagai condition sine quo non. Mistikum,
kebebasan pribadi yang sangat padat (condensed), yang melepaskan pribadi
dari dunia di luarnya, yang membikin pribadi tidak terjamah oleh kekuasaan
waktu, suatu kondisi di mana yang ada hanya sang pribadi dalam hubungan
antara kawula dengan Gusti dengan bukti kegustiannya, tertampillah sang
kreator dengan Kreator melalui pernyataan-pernyataannya. Dan maaf saja,
karena ini pengalaman yang sangat individual sifatnya, maka tak
membutuhkan pembenaran orang lain. Dan setelah permintaan maaf, yang
juga merupakan bagian tak terpisahkan atas keterangan yang sangat pribadi,
14

baru dapat dipisahkan si kreator, si individu, si daif itu, sebagai matahri yang
memungkinkan bekerjanya mekanisme kreatif. Dan hanya ada dua mcam
kreasi saja: pertama melalui pernyataan alami oleh Sang Kreator dan
pernyataan manusiawi melalui si kreator.

2. Kebudayaan
a. Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.
Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang
kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang
dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi ternyata definisi-definisi
tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang
berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan
ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme.
Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk
mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan
ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa
bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Secara
etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah”
yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat,
2003: 73). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Namun, ada sarjana lain yang menyatakan bahwa
kebudayaan berasal dari kata budi-daya karena itu ia membedakan antara budaya
dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan
karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri.
Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72).
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
15

sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan


perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
Pengertian tersebut merupakan sebagian kecil dari defenisi kebudayaan
yang dikemukakan oleh para ahli yang berasal dari berbagai disiplin ilmu. Adapun
yang mengumpulkan defenisi kebudayaan dari berbagai ahli tersebut adalah A. L
Kroeber dan C. Kluckhohn yang berhasil mengumpulkan 160 defenisi
kebudayaan menurut para ahli.
Kebudayaan bersifat dinamis, selalu berkembang seiring dengan
berjalannya waktu. Terjadi penyempurnaan yang dilakukan untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan zaman. Semakin bertambahnya
tantangan hidup manusia dari waktu ke waktu maka kebutuhan untuk mengatasi
tantangan tersebut akan terus berkembang. Misalnya dalam kehidupan manusia
terjadi proses perubahan dari waktu zaman batu - zaman perunggu dan besi -
zaman modern. Berkembangnya kebudayaan tidak terlepas dari berkembangnya
ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat
mempengaruhi perkembangan kebudayaan.
Kebudayaan disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang
bersifat kognitif, normatif, dan material. Dalam memandang kebudayaan, orang
sering kali terjebak dalam sifat chauvinisme yaitu membanggakan kebudayaannya
sendiri dan menganggap rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami
kebudayaan kita berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif,
universal, dan counterculture.
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub-kebudayaan (atau biasa
disebut sub-kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan
dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-
kultur disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya karena perbedaan umur, ras,
etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.
16

Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadapan dengan


imigran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih
masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan
kebudayaan minoritas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari
penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe
pemerintahan yang berkuasa.
1) Monokulturalisme: Pemerintah mengusahakan terjadinya asimilasi
kebudayaan sehingga masyarakat yang berbeda kebudayaan menjadi satu dan
saling bekerja sama.
2) Leitkultur (kebudayaan inti): Sebuah model yang dikembangkan oleh Bassam
Tibi di Jerman. Dalam Leitkultur, kelompok minoritas dapat menjaga dan
mengembangkan kebudayaannya sendiri, tanpa bertentangan dengan
kebudayaan induk yang ada dalam masyarakat asli.
3) Melting Pot: Kebudayaan imigran/asing berbaur dan bergabung dengan
kebudayaan asli tanpa campur tangan pemerintah.
4) Multikulturalisme: Sebuah kebijakan yang mengharuskan imigran dan
kelompok minoritas untuk menjaga kebudayaan mereka masing-masing dan
berinteraksi secara damai dengan kebudayaan induk.

b. Unsur-unsur Kebudayaan
Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda
dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut
terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing
kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Tujuh unsur
kebudayaan universal” (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2003: 81). Adapun
ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :
1) Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun
gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau
kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat
17

menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan
sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum
dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk
berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi
sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan
hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

2) Sistem Pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki
oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-
percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
(a) pengetahuan tentang alam
(b) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
(c) pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah
laku sesama manusia
(d) pengetahuan tentang ruang dan waktu

3) Sistem religi
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia
dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat
terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi
dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu
bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan
kepada penguasa alam semesta.
18

Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan


kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin
religare, yang berarti “menambatkan”), adalah sebuah unsur kebudayaan yang
penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion
(Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut: “... sebuah
institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk
beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait
dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan
sejati”.
Agama biasanya memiliki suatu prinsip, seperti “10 Firman” dalam agama
Kristen atau “5 rukun Islam” dalam agama Islam. Kadang-kadang agama
dilibatkan dalam sistem pemerintahan, seperti misalnya dalam sistem teokrasi.
Agama juga mempengaruhi kesenian.
(a) Agama Samawi
Agama Samawi atau agama Abrahamik meliputi Islam, Kristen (Protestan
dan Katolik) dan Yahudi.
(1) Agama Yahudi
Yahudi adalah salah satu agama yang - jika tidak disebut sebagai yang
pertama - tercatat sebagai agama monotheistik dan salah satu agama tertua
yang masih ada sampai sekarang. Nilai-nilai dan sejarah umat Yahudi
adalah bagian utama dari agama Ibrahim lainnya, seperti Kristen dan
Islam.
(2) Agama Kristen
Kristen adalah salah satu agama penting yang berhasil mengubah
wajah kebudayaan Eropa dalam 1.700 tahun terakhir. Pemikiran para filsuf
modern pun banyak terpengaruh oleh para filsuf Kristen semacam St.
Thomas Aquinas dan Erasmus.
(3) Agama Islam
Islam adalah agama tertua di dunia, agama ini merupakan sumber dari
beberapa agama yang pada prosesnya berubah menjadi beberapa agama.
Agama Islam merupakan agama monotheime/atau monotheistik pertama
19

dan tertua. Agama lain merupakan modifikasi manusia dari agama islam.
kita bisa lihat dari perkembangan agama dari nabi-nabi terdahulu. Agama
Islam hanya mengenal satu Tuhan yaitu Allah. Dan semua Nabi dan Rasul,
dari Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh,Ibrahim,Luth, Ismail, Ishak,
Yakub, Yusuf, Ayyub, Syueb, Musa, Harun, dzulkifli, Daud, Sulaiman,
Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan para nabi serta rasul lainnya sampai Nabi
terakhir yaitu Muhammad saw mengakui bahwa “Tidak ada Tuhan selain
Allah”.
Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa
terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia
dan lain-lain oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan
diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang
eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat. Sementara itu, nilai dan
norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan
Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara.
Pada masyarakat Jawa, biasanya mereka membedakan orang santri
dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah
orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka
tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam.
Misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di
dalam masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada
golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang
bersifa kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas,
sedangkan di lain daerah orang bergama kejawen-lah yang dominan
(Koentaraningrat, 1999: 344).

(b) Filosofi dan Agama dari Timur


Filosopi dan Agama seringkali saling terkait satu sama lain pada
kebudayaan Asia. Agama dan filosofi di Asia kebanyakan berasal dari India dan
China dan menyebar disepanjang benua Asia melalui difusi kebudayaan dan
migrasi.
20

Hinduisme adalah sumber dari Buddhisme, cabang Mahāyāna yang


menyebar di sepanjang utara dan timur India sampai Tibet, China, Mongolia,
Jepang dan Korea dan China selatan sampai Vietnam. Theravāda Buddhisme
menyebar di sekitar Asia Tenggara, termasuk Sri Lanka, bagian barat laut China,
Kamboja, Laos, Myanmar, dan Thailand. Agama Hindu dari India mengajarkan
pentingnya elemen non-materi sementara sebuah pemikiran India lainnya,
Carvaka, menekankan untuk mencari kenikmatan di dunia.
Konghucu dan Taoisme, dua filosofi yang berasal dari Cina,
mempengaruhi baik religi, seni, politik, maupun tradisi filosofi di seluruh Asia.
Pada abad ke-20, di kedua negara berpenduduk paling padat se-Asia, dua aliran
filosofi politik tercipta. Mahatma Gandhi memberikan pengertian baru tentang
Ahimsa, inti dari kepercayaan Hindu maupun Jaina, dan memberikan definisi baru
tentang konsep antikekerasan dan antiperang. Pada periode yang sama, filosofi
komunisme Mao Zedong menjadi sistem kepercayaan sekuler yang sangat kuat di
China.

(c) Agama tradisional


Agama tradisional, atau terkadang disebut sebagai "agama nenek
moyang", dianut oleh sebagian suku pedalaman di Asia, Afrika, dan Amerika.
Pengaruh bereka cukup besar; mungkin bisa dianggap telah menyerap kedalam
kebudayaan atau bahkan menjadi agama negara, seperti misalnya agama Shinto.
Seperti kebanyakan agama lainnya, agama tradisional menjawab kebutuhan rohani
manusia akan ketentraman hati di saat bermasalah, tertimpa musibah, tertimpa
musibah dan menyediakan ritual yang ditujukan untuk kebahagiaan manusia itu
sendiri.

4) Sistem Sosial Kemasyarakatan


Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur
sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat
dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang
bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa
21

keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota


kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi,
kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa
macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar
seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat
umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti,
keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Sementara itu, organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk
oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum,
yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa
dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia
membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak
dapat mereka capai sendiri.

5) Sistem Teknologi
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,
serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam
cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara
mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang
hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional
(disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
(a) alat-alat produktif
(b) senjata
(c) wadah
(d) alat-alat menyalakan api
(e) makanan
(f) pakaian
(g) tempat berlindung dan perumahan
(h) alat-alat transportasi
22

6) Sistem Mata Pencaharian


Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada
masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya:
(a) berburu dan meramu
(b) beternak
(c) bercocok tanam di ladang
(d) menangkap ikan
Pada sebagian besar masyarakat Jawa, Selain sumber penghidupan yang
berasal daari pekerjaan-pekeraan kepegawaian, pertukangan, dan perdagangan,
bertani adalah juga merupakan salah satu mata pencaharian hidup
(Koentjaraningrat, 1999: 334).

7) Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks.

c. Perubahan Sosial Budaya


Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan
gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan
tersebut meliputi norma sosial, interaksi sosial, pola perilaku, organisasi sosial,
lembaga kemasyarakatan, lapisan masyarakat serta susunan kekuasaan dan
wewenang. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia
yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa
kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Ada tiga
faktor yang dapat mempengaruhi perubahan sosial:
1) tekanan kerja dalam masyarakat
2) keefektifan komunikasi
23

3) perubahan lingkungan alam.


Perubahan budaya juga dapat timbul akibat timbulnya perubahan
lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain.
Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem
pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam
kebudayaan.
Menurut Soerjono Soekanto (2009: 3) ada sembilan hal yang
mempengaruhi adanya perubahan sosial, yaitu:
1) Terjadinya kontak atau sentuhan dengan kebudayaan lain.
Bertemunya budaya yang berbeda menyebabkan manusia saling berinteraksi
dan mampu menghimpun berbagai penemuan yang telah dihasilkan, baik dari
budaya asli maupun budaya asing, dan bahkan hasil perpaduannya. Hal ini
dapat mendorong terjadinya perubahan dan tentu akan memperkaya
kebudayaan yang ada.
2) Sistem pendidikan formal yang maju.
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang bisa mengukur tingkat
kemajuan sebuah masyarakat. Pendidikan telah membuka pikiran dan
membiasakan berpola pikir ilmiah, rasional, dan objektif. Hal ini akan
memberikan kemampuan manusia untuk menilai apakah kebudayaan
masyarakatnya memenuhi perkembangan zaman, dan perlu sebuah perubahan
atau tidak.
3) Sikap menghargai hasil karya orang dan keinginan untuk maju.
Sebuah hasil karya bisa memotivasi seseorang untuk mengikuti jejak karya.
Orang yang berpikiran dan berkeinginan maju senantiasa termotivasi untuk
mengembangkan diri.
4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang.
Penyimpangan sosial sejauh tidak melanggar hukum atau merupakan tindak
pidana, dapat merupakan cikal bakal terjadinya perubahan sosial budaya.
Untuk itu, toleransi dapat diberikan agar semakin tercipta hal-hal baru yang
kreatif.
24

5) Sistem terbuka dalam lapisan-lapisan masyarakat.


Open stratification atau sistem terbuka memungkinkan adanya gerak sosial
vertikal atau horizontal yang lebih luas kepada anggota masyarakat.
Masyarakat tidak lagi mempermasalahkan status sosial dalam menjalin
hubungan dengan sesamanya. Hal ini membuka kesempatan kepada para
individu untuk dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
6) Penduduk yang heterogen.
Masyarakat heterogen dengan latar belakang budaya, ras, dan ideologi yang
berbeda akan mudah terjadi pertentangan yang dapat menimbulkan
kegoncangan sosial. Keadaan demikian merupakan pendorong terjadinya
perubahan-perubahan baru dalam masyarakat untuk mencapai keselarasan
sosial.
7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang tertentu.
Rasa tidak puas bisa menjadi sebab terjadinya perubahan. Ketidakpuasan
menimbulkan reaksi berupa perlawanan, pertentangan, dan berbagai gerakan
revolusi untuk mengubahnya.
8) Orientasi ke masa depan.
Kondisi yang senantiasa berubah merangsang orang mengikuti dan
menyesusikan dengan perubahan. Pemikiran yang selalu berorientasi ke masa
depan akan membuat masyarakat selalu berpikir maju dan mendorong
terciptanya penemuan-penemuan baru yang disesuaikan dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
9) Nilai bahwa manusia harus selalu berusaha untuk perbaikan hidup.
Usaha merupakan keharusan bagi manusia dalam upaya memenuhi
kebutuhannya yang tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang
terbatas. Usaha-usaha ini merupakan faktor terjadinya perubahan.
Menurut Soerjono Soekanto (2009: 5) terdapat delapan faktor penghambat
terjadinya perubahan sosial, yakni:
1) Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain.
2) Perkembangan ilmu pengetahuan yang terlambat.
25

3) Sikap masyarakat yang mengagungkan tradisi masa lampau dan cenderung


konservatif.
4) Adanya kepentingan pribadi dan kelompok yang sudah tertanam kuat (vested
interest).
5) Rasa takut terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan dan
menimbulkan perubahan pada aspek-aspek tertentu dalam masyarakat.
6) Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing, terutama yang berasal dari Barat.
7) Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis.
8) Adat dan kebiasaan tertentu dalam masyarakat yang cenderung sukar diubah.
Perubahan sosial juga tidak dapat terlepas dari perubahan kebudayaan.
Kecenderungan masyarakat untuk berubah dipengaruhi faktor :
1) rasa tidak puas terhadap keadaan yang ada
2) timbul kesadaran memperbaiki kekurangan yang ada
3) kebutuhan kehidupan masyarakat semakin komplek
4) menyesuaikan diri dengan situasi baru
5) sikap terbuka terhadap unsur dari luar
Walaupun demikian ada beberapa hal dalam masyarakat yang tetap
bertahan, umumnya berhubungan dengan faktor:
1) agama dan religi yang dianut masyarakat
2) sudah terinternalisasi karena sosialisasi sejak kecil
Perubahan sosial budaya yang terjadi di masyarakat bisa bersifat progress,
bisa pula bersifat regress.
1) Modernisasi
Salah satu perubahan sosial budaya yang terarah dan direncanakan adalah
modernisasi. Modernisasi ialah pembaharuan yang dilakukan masyarakat sesuai
dengan jaman dan konstelasi dunia sekarang tanpa melupakan norma yang ada.
Modernisasi merupakan penerapan pengetahuan ilmiah pada semua bidang
kehidupan di masyarakat.
Aspek paling menonjol dalam modernisasi adalah perkembangan ilmu,
pengetahuan dan teknologi (iptek) yang tinggi. Contohnya pada perkembangan
teknologi pertanian, dari pekerjaan di sawah dengan menggunakan tenaga hewan
26

dan manusia, diganti dengan tenaga mesin. Contoh modernisasi yang lain adalah
munculnya internet sebagai media komunikasi lintas negara. Teknologi ini
merubah sudut pandang manusia.
Modernisasi dapat terwujud apabila anggota masyarakat memiliki ciri-ciri
di antaranya sebagai berikut: sikap terbuka pada perubahan, mau menerima hal
baru, menghargai waktu, orientasi ke masa depan, percaya diri, percaya manfaat
ilmu dan teknologi serta memiliki perencanaan. Modernisasi pada satu sisi bersifat
progress, sedangkan pada sisi lain bersifat regress. Penggunaan tenaga mesin pada
beberapa pekerjaan berguna untuk menghemat biaya dan waktu, tapi mengurangi
jumlah tenaga kerja manusia. Pemakaian internet jika digunakan untuk hal positif
sangat bermanfaat. Tapi sering juga internet digunakan untuk melakukan tindakan
tidak terpuji bahkan merugikan orang lain.

2) Westernisasi
Sebagian anggota masyarakat sering menyalah artikan pengertian
modernisasi. Mereka menganggap modernisasi sebagai westernisasi, yaitu sikap
meniru budaya barat (Eropa dan Amerika) secara mutlak tanpa
mempertimbangkan nilai dan norma budaya setempat. Modern tidak harus
bergaya seperti orang Barat. Orang yang kebarat-baratan belum tentu modern.
Hal-hal yang baik dari Barat kita ambil selama tidak bertentangan dengan norma
yang ada.

d. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Budaya


1) Revolusi
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung
secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di
dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa
direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui
kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi
pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang
memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap “cepat” karena mampu
27

mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat - seperti sistem kekeluargaan


dan hubungan antara buruh dan majikan - yang telah berlangsung selama ratusan
tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan
membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.
Revolusi senantiasa berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan
membangun.
Dialektika revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha
menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam
faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta
sarananya. Logika revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan
berdasarkan suatu perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau
diperlambat, ia akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun
sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya.
Romantika revolusi merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan
kebesarannya, di mana ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman
historis dan bagaimana ia disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu
kemaslahatan rakyat.
Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan
dan kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi
seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara
lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti
fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan
rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di
Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan
agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan
dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.

2) Evolusi
Evolusi pada dasarnya berarti proses perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan sifat-sifat yang
diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi
28

berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari evolusi ini dibawa oleh gen yang
diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup. Sifat baru dapat diperoleh dari
perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar populasi, seperti dalam migrasi,
atau antar spesies seperti yang terjadi pada bakteria, serta kombinasi gen mealui
reproduksi seksual.
Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin,
namun sebenarnya biologi evolusi telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun
demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang
telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori
Darwin tentang evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas
masyarakat sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.

e. Penetrasi Kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh
suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi
dengan dua cara:
1) Penetrasi Damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya
pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam
kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah
budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi,
Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga
membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya
dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis
adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah
kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
29

2) Penetrasi Kekerasan (penetration violante)


Masuknya sebuah kebudayaan dengan cara memaksa dan merusak.
Contohnya, masuknya kebudayaan Barat ke Indonesia pada zaman penjajahan
disertai dengan kekerasan sehingga menimbulkan goncangan-goncangan yang
merusak keseimbangan dalam masyarakat. Contoh: penjajahan bangsa Eropa ke
nusantara banyak sekali merusak budaya asli nusantara. Kaum penjajah masuk ke
nusantara dengan paksaan, dengan kekerasan, dengan penipuan, dengan
kecurangan, dan dengan kekejaman. Semuanya jauh dari nilai-nilai kemanusiaan
yang adil dan beradab. Contoh: peraturan tanam paksa dan kerja paksa pembuatan
jalan dari Anyer ke Panarukan (jalan pantura). Semua itu amat menyengsarakan
rakyat Indonesia dan merupakan pelecehan kemanusiaan yang adil, beradab, dan
mulia.
Perlawanan dari bangsa Indonesia memang ada, tetapi karena kalah dalam
berbagai hal, antara lain persenjataan, iptek, dan belum ada persatuan dan
kesatuan bangsa, akhirnya satu demi satu perlawanan bangsa Indonesia dapat
dipatahkan oleh kaum penjajah. Dalam era globalisasi sekarang ini semua unsur
akulturasi, asimilasi, dan sintesis bercampur baur menjadi satu, ikut mengubah
sebagian wajah dan karakter bangsa Indonesia. Tentu saja, hasilnya ada yang
positif, secara jasmaniah dan rohaniah, namun ada juga negatif, baik pada wajah
maupun pada karakternya. Globalisasi memang tidak bisa kita bendung. Dalam
masalah ini, kita semua diminta untuk waspada, bijaksana, dan cerdas, bagaimana
cara kita menghadapi globalisasi, agar diri kita, keluarga kita, lingkungan kita,
bangsa dan negara kita, tetap teguh-kukuh, mempertahankan kepribadian kita
yang adi-luhung, sambil pandai-pandai memilah dan memilih, masuknya budaya
asing.

f. Cara Pandang terhadap Kebudayaan


1) Kebudayaan sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang
dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang
”budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan
30

kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ”kebudayaan”


sebagai ”peradaban” sebagai lawan kata dari ”alam”. Menurut cara pikir ini,
kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu
kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada praktiknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan
aktivitas yang ”elit” seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau
mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk
menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-
aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik
klasik adalah musik yang ”berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik
tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman,
maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”.
Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak
percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan
hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut
cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan
mereka yang berkebudayaan disebut sebagai orang yang tidak berkebudayaan;
bukan sebagai orang ”dari kebudayaan yang lain”. Orang yang tidak
berkebudayaan dikatakan lebih ”alam” dan para pengamat seringkali
mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk
menekan pemikiran ”manusia alami” (human nature).
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan
antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -
berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan
dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak
alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal
ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap
mengekspresikan „jalan hidup yang alami” (natural way of life), dan musik klasik
sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan
antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku.
31

Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit”


dan ”kebudayaan elit” adalah sama - masing-masing masyarakat memiliki
kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan
beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur,
yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak
orang.

2) Kebudayaan sebagai Sudut Pandang Umum


Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka
yang peduli terhadap gerakan nasionalisme - seperti misalnya perjuangan
nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis
minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria - mengembangkan sebuah
gagasan kebudayaan dalam "sudut pandang umum". Pemikiran ini menganggap
suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-
masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu,
gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara berkebudayaan dengan
tidak berkebudayaan atau kebudayaan primitif.
Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata
kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka
mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari
evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan - kelompok dengan perilaku yang sedikit
berbeda dari kebudayaan induknya - mulai dijadikan subyek penelitian oleh para
ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan
- perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.

3) Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi


Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa suatu kebudayaan adalah
sebuah produk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju
kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, atau biasa disebut
dengan tribalisme.
32

g. Faktor Mental Bangsa Indonesia


Faktor sikap mental disebut sebagai faktor penghambat pembangunan di
Indonesia. Hal tersebut karena sikap mental sebagian masyarakat Indonesia belum
cocok dengan pembangunan (Koentjaraningrat, 1999: 387). Kata sikap mental
adalah istilah popular untuk dua konsep yang biasa disebut dengan “sistem nilai
budaya” (cultural value system) dan “sikap” (attitude). Sistem nilai budaya
adalah suatu rangkaian dari konsep abstrak yang hidup dalam alam pikiran
sebagian besar sari warga suatu masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap
penting dan berharga dalam hidupnya. Nilai budaya biasa berperan sebagai
pengarah dan pendorong kelakuan manusia.
Konsep tentang nilai budaya masih merupakan suatu yang abstrak tanpa
perumusan yang tegas. Konsep-konsep tersebut hanya bisa dirasakan, tetapi sering
tidak dapat dinyatakan dengan tegas oleh masyarakat yang bersangkutan.
Meskipun begitu, konsep-konsep tadi sering mendarah daging pada masyarakat
yang memilikinya dan sukar dirubah atau diganti dengan konsep-konsep yang
baru. Jika sistem budaya merupakan pengarah bagi tindakan manusia, maka
pedoman yang nyata adalah norma, hukum, dan aturan yang bersifat lebih tegas
dan konkret.
Berbeda dengan konsep nilai budaya, konsep sikap bukan merupakan
bagian dari kebudayaan teteapi merupakan suatu hal yang dimiliki para individu
warga masyarakat. Suatu sikap adalah potensi pendorong yang ada dalam jiwa
individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya beserta segala hal yang ada
dalam lingkungannya itu (Koentjaraningrat, 1999: 388). Meski berada di luar
kebudayaan, adanya sikap pada setiap individu tersebut dipengaruhi oleh
kebudayaan. Artinya, sikap individu akan sangat dipengaruhi oleh norma dan
aturan yang dianut oleh individu yang bersangkutan.
Koentjaraningrat (1999: 388) mengemukakan:
Menurut hemat saya, sistem nilai-budaya yang cocok untuk pembangunan
meliputi paling sedikit lima konsep. Pertama, dalam menghadapi hidup, orang
harus menilai tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup; dan
bahwa ada kesengsaraan, bencana, dosa, dan keburukan dalam hidup memang
harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk diperbaiki….kedua,
sebagai dorongan dari semua karya manusia, harus dinilai tinggi konsepsi
33

bahwa orang mengintensifkan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak


karya lagi. Kepuasan terletak dalam kerja itu sendiri. Ketiga, dalam hal
menanggapi alam, orang harus merasakan suatu keinginan untuk dapat
menguasai alam serta kaidah-kaidahnya. Keempat, dalam segala aktivitas
hidup orang harus dapat sebanyak mungkin berorientasi ke masa depan.
Akhirnya kelima, dalam membuat keputusan-keputusan orang harus bisa
berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerja sama dengan orang lain tanpa
meremehkan kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri.

Bertolak dari pemikiran tersebut, setidaknya ada beberapa sikap mental


yang diperlukan dalam pembangunan di Indonesia, yakni:
a. suatu kesadaran akan pentingnya kualitas dalam karya yang berdasarkan
konsep bahwa manusia berkarya untuk menghasilkan karya yang lebih banyak
lagi.
b. Suatu keinginan untuk menabung yang berorientasi ke masa depan.
c. Kedisiplinan dan tanggung jawab murni yang disadari meskipun tidak ada
pengawasan dari atas.

3. Pondok Pesantren
a. Hakikat Pondok Pesantren
Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan
memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti
tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks
dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan
pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an
berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren
adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa
pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent).
Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu
kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas.
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak
diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di
Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001: 70). Pondok pesantren
di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
34

pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah
santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian,
ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam
sebuah pesantren. Kyai. masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka
menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1) Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia
adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa
(Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-
orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang
ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).

2) Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam
tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan
masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan
Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam,
masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi
masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima
35

waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik”
(Dhofier 1985: 49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang
ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat
atau di belakang rumah kyai.

3) Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren
adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau
murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa
disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).

4) Pondok
Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan
tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa,
besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat
kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki
tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan
berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri
laki-laki.
36

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama


santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan
olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-
kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh
penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu manfaat pondok selain dari yang digunakan sebagai tempat
asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk
mengembangkan keterampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri
dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri,
mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan
sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem
pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang
digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985: 45).

5) Kitab-Kitab Islam Klasik


Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk
pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa
Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab
kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985: 50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam
lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam
pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi
kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan
tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan
(Hasbullah, 1999: 144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab
Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh;
37

4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok
menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab
yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985: 51).

b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia


Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat
kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum
Indonesia dijajah Belanda karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang
dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang
membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan
metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan
kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia,
yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat
kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.
Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus
mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat
pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah (Dhofier, 1985: 41).
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan
pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun
demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa
kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949,
pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-
luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi
38

bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. Dampak


kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan
Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu
tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak
muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.
Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang
cukup banyak (Dhofier 1985: 41).
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan
pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI,
memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan
pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup
pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan
pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997: 150) bahwa jiwa
Islam tetap terpelihara dengan baik di Indonesia.
Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang
dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah
madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel
1.
Tabel 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun
1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah Jumlah Pesantren dan Jumlah Santri
Madrasah
Jakarta 167 14.513
Jawa Barat 1.046 69.954
Jawa Tengah 351 21.957
Tawa Timur 307 32.931
Jumlah: 1.871 139.355
(Dhofier, 1985: 40)
39

Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan
Departemen Agama RI)
Propinsi Daerah Jumlah Pesantren Jumlah Santri
Jakarta 27 15.767
Jawa Barat 2.237 305.747
Jawa Tengah 430 65.070
Tawa Timur 1.051 290.790
Jumlah: 3.745 677.374
(Hasbullah, 1999: 140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa


kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali.
Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada
tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa
sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh
masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat
dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-
jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan
pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985: 20).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa pesantren sanggup bertahan dan
berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang
dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI. Hal ini dikarenakan
sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang
karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang
sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah
mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial,
politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat
umum.
40

c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren


Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru,
di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji.
Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak
mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997: 212)
tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio
terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem
pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan
di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.
Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem
sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau
wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap
murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau
pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-
murid yang telah menguasai pembacaan Quran dan kenyataan merupakan bagian
yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan
disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini
sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).
Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem
bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan
seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam
dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah
yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru
(Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi
biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.
Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu
pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren
tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan
pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok
pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan
secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).
41

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk


menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini
pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka
renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan
yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi
ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi
program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999: 155).

