Anda di halaman 1dari 87

Tugas Individu : Makalah UTS

Mata Kuliah : Semantik Bahasa Indonesia


Dosen Pengampu : Idawati Garim, S.Pd., M.Pd.

MAKALAH SEMANTIK BAHASA


INDONESIA

NURUL FAHIRA MULYANI


1951042036

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur panjatkan kehadirat Allah yang Maha Esa telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga mampu menyelesaikan makalah UTS ini selesai
tepat waktu.

Tak lupa pula, saya selaku penyusun mengucapkan rasa terima kasih
khususnya kepada Ibu Dr. Idawati Garim S.Pd., M.Pd. selaku dosen mata pelajaran
Semantik yang memberi arahan sehingga dapat menyusun makalah ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada pihak yang membantu dalam
penyusunan makalah ini.

Saya selaku penyusun menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam


pembuatan makalah ini dan sangat jauh dari kata sempurna. Oleh karenanya, sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca yang Budiman.
Atas partisipasinya saya ucapkan terima kasih.

Bulukumba, 3 April 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI
BAB I......................................................................................................................................6
PENDAHULUAN..................................................................................................................6
A. LATAR BELAKANG MASALAH...........................................................................6
B. RUMUSAN MASALAH............................................................................................7
C. TUJUAN PENULISAN..............................................................................................8
D. MANFAAT PENULISAN.........................................................................................8
BAB II.....................................................................................................................................9
PEMBAHASAN.....................................................................................................................9
A. PENGERTIAN SEMANTIK.....................................................................................9
B. KONSEP SEMANTIK BAHASA INDONESIA....................................................10
1. Konsep-Konsep Dasar Semantik............................................................................10
2. Konsep Semantik dalam Pembelajaran Bahasa.....................................................14
C. BATASAN SEMANTIK BAHASA INDONESIA..................................................18
A. PENGERTIAN SEMANTIK...................................................................................19
B. OBJEK KAJIAN SEMANTIK................................................................................20
1. Semantik Gramatikal..............................................................................................21
2. Semantik Leksikal......................................................................................................23
C. CONTOH TANDA BAHASA DALAM BAHASA INDONESIA...........................24
A. Pengertian Makna Dalam Pemakaian Sehari-Hari......................................................36
B. Pengertian Makna Sebagai Istilah..............................................................................37
C. Pengertian Makna dan Pendekatan Referensial..........................................................39
D. Pengertian Makna Dalam Pendekatan Ideasional.......................................................40
E. Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral........................................41
F. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna.......................................................43
G. Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan............................45
A. Jenis – Jenis Makna.................................................................................................46
B. Perubahan Makna....................................................................................................54

3
A. Pengertian Relasi Makna............................................................................................58
B. Jenis-jenis Relasi Makna.............................................................................................60
A. Hakekat Analisis Komponen Makna.............................................................................65
B. Analisis Komponen Makna Kata...................................................................................66
C. Pembeda Makna dan Hubungan Antar Komponen Makna............................................66
D. Langkah Analisis Komponen Makna............................................................................67
E. Hambatan Analisis Komponen Makna..........................................................................68
F. Prosedur Analisis Komponen Makna.............................................................................69
G. Manfaat Analisis Komponen Makna.........................................................................71
A. Pengertian Komponen Makna....................................................................................79
B. Komponen Makna......................................................................................................80
BAB III.................................................................................................................................85
PENUTUP............................................................................................................................85
A. Kesimpulan................................................................................................................85
B. Saran..........................................................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................86

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Semantik merupakan sebuah ilmu bahasa yang sangat dekat dalam lingkungan
masyarakat, khususnya bagi seorang mahasiswa yang mempelajari ilmu bahasa itu
sendiri. Oleh karena itu, semantik merupakan suatu bagian penting dalam
pemahaman dan mengkaji bahasa itu sendiri. Semantik juga merupakan bagian dari
ilmu linguistic yang mengkaji struktur suatu bahasa yang berhubungan dengan makna
ungkapan atau struktur makna suatu wicara. Sebagai mahasiswa yang memperlajari
dan mengkaji tentang bahasa, cabang ilmu linguistik ini harus dikuasai dan dipahami.
Dalam pendidikan bahasa Indonesia, kajian semantic menjadi bagian yang
penting, karena sejalan dengan perkembangan zaman bahasa pun akan mengalami
perkembangan atau pergeseran-pergeseran makna. Pergeseran makna dalam bahasa
Indonesia dipastikan tidak dapat dihindari, hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor
yang nantinya harus dikuasai dan dipahami oleh seorang pengkaji bahasa.
Setiap pembahasan dan pengkajian semantik perlu diketahui terlebih dahulu
konsep dan batasan semantik dalam bahasa Indonesia. Hal ini perlu untuk membatasi
ruang lingkup pengkajian semantik bahasa Indonesia sehingga tidak keluar dari
konteks pembahasan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut.
1) Apakah yang dimaksud dengan semantik?
2) Apa saja konsep semantik bahasa Indonesia?
3) Apa saja batasan semantik bahasa Indonesia?
4) Apakah yang dimaksud dengan semantik?

5
5) Apa itu Objek Kajian Semantik?
6) Apa contoh bahasa dalam Bahasa Indonesia?
7) Apakah pengertian dari semantik, linguistik, psikologi, logika, dan filsafat?
8) Bagaimanakah semantik dapat dikatakan berhubungan dengan linguistik,
psikologi, logika dan filsafat?
9) Bagaimanakah pengertian makna dalam pemakaian sehari-hari?
10) Bagaimanakah pengertian makna sebagai istilah?
11) Bagaimanakah pengertian  makna dan pendekatan referensial?
12) Bagaimanakah pengertian makna dalam pendekatan ideasional?
13) Bagaimankah pengertian makna dalam pendekatan behavioral?
14) Bagaimanakah penerapan tiga pendekatan dalam studi makna?
15) Bagaimanakah proses kejiwaan dan penguasaan lambang dalam pemaknaan?
16) Apa sajakah jenis – jenis makna dalam Bahasa Indonesia?
17) Bagaimanakah perubahan makna?
18) Apa pengertian relasi makna?
19) Apa pengertian sinonimi?
20) Apa pengertian antonimi dan aposisi?
21) Apa saja yang terdapat pada homonimi, homofoni dan homografi?
22) Apa pengertian polisemi?
23) Apa pengertian ambiguitas?
24) Apa pengertian redundansi?

25) Apa yang di maksud hakikat analisis komponen makna

26) Apa yang di maksudanalisis komponen makna kata

27) Apa yang menjadi pembeda makna dan hubungan antar komponen makna
28) Bagaimana langkah analisis komponen makna

29) Apa sajahambatan analisis komponen makna

6
30) Bagaimana prosedur analisis komponen makna

31) Apa saja manfaat analisis komponen makna


32) Pengertian relasi makna
33) Jenis-jenis relasi makna
34) Pengertian Komponen Makna
35) Komponen Makna

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas yang
dosen berikan. Dan untuk mengetahui beberapa materi yang telah disajikan dalam
makalah ini.
D. MANFAAT PENULISAN
Dengan dibuatnya makalah ini, penulis berharap pembaca mampu mengetahui
beberapa materi yang telah disajikan dalam materi ini. Sehingga mampu menjadi
acuan atau referensi untuk bahan pembelajaran.

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN SEMANTIK
Semantik pada dasarnya merupakan suatu istilah yang mengacu pada studi
tentang makna. Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani, yaitu
‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah
‘semaino’ yang artinya ‘menandai’ atau ‘melambangkan’, yang dimaksud tanda atau
lambing di sini adalah tanda-tanda linguistik. Menurut KBBI V, semantik adalah ilmu
tentang makna kata dan kalimat; pengetahuan mengenai seluk-beluk dan pergeseran
arti kata (KBBI Daring, 2019). Sedangkan menurut beberapa sumber, semantik
adalah cabang linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu
bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, semantik adalah
pembelajaran tentang makna. Semantik biasanya dikaitkan dengan dua aspek lain:
sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta
pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh komunitas pada konteks tertentu
(Wikipedia, 2019).
Berikut adalah beberapa pengertian semantik menurut para ahli
(Kurniawan, 2020).
1. Charles Morrist
Mengemukakan bahwa semantik menelaah “hubungan-hubungan tanda-tanda
dengan objek-objek yang merupakan wadah penerapan tanda-tanda tersebut”.
2. J.W.M Verhaar, 1989: 9
Mengemukakan bahwa semantik (inggris: semantics) berarti teori makna atau
teori arti, yakni cabang sistematik bahasa yang menyelidiki makna atau arti.

8
3. Lehrer, 1974: 1
Semantik adalah studi tentang makna. Bagi Lehrer, semantik merupakan
bidang kajian yang sangat luas, karena turut menyinggung aspek-aspek struktur dan
fungsi bahasa sehingga dapat dihubungkan dengan psikologi, filsafat dan antropologi.
4. Kambartel (dalam Bauerk, 1979: 195)
Semantik mengasumsikan bahwa bahasa terdiri dari struktur yang
menampakan makna apabila dihubungkan dengan objek dalam pengalaman dunia
manusia.
B. KONSEP SEMANTIK BAHASA INDONESIA
1. Konsep-Konsep Dasar Semantik
Konsep-konsep semantik yang dikemukakan berikut ini mencakup konsep-konsep
sejak saat mengemukakannya semantik, pada prinsipnya, yang berkaitan dengan
semantik sebagai kajian makna bahasa, namun sangat terbatas pada referensi yang
terjangkau.
a. Bahasa
Banyak definisi tentang bahasa oleh berbagai linguis. Untuk keperluan ini
dikutip empat definisi yang menyinggung atau yang berkaitan dengan semantik.
1) Richard et al. (1992) memberikan batasan bahasa, yaitu The system of human
communication by means of structured arrangement as sounds (or their
written representation) to form larger units, eg. Morphomes, words, sentence.
2) Wardhaugh (1977) mengatakan language is a system of arbitrary vocal
symbols used for human communication.
3) Francis (1958) mengatakan language is an arbitrary system of articulated
sounds made use if by a group of humans as a means of carrying on the affairs
of their society.
4) Sapir (1949) mengatakan language is purely human and non instinctive
method of communicating ideas, emotions, and desires by means of a system
of voluntarily produced symbols.

9
Keempat linguis ini dampaknya memberikan definisi tentang bahasa dengan
cara yang berbeda tapi intinya seputar beberapa hal yang sama dan menarik, yaitu a)
bahasa merupakan suatu sistem; b) bahasa adalah symbol berbentuk bunyi ujar; c)
sebagai sistem symbol, bahasa bersifat arbitrer; dan d) sebagai symbol yang arbitrer,
bahasa digunakan untuk berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain atau pun
dengan diri sendiri.
Bahasa diangkat sebagai konsep dasar tentang semantik karena ada dua hal.
Pertama, secara substansial bahasa merupakan objek kajian bahasa secara ilmiah yang
disebut linguistics, dan semantik adalah salah satu komponen atau cabang mengkaji
linguistik selain morfologi, fonologi, sintaksis, dan leksikon (Katamba, 1993). Kedua,
dalam komunikasi riil, yang dikomunikasikan adalah pesan, informasi, pikiran, ide,
dan lain-lain, dan yang menjadi representasi dari semuanya itu adalah bahasa yang
dihasilkan oleh alat ucap manusia secara arbitrer dan konvensional diterima dan
digunakan sebagai alat berinteraksi. Oleh karena itu, sudah tepat sekali kalau bahasa
sebagai konsep yang mendasari teori-teori semantik.
b. Grammar
Konsep grammar pertama kali dikemukakan dan dipelopori oleh seorang
sarjana berkebangsaan Jerman bernama C.Chr. Reisig, sekitar tahun 1820-1925.
Konsep ini mencakup etimologi: kajian tentang asal usul bahasa, perubahan bentuk
kata, dan perubahan arti; syntax: kajian tentang kalimat; dan semasiology: studi atau
kajian tentang tanda pada umumnya. Pada masa itu, yang terkenal dengan masa yang
disebut underground period, semantik tampil ke permukaan sebagai ilmu tentang
tanda yang disebut semiologi. Dengan kata lain, pembicaraan tentang makna sudah
mulai dilakukan, namun yang dibicarakan itu termasuk dalam substansi semasiologi.
Kemudian, menjelang akhir abad ke-20 muncul konsep grammar baru oleh Noam
Chomsky yang terkenal dengan generative grammar. Konsep grammar ini berlaku
untuk semua manusia yang terlahir dengan bawaan kemampuan bahasa, sehingga
konsep ini disebut dengan Universal Grammar. Dengan konsep grammar ini,
Chomsky berpendapat bahwa berkemampuan bahasa mensyaratkan competence dan

10
performance, yang pertama menyangkut kemampuan berbahasa yang sudah
dimiliki/diketahui. Sedangkan yang terakhir menyangkut tindak nyata bertutur.
Kompetensi sangat menentukan performa berbahasa seseorang. Dalam kaitannya
dengan semantik, kompetensi berkaitan dengan struktur makna (deep structure),
sedangkan performa berususan dengan bentuk tutur/bahasa (surface structure).
Dengan kata lain, pemahaman terhadap struktur makna hanya lewat struktur bentuk.
c. Semiologi
Semiologi merupakan salah satu konsep dasar yang sering disebut Semiotik.
Dalam kaitan bahasa dan komunikasi, Robins (1992) membagi lambang atas lambang
bahasa dan lambang selain bahasa yang disebut tanda-tanda. Ilmu yang mempelajari
sistem lambang dan tanda yang sering disebut semiotik berada di luar jangkauan
sebuah ilmu bahasa secara umum. Tanda-tanda sistem lambang yang dimaksud itu
berkaitan dengan alamiah, misalnya ‘menggigil’ diartikan sebagai tanda demam, atau
‘peta atau rambu-rambu jalan’, dan lain-lain cenderung menyatakan hal-hal yang
diacunya. Sedangkan bahasa sebagai sistem lambang hampir seluruhnya didasarkan
atas konvensi murni dan sifatnya arbitrer.
Banyak linguis yang menulis tentang tanda-tanda pada umumnya dan tanda
bahasa khususnya, seperti Ferdinand de Saussure dalam Hidayat (1993) dalam
kaitannya dengan peran langue, Lyons dalam Soetikno (1995) dalam kaitannya
dengan kode bahasa, dan Searle dalam Tarigan (1985) tentang posisi semiotik sebagai
payung kajian sintaksis, semantik, dan pragmatik. Di abad modern ini, Halliday
(1984) menulis bahasa sebagai unsur semiotik sosial. Perhatiannya terfokus pada
interpretasi sosial bahasa dan makna. Semiologi diangkat sebagai konsep dasar,
karena baik lambang bahasa maupun tanda-tanda yang lebih banyak bersifat alamiah
merepresentasikan makna untuk terjadinya interaksi yang komunikatif
d. Proposisi
Richard, et al (1992) mendefinisikan proposisi sebagai the basic meaning
which a sentence expresses. Kemudian mereka dikatakan propositions consist of (a)
something which is named or talked about (known as the argument or identity), (b) an

11
assertion or predication which is made about the argument. Pendapat ini sama dengan
yang diberikan oleh Harimurti dalam Aminuddin (1988), yaitu sebagai konfigurasi
makna yang menjelaskan isi komunikasi dari pembicaraan, terjadi dari predikator
yang berkaitan dengan satu argumen atau lebih. Aminuddin (1988) menambahkan,
bahwa proposisi sifatnya abstrak, karena setiap bentuk bahasa merupakan pernyataan
yang berada dalam abstraksi pikiran penutur. Contoh yang diberikan, misalnya
tatanan ‘saya lapar’ yang masih dalam pikiran adalah proposisi, sedangkan bentuk
ujarnya adalah tadi pagi saya tidak sarapan, atau seharian saya belum makan. Bentuk-
bentuk ujar ini, yang mewakili proposisi saya lapar adalah pernyataan. Demikianlah
proposisi juga termasuk konsep dasar karena proposisi merupakan struktur makna
yang mengontrol struktur bentuk atau aturan main bahasa.
e. Presuposisi
Presuposisi berkaitan dengan pengetahuan awal untuk membantu memahami
proposisi ujaran. Berdasarkan pendapat linguis, seperti Lyons dalam Soetikno (1995),
Palmer dalam Aminuddin (1988), bahwa presuposisi merupakan unsur peranggapan
bagi lawan bicara supaya mampu memahami paparan ujaran seseorang penutur
karena ujaran itu memiliki tanda, konteks,dan mengandung referen acuan yang sudah
sama-sama dipahami oleh interlokutor sebagai lawan bicara. Dengan kata lain, tanpa
presuposisi tidak bakal terjadi pemahaman. Dalam praktik hal ini disebut tidak
berkaitan akibat salah pemahaman. Lebih jauh presuposisi dapat dibedakan atas
presuposisi logis, yaitu yang berkaitan dengan pengolahan dan pemahaman pesan
yang isi semantisnya memiliki hubungan logis dengan bentuk ekspresi, baik dalam
pengkodean maupun penataan relasi; dan presuposisi pragmatis berkaitan dengan
konteks sosial-situasional yang melatari.
Dalam kaitannya dengan presuposisi, Brown dalam Atmadi dan Setyaningsih
(2000) memberikan dua peranti untuk memahami tutur dalam konteks, yaitu prior
knowledge atau pengetahuan awal tentang topik yang sedang dibicarakan.
Pemahaman terjadi bila kedua belah pihak mempunyai prior knowledge yang sama.
Sedangan, peranti cultural background, berkaitan dengan latar belakang budaya yang

12
turut membantu mempermudah memahami makna suatu tuturan karena penutur dan
pendengar memiliki kesamaan persepsi mengenai sesuatu hal yang dituturkan
(A. Semiun, 2004)
2. Konsep Semantik dalam Pembelajaran Bahasa

Di bawah ini disajikan ketiga konsep semantik dalam pembelajaran bahasa, yaitu; 1)
Model komponen makna; 2) Model Semantik primitif; dan 3) model hubungan
semantik (Zainuddin, 2007).

a. Sampel Model Komponen Makna

Komponen Makna Ayah Ibu


1. Insan + +
2. Dewasa + +
3. Jantan + -
4. Kawin + +

Keterangan: tanda berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda –


berarti tidak memiliki komponen makna tersebut.

Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau
komponen makna: ayah memiliki makna ‘jantan’, sedangkan ibu tidak memiliki
makna ‘jantan’ (Chaer: 115).

b. Sampel Model Semantik Primitif (Semantic Primitive)


Inti makna/makna asli (dalam struktur makna kata)

Melamun : X berpikir seperti ini


(= memikirkan sesuatu) X kenapa berpikir seperti ini
X melamun tentang sesuatu
(waktu: sekarang) → tanpa keinginan
Menghayal : X memikirkan sesuatu
(= rasa keinginan) X ingin sesuatu bisa terjadi
X menghayal terjadi sesuatu

13
Mengetahui : X mengetahui Y
(= mengatakan) X dapat mengatakan sesuatu tentang Y
X mengetahui Y
X mengetahui Helen Borland
(X bisa mengatakan sesuatu tentang
Helen Borland)
Ingat : X ingat Y
X mengetahui Y
X ingat Y jika X bisa mengetahui sesuatu
tentang Y
Lupa : X lupa Y
X tidak mengetahui Y
X tidak dapat mengetahui sesuatu tentang Y
Lega : X merasakan sesuatu
X merasa lega
Ibu : X ibu Y
Dulu Y kecil. Y keluar dari X. sekarang Y
besar. X ibu Y.
Ayah : X ayah Y
X hidup dengan ibu Y
X menjadi ayah Y

c. Model Hubungan Makna (Relational Models)


Relational Sample With Example (Hatch and Brawn 1995: 73)

A Typical adjective for Nocer To harm, injure, or impair


participant Nocer (access) = cut off
A (suspicion)= full of
Ant Antonym (exact or near) Obstru To function with difficulty
Ant (happy)= sad Obstr (justice) = obstruct
Bon Standard praise for entry Perm Permit or allow

14
bon (advice)= sound Perm (go) = let
Centr Center of Plus More of
Centr (city)= heart Plus (distress) = grow
Contr Nonantonymic contrast Propt Preposition of “because of”
Contr (chair)= table Propt (greed) = out of
Conv Conversive Prox To be on the verge of prox
Conv (buy)= sell (disaster) = on the brink of
Culm Culmination of Qual Highly probable qualities
Culm (ability)= peak of marticipant
Qual (thief) = sneaky
Degrad Degradation of S Typical noun for a
Degrad (marriage)= fall numbered entry
Appart S1 (crime) = robber
S2 (crime) = victim
Epit Standard epithet Sloc Typical location
(representing part of entry)
Epit (body)= physique
Excess Excessive function of Stes Typical result
Excess (eyelid)= flutter Sloc (house) = yard
Fact Verb meaning “the
realization of”
Fact (suspicion)= confirm
Fin Stopping by
Fin (fly) = land
Gener Generic word
Gener (blue) = color
Imper The command associated
with
Imper (care) = watch out!
Liqu The elimination of
Liqu (group) = disband
Magn Intensity
Magn (hatred) = deep

15
Mult A reguler aggregate of
Mult (paper) = rearn

C. BATASAN SEMANTIK BAHASA INDONESIA

Istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik daripada istilah
untuk ilmu makna lainnya. Seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan
semik. Ini dikarenakan istilah-istilah lainnya itu mempunyai cakupan objek yang
cukup luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk
tanda lalulintas, morse, tanda matematika, dan juga tanda-tanda yang lain.
Sedangkan, batasan cakupan dari semantik adalah makna atau arti yang berkenaan
dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal (NUR DIANA, 16:07:29 UTC).

Seperti dinyatakan bahwa semantik mencakup bidang yang sangat luas, baik
dari struktur dan fungsi bahasa maupun dari segi interdisiplin bidang ilmu (Fatimah,
2009: 4). Tetapi dalam hal ini ruang lingkup semantik terbatas pada hubungan ilmu
makna itu sendiri dibidang linguistik.

Faktor nonlingistik ikut mempengaruhi semantik sebagai fungsi bahasa non


simbolik. Semantik adalah studi suatu pembeda bahasa dengan hubungan proses
mental atau simbolisme dalam aktivitas bicara (Tarigan, 2004: 5).

Hubungan bahasa dengan proses mental dapat dinyatakan dengan beberapa


cara. Beberapa pakar proses mental tidak perlu dipelajari karena membingungkan,
sebagian lagi menyatakan bahwa proses mental harus dipelajari secara terpisah dari
semantik, atau semantik dipelajari tanpa menyinggung proses mental.

Dalam kenyataannya, semantik atau makna berkaitan erat dengan struktur dan
fungsi. Artinya struktur tanpa makna dan manka tanpa struktur tidak mungkin ada.
Jadi bentuk atau struktur, fungsi dan makna merupakan satu kesatuan dalam meneliti
atau mengkaji unsur-unsur bahasa.

16
Dari adanya sejumlah tataran dan kompleksitas dapat dimaklumi bahwa
meskipun makna dan lambang serta aspek semantik dan tata bahasa merupakan
unsur-unsur yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dalam menentukan hubungan
semantik dan linguistik masih terdapat sejumlah perbedaan. Ada pengkaji yang lebih
senang menyebut semantik dengan teori makna dan langsung memasukkannya
kedalam bidang filsafat bahasa (Aminuddin, 2001: 27).

Pada sisi lain ada juga pengkaji yang beranggapan bahwa selama dalam
abstraksi dan proses relasi dan kombinasi, makna masih merupakan sesuatu yang
abstrak sehingga kajian empiris dan hasil studi yang saintifik tidak mungkin dapat
dilaksanakan dan dicapai (Kurniawan, 2020).

A. PENGERTIAN SEMANTIK

Pengertian semantika dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya


Kridalaksana (2001: 193) memberi pengertian semantika sebagai sebuah sistem dan
penyelidikan makna dan arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.

17
Ekowardono (2013: 2), mengemukakan bahwa semantika adalah ilmu bahasa
yang mengkaji makna bahasa, sedangkan menurut Keraf (1984: 129), semantik
adalah bagian dari tatabahasa yang meneliti makna dalam bahasa tertentu, mencari
asal mula dan perkembangan dari arti suatu kata.

Pengertian semantika juga dikemukakan oleh Verhaar (2006: 13), bahwa


semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna. Menurut Leech
(2003: 19), semantik merupakan studi tentang makna dalam pengertian yang luas
yaitu ‘semua yang dikomunikasikan melalui bahasa’. Filsuf Perancis, Ricoeur (2012:
30), mendefinisikan semantik sebagai ilmu tentang kalimat, langsung fokus pada
konsep makna (yang dalam tahapan ini sinonim dengan meaning).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantik


adalah ilmu bahasa yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang
menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan
antara kata dengan konsep atau makna dari kata tersebut.

B. OBJEK KAJIAN SEMANTIK

Objek kajian semantic adalah makna atau arti satuan bahasa. Leech, (1983)
menjelaskan bahwa objek kajian semantic adalah makna satuan bahasa yang tidak
dihubungkan dengan konteks tuturan. Semantic mengaji tanda bahasa dengan konsep
serta acuannya baik secara leksikal maupun gramatikal. Semantic mengaji apa arti X.
Djajasudarma (1993:4) menjelaskan satuan yang dikaji maknanya itu mulai dari
tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan wacana.

Objek kajian semantika adalah satuan bahasa yang memiliki atau menyatakan
makna. Yang termasuk satuan bahasa yang memiliki makna adalah kata, klitik,
leksem, frase, klausa, kalimat, dan wacana, sedangkan satuan bahasa yang tidak
memiliki makna tetapi menyatakan makna adalah morfem (Ekowardono, 2013: 4).

18
Subroto (2011) mengemukakan bahwa semantik mengkaji arti bahasa (arti
lingual) yang bersifat bebas konteks atau tidak terikat konteks. Arti bahasa pada
dasarnya adalah bentuk pengetahuan yang tersimpan di dalam dan terstruktur di
dalam bahasa, dikuasai secara lebih kurang sama oleh para pengguna bahasa, serta
digunakan dalam komunikasi secara umum dan wajar. Arti itu tersimpan di dalam
bahasa maksudnya adalah bahwa bahasa sebagai sistem tanda lingual (tanda bahasa)
merupakan paduan dari aspek bentuk (formal aspect ofthe sign) dan aspek arti
(semantic aspect of the sign). Berdasarkan rumusan itu, untuk menjadi bahasa kita
tidak hanya menerima rentetan bunyi bahasa yang kosong melompong (tanpa sesuatu
yang terkandung di dalamnya) atau rentetan huruf tanpa sesuatu yang dapat ditangkap
di dalamnya. Demikian pula sebaliknya, untuk menjadi bahasa suatu ide atau gagasan
atau keinginan itu perlu dibungkus secara bersistem dalam wujud rangkaian bunyi
bahasa.

Berdasarkan dua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa objek kajian


semantika adalah satuan bahasa berupa tanda bahasa (tanda lingual) yang memiliki
atau menyatakan makna.

Objek kajian semantik adalah makna atu arti satua bahasa. Leech, (1983: 8—
10) menjelaskan bahwa objek kajian semantik adalah maknana satuan bahasa yang
tidak di hubungkkan dengan konteks tuturan. Semantik mengkaji tanda bahasa
dengan konsep serta acuan baik secara leksikal maupun gramatikal. Verhaar (1983:9)
berkata”…perbedaan antara leksikon dan gramatika menyebabkan bahwa dalam
semantik itu kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal.
Kelak akan dijelaskan bahwa semantik bukan saja semantik gramatikal dan semantik
leksikal , tetapi jauh lebih luas dari itu.”

1. Semantik Gramatikal

19
Objek kajian semantik gramatikal, jenis semantik ini disebut SEMANTIK
GRAMATIKAL. Jenis semantik ini mengkaji satuan-satuan gramatikal yang terdiri
atas sintaksis danmorfologi. Semantik mengkaji apa arti X. Djajasudarma (1993: 4)
menjelaskan bahwa satuan bahasa yang dikaji maknanya itu mulai dari tataran
fonologi , morfologi, sintaksis, dan wacana. Penjelasannya dapat dijabarkan berikut
ini.

a. Fonologi
Pada fonologi tidak ada semantiknya, atau dengan kata lain fonologi tida
termasuk dalam jenis-jenis semantik karena fonologi hanya mampu membedakan
makna kata dengan perbedaan bunyi.
Fonologi merupakan subsistem kajian di bidang bunyi bahasa. Fonologi
dikelompokkan menjadi dua, yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah ilmu bahasa
yang mengkaji berbagai bunyi bahasa tanpa memperhatikan fungsinya sebagai
pembeda makna. fonetik berurusan kepada cara bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia dan cara bunyi bahasa itu mengalir sebagai gelombang bunyi
sihingga dapat dipahami oleh manusia . fonemik adalah cabang ilmu bahasa yang
mengkaji bunyi bahasa yang berperan sebagai pembeda makna.

Kajian semantik pada tataran fonologi berupa analisis fonem sebagai pmbeda
makna dalam kontras minimal. Kajian semantik dalam tataran morfologi berupa
makna leksem dan kata. Kajian semntik dalam tatran sintaksis berupa makna satuan
bahasa berupa frasa, klausa, dan kalimat. Kajian semantik tataran wacana berupa
makna pragraf atau makna sebuah teks.

b. Morfologi
Hubungan semantik dengan morfologi terlihat jelas dalam proses morfologis.
Proses morfologis itu mencakup transposisi, afiksasi, reduplikasi, dan komposisi.
Dalam proses morfologi itu, terjadi perubahan makna satuan bahasa itu.

20
Perubahan makna satuan bahasa akibat proses transposisi. Proses transposisi
adalah pembentukan kata dengan tanpa mengubah sedikitpun bentuk dasar satuan
bahasa itu.
Kata ‘sepatu’ akan memiliki makna yang berbeda setelah mengalami proses
morfologis, misalnya dengan afiksasi, menjadi ‘bersepatu’

c. Sintaksis
Semantik juga berhubungan dengan seintaksis . sintaksis adalah subsistem
linguistik yang mengkaji struktur intrakalimat. Konteks kalimat menentukan makna
suatu leksem.
1) dikebun binatang ada enam ekor beruang.
2) Hanya orang beruang yang dapat membeli rumah itu.
Perbedaan makna ‘beruang’ pada kalimat pertama dan kedua itu terjadi karena
adanya perbedaan konteks kalimat yang dimasuki kata-kata tersebut.
d. Wacana

Semantik juga berhubungan dengan wacana. Wacana adalah kajian linguistik


yang membahas hubungan antar kalimat. Jalinan kalimat satu dengan yang lain yang
serasi akan membentuk makna.

Dikatakan SEMANTIK WACANA kalau objek kajiannya adalah wacana.


Tugas jenis semantik ini adalah mengkaji makna wacana. Pemaknaan suatu wacana
tidak terlepas dari pola berpikir yang runtut dan logis.

2. Semantik Leksikal

Sedangkan objek kajian semantik leksikon (kosakata) dari suatu bahasa, mka
jenis semantiknya dinamaka semantik leksikal. Kajian semantik leksikal ini adalah
makna utuh yang terdapat pada masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses
apapun ( proses morfologi taupun sintaksis).

21
Berdasarkan pembagian Verhaar , membahas atau mengkaji semantik
leksikal. Memang Kajian semantik leksikal ini adalah makna utuh yang terdapat pada
masing-masing leksikon tanpa terpengaruh proses apapun ( proses morfologi taupun
sintaksis).

Leech (1983) bahwa makna yang terbentuk akibat satu satuan bahasa
dihubungkan dengan konteks non linguistik, yaitu situasi tutur dan nilai-nilai budaya
tertentu merupakan objek kajian pragmatik. Wijana (1996) dan Purwo (1990)
menyatakan bahwa makna yang di telaah semantik yang bebas konteks, sedangkan
makana yang dikaji dalam opragmatik adalah makna yang terikat konteks.

Ekowardono (2013) mengemukakan bahwa semantika mengkaji makna tanda


bahasa, yaitu tanda yang terbentuk dari bunyi bahasa (yang dihasilkan oleh alat bicara
dan proses artikulasi) yang tersusun menurut sistem tertentu dan bermakna
(Ekowardono, 2013). Sementara itu Subroto (2011) mengemukakan bahwa semantika
mengkaji arti bahasa (arti lingual) yang bersifat bebas konteks atau tidak terikat
konteks (Subroto, 2011).

C. CONTOH TANDA BAHASA DALAM BAHASA INDONESIA


Berikut adalah contoh tanda bahasa (linguistik/lingual) yang menjadi objek
kajian semantika.

Bunyi bahasa atau ujaran [kursi] adalah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
alat ucap manusia dan melalui proses artikulasi yang memiliki makna. Satuan
bermakna itu disebut kata. Makna itu dinyatakan oleh tanda itu sendiri, yang

22
mengacu kepada maujud di luar tanda itu, tanpa melalui penafsiran. Bunyi bahasa
[kursi] di dalamnya terkandung bentuk pengetahuan ‘perabot rumah tangga, ada
tempat duduknya, ada sandarannya, ada kakinya, dipakai untuk duduk’. Makna yang
ada pada kata disebut makna leksikal.

A. Pengertian Semantik dan Ilmu Lainnya yang Terkait


1. Pengetian Semantik

Pengetian yang mudah dipahami perihal semantik disampaikan oleh Verhaar


(1999:385) yang mengemukakan bahwa semantik merupakan cabang dari ilmu
linguistik yang meneliti arti atau makna. Dengan kata lain semantik menjadikan
makna sebagai objek penelitian ataupun kajiannya. Para ahli yang lain seperti Samuel

23
dan Kiefer, Lehrer, serta Kambartel juga memberi pengertian yang tidak jauh beda
dengan pengertian yang dikemukakan oleh Verhaar.

Makalah ini akan membahas tentang hubungan semantik dengan beberapa


disiplin ilmu. Oleh karena itu, sebelum kita meninjau hubungannya terlebih dahulu
kita tinjau pengertian dari berbagai ilmu yang berhubungan dengan semantik itu
sendiri.

2. Pengertian Ilmu Lainnya yang Terkait


a. Ilmu yang pertama adalah linguistik.
Menurut Verhaar (1996:3) Linguistik berarti ilmu tentang bahasa. Bahasa
menjadi objek kajiannya. Linguistik memiliki beberapa cabang ilmu yaitu
fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Jadi semantik merupakan bagian
dari ilmu linguistik. Tentu banyak kaitannya antar cabang ilmu linguistik
tersebut. (Verhaar 1999)

b. Ilmu yang kedua adalah Psikologi.


