Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS PERBANDINGAN DEKONSTRUKSI SIMBOLISME DALAM

CERPEN “KARANGAN BUNGA DARI MENTERI” KARYA SENO


GUMIRA AJIDARMA DAN CERPEN “ULAT DALAM SEPATU” KARYA
GUS TF SAKAI

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai perbandingan cerita pendek (cerpen)
“Karangan Bunga dari Menteri ” karya Seno Gumira Ajidarma dan cerpen
“Ulat dalam Sepatu” karya Gus TF Sakai dengan menggunakan teori
dekonstruksi Derrida. Dekonstruksi adalah metode membaca teks sangat
hati-hati sehingga perbedaan penemuan konseptual oleh penulis yayasan teks
tampak konsisten dan paradoks dalam penggunaan konsep dalam teks secara
keseluruhan. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan teks untuk
memiliki multi makna. Teks sastra dipandang sebagai sangat kompleks. Seno
dan Gus mengandalkan pemahaman berbeda mengenai simbolisme yang hadir
dalam cerpennya masing-masing di luar struktur ceritanya sendiri sehingga
membuat cerpen mereka menjadi lebih unik dan menarik. Sebagai objek
dekonstruksi, kedua cerpen ini sarat akan unsur sindiran maupun kritikan
terhadap pemerintahan yang disajikan dengan cara yang cukup halus namun
terbuka.

Kata kunci: perbandingan, dekonstruksi, simbol, cerpen

PENDAHULUAN
Sebagai cerminan kehidupan masyarakat, karya sastra merupakan dunia subjektivitas
yang diciptakan oleh pengarang. Di dalamnya terdapat berbagai aspek kehidupan yang satu
sama lainnya saling berkaitan. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek psikologis, sosiologis,
filsafat, budaya dan agama. Berbagai aspek ini tidak lepas dari pengarang sebagai pusat
penciptaan sebuah karya sastra.
Kehidupan dunia sastra yang terus berkembang dari masa ke masa terus mendapat
perhatian dengan banyaknya penelitian-penelitian terhadap karya sastra. Sayangnya hingga
saat ini penelitian karya sastra masih cenderung berat sebelah. Maksudnya, kebanyakan
penelitian masih terbatas pada teks sastra, sehingga hasil penelitian cenderung bersifat
deskriptif belaka. Wajah penelitian sastra semacam ini dapat dikatakan mendewakan
hadirnya penelitian instrinsik, yaitu upaya membedah karya sastra itu sendiri. Penelitian
model ini lebih mengarah kepada kepentingan sastra untuk sastra.
Pemahaman karya lewat karya itu sendiri memang bukan hal yang salah, namun ada
unsur di luar sastra yang patut pula dipertimbangkan yaitu unsur ekstrinsik. Di Indonesia,
penelitian ekstrinsik terhadap karya sastra yang berkembang kebanyakan masih di seputar
sosiologi sastra dan atau strukturalisme genetik. Padahal, masih banyak aspek lain yang dapat
dikaitkan dengan penelitian seperti filsafat, politik, postmodern, dekonstruksi dan lain
sebagainya.
Karya sastra merupakan tumpahan ide dan pemikiran juga pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Oleh karena itu penelitian sastra melalui kajian
ekstrinsik tentunya tidak terlepas dari pengarang karya sastra tersebut. Tentunya setiap
pengarang memiliki ciri khas masing-masing dalam menyampaikan ide, pemikiran dan
pesannya. Dalam hal ini, sastra bandingan dianggap menjadi kajian akademik yang menarik
untuk dilakukan sebuah penelitian sastra.
Endraswara (2003: 128-129) mendefinisikan sastra perbandingan sebagai wilayah
keilmuan sastra yang mempelajari keterkaitan antar sastra dan perbandingan sastra dengan
bidang lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang
menjadi bagian dari pengarang lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena
mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
Dalam kajian sastra bandingan, selalu diperlukan kaidah-kaidah teoritis yang
berhubungan dengan ilmu sastra. Di samping itu, sastra bandingan juga dimungkinkan
membandingkan antara sastra dengan bidang lain yang relevan seperti sejarah, filsafat,
agama, dan sebagainya. Kedua belah pihak kadang-kadang saling mendukung, ada titik temu,
dan sebaliknya juga ada yang berseberangan.
Mengingat perlunya kaidah-kaidah teoritis dalam penelitian sastra bandingan, penulis
memilih mengkaji karya sastra dari sisi ekstrinsik berdasarkan teori dekonstruksi.
Dekonstruksi merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh seorang filsuf Perancis
bernama Jacques Derrida yang lahir di Aljazair pada tahun 1930. Sarup (2008: 49)
menjelaskan teori dekonstruksi menurut Derrida merupakan sebuah metode membaca teks
secara sangat cermat hingga pembedaan konseptual hasil ciptaan penulis yang menjadi
landasan teks tersebut tampak tidak konsisten dan paradoks dalam menggunakan konsep-
konsepnya dalam teks secara keseluruhan. Teks tersebut dikatakan gagal memenuhi
kriterianya sendiri; standar atau definisi yang dibangun teks digunakan secara reflektif untuk
mengguncang dan menghancurkan pembedaan konseptual awal teks itu.
