yaitu
14
kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun, secara lisan atau melalui contoh
yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (memoric device).
Definisi folklor secara keseluruhan menurut Danandjaya (2007:2) adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak dan isyarat atau alat pembantu
pengingat (memoric device).
Dorson,(Endraswara,2009:108) mengatakan folklor maupun folklife dapat
diklasifikasikan menjadi empat : (1) oral literature, kadang-kadang disebut juga seni
verbal atau sastra ekspresif. Sastra lisan adalah bagaian folklor yang menjadi ruh
folklor. Sastra lisan pula yang menguatkan folklor hingga lekat dihati pendukungnya;
(2) budaya material, yaitu folklor dan folklife yang kontras dengan dengan sastra
lisan. Budaya folklor adalah kehidupan fisik. Folklor semacam ini terkait dengan
karya, seperti pakaian, desain, candi, dan seterusnya; (3) social folk costum, artinya
kebiasaan sosial rakyat. Kebiasaan ini menyangkut tradisi rakyat. Hal-hal yang
berhubungan dengan rites de passage, seperti kelahiran, inisiasi, ekmatin dan ritual
lainnya adalah folklor ; (4) performaing folk arts, artinya seni pertunjukan rakyat
seperti jatilan, ketoprak, srandul, dan sebagainya.
Berdasarkan pengklasifikasian folklor menurut Dorson ini, maka cerita
PAL termasuk didalam kategori yang pertama, yaitu oral literature. Kategori yang
dikatakan sebagai ruhnya folklor, sehingga penelitian berkenaan dengan cerita PAL
15
ini juga dapat dikatakan sebagai penelitian yang penting atau esensial bagi
perkembangan folklor.
Pengklasifikasian folklor juga dilakukan oleh Brunvand, yang membagi
folklor berdasarkan tipenya. Brunvand (Danandjaja,2007:21) mengatakan bahwa
berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar : (1)
folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor sebagian lisan (partly verbal folklore, dan
(3) folklore bukan lisan (non verbal folklore),atau masing-masing dengan istilah
mentifacts, sociofact,dan artifacts.
Tiga kelompok folklor tersebut selanjutnya dapat diperjelas sebagai
berikut. Pertama, folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni.
Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk kedalam kelompok besar ini antara
lain; (a) bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan
title kebangsawanan, (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah, dan
pemeo, (c) pertanyaan tradisional, seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun,
gurindam dan syair, (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng, dan
(f) nyanyian rakyat.
Kedua, folklor sebagian lisan, folklor sebagian lisan adalah folklor yang
bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Kepercayaan
rakyat, misalnya, yang oleh orang modern sering sekali disebut tahayul itu, terdiri
dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah dengan gerak isyarat yang dianggap
mempunyai makna gaib, seperti tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap
dapat melindungi seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda
16
material yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa rezeki,
seperti batu-batu permata tertentu. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini, selain kepercayaan rakyat, juga permainan rakyat, teater rakyat,
tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain.
Ketiga, folklor bukan lisan. Folklor bukan lisan adalah folklor yang
bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni yang material dan
yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong yang material antara lain;
arsitektur rakyat ( bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya),
kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman
rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk yang bukan material
antara lain; gerak isyarat tradisioanal (gesture) bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat
(kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti
yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat. Berdasar pada pengelompokan menurut
Brunvand ini maka cerita PAL dapat digolongkan ke dalam folklor lisan yaitu cerita
prosa rakyat.
Folklor
norma-norma masyarakat pemiliknya khususnya untuk sastra lisan. Hal ini tercermin
dari pernyataan Yanagita, (Endraswara,2009:109) yang mengatakan folklor
merupakan ajaran untuk hari esok, yang berarti sebuah disiplin ilmu yang dapat
membantu orang Jepang untuk mengerti jati diri mereka sendiri serta sejarah mereka
secara lebih mendalam.
17
18
rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi
(interpolation) muncul varian-varian tersebut.
(4) Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
(5) Biasanya mempunyai bentuk berumus dan berpola.
(6) Mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita
rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidikan, pelipur lara,
protes sosial dan proyeksi keinginan terpendam.
(7) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan
logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi floklor lisan dan sebagian
lisan.
(8) Menjadi milik lisan bersama (collective) dari kolektif tertentu.
(9) Pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatanya kasar,
terlalu spontan. Hal ini dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak
folklor merupakan proyeksi manusia yang paling jujur manifestasinya.
Berdasarkan
ciri-ciri
folklor
tersebut,
ada
sebagian
orang
yang
berpandangan bahwa cerita rakyat atau dongeng tidak berarti apa-apa, atau dongeng
hanyalah sebuah sarana untuk menidurkan anak saja. Hal ini menurut penulis tidak
dapat dibenarkan begitu saja sekaligus juga tidak dapat disalahkan begitu saja. Jika
mencermati ciri folklor yang ke tujuh yang disampaikan Dananjaja di atas, yaitu
bahwa ciri folklor lisan dan sebagian lisan adalah bersifat pralogis maka anggapan
masyarakat tersebut dapat dibenarkan. Namun demikian jika melihat ciri yang ke
19
enam yaitu folklor juga berguna atau memiliki fungsi maka anggapan ini tidak dapat
dikatakan benar.
Anggapan masyarakat yang berkaitan dengan cerita rakyat ini sesuai
dengan apa yang diungkapkan oleh Bunanta (1998:25) yang menyatakan
kekhawatirannya tentang cerita rakyat. Ia mengatakan bahwa :
bagi sementara orang paling tidaknya ada tiga hal yang dicela atau
dikhawatirkan oleh cerita rakyat, yaitu yang berkaitan dengan masalah moral,
kebenaran dan fantasi. Masalah moral berkaitan dengan adanya kejadiankejadian dalam cerita yang dianggap tak manusiawi, misalnya pencungkilan
mata (ibu Panji Laras dicungkil matanya sebagai imbalan supaya dia tidak
dibunuh). Masalah kebenaran berkaitan dengan penggambaran kehidupan yang
tidak seperti apa adanya sehingga dianggap tidak sehat. Masalah fantasi
berkaitan dengan kekhawatiran bahwa anak akan mempercayai keajaiban yang
ada dalam cerita.
