SKRIPSI
Oleh:
TUTUT DWI HANDAYANI
K1206041
Oleh:
TUTUT DWI HANDAYANI
K1206041
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
ii
PERSETUJUAN
Pembimbing I Pembimbing II
iii
PENGESAHAN
Disahkan oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan
iv
ABSTRAK
v
MOTTO
Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki.
Tetapi tidak berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.
(Kata Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia)
vi
PERSEMBAHAN
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………..…………...i
PERSETUJUAN…..………………......................……………….........................iii
PENGESAHAN......................................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
MOTTO..................................................................................................................vi
PERSEMBAHAN..................................................................................................vii
DAFTAR ISI………………………………………………………………..…...viii
KATA PENGANTAR............................................................................................xi
DAFTAR TABEL.................................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................1
B. Pembatasan Masalah ...................................................................................9
C. Perumusan Masalah.....................................................................................9
D. Tujuan Penelitian.........................................................................................9
E. Manfaat Penelitian.....................................................................................10
viii
g. Faktor Mental Bangsa Indonesia...................................................32
3. Pondok Pesantren.................................................................................33
a. Hakikat Pondok Pesantren.............................................................33
b. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia................37
c. Sistem Pendidikan dalam Pondok Pesantren.................................40
4. Hakikat Bahan Ajar.............................................................................41
a. Kriteria Bahan Ajar yang Baik......................................................41
b. Bahan Ajar Pembelajaran Sastra...................................................47
c. Kompetensi Dasar yang Berkaitan................................................50
5. Telaah Sastra.......................................................................................51
6. Sosiologi Sastra...................................................................................55
a. Resepsi Sastra...............................................................................60
b. Kritik Sastra..................................................................................62
7. Profil Abidah El Khalieqy..................................................................69
B. Penelitian yang Relevan...........................................................................70
C. Kerangka Berpikir....................................................................................71
ix
3. Latar (Setting)……………………………………………………….107
4. Alur (Plot)…………………………………………………………..112
5. Sudut Pandang…...………………………………………………….120
6. Amanat…………...…………………………………………………120
7. Gaya Bahasa………………………………………………………...122
C. Proses Kreatif Novel Perempuan Berkalung Sorban…………………...123
D. Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan Berkalung
Sorban…………………………………………………………………..130
E. Relevansi Nilai-nilai Kearifan Lokal Novel Perempuan Berkalung Sorban
terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah................................................136
F. Penilaian Pembaca terhadap Novel Perempuan Berkalung Sorban...….140
BAB V PENUTUP
A. Simpulan………………………………………………………………..144
B. Implikasi………………………………………………………………..146
C. Saran…………………………………………………………………….148
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi
kenikmatan hidup dan kemudahan kepada hamba-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagian persyaratan untuk
mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
2. Drs. Suparno, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang telah
memberikan persetujuan skripsi;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dr. Budi Setiawan, M. Pd., selaku pembimbing I dan Sri Hastuti, S. S., M.
Pd., selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar;
5. Drs. H. Purwadi, Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan
selama penulis menjadi mahasiswa di Program Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP UNS;
6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;
7. Abidah El Khalieqy, Penulis Novel Perempuan Berkalung Sorban yang
berkenan untuk menjadi narasumber genetik atas novel tersebut;
8. Pengurus dan santri pondok pesantren Alquran, Narukan, Kragan, Rembang
yang bersedia membantu penulis sebagai narasumber penelitian skripsi ini;
9. Ibu, Bapak, Mak Ni, Mbak Vivin, Dek Dian, Mas Faruq dan saudara di rumah
yang senantiasa membuatku tersenyum dengan ikhlas. Kalian adalah semangat
yang selalu menyala;
xi
10. Heri Budiyawan Suryanto, pemilik senyum sederhana. Angin gunung telah
menunggumu!!! Seperti puncak-puncak gunung yang telah kau taklukkan,
wujudkan mimpi-mimpimu!!!
11. Rose, Irna, Dewi, Andi, Vandi, Lia, Ida, Mira, Dias, Yanti, Dwi, Doni, Rika,
Gancar, Dini, dan teman-teman Bastind 2006 yang menjadi satu kenangan
terindah dalam perjalanan hidup;
12. Mbak Nisa, Mbak Septi, Mas Nuno, Rika, Listyawati, Dhika, Listya Putri,
Tisna, Zulaihah, Kikis, Fitri, Hanif, Anjar, Jatmiko, Endah, Leoni, Duwi,
Mufti, Djoko, dan kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang membuatku
kuat dan membantuku menemukan hakikat diriku.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun penulis harapkan untuk perbaikan.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khasanah
ilmu pengetahuan bagi para pembaca.
Penulis
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun
1942 (Survai kantor Urusan Agama)......................................................38
Tabel 2. Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978 (Laporan
Departemen Agama RI)..........................................................................39
Tabel 3. Jadwal penelitian.....................................................................................74
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk
mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan
ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa
bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Berdiskusi perihal kebudayaan barangkali dapat dianggap sebagai suatu
perjalanan mental yang dalam. Tukar menukar pikiran yang hangat seringkali
terjadi untuk mencari definisi atau makna yang tepat untuk menjelaskan hakikat
kebudayaan. Diskusi dan pembicaraan yang bersentuhan langsung dengan dimensi
yang berhubungan dengan aspek kehidupan akan membuat diskusi tersbut
menjadi lebih dalam.
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat disepakati bahwa pembangunan
manusia dan masyarakat mengandung permasalahan kebudayaan. Kalau
pembangunan manusia dan masyarakat itu dapat diibaratkan sebagai transformasi,
maka proses transformasi tersebut tidak mungkin dapat lepas dari transformasi
kebudayaan. Dengan kata lain, pembangunan manusia dan masyarakat tidak
mungkin terjadi tanpa transformasi kebudayaan. Karena itulah kebudayaan perlu
dilihat sebagai sesuatu yang dinamis dan sesuatu yang terus berkembang.
Permasalahan kebudayaan dalam sebuah masyarakat berkembang seperti
halnya Indonesia relatif jauh lebih rumit daripada yang ditemui di masyarakat-
masyarakat maju. Contoh sederhana saja adalah tradisi Jawa yang masih kental
dengan hal-hal yang berbau klenik yang membuat segala sesuatunya semakin
rumit. Persepsi-persepsi tersebut akhirnya bersifat jamak atau multi yang
dipengaruhi oleh warna kebudayaan suku bangsa, nilai agama yang dianut,
kebudayaan asing atau bahkan persepsi yang dipengaruhi oleh ideologi bersama,
yakni Pancasila dan UUD 1945.
1
2
baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya sastra yang baik juga bisa
menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia, manusia dengan lingkungan
dan manusia dengan Tuhan. Ini karena dalam karya sastra seharusnya terdapat
ajaran moral, sosial sekaligus ketepatan bahasa dalam pengungkapan karya sastra.
Hal inilah yang membuat perkembangan sastra tidak bisa dipisahkan
dengan pola kehidupan dan pola pikir masyarakatnya. Cara masyarakat untuk
hidup dan bertingkah laku dalam kehidupan sosial mereka bisa sangat
mempengaruhi seorang penulis dalam merefleksikan pemikirannya tentang suatu
masalah yang kemudian bisa diwujudkan dalam suatu kreasi yang kemudian layak
disebut sebagai suatu karya sastra. Dan hal yang serupa juga terjadi pada
perkembangan sastra di Indonesia.
Perkembangan sastra di Indonesia terjadi secara berkelanjutan dan mulai
menggeliat sejak masa Balai Pustaka, sejak saat itulah mulai hadir sastrawan-
sastrawan kita seperti STA, Armin Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Mochtar
Lubis, N.H. Dini dan menuju ke penulis-penulis masa kini seperti Cak Nun, Joko
Pinurbo, sampai Habiburrachaman, Dee, dan Ayu Utami, misalnya.
Dalam perkembangannya, nama Abidah Al Khalieqy merupakan satu
nama yang turut serta dalam menghiasi jejak sastra di tanah air. Lewat karya-
karya yang dihadirkannya, Abidah biasa melukis kisah wanita dengan aneka
perlawanannya terhadap budaya patriarki yang menurutnya masih terasa kental di
negeri ini. Karya perdana yang dibukukan pada 2001 mengambil judul
Perempuan Berkalung Sorban diakui membuat para pembaca mampu mengetahui
sisi lain dari sebuah kehidupan dalam pesantren. Sebuah fakta yang kerap kali
disembunyikan di hadapan publik diungkap secara mendetail oleh Abidah dalam
novel tersebut. Karya tersebut membuat ia terpilih sebagai juara kedua dalam
acara sayembara yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kala
itu.
Abidah El Khalieqy menggunakan latar kebudayaan pondok pesantren
dalam beberapa karyanya. Kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam pondok
pesantren digunakaan Abidah untuk menggambarkan latar karya yang diciptanya.
Kebiasaan yang terjadi dalam sebuah pondok pesantren dapat digunakan sebagai
4
gambaran kebudayaan yang hadir di dalamnya. Hal tersebut karena sedikit banyak
kehidupan masyarakat kita masih banyak dipengaruhi oleh golongan santri yang
menimba ilmu di pondok pesantren. Pondok pesantren diakui sebagai tempat
penggemblengan manusia menjadi manusia yang lebih baik setelah mereka keluar
dari sebuah pondok pesantren. Pandangan bahwa lulusan dari pondok pesantren
akan mampu menjadi tokoh dan panutan dalam masyarakat kita masih mengakar
dalam paradigma masyarakat kita.
Layaknya sebuah komunitas masyarakat yang tidak dapat lari dari
perubahan. Komunitas pondok pesantren pun mengalami hal yang demikian. Jika
dahulu pondok pesantren dikesankan sebagai komunitas yang kolot dan
ketinggalan zaman, perubahan sosial yang berlangsung saat ini perlahan
memupuskan citra-citra negatif semacam itu. Hampir semua pesantren kini telah
bergabung ke dalam komunitas global dan menjadi bagian dari komunitas dunia.
Yang berbeda mungkin cuma takarannya saja. Yakni seberapa banyak pesantren
mengadopsi dan memodifikasi berbagai kecenderungan global dalam
komunitasnya (Mayra Walsh, 2002).
Sebagai sebuah lembaga keilmuan, pesantren memiliki kekhasan tersendiri
yang unik dan tak dimiliki oleh lembaga keilmuan yang lain. Misalnya saja, ilmu-
ilmu keagamaan tradisional di pondk pesantren pada khususnya dipelajari dengan
media kitab-kitab karya ulama klasik yang di antaranya ditulis dalam bentuk puisi.
Di lingkungan komunitas intelektual yang lain, bisa dikatakan bahwa tak ada
model transmisi keilmuan dengan media puisi seperti di pesantren.
Tak hanya dalam transmisi keilmuan, tradisi sastra dalam bentuk puisi
juga hadir secara cukup intens dalam kehidupan sehari-hari para santri. Kehidupan
sehari-hari di pesantren banyak menampilkan puji-pujian dan zikir keagamaan
yang berbentuk puisi. Biasanya dibacakan menjelang atau di sekitar waktu shalat.
Secara khusus, syair berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad saw. memiliki
bentuk ekspresi yang begitu kaya dalam Islam dan banyak diapresiasi dan hidup
dalam keseharian dunia pesantren. Bahkan, beberapa puisi tersebut dianggap
memiliki kekuatan magis sehingga tak jarang juga dibacakan sebagai doa untuk
keperluan tertentu.
5
novel dari kacamata estetika, tetapi juga memfokuskan kajian pada makna dan
hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.
Selain itu, novel Perempuan Berkalung Sorban ditulis dengan
menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang
bernama Annisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan
bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Annisa, Perempuan
Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga,
ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh
ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan Berkalung Sorban
telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang
terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis
maupun pragmatis.
Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah
berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami
perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi
dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan
tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kandungan ekspresi dan
konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan, dan keyakinan
tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial
tokohnya, Annisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk
melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat
patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga
mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap
masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar
tokoh itu berada.
Abidah El Khalieqy menggambarkan Annisa sebagai seorang santri yang
ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustadznya
terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan
kecerdasannya pula, Annisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang
dianggap menyimpang dari nilai agama. Pada akhirnya, setelah Annisa keluar dari
8
pesantren ayahnya, dan menjadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, tak
putus-putusnya ia berusaha melakukan penafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis
sebagai sarana juang untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-laki.
Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki kecenderungan pokok
untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut
dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh
pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan
untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana
cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi
kekuasaan patriarki yang dalam novel tersebut diwakili oleh dominasi kaum pria
di lingkungan pondok pesantren.
Setting yang dipilih inilah yang kemudian menghadirkan penilaian yang
melahirkan bermacam-macam kontroversi karena pembaca atau penikmat novel
tersebut disuguhi fenomena dan gambaran yang cukup berbeda dengan yag
selama ini diketahui oleh masyarakat awam. Novel tersebut menggambarkan
budaya pondok pesantren yang menempatkan wanita dalam posisi “yang menjadi
objek”. Satu hal yang bertentangan dengan Islam karena dalam ajarannya, Islam
menempatkan wanita dalam posisi yang mulia. Sejajar dengan kaum pria.
Beberapa kontroversi yang sempat hadir adalah kecaman yang hadir dari para kyai
atas hadirnya novel tersebut. Para Kyai di Jawa Timur menolak penggambaran
pondok pesantren seperti yang terdapat dalam novel. Kontroversi semakin
menajam ketika novel tersebut kemudian difilmkan ke dalam layar lebar.
Kecaman tersebut mengakibatkan film Perempuan Berkalung Sorban tidak
bertahan lama di bioskop. Pada minggu pertamanya, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) meminta semua pemilik bioskop untuk menurunkan film tersebut dari
penanyangannya.
Inilah yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk mengkaji karya-
karya Abidah Al Khalieqy khususnya novel Perempuan Berkalung Surban yang
menuai cukup banyak kontroversi dalam penerbitannya. Penelitian ini berjudul
Analisis Nilai-nilai Kultural Pondok Pesantren dalam Novel Perempuan
Berkalung Sorban Karya Abidah Al-Khaleqy.
9
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi pada kajian novel Perempuan Berkalung
Sorban karya Abidah Al Khalieqy. Kajian akan dibatasi pada proses kreatif
penulis dalam penciptaan novel tersebut, penggambaran kultur atau budaya
pesantren oleh penulis dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, relevansi
novel Perempuan Berkalung Sorban sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran
sastra di SMA, dan penilaian pembaca terhadap novel tersebut.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut, dapat dibuat
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana proses kreatif Abidah Al Khalieqy dalam penulisan novel
Perempuan Berkalung Sorban?
2. Bagaimanakah nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban?
3. Bagaimana relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban jika digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran
sastra di SMA?
4. Bagaimana penilaian pembaca terhadap novel Perempuan Berkalung Sorban?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengetahui dan mendeskripsikan proses kreatif yang dimiliki oleh Abidah Al
Khalieqy dalam penulisan novel Perempuan Berkalung Sorban.
2. Mengetahui dan mendeskripsikan nilai-nilai kultural pondok pesantren dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban.
3. Mengetahui relevansi nilai-nilai kearifan lokal dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban jika digunakan sebagai media alternatif pembelajaran
sastra di SMA.
10
E. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Manfaaat
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Praktis
a. Bagi peserta didik
Penelitian ini diharapkan akan membuat peserta didik semakin sadar dan
tertarik dengan pelajaran sastra yang ada di kelas. Sekaligus memotivasi
siswa untuk menunangkan ide kreatif mereka dalam karya sastra.
b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian dan
referensi untuk meningkatkan pemahaman peserta didik tentang
pembelajaran sastra di kelas.
c. Bagi kepala sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan
bagi kepala sekolah untuk membina guru sastra agar lebih kreatif dalam
pelaksanaan pembelajaran di kelas. Selain itu, penelitian ini diharapkan
dapat membuat kepala sekolah memperhatikan dan menambah sarana dan
prasarana serta media ajar dalam pembelajaran sastra.
d. Bagi pemegang kebijakan
Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu pertimbangan
bagi para pemegang kebijakan dalam merumuskan kurikulum. Terutama
dalam kurikulum yang berhubungan dengan pengajaran sastra. Ini perlu
dilakukan agar pembelajaran sastra di sekolah menjadi satu hal yang bisa
mendapatkan porsi yang seimbang.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan mampu menjadi salah satu referensi yang
dapat digunakan untuk mengkaji karya sastra dalam segi analisis kultural sebuah
produk sastra. Sekaligus dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam hal
11
penilaian atau resepsi sastra bagi para penulis dan penikmat sastra. Selain itu,
penelitian ini juga diharapkan akan mendorong hadirnya penelitian sastra yang
baru yang akan lebih inovatif dan kreatif.
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Hakikat Proses Kreatif
Penulis dan sastrawan Amerika Serikat, Ernest Hemingway (dalam
Naning, 2006: 1) menyatakan bahwa menulis adalah petualangan (writing is
adventure). Pendapat ini didukung oleh para sastrawan Amerika Latin, Pablo
Neruda dan Gabriel Gracia Marquesz dan sastrawati Afrika Selatan Nadine
Gordimer serta Milan Kundera, sastrawan Cheko. Petualangan yang dimaksud
bukan merupakan pengalaman raga melainkan paduan dari kekayaan batin dan
intelektual (materi dasar atau bahan tulisan), imajinasi (kreativitas dan
pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan ini kemudian
dirangkai menjadi suatu tulisan melalui suatu proses yang disebut proses kreatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata „kreatif‟ diartikan: (1)
memiliki daya cipta; (2) memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses
kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah
mencipta tulisan atau menulis, baik itu tulisan yang bersifat fiksi maupun non-
fiksi. Seseorang yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis
non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis bisa menjadi pengarang, tetapi pada
umumnya sedikit pengarang yang menjadi penulis. Hambatan tersebut biasanya
terdapat pada kedalaman referensi yang harus dimiliki oleh seorang penulis
karena tulisan yang dibuat harus memiliki kadar ilmiah dan bersifat objektif.
Proses menulis memerlukan sebuah proses kreatif. Proses ini dimulai
dengan adanya ide yang berupa kekayaan batin dan intelektual sebagai bahan
tulisan. Sumber utama munculnya ide adalah bacaan, pergaulan, perjalanan
(traveling), kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri (internal) maupun
dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan
mengabdi (berbagi ilmu), kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesi dan
sebagainya. Semuanya itu bisa dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki
proses kreatif menulis (Naning, 2006: 2).
12
13
Ide yang muncul berupa kakayaan intelektual atau bahkan yang berbentuk
seperti ilham bukan hasil ajaran atau karena mempelajari. Sitor Situmorang
(dalam Eneste, 1984: 19) menyatakan:
Tidak semua ilham jadi karya; ia bisa menumpuk untuk kemudian
tanpa diduga dan tanpa bisa direncanakan terlebih dahulu muncul di
kemudian hari, kadang-kadang setelah lewat bertahun-tahun; atau lenyap
sama sekali; atau menjadi bagian dari ide/ilham sastra yang lebih luas
cakupannya.
Si penyair tak bisa menentukan “saat”-nya, pun tidak memilih bentuk
untuk kemudian diisi dengan ide sastra (kecuali pada sajak pesanan – jenis
yang di luar pembicaraan). Di antara ilham atau gelombang ilham bisa
terbentang masa-antara dan masa menunggu yang pendek atau lama.
baru dapat dipisahkan si kreator, si individu, si daif itu, sebagai matahri yang
memungkinkan bekerjanya mekanisme kreatif. Dan hanya ada dua mcam
kreasi saja: pertama melalui pernyataan alami oleh Sang Kreator dan
pernyataan manusiawi melalui si kreator.