Dekonstruksi memang berpusat pada teks, namun paham yang dipegang lebih luas.
Teks tidak dibatasi maknanya. Kehadiran dekonstruksi telah memungkinkan sebuah teks
memiliki multi makna. Multi makna biasanya lahir dari banyaknya pemahaman dari simbol-
simbol yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Nama Seno Gumira Ajidarma dan Gus TF Sakai di dunia sastra khususnya cerpen
memang sudah tidak asing lagi. Seno dan Gus merupakan pengarang cerpen yang sudah
memiliki banyak karya terkenal yang ditebitkan secara nasional. Kedua pengarang ini sama-
sama sering menghadirkan simbol-simbol penyampai ide, pemikiran dan pesan dalam karya
sastranya. Seperti halnya Seno dalam cerpennya “Karangan Bunga dari Menteri”
menghadirkan simbol berupa karangan bunga, sedangkan Gus menghadirkan simbol berupa
sepatu yang penuh ulat dalam cerpennya “Ulat dalam sepatu”. Hal menariknya, kedua
pengarang ini sama-sama menyuguhkan latar pemerintahan dengan simbol-simbol sebagai
ide penceritaan sehingga kedua cerpen inilah yang nantinya akan dikaji.
Secara umum, alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan latar belakang
kedua pengarang yang sama-sama sudah memiliki nama di dunia cerpen nasional. Tentunya
tidak menutup kemungkinan apabila antara satu sama lain saling memberi pengaruh dalam
kepenulisan cerpennya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis akan
mempersembahkan sebuah karya tulis dengan judul “Analisis Perbandingan Simbolisme
dalam Cerpen “Karangan Bungan dari Menteri” Karya Seno Gumira Ajidarma dan Cerpen
“Ulat dalam Sepatu” Karya Gus TF Sakai”.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Karangan Bunga
dari Menteri” karya Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen yang berjudul “Ulat dalam
sepatu” karya Gus TF Sakai. Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma termuat dalam harian
nasional “Kompas” dan juga diposting ke dalam sebuah blog yang memuat cerpen-cerpen
yang pernah diterbitkan dalam harian tersebut, sedangkan cerpen karya Gus TF Sakai termuat
dalam buku Sastrawan Bicara Siswa Bertanya yang diterbitkan oleh Majalah Sastra Horison.
Metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif.
Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra
(cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengkaji
mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara dua karya terlebut.
Lebih khususnya lagi, titip mirip yang menjadi tinjauan bukanlah dari sisi intrinsik cerpen,
melainkan dari sisi ekstriksik berupa dekonstruksi. Selanjutnya pengkaji menentukan gejala-
gejala kemiripan yang terjadi dengan cara penafsiran tersendiri dengan data-data yang
mendukung.
PENDEKATAN
Kajian ini akan membahas mengenai karya sastra berupa cerpen yang ditinjau dari
segi dekonstruksi. Dekonstruksi dalam kajian ini pun difokuskan pada simbol-simbol yang
ada dalam cerpen. Ada dua cerpen yang dikaji untuk selanjutnya dibandingkan atau yang
biasa disebut tinjauan sastra bandingan.
Konsep Sastra Bandingan
Sastra bandingan adalah suatu kajian yang mempelajari hubungan timbal balik karya
sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama
pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Studi ini merupakan upaya
interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan
tempat. Dilihat dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingankan dua atau lebih
periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut
wilayah geografis sastra.
Sastra bandingan, menurut Giffod (dalam Endraswara, 2003:128) merupakan kajian
yang berupa eksplorasi perubahan (vicissitude), penggantian (alternation), pengembangan
(development), dan perbedaan timbal balik di antara dua karya sastra atau lebih. Sastra
bandingan akan terkait dengan ihwal tema dan ide sastra. Berarti studi ini merupakan
penelitian sastra yang tidak gersang dan membosankan, sebab di dalamnya banyak hal yang
menggelitik.
Endraswara (2003: 129-140) memaparkan berbagai hal terkait dengan sastra
bandingan sebagai berikut. Tujuan sastra bandingan terbagi menjadi enam, antara lain
sebagai berikut. Pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan
atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra. Kedua, untuk menentukan
makna karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan
sastra. Ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu lebih hebat
dibanding karya sastra nasional yang lain. Dalam kaitan ini karya sastra dipandang memiliki
kedudukan yang setingkat. Keempat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam
karya sastra satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk melihat buah pikiran
kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-
konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dari
negara-negara dan keindahan karya sastra.
