Anda di halaman 1dari 12

Makalah Kritik Sastra

KRITIK GANZHEIT

Kelompok 1

BAU SHAFIRA ARMANSYAH F081191021


CHANDRA NURCHOLIS MAGIS F081171312
DAFFA SATRIA ALFAETAR F081191056
ISTIANAH F081191014
RISMAN AMALA FITRA F081191012
UWAIS AL QARNY ZAQLUL F081181014

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Puji syukur atas rahmat Allah SWT,


berkat rahmat serta karunia-Nya sehingga makalah dengan berjudul ‘Kritik Ghanzeit’ dapat
selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas mata kuliah Kritik Sastra oleh Ibu
dosen Yunita. El Risman, S.S, M.A.. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang Kritik Ghanzeit.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Yunita Sensei selaku dosen
pengampu mata kuliah Terjemahan Jepang-Indonesia. Berkat tugas yang diberikan ini, dapat
menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang
pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari
pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Makassar, 5 September 2022


Penulis

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

Halaman Sampul............................................................................................................................1

Kata Pengantar...............................................................................................................................2

Daftar Isi.........................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................4

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................................5

1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................6

2.1 Definisi Kritik Ganzheit...........................................................................................................6

2.2 Metode Kritik Ganzheit............................................................................................................8

BAB III PENUTUP....................................................................................................................12

3.1 Kesimpulan.............................................................................................................................12

3.2 Saran.......................................................................................................................................12

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada dasarnya, setiap pembaca karya sastra adalah kritikus sastra. Setelah membaca,
mendengar, atau menonton pertunjukkan sastra, dalam diri seseorang akan muncul penilaian
mengenai baik buruknya karya yang dinikmatinya tersebut. Jika tidak, sekurang-kurangnya,
dalam dirinya akan muncul perasaan suka atau tidak. Apalagi apabila disertai dengan uraian
yang lebih rinci mengenai bagian-bagian tertentu yang dia senangi atau yang sebaliknya.
Inilah penilaian, inilah kritik. Akan tetapi, orang-orang seperti itu tidak dapat dikategorikan
sebagai kritikus karena dia tidak mempublikasikan hasil penilaiannya itu. Jadi, untuk disebut
kritikus, hasil penilaian seseorang mengenai karya sastra itu harus disampaikan kepada
kalangan yang luas.
Walaupun demikian, kritik sastra yang diumumkan itu memerlukan tanggung jawab
yang lebih. Penilaian baik atau buruknya sebuah karya sastra harus didasarkan pada dasar
pertimbangan yang logis dan harus dapat diterima oleh orang lain. Dalam hal inilah letaknya
perbedaan antara kritik sastra yang tidak dipublikasi dengan kritik sastra yang dipublikasi.
Untuk itu, seorang kritikus sastra dituntut memiliki pengetahuan yang cukup mengenai teori,
metode, dan karya sastra itu sendiri yang merupakan objek kritik dari sastra.
Berkenaan dengan teori kritik sastra di Indonesia, dikenal ada dua aliran kritik, yaitu
kritik Rawamangun dan kritik Ganzheit. Kritik Rawamangun adalah teori kritik yang
berkembang pada lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan tokohnya yang
terkenal di antaranya adalah M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, J.U. Nasution, dan S. Effendi.
Pada pihak lain, kritik Ganzheit dengan Arief Budiman dan Goenawan Mohamad sebagai
tokohnya.
Kritik sastra Ganzheit adalah kritik sastra yang memandang setiap karya sastra
sebagai sesuatu yang unik, khas, dan memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu,

4
karya sastra tidak boleh dinilai sama ratakan. Kritikus harus menggunakan sistem nilai yang
berbeda untuk setiap karya agar dapat secara komprehensif dapat mengangkat dan
menemukan keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya. Penggunaan patokan yang sama
untuk setiap karya sastra cenderung akan mengabaikan keunikan yang dimiliki sebuah karya
sastra.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa Definisi dari Kritik Sastra Metode Ganzheit?

1.2.2 Bagaimana Penerapan Metode Ganzheit pada Karya Sastra?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Mengetahui Definisi Kritik Sastra Metode Ganzheit.

1.3.2 Mengetahui Penerapan Metode Ganzheit pada Karya Sastra.

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Metode Kritik Ganzheit

Metode Ganzheit aliran psikologi Gestalt menyatakan bahwa suatu

keseluruhan/totalitas memiliki kualitas baru yang tidak sama dengan jumlah semua

unsurnya (Ali dalam Heriyanto, 1985: 416). Sebuah kata tanpa disadari ada sebuah huruf

yang hilang atau salah cetak. Sebuah wajah secara intim sekali, tapi bila pada suatu saat

timbul pertanyaan bagaimana bentuk bibir atau hidup dari wajah tersebut secara tepat,

maka akan cukup kesulitan untuk mencoba merekonstruksi kembali bentuk-bentuk bibir

atau hidung yang dinyatakan tersebut. Bahkan kemungkinan besar akan gagal untuk

memenuhi permintaan itu. Padahal, sudah benar-benar kenal dengan wajah tersebut.