Secara etimologi kata psikologi berasal dari bahasa Yunani Kuno yaitu psyce dan
logos. Psyce berarti jiwa, roh, atau sukma dan logos yang berarti ilmu. Abdul
Chaer menyatakan bahwa psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang menjadikan
jiwa sebagai objek kajiannya. Terkadang seseorang menggunakan bahasa dalam
suasana yang berbeda-beda. Ketika jiwa dalam suasana bahagia maka bahasa
yang diproduksi tentu akan berbeda dengan bahasa yang diproduksi ketika jiwa
dalam keadaan yang tidak tenang. (Chaer 2003)

c. Ilmu yang ketiga adalah Logika.


Menurut Kamus Bahasa Indonesia (Yasin and Sunarto Hapsyono 1990:193)
logika memiliki arti pengetahuan tentang cara berpikir secara sehat dan beralasan
serta masuk akal. Artinya kalimat yang nantinya dihasilkan oleh seseorang

24
harusnya memiliki makna yang beralasan dan masuk akal sehingga diterima oleh
orang yang membaca atau mendengar kalimat tersebut.

d. Ilmu selanjutnya adalah Filsafat.


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) elektronik versi 1.3 filsafat
memiliki arti pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya. Kalimat-kalimat yang ditulis atau
diujarkan seseorang akan berbeda segi analisis maknanya menurut ahli filsafat
yang disebut filsuf. Biasanya filsuf akan mempermasalahkan makna dari sebuah
kata itu sampai ke akar-akarnya yang dalam pengertian disebutkan sebagai sebab
dan asal.

B. Hubungan Semantik dengan Ilmu Lainnya


1. Hubungan semantik dengan ilmu linguistik

Sudah dibahas sebelumnya bahwa semantik merupakan salah satu cabang


ilmu linguistik. Tentu antara semantik dengan cabang ilmu linguistik lainnya
memiliki hubungan yang bisa dikatakan sangat dekat. Seseorang yang melakukan
komunikasi dengan orang lainnya tentu memiliki makna yang ingin disampaikan
dalam struktur bahasa yang diutarakan. Jadi, pemaknaan itu penting dalam berbahasa
karena jika berbahasa tanpa makna sama saja dengan berbicara tanpa arah dan tujuan
yang jelas. Penjelasan tentang hubungan semantik dengan cabang ilmu linguistik
lainnya akan dibahas pada paragraf berikutnya.

Pada tataran cabang ilmu linguistik, cabang ilmu tingkat pertama adalah
fonologi. Fonologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang bunyi bahasa. Dalam
ilmu fonologi, bunyi bahasa itu dapat membedakan makna. Contoh perbedaan bunyi
bahasa yang membedakan makna yaitu :

25
a. Kata apel yang bermakna buah dengan kata apel yang bermakna upacara.
b. Kata perang yang bermakna pertempuran dengan kata perang yang bermakna
merah kecoklatan atau kekuningan.

Makna yang berhubungan dengan ilmu fonologi ini lebih kepada makna yang
muncul karena perbedaan bunyi pada beberapa kata yang berbeda dan perbedaan satu
huruf saja pada sebuah kata yang mampu memunculkan makna baru.

Cabang ilmu linguistik setelah fonologi adalah morfologi. Morfologi


merupakan ilmu yang mengkaji tentang morfem atau kata. Kata yang sudah
ditetapkan artinya dalam kamus tentu berbeda dengan kata yang sudah ditambahkan
kata lain didepannya. Sebagai contoh perhatikan kata dasar dan rangkaian kata lain
berikut.

Kaki

Kaki meja

Kaki gunung

Dari ketiga contoh tersebut, contoh pertama dan kedua pasti kita ketahui
maknanya meskipun membaca sepintas. Makna yang kita tangkap dari contoh kaki
meja dan kaki gunung tentu berbeda dengan bentuk dasar kaki yang sudah memiliki
arti tersendiri di dalam kamus. Penambahan-penambahan kata pada kata atau bentuk
dasar dapat mempengaruhi makna dari bentuk dasar itu sendiri.

Cabang ilmu linguistik setelah morfologi adalah sintaksis. Sintaksis


merupakan ilmu yang mengkaji hubungan antar kata dalam kalimat. Ruang lingkup
yang dipelajari tidak hanya kalimat tetapi juga frasa dan klausa. Dalam membuat
kalimat yang sekurang-kurangnya harus terdiri atas unsur subjek dan predikat juga
harus memiliki makna yang padu(Taib and Rostina 2012). Pateda (2001:12)

26
menyatakan bahwa kalimat yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi
merupakan kalimat yang bermakna dan masuk akal bagi pembaca atau pendengar.

Sebagai contoh :

katak yang berlari mengejar musang

wahyu memakan batu-bata

Dari kedua contoh kalimat tersebut, memang secara struktur kalimat dapat
dikatakan benar tetapi makna yang dimiliki kalimat ini tidak benar karena tidak logis.
Pada kalimat pertama, ketidaklogisan terdapat pada katak yang berlari karena pada
kenyataannya katak tidak dapat berlari tetapi hanya dapat melompat. Jadi tidak masuk
akal jika katak itu berlari. Pada kalimat kedua, ketidaklogisan terdapat pada subjek
wahyu yang seorang manusia makan batu. Tidak logis jika manusia makan batu
selapar apapun orang itu. Intinya, kalimat tidak hanya harus benar sesuai struktur
tetapi juga harus sinkron antara makna dan kenyataan.

2. Hubungan semantik dengan ilmu psikologi

Sudah dijelaskan sebelumnya bahwa psikologi itu merupakan ilmu tentang


jiwa. Dalam berkomunikasi menggunakan kalimat dengan orang lain tentu kalimat
yang dihasilkan oleh penulis atau pembicara bergantung pada suasana hati maupun
keadaan jiwanya. Akan berbeda kalimat yang dihasilkan oleh orang yang sedang
bahagia dengan orang yang sedang sedih dan berbeda pula kalimat yang dihasilkan
oleh orang yang terganggu jiwanya dengan orang yang sehat jiwanya. Sebagai contoh
:

a. Ucha sedang malas bertemu dengan Sri


b. Iswani ingin melompat dari lantai tiga gedung FKIP

27
c. Sapu itu terlihat terbang tadi malam

Contoh yang pertama, Ucha sedang malas bertemu dengan Sri dapat dimaknai
oleh seorang psikolog dengan mengaitkan makna kalimat ini dengan keadaan jiwa
atau suasana hati penulis atau pembicara. Analisis yang dilakukan seorang psikolog
dari kalimat tersebut antara lain:

a. Mengapa Ucha malas bertemu Sri?


b. Apakah yang mengganggu Ucha jika bertemu Sri?
c. Siapakah yang mengujarkan kalimat ini? Uchakah atau orang lainkah?

Contoh yang kedua, Iswani ingin melompat dari lantai tiga gedung FBS.
Analisis yang dilakukan oleh psikolog terhadap pemaknaan kalimat tersebut antara
lain :

a. Mengapa Iswani ingin melompat dari lantai tiga?


b. Bagaimana keadaan jiwanya?
c. Apakah yang mengganggu jiwanya sehingga dia ingin berbuat demikian?

Contoh yang ketiga, kalimat sapu itu terlihat terbang tadi malam juga
dianalisis oleh seorang psikolog tidak jauh berbeda dengan dua contoh kalimat
sebelumnya.

Analisis tersebut antara lain:

a. Siapakah yang mengujarkan kalimat ini?


b. Bagaimanakah keadaan jiwanya?
c. Apakah yang mengganggu pikirannya?
d. Apakah dia sedang berhalusinasi ketika mengujarkan kalimat ini?

Setidaknya begitulah analisis yang akan dilakukan seorang ahli psikologi


terhadap makna dari kalimat yang diujarkan seseorang. Makna yang dilahirkan

28
bergantung pada keadaan jiwa orang yang mengujarkan. Penting bagi psikolog untuk
mengetahui keadaan jiwa dalam pemaknaan sebuah kalimat karena psikolog akan
mempelajari reaksi manusia, gejala jiwa, baik yang melewati kegiatan verbal maupun
yang nonverbal (Pateda:16).

3. Hubungan semantik dengan ilmu logika

Dalam berbahasa memang dituntut agar berbahasa yang logis atau masuk akal
sehingga dapat diterima apa yang ingin disampaikan tersebut. Bahasa ilmiah berbeda
dengan bahasa sastra yang tidak menuntut harus selalu menggunakan bahasa yang
bermakna logis karena sastra itu pembebasan pikiran menuju alam imajinasi yang
mampu menciptakan dunia baru yang berbeda dengan dunia nyata yang kita jalani
sebagaimana mestinya. Kembali kepada bahasa yang kita pelajari adalah kalimat-
kalimat yang harus logis. Perhatikan contoh kalimat berikut.

a. Kambing menangkap Ina


b. Kotak itu tidak dapat diangkat
c. Aku akan mencintaimu sampai si bisu mengatakan bahwa si tuli mendengar si
buta melihat si pincang sedang berjalan.

Kalimat yang pertama secara struktur kalimat dapat diterima karena unsurnya
lengkap mulai dari subjek, predikat, dan adanya kehadiran objek. Namun, secara ilmu
logika tentu tidak berterima karena tidak masuk akal jika hewan bernama kambing
menangkap manusia yang bernama Ina. Kambing merupakan hewan pemamah biak
yang memakan rumput dan biasa dijadikan hewan ternak. Tidak mungkin jika hewan
ternak mampu menangkap seorang manusia. Tentu tidak ada alasan bagi seekor
kambing untuk melakukan pekerjaan menangkap manusia. Jadi kalimat ini tentu
sangat tidak masuk akal.

29
Kalimat kedua kotak itu tidak dapat diangkat dijelaskan oleh Parera
(1991:187) bahwa kalimat ini tidak masuk akal karena belum jelas tidak dapat
diangkat oleh siapa dan berapa orang. Di samping itu, tidak diketahui kotak tersebut
terbuat dari apa sehingga tidak dapat diangkat oleh orang yang tidak diketahui
jumlahnya sehingga kalimat ini masih tergolong kalimat yang tidak masuk akal.

Contoh ketiga juga secara struktur kalimat dapat diterima tetapi secara logika
kalimat aku akan mencintaimu sampai si bisu mengatakan bahwa si tuli mendengar si
buta melihat si pincang sedang berjalan sangat tidak logis. kata-kata seperti bisu yang
dapat berbicara, tuli yang dapat mendengar, buta yang dapat melihat dan pincang
yang dapat berjalan merupakan rangkaian kata yang mustahil dalam bahasa ilmiah
karena terjadi kontradiksi antar kata tersebut. Misalanya kata bisu yang
berkontradiksi dengan berkata, kata tuli yang berkontradiksi dengan mendengar, kata
buta berkontradiksi dengan melihat, begitu pula kata pincang yang berkontradiksi
dengan kata berjalan.

Bahasa merupakan sarana berpikir logis sehingga kehadiran makna menjadi


hal yang sangat urgen di sana. Bahasa yang tidak logis seperti bahasa yang tidak
memberikan keterukuran, pengalaman, nyata, dan bersifat kontradiksi tidak
memenuhi bahasa keilmuan atau bahasa ilmiah yang menuntut kelogisan makna di
dalamnya.

4. Hubungan semantik dengan ilmu filsafat

Dalam ilmu filsafat, bahasa yang memproduksi kalimat-kalimat untuk


berkomunikasi dipertanyakan asal penamaannya. Filsuf memang orang yang sanggup
mempertanyakan kebenaran sampai ke dasar-dasarnya. Tidak heran jika mereka
memiliki pandangan luas dan tidak ingin dibatasi pemikirannya terhadap kebenaran
sesuatu.

30
Perhatikan analisis mereka terhadap kalimat berikut.

a. Kelompok satu sedang mempresentasikan makalah mereka.


b. Dosen kami merupakan lulusan luar negeri

contoh kalimat pertama akan dianalisis pemaknaannya oleh ahli filsafat antara
lain:

a. Mengapa manusia yang berkumpul lebih dari satu orang itu disebut
kelompok?
b. Mengapa setiap yang di awal atau yang menjadi yang pertama itu disebut
satu? bukan sati atau sata?
c. Mengapa menampilkan atau menyajikan sesuatu untuk khalayak ramai itu
disebut presentasi?
d. Mengapa digunakan kata makalah? bukan makalih, makeleh, atau
sebagainya?

Contoh kalimat kedua pun tidak jauh berbeda bentuk analisisnya oleh filsuf
seperti yang telah dianalisis pada kalimat sebelumnya. Analisisnya antara lain:

a. Mengapa digunakan kata dosen untuk orang yang mengajar di perguruan


tinggi?
b. Mengapa digunakan kata kami? mengapa tidak digunakan kata kama, kimi
dan sebagainya?

Analisis yang sama terjadi pada kata-kata berikutnya yang intinya


mempertanyakan asal dari kata tersebut dan mengapa digunakan kata itu untuk makna
yang menunjukkan seperti ini, dari mana dasarnya, mengapa demikian, dan sederetan
pertanyaan mendasar yang susah untuk kita jelaskan. Pertanyaan-pertanyaan yang

31
apabila ditanyakan kepada orang yang bukan ahli filsafat hanya bisa menjawab
dengan kalimat “karena memang sudah seperti itu sejak dulu”. Analisis-analisis yang
membuntukan pemikiran kita sebagai orang yang awam ilmu filsafat.

5. Hubungan semantik dengan ilmu politik

Ada satu ilmu lagi yang sangat mementingkan semantik di dalamnya. Ilmu
tersebut adalah ilmu politik. Ilmu politik merupakan ilmu yang memperlajari tentang
seluk-beluk ketatanegaraan baik mengenai sistem, dasar, maupun siasat negara.
Pateda (2001:14) menjelaskan beberapa contoh keterkaitan semantik dengan ilmu
politik. Perhatikan cotoh kalimat berikut ini.

a. pemerintah sedang berusaha menyesuaikan tarif BBM tahun ini.


b. jika tarif BBM naik tahun ini dikhawatirkan masyarakat akan mengganggu
ketertiban.

Urutan kata menyesuaikan tarif pada contoh kalimat pertama digunakan untuk
menggantikan urutan kata menaikkan harga karena pertimbangan politik. Sebenarnya
makna dari kedua urutan kata tersebut sama. Namun digunakan urutan kata
menyesuaikan tarif karena dirasa urutan kata tersebut lebih halus dan dapat diterima
masyarakat dengan mudah. Begitu pula urutan kata mengganggu ketertiban
digunakan untuk menggantikan kata berontak. Hal yang sama terjadi pada urutan kata
ini yaitu digunakan karena lebih halus, sopan, berpendidikan, dan mudah diterima
oleh masyarakat. Oleh karena itu, semantik dalam hal ini pemaknaan terhadap kata-
kata yang dipilih oleh politikus sangat penting. Tidak heran jika politikus yang

32
profesional itu sangat ahli dalam berbahasa dan biasanya bahasa mereka lebih halus
sehingga sampai ke masyarakat dan menjadi mudah membujuk masyarakat jika
terjadi sesuatu yang menyebabkan perdebatan.

Demikianlah penjelasan hubungan antara semantik dengan beberapa disiplin


ilmu lain yang jika dikaji dan paham sangat bermanfaat bagi kehidupan kita. Banyak
yang dapat menjadi pelajaran baru dan banyak pula yang akan membuka wawasan
kita bahwa setiap ilmu itu tidak mutlak berdiri sendiri. Ilmu itu pasti membutuhkan
ilmu lain dalam perkembangannya.

Paparan tentang ciri-ciri bahasa dan bahasa sebagai sistem semiotik


memberikan gambaran keluasan ruang lingkup keberadaan makna. Keluasan ruang
lingkup itu ditandai oleh keterkaitan makna dengan (1) ciri-ciri atau unsur internal
kebahasaan (2) unsur sosial budaya yang melatari, (3) pemakai, baik sebagai penutur
maupun sebagai penanggap, serta (4) ciri informasi dan ragam tuturan yang
disampaikan. Akibat keluasan ruang lingkup makna itu, lebih lanjut juga
mengimbulkan berbagai perbedaan dalam merumuskan pengertian maupun dasar
pendekatan yang digunakannya.

