Anda di halaman 1dari 58

BAB II

CERITA RAKYAT, STRUKTUR DAN NILAI MORAL SERTA MODEL


PELESTARIANNYA DI MADRASAH TSANAWIYAH

1. Ihwal Cerita Rakyat


1.1. Pengertian Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan tradisi lisan yang secara turun temurun diwariskan
dalam kehidupan masyarakat, seperti dongeng Sangkuriang, Si Kancil, Si Kabayan
dan sebagainya. Cerita rakyat biasanya berbentuk tuturan yang berfungsi sebagai
media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam
kehidupan masyarakat. Dalam sastra Indonesia, cerita rakyat adalah salah satu bentuk
folklor lisan (Bunanta, 1998:21).
Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata bahasa Inggris folklore. Kata
itu adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata dasar folk dan lore. Dandles
menyatakan bahwa, Folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal
fisik, sosial dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok
lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud warna kulit yang sama,
bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf
pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting adalah
mereka telah memiliki suatu tradisi yaitu kebudayaan yang telah mereka warisi turun
temurun, sedikitnya ada dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik
bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan
identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan lore adalah tradisi folk
13

yaitu

14

kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device).
Definisi folklor secara keseluruhan menurut Danandjaya (2007:2) adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dan isyarat atau alat pembantu
pengingat (memoric device).
Dorson,(Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun folklife dapat
diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-kadang disebut juga seni
verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah bagaian folklor yang menjadi ruh
folklor. Sastra lisan pula yang menguatkan folklor hingga lekat dihati pendukungnya;
(2) budaya material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan dengan sastra
lisan. Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan
karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folk costum, artinya
kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi rakyat. Hal-hal yang
berhubungan dengan rites de passage, seperti kelahiran, inisiasi, ekmatin dan ritual
lainnya adalah folklor ; (4) performaing folk arts, artinya seni pertunjukan rakyat
seperti jatilan, ketoprak, srandul, dan sebagainya.
Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Dorson ini, maka cerita
PAL termasuk didalam kategori yang pertama, yaitu oral literature. Kategori yang
dikatakan sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita PAL

15

ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial bagi
perkembangan folklor.
Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand, yang membagi
folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaja,2007:21) mengatakan bahwa
berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar : (1)
folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore, dan
(3) folklore bukan lisan (non verbal folklore),atau masing-masing dengan istilah
mentifacts, sociofact,dan artifacts.
Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas sebagai
berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni.
Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk kedalam kelompok besar ini antara
lain; (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan
title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan
pemeo, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun,
gurindam dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan
(f) nyanyian rakyat.
Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor yang
bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan
rakyat, misalnya, yang oleh orang modern sering sekali disebut tahayul itu, terdiri
dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap
mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap
dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda

16

material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki,
seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat, teater rakyat,
tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Ketiga, folklor bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang
bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan
yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain;
arsitektur rakyat ( bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya),
kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman
rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material
antara lain; gerak isyarat tradisioanal (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
(kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti
yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat. Berdasar pada pengelompokan menurut
Brunvand ini maka cerita PAL dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita
prosa rakyat.
Folklor

dapat digunakan sebagai alat untuk mewariskan adat-istiadat,

norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra lisan. Hal ini tercermin
dari pernyataan Yanagita, (Endraswara,2009:109) yang mengatakan folklor
merupakan ajaran untuk hari esok, yang berarti sebuah disiplin ilmu yang dapat
membantu orang Jepang untuk mengerti jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka
secara lebih mendalam.

17

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa cerita


rakyat merupakan karya sastra yang berbentuk lisan, yang merupakan hasil tuturan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan merupakan warisan kebudayaan yang
hidup ditengah-tengah masyarakat serta bagian dari folklor. Berdasarkan definisi ini
maka, cerita PAL dikategorikan sebagai bagian dari folklor, dan merupakan karya
sastra yang berbentuk lisan.
1.2. Ciri-Ciri Cerita Rakyat
Cerita rakyat merupakan genre dari folklor yang hidup tersebar dalam bentuk
lisan dan kisahnya bersifat anonim yang tidak terikat pada ruang dan waktu serta
nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi. Oleh karena itu, cerita rakyat yang
merupakan bagian dari folklor menurut Danandjaya (2007:3). memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
(1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni tutur kata
yang disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu
contoh yang disertai gerakan isyarat dan alat pembantu pengingat) dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Namun, kini penyebaran folklor dapat kita
temukan dengan bantuan mesin cetak dan elektronik.
(2) Bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam
bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup
lama (paling sedikit dua generasi).
(3) Ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, karena cara
penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau

18

rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi
(interpolation) muncul varian-varian tersebut.
(4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
(5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.
(6) Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita
rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara,
protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.
(7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor lisan dan sebagian
lisan.
(8) Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu.
(9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak
folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Berdasarkan

ciri-ciri

folklor

tersebut,

ada

sebagian

orang

yang

berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau dongeng
hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini menurut penulis tidak
dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika
mencermati ciri folklor yang ke tujuh yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu
bahwa ciri folklor lisan dan sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan
masyarakat tersebut dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke

19

enam yaitu folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat
dikatakan benar.
Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang menyatakan
kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa :
bagi sementara orang paling tidaknya ada tiga hal yang dicela atau
dikhawatirkan oleh cerita rakyat, yaitu yang berkaitan dengan masalah moral,
kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadiankejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi, misalnya pencungkilan
mata (ibu Panji Laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya dia tidak
dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang
tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi
berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang
ada dalam cerita.
Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa
permasalahan tiga hal yang dicela dalam cerita rakyat terkait dengan masalah moral,
kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam. Perlu sikap arif
untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian orang yang diungkap oleh
Bunanta ini juga terkait dengan ciri ke sembilan yang disampaikan Danandjaja di atas
sehingga diperlukan adanya analisis yang dapat memberikan gambaran kepada
masyarakat bahwa cerita rakyat tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis
saja, tetapi lebih dari itu menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu diungkap.
Ratri (2008:3) mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah maknamakna yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levi
Strauss.

20

1.3. Fungsi Cerita Rakyat


Secara umum fungsi sastra termasuk cerita rakyat, hampir sama dengan
karya sastra lainnya. Kosasih (2003:222) menyatakan bahwa fungsi sastra dapat
digolongkan dalam lima kelompok besar, yaitu: (1) fungsi rekreatif, yaitu
memberikan rasa senang, gembira, serta menghibur, (2) fungsi didaktif, yaitu
mendidik para pembaca karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang ada
didalamnya, (3) fungsi estetis, yaitu memberikan nilai-nilai keindahan, (4) fungsi
moralitas, yaitu mengandung nilai moral yang tinggi sehingga para pembaca dapat
mengetahui moral yang baik dan buruk, (5) fungsi religiuditas, yaitu mengandung
ajaran yang dapat dijadikan teladan bagi para pembacanya.
Selain fungsi secara umum yang hampir sama dengan fungsi karya sastra di
atas, Bascom, menyampaikan fungsi cerita rakyat yang lebih spesifik. Menurut
Bascom (Danandjaya, 2007:19), folklor termasuk juga di dalamnya cerita rakyat
memiliki empat fungsi, yakni: (1) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat
pencermin angan-angan kolektif, (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan
lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak, (4) sebagai alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota
kolektifnya.
Melalui ciri-ciri yang disampaikan baik secara umum maupun lebih
spesifik di atas maka cerita PAL sebagai sebuah cerita rakyat sangat besar
kemungkinannya mengandung fungsi-fungsi tersebut. Fungsi-fungsi yang akan
penulis kaji dari cerita ini adalah memfokuskan pada fungsi moralitas sekaligus

21

mengkaji fungsi folklor sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
1.4. Macam-Macam Cerita Rakyat
Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita prosa
rakyat dapat dibagi ke dalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite (myth), (2)
legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita rakyat tersebut dapat
penulis jelaskan sebagai berikut.
(1) Mite
Mite (mitos) berasal dari bahasa Yunani yang berarti cerita tentang
dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang
mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya
merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi
oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain,
atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang ini, dan terjadi pada masa
lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia,
manusia pertama, bentuk fotografi, gejala alam, bentuk khas binatang, terjadinya
maut, dan sebagainya. Mite mengisahkan petualangan percintaan, hubungan
kekerabatan dan kisah perang para dewa (Danandjaya, 2007:51).
Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari mite.
Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dulu, yang
mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu

22

sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh
masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak
mengandung

hal-hal

ajaib,

umumnya

ditokohi

oleh

dewa.