Pada dasarnya, studi sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity
(pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2)
pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lainnya dan
sebaliknya. Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi,
antara lain: (1) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya, pengarang
sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya; (2) membandingkan karya
sastra dengan bidang lain seperti arsitektur, pengobatan tradisional, tahayul, dan seterusnya;
dan (3) kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra.
Studi sastra bandingan yang menyangkut dua karya sastra atau lebih hendaknya
menekankan pada empat hal, yaitu pengaruh, penetrasi, dan popularitas. Pengaruh adalah
daya dukung pengarang atau karya sastra pada suatu negara kepada karya lain. Pengaruh ini
merupakan hal paling sentral dalam kajian sastra bandingan. Penetrasi yaitu perembesan
pengaruh satu karya sastra ke dalam karya sastra lain. Adapun popularitas dan reputasi
menyangkut kemashuran nama seorang pengarang dan karyanya.
Sastra bandingan juga dapat meliputi aspek pengaruh, sumber ilham (acuan), proses
pengambilan ilham atau pengaruh itu, dan tema dasar. Dalam kaitannya ini, ada empat
kelompok kajian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan yaitu (1) kategori
yang melihat hubungan karya satu dengan karya yang lainnya, dengan menelusuri juga
kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap karya yang lain (termasuk di sini adalah
interdisipliner dalam sastra bandingan seperti filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya); (2)
ketegori yang mengkaji tema karya sastra; (3) kajian terhadap gerakan atau kecenderungan
yang menandai suatu peradaban; dan (4) analisis bentuk (genre) karya sastra.
Secara garis besar sastra bandingan dapat dibedakan menjadi dua golongan bentuk
kajian, yaitu (1) kajian persamaan dan (2) kajian konsep pengaruh. Kajian persamaan
menjawab masalah alasan ataupun penyebab terjadinya kesamaan (sengaja atau
ketidaksengajaan). Konsep pengaruh membahas mengenai anggapan bahwa suatu karya dapat
terlahir atas pengaruh karya sebelumnya yang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu (1)
perkembangan karir pengarang, (2) proses penciptaan pengarang, dan (3) tradisi atau budaya
pengarang.
Konsep Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi dikemukakan oleh Jacques Derrida, seorang filusuf Perancis yang
lahir di Aljazair pada tahun 1930. Dekonstruksi pada awalnya adalah cara atau metode
membaca teks. Adapun yang khas dalam cara baca dekonstruktif, sehingga pada
perjalanannya selanjutnya dia sangat bermuatan filosofis adalah unsur-unsur yang dilacaknya
untuk kemudian dibongkar, pertama-tama bukanlah inkonsistensi logis, argumen yang lemah,
ataupun presmis yang tidak akurat yang terdapat dalam teks, sebagaimana yang biasanya
dilakukan pemikiran modernisme, melainkan unsur yang secarafilosofis menjadi penentu atau
unsur yang memungkinkan teks tersebut menjadi filosofis (Norris, 2003: 12).
Tujuan yang diinginkan metode dekonstruksi ialah menunjukkan ketidakberhasilan
upaya penghadiran kebenaran absolut. Ia berusaha menelanjangi agenda tersembunyi yang
mengandung banyak kelemahan dan kepincangan di balik teks-teks. Langkah-langkah
dekonstruksi terbagi manjadi tiga sebagai berikut. Pertama, mengidentifikasi hierarki oposisi
dalam teks di mana biasanya terlihat peristilahan mana yang diistimewakan secara sistematis
dan yang mana yang tidak. Kedua, oposisi-oposisi itu dibalik dengan menunjukkan adanya
saling ketergantungan di antara yang saling bertentangan atau privilisenya dibalik. Ketiga,
memperkenalkan sebuah istilah atau gagasan baru yang ternyata tidak bisa dimasukkan ke
dalam kategori oposisi lama.
Cara baca Derrida atas teks-teks filosofis adalah cara yang hendak melacak struktur
dan strategi pembentukan makna di balik tiap teks itu, antara lain dengan jalan membongkar
sistem perlawanan-perlawanan utama yang tersembunyi di dalamnya. Pembacaan
dekonstruktif lalu hendak menunjukkan ketidakberhasilan ambisi filsafat untuk lepas dari
tulisan, yaitu menunjukkan agenda tersembunyi yang mengandung banyak kelemahan dan
kepincangan di balik teks-teks. Oleh karena itu, Derrida meyakini bahwa di balik teks
filosofis yang terdapat bukanlah kekosongan, melainkan sebuah teks lain. Suatu jaringan
keragaman kekuatankeuatan yang pusat referensinya tidak jelas.
Tugas dekonstruksi menurut Derrida adalah untuk menghilangkan ide-ide ilusif yang
selama ini menguasai metafisika barat yaitu ide yang mengatakan rasio bisa lepas dari bahasa
dan sampai kepada kebenaran, atau metode murni yang otentik dalam dirinya sendiri tanpa
bantuan yang lain. Dekonstruksi Derrida ingin memerdekakan kembali kekuatan bahasa
dengan memaksimalkan permainan tanda yang kurang banyak mendapat perhatian dari kaum
strukturalis dan bahkan cenderung dihindari. Derrida selalu melihat bahasa sebagai medan di
mana makna dan tanda berebut untuk tampil ke permukaan teks.