Berkenaan dengan pendapat Bunanta ini, penulis berasumsi bahwa
permasalahan tiga hal yang dicela dalam cerita rakyat terkait dengan masalah moral,
kebenaran, dan fantasi perlu mendapat perhatian yang cukup dalam. Perlu sikap arif
untuk melihat dari berbagai sisi. Kekhawatiran sebagian orang yang diungkap oleh
Bunanta ini juga terkait dengan ciri ke sembilan yang disampaikan Danandjaja di atas
sehingga diperlukan adanya analisis yang dapat memberikan gambaran kepada
masyarakat bahwa cerita rakyat tidak hanya menyampaikan hal-hal yang pralogis
saja, tetapi lebih dari itu menyimpan hal-hal yang penuh makna yang perlu diungkap.
Ratri (2008:3) mengatakan bahwa, salah satu pisau analisis untuk membedah maknamakna yang ada dalam cerita rakyat adalah melalui analisis struktural model Levi
Strauss.
20
21
mengkaji fungsi folklor sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat dipatuhi oleh anggota kolektifnya.
1.4. Macam-Macam Cerita Rakyat
Menurut Bascom (Danandjaya, 2007:50) menyatakan bahwa cerita prosa
rakyat dapat dibagi ke dalam tiga bentuk atau genre, yakni (1) mite (myth), (2)
legenda (legend), dan (3) dongeng (folktale). Ketiga cerita rakyat tersebut dapat
penulis jelaskan sebagai berikut.
(1) Mite
Mite (mitos) berasal dari bahasa Yunani yang berarti cerita tentang
dewa-dewa dan pahlawan yang dipuja-puja. Mitos adalah cerita suci yang
mendukung sistem kepercayaan atau religi. Menurut Bascom, mite isinya
merupakan penjelasan suci atau sakral. Mite adalah cerita rakyat yang dianggap
benar-benar terjadi dan dianggap suci oleh yang mempunyai cerita. Mite ditokohi
oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwanya terjadi di dunia lain,
atau di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang ini, dan terjadi pada masa
lampau. Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia,
manusia pertama, bentuk fotografi, gejala alam, bentuk khas binatang, terjadinya
maut, dan sebagainya. Mite mengisahkan petualangan percintaan, hubungan
kekerabatan dan kisah perang para dewa (Danandjaya, 2007:51).
Pengertian mitos dalam kamus Bahasa Indonesia dibedakan dari mite.
Mitos adalah cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan jaman dulu, yang
mengandung penafsiran tentang asal-usul semesta alam, manusia dan bangsa itu
22
sendiri yang mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib.
Mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercaya oleh
masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banyak
mengandung
hal-hal
ajaib,
umumnya
ditokohi
oleh
dewa.
Sudjiman
(Lantini,1996:224) mengartikan kata mitos dalam dua pengertian, yaitu (1) cerita
rakyat legendaris atau tradisional, biasanya bertokoh makhluk yang luar biasa
dan mengisahkan peristiwa-peristiwa yang tidak dijelaskan secara rasional,
seperti terjadinya sesuatu; (2) kepercayaan atau keyakinan yang tidak terbukti
tetapi diterima mentah-mentah.
Sejalan dengan pendapat di atas yang menyatakan bahwa dongeng mite
adalah cerita tradisional yang pelakunya makhluk supranatural dengan latar suci
dan waktu masa purba. Mitos merupakan salah satu genre cerita rakyat yang
dianggap suci dan diyakini betul-betul terjadi oleh masyarakat pendukungnya,
bersifat religius karena memberi rasio pada kepercayaan. Selain itu, mitos
berfungsi untuk menyatakan, memperteguh dan mengkondifikasi kepercayaan,
melindungi dan melaksanakan moralitas, dan sebagai alat pemaksa berlakunya
norma-norma serta pengendali masyarakat. Mite menceritakan tentang ceritacerita yang berbau supranatural dan ditokohi oleh makhluk-makhluk dunia lain.
(2) Legenda
Bascom (Danandjaya, 2007:50) mengatakan bahwa seperti halnya mite,
legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak
dianggap suci. Namun, legenda berlainan dengan mite. Legenda ditokohi
23
manusia, walaupun ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali
dibantu oleh makhluk-makhluk gaib. Tempat terjadinya adalah di dunia seperti
yang kita kenal ini, karena waktu terjadinya belum terlalu lampau. Legenda
dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh
terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler dan keduniawian. Legenda
bersifat migratoris sehingga dikenal luas di daerah-daerah yang berbeda.
Legenda juga dinyatakan sebagai cerita tradisional yang pelakunya
dibayangkan seolah-olah terjadi dalam sejarah. Biasanya dalam peristiwanya
terdapat juga hal-hal yang luar biasa. Dengan demikian, pada dasarnya legenda
merupakan peristiwa sejarah yang bersifat kolektif dan biasanya ditokohi oleh
manusia, bahkan seringkali muncul tokoh-tokoh makhluk gaib.
Legenda merupakan salah satu genre cerita rakyat yang mencangkup
hal-hal luar biasa dan terjadi dalam dunia nyata. Legenda dipandang sebagai
sejarah masyarakat sehingga diyakini kebenarannya. Legenda berfungsi
mendidik dan membekali manusia agar terhindar dari ancaman marabahaya.
Legenda dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan sebagai cerita dari
zaman dahulu yang bertalian dengan peristiwa-peristiwa sejarah. Sudjiman
(Lantini,1996:226) mendefinisikan legenda sebagai cerita rakyat tentang tokoh,
peristiwa, atau tempat tertentu yang mencampurkan fakta historis dan mitos.