Sudjiman

(Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita
rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa
dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional,
seperti terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti
tetapi diterima mentah-mentah.
Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng mite
adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural dengan latar suci
dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu genre cerita rakyat yang
dianggap suci dan diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya,
bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos
berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi kepercayaan,
melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya
norma-norma serta pengendali masyarakat. Mite menceritakan tentang ceritacerita yang berbau supranatural dan ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain.
(2) Legenda
Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya mite,
legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak
dianggap suci. Namun, legenda berlainan dengan mite. Legenda ditokohi

23

manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali
dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti
yang kita kenal ini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Legenda
dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh
terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda
bersifat migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya
dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya
terdapat juga hal-hal yang luar biasa. Dengan demikian, pada dasarnya legenda
merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan biasanya ditokohi oleh
manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh makhluk gaib.
Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang mencangkup
hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda dipandang sebagai
sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenarannya. Legenda berfungsi
mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari ancaman marabahaya.
Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita dari
zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman
(Lantini,1996:226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang tokoh,
peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos.
Darusuprata (Lantini,1996:227) menunjukan adanya unsur legenda yang terdapat
dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya merupakan cerita yang bertalian
dengan unsur-unsur air, unsur tanah, termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api,dan

24

udara. Unsur legenda inilah yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau
kosmologis.
(3) Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi
oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Bila legenda
dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita
pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk

hiburan, walaupun

banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran
(Danandjaya, 2007:50-86).
Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh cerita
rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi, menurut beberapa ahli,
dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia atau binatang.
Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep
cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk
diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos,
legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian.
Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra (2006:77) yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan

mitos dalam pandangan

strukturalisme Levi Strauss tidak lain adalah dongeng. Dongeng merupakan


sebuah kisah atau cerita yang lahir dari hasil imajinasi manusia, dari
khayalan manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa

25

yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi Putra memperlakukan
cerita-cerita sastra yang ditulis oleh Umar Kayam sebagai dongeng atau
mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss bahwa legenda atau
cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar, konflik, dan penyelesaian
cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada dalam kolektifnya pada masa itu.
Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil kesimpulan
bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya merupakan hasil
dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang mereka lihat dan
rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian tertuang dalam sebuah
karya sastra lisan.
2. Teori Struktur
2.1. Strukturalisme dalam karya sastra
Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya. Unsurunsur tersebut bersinergi menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan unsur-unsur tersebut
biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah yang akhirnya membentuk sebuah
benda. Dengan demikian unsur-unsur tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau
hubungan dengan unsur-unsur yang lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari
satu unsur saja tetapi dilihat dari jalinan unsur-unsur tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan oleh
Foley (Siswantoro,2010:13) bahwa struktur berarti bentuk keseluruhan yang
kompleks (complex whole). Setiap objek atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur,
yang terdiri dari berbagai unsure, yang setiap unsur tersebut menjalin hubungan.

26

Doktrin pokok strukturalisme adalah bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada
benda itu sendiri, tetapi terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak
ada unsur yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait
dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan.
Sebagai sebuah analogi sebuah bangunan gedung beton tersusun atas
unsur-unsur material yang membangunnya, seperti; air, batu, pasir, semen, dan unsur
lainnya yang menyatu menjadi sebuah kesatuan melalui pencampuran materialmaterial tersebut. Air saja tidak dapat dikatakan sebagai sebuah beton, demikian juga
batu, pasir, dan material yang lainnya, sehingga relasi antara material inilah yang
membentuk sebuah pola dan akhirnya membentuk beton.
Dari analogi tersebut, cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra pada
hakikatnya adalah sebuah benda. Sebagai sebuah benda tentu saja karya sastra juga
tersusun atas material-material yang menyusunnya. Unsur-unsur yang membangun
sebuah karya sastra biasanya dibedakan atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti
alur, tema, tokoh, seting, gaya bahasa, sudut pandang dan lain sebagainya. Sedangkan
unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada diluar karya sastra tersebut, tetapi masih ada
hubungan dengan karya tersebut. Unsur ini seperti biografi pengarang, situasi
penciptaan karya dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan struktur karya sastra, Teeuw (1988:135) mengemukakan
bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,

27

seteliti, semendetil dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua


anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Makna menyeluruh seperti yang disampaikan A Teeuw di atas karena
karya sastra tersusun atas unsur-unsur dalam sebuah sistem. Hal ini sesuai dengan
pendapat Pradopo ( 2009:188-119) bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsurunsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal
balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya
berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendirisendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung.
Strukturalisme dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan kesastraan
yang menekankan pada kajian hubungan antarunsur pembangun karya yang
bersangkutan (Nurgiyantoro, 2002:36). Analisis struktural karya sastra, yang dalam
hal

ini

fiksi,

dapat

dilakukan

dengan

mengidentifikasi,

mengkaji

dan

mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik fiksi yang bersangkutan


(Nurgiyantoro, 2002:37).
Konsep fungsi dalam strukturalisme memegang peranan penting. Artinya,
unsur-unsur sebagai ciri khas teori tersebut dapat berperan secara maksimal sematamata dengan adanya fungsi, yaitu dalam rangka menunjukan antarhubungan unsurunsur yang terlibat (Ratna, 2008:76). Strukturalisme sebagai aliran sastra yang
tumbuh kemudian, hadir dengan menunjukan adanya berbagai keragaman meskipun
prinsip dasarnya sama, yakni sastra merupakan struktur verbal yang bersifat otonom

28

dan dapat dipisahkan dari unsur-unsur lain yang menyertainya (Aminuddin,


2009:52).
Paradigma strukturalisme membatasi analisis dan pemahaman terhadap
karya sastra semata-mata pada tataran instrinsik (Ratna, 2010:74). Pendapat ini
didasarkan atas argumentasi yang dikemukakan oleh Tynjanov, dan dipertegas oleh
Mukarovsky, yang menyatakan bahwa karya sastra memiliki dua ciri yang selalu
hadir bersama-sama, yaitu: ciri otonom dan komunikatif. Ciri otonom diperoleh
melalui hubungan unsur-unsur dengan totalitas, sedangkan ciri komunikatif diperoleh
melalui hubungan karya dengan sistem kultural.
Strukturalisme, dengan menolak relevansi penulis, pada gilirannya secara
keseluruhan memusatkan pehatiannya pada kekayaan unsur-unsur karya, yang pada
umumnya disebut sebagai unsur-unsur instrinsik. Cara pemahaman yang dianjurkan
adalah model mikroskopis, pusat perhatian yang semata-mata didasarkan atas unsurunsur yang terkandung didalamnya (Ratna, 2010:77).
Permasalahan penting dalam memahami karya sastra dalam kaitannya
dengan kebudayaan adalah sudut pandang, paradigma terhadap hakikat objek. Dalam
hubungan ini perlu dikemukakan dua sudut pandang yang berbeda, yaitu: 1) sebagai
aktivitas kreatif karya sastra penuh dengan makna, 2) karya sastra merupakan entitas
kosong, karya sastra sebagai manifestasi bahasa biasa, bahkan disusun secara
gramatikal. Pendapat pertama cenderung menganggap karya sastra penuh dengan
makna, diwujudkan melalui bentuk dan isi. Jadi untuk menganalisis sebuah karya

29

sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu yang
diperlukan sudah terkandung di dalamnya.
Penganalisisan karya sastra yang menganggap bahwa tidak perlu keluar
dari karya sastra untuk mencari ha-hal yang diperlukan, sejalan dengan teori kritik
objektif (objective criticism) yang disampaikan oleh M.H. Abrams dalam bukunya
The Mirror and The Lamp. Kritik objektif (objective criticism) memandang karya
sastra sebagai sesuatu yang mandiri (otonom), bebas dari pengaruh sekitarnya, bebas
dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya. Karya sastra adalah sebuah dunia
yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya dan lingkungan sosial
budayanya. Karya harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan struktur
verbal yang otonom dengan koherensi interen. Oleh sebab itu, karya sastra
merupakan sebuah keseluruhan yang mencukupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian
yang saling terjalin erat dan padu, serta menghendaki pertimbangan analisis intrinsik
berdasarkan keberadaan karya sastra itu sendiri, seperti kompleksitas, koherensi,
keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antara unsur-unsur pembentuknya.
2.2. Struktur Cerita Rakyat
Konsep struktur pada karya sastra di atas tidak jauh berbeda pada konsep
struktur dongeng di dalam kajian folklor. Perbedaan ini tidak begitu nyata, hanya
pada istilah-istilah yang dipakai dalam analisisnya. Prop, (Endraswara,2009:112)
mengatakan bahwa konsep struktur dalam folklor adalah as the internal
relationship through which constituents of a whole are organized. Berdasarkan
pikiran Prop ini, Dundes, menganalisis struktur dongeng Indian Amerika. Yang

30

dimaksud dengan struktur dongeng dalam hal ini adalah satu unit kesatuan cerita
(dongeng) yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Di dalam ilmu folklor unsurunsur sebuah cerita, atau bagian cerita yang dapat dipergunakan sebagai satuan
analisis, disebut motif. Di dalam dongeng unsur-unsur ini dapat berupa; gejala alam,
binatang, suatu konsep, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, dan lainlain.
Berkaitan dengan struktur dalam

dongeng ini Endraswara (2009:112)

mengatakan bahwa dongeng atau cerita rakyat dapat dipotong-potong menjadi


beberapa

bagian dan dapat dibenarkan dalam analisis struktural. Setiap bagian

disebut motifem. Jadi, setiap dongeng atau cerita rakyat terdiri dari sederet motifem.
Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur motifem itu terpisah-pisah,
melainkan merujuk pada keutuhan makna.
Dundes (Endraswara,2009:112) menyatakan The motifemic slots may be
filled with varius motifs and the spiopic alternatir motifs for any given motifemic slot
may be labeled allomotifs maksudnya, motifem ini ibarat kotak (petak) kosong yang
dapat diisi berbagai jenis motif, atau alomotif, yaitu suatu motif pengganti. Motifemmotifem demikian yang menjadi satuan analisis dalam konstruksi penelitian folklor.
Dari pendapat-pendapat

mengenai struktur baik karya sastra maupun

dongeng yang ada dalam foklor dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, struktur
tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya dan unsur-unsur tersebut hanya akan
bermakna jika unsur-unsur tersebut saling berhubungan.