Menurut teori bahasa Derrida, penanda (signifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Petanda dan penanda tidak berkorespondesi satu-satu. Menurut pemikiran
Saussure, tanda dilihat sebagai satu kesatuan, tetapi menurut Derrida, pada kenyataannya kata
dan benda atau pemikiran tidak pernah menjadi satu. Derrrida melihat tanda sebagai struktur
perbedaan: sebagian darinya selalu “tidak di sana”, dan sebagian yang lain selalu “bukan
yang itu”. Dengan kata lain, Derrida mengatakan ketika membaca suatu penanda, makna
tidak serta merta menjadi jelas. Penanda menunjuk apa yang tidak ada, maka dalam arti
tertentu makna juga tidak ada. Makna terus menerus bergerak di sepanjang mata rantai
penanda, dan tidak dapat dipastikan “posisi” persisinya, karena makna tidak pernah terikat
pada satu tanda tertentu. Makna tidak pernah identik dengan dirinya sendiri karena muncul
pada konteks yang berbeda-beda, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama.
makna tidak akan pernah sama dari satu konteks ke konteks yang lain. Petanda akan selalu
diubah oleh berbagai macam mata rantai yang menjeratnya (Sarup, 2008: 47).
Konsep Simbol
Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari bahasa Yunani “sym-ballein” yang
berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide. Biasanya
simbol terjadi berdasarkan metonimi (metonimy), yakni nama untuk benda lain yang
berasosiasi atau yang menjadi atributnya (misalnya Si kaca mata untuk seseorang yang
berkacamata) dan metafora (metaphor), yaitu pemakaian kata atau ungkapan lain untuk
objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan (misalnya kaki gunung, kaki meja,
berdasarkan kias pada kaki manusia) (Kridalaksana, 2001:136-138).
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia karangan WJS Poerwadarminta disebutkan,
simbol atau lambang adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya,
yang menyatakan suatu hal, atau mengandung maksud tertentu. Misalnya warna putih
merupakan lambang kesucian, lambang padi merupakan lambang kemakmuran, dan kopiah
merupakan salah satu tanda pengenal bagi warga negara Republik Indonesia. Simbol adalah
bentuk yang menandai sesuatu yang lain di luar perwujudan bentuk simbolik itu sendiri.
Simbol yang tertuliskan sebagai bunga, misalnya, mengacu dan mengemban gambaran fakta
yang disebut “bunga” sebagai sesuatu yang ada di luar bentuk simbolik itu sendiri (Sobur.
2009: 156).
Simbol tidak dapat disikapi secara isolatif, terpisah dari hubungan asosiatifnya dengan
simbol lainnya. Walaupun demikian, berbeda dengan bunyi, simbol telah memiliki kesatuan
bentuk dan makna. Berbeda pula dengan tanda (sign), simbol merupakan kata atau sesuatu
yang bisa dianalogikan sebagai kata yang telah terkait dengan (1) penafsiran pemakain, (2)
kaidah pemakaian sesuai dengan jenis wacananya, dan (3) kreasi pemberian makna sesuai
dengan intensi pemakainya.
SINOPSIS
Sinopsis Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” Karya Seno Gumira Ajidarma
Seorang wanita separuh baya bernama Siti merasakan mual dan ingin muntah, namun
tak ada sedikitpun isi perutnya yang bisa ia muntahkan. Hal yang membuat ia ingin muntah
adalah kisah kehidupan seorang menteri yang seolah mewaliki kehidupan menteri-menteri
pada umumnya. Siti yang pernah diajari cara menulis naskah ketika masih SMU
menggambarkan adegan di kantor seorang menteri.
Dalam penggambaran Siti, ada seorang sekretaris tua yang sudah bekerja melayani
lima orang yang silih berganti menduduki jabatan sebagai menteri. Ia membawa tumpukan
surat yang sudah dipilahnya ke ruangan menteri. Menteri pun kesal melihat surat-surat yang
kebanyakan berupa surat undangan perkawinan. Ia kesal karena terlalu sering mendapat surat
undangan perkawinan dari orang-orang yang bukan saudara dan bukan pula sahabat ataupun
kerabat. Orang-orang yang ia tidak kenal baik. Sang menteri merasa bahwa hadir ke dalam
pesta perkawinan bukanlah sesuatu hal yang penting dibandingkan ia yang harus lembur
dengan tugas-tugas kementriannya. Sang menteri kemudian menyuruh sekretarisnya untuk
mengirimkan karangan bunga kepada orang-orang yang telah mengundangnya sebagai ganti
kehadirannya. Di sisi lain, orang-orang yang menerima karangan bunga itu pun merasa amat
bangga dan sengaja dipamer-pamerkan kepada setiap tamu yang datang. Ternyata, hal itu
pula lah yang dilakukan oleh suami Siti ketika acara pernikahan anak mereka.