2. Kebudayaan
a. Hakikat Kebudayaan
Kebudayaan sering kali dipahami dengan pengertian yang tidak tepat.
Beberapa ahli ilmu sosial telah berusaha merumuskan berbagai definisi tentang
kebudayaan dalam rangka memberikan pengertian yang benar tentang apa yang
dimaksud dengan kebudayaan tersebut. Akan tetapi ternyata definisi-definisi
tersebut tetap saja kurang memuaskan. Terdapat dua aliran pemikiran yang
berusaha memberikan kerangka bagi pemahaman tentang pengertian kebudayaan
ini, yaitu aliran ideasional dan aliran behaviorisme/materialisme.
Kebudayaan adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan manusia kebudayaan diciptakan untuk
mempermudah manusia dalam menjalani kehidupannya. Kebudayaan tidak akan
ada tanpa manusia, sebaliknya manusia tanpa kebudayaan tidak akan bisa
bertahan dalam mengarungi kehidupan.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Secara
etimologi kebudayaan atau culture berasal dari kata sanskerta yaitu “ buddhayah”
yaitu bentuk jamak dari “buddhi” yang berarti budi atau akal (Koentjaraningrat,
2003: 73). Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Namun, ada sarjana lain yang menyatakan bahwa
kebudayaan berasal dari kata budi-daya karena itu ia membedakan antara budaya
dengan kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan
karsa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa itu sendiri.
Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang
dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya
dengan belajar (Koentjaraningrat, 2003: 72).
Kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
15
b. Unsur-unsur Kebudayaan
Setiap bangsa di dunia memiliki kebudayaan masing-masing yang brbeda
dengan kebudayaan bangsa lainnya. Namun, segala bentuk kebudayaan tersebut
terdapat beberapa unsur kebudayaan yang selalu dimiliki oleh masing-masing
kebudayaan tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan istilah “Tujuh unsur
kebudayaan universal” (C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat, 2003: 81). Adapun
ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah :
1) Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia
untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun
gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau
kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat
17
menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan
sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum
dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk
berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi
sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan
hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari
naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
2) Sistem Pengetahuan
Secara sederhana, pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia tentang benda, sifat, keadaan, dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki
oleh semua suku bangsa di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman, intuisi, wahyu, dan berpikir menurut logika, atau percobaan-
percobaan yang bersifat empiris (trial and error).
Sistem pengetahuan tersebut dikelompokkan menjadi:
(a) pengetahuan tentang alam
(b) pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan di sekitarnya
(c) pengetahuan tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah
laku sesama manusia
(d) pengetahuan tentang ruang dan waktu
3) Sistem religi
Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia
dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat
terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi
dari sistem jagad raya ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu
bagian jagad raya. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup
bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan
kepada penguasa alam semesta.
18
dan tertua. Agama lain merupakan modifikasi manusia dari agama islam.
kita bisa lihat dari perkembangan agama dari nabi-nabi terdahulu. Agama
Islam hanya mengenal satu Tuhan yaitu Allah. Dan semua Nabi dan Rasul,
dari Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, Soleh,Ibrahim,Luth, Ismail, Ishak,
Yakub, Yusuf, Ayyub, Syueb, Musa, Harun, dzulkifli, Daud, Sulaiman,
Yunus, Zakaria, Yahya, Isa, dan para nabi serta rasul lainnya sampai Nabi
terakhir yaitu Muhammad saw mengakui bahwa “Tidak ada Tuhan selain
Allah”.
Agama Islam telah berhasil merubah cara pandang orang-orang eropa
terhadap kebudayaan, seperti ilmu-ilmu fisika, matematika, biologi, kimia
dan lain-lain oleh para fislsuf barat yang kemudian hal itu diubah dan
diakui oleh orang-orang eropa bahwa hal itu merupakan hasil karya orang
eropa asli, Terutama oleh kalangan para filsafat. Sementara itu, nilai dan
norma agama Islam banyak mempengaruhi kebudayaan Timur Tengah dan
Afrika Utara, dan juga sebagian wilayah Asia Tenggara.
Pada masyarakat Jawa, biasanya mereka membedakan orang santri
dengan orang agama kejawen. Golongan kedua ini sebenarnya adalah
orang-orang yang percaya kepada ajaran agama Islam, akan tetapi mereka
tidak secara patuh menjalankan rukun-rukun dari agama Islam.
Misalnya tidak salat, tidak pernah puasa, tidak bercita-cita untuk
melakukan ibadah haji dan sebagainya. Demikian secara mendatar di
dalam masyarakat orang Jawa itu, ada golongan santri dan ada
golongan agama kejawen. Di berbagai daerah di Jawa baik yang
bersifa kota maupun pedesaan orang santri menjadi mayoritas,
sedangkan di lain daerah orang bergama kejawen-lah yang dominan
(Koentaraningrat, 1999: 344).
5) Sistem Teknologi
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,
serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam
cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara
mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang berpindah-pindah atau masyarakat pedesaan yang
hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam teknologi tradisional
(disebut juga sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik), yaitu:
(a) alat-alat produktif
(b) senjata
(c) wadah
(d) alat-alat menyalakan api
(e) makanan
(f) pakaian
(g) tempat berlindung dan perumahan
(h) alat-alat transportasi
22
7) Kesenian
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari
ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun
telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan
berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian
yang kompleks.
dan manusia, diganti dengan tenaga mesin. Contoh modernisasi yang lain adalah
munculnya internet sebagai media komunikasi lintas negara. Teknologi ini
merubah sudut pandang manusia.
Modernisasi dapat terwujud apabila anggota masyarakat memiliki ciri-ciri
di antaranya sebagai berikut: sikap terbuka pada perubahan, mau menerima hal
baru, menghargai waktu, orientasi ke masa depan, percaya diri, percaya manfaat
ilmu dan teknologi serta memiliki perencanaan. Modernisasi pada satu sisi bersifat
progress, sedangkan pada sisi lain bersifat regress. Penggunaan tenaga mesin pada
beberapa pekerjaan berguna untuk menghemat biaya dan waktu, tapi mengurangi
jumlah tenaga kerja manusia. Pemakaian internet jika digunakan untuk hal positif
sangat bermanfaat. Tapi sering juga internet digunakan untuk melakukan tindakan
tidak terpuji bahkan merugikan orang lain.
2) Westernisasi
Sebagian anggota masyarakat sering menyalah artikan pengertian
modernisasi. Mereka menganggap modernisasi sebagai westernisasi, yaitu sikap
meniru budaya barat (Eropa dan Amerika) secara mutlak tanpa
mempertimbangkan nilai dan norma budaya setempat. Modern tidak harus
bergaya seperti orang Barat. Orang yang kebarat-baratan belum tentu modern.
Hal-hal yang baik dari Barat kita ambil selama tidak bertentangan dengan norma
yang ada.
2) Evolusi
Evolusi pada dasarnya berarti proses perubahan dalam jangka waktu
tertentu. Dalam konteks biologi modern, evolusi berarti perubahan sifat-sifat yang
diwariskan dalam suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi
28
berikutnya. Sifat-sifat yang menjadi dasar dari evolusi ini dibawa oleh gen yang
diwariskan pada keturunan suatu makhluk hidup. Sifat baru dapat diperoleh dari
perubahan gen oleh mutasi, transfer gen antar populasi, seperti dalam migrasi,
atau antar spesies seperti yang terjadi pada bakteria, serta kombinasi gen mealui
reproduksi seksual.
Meskipun teori evolusi selalu diasosiasikan dengan Charles Darwin,
namun sebenarnya biologi evolusi telah berakar sejak jaman Aristoteles. Namun
demikian, Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi yang
telah banyak terbukti mapan menghadapi pengujian ilmiah. Sampai saat ini, teori
Darwin tentang evolusi yang terjadi karena seleksi alam dianggap oleh mayoritas
masyarakat sains sebagai teori terbaik dalam menjelaskan peristiwa evolusi.
e. Penetrasi Kebudayaan
Yang dimaksud dengan penetrasi kebudayaan adalah masuknya pengaruh
suatu kebudayaan ke kebudayaan lainnya. Penetrasi kebudayaan dapat terjadi
dengan dua cara:
1) Penetrasi Damai (penetration pasifique)
Masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan damai. Misalnya, masuknya
pengaruh kebudayaan Hindu dan Islam ke Indonesia. Penerimaan kedua macam
kebudayaan tersebut tidak mengakibatkan konflik, tetapi memperkaya khasanah
budaya masyarakat setempat. Pengaruh kedua kebudayaan ini pun tidak
mengakibatkan hilangnya unsur-unsur asli budaya masyarakat.
Penyebaran kebudayaan secara damai akan menghasilkan Akulturasi,
Asimilasi, atau Sintesis. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga
membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli.
Contohnya, bentuk bangunan Candi Borobudur yang merupakan perpaduan antara
kebudayaan asli Indonesia dan kebudayaan India. Asimilasi adalah bercampurnya
dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru. Sedangkan Sintesis
adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah
kebudayaan baru yang sangat berbeda dengan kebudayaan asli.
29
3. Pondok Pesantren
a. Hakikat Pondok Pesantren
Definisi dari kosakata pondok pesantren dapat dikaji dengan
memperhatikan makna per kata yang menjadi bagiannya. Kata pondok berarti
tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks
dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan
pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an
berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985: 18). Maka pondok pesantren
adalah asrama tempat tinggal para santri. Wahid (2001: 171) menerangkan bahwa
pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent).
Dikatakan seperti itu karena mereka yang berada di dalamnya mengalami suatu
kondisi yang menuntut adanya sebuah totalitas.
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak
diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di
Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001: 70). Pondok pesantren
di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
34
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah
santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian,
ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
Hasyim (1998: 39) memaparkan bahwa unsur-unsur pokok yang ada dalam
sebuah pesantren. Kyai. masjid, santri, pondok, dan kitab Islam klasik (mereka
menyebutnya kitab kuning) adalah elemen unik yang membedakan sistem
pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
1) Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia
adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999: 144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa
(Ziemek, 1986: 130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-
orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang
ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985: 55).
2) Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam
tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan
masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan
Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam,
masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi
masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima
35
waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik”
(Dhofier 1985: 49). Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang
ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat
atau di belakang rumah kyai.
3) Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren
adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau
murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa
disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985: 52).
4) Pondok
Definisi singkat istilah „pondok‟ adalah tempat sederhana yang merupakan
tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999: 142). Di Jawa,
besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat
kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki
tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan
berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri
laki-laki.
36
4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti
tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok
menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab
yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985: 51).
Tabel 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan
Departemen Agama RI)
Propinsi Daerah Jumlah Pesantren Jumlah Santri
Jakarta 27 15.767
Jawa Barat 2.237 305.747
Jawa Tengah 430 65.070
Tawa Timur 1.051 290.790
Jumlah: 3.745 677.374
(Hasbullah, 1999: 140)
topik-topik inti, topik buku inti serta uraian deskripsi dan bahan kajian lainnya.
Sedangkan rincian yang lebih terurai terdapat dalam buku sumber atau buku
referensi yang lain.
Bahan ajar merupakan bagian penting dalam pelaksanaan pendidikan di
sekolah. Melalui bahan ajar guru akan lebih mudah dalam mengajar dan siswa
akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar. Bahan ajar dapat dibuat dalam
berbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik materi ajar yang akan
disajikan. Buku ini disusun dengan harapan bermanfaat bagi semua pihak yang
berkepentingan dengan pengembangan bahan ajar, seperti kepala sekolah, guru,
pengawas sekolah menengah atas maupun pembina pendidikan lainnya. Bagi
kepala sekolah buku ini dapat dijadikan bahan pembinaan bagi guru yang
mengalami kesulitan dalam mengembangkan bahan ajar.
Aspek-aspek yang terdapat dalam bahan belajar antara lain adalah konsep,
fakta, nilai keterampilan, bahkan juga terdapat sejumlah masalah yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat (Harjanto, 2006:220). Istilah-istilah tersebut dapat
dijelaskan secara rinci sebagai berikut.
1) Konsep adalah suatu ide atau gagasan atau suatu pengertian yang umum.
2) Prinsip adalah suatu kebenaran dasar sebagai titik tolak untuk berpikir atau
merupakan sutu petunjuk untuk berbuat atau melaksanakan sesuatu.
3) Fakta adalah sesuatu yang telah terjadi atau yang telah dikerjakan atau
dialami. Fakta dapat berupa hal, objek atau keadaan. Jadi, bukan sesuatu yang
diinginkan atau pendapat atau teori.
4) Proses adalah serangkaian perubahan atau gerakan-gerakan perkembangan.
Sutu proses dapat terjadi secara sadar atau tidak disadari. Proses juga dapat
berupa cara melaksanakan kegiatan operasional.
5) Nilai adalah suatu pola, ukuran atau merupakan suatu tipe atau model.
Umumnya, nilai dapat bertalian dengan pengakuan atau kebenaran yang
bersifat umum, tentang baik dan buruk.
6) Keterampilan adalah kemampuan berbuat sesuatu dengan baik. Berbuat dapat
berarti secara jasmaniah (menulis, berbicara, membaca, dan sebagainya) dan
dapat juga berarti rohaniah (membedakan, menganalisis, dan sebagainya).
43
Biasanya, kedua aspek tersebut tidak terlepas satu sama lain, kendatipun tidak
selalu demikian adanya (Oemar Hamalik dalam Harjanto, 2006: 220-221)
Aspek-aspek tersebut merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan
bahan belajar dan rinciannya. Prinsip-prinsip ini juga erat kaitannya dengan tujuan
intruksional khusus (TIK) yang akan dicapai. Guru harus bersikap kritis dan
analitis dan tidak terlalu terikat pada subbahasan yang terdapat dalam GBPP saja.
Inovasi dan kreasi dari guru diperlukan agar setiap aspek yang terdapat dalam
bahan ajar dapat diterima para siswa secara seimbang. Dalam hal ini, proses
pengayaan oleh guru dan siswa menjadi satu hal yang diperlukan.
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu
guru/instruktor dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang
dimaksud bisa berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau
teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu teaching atau mengajar dan material
atau bahan. University of Wollongong, New South Wales 2522, Australia pada
website-nya (Agustus, 1998) menyatakan: Teaching is defined as the process of
creating and sustaining an effective environment for learning. Mengajar diartikan
sebagai proses menciptakan dan mempertahankan suatu lingkungan belajar yang
efektif.
Paul S. Ache lebih lanjut mengemukakan tentang bahan ajar bahwa
”Books can be used as reference material, or they can be used as paper weights,
but they cannot teach”. Buku dapat digunakan sebagai bahan rujukan, atau dapat
digunakan sebagai bahan tertulis yang berbobot, tetapi buku tidak dapat mengajar.
Website Dikmenjur dikemukakan pengertian bahwa bahan ajar merupakan
seperangkat materi/substansi pelajaran (teaching material) yang disusun secara
sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa
dalam kegiatan pembelajaran. Bahan ajar memungkinkan siswa dapat
mempelajari suatu kompetensi atau kompetensi dasar secara runtut dan sistematis
sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua kompetensi secara utuh dan
terpadu.
44
Sedangkan kriteria pemilihan materi atau bahan ajar (Harjanto, 2006: 222)
adalah sebagai berikut.
1) Kriteria tujuan instruksional
Materi atau bahan ajar harus sesuai dan sejalan dengan tujuan-tujuan
instruksional khusus yang telah dirumuskan.
2) Materi pelajaran supaya terjabar
Perincian materi pelajaran berdasarkan pada tuntutan dalam TIK yang telah
dirumuskan secara spesifik, dapat diamati, dan terukur. Ini berarti ada
keterkaitan yang erat antara spesifikasi tujuan dan spesifikasi materi atau
bahan ajar.
3) Relevan dengan kebutuhan siswa
Kebutuhan siswa yang pokok adalah bahwa siswa ingin berkembang
berdasarkan potensi yang dimilikinya. Karena itulah, setiap materi atau bahan
ajar yang disajikan hendaknya sesuai dengan usaha untuk mengembangkan
pribadi siswa secara bulat dan utuh. Beberapa aspek di antaranya adalah
pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan.
4) Kesesuaian dengan kondisi masyarakat
Siswa dipersiapkan untuk menjadi warga masyarakat yang berguna dan
mampu hidup mandiri. Karena itulah, bahan ajar yang dipilih hendaknya turut
membantu siswa dalam memberikan pengalaman edukatif yang bermakna
bagi perkembangan para siswa menjadi manusia yang mudah menyesuaikan
diri.
5) Materi pelajaran mengandung segi-segi etik
Bahan ajar yang akan dipilih hendaknya mempertimbangkan segi
perkembangan moral siswa selanjutnya. Pengetahuan dan keterampilan yang
akan mereka peroleh dari bahan ajar yang telah mereka terima akan diarahkan
untuk mengembangkan diri siswa masing-masing sesuai manusia yang sesuai
dengan sistem nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakatnya.
46
6) Materi pelajaran tersusun dalam ruang lingkup dan urutan yang sistematis dan
logis
Setiap bahan ajar disusun secara bulat dan menyeluruh, terbatas ruang
lingkupnya, dan terpusat pada satu topik masalah tertentu. Materi disusun
secara berurutan dengan mempertimbangkan faktor perkembangan psikologis
siswa. Dengan demikian, diharapkan isi materi tersebut akan lebih mudah
diserap oleh siswa dan dapat segera dilihat keberhasilannya.
7) Materi pelajaran bersumber dari buku sumber yang baku, pribadi guru yang
ahli, dan masyarakat
Ketiga faktor ini perlu diperhatikan dalam memilih bahan ajar. Buku sumber
yang baku umumnya disusun oleh para ahli dalam bidangnya dan disusun
berdasarkan GBPP yang berlaku meskipun belum tentu lengkap sebagaimana
yang diharapkan. Sedangkan guru yang ahli merupakan sumber utama dalam
proses belajar. Guru dapat menyimak semua hal yang dianggapnya perlu
untuk disajikan kepada para siswa berdasarkan ukuran pribadinya. Masyarakat
juga merupakan sumber yang luas, bahkan dapat dikatakan sebagai materi atau
bahan ajar yang paling besar.
Pengembangan bahan ajar bagi guru akan mendatangkan paling tidak tiga
manfaat, yang pertama adalah mereka akan memiliki bahan ajar yang dapat
membantu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, dan yang kedua adalah
bahwa bahan ajar dapat diajukan sebagai karya yang dinilai untuk menambah
angka kredit guru untuk keperluan kenaikan pangkat. Ketiga akan menambah
penghasilan bagi guru apabila hasil karangannya diterbitkan.
Kehadiran bahan ajar yang bervariasi akan membuat pembelajaran yang
dijalani siswa menjadi lebih menarik. Siswa akan lebih banyak mendapatkan
kesempatan untuk belajar secara mandiri dengan bimbingan guru. Siswa akan
mendapatkan kemudahan dalam mempelajari setiap kompetensi yang harus
dikuasainya.
Bentuk bahan ajar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu bahan
cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja siswa,
brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, model/maket. Bahan ajar dengar (audio)
47
seperti kaset, radio, piringan hitam, dan compact disk audio. Bahan ajar
pandang dengar (audio visual) seperti video compact disk, film. Bahan ajar
interaktif (interactive teaching material) seperti compact disk interaktif.