33
A. Pengertian Makna Dalam Pemakaian Sehari-Hari
Dalam pemakaian sehari-hari, kata makna digunakan dalam berbagai bidang
maupun konteks pemakaian. Apakah pengertian khusus kata makna tersebut serta
pembedanya dengan ide, misalnya, tidak begitu diperhatikan. Sebab itu, sudah
sejajarnya bila makna juga disejajarkan pengertiannya dengan arti, gagasan, konsep,
pernyataan, pesan, informasi, maksud, firasat, isi dan pikiran. Berbagai pengertian
itu begitu saja disejajarkan dengan kata makna karena keberadaanya memang tidak
pernah dikenali secara cermat dan dipilah secara tepat.
Dari sekian banyak pengertian yang diberikan itu, hanya arti yang
dekat pengertiannya dengan makna. Meskipun demikian, bukan berarti keduanya
sinonim mutlak. Disebut demikian karena arti adalah kata yang mencakup makna dan
pengertian (cf. Kridalaksana, 1982: 15). Pengertian gagasan pada dasarnya memiliki
kesejajaran pengertian dengan pikiran maupun ide. Sebab itu, dalam bahasa
Inggris ketiga kata itu tercakup dalam kata thought. Lebih lanjut, thought sebagai
aktivitas mental meliputi konsep maupun pernyataan (Hudson, 1980: 75). Apabila
konsep berkaitan dengan olahan ingatan dan kesimpulan, maka istilah pernyataan
berkaitan dengan proposisi dan statemen. Prosuposisi sebagai istilah juga diberi
pengertian berbeda-beda. Sebagai gejala kejiwaan, proposisi adalah gejala kejiwaan,
proposisi adalah isi konsep yang masih kasar yang akan melahirkan statemen.
Sedangkan Lyons lebih cendrung mengartikan proposisi sebagai perwujudan ekspresi
dalam bentuk kalimat, yang bisa benar atau salah (Lyons, 1979: 38). Selain itu,
Harimurti memberi pembatasan pengertian batasan proposisi sebagai konfigurasi
makna yang menjelaskan isi dari pembicaraan, terjadi dari predikator yang berkaitan
dengan satu argumen atau lebih (Kridalaksana, 1982: 139). Sehubungan dengan
kajian ini, berbeda dengan rumusan diatas, proposisi diartikan sebagai pernyataan
dasar yang masih berada dalam abstraksi pikiran penutur. Tatanan “saya lapar” yang
masih berada dalam pikiran adalah contoh proposisi, sedangkan perwujudannya
dalam kalimat, misalnya, tadi pagi saya tidak sarapan, seharian saya belum makan,

34
dan sejumlah wujud kalimat lain yang mewakili proposisi “saya lapar”
adalah pernyataan atau statemen.
Baik penyataan proposisi, maupun gagasan yang mencakup pengertian pikiran
dan ide, konsep, pesan, dan maksud pada dasarnya merupakan aspek semantis yang
harus dikembalikan dan berasal dari sender. Pesan atau massage disebut berada pada
sender karena pesan adalah isi komunikasi dalam sender yang diwadahi oleh tatanan
lambang kebahasaan secara individual (Cherry, 1957: 304; Lyons, 1979: 36). Apabila
pesan itu sudah ditransmisikan lewat signal atau tanda, maka isi pesan itu disebut
informasi. Pemahaman informasi pada diri pembaca, biasa disebut dengan isi
atau conteks. Menurut Lyons, kegiatan penyusunan pesan tidak dapat terlepas dari
enkonding, sedangkan usaha memahami pesan yang dilakukan penerima pesan
disebut dekoding. Apabila dekoding gagal, informasi dan isi dapat  tinggal jadi pesan
yang ada pada si penutur. Dengan demikian, komunikasi itu pun belum berhasil.

B. Pengertian Makna Sebagai Istilah


Kata makna sebagai istilah mengacu pada pengertian yang sangat luas. Sebab itu,
tidak mengherankan bila Odgen & Richards dalam bukunya, The meaning of
meaning (1923), mendaftar enam belas rumusan pengertian makna yang berbeda-
beda antara yang satu dengan yang lainnya. Adapun batasan pemberian makna dalam
pembahasan ini. Makna ialah hubungan antara bahasa dengan dunia luar yang telah
disepakati bersama oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling mengerti (cf.
Grice, 1957; Bolinger, 1981: 108). Dari batasan pengeritan  itu dapat diketahui

35
adanya unsur pokok yang tercakup di dalamnya, yakni (1) makna adalah hubungan
antara bahasa dan dunia luar, (2) penentuan hubungan terjadi karena adanya
kesepakatan para pemakai, serta (3) perwujudan makna itu dapat digunakan untuk
menyampaikan informasi sehingga dapat saling mengerti.
Bagaimana bentuk antara hubungan antara makna dan dunia luar? Dalam hal ini
terdapat tiga pandangan filosofis yang berbeda-beda antar yang satu dengan yang
lainnya. Ketiga pandangan yang dimaksud itu adalah (1) realisme (2) nominalisme
(3) konseptualisme. Realisme beranggapan bahwa terhadap wujud dunia luar,
manusia selalu memiliki jalan pikiran tertentu. Terhadap dunia luar, manusia selalu
memberikan gagasan tertentu. Sebab itu, pemaknaan antara “makna kata” dengan
“wujud yang dimaknai”  selalu memiliki hubungan yang hakiki.
Pandangan bahwa antara “makna kata” dengan “wujud yang dimaknai” memiliki
hubungan yang hakiki, akhirnya menimbulkan klasifikasi makna kata yang dibedakan
antara yang konkret, abstrak, tunggal, jamak, khusus, maupun universal. Penentuan
bentuk hubungan itu ternyata tidak selamanya  mudah.   Batas antara benda kongkret
dan abstrak, khusus atau universal, sering kali sulit ditentukan. Dalam situasi
demikian, apa atau siapa yang menentukan, penentuan itu bersifat objektif ataukah
subjektif? Selain itu, makna suatu kata, makna denotatumnya dapat berpindah-
pindah. Kata mendung, misalnya, selain dapat diacukan pada benda, juga dapat
diacukan ke dalam “suasana sedih”. Pada sisi lain, referen yang sama dapat
ditunjukan oleh kata-kata yang berbeda-beda. Sudin sebagai guru, ayah dan anak-
anaknya,  suami atau tetangga yang baik dapat disebut sebagai pak guru, bapak, mas,
om maupun sebutan lainnya. Sebab itulah kaum nomalis menolak anggapan bahwa
antara kata dengan wujud luar terdapat hubungan (Lyons, 1979: 111)
Dalam nominalisme, hubungan antar makna kata dengan dunia luar semata-mata
bersifat arbitrer meskipun sewenang-wenang penentuan hubungannya oleh para
pemakai dilatari oleh adanya konvensi. Sebab itulah, penunjuk makna kata bukan
bersifat perseorangan, melainkan memiliki kebersamaan. Dari adanya simbolik
bahasa yang tidak lagi diikat oleh dunia yang diacu itulah, bahasa akhirnya lebih

36
membuka peluang untuk menjadikan media memahami realitas, bukan realitas yang
dikaji untuk memahami bahasa.

C. Pengertian Makna dan Pendekatan Referensial


Berarti telah diketahui, bahasa memiliki berbagai fungsi. Tiga fungsi bahasa
yang relevan diangkat sebagai  pijakan awal pembahasan masalah (1) pendekatan
referensial (2) pendekatan ideasional serta (3) pendekatan behavioral ini adalah,
fungsi bahasa sebagai (1) wakil realitas yang menyertai sebagai proses berfikir
manusia secara individual, (2) sebagai media yang dalam mengolah pesan dan
menerima informasi,  serta (3) sebagai fakta sosial yang mampu menciptakan
berbagai bentuk komunikasi. Apabila fungsi pertama menjadi pijakan awal
pendekatan referensial, fungsi kedua menjadi dasar kajian pendekatan ideasional,
makna fungsi ketiga adalah pusat pandang dari pendekatan behavioral.
Dalam pendekatan referensial, makna diartikan sebagai label yang berada
dalam kesadaran manusia untuk menunjuk dunia luar. Sebagai label atau julukan,
makna itu hadir karena adanya kesadaran pengamatan terhadap fakta dan penarikan
kesimpulan yang keseluruhannya berlangsung secara subjektif. Terdapatnya julukan
simbolik dalam kesadaran individual itu, lebih lanjut memungkinkan manusia untuk
menyusun dan mengembangkan skema konsep. Kata pohon, misalnya, berdasarkan
kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan, bukan hanya menunjuk jenis-jenis
tumbuhan, melainkan memperoleh julukan sebagai “ciptaan”, “hidup”,  “fana”,
sehingga pohon dalam baris puisi Goenawan Muhammad disebutnya.... berbagai
dingin di luar jendela/mengekalkan yang esok yang mungkin tak ada.
Kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan dalam pemberian julukan,
dan pemaknaan tersebut, berlangsung melalui bahasa. Akan tetapi, berbeda dengan
bahasa keseharian, bahasa yang digunakan disitu adalah bahasa perseorangan atau
private language (Harman, 1968). Dengan demikian, makna dalam skema konsep
dapat merambah ke dunia absurt yang mempribadi dan terasing dari komunikasi
keseharian.

37
D. Pengertian Makna Dalam Pendekatan Ideasional
Kelemahan dalam pendekatan referensial, selain telah disebutkan diatas, juga
dikaitkan dengan masalah adanya paradoksal antara keberantungan pada wujud yang
diacu dan subjektifitas dalam memberi julukan. Selain itu, skema konsep yang
dianggap bersifat individual, karena dunia kita merupakan dunia yang satu ini juga
pada akhirnya bisa menjadi milik bersama. Seorang petani adalah salah satu diantara
petani lainnya, seorang penyair adalah satu diantara penyair lainnya. Kelemahan lain
yang sangat menarik sehubungan dengan kajian dalam butir-butir ini adalah
meniadakan hubungan hakiki makna dan bahasa sebagai hubungan antara bentuk dan
isi, mencabut makna dari konvensi dan mengeluarkannya dair konteks komunikasi.
Dalam pendekatan idesional, makna adalah gambaran gagasan dari satu bentuk
kabahsaan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi memiliki konvensi sehingga dapat
saling dimengerti. Gambaran kesatuan hubungan antara makna dan bentuk
kebahasaan itu secara jelas dapat dikaji dalam perumus Grice,..... X meant that P adn
X mean that P entail P. Dengan kata lain, X berarti P dan X memaknakan P seperti
dimiliki ole P. X dalam konsep Grice adalah perangkat kalimat sebagai bentuk
kebahasaan yang telah dimiliki satuan gagasan. Kalimat yang berbunyi, X
memaknakan P seperti yang dimiliki P memberikan gambaran tentang keharusan
memaknai X sebgai P seperti yang telah berda dalam konvensi bahwa P adalah P.
Meletakan komponen semantik pada adanya satuan gagasan, bukan berarti
pendekatan idesional mengabaikan makna pada aspek bunyi, kata, dan frase. Jerrold
J. Katz mengungkapkan bahwa penanda semantis dari bunyi, kata, dan frase sebagai
unsur-unsur pembangun kalimat, dapat langsung diidentifikasi lewat kalimat. Dengan
mengidentifikasi unsur-unsur kalimat itu sebagai satuan gagasan, diharapkan
pemaknaan tidak berlangsung secara lepas-lepas, tetapi sudah mengacu pda kesatuan
makna yang dapat digunakan dalam komunikasi (Katz, dalam Steinberg &
Jokobovist, 1978: 297). Sebab itulah, apabila X adalah kata, menurut Grice, X has
meaning NN if it is used and comunication (Grice, 1957). Atau dengan kata lain, kata

38
setelah berada dalam komunikasi memiliki potensialitas makna yang bermacam-
macam. Mungkin makna 1,2,3... N.
Sehubungan dengan kegiatan berpikir, manusia berpikir menggunakan bahasa
yang juga bisa digunakan dalam komunikasi. Sebab itulah, kegiatan kegiatan
pengolahan pesan lewat bahasa atau encoding, penyampaian pesan lewat bahasa atau
koding, serta proses memahami pesan atau dekoding, dapat berlangsung dalam garis
linier sebagai berikut.
Komponen pembabangun gagasan dalam enkode menurut Jerold Katz bisa saja
tidak sama persis dengan kode. Akan tetapi, yang pasti hubungan linear itu harus
diikut sertakan, yakni hubunan timbal balik antara penyampai dan penerima pesan
yang ditandai oleh adanya “saling mengerti”. Grice juga menyebutkan suatu bentuk
kebahasaan itu dimaknai P oleh penutur adalah apabila pemaknaan P itu secara laras
nantinya juga dimaknai P oleh pendengarnya.

E. Pengertian Tentang Makna Dalam Pendekatan Behavioral


Dalam dua pendekatan yang telah diurai di depan, dapat diketahui bahwa (1)
pendekatan referensial dapat mengkaji makna lebih menekankan pada fakta sebagai
objek kesadaran pengamatan dan penarikan kesimpulan secara individual, dan (2)
pendekatan ideasional lebih menekankan pada keberadaan bahasa sebagai media
dalam mengolah pesan dalam menyampaikan informasi. Keberatan dari pendekatan
behavioral terhadap kedua pendekatan tersebut, salah satunya adalah kedua
pendekatan itu telah mengabaikan konteks sosial dan situasional yang oleh kaum
behavioral dianggap berperan penting dalam menentukan makna.

39
Kritik lain terhadap pendekatan diatas adalah pada objek kajian utama yang
justru tidak pernah diobservasikan secara langsung. Pernyataan dalam kajian
ideasional yang berkaitan dengan keselarasan pemahaman antara penutur dengan
pendengar dalam memaknai kode misalnya, dalam pendekatan behavioral dianggap
kajian spekulatif karena pengkaji dianggap tidak mampu meneliti karakteristik ide
atau pikiran penutur pendengar, sejalan dengan aktifitas pengolahan pesan dan
pemahamannya. Sebab itualah, kajian makna yang bertolak dari pendekatan
behavioral, mengkaji makna dalam peristiwa ujaran (speech event) yang berlangsung
dalam situasi tertentu (speech situation). Satuan tuturan atau unit tekecil yang
mangandung makna penuh dari keseluruhan atau speech event yang berlangsung
dalam speech situation disebut speech act (Hymes, 1972: 56).
Penentuan makna dalam speech act menurut Searle harus bertolak dari berbagai
kondisi dan situasi yang melatari pemunculanannya (Searle, 1969). Unik ujaran yang
berbunyi masuk!  Misalnya dapat berarti “di dalam  garis” bila muncul misalnya
dalam permainan bulu tangkis, “berhasil” bagi yang main lotre, “silahkan ke
dalam” bagi tamu dan tuan rumah, ”hadir” bagi mahasiswa yang dipresentasi Pak
Dosen. Makna keseluruhan unit ujaran itu dengan demikian harus disesuaikan dengan
latar situasi dan bentuk sosial interaksi yang mengkondisikannya.
Konsep yang antara lain dikembangkan oleh Autin , Here, Searle, Alston, dll.,
akhirnya juga tidak dapat terlepas dari kritik. Kritik utama, yang datang dari
Chomsky, menganggap bahwa meletakan unsur luar bahasa sejajar dalam  bahasa
dalam rangka menghadirkan makna, berarti menghilangkan aspek kreatif bahasa itu
sendiri yang dapat  digunakan untuk mengekpresikan gagasan secara bebas. Bahasa
sebagai suatu sistem adalah “sistem dari sistem”. Perbendaharaan kata atau leksikon
pemakaiannya bukan hanya memperhatikan kaidah leksikal dan gramatikal,
melainkan juga ditentukan oleh representasi semantik. Komponen representasi
semantik yang menunjuk dunia luar pada dasarnya telah mengandung “sistem luar
biasa” itu ke dalam dirinya. Dengan demikian, konteks sosial dan situasional sebagai
sutu sistem bukan berada di luar bahasa, melainkan berada di dalam dan mewarnai

40
keseluruhan sistem kebahasaan itu sendiri (cf. Mc Cawley, 1978: 176) baru setelah
unsur yang tercakup di dalam deep structure itu laras, hadirlah surface struture yang
pemunculannya dalam tuturan juga memperhatikan kaidah fonologi atau
phonological rules. Konsep demikian, sedikit banyak juga mewaranai kajian semiotik
yang dilaksanakan oleh Moris.   