Darusuprata (Lantini,1996:227) menunjukan adanya unsur legenda yang terdapat
dalam sastra sejarah di Indonesia, biasanya merupakan cerita yang bertalian
dengan unsur-unsur air, unsur tanah, termasuk tumbuh-tumbuhan; unsur api,dan
24
udara. Unsur legenda inilah yang disebut sebagai unsur kosmogonis atau
kosmologis.
(3) Dongeng
Dongeng adalah cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi
oleh empunya cerita dan tidak terikat oleh waktu maupun tempat. Bila legenda
dianggap sebagai sejarah kolektif (folk history), maka dongeng adalah cerita
pendek kolektif kesusasteraan lisan serta cerita prosa rakyat yang tidak dianggap
benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk
hiburan, walaupun
banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan moral atau bahkan sindiran
(Danandjaya, 2007:50-86).
Bagi orang awam, dongeng seringkali dianggap meliputi seluruh cerita
rakyat yang disebutkan di atas (legenda dan mite). Tetapi, menurut beberapa ahli,
dongeng adalah cerita yang khusus yaitu mengenai manusia atau binatang.
Penulis menganggap bahwa pembedaan-pembedaan antara konsep-konsep
cerita rakyat, mitos, legenda dan dongeng tidak terlalu penting untuk
diperhatikan dalam penelitian ini, dan untuk selanjutnya istilah mitos,
legenda dan dongeng dapat dipakai secara bergantian.
Pendapat penulis ini sesuai dengan pendapat Putra (2006:77) yang
mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
25
yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Lebih jauh lagi Putra memperlakukan
cerita-cerita sastra yang ditulis oleh Umar Kayam sebagai dongeng atau
mitos. Hal ini bertolak dari pandangan Levi Strauss bahwa legenda atau
cerita rakyat mengandung mitos, karena ide dasar, konflik, dan penyelesaian
cerita, mencerminkan kesepakatan yang ada dalam kolektifnya pada masa itu.
Berdasarkan pendapat Putra tersebut, penulis mengambil kesimpulan
bahwa baik mite, legenda maupun dongeng pada intinya merupakan hasil
dari imajinasi-imajinasi manusia berdasarkan apa yang mereka lihat dan
rasakan dalam kehidupan sehari-hari yang kemudian tertuang dalam sebuah
karya sastra lisan.
2. Teori Struktur
2.1. Strukturalisme dalam karya sastra
Sebuah benda tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya. Unsurunsur tersebut bersinergi menjadi sebuah kesatuan. Perpaduan unsur-unsur tersebut
biasanya membentuk sebuah pola. Pola-pola inilah yang akhirnya membentuk sebuah
benda. Dengan demikian unsur-unsur tidak ada artinya jika tidak ada jalinan atau
hubungan dengan unsur-unsur yang lain. Makna sebuah benda tidak dapat dilihat dari
satu unsur saja tetapi dilihat dari jalinan unsur-unsur tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian struktur yang disampaikan oleh
Foley (Siswantoro,2010:13) bahwa struktur berarti bentuk keseluruhan yang
kompleks (complex whole). Setiap objek atau peristiwa adalah pasti sebuah struktur,
yang terdiri dari berbagai unsure, yang setiap unsur tersebut menjalin hubungan.
26
Doktrin pokok strukturalisme adalah bahwa hakikat benda tidaklah terletak pada
benda itu sendiri, tetapi terletak pada hubungan-hubungan di dalam benda itu. Tidak
ada unsur yang mempunyai makna pada dirinya secara otonom, kecuali terkait
dengan makna semua unsur di dalam sistem struktur yang bersangkutan.
Sebagai sebuah analogi sebuah bangunan gedung beton tersusun atas
unsur-unsur material yang membangunnya, seperti; air, batu, pasir, semen, dan unsur
lainnya yang menyatu menjadi sebuah kesatuan melalui pencampuran materialmaterial tersebut. Air saja tidak dapat dikatakan sebagai sebuah beton, demikian juga
batu, pasir, dan material yang lainnya, sehingga relasi antara material inilah yang
membentuk sebuah pola dan akhirnya membentuk beton.
Dari analogi tersebut, cerita rakyat sebagai sebuah karya sastra pada
hakikatnya adalah sebuah benda. Sebagai sebuah benda tentu saja karya sastra juga
tersusun atas material-material yang menyusunnya. Unsur-unsur yang membangun
sebuah karya sastra biasanya dibedakan atas unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.
Unsur intrinsik membangun karya sastra dari dalam karya sastra itu sendiri, seperti
alur, tema, tokoh, seting, gaya bahasa, sudut pandang dan lain sebagainya. Sedangkan
unsur ekstrinsik adalah unsur yang ada diluar karya sastra tersebut, tetapi masih ada
hubungan dengan karya tersebut. Unsur ini seperti biografi pengarang, situasi
penciptaan karya dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan struktur karya sastra, Teeuw (1988:135) mengemukakan
bahwa kajian struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat,
27
ini
fiksi,
dapat
dilakukan
dengan
mengidentifikasi,
mengkaji
dan
28
29
sastra peneliti tidak perlu keluar dari karya tersebut sebab segala sesuatu yang
diperlukan sudah terkandung di dalamnya.
Penganalisisan karya sastra yang menganggap bahwa tidak perlu keluar
dari karya sastra untuk mencari ha-hal yang diperlukan, sejalan dengan teori kritik
objektif (objective criticism) yang disampaikan oleh M.H. Abrams dalam bukunya
The Mirror and The Lamp. Kritik objektif (objective criticism) memandang karya
sastra sebagai sesuatu yang mandiri (otonom), bebas dari pengaruh sekitarnya, bebas
dari pengarangnya, pembaca, atau dunia sekitarnya. Karya sastra adalah sebuah dunia
yang dapat melepaskan diri dari siapa pengarangnya dan lingkungan sosial
budayanya. Karya harus dilihat sebagai objek yang mandiri dan menonjolkan struktur
verbal yang otonom dengan koherensi interen. Oleh sebab itu, karya sastra
merupakan sebuah keseluruhan yang mencukupi dirinya, tersusun dari bagian-bagian
yang saling terjalin erat dan padu, serta menghendaki pertimbangan analisis intrinsik
berdasarkan keberadaan karya sastra itu sendiri, seperti kompleksitas, koherensi,
keseimbangan, integritas, dan saling berhubungan antara unsur-unsur pembentuknya.