31

Levi Staruss seorang ahli antropolog memandang cerita rakyat tidak


berbeda dengan mitos yang tersusun atas bagian-bagian yang menyusunnya. Bagian
terkecil dari sebuah mitos menurut Levi Strauss adalah miteme (mytheme)
(Putra,2006:85-86). Makna sebuah mitos terletak pada relasi antar miteme-miteme
tersebut. Berkaitan dengan pendapat Levi Strauss ini, pada bagian selanjutnya akan
penulis paparkan tentang pendekatan strukturalisme Levi Strauss .
2.3. Pendekatan Strukturalisme Levi Strauss
Tujuan utama teori strukturalisme Levi Strauss adalah mengungkapkan
struktur humand mind melalui relasi antar elemen penyusunannya. Humand mind
ini erat kaitannya dengan sistem proyeksi yang membangkitkan berbagai macam
pesan.
Titik tolak dari teori strukturalisme Levi Strauss adalah konsep-konsep
dalam linguistik. Terdapat kesamaan antara mitos dengan bahasa. Legenda PAL
selanjutnya dicirikan sebagaimana mitos. Mitos dalam konteks penelitian ini
sejalan dengan pemikiran Levi-Strauss yaitu tak lebih dari sebuah dongeng
(Endraswara, 2003: 110).
Dongeng dalam kerangka pemikiran Levi Strauss adalah kisah atau
cerita yang lahir dari imajinasi manusia, walaupun unsur-unsur khayalan tersebut
berasal dari apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari (Putra,2006: 77).
Berdasarkan definisi demikian, jelas kiranya penulis memperlakukan Legenda
PAL sebagai sebuah cerita rakyat, yang di dalamnya mengandung aspek mitos.

32

Analisis struktural pada mitos PAL adalah dengan memperlakukan mitos


PAL dengan dua hal berikut. Pertama, seperti halnya bahasa, mitos merupakan
sebuah cerita (sistem simbol) yang menyampaikan pesan tertentu (Paz, 1997:
xxxii). Kedua, mengadopsi konsep linguistik, mitos tersusun atas oposisi binair
sebagaimana langue dan parole; sintagmatik dan paradigmatik; serta sinkronis dan
diakronis (Endraswara, 2005: 231).
Leach (Putra,2006:79) mengatakan bahwa pendekatan strukturalisme Levi
Strauss berfokus pada narasi teks, sebuah teks mitos diyakini sebagai ekspresi atau
perwujudan dari keinginan-keinginan yang tidak disadari, yang terkekang

atau

sedikit banyak tidak konsisten, tidak sesuai dengan kenyataan sehari-hari.


Sejalan dengan pemikiran demikian, teks mitos dianggap mempunyai
analog dengan struktur bahasa, yang diorganisasikan secara internal dalam sistem
oposisi binair. Fokus perhatian strukturalisme adalah sistem relasi dari strukturstruktur yang mendasari sesuatu. Struktur-struktur semacam inilah yang oleh Levi
Strauss dianggap melatarbelakangi keanekaragaman fenomena kenyataan pada
kehidupan sehari-hari. (Putra,2006:79-86)
Mitos sebagai produk dari kebudayaan adalah hasil dari aktivitas nalar
manusia di mana ia memiliki kesejajaran dengan bahasa yang juga merupakan
produk dari nalar manusia. Kesejajaran tersebut terletak sumber yang sama yaitu
relasi, oposisi, dan korelasi (Syam, 2007: 68-69). Sementara itu Putra (2007: 2325) mengatakan bahwa ada tiga macam pandangan mengenai hubungan bahasa
dan kebudayaan. Tiga pandangan tersebut adalah pertama bahasa dianggap

33

sebagai rerfleksi dari kebudayaan, kedua bahasa adalah salah satu unsur dari
kebudayaan, dan ketiga bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga
pandangan tersebut Levi Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari
material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai material yang
sama dan secara diakronis bahasa mendahului

kebudayaan karena melalui

bahasalah manusia mengatahui kebudayaan.


Levi Strauss, menggangap bahwa oposisi binair adalah the essence of
sense making : struktur yang mengatur sistem pemaknaan terhadap budaya dan
kehidupan. Oposisi binair adalah produk dari budaya dari sistem penandaan yang
berfungsi menstrukturkan persepsi terhadap alam natural dan dunia sosial melalui
penggolongan-penggolongan. Konsep dasar dari oposisi binair yaitu the
secondstage of the sense making process: penggunaan kategori-kategori sesuatu
yang hanya eksis di dunia alamiah untuk menjelaskan kategori-kategori konsep
kultural yang abstrak. John Fiske mencontohkan konsep oposisi binair angin
badai dan angin tenang (konkret) misalnya, dapat disejajarkan dengan oposisi
binair alam yang kejam dan alam yang tenang (abstrak) (http: // kunci .or
.id/es ai /nws /04/ binair.htm, diakses tanggal 19 Agustus 2010). Proses
pensejajaran ini selanjutnya memunculkan konsep transformasi.
Levi Strauss beranggapan bahwa berbagai aktivitas dan hasil kebudayaan
seperti makanan, perkawinan, sistem kekerabatan, dan utamanya mitos merupakan
perwujudan dari logika dasar atau nalar manusia. Bagaimana kondisi nalar tersebut

34

bekerja, perlu dilakukan analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun
di dalam sebuah mitos (Putra,2006:75-78).
Seperti untuk memahami bahasa, mitos pun harus dituturkan, tidak
hanya pada proses penceritaan, tetapi pada proses pengkomunikasian. Sistem
pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut, legenda PAL yang mengandung mitos pada hakikatnya adalah karya sastra.
Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan hubungan yang tidak
dapat dipisahkan. Cerita PAL sebagai karya sastra lama yang tidak diketahui
dengan jelas siapa pengarangnya menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai
sistem komunikasi. Hakikatnya fungsi karya sastra adalah dulce et utile (indah dan
berguna). Poe ( Wellek dan Warren, 1993: 25) menyatakan bahwa suatu karya sastra
hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Fungsi
komunikasi adalah turunan dari fungsi dulce et utile.
Sistem

komunikasi

yang

ditunjukkan,

tidak

hanya

proses

penyampaian pesan secara linear dari masyarakat pendahulu kepada masyarakat


sekarang. Namun, lebih tepatnya sistem komunikasi sebagai proses pembangkitan
atau penciptaan makna. Karya sastra sebagai proses komunikasi dapat dilihat dari
gambar di berikut ini.

35

Dimensi Horisontal
seleksi

MM
P

E1

Dimensi Vertikal

M2

I
(Ps)

E2

Gambar 1
Proses Penciptaan dan Pengkomunikasian Karya Sastra
diadaptasi dan dikembangkan dari Model Komunikasi Gerbner (Fiske,
2004) dan terdapat pada A Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984: 66),
(Ratri,2008:12)
Keterangan: P
E1

: Peristiwa
: Persepsi

I
E2

: Isi
: Persepsi atas Karya Sastra

: Masyarakat

M2 : Masyarakat Pembaca (tujuan)

: Karya Sastra

Ps

:Bentuk

: Pesan

Dimensi Horisontal
Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas
eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau
persepsi masyarakat atas peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi antar P
dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin menyerap
keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari proses seleksi,

36

masyarakat kemudian menciptakan karya sastra. Di dalam karya sastra


terjadi proses pemahaman dan penghayatan atas peristiwa yang pernah terjadi.
Dimensi Vertikal
Karya sastra yang telah diciptakan melahirkan pesan (Ps). Pesan tersebut
dibagi menjadi 2 bagian, S mengacu pada bentuk dan I mengacu pada isi pesan.
Garis putus-putus di dalam pesan (Ps) menunjukkan bahwa meskipun dibagi
menjadi dua, pesan adalah konsep utuh bukan bidang yang terpisah.
Masyarakat pembaca (M2) menerima E2, yakni pesan yang terekam dalam
karya sastra, yang terlebih dahulu telah mengalami serangkaian seleksi dan
pemahaman atas sebuah peristiwa. Pada kondisi inilah terjadi proses intrepretasi
karya

sastra, proses intrepretasi

membawa masyarakat pembaca kepada

sekumpulan konsep yang bersumber pada budaya. Konsep budaya tersebut


berkaitan dengan peristiwa yang terjadi. Akhirnya dapat dikatakan masyarakat
pembaca dapat menemukan makna dalam pesan (yang terkandung dalam karya
sastra). Pesan sendiri hendaknya dipahami sebagai sesuatu yang berpotensi
memiliki banyak makna. Potensi ini tidak pernah terwujudkan secara utuh dan isi
pesan tersebut belum bisa ditentukan sampai terjadi interaksi, yaitu proses
intrepretasi masyarakat pembaca atas karya sastra yang telah dihasilkan (dari
suatu peristiwa).
Pesan yang dibangkitkan dari karya sastra seringkali berada secara
implisit dan berbentuk simbolik. Bentuk simbolik adalah sesuatu hal yang
dikaitkan dengan (1) penafsiran pemakaian, (2) kaidah pemakaian sesuatu dengan