F. Penerapan Tiga Pendekatan Dalam Studi Makna


Dari ketiga pendekatan yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa
pendekatan pertama mengaitkan makna dengan masalah nilai juga proses
berfikir manusia dalam memahami realitas lewat  bahasa secara benar, pendekatan
kedua mengaitkan makna dengan kegiatan menysun dan meyampaikan kegiatan lewat
bahasa, dan pendekatan ketiga mengaitkan makna dengan fakta pemakaian bahasa
dalam konteks-sosial situasional. Dengan demikian, keberadaan ketiga pendekatan
tersebut lebih menyerupai satu rangkaian. Sebab itulah, Gilbert H. Harman, misalnya,
yang tidak menyetujui pemakaian ketiga istilah pendekatan tersebut, lebih puas
dengan menggunakan istilah three levels of meaning (1968).
Lebih lanjut, konsep dalam ketiga pendekatan itu masing-masing terus
berkembang dan menebarkan pengaruhnya. Konsep dalam pendekatan pertama,
misalnya yang dilandasi pemikiran para filsup seperti John Dewey, Rudolf  Carnap,
maupun Bertad Russell, akhirnya memang lebih dengan kontemplasi dalam upaya
memahami realitas secara benar. Kajian yang erat dengan masalah filsafat itupun
sebenarnya tidak asing dari kehidupan manusia pada umumnya. Hal itu terjadi karena
di samping mahluk berpikir, manusia adalah juga mahluk pencari makna, kegiatan
soliloquy, ngudarasa, atau yang oleh Pak Anton Mulyono diindonesiakan dengan
ekacakap, oleh Dewey diartikan sebagai ......... is the product and reflex of converse
with others, sebagai suatu dialog antara diri dengan dunia luar yang telah
bersif.....transedental.
Selain itu, dalam tingkatan yang paling sederhana, kata itu sendiri hadir karena
adanya dunia luar. Kata perang bintang atau kartika yuda, bis susun, jembatan layang,

41
adalah kata-kata yang hadir untuk menamai luar. Dengan demikian, pada tingkat
awal, antara makan dan dunia luar. Dengan demikian, pada tingkat awal, antara
makna dengan dunia luar memang terdapat wigati. Sebab itulah dalam kajian
semantik, pendekatan referensial umumnya digunakan pada awal kajian. Bahkan
tokoh seperti Stephen Ulman yang banyak memberikan kritikan terhadap refresential,
konsep yang diajukan sehubungan dengan keberadaan makna, yakni name, ‘bentuk
fonetis kata’ sense ‘pengertian’, serta thing ‘referen  acuan’ tidak lebih hanya
pembahasan dari model pembagian signifiant dan signifie dari Sausure yang
digabungkan dengan Basic triangle Ogden & Richard yang sebagai konsep yang oleh
Ulman diketahui bertolak dari pendekatan referensial (Ulman, 1977:57).
Apabila pendekatan referensial lebih berpusat pada masalah “bagaimana
mengolah suatu realitas secara benar” maka kajian semantik lewat pendekatan lewat
pendekatan ideasional lebih menekankan pada masalah “bagaimana menyampaikan
makan lewat struktur kebahasaan secar benar tanpa mengabaikan kesalarasan
hubungannya dengan realitas”. Pusat permasalahan dalam pendekatan ideasional itu
dalam kajiannya ternyata menunjukan adanya perbedaan. Pengkajian semantik yang
bertolak dari kajian pandangan generatif transformasi, misalnya, meskipun sama-
sama bertolak dari konsep dasar bahwa tata bahasa dalam setiap bahasa adalah a
system of rules that expreses the correspondence between sound and meaning in this
language (Comsky, 1971: 182), dalam pengembangan berikutnya menghadirkan dua
kubu yang berbeda. Kedua kubu tersebut lazim disebut (1) semantik interpretif yang
dikembangkan antara lain oleh Katz, Fodor, maupun Comsky sendiri dan Morris
Helle, serta (2) semantik generatif yang dikembangkan sendiri oleh filmore, Bach, R
lakop, George Lakoff, Mc Kauley, dan lain-lain (Lakoff, 1971: 232).
Perbedaan utama dari kedua itu ialah, kajian dalam semantik iteretatif
beranggapan bahwa komponen refresentasi semantik memiliki tingkatan tersendiri
sebelum deep strukture. Komponen refresentasi sematik itu berisis semantik content
of lexical item yang akhirnya membentu post leksikal strukture sebagai butir leksikon
yang membangun deep strukture (Chomsky, 1971: 185) wawasan tersebut tidak

42
sesuai dengan pandangan semanti generatif yang sebenarnya juga berpijak pada
konsep generatif transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky. Bagi mereka,
pemilihan tingkat komponen refresentasi sematis lewat struktur dalam itu pad
dasarnya tidak perlu karena keduanya identik.

G. Proses Kejiwaan dan Penguasaan Lambang Dalam Pemaknaan


Dalam komunikasi sehari-hari, keempat unsur yang disebutkan Osgood di atas,
bisa jadi tampil secara simultan dan spontan. akan tetapi ada kalanya proses
mekanistis itu mengalami hambatan. Hali itu terjadi apabila penanggap menjumpai
bentuk kgusus yang berada di luar pembendaharaan pengalamannya dalam
komunikasi keseharian. Bentuk khusus tersebut menjadi “sesuatu yang asing” bagi
penanggap, mungkin karena (a) pilihan kata dan penataan stukturnya, (b) acuan
maknanya sudah dipertinggi,atau mungkin (c) gambar peristiwanya telah terasa lepas
dari kehidupan rutin keseharian. Kalimat Goenawan Mohammad yang berbunti Sang
Iblis adalah kecongkakan diterkam oleh fikiran ragu,adalah slah satu contoh paparan
itu secara keseluruhan. Contohnya lain paparan demikian dpat dijumpai di dalam
karya sastra, baik puisi maupun prosa fiksi.
Menjumpai paparan demikian, proses psikologis penanggap dalam upaya
memahaminya menjadi rangkap. Hal itu terjadi karena kata bukan hanya berkaitan
dengan denotatum, melainkan juga desingnatum. Dalam kegiatan designatif, mungkin
sekali terjadi pembayangan yang bertentangan, mendatangkan keraguan. Dan
mungkin juga absurd. Maka bukan hanya menunjuk pada tanda, bukan hanya
menunjuk pada fakta keseharian, melainkan juga menunjukan hanya pada sesuatu
yang mempribadi, pada realitas lain yang transcendental.
Dalam situasi demikian memory bukan hanya berkaitan dengan ingatan makna
kata, relasi makna dalam stuktur maupun pemakaian, melainkan juga menunjuk pada
skema konsep pada sejumlah julukan suatu fakta yang dibentuk oleh pikiran maupun
pengetahuan penanggap. Dalam hal demikian itulah, konsep makna seperti yang
diajukan oleh teori referensial menjadi begitu wigati. Sebab itulah, penanggap yang

43
menguasai bahasa hanya pada tataran fungsi instrumental, yakni sebagai alat dalam
memenuhi kebutuhan fisis sehari-hari, akan membaca paparan itu sebagai sesuatu
yang “aneh”. Dalam hal demikian, keberadaan bahasa dalam fungsi personal,
heuristik, dan imajinatif, sedikit banyak sudah harus dirambah oleh penanggap.  

A. Jenis – Jenis Makna


Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna. Palmer (1976 : 34)
mengemukakan jenis-jenis makna. (i) makna kognitif (cognitive meaning); (ii) makna
ideasional (ideational meaning); (iii) makna denotasi (denatosional meaning); (iv)
makna proposisi (propositional meaning), sedangkan Shieplay, Ed, (1962 : 261-262)
berpendapat bahwa makna mempunyai jenis : (i) makna emotif (emotive meaning);
(ii) makna kognitif (cognitive meaning) atau makna deskriptif (descriptive meaning);
(iv) makna pictorial (pictorial meaning); (v) makna kamus (dictionary meaning); (vi)
makna samping (fringe meaning); dan (vii) makna inti (core meaning).

44
Verhaar (1983:124) mengemukakan istilah makna gramatikal dan makna
leksikal, sedangkan Boomfield (1933:151) mengemukakan istilah makna sempit
(narrowed meaning) dan makna luas (widened meaning). Tentu masih ada pendapat
lain yang dapat ditambahkan sehingga makin lengkaplah jenis-jenis makna tersebut.
Berikut ini jenis makna tersebut akan dipaparkan. Istilah tipe makna dan jenis
makna digunakan bersama-sama di sini, sehingga ada makna yang dapat digolongkan
ke dalam jenis-jenis makna.

1. Makna Afektif
Makna afektif (Inggris: affective meaning, Belanda: affective betekenis)
merupakan makna yang muncul akibat reaksi pendegar atau pembaca terhadap
penggunaan kata atau kalimat. Oleh karena makna afektif berhubungan dengan
reaksi pendengar atau pembaca dalam dimensi rasa, maka dengan sendirinya
makna afektif berhubungan pula dengan gaya bahasa.

2. Makna Denotative
Makna denotatif (denotative meaning) adalah makna kata atau kelompok kata
yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud di luar
bahasa yang diterapi satuan bahasa itu secara tepat. Makna denotatif adalah makna
polos, makna apa adanya. Makna denotatif didasarkan atas petunjukan yang lugas
pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan pada konvesi tertentu (Harimurti,
1982:32).
3. Makna Deskriptif
Makna deskriptif (descriptive meaning) yang biasa disebut pula makna kognitif (cognitive
meaning) atau makna referensial (referential meaning) adalah makna yang terkandung di
dalam setiap kata. Makna yang ditunjukkan oleh lambang itu sendiri. Jadi, kalau
seseorang mengatakan air, maka yang dimaksud adalah sejenis benda cair yang digunakan

45
untuk mandi, mencuci, dan diminum. Air yang dimaksud adalah air yang terdapat di
dalam ember, bak mandi, atau yang terdapat di dalam loyang.
4. Makna Deskriptif
Makna ekstensi (extentional meaning) adalah makna yang mencakup semua ciri
objek atau konsep (Harimurti, 1982:103). Makna ini mencakup semua makna atau
kemungkinan makna yang muncul dalam kata. Contoh, kata kepala, ayah, dll.
5. Makna Emotif
Makna emotif (emotive meaning) adalah makna yang timbul akibat adanya reaksi
pembicara atau sikap pembicara mengenai apa yang dipikirkan atau dirasakan
(Shipley, 1962:261). Misalnya, kata kerbau yang muncul dalam urutan kata
engkau kerbau. Kata kerbau ini menimbulkan perasaan tidak enak baik pendengar,
atau dengan kata lain, kata kerbau mengandung makna emosi.
6. Makna Gerefflekter
Makna gereflekter (Belanda: gereflecteerde betekenis) muncul dalam hal makna
konseptual yang jamak, makna yang muncul akibat reaksi kita terhadap makna
yang lain (lihat, Leech, I, 1974:33-35). Makna gereflekter tidak saja muncul
karena sugesti emosional, tetapi juga yang berhubungan dengan kata atau
ungkapan tabu. Misalnya, kata-kata bersetubuh, ereksi, ejakulasi, adalah kata-kata
yang mengandung makna gerefflekter.
7. Makna Gramatikal
Makna gramatikal (gramatical meaning), atau makna fungsional (functional
meaning), atau makna struktural (structural meaning), atau makna internal
(internal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat nerfungsinya kata
dalam kalimat.
Kata mata mengandung makna leksikal alat atau indra yang terdapat di kepala
yang berfungsi untuk melihat. Namun, setelah kata mata ditempatkan dalam
kalimat, misalnya, “Hei, mana matamu?” Kata mata tidak mengacu lagi pada
makna alat untuk melihat atau menunjuk pada indra untuk melihat, tetapi
menunjuk pada cara bekerja, cara mengerjakan yang hasilnya kotor, tidak baik.

46
8. Makna Ideasional
Makna ideasional (ideational meaning) adalah makna yang muncul akibat
penggunaan kata yang memiliki konsep. Katakanlah ada kata partisipasi. Orang
mengerti ide apa yang hendak ditonjolkan di dalam kata partisipasi. Salah satu ide
yang terkandung dalam kata partisipasi, ialah aktivitas maksimal seseorang untuk
ikut di dalam kata tersebut, orang dapat memikirkan bagaimana cara memotivasi
seseorang untuk berpartisipasi, prasyarat-prasyarat apa yang harus
dipersiapkan atau dipenuhi oleh seseorang untuk berpartisipasi, sanksi apa yang
dapat diberikan kalau seseorang tidak berpartisipasi.
9. Makna Intensi
Makna intensi (intentional meaning) adalah makna yang menekankan maksud
pembicara (Harimurti, 1982:103). Ambillah contoh, saya minta roti.
10. Makna Khusus
Makna khusus adalah makna kata atau istilah yang pemakaiannya terbatas pada
bidang tertentu. Ambillah kata operasi. Bagi dokter atau orang yang bekerja di
rumah sakit, makna kata operasi selalu dikhususkan pada upaya menyelamatkan
nyawa orang dengan jalan mengoperasi sebagian anggota tubuh pasien.
Bagi militer, makna kata operasi selalu dikhususkan dengan upaya melumpuhkan
perlawanan lawan, dan kalau mungkin menumpas perlawanan musuh, sedangkan
bagi polisi, makna kata operasi dikhususkan pada upaya menjadi ketertiban pada
masyarakat.
11. Makna Kiasan
Makna kiasan (transferred meaning atau figurative meaning) adalah pemakaian
kata yang maknanya tidak sebenarnya (Harimurti, 1982:103). Makna kiasan tidak
sesuai lagi dengan konsep yang terdapat di dalam kata tersebut. Makna kiasan
sudah bergeser dari makna sebenarnya, namun kalau dipikir secara mendalam,
masih ada kaitan dengan makna sebenarnya.
12. Makna Kognitif

47
Makna kognitif (cognitive meaning) atau makna deskriptif (descriptive meaning),
atau makan referensial (referential meaning) biasanya dibedakan atas: (i)
hubungan antara kata dan benda atau yang diacu, dan ini disebut ekstensi atau
denotasi kata; (ii) hubungan antara kata dan karakteristik tertentu, dan ini disebut
konotasi kata (Shipley, 1962:261). Makna kognitif adalah makna yang ditunjukkan
oleh acuannya, makna unsur bahasa yang sangat dekat hubungannya dengan dunia
luar bahasa, objek atau gagasan, dan dapat dijelaskan berdasarkan analisis
komponennya.
13. Makna Kolokasi
Makna kolokasi (Belanda: collocative betekenis) biasanya berhubungan dengan
beberapa kata di dalam lingkungan yang sama (cf. Leech, I, 1974:35). Kalau
seseorang berkata garam, gula, ikan, sayur, terong, tomat, kata-kata ini
berhubungan dengan lingkungan dapur.
14. Makna Konotatif
Makna konotatif (conotative meaning) muncul sebagai akibat asosiasi perasaan
pemakai bahasa terhadap kata yang didengar atau kata yang dibaca. Zgusta
(1971:38) berpendapat bahwa makna konotatif adalah makna semua komponen
pada kata ditambah beberapa nilai mendasar yang biasanya berfungsi menandai.
Harimurti (1982:91) berpendapat, aspek makna sebuah atau sekelompok kata yang
didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada
pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).

15. Makna Konseptual


Makna konseptual (Belanda: conseptuele betekenis) disebut juga makna denotatif.
Makna konseptual dianggap sebagai faktor utama di dalam setiap komunikasi.
Makna konseptual merupakan hal yang esensial di dalam suatu bahasa. Makna
konseptual dapat diketahui setelah kita menghubungkan atau membandingkannya
pada tataran bahasa. Leech (I, 1974:25) mengemukakan dua prinsip, yakni prinsip
ketidaksamaan dan prinsip struktur unsurnya. Prinsip ketidaksamaan dapat

48
dianalisis berdasarkan klasifikasi bunyi dalam tataran fonologi yang setiap bunyi
ditandai + (positif) kalau ciri dipenuhi, dan ditandai –(negatif) jika ciri tidak
dipenuhi.
16. Makna Konstruksi
Makna konstruksi (construction meaningi) adalah makna yang terdapat di dalam
suatu konstruksi kebahasaan. Misalnya, makna milik atau yang menyatakan
kepunyaan dalam BI dinyatakan dengan jalan mebuat urutan kata atau
menggunakan akhiran punya.
17. Makna Kontekstual
Makna kontekstual (contextual meaning) atau makna situasional (situational
meaning) muncul sebagai akibat hubungan antara ujaran dan konteks. Konteks
yang dimaksud di sini, yakni: (i) konteks orangan, termasuk yang berkaitan
dengan jenis kelamin, kedudukan pembicara, usia pembicara/pendengar, latar
belakang sosial ekonomi pembicara/pendengar; (ii) konteks situasi, situasi aman,
ribut; (iii) konteks tujuan, misalnya, meminta, mengharapkan sesuatu; (iv) konteks
formal tidaknya pembicaraan; (v) konteks suasana hati pembicara/pendengar,
misalnya, takut, gembira, jengkel; (vi)konteks waktu, misalnya, malam, siang;
(vii) konteks tempat, misalnya, sekolah, pasar, bioskop; (viii) konteks objek, apa
yang menjadi fokus pembicaraan; (ix) konteks alat kelengkapan bicara/dengar
pada pembicara/pendengar; (x) konteks kebahasaan, apakah memenuhi kaidah
bahasa yang digunakan oleh kedua belah pihak; (xi) konteks bahasa, bahasa yang
digunakan.

18. Makna Leksikal


Makna leksikal (lexical meaning) atau makna semantik (semantic meaning) atau
makna eksternal (external meaning) adalah makna kata ketika kata itu berdiri
sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya
kurang lebih tetap, seperti yang terdapat dalam kamus. Makna leksikal ini

49
mempunyai unsur-unsur bahasa lepas dari penggunaannya atau konteksnya
(Harimurti, 1982:103). Verhaar (1983:9) mengatakan, semantik leksikal tidak
perlu kita uraikan banyak di sini; sebuah kamus merupakan contoh yang tepat dari
semantik leksikal, makna tiap-tiap kata diuraikan di situ.
19. Makna Lokusi
Dalam teori ujaran (speech act theory) (lihat Pateda, 1988: 13; Nababan, 1987:18)
terdapat 3 macam tindak ujaran, yakni: (i) tindak lokusi (locutionary act) yang
mengaitkan suatu topik dengan sautu keterangan dalam suatu ujaran; (ii) tindak
ilokusi (illocutionary act) yaitu pengujaran suatu pernyataan, janji, pertanyaan,
tawaran; dan (iii) perlokusi (perlocutionary act), yaitu hasil atau efek yang
ditimbulkan oleh ujaran itu pada pihak pendengar sesuai dengan konteks.
20. Makna Luas
Makna luas (extended meaning) menunjukkan bahwa makna yang terkandung
pada sebuah kata lebih luas dari yang dipertimbangkan. Sebenarnya kalau dipikir,
semua kata yang tergolong kata yang berkonsep, dapat dikatakan memiliki makna
luas.
21. Makna Piktorial
Makna piktorial (pictorial meaning) adalah makna muncul akibat bayangan
pendengar atau pembaca terhadap kata yang didengar atau dibaca (cf, Shipley,
1962:261). Misalnya, kata kakus, orang akan membayangkan bagaimana bentuk
kakus, baunya, warna kotoran.