4. Hakikat Bahan Ajar


a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik
Belajar merupakan suatu proses yang kompleks. Proses tersebut sulit
diamati, namun perbuatan atau tindakan belajar dapat diamati berdasarkan
perubahan tingkah laku yang dihasilkan oleh tindakan dan proses belajar tersebut.
Setiap kegiatan atau proses belajar mengandung unsur-unsur yang bersifat
dinamis. Unsur-unsur tersebut bersifat dinamis karena dapat berubah-ubah.
Artinya, dapat menjadi lemah atau menjadi kuat. Kedinamisan ini dipengaruhi
oleh kondisi-kondisi yang ada dalam diri siswa dan yang ada di luar diri siswa.
Unsur-unsur yang terkait dalam proses belajar terdiri dari (1) motivasi
siswa, (2) bahan belajar, (3) alat bantu belajar, (4) suasana belajar, dan (5) kondisi
subjek yang belajar. Kelima unsur inilah yang sering berubah, menguat dan
melemah sekaligus mempengaruhi proses belajar tersebut (Hamalik, 2001: 50)
Bahan belajar merupakan suatu unsur belajar yang perlu mendapatkan
perhatian oleh guru. Adanya bahan belajar akan membuat para siswa dapat
mempelajari hal-hal yang diperlukan dalam upaya mencapai tujuan belajar.
Karena itu, penentuan bahan belajar harus berdasarkan tujuan yang hendak
dicapai dalam pembelajaran. Misalnya, berupa pengetahuan, keterampilan, sikap,
dan pengalaman lainnya. Bahan-bahan yang bertalian dengan tujuan itu telah
digariskan dalam silabus dan GBPP (Hamalik, 2001: 51).
Silabus dan GBPP memuat dan merumuskan secara rinci materi belajar
yang telah ditentukan untuk selanjutnya dipelajari siswa. Rincian tersebut berupa
42

topik-topik inti, topik buku inti serta uraian deskripsi dan bahan kajian lainnya.
Sedangkan rincian yang lebih terurai terdapat dalam buku sumber atau buku
referensi yang lain.
Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di
sekolah. Melalui bahan ajar guru akan lebih mudah dalam mengajar dan siswa
akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Bahan ajar dapat dibuat dalam
berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik materi ajar yang akan
disajikan. Buku ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dengan pengembangan bahan ajar, seperti kepala sekolah, guru,
pengawas sekolah menengah atas maupun pembina pendidikan lainnya. Bagi
kepala sekolah buku ini dapat dijadikan bahan pembinaan bagi guru yang
mengalami kesulitan dalam mengembangkan bahan ajar.
Aspek-aspek yang terdapat dalam bahan belajar antara lain adalah konsep,
fakta, nilai keterampilan, bahkan juga terdapat sejumlah masalah yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat (Harjanto, 2006:220). Istilah-istilah tersebut dapat
dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1) Konsep adalah suatu ide atau gagasan atau suatu pengertian yang umum.
2) Prinsip adalah suatu kebenaran dasar sebagai titik tolak untuk berpikir atau
merupakan sutu petunjuk untuk berbuat atau melaksanakan sesuatu.
3) Fakta adalah sesuatu yang telah terjadi atau yang telah dikerjakan atau
dialami. Fakta dapat berupa hal, objek atau keadaan. Jadi, bukan sesuatu yang
diinginkan atau pendapat atau teori.
4) Proses adalah serangkaian perubahan atau gerakan-gerakan perkembangan.
Sutu proses dapat terjadi secara sadar atau tidak disadari. Proses juga dapat
berupa cara melaksanakan kegiatan operasional.
5) Nilai adalah suatu pola, ukuran atau merupakan suatu tipe atau model.
Umumnya, nilai dapat bertalian dengan pengakuan atau kebenaran yang
bersifat umum, tentang baik dan buruk.
6) Keterampilan adalah kemampuan berbuat sesuatu dengan baik. Berbuat dapat
berarti secara jasmaniah (menulis, berbicara, membaca, dan sebagainya) dan
dapat juga berarti rohaniah (membedakan, menganalisis, dan sebagainya).
43

Biasanya, kedua aspek tersebut tidak terlepas satu sama lain, kendatipun tidak
selalu demikian adanya (Oemar Hamalik dalam Harjanto, 2006: 220-221)
Aspek-aspek tersebut merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan
bahan belajar dan rinciannya. Prinsip-prinsip ini juga erat kaitannya dengan tujuan
intruksional khusus (TIK) yang akan dicapai. Guru harus bersikap kritis dan
analitis dan tidak terlalu terikat pada subbahasan yang terdapat dalam GBPP saja.
Inovasi dan kreasi dari guru diperlukan agar setiap aspek yang terdapat dalam
bahan ajar dapat diterima para siswa secara seimbang. Dalam hal ini, proses
pengayaan oleh guru dan siswa menjadi satu hal yang diperlukan.
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang
dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau
teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material
atau bahan. University of Wollongong, New South Wales 2522, Australia pada
website-nya (Agustus, 1998) menyatakan: Teaching is defined as the process of
creating and sustaining an effective environment for learning. Mengajar diartikan
sebagai proses menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang
efektif.
Paul S. Ache lebih lanjut mengemukakan tentang bahan ajar bahwa
”Books can be used as reference material, or they can be used as paper weights,
but they cannot teach”. Buku dapat digunakan sebagai bahan rujukan, atau dapat
digunakan sebagai bahan tertulis yang berbobot, tetapi buku tidak dapat mengajar.
Website Dikmenjur dikemukakan pengertian bahwa bahan ajar merupakan
seperangkat materi/substansi pelajaran (teaching material) yang disusun secara
sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar memungkinkan siswa dapat
mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis
sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan
terpadu.
44

Bahan ajar memiliki beberapa fungsi sebagai berikut:


1) Pedoman bagi guru yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses
pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang seharusnya
diajarkan kepada siswa.
2) Pedoman bagi Siswa yang akan mengarahkan semua aktivitasnya dalam
proses pembelajaran, sekaligus merupakan substansi kompetensi yang
seharusnya dipelajari atau dikuasainya.
3) Alat evaluasi pencapaian atau penguasaan hasil pembelajaran
Materi pelajaran atau bahan ajar berada dalam ruang lingkup isi
kurikulum. Karena itu, pemilihan bahan ajar harus sejalan dengan ukuran-ukuran
(kriteria) yang digunakan untuk memilih isi kurikulum bidang studi yang
bersangkutan. Kriteria tersebut dapat dijelaskan dalam bagan berikut.
Kriteria Sasaran
a. Akurat dan up to date - sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan penemuan-penemuan baru dalam bidang
teknologi.
b. Kemudahan - Untuk memahami prinsip, generalisasi, dan
memperoleh data.
c. Kerasionalan - Mengembangkan kemampuan berpikir
rasional, bebas, logis.
d. Essensial - Untuk mengembangkan moralitas
penggunaan pengetahuan.
e. Kemaknaan - Bermakna bagi siswa dan perubahan sosial
bahan sosial.
f. Keberhasilan - Merupakan ukuran keberhasilan untuk
mempengaruhi tingkah laku siswa.
g. Keseimbangan - Mengembangkan pribadi siswa secara
seimbang dan menyeluruh.
h. Kepraktisan - Mengarahkan tindakan sehari-hari dan untuk
pelajaran berikutnya.
Bagan 1. Kriteria Umum Pemilihan Isi Kurikulum
45

Sedangkan kriteria pemilihan materi atau bahan ajar (Harjanto, 2006: 222)
adalah sebagai berikut.
1) Kriteria tujuan instruksional
Materi atau bahan ajar harus sesuai dan sejalan dengan tujuan-tujuan
instruksional khusus yang telah dirumuskan.
2) Materi pelajaran supaya terjabar
Perincian materi pelajaran berdasarkan pada tuntutan dalam TIK yang telah
dirumuskan secara spesifik, dapat diamati, dan terukur. Ini berarti ada
keterkaitan yang erat antara spesifikasi tujuan dan spesifikasi materi atau
bahan ajar.
3) Relevan dengan kebutuhan siswa
Kebutuhan siswa yang pokok adalah bahwa siswa ingin berkembang
berdasarkan potensi yang dimilikinya. Karena itulah, setiap materi atau bahan
ajar yang disajikan hendaknya sesuai dengan usaha untuk mengembangkan
pribadi siswa secara bulat dan utuh. Beberapa aspek di antaranya adalah
pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan.
4) Kesesuaian dengan kondisi masyarakat
Siswa dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan
mampu hidup mandiri. Karena itulah, bahan ajar yang dipilih hendaknya turut
membantu siswa dalam memberikan pengalaman edukatif yang bermakna
bagi perkembangan para siswa menjadi manusia yang mudah menyesuaikan
diri.
5) Materi pelajaran mengandung segi-segi etik
Bahan ajar yang akan dipilih hendaknya mempertimbangkan segi
perkembangan moral siswa selanjutnya. Pengetahuan dan keterampilan yang
akan mereka peroleh dari bahan ajar yang telah mereka terima akan diarahkan
untuk mengembangkan diri siswa masing-masing sesuai manusia yang sesuai
dengan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
46

6) Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang sistematis dan
logis
Setiap bahan ajar disusun secara bulat dan menyeluruh, terbatas ruang
lingkupnya, dan terpusat pada satu topik masalah tertentu. Materi disusun
secara berurutan dengan mempertimbangkan faktor perkembangan psikologis
siswa. Dengan demikian, diharapkan isi materi tersebut akan lebih mudah
diserap oleh siswa dan dapat segera dilihat keberhasilannya.
7) Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi guru yang
ahli, dan masyarakat
Ketiga faktor ini perlu diperhatikan dalam memilih bahan ajar. Buku sumber
yang baku umumnya disusun oleh para ahli dalam bidangnya dan disusun
berdasarkan GBPP yang berlaku meskipun belum tentu lengkap sebagaimana
yang diharapkan. Sedangkan guru yang ahli merupakan sumber utama dalam
proses belajar. Guru dapat menyimak semua hal yang dianggapnya perlu
untuk disajikan kepada para siswa berdasarkan ukuran pribadinya. Masyarakat
juga merupakan sumber yang luas, bahkan dapat dikatakan sebagai materi atau
bahan ajar yang paling besar.
Pengembangan bahan ajar bagi guru akan mendatangkan paling tidak tiga
manfaat, yang pertama adalah mereka akan memiliki bahan ajar yang dapat
membantu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan yang kedua adalah
bahwa bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah
angka kredit guru untuk keperluan kenaikan pangkat. Ketiga akan menambah
penghasilan bagi guru apabila hasil karangannya diterbitkan.
Kehadiran bahan ajar yang bervariasi akan membuat pembelajaran yang
dijalani siswa menjadi lebih menarik. Siswa akan lebih banyak mendapatkan
kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan guru. Siswa akan
mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus
dikuasainya.
Bentuk bahan ajar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu bahan
cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa,
brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket. Bahan ajar dengar (audio)
47

seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar
pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film. Bahan ajar
interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif.
Sedangkan pengembangan bahan ajar harus memperhatikan beberapa
prinsip berikut:
1) Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk
memahami yang abstrak.
2) Pengulangan akan memperkuat pemahaman
3) Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman
peserta didik
4) Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
belajar.
5) Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan
mencapai ketinggian tertentu.
6) Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus
mencapai tujuan

b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra


Karya sastra adalah karya seni yang berbicara tentang masalah hidup dan
kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya (Esten, 1980). Rusyana (1982) menyatakan bahwa sastra adalah hasil
kegiatan kreatif manusia dalam pengungkapan penghayatannya tentang hidup dan
kehidupan, tentang manusia dan kemanusiaan yang menggunakan bahasa. Dari
kedua pendapat itu dapat ditarik makna bahwa karya sastra adalah karya seni,
mediumnya (alat penyampainya) adalah bahasa, isinya adalah tentang manusia,
bahasannya adalah tentang hidup dan kehidupan, tentang manusia dan
kemanusiaan
Pembelajaran sastra tidak dapat dipisahkan dengan pembelajaran bahasa.
Namun, pembelajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pembelajaran
bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Oemarjati
(1992) menerangkan perbedaan tersebut sebagai berikut.
48

“Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi efektif, yaitu


memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya (lebih ) tanggap
terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Tujuan akhirnya adalah
menanam, menum-buhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap
masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap
tata nilaian – baik dalam konteks individual, maupun sosial.”

Bertolak dari pendapat-pendapat tersebut, maka pembelajaran sastra


sangat diperlukan. Hal itu bukan saja karena ada hubungan dengan konsep atau
pengertian sastra, tetapi juga ada kaitan dengan tujuan akhir dari pembelajaran
sastra.
Pembelajaran sastra adalah pembelajaran apresiasi. Menurut Efendi
(1998), “Apreasisi adalah kegiatan mengakrabi karya sastra secara sungguh-
sungguh. Di dalam mengakrabi tersebut terjadi proses pengenalan, pemahaman,
penghayatan, penikmatan, dan setelah itu penerapan.” Pengenalan terhadap karya
sastra dapat dilakukan melalui membaca, mendengar, dan menonton. Hal itu tentu
dilakukan secara bersungguh-sungguh. Kesungguhan dalam kegiatan tersebut
akan bermuara kepada pengenalan secara bertahap dan akhirnya sampai ke
tingkat pemahaman.
Pemahaman terhadap karya sastra yang dibaca, didengar, atau ditonton
akan mengantarkan peserta didik ke tingkat penghayatan. Indikator yang dapat
dilihat setelah menghayati karya sastra adalah jika bacaan, dengaran, atau
tontonan sedi ia akan ikut sedih, jika gembira ia ikut gembira, begitu seterusnya.
Hal itu terjadi seolah-olah ia melihat, mendengar, dan merasakan dari yang
dibacanya. Ia benar-benar terlibat dengan karya sastra yang digeluti atau
diakrabinya. Setelah menghayati karya sastra, peserta didik akan masuk ke
wilayah penikmatan. Pada fase ini ia telah mampu merasakan secara mendalam
berbagai keindahan yang didapatkannya di dalam karya sastra. Perasaan itu akan
membantunya menemukan nilai-nilai tentang manusia dan kemanusiaan, tentang
hidup dan kehidupan yang diungkapkan di dalam karya itu. Rusyiana (1984:322)
menyatakan bahwa kemampuan mengalami pengalaman pengarang yang tertuang
di dalam karyanya dapat menimbulkan rasa nikmat pada pembaca. Selanjutnya
dikatakan, “Kenikmatan itu timbul karena: (1) merasa berhasil dalam menerima
49

pengalaman orang lain; (2) bertambah pengalaman sehingga dapat menghadapi


kehidupan lebih baik; (3) menikmati sesuatu demi sesuatu itu sendiri, yaitu
kenikatan estetis.”
Fase terakhir dalam pembelajaran sastra adalan penerapan. Penerapan
merupakan ujung dari penikmatan. Oleh karena peserta didik merasakan
kenikmatan pengalaman pengarang melalui karyanya, ia mencoba menerapkan
nilia-nilai yang ia hayati dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan itu akan
menimbulkan perubahan perilaku. Itulah yang diungkapkan oleh Oemarjati
(1992), “Dengan sastra mencerdaskan siswa: memperkaya pengalaman dan
pengetahuan.”
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 Tahun
2006 tentang Standar Isi, mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta
didik memiliki kemapuan sebagai berikut.
1) Berkomunikasi secara efektif dan efesien sesuai dengan etika yang berlaku,
baik secara lisan maupun tulis;
2) Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan dan bahasa Negara;
3) Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif
untuk berbagai tujuan;
4) Menggunakan bahasa Indonesia unutk meningkatkan keampuan intelektual,
serta kematangan emosional dan sosial;
5) Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
berbahasa;
6) Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya
dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan nomor lima dan nomor enam langsung menyebut karya sastra.
Tujuan nomor lima diawali dengan kata kerja “menikmati dan memanfaatkan”
dan tujuan nomor enam diawali dengan kata kerja “menghargai dan
membanggakan”. Keempat kata kerja itu merupakan kata kunci untuk mencapai
mata pelajaran sastra Indonesia di sekolah. Melalui pembelajaran sastra, peserta
50

didik dapat menikmati, memanfaatkan, menghargai, dan membanggakan karya


sastra. Dengan demikian, semua aktifitas pembelajaran sastra hendaklah
mendukung pencapaian tujuan itu. Dukungan itu akan dapat diawali dengan
membaca dan memahami standar isi (standar kompetensi dan kompetensi dasar)
sastra.

c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan


Beberapa kompetensi dasar yang berhubungan dengan pembelajaran sastra
di kelas XI SMA adalah sebagai berikut.
a. Kompetensi Dasar 5.1: Mengidentifikasi peristiwa, pelaku dan
perwatakannya, dialog, dan konflik pada pementasan drama.
b. Kompetensi Dasar 5.2: Menganalisis pementasan drama berdasarkan teknik
pementasan.
c. Kompetensi Dasar 6.1: Menyampaikan dialog disertai gerak-gerik dan mimik,
sesuai dengan watak tokoh.
d. Kompetensi Dasar 6.2: Mengekpresikan perilaku dan dialog tokohprotogonis
dan atau antagonis.
e. Kompetensi Dasar 7.1: Menemukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
hikayat.
f. Kompetensi Dasar 7.2: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik
novel Indonesia/terjemahan.
g. Kompetensi Dasar 13.1: Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam
cerpen yang dibacakan.
h. Kompetensi Dasar 13.2: Menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan.
i. Kompetensi Dasar 14.1: Mengekspresikan dialog para tokoh dalam
pementasan drama.
j. Kompetensi Dasar 14.2: Menggunakan gerak-gerik, mimik, dan intonasi,
sesuai dengan watak tokoh dalam pementasan drama.
k. Kompetensi Dasar 15.1: Mengungkapkan hal-hal yang menarik dan dapat
diteladani dari tokoh.
51

l. Kompetensi Dasar 15.2: Membandingkan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel


Indonesia/terjemahan dengan hikayat.
Selanjutnya, kompetensi dasar yang dapat digunakan dengan bahan ajar
cetak (novel) adalah KD 7.2, 15.1, dan 15.2. KD-KD tersebut dapat
memanfaatkan bahan ajar dalam bentuk cetak yang dapat lebiih difokuskan pada
novel Indonesia maupun terjemahan untuk membahas dan mencapai tujuan akhir
yang harus dipelajari dan dikuasai siswa.

5. Telaah Sastra
Sastra dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti
mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau
sarana (Teeuw, 1984: 23). Dalam pengertian sekarang, sastra banyak diartikan
sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarrti
indah atau baik. Terciptalah kata susastra yang bermakna tulisan yang indah.
Pengertian sastra yang didasarkan pada makna di atas tidak dapat
menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat
dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat.
Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa
Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literature,
dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, kata-kata tersebut berasal dari bahasa
Latin, yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang
mengandung makna tata bahasa dan puisi. Namun kenyataannya, dalam
pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna
segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika disimak lebih jauh, manifestasi makna
tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi
(Fananie, 2000: 4)
Beberapa ahli berpendapat bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot atau
tidak ditentukan oleh nilai estetik sastra yang dikandungnya. Hal tersebut
misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren: cara
lain untuk merumuskan apa yang disebut sastra ialah dengan membatasi sastra
pada puncak-ouncak karya sastra saja tanpa memperhatikan apa pokok
52

pembicaraannya; asal menarik perhatian karena bentuk sastranya atau karena


ekspresinya. Jadi, ukurannya hanya bernilai estetik saja atau nilai estetika dengan
kombinasi nilai-nilai intelek lain (Wellek, 1972: 11).
Berdasar pada pendapat-pendapat ahli yang ada, paling tidak secara global
dapat dirumuskan bahwa sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi
berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek
estetik, baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna. Estetika
bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface
structure) sedang estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure
(Fananie, 2000: 6).
Selanjutnya, diperlukan kajian yang mendalam terhadap sastra untuk
menyelami lebih jauh tentang hakekat karya sastra. Telaah karya sastra
merupakan kajian secara mendalam terhadap teks karya sastra dari berbagai unsur
yang membentuknya. Unsur-unsur tersebut bisa meliputi unsur instrinsik maupun
ekstrinsiknya. Yang paling pokok dalam telaah sastra adalah mencari kekuatan
karya sastra. Walaupun aspek-aspek kekuatan sastra umumnya bersifat subjektif
dan abstrak bukan berarti tidak dapat dinilai secara konkrit. Itulah sebabnya telaah
sastra berbeda dengan apresiasi sastra. Telaah sastra harus bersifat objektif,
rasional, berdasarkan bukti-bukti kekuatan atau kelemahan karya yang ditelaah.
Telaah sastra kemudian dikategorikan dalam tulisan ilmiah. Hal tersebut membuat
sebuah konsekuensi bahwa telaah sastra harus menggunakan bahasa ilmiah, bukan
bahasa sastra.
Berdasarkan kedudukan dan sifatnya, telaah sastra tidak jauh berbeda
dengan kritik sastra. Hanya saja, kritik sastra bisa merupakan penilaian yang
bersifat like and dislike (dalam bentuk yang sederhana) dan dapat juga merupakan
sebuah karya ilmiah. Kritik sastra yang demikian itulah yang mempunyai
kesamaan dengan telaah sastra. Kritik sastra yang demikian adalah kritik sastra
yang bertolak dari suatu teori dan kerangka acuan tertentu. Tidak hanya dilakukan
karena senang atau tidak senang, suka atau tidak suka berdasarkan selera personal,
tetapi lebih merupakan usaha untuk mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap
sebuah atau lebih karya sastra. Kritik sastra yang demikian dilakukan secara
53

sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka teori tertentu serta diungkapkan
secara tertulis (Mursal Esten, 1984: 12).
Karya sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu
juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan. Karena itu, karya-karya sastra yang
bersifat inkonvensional pun belum tentu tidak bernilai. Kesulitan pemahaman
terhadap sastra-sastra inkonvensional umumnya lebih banyak disebabkan adanya
perbedaan pemakaian kode bahasa atau idiom yang memang belum lazim
digunakan.
Telaah sastra diperlukan untuk menghadirkan pemahaman tersebut. Dalam
hal ini, telaah sastra akan memberikan tolok ukur atau kriteria yang dapat
dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai yang
terdapat dalam karya sastra yang sedang ditelaah. Fungsi spesifik telaah dapat
disebutkan sebagai berikut.
a) Fungsi informatif
Telaah sastra dapat menginformasikan eksistensi suatu karya sastra yang
dikaji. Karena itu, identitas karya sastra harus dicantumkan secara jelas. Hal
ini akan memberikan informasi fisik yang jelas terhadap pembaca hasil telaah
sastra.
b) Fungsi intelektual
Hasil telaah sastra dapat memberikan pengetahuan yang bersifat keilmuan,
seperti aspek pemahaman dan penghayatan terhadap karya sastra, baik karya
sastra yang bersifat universal maupun inkonvensional.
c) Fungsi edukatif
Telaah sastra tidak saja memberikan bekal keilmuan, melainkan
diharapkan juga memberikan nilai pembentukan moral, kemanusiaan, estetika,
filsafat, dan sebagainya. Dengan demikian, pembaca tidak hanya sekadar
mengeti tentang cara memahami suatu karya sastra, tetapi juga mengetahui
dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang ditelaah
dan sejauh mana kompetensi nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
54

d) Fungsi persuasif, apresiatif, dan promotif


Hasil telaah sastra mampu menumbuhkan motivasi pembaca untuk
mendalami karya-karya sastra yang ditelaah; menumbuhkan penghargaan
terhadap karya sastra dengan jalan menunjukkan keistimewaan dan
pentingnya karya sastra tersebut untuk dibaca, disimak, dinikmati, dan
dipahami kandungan maknanya.
Fungsi lain dari telaah sastra dipaparkan oleh Atar Semi (dalam Fanani,
2000: 68-69) sebagai berikut.
a) Untuk pembinaan dan pengembangan sastra
Telaah sastra merupakan upaya untuk menyelamatkan dan memelihara
serta mengembangkan pengalaman manusiawi yang berwujud sebagai karya
seni yang bernama sastra. Kemudian, menjadikannya sebagai suatu proses
perkembangan struktur yang bermakna. Fungsi ini jauh lebih penting daripada
hanya membuat kategori-kategori yang biasa dilakukan, meskipun kategori-
kategori tersebut berguna.
b) Untuk pembinaan kebudayaan dan apresiasi seni
Telaah sastra jelas akan membina tradisi budaya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Nilai-nilai tersebut akan dapat dicerna karena selain
menunjukkan patokan-patokan tertentu, telaah sastra juga menunjukkan
kebaruan-kebaruan yang ada. Hal ini akan membuat apresiasi pembaca
terhadap karya sastra meningkat karena selain memberikan patokan-patokan
yang berkaitan dengan telaah struktur beserta unsur-unsurnya, telaah sastra
juga bertujuan untuk menunjukkan hal-hal yang tersirat dari semua yang
tersurat.
c) Untuk menunjang ilmu sastra
Telaah sastra dapat dikatakan sebagai wadah pengembangan ilmu yang
berkaitan dengan ilmu sastra. Melalui telaah tersebut tentu suatu saat akan
ditemui gejala-gejala baru yang terdapat dalam karya sastra. Hal tersebut tentu
akan memberikan satu kontribusi terhadap perkembangan teori dan ilmu
sastra.
55

d) Untuk menumbuhkan kreativitas pengarang


Telaah sastra merupakan salah satu upaya untuk menumbuhkan kreativitas
pengarang selain digunakan sebagai sarana penilaian dan interpretasi.
Pengarang yang karyanya ditelaah secara cermat akan mengetahui sejauh
mana nilai karyanya di mata pembaca. Selain itu, pengarang juga akan
mengetahui letak kelebihan dan kekurangan karya sastra yang diciptakannya.

6. Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang
ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Miekel Bal dkk
(dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai
ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive-
Philosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi
berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya
buku Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903).
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti “kawan”
dan logos yang berarti “ilmu”. Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa
sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara
sesama individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan
lembaga-lembaga dan ide-ide sosial. Ia mengusahakan suatu sintesis dan ilmu
jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti
hakikat sosial dalam hubungan kebudayaan umum.
Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri
dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-
individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur
sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan
sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
56

Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif.


Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi
pengaruh terhadap masyarakat (Semi, 1990: 73). Sastra dapat dikatakan sebagai
cerminan masyarakat, tetapi tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya
tergambarkan dalam sastra, yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah
masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan
berperan sebagai mikrokosmos sosial, seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Sastra sebagai gambaran masyarakat
bukan berarti karya sastra tersebut menggambarkan keseluruhan warna dan rupa
masyarakat yang ada pada masa tertentu dengan permasalahan tertentu pula.
Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya selalu
ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko
Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Ian Watt (dalam Sapardi Djoko Damono,
1984: 3) menyatakan bahwa sosiologi sastra adalah ilmu yang membicarakan
hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Untuk mendekati
maupun mengakrabi karya sastra perlu menggunakan suatu pendekatan sosio-
kultural. Pendekatan ini menyimpulkan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami
secara selengkap-lengkapnya dan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan atau
peradaban yang telah menghasilkannya.
Garbstein (dalam Ekarini Saraswati, 2003: 17) mengungkapkan secara
singkat konsep tentang sosiologi sastra, yaitu:
1) Karya sastra tidak mungkin dapat dipahami selengkapnya tanpa dihubungkan
dengan kebudayaan dan peradaban yang menghasilkannya.
2) Gagasan yang terdapat dalam karya sastra sama pentingnya dalam bentuk
teknik penulisannya.
3) Karya sastra bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah sebuah prestasi.
4) Masyarakat dapat mendekati sastra dari dua arah: sebagai faktor material
istimewa dan sebagai tradisi.
5) Kritik sastra seharusnya lebih dari sekadar perenungan estetis yang tanpa
pamrih.
57

6) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra
masa depan.
7) Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun
suatu sosiologi sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan.
8) Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama,
manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir dan yang kedua, struktur
soial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem
produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan suprastrujtur.
9) Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu
ekonomi.
Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga
pendekatan dalam sosiologi sastra. Yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan
pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan
sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya
keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan
masyarakat.
Menurut Laurenson (1972) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan
sosiologi sastra.
1) Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
2) Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan
3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial
budaya atau peristiwa sejarah.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka
terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel
mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan
sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat
kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya.
Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan
hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah
58

melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus
terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman
baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis
dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa
pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi
pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-
hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna,
2003: 63) karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi
oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sebagai cermin kehidupan
masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota
masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya
dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya.
Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas
masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara
pengarang dan masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas
sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan
manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya
merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi.
Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial
budayanya, tetapi juga dengan alam. Kajian sosiologi sastra yang menonjol adalah
yang dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah
refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton, 1983).
Sastra, karenanya, merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan
satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya
atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam
karya sastra (Langland, 1984).
Fananie (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk
dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial
dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu, karya sastra
59

seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam masyarakat (Michael


Zerafta, dalam Elizabeth, 1973). Dalam hal ini, karya-karya mempunyai suatu
fungsi pewahyuan dalam pengertian mencakup aspek-aspek kehidupan sosial,
ekonomi atau pun budaya. Itulah sebabnya, karya sastra dapat merupakan
pencarian dan sekaligus ungkapan pengertian dan esensinya.
Dalam konteks metodologis, pendekatan sosiologis selalu mengalami
perubahan. Pada mulanya, pendekatan sosiologis diletakkan pada kerangka
positivisme. Model ini menitikberatkan pada usaha pencarian hubungan antara
sastra dengan beberapa faktor, seperti iklim, geografi, filsafat, dan politik. Sastra
diperlakukan sebagai fakta yang statusnya sama dengan penelitian ilmiah
(Damono, 1979). Perkembangan selanjutnya, pendekatan sosiologis menolak
model positivisme. Pendekatan sosiologis lalu diarahkan pada telaah nilai-nilai.
Hal tersebut didasarkan pengertian bahwa karya sastra berkaitan dengan hakikat
dituasi di dalam sejarah. Karya sastra adalah karya yang menyajikan persoalan-
persoalan interpretasi yang paling tidak terpecahkan yang berkaitan dengan makna
(tata nilai) dan bentuk (struktur) dari kondisi sosial dan historis yang terdapat
dalam kehidupan manusia. Secara implisit, di dalam teks sastra terdapat proposisi-
proposisi bahwa manusia tidak pernah hidup sendiri dan lebih dari itu manusia
memiliki masa lampau, masa sekarang, dan masa yang akan datang atau seolah-
olah merupakan sebuah oracle (sabda dewa atau garis yang pasti dilalui). Karena
itu, nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah nilai yang hidup, yang selalu
berkembang dan dinamis. Ini berarti karya sastra tidak diperlakukan sebagai data
jadi, melainkan merupakan data mentah yang masih harus diolah dengan
fenomena lain.
Bertolak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra
adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas
masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, hasil berupa karya sastra
dengan masyarakat, dan hubungan pengaruh karya sastra terhadap pembaca.
Namun, dalam kajian ini hanya dibatasi dalam kajian mengenai gambaran
pengarang melalui karya sastra mengenai kondisi suatu masyarakat.
60

a. Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti
teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat
dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun
tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks tersebut (Abdullah, 1994: 148).
Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan
memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai
sebuah artefak yang mati, baru kemudian dihidupkan oleh pembaca melalui apa
yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada
hubungan pembaca dengan tempat, waktu, latar sosialnya, dan karya
bersangkutan.
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan
tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (Teeuw, 1984) dan Yori
Lotmann dengan konsep horison harapan pembaca (Terry Eagleton, 1983).
Perkembangan tersebut akhirnya mengarah pada aspek sosiologi (Burns and
Burns, eds., 1973). Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut
ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan tori ini, dalam
memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh
horison harapan. Horison harapan ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu
pihak dan sitem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak.
Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika
(ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi
pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca
atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena
ada pembaca yang menilai (Pradopo, 1995: 206).
Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada
pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan
masyarakat pembaca (Jausz, 1974: 12). Pada penelitian ini objek analisis adalah
61

novel yang tergolong dalam kategori karya sastra tulis. Masyarakat berusaha
untuk memaknai tanda ataupun makna yang terkandung dalam sebuah cerita yang
terangkum dalam novel. Kemudian muncullah istilah horizon harapan yang
berpijak dari perbedaan pemahaman masing–masing pembaca. Horizon harapan
merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan
mencakup interpretasi dalam masyarakat (Jausz, 1974: 204).
Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood
bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra (Laurenson dan
Swingewood, 1972). Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa
sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik (Wellek, 1956) dan unsur
ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti
ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya.
Sebelum muncul pendekatan sosiologi sastra yang merupakan salah satu
dari perkembangan pendekatan sastra yang modern terdapat pendekatan
pragmatik yang berdekatan dengan resepsi sastra. Pendekatan pragmatik ini
merupakan salah satu dari pendekatan sastra yang bersifat universal selain
pendekatan mimesis, objektif, dan ekspresif. Sama dengan resepsi sastra,
pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan kepada pembaca.
Keberhasilan suatu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang
berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan “kesenangan”
dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik melingkupi pengarang dan pembaca,
pembacalah yang lebih dominan. Karena itu, proses komunikasi dan pemahaman
karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya
yang dihadapinya (Foulkes, dikutip, Teeuw, 1984: 57). Kemampuan kebahasaan
pembaca sangat menentukan karena pembaca bertindak sebagai penentu
pemahaman karya sastra.
Pengertian pragmatik lebih mengarah pada performance daripada
competence apabila pemahaman kebahasaan didasarkan pada sistem kebahasaan
Noam Choamsky. Hal ini karena pragmatik tidak mendasarkan pada sistem
bahasa semata, melainkan juga aspek-aspek kultural, psikologi, sosial, dan budaya
62

yang menandai pemakaian bahasa sebagai suatu sistem. Kaidah-kaidah pragmatik


menurut Choamsky adalah kaidah yang memberikan kondisi yang mencukupi
untuk menafsirkan secara pas sebuah bentuk tuturan agar dapat berfungsi sebagai
suatu sistem tanda.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan bahwa pendekatan pragmatik
dalam telaah sastra hasil akhirnya akan bergantung sepenuhnya pada kemampuan
pembaca. Baik kemampuan kebahasaannya maupun kemampuan aspek yang lain,
seperti aspek budaya, psikologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya.

b. Kritik Sastra
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan
kesusastraan. Menurut Andre Hardjana, kritik sastra merupakan sumbangan yang
dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan
sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk
bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia,
dibutuhkan suatu kritik.
Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan
tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada
semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi
kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca
sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi
sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.
Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang
dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang
berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif. Dalam kaitan ini,
sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya
dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang
berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
63

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren
membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang,
yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-
lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat
yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan
tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian
Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal,
yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi
sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya
faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan
di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat
menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan
masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat
bagi pembaca.
Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam
telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya.
Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.
Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan
pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan
Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang
berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan
ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud
64

yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat
sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu
masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan
bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya
sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan
dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun
dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak.
Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas
dan tujuan tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis
"data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang
esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra
dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan
maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan
pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya
untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa
sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan
penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi
pengarang.
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya
memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra
tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat
mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar
karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari
fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali
merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah
masyarakat. Michel Zerraffa mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis
estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan
analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
65

1) Kritik Sastra Feminis


Sebuah kata merupakan sebuah unit budaya jika dipandang dari sisi
semiotik. Dalam sebuah budaya, sebuah unit merupakan sesuatu yang
dideefinisikan secara budaya dan dibedakan sebagai suatu entitas. Unit tersebut
bisa jadi adalah seseorang, sebuah tempat, benda, perasaan, peristiwa, firasat,
fantasi, halusinasi, harapan atau ide (Sugihastuti, 2007b: 117). Demikian halnya
perihal gender dalam karya sastra. Gender adalah sebuah unit budaya yang
selanjutnya dapat ditentukan secara semiotik sebagai suatu unit semantik yang
dimasukkan dalam sebuah sistem. Unit semacam ini juga dikenal sebagai unit
interkultural yang tetap tidak dapat berubah meskipun simbol linguistik tempat
tersebut disignifikan.
Permasalahan yang dibicarakan akan erat kaitannya dengan studi wanita
jika ideologi gender dibicarakan dalam karya sastra. Kajian wanita mencakup
berbagai topik yang bertalian dengan wanita, seperti, novel wanita, buruh atau
pekerja wanita, psikologi wanita, lesbianisme, dan lain-lain. Kajian wanita di
bidang sastra pun menggulir pelan-pelan, yaitu dengan mulai diliriknya penerapan
kritik sastra feminis (Sugihastuti, 2007a: 129-130). Analisis kritik sastra feminis
terhadap wacana cerita dapat ditelusuri melalui salah satu varian pendekatan kritik
sastra feminis yang berkembang di Amerika. Sepeerti diketahui, kritik sastra
feminis berawal dari hasrat para feminis untuk mengkaji karya penulis-penulis
wanita pada masa silam. Misalnya, bagaimana kajian atas novel-novel Hamidah
dan Selasih sampai novel Ayu Utami. Kajian atas karya novelis-novelis wanita
Indonesia pada masa silam menjadi fokus perhatian analisis kritik sastra feminis.
Dalam arti leksikal, feminisme adalah gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria (KBBI, 1996: 241).
Feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan wanita di bidang
politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan
hak-hak serta kepentingan wanita (Goefe, 1986: 837). Dalam ilmu sastra,
feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra
yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2000d: 37). Jika
selama ini dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan
66

pencipta dalam sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan
bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman
sastranya (Showalter, 1985: 3).
Kritik sastra feminis didefinisikan oleh Kolodny, seorang pengkritik
feminis Amerika sebagai berikut.
it involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our
literature and our literary critism and, as well, demonstrating the
inadequency of established critical schools and methods to deal fairly or
sensitively with work written by women (dalam Sugihastuti, 2007a: 141)

Kolodny menjelaskan bahwa kritik sastra feminis membeberkan wanita


menurut stereotipe seksual, baik dalam kesusastraan maupun dalam kritik sastra
kita, dan juga menunujukkan bahwa aliran-aliran serta cara-cara yang tidak
memadai telah digunakan untuk mengkaji tulisan wanita secara tidak adil dan
tidak peka. Menurutnya, mereka yang menekuni bidang sastra pasti menyadari
bahwa biasanya karya sastra, yang pada umumnya hasil tulisan laki-laki
menampilkan stereotipe wanita sebagai istri dan ibu yang setia dan berbakti,
wanita manja, pelacur, dan wanita dominan. Citra-citra wanita seperti itu
ditentukan oleh aliran-aliran sastra dan pendekatan-pendekatan tradisional yang
tidak cocok dengan keadaan karena penilaian demikian tentang wanita tidak adil
dan tidak teliti. Pdahal wanita memiliki perasaan-perasaan yang sangat pribadi,
seperti penderitaan, kekecewaan atau rasa tidak aman yang hanya bisa
diungkapkan secara tepat oleh wanita itu sendiri.
Kritik sastra feminis bertujuan untuk menunjukkan citra wanita dalam
karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita sebagai makhluk yang
dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan serta disepelekan oleh tradisi
patriarkal yang dominan. Hasrat kritikus sastra feminis dapat saja didasari oleh
perasaan cinta dan setia kawan terhadap pengarang dan penyair atau penulis-
penulis wanita dari zaman dahulu sampai sekarang. Dapat pula, hasrat mereka
didasari oleh perasaan prihatin dan amarah. Kedua hasrat kritikus sastra feminis
ini menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang kadang-kadang terpadu.
Misalnya, dalam meneliti citra wanita dalam karya sastra penulis wanita,
67

perhatian mungkin dipusatkan pada cara-cara yang mengungkapkan tekanan-


tekanan yang diderita oleh tokoh wanita (Sugihastuti, 2007a: 136).
Salah satu dari beberapa ragam kritik sastra feminis adalah kritik
ideologis. Kritik sastra feminis yang lapang banyak - dan yang sekiranya
sederhana, mudah, dan cepat - dipakai adalah kritik ideologis. Kritik sastra
feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang
menjadi pusat perhatian pembaca adalah citra serta stereotipe wanita dalam karya
sastra. Kritik ini juga meneliti kesalahpahaman tentang wanita dan sebab-sebab
mengapa wanita sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali
dalam kritik sastra. Pada dasarnya, ragam kritik sastra feminis ini merupakan cara
menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan
untuk teks yang paling rumit sekalipun. Cara ini bukan saja memperkaya
wawasan para pembaca wanita, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka
(Djajanegara, 2000: 28).
Sejalan dengan kritik sastra feminis ideologis adalah konsep reading as a
woman (Culler, 1983: 43-63). Konsep ini adalah konsep yang sekiranya pantas
dipakai untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris atau patriarkal yang sampai sekarang diasumsikan menguasai
penulisan dan pembacaan sastra (dalam Sugihastuti, 2007a: 139). Arti kritik sastra
feminis secara sederhana adalah sebuah kritik sastra yang memandang sastra
dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan
dengan budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat
banyak perbedaan, di antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia. Ada
asumsi bahwa wanita memiliki persepsi yang berbeda dengan laki-laki dalam
membaca sastra (Sugihastutia, 2007: 140).
Sumber yang lain menyatakan bahwa feminisme memandang wanita
bukan sebagai korban melainkan sebagai pelaku. Menurut Paula Gunn Allen
(dalam Zita Rarastesa, 2001): a feminist approach in the Native American
women’s writing could both show the power of the indian women and the
tendencies to suppress the Indian women’s power and subjectivity. Tulisan
tersebut menjelaskan bahwa pendekatan feminis pada wanita barat -yang diwakili
68

oleh wanita Amerika- menunjukkan kekuatan wanita dan cenderung


memperlihatkan kekuatan wanita dan pelaku.