Sinopsis Cerpen “Ulat dalam Sepatu” Karya Gus TF Sakai
Seorang lelaki tukang ukir bernama Khairul Safar mendapat undangan dari panitia
pameran di Jakarta. Namun, ia tidak memiliki dana untuk dapat berangkat ke Jakarta.
Kemudian, Pak Hasril menyarankannya untuk mengajukan dana kepada pihak pemda atau
gubernur. Beberapa kali ia datang ke kantor gubernur namun pegawainya mengatakan bahwa
atasannya (pejabat) belum ada waktu untuk mengurusi permintaan Khairul. Pejabat itu
terlalu sibuk dengan urusannya yang lain.
Hal yang menarik setiap kali Khairul datang ke kantor gubernur itu adalah adanya
sepasang sepatu butut yang tergeletak di suatu sudut kantor. Setiap kali ia datang ke kantor
itu, sepatu itu selalu ada dengan posisi yang tidak berubah. Suatu waktu ia penasaran dengan
sepatu itu dan mencoba mengangkatnya. Anehnya sepatu itu tidak bergerak saat diangkat dan
seolah tertanam ke karpet. Selain itu, hal yang mengejutkan Khairul adalah ketika dari sepatu
itu bermunculan ulat-ulat yang amat banyak dan menjijikkan. Ia pun pergi dari kantor itu
dengan perasaan heran.
Hari berikutnya Khairul kembali ke kantor gubernur karena urusannya tak kunjung
selesai. Ia menyadari ada perubahan warna dinding dari putih menjadi kelabu. Alangkah
terkejutnya ia ketika dinding itu diraba yang terasa adalah sesuatu yang lembek dan basah.
Warna kelabu di dinding itu ternyata ulat. Ulat-ulat sudah menyebar ke seluruh bagian
gedung kantor. Khairul memutuskan keluar dan tidak mengurusi pengajuan dananya lagi.
Dipandangnya gedung kantor gubernur itu yang kian bulan dan kian tahun semakin tampak
kelabu. Tidak hanya Khairul, ia merasa bahwa orang-orang juga memandang aneh ke gedung
itu. Namun, ketika tanpa sadar Khairul bergumam, “Ulatnya. Ulatnya semakin banyak”,
orang-orang memalingkan muka dan menatapnya tajam.

ANALISIS CERPEN
Dekonstruksi Simbolisme dalam Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”
Cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” merupakan cerpen yang sarat dengan kritikan
sosial terhadap kehidupan para petinggi atau pejabat negara. Dalam hal ini Seno selaku
pengarang menyimbolkannya dalam sosok seorang menteri yang sangat sibuk dengan urusan
pekerjaannya sehingga menganggap undangan-undangan perkawinan yang dialamatkan
padanya tidaklah penting. Hal tersebut dapat diamati dari kutipan berikut.
“Heran, bukan sanak bukan saudara, bukan sahabat apalagi kerabat, cuma kenal gitu-gitu aja,
kite-kite disuru dateng setiap kali ada yang anaknya kawin. Ngepet bener. Mereka pikir gue
kagak punya kerjaan apa ya? Memang acaranya selalu malam, tapi justru waktu malam itulah
sebenarnya gue bisa ngelembur dengan agak kurang gangguan. Negeri kayak gini, kalau
menteri-menterinya nggak kerja lembur, kapan bisa mengejar Jepang?”
Melalui cerpennya ini, jika ditelaah dari segi dekonstruksi maka ide yang ingin
dikemukakan oleh Seno bukanlah seperti yang tampak dari segi struktur atau intrinsiknya.
Ada sesuatu yang lain di luar itu. Secara struktural, cerpen ini tidak mempunyai sesuatu yang
berbeda dengan cerpen lainnya. Penggambaran tokoh, alur, dan seting tampak biasa-biasa
saja. Bila dilihat sepintas lalu, cerpen ini tampaknya sederhana, hanya menceritakan tentang
seorang menteri yang selalu mendapatkan banyak undangan dan berinisiatif mengirim
karangan bunga kepada orang-orang yang mengundangnya sebagai pengganti kehadirannya.
Hal yang menarik sebenarnya adalah kemampuan Seno dalam mengolah ide dengan melihat
sisi lain dari kehidupan para petinggi negara sebagai ide dalam penulisan cerpen ini.
Mengikuti langkah-lahkah metode dekonstruksi, mulai dari hal yang pertama yakni
mengidentifikasi peristilahan yang diistimewakan. Jika membaca judul cerpen ini, tergambar
ide yang diwakili oleh dua simbol, yakni istilah karangan bunga dan menteri yang dimana
keduanya saling berintegrasi. Selanjutnya, kedua simbol ini dibalik atau dikeluarkan dari
makna strukturnya sehingga diperoleh gagasan baru.