37

jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya
(Sobur,2006: 156).
Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan
model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa.
Persamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk
menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu
ke kelompok lain. Demikian halnya dengan mitos, ia disampaikan melalui bahasa
dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat
tersampaikan (Putra, 2006: 80-81).
Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan
parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah
yang

memungkinkan berlangsungnya komunikasi simbolik antar manusia

karena langue dimiliki bersama. Langue merupakan sebuah fenomena kolektif, ia


adalah sistem, fakta sosial atau aturan-aturan, norma-norma yang tidak disadari.
Pada tataran Langue-lah struktur tertentu dalam sebuah mitos dapat ditunjukkan.
Sedangkan parole adalah tuturan yang bersifat individual, ia merupakan cerminan
kebebasan seseorang. Penceritaan mitos yang berbeda-beda merupakan implikasi
dari parole (Putra, 2006: 44-45).
Selanjutnya, seperti dalam linguistik, diakronik adalah dimensi waktu
(bersifat historis, menyangkut perkembangan masa lalu, masa kini, dan yang akan
datang). Sedangkan sinkronik adalah aspek yang merepresentasikan bahasa pada
setiap kejadian pada waktu tertentu. Dimensi sinkronik yang ada dalam mitos

38

adalah

rangkaian

mytheme-mytheme

yang

secara

struktural

terkait

(Badcock,2008:77).
Selain persamaan-persamaan antara mitos dan bahasa, juga terdapat
perbedaan diantara keduanya. Hal yang membedakan mitos dengan bahasa
adalah mitos mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini
membuat mitos dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan sifatsifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak bisa diubah
secara semena-mena (Putra,2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak hatihati dapat mengubah makna.
Berdasarkan

persamaan

dan

perbedaan

di

atas,

Levi

Strauss

mengemukakan implikasi penting dalam analisis mitos. Jika bahasa tersusun atas
unit terkecil seperti fonem dan morfem, maka mitos tersusun atas gross
constituent unit atau mythemes (Putra,2006:85-86). Mythemes merupakan bagian
atau unsur terkecil dari mitos yang biasanya berbentuk suatu kalimat singkat,
yaitu kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono,2001:25). Mytheme
inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah mitos.
Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi Strauss adalah kajian tentang
interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar mitos.
Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural, yaitu
konsep struktur dan transformasi. Struktur adalah suatu model yang dibuat untuk
memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi Strauss membedakannya
menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar (surface structure)

39

dan struktur dalam sebagai struktur batin (deep structure). Struktur luar adalah
relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau empiris dari relasirelasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun
berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu tampak pada sisi empiris dari
fenomena yang dianalisis. Struktur dalam seringkali merupakan struktur tetap
yang sangat jarang (tidak) mengalami perubahan. (Ratri,2008:11-16).
Perbedaan struktur luar dan struktur dalam dapat dianalogikan dalam
kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini.
(1). Saya
(2) Aku

berjalan
lagi mlaku

di jalan
ing

(Indonesia)
ndalan (Jawa-ngoko)

(3) Kula

saweg mlampah wonten margi (Jawa-krama madya)

(4) Inyong

lagi mlaku

ning

gili

(Jawa-ngoko Banyumas)

KT

Secara empiris, kalimat-kalimat tersebut menunjukkan adanya perbedaan


dan perubahan. Struktur antara elemen-elemen dalam satu kalimat disebut struktur
permukaan. Meskipun ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda tapi makna dan
pesan yang dikandung keempat kalimat tersebut sama, inilah yang disebut struktur
dalam.
Perubahan pada tataran permukaan (struktur luar) disebut transformasi
seperti yang ditunjukkan pada contoh kalimat di atas. Terjadi perubahan antara
kalimat (1), (2), (3), (4), transformasi di sini berada dalam tataran bahasa.

40

Istilah transformasi juga dapat digunakan untuk menunjukkan pergantian seperti


pada kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini.
(1) Saya berbelanja di pasar Kemang . ( S - P - KT)
(2) Di pasar Kemang saya berbelanja. (KT - S - P)
(3) Berbelanja saya di pasar Kemang . (P - S - KT)

Pergantian-pergantian pada kalimat di atas terdapat pada susunan dari


elemen-elemen kalimat tersebut. Elemen saya misalnya pada kalimat pertama
berada di depan, di kalimat kedua menduduki tingkat kedua di belakang keterangan
tempat, dan di kalimat terakhir menduduki tingkat kedua, tetapi berada di
belakang predikat. Meskipun elemen-elemen tersebut menduduki tempat yang
berbeda-beda, tetapi pesan yang dikandung dalam kalimat tersebut tetap sama.
Transformasi yang ditunjukkan pada kalimat di atas adalah transformasi berupa
pergantian susunan elemen-elemen yang membentuk struktur.
Jenis transformasi yang lain, yakni tidak hanya pergantian elemen
penyusunnya, tetapi hilangnya elemen-elemen tertentu, seperti pada contoh yang
disampaikan oleh Ratri (2008:17) di bawah ini.
(1) Saya mohon anda jangan pergi
(2) Mohon anda jangan pergi
(3) Jangan pergi
Perubahan di tiga kalimat di atas terjadi karena hilangnya elemen-elemen
tertentu, namun, perubahan tersebut tidak menimbulkan perbedaan makna.

41

Berdasarkan konsep-konsep teoritis sebagaimana yang dijelaskan di atas,


Levi Strauss telah menganalisis berbagai dongeng hampir di seluruh dunia. Salah
satunya adalah dongeng tentang seorang Indian bernama Asdiwal. Menurutnya,
dongeng ini merupakan simbolisasi kegagalan dari upaya nalar dan masyarakat
Thimshian (kolektifnya) untuk mendamaikan, menyatukan, paradoks-paradoks
yang ada pada kehidupan mereka, termasuk di antaranya paradoks tentang
kehidupan sosial, yang muncul karena adanya pola matrinilinear yang berlawanan
dengan pola tempat tinggal patrilokal. Paradoks ini berusaha diselesaikan lewat
perkawinan matrilineal cross-coussin, tetapi ternyata tetap gagal. Kegagalan ini
sulit diakui dalam kenyataan, tetapi lewat mitos-mitos mereka, orang Thimshian
memberikan pengakuan atas kegagalan tersebut (Putra, 2006: 135).
3.

Nilai Moral dalam Cerita Rakyat

3.1. Pengertian Nilai Moral


Sebelum membahas apa itu pengertian nilai moral maka ada baiknya penulis
menyampaikan terlebih dahulu tentang pengertian nilai. Secara etimologis, nilai
(value=velare) diartikan harga . Secara sederhana nilai dapat diartikan

sebagai

sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap
baik (Sumantri, 2008:4), sementara moral menurut Lillie (Budiningsih,2004:24)
berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau
adat istiadat.
Dari pendapat tersebut maka secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa
pengertian nilai moral adalah tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang

42

dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.
Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dianggap baik oleh sekelompok
orang belum tentu baik menurut kelompok lainnya.
Untuk menjawab persoalan di atas Poespoprojo menyampaikan tentang
keuniversalitasan moral dalam bukunya Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan
Praktik. Menurut Poespoprojo moral berarti bahwa hidup kita itu mempunyai arah
tertentu meskipun arah tersebut sekarang belum dapat kita tunjukan sepenuhnya.
Seseorang menangis atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa
perbuatannya melanggar, menyeleweng, mengkhianati arah ini. Ia mengerjakan
sesuatu yang mestinya tidak ia kerjakan.
Lebih lanjut Puspoprojo menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian para
ahli antropologi dan sosiologi seperti Lowie, Goldenwiser, Paul Radin, William
Schmidt, Westermarck, Boas, Evans Pritchard, dan Malinowski, terhadap suku-suku
bangsa dan masyarakat manusia, baik yang masih dalam taraf pramodern maupun
yang telah dalam taraf modern, berkesimpulan, the fact of the universal existence
of a body of basic rules of morality present in all societies without distinction of
race and culture has been established beyond doubt.(Poespoprojo,1999:14).
Berkaitan dengan keuniversalan moral, Imanuel kant (Puspoprojo,1999:14)
menyampaikan bahwa No man is wholly destitute of moral feeling for if he were
totally ususceptible of this sensation he would be morally deadthen his humanity
would be dissolved (as if it were by chemical laws) into mere animality.

43

Dari pendapat ini Puspoprojo juga menyampaikan bahwa jika kita sekarang
disodori keberatan tentang hukum moral secara universal tidak ditaati, seperti yang
tampak pada praktik-praktik kanibalisme, pengayauan, pembunuhan bayi, dan
sebagainya pada suku-suku primitif

dan tampak pada praktik-praktik penipuan,

korupsi, pengguguran kandungan pada orang-orang modern, maka ada jawaban yang
cukup terurai.
Terdapat dua cara pelanggaran suatu hukum moral, yakni secara sengaja atau
karena tidak tahu. Dalam hal sengaja, masih ada aspek hukum meskipun telah
dilanggar, kekuatan mengikat masih terasakan, dan membangkitkan rasa salah (sense
of guilt) atau rasa sesal (feeling of remorse, gewetenswroeging) pada diri orang yang
melanggarnya. Tidak sedikit suku-suku primitif yang setelah mengadakan
pembunuhan masal terhadap lawannya, kemudian mengadakan upacara pembersihan
diri, bahkan di antara mereka ada yang sangat menyesali perbuatan jahatnya dimasa
lalu, sampai-sampai mereka bunuh diri.
Mengenai soal tidak tahu, ini bisa terjadi mengenai prinsip moral yang
sekunder, yaitu mengenai penerapan dan kesimpulan dari prinsip-prinsip pertama
yang pasti diketahui. Kekurangmampuan menalar dengan akal budinya membuat
seseorang menyimpulkan secara salah, dan juga salah menerapkan prinsip pada
kejadian tertentu.
Apabila suatu suku primitif mempraktikan kanibalisme atau pembunuhan
bayi, mereka tidak pernah secara prinsip menganggap bahwa Licet (boleh)
membunuh setiap orang pada sembarang saat atau sembarang keadaan. Mereka