2) Sastra Mengeksploitasi Manusia


Karya sastra mengeksploitasi manusia dan masyarakat. Hal ini yang
menjadi alasan utama mengapa sosiologi sastra penting dan dengan sendirinya
perlu dibangun pola-pola analisis sekaligus teori-teori yang berkaitan dengannya.
Meskipun masalah sastra dan manusia/masyarakat sudah dibicarakan jauh
sebelumnya, sosiologi sastra sebagai ilmu yang berdiri sendiri dengan
menggunakan teori dan metode ilmiah dianggap baru mulai pada abad ke-18.
Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala,
yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain,
tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra, meskipun belum
menemukan pola analisis yang dianggap memuaskan, mulai memperhatikan karya
seni sebagai bagian yang integral dari masyarakat. Tujuannya jelas untuk
memberikan kualitas yang proposional bagi kedua gejala: sastra dan masyarakat.
Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek
dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan
gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu
bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi
wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi,
imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri
sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan
mencakup hubungan antarmasyarakat dengan orang-orang, antarmanusia,
antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Maka, memandang karya sastra
sebagai penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang
dikenakan pada karya sastra adalah "kebenaran" penggambaran, atau yang hendak
digambarkan.
69

Namun, Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang


mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan
selengkap-lengkapnya. Hal ini disebabkan fenomena kehidupan sosial yang
terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak disengaja dituliskan oleh
pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung
mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin
pengarangnya sendiri tidak tahu. Karya sastra dapat juga mencerminkan dan
menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas dalam masyarakat.

7. Profil Abidah Al Khalieqy


Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur. Setelah ia menamatkan
pendidikannya di sekolah ibtidaiyah (setingkat dengan sekolah dasar), ia
melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan. Di
pesantren inilah ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama pena Idasmara
Prameswari, Ida Arek Ronopati atau Ida Bani Kadir.
Abidah memperoleh ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah
Muhammadiyah Klaten dan menjadi juara Penulisan Puisi Remaja se-Jawa
Tengah pada 1984. Alumni Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga ini menulis
tesis Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam (1989).
Abidah pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1987-1988),
kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta pada 1988-1989.
Dia juga menjadi peserta dalam pertemuan Asia Pasific Forum on Women, Law
and Development (APWLD) pada 1988.
Karya-karya penyair dan novelis yang tinggal di kota budaya ini telah
dipublikasikan di berbagai media lokal maupun nasional. Media tersebut antara
lain The Jakarta Post, Jurnal Ulumul Quran, Majalah Horizon, Republika, Media
Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Jawa Post, dll. Karya-karyanya
juga termaktubkan dalam berbagai buku antologi sastra, seperti Kitab Sastra
Indonesia, Angkatan Sastra 2000, Wanita Pengarang Indonesia, ASEANO: an
Antology of Poems Shoutheast Asia, Album Cyber Indonesia (Australia),
Selendang Pelangi (antologi perempuan penyair Indonesia), Para Pembisik,
70

Dokumen Jibril, Nyanyian Cinta, dan lain-lain. Karya-karyanya juga terdapat


dalam beberapa antologi sastra Festival Kesenian Yogyakarta; Sembilu,
Pagelaran, Embun Tajalli, dan Ambang.
Ia sering membacakan puisinya di sekretariat ASEAn dan hadir dalam
Konferensi Perempuan Islam se-Asia Pasifik dan timur Tengah (1999). Abidah
mendapatkan Penghargaan Seni dari Pemerintah DIY (1998) dan mengikuti
program Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) di berbagai SMA kota besar
Indonesia (2000-2005).
Abidah juga dinobatkan sebagai salah satu tokoh muda “Anak Zaman
menerobos Batas” versi Majalah Syir‟ah (2004). Karya-karyanya yang sudah
terbit dalam bentuk buku adalah Ibuku Laut Berkobar (1987), Menari Di Atas
Gunting (2001), Atas Singgasana (2002), Genijora (2004), Mahabbah Rindu
(2007), dan Nirzona (2008).
Dari latar belakang pendidikan yang seperti itulah Abidah berkembang
menjadi penulis wanita yang cukup produktif dalam menghasilkan karya. Dengan
memiliki modal latar pendidikan pesantren inilah kebanyakan karya-karya yang
dihasilkannya mampu mendeskripsikan secara detail kebiasaan, peraturan, bahkan
unsur-unsur yang ada di dalamnya secara jelas. Begitupula yang melatarbelakangi
hadirnya Novel Perempuan Berkalung Sorban. Keaktifannya dalam berbagai
lembaga dan forum diskusi baik dalam skala nasional maupun internasional
membuat namanya berkibar.

B. Penelitian yang Relevan


Beberapa penelitian yang berhubungan dengan penelitian ini telah
dilakukan sebelumnya, seperti penelitian yang dilkaukan oleh Ahmad Makki
Hasan (Program Pasca Sarjana UIN Malang) yang berjudul Sastra & Sosio-
Kultural Masyarakat. Penelitian tersebut menjelaskan bahwa sastra atau lebih
dikenal dengan karya sastra adalah hal yang tidak dapat dilepaskan dalam suatu
masyarakat tertentu. Keberadannya -oleh banyak kalangan- merupakan replika
kondisi suatu masyarakat. Baik itu merupakan imitasi akan sosio-kultural yang
telah ada maupun dapat juga merubah bentuk tatanan yang sudah ada dalam
71

masyarkat. Terlepas dari itu semua peranan akan sastra dalam pembentukan sosio-
kultural masyarakat bukanlah hal yang sepele. Apalagi dalam masa (global)
universalitas seperti saat ini.
Penelitian yang lain adalah Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik
oleh Tjahjono Widarmanto yang dilakukan pada 2007. Pada tulisannya tersebut,
Tjahjono mengungkapkan bahwa selama sastra dan kebudayaan membicarakan
persoalan manusia- kemanusiaan, masyarakat-kemasyarakatan, dan hidup-
kehidupan, maka interaksi itu akan terus ada dan akan menawarkan berbagai
pendekatan yang akan memperkaya kesusastraan dan kebudayaan.
Sedangkan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian ini
adalah Kontruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya
Abidah El-Khalieqy oleh Dhiroh (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat yang
mewarnai hampir ajaran agama khususnya yang berkaitan dengan perempuan,
pemahaman dan interpretasi penafsiaran agama yang dianggap sebagai kebenaran
yang pasti oleh para pemeluknya dan yang terakhir adalah tidak adanya sikap
kritis dari para pemeluknya atas tafsir-tafsir agama yang bias gender.

C. Kerangka Berpikir
Perkembangan karya sastra Indonesia bergerak menuju ke arah yang lebih
signifikan. Pada beberapa tahun terakhir penulis wanita bahkan banyak
bermunculan mengimbangi karya-karya penulis pria. Timbul beberapa pendapat
mengenai hal tersebut. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra
ciptaan penulis wanita ini mampu memberikan warna tersendiri dalam sastra
Indonesia.
Penelitian ini akan membahas tentang Novel Perempuan Berkalung
Sorban yang ikut mewarnai perkembangan sastra di tanah air. Pembahasan akan
difokuskan pada analisis nilai-nilai kultural yang terdapat dalam novel tersebut.
Teori yang akan lebih digunakan adalah teori resepsi sastra yang bersandar pada
sosiologi sastra. Yaitu sebuah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi
72

penikmat dan pengarangnya. Penilaian terhadap karya sastra menjadi penting


karena karya sastra akan mampu menimbulkan arti tertentu bagi pembacanya.
Analisis yang dilakukan terhadap nilai-nilai kultur pondok pesantren yang
terdapat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dapat digunakan sebagai
pertimbangan atas penggunaan novel yang bersangkutan sebagai bahan ajar
alternatif dalam pembelajaran sastra di SMA.

Novel Perempuan Berkalung


Sorban

Struktural Genetik Resepsi Sastra Ekspresif

Unsur intrinsik Komentar dan penilaian Proses kreatif dan


karya sastra pembaca terhadap karya sastra penggambaran setting

Relevansi nilai-nilai kultural pondok pesantren


dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
terhadap pembelajaran sastra di SMA

Bagan 2. Kerangka Berpikir


73

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian yang mengunakan karya kesusastraan
sebagai objek kajiannya. Hal tersebut menyebabkan tidak adanya pembatasan
khusus terhadap tempat dan waktu. Selain itu, penelitian juga mengunakan kajian
pustaka dan interpretasi atau penafsiran sehingga penelitian ini dapat dilakukan
kapan saja tanpa harus terpancang pada tempat penelitian.
Meskipun begitu, peneliti juga melakukan penelitian di pondok pesantren
guna menunjang penelitian dari segi nara sumber. Ini dilakukan karena penelitian
kesusastraan yang dilakukan terkait dengan pembaca yang memiliki background
pondok pesantren atau yang biasa disebut dengan istilah santri. Pondok pesantren
yang dipilih adalah Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan, Kecamatan
Kragan, Kabupaten Rembang. Alasan pemilihan pondok pesantren tersebut adalah
karena pondok pesantren tersebut memiliki latar budaya yang hampir sama, yakni
kentalnya pengaruh Nahdlatul Ulama pada pondok pesantren tersebut. Selain itu,
Pondok Pesantren Al Quran Desa Narukan tersebut juga termasuk pondok
pesantren tradisional (Salafi). Kondisi yang sama dengan gambaran pondok
pesantren dalam novel yang dijadikan objek penelitian.
Penelitian dilaksanakan selama lima bulan dari bulan Desember 2009
sampai dengan April 2010. Secara terperinci, jadwal penelitian dapat dilihat pada
tabel 3.

73
74

Des Jan Feb Maret April


No kegiatan
2009 2010 2010 2010 2010
Pelaksanaan penelitian
 Observasi dan V V V
pendataan awal
1 Pengumpulan, V V
klasifikasi, dan deskripsi
data.
 Analisis data V V V
Penyelesaian penelitian
2 Menyusun laporan
V V
penelitian
Tabel 3. Jadwal Penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian


Mengacu pada masalah yang terdapat dalam penelitian ini, penelitian yang
dilakukan bersifat kualitatif. Yaitu penelitian yang tidak menggunakan angka-
angka sebagai data utamanya. Data yang ada berupa pencatatan dan dokumen
terurai dalam bentuk kata-kata.
Data berasal dari kajian tentang berbagai tulisan yang berhubungan dengan
objek yang dikaji. Di samping itu juga menggunakan kajian pustaka sebagai kajian
teori dan wacana. Penelitian ini juga termasuk penelitian deskriptif. Artinya peneliti
memberikan gambaran objek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat
mengenai fakta-fakta dan hubungan kausal yang diteliti.
Penelitian ini juga mengunakan pendekatan sosiologi sastra, yaitu pendekatan
dalam menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan untuk mengetahui makna totalitas sebuah karya sastra. Pendekatan
sosiologi sastra juga berupaya untuk menemukan keterjalinan antara pengarang,
pembaca, dan kondisi sosial budaya dengan karya sastra.

C. Bentuk dan Sumber Data


Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kajian peneliti terhadap isi
novel Perempuan Berkalung Surban yang menjadi sumber data objektif. Peneliti
75

juga mengadakan wawancara dan kuesioner terhadap beberapa pihak terkait


dengan novel tersebut. Pertanyaan yang dikemukakan kepada narasumber adalah
data-data yang sekiranya menunjang penelitian dan dapat digunakan sebagai data
afektif. Hasil wawancara tersebut kemudian diolah untuk dijadikan bahan kajian
penelitian.
Sutopo (1996: 49-51) menyebutkan bahwa data dapat digali dari informan
(nara sumber), peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dokumen dan arsip.
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari berbagai sumber yang meliputi
informan dan nara sumber, tempat, dan dokumen.
1. Informan
Informan dalam penelitian ini adalah para santri yang tinggal dalam
lingkungan pondok pesantren. Pemilihan informan dari kalangan santri
dilakukan secara acak. Informan dari kalangan santri adalah Ni‟matussa‟diyah
dan Lulik Khumaidiyah. Sedangkan narasumber genetik dalam penelitian ini
adalah Abidah El Khalieqy selaku penulis novel Perempuan Berkalung
Sorban.
2. Tempat
Tempat yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah Pondok
Pesantren Narukan yang bertempat di Kecamatan Kragan, Kabupaten
Rembang. Tempat ini digunakan peneliti untuk menjawab semua masalah yang
telah dirumuskan dalam bab I. Alasan pemilihan pondok pesantren tersebut
adalah adanya kesamaan kultur antara pondok pesantren yang bersangkutan
dengan setting yang digunakan oleh Abidah El Khalieqy dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban.
Kesamaan kultur yang terdapat pada keduanya adalah pengaruh
Nahdlatul Ulama yang masih sangat kental di dalamnya. Pengaruh tersebut
terlihat pada sistem pendidikan dan beberapa kitab yang dipelajarinya.
3. Dokumen (arsip)
Sumber data dokumen atau arsip dalam penelitian ini meliputi sumber
data yang digunakan untuk kajian teori diperoleh dari dokumen atau arsip.
Dokumen utama yang menjadi kajian adalah novel Perempuan Berkalung
76

Sorban. Dokumen-dokumen yang lain berupa buku-buku yang menunjang


materi dan permasalahan yang dikaji serta tulisan dan artikel ilmiah yang
didapat dari studi pustaka dan internet.

D. Teknik Pengumpulan Data


Penulis mengunakan teknik pengumpulan data dengan metode content
analysis atau analisis dokumen (H. B. Sutopo, 1996: 55). Metode ini diambil peneliti
karena data utama yang dikumpulkan berupa teks-teks yang terdapat dalam novel
Perempuan Berkalung Surban. Bagian-bagian yang dikaji secara mendalam dalam
penelitian ini adalah:
1. Unsur intrinsik novel Perempuan Berkalung Surban;
2. Nilai-nilai kultur pondok pesantren yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban; dan
3. Unsur ekstrinsik novel Perempuan Berkalung Surban yang dilihat dari latar
belakang, proses kreatif, dan sudut pandang penulis novel, yakni Abidah El
Khalieqy.
Selain itu, Penulis juga menggunakan beberapa teknik pengumpulan data
yang diusulkan oleh Sudaryanto (1993: 133-136), yaitu teknik simak libat cakap.
Teknik ini berarti penulis juga berpartisipasi langsung di dalam wawancara
yang terjadi. Selain itu, peneliti melakukan wawancara dengan mengacu pada
pendapat Sutopo. Sutopo (2002: 59) menyatakan bahwa wawancara dalam
penelitian kualitatif umumnya tidak dilakukan secara terstruktur ketat dan tidak
dengan pertanyaan tertutup seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dilakukan
secara tidak terstruktur atau sering disebut sebagai teknik wawancara mendalam.
Alat yang digunakan adalah perekam suara pada handpone. Alat ini
digunakan untuk merekam percakapan antara peneliti dengan objek penelitian. Selain
merekam, penulis juga menggunakan metode pencatatan untuk mendukung data
rekaman.
77

E. Teknik Cuplikan
Bentuk teknik cuplikan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Teknik ini dipilih karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan
kedalaman data dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pemilihan sampel
diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik cuplikan dalam
penelitian ini berfungsi sebagai internal sampling karena tidak digunakan sebagai
generalisasi populasi tetapi untuk memperoleh kedalaman studi di dalam suatu
konteks tertentu. Teknik cuplikan tidak mewakili sebagai populasi namun
mewakili informasi yang dibutuhkan.
Sampling diterapkan pada santri putra maupun putri dan pengurus pondok
pesantren. Semua informasi di tempat penelitian diharapkan mampu memberikan
informasi yang lengkap dan objektif. Dalam penelitian ini informasi yang dipilih
dapat berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemantapan dalam
memperoleh data.

F. Validitas Data
Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang
kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang di
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Untuk menentukan
keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2001:
178) triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi
sebagai pembanding atau mengecek terhadap data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dari data itu.
Moleong menambahkan (2001: 178) ada empat macam triangulasi sebagai
teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan sumber; (2) metode; (3)
penyidik; dan (4) teori. Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan
adalah teknik triangulasi sumber dan teori dan review informan.
Teknik triangulasi sumber data yaitu triangulasi yang mengarahkan
peneliti agar di dalam mengumpulkan data wajib menggunakan beraneka ragam
sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sejenis atau sama akan lebih valid
78

jika diperoleh dari beberapa sumber data yang berbeda. Sedangkan triangulasi
teori memungkinkan adanya banyak teori yang dapat digunakan untuk
mendukung keabsahan sebuah penelitian.
Review informan dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data atau
interpretasi temuan kepada informan atau narasumber sehingga diperoleh
kesamaan persepsi antara peneliti dan informan tentang data atau interpretasi
temuan tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi lebih jauh lagi atau
dilakukan wawancara yang lebih mendalam lagi agar penafsiran secara sepihak
oleh peneliti dapat dihindari.

G. Analisis Data
Data utama yang dalam penelitian adalah teks novel Perempuan Berkalung
Surban beserta kajian atas teks-teks tersebut. Sedangkan data yang diperoleh dari
hasil rekaman dan catatan adalah berupa suara tuturan langsung objek penelitian dan
cacatan tentang percakapan objek penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian
ini menggunakan interactive model of analysis atau model analisi interaktif oleh
yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992: 15-21). Analisis ini
melibatkan hal-hal berikut:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan kajian pustaka dan teks
novel Perempuan Berkalung Surban. Selain itu juga menggunakan data yang
didapatkan dari wawancara dengan narasumber.
2. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung dengan cara
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu,
dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
79

3. Penyajian Data
Penyajian data merupakan suatu rakitan oraganisasi informasi, desripsi dalam
bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan.
4. Penarikan Simpulan
Kegiatan analisis data yang keempat adalah menarik simpulan dan verifikasi.
Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Secara lebih jelas model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan
berikut.

Pengumpulan data

Penyajian
data
Reduksi data

Penarikan simpulan/
verifikasi

Bagan 3. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992: 23)

Bagan di atas memperlihatkan bahwa proses analisis data mulai dilakukan


dengan melakukan tahap pengumpulan data. Pengumpulan data ini dilakukan
dengan mengumpulkan berbagai data yang diperlukan, meliputi: wawancara
dengan narasumber, studi pustaka dan literature di perpustkaan serta pencarian
80

data melalui dunia cyber. Selain itu, analisis terhadap unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel juga mulai dilakukan pada tahap pertama ini.
Proses selanjutnya adalah adanya pemaparan data serta pengurangan data
jika diperlukan. Kedua tahap ini cenderung dapat dilakukan secara bersamaan
karena ketika mereduksi data peneliti sekaligus meneliti data yang akan
digunakan untuk selanjutnya atau tidak. Tahap penyajian dan reduksi data dapat
dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada akhirnya akan diperoleh data yang
benar-benar diperlukan.
Kesimpulan atau penilaian sementara juga dapat dilakukan selama ketiga
proses di atas berlangsung sehingga akhirnya diperoleh kesimpulan atau penilaian
akhir. siklus ini berjalan berputar dan memungkinkan terjadinya proses yang
berkali-kali dilakukan untuk satu kegitan, baik itu pengumpulan data,
pengumpulan data, reduksi data maupun verifikasi data.
81

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. DESKRIPSI DATA
Perempuan selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang lemah dan
membutuhkan perlindungan. Tidak ada masa bagi mereka untuk memiliki
kekuasaan bahkan atas diri perempuan itu sendiri. Inilah yang mungkin menjadi
dasar bagi budaya patriarki yang memasung perempuan dalam budaya dan
hukum-hukum serta norma yang menempatkan mereka selalu dibelakang lelaki
dan hanya menjadi rencang wingking saja.
Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis
wanita di Indonesia. Abidah El Khalieqy dengan novel Perempuan Berkalung
Sorban-nya membidik tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan
sebagai usahanya melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi
para perempuan di Indonesia. Pada novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah
menggunakan latar pondok pesantren sebagai setting tempatnya yang
disempurnakan dengan suasana dan kondisi pesantren serta kebiasaan yang biasa
dilakukan di pondok pesantren.
Novel Perempuan Berkalung Sorban ini dianalisis dengan menggunakan
kajian resepsi sastra. Kajian ini menempatkan peran pembaca pada sisi yang
dominan. Peran dan pengetahuan pembaca digunakan peneliti untuk mengetahui
sambutan pembaca terhadap novel yang bersangkutan. Sebelumnya, peneliti
mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik sastra dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban terlebih dahulu dan latar belakang penciptaan novel yang kemudian
dilanjutkan dengan tanggapan pembaca terhadap novel.
Unsur-unsur intrinsik novel yang dibahas dalam penelitian ini meliputi
tema, perwatakan, latar (setting), alur (plot), sudut pandang, amanat, dan gaya
bahasa. Pendeskripsian ini memudahkan peneliti untuk memahami novel yang
bersangkutan lebih dalam. Penelitian ini juga dilengkapi dengan profil Abidah El
Khalieqy sebagai penulis novel sekaligus proses kreatif novel Perempuan

81
82

Berkalung Sorban. Hal ini dikarenakan sedikit banyak background penulis


mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
Wawancara yang dilakukan dengan narasumber genetik, yaitu Abidah El
Khalieqy dan beberapa santri pada pondok pesantren digunakan peneliti untuk
menjawab kondisi pondok pesantren yang digunakan sebagai setting novel yang
bersangkutan. Wawancara dengan beberapa santri yang sudah tinggal cukup lama
di lingkungan pesantren digunakan peneliti untuk mengetahui gambaran kultur di
pondok pesantren salaf. Pondok pesantren salaf adalah pondok pesantren yang
digunakan Abidah El Khalieqy sebagai latar tempat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban.
Selanjutnya, peneliti akan mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban yang dapat digunakan sebagai bahan ajar
alternatif dalam pembelajaran sastra di SMA. Selain itu, tanggapan pembaca yang
didapatkan peneliti dari wawancara dan pembagian kuesioner digunakan peneliti
untuk mengetengahkan penilaian pembaca mengenai novel Perempuan Berkalung
Sorban. Pembaca diminta memberikan penilaian tentang isi novel dan
kemampuan penulis terutama dalam mendeskripsikan kultur pesantren.

B. ANALISIS UNSUR INTRISIK NOVEL PEREMPUAN


BERKALUNG SORBAN
Analisis unsur-unsur intrinsik merupakan penelitian terhadap unsur-unsur
internal karya sastra. Karya sastra yang menjadi objek penelitian di sini adalah
novel Perempuan Berkalung Sorban karya Abidah El Khalieqy. Unsur-unsur
intrinsik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah tema, perwatakan, latar
(setting), alur (plot), sudut pandang, dan amanat.

1. Tema
Tema merupakan ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca atau pendengar. Secara sederhana, tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi
pokok masalah dalam cerita. Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita.
83

Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak
hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi
tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain.
Perempuan Berkalung Sorban membidik tema lama yang sebenarnya
sudah sering ditulis dan dibicarakan oleh penulis-penulis sebelumnya. Baik
penulis laki-laki maupun penulis perempuan. Perbincangan masalah gender
menjadi satu masalah yang selalu menarik untuk diperbincangkan atau sekadar
dijadikan bahan diskusi dan Abidah menjadikan tema ini sebagai subject matter
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang pertama cetak pada tahun 2001
lalu.
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang tokoh Annisa
yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan dan adat
yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan laki-laki
di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti kehilangan
kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya patriarkal
masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan terlihat
begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan pesantren. Di
sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang ingin mengubah
tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada perempuan-
perempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus
cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata.
Abidah El Khalieqy menggambarkan kondisi tersebut secara apik dengan
sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda.
Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung
Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
84

dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)

Kutipan di atas menunjukkan tentang posisi dan kondisi wanita yang


hadir hanya untuk berada di belakang. Perempuan hadir untuk mengurusi
permasalahan rumah tangga dan urusan dapur lainnya. Budaya patriarkal masih
beranggapan bahwa perempuan tidak perlu dan tidak pantas untuk tahu lebih jauh
tentang hal-hal yang berada di luar kawasan dapur dan rumah. Dengan gaya
bahasa yang cenderung menilai sinis terhadap perlakuan yang dilakukan terhadap
perempuan, penulis novel ingin mengatakan tidak ikhlasnya dia terhadap
perlakuan yang diberikan kepada kaumnya.
Abidah El-Khalieqy tidak hanya menghadirkan gambaran kondisi
perempuan yang ada dalam dominasi laki-laki, tetapi juga menggambarkan
tentang hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh kaum wanita. Bahwa, perempuan
seharusnya menyuarakan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya seperti
pendidikan, persamaan kedudukan, dan penghormatan terhadap harga diri mereka
sebagai sesame makhluk Tuhan. Novel Perempuan Berkalung Sorban lebih serius
memfokuskan alur dan permasalahan cerita pada sosialisasi isu gender dan hak-
hak reproduksi perempuan di kalangan pesantren.
Dengan makian itu, wajah Samsudin tampak puas. Menyeringai-ringai
sambil mempertontonkan atraksi hewani seperti dua pegulat yang saling
memburu kemenangan. Saling menjepit dan berganti-ganti dari segala sisi,
segala posisi yang aneh-aneh dan menjijikkan. Perutku terasa mual
melihatnya. Lalu buru-buru kuambil air wudhlu untuk menghapus semua
kengerian dan abu busuk kebinatangan. Selesai sholat dhuhur, aku berzikir
hingga sore baru keluar kamar, itupun karena kalsum menggedor-gedor
pintu. Sementara samsudin telah pergi entah ke mana. Dan kini tinggal aku
dan Kalsum yang berada dalam rumah ini.
“Anis, maafkan aku tadi siang ya?” Pinta Kalsum.
“Apanya yang harus kumaafkan, Mbak Kalsum?”
….
“Seseorang tidak bisa disalahkan atau dibenarkan jika melakukan
sesuatu dalam kondisi terpaksa. Tetapi kita harus memiliki sikap yang
jelas terhadap sesuatu. Bukankah begitu, Mbak Kalsum?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 118-119)
85

Kutipan tersebut menegaskan bahwa sebagai seorang istri, perempuan pun


memiliki hak dalam masalah yang berkaitan dengan reproduksi. Perempuan
memiliki hak untuk menolak dan menerima ajakan suami untuk melakukan
hubungan suami istri. Perempuan juga harus memiliki sikap terhadap perlakuan
yang diberikan kepada mereka. Jika perempuan selalu berada dalam posisi manut
dalam hal apaun itu maka posisi perempuan akan selamanya menjadi rencang
wingking.
Bagian yang lain dalam novel ini menceritakan tentang perjuangan Annisa
untuk mendapatkan kesempatan yang sama seperti halnya kedua kakaknya yang
berjenis kelamin laki-laki. Perjuangan Annisa ini selanjutnya menjadi semangat
untuk Annisa melakukan perjuangan yang sama untuk perempuan-perempuan
yang mengalami nasib serupa dengannya, yaitu penghargaan yang masih kurang
terhadap kaum perempuan.
“Apanya yang tabu, Lek. Bukankah Lek Umi juga punya hak untuk
memintanya?”
“Tetapi aku kan perempuan, nanti dia bilang apa?”
“Dia akan bilang bahwa Lek Umi istrinya adanlah perempuan yang jujur,
berani dan terbuka.”
“Ah. Nggak mungkin. Boleh jadi ia akan bilang kalau aku ini perempuan
gatal, pikirannya ke situ melulu. Ah! Nggak ah, Nis. Aku malu.”
“Malu yang tidak pada tempatnya itu lebih bahaya daripada orang yang
tidak punya rasa malu, Lek.”
“Apa kau sendiri suka meminta duluan, Nis?”
“Jika aku ingin, mengapa tidak. Mas Khudhori dan pembicaraan dalam
komunitasku di organisasi banyak mengubah pandangan dan membentuk
cara berpikirku, Lek. Kini baru dapat kurasakan bahwa ilmu telah
memberikan banyak hal pada kita, terutama hak-hak kita juga kewajiban
kita yang lebih haq dan proporsional.”
“Aku tahu, Nis. Memang sejak dulu aku telah melihat kecerdasanmu saat
kau mendebat kiai Ali. Dan ternyata benar. Apapun yang kau alami, semua
dapat kau ambil hikmahnya. Kau tetap sekolah sekalipun sudah menikah
dan kini kau masih juga kuliah. Pastilah telah banyak ilmu dan
pengalaman yang telah kau kumpulkan untuk masa depanmu. Sejujurnya,
aku cemburu sekali jika mengingat itu, Nis.”
“Cemburu pada yang positif itu baik, Lek. Tetapi sekarang, yang lebih
penting lagi adalah tidak menutup diri untuk masuknya ilmu. Bahwa hidup
itu lapisan pengetahuan dan pengalaman. Dan waktu adalah belajar. Tak
ada kata terlambat dan penyesalan juga bukan jalan penyelesaian.
Bukankah begitu, Lek?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 263-264)
86

Kutipan tersebut menegaskan tentang cara-cara yang digunakan Annisa


untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan perempuan-perempuan yang
sekiranya bernasib sama dengannya. Diskusi dan obrolan-obrolan ringan yang
dilakukan Annisa dengan tokoh lain dalam novel bertujuan untuk memberikan
kesadaran akan arti penting posisi perempuan dalam masyarakat. Perempuan
harus sadar dengan posisinya. Di sinilah kemudian perempuan memiliki
keharusan, kewajiban, dan hak yang sama dengan laki-laki untuk belajar dan
mendapatkan pengetahuan karena mereka juga memiliki peranan yang sama
pentingnya. Abidah El Khalieqy menegaskan kembali lewat dialog-dialog yang
dilakukan oleh para tokoh dalam novel bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan selain perbedaan kodrati semata.

2. Tokoh dan Penokohan


Tokoh adalah individu ciptaan/rekaan pengarang yang mengalami
peristiwa-peristiwa atau lakuan dalam berbagai peristiwa cerita. Sedangkan
penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh. Ada dua
metode penyajian watak tokoh, yaitu:
a. Metode analitis/langsung/diskursif, yaitu penyajian watak tokoh dengan cara
memaparkan watak tokoh secara langsung.
b. Metode dramatik/tak langsung/ragaan, yaitu penyajian watak tokoh melalui
pemikiran, percakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang. Bahkan
dapat pula dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau
tempat tokoh.
Analisis tokoh dan penokohan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
adalah sebagai berikut:
a. Annisa
Annisa adalah tokoh sentral atau tokoh utama dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban. Dia adalah gambaran wanita cerdas yang hidup dalam
87

lingkungan pesantren. Annisa sadar dengan posisi wanita yang seharusnya


tidak hanya sibuk dengan urusan belakang saja sejak ia masih kecil.
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
berbicara lebih banyak. Kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal
menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
Di dalam kelas selagi aku masih merenung-renung perkataan Rizal,
pak guru bahasa Indonesia menyuruhku mengulangi kalimat:
A-yah per-gi ke kan-tor
I-bu me-ma-sak di da-pur
Bu-di ber-ma-in di ha-la-man
A-ni men-cu-ci pi-ring
“Ulangi sekali lagi, lebih keras dan jelas!” Perintah pak guru.
“Bapak pergi ke kantor,” teriakku lantang kemudian terdiam. Aku
berpikir sejenak kemudian bertanya, “apa ke kantor itu termasuk urusan
laki-laki, Pak Guru?”
Pak guru terkejut. Aku juga ikut terkejut. Demikian juga teman-
temanku.
... .
”Baiklah anak-anak,” pak guru mencoba menguasai suasana, “dalam
adapt istiadat kita, dalam budaya nenek moyang kita, seorang lai-laki
memiliki kewajiban dan seorang perempuan juga memiliki kewajiban.
Kewajiban seorang laki-laki yang terutama adalah bekerja mencari nafkah,
baik di kantor, di sawah, di laut atau di mana saja asal bisa mendatangkan
rezeki yang halal. Sedangkan seorang perempuan, mereka memiliki
kewajiban, yang terutama adalah mereka mengurus rumah-tangga dan
mendidik anak. Jadi memasak, mencuci, mengepel, menyetrika, menyapu
dan merapikan seluruh rumah adalah kewajiban seorang perempuan.
Demikian juga memandikan anak, menyuapi, menggantikan popok dan
menyusui, itu juga kewajiban seorang perempuan. Sudah paham, anak-
anak…?”
….
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 10-12)

Kutipan di atas menceritakan tentang pencarian Annisa atas hakekat


hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Sejak kecil di lingkungan
pesantren, Annisa mendapatkan perlakuan yang berbeda jika dibandingkan
dengan dua kakaknya yang laki-laki. Pikiran-pikiran dan keinginan untuk
mendapat perlakuan yang sama dengan kedua kakaknya selalu membuat
Annisa memiliki pertanyaan-pertanyaan yang selalu mengejutkan orang yang
ditanya baik itu gurunya, ibunya, atau temannya. Hal tersebut juga terlihat
dalam kutipan berikut.
88

“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”


“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara
denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau
Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,”
aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi
tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya
kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat,
tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat
lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima
gaji.”
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada
resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau
musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di
rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa
rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik
kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)

Abidah El Khalieqy menggambarkan sosok Annisa melalui


percakapan-percakapan yang dilakukan dengan tokoh lain dalam novel lain
atau lewat pemikiran-pemikiran yang dimiliki oleh Annisa. Beberapa contoh
percakapan tersebut antara lain.
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan
mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu
agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.”
“Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-
geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami
berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas
dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 80-81)

Kutipan di atas menampilkan keberanian Annisa untuk tidak segan-


segan bertanya dan mendebat kiai sekalipun jika pendapatnya diyakini benar.
Annisa meyakini bahwa ada yang salah dengan penafsiran yang dilakukan
oleh para kiai yang hidup dalam lingkungan pesantren selama ini dan terus
89

diajarkan kepada para santri. Kesalahan tersebut membuat kondisi perempuan


yang ada dalam lingkungan pesantren tidak mendapat perlakuan yang
seharusnya bisa mereka dapatkan sebagai perempuan. Kesalahan ini juga
berakibat pada kesalahan pandangan perempuan yang hidup dalam lingkungan
pesantren yang masih dilungkupi dengan kekangan budaya patriarchal yang
masih begitu kental. Perempuan-perempuan itu kemudian berpendapat bahwa
mereka memang sudah berada pada takaran yang sebenarnya. Sikap nrimo dan
pasrah inilah yang membuat mereka semakin erat berada dalam kungkungan
patriarkal. Keadaan yang seperti inilah yang ingin diubah oleh Annisa.
Annisa memperlihatkan bahwa perempuan harus berani bertindak jika
hak mereka sebagai perempuan tidak diberikan, bahkan kepada suaminya
sendiru. Ia ingin menegaskan bahwa perempuan punya hak untuk
menyuarakan hal yang dinginkan dan tidak diinginkannya. Hal tersebut
terlihat pada kutipan berikut.
“Itu namanya egois, Mbak. Tidak memperhatikan kondisi jiwa
istrinya.”
“Memang benar dia itu egois. Jika kau sedang tidak siap, apa kau
menolaknya, Anis?”
“Itulah masalahnya, Mbak. Dari kitab yang pernah kupelajari, emnolak
ajakan suami adalah kutukan. Aku belum tahu dengan jelas alas an dan
dalil-dalil yang menguatkan pernyataan itu, juga kesahihan hadisnya.
Sepertinya, hadis Nabi itu juga tidak menjelaskan berbagai kemungkinan.
Jadi…dalil itu sangat lemah untuk menjawab berbagai persoalan di sekitar
masalah itu.”
….
“Apa kau pernah merasa kesakitan?”
“Bukan hanya pernah, Mbak, tetapi selalu, selalu sakit. Memang
sampai sekarang aku belum berani menyatakan penolakanku secara lisan,
sebab aku sendiri belum emndapatkan kejelasan tentang hukumnya. Tetapi
tubuhku, seluruh bagian dari tubuhku telah melakukan penolakan itu
dengan bahasanya sendiri. Terlebih lagi jiwaku. Jika Samsudin merasa dan
mengaku telah menguasaiku, itu bohong belaka. Secuil pun aku tak pernah
menerima dirinya ke dalam diriku. Aku juga tak pernah merasakan, apa
benar Samsudin mencintaiku. Kurasa ia hanya membutuhkanku.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009:138-139)

Secara tegas Abidah El Khalieqy juga memberikan gambaran tentang


ikhwal perbedaan kodrati antara laki-laki dan wanita lewat percakapan para
90

tokoh. Annisa sebagai perwakilan dari pemikiran dan gagasan pengarang ikut
berperan dalam percakapan tersebut.

“Apa semua pekerjaan rumah tangga, Lek Umi sendiri yang


menangani? Bukankah Lek Mahmud juga suka turun tangan?”
“Paling-paling yang dikerjakan Mas Mahmud hanya menyuapi Sania
kalau pagi. Selebihnya aku semua yang mengerjakan. Kau bisa bayangkan
betapa capeknya, dari mencuci baju dan perabot di dapur, menyapu,
mengepel, emamasak dan menyeterika. Kadang-kadang Mas Mahmud
mau juga menyetrika , jika kebetulan Sania rewel dan minta bersamaku.
“Wah, Nis, tak terbayangkan repotnya punya anak tanpa PRT.”
“Sebenarnya lek Umi tidak usah terlalu repot dengan semua itu, karena
sebenarnya tugas merawat anak adalah tanggung jawab suami. Jadi
memandikan, menyiapkan makanan dan menyuapi bkanlah kewajiban Lek
Umi. Juga misalnya lek Umi tidak berkenan untuk menyusuinya, karena
terlalu berat dengan tugas-tugas rumah tangga yang lain, maka lek
Mahmud harus mencari seorang ibu susu dan dia harus memberi honor
yang pantas untuknya. Semua itu adalah kewajiban suami, Lek. Lagipula,
bukankah dulu sebelum punya anak, lek Umi sendiri yang memutuskan
ingin punya anak?”
“Memutuskan ingin punya anak, aku yang memutuskan, kau ini bicara
apa, Nis?”
“Lek, lek, bukankah seorang anak itu lahir dari rahim perempuan.
Dikandung sembilan bulan dan selama itu sang janin memakan saripati
makanan dari ibunya. Dan al-quran mengatakan bahwa kondisi ibu hamil
itu wahnan „ala wahnin, derita di atas derita, semakin hari semakin payah
dan berat nian. Dan semua itu, perempuanlah yang merasakan dan bukan
laki-laki. Maka alangkah anehnya jika yang akan mengalami semua itu
perempuan dan ternyata dia tidak dilibatkan dalam mengambil keputusan.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 265-266)

Percakapan yang dilakukan tokoh Annisa tersebut memberikan


keterangan yang baru terhadap pembaca bahwa perempuan wajib dilibatkan
dalam keputusan untuk reproduksi. Wanita memiliki hak penuh dalam wilayah
reproduksi karena yang akan menjalani semua proses tersebut adalah
perempuan itu sendiri. Pengetahuan ini masih minim dimiliki oleh perempuan
pada umumnya dan inilah yang menjadi misi Abidah sebagai penulis. Yakni
ingin memberikan penerangan mengenai pembaca mengenai hal tersebut.
91

Selain memiliki karakter penokohan yang cerdas, keras kepala,


semangat, kerja keras, Annisa juga memiliki karakter yang lembut dan kasih
sayang terhadap keluarganya (suami dan anaknya).
Kelahiran anak kami telah merekat tali kasih sepanjang usia. Begitu
nafas jiwaku berkata dalam kelelapan.
Saat tersadar dari lelapku, bayi itu telah terbungkus rapi, tidur di
sampingku. Setelah bidan dan perawat memberekan urusanku, kami
pindah dari ruangan melahirkan menuju kamar yang kami pesan.
Sepanjang malam itu, kakiku terasa pegal dan linu dan minta dipijiti terus
menerus. Mas Khudhori memijatku sembari membicarakan rencana kami
untuk memanggil nama bayi kami saat aqiqah kelak, seminggu lagi.
Sekalipun sakit dan lelah, kebahagiaan membayang di seluruh ruangan itu,
terutama di wajah mas Khudhori. Sebentar-sebentar dia akan menengok
bayi kami dan meneliti seluruh anggota badannya. Dengan senyum-
senyum, ia membandingkan segi-segi persamaan antara kami bertiga.
….
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 294-295)

Annisa adalah seorang istri yang sangat mencintai suaminya, bahkan


ketika Khudhori telah meninggal. Rasa cinta Annisa kepada Khudhori masih
tertanam dalam jiwanya menemani Annisa sampai akhir hidupnya. Dan cinta
itu menemani Annisa dalam perjuangannya untuk membangkitkan kembali
posisi perempuan dalam masyarakatnya.
Lalu kutatap Mahbub dan kubawa ia mendekati bapaknya, menjabat
tangannya dan mencium keningnya. Dingin. Saat menatap wajahnya, aku
tak tahan oleh getar kesadaranku sendiri yang baru lahir, bahwa kami akan
berpisah, seperti ketika bapak mengusirnya dari rumah kami dahulu,
seperti ketika ia akan berangkat menuju Kairo. Tetapi keberangkatannya
kali ini, akan merentang jarak penantianku yang begitu panjang, entah
kapan kami dapat bertemu kembali. Kemudian, sekali pun berusaha
kutahan, airmataku berlinangan. Namun tak satupun kata ratapan
kuucapkan.
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan,
menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran
fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk
tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa,
seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat
masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku
dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 313-314)
92

b. Khudhori
Khudhori adalah tokoh utama laki-laki dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki muslim yang
menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya. Khudhori
menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka.
Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki
pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar
belakang pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam
pemikirannya karena ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat
tetapi membuat relevansinya dengan kehidupan sekarang.
Memang, berbeda dengan para pemuda di desa, selain cerdas dan
berwawasan luas, lek Khudhori memiliki kebiasaan yang agak aneh.
Bagaimana tidak, sambil memancing pun, lek Khudhori suka berteriak
mengucapkan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya.
….
Dan ketika aku bertanya tentang apa yang sedang diteriakkannya
dengan semangat, ia menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan
sastra. Sehingga aku tahu bahwa lek Khudhori suka pada puisi, bahkan
juga mengenal nama-nama penyair dunia yang terkenal.
“Lalu, puisi siapakah yang kau baca keras-keras itu, Lek? Apa kau
menyukainya?”
“Mau tahu? Itu puisinya Rumi. Jalaluddin Rumi, Nisa. Aku menyukai
puisi-puisi Rumi karena kata-katanya sangat indah dan sepertinya
mewakili perasaanku.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 26-27)

Kutipan tersebut memberikan penjelasan secara analitik dan dramatik


tentang karakter dan penokohan Khudhori. Gambaran yang jelas tentang
karakter tokoh ini disajikan Abidah El Khalieqy lewat beberapa pilihan
katanya. Pandangan tokoh lain pun menjadi pilihan Abidah untuk
menggambarkan karakter Khudhori bahwa ia berbeda dengan pemuda lain
yang mendapatkan latar belakang yang cenderung sama. Hal ini terjadi karena
dalam perkembangan pendidikannya Khudhori mendapatkan pendidikan
dalam jenjang yang lebih tinggi. Khudhori yang bersentuhan dengan dunia
pengetahuan yang lebih luas (Al Azhar di Mesir dan pendidikan di Jerman)
membuat pandangannya lebih luas terhadap segala sesuatu.
93

Khudhori yang sempat mengenyam pendidikan di luar negeri dan


mengenyam pendidikan dari Barat tidak lantas membuatnya melupakan ajaran
agamanya. Islam masih mengakar kuat pada dirinya. Hal tersebut terlihat pada
kutipan berikut.
“Jangan, Lek. Kumohon. Jika ada yang melihat kita, namamu berubah
jadi hitam sampai jarak seribu mil. Berputar-putar dibawa angina usil ke
penjuru kampong.”
Ia tertawa dan menjawab dengan mantap.
“Tetapi jika benar ada yang lihat, nasibmu bakal berubah melompati
jarak lebih dari seribu mil.”
“Itu benar. Bapak akan menghardikku seperti anjing dan Samsudin
akan menjatuhkan talak tiga. Betapa mudah sesungguhnya.”
“Apanya yang mudah, Nisa?”
“Mengubah segala sesuatu.”
Aku menerawang. Lek Khudhori tercekat melihat bayangan nekat di
wajahku. Menyaksikan setan sekaligus malaikat yang menempel di bola
mataku.
“Lakukan, Lek. Cumbuilah aku dan biarkan mereka semua
melihatnya.”
“Nisa!!”
Lek Khudhori terhenyak. Ia melepaskanku dan membelai-belai
kepalaku dengan kasih saying seorang ibu, seorang kakak, seorang
manusia yang bijaksana.
“Kuatkan hatimu, Nisa. Jangan sampai lepas kendali. Semuanya akan
kita atasi bersama. Kau paham kan? Sekarang, sebaiknya kau istirahat di
kamar dan besok kita akan bicara.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 156-157)

Kutipan tersebut menceritakan tentang Khudhori yang masih teguh


memegang ajarannya bahwa melakukan hubungan yang tidak disadari dengan
ikatan pernikahan adalah sebuah dosa. Meskipun Khudhori sangat mencintai
Annisa sejak ia masih kecil tapi rasa itu masih dapat dikendalikannya karena
kuatnya ajaran Islam menempel pada tingkah lakunya.
Khudhori juga bukan laki-laki yang tertutup dengan perkembangan
ilmu pengetahuan. Pikirannya yang cerdas membuat ia terbuka dengan
perkembangan teknologi, termasuk pada hal-hal yang berhubungan dengan
permasalahan bayi tabung yang sampai saat ini masih menuai kontroversi.
Abidah El Khalieqy sebagai pengarang menceritakan secara apik karakter
94

yang terdapat pada Khudhori lewat percakapan yang dilakukannya dengan


Annisa, istrinya.
“Yah… Jika kita ingin punya anak dan ternyata kita mandul, kita bisa
memungut anak dari panti asuhan, misalnya, atau… kita coba inseminasi
bayi tabung, jika kita setuju.”
“Inseminasi bayi tabung?”
“Mengapa tidak. Kemajuan ilmu pengetahuan dan kedokteran juga
perlu kita coba, jika ternyata bermanfaat. Para pakar berpendapat bahwa
upaya bayi tabung adalah untuk membantu para suami istri yang
mengalami kemandulan.”
“Tetapi bagaimana hukumnya menurut Islam, Mas, apa masyarakat di
sini juga sudah banyak yang mencoba inseminasi bayi tabung?”
“Banyak sih tidak. Sebab kemandulan sendiri kan sedikit juga yang
mengalami. Tetapi telah ada beberapa keluarga yang mencoba dan
ternyata berhasil. Sementara mengenai hukumnya, sejauh yang mas
ketahui, jika menggunakan buahan di luar tubuh antara semen suami
dengan ovum istri dan diinplantasikan dalam rahim (rahim resipien) istri
atau dikenal juga dengan sebutan IBS, yaitu inseminasi buatan dengan
suami sendiri, hukumnya boleh-boleh saja. Sebab ada yang
menganalogkan dengan anak kandung biasa, hanya prosesnya tidak
dengan hubungan seksual.”
“Lalu yang dilarang seperti apa, Mas.”
“Jika semen dari laki-laki lain atau donor, ada yang menganalogkan
dengan anak zina karena tidak jelas siapa ayahnya. Dan bayi dengan
proses ini nasabnya hanya pada ibunya dan tidak pada ayahnya”.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 250-251)

Kutipan di atas mendeskripsikan Khudhori sebagai sosok laki-laki


cerdas yang selalu mempertimbangkan sesuatunya secara bijaksana. Di sisi
lain, pembaca juga dapat melihat Khudhori sebagai suami yang selalu
memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat Annisa, istrinya. Dalam
setiap langkah yang diambil yang berhubungan dengan kelangsungan rumah
tangga, dia selalu menanyakan pendapat Annisa agar terjadi mufakat antara
keduanya dan menghindari kesalahpahaman di kemudian hari. Abidah
menggambarkan contoh yang bagus dalam kehidupan rumah tangga lewat
tokoh-tokoh yang diciptanya.
Khudhori adalah laki-laki yang dipenuhi dengan sikap bijaksana,
lemah lembut, sekaligus kasih sayang dengan orang-orang yang ada di
sekitarnya. Sikap Khudhori dengan Samsudin yang pernah menyiksa Annisa
95

pun masih berada dalam batas kewajaran, bahkan cenderung menghormati.


Hal tersebut karena pekerti baik yang dimiliki oleh Khudhori yang mudah
memaafkan orang yang pernah bersalah sekaligus sifat khusnudzon yang
dimiliki oleh Khudhori. Gambaran ini dapat pembaca rasakan dalam kutipan
berikut.
Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin
menanyakan tentang Mahbub kepadanya.
“Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub
anak kita.”
“Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari
mulutnya.”
“Siapa tahu ini bukan yang terakhir.”
“Apa maksudmu, Mas?”
“Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa
yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya
Tuhan kan?”
“Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian
sedang bercakap-cakap.”
“Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek.
“Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan
dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?”
“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.”
“Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih
setelah melihat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.”
“Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain.
Sudahlah! Semuanya sudah berlalu kan?”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-304)

c. Samsudin
Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita.
Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk
memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur
belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan
dengan tokoh yang lain.
Samsudin memiliki watak yang tinggi hati dan cenderung meremehkan
Annisa sebagai istrinya. Sikap sombong juga dimilikinya dan terasa sangat
kental pada setiap ungkapan yang disampaikannya.
96

“Kepalaku sudah penuh dengan ilmu. Jadi jangan tambah lagi dengan
sesuatu yang tidak berguna dari mulutmu, nanti bisa pecah.”
“Kupikir yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna, bukan
sesuatu yang keluar dari mulutku.”
“Kau ini lulusan SD berani bertingkah. Tak bisa kubayangkan jika
lulus sarjana, Tuhanpun pasti kau debat juga.”
“Jika mungkin, mengapa tidak? Besok aku mulai kembali sekolah dan
suatu saat akupun sarjana, di manabukan hanya kepala dan otakku akan
dipenuhi ilmu, tapi juga hatiku yang dapat menentukan, mana sampah dan
mana mutiara.”
Ia tertawa dengan pura-pura dan berlalu dengan muka kecewa.
“Samsudin!” teriakku
“Panggil aku „mas‟!”
“Tetapi Aisyah hanya memanggil –yaa Muhammad- kepada Nabi.”
“Lalu?”
“Beliau mendiamkannya. Berarti ini sunnah. Dan aku menyukai
sunnah nabi.”
Ia geleng-geleng kepala dan dengan tergesa seakan hendak
menimpukkan batu di atas kepala untuk kedua kalinya, ia berlalu dengan
wajah lebih keruh dari air bekas cucian. Akupun tergelak karena telah
mampu menghalaunya dengan kebenaran yang menyesakkan dadanya. Ia
laki-laki yang selalu tak tahan dengan kejujuran dan suara kebenaran.
Suara-suara itu seperti bunyi halilintar di tengah malam, ketika seseorang
tengah bersembunyi di antara gulitanya. Benar-benar menakutkan. Tetapi
ketinggian hatinya menjadikan ia seakan-akan melecehkan semua
halilintar itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 100-101)

Kutipan tersebut menegaskan tentang perangai Samsudin yang merasa


bahwa dirinya berada di atas Annisa baik dari segi ilmu maupun kekuasaan.
Samsudin yang merupakan lulusan sarjana meremehkan suara kebenaran dari
Annisa yang hanya lulusan SD. Sikap congkak yang sudah melebihi kadarnya
membuat Samsudin sudah tidak mampu lagi membedakan kebenaran dan
kebatilan yang ada dalam hidup.
Sebagai seorang suami, Samsudin juga tidak memiliki sifat yang
pengasih kepada istrinya. Seorang istri diperlakukan Samsudin hanya sebagai
pemuas hawa nafsu semata. Perlakuan yang tidak senonoh seringkali
diberikan kepada Annisa ketika melakukan hubungan suami-istri.
“Berikan selimut itu untukku,” aku meminta.
Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya.
97

Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita.


“Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan
sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!”
“Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?”
“Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!”
“Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut
untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu,
sebab itu aku membutuhkan…..”
Plak!Plaakk!!
Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam
kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting
badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat
Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin
membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar
dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai
anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta
budukan di tengah sahara.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132)

Kutipan tersebut menunjukkan oontoh perlakuan yang diberikan


Samsudin kepada istrinya. Pukulan dan makian yang tidak seharusnya
diberikan Samsudin kepada Annisa, bahkan ketika melakukan hubungan
seksual. Perilaku Samsudin tersebut membuat Annisa merasa tidak dihormati
dan berakibat tidak menghormati Samsudin sebagai suaminya. Dalam
kacamata Annisa, Samsudin hanyalah laki-laki yang menginginkan tubuhnya
saja untuk memuaskan hawa nafsunya belaka.
Samsudin juga bukan seorang yang senang dengan kebahagiaan yang
dirasakan oleh orang lain. Annisa yang merasakan kebahagiaan setelah
bercerai dengannya bahkan masih belum bisa hidup dengan tenang karena
sosok Samsudin masih menghantui. Fitnah dan gunjingan pun Samsudin
hadirkan untuk membuat hidup Annisa dan Khudhori menjadi tidak tenang.
Hal tersebut terlihat pada kutipan berikut.
Sepulang mereka, aku tercenung sendirian memikirkan perjalanan
nasibku yang terus berubah. Dari cerita mas Khudhori yang disampaikan
ibu kepadanya, kuketahui bahwa Samsudin lah yang meniupkan berita
mengenai pernikahan fiktif mas Khudhori di luar negeri. Kepada mas
Saipul dan beberapa teman dekat mas Khudhori, ia meniupkan berita itu
dengan tambahan, bahwa aku mandul dan mengkhianatinya. Aku tertawa
mengingat semua tingkahnya yang kekanak-kanakan. Sejak mengandung
98

ini, rasanya tak ada lagi yang bisa menggertakku dengan tuduhan frigid,
mandul ataupun pengkhianat. Sebab semuanya telah terukti nonsense.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 289-290)

Usaha-usaha yang tidak terpuji pun dilakukan Samsudin untuk


menghilangkan kebahagiaan Annisa, yaitu dengan memisahkan Annisa
dengan Khudhori, suaminya. Usaha ini terlihat pada bagian akhir novel
Perempuan Berkalung Sorban.
Sekalipun suara-suara itu mengatakan, bahwa Samsudin lah yang
menabrak mas Khudhori hingga menyebabkan ia diopname dalam rumah
sakit, yang belum juga kuketahui secara pasti kapan sembuhnya, aku tak
perlu menyimpan dendam kepadanya atau kepada siapa pun. Hidup dan
mati sepenuhnya di Tangan Allah, dan jika kami harus berpisah, sebab
Allah memang menghendaki yang demikian. Ia lebih tahu apa yang terbaik
bagi hamba-Nya. Ia Maha Adil. Sekalipun keadilannya memerlukan
rentang waktu yang panjang untuk dapat dipahami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 307-308)

d. Kyai Haji Hanan Abdul Malik


Haji Hannan adalah Bapak dari Annisa. Dia adalah pendiri pondok
pesantren yang bercita-cita untuk mendidik remaja putri agar menjadi kaum
muslimah yang berguna bagi negara dan bangsa. Sosok Kyai Hanan mewakili
sosok kyai yang kolot dengan ajaran Islam dan cenderung menerima ajaran
Islam secara tekstual semata. Telaah yang dilakukannya dengan kyai-kyai
yang lain hanya terbatas pada terminologi tanpa membahasnya lebih dalam
pada aspek relevansi. Hal inilah yang membuat Kyai Hanan menjadi sosok
yang tidak bijaksana dalam langkah yang diambilnya. Sebagai seorang Kyai,
dia juga tidak melakukan perlakuan yang semestinya kepada putrinya, Annisa.
Kesenjangan perlakuan terlihat jelas antara Annisa dengan dua saudara laki-
lakinya. Budaya patriarkal masih kental mempengaruhi pola pikirnya.
“Siapa yang mau belajar naik kuda? Kau, bocah wedhok?”
“Iya. Memangnya kenapa, Pak? Tidak Boleh? Kak Rizal juga belajar
naik kuda.”
“Ow…ow…ow… jadi begitu. Apa Ibu belum mengatakan padamu
kalau naik kuda hanya pantas dipelajari oleh Kakakmu Rizal, atau
Kakakmu Wildan. Kau tahu, mengapa? Sebab kau ini anak perempuan,
99

Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi
keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!
Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak
lamban, mengena kepalaku.
“Sudah, sudah. Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.”
Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan
yang adil. Beberapa santri putrid yang berada di ddekat pintu, kembali
masuk ke ruang dapur. Bapak dan Ibu meninggalkan kami dalam kamar
mandi. Dua santri mendekati kami dan membereskan kaleng-kaleng yang
berserakan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7)
Namun, sebagai seorang bapak, Kyai Hanan memiliki kasih sayang
layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan
mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan
mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena
sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada
Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak.
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku
dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya.
Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja,
kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang
kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek
Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong
menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan
setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara
kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak.
“Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Ettapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami
selanjutnya.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
100

Kutipan di atas memperlihatkan sikap Kyai Hanan terhadap kedukaan


yang dialami putrinya yang nelangsa karena sikapnya dan dia berusaha
memperbaiki sikapnya dengan mencarikan jalan keluar untuk putrinya,
Annisa.

e. Hajjah Mutmainah
Tokoh ini adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa
yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan
aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu
Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan
kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh
seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu
berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada
kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara
denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau
Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,”
aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi
tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya
kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat,
tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat
lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima
gaji.”
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada
resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau
musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di
rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa
rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik
kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
“Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik
ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran,
kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut pengajian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)
101

Hajjah Mutmainah juga memiliki karakter keibuan yang mendominasi


pada setiap perkataan dan sikap yang dilakukannya. Sebagai seorang ibu, ia
memberikan pengertian kepada Annisa bagaimana menjadi perempuan
seutuhnya menurut pemikiran yang dilingkupi budaya patriarkal. Hajjah
Mutmainah selalu memberikan jawaban dan pengertian kepada Annisa
meskipun tidak pernah memuaskan hati putrinya karena perbedaan pandangan
antara keduanya.
“Sejak saat ini, kau bukan kanak-kanak, Nisa. Darah haid pertama
telah menandai batas masa kanak-kanakmu menuju usia dewasa. Sejak
hari ini, kau adalah mukallaf. Semua hukum agama harus dilaksanakan
sebagaimana mestinya. Kau paham apa maksud Ibu?
“Nisa paham. Tetapi buka itu yang ingin Nisa ketahui, Bu!” sambil
berkata demikian, aku teringat pada cerita mbak May, cerita tentang tanda-
tanda seorang perempuan yang dianggap dewasa. Melihat aku
menerawang, ibu mempertegas kembali pertanyaanku.
“Lalu apa? Apa yang ingin kau ketahui?
“Tentang darah haid ini. Benarkah darah haid adalah kotor dan najis.
Sehingga perempuan yang sedang haid, kalau orang kota menyebutnya
menstruasi, dilarang masuk masjid dan membaca ayat-ayat al-quran?”
“Tidak hanya itu, Nisa. Perempuan yang sedang haid juga dilarang
shalat, puasa, ihra, di waktu haji dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan
dengan ibadah.”
“Kegiatan lain itu misalnya apa, Bu?”
“Misalnya jimak atau dukhul antara suami isteri. Nanti pada saatnya,
kau akan tahu, mengapa semua itu dilarang untuk dikerjakan perempuan
yang sedang mengalami haid. Yang perlu kau ketahui sekarang adalah,
menjaga kebersihan dan lebih berhati-hati dalam bersikap. Ingat! Kau
sudah dewasa sekarang! … .
Selesai bicara dan memberi sedikit kursus untuk menjaga darah haid,
ibu segera bangkit dari tempat duduknya dan tergesa menuju ruang tamu.
Sama sekali aku tidak puas dengan keterangan ibu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 92-93)

Sebagai seorang Ibu, Hajjah Mutmainah juga sangat mencintai


anaknya. Perhatian dan cinta yang begitu besar kepada Annisa terlihat ketika
ia mengetahui penderitaan yang dialami oleh Annisa selama pernikahannya
dengan Samsudin. Perasaan bersalah juga memenuhi perasaannya karena ia
juga ikut memutuskan pernikahan yang tidak pernah diinginkan Annisa
tersebut.
102

Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku
dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya.
Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja,
kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang
kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek
Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong
menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan
setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara
kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak.
“Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Tetapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami
selanjutnya.”
“Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika
benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain,
tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak.
Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi
korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat
begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya
merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)

f. Rizal dan Wildan


Rizal dan Wildan adalah saudara laki-laki Annisa. Perilaku mereka
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban menunjukkan perilaku kakak yang
cenderung meremehkan adik perempuannya. Mereka masih mengangap
bahwa anak perempuan tidak seharusnya menguasai hal-hal yang biasa dikuasi
laki-laki. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi tempat mereka lahir
dan berkembang dan ajaran-ajaran yang selama ini mereka dapatkan.
Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering
mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat
103

cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka.


Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa
yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak
merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya
yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal
mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu
aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.
“Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba
diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.”
“Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap
rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya.
“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah
Wildan.
“Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh
mengetahuinya?”
“Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti
bisa terlambat.”
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal
menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 9-10)

Perilaku Rizal yang menganggap remeh segala hal yang dikerjakan


oleh adiknya, Annisa juga terlihat pada kutipan berikut.
Kami pindah ke ruang tengah dan menikmati kue sambil meneruskan
perbincangan yang bertambah seru. Ketika Rizal pada akhirnya keluar
juga mendengar serunya perbincangan kami, ia tak tahan ingin tahu dan
ikut nimbrung.
“Serius amat bicaranya. Kasih tahu ding. Masalahnya apaan sih?”
“Rahasia ya, Lek. Awas! Jangan katakana apapun sama dia. dia tak
bisa nyimpan rahasia,” aku menekan lek Khudhori. Rizal sewot dan
berlagak sok tahu.
“Alaaah…paling-paling urusan perempuan, feminisme, jender,
patriarkhi…apalagi ya, emansipasi RA. Kartini.”
“Emangnya tahu, apa itu jender.”
“Kalau gendher sih aku tahu, kalau digoreng jadi krupuk asin, ha ha..”
“Dasar otak udang! Selalu saja ketinggalan zaman,” cemoohku,
“Memangnya apa feminisme itu. Apa gender itu. Tahu apa kau tentang
patriarkhi? Sok tahu, Zal, Rizal.”
Lek Khudhori memandangku dan Rizal secara bergantian, lalu
menggelengkan kepala. Ia hanya tersenyum menyaksikan pertentangan
kami berdua.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 172-173)
104

Meskipun begitu, kedua kakak beradik ini juga memiliki perhatian


yang cukup besar kepada Annisa ketika mengetahui bahwa selama menikah
dengan Samsudin Annisa mengalami perlakuan yang tidak seharusnya.
Mereka ikut andil dalam pemecahan masalah Annisa.
Lek Khudhori semakin bingung. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa
Samsudin telah mengetahui hubungan kami. Sebab dengan
mengatakannya, sama saja dengan menambah persoalan baru. Sangat tidak
etis, membuka satu masalah ketika masalah yang lebih kritis sedang
dijajagi dan dicari jalan keluarnya, tiba-tiba datang persoalan lain yang
sama pentingnya. Tiba-tiba saja, Wildan yang pendiam dan pemalu, kini
angkat bicara sebagai orang dewasa.
“Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih
terlalu musa sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau
yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah
berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan
permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.”
“Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak
bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan
pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.”
“Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai
Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai
Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin
kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi
persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan
Kiai Badawi.
“Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan
menghubungi kiai Mahfud.”
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun
udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh
semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku
terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan
memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini
benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari
perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian
puitis.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 186-188)

g. Mbak Kalsum
Tokoh ini adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban
perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap
Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam
105

rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak begitu peduli
dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih
perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya. Hal tersebut digambarkan
Abidah El Khalieqy melalui narasi berikut.
Pada suatu saat, seorang dari janda itu datang ke rumah dan mengadu
padaku atas perilaku Samsudin yang telah menghamilinya. Katanya, ia
minta lelaki yang menjadi suamiku itu untuk bertanggungjawab
menikahinya. Tapi aku sudah tak peduli, juga tidak memiliki kefasihan
untuk menjawab urusan semacam itu. Maka, kuserahkan semuanya pada
mertua, agar mereka tahu bahwa anaknya benar-benar menderita sakit
yang sulit disembuhkan dan orang yang sehat tak dapat menerimanya.
Karena tak ada pilihan lain, sekaligus untuk menutupi kehormatan mereka,
jadilah Samsudin melaksanakan niatnya untuk berpoligami.
Entah apa maksudnya, perempuan itu disatukan denganku dalam satu
rumah. Mula-mula ia begitu baik denganku, ramah dan suka tersenyum. Ia
menempati kamar kedua bersebelahan dengan ruang makan. Karena
antaraku dan Samsudin sedang terjadi perang batin yang berkepanjangan
dan perempuan itu tahu banyak tentang hubungan kami berdua. Itulah
sebabnya, ia mulai membanggakan diri sebagai perempuan yang mampu
memuaskan dahaga Samsudin. Ia pun mulai mengatur menu makanan dan
mengubah letak perabotan. Meja kursi dipindah ke sini, dan lukisan kuno
itu dipajang di dinding sana. Pada akhirnya, ia mengambil alih seluruh
urusan keluarga. Mengatur keuangan, mengatur belanja, mengatur belanja
dan segala keperluan, juga keperluanku.
Aku tak peduli dengan semua itu karena kesibukanku adalah sekolah
dan hobiku membaca. Perempuan yang bernama Kalsum itu mengerti
kondisiku dan ia menyerobot apa yang dapat diserobot. Akupun tak mersa
ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. Bagiku, ia layaknya
seorang ibu atau pembantu yang mengurusi urusan rumahtanggaku, karena
usianya jauh di atas Samsudin, hampir seusia dengan ibuku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 116-117)

Kalsum juga menggambarkan karakter wanita yang terpaksa menerima


perlakuan dari suaminya karena ketidakberdayaannya untuk menolaknya. Dia
adalah gambaran wanita yang tergoda karena bujukan materi dari seorang
laki-laki. Keterbatasan Kalsum atas pemahaman agama membuatnya tidak
memiliki pegangan yang kuat dalam hidupnya. Ini tergambar melalui paragraf
berikut.
Agaknya Kalsum juga merasa semakin dekat denganku dan ia mulai
terbiasa mengutarakan isi hatinya, baik tentang Samsudin atau banyak hal
106

yang lain. Kalsum lulusan Sekolah Menengah Atas belasan tahun lalu.
Tetapi karena lingkungan sosial dan budayanya berbeda denganku,
Kalsum memiliki pemikiran yang serba bebas tanpa batasan hukum
agama. Ia juga sama sekali tak eprnah berpikir tentang syariah dan fiqih
sebagaimana caraku berpikir. Sebab itu, Kalsum tak pernah peduli
mengenai kesucian dan cinta sejati. Ia juga tak peduli, seaneh apapun
perilaku Samsudin, baginya, sepenuhnya itu urusan Samsudin sendiri.
Kalsum menjalani kehidupan sebagaimana air mengalir, pada akhirnya
ketemu muara juga, jadi untuk apa terlalu dipikirkan.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah
uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau
rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga
yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging
walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya
seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai
janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan
Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng.
Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng
itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 122-123)

Namun begitu, Kalsum juga memiliki sikap mau memperbaiki


kesalahannya. Pertemuan dan pembicaraan yang intens dengan Annisa
membuat mata hatinya terbuka atas kebenaran dan menciptakan keinginan
untuk belajar ilmu agama kepada Annisa. Satu hal yang tidak pernah
dipikirkan sebelumnya.
“Anis, kau seperti adikku sendiri. Jika kau sudi, ajarilah aku tentang
hukum-hukum Islam. Aku lihat kau begitu khusuk ibadah dan terlihat
sekali, kau menikmati setiap amalan yang kau kerjakan. Aku juga sering
tergetar ketika menatap matamu, bagaimana tegasnya ketika kau bicara
tentang kebenaran. Bahkan kulihat Mas Sam sendiri segan kepadamu,
sekalipun ia tidak menyukaimu.”
“Sudahlah, Mbak Kalsum. Terimakasih jika Mbak mau menganggapku
seperti itu. Tetapi saya tidak suka dipuji-puji seperti itu. Nanti saya bisa
takabbur. Mungkin akan lebih baik, jika kita bersama-sama mulai belajar
berperilaku sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah, sebab kita ini
muslim dan sekaligus mukminat, insya Allah.”
“Kau benar, Anis. Tetapi aku lebih senang lagi jika kau adalah guruku
dalam hal ini. Sebab aku telah melihat kemampuanmu dan bagaimana
perilakumu selama ini. Aku bicara apa adanya, Anis. Sama sekali tidak
mengada-ada.”
Kutatap mata mbak Kalsum dan ia ganti menatapku tak berkedip,
menyorotkan ketegasan yang belum pernah kulihat selama ini dari dirinya.
107

Akupun yakin ia bicara jujur dan tidak berpura-pura. Karena terharu atas
kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu
mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan
meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair
dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian
baru tentang makna dan warna kehidupan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 124-125)

h. Mbak Maryam
Tokoh perempuan ini adalah gambaran dari perempuan modern yang
berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam
adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang
bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam
diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu
memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu
rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam
memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil
pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal,
terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang
menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh
dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi
dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat
kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak
yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya
terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan
berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan
laki-laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira‟ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230)

3. Latar (Setting)
Latar (setting) adalah segala keterangan mengenai tempat, waktu, dan
suasana (keadaan tokoh dan keadaan sosial) terjadinya peristiwa yang terdapat
dalam karya sastra. Analisis latar atau setting novel Perempuan Berkalung Sorban
adalah sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagian besar mengambil latar
tempat pondok pesantren. Latar ini menjadi tempat awal terjadinya konflik
108

dan perdebatan batin tokoh utama, Annisa. Pendeskripsian latar tempat ini
terlihat pada kutipan berikut.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok
pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada
beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian
dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan
dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang
pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun,
aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk
menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar
bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri
dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling
hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 52)

Latar tempat yang lain dalam novel ini adalah rumah Annisa dan
Samsudin. Rumah ini adalah tempat terjadinya konflik yang mempengaruhi
kehidupan Annisa selanjutnya. Tempat ini menjadi latar penganiayaan Annisa
oleh suaminya dan tempat pergulatan Annisa untuk memperjuangkan haknya
sebagai seorang perempuan.
Besoknya aku harus mengikuti rombongan mereka menuju suatu
tempat, entah di mana. Sepanjang perjalanan, tentu saja laki-laki bernama
Samsudin it uterus menerus di sampingku, menghamburiku dengan segala
rayu dan pujian. Aku merasa gembira dan merasa senang, tetapi bukan
karena laki-laki di sebelahku atau rayuan gombalnya. Aku gembira karena
baru pertama kali naik mobil yang dipenuhi bunga warna-warni dan bau
harum mengitariku. Perjalanan seperti ini mampu melambungkanku untuk
berkhayal jauh ke suatu negeri seberang untuk menemuinya,
membayangkan berduaan bersamanya. Alangkah indahnya jika saja laki-
laki yang disebelahku adalah lek Khudhori dan bukan yang lain.
Ketika aku sampai di rumah ini, mereka semua mengagumiku,
menghormatiku layaknya seorang ratu. Seorang perempuan setengah tua
memijatku dengan halus, dan yang lain membukakan berbagai macam
hadiah dan kado. Sementara yang lain lagi menyajikan makanan lezat dan
enak-enak. Tentu, mereka berharap aku gembira dengan semua itu. Tetapi
dua pasang mata tak lepas mengawasiku dan mata itu seperti dua pasang
mata singa yang tak memberi kesempatan sedetik pun untuk melepas bakal
mangsanya. Itulah mata nafsu Samsudin.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 105-106)
109

Latar tempat yang lain dalam Perempuan Berkalung Sorban adalah


rumah Khudhori dan Annisa. Rumah ini mereka tempati setelah mereka
menikah dan memutuskan tidak hidup di lingkungan pondok pesantren.
Pertama kulihat ruang tamu yang mungil itu dipenuhi buku-buku tebal
berbahasa Arab dan Inggris dalam sebuah buffet besar dan di tengah-
tengahnya ada sebuah gravier bersinar-sinar kehijauan dengan tulisan
Asyaddu hubban Lillah memakai huruf Arab Kufi. Lalu di sebelahnya
menutupi dinding, adalah sebuah kaligrafi Tughra Sultan Sulaiman Yang
Mulia, dengan sajak pendek karya Sultan dalam tulisan Diwani ornamental
di bagian bawah dalam pigura klasik berukuran 80x60 cm.
Dua pemandangan itu begitu menonjol dan menarik perhatianku.
Selebihnya adalah meja kursi dan satu tape recorder dengan sejumlah
kaset dari penyanyi-penyanyi Maroko, Mesir, Lebanon dan Turki serta
seperangkat komputer terbaru pada saat itu dan tumpukan kertas-kertas.
Sementara ruangan kedua adalah kamar tidur yang berisi ranjang, lampu
tidur dan telepon dalam satu meja mungil bundar serta lemari pakaian dan
televise. Sementara ruangan samping yang berhubungan dengan kamar
tidur adalah ruang makan, dapur dan kamar mandi.
Dari segi artistik, penataan ruang yang dilakukan lek Khudhori cukup
berhasil dan menciptakan imaji keindahan yang nyaman sekali untuk
ruangan sesempit itu. Memang debu tipis masih tetap kelihatan, terutama
di sekitar buku-buku dan lantai keramik berwarna putih di sudut-sudut
ruang. Karena usil, kuperiksa lapisan debu dengan menjentikkan jari
antara buku-buku. Lek Khudhori hanya tersenyum maklum.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 208-209)

Tempat lain yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung


Sorban adalah rumah sakit tempat Annisa melahirkan dan Komisariat
organisasi LSM tempat Annisa berdiskusi dengan teman-temannya dan
menyampaikan gagasan yang dimilikinya tentang perempuan dan hak-haknya.

b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terentang
antara waktu pagi sampai malam hari. Namun, sebagian besar terjadi pada
waktu malam hari ketika terjadinya diskusi, konflik atau hubungan suami istri.
Salah satu penggambaran atas latar waktu diceritakan oleh penulis seperti
paragraf berikut.
110

Malam itu udara alangkah pengap. Di mana-mana menjadi tak


nyaman, terlebih jika berada dalam ruangan. Kami memutuskan untuk
jalan-jalan sambil melihat pemandangan dan menikmati keindahan
purnama kelimabelas. Sambil mengemudi, mas Khudhori rengeng-rengeng
menirukan alunan Rubab Kuwait yang tengah kami putar. Malam kian
merasuk dan kami masih asyik keliling kota sambil bercanda dan iseng
menghentikan mobil di depan pedagang sate di pinggir jalan. Aroma yang
keluar dari kepulan asap daging kambing yang tengah dibakar itu
membuat air liur meleleh. Kami pun memesan sekian tusuk untuk dimakan
di rumah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 221-222)

c. Latar Keadaan Tokoh


Latar keadaan tokoh yang banyak diceritakan dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban adalah tentang kondisi Annisa dan Khudhori. Masing-
masing gambaran keadaan masing-masing tokoh tersebut adalah sebagai
berikut.
Sejak aku terlahir ke dunia, kata ibuku, Hajjah Mutmainah, aku selalu
digadang dan diharapkan agar kelak dapat menggantikan posisi bapak.
Tetapi, dalam benakku, harapan itu tak pernah muncul sebagai cita-cita.
Sepertinya aku lebih suka untuk bersekolah dan mencari ilmu yang lebih
luas dari kompleks pondok kami., juga lebih tinggi dari ilmu yang
diperoleh para santri yang paling tua sekalipun.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok
pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada
beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian
dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan
dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang
pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun,
aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk
menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar
bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri
dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling
hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 51-52)

Kutipan di atas menceritakan kondisi tokoh Annisa yang sedari kecil


telah memiliki pemikiran dan gagasan yang berbeda dengan lingkungan yang
didiaminya sejak kecil. Ia mengingkinkan hidup yang lebih luas dan bebas
dari tembok pondok pesantren yang dirasakannya sejak kecil. Pemikiran inilah
111

yang sangat mempengaruhi kehidupan Annisa ketika remaja maupun


pendewasaan dirinya.
Tokoh Khudhori digambarkan oleh Abidah El Khalieqy dalam
paragraf-paragraf berikut.
Sekian detik, mungkin juga menit, aku terdiam. Satu perasaan sedih
tiba-tiba muncul menyeruak di dasar kalbu. Kupandangi wajah lek
Khudhori dan kuteliti matanya, hidungnya, rambutnya dan semuanya
begitu sempurna di mataku. Bukan saja kata-katanya saja yang bagus, lek
Khudhori juga begitu baik, begitu perhatian dan sayang padaku. Tidak
seperti lek Mahmud, yang suka mengelus-elus kakiku sewaktu
mengajariku mengaji, sehingga bapak melarangku untuk belajar
bersamanya. Bahkan bapak telah berkali-kali mengusir dan menyuruh lek
Mahmud untuk tidak bermain-main di rumah kami. Padahal ia adalah adik
kandung bapakku sendiri.
Sikap bapak memang berbeda dengan lek Khudhori. Meskipun ia
bukan adik kandungnya sikap bapak lebih lembut kepadanya. Lek
Khudhori adalah cucu dari keluarga neneknya ibu. Dan meskipun
bapaknya telah meninggal dua tahun yang lalu, ia tetap melanjutkan
sekolahnya di pondok Gontor. Hanya saja, kalau pulang selalu ke rumah
kami. Dua kakaknya telah berkeluarga dan lek Khudhori lebih suka tinggal
di sini, terutama untuk mendapat teman berkomunikasi bahasa Arab
dengan bapak dan para ustadz di pondok. Ia tinggal di kamar yang
bersebelahan dengan kamar bapak, Rizal dan Wildan. Selama hampir
setahun ini, dalam masa cutinya, ia membantu mengajar di pondok serta
mengajariku mengaji, nahwu sharaf dan bahasa Arab. Sementara Wildan
dan Rizal lebih suka belajar mengaji di masjid dengan lek Mahmud.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 37-38)

d. Latar Keadaan Sosial


Keadaan sosial dalam novel Perempuan Berkalung Sorban didominasi
oleh kultur pondok pesantren. Segala tingkah dan ide yang dimiliki oleh setiap
tokoh sangat dipengaruhi oleh ajaran yang diberikan dalam lingkungan
pondok pesantren. Telaah atas kitab kuning atau kitab klasik yang dimiliki
oleh setiap pondok pesantren mendominasi pemikiran para tokoh. Telaah yang
tidak dilakukan secara menyeluruh dan kontekstual inilah yang membuat
beberapa kyai sepuh dalam pikiran kolot mereka sehingga sulit menyesuaikan
dengan perubahan kondisi zaman. Dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban, inilah yang menyebabkan pertentangan dan konflik antartokoh.
112

4. Alur (Plot)
Alur (plot) adalah rangkaian waktu yang digunakan oleh penulis untuk
menggambarkan rangkaian cerita. Abidah El Khalieqy menggunakan alur mundur
dalam menggambarkan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban. Cerita berjalan dari Annisa dewasa yang menerawang dan
mengingat kembali kehidupannya yang telah lalu. Kemudian, selanjutnya Abidah
menggunakan alur maju yang dimulai dari kisah Annisa kecil menuju pergolakan
hidupnya untuk memperjuangkan hakekat ke-perempuanan-nya sampai akhir
cerita ketika Annisa berhasil mendapatkan haknya sebagai perempuan dan untuk
selanjutnya membantu perempuan-perempuan lain agar sadar terhadap posisinya.
Akhir cerita kemudian ditutup dengan keinginan Annisa dewasa untuk tetap
memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus mereka dapatkan.
Beberapa bagian dalam rangkaian alur adalah pendahuluan (eksposisi),
permasalahan (komplikasi), puncak permasalahan (klimaks), penyelesaian
(resolusi), dan simpulan (konklusi) (Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA
Kelas XI, 2009: 106).
a. Pendahuluan (eksposisi)
Bagian ini berfungsi memberikan penjelasan mengenai segala hal yang
diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa dalam cerita.
Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh cerita, masalah yang timbul,
tempat dan waktu cerita, dan sebagainya.
b. Permasalahan (komplikasi)
Bagian permasalahan merupakan lanjutan dari bagian pendahuluan. Dalam
bagian ini mulai muncul permasalahan. Biasanya, salah seorang tokoh mulai
beraksi atau mengalami suatu peristiwa.
c. Puncak Permasalahan (klimaks)
Klimaks merupakan bagian ketika pihak-pihak yang bermasalah atau
berlawanan saling bertemu.
d. Penyelesaian (resolusi)
Dalam bagian ini, semua masalah yang timbul dipecahkan. Pemecahan
masalah yang terjadi antartokoh dapat dilakukan secara baik-baik dengan
113

melibatkan tokoh lain (tritagonis). Akan tetapi, klimaks dapat juga dengan
perlawanan sebagai kelanjutan dari klimaks.
e. Simpulan (konklusi)
Bagian terakhir adalah simpulan. Pada bagian ini, keadaan atau nasib tokoh-
tokoh cerita diputuskan. Penonton dapat mengetahui hal-hal yang terjadi pada
setiap tokoh.
Analisis alur dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai
berikut:
a. Pendahuluan (eksposisi)
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang
sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di
awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran
posisi setiap tokoh.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang.
Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani
yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan
tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang
dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan.
Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng
pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain
masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak
menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… .
….
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat
bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
….
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya,
dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang
bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)

Kutipan di atas digunakan oleh penulis untuk menggambarkan tokoh


utamanya. Tokoh lain menganggap perempuan adalah makhluk yang lemah
114

yang pantas mendapatkan perilaku tidak terpuji. Kutipan tersebut juga


menegaskan sikap tokoh utama, Annisa. Sejak kecil, melalui pertengkaran
kecil dengan kakaknya menunjukkan sikapnya terhadap perlakuan yang
diberikan kepada perempuan. Sejak kecil Annisa sudah merasakan perbedaan
perlakuan itu dan dia ingin perempuan mendapatkan perlakuan yang sama
dengan laki-laki, terutama kebebasan untuk mendapatkan hak-hak mereka.

b. Permasalahan (komplikasi)
Penulis mulai memasukkan hal-hal yang dialami oleh masing-masing
tokoh yang akan membuat permasalahan mencapai klimaks. Paragraf yang
menunjukkan tahap ini, misalnya adalah sebagai berikut.
Begitulah. Ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Padahal Rizal
yang terlalu bernafsu dengan jaringnya. Sembari mengguyur badan di
kamar mandi, kucoba mendinginkan amarahku dengan siraman air
pegunungan. Tetapi keinginanku untuk belajar naik kuda telah melampaui
nada tertinggi dari kemarahan bapak. Keinginan it uterus menggedor pintu
yang disekat oleh batasan-batasan di ruangan hatiku.
….
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedi Rizal kecemplung
blumbang dalam pengembaraan kami, duabelas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal,Wildan dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering
mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat
cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka.
Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa
yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak
merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya
yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal
mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu
aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.
“Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba
diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.”
115

“Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap
rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya.
“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah
Wildan.
“Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh
mengetahuinya?”
“Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti
bisa terlambat.”
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal
menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7-10)

c. Puncak Permasalahan (klimaks)


Tokoh utama dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Annisa
mengalami konflik-konflik yang kemudian memuncak. konflik dalam rumah
tangganya yang pertama yakni dengan Samsudin mengalami puncaknya ketika
Annisa mengalami berbagai penganiayaan dan perlakuan yang tidak
menyenangkan dari Samsudin. Beberapa penganiayaan yang dilakukan
Samsudin terlihat pada kutipan berikut.
“Berikan selimut itu untukku,” aku meminta.
Ia hanya mendengus sekali dan menjalarkan api nafsunya.
Aku mau selimut, Samsudin!” Teriakku menderita.
“Untuk menyelimuti apa, Annisa. Apa kau ingin menyembunyikan
sesuatu dari pandanganku. Memangnya aku ini siapa, hah…?!”
“Bener, kau ingin tahu siapa dirimu?”
“Katakan! Siapa aku ini. Ayo katakana!”
“Keledai! Kau keleedai! Dan keledai tidak membutuhkan selimut
untuk menutupi tubuhnya. Jadi masalahnya, aku bukan keledai sepertimu,
sebab itu aku membutuhkan…..”
Plak!Plaakk!!
Ia menampar mukaku bertubi-tubi hinga pipi dan pundakku lebam
kebiru-biruan. Untuk kali pertama kucakar wajahnya dan ia membanting
badanku ke lantai. Bunyi gedebug dan suara berisik di kamar membuat
Mbak kalsum curiga. Ia menggedor pintu dengan ketakutan dan Samsudin
membentaknya. Seperti keledai tanpa pakaian, ia melenggang kamar
dengan tenangnya. Melewati Kalsum dan putri mereka, Fadilah. Sampai
anak kecil itu terlongong-longong seakan tengah menyaksikan unta
budukan di tengah sahara.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 131-132)
116

Permasalahan yang dihadapi Annisa tidak hanya berhenti pada konflik


yang dialaminya selama rumah tangga yang pertama. Cerita-cerita selanjutnya
yang menjadi isi novel adalah tentang usaha Annisa untuk memberikan
kesadaran kepada wanita tentang kedudukan mereka.
Rumah tangga kedua Annisa dengan Khudhori dipenuhi dengan
kebahagiaan karena hadir tanpa paksaan. Komunikasi yang dilakukan antara
keduanya juga membuat hubungan suami-istri menjadi harmonis. Namun,
rumah tangga kedua ini tidak bertahan lama karena maut memisahkan
Khudhori dan Annisa.
Di dalam mobil aku bertanya kepada mas Khudhori, apa Samsudin
menanyakan tentang Mahbub kepadanya.
“Untuk apa, Nisa? Tanya atau tidak, jelas ia sudah tahu kalau Mahbub
anak kita.”
“Paling tidak, aku ingin mendengar nada kekalahan paling akhir dari
mulutnya.”
“Siapa tahu ini bukan yang terakhir.”
“Apa maksudmu, Mas?”
“Iya. Perjalanan kehidupan Samsudin kan masih panjang, saying. Apa
yang terjadi antara kalian hanyalah permulaan baginya. Siapa tahu, hanya
Tuhan kan?”
“Tetapi aku telah melihat banyak dari matanya, tadi sewaktu kalian
sedang bercakap-cakap.”
“Apa yang kau lihat, Nisa?” Mas Khudhori meledek.
“Ia sinis sekali melihatmu. Pandangan matanya berkobar-kobar dengan
dendam dan amarah. Apa Mas tidak melihatnya?”
“Ah, itu hanya perasaanmu saja. Kau melebih-lebihkan, Nisa.”
“Tidak! Ia pasti masih menaruh dendam pada kita, Mas. Terlebih
setelah melihat Mahbub, kedengkiannya mencapai puncaknya.”
“Nisa, istghfar! Nggak baik terus menerus su’udzon kepada orang lain.
Sudahlah! Semuanya sudah berlalu kan?”
Sekalipun aku masih diliputi rasa mengganjal dan kurang puas dengan
tanggapannya, akhirnya kupendam sendiri semua kekhawatiran itu. Mas
Khudhori terlalu positive thinking. Dan aku malas untuk kembali
membincangkan berbagai kemungkinan yang bakal terjadi. Bukankah
segala sesuatu yang bakal terjadi tak seorangpun yang mengetahui selain
Yang Maha Mengetahui.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 303-305)
117

d. Penyelesaian (resolusi)
Resolusi untuk konflik pertama yang kemudian memuncak adalah
terjadinya perceraian antara Annisa dan Samsudin yang membuat Annisa
memiliki peluang untuk menjadi perempuan yang merdeka. Penyelesaian ini
dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
... .
“Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika
benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain,
tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak.
Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi
korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat
begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya
merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)

Semua keluarga Annisa termasuk saudara laki-lakinya yang semasa


kecil selalu mengejeknya pun memberikan andil dalam permasalahan rumah
tangga Annisa. Ketika itulah Annisa merasa bahwa begitu banyak orang yang
mencintainya dan dia harus bangkit dari keterpurukan tersebut.
“Kalau aku diizinkan berpendapat, menurutku, lek Khudhori masih
terlalu muda sebagai hakam dalam masalah ini. Apa tidak lebih baik kalau
yang diutus sebagai hakam adalah satu pihak yang minimal telah
berkeluarga. Sebab dengan itu, pastilah dia lebih tahu urusan dan
permasalahan tentang keluarga. Ini pendapat saya.”
“Aku setuju,” cepat-cepat aku menyambung Wildan, “mungkin Bapak
bisa mengutus Kiai Mahfud atau Kiai Badawi yang jauh lebih sepuh dan
pastilah lebih arif untuk membincangkan masalah seperti ini.”
“Benar. Ibu kira Kiai Mahfud jauh lebih baik dibandingkan Kiai
Badawi. Soalnya Bapak tahu sendiri kan masalah kita dengan Kiai
Badawi?,” ibu menyambung dengan teka-teki di antara kami. Ingin
kutanyakan, ada apa dengan kiai Badawi tetapi pasti nanti akan jadi
118

persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan
Kiai Badawi.
“Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan
menghubungi kiai Mahfud.”
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun
udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh
semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku
terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan
memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini
benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari
perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian
puitis.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 187-188)

Sedangkan kematian Khudhori yang merupakan ujian besar dalam


rumah tangga Annisa dan Khudhori diterima Annisa dengan ikhlas dan lapang
dada. Kematian yang telah menimpa Khudhori adalah takdir dari Allah SWT
yang tidak bisa ditolaknya.
Tidak! Mas Khudhori tidak mati.
Aku yakin, bahwa ia hanya tidur kelelahan dan sebentar lagi akan
bangun kembali. Tapi keyakinan itu selalu lenyap dalam mimpi. Sebab,
hampir dua minggu aku bolak-balik ke rumah sakit. Sampai-sampai aku
bermimpi yang bukan-bukan.
Di mana aku bangkit, berdiri dan berjalan menuju ruang tengah. Tetapi
apa yang kulihat? Tubuh berselimutkan kain panjang itu wajahnya begitu
pucat, matanya terpejam dan diam. Aroma kapur barus itu, telah
menyentakkan kesadaranku akan makna semua yang diam. Para pelayat
yang terus berdatangan dan tatapan mata mereka, semuanya
memberitahuku arti sebuah peristiwa.
... .
Tubuh yang beku itu, menyiratkan senyum dan wajah kemenangan,
menegaskan sikapnya dalam hidup yang pantang menyerah oleh gempuran
fitnah dan cobaan. Dan senyum itu membakar semangat hidupku untuk
tetap bangkit, berdiri dengan tegar di tengah gelombang yang menerpa,
seganas apa pun. Memandanginya membuat energiku terpompa. Melihat
masa depan dan Mahbub-ku, Mahbub kami yang menjernihkan mataku
dari debu dan mendung dunia.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 312-314)

e. Simpulan (konklusi)
Bagian ini menjadi penutup cerita dari novel Perempuan Berkalung
Sorban yang menceritakan tentang tokoh utama setelah konflik-konflik yang
dilaluinya memuncak dan mengalami penyelesaiannya.
119

Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga


yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang
kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang
bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya,
kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu,
harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga
aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya.
Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca
ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku
perjalanan adam dan hawa.
“Nisa, apakah kau masih mencintaiku seperti gadis kecil di pinggir
sungai itu?”
“Aku tetap Nisa yang dulu, Mas.”
“Tapi…”
Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di
sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang
menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk
tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap
lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa
kemudi. Panji matahari.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316)

Secara umum, alur yang digunakan dalam novel Perempuan Berkalung


Sorban memiliki alur mundur (regresif, flashback). Cerita dalam novel tersebut
dimulai dari keadaan Annisa yang mengenang masa lalunya melalui
penggambaran alam desanya.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang.
Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani
yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan
tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang
dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan.
Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng
pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain
masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak
menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan. Seperti
dalam film, jalanan usiaku membentuk gambar-gambar yang terus
bergerak dalam kepala. Kadang juga menjelma padang ilalang, semak dan
hutan belantara.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009:1-2)
120

5. Sudut Pandang
Sudut pandang dibagi menjadi tiga, yaitu: sudut pandang persona pertama
“aku”, sudut pandang persona ketiga “dia”, dan campuran “aku dan dia”. dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggunakan sudut pandang orang
pertama “aku”. Penulis adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh)
lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si „aku‟ tersebut. Penggunaan
sudut pandang “aku” sudah terlihat sejak cerita dimulai.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang.
Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani
yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan
tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang
dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan.
Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng
pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain
masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak
menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… .
….
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat
bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
….
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya,
dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang
bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)

6. Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan
secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam
tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan
121

dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran,
peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan
utama cerita.
Amanat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah penghormatan
terhadap posisi perempuan. Bahwa perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri.
Tanpa melupakan kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya
dibuat adil antara laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai
simbol kemuliaan, martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim.
Di Indonesia, sorban selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa,
tokoh utama dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna
sorban itu untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan
ustadzah. Bahwa pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki
kualitas maskulin sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta.
Maka, ketika Annisa berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian
menggunakannya sebagai lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki.
Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga
yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang
kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang
bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya,
kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu,
harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga
aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya.
Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca
ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku
perjalanan adam dan hawa.
….
Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di
sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang
menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk
tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap
lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa
kemudi. Panji matahari.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316)
122

7. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam
upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus
didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-
satunya hal yang membentuk gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap
pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan
dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-
hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap
segala sesuatu yang ada di sekitamya.
Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus
terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat
menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan
peperangan dan lain-lain.
Gaya bahasa sinisme juga kerap digunakan Abidah El Khalieqy untuk
menggambarkan kesenjangan yang ada atas perlakuan bagi kaum perempuan dan
laki-laki. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda.
Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung
Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)

Melalui beberapa narasi cerita, Abidah sebagai penulis juga mampu


memberikan penjelasan tentang gambaran bagaimana pembagian kewajiban dan
hak antara suami-istri tanpa ada kesenjangan antara keduanya. Kutipan narasi
tersebut dapat dicontohkan sebagai berikut.
123

Saat paling berat kulalui adalah ketika pagi menjelang dan udara dingin
menyerang. Perutku serasa diaduk-aduk dan sulit sekali memberi toleransi
untuk keringat dan bau mulut yang belum disikat. Maunya begitu mataku
terbangun, seluruh isi kamar harus berbau harum segar dan tidak menyengat.
Juga tak ada sedikitpun barang yang berantakan, maunya rapid an indah. Jika
tidak, aku akan terus menerus muntah berkepanjangan dan pusing dan ingin
marah yang tak jelas ujungnya. Tak ada pilihan lain bagi mas Khudhori
kecuali menuruti segala permintaanku.
Sebelum subuh ia telah bangun dan merapikan semua, menyemprot dan
mengepel seluruh ruangan dengan pengharum lalu mandi cepat-cepat sebelum
aku terbangun. Jika aku belum juga bangun setelah semuanya beres, ia akan
menyiapkan apel kesayanganku di nampan buah dan segelas susu prenagen.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 285-286)

Kutipan di atas memberikan penjelasan bahwa tidaklah menjadi satu hal


yang tabu jika suami melakukan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh isteri.
Mengepel, mencuci baju, mencuci piring, menyiapkan segala hal yang diperlukan
dalam rumah tangga adalah hal-hal yang biasa dilakukan oleh seorang suami.
Deksripsi yang diberikan oleh Abidah dalam novel tersebut antara Annisa dan
Khudhori memberikan penerangan sekaligus kejelasan hak dan kewajiban serta
keharusan harus saling membantu antara suami-isteri. Hal ini jelas menolak nilai
yang diajarkan dalam lingkungan pondok pesantren tempat Annisa hidup sejak
kecil. Bahwa, segalanya yang berbau rumah tangga adalah pekerjaan yang harus
diselesaikan oleh seorang isteri tanpa ada pengecualian waktu, termasuk ketika
seorang perempuan hamil.

C. PROSES KREATIF NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN


Proses kreatif karya sastra adalah proses yang menjadi tahapan atau yang
biasa disebut sebagai latar belakang terciptanya sebuah karya sastra. Beberapa
karya sastra lahir dari komunikasi antara sastrawan dengan lingkungannya.
Sebuah karya sastra juga dapat hadir karena pengalaman sastrawan dalam
hidupnya yang mempu menginspirasi sastrawan tersebut untuk menciptakan
sebuah karya sastra. Beberapa tema atau subject matter dapat menginspirasi
sastrawan dan tidak pernah basi untuk dibicarakan karena masing-masing
124

sastrawan memiliki cara yang berbeda untuk menceritakan subject matter


tersebut.
Begitu pula dengan isu gender yang selalu menjadi perhatian bagi
sastrawan laki-laki maupun perempuan. Isu gender selalu menjadi materi yang
menarik untuk diperbincangkan meskipun keberadaannya dalam karya sastra
cenderung mengundang perdebatan. Sudut pandang yang berbeda antara penulis
laki-laki dan perempuan membuat karya sastra yang mengandung tema ini selalu
kaya dengan hal-hal yang baru.
Kekuasaan dan seks merupakan tema yang lumrah dan biasa dalam
ranah sastra. Hampir di setiap zaman, keduanya hadir sebagai wacana yang
mencerahkan, tapi juga sekaligus menyesatkan. Dan dalam kenyataannya,
“penyesatan” itu terus berlangsung dan bahkan telah berubah menjadi
sejarah. Karena imajinasi seks dalam prosa maupun puisi lebih banyak
dimainkan, diorganisir, dicipta dan diekspresikan oleh kepentingan birahi
kaum lelaki.
Dengan sendirinya, unsur seks yang menonjol, atau sengaja ditonjolkan
adalah seksualitas perempuan yang menggunakan ukuran, persepsi, dan
libido seksualitas laki-laki. Sehingga keindahan seksualitas perempuan yang
sebenarnya menjadi tak terkatakan, bahkan disembunyikan. Ekspresi seks
dalam sastra hanya bekerja untuk menggambarkan bentuk dan fungsi alat-
alat reproduksi perempuan yang menggoda. Seksualitas perempuan hanya
dilihat sebagai fenomena alamiah yang tetap dan tidak dapat diubah,
sebagaimana yang berkembang dan tertanam dalam budaya patriarki.
Sementara kekuasaan, baik dalam ruang sastra maupun dalam kenyataan
budaya, juga berada dalam posisi yang serupa, tidak ramah terhadap
perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai objek semata. Bentuk-
bentuk kekuasaan baik dalam politik, ekonomi, sosial, dan juga agama, tak
juga berpindah dari ketiak patriarki.
(Abidah, 2007b: 1)

Bertolak dari pemahaman tersebut, gagasan baru lahir yang dipelopori


oleh kaum feminis untuk melakukan kampanye tentang pentingnya bagi
pengarang perempuan untuk menulis seksualitas dirinya ke dalam karya sastra.
Gagasan mereka dikenal dengan sebutan SEXTS, yaitu kombinasi antara kata Sex
dan Text. SEXTS adalah bahasa yang diciptakan feminis aliran ini untuk
menunjukkan seks perempuan dalam karya sastra melalui metafora dan morfologi
keperempuanan yang lebih majmuk dan kaya.
125

Di Indonesia, para perempuan pengarang kontemporer mencoba mengikuti


jejak tersebut tanpa memahami, dan mempertimbangkan nalar budaya yang
melandasinya. Para pengamat sastra mencurigai, Ayu Utami memotori semua ini.
Namun, sebagian besar dari mereka hanya bergerak mengikuti trend budaya pasar
yang didominasi dan dikendalikan kapitalisme global yang sangat patriarkis.
Seksualitas perempuan dibuka secara lebar-lebar, ditelanjangi dan disebarkan oleh
perempuan itu sendiri.
Abidah Al Khalieqy hadir di antara penulis perempuan yang mulai
menjamur sekarang ini. Abidah El Khalieqy lahir di Jombang, Jawa Timur.
Setelah ia menamatkan pendidikannya di sekolah ibtidaiyah (setingkat dengan
sekolah dasar), ia melanjutkan sekolah di Pesantren Putri Modern PERSIS,
Bangil, Pasuruan. Di pesantren inilah ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan
nama pena Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati atau Ida Bani Kadir.
Abidah berkembang menjadi penulis wanita yang cukup produktif dalam
menghasilkan karya. Dengan memiliki modal latar pendidikan pesantren inilah
kebanyakan karya-karya yang dihasilkannya mampu mendeskripsikan secara
detail kebiasaan, peraturan, bahkan unsur-unsur yang ada di dalamnya secara
jelas. Begitupula yang melatarbelakangi hadirnya Novel Perempuan Berkalung
Sorban. Keaktifannya dalam berbagai lembaga dan forum diskusi baik dalam
skala nasional maupun internasional membuat namanya berkibar.
Proses kreatif pembuatan Novel Perempuan Berkalung Sorban
dilatarbelakangi oleh keinginan Abidah bahwa dalam setiap tulisan yang
dihasilkan olehnya agar bermanfaat bagi kaum perempuan. Abidah menginginkan
setiap karyanya mampu membuka dan mengubah pandangan kaum perempuan
yang selama ini masih terkungkung dengan paradigma yang masih kental dengan
budaya patriarki. Karena itulah Abidah menggunakan tokoh Annisa yang cerdas
dan berpendidikan agar bisa menjadi model bagi pembaca karya sastra, terutama
pembaca perempuan.
Ketika dilakukan wawancara dengan Abidah melalui email yang dilakukan
pada 15 Oktober 2009 mengenai Novel Perempuan Berkalung Sorban. Berikut
adalah kutipan pernyataannya.
126

Saya ingin perempuan memiliki kemandirian. Perempuan harus


menguasai ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menjawab nasib
perempuan. Derajat ditentukan dengan ilmu. (Himpunan Mahasiswa
Islam) dan kemudian saya tidak tertarik masalah politik. Ketika itu, isu
tentang feminisme yang ditulis dalam novel seperti Perempuan di Titik
Nol karya Nawal El Sadawi dibahas di mana-mana. Saya juga mulai
tertarik untuk membahas persoalan perempuan. Dan dalam benak saya,
perempuan di Indonesia masih termarginalkan. Jadi, menurut saya, kondisi
perempuan sudah sangat parah. Memang harus dicari akar
permasalahannya dan disuarakan sekeras-kerasnya. Artinya, harus ada
revolusi pemikiran bahwa ini adalah sesuatu yang sangat mendesak.
Selama ini soal perempuan memang sudah banyak ditulis, soal penderitaan
mereka dan keterpinggiran mereka. Tetapi bagaimana solusi ke depan
untuk menyikapi kondisi seperti ini belum ditulis.
... .
Dalam novel PBS, pembelaan terhadap pemilikan tubuh dan hak-hak
reproduksi perempuan merupakan tumpuan eksplorasi. Melalui tokoh
Annisa dalam novel tersebut, seolah saya bernafas dan hidup dalam visi
perjuangannya, “tubuhmu adalah milikmu, tak seorang pun yang boleh
menguasainya, juga lelaki pasangan hidupmu”. Sementara dalam AS,
perjuangan lebih terarah untuk mengentaskan status dan posisi perempuan
dari belenggu tradisi patriarkal dalam ruang domestik maupun publik.
Kamila, tokoh utamanya, menjadi representasi dari perempuan
pemberontak yang berusaha menemukan kesejatian dirinya di tengah
ancaman dan kebusukan kaum lelaki. Karena itu, dalam menempuh
kariernya, tokoh Kamila selalu berpindah dari kerja yang satu ke jenis
pekerjaan lain. Kemudian menjadi lebih berhargadiri, bermartabat, ketika
ia masuk dalam organisasi perempuan yang memiliki tujuan yang tidak
berbeda dengan perjuangannya.

Kutipan tersebut kembali menegaskan bahwa melalui tokoh-tokoh yang


dihadirkannya dalam novel Perempuan Berkalung Sorban Abidah ingin
menghadirkan sebuah perubahan tentang gambaran yang seharusnya atas kondisi
dan kedudukan laki-laki dan perempuan. Setiap tokoh yang dihadirkan dalam
novel tersebut merupakan representasi pemikiran Abidah atas kondisi sosial
masyarakat pembaca, khususnya kondisi pondok pesantren. Melalui tokoh-tokoh
tersebut pula, Abidah memberikan solusi atas ketimpangan yang terjadi dalam
masyarakat kita. Pada sisi ini, Abidah telah berhasil membuat karya sastra yang
diciptakannya memiliki nilai manfaat bagi masyarakat pembacanya.
Pembuatan novel Perempuan Berkalung Sorban ini bekerjasama dengan
Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF). Yayasan ini adalah organisasi bentukan
127

para putri kyai Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur yang masing-masing memiliki
pondok pesantren. Mengenai Yayasan tersebut, Abidah menjelaskannya sebagai
berikut seperti petikan wawancara yang telah dilakukan.
YKF didirikan oleh putri-putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini
memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi
mereka mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar,
workshop, dan segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk
pemberdayaan perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini
merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia.
Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak
temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri.
(Lampiran Hal. 160)

Tujuan dari penulisan novel ini adalah untuk mensosialisasikan hak-hak


reproduksi perempuan yang selama ini masih belum banyak diketahui. Abidah El
Khalieqy bersama YKF menyuarakan secara tertulis permasalahan yang harus
diketahui oleh kaum perempuan tersebut. Alasan lain atas pengambilan tema
tersebut karena melihat banyak permasalahan yang masih dirasakan oleh
perempuan yang mencatut hak-hak perempuan. Masih banyak tindak
penganiayaan yang diterima oleh perempuan baik dalam kehidupan rumah tangga
atau dunia kerja.
Novel ini ditulis untuk mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan
yang sudah diratifikasi oleh PBB. Untuk memberikan detail yang jelas,
saya juga mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama
hampir dua tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang
fisik-fisik selama tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa
Tengah Di satu kampung ada banyak pesantren salaf. Lokasinya di
pegunungan. Saya juga menemukan orang-orang yang naik kuda.
Sesudahnya, saya mengikuti seminar-seminar yang dilakukan oleh YKF
selama hampir dua tahun, kemudian menulis novel tersebut selama
sembilan bulan.
(Lampiran Hal. 152)

YKF dan Ford Foundation juga ikut membiayai proyek penulisan novel
Perempuan Berkalung Sorban. Meskipun kerjasama dilakukan antara Abidah
dengan YKF dan Ford Foundation, Abidah El Khalieqy memiliki otoritas pribadi
dalam penulisan novel tersebut. YKF atau Fort Foundation tidak diperkenankan
128

untuk ikut campur tangan. Semua isi dan teknik penulisan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban murni dari Abidah El Khalieqy sebagai sastrawan.
Abidah menyanggupi kerjasama yang ada karena adanya persamaan misi dan
sorotannya dengan karya-karya yang telah ditulis Abidah sebelumnya. Persamaan
tujuan dan misi inilah yang kemudian membuat Abidah dan YKF bersama Fort
Foundation membuat kerjasama tersebut.
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan terjadi semakin sering dibicarakan pada beberapa dekade terakhir.
Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat
mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan
munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat
perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai
generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam
kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak
dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks
Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra
yang bias gender.
Pembicaraan tentang gender menjadi pembicaraan yang cukup ‟panas‟ di
beberapa kalangan, termasuk dalam dunia sastra. Kata gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin. Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm,
2002: 177 178) menyatakan bahwa gender diartikan sebagai kelompok atribut dan
perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.
Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui
proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 46) mengungkapkan
bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut
membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui
sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos
seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan
terhadap jenis kelamin tertentu. Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah
129

menempatkan perempuan sebagai objek yang selalu dikendalikan sehingga


menimbulkan reaksi dari kelompok perempuan di seluruh dunia. Menurut Mosse
(2003:69 70) mereka menuntut seksualitas sebagai sebuah wilayah yang
memberikan kesempatan pada perempuan untuk dapat menolak penindasan atas
dirinya. Mereka menyoroti masalah pemahaman tentang seksualitas perempuan
yang telah diterima, yang mengaitkan subordinasi ekonomi dan sosial perempuan
dengan subordinasi seksualnya.
Penulis perempuan kini semakin banyak bermunculan. Mayoritas karya-
karya yang dihasilkan bercerita tentang realita kehidupan kaumnya. Buah pikiran
mereka semakin digandrungi karena mendobrak dominasi para penulis pria.
Keadaan inilah yang membuat kajian tentang gender dalam dunia sastra menjadi
bahan pembicaraan yang menarik untuk didiskusikan. Dalam sebuah diskusi yang
dilaksanakan di Universitas Negeri Surabaya, Abidah mengungkapkan:
Sebagai dikembangkan kaum feminis, wacana jender dalam sastra
mengarahkan perspektifnya pada beberapa tujuan, yang di antaranya dapat
diacu sebagai cara kreatif untuk membebaskan perempuan dalam menulis
dan menceritakan pengalamanya sendiri di luar konvensi, aturan, konsep
dan premis budaya patriarkis. Wacana jender juga berusaha menciptakan
androginitas budaya, membangun kesetaraan tatanan sosial yang
didasarkan pada penghargaan terhadap nilai-nilai keperempuanan. Dan
secara teoritik, jalan untuk mencapai tujuan-tujuan itu, kajian jender telah
menyediakan metode, alat dan perangkat bagi perempuan untuk
mengeksplorasi pengalaman, intusi dan intlektualitas, moral dan
spiritualitas yang berkembang dari dalam dirinya.

Di sisi lain, feminisme, gender berkembang pesat. Buku-buku karya sastra


yang terbit merupakan hasil karya penulis perempuan. Abidah Al Khaleqy adalah
salah satu penulis wanita yang hadir dengan kontroversi di setiap karyanya. Tanpa
ragu karya-karyanya mengungkapkan sisi-sisi kehidupan seorang perempuan dari
berbagai sudut pandang. Bahkan, tentang perlakuan terhadap wanita seperti yang
diceritakan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban. Abidah dengan para
penulis wanita kemudian menciptakan sebuah persaingan sehat dalam berkarya
antara penulis laki-laki dan penulis perempuan.
130

D. NILAI-NILAI KULTURAL PONDOK PESANTREN DALAM


NOVEL PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di
Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah
mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam
masyarakat Indonesia. Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh masyarakat Indonesia. Karena
sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar
sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang
tumbuh secara natural.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren
yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing
tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis
menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan
penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Dalam wawancara
yang dilakukan dengan Abidah El Khalieqy di kediamannya, dia mengungkapkan
sebagi berikut.
Pesantren ini kan satu institusi pendidikan yang merupakan agent of
change untuk merubah pola pikir masyarakat. Bagaimana mindset
masyarakat itu di rubah. Dari masyarakat yang patriarki menjadi tidak
patriarki atau patriarki ini dilestarikan terus menerus ya berasal dari sini.
Kalau dari agennya saja tidak mau berubah semua ini, kita tidak akan
berbah. Karena yang bisa merubah pola pikir masyarakat adalah agen-agen
perubahan ini. Nah, kalau kita ingin melakukan revolusi pemikiran ya dari
agen-agen ini.
Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja
novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan
juga sarat sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya
inginkan. Kalau kita ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam
masyarakat. Kalau ada ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam
masyarakat kita cari dulu akar permasalahannya. Awalnya, kita lakukan
kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa sebenarnya dalam pondok pesantren.
di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu kyai dan kitab kuning. Dalam
PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa hadist dan profil seorang
kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok pesantrennya. Maka,
setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus diangkat. Latar
pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana akar dari
131

masalah perubahan. Yang ingin kita lakukan dalam PBS adalah


merevolusi pemikiran. Bagaimana mindset dan paradigma kita dirubah.
(Lampiran Hal. 158)

Menurut Dhofier (1985), secara umum pondok pesantren dibagi menjadi


dua yaitu pondok pesantren tradisional (salafi) dan pondok pesantren modern
(khalafi). Pesantren tradisional mengajarkan pengajaran kitab-kitab islam klasik
sebagai inti pendidikannya tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum.
Metode pengajaran di pondok pesantren tradisional menggunakan sistem
bandongan (kelompok) dan sorogan (individual).
Selain itu, di pondok pesantren tradisional kyai memiliki otoritas yang
besar dalam menentukan kebijakan. Sistem pendidikan tergantung kepada selera
kyai serta tidak adanya sebuah aturan baik menyangkut manajerial, administrasi,
birokrasi, struktur, budaya, dan kurikulum (Wahid, 2001). Dalam kehidupan
sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan kepribadian kyai sangat
berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim, dan kepatuhan mutlak kepada
kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan kepada setiap santri.
Sedangkan pondok pesantren modern telah memasukkan pengajaran pengetahuan
umum dalam madrasah-madrasah yang dikembangkan atau membuka tipe-tipe
sekolah umum di lingkungan pesantren dengan metode pembelajaran
menggunakan sistem klasikal.
Ini juga seperti dijelaskan oleh Lulik Khumaidiyah, santri pondok
pesantren Al Quran, Narukan Kecamatan Kragan bahwa dalam pondok pesantren
tidak ada santri yang mengikuti sekolah umum. Santri belajar dalam pondok
pesantren sepanjang hari yang dimulai pada pukul 8 pagi sampai jam 11 siang dan
dilanjutkan hingga sore hari. Santri belajar sepanjang hari secara berkelompok dan
individual. Sebagaimana namanya, pondok pesantren ini lebih memfokuskan
pengajaran dan pemahaman tafsir Al Quran kepada para santri yang belajar di
sana.
Bertolak dari pemikiran tersebut, Abidah El Khalieqy kemudian
menggunakan latar pondok pesantren salaf, bukan pondok pesantren modern.
Dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggambarkan sosok kyai
132

yang memiliki dominasi yang besar terhadap santri-santrinya juga terhadap


keluarganya. Novel tersebut juga menggambarkan para kyai yang masih kolot
dengan penafsiran kitab kuning mereka. Hal tersebut dikemukakan Abidah El
Khalieqy dalam wawancara berikut.
Sebagai institusi pendidikan yang mewakili satu rezim tafsir agama
tertentu. Kalau saya sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi
perempuan kita, tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia, kita
mengalami segala macam ketidakadilan, gender dan lain sebagainya itu
berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari ayat-ayat alquran yang kita
pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini merupakan otoritas
dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren.
….
Pondok pesantren yang saya jadikan tempat observasi di Kali Angkrik,
Magelang itu sangat kecil. Tidak seperti di filmnya ya, kalau filmnya kan
depannya laut. Tidak seperti itu. Setting-nya di daerah pegunungan yang
turun naik begitu. Jadi memang sangat asyik. Dan tentang naik kuda itu
memang benar. Saya mengadakan observasi di lapangan selama 3 bulan di
sana. Saya perlu observasi di lapangan karena kultur pondok
muhammadiyah dengan NU itu berbeda, dengan pondok modern juga
berbeda. Saya berasal dari pondok modern dan beberapa kitab yang
digunakan beberapa juga berbeda. Ketika observasi saya sempat terbelalak
dengan ajaran di sana karena ternyata ajarannya sampai seperti itu.
Sebelumnya, sama sekali tidak pernah saya pelajari di pondok saya.
(Lampiran Hal. 159 dan 161)

Pengambilan setting pondok pesantren salaf dilakukan Abidah untuk


menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab kuning yang sangat
mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok pesantren. Hal tersebut sulit
ditemui jika Abidah mengambil setting pondok pesantren modern karena santri
pada pondok pesantren modern telah cukup banyak bersinggungan dengan dunia
di luar pesantren. misalnya, dengan sekolah di sekolah umum mereka akan
bersinggungan dengan individu-individu baru dengan kebiasaan-kebiasaan yang
juga baru.
Bertolak dari penjelasan Wahid di atas tentang otoritas kyai pada pondok
pesantren modern yang mengharuskan santri memiliki kepatuhan yang tinggi
kepada kyai, Abidah menceritakan sebagai berikut dalam kutipan novel
Perempuan Berkalung Sorban.
133

Sengaja kuambil tempat paling tengah persis di depan ustadz Ali, dan
di sebelah kiri Mbak May untuk menyaringkan pendengaran dan
memudahkan bertanya jika, perlu. Setelah memberi pengantar secukupnya,
beliau memberi penjelasan.
“Malam ini, saya akan menjelaskan macam-macam kaum perempuan
yang masuk neraka dan masuk surga.”
... .
“Perempuan mana saja yang diajak suaminya untuk berjimak lalu ia
menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia kan di laknat oleh
Allah.” Kemudian lanjutnya, “perempuan mana saja yang cemberut di
hadapan suaminya, maka dia dimurkai Allah sampai ia dapat
menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridlaannya.”
….
“Bagaimana jika isterinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami
menunda-nunda hingga isteri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak
Kiai?”
“Tidak. Sebab tidak ada hadist yang menyatakan seperti itu. Lagipula
mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur.
Seorang isteri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.”
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan
mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu
agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.”
“Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-
geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami
berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas
dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?”
Ustadz Ali yang sering dipanggil Kiai Ali memang sudah agak tua
hingga ketika melotot, menambah ramai kerut merut dan tegangan di
wajahnya. Dan seperti kucing kehujanan, para santri menggeletar
ketakutan. Seakan puing-puing tengah berhamburan karena suaraku adalah
irama bom yang diledakkan persis di tengah kesunyian malam menggertak
sasaran. Ingin kupamerkan tawa dan kegembiraan andai aku tak ingat pada
wajah bapak dan irama geramannya saat amarahnya meletus. Kurendahkan
pandanganku menunggu sampai ustadz Ali dapat menguasai perasaannya
kembali.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 78-82)

Kutipan tersebut memberikan gambaran tentang ketakutan dan sikap


hormat yang berlebihan yang dimiliki oleh santri-santri di pondok pesantren
terhadap kyai-kyai mereka. Sikap hormat yang berlebihan tersebut bahkan
134

memiliki dampak yang negatif terhadap kekritisan pikiran para santri karena
mereka cenderung takut untuk membantah atau berdiskusi atas materi dan setiap
ajaran yang diterima agar dapat relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Ketakutan yang kemudian menutup keberanian para santri untuk bertanya
atas setiap ajaran yang diberikan membuat kesalahan tafsir yang dilakukan oleh
para kyai terjadi secara terus menerus. Kelanjutan dari proses tersebut adalah
bahwa pondok pesantren yang seharusnya menjadi institusi pendidikan yang
mampu membawa perubahan pemikiran ke arah yang lebih baik tidak melakukan
fungsi tersebut. Kesalahan tafsir yang diterima secara serta merta ini kemudian
disebarkan kembali oleh para santri lulusan pondok pesantren. Maka, masyarakat
akan menerima informasi yang salah dan hal tersebut terjadi secara simultan dan
kontinyu. Hal tersebut akan semakin bertambah buruk karena masyarakat pun
akan menerima ajaran tersebut secara total. Ini terjadi karena kultur masyarakat di
tanah air cenderung langsung percaya dengan ajaran-ajaran yang disebarkan
melalui pondok pesantren tanpa di saring terlebih dahulu. Masyarakat masih
menempatkan posisi kyai sebagai status sosial yang dikultuskan dan cenderung
selalu benar.
Novel Perempuan Berkalung Sorban diciptakan dengan menggunakan
kearifan lokal sebagai kekuatannya. Setting pondok pesantren yang dipilih Abidah
El Khalieqy memiliki satu kekuatan bagi pembaca sastra di tanah air. Setting
pondok pesantren yang sudah dikenal pembaca akan membuat pembaca mudah
untuk menggambarkan kondisi tempat, sosial atau budaya yang dijadikan Abidah
sebagai latar novel tersebut.
Selain isu gender yang menjadi subject matter novel Perempuan
Berkalung Sorban pemilihan setting pesantren dinilai memiliki kekuatan dan daya
tarik tersendiri, terutama bagi pembaca sastra di tanah air. Alasan tersebut antara
lain karena pondok pesantren merupakan satu institusi pendidikan yang dalam
masyarakat dinilai sebagai kawah candradimuka yang menghasilkan tokoh-tokoh
masyarakat. Lulusan yang telah menikmati pendidikan - pendidikan umum dan
agama - dalam pondok pesantren ditempatkan masyarakat sebagai guru dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
135

pada beberapa pondok pesantren terdapat sikap hormat yang berlebihan sehinga
para santri menerima dengan serta merta ajaran dan tafsir Alquran dan hadist.
Keadaan seperti itu membuat hegemoni tafsir yang tekstual yang
dilakukan oleh para kyai berlangsung terus menerus tanpa ada relevansi dengan
kehidupan sekarang yang bersifat kontekstual. Hal tersebut yang akhirnya
membuat beberapa kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan para kyai dari kalangan
pondok pesantren mengundang kontroversi dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang terdapat dalam penggambaran kultur pondok pesantren
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban antara lain adalah, pertama, sikap
hormat yang berlebihan terhadap sesama manusia tidak akan menghasilkan
dampak yang positif. Hal tersebut terlihat jelas pada penggambaran kultur dan
kebiasaan para santri di pondok pesantren terhadap para kyai, terutama kyai
sepuh.
Kedua, novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan tema kesetaraan
gender. Tema tersebut adalah tema krusial yang penting untuk dikaji karena
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pembicaraan mengenai kesetaraan
gender telah dimulai sejak beberapa dekade terakhir dan makin marak dibicarakan
sekarang ini seiring semakin aktifnya organisasi-organisasi yang bergerak dan
mengusung tema ini sebagai arah gerak organisasi mereka.
Pengangkatan tema tersebut ke dalam karya sastra akan membuat pembaca
secara tidak langsung ikut mengamati sekaligus berdiskusi atau mengadakan
kontemplasi tentang fenomena yang berada di sekitar. Fakta dan kejadian yang
ada di sekitar akan membuat pembaca dekat dengan novel tersebut karena
pembaca mengetahui sendiri fenomena tersebut. Kontemplasi yang dilakukan
pembaca atas karya sastra yang mengandung isu kesetaraan gender ini akan
membuat pembaca sedikit banyak mengetahui dan memahami solusi atau
pemecahan masalah yang terjadi. Sekaligus sebuah kesadaran bahwa pola
patriarkal yang ada dalam struktur masyarakat kita membawa dampak yang tidak
selalu baik, terutama bagi kaum perempuan. Pembaca perempuan khususnya akan
memahami nilai-nilai tersebut dan memahami bahwa hak-hak perempuan yang
dimiliki harus diperjuangkan. Namun, harus tetap sesuai dengan kodrat mereka.
136

Sedangkan nilai ketiga, berkaitan dengan nilai kedua adalah bahwa


perjuangan diperlukan untuk mencapai segala mimpi, termasuk ketika hendak
meminta hak pribadi. Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan secara
jelas perjuangan tokoh Annisa untuk mendapatkan kembali kemerdekaan dan hak-
hak yang seharusnya dapat ia nikmatAbidah El Khalieqy menggambarkan Annisa
sebagai perempuan yang berani memperjuangkan hak-hak yang dimilikinya
dengan kecerdasan dan keberaniannya. Melalui tokoh Annisa, Abidah
merepresentasikan pemikirannya tentang sikap dan pemikiran perempuan yang
seharusnya. Tokoh inilah yang kemudian diharapkan Abidah El Khalieqy mampu
menjadi model bagi perempuan-perempuan lainnya.

E. RELEVANSI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL NOVEL


PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN TERHADAP
PEMBELAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
Bahasa sebagai sarana yang dimiliki oleh manusia memiliki peranan
sentral dalam perkembangan intelektual, emosional, dan spiritual seseorang.
Begitu pula bagi siswa, selain memiliki peran sentral terhadap perkembangan
intelektual, emosional, dan spiritual mereka, bahasa sekaligus menjadi penunjang
bagi para siswa untuk mempelajari dan menguasai bidang studi yang lain.
Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat membantu siswa
untuk lebih mengenal dirinya, budayanya, dan lingkungan di sekitarnya.
Pembelajaran sastra hendaknya dapat membuat siswa berani untuk
mengemukakan gagasannya dan menggunakan kemampuan analitis dan imajinasi
yang ada dalam dirinya, terutama yang berkenaan dengan apresiasi sastra. Hakikat
pembelajaran dan apresiasi sastra merupakan komponen yang penting pada
pembelajaran bahasa indoneisa. Hal tersebut ditandai dengan adanya materi
tersebut dari tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) sampai lanjutan atas
(SMA/SMK sederajat).
Mutu pendidikan tidak semata-mata diukur dengan nilai-nilai ujian yang
mencapai atau di atas nilai kelulusan. Departemen Pendidikan Nasional mengakui
hal tersebut dan menyikapinya dengan membuat aturan kelulusan yang
137

mengharuskan siswa harus memiliki pekerti yang baik agar mereka dapat lulus.
Nilai-nilai budaya, budi pekerti, religius, maupun kemasyarakatan harus digali
sendiri oleh siswa. Nilai-nilai tersebut dapat diperoleh siswa dengan membaca
karya sastra, dalam hal ini adalah novel. Hal tersebut dapat menambah kekayaan
batin siswa sekaligus membimbing mereka ke arah pola pikir yang lebih dewasa.
Kedewasaan pola pikir ini ditandai dengan adanya kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual yang dimiliki siswa.
Teks sastra dapat digunakan guru sebagai media alternatif dalam
pembelajaran sastra. Guru dapat menjadikan novel sebagai materi pembelajaran
yang membantu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, penuh
empati, dan bahkan bermain-main. Teks sastra seperti novel dapat membongkar
kebekuan daya cipta siswa dan mengisinya dengan kesadaran sosiokultural. Novel
yang berlatar kearifan lokal sastrawan yang disertai dengan eksplorasi nilai estetis
dapat menghasilkan teks sastra yang bermutu dan otentik. Hal tersebut dapat
menumbuhkan kesadaran untuk berkreasi bagi para siswa.
Permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sastra di kelas adalah
pemanfaatan sinopsis bagi para guru sebagai satu-satunya cara untuk
memperkenalkan karya sastra terhadap siswa. Sinopsis adalah inti cerita yang
ditulis secara singkat. Pembelajaran tersebut akan membuat siswa tidak
bersentuhan langsung dengan novel atau karya sastra dan membuat siswa tidak
dapat merasakan kenikmatan dalam pembelajaran apresiasi karya sastra.
Pembelajaran seperti itu akan menghasilkan siswa-siswa yang tidak paham dan
mengetahui informasi dalam novel tersebut. Siswa tidak akan banyak mengetahui
tentang siapa nama pelaku dalam novel, bagaimana penokohannya, latar
ceritanya, temanya, amanatnya, dan penghargaan terhadap karya sastra akan
berkurang. Hal tersebut akan terjadi secara simultan dan akan menyebabkan
semakin hilangnya apresiasi terhadap karya sastra.
Bertolak pada pembelajaran kontekstual, pembelajaran sastra dapat
dilakukan melalui pemanfaatan teks-teks sastra dengan mempertimbangkan akar
tradisi sosio-kultural masyarakat setempat. Pembelajaran kontekstual menuntut
guru sastra mengetahui minat siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra
138

yang tidak menuntut gambaran diluar jangkauan pembayangan yang dimiliki


siswa. Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah salah satu novel yang dicipta
dengan kearifan lokal dari latar sosio-kultural. Penggunaan novel ini dalam
pembelajaran apresiasi sastra dapat memberikan mafaat bagi siswa agar mereka
mengetahui kondisi yang ada di sekitar mereka dan menjadikan siswa tidak asing
dengan karya-karya di lingkupnya sendiri.
Novel Perempuan Berkalung Sorban cocok digunakan sebagai materi
pembelajaran apresiasi novel di tingkat SMA pada kelas XI. Pertimbangan yang
digunakan adalah bahwa pada tahap ini, seseorang sudah tidak lagi berminat pada
hal-hal praktis, tetapi juga berminat untuk menemukan konsep-konsepabstrak
dengan menganalisis sebuah fenomena. Kompetensi dasar yang berhubungan
dengan pembelajaran sastra yang menggunakan bahan ajar novel adalah KD 7.2,
15.1, dan 15.2.
Novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan perjuangan perempuan
dalam kesetaraan gender. Novel ini dapat digunakan siswa untuk memahami
fenomena gender yang ada dalam masyakarat. Selain itu,novel ini dapat
digunakan siswa untuk dapat lebih mengetahui budaya pondok pesantren. Nilai-
nilai dalam novel ini dapat menjadi bahan renungan yang bermakna dalam
kehidupan sekaligus kesadaran kreativitas pada siswa.
Pemanfaatan novel Perempuan Berkalung Sorban dalam pembelajaran
apresiasi sastra novel dapat mempertajam pemaknaan dan penafsiran siswa
terhadap akar tradisi sosio-kultural dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Teks sastra akan hidup dan berkembang dalam pemaknaan dan penafsiran serta
menghindari pemaknaan tunggal. Pemahaman pembaca (siswa) yang juga terus
berkembang akan membuat teks sastra tidak akan pernah mati karena penafsiran
pembaca (siswa) yang selalu kaya dalam mengapresiasi lambang bahasa di
dalamnya.
Model pembelajaran apresiasi novel di kelas dapat dilakukan sebagai
berikut: pertama, guru membuat daftar hal-hal yang ada dalam novel untuk
dibahas. Pembahasan dan diskusi dilakukan dengan maksimal agar siswa dapat
mengetahui isi novel secara mendalam. Pembahasan dapat dilakukan selama 3-4
139

kali pertemuan. Misalnya, pertemuan pertama untuk membahas atau


mendiskusikan isi, pertemuan kedua mendiskusikan gaya bahasa dan unsur
kebahasaan. Begitu selanjutnya sampai guru menilai siswa telah memahami karya
sastra yang menjadi objek kajian.
Kedua, siswa dapat dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan bagian
dalam novel. Setiap kelompok kemudian berdiskusi untuk menghasilkan porto
folio dan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan teman-teman
sekelas. Guru bertindak sebagai fasilitator dan siswa berkreativitas untuk
menemukan hal-hal yang ingin digali dalam novel.
Jika dimasukkan dalam tema pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di
SMA kelas XI dalam buku teks di kelas, novel Perempuan Berkalung Sorban
dapat dijadikan bahan ajar alternatif pada beberapa tema. Misalnya tema
perjuangan. Tema yang diangkat dalam novel tersebut dapat dijadikan bahan ajar
alternatif yang bersifat kontekstual. Jadi, pembelajaran yang dilakukan tidak
hanya mencakup pada perjuangan para pahlawan nasional tetapi lebih menyentuh
siswa karena isu terkini yang diberikan oleh guru atas tema yang sama. Guru
dapat menjelaskan hal-hal yang baru tentang konsep perjuangan dan membawa
murid masuk pada perjuangan kesetaraan gender. Pembahasan yang dilakukan
guru tentang emansipasi dan kesetaraan gender dapat lebih luas. Misalnya, tidak
hanya tentang RA. Kartini dan perjuangannya, tetapi juga kepada tokoh-tokoh
perempuan yang lain untuk kemudian guru dapat membuat apersepsi dan
mengajak siswa masuk pada novel Perempuan Berkalung Sorban.
Relevansi yang lain dari novel Perempuan Berkalung Sorban dapat
dijadikan bahan ajar alternatif ketika terdapat pembahasan tentang unsur intrinsik
dan ekstrinsik sastra. Selain itu, pembahasan atas novel ini juga dapat dibawa saat
pembelajaran mengambil tema drama. Hal ini mengingat bahwa novel ini telah
diangkat ke dalam layar lebar sehingga analisis yang dilakukan para siswa dapat
masuk pada analisis drama film selain analisis karya sastra novel. Variasi dan
kekreativan guru sangat berperan pada jalannya pembelajaran di kelas, begitupula
dengan motivasi dan minat para siswa. Adanya bahan ajar alternatif yang baru
140

dapat digunakan untuk meningkatkan minat dan motivasi siswa sekaligus


kekreativan guru dalam memanfaatkan bahan ajar alternatif tersebut.
Pembelajaran sastra yang masih bergabung dengan pelajaran bahasa
Indonesia sesungguhnya memudahkan proses ini karena siswa dapat belajar sastra
sekaligus bahasa melalui novel. Materi kebahasaan (struktur dan kosakata),
berbicara, menyimak, membaca dan menulis sudah terpadu dalam kegiatan ini.
Siswa sudah melakukan praktik langsung tanpa harus banyak berteori. Novel
memiliki contoh-contoh penggunaan bahasa untuk dibahas, begitu pula
penggunaan majas dan peribahasa yang terkandung dalam novel yang juga dapat
digunakan guru sebagai contoh dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

F. PENILAIAN PEMBACA TERHADAP NOVEL


PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN
Karya sastra tidak pernah lepas dari sastrawan, lingkungan, dan
pembacanya. Karya sastra tidak mungkin jatuh begitu saja dari langit, tentunya
selalu ada hubungannya antara sastrawan, sastra, dan masyarakat (Sapardi Djoko
Damono dalam Wiyatmi, 2006: 97). Sebuah karya sastra menjadi bernilai ketika
karya sastra tersebut memiliki makna dan memberikan sesuatu kepada masyarakat
pembacanya sebagaimana sifat karya sastra yang bersifat dulce et utile, mendidik
dan menghibur.
Karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya untuk
menyampaikan pikiran, perasaan dan gagasannya sekaligus imajinasi yang
dimilikinya kepada pembaca. Oleh karena itu, karya sastra diakui dapat befungsi
sebagai media yang dapat mengubah pola pikir dan paradigma masyarakat. YKF
melihat peluang tersebut dan untuk melakukan sosialisasi atas hak-hak reproduksi
kaum perempuan lembaga ini menggandeng sasrtawan Abidah El Khalieqy.
Abidah yang memiliki kesamaan misi dengan YKF-pun menerima tawaran
tersebut.
Novel Perempuan Berkalung Sorban mengangkat isu gender dengan latar
kehidupan pondok pesantren. Berbagai macam penilaian hadir atas karya yang
dihasilkannya setelah tulisannya sampai kepada para penikmat sastra. Novel
141

Perempuan Berkalung Sorban juga menuai banyak kontroversi setelah


diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok pesantren terutama
oleh para kyai sepuh. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Abidah El Khalieqy
dalam wawancara di kediamannya.
Penulisan novel ini merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh
NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya
lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata
menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.
Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondok-
pondok pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang.
Tapi menurut saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya
memperjuangkan mana yang hak dan yang salah. Secara hati nurani saya
seperti itu. Jadi, saya mau menulis novel itu. Meskipun beberapa orang
bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di koloni, jawabannya ya itu
tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan nyambung di isu
itu.
(Lampiran Hal. 160)

Selanjutnya, penilaian atas karya yang diterbitkannya memang tidak lagi


menjadi wewenang Abidah Al Khalieqy selaku penulis karena sebagaimana sudah
diketahui bahwa penilaian sastra tidak dapat dipaksakan. Penilaian atas sebuah
karya sastra dapat dipengaruhi oleh latar belakang (dapat dalam bentuk sosial atau
pendidikan) si penikmat sastra. Resepsi tentang sastra cenderung bersifat relatif
sehingga tidak ada aturan yang baku dan larangan bagi pembaca atau penikmat
sastra untuk menyatakan sebuah karya sastra itu layak atau tidak untuk dinikmati
publik.
Bertolak dari hal tersebut, beberapa pembaca yang menjadi narasumber
penelitian ini memberikan penilaian bahwa novel Perempuan Berkalung Sorban
adalah sebuah novel yang bagus karena menggugah dan penuh dengan inspirasi.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Fetty Permatasari, “Asyik. Nuansa
perlawanan dari tokoh utama terasa kental di novel itu. Ciri khas Abidah dalam
karya lain juga begitu. Abidah selalu melihat sisi lain”.
Novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebuah novel berbingkai
feminisme yang cukup kental. Beberapa pembaca menilai bahwa gagasan yang
disampaikan penulis melalui novel tersebut menyentuh sisi-sisi ini. Abidah El
Khalieqy sebagai penulis menginginkan perubahan paradigma pembaca terhadap
142

hal-hal yang harus diperjuangkan oleh perempuan dalam hidupnya. Melalui tokoh
Anisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap
tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren
yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan
Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai
tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang
bersifat ideologis maupun pragmatis.
“Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan
nilai religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan
pendidikan meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat
gerakan feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok
mempunyai hak yang sama”. (Anis Ningsih)
(Lampiran Hal. 177)

Beberapa komentar juga menyatakan kekagumannya pada sosok Annisa


yang menjadi tokoh perempuan utama dalam novel tersebut. Penilaian tersebut
menunjukkan bahwa Abidah El Khalieqy berhasil menciptakan tokoh-tokoh yang
menjadi nilai lebih dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.
“Penggambaran tokoh kuat dengan masing-masing karakter yang
dimilikinya. Amanat yang dikandung dalam novel tersebut bahwa sebagai
perempuan harus bisa memperjuangkan haknya, jangan mau kalah dengan
laki-laki. Usaha untuk persamaan gender antara laki-laki dan wanita”.
(Dian Fitri Argarini)
(Lampiran Hal.177)
Abidah menggambarkan Anisa sebagai seorang santri yang ideal,
berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustaznya terutama untuk
hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Anisa
berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai
agama. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Lulik, salah satu santri pondok
pesantren Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan Kabupaten Rembang,
“Novel itu memberikan pengalaman yang baru terhadap kami. Tentang
perjuangan Annisa sebagai wanita yang kuat, tegar, dan tabah dalam menjalani
hidupnya”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ni‟matussa‟diyah, salah satu
santri dari pondok pesantren yang sama sebagai berikut.
143

“Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas
Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu
memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh
menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu
perempuan naik kuda.”

(Lampiran Hal. 176)


Selanjutnya, pembaca juga memberikan penilaian terhadap cara
penggambaran Abidah El Khalieqy terhadap kondisi pondok pesantren yang
menjadi setting novel. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Vivin Ariyani,
“Bagus. Lebih menonjolkan gerakan feminisme. Tetapi, saya pikir tidak semua
pondok pesantren digambarkan seperti itu apalagi pada masa sekarang. Kalau
dalam novel tersebut pondok pesantren digambarkan sebagai sebuah lingkungan
pendidikan yang sangat mengekang santri-santrinya”. (Lampiran Hal. 176)
Penilaian yang beragam tersebut memiliki beberapa fungsi yang bersifat
timbal balik. Penilaian tersebut dapat digunakan pengarang untuk mengetahui
letak kelebihan dan kekurangan karya sastra yang diciptakannya. Sedangkan pada
sisi yang lain, pembaca dapat semakin meningkatkan apresiasi terhadap karya
sastra.
144

BAB V
PENUTUP

A. SIMPULAN
Bertolak dari hasil temuan penelitian dan hasil analisis data dapat ditarik
simpulan bahwa:
1. Proses kreatif dalam penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban
dilatarbelakangi oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yang
memprakarsai lahirnya novel tersebut. Tujuan utama lahirnya novel
Perempuan Berkalung Sorban adalah untuk mensosialisasikan hak-hak
reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Media novel dipilih oleh
yayasan ini karena novel memiliki nilai sastra yang cenderung dapat diterima
semua kalangan dan novel yang berbentuk buku akan membuat pesan yang
disampaikan tersimpan dalam waktu yang lama bahkan abadi selama literatur
itu masih ada. Pola pikir dan cara penceritaan Abidah El Khalieqy yang bisa
dikatakan agak feminis dalam karya-karya yang dihasilkannya menarik YKF
untuk mengajak Abidah El Khalieqy sebagai mitra kerja dalam penciptaan
novel tersebut. Abidah El Khalieqy yang bertindak sebagai penulis novel
tersebut menerima kerjasama yang ada karena ada kesamaan visi dan misi
antara setiap karya yang dihasilkannya dengan tujuan YKF dalam pembuatan
novel Perempuan Berkalung Sorban. Selain itu, pengetahuan dan pengalaman
Abidah yang merupakan lulusan dari pondok pesantren sekaligus keluarga
santri membuat Abidah capable untuk menulis novel yang bertendensi khusus
tersebut.
2. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren yang
berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing
tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis
menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan
penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Pondok pesantren
yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional
(salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Kyai memiliki

144
145

dominasi dan otoritas yang besar terhadap jalannya pondok pesantren. Dalam
kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan
kepribadian kyai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim,
dan kepatuhan mutlak kepada kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan kepada setiap santri. Pengambilan setting pondok pesantren salaf
dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab
kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok
pesantren. Hal ini sesuai dengan tujuan lain dari penciptaan novel Perempuan
Berkalung Sorban yang digunakan untuk mengkritisi hegemoni yang
berlebihan yang dimiliki oleh para penguasa pesantren, yaitu kyai dan kitab
kuning. Perubahan paradigma masyarakat tentang sistem hidup yang patriarkal
akan berubah jika pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang dekat
dengan masyarakat Indonesia mampu berubah terlebih dahulu dari sistem ini.
Abidah El Khalieqy meyakini bahwa pondok pesantren yang mewakili rezim
pengajaran agama tertentu sangat berpengaruh terhadap perubahan mindset
masyarakat karena pondok pesantren juga berfungsi sebagai agent of change.
3. Penelitian ini dapat digunakan oleh pembaca untuk menambah referensi
bacaan tentang apresiasi sastra, terutama yang berkaitan dengan unsur
ekstrinsik karya sastra. Selanjutnya, novel Perempuan Berkalung Sorban juga
dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA.
Alasan yang menguatkannya adalah karena novel tersebut memiliki nilai-nilai
kearifan lokal dan banyak nilai yang dapat diambil hikmahnya oleh para siswa
dengan meneladani sikap dan cara pandang tokoh-tokoh protagonis yang ada
dalam novel tersebut. Secara khusus, kompetensi dasar yang langsung
berfokus pada pembelajaran sastra melalui media novel adalah kompetensi
dasar 7.2, 15.1, dan 15.2.
4. Berbagai penilaian kemudian hadir setelah novel Perempuan Berkalung
Sorban diterbitkan dan dibaca oleh masyarakat. Novel ini juga menuai banyak
kontroversi setelah diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok
pesantren terutama oleh para kyai sepuh. Namun, layaknya sebuah karya
sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu
146

hiburan sekaligus pendidikan (dulce et utile) kehadiran novel Perempuan


Berkalung Sorban juga diakui pembaca mampu memberikan satu hal yang
baru. Abidah El Khalieqy berani membuka hal-hal yang sudah lama ditutup-
tutupi dari kalangan pondok pesantren agar masyarakat mengetahuinya.
Sebagian besar pembaca kagum dengan tokoh Annisa yang diciptakan oleh
penulis dengan ketabahan, kesabaran, keteguhan, dan kecerdasan yang
dimilikinya untuk mendapatkan hidup yang lebih baik dan merdeka. Bertolak
dari hal tersebut, pembaca memegang peranan yang sangat penting.
Pengetahuan dan pengalaman pembaca dalam menikmati karya sastra akan
turut memberikan kontribusi dalam apresiasi maupun telaah sastra. Pikiran
yang terbuka dengan ilmu pengetahuan akan mampu membuka cakrawala
pembaca untuk memberikan penghargaan dan penghayatan terhadap karya
sastra. Karena itulah, kebudayaan, latar belakang budaya, pendidikan, dan
agama ikut mempengaruhi kemampuan pembaca dalam hal ini.

B. IMPLIKASI
Karya sastra merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang
memiliki nilai estetika tinggi baik dari segi bahasa maupun segi makna. Estetika
bahasa biasa diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface
structure) dan estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure.
Kajian yang mendalam terhadap sastra diperlukan untuk menyelami lebih jauh
tentang hakekat karya sastra. Kajian yang dilakukan dapat meliputi unsur-unsur
pembentuk karya sastra, yakni unsur instrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik dan ekstrinsik inilah yang menjadi kekuatan sebuah karya
sastra. Kajian yang dilakukan selanjutnya bukan hanya berkisar pada telaah sastra
yang bersifat objektif dan rasional melainkan juga pada apresiasi sastra yang lebih
bersifat subjektif sekaligus abstrak. Keduanya memiliki tingkatan masing-masing
dalam penghargaan terhadap karya sastra. Kecenderungan ini terjadi karena karya
sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu juga
dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan.
147

Selanjutnya, penelitian ini melakukan pengkajian terhadap nilai-nilai


kultural dalam pondok pesantren dalam novel Perempuan Berkalung Sorban.
Hasil penelitian ini memiliki implikasi positif terhadap bidang lain dan dapat
dijelaskan dalam beberapa hal. Pertama, implikasi teoritis yang menegaskan
bahwa penelitian ini dapat membuka wawasan dan pendalaman materi tentang
khasanah kesusastraan. Pembahasan yang baru dengan objek karya sastra yang
baru pun memungkinkan adanya temuan positif ke arah pengayaan penelitian
sastra berbasis gender dan sosio-kultural. Selain itu, penelitian ini dapat membuka
wawasan pembaca tentang beragamnya novel yang dapat dimanfaatkan dalam
pembelajaran.
Kedua adalah implikasi pedagogis. Implikasi ini bersinggungan dengan
bidang pendidikan. Yakni penelitian ini memberikan gambaran bahwa
keberhasilan proses pembelajaran sastra dipengaruhi oleh faktor guru dan siswa.
Keduanya harus saling mendukung untuk menciptakan suasana pembelajaran
yang kondusif, lancar, efektif, dan efisien. kondisi tersebut dapat tercipta ketika
guru memiliki kemampuan dalam mengembangkan dan menyampaikan materi,
mengelola kelas serta menguasai metode dan teknik pengajaran dan didukung
adanya minat dan motivasi yang tinggi dari siswa untuk belajar. Selain itu,
penelitian ini membuka cakrawala bahwa pengajaran apresiasi sastra dengan
menggunakan novel Perempuan Berkalung Sorban akan membuat siswa
mengetahui kondisi sosio-kultural pondok pesantren sekaligus membuat siswa
tanpa sadar belajar tentang nilai-dan norma yang terkandung dalam novel. Nilai-
nilai tersebut dapat dimanfaatkan dan ditanamkan dalam pembelajaran sastra dan
bahasa Indonesia di kelas dengan kreasi dan inovasi yang dilakukan guru dan
siswa agar minat dan motivasi meningkat dan membuat pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia semakin kondusif.
Sedangkan implikasi yang ketiga adalah implikasi praktis. Penelitian ini
menempatkan novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan pertimbangan
untuk lebih dapat mencermati dan memahami fenomena gender sekaligus sosio-
kultural pondok pesantren yang terdapat dalam karya sastra dan masyarakat.
Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk memacu penelitian lain
148

yang sejenis sekaligus dapat dijadikan acuan peneliti lain untuk melakukan
penelitian yang lebih kreatif dan inovatif.

C. SARAN
Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan
masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk
masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya
sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Pada tahapan-tahapan
tersebut, sastrawan harus mampu mengkomunikasikan dirinya dengan lingkungan
dan masyarakat yang menjadi pembaca karyanya.
Proses selanjutnya setelah karya sastra itu hadir adalah penilaian dan
apresiasi pembaca terhadap karya yang ada. Sastrawan sebagai penulis cerita
harus memiliki sikap lapang dada dan membuka pikiran agar tidak terjadi
pengacuhan terhadap penilaian pembaca. Demikian juga para pembaca yang harus
melakukan hal yang sama agar penilaian dan kritik yang mungkin ada bersifat
konstruktif terhadap pembangunan dan apresiasi sastra, khususnya di tanah air.
Pro dan kontra yang timbul akibat hadirnya novel Perempuan Berkalung
Sorban pun harus disikapi secara bijaksana. Namun, terlepas dari penilaian
pembaca, novel Perempuan Berkalung Sorban telah ikut meramaikan bursa karya
sastra di tanah air. Penilaian beragam tersebut diharapkan mampu menambah
kematangan pembaca untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra.
Saran peneliti terhadap komponen-komponen terkait pembelajaran sastra
adalah sebagai berikut:
1. Guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
Pengelolaan kelas untuk pembelajaran sastra di kelas menuntut guru untuk
memiliki kreativitas yang lebih dalam pengelolaan kelas. Penciptaan rasa simpati
dan empati dalam diri siswa akan membuat siswaa memiliki minat dan motivasi
dalam pembelajaraan. Karena itulah, kerjasama guru dan siswa harus berjalan
dengan baik.
149

2. Siswa
Pembelajaran sastra dalam kelas harusnya membuat siswa dapat
mengambil hikmah atas karya sastra yang sedang dikaji. Pembelajaran sastra
dapat berhasil jika siswa berani menyampaikan gagasan dan pendapat serta
apresiasinya terhadap karya sastra. Untuk mencapai hal tersebut, siswa harus
mampu menghargai dan mencintai kebudayaan sendiri
3. Kepala Sekolah
Peran kepala sekolah merupakan salah satu kunci keberhasilan
pembelajaran dalam sebuah sekolah, termasuk dalam pembelajaran sastra. Kepala
sekolah harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap guru-guru sastra
dalam hal teknik dan variasi yang digunakan dalam pembelajaran di kelas. Selain
itu, pemenuhan terhadap sarana, buku, dan bahan ajar yang lain akan
meningkatkan kualitas pembelajaran.
4. Peneliti lain
Penelitian-penelitian yang dilakukan setelah penelitian ini diharapkan
lebih kreatif dalam meneliti dan menelaah kajian sastra berperspektif gender
dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Inovasi-inovasi lain pun
diharapkan akan hadir untuk melengkapi penelitian ini.
150

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: PT Gramedia.

Ayu Kusuma, Aning. 2009. Artikel: Sastra, Santri, dan Film Perempuan
Berkalung Sorban. Jakarta: Koran Republika.

Azra, Azyumardi. 2001. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju


Milenium Baru. Jakarta: Penerbit Kalimah.

Dhiroh. 2007. Kontruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban


karya Abidah El-Khalieqy. Skripsi. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.

El Khalieqy, Abidah. 2007a. Aku Perempuan yang hadir dan Mengalir.


Yogyakarta: Majalah Jendela Jurnal Seni dan Budaya Taman Budaya
Yogyakarta, edisi III Tahun 2007.

_________. 2007b. Seks dan Kekuasaan: Jejak Sastra di Ketiak Patriarki.


Surabaya: Fakultas Seni dan Budaya Universitas Negeri Surabaya.

_________. 2009. Perempuan Berkalung Sorban. Yogyakarta: Arti Bumi Intaran.

Eneste, Pamusuk. 1984. Proses Kreatif. Jakarta: PT Gramedia.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. 2009. Pedoman penulisan Skripsi.


Surakarta: FKIP UNS.

Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University


Press.

Hamalik, Oemar. 2001. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Harjanto. 2006. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah


Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Indyastini, Titik. 2005. Strategi Pengenalan Tokoh pada Wacana Novel Kinanti.
Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1,
Juni 2005: 29-42.

Kodiran. 1999. “Kebudayaan Jawa”. Dalam Koentjaraningrat, Prof., Dr. Manusia


dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

150
151

Koentjaraningrat. 1999. “Aneka Warna Manusia dan Kebudayaan Indonesia


dalam Pembangunan”. Dalam Koentjaraningrat. Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

_________. 2003. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Mafrukhi, dkk. 2009. Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI.
Jakarta: Erlangga.

Makki Hasan, Ahmad. 2009. Sastra & Sosio-Kultural Masyarakat. Malang:


Pascasarjana UIN Malang.

Mayra, Walsh. 2002. Skripsi: Pondok Pesantren dan Ajaran Golongan Islam
Ekstrim (Studi Kasus di Pondok Pesantren Modern Putri Darur Ridwan
Parangharjo, Banyuwangi). Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang.

Pemilia, Kartika. Mei 2009. “Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel
„Perempuan Berkalung Sorban”. http: //www.inpasonline.com/ diakses
19/10/2009.

Pranoto, Naning. 2006. “Proses Kreatif dan Mengolah Kata”. http://www.rayakul-


tura.net/wmview.php?ArtID=100 diakses 26/5/2010.

Rarastesa, Zita. 2001. The Image of Women in Louise Erdrich’s Love Medicine: A
Feminist Approach. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Studi Amerika, Vol.5, No.
6, September 2001. Surakarta: Sastra Inggris-Fakultas Sastra UNS.

Rifai, Aminudin. 2005. Belenggu Armijn Pane. Jurnal Widyaparwa Jurnal Ilmiah
Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1, Juni 2005: 43-60.

Rokhmansyah, Alfian., Laili Ernawati., Widiyawati., & Septa Indriawati. 2008.


Perspektif Feminisme dalam Novel Layar Terkembang Karya Sutan
Takdir Ali Sjahbana: Kajian Feminisme. Fakultas Sastra: Universitas
Negeri Semarang.

Safitri, Endang. 2007. Nilai-nilai Kultural Jawa Tokoh Utama Wanita Novel
Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Agustinus (Sebuah Kajian
Sosiologi Sastra). Skripsi. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.

Saparie, Gunoto. 2009. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Surakarta: Dewan


Kesenian Jawa Tengah.

Sarris, Greg. 1993. Keeping Slug Woman Alive: A holistic Approach to American
indian Texts. Los Angeles: University of California Press.
152

Sugihastuti. 2007a. “Gadis Jakarta: Perspektif Kritik Sastra Feminis”. Dalam


Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.

_________. 2007b. “Gender Tindak Komunikasi dan Sastra”. Dalam Sugihastuti,


Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

_________. 2007c. “Proses Kreatif dan Teori Interpretasi”. Dalam Sugihastuti,


Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

_________. 2007d. “Struktur Naratif: Masalah-Masalah Pendahuluan”. Dalam


Sugihastuti, Dra., M. S. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.

Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren.


Yogyakarta: LkiS.

Widarmanto, Tjahjono. 2007. ”Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik”.


http: www.cahyonowidar.blogspot.com. diakses 23/11/2009.

Zuhairini. 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.


LAMPIRAN
153

Lampiran 1.
Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban

Di tengah desa yang agak jauh dari kota , terdapat sebuah pesantren yang
didirikan serta diasuh oleh Kyai Hanan dan Kyai Ali sebagai badalnya. Kyai
Hanan memiliki tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan yang bernama Annisa.
Namun berbeda dengan kedua kakak lelakinya, Annisa dikaruniai kecerdasan dan
memiliki sikap kritis sejak kecil. Hingga pada usia 10 tahun, ketika ia ingin
belajar naik kuda sebagaimana kedua kakak lelakinya, Ayahnya melarang dan
bahkan memarahinya. Bermula dari peristiwa ini, Annisa tumbuh sebagai
perempuan yang selalu bertanya tentang segala sesuatu yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan posisinya sebagai anak perempuan.
Oleh kenyataan itu, Annisa tak pernah merasa nyaman dengan lingkungan
keluarga dan pesantren. Dia selalu merasa disisihkan dengan alasan yang kurang
masuk akal, karena berjenis kelamin perempuan. Sementara Ibunya, Nyai
Muthmainah, juga bersikap diam, dan seolah tidak berpihak pada kegelisahan
Annisa. Di tengah kegelisahannya itu, Annisa sering mengadu dan berkeluh kesah
pada Khudori, saudara jauh ibunya yang sempat tinggal beberapa bulan di
rumahnya, sehingga Annisa merasa memiliki sandaran dan pelindung yang
dikagumi. Khudori adalah pemuda cerdas, berpikiran terbuka dan alumni sebuah
pesantren modern. Namun perlindungan Khudori pada Annisa tidak berlangsung
lama. Khudori pergi ke Al-Azhar Kairo untuk melanjutkan kuliahnya di sana .
Meninggalkan Annisa sendirian. Dalam kesendiriannya itu, Annisa yang masih
muda dinikahkan paksa dengan Samsudin, putra seorang kyai sahabat ayahnya.
Pernikahan dini itu telah membawa garis hidup Annisa ke dunia yang lain. Dunia
yang penuh dengan ancaman, kekerasan dan pelecehan terhadap eksistensi
perempuan dalam sebuah keluarga. Apalagi, ketika Samsudin memaksanya untuk
menyetujui poligami, keberanian Annisa untuk memberontak terhadap kuasa
lelaki kian membara. Sehingga Annisa pulang kembali ke rumah keluarganya, dan
menolak untuk hidup bersama Samsudin, hingga keduanya bercerai secara resmi.
154

Tujuh tahun kemudian, ketika Khudori selesai dari kuliahnya di Kairo, dan
kembali datang ke pesantren ayahnya, Annisa merasa lega karena ada orang yang
mau menolongnya. Tapi ternyata, kedatangan Khudori tak bisa menolong Annisa.
Maka berjuanglah Annisa sendirian untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan
yang selalu dirindukannya. Hingga ia memberanikan diri dan memutuskan untuk
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi agama Islam di Yogyakarta. Di kota
inilah, Annisa tak pernah lelah untuk terus berjuang dan aktif dalam berbagai
kegiatan kampus, khususnya kegiatan-kegiatan yang berpihak pada kesetaraan dan
keadilan terhadap kaum perempuan. Serta berupaya mengkritisi pendapat dan
mitos-mitos tentang perempuan yang disampaikan oleh “para kyai dan “kitab-
kitab kuning” yang bersifat missoginis, untuk kemudian menawarkan solusi
perubahan; reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-quran dan hadis, serta rekontruksi
fiqih yang berkaitan dengan eksistensi dan masalah-masalah perempuan.
Pada akhirnya, ketika Annisa telah mendapatkan pencerahan pemikiran di
Yogyakarta, tiba-tiba Khudori datang dan menumbuhkan kembali cinta terpendam
yang pernah dirindukan Annisa pada masa kecilnya. Lalu keduanya pun berjuang
untuk menjalin cinta manusiawi dan menikah atas izin dari orang tuanya.
Keduanya hidup dalam ketentraman, saling pengertian, saling mendukung dan
mendorong untuk menyelesaikan berbagai masalah rumah tangga dengan
keadilan, kebajikan dan kebaikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sementara Annisa, tak pernah lelah untuk terus berjuang secara mandiri,
mengentaskan ketertindasan kaum perempuan di sekelilingnya.

Diambil dari:
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, Sosio-Religia, Vo. 7, No. 2, Februari 2008.
155

Lampiran 2.
CURRICULUM VITAE

Nama Lengkap : ABIDAH EL KHALIEQY


Tempat/Tgl lahir : Jombang, 01 Maret 1965
Alamat Asal : Desa Menturo, Kec. Sumobito, Kab. Jombang, Jawa
Timur
Alamat Sekarang : Gg. Menur No. 60 Nayan Maguwoharjo Yogyakarta
55281
Menikah : pada hari Ibu, 22 Desember 1992.
Pekerjaan : Pengarang / Writers
Nama Suami : Hamdy Salad (penyair, pekerja teater dan dosen)
Anak kandung : Jauhara Nadvi Azzadine (Zadin, 15 th); Geffarine
Firdaws (Geffa, 13 th); Zahida Aine Hawwa (Ain, 8 th.)
Nama Ayah : H. Abdul Khalieq (almarhum, adik dari neneknya Emha
Ainun Najib / Cak Nun).
Nama Ibu : Hj. Misnawati Kamal (almarhum)
Saudara kandung : Nomor 4 dari 7 saudara.
Nama Fam : Bani Abdul Qadir

SEKOLAH
 Madrasah Ibtidaiyah ( tamat 1977/1978)
 Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan (tamat 1983/1984)
 Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten (1984/1985)
 Fakultas Syariah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Pidana
Perdata Islam (tamat 1990) dengan skripsi “Komoditas Nilai Fisik
Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam”
 Study Perempuan Independen (1991-1992)

AKTIVITAS
 Study dan Apresiasi Sastra Yogyakarta (1985-1989)
 Teater Eska sejak tahun 1987
 Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1986-1988)
 Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (1988-1989)
156

 Asian Pacific Forum on Women, Law and Development (1989)


 Baca puisi di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1994 dan 2000)
 ASEAN Writers Conference, Manila , Philipina (1995)
 Pendamping Kreatif Majlis Sastra Asia Tenggara (1997)
 Baca puisi di Sekretariat ASEAN (1998)
 Konferensi Perempuan Islam se Asia-Pasifik dan Timur Tengah (1999)
 Apresiasi Sastra Keliling Indonesia, Yayasan Indonesia dan Ford
Fondation (2000-2005)
 Narasumber Pertemuan Sastrawan Melayu -Nusantara (2005)
 Narasumber Sastra dan Agama, di Kedutaan Kanada (2007)
 International Literary Biennale (2007)
 Jakarta Internationale Literary Festival (2008)

PRESTASI
 Juara Penulisan Tingkat Tsanawiyah Pesantren (1979/80)
 Juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa (1984)
 Memperoleh Penghargaan Seni dari Pemerintah Propinsi DIY (1998)
 Pemenang Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003)
 Dinobatkan sebagai tokoh “10 Anak Zaman Menerobos Batas”, Majalah
As-Syir‟ah (2004)
 Memperoleh IKAPI dan Balai Bahasa Award (2008)
 Memperoleh Adab Award dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
(2009)

BUKU YANG SUDAH TERBIT:


 Ibuku Laut Berkobar (puisi, 1997)
 Menari Di Atas Gunting (cerita pendek, 2001)
 Perempuan Berkalung Sorban (novel, 2001)
 Atas Singgasana (novel, 2002)
 Geni Jora (novel, 2004)
 Mahabbah Rindu (novel, 2007)
 Nirzona (novel, 2008)
 Mikraj Odyssey (cerita pendek, 2009).
157

BUKU ANTOLOGI BERSAMA :


 ASEANO: An Antology of Poems Shoutheast Asia (1996)
 Album Cyber Indonesia – Australia (1998)
 Force Majeure (2007)
 Rainbow: Indonesian Womens Poet (2008)
 Indonesian Literary: A Womens Shot Strory (2008)
 American E-Journal – Word Without Borders (2009)
 E- Books Library For Diffabel (2007)
 Pengarang Perempuan Indonesia (1997)
 18 Penyair Perempuan Indonesia (2007)
 Kitab Sastra Indonesia (2006)
 Dan masih banyak lagi.
158

Lampiran 3.
Wawancara dengan Abidah El Khalieqy

Nomor catatan lapangan :1


Hari, tanggal : Rabu, 7 April 2010
Pukul : 16.45 WIB
Informan : Abidah El Khalieqy
Jabatan : Penulis novel Perempuan Berkalung Sorban
Topik : Proses kreatif, tujuan penulisan, dan segala hal
yang berkaitan dengan novel Perempuan Berkalung
Sorban
Tempat : Rumah Abidah El Khalieqy, Gang Menur (Gang
Masjid) No. 60, Nayan, Maguwoharjo, Yogyakarta
(belakang Hotel Quality)

Mengapa memilih latar (setting) pondok pesantren?