Karangan bunga bukanlah karangan bunga dalam arti sebenarnya. Karangan bunga
dalam cerpen ini merupakan simbol penghormatan sekaligus ketidakpedulian. Disebut
sebagai simbol penghormatan karena sang pengirim (menteri) sengaja mengirimkan karangan
bunga kepada orang-orang yang mengundangnya pada acara pesta pekawinan sebagai
pengganti ketidakhadirannya agar mereka tidak kecewa. Orang-orang yang menerima pun
dengan senang hati menerima dan bahkan memamerkan karangan bunga tersebut kepada
tamu-tamu undangan lain yang hadir.
Siti jadi mengerti, tak jadi soal benar jika tidak dihadiri menteri, asal para tamu melihat
sendiri, bahwa memang ada karangan bunga dari menteri. Ini juga berarti para pengundang
seperti berjudi, tanpa risiko kalah sama sekali, karena meski yang diundang adalah sang
menteri, yang datang karangan bunganya pun jadi!
Seorang menteri dalam cerpen ini tidak langsung menunjukkan sebuah jabatan
“menteri”, namun menjadi simbol para petinggi negara atau pejabat pemerintahan, di mana
oleh karena jabatannya yang tinggi maka banyak orang yang menaruh rasa hormat padanya.
Mereka juga akan merasa terhormat jika bisa dekat atau bahkan hanya sekadar kenal dengan
orang yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan.
Sekretaris tua itu segera menghilang ke balik pintu. Menteri itu menggeleng-gelengkan
kepala tak habis mengerti. Kadang-kadang orang yang mengawinkan anak ini tak cukup
hanya mengirim undangan, melainkan datang sendiri melalui segala saluran dan berbagai
cara, demi perjuangan untuk mengundang dengan terbungkuk-bungkuk, agar bapak menteri
yang terhormat sudi datang ke acara pernikahan anak mereka.
Seperti halnya karangan bunga, selain menjadi simbol kehormatan, menteri juga
menjadi simbol ketidakpedulian para petinggi negara dengan masyarakat. Dalam cerpen ini,
memang benar sang menteri mengirimkan karangan bunga sebagai ganti ketidakhadirannya
kepada orang yang mengundangnya dengan alasan sibuk sebagai penghormatan. Namun ada
sisi lain ingin digambarkan seno. Para pejabat bisa saja mengirimkan karangan bunga hanya
untuk menjaga citraan dirinya sebagai orang yang berkedudukan tinggi namun tetap nampak
rendah hati dan berbaur dengan masyarakat. Di sisi lain, Seno juga mengungkapkan pola
pikir masyarakat yang terlalu mengagung-agungkan para pejabat yang sebenarnya adalah
pelayan masyarakat.
Dekonstruksi Simbolimse dalam Cerpen “Ulat dalam Sepatu”
Senada dengan cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”, cerpen “Ulat dalam Sepatu”
juga dipenuhi dengan kritikan sosial terhadap kehidupan para pejabat pemerintahan. Melalui
cerpen yang juga terbilang sedernaha namun sarat makna ini, penulis mencoba menelaah dari
segi dekonstruksi melalui simbol-simbol yang digunakan dalam cerpen ini.
Simbol pertama yang disuguhkan oleh Gus selaku pengarang adalah seperti tertera
pada judul yaitu ulat dan sepatu. Secara telaah dekonstruksi, maka ide yang disampaikan oleh
Gus tidaklah seperti pada strukturnya yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang harus
bolak-balik kaontor gubernur untuk mengurus pengajuan dana dan kemudian melihat sepatu
butut yang mengeluarkan begitu banyak ulat. Ulat-ulat yang keluar dari sepatu dan terus
bertambah banyak sehingga memenuhi dinding gedung gubernur itu sesungguhnya
merupakan simbol dari kebusukan. Ulat tentunya hidup pada sesuatu yang busuk. Gus
mencoba menyampaikan idenya mengenai betapa banyak hal-hal busuk yang ada di dalam
pemerintahan. Sepatu butut yang berada di kantor gubernur menyimbolkan sesuatu yang
tidak layak ada dalam sebuah tempat yang bagus dan bisa disebut berkelas seperti halnya
kantor gubernur.
Hal-hal busuk itu atau halusnya hal-hal yang tidak layak itu salah satunya ia
masukkan ke dalam cerita secara langsung, yakni buruknya pelayanan pemerintah terhadap
masyarakat. Khairul, si tokoh utama harus berulang kali pulang-pergi ke kantor gubernur
untuk mengurus pengajuan dana pemberangkatan dirinya ke Jakarta dalam rangka memenuhi
undangan sebuah pameran ukiran.