Kritik ganzheit mengacu pada totalitas yang terbentuk dari kesatuan elemen yang

akan membentuk kualitas baru. Totalitas yang dimaksud dengan totalitas di sini bukanlah

dari elemen yang disusun satu persatu melainkan penghayatan yang dilakukan secara

keseluruhan unsur-unsur saling mempengaruhi yang akhirnya membentuk suatu kualitas

baru. Kualitas baru inilah yang akan ditangkap oleh pembaca sebagai dasar apresiasi,

resepsi dan kemudian bentuk kritik.

Metode kritik seni Ganzheit sebenarnya telah dijalankan secara hampir sempurna

pada musik. Pada musik, penghayatan total lebih mudah terjadi karena elemen-elemen

musik adalah rangsang-rangsang "abstrak" yang tidak berdiri sendiri. Oleh karena itu,

dalam menghadapi sebuah karya seni musik, orang secara spontan melakukan pendekatan

6
yang langsung menuju kepada penghayatan total dan bukan melalui penghayatan elemen.

Sehingga demikian, terjadi sebuah interferensi dinamis dan baru sesudah selesai

mendengarkan seluruh lagu itu, dia berkata "aku suka" atau "aku tidak suka” (Arief

dalam Heriyanto, 1985: 420).

Prinsip kritik Ganzheit yaitu setiap penghayatan adalah proses rekreasi atau

penciptaan kembali karya sastra yang dihayati yang di mana setiap penghayatan

merupakan sebuah pertemuan dinamis antara manusia yang menghayati dengan objek

yang berusaha untuk dihayati, karya sastra di sini bukan lagi dianggap sebagai objek

tetapi sebagai subjek yang menolak prinsip analitik yang menempatkan karya sastra

sebagai objek belaka karena mengutamakan analisis sebelum penghayatan secara total.

Metode kritik Ganzheit merupakan suatu proses partisipasi aktif dari sang

kritikus terhadap karya seni yang dihadapinya. Mula-mula sang kritikus membiarkan

karya seninya secara merdeka berbicara sendiri. Kemudian terjadilah sebuah dialog,

sebuah pertemuan, sebuah interferensi dinamis antara kedua subjek yang hidup di

dalamnya. Sebuah proses refleksi dan analisa. Elemen-elemen menjadi "terang dan jelas"

dalam hubungannya dengan penyatuan keseluruhan tersebut. Elemen-elemen itu

mendapatkan nilainya dari penyatuan total tersebut. Elemen-elemen yang tadinya tampak

kaku-beku, setelah terjadi sebuah interferensi dinamis, seakan-akan mencair dan menjadi

hidup penuh warna-warni (Arief dalam Heriyanto, 1985: 424-425).

Pada saat sang kritikus menuliskan pengalaman-pengalamannya ini, maka

lahirlah sebuah kritik seni yang merupakan hasil sebuah percintaan atau sebuah

persengketaan antara seorang manusia dan sebuah karya seni. Sebuah percintaan atau

7
sebuah persengketaan. Ini berarti hanya karya-karya seni tertentu saja yang dapat

membuat sang kritikus tergerak. Ini berlainan sekali dengan metode kritik yang analitis.

Sebuah kritik sastra yang analitis dapat saja membuat kritik dan membanding-

bandingkannya dengan karya seni lain, karena dalam metode ini sudah ada konsepsi-

konsepsi universal yang dapat (dipaksakan) diterapkan kepada semua karya seni. Apalagi

dalam kritik sastra analitis sang kritikus bersikap pasif dalam partisipasinya secara penuh

sebagai pribadi dan merdeka. Sang kritikus aktif dalam menggunakan "alat-alat

bedahnya", tapi sangat kurang dalam melibatkan dirinya sendiri (Arief dalam Heriyanto,

1985: 425).

Jadi pada hakikatnya, metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang

mengembalikan kritik seni kepada manusia konkret dan menolak penggunaan alat-alat

yang memakai prinsip mekanis yang universal. Artinya metode ini menghilangkan kaidah

analisa per bagian dari suatu karya sastra namun secara umum. Metode Ganzheit dalam

kritik seni adalah metode yang mengakui keunikan tiap-tiap ciptaan seni dan mengakui

dunia merdeka yang hidup dari manusia-manusia yang menghayati. Metode Ganzheit

dalam kritik seni sebagai interferensi dinamis dari keduanya.

2.2 Metode Kritik Ganzheit pada Karya Sastra

Sastrawan yang menggunakan metode kritik Ganzheit adalah Goenawan

Mohamad (Sutisna Adji) yang mengonsepkan bahwa karya sastra harus dipandang secara

keseluruhan. Ganzheit dalam istilah lain adalah suasana hati penyair maupun pengarang.

Berdasarkan teori Ganzheit tersebut, Goenawan mengkritik karya sastra kumpulan puisi

milik Sapardi Djoko Damono. Tipe kritik Goenawan adalah kritik ekspresif. Dalam kritik

ekspresif, yang menjadi subyek bukan karya sastra melainkan sastrawan. Keseluruhan

8
atau Ganzheit dari suasana hati sastrawan. Hal ini yang membedakan dengan metode

strukturalisme yang berperspektif obyektif (karya sastra itu sendiri).