Sedangkan pengembangan bahan ajar harus memperhatikan beberapa
prinsip berikut:
1) Mulai dari yang mudah untuk memahami yang sulit, dari yang kongkret untuk
memahami yang abstrak.
2) Pengulangan akan memperkuat pemahaman
3) Umpan balik positif akan memberikan penguatan terhadap pemahaman
peserta didik
4) Motivasi belajar yang tinggi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan
belajar.
5) Mencapai tujuan ibarat naik tangga, setahap demi setahap, akhirnya akan
mencapai ketinggian tertentu.
6) Mengetahui hasil yang telah dicapai akan mendorong peserta didik untuk terus
mencapai tujuan
5. Telaah Sastra
Sastra dalam bahasa Sansekerta berasal dari kata sas yang berarti
mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau
sarana (Teeuw, 1984: 23). Dalam pengertian sekarang, sastra banyak diartikan
sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata su yang berarrti
indah atau baik. Terciptalah kata susastra yang bermakna tulisan yang indah.
Pengertian sastra yang didasarkan pada makna di atas tidak dapat
menggambarkan definisi sastra secara keseluruhan. Hal tersebut misalnya dapat
dibandingkan dengan makna sastra yang terdapat dalam bahasa-bahasa Barat.
Kerancuan makna pun masih melingkupi makna sastra tersebut. Dalam bahasa
Inggris misalnya dikenal istilah literature, Perancis litterature, Jerman literature,
dan Belanda letterkunde. Secara etimologis, kata-kata tersebut berasal dari bahasa
Latin, yaitu litterature yang merupakan terjemahan dari kata grammatika yang
mengandung makna tata bahasa dan puisi. Namun kenyataannya, dalam
pengertian yang dikenal saat ini kata literature ternyata mengacu pada makna
segala sesuatu yang tertulis. Padahal jika disimak lebih jauh, manifestasi makna
tersebut tentu tidak dapat menggambarkan sastra dalam pengertian karya fiksi
(Fananie, 2000: 4)
Beberapa ahli berpendapat bahwa suatu teks sastra dianggap berbobot atau
tidak ditentukan oleh nilai estetik sastra yang dikandungnya. Hal tersebut
misalnya seperti yang dikemukakan oleh Rene Wellek dan Austin Warren: cara
lain untuk merumuskan apa yang disebut sastra ialah dengan membatasi sastra
pada puncak-ouncak karya sastra saja tanpa memperhatikan apa pokok
52
sistematis, analisis, dan bertolak dari kerangka teori tertentu serta diungkapkan
secara tertulis (Mursal Esten, 1984: 12).
Karya sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu
juga dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan. Karena itu, karya-karya sastra yang
bersifat inkonvensional pun belum tentu tidak bernilai. Kesulitan pemahaman
terhadap sastra-sastra inkonvensional umumnya lebih banyak disebabkan adanya
perbedaan pemakaian kode bahasa atau idiom yang memang belum lazim
digunakan.
Telaah sastra diperlukan untuk menghadirkan pemahaman tersebut. Dalam
hal ini, telaah sastra akan memberikan tolok ukur atau kriteria yang dapat
dijadikan pegangan penilaian, di samping uraian-uraian mengenai nilai yang
terdapat dalam karya sastra yang sedang ditelaah. Fungsi spesifik telaah dapat
disebutkan sebagai berikut.
a) Fungsi informatif
Telaah sastra dapat menginformasikan eksistensi suatu karya sastra yang
dikaji. Karena itu, identitas karya sastra harus dicantumkan secara jelas. Hal
ini akan memberikan informasi fisik yang jelas terhadap pembaca hasil telaah
sastra.
b) Fungsi intelektual
Hasil telaah sastra dapat memberikan pengetahuan yang bersifat keilmuan,
seperti aspek pemahaman dan penghayatan terhadap karya sastra, baik karya
sastra yang bersifat universal maupun inkonvensional.
c) Fungsi edukatif
Telaah sastra tidak saja memberikan bekal keilmuan, melainkan
diharapkan juga memberikan nilai pembentukan moral, kemanusiaan, estetika,
filsafat, dan sebagainya. Dengan demikian, pembaca tidak hanya sekadar
mengeti tentang cara memahami suatu karya sastra, tetapi juga mengetahui
dan memahami nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang ditelaah
dan sejauh mana kompetensi nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
54
6. Sosiologi Sastra
Istilah sosiologi muncul pada abad ke-19 sekitar tahun 1839 dari seorang
ahli filsafat berkebangsaan Perancis bernama Auguste Comte. Miekel Bal dkk
(dalam Nyoman Kutha Ratna, 2003: 363) berpendapat bahwa sosiologi sebagai
ilmu yang relatif muda ditandai dengan terbitnya buku yang berjudul Positive-
Philosophy yang ditulis Auguste Comte (1798-1857). Kemudian sosiologi
berkembang pesat pada setengah abad sesudahnya yang disusul dengan terbitnya
buku Principles of Sociology yang ditulis oleh Herbert Spencer (1820-1903).
Secara etimologi, sosiologi berasal dari kata socios yang berarti “kawan”
dan logos yang berarti “ilmu”. Bouman (1976: 24) menyimpulkan bahwa
sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan sosial antara
sesama individu, antara individu dengan kelompok serta sifat dan perubahan
lembaga-lembaga dan ide-ide sosial. Ia mengusahakan suatu sintesis dan ilmu
jiwa sosial dan ilmu bentuk sosial sehingga dengan ilmu itu dapat mengerti
hakikat sosial dalam hubungan kebudayaan umum.
Sosiologi diketahui sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai
manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses
sosial. Gambaran ini akan menjelaskan cara-cara manusia menyesuaiakan diri
dengan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang dengannya individu-
individu dialokasikan pada dan menerima peranan-peranan tertentu dalam strutur
sosial. Di samping itu sosiologi juga menyangkut mengani perubahan-perubahan
sosial yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner dengan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut (Damono, 1978).
56
6) Kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra
masa depan.
7) Secara epistemologis (dari sudut teori keilmuan) tidak mungkin membangun
suatu sosiologi sastra yang general yang meliputi seluruh pendekatan.
8) Mengenai sosiologi sastra Marxis, garis besarnya sebagai berikut: pertama,
manusia harus hidup dahulu sebelum dapat berpikir dan yang kedua, struktur
soial masyarakat ditentukan oleh kondisi-kondisi kehidupan khususnya sistem
produksi ekonomi, yaitu antara infrastruktur dan suprastrujtur.
9) Sastra merupakan fenomena kedua yang ditentukan oleh infrastruktur, yaitu
ekonomi.
Wellek dan Warren (1993: 111) menyatakan setidaknya ada tiga
pendekatan dalam sosiologi sastra. Yaitu sosiologi sastra yang berkaitan dengan
pengarang, sosiologi sastra yang berkaitan dengan karya sastra itu sendiri, dan
sosiologi sastra yang berkaitan dengan pembaca. Yang perlu dicatat adalah adanya
keterkaitan antara sosiologi dan sastra yang keduanya berhubungan dengan
masyarakat.
Menurut Laurenson (1972) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan
sosiologi sastra.
1) Perspektif yang memandang sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya
merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan;
2) Perspektif yang mencerminkan situasi sosial penulisnya; dan
3) Model yang dipakai karya tersebut sebagai manifestasi dari kondisi sosial
budaya atau peristiwa sejarah.
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka
terhadap cerminan masyarakat. Menurut Johnson (Faruk, 2005: 45-46) novel
mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih realistik mengenai kehidupan
sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan untuk melukiskan situasi lewat
kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh pengarang atau melalui tokoh-tokohnya.
Kenyataan dunia seakan-akan terekam dalam novel, berarti ia seperti kenyataan
hidup yang sebenarnya. Dunia novel adalah pengalaman pengarang yang sudah
58
melewati perenungan kreasi dan imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus
terikat oleh dunia sebenarnya.
Sketsa kehidupan yang tergambar dalam novel akan memberi pengalaman
baru bagi pembacanya, karena apa yang ada dalam masyarakat tidak sama persis
dengan apa yang ada dalam karya sastra. Hal ini dapat diartikan pula bahwa
pengalaman yang diperoleh pembaca akan membawa dampak sosial bagi
pembacanya melalui penafsiran-penafsirannya. Pembaca akan memperoleh hal-
hal yang mungkin tidak diperolehnya dalam kehidupan. Menurut Hauser (Ratna,
2003: 63) karya seni sastra memberikan lebih banyak kemungkinan dipengaruhi
oleh masyarakat, daripada mempengaruhinya. Sastra sebagai cermin kehidupan
masyarakat erat kaitannya dengan kedudukan pengarang sebagai anggota
masyarakat. Sehingga secara langsung atau tidak langsung daya khayalnya
dipengaruhi oleh pengalaman manusiawinya dalam lingkungan hidupnya.
Pengarang hidup dan berelasi dengan orang lain di dalam komunitas
masyarakatnya, maka tidaklah heran apabila terjadi interaksi dan interelasi antara
pengarang dan masyarakat.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang objek studinya berupa aktivitas
sosial manusia. Sastra adalah karya seni yang merupakan ekspresi kehidupan
manusia. Dengan demikian, antara karya sastra dengan sosiologi sebenarnya
merupakan dua bidang yang berbeda, tetapi keduanya saling melengkapi.
Sosiologi tidak hanya menghubungkan manusia dengan lingkungan sosial
budayanya, tetapi juga dengan alam. Kajian sosiologi sastra yang menonjol adalah
yang dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah
refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah (Eagleton, 1983).
Sastra, karenanya, merupakan satu refleksi lingkungan budaya dan merupakan
satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya
atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektika yang dikembangkan dalam
karya sastra (Langland, 1984).
Fananie (2000: 133) mengutip dari Zerafta mengemukakan bahwa bentuk
dan isi karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial
dibandingkan dengan seni yang lain, kecuali film. Karena itu, karya sastra
59
a. Resepsi Sastra
Resepsi sastra secara singkat dapat disebut sebagai aliran yang meneliti
teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks itu. Teori Resepsi Sastra pada tataran dasar secara singkat
dapat disebut sebagai teori yang menjelaskan bahwa teks sastra (lisan maupun
tulis) dengan bertitik tolak pada pembaca (penikmat) yang memberi reaksi atau
tanggapan terhadap teks tersebut (Abdullah, 1994: 148).
Teori tentang resepsi sastra ini dikemukakan oleh Felix Vodicka dengan
memperjelas peranan pembaca. Karya sastra bagi Vodicka diletakkan sebagai
sebuah artefak yang mati, baru kemudian dihidupkan oleh pembaca melalui apa
yang disebut kongkretisasi. Pada proses tersebut, semuanya bergantung kepada
hubungan pembaca dengan tempat, waktu, latar sosialnya, dan karya
bersangkutan.
Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan teori resepsi sastra.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh Robert Jausz yang melontarkan gagasan
tentang tanggapan dan efek/rezeption and wirkung (Teeuw, 1984) dan Yori
Lotmann dengan konsep horison harapan pembaca (Terry Eagleton, 1983).
Perkembangan tersebut akhirnya mengarah pada aspek sosiologi (Burns and
Burns, eds., 1973). Pembaca selaku pemberi makna adalah variabel menurut
ruang, waktu dan golongan sosial budaya. Menurut perumusan tori ini, dalam
memberikan sambutan terhadap sesuatu karya sastra, pembaca diarahkan oleh
horison harapan. Horison harapan ini merupakan reaksi antara karya sastra di satu
pihak dan sitem interpretasi dalam masyarakat penikmat di lain pihak.
Resepsi sastra oleh Jausz disebut sebagai estetika resepsi adalah estetika
(ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi
pembaca terhadap karya sastra. Karya sastra tidak mempunyai arti tanpa pembaca
atau penikmat sastra yang menanggapinya. Karya sastra mempunyai nilai karena
ada pembaca yang menilai (Pradopo, 1995: 206).
Estetika Resepsi atau Resepsi Sastra memberikan perhatian utama kepada
pembaca karya sastra di antara jalinan segitiga pengarang, karya sastra dan
masyarakat pembaca (Jausz, 1974: 12). Pada penelitian ini objek analisis adalah
61
novel yang tergolong dalam kategori karya sastra tulis. Masyarakat berusaha
untuk memaknai tanda ataupun makna yang terkandung dalam sebuah cerita yang
terangkum dalam novel. Kemudian muncullah istilah horizon harapan yang
berpijak dari perbedaan pemahaman masing–masing pembaca. Horizon harapan
merupakan interaksi antara karya sastra dan pembaca atau penikmat dan
mencakup interpretasi dalam masyarakat (Jausz, 1974: 204).
Perkembangan berikutnya seperti yang dikemukakan oleh Swingewood
bahwa kendati sastra dan sosiologi mempunyai perbedaan namun sebenarnya
dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra (Laurenson dan
Swingewood, 1972). Dengan kata lain, sebagaimana konsep Rene Wellek bahwa
sosiologi sastra dianggap sebagai unsur ekstrinsik (Wellek, 1956) dan unsur
ekstrinsik tidak hanya meliputi sosiologi, melainkan juga unsur yang lain seperti
ideologi, ekonomi, agama, psikologi, dan sebagainya.
Sebelum muncul pendekatan sosiologi sastra yang merupakan salah satu
dari perkembangan pendekatan sastra yang modern terdapat pendekatan
pragmatik yang berdekatan dengan resepsi sastra. Pendekatan pragmatik ini
merupakan salah satu dari pendekatan sastra yang bersifat universal selain
pendekatan mimesis, objektif, dan ekspresif. Sama dengan resepsi sastra,
pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang didasarkan kepada pembaca.
Keberhasilan suatu karya sastra diukur dari pembacanya. Karya sastra yang
berhasil adalah karya sastra yang dianggap mampu memberikan “kesenangan”
dan “nilai”. Walaupun dimensi pragmatik melingkupi pengarang dan pembaca,
pembacalah yang lebih dominan. Karena itu, proses komunikasi dan pemahaman
karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya
yang dihadapinya (Foulkes, dikutip, Teeuw, 1984: 57). Kemampuan kebahasaan
pembaca sangat menentukan karena pembaca bertindak sebagai penentu
pemahaman karya sastra.
Pengertian pragmatik lebih mengarah pada performance daripada
competence apabila pemahaman kebahasaan didasarkan pada sistem kebahasaan
Noam Choamsky. Hal ini karena pragmatik tidak mendasarkan pada sistem
bahasa semata, melainkan juga aspek-aspek kultural, psikologi, sosial, dan budaya
62
b. Kritik Sastra
Kritik sastra memiliki korelasi yang erat dengan perkembangan
kesusastraan. Menurut Andre Hardjana, kritik sastra merupakan sumbangan yang
dapat diberikan oleh para peneliti sastra bagi perkembangan dan pembinaan
sastra. Hal senada juga diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo, bahwa untuk
bisa menentukan bagaimana sesungguhnya perkembangan kesusastraan Indonesia,
dibutuhkan suatu kritik.
Pendekatan dalam kritik sastra cukup beragam. Pendekatan-pendekatan
tersebut bertolak dari empat orientasi teori kritik. Yang pertama, orientasi kepada
semesta yang melahirkan teori mimesis. Kedua, teori kritik yang berorientasi
kepada pembaca yang disebut teori pragmatik. Penekanannya bisa pada pembaca
sebagai pemberi makna dan pembaca sebagai penerima efek karya sastra. Resepsi
sastra merupakan pendekatan yang berorientasi kepada pembaca.
Untuk yang ketiga, teori kritik yang berorientasi pada elemen pengarang
dan disebut sebagai teori ekspresif. Sedangkan keempat adalah teori yang
berorientasi kepada karya yang dikenal dengan teori obyektif. Dalam kaitan ini,
sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada
semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca.
Menurut pendekatan sosiologi sastra, karya sastra dilihat hubungannya
dengan kenyataan, sejauh mana karya sastra itu mencerminkan kenyataan.
Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang
berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
63
Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Rene Wellek dan dan Austin Warren
membagi telaah sosiologis menjadi tiga klasifikasi. Pertama, sosiologi pengarang,
yakni yang mempermasalahkan tentang status sosial, ideologi politik, dan lain-
lain yang menyangkut diri pengarang. Kedua, sosiologi karya sastra, yakni
mempermasalahkan tentang suatu karya sastra. Yang menjadi pokok telaah adalah
tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan atau amanat
yang hendak disampaikannya. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan
tentang pembaca dan pengaruh sosialnya terhadap masyarakat.
Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian
Watt dengan melihat hubungan timbal balik antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal,
yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi
sosial sastra.
Konteks sosial pengarang adalah yang menyangkut posisi sosial
masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya
faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang sebagai perseorangan
di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Sastra sebagai cermin masyarakat
menelaah sampai sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan
masyarakat. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai
sastra berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan masyarakat
bagi pembaca.
Umar Junus mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam
telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya.
Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra.
Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya
sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Selain itu juga berkaitan dengan
pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan
Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang
berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan
ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud
64
yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat
sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu
masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan
bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun karya
sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan
dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya.
Demikian pula obyek karya sastra adalah realitas kehidupan, meskipun
dalam menangkap realitas tersebut sastrawan tidak mengambilnya secara acak.
Sastrawan memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas
dan tujuan tertentu. Henry James mengatakan, bahwa sastrawan menganalisis
"data" kehidupan sosial, memahaminya dan mencoba menentukan tanda yang
esensial untuk dipindahkan ke dalam karya sastra.
Apabila realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka karya sastra
dapat mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner dengan
maksud untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan
pengarang. Kecuali itu, karya sastra dapat menjadi sarana bagi pengarangnya
untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan tanggapannya mengenai peristiwa
sejarah dan ketiga seperti juga karya sejarah, karya sastra dapat merupakan
penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi
pengarang.
Hubungan dialektik antara karya sastra dan realitas sosial budaya
memperkuat anggapan bahwa sastra merupakan salah satu institusi sosial. Sastra
tidak hanya mendapat pengaruh dari realitas sosial tetapi juga dapat
mempengaruhi realitas sosial. Memang benar, sastra mengambil sebagian besar
karakternya dari bahasa, namun bentuk dan isi novel lebih banyak berasal dari
fenomena sosial daripada dari seni lain, terkecuali film. Novel seringkali
merupakan ikatan dengan momentum tertentu dalam peristiwa sejarah
masyarakat. Michel Zerraffa mengatakan, bahwa karya sastra merupakan analisis
estetis dan sintesis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan
analisis dan sintesis sebelum memulai menulis.
65
pencipta dalam sastra barat adalah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan
bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman
sastranya (Showalter, 1985: 3).
Kritik sastra feminis didefinisikan oleh Kolodny, seorang pengkritik
feminis Amerika sebagai berikut.
it involved exposing the sexual stereotyping of women, in both our
literature and our literary critism and, as well, demonstrating the
inadequency of established critical schools and methods to deal fairly or
sensitively with work written by women (dalam Sugihastuti, 2007a: 141)
masyarkat. Terlepas dari itu semua peranan akan sastra dalam pembentukan sosio-
kultural masyarakat bukanlah hal yang sepele. Apalagi dalam masa (global)
universalitas seperti saat ini.
Penelitian yang lain adalah Sastra dan Kebudayaan; Interaksi Timbal Balik
oleh Tjahjono Widarmanto yang dilakukan pada 2007. Pada tulisannya tersebut,
Tjahjono mengungkapkan bahwa selama sastra dan kebudayaan membicarakan
persoalan manusia- kemanusiaan, masyarakat-kemasyarakatan, dan hidup-
kehidupan, maka interaksi itu akan terus ada dan akan menawarkan berbagai
pendekatan yang akan memperkaya kesusastraan dan kebudayaan.