44

berbuat demikian hanya bila ada prestise, keharusan, atau upacara keagamaan
menuntutnya. Selanjutnya, praktik-praktik tersebut, juga kekeliruan moral lainnya,
pada umumnya karena penyelesaian yang salah dalam menyelesaikan dua keputusan
moral yang nampaknya saling bertentangan (Puspoprojo,1999:16)
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai
baik dan buruk dikatakan berbeda pemaknaan dari satu kelompok masyarakat dengan
masyarakat

pada

kelompok

lainnya,

namun

ternyata

manusia

dimanapun

kelompoknya akan merasa berbuat salah jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan fitrah kemanusiannya.
Hal

ini

senada

dengan

apa

yang

disampaikan

oleh

Magnis

(Budiningsih,2004:24) mengatakan bahwa kata moral selalu mengacu pada baik


buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang moral adalah bidang kehidupan
manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia .
Syahidin (2009:239) membedakan antara nilai, moral dan etika. Menurut dia
nilai merupakan perangkat moralitas yang paling abstrak. Nilai adalah suatu
perangkat keyakinan ataupun perasaan yang diyakini sebagai suatu identitas yang
memberikan corak khusus kepada pola pemikiran, perasaan, keterikatan, dan
perilaku. Contoh nilai adalah ketuhanan, kemanusian, dan keadilan. Moral merupakan
penjabaran dari nilai, tetapi tidak seoperasional etika. Misalnya saja ke-36 butir P-4
disebut sebagai Moral Pancasila karena merupakan penjabaran dari nilai Pancasila.
Adapun etika merupakan penjabaran dari moral dalam bentuk formula, peraturan atau
ketentuan pelaksanaan. Misalnya etika belajar, etika mengajar, dan etika dokter.

45

3.2. Nilai Moral dalam Cerita Rakyat


Cerita rakyat dan karya sastra pada umumnya menyampaikan nilai-nilai
moral untuk dipahami oleh penikmatnya. Hal ini senada dengan pendapat
Nurgiantoro ( 2007: 321) yang mengatakan bahwa moral merupakan sesuatu yang
ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca, merupakan makna yang
terkandung dalam sebuah karya sastra dan makna yang disarankan lewat cerita. Hal
itu berarti pengarang menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca melalui
karya sastra baik penyampaian secara langsung maupun tidak langsung. Bentuk
penyampaian langsung artinya moral yang disampaikan, atau diajarkan kepada
pembaca dilakukan secara langsung dan eksplisit. Sebaliknya bentuk penyampaian
secara tidak langsung maksudnya pesan itu hanya tersirat dalam cerita, berpadu
secara koherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain.
Lebih lanjut Nurgiantoro juga mengatakan bahwa moral dalam karya sastra
yang diperoleh oleh pembaca selalu dalam pengertian baik. Dengan demikian, jika
dalam sebuah karya sastra ditampilkan hal-hal yang tidak terpuji, tidaklah berarti
bahwa pengarang menyarankan pembacanya untuk bertindak dan bertingkah laku
tidak terpuji. Pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari hal-hal yang tidak
baik tersebut. Karya sastra senantiasa menawarkan pesan moral yang berhubungan
dengan sifat-sifat luhur kemanusiaan, memperjuangkan hak dan martabat manusia.
Senada dengan pendapat tersebut Semi (Jumani,2009:51) mengatakan bahwa
karya sastra yang hanya mementingkan nilai seni tanpa memperhatikan moral, dinilai
sebagai karya sastra yang tidak bermutu.

46

Cerita rakyat seperti yang telah penulis sampaikan di awal berfungsi sebagai
media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam
kehidupan masyarakat. Dari fungsi ini maka cerita rakyat akan mengandung nilai
moral di dalamnya dan biasanya nilai ini cenderung disampaikan secara terselubung
melaui jalinan cerita yang ada. Untuk membedah pesan yang terselubung ini maka
dibutuhkan sebuah pisau analisis sehingga pesan ini dapat terkuak. Salah satu pisau
analisis yang akan digunakan untuk membedah cerita PAL dalam penelitian ini adalah
dengan model strukturalisme Levi Strauss.
Cerita PAL sebagai sebuah mitos merupakan cerminan angan-angan
pemiliknya yang tertuang dalam sebuah kisah, sehingga besar kemungkinan
mengandung nilai moral. Pengungkapan nilai moral dalam cerita PAL membutuhkan
sebuah analisis yang dapat mengungkapkan nilai tersebut. Untuk menganalisisnya
penulis mengambil analisis konten atau isi seperti yang disampaikan Endraswara
(2006:83) bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat
membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan
antara manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slametan dan
lain sebagainnya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia,
misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi, dan sebagainya,
3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap
tidak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung), 4) budi pekerti
yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, misalkan jin,setan, hewan,

47

tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan
dirinya sendiri.
Kategori yang dibuat untuk menganalisis nilai moral dalam cerita PAL ini,
selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
cerita PAL hidup dan berkembang di daerah Jawa, sehingga mencerminkan budaya
yang ada pada masyarakatnya.
4.

Model Pelestarian Cerita Rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah


Tsanawiyah.
Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir. Sebuah

model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model


juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkonkretkan sebuah teori sekaligus
juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat
di dalam teori tersebut.
Morisson, Ross, dan Kemp (Pribadi, 2009:86) mengatakan bahwa model
atau desain pembelajaran adalah sebagai perancang program atau kegiatan
pembelajaran dalam memahami kerangka teori dengan lebih baik dan menerapkan
teori tersebut untuk menciptakan aktivitas pembelajaran yang lebih efektif dan
efisien. Selain itu juga model pembelajaran dapat berperan sebagai alat konseptual,
pengelolaan,

komunikasi

untuk

menganalisis,

merancang,

menciptakan,

mengevaluasi program pembelajaran, dan program pelatihan.


Pada umumnya, setiap desain/model pembelajaran memiliki keunikan dan
perbedaan dalam langkah-langkah dan prosedur yang digunakan. Begitu juga

48

perbedaan kerap sekali terdapat pada istilah-istilah yang digunakan. Namun


demikian, model tersebut memiliki dasar prinsip yang sama dalam upaya merancang
program pembelajaran yang berkualitas. Untuk mengatasi berbagai problematika
dalam pelaksanaan pembelajaran, tentu diperlukan model pembelajaran yang mampu
mengatasi segala kesulitan.
Komarudin (Sagala, 2010:175), memahami model sebagai; (1) suatu tipe
atau desain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang digunakan untuk membantu proses
visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung diamati; (3) suatu sistem
asumsi-asumsi, data-data, dan inferensi-inferensi yang dipakai untuk menggambarkan
secara matematis suatu objek atau peristiwa; (4) suatu desain yang disederhanakan
dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan realitas yang disederhanakan; (5) suatu
deskripsi dari suatu sistem yang mungkin atau imajiner; dan (6) penyajian yang
diperkecil agar dapat menjelaskan dan menunjukkan sifat bentuk aslinya.
Model dirancang untuk mewakili realitas/kenyataan yang sesungguhnya,
walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia yang sebenarnya. Atas dasar
pengertian tersebut, maka model mengajar dapat dipahami sebagai kerangka
konseptual yang mendeskripsikan dan melukiskan prosedur secara sistematik dalam
mengorganisasikan pengalaman belajar dan pembelajaran untuk mencapai tujuan
suatu belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perencanaan pengajaran
bagi para guru dalam melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Model pembelajaran menurut Joyce dan Weil (2000:13) adalah suatu
deskripsi dari lingkungan belajar yang menggambarkan perencanaan kurikulum,

49

kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, bukubuku pelajaran buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui
alat-alat elektronik berupa komputer.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model
pelestarian cerita rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah adalah upaya
yang dilakukan untuk melestarikan cerita PAL melalui pembelajaran di Madrasah
Tsanawiyah. Upaya ini dilakukan dengan membuat sebuah model atau desain
pembelajaran dengan cerita PAL sebagai bahan ajarnya. Model pembelajaran yang
akan diterapkan sebagai salah satu upaya pelestarian cerita rakyat PAL di Madrasah
Tsanawiyah adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning CTL).
Penerapan model pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah
Tsanawiyah perlu memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan materi cerita
rakyat di Madrasah Tsanawiyah. Aspek-aspek tersebut antara lain kurikulum, prinsipprinsip pemilihan bahan ajar dalam pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran
kontekstual, dan rancangan pembelajaran cerita rakyat PAL.
Aspek-aspek

yang

perlu

diperhatikan

dalam

penerapan

model

pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah, dapat dijelaskan


sebagai berikut..
4.1. Tinjauan Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di Madrasah Tsanawiyah.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 mengenai Standar Nasional
Pendidikan (SNP) merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 20 tahun

50

2003 tentang Pendidikan Nasional. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan


gambaran dan arahan tentang perlunya disusun dan dilaksanakan delapan standar
nasional pendidikan dan tenaga kependidikkan. Standar Nasional Pendidikan juga
digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidikan, sarana dan
prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagai salah satu produk
pengembangan kurikulum, mengandung bagian penting yang disebut dengan silabus.
Silabus didefinisikan sebagai rencana pembelajaran pada sutu dan/atau kelompok
mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar,
materi pokok/ pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi
untuk penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.
Pada KTSP pembelajaran sastra untuk tingkat SMP/Madrasah Tsanawiyah
masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran sastra terintegrasi
dalam empat keterampilan berbahasa yaitu: mendengarkan, berbicara, membaca, dan
menulis. Hal ini berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya yang memisahkan
pembelajaran sastra dengan pembelajaran kebahasaan dalam materi Bahasa
Indonesia. Pada kurikulum-kurikulum sebelumnya materi pembelajaran Bahasa
Indonesia terdiri dari mendengarkan, berbicara, membaca, menulis dan apresiasi
sastra.
Pada

pengembangan

silabus

Bahasa

Indonesia

untuk

tingkat

SLTP/Madrasah Tsanawiyah terdapat materi yang berkaitan dengan cerita rakyat


yang tercantum dalam standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD). SK kelas

51

VII semester 1, tercantum mengapresiasi dongeng yang diperdengarkan, dan pada


KD-nya tercantum menemukan hal-hal menarik dari dongeng yang diperdengarkan
dan

menunjukkan relevansi isi dongeng yang diperdengarkan dengan situasi

sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan KD kelas X semester 2
yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang dituturkan) (SK) dan
menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan
langsung atau melalui rekaman (KD).
Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat PAL mempunyai
kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran
apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesempatan ini merupakan
wahana yang baik untuk memperkenalkan cerita PAL kepada siswa, sehingga cerita
PAL dapat lebih diketahui dan akhirnya dapat dijadikan model alternatif pelestarian
cerita tersebut.
Cerita

PAL

sebagai

materi

pembelajaran

Bahasa

Indonesia

di

SMP/Madrasah Tsanawiyah memberikan pengalaman kepada siswa untuk memeroleh


pengalaman melihat, mengenali, serta dapat mengapresiasi tradisi daerahnya sendiri
sebagai kearifan lokal masyarakatnya. Hal inilah yang sering dibicarakan para
budayawan atau seniman mengenai keberadaan sekolah sebagai bagian terpenting
dalam pelestarian budaya daerah. Melalui sekolah, tradisi daerah dapat diestafetkan
kepada generasi sekarang dan generasi mendatang.
Kemungkinan cerita PAL sebagai bahan ajar materi mata pelajaran Bahasa
Indonesia di Madrasah Tsanawiyah tidak begitu saja dapat diterapkan, namun harus

52

memperhatikan kriteria-kriteria pemilihan bahan ajar dalam pendidikan. Untuk


mengetahui kriteria-kriteria tersebut berikut ini penulis sampaikan uraian berkaitan
dengan pemilihan bahan ajar dalam pendidikan.
4.2. Pemilihan Bahan Ajar dalam Pendidikan
Masalah bahan ajar merupakan masalah yang sering dihadapi guru ketika
memilih atau menentukan materi karena dalam kurikulum (silabus) hanya dituliskan
secara garis besar dalam bentuk materi pokok. Bahan ajar ini diserahkan kepada guru
dengan tujuan agar pembelajaran lebih bermakna dan mengena pada subjek
pembelajaran, karena gurulah yang berada di lapangan sehingga lebih mengetahui
persoalan yang dihadapi. Namun demikian, kelonggaran pemilihan bahan ajar ini
bagi sebagian guru menjadi sebuah beban karena harus dipusingkan atau direpotkan
untuk mencari bahan ajar. Hal ini pulalah yang menjadi alasan penulis untuk
melakukan penelitian terhadap cerita PAL sebagai salah satu alternatif bahan ajar
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat
membantu guru untuk menemukan bahan ajar pada materi cerita rakyat.
Bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka
mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Secara terperinci, jenis-jenis
materi pembelajaran terdiri dari pengetahuan (fakta, konsep, prinsip, prosedur)
keterampilan, sikap atau nilai.
Pembelajaran prosa fiksi dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) termasuk dalam standar kompetensi yang harus diajarkan oleh guru dalam

53

materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukan bahwa materi prosa fiksi merupakan
materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Tujuan pembelajaran sastra pada tiap-tiap tingkatan sekolah pada dasarnya
sama, hanya saja ada perbedaan tekanan berkaitan dengan jenis dan tingkatan
sekolah, yaitu menumbuhkan keterampilan berbahasa, kepekaan sosial, kesadaran
sosial, mengembangkan daya imajinasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Rahmanto (1993:16-24), bahwa pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta
dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis dan
kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk memilih objek
bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi siswa. Prinsip dasar
dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan
kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya

pada suatu tahapan

pengajaran tertentu (Rahmanto, 1993:26).


Kemampuan siswa berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan
jiwanya. Oleh karena itu, karya sastra yang disajikan hendaknya diklasifikasikan
berdasarkan derajat kesukarannya disamping kriteria-kriteria lainnya. Tanpa ada
kesesuaian antara siswa dengan bahan yang diajarkan, proses pembelajaran yang
disampaikan akan mengalami kegagalan dan tidak sesuai dengan yang diharapkan.

54

Agar dapat memilih bahan pembelajaran sastra dengan tepat, beberapa


aspek perlu dipertimbangkan. Menurut Rahmanto (1993: 27-31) ada tiga aspek
penting yang tidak boleh dilupakan jika kita ingin memilih bahan pembelajaran
sastra, yaitu: 1) bahasa; 2) kematangan jiwa (psikologi); 3) latar belakang kebudayaan
siswa.
1) Aspek Bahasa
Penguasaan bahasa pada setiap individu biasanya tumbuh dan berkembang
melalui tahap-tahap yang mudah diidentifikasi. Sebaliknya, bahasa dalam sastra
sering tampak rumit karena permasalahan yang diungkapkan, teknik penulisan, serta
bahasa dalam karya sastra yang memiliki ciri tersendiri. Sehubungan dengan hal ini,
maka guru diharapkan dapat memilih karya sastra yang didalamnya menggunakan
kosa kata dan ungkapan-ungkapan yang dapat dimengerti siswa. Jika ada kosa kata
yang tidak dimengerti siswa, guru berkewajiban terlebih dahulu memberikan
penjelasan.
2) Aspek Psikologi
Perkembangan psikologi seseorang sejak kanak-kanak sampai dewasa
melalui berbagai tahapan. Pertama, tahap penghayal (8 9 th), pada tahap ini imaji
anak belum banyak diisi hal-hal nyata tapi masih penuh dengan berbagai macam
fantasi kekanakan. Kedua, tahap romantik (10-12 th) pada tahap ini anak mulai
meninggalkan fantasi-fantasi dan mengarah ke realitas. Meskipun pandangannya
tentang dunia masih sangat sederhana. Pada tahap ini anak menyenangi cerita-cerita
kepahlawanan, petualangan, dan bahkan kejahatan.

55

Ketiga, tahap realistik (13 16 th), sampai tahap ini anak sudah benarbenar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang
benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan
teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.
Keempat, tahap realistik ( 16 th ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya
berminat pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk
menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka
berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena tersebut yang kadangkadang mengarah kepada pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan
moral.
3) Aspek Latar Belakang Budaya
Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan
manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi,
legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga,
hiburan, moral, dan lain sebagainya.
Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar
budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik
dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu.
Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih menarik perhatian mereka karena ada
kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh
tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki
kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka.

56

Selain kriteria yang disampaikan oleh Rahmanto tersebut, masih terdapat


hal-hal yang harus diperhatikan sebagai dasar pegangan dalam memilih objek bahan
pelajaran yang disampaikan oleh Suyitno. Hal-hal tersebut adalah bahwa bahan
pelajaran harus mampu menunjang dan membantu siswa pada hal-hal sebagai berikut.
1) Mampu membantu siswa mengenal dan memahami manusia secara lebih baik. 2)
Mampu membuat siswa memahami serta menghayati kehidupan secara lebih baik. 3)
Memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik. 4)
Menunjang pemahaman yang lebih baik terhadap kebudayaan pada umumnya dan
kebudayaan nasional pada khususnya. 5) Sebaiknya dipilih karya sastra yang
menonjol dalam sejarah perkembangan sastra, Rahmanto (1993: 32).
Kriteria-kriteria di atas tentu saja tidak bersifat mutlak. Seorang pengajar
masih dapat menentukan skala prioritas tersendiri yang dirasakan lebih mengena bagi
kepentingan pengajaran. Hal ini disesuaikan dengan kondisi objektif siswa dan tenaga
pengajar demi tercapainya tujuan pengajaran.
4.3. Model Pembelajaran Kontekstual
Andriana (Sudarmono,2009:39) menjelaskan tentang pembelajaran dengan
metode kontekstual yaitu pembelajaran yang membantu guru menghubungkan mata
pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan pembelajaran yang memotifasi siswa agar
menghubungkan pengetahuan dan menerapkannya dengan kehidupan sehari-hari
sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

57

Berdasarkan pengertian tersebut, maka metode kontekstual merupakan


strategi yang melibatkan siswa secara penuh dalam proses pembelajaran. Siswa
didorong untuk beraktivitas mempelajari materi pelajaran sesuai dengan topik yang
akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya sekedar mendengarkan
dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman secara langsung. Melalui
proses berpengalaman itu diharapkan perkembangan siswa terjadi secara utuh, yang
tidak hanya berkembang secara kognitif saja, tetapi juga aspek afektif dan juga
psikomotor.
Sanjaya ( 2010:255) menyampaikan bahwa Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada proses
keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa
untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka. Dari konsep tersebut ada tiga
hal yang harus kita pahami.
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk
menemukan materi, artinya proses belajar diorientasikan pada proses pengalaman
secara langsung. Proses belajar dalam konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa
hanya menerima pelajaran, akan tetapi proses mencari dan menemukan sendiri materi
pelajaran.
Kedua, CTL mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antar
materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antar pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan

58

nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan hanya bagi siswa materi itu akan
bermakna secara fungsional terhadap materi yang dipelajarinya tetapi juga akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan
untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka
dalam mengarungi kehidupan nyata.
Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu;
konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan
penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu pembelajaran dikatakan
pembelajaran kontekstual jika dalam pembelajarannya menerapkan tujuh komponen
tersebut.
a. Konstruktivisme
Konstrukttivisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan
kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa
pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Pengetahuan harus dikontruksi dan diberi

59

makna oleh siswa melalui pengalaman nyata. Berkaitan dengan hal ini, maka
siswa perlu dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang
berguna bagi dirinya, dan terbiasa dengan gagasan- gagasan. Pelatihan yang
dilakukan siswa juga untuk membantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya,
sebab, pada kenyataannya guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa.
Teori

kontruktivisme

dapat

diartikan

bahwa

siswa

harus

mengembangkan pemikirannya untuk melakukan kegiatan belajar agar lebih


bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan dan mengkontruksi sendiri
pengetahuan dan ketrampilan baru yang harus dimilikinya
b. Menemukan
Menemukan (inquiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan dari
hasil menemukan sendiri, bukan hasil mengingat seperangkat fakta. Guru dituntut
agar dalam merancang kegiatan pembelajaran, sejauh mungkin

agar bersifat

inquiri untuk semua topik yang diajarkan.


Proses menemukan yang dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran
tidak begitu saja dapat dipahami oleh siswa. Peran guru ikut menentukan
keberhasilan siswa dalam proses menemukan ini. Guru perlu menyampaikan
beberapa langkah kepada siswa agar siswa dapat termotivasi untuk melakukan
proses

menemukan.

Langkah-langkah

tersebut

menurut

Nurwanti

(Sudarmono,2009:41) antara lain; merumuskan masalah, mengamati dan

60

melakukan observasi, menganalisis dan menyajikan hasil tulisan, gambar, laporan,


bagan, tabel, dan karya lainnya, dan mengkomunikasikan atau menyajikan hasil
karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audiens yang lain.
c. Bertanya
Kegiatan pembelajaran yang bersifat kontekstual harus mengembangkan
sifat ingin tahu siswa dengan

memunculkan pertanyaan-pertanyaan. Kegiatan

bertanya merupakan bagian penting bagi siswa untuk menggali informasi,


mengonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian
pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Nurwanti

(Sudarmono,2009:41)

mengemukakan

bahwa

kegiatan

bertanya sangat berguna dalam pembelajaran. Kegunaan tersebut meliputi; (1)


menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) mengecek
pemahaman siswa; (3) membangkitkan respon siswa; (4) mengetahui sejauh mana
keinginan siswa; (5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa; (6)
memfokuskan perhatian siswa; (7) membangkitkan pertanyaan yang lebih banyak
dari siswa; dan (8) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
d. Masyarakat belajar
Konsep masyarakat belajar memberi peluang untuk memperoleh hasil
pembelajaran melalui kerja sama dengan orang lain. Dalam hal ini guru berupaya
menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi,
tanya jawab dan lain sebagainya. Melalui kegiatan berkelompok terjadi kerja sama
antarsiswa dan kerja sama siswa dengan guru, yang bersifat terbuka.

61

Pembelajaran dengan konsep masyarakat belajar dapat berlangsung apa


bila terjalin komunikasi. Siswa yang terlibat dalam kegiatan, memberikan
informasi yang diperlukan oleh teman belajarnya dan sekaligus juga meminta
informasi yang diperlukan kepada teman belajarnya tersebut. Kegiatan ini harus
menghindari pendominasian oleh siswa. Semua siswa harus terlibat aktif dalam
diskusi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya dan tidak ada pihak
yang menganggap paling tahu.
e. Pemodelan
Proses pembelajaran kontekstual membutuhkan suasana yang konkrit,
agar pembelajaran dapat cepat dikuasai siswa. Untuk memunculkan suasana yang
konkrit ini, guru dapat memunculkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa
melalui ilustrasi, atau bahkan melalui media yang sebenarnya.
f. Refleksi
Kegiatan refleksi diperlukan untuk mengetahui sejauh mana siswa
merespon kejadian, aktifitas, atau pengetahuan yang baru diterimanya. Refleksi
adalah cara berpikir tentang hal yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang
tentang hal-hal yang sudah dilakukan dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran
kontekstual guru sebisa mungkin membiasakan anak untuk melakukan refleksi
dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Hal ini dapat memberikan
umpan balik bagi guru, tentang pembelajaran yang telah dilaksanakan. Sehingga
guru dapat menilai, memperbaiki, dan menyempurnakan strategi pembelajarannya.

62

g. Penilaian yang Sebenarnya


Penilaian merupakan proses pengumpulan informasi yang bisa
memberikan gambaran tentang perkembangan belajar siswa, dan sekaligus
memberikan umpan balik kepada guru terhadap pembelajaran yang telah
dilaksanakan.
Penilaian

yang disusun guru harus dapat menilai proses dan hasil.

Keaktifan siswa dalam diskusi, mengemukakan ide-idenya, serta pencarian yang


serius merupakan penilaian tersendiri sebagai proses belajar siswa. Pada bagian
akhir pembelajaran guru melakukan evaluasi sebagai proses penilaian untuk
mengetahui tingkat pemahaman siswa. Pengumpulan tugas kelompok juga
merupakan proses penilaian yang dapat dilakukan oleh guru.
4.4. Rancangan Pembelajaran Cerita Rakyat PAL
Rancangan model pembelajaran cerita PAL yang akan diterapkan
mengadopsi dari model-model mengajar dan Komponennya yang disampaikan oleh
Joyce & Weil. Joyce & Weil (1980:9) membagi model mengajar ke dalam empat
rumpun, yaitu; (1) The Second Interaction Sources (Model Interaksi Sosial); (2) The
Information Processing Sources (Model Pemrosesan Informasi); (3) The Personal
sources (Model Personal/Pribadi); (4) Behaviour Modification as a Sources (Model
Prilaku). Setiap rumpun terdiri atas beberapa model mengajar berdasarkan teori yang
disusun para ahli sehingga nama model pada setiap rumpun bergantung pada teori
para ahli dan tujuan yang hendak dicapai.

63

Penyusunan model pembelajaran cerita rakyat PAL yang akan disusun


didasarkan pada rumpun The Information Processing Sources (Model Pemrosesan
Informasi). Model ini menekankan pada bagaimana cara individu memberikan respon
yang

datang

dari

lingkungannya

dengan

cara

mengorganisasikan

data,

memformulasikan masalah, membangun konsep dan rencana pemecahkan masalah


serta penggunaan simbol-simbol verbal dan nonverbal. Selain itu, model ini juga
memberikan kepada siswa sejumlah konsep, pengujian hipotesis, dan memusatkan
perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif.
Joyce & Weil (1980) mengemukakan bahwa sebuah model mengajar
memiliki empat komponen. Keempat komponen yang harus ada dalam setiap model
mengajar itu adalah: (1) orientation the model (orientasi model), (2) the model of
teaching (model mengajar), (3) application (penerapan), (4) instructional and
nurturant effect (dampak pengajaran dan penyerta). Pada komponen the model of
teaching (model mengajar), terbagi atas syntax (urutan kegiatan), social system
(sistem sosial), principal of rection (prinsip reaksi), dan support system (sistem
penunjang).
Penerapan model pembelajaran cerita PAL berdasarkan komponenkomponen tersebut penulis mengurutkannya sebagai berikut, (1) orientasi model, (2)
sintaksis, (3) sistem sosial, (4) prinsip-prinsip reaksi, (5) sistem penunjang, (6)
penerapan dan (7) dampak instruksional.

64

5.

Penelitian yang Relevan


Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat di Indonesia telah banyak

dilakukan oleh para peneliti. Beberapa yang penulis temukan akan disampaikan
dibawah ini.
1). Heddy Shri Ahimsa Putra, seorang dosen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, dan staf pengajar pada program Pascasarjana UGM, dalam bukunya
Srukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra menyampaikan beberapa
hasil penelitiannya berkenaan dengan cerita rakyat yang disebut dengan mitos,
mite atau dongeng. Hasil penelitian tersebut antara lain berjudul Analisis
Struktural Dongeng Bajo yang menganalis sebuah cerita rakyat dari orang Bajo
(orang Laut) berjudul PitotoSi Muhamma. Analisis cerita ini menggunakan
metode analisis dari Strukturalisme Levi Straus, namun demikian terdapat
beberapa perubahan yang dilakukan oleh Ahimsa Putra, yaitu pembuatan
episode-episode dalam cerita yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Levi Strauss
dan penggunaan ciriteme untuk mengganti mhytheme. Ceriteme digunakan oleh
Ahimsa Putra untuk membedakan dengan miteme (mhytheme), jika ceriteme
berupa rangkaian kalimat- kalimat sedangkan miteme berupa kalimat-kalimat.
Cireteme sama halnya dengan miteme yang hanya dapat diketahui maknanya
atau pengertiannya setelah ditempatkan dengan ceriteme atau miteme yang lain.
Analisis cerita PitotoSi Muhamma ini menghasilkan beberapa
ceriteme yang kemudian dari ceriteme-ceriteme ini terbentuk episode-episode.
Episode-episode dalam cerita PitotoSi Muhamma adalah sebagai berikut; episode

