KRITIK GANZHEIT
Kelompok 1
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra oleh Ibu
dosen Yunita. El Risman, S.S, M.A.. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang Kritik Ghanzeit.
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yunita Sensei selaku dosen
pengampu mata kuliah Terjemahan Jepang-Indonesia. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Kelompok 1
2
DAFTAR ISI
Halaman Sampul............................................................................................................................1
Kata Pengantar...............................................................................................................................2
Daftar Isi.........................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................6
3.1 Kesimpulan.............................................................................................................................12
3.2 Saran.......................................................................................................................................12
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
karya sastra tidak boleh dinilai sama ratakan. Kritikus harus menggunakan sistem nilai yang
berbeda untuk setiap karya agar dapat secara komprehensif dapat mengangkat dan
menemukan keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya. Penggunaan patokan yang sama
untuk setiap karya sastra cenderung akan mengabaikan keunikan yang dimiliki sebuah karya
sastra.
5
BAB II
PEMBAHASAN
keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua
unsurnya (Ali dalam Heriyanto, 1985: 416). Sebuah kata tanpa disadari ada sebuah huruf
yang hilang atau salah cetak. Sebuah wajah secara intim sekali, tapi bila pada suatu saat
timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidup dari wajah tersebut secara tepat,
maka akan cukup kesulitan untuk mencoba merekonstruksi kembali bentuk-bentuk bibir
atau hidung yang dinyatakan tersebut. Bahkan kemungkinan besar akan gagal untuk
memenuhi permintaan itu. Padahal, sudah benar-benar kenal dengan wajah tersebut.
Kritik ganzheit mengacu pada totalitas yang terbentuk dari kesatuan elemen yang
akan membentuk kualitas baru. Totalitas yang dimaksud dengan totalitas di sini bukanlah
dari elemen yang disusun satu persatu melainkan penghayatan yang dilakukan secara
baru. Kualitas baru inilah yang akan ditangkap oleh pembaca sebagai dasar apresiasi,
Metode kritik seni Ganzheit sebenarnya telah dijalankan secara hampir sempurna
pada musik. Pada musik, penghayatan total lebih mudah terjadi karena elemen-elemen
musik adalah rangsang-rangsang "abstrak" yang tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu,
dalam menghadapi sebuah karya seni musik, orang secara spontan melakukan pendekatan
6
yang langsung menuju kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan elemen.
Sehingga demikian, terjadi sebuah interferensi dinamis dan baru sesudah selesai
mendengarkan seluruh lagu itu, dia berkata "aku suka" atau "aku tidak suka” (Arief
Prinsip kritik Ganzheit yaitu setiap penghayatan adalah proses rekreasi atau
penciptaan kembali karya sastra yang dihayati yang di mana setiap penghayatan
merupakan sebuah pertemuan dinamis antara manusia yang menghayati dengan objek
yang berusaha untuk dihayati, karya sastra di sini bukan lagi dianggap sebagai objek
tetapi sebagai subjek yang menolak prinsip analitik yang menempatkan karya sastra
sebagai objek belaka karena mengutamakan analisis sebelum penghayatan secara total.
Metode kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang
kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula sang kritikus membiarkan
karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadilah sebuah dialog,
sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subjek yang hidup di
dalamnya. Sebuah proses refleksi dan analisa. Elemen-elemen menjadi "terang dan jelas"
mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak
kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi
lahirlah sebuah kritik seni yang merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah
persengketaan antara seorang manusia dan sebuah karya seni. Sebuah percintaan atau
7
sebuah persengketaan. Ini berarti hanya karya-karya seni tertentu saja yang dapat
membuat sang kritikus tergerak. Ini berlainan sekali dengan metode kritik yang analitis.
Sebuah kritik sastra yang analitis dapat saja membuat kritik dan membanding-
bandingkannya dengan karya seni lain, karena dalam metode ini sudah ada konsepsi-
konsepsi universal yang dapat (dipaksakan) diterapkan kepada semua karya seni. Apalagi
dalam kritik sastra analitis sang kritikus bersikap pasif dalam partisipasinya secara penuh
sebagai pribadi dan merdeka. Sang kritikus aktif dalam menggunakan "alat-alat
bedahnya", tapi sangat kurang dalam melibatkan dirinya sendiri (Arief dalam Heriyanto,
1985: 425).
Jadi pada hakikatnya, metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang
mengembalikan kritik seni kepada manusia konkret dan menolak penggunaan alat-alat
yang memakai prinsip mekanis yang universal. Artinya metode ini menghilangkan kaidah
analisa per bagian dari suatu karya sastra namun secara umum. Metode Ganzheit dalam
kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui
dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit
Mohamad (Sutisna Adji) yang mengonsepkan bahwa karya sastra harus dipandang secara
keseluruhan. Ganzheit dalam istilah lain adalah suasana hati penyair maupun pengarang.
Berdasarkan teori Ganzheit tersebut, Goenawan mengkritik karya sastra kumpulan puisi
milik Sapardi Djoko Damono. Tipe kritik Goenawan adalah kritik ekspresif. Dalam kritik
ekspresif, yang menjadi subyek bukan karya sastra melainkan sastrawan. Keseluruhan
8
atau Ganzheit dari suasana hati sastrawan. Hal ini yang membedakan dengan metode
dengan analisis yang menyeluruh, kemudian Goenawan mengupas satu persatu sajak
yang terdapat pada kumpulan puisi Sapardi sebagai bagian dari suasana hati. Dalam
besar yang utuh sebagai gambaran dari suasana hati yang dibicarakan. Analisis dapat
SIAPA AKU
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernapas di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah-celah kataku
Mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
Siapa Aku
(1968)
9
Sajak tersebut adalah salah satu sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko
Damono. Kendati pertanyaan besar “siapa aku” sering kita jumpai, dengan segala
pretensi kefilsafatan ataupun ketasawufan semacam banyak yang terkandung dalam
pelbagai karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan puncak
kegelisahan di tengah misteri. Tak ada tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap
sesuatu yang kejang meraih jawaban: baris demi baris tidak sekedar resah yang menuju
ke arah klimaks. Setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara
keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul vokal “u” pada
setiap ujung dan pertanyaan itu belum terjawab, hanya berakhir dengan kekosongan yang
sama. Dan tanda pun akan terasa sebagai sesuatu yang berlebihan. Adakah kita sia-
sia? (Goenawan dalam Pradopo, 2002: 352)
Contoh kedua adalah analisis puisi dengan metode Ganzheit berjudul Apakah
Maknanya karya Sutan Takdir Alisjahbana.
APAKAH MAKNANYA
Ani, Aniku, di mana Engkau?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Ke mana melangkah engkau mengikut.
Ani, Ani, mari ke mari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?
Ya Allah, ya Tuhanku,
Langkah lekas kau ambil,
Kau renggutkan dari sisiku.
Apakah dosa maka begini,
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?
10
20 April 1935
(Alisjahbana, 2008: 4)
Sebuah karya puisi yang begitu menyentuh, puisi STA berjudul Apakah
Maknanya menggambarkan suasana hati kehilangan mendalam yang dialami pengarang.
Puisi tersebut adalah puncak kesedihan berpulangnya sosok istri yang sangat dicinta. Dua
bait pertama menggambarkan pencarian yang sia-sia tanpa arti. Ketidakridaan pengarang
dalam bait berikutnya menimbulkan keegoisan dan ketidakrealistisannya dalam hidup.
Pikiran dan batinnya semakin kacau dengan gambaran kalimat pada bait terakhir yang ia
tanyakan ‘apakah dosa’ yang menganggap bahwa kehilangan adalah sebuah hukuman
terberat dari Tuhan. Dominasi bunyi vokal “u” dan “i” mengakibatkan puisi tersebut
tampak riang dan berupaya untuk menghibur diri dan tegar akan takdir yang terjadi.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengembalikan kritik
seni kepada manusia konkret dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip
mekanis yang universal. Artinya metode ini menghilangkan kaidah analisa per bagian
dari suatu karya sastra namun secara umum. Penerapan metode Ganzheit dilakukan
dengan menyoroti secara menyeluruh karya sastra secara ekspresif untuk mendapatkan
3.2 Saran
12