Sedangkan penelitian yang berhubungan dengan objek penelitian ini
adalah Kontruksi Perempuan dalam Novel Perempuan Berkalung Sorban karya
Abidah El-Khalieqy oleh Dhiroh (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi sosial budaya masyarakat yang
mewarnai hampir ajaran agama khususnya yang berkaitan dengan perempuan,
pemahaman dan interpretasi penafsiaran agama yang dianggap sebagai kebenaran
yang pasti oleh para pemeluknya dan yang terakhir adalah tidak adanya sikap
kritis dari para pemeluknya atas tafsir-tafsir agama yang bias gender.
C. Kerangka Berpikir
Perkembangan karya sastra Indonesia bergerak menuju ke arah yang lebih
signifikan. Pada beberapa tahun terakhir penulis wanita bahkan banyak
bermunculan mengimbangi karya-karya penulis pria. Timbul beberapa pendapat
mengenai hal tersebut. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra
ciptaan penulis wanita ini mampu memberikan warna tersendiri dalam sastra
Indonesia.
Penelitian ini akan membahas tentang Novel Perempuan Berkalung
Sorban yang ikut mewarnai perkembangan sastra di tanah air. Pembahasan akan
difokuskan pada analisis nilai-nilai kultural yang terdapat dalam novel tersebut.
Teori yang akan lebih digunakan adalah teori resepsi sastra yang bersandar pada
sosiologi sastra. Yaitu sebuah pendekatan yang memandang karya sastra dari segi
72
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
73
74
E. Teknik Cuplikan
Bentuk teknik cuplikan dalam penelitian ini adalah purposive sampling.
Teknik ini dipilih karena dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan
kedalaman data dalam menghadapi realitas yang tidak tunggal. Pemilihan sampel
diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang paling erat
berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Teknik cuplikan dalam
penelitian ini berfungsi sebagai internal sampling karena tidak digunakan sebagai
generalisasi populasi tetapi untuk memperoleh kedalaman studi di dalam suatu
konteks tertentu. Teknik cuplikan tidak mewakili sebagai populasi namun
mewakili informasi yang dibutuhkan.
Sampling diterapkan pada santri putra maupun putri dan pengurus pondok
pesantren. Semua informasi di tempat penelitian diharapkan mampu memberikan
informasi yang lengkap dan objektif. Dalam penelitian ini informasi yang dipilih
dapat berkembang menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemantapan dalam
memperoleh data.
F. Validitas Data
Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang
kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang di
masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan yang ada. Untuk menentukan
keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut Moleong (2001:
178) triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi
sebagai pembanding atau mengecek terhadap data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dari data itu.
Moleong menambahkan (2001: 178) ada empat macam triangulasi sebagai
teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan sumber; (2) metode; (3)
penyidik; dan (4) teori. Dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan
adalah teknik triangulasi sumber dan teori dan review informan.
Teknik triangulasi sumber data yaitu triangulasi yang mengarahkan
peneliti agar di dalam mengumpulkan data wajib menggunakan beraneka ragam
sumber data yang tersedia. Artinya, data yang sejenis atau sama akan lebih valid
78
jika diperoleh dari beberapa sumber data yang berbeda. Sedangkan triangulasi
teori memungkinkan adanya banyak teori yang dapat digunakan untuk
mendukung keabsahan sebuah penelitian.
Review informan dilakukan dengan cara mengkonfirmasikan data atau
interpretasi temuan kepada informan atau narasumber sehingga diperoleh
kesamaan persepsi antara peneliti dan informan tentang data atau interpretasi
temuan tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara berdiskusi lebih jauh lagi atau
dilakukan wawancara yang lebih mendalam lagi agar penafsiran secara sepihak
oleh peneliti dapat dihindari.
G. Analisis Data
Data utama yang dalam penelitian adalah teks novel Perempuan Berkalung
Surban beserta kajian atas teks-teks tersebut. Sedangkan data yang diperoleh dari
hasil rekaman dan catatan adalah berupa suara tuturan langsung objek penelitian dan
cacatan tentang percakapan objek penelitian. Teknik analisis data dalam penelitian
ini menggunakan interactive model of analysis atau model analisi interaktif oleh
yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992: 15-21). Analisis ini
melibatkan hal-hal berikut:
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan kajian pustaka dan teks
novel Perempuan Berkalung Surban. Selain itu juga menggunakan data yang
didapatkan dari wawancara dengan narasumber.
2. Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Proses ini berlangsung dengan cara
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu,
dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
79
3. Penyajian Data
Penyajian data merupakan suatu rakitan oraganisasi informasi, desripsi dalam
bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan.
4. Penarikan Simpulan
Kegiatan analisis data yang keempat adalah menarik simpulan dan verifikasi.
Makna-makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya,
kekokohannya, dan kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.
Kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung.
Secara lebih jelas model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan
berikut.
Pengumpulan data
Penyajian
data
Reduksi data
Penarikan simpulan/
verifikasi
data melalui dunia cyber. Selain itu, analisis terhadap unsur intrinsik dan
ekstrinsik novel juga mulai dilakukan pada tahap pertama ini.
Proses selanjutnya adalah adanya pemaparan data serta pengurangan data
jika diperlukan. Kedua tahap ini cenderung dapat dilakukan secara bersamaan
karena ketika mereduksi data peneliti sekaligus meneliti data yang akan
digunakan untuk selanjutnya atau tidak. Tahap penyajian dan reduksi data dapat
dilakukan secara berulang-ulang sehingga pada akhirnya akan diperoleh data yang
benar-benar diperlukan.
Kesimpulan atau penilaian sementara juga dapat dilakukan selama ketiga
proses di atas berlangsung sehingga akhirnya diperoleh kesimpulan atau penilaian
akhir. siklus ini berjalan berputar dan memungkinkan terjadinya proses yang
berkali-kali dilakukan untuk satu kegitan, baik itu pengumpulan data,
pengumpulan data, reduksi data maupun verifikasi data.
81
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI DATA
Perempuan selalu diidentikkan dengan segala sesuatu yang lemah dan
membutuhkan perlindungan. Tidak ada masa bagi mereka untuk memiliki
kekuasaan bahkan atas diri perempuan itu sendiri. Inilah yang mungkin menjadi
dasar bagi budaya patriarki yang memasung perempuan dalam budaya dan
hukum-hukum serta norma yang menempatkan mereka selalu dibelakang lelaki
dan hanya menjadi rencang wingking saja.
Ini jugalah yang kemudian menjadi keresahan bagi beberapa penulis
wanita di Indonesia. Abidah El Khalieqy dengan novel Perempuan Berkalung
Sorban-nya membidik tema ini dan mulai menulis untuk menemukan satu jalan
sebagai usahanya melawan budaya patriarki yang telah berakar kuat terutama bagi
para perempuan di Indonesia. Pada novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah
menggunakan latar pondok pesantren sebagai setting tempatnya yang
disempurnakan dengan suasana dan kondisi pesantren serta kebiasaan yang biasa
dilakukan di pondok pesantren.
Novel Perempuan Berkalung Sorban ini dianalisis dengan menggunakan
kajian resepsi sastra. Kajian ini menempatkan peran pembaca pada sisi yang
dominan. Peran dan pengetahuan pembaca digunakan peneliti untuk mengetahui
sambutan pembaca terhadap novel yang bersangkutan. Sebelumnya, peneliti
mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik sastra dalam novel Perempuan Berkalung
Sorban terlebih dahulu dan latar belakang penciptaan novel yang kemudian
dilanjutkan dengan tanggapan pembaca terhadap novel.
Unsur-unsur intrinsik novel yang dibahas dalam penelitian ini meliputi
tema, perwatakan, latar (setting), alur (plot), sudut pandang, amanat, dan gaya
bahasa. Pendeskripsian ini memudahkan peneliti untuk memahami novel yang
bersangkutan lebih dalam. Penelitian ini juga dilengkapi dengan profil Abidah El
Khalieqy sebagai penulis novel sekaligus proses kreatif novel Perempuan
81
82
1. Tema
Tema merupakan ide atau gagasan yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca atau pendengar. Secara sederhana, tema adalah sesuatu yang
menjadi dasar cerita, sesuatu yang menjiwai cerita, atau sesuatu yang menjadi
pokok masalah dalam cerita. Tema merupakan jiwa dari seluruh bagian cerita.
83
Karena itu, tema menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Tema dalam banyak
hal bersifat mengikat kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa, konflik serta situasi
tertentu, termasuk pula berbagai unsur intrinsik yang lain.
Perempuan Berkalung Sorban membidik tema lama yang sebenarnya
sudah sering ditulis dan dibicarakan oleh penulis-penulis sebelumnya. Baik
penulis laki-laki maupun penulis perempuan. Perbincangan masalah gender
menjadi satu masalah yang selalu menarik untuk diperbincangkan atau sekadar
dijadikan bahan diskusi dan Abidah menjadikan tema ini sebagai subject matter
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban yang pertama cetak pada tahun 2001
lalu.
Novel Perempuan Berkalung Sorban menceritakan tentang tokoh Annisa
yang hidup dalam lingkungan pesantren salaf dengan semua kebiasaan dan adat
yang hidup di sana. Nuansa di pesantren masih mengukuhkan kekuatan laki-laki
di atas perempuan dalam segala hal hingga perempuan seperti kehilangan
kekuatan, bahkan untuk mengatur dan memiliki dirinya sendiri. Budaya patriarkal
masih sangat kental dan terasa yang membuat perempuan-perempuan terlihat
begitu lemah. Hal tersebut terjadi juga pada Annisa, anak pimpinan pesantren. Di
sinilah Annisa kemudian hadir sebagai tokoh revolusioner yang ingin mengubah
tradisi yang ada sekaligus memberikan pengetahuan kepada perempuan-
perempuan yang ada dalam pesantren bahwa menjadi perempuan juga harus
cerdas dan tidak hanya sibuk dengan urusan dapur semata.
Abidah El Khalieqy menggambarkan kondisi tersebut secara apik dengan
sedikit sentuhan gaya bahasa sinisme.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda.
Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung
Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
84
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)
tokoh. Annisa sebagai perwakilan dari pemikiran dan gagasan pengarang ikut
berperan dalam percakapan tersebut.
b. Khudhori
Khudhori adalah tokoh utama laki-laki dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban. Ia adalah gambaran dari laki-laki muslim yang
menempatkan perempuan pada posisi yang seharusnya. Khudhori
menghormati dan menghargai perempuan pada nilai-nilai kodrati mereka.
Pendidikan Khudhori yang memiliki latar belakang pesantren tidak memiliki
pandangan yang sama dengan kiai dan teman-temannya yang memiliki latar
belakang pondok pesantren juga. Kecerdasan Khudhori berperan dalam
pemikirannya karena ia tidak menerima secara utuh ajaran yang dia dapat
tetapi membuat relevansinya dengan kehidupan sekarang.
Memang, berbeda dengan para pemuda di desa, selain cerdas dan
berwawasan luas, lek Khudhori memiliki kebiasaan yang agak aneh.
Bagaimana tidak, sambil memancing pun, lek Khudhori suka berteriak
mengucapkan kata-kata yang belum pernah kudengar sebelumnya.
….
Dan ketika aku bertanya tentang apa yang sedang diteriakkannya
dengan semangat, ia menerangkan berbagai hal yang berkaitan dengan
sastra. Sehingga aku tahu bahwa lek Khudhori suka pada puisi, bahkan
juga mengenal nama-nama penyair dunia yang terkenal.
“Lalu, puisi siapakah yang kau baca keras-keras itu, Lek? Apa kau
menyukainya?”
“Mau tahu? Itu puisinya Rumi. Jalaluddin Rumi, Nisa. Aku menyukai
puisi-puisi Rumi karena kata-katanya sangat indah dan sepertinya
mewakili perasaanku.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 26-27)
c. Samsudin
Samsudin adalah tokoh dalam novel Perempuan Berkalung Sorban
yang merupakan gambaran dari laki-laki yang tidak menghargai posisi wanita.
Samsudin menganggap bahwa wanita hanya makhluk yang diciptakan untuk
memuaskan laki-laki dalam hasrat seksual dan mengurusi keperluan dapur
belaka. Perangai buruk Samsudin terlihat pada semua dialog yang dilakukan
dengan tokoh yang lain.
Samsudin memiliki watak yang tinggi hati dan cenderung meremehkan
Annisa sebagai istrinya. Sikap sombong juga dimilikinya dan terasa sangat
kental pada setiap ungkapan yang disampaikannya.
96
“Kepalaku sudah penuh dengan ilmu. Jadi jangan tambah lagi dengan
sesuatu yang tidak berguna dari mulutmu, nanti bisa pecah.”
“Kupikir yang memenuhi kepalamulah yang tak berguna, bukan
sesuatu yang keluar dari mulutku.”
“Kau ini lulusan SD berani bertingkah. Tak bisa kubayangkan jika
lulus sarjana, Tuhanpun pasti kau debat juga.”
“Jika mungkin, mengapa tidak? Besok aku mulai kembali sekolah dan
suatu saat akupun sarjana, di manabukan hanya kepala dan otakku akan
dipenuhi ilmu, tapi juga hatiku yang dapat menentukan, mana sampah dan
mana mutiara.”
Ia tertawa dengan pura-pura dan berlalu dengan muka kecewa.
“Samsudin!” teriakku
“Panggil aku „mas‟!”
“Tetapi Aisyah hanya memanggil –yaa Muhammad- kepada Nabi.”
“Lalu?”
“Beliau mendiamkannya. Berarti ini sunnah. Dan aku menyukai
sunnah nabi.”
Ia geleng-geleng kepala dan dengan tergesa seakan hendak
menimpukkan batu di atas kepala untuk kedua kalinya, ia berlalu dengan
wajah lebih keruh dari air bekas cucian. Akupun tergelak karena telah
mampu menghalaunya dengan kebenaran yang menyesakkan dadanya. Ia
laki-laki yang selalu tak tahan dengan kejujuran dan suara kebenaran.
Suara-suara itu seperti bunyi halilintar di tengah malam, ketika seseorang
tengah bersembunyi di antara gulitanya. Benar-benar menakutkan. Tetapi
ketinggian hatinya menjadikan ia seakan-akan melecehkan semua
halilintar itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 100-101)
ini, rasanya tak ada lagi yang bisa menggertakku dengan tuduhan frigid,
mandul ataupun pengkhianat. Sebab semuanya telah terukti nonsense.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 289-290)
Nisa. Nggak pantas, anak perempuan kok naik kuda, pencilakan, apalagi
keluyuran mengelilingi ladang, sampai ke blumbang segala. Memalukan!
Kau ini sudah besar masih bodoh juga, hehh!!” Tasbih bapak bergerak
lamban, mengena kepalaku.
“Sudah, sudah. Sekarang mandi sana. Kau Rizal. Kau juga Nisa.”
Suara ibu menyela sambil mendekati kami berdua, memberi keputusan
yang adil. Beberapa santri putrid yang berada di ddekat pintu, kembali
masuk ke ruang dapur. Bapak dan Ibu meninggalkan kami dalam kamar
mandi. Dua santri mendekati kami dan membereskan kaleng-kaleng yang
berserakan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7)
Namun, sebagai seorang bapak, Kyai Hanan memiliki kasih sayang
layaknya orang tua kepada anaknya. Hal ini terlihat ketika Kyai Hanan
mengetahui perlakuan yang diterima Annisa dari Samsudin. Kyai Hanan
mengakui bahwa kesengsaraan yang dialami Annisa sedikit banyak karena
sikap Kyai Hanan yang menjodohkan Annisa tanpa mempertanyakan kepada
Annisa terlebih dahulu berkenan atau tidak.
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku
dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya.
Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja,
kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang
kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek
Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong
menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan
setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara
kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak.
“Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Ettapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami
selanjutnya.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
100
e. Hajjah Mutmainah
Tokoh ini adalah gambaran dari wanita Jawa yang hidup menurut apa
yang telah digariskan. Seperti wanita awam pada umumnya, ia hidup dengan
aturan-aturan yang sudah pasti. Hajjah Mutmainah yang berperan sebagai Ibu
Annisa berpendapat bahwa wanita harusnya hidup nerimo sesuai dengan
kodratnya. Pekerjaan rumah tangga adalah hal yang wajib dikerjakan oleh
seorang wanita sebagai seorang istri dan ibu kelak. Sikap pasrah yang terlalu
berlebihan inilah yang sering didebat oleh Annisa. Hal tersebut terlihat pada
kutipan berikut.
“Tapi aku ingin belajar naik kuda dan pergi ke kantor.”
“Apa hebatnya naik kuda dan apa enaknya pergi ke kantor, Nisa?”
“Jika aku naik kuda, semua orang mendongak ke arahku jika bicara
denganku. Aku juga bisa memimpin pasukan perang seperti Aisyah atau
Putri Budur, sehingga laki-laki perkasa menjadi tunduk di belakangku,”
aku tertawa geli, “dan jika aku pergi ke kantor, bajuku wangi dan rapi
tidak seperti Lek Sumi yang seharian di dapur, badannya bau dan bajunya
kedodoran. Jika aku ke kantor, semua orang melihatku dengan hormat,
tidak menutup hidung jika aku lewat seperti mereka menutup hidung dekat
lek Sumi, karena bau bawang dan terasi. Dan di akhir bulan aku menerima
gaji.”
“Ssst! Nggak baik berkata seperti itu. Semua pekerjaan itu ada
resikonya. Ke kantor pun ada resikonya. Misalnya dimarahi bos, kalau
musim hujansuka kahujanan… .
“Tetapi jika aku ke kantor, siang hari sudah pulang dan setibanya di
rumah tinggal santai sambil nonton televise. Kalau hari minggu bisa
rekreasi, memancing ikan di sungai Kajoran atau Kaliangkrik, bisa naik
kuda seperti Rizal dan Wildan. Iya kan, Bu?”
“Sudah…sudah, Nisa. Kau ini ngomongnya suka ngelantur. Lebih baik
ganti pakaian, lalu makan. Dan jangan lupa, belajar baca al-quran,
kemudian shalat berjamaah di masjid, sekalian ikut pengajian siang.”
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 15-16)
101
Aku gugup dan tidak tahu dari mana memulainya. Ibu menuntunku
dengan membuka sedikit permasalahan yang telah kuceritakan kepadanya.
Lek Khudhori menambahkan beberapa masalah yang penting-penting saja,
kemudian baru aku menyambungnya dengan pesristiwa-peristiwa yang
kiranya belum pernah kuceritakan pada keduanya, baik ibu dan lek
Khudhori. Bapak memandang Rizal dan Wildan yang terlongong
menatapku tak percaya. Aku tak tahu apa yang tengah mereka pikirkan
setelah ikut mendengar problem rumah tangga yang sedang kuhadapi.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
“Apapun reaksinya, Pak, kita harus menyelesaikan masalah ini secara
kekluargaan. Demi Nisa. Bapak harus membicarakan masalah ini dengan
Kiai Nasir,” ibu mendesak.
“Tentu saja, Bu. Masalahnya bukan aku mau atau tidak mau. Tetapi
aku sedang berpikir, kira-kira apa dampaknya untuk persahabatan kami
selanjutnya.”
“Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika
benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain,
tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak.
Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi
korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat
begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya
merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
g. Mbak Kalsum
Tokoh ini adalah perwakilan dari perempuan yang menjadi korban
perilaku laki-laki. Kalsum adalah wanita yang terjebak oleh perangkap
Samsudin hingga dia hamil di luar nikah. Kalsum menjadi orang ketiga dalam
105
rumah tangga Annisa dan Samsudin meskipun Annisa tidak begitu peduli
dengan keberadaannya. Keberadaan Kalsum dianggap sebagai pengalih
perhatian dan kebiadaban Samsudin dari dirinya. Hal tersebut digambarkan
Abidah El Khalieqy melalui narasi berikut.
Pada suatu saat, seorang dari janda itu datang ke rumah dan mengadu
padaku atas perilaku Samsudin yang telah menghamilinya. Katanya, ia
minta lelaki yang menjadi suamiku itu untuk bertanggungjawab
menikahinya. Tapi aku sudah tak peduli, juga tidak memiliki kefasihan
untuk menjawab urusan semacam itu. Maka, kuserahkan semuanya pada
mertua, agar mereka tahu bahwa anaknya benar-benar menderita sakit
yang sulit disembuhkan dan orang yang sehat tak dapat menerimanya.
Karena tak ada pilihan lain, sekaligus untuk menutupi kehormatan mereka,
jadilah Samsudin melaksanakan niatnya untuk berpoligami.
Entah apa maksudnya, perempuan itu disatukan denganku dalam satu
rumah. Mula-mula ia begitu baik denganku, ramah dan suka tersenyum. Ia
menempati kamar kedua bersebelahan dengan ruang makan. Karena
antaraku dan Samsudin sedang terjadi perang batin yang berkepanjangan
dan perempuan itu tahu banyak tentang hubungan kami berdua. Itulah
sebabnya, ia mulai membanggakan diri sebagai perempuan yang mampu
memuaskan dahaga Samsudin. Ia pun mulai mengatur menu makanan dan
mengubah letak perabotan. Meja kursi dipindah ke sini, dan lukisan kuno
itu dipajang di dinding sana. Pada akhirnya, ia mengambil alih seluruh
urusan keluarga. Mengatur keuangan, mengatur belanja, mengatur belanja
dan segala keperluan, juga keperluanku.
Aku tak peduli dengan semua itu karena kesibukanku adalah sekolah
dan hobiku membaca. Perempuan yang bernama Kalsum itu mengerti
kondisiku dan ia menyerobot apa yang dapat diserobot. Akupun tak mersa
ada pesaing di sisiku, apalagi memiliki rasa cemburu. Bagiku, ia layaknya
seorang ibu atau pembantu yang mengurusi urusan rumahtanggaku, karena
usianya jauh di atas Samsudin, hampir seusia dengan ibuku.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 116-117)
yang lain. Kalsum lulusan Sekolah Menengah Atas belasan tahun lalu.
Tetapi karena lingkungan sosial dan budayanya berbeda denganku,
Kalsum memiliki pemikiran yang serba bebas tanpa batasan hukum
agama. Ia juga sama sekali tak eprnah berpikir tentang syariah dan fiqih
sebagaimana caraku berpikir. Sebab itu, Kalsum tak pernah peduli
mengenai kesucian dan cinta sejati. Ia juga tak peduli, seaneh apapun
perilaku Samsudin, baginya, sepenuhnya itu urusan Samsudin sendiri.
Kalsum menjalani kehidupan sebagaimana air mengalir, pada akhirnya
ketemu muara juga, jadi untuk apa terlalu dipikirkan.
Satu hal yang menjadi pikiran serius bagi Kalsum adalah masalah
uang. Ia anak perempuan dari seorang makelar tanah yang selalu bau
rupiah. Tembak sana, tembak sini tanpa rasa jengah. Tampaknya, itu juga
yang membuat hidungnya mendengus seperti kucing yang mencari daging
walau tersembunyi di bawah kasur. Ia akan bertengkar mati-matian hanya
seratus rupiah kembalian yang belum dibayarkan. Selain statusnya sebagai
janda, Kalsum tertarik rayuan Samsudin adalah karena mendengar warisan
Samsudin berjumlah lima hektar sawah dan satu hektar kebun klengkeng.
Air liurnya menetes setiap kali ia menyebut sawah dan kebun klengkeng
itu.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 122-123)
Akupun yakin ia bicara jujur dan tidak berpura-pura. Karena terharu atas
kejujurannya, kupeluk Kalsum dan ia mendekapku seperti seorang ibu
mendekap anaknya yang hilang sekian waktu. Kami berdua sesenggukan
meluapkan keharuan, seakan gunung es yang begitu tinggi telah mencair
dan kami berada dalam kehangatan kasih yang lahir dari sebuah pengertian
baru tentang makna dan warna kehidupan.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 124-125)
h. Mbak Maryam
Tokoh perempuan ini adalah gambaran dari perempuan modern yang
berpandangan luas dan memiliki kritik-kritik yang cerdas. Mbak Maryam
adalah ketua organisasi (LSM) tempat Annisa bergabung dalam wadah yang
bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan. Karakter Maryam
diceritakan penulis melalui kutipan berikut.
Maryam memiliki karakter yang kuat sebagai pemimpin. Ia mampu
memobilisasi massa dan mengelola keuangan sekaligus dengan begitu
rapinya. Bicaranya pelan penuh tekanan. Selain itu, Mbak Maryam
memiliki kepekaan yang luar biasa dalam hal ketidakadilan. Mungkin hasil
pergaulannya dengan suaminya yang pengacara. Dalam beberapa hal,
terutama kritikannya yang tajam terhadap kasus-kasus para suami yang
menelantarkan istri, melecehkan istri, perlakuan kasar sampai membunuh
dan penyelewengan umum yang dilakukan para suami secara sembunyi
dan terang-terangan di muka anak-istri, mbak Maryam adalah pusat
kekagumanku karena kedalaman kritikannya jauh dari kesan kanak-kanak
yang mau menang sendiri. Ia juga sering melontarkan kritik tajamnya
terhadap organisasi perempuan yang tidak mandiri, selalu dibayangi dan
berada di bawah organisasi induknya yang nota bene adalah kepunyaan
laki-laki. Dan satu lagi, ia sangat piawai dalam qira‟ah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 229-230)
3. Latar (Setting)
Latar (setting) adalah segala keterangan mengenai tempat, waktu, dan
suasana (keadaan tokoh dan keadaan sosial) terjadinya peristiwa yang terdapat
dalam karya sastra. Analisis latar atau setting novel Perempuan Berkalung Sorban
adalah sebagai berikut.
a. Latar Tempat
Novel Perempuan Berkalung Sorban sebagian besar mengambil latar
tempat pondok pesantren. Latar ini menjadi tempat awal terjadinya konflik
108
dan perdebatan batin tokoh utama, Annisa. Pendeskripsian latar tempat ini
terlihat pada kutipan berikut.
Pondok kami memang bukan pondok yang besar sebagaimana pondok
pesantren Bahrul Umum Tambakberas atau Tebuireng. Hanya saja, ada
beberapa kompleks yang telah dibangun oleh bapak, yang kemudian
dihuni oleh lima puluh santri putri, dengan ustadz yang paling tua dan
dipercaya oleh bapak, yaitu ustadz Ali. Beliaulah yang memegang
pelajaran dan kitab-kitab utama yang wajib diikuti seluruh santri. Namun,
aku sendiri tak pernah tertarik untuk mengikutinya, kecuali hanya untuk
menuruti keinginan bapak. Itulah sebabnya, aku sering bermain dan belajar
bersama-sama teman sekampung, yang tidak terdaftar sebagai santri
dipondok kami. Kalaupun bermain atau belajar di pondok, paling-paling
hanya bertandang di kamar Mbak May.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 52)
Latar tempat yang lain dalam novel ini adalah rumah Annisa dan
Samsudin. Rumah ini adalah tempat terjadinya konflik yang mempengaruhi
kehidupan Annisa selanjutnya. Tempat ini menjadi latar penganiayaan Annisa
oleh suaminya dan tempat pergulatan Annisa untuk memperjuangkan haknya
sebagai seorang perempuan.
Besoknya aku harus mengikuti rombongan mereka menuju suatu
tempat, entah di mana. Sepanjang perjalanan, tentu saja laki-laki bernama
Samsudin it uterus menerus di sampingku, menghamburiku dengan segala
rayu dan pujian. Aku merasa gembira dan merasa senang, tetapi bukan
karena laki-laki di sebelahku atau rayuan gombalnya. Aku gembira karena
baru pertama kali naik mobil yang dipenuhi bunga warna-warni dan bau
harum mengitariku. Perjalanan seperti ini mampu melambungkanku untuk
berkhayal jauh ke suatu negeri seberang untuk menemuinya,
membayangkan berduaan bersamanya. Alangkah indahnya jika saja laki-
laki yang disebelahku adalah lek Khudhori dan bukan yang lain.
Ketika aku sampai di rumah ini, mereka semua mengagumiku,
menghormatiku layaknya seorang ratu. Seorang perempuan setengah tua
memijatku dengan halus, dan yang lain membukakan berbagai macam
hadiah dan kado. Sementara yang lain lagi menyajikan makanan lezat dan
enak-enak. Tentu, mereka berharap aku gembira dengan semua itu. Tetapi
dua pasang mata tak lepas mengawasiku dan mata itu seperti dua pasang
mata singa yang tak memberi kesempatan sedetik pun untuk melepas bakal
mangsanya. Itulah mata nafsu Samsudin.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 105-106)
109
b. Latar Waktu
Latar waktu dalam novel Perempuan Berkalung Sorban terentang
antara waktu pagi sampai malam hari. Namun, sebagian besar terjadi pada
waktu malam hari ketika terjadinya diskusi, konflik atau hubungan suami istri.
Salah satu penggambaran atas latar waktu diceritakan oleh penulis seperti
paragraf berikut.
110
4. Alur (Plot)
Alur (plot) adalah rangkaian waktu yang digunakan oleh penulis untuk
menggambarkan rangkaian cerita. Abidah El Khalieqy menggunakan alur mundur
dalam menggambarkan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam novel Perempuan
Berkalung Sorban. Cerita berjalan dari Annisa dewasa yang menerawang dan
mengingat kembali kehidupannya yang telah lalu. Kemudian, selanjutnya Abidah
menggunakan alur maju yang dimulai dari kisah Annisa kecil menuju pergolakan
hidupnya untuk memperjuangkan hakekat ke-perempuanan-nya sampai akhir
cerita ketika Annisa berhasil mendapatkan haknya sebagai perempuan dan untuk
selanjutnya membantu perempuan-perempuan lain agar sadar terhadap posisinya.
Akhir cerita kemudian ditutup dengan keinginan Annisa dewasa untuk tetap
memperjuangkan hak-hak perempuan yang harus mereka dapatkan.
Beberapa bagian dalam rangkaian alur adalah pendahuluan (eksposisi),
permasalahan (komplikasi), puncak permasalahan (klimaks), penyelesaian
(resolusi), dan simpulan (konklusi) (Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA
Kelas XI, 2009: 106).
a. Pendahuluan (eksposisi)
Bagian ini berfungsi memberikan penjelasan mengenai segala hal yang
diperlukan untuk dapat memahami peristiwa-peristiwa dalam cerita.
Keterangan-keterangan itu dapat mengenai tokoh cerita, masalah yang timbul,
tempat dan waktu cerita, dan sebagainya.
b. Permasalahan (komplikasi)
Bagian permasalahan merupakan lanjutan dari bagian pendahuluan. Dalam
bagian ini mulai muncul permasalahan. Biasanya, salah seorang tokoh mulai
beraksi atau mengalami suatu peristiwa.
c. Puncak Permasalahan (klimaks)
Klimaks merupakan bagian ketika pihak-pihak yang bermasalah atau
berlawanan saling bertemu.
d. Penyelesaian (resolusi)
Dalam bagian ini, semua masalah yang timbul dipecahkan. Pemecahan
masalah yang terjadi antartokoh dapat dilakukan secara baik-baik dengan
113
melibatkan tokoh lain (tritagonis). Akan tetapi, klimaks dapat juga dengan
perlawanan sebagai kelanjutan dari klimaks.
e. Simpulan (konklusi)
Bagian terakhir adalah simpulan. Pada bagian ini, keadaan atau nasib tokoh-
tokoh cerita diputuskan. Penonton dapat mengetahui hal-hal yang terjadi pada
setiap tokoh.
Analisis alur dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah sebagai
berikut:
a. Pendahuluan (eksposisi)
Bagian ini dimulai penulis dengan menceritakan pertentangan batin yang
sudah dialami tokoh utama, Annisa sejak ia masih kecil. Beberapa lembar di
awal dalam novel ini memberikan gambaran pengantar konflik dan gambaran
posisi setiap tokoh.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang.
Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani
yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan
tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang
dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan.
Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng
pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain
masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak
menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… .
….
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat
bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
….
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya,
dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang
bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)
b. Permasalahan (komplikasi)
Penulis mulai memasukkan hal-hal yang dialami oleh masing-masing
tokoh yang akan membuat permasalahan mencapai klimaks. Paragraf yang
menunjukkan tahap ini, misalnya adalah sebagai berikut.
Begitulah. Ujung-ujungnya aku juga yang disalahkan. Padahal Rizal
yang terlalu bernafsu dengan jaringnya. Sembari mengguyur badan di
kamar mandi, kucoba mendinginkan amarahku dengan siraman air
pegunungan. Tetapi keinginanku untuk belajar naik kuda telah melampaui
nada tertinggi dari kemarahan bapak. Keinginan it uterus menggedor pintu
yang disekat oleh batasan-batasan di ruangan hatiku.
….
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedi Rizal kecemplung
blumbang dalam pengembaraan kami, duabelas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal,Wildan dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
Seperti piring-piring yang berkilatan karena minyak, aku sering
mencuri pandang ke arah meja makan yang masih terlihat dari tempat
cucian. Mengamati wajah-wajah mereka yang begitu bahagia. Merdeka.
Apalagi ketika tangan Rizal mengepal-ngepal sambil bercerita, entah apa
yang diceritakannya. Berbeda dengan Wildan yang pendiam dan banyak
merenung, ia hanya mengangguk dan banyak menggerakkan tangannya
yang menunjukkan tak setuju. Bapak akan terbahak-bahak manakala Rizal
mampu menbawakan cerita petualangan yang seru dna lucu. Tetapi begitu
aku datang di antara mereka, semuanya jadi terdiam.
“Kenapa sih? Kalian piker aku ini hantu? Kok semuanya tiba-tiba
diam? Pasti sedang ngerasani aku, ya.”
115
“Lho, lho, lho… kok malah su‟udzon,” kata bapak sambil mengusap
rambutku. Aku jengkel dan merasa disepelekan, segera menepiskannya.
“Jangan begitu, Nisa. Kita kan sedang bicara urusan laki-laki,” tambah
Wildan.
“Memangnya urusan laki-laki itu apa? Apa perempuan tak boleh
mengetahuinya?”
“Boleh sih boleh. Tetapi…ah, sudahlah. Kita mau berangkat nih! Nanti
bisa terlambat.”
Seperti pagi yang lain, aku tak pernah mendapatkan kesempatan untuk
berbicara lebih banyak kecuali bersiap diri dan berangkat bersama Rizal
menuju ke sekolah yang tidak begitu jauh dari rumah kami.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 7-10)
d. Penyelesaian (resolusi)
Resolusi untuk konflik pertama yang kemudian memuncak adalah
terjadinya perceraian antara Annisa dan Samsudin yang membuat Annisa
memiliki peluang untuk menjadi perempuan yang merdeka. Penyelesaian ini
dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
“Bapak tak menyangka. Ini benar-benar pelik. Kiai Nasiruddin, Bapak
mertuamu itu adalah sahabat terbaik dan paling dekat dengan Bapak
semasa kami sama-sama moncok di Tebuireng. Saat Bapak kehabisan
uang dan kiriman belum datang, beliaulah yang sering meminjami uang.
Beliau itu orangnya baik, dermawan, tidak suka menyakiti hati orang,
apalagi istrinya sendiri. Bagaimana bisa anaknya menjadi seperti itu. Jika
semua ini terungkap di hadapannya, aku tak tahu bagaimana reaksinya.”
... .
“Jika kita berbicara dan musyawarah secaraa kekeluargaan dan jika
benar kiai Nasir itu orang yang baik dan tak suka menyakiti orang lain,
tentu persahabatan kita tak terganggu dengan adanya masalah ini, Pak.
Bapak jangan lupa, jika ini dibiarkan berlarut-larut, Nisa yang akan jadi
korban. Ini saja Ibu rasa sudah terlambat, Pak. Jadi jangan ditunda-tunda
lagi. Kasihan Nisa,” desak ibu sambil mengelus kepalaku.
Aku merasa, belum pernah nada suara ibu sesimpati itu. Ia terlihat
begitu cemas dan tak sabar untuk melihat kehangatan kasih sayangnya
merasuk ke dalam jiwaku yang tengah gelisah.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 183-184)
persoalan. Lagi pula saat ini masalahku jauh lebih gawat dari persoalan
Kiai Badawi.
“Baiklah kalau begitu,” bapak memutuskan, “nanti bapak akan
menghubungi kiai Mahfud.”
Mencairlah sedikit ketegangan dalam hidupku. Malam itu, sekalipun
udara pegunungan begitu dingin, melihat simpati yang ditunjukkan oleh
semua yang ada di rumah, aku mendapat kehangatan lain yang membuatku
terharu dan ingin menangis. Rizal berhenti memperolokku dan Wildan
memberikan dukungan yang cukup berarti untuk selesainya masalahku. Ini
benar-benar membesarkan hatiku untuk tetap bangkit, terlepas dari
perhatian lek Khudhori, dan mahabbah di antara kami yang demikian
puitis.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 187-188)
e. Simpulan (konklusi)
Bagian ini menjadi penutup cerita dari novel Perempuan Berkalung
Sorban yang menceritakan tentang tokoh utama setelah konflik-konflik yang
dilaluinya memuncak dan mengalami penyelesaiannya.
119
5. Sudut Pandang
Sudut pandang dibagi menjadi tiga, yaitu: sudut pandang persona pertama
“aku”, sudut pandang persona ketiga “dia”, dan campuran “aku dan dia”. dalam
novel Perempuan Berkalung Sorban, Abidah menggunakan sudut pandang orang
pertama “aku”. Penulis adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan
kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa atau tindakan, yang diketahui,
dilihat, didengar, dialami dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang (tokoh)
lain kepada pembaca. Jadi, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara
terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si „aku‟ tersebut. Penggunaan
sudut pandang “aku” sudah terlihat sejak cerita dimulai.
Gemercik air tak henti mengalir, mengisi kolam dan blumbang.
Sungai-sungai kecil melengkungkan tubuhnya seperti sabit para petani
yang menunggu musim panen. Sawah dan ladang berundak-undak seakan
tangga untuk mendaki ke dalam istana peri. Semilir angin selalu datang
dan pergi, tak pernah bosan menghias diri di pucuk-pucuk dedaunan.
Bunga-bunga liar mekar tanpa disiram, menawarkan keindahan di lereng
pegunungan, di dusun kecil yang terpisah dari keramaian, tempat bermain
masa kanakku yang tak pernah kulupakan.
Meski sudah berlalu, jauh di belakang waktu, masa kanak itu banyak
menyimpan cerita. Kadang mengasyikkan, tapi lebih banyak yang
menyebalkan. Dan kini, setelah aku mendapatkan gelar, sudah memiliki
Mahbub, anak semata wayangku, cerita itu sering muncul seturut dengan
pengetahuan yang kudapatkan dari lembaran buku kehidupan… .
….
“Kita jaring betinanya!”, teriak Rizal, kakakku.