65

I: Daeng Manjakari, Hejira dan Muhamma dan Realitas Sosial-Ekonomis Orang


Bajo, episode II: DM Pergi Mengantar Hejira ke Sumur Toraja dan Realitas
Ekologi Orang Bajo; episode III: Hejira Jatuh Cinta Pada DM dan Realitas SosialBudaya (I) Orang Bajo; episode IV: Perselisihan DM dengan M di Dalam Sumur
dan Realitas Sosial-Budaya (II) Orang Bajo; episode V: DM dibunuh oleh M dan
Realitas Sosial-Budaya (III) Orang Bajo; episode VI: Hejira Jatuh Cinta Pada M
dan Realitas Sosial-Budaya (IV) Orang Bajo; episode VII: M Meninggalkan H dan
Realitas Ruang dalam Budaya Orang Bajo. Selanjutnya episode-episode ini
dianalisis dengan metode Analisis Strukturalisme Levi Strauss dan ditafsirkan
dengan latar belakang budaya Orang Bajo.
Hasil analisis membuahkan kesimpulan yang diambil oleh Ahimsa
Putra yaitu bahwa cerita Orang Bajo berjudul PitotoSi Muhamma merupakan
sebuah upaya simbolisasi orang Bajo untuk memahami kontradiksi-kontradiksi
empiris yang mereka hadapi sebagai orang yang hidup dari pengumpulan hasil
laut. Kontradiksi-kontradiksi abadi yang mereka hadapi adalah kenyataan bahwa
mereka hidup di laut, namun juga masih tergantung pada hasil bumi dari darat;
bahwa untuk hidup di laut mereka membutuhkan bantuan bukan saja dari kerabat,
tetapi juga dari mereka yang bukan kerabat, yang berada di darat.
2). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Heddy Shri Ahimsa
Putra, terhadap dongeng Umar Kayam yang berjudul Sri Sumarah, Bawuk, dan
Para Priyayi: Sebuah Analisis Struktural-Hermeneutik. Alasan yang mendasari
penulis untuk menyampaikan hasil penelitian ini sebagai bahan rujukan karena ada

66

beberapa hal mendasar yang disampaikan oleh Ahimsa Putra berkaitan dengan
cerita Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.
Hal mendasar tersebut adalah Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita
tersebut sebagai mitos atau dongeng. Jika melihat dari ciri-ciri cerita rakyat,
dongeng atau mite yang telah penulis sampaikan maka salah satu sifat cerita rakyat
adalah anonim. Berdasarkan sifat ini, maka cerita yang ditulis Umar Kayam
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai dongeng atau mitos. Namun demikian,
Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita tersebut sebagai mitos karena ada dua
alasan.
Dua alasan yang mendasari Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita
Umar Kayam sebagai dongeng atau mitos yaitu; pertama, bahwa berbagai cerita
tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upayanya memahami sebuah peristiwa
dahsyat yang secara pribadi sulit dipahaminya; kedua, Umar Kayam menulis cerita
tersebut bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat dan penulis
reportase, tetapi sebagai individu yang telah melibatkan diri di tengah peristiwa itu
sebagai aktor yang membuat interpretasi. Posisi semacam ini pada dasarnya tidak
berbeda dengan posisi individu-individu yang telah melahirkan berbagai mitos
dalam masyarakat (Putra,2006:260).
Penulis beranggapan bahwa setuju atau tidak setuju terhadap pendapat
Ahimsa Putra tersebut tidak menjadi persoalan yang perlu dibahas dalam
penelitian ini. Hal yang terpenting yang dapat penulis ambil bahwa analisis
struktural model Strukturalisme Levi Strauss dapat diterapkan pada ketiga cerita

67

Umar Kayam tersebut, meskipun Levi Strauss sendiri meragukan keampuhan


pisau analisis strukturalnya jika digunakan untuk membedah karya-karya sastra.
Namun tokoh strukturalisme lain, yakni Roland Barthes, malah menyarankan dan
mendukung cara analisis semacam itu (Putra,2006:261).
Berdasarkan analisis menggunakan model strukturalisem Levi Strauss
ini ternyata Ahimsa Putra berhasil menemukan makna dibalik peristiwa gestapu,
antara mana yang dianggap sebagai anggota PKI maupun mana yang dianggap
bukan angota PKI, melalui relasi-relasi dalam yang ada dalam ketiga cerita
tersebut.
Ahimsa Putra dalam manganalisis cerita Umar Kayam berjudul Sri
Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi mengaitkan munculnya cerita tersebut dengan
peristiwa Gestapu 1965. Karena ketiga cerita tersebut merupakan kebimbangan
pada diri Umar Kayam dalam memahami peristiwa tersebut dan pertanyaan yang
tidak dapat dijawab yaitu siapa yang harus dan tidak harus jadi korban. Seperti
apa

yang

ditulis

Umar

Kayam

berikut

Dalam

kebimbangan

dan

ketidakmengertian saya, saya coba pertanyakan dalam cerita(Putra,2006:256)


Hasil analisis dari ketiga cerita tersebut menghasilkan ceriteme-ceritime
yang kemudian membentuk episode-episode. Episode-episode ini merupakan
relasi-relasi dari ketiga cerita tersebut yang disusun oleh Ahimsa Putra. Episodeepisodenya adalah sebagai berikut; a. Episode Latar belakang Tokoh; b. Episode
Kehidupan Remaja; c. Episode Kehidupan Keluarga dan Politik; d. Episode
Pelarian; dan e. Episode Akhir Kisah. Selanjutnya berbagai episode yang dialami

68

ditempatkan secara sinkronis (paradigmatis) dan diakronis (sintagmatis). Analisis


berlanjut sampai pada analisis nilai Jawa dan nalar Jawa yang merupakan latar
belakang penulis cerita dan melatar belakangi juga peristiwa Gestapu.
3) A. Totok Priyadi seorang mahasiswa program S-3 Universitas Pendidikan
Indonesia Bandung, melakukan penelitian terhadap cerita-cerita rakyat Dayak
Kanaytn dalam desertasinya. Desertasi yang dipertahankannya pada tahun 2010 ini
berjudul Analisis Struktur dan Makna Cerita Rakyat Dayak Kanaytn.
Priyadi dalam desertasinya ini menganalisis hampir 90 cerita rakyat
Dayak Kanaytn, yang diperoleh dengan cara observasi, wawancara terhadap 30
informan. Dari 90 cerita rakyat ini Priyadi mengambil 9 cerita yang mendapat
fokus lebih, dalam penelitiannya.

Selanjutnya cerita-cerita tersebut dianalisis

dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama cerita-cerita tersebut dibuat


ringkasan ceritanya, kemudian dianalisis pada tingkat lingkungan penceritaan yang
meliputi

daerah

pakai

dan

situasi

pakai.

Langkah

selanjutnya

yaitu

mengklasifikasikan cerita-cerita tersebut pada genre dongeng, mitos ataupun


legenda. Setelah diketahui genre dari cerita tersebut kemudian analisis struktur
cerita dengan menggunakan teknik analisis struktur model Maranda.
Teori struktur naratif model Maranda ini berbeda dengan model
strukturalisme Levi Strauss. Model Levi Strauss terdapat miteme (mhytheme)
dalam sebuah mitos, sedangkan pada model Maranda ada terem (term) dan fungsi
dalam sastra lisan. Menurut Maranda (Priyadi,2010), terem yaitu simbol yang
dilengkapi dengan konteks kemasyarakatan dan kesejarahan, sedangkan fungsi

69

adalah peranan yang dipegang oleh terem. Fungsi wujudnya dibatasi oleh terem,
sehingga terem dapat berubah-ubah sedangkan fungsi tetap.
Hasil dari analisis cerita-cerita ini ditemukannya lingkungan penceritaan,
klasifikasi, struktur, makna cerita, kearifan lokal, identitas Dayak Kanaytn dan
dimungkinkannya cerita-cerita tersebut sebagai bahan ajar pembelajaran sastra.
4). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Maman Rukmana,
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
tahun 2006, yang menganalisis cerita rakyat Banten Selatan. Analisis cerita ini
disusun dalam sebuah tesis dengan judul Studi Deskriptif Terhadap Struktur,
Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten Selatan: Penyusunan Bahan Ajar
Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk Siswa SD di Kabupaten
Pandeglang.
Analisis yang dilakukan dalam cerita Banten Selatan ini, dilakukan
dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik cerita yang meliputi alur,
penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan motif menurut genre cerita
rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan teknik tes,
angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengetahui apakah ceritacerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan ajar di
Sekolah Dasar, sehingga penelitian yang dilakukan dikaitkan dengan pembuatan
bahan ajar dari cerita rakyat.
Cerita rakyat Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini
berjumlah tiga buah. Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau

70

Ujung Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri
Cadasari. Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan
tanggapan dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru
bahasa Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita
Rukmana menggunakan teknik wawancara yang deterapkan kepada para praktisi
pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan kepada guru-guru sekolah
dasar di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis
variable penyusunan bahan ajar.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Rukmana menyimpulkan
bahwa cerita rakyat Banten Selatan berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung
Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri Cadasari,
dapat digunakan sebagai alternatif dan variasi bahan ajar mata pelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah dasar. Alasan yang mendasari pengambilan kesimpulan ini,
menurut Rukmana adalah bahwa cerita-cerita tersebut telah memenuhi kriteria
yang memadai serta memperhatikan langkah-langkah dalam penyusunan bahan
ajar.
Berdasarkan beberapa penelitian berkenaan dengan cerita rakyat tersebut,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL dengan model
analisis strukturalisme Levi Strauss. Model ini penulis anggap sesuai dengan cerita
PAL sebagai sebuah mitos, karena mitos merupakan fokus analisis dalam
strukturalisme Levi Strauss.

Anda mungkin juga menyukai