Dalam proses kreatifnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dibuat
berdasarkan ide dari YKF untuk pemberdayaan perempuan. Dan dari YKF sendiri
ini meminta background-nya itu harus pesantren. Karena ini sebenarnya dibentuk
untuk mengkritisi para „penguasa‟ pesantren, yaitu para kyai dan kitab kuning.
Jadi, mau tidak mau settingnya harus pesantren. Nah, pesantren ini kan satu
institusi pendidikan yang merupakan agent of change untuk merubah pola pikir
masyarakat. Bagaimana mindset masyarakat itu di rubah. Dari masyarakat yang
patriarki menjadi tidak patriarki atau patriarki ini dilestarikan terus menerus ya
berasal dari sini. Kalau dari agennya saja tidak mau berubah semua ini, kita tidak
akan berbah. Karena yang bisa merubah pola pikir masyarakat adalah agen-agen
perubahan ini. Nah, kalau kita ingin melakukan revolusi pemikiran ya dari agen-
agen ini.
Ada juga yang menanyakan kenapa Mbak Abidah nggak menulis saja
novel yang setting-nya pelacuran atau tempat-tempat yang lain. Itu kan juga sarat
sekali dengan nilai-nilai feminisme. Tapi bukan itu yang saya inginkan. Kalau kita
159

ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada
ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar
permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa
sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu
kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa
hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok
pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus
diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana
akar dari masalah perubahan. Yang ingin kita lakukan dalam PBS adalah
merevolusi pemikiran. Bagaimana mindset dan paradigma kita dirubah.

Kalau ingin merubah dari akarnya, mengapa tidak mengambil latar dari
keluarga guru atau keluarga ningrat? Di sana kan masih memiliki suasana
patriarki yang juga masih kental?
Ya, boleh jadi. Keluarga merupakan satu unit keluarga terkecil. Tapi,
bahwa institusi pendidikan mewakili satu rezim tafsir agama tertentu. Kalau saya
sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi perempuan kita, tidak hanya di
Indonesia tapi di seluruh dunia, kita mengalami segala macam ketidakadilan,
gender dan lain sebagainya itu berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari
ayat-ayat alquran yang kita pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini
merupakan otoritas dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren.
dan saya pikir ini lebih mendasar lagi daripada latar ningrat. Saya pikir ini malah
latar budaya yang lebih luas lagi. Memang keterpinggiran perempuan itu
dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Saya mengangkat penafsiran ayat suci yang
mengalami distorsi sedemikian rupa yang dari abad ke abad sampai ke kita seperti
ini. Sesuatu yang tidak adil, sesuatu yang tidak seimbang. Mungkin dari
kebudayaan juga seperti itu tapi untuk itu saya piker akan ada yang membahasnya
sendiri.
Saya yang alumni pondok pesantren, seorang santri, dan berasal dari
keluarga santri kira-kira akan lebih capable jika saya membahasnya. Maka itu,
160

YKF meminta saya sebagai sastrawan -saya bukan orang YKF- yang kebetulan
cara berpikir saya mungkin agak feminis, jadi mereka meminta saya.

Jadi, sebelumnya tidak ada hubungan antara Mbak Abidah dengan orang-
orang dari YKF?
Mereka temen juga, cuma selama ini saya tidak pernah berhubungan
dengan mereka secara organisatoris. Saya berhubungan sebagai teman saja.
Mereka ada yang lulusan IAIN, saya kan juga lulusan sana. Jadi, alasannya
semata-mata karena saya sastrawan yang memiliki kepedulian terhadap
perempuan.

Kalau dalam PBS ada LSM yang dipimpin oleh Mbak Maryam, apakah
organisasi ini mewakili YKF?
Kebetulan, YKF ini berasal dari putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini
memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi mereka
mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar, workshop, dan
segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk pemberdayaan
perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini merupakan satu-satunya
cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra ,
jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai
yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.
Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondok-pondok
pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang. Tapi menurut
saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya memperjuangkan mana yang
hak dan yang salah. Secara hati nurani saya seperti itu. Jadi, saya mau menulis
novel itu. Meskipun beberapa orang bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di
koloni, jawabannya ya itu tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan
nyambung di isu itu.
161

Apakah dalam novel-novel sebelumnya, Mbak Abidah sudah pernah


bersentuhan dengan teman-teman dari YKF karena isu dalam novel yang
lain hampir sama?
Belum. Sebelumnya tidak pernah. Hanya dalam novel PBS saja.

Latar pondoknya sebenarnya menggunakan latar daerah mana, karena


suasana dalam novel PBS seperti pondok pesantren NU di Jawa Timur tapi
beberapa tempat seperti latar Yogyakarta?
Saya menggunakan salah satu pondok pesantren di Magelang, di Kali
Angkrik. Dan saya mengadakan observasi di lapangan selama 3 bulan di sana.
Saya perlu observasi di lapangan karena kultur pondok muhammadiyah dengan
NU itu berbeda, dengan pondok modern juga berbeda. Saya berasal dari pondok
modern dan beberapa kitab yang digunakan beberapa juga berbeda. Ketika
observasi saya sempat terbelalak dengan ajaran di sana karena ternyata ajarannya
sampai seperti itu. Sebelumnya, sama sekali tidak pernah saya pelajari di pondok
saya. Sebelum melakukan riset di lapangan, saya juga sempat mengikuti beberapa
kegiatan YKF selama dua tahun. Untuk selanjutnya, saya menulis sekitar 10
bulanan. Intens saya menulis juga cuma 5 bulanan saja dari 10 bulan tadi.

Latar Mbak Abidah dari pondok pesantren sangat mempengaruhi karya-


karya Mbak?
Dua karya saya yang sangat diwarnai latar pondok pesantren adalah
Genijora dan Perempuan Berkalung Sorban. Arizona membicarakan perempuan
dalam dunia politik di Aceh, Mahabbah Rindu dan Atas Singgasana juga tidak.

Kalau untuk tokoh Annisa, kalau saya baca seperti mewakili pemikiran
penulis. Apa benar seperti itu?
(ha..ha..ha…) Mungkin, ya mungkin. Ada sebagian fase dari kehidupan
pengarang yang masuk dalam karya sastrawan itu. Hal itu tidak bisa dipungkiri di
abwah sadarnya. Meskipun sudah dibuat jarak sedemikian rupa. Di Barat,
sastrawan-sastrwan penerima Nobel itu meraih penghargaan karena 80% mereka
162

menulis masa hidup sebelum mereka berusia 15 tahun. Kalau tokoh di Genijora
itu adalah saya, Annisa itu adalah saya, wah..betapa banyak kepribadian saya.
Yang pasti, setiap saya menceritakan seorang tokoh ada model-model yang
menginspirasi saya. Kalau saya menambahkan ini dan itu, hal tersebut adalah
gagasan yang ingin saya sampaikan kepada pembaca.

Kemudian untuk tokoh Khudhori, dia juga berasal dari pondok pesantren,
tetapi mengapa Mbak Abidah menggambarkan dia sebagai laki-laki yang
berpandangan cerdas dan moderat?
Kita semua tahu Gontor itu pondok pesantren modern dan kita juga tahu
Gontor itu memiliki lulusan-lulusan yang sudah mumpuni. Tokoh Khudhori ini
dibandingkan dengan pondok pesantren salaf kecil yang seperti dimiliki oleh Kyai
Hanan itu. Ini yang saya jadikan sample. Jadi, pandangan Khudhori yang lulusan
Gontor di sini memang benar-benar mewakili lulusan Gontor.

Tentang Setting pondok pesantrennya, apakah benar-benar seperti itu?


Novel ini ditulis untuk mensosialisasi hak-hak reproduksi perempuan yang
sudah diratifikasi oleh PBB. Untuk memberikan detail yang jelas, saya juga
mengadakan riset tentang hak-hak reproduksi perempuan selama hampir dua
tahun. Riset lapangan untuk memberi setting tempat dan yang fisik-fisik selama
tiga bulan, di Kaliangkrik, Kajoran, Magelang, Jawa Tengah Di satu kampung ada
banyak pesantren salaf. Lokasinya di pegunungan. Saya juga menemukan orang-
orang yang naik kuda. Sesudahnya, saya mengikuti seminar-seminar yang
dilakukan oleh YKF selama hampir dua tahun, kemudian menulis novel tersebut
selama sembilan bulan.
Pondok pesantren yang saya jadikan tempat observasi di Kali Angkrik,
Magelang itu sangat kecil. Tidak seperti di filmnya ya, kalau filmnya kan
depannya laut. Tidak seperti itu. Setting-nya di daerah pegunungan yang turun
naik begitu. Jadi memang sangat asyik. Dan tentang naik kuda itu memang benar.
Di sana orang masih naik turun dengan naik kuda. Monggo kalau mau napak tilas
karena pemandangannya memang sangat asyik, bagus sekali. (sambil tertawa…)
163

Kalau tentang tokoh Annisa sendiri, saya memang benar-benar memiliki


model itu. Sekarang dia menjadi salah satu angora DPRD Magelang. Dulu, waktu
saya sedang menulis novel PBS dia masih berstatus calon bu nyai (tertawa lagi…)
dan dia juga ikut acara-acara YKF.

Begitu dulu Mbak Abidah, terimakasih atas waktunya untuk wawancara.


Oh iya, sama-sama. Semoga sukses untuk skripsinya. Kalau diperlukan
wawancara lagi, saya ada undangan di UMS pada 28 April besok. Bisa sekalian
hadir di acara saya nanti. Masih sama membahas tentang PBS.

Refleksi
Wawancara dilakukan peneliti dengan penulis novel Perempuan
Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy secara langsung di kediamannya.
Narasumber menyambut peneliti dengan tangan terbuka dan memberikan
keterangan serta jawaban sesuai dengan pertanyaan peneliti.
Dalam wawancara tersebut, peneliti menanyakan tentang proses kreatif,
latar belakang penulis, dan sambutan pembaca atas novel terkait serta beberapa
hal yang berhubungan dengan novel tersebut. Dan Abidah El Khalieqy sebagai
narasumber menjawab pertanyaan tersebut secara jelas, bahkan narasumber juga
menjelaskan pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama menulis dan
menerbitkan novel tersebut. Hal tersebut menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti, terutama yang berkaitan dengan proses kreatif dan tentang dunia
kepenulisan. Pada akhir wawancaranya, narasumber berkenan memberikan
keterangan lain yang mungkin dibutuhkan oleh peneliti lagi.
164

Lampiran 4.
PROFIL PONDOK PESANTREN AL-QURAN DESA NARUKAN
KECAMATAN KRAGAN, KABUPATEN REMBANG

1. Pendahuluan
Islam merupakan agama samawi yang diturunkan sebagai rohmatan lil
alamin menjamin kedamaian dan kebersamaan. Ajaran islam telah lengkap untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia,
manusia dengan alam. Dalam ajaran agama islam dipentingkan nilai-nilai
kebersamaan, keadilan, tolong-menolong yang menghargai dan menghormati satu
sama lain dalam bingkai ahsani taqwim, oleh sebab itu, keseimbangan kehidupan
dunia dan akhirat sebagai pedoman bagi umat manusia. Untuk menuju ahsani
taqwim, kemudian Allah menurunkan kitab suci Alquran sebagai petunjuk bagi
umat manusia melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pesantren sebagai institusi, lahir dan berkembang seiring dengan derap
langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global. Karena itu,
tidak berlebihan jika pondok pesantren memiliki dua potensi besar yaitu potensi
pengembangan masyarakat dan potensi pendidikan. Dalam kaitan ini, bila ditilik
dari sejarah kehadirannya, terbentuk institusi pesantren ternyata memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan dengan peranannya dewasa ini. Pertama,
pesantren didirikan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial
suatu masyarakat yang tengah diharapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral
melalui transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf nahi munkar).
Kehadiran pesantren juga untuk agen perubah dan melakukan kerja-kerja
pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral,
penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan kemiskinan ekonomi.
Institusi pesantren telah berhasil mentranformasikan masyarakat di sekitarnya dari
kekafiran menuju kesalehan dan dari kemiskinan menuju kemakmuran atau
kesejahteraan. Oleh karena itu, kehadiran pesantren sebagai suatu bentuk institusi
yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat. Dengan kesadarannya,
pesantren dan masyarakat telah membentuk hubungan yang harmonis, sehingga
165

komunitas pesantren kemudian diakui menjadi bagian yang tak terpisahkan atau
sub-kultur dari masyarakat pembentuknya. Pada tataran ini, pesantren telah
berfungsi sebagai pelaku pengembangan masyarakat. Kedua, salah satu misi awal
didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang
universalitas islam keseluruh pelosok Nusantara yang berwatak pluralis, baik
dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.
Fungsi utama pondok pesantren pada dasarnya untuk pendalaman agama
islam (tafaqquh fiddin). Fungsi ini kemudian dijabarkan untuk melahirkan
pemimpin dan kader umat seperti ulama, mubaligh, dan tokoh agama yang
senantiasa memelihara ilmu-ilmu agama islam, juga sebagai lembaga dakwah dan
juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Fungsi terakhir ini menjadi
pusat perhatian yang cukup besar dari banyak pihak, termasuk oleh pemerintah.
Pondok pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mengakar di masyarakat
merupakan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat lingkungannya.
Berdasarkan hal yang demikian, adalah sangat tepat apabila dalam proses
pembangunan pondok diikut sertakan secara aktif. Pondok pesantren sebagai
lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, selain fungsi utama sebagai tempat
pendalaman agama ( tafqquh fiddin ), telah memacu diri dengan mencari bentuk
baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
menghadapi perkembangan jaman dengan tetap kandungan iman dan taqwa
kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren ini menjelma menjadi
pusat pendidikan dan pemikiran serta pengembangan masyarakat sekaligus
menjalankan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi
kesejahteraan rakyat dan bangsa.

2. Pendiri Pondok Pesantren Al-Quran Desa Narukan


Pondok pesantren Al-Quran didirikan pada tahun 1974 oleh KH. Noer
Salim. Beliau adalah salah seorang Kyai yang pertama kali merintis Pondok
Pesantren Alquran di Desa Narukan. KH. Noer Salim adalah menantu dari KH.
Shidiq Narukan. KH.Noer Salim dilahirkan di kota Tuban pada Tanggal 20
Februari 1942. Semasa kecil beliau belajar mengaji di KH. Zubaidi Tuban.
166

Kemudian, pada masa remaja beliau menuntut ilmu di KH. Abdullah Salam Kajen
Kabupaten Pati untuk memperdalam Al-Quran. Dan beliau wafat pada hari
Minggu tanggal 14 Agustus 2005.

3. Sarana dan Prasarana Pondok Pesantren Al-Quran Narukan


a. Mempunyai 2 Perpustakaan (1 putra dan 1 putri)
b. Mempunyai 15 Kamar (10 putra dan 5 putri)
c. Mempunyai 4 Aula (2 putra dan 2 putri)
d. Mempunyai 2 Mushola (1 putra dan 1 putri)
e. Mempunyai 7 Kamar Mandi dan WC (4 putra dan 3 putri)

4. SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN AL-QURAN


Sistem pendidikan ini mendasarkan pada tuntunan Al-Qur‟an yang
dituangkan sebagai hudallinnasi wabayyinatin minal huda wal furqon. Untuk itu
Pesantren Al-Quran ini mengunakan sistem pendidikan sebagai berikut :
a. Tahfidzul Quran yaitu menghafal ayat-ayat suci Al-Quran 30 juz.
b. Pemahaman dan pendalaman tafsir Al-Quran melalui metode pendidikan
tektual dan kontektual dengan rujukan kitab-kitab salaf.
c. Studi-studi islam yang terintegrasi dalam pembentukan ahsani taqwim.
Adapun Kitab-Kitab Yang Di Ajarkan Di Pondok Pesantren Adalah :
a. Tafsir Jalalain Al-Maraghi
b. Tafsir Munir
c. At-Tibyan Ulumil Quran
d. Mahabis Fi Ulumil Quran
e. Hidayah Al-Mustafid
f. Aqidatul Awam
g. Ad-Din Al-Islami
h. Kifayah Al-Awwam
i. Syarah Muhtashorjidan
j. Mutamminah
k. Al-Imrithi
167

l. Al-Afiyah Ibn Malik


m. Ta‟lim Al-Muta‟alim
n. Al-Arbain An-Nawawi
o. Bulughol Marom
p. Jawahirul Al-Bukhori
q. Shohih Muslim
r. Shohih Bukhori
s. Fath Al-Qorib
t. Fath Al-Mu‟in
u. Al-Bajuri

5. STRUKTUR KEPENGURUSAN PONDOK PESANTREN


AL-QURAN NARUKAN
Ketua : Zaimul Umam NS
Wakil Ketua : Abdul Fatah
Sekretaris 1 : Ahmad Najih
Sekretaris 2 : Zainal Arifin
Bendahara 1 : Ahmad Rifa‟i
Bendahara 2 : Muhlishin
Sie Pendidikan : - Abdul Jamil
- Mahfudz
- Ibnu Mudzir
- Sholihin
Sie Keamanan : - Amin Thohari
- Masyhudi
- Masrukhin
Sie Humas : - Slamet Riyadi
- Amin Rosyidi
Sie Kebersihan : - Syahruddin
- Fakhril Islam
168

Sedangkan daftar nama ustadz-ustadzah Pondok Pesantren Al-Quran Desa


Narukan adalah sebagai berikut.
a. Zaimul Umam NS Rembang
b. Muhlisin Ibnu Qosim Bojonegoro
c. Amin Thohari Rembang
d. Abdul Fatah Pati
e. Mashudi Bojonegoro
f. Ahmad Rifa‟i Tuban
g. Ibnu Mundzir Madura
h. Lulik Chumaidiyyah Bojonegoro
i. Miyazatul Falahah Tuban
j. Ni‟matus Sa‟diyah Rembang

6. JADWAL AKTIFITAS
a. Aktifitas Harian Pondok Pesantren Al-Quran
WAKTU AKTIFITAS
04:45 – 05:15 Jamaah Shubuh
05:20 – 06:30 Mengaji Al-Quran Bil Ghoib
06:30 – 07:00 Persiapan Sekolah
07:00 – 12:00 Sekolah
12:00 – 13:00 Istirahat dan Persiapan Jamaah
13:00 – 13:30 Jama‟ah Dzuhur
13:30 – 14:30 Mengaji Hadits
14:30 – 15:30 Istirahat dan Persiapan Jamaah
15:30 – 16:00 Jamaah Ashar
16:00 – 17:00 Mengaji Al-Quran Bin Nadzor
17:00 – 18:00 Istirahat dan Persiapan Jamaah
18:00 – 18:30 Jamaah Maghrib
18:30 – 19:15 Mengaji Fiqih
19:15 – 19:45 Jamaah Isya‟
169

19:45 – 20:45 Mengaji Tafsir


20:45 – 21:00 Istirahat
21:00 – 22:00 Musyawarah ( Belajar Bersama )
22:00 – 04:45 Istirahat

b. Aktifitas Mingguan Pondok Pesantren Al-Quran


HARI AKTIFITAS
Ziarah ke KH. SHIDIQ
Selasa
Dzibaiyyah
Ziarah ke KH. NOER SALIM
Jum‟at Dzibaiyyah
Khitobiyyah

7. POTRET KE DEPAN
Pengembangan Pondok Pesantren Al-Qur‟an Desa Narukan Kecamatan
Kragan Kabupaten Rembang ke depan diarahkan kepada :
a. Peningkatan kemajuan sistem pendidikan agama islam yang di jiwai oleh
nilai-nilai luhur (akhlaqul karimah) sebagai cermin ihsan yang mandiri cakap
dan terampil.
b. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar pondok pesantren
mengenai potensi ekonomi umat yang mengarah pada kegiatan produktif dan
kemandirian umat.
c. Perwujudan dan mencetak calon-calon kader bangsa yang memiliki
kredibilitas dan kualitas yang handal dengan bersandar pada nilai-nilai agama.
170

Lampiran 5.
Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren

Nomor catatan lapangan :2


Hari, tanggal : Selasa, 13 April 2010
Pukul : 18.30 WIB
Informan : Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah
Jabatan : Santri Ponpes Alquran Narukan
Topik : Tanggapan terhadap novel Perempuan Berkalung
Sorban dan kultur pondok pesantren tempat mereka
menuntut ilmu.
Tempat : Pondok Pesantren Alquran (LP3AI)
Desa Narukan, Kecamatan Kragan, Kab. Rembang

Berikut adalah wawancara yang peneliti lakukan dengan dua orang


narasumber tersebut:
P : “Sebelumnya, perkanalan dulu mbak. Saya tutut, ini dengan mbak siapa
saja?”
D : “Saya Diah, ini Mbak Lulik.”
P : “Sudah siap dengan wawancaranya? Ini kita cuma ngobrol saja kok.”
D+L : (diam sambil senyum dan tertawa sebentar)
P : “Nggak apa-apa kok mbak? Siap ya?”
D+L : “Ya, Mbak. Kami siap.”
P : “Bagaimana pendapat Mbak berdua tentang novel Perempuan
Berkalung Sorban?”
L : “Penilaiannya, setelah membaca novel itu paling tidak menambah
pengalaman kehidupan. Terutama tentang sosok Annisa.”
P : “Tentang Annisa? Maksudnya?”
L : “Ya, maksudnya Annisa itu orang yang sabar, yang tabah dan tegar.”
D : “Iya, yang tidak pernah putus asa juga.”
171

P : “Ehm, waktu Mbak Diah tadi bilang Annisa itu wanita yang tidak
mudah putus asa. Contonhnya pada bagian mana ini, Mbak?”
D : “Contohnya ketika Annisa hidup dengan Samsudin, ketika itu Annisa
kan tersiksa, Mbak. Tetapi dia tetap belajar dan belajar.”
P : “Begitu. Kemudian kalau Khudhori bagaimana menurut Mbak?”
L+D : (tertawa) “Kita pengen punya suami yang seperti itu. Hehe…”
P : (tertawa juga) “Oh, kira-kira di pesantren sini ada tidak yang seperti
Khudhori?”
D : “Iya, mungkin ada. Tapi ya tidak sesempurna Khudhori. Kalau dalam
novel itu kan Khudhori digambarkan sangat sempurna menurut saya.”
P : “Kemudian kembali lagi ke Annisa. Menurut Mbak Berdua bagaimana?
Dia ini dalam cerita bisa dikatakan sebagai calon bu nyai tetapi sikapnya
cukup keras seperti itu? Katanya kalau jadi wanita kan nggak boleh
pethakilan, naik kuda misalnya. Lha ini bagaimana?”
D : “Ehm, ya nggak boleh. Mosok anak putri seperti itu. Ditambah Annisa
kan ingin seperti idolanya itu, Putri Budur seperti di zaman Nabi.
Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas
Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu
memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak
boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu
perempuan naik kuda.”
L : “Tapi kalau menurut saya boleh-boleh saja. Nggak pa pa.
P : “Oh, iya, Mbak. Mau Tanya? Mbak berdua sudah berapa tahun tinggal
di pondok ini?”
D+L : “Kita sudah sekitar 6 tahun di sini. Sudah dari tahun 2004.”
P : “Dari umur berapa?”
D+L : “Dari kita lulus sekolah tsanawiyah”.
P : “Oh, begitu. Kembali ke novel tadi, bagaimana kalau tentang sikap dan
karakter Kyai Hanan?”
172

D : “Ya, kalau menurut saya nggak pa pa. itu kan buat mendidik anaknya.
Anak putri kok seperti itu itu. Jadi, sebagai bapak ya memang seperti
itu.”
L : “Hanya saja, kalau menurut saya harus agak lembut. Kan sama
anaknya sendiri. Apalagi anak putri.”
P : “Kemudian tentang kedua kakaknya Annisa, Rizal dan Wildan.”
D : “Kalau tentang kakak-kakaknya tidak banyak diceritakan, hanya masa
kecil mereka saja. Dan menurut saya ya itu cuma kenakalan anak-anak
kecil,saling mengejek dan lain-lain.”
P : “Kemudian kalau untuk kehidupan di pesantren sini, ada perbedaan
perlakuan atau tidak antara santri putra dengan santri putri?”
L : “Tidak ada perbedaan, semua diperlakukan sama”
D : “Hanya saja kalau untuk santri putra cara mendidiknya lebih keras.
Karena mereka kan dididik untuk dapat memimpin umat, yang nanti
akan menjadi kepala keluarga. Tapi, kalau yang putri kan cuma akan
menjadi makmum.”
P : “Kemudian kalau menurut Mbak tentang sikap Annisa yang ingin
sejajar dengan laki-laki bagaimana, misalnya ingin dapat sama-sama
kesempatan belajar dan lain-lain?”
L : “Kalau menurut saya itu terlalu over karena semampu-mampunya
wanita itu kan sekuat-kuatnya laki-laki. Jadi, tidak bisa wanita
menyamai laki-laki.”
P : “Di sini juga digambarkan kultur pesantren, ada mengaji kitab kuning
dan lain-lain. Sama atau tidak penggambaran yang ada dalam novel ini
dengan kebiasaan yang ada di pondok pesantren sini?”
D : “Pada dasarnya sama hanya saja kalau sini lebih ditekankan pada tafsir
Al Quran. Bukan kitab kuning.”
L : “Pondok kami ini juga kan pondok pesantren Al Quran jadi tekanannya
berbeda. Kami juga lebih fokus pada Al Quran sebagai pedoman kami.”
P : “Tetapi kitab kuning tetap dipelajari?”
173

D : “Kami pelajari, hanya saja tidak sebanyak tafsir Al Quran. Mosok kita
lebih banyak mengkaji kitab lain tapi Al Quran tidak.”
P : “Oh, begitu. Kemudian antara santri putra dan putri apakan ada forum
musyawarah bersama atau forum bersama yang lain?”
D : “Santri putra dan putri dipisah termasuk dalam forum musyawarahnya.
Santri putra sendiri, sanri putri sendiri.”
P : “Kalau hari Jumat itu libur, biasanya digunakan santri untuk apa?”
D : “Ehm, biasanya digunakan untuk kerja bakti, belanja juga.”
L : “Biasanya juga ada yang pulang ke rumah kalau santri-santri yang
rumahnya dekat.”
P : “Kalau di sini tidak ada yang sekolah umum ya?”
D : “Tidak ada, semuanya cuma mondok saja di sini.”
P : “Aktivitas belajar biasanya dimulai dari jam berapa?”
L : “Dari jam 8 sampai jam 11 nanti lanjut lagi sampai sore buat mengaji
kitab.”
P : “Ustadz-ustadz sini beragam?”
D : “Ustadznya beragam. Masing-masing punya bidangnya sendiri.”
P : “Kalau untuk ustadz yang mengajar tafsir Al Quran siapa?
D+L : “Ustadz Baha‟udin”
P : “Waktu belajar, ada sistem diskusi atau cuma searah saja dari ustadz ke
santri?”
L : “Ada diskusi, antara santri satu dengan yang lain juga bisa bertukar
pendapat. Kami cukup bebas bertanya apa yang ingin kami tahu kepada
ustadz kami.”
D : “Pokoknya selama ustadz bisa ya dijawab tapi kalau tidak ya dibuat PR
dulu untuk dicarikan jawabannya.”
P : “Jadi, seperti di sekolah-sekolah umum ya? (mengangguk) Ya sudah
Mbak, begitu dulu. Terimakasih untuk waktunya.”
D+L : “Iya, Mbak. Sama-sama.”
174

Keterangan :
P : Peneliti
D : Ni‟matuss‟diyah
L : Lulik Khumaidiyah

Refleksi
Wawancara dilakukan peneliti dengan dua orang santri Pondok Pesantren
Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Dua orang
santri tersebut adalah Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah yang sudah belajar
di pondok pesantren tersebut selama kurang lebih enam tahun. Sebelum dilakukan
wawancara, peneliti memberikan novel Perempuan Berkalung Sorban kepada
keduanya untuk dibaca terlebih dahulu agar sedikit banyak narasumber
mengetahui isi pembicaraan dalam wawancara dan mengetahui bagaimana isi
novel tersebut karena wawancara yang dilakukan juga bertujuan untuk
mengetahui penilaian pembaca novel terhadap novel Perempuan Berkalung
Sorban.
Pada awal wawancara peneliti menilai bahwa kedua narasumber
mengalami ketegangan karena sebelumnya belum ada yang melakukan
wawancara terhadap mereka atau melakukan penelitian di pondok pesantren
tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya wawancara suasana mencair sedikit
demi sedikit sehingga suasana benar-benar cair. Kedua narasumber mulai
memberikan wawancara dengan jawaban yang lancar sampai akhir wawancara.
Pada umumnya, penilaian kedua narasumber terhadap novel Perempuan
Berkalung Sorban merupakan penilaian yang baik. Artinya, kedua narasumber
menilai novel tersebut memberikan pengetahuan dan pengalaman baru tentang arti
perjuangan kaum perempuan terutama dalam lingkungan pesantren. Namun,
kedua narasumber manyatakan bahwa cara penggambaran Abidah El Khalieqy
sebagai penulis novel Perempuan Berkalung Sorban terlalu berlebihan sehingga
terlihat bersikap keras terhadap pondok pesantren.
175

Lampiran 6.

Gb.1 Wawancara dengan dua orang santri Pondok Pesantren Al Quran,


Desa Narukan, Kec, Kragan, Kab. Rembang
176

Lampiran 7.
KOMENTAR PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN
BERKALUNG SORBAN

 Ni‟matussa‟diyah, Santri Pondok Pesantren Al Quran, Narukan, Kragan,


Rembang
“Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas
Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu
memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh
menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu perempuan
naik kuda.”

 Lulik Khumaidiyah, Santri Pondok Pesantren Al Quran, Narukan, Kragan,


Rembang
“Novel itu memberikan pengalaman yang baru terhadap kami. Tentang
perjuangan Annisa sebagai wanita yang kuat, tegar, dan tabah dalam
menjalani hidupnya”.

 Fetty Permatasari, Wartawan Solo Pos


“Asyik. Nuansa perlawanan dari tokoh utama terasa kental di novel itu. Ciri
khas Abidah dalam karya lain juga begitu. Abidah selalu mampu melihat sisi
lain”.

 Vivin Ariyani, Guru Bahasa Inggris SMP 4 Sarang, Rembang


“Bagus. Lebih menonjolkan gerakan feminisme. Tetapi, saya pikir tidak
semua pondok pesantren digambarkan seperti itu apalagi pada masa sekarang.
Kalau dalam novel tersebut pondok pesantren digambarkan sebagai sebuah
lingkungan pendidikan yang sangat mengekang santri-santrinya”.
177

 Irna Setyowati, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS


“Cerita novel Perempuan Berkalung Sorban sangat bagus. Saya salut dengan
keberanian Annisa sebagai tokoh utama. Tetapi, sedih juga karena cerita novel
itu memiliki akhir sad ending”.

 Dian Fitri Argarini, Mahasiswa Pendidikan Matematika IKIP PGRI Semarang


“Penggambaran tokoh kuat dengan masing-masing karakter yang dimilikinya.
Amanat yang dikandung dalam novel tersebut bahwa sebagai perempuan
harus bisa memperjuangkan haknya, jangan mau kalah dengan laki-laki.
Usaha untuk persamaan gender antara laki-laki dan wanita”.

 Anis Ningsih, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNS


“Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan nilai
religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan pendidikan
meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat gerakan
feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok mempunyai hak yang
sama”.

Anda mungkin juga menyukai