22. Makna Proposisional


Makna proporsional (propositional meaning) adalah makna yang muncul apabila
seseorang membatasi pengertiannya tentang sesuatu. Biasanya hal ini berhubungan

50
dengan matematika atau hal-hal yang sudah pasti. Makna proposisional biasa
dipadankan dengan makna deskriptif, makna referensial, atau makna kognitif, atau
makna ideasional (lihat Lyons, I, 1977:51). Makna proposisional yang dikaitkan
dengan matematika, dikenal dengan jenis proposisional, yakni sikap proposisional
(propositional attitude), kalkulus proposisional (propositional calculus), formula
proposisional (propositional formula), dan variabel proposisional (propositional
variable) (lihat Lyons, I, 1977 : 51).
23. Makna Pusat
Makna pusat (central meaning) atau makan inti (core meaning) adalah makna yang
dimiliki setiap kata meskipun kata tersebut tidak berada di dalam konteks kalimat.
24. Makna Referensial
Makan referensial (referential meaning) adalah makna yang langsung berhubungan
dengan acuan yang ditunjuk oleh kata. Menurut Palner (1976:30), “reference
deals with the relationship between the linguistic elements, words, sentences, etc,
and the non-linguistic world of experience.”
Makna referensial merupakan makna unsur bahasa yang sangat dekat
hubungannya dengan dunia di luar bahasa, apakah objek atau gagasan, dan yang
dapat.
25. Makna Tekstual, Makna Tematis, dan Makna Umum
Makan tekstual (textual meaning) adalah makna yang timbul setelah seseorang
membaca teks secara keseluruhan. Makna tekstual tidak diperoleh hanya melalui
makna setiap kata, atau makna setiap kalimat, tetapi makna tekstual ditemukan
setelah seseorang membaca keseluruhan teks. Dengan demikian, makna tekstual
lebih berhubungan dengan bahasa tertulis. Setelah membaca keseluruhan teks,
barulah maknanya dapat ditentukan. Makna tekstual lebih bershubungan dengan
amanat, pesan, boleh juga tema yang ingin disampaikan melalui teks.
Makna tematis (Belanda: thematische betekenis) akan dipahami setelah
dikomunikasikan oleh pembicara atau penulis baik melalui urutan kata-kata, focus
pembicaraan maupun penekanan pembicaraan. Makna umum (general meaning)

51
adalah makna yang menyangkut keseluruhan atau semuanya, tidak menyangkut
yang khusus atau tertentu saja. Makna umum dapat juga dikatakan makna luas,
makna yang luas pengertiannya.
26. Makna Sempit dan Makna Stilistika
Makna sempit (specialized meaning) atau (narrowed meaning) merupakan makna
yang berwujud sempit pada keseluruhan ujaran. Misalnya, kata ahli bahasa.
Makna stilistika (Belanda: stilistische betekenis) adalah makna yang timbul akibat
pemakaian bahasa. Makna stilistika berhubungan dengan pemakaian bahasa yang
menimbulkan efek, terutama kepada pembaca. Efek tersebut lebih banyak
berhubungan dengan emosi, dengan perasaan; gembira, senang, jengkel, kasihan,
menolak, sedih, setuju, terharu, terkesima.

B. Perubahan Makna
Dari pembicaran mengenai faktor-faktor atau sebab-sebab terjadinya
perubahan makna barangkali sudah dapat dilihat ada perubahan yang sifatnya
menghalus, ada perubahan yang sifatnya meluas, ada perubahan yang sifatnya
menyempit atau mengkhusus, perubahan yang sifatnya yan halus, ada perubahan
yang sifatnya mengasar, dan ada pula perubahan yang sifatnya total. Maksudnya,
berubah sama sekali dari makna semula.
1. Meluas (Generalisasi)
Perubahan makna meluas adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata atau leksem
yang pada mulanya hanya memiliki sebuah makna, tetapi kemudian karena
berbagai faktor menjadi memiliki makna-makna lain. Umpamanya pada
kata saudara, pada mulanya hanya bermakna ‘seperut’ atau ‘sekandung’.
Kemudian maknanya berkembang menjadi ‘siapa saja yang sepertalian darah’.
Akibatnya, anak paman pun disebut saudara.
Proses perluasan makna ini dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, tetapi
dapat terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama. Namun, yang perlu diingat
adalah bahwa makna-makna lain yang terjadi sebagai hasil perluasan iu masih

52
berada dalam lingkup poliseminya. Jadi, makna-makna itu masih ada
hubungannya dengan makna aslinya.

2. Menyempit (Spesialisasi)
Perubahan menyempit adalah gejala yang terjadi pada sebuah kata yang pada
mulanya mempunyai makna yang cukup luas, kemudian berubah menjadi terbatas
hanya pada sebuah makna saja. Misalnya kata sarjana yang pada mulanya berarti
‘orang pandai’ atau ‘cendikiawan’, kemudian hanya berarti ‘orang yang lulus dari
perguruan tinggi’, seperti tampak pada sarjana sastra, sarjana ekonomi,
dan sarjana hukum.

3. Perubahan Total
Perubahan total adalah berubahnya sama sekali makna sebuah kata dari makna
aslinya. Memang ada kemungkinan makna yang dimiliki sekarang masih ada
sangkut pautnya dengan makna asal, tetapi sangkut pautnya ini tampaknya sudah
jauh sekali. Misalkan, kata ceramah yang dulunya berarti 'cerewet', tetapi sekarang
kata itu berarti 'pidato' atau 'uraian'.

4. Penghalusan (Ufemia)
Dalam pembicaraan mengenai penghalusan ini maka akan berhadapan dengan
gejala yang ditampilkannya kata-kata atau bentuk-bentuk yang dianggap memiliki
makna yang lebih halus atau lebih sopan dari kata atau ujaran sebelumnya.
Misalnya pada kata babu diganti dengan pembantu rumah tangga dan kini diganti
lagi menjadi pramuwisma.

5. Pengasaran

53
Kebalikan dari penghalusan adalah pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk
mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang
maknanya kasar. Usaha-usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang
dalam situasi yang tidak ramah atau untuk menunjukkan kejengkelan. Misalnya
kata atau ungkapan masuk kotak dipakai untuk menggantikan kata kalah seperti
pada kalimat Taufik sudah masuk kotak.

6. Peninggian (Ameliorasi)
Ameliorasi atau peninggian kata adalah sebuah perubahan makna dimana arti baru
dirasakan lebih tinggi atau lebih baik nilai rasanya dari arti yang lama. Misalkan,
kata wanita dirasakan lebih tinggi nilai rasanya daripada kata perempuan. Ada
juga pada kata pemberian menjadi anugerah.

7. Pertukaran (Sinestesia)
Sinestesia ialah perubahan makna akibat pertukaran tanggapan dua indera yang
berbeda dari indera penglihatan ke indera pendengar, dari indera perasa ke indera
pendengar, dan sebagainya.

Contoh:

suaranya terang sekali             (pendengaran penglihatan)

rupanya manis                         (penglihat perasa)

namanya harum                       (pendengar pencium)

8. Persamaan (asosiasi)
Asosiasi ialah perubahan makna yang terjadi akibat persamaan sifat antara makna
lama dan makna baru.

Contoh:

54
makna lama:                                                                          makna baru:

amplop            : sampul surat                                                  uang sogok

9. Metafora
Perubahan makna pada sebuah kata yang melukiskan sesuatu dengan
perbandingan langsung dan tepat atas dasar sifat yang sama atau hampir sama,
tanpa kata pembanding seperti atau sebagai di antara dua hal yang berbeda.
Contoh:
- Raja siang telah pergi keperaduannya. ( raja siang = matahari )
- Dewi malam telah keluar dari balik awan. ( dewi malam = bulan )
- Tulisan cakar ayam itu tidak dapat dibaca. ( cakar ayam = jelek)

dapat dilihat ada perubahan yang sifatnya menghalus, ada perubahan yang
sifatnya meluas, dan ada yang sifatnya menyempit atau mengkhusus, ada yang
sifatnya halus, ada yang sifatnya mengasar, dan adapula yang sifatnya total.
Maksudnya, berubah sama sekali dari makna semula.
1. Meluas
2.  Menyempit.
3. Perubahan Total.
4. Penghalusan (Eufemia). 
5. Pengasaran.

55
A. Pengertian Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah
kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya lagi.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal kesamaan makna
(sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan
ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi),
kelebihan makna (redundansi), dan lainnya (Abdul Chaer, 2013).

Djajasudarma (1993: 5) berpendapat bahwa makna adalah pertautan yang ada


di antara unsur-unsur bahasa itu sendiri (terutama kata-kata). Artinya. setiap

56
pertautan unsur-unsur bahasa menimbulkan makna tertentu. Makna sebagai
penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan pemakainya
sehingga dapat saling mengerti. Sejalan dengan pendapat di atas, Soedjito (1990:
63) mengemukakan bahwa makna ialah hubungan antara bentuk bahasa dan
barang (hal) yang diacunya.

Menurut Pateda (2001: 71) menyatakan bahwa semantik gramatikal adalah


studi semantik yang khusus mengkaji makna yang terdapat dalam satuan kalimat.
Penafsiran berasal dari keseluruhan isi kalimat bukan dari segi kata. Berdasarkan
hal tersebut, makna gramatikal merupakan makna yang mucul akibat keberadaan
kata tersebut dalam sebuah kalimat (Pateda, 1988: 92).

Makna leksikal biasanya dipertentangkan dengan makna gramatikal. Makna


leksikal itu berkenaan dengan leksem atau kata yang sesuai dengan referensinya,
maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses
gramatikal seperti proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.
Makna sebuah kata baik dasar ataupun kata jadian, sering bergantung pada konteks
kalimat atau konteks situasi, maka makna gramatikal juga disebut makna tekstual
atau makna situasional, selain itu juga bisa disebut makna struktural karena proses
dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan.

Makna-makna kata yang berpolisemi itu dipertalikan oleh benang merah atau
hubungan secara asosiatif oleh makna primernya. Pertalian semantik ada beberapa
jenis yaitu sinonimi (kesamaan makna), antonimi (keberlawanan makna),
homonimi (kelaian makna), hiponimi (ketercakupan makna), dan polisemi
(kegandaan makna).(bab 2-08205244082.pdf n.d.)

Semantik leksikal adalah kajian semantik yang lebih memusatkan pada


pembahasan sistem makna yang terdapat dalam kata. Semantik leksikal
memperhatikan makna yang terdapat di dalam kata sebagai satuan mandiri
(Pateda, 1996: 74). Sejalan dengan Pateda, Keraf (2002: 34) mengungkapkan
bahwa yang dimaksud dengan struktur leksikal adalah bermacam-macam relasi
semantik yang terdapat pada kata. Hubungan antara kata itu dapat berwujud
sinonim, polisemi, homonim, hiponim,dan antonim.

Verhaar (1999: 388) berpendapat bahwa semantik leksikal menyangkut


makna leksikal. Semantik leksikal secara leksikologis mencakup segi-segi sebagai
berikut: (a) makna dan refren, (b) denotasi dan konotasi, (c) analisis ekstensional
dan analisis 7 intensional, (d) analisis komponensial, (e) makna dan
pemakaiannya, (f) kesinoniman, keantoniman, kehomoniman, dan kehiponiman.
Secara umum hubungan antara satu makna dan makna yang lain secara leksikal

57
dibedakan atas sinonim, antonim, penjamin makna, hipernim, dan hiponim
(superordinal atau subordinal), homonim, dan polisemi (Parera, 2004: 60).

Penjamin makna adalah sebuah pernyataan XI menjamin makna dari


pernyataan Y jika kebenaran pernyataan Y merupakan akibat dari kebenaran
pernyataan XI. Contohnya, jika mengatakan “mawar”, maka sudah ada jaminan
bahwa ia sebuah bunga karena dalam makna “mawar” ada komponen “bunga”.
Akan tetapi, jika seorang berujar “Adik memetik bunga”, sudah tentu ada jaminan
bahwa “Adik memetik mawar”. Jika seorang berujar “Adik memetik mawar‟,
maka sudah ada jaminan makna bahwa “Adik memetik bunga”.

Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa relasi makna adalah hubungan
atau pertalian antara bentuk bahasa dan barang (hal) yang telah disepakati bersa-
ma oleh para pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. (BAB II.pdf n.d.)

B. Jenis-jenis Relasi Makna

1. Sinonimi

Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno,


yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara
harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’.
Secara semantik menurut Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan
(bisa berupa kata, frase atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama
dengan makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013).

Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua
arah. Dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak seratus persen,
hanya kurang lebih dan kesamaanya tidak bersifat mutlak (Zgusta dan Ullman
dalam Abdul Chaer). Tidak mutlak sebab ada prinsip semantik yang
mengatakan apabila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda, walaupun
perbedaanya hanya sedikit. Kata-kata yang bersinonim itu tidak memiliki
makna yang persis sama.

Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya, padahal


informasi ini bukan makna karena informasi bersifat ekstralingual sedangkan
makna bersifat intralingual.

58
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada
dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan kita untuk
menukar sebuah kata dengan kata lain, yang bersinonim adalah banyak
sebabnya. Antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau daerah, faktor sosial,
faktor bidang kegiatan dan faktor nuansa makna.

Sinonim tidak hanya terjadi pada kata, tetapi bisa dalam satuan bahasa lainnya
seperti: morfem bebas dengan morfem terikat, kata dengan kata, kata dengan
frase, frase dengan frase dan kalimat dengan kalimat.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai sinonim:

a. Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.


b. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada
bentuk jadian.
c. Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi
memiliki sinonim pada bentuk jadian.
d. Ada kata-kata yag dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai sinonim,
tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.

2. Antonimi atau Oposisi

Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno, yaitu onoma yang


artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’.  Maka secara harfiah
antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’. Secara semantik, Verhaar
(1978) mendefinisikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat
pula dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan
dari makna ungkapan lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua
buah kata yang berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua
tataran bahasa, tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Hanya mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah.

Antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat mutlak.


Itulah sebabnya barangkali dalam batasan diatas, Verhaar menyatakan “yang
maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain”. Jadi hanya
dianggap kebalikan bukan mutlak berlawanan. Dengan istilah oposisi, maka
bisa tercakup dari konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang
hanya bersifat kontras saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan
menjadi :

a. Oposisi mutlak, yaitu terdapat pertentangan makna secara mutlak.

59
b. Oposisi kutub, yaitu makna kata-kata yang termasuk oposisi kutub ini
pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat garadasi.
Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada kata-kata. Kata-kata yang
beroposisi kutub ini umumnya adalah kata-kata dari kelas adjektif.
c. Oposisi hubungan, yaitu makna kata-kata yang beroposisi hubungan
(relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya, kehadiran kata yang
satu karena ada kata yang lain menjadi oposisinya. Tanpa kehadiran
keduanya maka oposisi ini tidak ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan
ini bisa berupa kata kerja. Selain itu, bisa berupa kata benda.
d. Oposisi hierarkial yaitu, makna kata-kata yag beroposisi hierarkial ini
menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Kata-kata yang beroposisi
hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa nama satuan ukuran (berat,
panjang dan isi), nama satuan hitungan dan penanggalan, nama jenjang
kepangkatan, dan sebagainya.

Oposisi majemuk yaitu, oposisi di antara dua buah kata. Namun, dalam
perbendaharaan kata bahasa Indonesia ada kata-kata yang beroposisi lebih
dari satu kata.

3. Homonimi, Homofoni, dan Homografi

Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang artinya


‘nama’ dan homo artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi dapat diartikan
sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara semantik, Verhaar
(1978) memberi definisi homonimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase
atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 2013). Dalam bahasa
Indonesia banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata.

Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S


Poerwadarminta di dalam kata yang berhomonimi digunakan angka Romawi,
tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988) juga oleh
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu
ditandai dengan angka Arab. Hubungan antara dua buah kata yang homonim
bersifat dua arah. Ada dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi :

a. Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang
berlainan.
b. Bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil proses morfologi.

60
Sama halnya dengan sinonim, antonim, homonimi ini dapat terjadi pada
tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

a. Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan


morfem terikat lainnya.
b. Homonimi antarfrase
c. Homonimi antarkalimat

Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan homografi.


Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada kesamaan objek
pembicaraan. Homonimi dilihat dari segi “bunyi” (homo yang artinya sama
dan fon yang artinya bunyi), sedangkan homografi dilihat dari segi “tulisan”,
“ejaaan” (homo yang artinya sama dan grafi yang artinya tulisan).

Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena realisasinya


bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata ‘bisa’ yang berarti
‘racun ular dan kata ‘bisa’ yang berarti ‘sanggup’, selain merupakan bentuk
yang homonimi adalah juga bentuk yang homofoni, dan juga homografi
karena tulisannya juga sama. Dalam bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang
homofon, tetapi ditulis dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas
perbedaan makna. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan
Poerwadarminta kata-kata yang homograf ini diberi keterangan cara
melafalkannya di belakang tiap-tiap kata. Ada beberapa buku pelajaran yang
menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena mereka
berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim yang homofon,
dan (b) homonim yang homograf.

4. Hiponimi dan Hipernimi

Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma berarti


‘nama’ dan hype berarti ‘dibawah’. Jadi, secara harfiah berarti ‘nama yang
termasuk di bawah nama lain’. Secara semantik Verhaar (1978) menyatakan
hiponim ialah ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase
atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain.

Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim, dan
berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata yang
berhiponim ini adalah searah. Definisi Verhaar disebutkan bahwa hiponim
kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat. Namun, kiranya sukar
mencari contohnya dalam bahasa Indonesia karena juga hal ini lebih banyak

61
menyangkut masalah logika dan bukan masalah linguistik. Oleh karena itu,
menurut Verhaar masalah ini dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan
lagi.

Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan


dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna
kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan
hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi hiponim terhadap kata
lain yang hierarkial berada diatasnya. Konsep hiponimi dan hipernimi mudah
diterapkan pada kata benda tetapi agak sukar pada kata kerja dan kata sifat. Di
samping istilah hiponimi ada pula istilah yang disebut meronimi. Kedua
istilah ini mengandung konsep yang hampir sama. Bedanya adalah kalau
hiponimi menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada di
bawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata (unsur
leksikal) yang  merupakan bagian dari kata lain.

5. Polisemi

Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa ( terutama kata, bisa


juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Menurut pembicaraan
terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut makna
leksikal dan makna yang sesuai dengan referennya.

Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen makna ini


berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan
makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk
kepada referen dari kata itu yang berkenaan dengan polisemi ini adalah
bagaimana kita bisa membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut
homonimi. Bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata
atau lebih yang kebetulan bentuknya sama.

Homonimi bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda, di dalam


kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang
berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk adalah sebuah kata yang memiliki makna
lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah kata maka di dalamnya
kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu lagi perbedaan antara homonimi
dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada
kaitan atau hubungannnya sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.

6. Ambiguitas

62
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang
bermakna ganda atau mendua arti. Polisemi  juga bermakna ganda. Polisemi
dan ambiguitas sama-sama bermakna ganda hanya kalau kegandaan makna
dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam
ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar, yaitu frase atau
kalimat dan terjadi sebagai akibat penafsiran struktur gramatikal yang
berbeda.

Bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi karena
stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Namun, dalam bahasa tulis
penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-penanda ejaan tidak
lengkap diberikan. Perbedaan ambiguitas dengan homonimi dilihat sebagai
bentuk yang kebetulan sama dan dengan makna yang berbeda, sedangkan
ambiguitas adalah semua bentuk dengan makna yang berbeda sebagai akibat
dari berbedanya penafsiran stuktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas
hanya terjadi pada satuan frase dan kalimat, sedangkan homonimi dapat
terjadi pada semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).

7. Redudansi

Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan


pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Salah satu prinsip
dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun akan berbeda.
Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance, internal
phenomenon), sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar ujaran
(utterence-external). (Alegorinai 2016)

A. Hakekat Analisis Komponen Makna


Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic
property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal
terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau
makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal
memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang membedakannya dengan unsur lain
(Chaer, 2009:115). Pengertian komponen menurut Palmer ialah keseluruhan makna
dari suatu kata, terdiri atas sejumlah elemen, yang antara elemen yang satu dengan
yang lain memiliki ciri yang berbeda-beda (Aminuddin, 2008:128).

63
Analisis dengan cara seperti ini sebenarnya bukan hal baru, R. Jacobson dan Morris
Halle dalam laporan penelitian mereka tentang bunyi bahasa yang berjudul
Preliminaries to Speech Analysis: The Distinctive Features and Their Correlates telah
menggunakan cara analisis seperti itu. Dalam laporan itu mereka mendeskripsikan
bunyi-bunyi bahasa dengan menyebutkan ciri-ciri pembeda di antara bunyi yang satu
dengan bunyi yang lain. Bunyi-bunyi yang memiliki sesuatu ciri diberi tanda plus (+)
dan yang tidak memiliki ciri itu diberi tanda minus (-). Konsep analisis dua-dua ini
lazim disebut analisis biner oleh para ahli kemudian diterapkan juga untuk
membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.

B. Analisis Komponen Makna Kata


Berkaitan dengan analisis komponen makna terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yakni:

(1) Pembeda makna dan hubungan antarkomponen makna

(2) Langkah analisis komponen makna

(3) Hambatan analisis komponen makna

(4) Prosedur analisis komponen makna

C. Pembeda Makna dan Hubungan Antar Komponen Makna


Untuk dapat menganalisi komponen makna seseorang perlu mengetahui
hubungan-hubungan makna yang ada di dalam kata-kata. Misalnya kata melompat
dan melompat-lompat mempunyai hubungan makna dan perbedaan makna, sehingga
diperlukan komponen pembeda. Lain halnya jika kata melompat dibandingkan
dengan kata melihat, terdapat kenyataan bahwa kedua kata itu tidak memperlihatkan
hubungan makna. Komponen pembeda makna akan jelas apabila diketahui komponen
makna. Komponen makna diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kedekatan,
kemiripan, kesamaan, dan ketidaksamaan suatu makna kata.

64
Berdasarkan hal tersebut di atas pembeda makna akan terjadi karena beberapa hal
berikut ini.

(1) Perbedaan bentuk akan melahirkan perbedaan makna; dan

(2) Perubahan bentuk akan melahirkan hubungan makna.

D. Langkah Analisis Komponen Makna


Menganalisis komponen makna memerlukan langkah-langkah tertentu. Nida
(dalam Sudaryat, 2009:57) menyebutkan enam langkah untuk menganalisis
komponen makna.

1) Menyeleksi sementara makna yang muncul dari sejumlah komponen yang


umum dengan pengertian makna yang dipilih masih berada di dalam makna tersebut.
Misalnya, dalam kriteria marah terdapat leksem ‘mendongkol’, ‘menggerutu’,
‘mencaci maki’, dan ’mengoceh’.

2) Mendaftar semua ciri spesifik yang dimiliki oleh rujukannya. Misalnya, untuk
kata ayah terdapat cirri spesifik antara: [+insan], [+jantan], [+kawin], dan [+anak].

3) Menentukan komponen yang dapat digunakan untuk kata yang lain. Misalnya, ciri
‘kelamin perempuan’ dapat digunakan untuk kata ibu, kakak perempuan, adik
perempuan, bibi dan nenek.

4) Menentukan komponen diagnostik yang dapat digunakan untuk setiap kata.


Misalnya untuk kata ayah terdapat komponen diagnostik ‘jantan’, satu turunan di atas
ego.

5) Mengecek data yang dilakukan pada langkah pertama.

6) Mendeskripsikan komponen diagnostiknya, misalnya dalam bentuk matriks.

65
E. Hambatan Analisis Komponen Makna
Dalam menganalisis komponen makna, terdapat beberapa kesulitan atau
hambatan sebagai berikut (Pateda, 2001:274).

1) Lambang yang didengar atau dibaca tidak diikuti dengan unsur-unsur


suprasegmental dan juga unsur-unsur ekstra linguistik.

2) Tiap kata atau leksem berbeda pengertiannya untuk setiap disiplin ilmu. Kata
seperti ini disebut istilah. Misalnya istilah kompetensi ada pada bidang linguistik,
psikologi, dan pendidikan. Meskipun istilah itu memiliki medan yang sama, tetapi
pasti ada perbedaan sesuai dengan disiplin ilmu tersebut.

3) Tiap kata atau leksem memiliki pemakaian yang berbeda-beda.

4) Leksem yang bersifat abstrak sulit untuk di deskripsikan. Misalnya: liberal, sistem.

5) Leksem yang bersifat dieksis dan fungsional sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:
ini, itu, dan, di.

6) Leksem-leksem yang bersifat umum sulit untuk dideskripsikan. Misalnya:


binatang, burung, ikan, manusia.

Abdul Chaer (2009:118) menambahkan bahwa dari pengamatan terhadap data


unsur-unsur leksikal ada tiga hal yang perlu dikemukakan berkenaan dengan analisis
komponen makna.

1). Ada pasangan kata yang salah satu daripadanya lebih bersifat netral atau umum
sedangkan yang lain lebih bersifat khusus. Misalnya pasangan kata mahasiswa dan
mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk
pria dan wanita sedangkan kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya
mengenai wanita. Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata tersebut dikenal
sebagai amggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang
tidak bertanda ini diberi tanda 0 atau ±.

66
2). Ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya karena memang
mungkin tidak ada, tetapi ada juga yang mempunyai pasangan lebih dari satu. Contoh
yang sukar dicari pasangannya antara lain kata-kata yang berkenaan dengan warna.

3) Seringkali kita sukar mengatur ciri-ciri semantik itu secara bertingkat, mana yang
lebih bersifat umum dan mana yang lebih bersifat khusus. Umpamanya ciri [jantan]
dan [dewasa] mana yang lebih bersifat umum. Keduanya dapat ditempatkan sebagai
unsur yang lebih tinggi dalam diagram yang berlainan. Ciri-ciri semantik ini dikenal
sebagai ciri-ciri penggolongan silang.

F. Prosedur Analisis Komponen Makna


Untuk menganalisis makna dapat digunakan berbagai prosedur. Nida
(1975:64) menyebutkan empat teknik dalam menganalisis komponen makna yakni
penamaan, parafrasis, pendefinisian dan pengklasifikasian (dalam Surayat, 2009:38).

1) Penamaan (Penyebutan)

Proses penamaan berkaitan dengan acuannya. Penamaan bersifat


konvensional dan arbitrer. Konvensional berdasarkan kebiasaan masyarakat
pemakainya sedangkan arbitrer berdasarkan kemauan masyarakatnya. Misalnya,
leksem rumah mengacu ke ‘benda yang beratap, berdinding, berpintu, berjendela, dan
biasa digunakan manusia untuk beristirahat’.

Ada beberapa cara dalam proses penamaan, antara lain: (1) peniruan bunyi,
(2) penyebutan bagian, (3) penyebutan sifat khas, (4) penyebutan apelativa, (5)
penyebutan tempat asal, (6) penyebutan bahan, (7) penyebutan keserupaan, (8)
penyebutan pemendekan, (9) penyebutan penemuan baru, dan (10) penyebutan
pengistilahan.

2) Parafrasis

Parafrasis merupakan deskripsi lain dari suatu leksem, misalnya:

67
Paman dapat diparafrasis menjadi:

(a) adik laki-laki ayah

(b) adik laki-laki ibu

berjalan dapat dihubungkan dengan:

(a) berdarmawisata

(b) berjalan-jalan

(c) bertamasya

(d) makan angin

(e) pesiar

3) Pengklasifikasian

Pengklasifikasian adalah cara memberikan pengertian pada suatu kata dengan


cara menghubungkan kata yang satu dengan kata yang lain. Klasifikasi atau
taksonomi merupakan suatu proses yang bersifat alamiah untuk menampilkan
pengelompokan sesuai dengan pengalaman manusia. Klasifikasi dibedakan atas
klasifikasi dikotomis yaitu klasifikasi yang terdiri atas dua anggota kelas atau
subkelas saja dan klasifikasi kompleks yaitu klasifikasi yang memiliki lebih dari dua
subkelas.

4) Pendefinisian

Pendefinisian adalah suatu proses memberi pengertian pada sebuah kata


dengan menyampaikan seperangkat ciri pada kata tersebut supaya dapat dibedakan
dari kata-kata lainnya sehingga dapat ditempatkan dengan tepat dan sesuai dengan
konteks.

68
G. Manfaat Analisis Komponen Makna
Kajian semantik lewat analisis komponen lebih lanjut juga melatari kehadiran
semantik interpretif seperti yang dikembangkan oleh Katz & Fodor. Jerrold J. Katz,
mengungkapkan bahwa pemahaman komponen semantis sangat berperanan dalam
upaya memahami pesan lewat penguraian fitur semantis suatu utterance. Selain itu,
pemahaman komponen semantis juga berperanan dalam memproduksi kalimat-
kalimat baru sehingga berbagai struktur sintaktik dan fonologis dapat dikembangkan
dan diwujudkan. Pengembangan struktur sintaktik yang dilatari penguasaan
komponen semantis yang dalam semantik interpretif, disebutkan memiliki hubungan
erat dengan penguasaan makna kata seperti yang terdapat dalam kamus (Aminuddin,
2008). Selain itu Chaer (2009:116-117) juga memperinci manfaat analisis komponen
makna sebagai berikut.

1) Digunakan untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain.

2) Perumusan di dalam kamus.

3) Dapat menggolong-golongkan kata atau unsur leksikal seperti dalam teori medan
makna.

4) Dapat digunakan untuk mencari perbedaan kata-kata yang bersinonim.

1. Pengertian Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara


sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa
lainnya lagi. Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal
kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna
(polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna
(homonimi), kelebihan makna (redundansi), dan lainnya (Abdul Chaer, 2013).

69
2. Jenis-Jenis Relasi Makna

a. Sinonimi
Secara etimologi kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’.
Maka secara harfiah kata sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau
hal yang sama’. Secara semantik menurut Verhaar (1978)
mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frase atau
kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan
lain (Abdul Chaer, 2013).
Hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim
bersifat dua arah. Dua buah kata yang bersinonim kesamaannya tidak
seratus persen, hanya kurang lebih dan kesamaanya tidak bersifat
mutlak (Zgusta dan Ullman dalam Abdul Chaer). Tidak mutlak sebab
ada prinsip semantik yang mengatakan apabila bentuk berbeda maka
makna pun akan berbeda, walaupun perbedaanya hanya sedikit. Kata-
kata yang bersinonim itu tidak memiliki makna yang persis sama.
Menurut teori Verhaar yang sama tentu adalah informasinya,
padahal informasi ini bukan makna karena informasi bersifat
ekstralingual sedangkan makna bersifat intralingual.
Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak
ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Ketidakmungkinan
kita untuk menukar sebuah kata dengan kata lain, yang bersinonim
adalah banyak sebabnya. Antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau
daerah, faktor sosial, faktor bidang kegiatan dan faktor nuansa makna.
Sinonim tidak hanya terjadi pada kata, tetapi bisa dalam satuan
bahasa lainnya seperti: morfem bebas dengan morfem terikat, kata
dengan kata, kata dengan frase, frase dengan frase dan kalimat dengan
kalimat.

70
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan mengenai sinonim:
1) Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim.
2) Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak
pada bentuk jadian.
3) Ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk
dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian.
4) Ada kata-kata yag dalam arti “sebenarnya” tidak mempunyai
sinonim, tetapi dalam arti “kiasan” justru mempunyai sinonim.

b. Antonimi atau Oposisi


Kata antonimi berasal dari kata Yunani kuno,
yaitu onoma yang artinya ‘nama’, dan anti yang artinya ‘melawan’. 
Maka secara harfiah antonim berarti ‘nama lain untuk benda lain pula’.
Secara semantik, Verhaar (1978) mendefinisikan sebagai ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi dapat pula dalam bentuk frase atau
kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan
lain (Abdul Chaer, 2013). Hubungan makna antara dua buah kata yang
berantonim bersifat dua arah. Antonim terdapat pada semua tataran
bahasa, tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.
Hanya mencari contohnya dalam setiap bahasa tidak mudah.
Antonim pun, sama halnya dengan sinonim, tidak bersifat
mutlak. Itulah sebabnya barangkali dalam batasan diatas, Verhaar
menyatakan “yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain”. Jadi hanya dianggap kebalikan bukan mutlak
berlawanan. Dengan istilah oposisi, maka bisa tercakup dari konsep
yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat
kontras saja. Berdasarkan sifatnya, oposisi dapat dibedakan menjadi :

71
1) Oposisi mutlak, yaitu terdapat pertentangan makna secara
mutlak.
2) Oposisi kutub, yaitu makna kata-kata yang termasuk oposisi
kutub ini pertentangannya tidak bersifat mutlak, melainkan
bersifat garadasi. Artinya terdapat tingkat-tingkat makna pada
kata-kata. Kata-kata yang beroposisi kutub ini umumnya adalah
kata-kata dari kelas adjektif.
3) Oposisi hubungan, yaitu makna kata-kata yang beroposisi
hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi. Artinya,
kehadiran kata yang satu karena ada kata yang lain menjadi
oposisinya. Tanpa kehadiran keduanya maka oposisi ini tidak
ada. Kata-kata yang beroposisi hubungan ini bisa berupa kata
kerja. Selain itu, bisa berupa kata benda.
4) Oposisi hierarkial yaitu, makna kata-kata yag beroposisi
hierarkial ini menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Kata-
kata yang beroposisi hierarkial ini adalah kata-kata yang berupa
nama satuan ukuran (berat, panjang dan isi), nama satuan
hitungan dan penanggalan, nama jenjang kepangkatan, dan
sebagainya.

Oposisi majemuk yaitu, oposisi di antara dua buah kata.


Namun, dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia ada kata-kata
yang beroposisi lebih dari satu kata.

c. Homonimi, Homofoni, dan Homografi.


Kata homonimi berasal dari bahasa Yunani kuno onomo yang
artinya ‘nama’ dan homo artinya ‘sama’. Secara harfiah homonimi
dapat diartikan sebagai ‘nama sama untuk benda atau hal lain’. Secara
semantik, Verhaar (1978) memberi definisi homonimi sebagai

72
ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama
dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi
maknanya tidak sama (Abdul Chaer, 2013). Dalam bahasa Indonesia
banyak juga homonimi yang terdiri lebih dari tiga buah kata.
Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S
Poerwadarminta di dalam kata yang berhomonimi digunakan angka
Romawi, tetapi dalam Kamus Bahasa Indonesia (1983) oleh Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1988) juga oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, kata-kata yang berhomonimi itu ditandai dengan angka Arab.
Hubungan antara dua buah kata yang homonim bersifat dua arah. Ada
dua kemungkinan sebab terjadinya homonimi :
1) Bentuk-bentuk yang berhomonimi itu berasal dari bahasa atau
dialek yang berlainan.
2) Bentuk-bentuk yang berhomonim itu terjadi sebagai hasil
proses morfologi.