2.2. Struktur Cerita Rakyat
Konsep struktur pada karya sastra di atas tidak jauh berbeda pada konsep
struktur dongeng di dalam kajian folklor. Perbedaan ini tidak begitu nyata, hanya
pada istilah-istilah yang dipakai dalam analisisnya. Prop, (Endraswara,2009:112)
mengatakan bahwa konsep struktur dalam folklor adalah as the internal
relationship through which constituents of a whole are organized. Berdasarkan
pikiran Prop ini, Dundes, menganalisis struktur dongeng Indian Amerika. Yang
30
dimaksud dengan struktur dongeng dalam hal ini adalah satu unit kesatuan cerita
(dongeng) yang unsur-unsurnya saling berhubungan. Di dalam ilmu folklor unsurunsur sebuah cerita, atau bagian cerita yang dapat dipergunakan sebagai satuan
analisis, disebut motif. Di dalam dongeng unsur-unsur ini dapat berupa; gejala alam,
binatang, suatu konsep, suatu perbuatan, penipuan terhadap suatu tokoh, dan lainlain.
Berkaitan dengan struktur dalam
disebut motifem. Jadi, setiap dongeng atau cerita rakyat terdiri dari sederet motifem.
Namun demikian, tidak berarti setiap unsur-unsur motifem itu terpisah-pisah,
melainkan merujuk pada keutuhan makna.
Dundes (Endraswara,2009:112) menyatakan The motifemic slots may be
filled with varius motifs and the spiopic alternatir motifs for any given motifemic slot
may be labeled allomotifs maksudnya, motifem ini ibarat kotak (petak) kosong yang
dapat diisi berbagai jenis motif, atau alomotif, yaitu suatu motif pengganti. Motifemmotifem demikian yang menjadi satuan analisis dalam konstruksi penelitian folklor.
Dari pendapat-pendapat
dongeng yang ada dalam foklor dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa, struktur
tersusun atas unsur-unsur yang membangunnya dan unsur-unsur tersebut hanya akan
bermakna jika unsur-unsur tersebut saling berhubungan.
31
32
atau
33
sebagai rerfleksi dari kebudayaan, kedua bahasa adalah salah satu unsur dari
kebudayaan, dan ketiga bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dari tiga
pandangan tersebut Levi Strauss menganut pandangan yang terakhir, yaitu
bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Kondisi tersebut dapat dilihat dari
material pembentuknya bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai material yang
sama dan secara diakronis bahasa mendahului
34
bekerja, perlu dilakukan analisis terhadap struktur dan relasi-relasi yang dibangun
di dalam sebuah mitos (Putra,2006:75-78).
Seperti untuk memahami bahasa, mitos pun harus dituturkan, tidak
hanya pada proses penceritaan, tetapi pada proses pengkomunikasian. Sistem
pengkomunikasian yang dimaksudkan dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai
berikut, legenda PAL yang mengandung mitos pada hakikatnya adalah karya sastra.
Korelasinya, antara sastra dan masyarakat menampilkan hubungan yang tidak
dapat dipisahkan. Cerita PAL sebagai karya sastra lama yang tidak diketahui
dengan jelas siapa pengarangnya menduduki salah satu fungsinya yaitu sebagai
sistem komunikasi. Hakikatnya fungsi karya sastra adalah dulce et utile (indah dan
berguna). Poe ( Wellek dan Warren, 1993: 25) menyatakan bahwa suatu karya sastra
hendaknya berfungsi menghibur dan sekaligus mengajarkan sesuatu. Fungsi
komunikasi adalah turunan dari fungsi dulce et utile.
Sistem
komunikasi
yang
ditunjukkan,
tidak
hanya
proses
35
Dimensi Horisontal
seleksi
MM
P
E1
Dimensi Vertikal
M2
I
(Ps)
E2
Gambar 1
Proses Penciptaan dan Pengkomunikasian Karya Sastra
diadaptasi dan dikembangkan dari Model Komunikasi Gerbner (Fiske,
2004) dan terdapat pada A Teeuw dalam buku Sastra dan Ilmu Sastra (1984: 66),
(Ratri,2008:12)
Keterangan: P
E1
: Peristiwa
: Persepsi
I
E2
: Isi
: Persepsi atas Karya Sastra
: Masyarakat
: Karya Sastra
Ps
:Bentuk
: Pesan
Dimensi Horisontal
Proses diawali dari sebuah peristiwa (P), sesuatu di dalam realitas
eksternal yang diserap oleh manusia atau masyarakat (M). Penghayatan atau
persepsi masyarakat atas peristiwa yang terjadi adalah persepsi E1. Relasi antar P
dan E1 melibatkan seleksi, mengingat masyarakat tidak mungkin menyerap
keseluruhan kompleksitas suatu peristiwa. Salah satu hasil dari proses seleksi,
36
37
jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai dengan intensi pemakainya
(Sobur,2006: 156).
Claude Levi-Strauss mengembangkan analisis mitos dengan memanfaatkan
model-model linguistik. Menurutnya, ada kesamaan antara mitos dengan bahasa.
Persamaannya, yakni pertama, bahasa adalah sarana komunikasi untuk
menyampaikan pesan dari satu individu ke individu yang lain, atau kelompok satu
ke kelompok lain. Demikian halnya dengan mitos, ia disampaikan melalui bahasa
dan lewat proses penceritaan, pesan-pesan yang ada di dalamnya dapat
tersampaikan (Putra, 2006: 80-81).
Kedua, seperti halnya bahasa, mitos mengandung aspek langue dan
parole, sinkronis dan diakronis, sintagmatik dan paradigmatik. Aspek langue inilah
yang
38
adalah
rangkaian
mytheme-mytheme
yang
secara
struktural
terkait
(Badcock,2008:77).
Selain persamaan-persamaan antara mitos dan bahasa, juga terdapat
perbedaan diantara keduanya. Hal yang membedakan mitos dengan bahasa
adalah mitos mempunyai ciri khas dalam isi dan susunannya. Ciri khas ini
membuat mitos dapat diterjemahkan ke bahasa manapun tanpa kehilangan sifatsifat mistisnya, sedangkan bahasa, kata-kata penyusunannya tidak bisa diubah
secara semena-mena (Putra,2006:85). Penggantian suatu kata yang tidak hatihati dapat mengubah makna.
Berdasarkan
persamaan
dan
perbedaan
di
atas,
Levi
Strauss
mengemukakan implikasi penting dalam analisis mitos. Jika bahasa tersusun atas
unit terkecil seperti fonem dan morfem, maka mitos tersusun atas gross
constituent unit atau mythemes (Putra,2006:85-86). Mythemes merupakan bagian
atau unsur terkecil dari mitos yang biasanya berbentuk suatu kalimat singkat,
yaitu kalimat yang terdiri dari subjek dan predikat (Sasono,2001:25). Mytheme
inilah yang harus didapatkan apabila ingin mengetahui makna dari sebuah mitos.
Oleh karena itu, kajian strukturalisme Levi Strauss adalah kajian tentang
interelasi struktural tentang struktur-struktur dasar mitos.
Terdapat dua konsep yang perlu diketahui pada analisis struktural, yaitu
konsep struktur dan transformasi. Struktur adalah suatu model yang dibuat untuk
memahami gejala kebudayaan yang dianalisis. Levi Strauss membedakannya
menjadi dua macam yaitu struktur lahir sebagai struktur luar (surface structure)
39
dan struktur dalam sebagai struktur batin (deep structure). Struktur luar adalah
relasi antar unsur yang dibangun berdasarkan ciri-ciri luar atau empiris dari relasirelasi tersebut. Sedangkan struktur dalam adalah susunan tertentu yang dibangun
berdasarkan struktur lahir yang tidak selalu tampak pada sisi empiris dari
fenomena yang dianalisis. Struktur dalam seringkali merupakan struktur tetap
yang sangat jarang (tidak) mengalami perubahan. (Ratri,2008:11-16).
Perbedaan struktur luar dan struktur dalam dapat dianalogikan dalam
kalimat yang disampaikan oleh Ratri (2008:16) di bawah ini.
(1). Saya
(2) Aku
berjalan
lagi mlaku
di jalan
ing
(Indonesia)
ndalan (Jawa-ngoko)
(3) Kula
(4) Inyong
lagi mlaku
ning
gili
(Jawa-ngoko Banyumas)
KT
40
41
sebagai
sesuatu yang dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap
baik (Sumantri, 2008:4), sementara moral menurut Lillie (Budiningsih,2004:24)
berasal dari kata mores (bahasa latin) yang berarti tata cara dalam kehidupan atau
adat istiadat.
Dari pendapat tersebut maka secara sederhana penulis menyimpulkan bahwa
pengertian nilai moral adalah tata cara dalam kehidupan atau adat istiadat yang
42
dianggap berharga dan berguna bagi kehidupan manusia serta dianggap baik.
Persoalan yang kemudian muncul adalah apa yang dianggap baik oleh sekelompok
orang belum tentu baik menurut kelompok lainnya.
Untuk menjawab persoalan di atas Poespoprojo menyampaikan tentang
keuniversalitasan moral dalam bukunya Filsafat Moral: Kesusilaan dalam Teori dan
Praktik. Menurut Poespoprojo moral berarti bahwa hidup kita itu mempunyai arah
tertentu meskipun arah tersebut sekarang belum dapat kita tunjukan sepenuhnya.
Seseorang menangis atau menyesal dalam hatinya karena melihat bahwa
perbuatannya melanggar, menyeleweng, mengkhianati arah ini. Ia mengerjakan
sesuatu yang mestinya tidak ia kerjakan.
Lebih lanjut Puspoprojo menyampaikan bahwa berdasarkan penelitian para
ahli antropologi dan sosiologi seperti Lowie, Goldenwiser, Paul Radin, William
Schmidt, Westermarck, Boas, Evans Pritchard, dan Malinowski, terhadap suku-suku
bangsa dan masyarakat manusia, baik yang masih dalam taraf pramodern maupun
yang telah dalam taraf modern, berkesimpulan, the fact of the universal existence
of a body of basic rules of morality present in all societies without distinction of
race and culture has been established beyond doubt.(Poespoprojo,1999:14).
Berkaitan dengan keuniversalan moral, Imanuel kant (Puspoprojo,1999:14)
menyampaikan bahwa No man is wholly destitute of moral feeling for if he were
totally ususceptible of this sensation he would be morally deadthen his humanity
would be dissolved (as if it were by chemical laws) into mere animality.
43
Dari pendapat ini Puspoprojo juga menyampaikan bahwa jika kita sekarang
disodori keberatan tentang hukum moral secara universal tidak ditaati, seperti yang
tampak pada praktik-praktik kanibalisme, pengayauan, pembunuhan bayi, dan
sebagainya pada suku-suku primitif
korupsi, pengguguran kandungan pada orang-orang modern, maka ada jawaban yang
cukup terurai.
Terdapat dua cara pelanggaran suatu hukum moral, yakni secara sengaja atau
karena tidak tahu. Dalam hal sengaja, masih ada aspek hukum meskipun telah
dilanggar, kekuatan mengikat masih terasakan, dan membangkitkan rasa salah (sense
of guilt) atau rasa sesal (feeling of remorse, gewetenswroeging) pada diri orang yang
melanggarnya. Tidak sedikit suku-suku primitif yang setelah mengadakan
pembunuhan masal terhadap lawannya, kemudian mengadakan upacara pembersihan
diri, bahkan di antara mereka ada yang sangat menyesali perbuatan jahatnya dimasa
lalu, sampai-sampai mereka bunuh diri.
Mengenai soal tidak tahu, ini bisa terjadi mengenai prinsip moral yang
sekunder, yaitu mengenai penerapan dan kesimpulan dari prinsip-prinsip pertama
yang pasti diketahui. Kekurangmampuan menalar dengan akal budinya membuat
seseorang menyimpulkan secara salah, dan juga salah menerapkan prinsip pada
kejadian tertentu.
Apabila suatu suku primitif mempraktikan kanibalisme atau pembunuhan
bayi, mereka tidak pernah secara prinsip menganggap bahwa Licet (boleh)
membunuh setiap orang pada sembarang saat atau sembarang keadaan. Mereka
44
berbuat demikian hanya bila ada prestise, keharusan, atau upacara keagamaan
menuntutnya. Selanjutnya, praktik-praktik tersebut, juga kekeliruan moral lainnya,
pada umumnya karena penyelesaian yang salah dalam menyelesaikan dua keputusan
moral yang nampaknya saling bertentangan (Puspoprojo,1999:16)
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan bahwa meskipun nilai
baik dan buruk dikatakan berbeda pemaknaan dari satu kelompok masyarakat dengan
masyarakat
pada
kelompok
lainnya,
namun
ternyata
manusia
dimanapun
kelompoknya akan merasa berbuat salah jika melakukan hal-hal yang tidak sesuai
dengan fitrah kemanusiannya.
Hal
ini
senada
dengan
apa
yang
disampaikan
oleh
Magnis
45
46
Cerita rakyat seperti yang telah penulis sampaikan di awal berfungsi sebagai
media pengungkapan perilaku tentang nilai-nilai kehidupan yang melekat di dalam
kehidupan masyarakat. Dari fungsi ini maka cerita rakyat akan mengandung nilai
moral di dalamnya dan biasanya nilai ini cenderung disampaikan secara terselubung
melaui jalinan cerita yang ada. Untuk membedah pesan yang terselubung ini maka
dibutuhkan sebuah pisau analisis sehingga pesan ini dapat terkuak. Salah satu pisau
analisis yang akan digunakan untuk membedah cerita PAL dalam penelitian ini adalah
dengan model strukturalisme Levi Strauss.
Cerita PAL sebagai sebuah mitos merupakan cerminan angan-angan
pemiliknya yang tertuang dalam sebuah kisah, sehingga besar kemungkinan
mengandung nilai moral. Pengungkapan nilai moral dalam cerita PAL membutuhkan
sebuah analisis yang dapat mengungkapkan nilai tersebut. Untuk menganalisisnya
penulis mengambil analisis konten atau isi seperti yang disampaikan Endraswara
(2006:83) bahwa dalam kaitannya dengan nilai moral atau budi pekerti, peneliti dapat
membuat kategori budi pekerti sebagai berikut: 1) budi pekerti yang berhubungan
antara manusia dengan Tuhan, seperti semedi, menyembah, berkorban, slametan dan
lain sebagainnya, 2) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan manusia,
misalkan sikap gotong royong, rukun, membantu, kasih-mengasihi, dan sebagainya,
3) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan alam semesta, yaitu sikap
tidak semena-mena kepada benda mati (batu, air, sungai, gunung), 4) budi pekerti
yang berhubungan antara manusia dengan makhluk lain, misalkan jin,setan, hewan,
47
tumbuhan dan lain-lain, 5) budi pekerti yang berhubungan antara manusia dengan
dirinya sendiri.
Kategori yang dibuat untuk menganalisis nilai moral dalam cerita PAL ini,
selanjutnya dihubungkan dengan budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa
cerita PAL hidup dan berkembang di daerah Jawa, sehingga mencerminkan budaya
yang ada pada masyarakatnya.
4.
komunikasi
untuk
menganalisis,
merancang,
menciptakan,
48
49
kursus-kursus, desain unit pelajaran dan pembelajaran, perlengkapan belajar, bukubuku pelajaran buku-buku kerja, program multimedia, dan bantuan belajar melalui
alat-alat elektronik berupa komputer.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas yang dimaksud dengan model
pelestarian cerita rakyat Putri Ayu Limbasari di Madrasah Tsanawiyah adalah upaya
yang dilakukan untuk melestarikan cerita PAL melalui pembelajaran di Madrasah
Tsanawiyah. Upaya ini dilakukan dengan membuat sebuah model atau desain
pembelajaran dengan cerita PAL sebagai bahan ajarnya. Model pembelajaran yang
akan diterapkan sebagai salah satu upaya pelestarian cerita rakyat PAL di Madrasah
Tsanawiyah adalah dengan menerapkan model pembelajaran kontekstual (contextual
teaching and learning CTL).
Penerapan model pembelajaran kontekstual pada cerita PAL di Madrasah
Tsanawiyah perlu memperhatikan beberapa aspek yang terkait dengan materi cerita
rakyat di Madrasah Tsanawiyah. Aspek-aspek tersebut antara lain kurikulum, prinsipprinsip pemilihan bahan ajar dalam pendidikan, prinsip-prinsip pembelajaran
kontekstual, dan rancangan pembelajaran cerita rakyat PAL.
Aspek-aspek
yang
perlu
diperhatikan
dalam
penerapan
model
50
pengembangan
silabus
Bahasa
Indonesia
untuk
tingkat
51
sekarang. Materi cerita rakyat ini juga terdapat dalam SK dan KD kelas X semester 2
yaitu: mendengarkan (memahami cerita rakyat yang dituturkan) (SK) dan
menemukan hal-hal yang menarik tentang tokoh cerita rakyat yang disampaikan
langsung atau melalui rekaman (KD).
Berdasarkan pedoman silabus tersebut, cerita rakyat PAL mempunyai
kesempatan yang baik untuk dijadikan sebagai salah satu materi pembelajaran
apresiasi sastra dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Kesempatan ini merupakan
wahana yang baik untuk memperkenalkan cerita PAL kepada siswa, sehingga cerita
PAL dapat lebih diketahui dan akhirnya dapat dijadikan model alternatif pelestarian
cerita tersebut.
Cerita
PAL
sebagai
materi
pembelajaran
Bahasa
Indonesia
di
52
53
materi pembelajaran sastra. Hal ini menunjukan bahwa materi prosa fiksi merupakan
materi yang dapat menunjang tujuan dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Tujuan pembelajaran sastra pada tiap-tiap tingkatan sekolah pada dasarnya
sama, hanya saja ada perbedaan tekanan berkaitan dengan jenis dan tingkatan
sekolah, yaitu menumbuhkan keterampilan berbahasa, kepekaan sosial, kesadaran
sosial, mengembangkan daya imajinasi dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan yang
dikatakan Rahmanto (1993:16-24), bahwa pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu: membantu
keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta
dan rasa, dan menunjang pembentukan watak.
Pada dasarnya dalam memilih bahan pembelajaran, penentuan jenis dan
kandungan materi sepenuhnya terletak di tangan guru. Namun demikian, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar pegangan untuk memilih objek
bahan pelajaran yang berkaitan dengan pembinaan apresiasi siswa. Prinsip dasar
dalam pemilihan bahan pembelajaran adalah bahan pembelajaran yang disajikan
kepada siswa harus sesuai dengan kemampuan siswanya
54
55
Ketiga, tahap realistik (13 16 th), sampai tahap ini anak sudah benarbenar terlepas dari dunia fantasi, dan sangat berminat pada realitas atau hal yang
benar-benar nyata. Mereka terus berusaha mengetahui dan siap mengikuti dengan
teliti fakta-fakta untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan nyata.
Keempat, tahap realistik ( 16 th ke atas), tahap ini anak sudah tidak hanya
berminat pada hal-hal yang bersifat praktis, tetapi juga sudah berminat untuk
menemukan konsep-konsep abstrak dengan menganalisis suatu fenomena. Mereka
berusaha menemukan dan merumuskan penyebab fenomena tersebut yang kadangkadang mengarah kepada pemikiran filsafati untuk menentukan keputusan-keputusan
moral.
3) Aspek Latar Belakang Budaya
Latar belakang karya sastra meliputi hampir semua faktor kehidupan
manusia dan lingkungannya seperti geografi, sejarah, topografi, iklim, mitologi,
legenda, pekerjaan, kepercayaan, cara berpikir, nilai-nilai masyarakat, seni, olah raga,
hiburan, moral, dan lain sebagainya.
Secara alami siswa akan mudah tertarik pada karya-karya sastra berlatar
budaya yang erat hubungannya dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka tertarik
dengan peristiwa yang dikisahkan, tempat, atau kelompok masyarakat tertentu.
Sangat boleh jadi tokoh-tokoh cerita lebih menarik perhatian mereka karena ada
kencenderungan pada mereka untuk mengidentifikasi diri dengan tokoh-tokoh
tersebut. Terlebih lagi jika tokoh tersebut berasal dari lingkungan yang memiliki
kesamaan dengan mereka atau orang-orang disekitar mereka.
56
57
58
nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang
ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan hanya bagi siswa materi itu akan
bermakna secara fungsional terhadap materi yang dipelajarinya tetapi juga akan
tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat memahami materi
yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai
perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan
untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan tetapi sebagai bekal mereka
dalam mengarungi kehidupan nyata.
Pembelajaran kontekstual mempunyai tujuh komponen utama yaitu;
konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan
penilaian sebenarnya, Andriana (Sudarmono,2009:39). Suatu pembelajaran dikatakan
pembelajaran kontekstual jika dalam pembelajarannya menerapkan tujuh komponen
tersebut.
a. Konstruktivisme
Konstrukttivisme merupakan landasan berpikir bagi pendekatan
kontekstual. Landasan berpikir pada pendekatan ini memandang bahwa
pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, hasilnya diperluas melalui konteks
yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong (Sudarmono,2009:40).
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah
yang siap untuk diambil dan diingat. Pengetahuan harus dikontruksi dan diberi
59
makna oleh siswa melalui pengalaman nyata. Berkaitan dengan hal ini, maka
siswa perlu dilatih untuk terbiasa memecahkan masalah, menemukan hal-hal yang
berguna bagi dirinya, dan terbiasa dengan gagasan- gagasan. Pelatihan yang
dilakukan siswa juga untuk membantu guru dalam menyelesaikan tugas-tugasnya,
sebab, pada kenyataannya guru tidak akan mampu memberikan semua
pengetahuan kepada siswa.
Teori
kontruktivisme
dapat
diartikan
bahwa
siswa
harus
agar bersifat
menemukan.
Langkah-langkah
tersebut
menurut
Nurwanti
60
(Sudarmono,2009:41)
mengemukakan
bahwa
kegiatan
61
62
63
datang
dari
lingkungannya
dengan
cara
mengorganisasikan
data,
64
5.
dilakukan oleh para peneliti. Beberapa yang penulis temukan akan disampaikan
dibawah ini.
1). Heddy Shri Ahimsa Putra, seorang dosen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu
Budaya, dan staf pengajar pada program Pascasarjana UGM, dalam bukunya
Srukturalisme Levi Strauss Mitos dan Karya Sastra menyampaikan beberapa
hasil penelitiannya berkenaan dengan cerita rakyat yang disebut dengan mitos,
mite atau dongeng. Hasil penelitian tersebut antara lain berjudul Analisis
Struktural Dongeng Bajo yang menganalis sebuah cerita rakyat dari orang Bajo
(orang Laut) berjudul PitotoSi Muhamma. Analisis cerita ini menggunakan
metode analisis dari Strukturalisme Levi Straus, namun demikian terdapat
beberapa perubahan yang dilakukan oleh Ahimsa Putra, yaitu pembuatan
episode-episode dalam cerita yang sebelumnya tidak dilakukan oleh Levi Strauss
dan penggunaan ciriteme untuk mengganti mhytheme. Ceriteme digunakan oleh
Ahimsa Putra untuk membedakan dengan miteme (mhytheme), jika ceriteme
berupa rangkaian kalimat- kalimat sedangkan miteme berupa kalimat-kalimat.
Cireteme sama halnya dengan miteme yang hanya dapat diketahui maknanya
atau pengertiannya setelah ditempatkan dengan ceriteme atau miteme yang lain.
Analisis cerita PitotoSi Muhamma ini menghasilkan beberapa
ceriteme yang kemudian dari ceriteme-ceriteme ini terbentuk episode-episode.
Episode-episode dalam cerita PitotoSi Muhamma adalah sebagai berikut; episode
65
66
beberapa hal mendasar yang disampaikan oleh Ahimsa Putra berkaitan dengan
cerita Sri Sumarah, Bawuk, dan Para Priyayi.
Hal mendasar tersebut adalah Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita
tersebut sebagai mitos atau dongeng. Jika melihat dari ciri-ciri cerita rakyat,
dongeng atau mite yang telah penulis sampaikan maka salah satu sifat cerita rakyat
adalah anonim. Berdasarkan sifat ini, maka cerita yang ditulis Umar Kayam
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai dongeng atau mitos. Namun demikian,
Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita tersebut sebagai mitos karena ada dua
alasan.
Dua alasan yang mendasari Ahimsa Putra memperlakukan cerita-cerita
Umar Kayam sebagai dongeng atau mitos yaitu; pertama, bahwa berbagai cerita
tersebut ditulis oleh Umar Kayam dalam upayanya memahami sebuah peristiwa
dahsyat yang secara pribadi sulit dipahaminya; kedua, Umar Kayam menulis cerita
tersebut bukan sebagai pengarang biasa ataupun sebagai pengamat dan penulis
reportase, tetapi sebagai individu yang telah melibatkan diri di tengah peristiwa itu
sebagai aktor yang membuat interpretasi. Posisi semacam ini pada dasarnya tidak
berbeda dengan posisi individu-individu yang telah melahirkan berbagai mitos
dalam masyarakat (Putra,2006:260).
Penulis beranggapan bahwa setuju atau tidak setuju terhadap pendapat
Ahimsa Putra tersebut tidak menjadi persoalan yang perlu dibahas dalam
penelitian ini. Hal yang terpenting yang dapat penulis ambil bahwa analisis
struktural model Strukturalisme Levi Strauss dapat diterapkan pada ketiga cerita
67
yang
ditulis
Umar
Kayam
berikut
Dalam
kebimbangan
dan
68
daerah
pakai
dan
situasi
pakai.
Langkah
selanjutnya
yaitu
69
adalah peranan yang dipegang oleh terem. Fungsi wujudnya dibatasi oleh terem,
sehingga terem dapat berubah-ubah sedangkan fungsi tetap.
Hasil dari analisis cerita-cerita ini ditemukannya lingkungan penceritaan,
klasifikasi, struktur, makna cerita, kearifan lokal, identitas Dayak Kanaytn dan
dimungkinkannya cerita-cerita tersebut sebagai bahan ajar pembelajaran sastra.
4). Penelitian berkaitan dengan cerita rakyat juga dilakukan oleh Maman Rukmana,
mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung
tahun 2006, yang menganalisis cerita rakyat Banten Selatan. Analisis cerita ini
disusun dalam sebuah tesis dengan judul Studi Deskriptif Terhadap Struktur,
Fungsi, dan Nilai Budaya Cerita Rakyat Banten Selatan: Penyusunan Bahan Ajar
Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Untuk Siswa SD di Kabupaten
Pandeglang.
Analisis yang dilakukan dalam cerita Banten Selatan ini, dilakukan
dengan menitikberatkan pada struktur intrinsik cerita yang meliputi alur,
penokohan, tema dan moral, latar, gaya penulisan, dan motif menurut genre cerita
rakyat. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan teknik tes,
angket, wawancara. Teknik-teknik ini digunakan untuk mengetahui apakah ceritacerita rakyat Banten Selatan tersebut dapat digunakan sebagai bahan ajar di
Sekolah Dasar, sehingga penelitian yang dilakukan dikaitkan dengan pembuatan
bahan ajar dari cerita rakyat.
Cerita rakyat Banten Selatan yang menjadi kajian dalam penelitian ini
berjumlah tiga buah. Cerita-cerita tersebut berjudul Syekh Mansyur dan Harimau
70
Ujung Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri
Cadasari. Selanjutnya cerita-cerita ini dianalisis struktur intrinsiknya berdasarkan
tanggapan dari para siswa melalui tes. Tes ini juga diterapkan kepada guru-guru
bahasa Indonesia. Untuk mengetahui fungsi dan nilai budaya dalam cerita
Rukmana menggunakan teknik wawancara yang deterapkan kepada para praktisi
pendidikan. Selanjutnya penggunaan angket diterapkan kepada guru-guru sekolah
dasar di lingkungan Dinas Pendidikan Kabupaten Pandeglang, untuk menganalisis
variable penyusunan bahan ajar.
Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Rukmana menyimpulkan
bahwa cerita rakyat Banten Selatan berjudul Syekh Mansyur dan Harimau Ujung
Kulon, Asal Mula Orang Badui, dan Pengeran Pande Gelang dan Putri Cadasari,
dapat digunakan sebagai alternatif dan variasi bahan ajar mata pelajaran Bahasa
Indonesia di sekolah dasar. Alasan yang mendasari pengambilan kesimpulan ini,
menurut Rukmana adalah bahwa cerita-cerita tersebut telah memenuhi kriteria
yang memadai serta memperhatikan langkah-langkah dalam penyusunan bahan
ajar.
Berdasarkan beberapa penelitian berkenaan dengan cerita rakyat tersebut,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap cerita PAL dengan model
analisis strukturalisme Levi Strauss. Model ini penulis anggap sesuai dengan cerita
PAL sebagai sebuah mitos, karena mitos merupakan fokus analisis dalam
strukturalisme Levi Strauss.