“Dia mau bertelur, jangan diganggu!,” sergahku. “Justru di saat
bertelur dia tak berdaya. Kesempatan kita menangkapnya.”
….
Aku merenung sejenak. Kalau aku tak bisa menemukan jawabannya,
dia pasti akan mengejekku. Mencibirku sebagai anak perempuan yang
bodoh.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 1-3)
6. Amanat
Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh
pengarang melalui karyanya. Sebagaimana tema, amanat dapat disampaikan
secara implisit yaitu dengan cara memberikan ajaran moral atau pesan dalam
tingkah laku atau peristiwa yang terjadi pada tokoh menjelang cerita berakhir, dan
121
dapat pula disampaikan secara eksplisit yaitu dengan penyampaian seruan, saran,
peringatan, nasehat, anjuran, atau larangan yang berhubungan dengan gagasan
utama cerita.
Amanat dalam novel Perempuan Berkalung Sorban adalah penghormatan
terhadap posisi perempuan. Bahwa perempuan memiliki hak atas dirinya sendiri.
Tanpa melupakan kodratnya, perempuan memiliki hak-hak yang seharusnya
dibuat adil antara laki-laki dan perempuan. Kata sorban lebih dimaknai sebagai
simbol kemuliaan, martabat, dan kehormatan yang melekat pada lelaki muslim.
Di Indonesia, sorban selalu dipakai oleh para kiai, haji dan ustadz, hingga Annisa,
tokoh utama dalam kisah tersebut, berusaha mendekonstruksi dan merebut makna
sorban itu untuk dikalungkan di leher perempuan, seorang nyai, hajjah dan
ustadzah. Bahwa pada dasarnya, manusia itu makhluk androgin, yang memiliki
kualitas maskulin sekaligus feminin sebagaimana dzat Yang Maha Pencipta.
Maka, ketika Annisa berhasil merebut sorban itu, ia pun tidak kemudian
menggunakannya sebagai lambang kuasa bagi perempuan atas laki-laki.
Namun, sejauh apapun kesedihan terhampar, selalu saja ada bunga
yang mekar di ujungnya. Aku yakin, setelah kesulitan pasti kan datang
kemudahan. Bahkan lebih dari itu, kesulitan dan kemudahan selalu datang
bersamaan. Penderitaan ada dalam kebahagiaan, begitupun sebaliknya,
kebahagiaan ada dalam penderitaan. Maka, kurasakan pada saat itu,
harapan demi harapan terus berdatangan dalam kepala dan hatiku. Hingga
aku dapat berjalan kembali dengan langkah kaki seperti biasanya.
Kukerjakan apa saja yang bisa dikerjakan oleh kedua tanganku. Kubaca
ayat-ayat semesta, kitab dan buku-buku yang menyimpan lekuk liku
perjalanan adam dan hawa.
….
Aku tersenyum bangga. Kuletakkan buku yang sedari tadi kubaca di
sisinya. Lalu kucium dahinya dengan lembut. Selembut embun pagi yang
menetes dari langit biru. Mengisi jadwal dan kewajiban hari-hariku untuk
tetap melangkah, memerdekakan kaumku yang masih saja dianggap
lemah. Agar mereka selalu hadir dan mengalir di tengah zaman. Membawa
kemudi. Panji matahari.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 315-316)
122
7. Gaya bahasa
Gaya bahasa adalah teknik pengolahan bahasa oleh pengarang dalam
upaya menghasilkan karya sastra yang hidup dan indah. Pengolahan bahasa harus
didukung oleh diksi (pemilihan kata) yang tepat. Namun, diksi bukanlah satu-
satunya hal yang membentuk gaya bahasa.
Gaya bahasa merupakan cara pengungkapan yang khas bagi setiap
pengarang. Gaya seorang pengarang tidak akan sama apabila dibandingkan
dengan gaya pengarang lainnya, karena pengarang tertentu selalu menyajikan hal-
hal yang berhubungan erat dengan selera pribadinya dan kepekaannya terhadap
segala sesuatu yang ada di sekitamya.
Gaya bahasa dapat menciptakan suasana yang berbeda-beda: berterus
terang, satiris, simpatik, menjengkelkan, emosional, dan sebagainya. Bahasa dapat
menciptakan suasana yang tepat bagi adegan seram, adegan cinta, adegan
peperangan dan lain-lain.
Gaya bahasa sinisme juga kerap digunakan Abidah El Khalieqy untuk
menggambarkan kesenjangan yang ada atas perlakuan bagi kaum perempuan dan
laki-laki. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut.
“Apapun yang terjadi…aku harus bisa. Aku mesti belajar naik kuda.
Aku akan tetap belajar naik kuda. Naik kuda.”
Tetapi impian tinggal impian. Setelah tragedy Rizal kecemplung
Blumbang dalam pengembaraan kami, dua belas pasang mata santri diberi
tugas mengamati aktivitas masa kanakku. Ruang bermainku mendapat
pagar baru, lebih tinggi dan lebih sempit untuk cakrawala penglihatanku.
Tanganku mulai dilatih memegang piring, gelas, sendok, wajan, dan api
pembakaran. Bau asap membuatku pusing dan tersedak bertubi-tubi. Bau
bawang dan sambal terong membuatku bersin-bersin. Sampai lidahku tak
pernah bisa menikmati sarapan pagi, bahkan tak juga merasakan
kebebasan ketika kedua tangan ini mesti kembali mencuci piring yang
dipenuhi minyak bekas makanan Rizal, Wildan, dan bapak yang terus saja
duduk di meja makan sambil ngobrol dan berdahak.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 8-9)
Saat paling berat kulalui adalah ketika pagi menjelang dan udara dingin
menyerang. Perutku serasa diaduk-aduk dan sulit sekali memberi toleransi
untuk keringat dan bau mulut yang belum disikat. Maunya begitu mataku
terbangun, seluruh isi kamar harus berbau harum segar dan tidak menyengat.
Juga tak ada sedikitpun barang yang berantakan, maunya rapid an indah. Jika
tidak, aku akan terus menerus muntah berkepanjangan dan pusing dan ingin
marah yang tak jelas ujungnya. Tak ada pilihan lain bagi mas Khudhori
kecuali menuruti segala permintaanku.
Sebelum subuh ia telah bangun dan merapikan semua, menyemprot dan
mengepel seluruh ruangan dengan pengharum lalu mandi cepat-cepat sebelum
aku terbangun. Jika aku belum juga bangun setelah semuanya beres, ia akan
menyiapkan apel kesayanganku di nampan buah dan segelas susu prenagen.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 285-286)
para putri kyai Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur yang masing-masing memiliki
pondok pesantren. Mengenai Yayasan tersebut, Abidah menjelaskannya sebagai
berikut seperti petikan wawancara yang telah dilakukan.
YKF didirikan oleh putri-putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini
memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi
mereka mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar,
workshop, dan segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk
pemberdayaan perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini
merupakan satu-satunya cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia.
Karena novel itu kan karya sastra , jadi jangkauannya lebih luas dan tidak
temporal tapi abadi. Mereka anak kyai yang rata-rata menggugat apa yang
dilakukan oleh ayahnya sendiri.
(Lampiran Hal. 160)
YKF dan Ford Foundation juga ikut membiayai proyek penulisan novel
Perempuan Berkalung Sorban. Meskipun kerjasama dilakukan antara Abidah
dengan YKF dan Ford Foundation, Abidah El Khalieqy memiliki otoritas pribadi
dalam penulisan novel tersebut. YKF atau Fort Foundation tidak diperkenankan
128
untuk ikut campur tangan. Semua isi dan teknik penulisan dalam novel
Perempuan Berkalung Sorban murni dari Abidah El Khalieqy sebagai sastrawan.
Abidah menyanggupi kerjasama yang ada karena adanya persamaan misi dan
sorotannya dengan karya-karya yang telah ditulis Abidah sebelumnya. Persamaan
tujuan dan misi inilah yang kemudian membuat Abidah dan YKF bersama Fort
Foundation membuat kerjasama tersebut.
Gerakan feminisme yang menuntut persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan terjadi semakin sering dibicarakan pada beberapa dekade terakhir.
Melalui berbagai cara, aktivis perempuan berusaha menyadarkan masyarakat
mengenai hal itu. Hasilnya cukup signifikan. Salah satunya ditunjukkan dengan
munculnya kepekaan pemerintah terhadap kesetaraan gender. Melalui pusat
perbukuan, pemerintah menanamkan kesetaraan gender pada siswa sebagai
generasi penerus bangsa melalui jalur pengadaan buku teks. Namun dalam
kenyataannya, upaya penyampaian kesetaraan gender sejak dini tersebut tidak
dilaksanakan secara maksimal. Hal itu terlihat dari masih banyaknya buku teks
Bahasa Indonesia untuk tingkat dasar yang menggunakan kutipan karya sastra
yang bias gender.
Pembicaraan tentang gender menjadi pembicaraan yang cukup ‟panas‟ di
beberapa kalangan, termasuk dalam dunia sastra. Kata gender berasal dari bahasa
Inggris yang berarti jenis kelamin. Ensiklopedia Feminisme (Maggie Humm,
2002: 177 178) menyatakan bahwa gender diartikan sebagai kelompok atribut dan
perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan.
Perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah terjadi melalui
proses panjang. Mufidah dalam Paradigma Gender (2003: 46) mengungkapkan
bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang ikut
membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi melalui
sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan mitos-mitos
seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Pembedaan laki-laki dan perempuan sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Pembedaan tersebut menjadi bermasalah ketika menghasilkan ketidakadilan
terhadap jenis kelamin tertentu. Masalah gender dalam masyarakat patriarkal telah
129
Sengaja kuambil tempat paling tengah persis di depan ustadz Ali, dan
di sebelah kiri Mbak May untuk menyaringkan pendengaran dan
memudahkan bertanya jika, perlu. Setelah memberi pengantar secukupnya,
beliau memberi penjelasan.
“Malam ini, saya akan menjelaskan macam-macam kaum perempuan
yang masuk neraka dan masuk surga.”
... .
“Perempuan mana saja yang diajak suaminya untuk berjimak lalu ia
menunda-nunda hingga suaminya tertidur, maka ia kan di laknat oleh
Allah.” Kemudian lanjutnya, “perempuan mana saja yang cemberut di
hadapan suaminya, maka dia dimurkai Allah sampai ia dapat
menimbulkan senyuman suaminya dan meminta keridlaannya.”
….
“Bagaimana jika isterinya yang mengajak ke tempat tidur dan suami
menunda-nunda hingga isteri tertidur, apa suami juga dilaknat Allah, Pak
Kiai?”
“Tidak. Sebab tidak ada hadist yang menyatakan seperti itu. Lagipula
mana ada seorang isteri yang mengajak lebih dulu ke tempat tidur.
Seorang isteri biasanya pemalu dan bersikap menunggu.”
“Bagaimana jika kenyataannya ada seorang isteri yang terbuka dan
mengajak lebih dulu dan tidak suka bersikap menunggu.”
“Perempuan seperti itu biasanya tidak disukai laki-laki karena terlalu
agresif. Nanti laki-laki bisa minder menghadapinya. Sebaiknya seorang
isteri adalah pemalu dan bersikap menunggu.”
“Tetapi menunggu sampai kapan, Pak Kiai?”
Semua terkesima lalu gerr. Ustadz Ali ikut tersenyum lalu geleng-
geleng kepala… . “Kira-kira sampai kapan? Tentu saja sampai suami
berkenan mengajaknya,” jawabnya enteng, sembari berdehem dua kali.
“Bagaimana kalau suami tidak pernah berkenan karena sudah puas
dengan dirinya sendiri atau berselingkuh, misalnya?”
Ustadz Ali yang sering dipanggil Kiai Ali memang sudah agak tua
hingga ketika melotot, menambah ramai kerut merut dan tegangan di
wajahnya. Dan seperti kucing kehujanan, para santri menggeletar
ketakutan. Seakan puing-puing tengah berhamburan karena suaraku adalah
irama bom yang diledakkan persis di tengah kesunyian malam menggertak
sasaran. Ingin kupamerkan tawa dan kegembiraan andai aku tak ingat pada
wajah bapak dan irama geramannya saat amarahnya meletus. Kurendahkan
pandanganku menunggu sampai ustadz Ali dapat menguasai perasaannya
kembali.
(Perempuan Berkalung Sorban, 2009: 78-82)
memiliki dampak yang negatif terhadap kekritisan pikiran para santri karena
mereka cenderung takut untuk membantah atau berdiskusi atas materi dan setiap
ajaran yang diterima agar dapat relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Ketakutan yang kemudian menutup keberanian para santri untuk bertanya
atas setiap ajaran yang diberikan membuat kesalahan tafsir yang dilakukan oleh
para kyai terjadi secara terus menerus. Kelanjutan dari proses tersebut adalah
bahwa pondok pesantren yang seharusnya menjadi institusi pendidikan yang
mampu membawa perubahan pemikiran ke arah yang lebih baik tidak melakukan
fungsi tersebut. Kesalahan tafsir yang diterima secara serta merta ini kemudian
disebarkan kembali oleh para santri lulusan pondok pesantren. Maka, masyarakat
akan menerima informasi yang salah dan hal tersebut terjadi secara simultan dan
kontinyu. Hal tersebut akan semakin bertambah buruk karena masyarakat pun
akan menerima ajaran tersebut secara total. Ini terjadi karena kultur masyarakat di
tanah air cenderung langsung percaya dengan ajaran-ajaran yang disebarkan
melalui pondok pesantren tanpa di saring terlebih dahulu. Masyarakat masih
menempatkan posisi kyai sebagai status sosial yang dikultuskan dan cenderung
selalu benar.
Novel Perempuan Berkalung Sorban diciptakan dengan menggunakan
kearifan lokal sebagai kekuatannya. Setting pondok pesantren yang dipilih Abidah
El Khalieqy memiliki satu kekuatan bagi pembaca sastra di tanah air. Setting
pondok pesantren yang sudah dikenal pembaca akan membuat pembaca mudah
untuk menggambarkan kondisi tempat, sosial atau budaya yang dijadikan Abidah
sebagai latar novel tersebut.
Selain isu gender yang menjadi subject matter novel Perempuan
Berkalung Sorban pemilihan setting pesantren dinilai memiliki kekuatan dan daya
tarik tersendiri, terutama bagi pembaca sastra di tanah air. Alasan tersebut antara
lain karena pondok pesantren merupakan satu institusi pendidikan yang dalam
masyarakat dinilai sebagai kawah candradimuka yang menghasilkan tokoh-tokoh
masyarakat. Lulusan yang telah menikmati pendidikan - pendidikan umum dan
agama - dalam pondok pesantren ditempatkan masyarakat sebagai guru dalam
kehidupan sehari-hari. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
135
pada beberapa pondok pesantren terdapat sikap hormat yang berlebihan sehinga
para santri menerima dengan serta merta ajaran dan tafsir Alquran dan hadist.
Keadaan seperti itu membuat hegemoni tafsir yang tekstual yang
dilakukan oleh para kyai berlangsung terus menerus tanpa ada relevansi dengan
kehidupan sekarang yang bersifat kontekstual. Hal tersebut yang akhirnya
membuat beberapa kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan para kyai dari kalangan
pondok pesantren mengundang kontroversi dalam masyarakat.
Nilai-nilai yang terdapat dalam penggambaran kultur pondok pesantren
dalam novel Perempuan Berkalung Sorban antara lain adalah, pertama, sikap
hormat yang berlebihan terhadap sesama manusia tidak akan menghasilkan
dampak yang positif. Hal tersebut terlihat jelas pada penggambaran kultur dan
kebiasaan para santri di pondok pesantren terhadap para kyai, terutama kyai
sepuh.
Kedua, novel Perempuan Berkalung Sorban sarat dengan tema kesetaraan
gender. Tema tersebut adalah tema krusial yang penting untuk dikaji karena
berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Pembicaraan mengenai kesetaraan
gender telah dimulai sejak beberapa dekade terakhir dan makin marak dibicarakan
sekarang ini seiring semakin aktifnya organisasi-organisasi yang bergerak dan
mengusung tema ini sebagai arah gerak organisasi mereka.
Pengangkatan tema tersebut ke dalam karya sastra akan membuat pembaca
secara tidak langsung ikut mengamati sekaligus berdiskusi atau mengadakan
kontemplasi tentang fenomena yang berada di sekitar. Fakta dan kejadian yang
ada di sekitar akan membuat pembaca dekat dengan novel tersebut karena
pembaca mengetahui sendiri fenomena tersebut. Kontemplasi yang dilakukan
pembaca atas karya sastra yang mengandung isu kesetaraan gender ini akan
membuat pembaca sedikit banyak mengetahui dan memahami solusi atau
pemecahan masalah yang terjadi. Sekaligus sebuah kesadaran bahwa pola
patriarkal yang ada dalam struktur masyarakat kita membawa dampak yang tidak
selalu baik, terutama bagi kaum perempuan. Pembaca perempuan khususnya akan
memahami nilai-nilai tersebut dan memahami bahwa hak-hak perempuan yang
dimiliki harus diperjuangkan. Namun, harus tetap sesuai dengan kodrat mereka.
136
mengharuskan siswa harus memiliki pekerti yang baik agar mereka dapat lulus.
Nilai-nilai budaya, budi pekerti, religius, maupun kemasyarakatan harus digali
sendiri oleh siswa. Nilai-nilai tersebut dapat diperoleh siswa dengan membaca
karya sastra, dalam hal ini adalah novel. Hal tersebut dapat menambah kekayaan
batin siswa sekaligus membimbing mereka ke arah pola pikir yang lebih dewasa.
Kedewasaan pola pikir ini ditandai dengan adanya kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual yang dimiliki siswa.
Teks sastra dapat digunakan guru sebagai media alternatif dalam
pembelajaran sastra. Guru dapat menjadikan novel sebagai materi pembelajaran
yang membantu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan, penuh
empati, dan bahkan bermain-main. Teks sastra seperti novel dapat membongkar
kebekuan daya cipta siswa dan mengisinya dengan kesadaran sosiokultural. Novel
yang berlatar kearifan lokal sastrawan yang disertai dengan eksplorasi nilai estetis
dapat menghasilkan teks sastra yang bermutu dan otentik. Hal tersebut dapat
menumbuhkan kesadaran untuk berkreasi bagi para siswa.
Permasalahan yang terjadi dalam pembelajaran sastra di kelas adalah
pemanfaatan sinopsis bagi para guru sebagai satu-satunya cara untuk
memperkenalkan karya sastra terhadap siswa. Sinopsis adalah inti cerita yang
ditulis secara singkat. Pembelajaran tersebut akan membuat siswa tidak
bersentuhan langsung dengan novel atau karya sastra dan membuat siswa tidak
dapat merasakan kenikmatan dalam pembelajaran apresiasi karya sastra.
Pembelajaran seperti itu akan menghasilkan siswa-siswa yang tidak paham dan
mengetahui informasi dalam novel tersebut. Siswa tidak akan banyak mengetahui
tentang siapa nama pelaku dalam novel, bagaimana penokohannya, latar
ceritanya, temanya, amanatnya, dan penghargaan terhadap karya sastra akan
berkurang. Hal tersebut akan terjadi secara simultan dan akan menyebabkan
semakin hilangnya apresiasi terhadap karya sastra.