Sama halnya dengan sinonim, antonim, homonimi ini dapat


terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran
kalimat.

1) Homonimi antarmorfem, tentunya antara sebuah morfem


terikat dengan morfem terikat lainnya.
2) Homonimi antarfrase
3) Homonimi antarkalimat

Di samping homonimi ada pula istilah homofoni dan


homografi. Ketiga istilah ini biasanya dibicarakan bersama karena ada
kesamaan objek pembicaraan. Homonimi dilihat dari segi “bunyi”
(homo yang artinya sama dan fon yang artinya bunyi), sedangkan

73
homografi dilihat dari segi “tulisan”, “ejaaan” (homo yang artinya
sama dan grafi yang artinya tulisan).

Homofoni sebetulnya sama saja dengan homonimi karena


realisasinya bentuk-bentuk bahasa adalah berupa bunyi. Jadi, kata
‘bisa’ yang berarti ‘racun ular dan kata ‘bisa’ yang berarti ‘sanggup’,
selain merupakan bentuk yang homonimi adalah juga bentuk yang
homofoni, dan juga homografi karena tulisannya juga sama. Dalam
bahasa Indonesia ada sejumlah kata yang homofon, tetapi ditulis
dengan ejaan yang berbeda karena ingin memperjelas perbedaan
makna. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan
Poerwadarminta kata-kata yang homograf ini diberi keterangan cara
melafalkannya di belakang tiap-tiap kata. Ada beberapa buku pelajaran
yang menyatakan bahwa homograf adalah juga homonim karena
mereka berpandangan ada dua macam homonim, yaitu (a) homonim
yang homofon, dan (b) homonim yang homograf.

d. Hiponimi dan Hipernimi


Kata hiponimi berasal dari bahasa Yunani kuno,
yaitu onoma berarti ‘nama’ dan hype berarti ‘dibawah’. Jadi, secara
harfiah berarti ‘nama yang termasuk di bawah nama lain’. Secara
semantik Verhaar (1978) menyatakan hiponim ialah ungkapan
(biasanya berupa kata, tetapi kiranya dapat juga frase atau kalimat)
yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu
ungkapan lain.
Jika relasi antara dua buah kata yang bersinonim, berantonim,
dan berhomonim bersifat dua arah maka relasi antara dua buah kata
yang berhiponim ini adalah searah. Definisi Verhaar disebutkan bahwa

74
hiponim kiranya terdapat pula dalam bentuk frase dan kalimat.
Namun, kiranya sukar mencari contohnya dalam bahasa Indonesia
karena juga hal ini lebih banyak menyangkut masalah logika dan
bukan masalah linguistik. Ole karena itu, menurut Verhaar masalah ini
dapat dilewati saja, tidak perlu dipersoalkan lagi.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas
bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di
bawah makna kata lainnya. Karena itu, ada kemungkinan sebuah kata
yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain, akan menjadi
hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada diatasnya. Konsep
hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda tetapi agak
sukar pada kata kerja dan kata sifat. Di samping istilah hiponimi ada
pula istilah yang disebut meronimi. Kedua istilah ini mengandung
konsep yang hampir sama. Bedanya adalah kalau hiponimi
menyatakan adanya kata (unsur leksikal) yang maknanya berada di
bawah makna kata lain, sedangkan meronimi menyatakan adanya kata
(unsur leksikal) yang  merupakan bagian dari kata lain.
e. Polisemi
Polisemi lazim diartikan sebagai satuan bahasa ( terutama kata,
bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Menurut
pembicaraan terdahulu setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni
yang disebut makna leksikal dan makna yang sesuai dengan
referennya.
Dalam perkembangan selanjutnya komponen-komponen
makna ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-
makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna
leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu yang
berkenaan dengan polisemi ini adalah bagaimana kita bisa
membedakannya dengan bentuk-bentuk yang disebut homonimi.

75
Bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau
lebih yang kebetulan bentuknya sama.
Homonimi bukan sebuah kata maka maknanya pun berbeda, di
dalam kamus bentuk-bentuk yang homonimi didaftarkan sebagai entri-
entri yang berbeda. Sebaliknya bentuk-bentuk adalah sebuah kata yang
memiliki makna lebih dari satu. Karena polisemi ini adalah sebuah
kata maka di dalamnya kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Satu
lagi perbedaan antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna
pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungannnya
sama sekali antara yang satu dengan yang lainnya.
f. Ambiguitas
Ambiguitas atau ketaksaan sering diartikan sebagai kata yang
bermakna ganda atau mendua arti. Polisemi  juga bermakna ganda.
Polisemi dan ambiguitas sama-sama bermakna ganda hanya kalau
kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan
kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal
yang lebih besar, yaitu frase atau kalimat dan terjadi sebagai akibat
penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
Bahasa lisan penafsiran ganda ini mungkin tidak akan terjadi
karena stuktur gramatikal itu dibantu oleh unsur intonasi. Namun,
dalam bahasa tulis penafsiran ganda ini dapat saja terjadi jika penanda-
penanda ejaan tidak lengkap diberikan. Perbedaan ambiguitas dengan
homonimi dilihat sebagai bentuk yang kebetulan sama dan dengan
makna yang berbeda, sedangkan ambiguitas adalah semua bentuk
dengan makna yang berbeda sebagai akibat dari berbedanya penafsiran
stuktur gramatikal bentuk tersebut. Ambiguitas hanya terjadi pada
satuan frase dan kalimat, sedangkan homonimi dapat terjadi pada
semua satuan gramatikal (morfem, kata, frase, dan kalimat).
g. Redudansi

76
Istilah redundansi sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan
pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran’. Salah satu
prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda maka makna pun
akan berbeda. Makna adalah suatu fenomena dalam ujaran (utterance,
internal phenomenon), sedangkan informasi adalah sesuatu yang luar
ujran (utterence-external).

A. Pengertian Komponen Makna


Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic
property, atau semantic marker) mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur
leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk
makna kata atau makna unsur leksikal tersebut. Analisis ini mengandaikan
setiap unsur leksikal memiliki atau tidak memiliki suatu ciri yang
membedakannya dengan unsur lain (Chaer, 2009:115). Pengertian komponen
menurut Palmer ialah keseluruhan makna dari suatu kata, terdiri atas sejumlah
elemen, yang antara elemen yang satu dengan yang lain memiliki ciri yang
berbeda-beda (Aminuddin, 2008:128).
B. Komponen Makna
Komponen makna adalah makna yang dimiliki oleh setiap kata yag terdiri atas
sejumlah komponen makna kata itu. Komponen makna atau komponen
semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker)

77
mengajarkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau
beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur
leksikal tersebut. Misalnya, kata ayah mengandung komponen makna atau
unsur makna :+insan, +dewasa, +kawin, dan +jantan. Maka, kalua
dibandingkan makna kata ayah dan ibu adalah menjadi seperti table di bawah
ini :

Komponen Ayah Ibu


Makna

1. Insan + +

2. Dewasa + +

3. Kawin + +

4. Jantan + -

Keterangan : tanda + berarti mempunyai komponen makna tersebut, dan tanda –


berarti tidak mempunyai komponen makna tersebut.

Perbedaan makna antara kata ayah dan ibu hanyalah pada ciri makna atau komponen
makna : ayah memiliki makna atau komponen makna : ayah memiliki makna ‘jantan’
sedangkan kata ibu tidak memiliki makna ‘jantan’.

Konsep analisis ini (lazim disebut analisi biner) oleh para ahli kemudian diterapkan
juga untuk membedakan makna suatu kata dengan kata yang lain. Misalnya, kata
ayah dan ibu dapat dibedakan berdasarka ada atau tidak adanya ciri jantan.

ayah ibu

+ manusia + manusia

+ dewasa + dewasa

+ kawin + kawin

78
+ jantan - jantan

Sedangkan kata becak dan bemo dapat dibedakan berdasarkan ada atau tidak adanya
ciri bermesin atau bermotor.

becak bemo

+ kendaraan umum + kendaraan

+ beroda tiga + beroda tiga

-bermotor + bermotor

Ada tiga hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan analisis biner tersebut.

Pertama, ada pasangan kata yang satu diantaranya lebih bersifat netral atau umum
sedangkan yang lain bersifat khusus. Misalnya, pasangan kata mahasiswa dan
mahasiswi. Kata mahasiswa lebih bersifat umum dan netral karena dapat termasuk
‘pria’ dan ‘wanita’. Sebaliknya kata mahasiswi lebih bersifat khusus karena hanya
mengenai ‘wanita’. Jadi :

Ciri Mahasiswa Mahasiswi

Pria + +

Wanita + -

Unsur leksikal yang bersifat umum seperti kata mahasiswa ini dikenal sebagai
anggota yang tidak bertanda dari pasangan itu. Dalam diagram anggota yang tidak
bertanda ini diberi tanda 0 atau ±, sedangkan anggota yang lebih khusus dikenal
sebagai anggota yang bertanda. Dalam diagram diberi tanda + kalua memiliki ciri itu
dan tanda – jika tidak memiliki ciri itu.

Kedua, ada kata atau unsur leksikal yang sukar dicari pasangannya adalah kata-kata
yang berkenaan dengan nama warna. Selama ini kata putih memang dapat
dipasangkan dengan kata hitam (yang secara teknis ilmiah bukan warna), tetapi
nama-nama warna lain tidak mudah untuk dicari pasangannya. Contoh lain yaitu
contoh yang pasangannya lebih dari satu, misalnya kata ‘berdiri’. Kata ‘berdiri’

79
bukan hanya bisa dipertentangkan dengan kata tidur, tetapi bisa saja dengan kata
tiarap. Rebah, duduk, jommgkok, dan berbaring.

Ketiga, seringkali sukar mengatu ciri-ciri semantic itu secara bertingkat, mana yang
lebih bersifat umum, dan mana yang lebih bersifat khusus. Contohnya, ciri jantan dan
dewasa, mana yang lebih bersifat umum antara jantan dan dewasa. Bisa jantan, tetapi
bisa juga dewasa sebab tidak ada alasan bagi kita untuk menyebutkan ciri jantan lebih
bersifat umum daripada dewasa, begitu juga sebaliknya, karena ciri yang satu tidak
menyiratkan makna yang lain. Karena itu, keduanya, jantan dan dewasa tidak dapat
ditempatkan sebagai unsur yang “lebih tinggi” dalam diagram yang berlainan.

Walaupun analisis komponen makna ini dengan pembagian biner banyak


kelemahannya, tetapi cara ini banyak memberi manfaat untuk memahami makna
kalimat. Para tata bahasawan transformasional juga telah menggunakan Teknik ini
sehingga minat terhadap analisis komponen makna ini menjadi meningkay. Malah
pernah disarankan agar daftar kosakata yang dilampirkan pada tata bahasa
transformasi itu dilengkapi dengan sejumlah ciri semantiknya untuk dapat
dipersamakan dan diperbedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Misalnya,
kalua kata benda warung, kebudayaan, dukun, anjing, dan Jakarta diberi ciri-ciri
semantiknya sebagai berikut :

warung

+ umum

+ konkret

+ insan

+ hidup

kebudayaan

+ umum

+ konkret

+ insan

+ hidup

80
dukun

+ umum

+ konkret

+ insan

+ hidup

anjing

+ umum

+ konkret

+ insan

+ hidup

Jakarta

+ umum

+ konkret

+ insan

+ hidup

Ciri Umum Konkret Insan Hidup

Warung + + - -

Kebudayaan + - - -

Dukun + + + +

Anjing + + - +

81
Jakarta - + - -

Daftar kata-kata di atas adalah kata-kata dari kelas nomina. Bagaimana dengan kata-
kata dari kelas verba, kelas ajektiva, atau kelas lainnya. Itu pun dapat juga diberi ciri-
ciri semantiknta. Contoh, kata-kata dari kelas verba makan, menulis, dan terbit. Kata
makan, memiliki ciri + hidup, + makhluk, + transitif, + tindakan ; dan kata terbit
memiliki ciri + makhluk, + itransitif, + proses.

Di sini memang kita sukar menerapkan analisis biner ini. Tetapi ciri-ciri makna itu
bisa diperinci untuk menentukan persamaan dan perbedaannya. Kata makan itu bisa
berciri makhluk hidup. Artinya kata tersebut berkenaan dengan manusia juga
binatang. Tetapi kata menulis hanya berkenaan dengan manusia, tidak dengan
binatang. Sebaliknya kata terbit tidak berkenaan dengan manusia dan binatang,
melainkan hanya berkenaan dengan benda lain. Karena itu kalimat ‘Dia terbit dari
balik pintu dan ‘Harimau itu terbit dari semak-semak tidak terterima. Tetapi kalimat
‘Matahari terbit dari balik bukit bisa diterima.

Analisis semantic kata yang dibuat seperti di atas banyak memberi manfaat dalam
memahami makna-makna kalimat ; tetapi pembuatan daftar kosakata dengan disertai
ciri-ciri semantiknya secara lengkap bukanlah pekerjaan yang mudah sebab
memerlukan pengetahuan budaya, ketelitian, waktu,dan tenaga yang cukup besar.

82
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu
satu dari tiga tataran analisis bahasa: fonologi, gramatikal, dan semantik. Kata
semantik disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik
yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang
ditandainya, atau dengan kata lain bidang studi dalam linguistik yang
mempelajari makna atau arti dalam bahasa.
B. Saran
Penulis menyadari, masih terdapat kekurangan yang perlu dibenahi. Oleh
karena itu, penulis berharap agar kiranya dosen, ataupun pihak mahasiswa
mendapat adanya kesalahan dari makalah ini agar diberi kritik dan saran yang
membangun.

83
DAFTAR PUSTAKA

A. Semiun. (2004). Semantik: Suatu Pengantar Dasar Pembelajaran (Vol. 5).


Buletin Penelitian dan Pengembangan Alumni IAEUP UDANA.

KBBI Daring. (2019). https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/semantik

Kurniawan, A. (2020, Februari 3). Semantik Adalah – Pengertian, Sejarah, Jenis,


Unsur, Manfaat, Analisis, Para Ahli. GuruPendidikan.Com.
https://www.gurupendidikan.co.id/semantik-adalah/

NUR DIANA. (16:07:29 UTC). Semantik dalam bahasa indonesia [Education].


https://www.slideshare.net/nurdianabc41/semantik-dalam-bahasa-indonesia

Wikipedia. (2019). Semantik. Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia


bebas. https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Semantik&oldid=15228263

Zainuddin, Z. (2007). Konsep Semantik

Subroto, D. Edi. 2011. Pengantar Studi Semantik dan Pragmatik. Surakarta:


            Cakrawala Media.

Pateda, M. (2010). SEMANTIK LEKSIKAL. Jakarta: Rineka Cipta.

https://robita-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/robita.wordpress.com/2011/03/30/semantik-bahasa-
indonesia/amp/

https://www.google.com/amp/s/indriwahyuli.wordpress.com/2017/02/13/objek-dan-
ruang-lingkup-semantik/amp/

84
https://www.google.com/amp/s/bambangsantoso.wordpress.com/2013/04/02/semanti
k-pengertian-dan-objek-kajiannya/amp/

Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Parera, and Jos Daniel. 1991. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga.

Pateda, Mnasoer. 2001. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta: PT


Rineka Cipta. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Taib, and Rostina. 2012. Sintaksis. CV. Bina Nanggroe.

Verhaar. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Gajah Mada University Press.

Yasin, Sulkan, and Sunarto Hapsyono. 1990. Kamus Bahasa Indonesia Praktis Dan
Populer. Surabaya: Surabaya Mekar.

Aminuddin, 1985, Semantik Pengantar studi tentang makna, Malang: Sinar Baru


Algensid.
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Chaer, Abdul. 1994. Pengantar Linguistik Bahasa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta
Pateda, Mansoer. 1985. Semantik Leksikal. Jakarta : Rineka Cipta

Alegorinai. 2016. “Relasi Makna (Pengertian, Dan Jenis-Jenisnya).” Minimalism.


https://alegorinai.wordpress.com/2016/08/18/relasi-makna-pengertian-dan-jenis-
jenisnya/ (March 16, 2020).

“Bab 2-08205244082.Pdf.” http://eprints.uny.ac.id/9282/3/bab%202-


08205244082.pdf (March 17, 2020).

“BAB II.Pdf.” http://digilib.unila.ac.id/1470/8/BAB%20II.pdf (March 17, 2020).

http://kumpulanmateri123.blogspot.com/2013/08/makalah-semantik.html?m=1

https://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/hakikat-hakiki-kemerdekaan/metode-
analisis-komponen-makna/

https://alegorinai.wordpress.com/2016/08/18/relasi-makna-pengertian-dan-jenis-
jenisnya/

85
http://kumpulanmateri123.blogspot.com/2013/08/makalah-semantik.html?m=1

Abdul Chaer. 2002 . Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta : PT Rineke Cipta

http://kumpulanmateri123.blogspot.com/2013/08/makalah-semantik.html?m=1

http://tugas-rianti.blospot.com/2015/11/medan-makna-dan-komponen-makna.html?
m=1

Kamus Linguistik. 1997. Kuala Lumpur : Bahasa dan Pustaka

86
87

Anda mungkin juga menyukai