Hari itu hari Senin. Saya kembali datang ke Kantor Gubernur, entah kali yang
keberapa. Ada sedikit ketenangan, dan juga harapan, karena perempuan itu Sabtu kemarin
menjanjikan bahwa hari ini kemungkinan besar saya akan bisa bertemu dengan atasannya.
Urusan pelayanan masyarakat oleh pegawai pemerintahan dinilai buruk karena
cenderung menyulitkan masyarakat. Khairul misalnya, sebagai masyarakat, urusan pengajuan
dananya dipersulit dengan alasan bahwa orang yang berwenang (pejabat) untuk menyetujui
sedang sibuk dan harus keluar kota. Setiap kali Khairul kembali mendatangi kantor gubernur,
ia harus kecewa karena sang pejabat tak kunjung ada di tempat. Seringnya sang pejabat ke
luar kota ini pun menelurkan banyak pertanyaan. Apakah pejabat itu kerjanya selalu ke luar
kota dan melupakan tugasnya di kantor? Apakah kepentingannya pergi ke luar kota itu
memang lebih penting daripada kewajibannya melayani masyarakat? Apakah jadi pejabat itu
enak karena dapat sering ke luar kota dan melimpahkan banyak tugas kepada pegawai
bawahannya?
Masyarakat harusnya mendapat pelayanan yang baik dan tidak dipersulit dengan
alasan apapun. Bagaimana pun juga, pegawai pemerintahan sekalipun ia pejabat pada
hakikatnya adalah pelayan bagi masyarakat. Keburukan-keburukan semacam ini muncul dari
hal-hal kecil yang tidak disadari, kemudian lama kelamaan terus berkembang, merebak, dan
menular kemana-mana sehingga orang-orang dalam pemerintahan menganggapnya biasa
saja.
Dinding itu, warna kelabu itu, ternyata bukanlah cat. Tetapi ulat. Ulat-ulat itu, ulat
dalam sepatu kemarin, merayap dan mendekam memenuhi dinding. Benarkah ulat-ulat itu
ulat kemarin? Kenapa jadi begitu banyak? Ribuan. Atau mungkin berjuta-juta.
“Ada apa, Pak?” Seorang pegawai yang kebetulan lewat tiba-tiba bertanya.
“Dinding ... ulat-ulat ... ulat di dinding,” saya berkata gugup sambil menunjuk-nunjuk.
Pegawai itu, perempuan juga, menoleh ke dinding tapi kemudian menatap saya dengan sinis
dan berlalu.
Mungkin dalam kehidupan nyata, kebusukan-kebusukan yang ada dalam lingkup
pemerintahan bukan hanya sekadar pelayanan yang buruk terhadap masyarakat, melainkan
juga seperti tindakan korupsi uang rakyat, kolusi dan nepotisme. Masyarakat luas pada
umumnya sangat menyadari hal ini, namun di antara mereka banyak yang memilih bungkam
dan acuh tak acuh. Bahkan lebih buruk, masyarakat jadi ikut ambil bagian dalam praktik-
praktik kebusukan.

ANALISIS PERBANDINGAN
Identifikasi Titik Mirip
Salah satu yang dicari dalam studi sastra bandingan adalah afinity (pertalian atau
kesamaan). Kesamaan atau kemiripan kedua cerpen yang telah dianalisis bukan dilihat dari
segi struktur, karena memang secara struktur kedua cerpen ini dihadirkan secara berbeda,
baik itu cerita, penokohan dan sebagainya. Identifikasi titik mirip dalam kajian ini
menggunakan metode dekonstruksi yang kemiripan-kemiripannya lebih dispesifikkan pada
sisi pemakaian simbol-simbol. Kedua pengarang ini sama-sama menggunakan simbol yang
menjadikan kritikan mereka terasa lebih halus. Kritikan disampaikan melalui simbol-simbol
yang mewakili ide mereka. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengarang senada dalam hal
cara menyampaikan ide. Berbicara mengenai ide, cerpen dari kedua pengarang ini pun
memiliki kesamaan yakni sama-sama membahas permasalahan yang terjadi di dalam dunia
pemerintahan dan interaksi antara orang-orang pemerintahan dengan masyarakat. Selain itu,
maksud yang ingin disampaikan pengarang juga dinilai memiliki kemiripan.
Perbandingan Titik Mirip
Melalui cerpen “Karangan Bunga dari Menteri”, Seno Gumira Ajidarma mencoba
mengungkap ide atau permasalahan yang berupa kritik-kritik terhadap pemerintah. Dalam
hal ini, ia menghadirkan tokoh yang secara gamblang disebut menteri, yaitu seseorang yang
menjabat sebagai kepala sebuah departemen (anggota kabinet) yang juga merupakan
pembantu kepala negara dalam urusan (pekerjaan) negara. Simbol dari kedudukan yang
tinggi. Hadirnya tokoh menteri di sini semakin menguatkan bahwa cerpen ini berusaha
memberikan kritik terhadap pemerintah, dimana menteri merupakan bagian dari pemerintah
negara yang memiliki kedudukan tinggi. Terlebih kritikan disampaikan dengan
menggambarkan bagaimana kehidupan sebagai menteri yang merupakan tokoh terpandang
dan sangat dihormati dalam masyarakat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Seperti pada cerpen Seno, Gus TF Sakai dalam cerpen “Ulat dalam sepatu juga
mengungkapkan ide atau permasalahan yang berkaitan dengan kritik terhadap pemerintah.