Bertolak pada pembelajaran kontekstual, pembelajaran sastra dapat
dilakukan melalui pemanfaatan teks-teks sastra dengan mempertimbangkan akar
tradisi sosio-kultural masyarakat setempat. Pembelajaran kontekstual menuntut
guru sastra mengetahui minat siswa sehingga dapat menyajikan suatu karya sastra
138
hal-hal yang harus diperjuangkan oleh perempuan dalam hidupnya. Melalui tokoh
Anisa, Perempuan Berkalung Sorban berupaya melakukan perlawanan terhadap
tradisi keluarga, ustadz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren
yang diasuh oleh ayahnya sendiri. Karena itu, tidak salah jika novel Perempuan
Berkalung Sorban telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai
tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang
bersifat ideologis maupun pragmatis.
“Menurutku novel itu sangat bagus karena mengandung pesan moral dan
nilai religi yang tinggi. Bahwa seorang wanita berhak mendapatkan
pendidikan meskipun dia sudah menikah dan berkeluarga. Juga terdapat
gerakan feminisme yang tinggi, yaitu bahwa cewek dan cowok
mempunyai hak yang sama”. (Anis Ningsih)
(Lampiran Hal. 177)
“Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas
Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu
memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak boleh
menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu
perempuan naik kuda.”
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Bertolak dari hasil temuan penelitian dan hasil analisis data dapat ditarik
simpulan bahwa:
1. Proses kreatif dalam penciptaan novel Perempuan Berkalung Sorban
dilatarbelakangi oleh Yayasan Kesejahteraan Fatayat (YKF) yang
memprakarsai lahirnya novel tersebut. Tujuan utama lahirnya novel
Perempuan Berkalung Sorban adalah untuk mensosialisasikan hak-hak
reproduksi yang harus diketahui oleh perempuan. Media novel dipilih oleh
yayasan ini karena novel memiliki nilai sastra yang cenderung dapat diterima
semua kalangan dan novel yang berbentuk buku akan membuat pesan yang
disampaikan tersimpan dalam waktu yang lama bahkan abadi selama literatur
itu masih ada. Pola pikir dan cara penceritaan Abidah El Khalieqy yang bisa
dikatakan agak feminis dalam karya-karya yang dihasilkannya menarik YKF
untuk mengajak Abidah El Khalieqy sebagai mitra kerja dalam penciptaan
novel tersebut. Abidah El Khalieqy yang bertindak sebagai penulis novel
tersebut menerima kerjasama yang ada karena ada kesamaan visi dan misi
antara setiap karya yang dihasilkannya dengan tujuan YKF dalam pembuatan
novel Perempuan Berkalung Sorban. Selain itu, pengetahuan dan pengalaman
Abidah yang merupakan lulusan dari pondok pesantren sekaligus keluarga
santri membuat Abidah capable untuk menulis novel yang bertendensi khusus
tersebut.
2. Novel Perempuan Berkalung Sorban memiliki setting pondok pesantren yang
berfungsi sebagai tempat berkembangnya gagasan-gagasan masing-masing
tokoh dan awal terciptanya konflik. Abidah El Khalieqy sebagai penulis
menempatkan pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang berperan
penting dalam perubahan pola pandang masyarakat saat ini. Pondok pesantren
yang dijadikan latar dalam novel ini adalah pondok pesantren tradisional
(salafi) yang masih kental dengan ajaran kitab kuning. Kyai memiliki
144
145
dominasi dan otoritas yang besar terhadap jalannya pondok pesantren. Dalam
kehidupan sehari-hari, di pondok pesantren tradisional karisma dan
kepribadian kyai sangat berpengaruh terhadap santri. Sikap hormat, takzim,
dan kepatuhan mutlak kepada kyai. Ini adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan kepada setiap santri. Pengambilan setting pondok pesantren salaf
dilakukan Abidah untuk menjelaskan hegemoni kekuasaan para kyai dan kitab
kuning yang sangat mempengaruhi jalannya kultur dalam wilayah pondok
pesantren. Hal ini sesuai dengan tujuan lain dari penciptaan novel Perempuan
Berkalung Sorban yang digunakan untuk mengkritisi hegemoni yang
berlebihan yang dimiliki oleh para penguasa pesantren, yaitu kyai dan kitab
kuning. Perubahan paradigma masyarakat tentang sistem hidup yang patriarkal
akan berubah jika pesantren sebagai salah satu institusi pendidikan yang dekat
dengan masyarakat Indonesia mampu berubah terlebih dahulu dari sistem ini.
Abidah El Khalieqy meyakini bahwa pondok pesantren yang mewakili rezim
pengajaran agama tertentu sangat berpengaruh terhadap perubahan mindset
masyarakat karena pondok pesantren juga berfungsi sebagai agent of change.
3. Penelitian ini dapat digunakan oleh pembaca untuk menambah referensi
bacaan tentang apresiasi sastra, terutama yang berkaitan dengan unsur
ekstrinsik karya sastra. Selanjutnya, novel Perempuan Berkalung Sorban juga
dapat digunakan sebagai bahan ajar alternatif pembelajaran sastra di SMA.
Alasan yang menguatkannya adalah karena novel tersebut memiliki nilai-nilai
kearifan lokal dan banyak nilai yang dapat diambil hikmahnya oleh para siswa
dengan meneladani sikap dan cara pandang tokoh-tokoh protagonis yang ada
dalam novel tersebut. Secara khusus, kompetensi dasar yang langsung
berfokus pada pembelajaran sastra melalui media novel adalah kompetensi
dasar 7.2, 15.1, dan 15.2.
4. Berbagai penilaian kemudian hadir setelah novel Perempuan Berkalung
Sorban diterbitkan dan dibaca oleh masyarakat. Novel ini juga menuai banyak
kontroversi setelah diterbitkan. Beberapa kecaman hadir dari kalangan pondok
pesantren terutama oleh para kyai sepuh. Namun, layaknya sebuah karya
sastra yang bernilai adalah karya sastra yang mampu memberikan suatu
146
B. IMPLIKASI
Karya sastra merupakan salah satu hasil kebudayaan masyarakat yang
memiliki nilai estetika tinggi baik dari segi bahasa maupun segi makna. Estetika
bahasa biasa diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic function (surface
structure) dan estetika makna dapat terungkap melalui aspek deep structure.
Kajian yang mendalam terhadap sastra diperlukan untuk menyelami lebih jauh
tentang hakekat karya sastra. Kajian yang dilakukan dapat meliputi unsur-unsur
pembentuk karya sastra, yakni unsur instrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik dan ekstrinsik inilah yang menjadi kekuatan sebuah karya
sastra. Kajian yang dilakukan selanjutnya bukan hanya berkisar pada telaah sastra
yang bersifat objektif dan rasional melainkan juga pada apresiasi sastra yang lebih
bersifat subjektif sekaligus abstrak. Keduanya memiliki tingkatan masing-masing
dalam penghargaan terhadap karya sastra. Kecenderungan ini terjadi karena karya
sastra hadir tidak hanya untuk sekedar dinikmati, melainkan perlu juga
dimengerti, dihayati, dan ditafsirkan.
147
yang sejenis sekaligus dapat dijadikan acuan peneliti lain untuk melakukan
penelitian yang lebih kreatif dan inovatif.
C. SARAN
Karya sastra yang baik mampu menjadi refleksi atau gambaran keadaan
masyarakat di masa itu atau paling tidak sanggup memberikan sumbangan untuk
masyarakat penikmatnya, baik itu yang bersifat rekreatif maupun edukatif. Karya
sastra yang baik juga bisa menggambarkan bagaimana hubungan antarmanusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Pada tahapan-tahapan
tersebut, sastrawan harus mampu mengkomunikasikan dirinya dengan lingkungan
dan masyarakat yang menjadi pembaca karyanya.
Proses selanjutnya setelah karya sastra itu hadir adalah penilaian dan
apresiasi pembaca terhadap karya yang ada. Sastrawan sebagai penulis cerita
harus memiliki sikap lapang dada dan membuka pikiran agar tidak terjadi
pengacuhan terhadap penilaian pembaca. Demikian juga para pembaca yang harus
melakukan hal yang sama agar penilaian dan kritik yang mungkin ada bersifat
konstruktif terhadap pembangunan dan apresiasi sastra, khususnya di tanah air.
Pro dan kontra yang timbul akibat hadirnya novel Perempuan Berkalung
Sorban pun harus disikapi secara bijaksana. Namun, terlepas dari penilaian
pembaca, novel Perempuan Berkalung Sorban telah ikut meramaikan bursa karya
sastra di tanah air. Penilaian beragam tersebut diharapkan mampu menambah
kematangan pembaca untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra.
Saran peneliti terhadap komponen-komponen terkait pembelajaran sastra
adalah sebagai berikut:
1. Guru mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia
Pengelolaan kelas untuk pembelajaran sastra di kelas menuntut guru untuk
memiliki kreativitas yang lebih dalam pengelolaan kelas. Penciptaan rasa simpati
dan empati dalam diri siswa akan membuat siswaa memiliki minat dan motivasi
dalam pembelajaraan. Karena itulah, kerjasama guru dan siswa harus berjalan
dengan baik.
149
2. Siswa
Pembelajaran sastra dalam kelas harusnya membuat siswa dapat
mengambil hikmah atas karya sastra yang sedang dikaji. Pembelajaran sastra
dapat berhasil jika siswa berani menyampaikan gagasan dan pendapat serta
apresiasinya terhadap karya sastra. Untuk mencapai hal tersebut, siswa harus
mampu menghargai dan mencintai kebudayaan sendiri
3. Kepala Sekolah
Peran kepala sekolah merupakan salah satu kunci keberhasilan
pembelajaran dalam sebuah sekolah, termasuk dalam pembelajaran sastra. Kepala
sekolah harus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap guru-guru sastra
dalam hal teknik dan variasi yang digunakan dalam pembelajaran di kelas. Selain
itu, pemenuhan terhadap sarana, buku, dan bahan ajar yang lain akan
meningkatkan kualitas pembelajaran.
4. Peneliti lain
Penelitian-penelitian yang dilakukan setelah penelitian ini diharapkan
lebih kreatif dalam meneliti dan menelaah kajian sastra berperspektif gender
dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Inovasi-inovasi lain pun
diharapkan akan hadir untuk melengkapi penelitian ini.
150
DAFTAR PUSTAKA
Ayu Kusuma, Aning. 2009. Artikel: Sastra, Santri, dan Film Perempuan
Berkalung Sorban. Jakarta: Koran Republika.
Indyastini, Titik. 2005. Strategi Pengenalan Tokoh pada Wacana Novel Kinanti.
Widyaparwa Jurnal Ilmiah Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1,
Juni 2005: 29-42.
150
151
Mafrukhi, dkk. 2009. Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI.
Jakarta: Erlangga.
Mayra, Walsh. 2002. Skripsi: Pondok Pesantren dan Ajaran Golongan Islam
Ekstrim (Studi Kasus di Pondok Pesantren Modern Putri Darur Ridwan
Parangharjo, Banyuwangi). Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Muhammadiyah Malang.
Pemilia, Kartika. Mei 2009. “Kritik Terhadap Konstruksi Feminisme dalam Novel
„Perempuan Berkalung Sorban”. http: //www.inpasonline.com/ diakses
19/10/2009.
Rarastesa, Zita. 2001. The Image of Women in Louise Erdrich’s Love Medicine: A
Feminist Approach. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Studi Amerika, Vol.5, No.
6, September 2001. Surakarta: Sastra Inggris-Fakultas Sastra UNS.
Rifai, Aminudin. 2005. Belenggu Armijn Pane. Jurnal Widyaparwa Jurnal Ilmiah
Kebahasaan dan Kesusastraan, Vol. 33, No. 1, Juni 2005: 43-60.
Safitri, Endang. 2007. Nilai-nilai Kultural Jawa Tokoh Utama Wanita Novel
Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi Agustinus (Sebuah Kajian
Sosiologi Sastra). Skripsi. Malang: Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
Sarris, Greg. 1993. Keeping Slug Woman Alive: A holistic Approach to American
indian Texts. Los Angeles: University of California Press.
152
Lampiran 1.
Sinopsis Novel Perempuan Berkalung Sorban
Di tengah desa yang agak jauh dari kota , terdapat sebuah pesantren yang
didirikan serta diasuh oleh Kyai Hanan dan Kyai Ali sebagai badalnya. Kyai
Hanan memiliki tiga anak, dua lelaki dan satu perempuan yang bernama Annisa.
Namun berbeda dengan kedua kakak lelakinya, Annisa dikaruniai kecerdasan dan
memiliki sikap kritis sejak kecil. Hingga pada usia 10 tahun, ketika ia ingin
belajar naik kuda sebagaimana kedua kakak lelakinya, Ayahnya melarang dan
bahkan memarahinya. Bermula dari peristiwa ini, Annisa tumbuh sebagai
perempuan yang selalu bertanya tentang segala sesuatu yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan posisinya sebagai anak perempuan.
Oleh kenyataan itu, Annisa tak pernah merasa nyaman dengan lingkungan
keluarga dan pesantren. Dia selalu merasa disisihkan dengan alasan yang kurang
masuk akal, karena berjenis kelamin perempuan. Sementara Ibunya, Nyai
Muthmainah, juga bersikap diam, dan seolah tidak berpihak pada kegelisahan
Annisa. Di tengah kegelisahannya itu, Annisa sering mengadu dan berkeluh kesah
pada Khudori, saudara jauh ibunya yang sempat tinggal beberapa bulan di
rumahnya, sehingga Annisa merasa memiliki sandaran dan pelindung yang
dikagumi. Khudori adalah pemuda cerdas, berpikiran terbuka dan alumni sebuah
pesantren modern. Namun perlindungan Khudori pada Annisa tidak berlangsung
lama. Khudori pergi ke Al-Azhar Kairo untuk melanjutkan kuliahnya di sana .
Meninggalkan Annisa sendirian. Dalam kesendiriannya itu, Annisa yang masih
muda dinikahkan paksa dengan Samsudin, putra seorang kyai sahabat ayahnya.
Pernikahan dini itu telah membawa garis hidup Annisa ke dunia yang lain. Dunia
yang penuh dengan ancaman, kekerasan dan pelecehan terhadap eksistensi
perempuan dalam sebuah keluarga. Apalagi, ketika Samsudin memaksanya untuk
menyetujui poligami, keberanian Annisa untuk memberontak terhadap kuasa
lelaki kian membara. Sehingga Annisa pulang kembali ke rumah keluarganya, dan
menolak untuk hidup bersama Samsudin, hingga keduanya bercerai secara resmi.
154
Tujuh tahun kemudian, ketika Khudori selesai dari kuliahnya di Kairo, dan
kembali datang ke pesantren ayahnya, Annisa merasa lega karena ada orang yang
mau menolongnya. Tapi ternyata, kedatangan Khudori tak bisa menolong Annisa.
Maka berjuanglah Annisa sendirian untuk mendapatkan kebebasan dan keadilan
yang selalu dirindukannya. Hingga ia memberanikan diri dan memutuskan untuk
melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi agama Islam di Yogyakarta. Di kota
inilah, Annisa tak pernah lelah untuk terus berjuang dan aktif dalam berbagai
kegiatan kampus, khususnya kegiatan-kegiatan yang berpihak pada kesetaraan dan
keadilan terhadap kaum perempuan. Serta berupaya mengkritisi pendapat dan
mitos-mitos tentang perempuan yang disampaikan oleh “para kyai dan “kitab-
kitab kuning” yang bersifat missoginis, untuk kemudian menawarkan solusi
perubahan; reinterpretasi terhadap ayat-ayat al-quran dan hadis, serta rekontruksi
fiqih yang berkaitan dengan eksistensi dan masalah-masalah perempuan.
Pada akhirnya, ketika Annisa telah mendapatkan pencerahan pemikiran di
Yogyakarta, tiba-tiba Khudori datang dan menumbuhkan kembali cinta terpendam
yang pernah dirindukan Annisa pada masa kecilnya. Lalu keduanya pun berjuang
untuk menjalin cinta manusiawi dan menikah atas izin dari orang tuanya.
Keduanya hidup dalam ketentraman, saling pengertian, saling mendukung dan
mendorong untuk menyelesaikan berbagai masalah rumah tangga dengan
keadilan, kebajikan dan kebaikan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
Sementara Annisa, tak pernah lelah untuk terus berjuang secara mandiri,
mengentaskan ketertindasan kaum perempuan di sekelilingnya.
Diambil dari:
Jurnal Ilmu Agama dan Ilmu Sosial, Sosio-Religia, Vo. 7, No. 2, Februari 2008.
155
Lampiran 2.
CURRICULUM VITAE
SEKOLAH
Madrasah Ibtidaiyah ( tamat 1977/1978)
Pesantren Putri Modern PERSIS, Bangil, Pasuruan (tamat 1983/1984)
Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten (1984/1985)
Fakultas Syariah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Pidana
Perdata Islam (tamat 1990) dengan skripsi “Komoditas Nilai Fisik
Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam”
Study Perempuan Independen (1991-1992)
AKTIVITAS
Study dan Apresiasi Sastra Yogyakarta (1985-1989)
Teater Eska sejak tahun 1987
Forum Pengadilan Puisi Yogyakarta (1986-1988)
Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (1988-1989)
156
PRESTASI
Juara Penulisan Tingkat Tsanawiyah Pesantren (1979/80)
Juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa (1984)
Memperoleh Penghargaan Seni dari Pemerintah Propinsi DIY (1998)
Pemenang Lomba Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (2003)
Dinobatkan sebagai tokoh “10 Anak Zaman Menerobos Batas”, Majalah
As-Syir‟ah (2004)
Memperoleh IKAPI dan Balai Bahasa Award (2008)
Memperoleh Adab Award dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
(2009)
Lampiran 3.
Wawancara dengan Abidah El Khalieqy
ingin perubahan kita cari dulu akarnya dalam masyarakat. Kalau ada
ketimpangan, ada ketidakseimabangan dalam masyarakat kita cari dulu akar
permasalahannya. Awalnya, kita lakukan kritik-kritik dulu, kita benahi ada apa
sebenarnya dalam pondok pesantren. di sana kan ada penguasa-penguasa, yaitu
kyai dan kitab kuning. Dalam PBS saya memberikan contoh-contoh beberapa
hadist dan profil seorang kyai yang dominan terhadap keluarga dan pondok
pesantrennya. Maka, setting pondok pesantren adalah satu kewajiban yang harus
diangkat. Latar pondok pesantren adalah target untuk dikritisi karena dari sana
akar dari masalah perubahan. Yang ingin kita lakukan dalam PBS adalah
merevolusi pemikiran. Bagaimana mindset dan paradigma kita dirubah.
Kalau ingin merubah dari akarnya, mengapa tidak mengambil latar dari
keluarga guru atau keluarga ningrat? Di sana kan masih memiliki suasana
patriarki yang juga masih kental?
Ya, boleh jadi. Keluarga merupakan satu unit keluarga terkecil. Tapi,
bahwa institusi pendidikan mewakili satu rezim tafsir agama tertentu. Kalau saya
sebagai muslimat, saya tahu bahwa kondisi perempuan kita, tidak hanya di
Indonesia tapi di seluruh dunia, kita mengalami segala macam ketidakadilan,
gender dan lain sebagainya itu berasal dari salah tafsir. Jadi tidak berasal dari
ayat-ayat alquran yang kita pegang selama ini tapi penafsiran. Dan penafsiran ini
merupakan otoritas dari kyai, ulama, dan ustadz kita dan mereka ada di pesantren.
dan saya pikir ini lebih mendasar lagi daripada latar ningrat. Saya pikir ini malah
latar budaya yang lebih luas lagi. Memang keterpinggiran perempuan itu
dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Saya mengangkat penafsiran ayat suci yang
mengalami distorsi sedemikian rupa yang dari abad ke abad sampai ke kita seperti
ini. Sesuatu yang tidak adil, sesuatu yang tidak seimbang. Mungkin dari
kebudayaan juga seperti itu tapi untuk itu saya piker akan ada yang membahasnya
sendiri.
Saya yang alumni pondok pesantren, seorang santri, dan berasal dari
keluarga santri kira-kira akan lebih capable jika saya membahasnya. Maka itu,
160
YKF meminta saya sebagai sastrawan -saya bukan orang YKF- yang kebetulan
cara berpikir saya mungkin agak feminis, jadi mereka meminta saya.
Jadi, sebelumnya tidak ada hubungan antara Mbak Abidah dengan orang-
orang dari YKF?
Mereka temen juga, cuma selama ini saya tidak pernah berhubungan
dengan mereka secara organisatoris. Saya berhubungan sebagai teman saja.
Mereka ada yang lulusan IAIN, saya kan juga lulusan sana. Jadi, alasannya
semata-mata karena saya sastrawan yang memiliki kepedulian terhadap
perempuan.
Kalau dalam PBS ada LSM yang dipimpin oleh Mbak Maryam, apakah
organisasi ini mewakili YKF?
Kebetulan, YKF ini berasal dari putri kyai NU Jawa Timur yang kyai ini
memiliki pondok pesantren. mereka tidak bergabung dalam Fatayat tapi mereka
mendirikan NGO-nya. Mereka memiliki agenda acara seminar, workshop, dan
segala macamnya. Dan memiliki salah satu media untuk pemberdayaan
perempuan melalui penulisan novel. Penulisan novel ini merupakan satu-satunya
cara yang dilakukan oleh NGO di Indonesia. Karena novel itu kan karya sastra ,
jadi jangkauannya lebih luas dan tidak temporal tapi abadi. Mereka anak kyai
yang rata-rata menggugat apa yang dilakukan oleh ayahnya sendiri.
Ketika kemarin rame-rame kontroversi PBS saya juga ke pondok-pondok
pesantren dan kyai berang pada saya, saya diundang ke Jombang. Tapi menurut
saya, karena sastrawan otoritasnya lebih jadi saya memperjuangkan mana yang
hak dan yang salah. Secara hati nurani saya seperti itu. Jadi, saya mau menulis
novel itu. Meskipun beberapa orang bilang ini novel pesanan dan saya bersedia di
koloni, jawabannya ya itu tadi. Saya bertemu dengan teman-teman dari YKF dan
nyambung di isu itu.
161
Kalau untuk tokoh Annisa, kalau saya baca seperti mewakili pemikiran
penulis. Apa benar seperti itu?
(ha..ha..ha…) Mungkin, ya mungkin. Ada sebagian fase dari kehidupan
pengarang yang masuk dalam karya sastrawan itu. Hal itu tidak bisa dipungkiri di
abwah sadarnya. Meskipun sudah dibuat jarak sedemikian rupa. Di Barat,
sastrawan-sastrwan penerima Nobel itu meraih penghargaan karena 80% mereka
162
menulis masa hidup sebelum mereka berusia 15 tahun. Kalau tokoh di Genijora
itu adalah saya, Annisa itu adalah saya, wah..betapa banyak kepribadian saya.
Yang pasti, setiap saya menceritakan seorang tokoh ada model-model yang
menginspirasi saya. Kalau saya menambahkan ini dan itu, hal tersebut adalah
gagasan yang ingin saya sampaikan kepada pembaca.
Kemudian untuk tokoh Khudhori, dia juga berasal dari pondok pesantren,
tetapi mengapa Mbak Abidah menggambarkan dia sebagai laki-laki yang
berpandangan cerdas dan moderat?
Kita semua tahu Gontor itu pondok pesantren modern dan kita juga tahu
Gontor itu memiliki lulusan-lulusan yang sudah mumpuni. Tokoh Khudhori ini
dibandingkan dengan pondok pesantren salaf kecil yang seperti dimiliki oleh Kyai
Hanan itu. Ini yang saya jadikan sample. Jadi, pandangan Khudhori yang lulusan
Gontor di sini memang benar-benar mewakili lulusan Gontor.
Refleksi
Wawancara dilakukan peneliti dengan penulis novel Perempuan
Berkalung Sorban, Abidah El Khalieqy secara langsung di kediamannya.
Narasumber menyambut peneliti dengan tangan terbuka dan memberikan
keterangan serta jawaban sesuai dengan pertanyaan peneliti.
Dalam wawancara tersebut, peneliti menanyakan tentang proses kreatif,
latar belakang penulis, dan sambutan pembaca atas novel terkait serta beberapa
hal yang berhubungan dengan novel tersebut. Dan Abidah El Khalieqy sebagai
narasumber menjawab pertanyaan tersebut secara jelas, bahkan narasumber juga
menjelaskan pengalaman-pengalaman yang dialaminya selama menulis dan
menerbitkan novel tersebut. Hal tersebut menambah pengetahuan dan pengalaman
peneliti, terutama yang berkaitan dengan proses kreatif dan tentang dunia
kepenulisan. Pada akhir wawancaranya, narasumber berkenan memberikan
keterangan lain yang mungkin dibutuhkan oleh peneliti lagi.
164
Lampiran 4.
PROFIL PONDOK PESANTREN AL-QURAN DESA NARUKAN
KECAMATAN KRAGAN, KABUPATEN REMBANG
1. Pendahuluan
Islam merupakan agama samawi yang diturunkan sebagai rohmatan lil
alamin menjamin kedamaian dan kebersamaan. Ajaran islam telah lengkap untuk
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan manusia,
manusia dengan alam. Dalam ajaran agama islam dipentingkan nilai-nilai
kebersamaan, keadilan, tolong-menolong yang menghargai dan menghormati satu
sama lain dalam bingkai ahsani taqwim, oleh sebab itu, keseimbangan kehidupan
dunia dan akhirat sebagai pedoman bagi umat manusia. Untuk menuju ahsani
taqwim, kemudian Allah menurunkan kitab suci Alquran sebagai petunjuk bagi
umat manusia melalui wahyu yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Pesantren sebagai institusi, lahir dan berkembang seiring dengan derap
langkah perubahan-perubahan yang ada dalam masyarakat global. Karena itu,
tidak berlebihan jika pondok pesantren memiliki dua potensi besar yaitu potensi
pengembangan masyarakat dan potensi pendidikan. Dalam kaitan ini, bila ditilik
dari sejarah kehadirannya, terbentuk institusi pesantren ternyata memiliki
keunikan tersendiri dibandingkan dengan peranannya dewasa ini. Pertama,
pesantren didirikan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial
suatu masyarakat yang tengah diharapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral
melalui transformasi nilai yang ditawarkannya (amar ma’ruf nahi munkar).
Kehadiran pesantren juga untuk agen perubah dan melakukan kerja-kerja
pembebasan (liberation) pada masyarakat dari segala keburukan moral,
penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan kemiskinan ekonomi.
Institusi pesantren telah berhasil mentranformasikan masyarakat di sekitarnya dari
kekafiran menuju kesalehan dan dari kemiskinan menuju kemakmuran atau
kesejahteraan. Oleh karena itu, kehadiran pesantren sebagai suatu bentuk institusi
yang dilahirkan atas kehendak dan kebutuhan masyarakat. Dengan kesadarannya,
pesantren dan masyarakat telah membentuk hubungan yang harmonis, sehingga
165
komunitas pesantren kemudian diakui menjadi bagian yang tak terpisahkan atau
sub-kultur dari masyarakat pembentuknya. Pada tataran ini, pesantren telah
berfungsi sebagai pelaku pengembangan masyarakat. Kedua, salah satu misi awal
didirikannya pesantren adalah menyebarluaskan informasi ajaran tentang
universalitas islam keseluruh pelosok Nusantara yang berwatak pluralis, baik
dalam dimensi kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.
Fungsi utama pondok pesantren pada dasarnya untuk pendalaman agama
islam (tafaqquh fiddin). Fungsi ini kemudian dijabarkan untuk melahirkan
pemimpin dan kader umat seperti ulama, mubaligh, dan tokoh agama yang
senantiasa memelihara ilmu-ilmu agama islam, juga sebagai lembaga dakwah dan
juga sebagai lembaga pengembangan masyarakat. Fungsi terakhir ini menjadi
pusat perhatian yang cukup besar dari banyak pihak, termasuk oleh pemerintah.
Pondok pesantren merupakan lembaga yang mandiri dan mengakar di masyarakat
merupakan lembaga yang sangat dipercaya oleh masyarakat lingkungannya.
Berdasarkan hal yang demikian, adalah sangat tepat apabila dalam proses
pembangunan pondok diikut sertakan secara aktif. Pondok pesantren sebagai
lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia, selain fungsi utama sebagai tempat
pendalaman agama ( tafqquh fiddin ), telah memacu diri dengan mencari bentuk
baru yang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
menghadapi perkembangan jaman dengan tetap kandungan iman dan taqwa
kepada Allah SWT. Dengan demikian pondok pesantren ini menjelma menjadi
pusat pendidikan dan pemikiran serta pengembangan masyarakat sekaligus
menjalankan peran transformasi terhadap ide-ide dan wawasan baru bagi
kesejahteraan rakyat dan bangsa.
Kemudian, pada masa remaja beliau menuntut ilmu di KH. Abdullah Salam Kajen
Kabupaten Pati untuk memperdalam Al-Quran. Dan beliau wafat pada hari
Minggu tanggal 14 Agustus 2005.
6. JADWAL AKTIFITAS
a. Aktifitas Harian Pondok Pesantren Al-Quran
WAKTU AKTIFITAS
04:45 – 05:15 Jamaah Shubuh
05:20 – 06:30 Mengaji Al-Quran Bil Ghoib
06:30 – 07:00 Persiapan Sekolah
07:00 – 12:00 Sekolah
12:00 – 13:00 Istirahat dan Persiapan Jamaah
13:00 – 13:30 Jama‟ah Dzuhur
13:30 – 14:30 Mengaji Hadits
14:30 – 15:30 Istirahat dan Persiapan Jamaah
15:30 – 16:00 Jamaah Ashar
16:00 – 17:00 Mengaji Al-Quran Bin Nadzor
17:00 – 18:00 Istirahat dan Persiapan Jamaah
18:00 – 18:30 Jamaah Maghrib
18:30 – 19:15 Mengaji Fiqih
19:15 – 19:45 Jamaah Isya‟
169
7. POTRET KE DEPAN
Pengembangan Pondok Pesantren Al-Qur‟an Desa Narukan Kecamatan
Kragan Kabupaten Rembang ke depan diarahkan kepada :
a. Peningkatan kemajuan sistem pendidikan agama islam yang di jiwai oleh
nilai-nilai luhur (akhlaqul karimah) sebagai cermin ihsan yang mandiri cakap
dan terampil.
b. Pengembangan dan pemberdayaan masyarakat sekitar pondok pesantren
mengenai potensi ekonomi umat yang mengarah pada kegiatan produktif dan
kemandirian umat.
c. Perwujudan dan mencetak calon-calon kader bangsa yang memiliki
kredibilitas dan kualitas yang handal dengan bersandar pada nilai-nilai agama.
170
Lampiran 5.
Wawancara dengan Santri Pondok Pesantren
P : “Ehm, waktu Mbak Diah tadi bilang Annisa itu wanita yang tidak
mudah putus asa. Contonhnya pada bagian mana ini, Mbak?”
D : “Contohnya ketika Annisa hidup dengan Samsudin, ketika itu Annisa
kan tersiksa, Mbak. Tetapi dia tetap belajar dan belajar.”
P : “Begitu. Kemudian kalau Khudhori bagaimana menurut Mbak?”
L+D : (tertawa) “Kita pengen punya suami yang seperti itu. Hehe…”
P : (tertawa juga) “Oh, kira-kira di pesantren sini ada tidak yang seperti
Khudhori?”
D : “Iya, mungkin ada. Tapi ya tidak sesempurna Khudhori. Kalau dalam
novel itu kan Khudhori digambarkan sangat sempurna menurut saya.”
P : “Kemudian kembali lagi ke Annisa. Menurut Mbak Berdua bagaimana?
Dia ini dalam cerita bisa dikatakan sebagai calon bu nyai tetapi sikapnya
cukup keras seperti itu? Katanya kalau jadi wanita kan nggak boleh
pethakilan, naik kuda misalnya. Lha ini bagaimana?”
D : “Ehm, ya nggak boleh. Mosok anak putri seperti itu. Ditambah Annisa
kan ingin seperti idolanya itu, Putri Budur seperti di zaman Nabi.
Menurut saya, Annisa itu seorang perempuan yang pintar dan cerdas
Meskipun pada beberapa bagian bahasanya terlalu kasar, tapi novel itu
memberikan pelajaran terhadap kami. Tetapi, tetap saja wanita tidak
boleh menyalahi kodratnya. Tidak baik kalau misalnya dalam novel itu
perempuan naik kuda.”
L : “Tapi kalau menurut saya boleh-boleh saja. Nggak pa pa.
P : “Oh, iya, Mbak. Mau Tanya? Mbak berdua sudah berapa tahun tinggal
di pondok ini?”
D+L : “Kita sudah sekitar 6 tahun di sini. Sudah dari tahun 2004.”
P : “Dari umur berapa?”
D+L : “Dari kita lulus sekolah tsanawiyah”.
P : “Oh, begitu. Kembali ke novel tadi, bagaimana kalau tentang sikap dan
karakter Kyai Hanan?”
172
D : “Ya, kalau menurut saya nggak pa pa. itu kan buat mendidik anaknya.
Anak putri kok seperti itu itu. Jadi, sebagai bapak ya memang seperti
itu.”
L : “Hanya saja, kalau menurut saya harus agak lembut. Kan sama
anaknya sendiri. Apalagi anak putri.”
P : “Kemudian tentang kedua kakaknya Annisa, Rizal dan Wildan.”
D : “Kalau tentang kakak-kakaknya tidak banyak diceritakan, hanya masa
kecil mereka saja. Dan menurut saya ya itu cuma kenakalan anak-anak
kecil,saling mengejek dan lain-lain.”
P : “Kemudian kalau untuk kehidupan di pesantren sini, ada perbedaan
perlakuan atau tidak antara santri putra dengan santri putri?”
L : “Tidak ada perbedaan, semua diperlakukan sama”
D : “Hanya saja kalau untuk santri putra cara mendidiknya lebih keras.
Karena mereka kan dididik untuk dapat memimpin umat, yang nanti
akan menjadi kepala keluarga. Tapi, kalau yang putri kan cuma akan
menjadi makmum.”
P : “Kemudian kalau menurut Mbak tentang sikap Annisa yang ingin
sejajar dengan laki-laki bagaimana, misalnya ingin dapat sama-sama
kesempatan belajar dan lain-lain?”
L : “Kalau menurut saya itu terlalu over karena semampu-mampunya
wanita itu kan sekuat-kuatnya laki-laki. Jadi, tidak bisa wanita
menyamai laki-laki.”
P : “Di sini juga digambarkan kultur pesantren, ada mengaji kitab kuning
dan lain-lain. Sama atau tidak penggambaran yang ada dalam novel ini
dengan kebiasaan yang ada di pondok pesantren sini?”
D : “Pada dasarnya sama hanya saja kalau sini lebih ditekankan pada tafsir
Al Quran. Bukan kitab kuning.”
L : “Pondok kami ini juga kan pondok pesantren Al Quran jadi tekanannya
berbeda. Kami juga lebih fokus pada Al Quran sebagai pedoman kami.”
P : “Tetapi kitab kuning tetap dipelajari?”
173
D : “Kami pelajari, hanya saja tidak sebanyak tafsir Al Quran. Mosok kita
lebih banyak mengkaji kitab lain tapi Al Quran tidak.”
P : “Oh, begitu. Kemudian antara santri putra dan putri apakan ada forum
musyawarah bersama atau forum bersama yang lain?”
D : “Santri putra dan putri dipisah termasuk dalam forum musyawarahnya.
Santri putra sendiri, sanri putri sendiri.”
P : “Kalau hari Jumat itu libur, biasanya digunakan santri untuk apa?”
D : “Ehm, biasanya digunakan untuk kerja bakti, belanja juga.”
L : “Biasanya juga ada yang pulang ke rumah kalau santri-santri yang
rumahnya dekat.”
P : “Kalau di sini tidak ada yang sekolah umum ya?”
D : “Tidak ada, semuanya cuma mondok saja di sini.”
P : “Aktivitas belajar biasanya dimulai dari jam berapa?”
L : “Dari jam 8 sampai jam 11 nanti lanjut lagi sampai sore buat mengaji
kitab.”
P : “Ustadz-ustadz sini beragam?”
D : “Ustadznya beragam. Masing-masing punya bidangnya sendiri.”
P : “Kalau untuk ustadz yang mengajar tafsir Al Quran siapa?
D+L : “Ustadz Baha‟udin”
P : “Waktu belajar, ada sistem diskusi atau cuma searah saja dari ustadz ke
santri?”
L : “Ada diskusi, antara santri satu dengan yang lain juga bisa bertukar
pendapat. Kami cukup bebas bertanya apa yang ingin kami tahu kepada
ustadz kami.”
D : “Pokoknya selama ustadz bisa ya dijawab tapi kalau tidak ya dibuat PR
dulu untuk dicarikan jawabannya.”
P : “Jadi, seperti di sekolah-sekolah umum ya? (mengangguk) Ya sudah
Mbak, begitu dulu. Terimakasih untuk waktunya.”
D+L : “Iya, Mbak. Sama-sama.”
174
Keterangan :
P : Peneliti
D : Ni‟matuss‟diyah
L : Lulik Khumaidiyah
Refleksi
Wawancara dilakukan peneliti dengan dua orang santri Pondok Pesantren
Al Quran Desa Narukan Kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang. Dua orang
santri tersebut adalah Ni‟matuss‟diyah dan Lulik Khumaidiyah yang sudah belajar
di pondok pesantren tersebut selama kurang lebih enam tahun. Sebelum dilakukan
wawancara, peneliti memberikan novel Perempuan Berkalung Sorban kepada
keduanya untuk dibaca terlebih dahulu agar sedikit banyak narasumber
mengetahui isi pembicaraan dalam wawancara dan mengetahui bagaimana isi
novel tersebut karena wawancara yang dilakukan juga bertujuan untuk
mengetahui penilaian pembaca novel terhadap novel Perempuan Berkalung
Sorban.
Pada awal wawancara peneliti menilai bahwa kedua narasumber
mengalami ketegangan karena sebelumnya belum ada yang melakukan
wawancara terhadap mereka atau melakukan penelitian di pondok pesantren
tersebut. Namun, seiring dengan berjalannya wawancara suasana mencair sedikit
demi sedikit sehingga suasana benar-benar cair. Kedua narasumber mulai
memberikan wawancara dengan jawaban yang lancar sampai akhir wawancara.
Pada umumnya, penilaian kedua narasumber terhadap novel Perempuan
Berkalung Sorban merupakan penilaian yang baik. Artinya, kedua narasumber
menilai novel tersebut memberikan pengetahuan dan pengalaman baru tentang arti
perjuangan kaum perempuan terutama dalam lingkungan pesantren. Namun,
kedua narasumber manyatakan bahwa cara penggambaran Abidah El Khalieqy
sebagai penulis novel Perempuan Berkalung Sorban terlalu berlebihan sehingga
terlihat bersikap keras terhadap pondok pesantren.
175
Lampiran 6.
Lampiran 7.
KOMENTAR PEMBACA TERHADAP NOVEL PEREMPUAN
BERKALUNG SORBAN