Setelah mengupas mengenai keseluruhan kumpulan sajak secara keseluruhan,

dengan analisis yang menyeluruh, kemudian Goenawan mengupas satu persatu sajak

yang terdapat pada kumpulan puisi Sapardi sebagai bagian dari suasana hati. Dalam

analisisnya, Goenawan tidak menganalisis secara analitik melainkan mengambil satuan

besar yang utuh sebagai gambaran dari suasana hati yang dibicarakan. Analisis dapat

berupa bunyi dalam sajak namun hanya inti saja.

Contoh analisis metode Ganzheit antara lain sebagai berikut

SIAPA AKU
Siapa menggores di langit biru
Siapa meretas di awan lalu
Siapa mengkristal di kabut itu
Siapa mengertap di bunga layu
Siapa cerna di warna ungu
Siapa bernapas   di detak waktu
Siapa berkelebat setiap kubuka pintu
Siapa mencair di bawah pandangku
Siapa terucap di celah-celah kataku
Mengaduh di bayang-bayang sepiku
Siapa tiba menjemput berburu
Siapa tiba-tiba menyibak cadarku
Siapa meledak dalam diriku
Siapa Aku

(1968)

9
 Sajak tersebut adalah salah satu sajak yang paling orisinal dari Sapardi Djoko
Damono. Kendati pertanyaan besar “siapa aku” sering kita jumpai, dengan segala
pretensi kefilsafatan ataupun ketasawufan semacam banyak yang terkandung dalam
pelbagai karya mistik Jawa, dalam sajak tersebut pertanyaan itu lebih merupakan puncak
kegelisahan di tengah misteri. Tak ada  tanda tanya sebuah pun di sana, tetapi ia tetap
sesuatu yang kejang meraih jawaban: baris demi baris tidak sekedar resah yang menuju
ke arah klimaks. Setiap kali langkah itu terasa kaget dan termangu: kita dengar suara
keras konsonan-konsonan yang kemudian tiba-tiba tersentak, disusul vokal “u” pada
setiap ujung dan pertanyaan itu belum terjawab, hanya berakhir dengan kekosongan yang
sama. Dan tanda pun akan terasa sebagai sesuatu yang berlebihan. Adakah kita sia-
sia?   (Goenawan dalam Pradopo, 2002: 352)

Contoh kedua adalah analisis puisi dengan metode Ganzheit berjudul Apakah
Maknanya karya Sutan Takdir Alisjahbana.

APAKAH MAKNANYA
Ani, Aniku, di mana Engkau?
Suaramu masih kudengar,
Rupamu masih kulihat,
Ke mana melangkah engkau mengikut.
Ani, Ani, mari ke mari!
Kamas hendak meninjau matamu,
Setia dalam melihat padaku,
Mana suaramu, mana gelakmu?
Ya Allah, ya Tuhanku,
Langkah lekas kau ambil,
Kau renggutkan dari sisiku.
Apakah dosa maka begini,
Apa maknanya, apa gunanya,
Ganas demikian menimpa diri?

10
20 April 1935
(Alisjahbana, 2008: 4)
Sebuah karya puisi yang begitu menyentuh, puisi STA berjudul Apakah
Maknanya  menggambarkan suasana hati kehilangan mendalam yang dialami pengarang.
Puisi tersebut adalah puncak kesedihan berpulangnya sosok istri yang sangat dicinta. Dua
bait pertama menggambarkan pencarian yang sia-sia tanpa arti. Ketidakridaan pengarang
dalam bait berikutnya menimbulkan keegoisan dan ketidakrealistisannya dalam hidup.
Pikiran dan batinnya semakin kacau dengan gambaran kalimat pada bait terakhir yang ia
tanyakan ‘apakah dosa’ yang menganggap bahwa kehilangan adalah sebuah hukuman
terberat dari Tuhan. Dominasi bunyi vokal “u” dan “i” mengakibatkan puisi tersebut
tampak riang dan berupaya untuk menghibur diri dan tegar akan takdir yang terjadi.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Metode Ganzheit dalam kritik seni adalah metode yang mengembalikan kritik

seni kepada manusia konkret dan menolak penggunaan alat-alat yang memakai prinsip

mekanis yang universal. Artinya metode ini menghilangkan kaidah analisa per bagian

dari suatu karya sastra namun secara umum. Penerapan metode Ganzheit dilakukan

dengan menyoroti secara menyeluruh karya sastra secara ekspresif untuk mendapatkan

gambaran suasana hati pengarang.

3.2 Saran

Dalam menerapkan kritik, kritikus benar-benar harus memperhatikan aspek-aspek


yang dititikberatkan pada orientasi sastrawan dan karyanya. Kritik yang dilakukan tidak
perlu secara mendalam. Demikian halnya dengan penerapan metode Ganzheit,
hendaknya dilakukan secara totalitas dengan pendekatan ekspresif untuk mengetahui
suasana hati yang tercurah ke dalam sebuah karya sastra.

12

Anda mungkin juga menyukai