Bedanya, jika Seno menegaskannya dengan menghadirkan tokoh seorang menteri, maka Gus
memilih menghadirkan latar sebuah kantor pemerintahan (kantor gubernur) sebagai latar
tempat. Dalam menyampaikan kritikannya, Gus menggambarkan sebuah kantor gubernur
yang dipenuhi banyak ulat sebagai simbol keburukan.
Perbandingan selanjutnya diarahkan pada pemakaian teori dekonstruksi Derrida,
yakni di dalam sebuah teks ada teks lain yang menunjukkan agenda tersembunyi yang dapat
dibongkar. Pengarang memiliki maksud lain dari sekadar menyuguhkan sebuah cerita yang
memang tertera secara nyata di dalam teks sebuah karya sastra. Maksud lain dari penceritaan
dalam cerpen “Karangan Bunga dari Menteri” dan “Ulat dalam Sepatu” adalah mengajak
pembaca untuk lebih membuka mata dan sadar bahwa mereka sedang hidup dalam kekacauan
pemerintahan. Kondisi hubungan antara orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dalam
pemerintahan dengan masyarakat biasa sering kali terjadi gesekan. Tidak selamanya hal yang
terlihat baik itu memang baik. Bisa saja semua itu hanyalah kepalsuan belaka.
Di zaman sekarang ini, semakin sering terdengar oknum-oknum pejabat pemerintahan
yang tersandung kasus. Misalnya saja yang paling naik daun adalah kasus korupsi, suap dan
money laundry. Kasus-kasus yang berhasil terungkap disinyalir masih seperti fenomena
gunung es. Sebenarnya masih banyak kasus-kasus yang belum terungkap namun masih
tersembunyi dan tertutupi dengan rapi. Sayangnya hal-hal semacam ini lama-kelamaan
dianggap wajar dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat. Padahal, masyarakat adalah pihak
yang paling dirugikan oleh ulah oknum pemerintah yang nakal.
Penafsiran Perbandingan
Tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Penafsiran
berarti penyikapan pengkaji terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek
kajian. Tugas dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara
kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data
yang menunjukkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum
menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan
pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut sebagai berikut. (1)
Bahwa antara Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang cerpen “Karangan Bunga dari
Menteri” dan Gus TF Sakai sebagai pengarang cerpen “Ulat dalam Sepatu” dimungkinkan
terjadi kontak karena mereka merupakan pengarang cerpen yang sama-sama memiliki
popularitas (sama-sama merupakan sastrawan nasional), sehingga memunculkan anggapan
atau kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya. (2)
Bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut berbagai masalah pemerintahan
yang sama-sama dijadikan sebagai ide cerita menunjukkan perkembangan yang relatif sama,
yakni masalah hubungan pemerintah dengan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Seno Gumira
Ajidarma dan Gus TF Sakai menunjukkan kemiripan-kemiripan di luar strukturalnya, yakni
dari segi ide, penggunaan simbol-simbol, dan maksud pengarang. Seting sosial yang
memungkinkan menghasilkan karya yang memiliki kemiripan. Secara psikologis,
perkembangan pola pikir dan perilaku pengarang yang relatif sama juga memungkinkan
menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Seno dan Gus dalam hal ini
dinilai memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sosial
karena sama-sama sering menulis cerita yang berbau kritik sosial. Hal itulah yang
mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan pada
aspek-aspek tertentu.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini.
Pertama, kedua pengarang sama-sama menggunakan simbol-simbol dalam karyanya. Kedua,
ide yang menjadi dasar penceritaan masing-masing karya memiliki kemiripan. Ketiga, secara
dekonstruksi dapat dilihat kemiripan maksud pengarang dari sisi lain. Keempat, kedua
pengarang memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan
sosial.
DAFTAR RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira. 2011. “Karangan Bunga dari Menteri”. (Online)
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/karangan-bunga-dari-menteri/. Diakses 19
Oktober 2013.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi.
Yogyakarta: 2003.
Ismail, Taufik dkk. 2009. Sastrawan Bicara Siswa Bertanya (SBSB) 2009. Jakarta: Horison.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Norris, Christopher. 2003. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida (Terjemahan Inyiak
Ridwan Muzir). Yogyakarta: Arruz Media.
Sarup, Madan. 2008. Panduan Pengantar untuk Memahami Postrukturalisme dan Posmodernisme
(Terjemahan Medhy Aginta Hidayat). Yogyakarta: Jalasutra.
Sobur, Alex. 2009. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai