http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id/2009/08/artikel-15.html
Pada edisi bulan Juli 1990 puisi-puisi dari penyair yang juga terkenal
sebagai eseis dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini kembali muncul.
Kemunculannya dengan sepuluh puisi terbaru yang ditulis antara tahun
1979-1990 ini tidaklah terlalu istimewa meskipun cukup mengobati
kerinduan kita akan puisi-puisinya. Yang menarik, bahwa puisi-puisi ini
ditulis dalam suatu perjalanan di luar negeri yang membuatnya sejenak
terlepas dari kesibukan dan rutinitas sehari-hari. Goenawan
mengirimkannya langsung dari Amerika dengan disertai catatan: Saya
tidak tahu adakah nanti kembali kepada pekerjaan di Jakarta akan
memberi kesempatan kepada saya untuk merampungkan beberapa sajak
lagi. Masalahnya bukanlah waktu. Masalahnya mungkin suasana hati: di
Jakarta saya selalu cenderung kepada kemarahan.
Puisi Nota Untuk Umar 49 Tahun yang ditulis tahun 1990 ini
barangkali
akan
menunjukan
dengan
gamblang
bagaimana
kesederhanaan yang baik dalam puisi yang baik itu, di mana
kesederhanaan mampu mengundang imaji-imaji yang dalam dengan
lanskap-lanskap yang indah:
Kita tidak tahu bagaimana Goenawan bisa sampai pada renungan seperti
itu. Mungkin kita hanya bisa menduga-duga bahwa ia sedang khusyuk
menikmati kesepian sambil merindukan tanah air dari jauh. Atau
mungkin juga sajak ini merupakan kristalisasi usia dan pengalamannya
yang semakin matang dalam kehidupan hingga membuatnya bijak dalam
memahami kematian sebagai sesuatu yang wajar dan tak perlu
dikhawatirkan. Sajak Untuk Svetlana B. ini mengingatkan saya pada
puisi lamanya yang berjudul Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis telah
menjadi logam, yang juga merupakan renungan kematian dalam konteks
cinta: Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu/Tapi tutuplah
matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.
Buat H.J. Dan P.G. merupakan puisi lain yang juga mengapungkan
masalah yang sama. Dalam puisi yang ditujukan pada anaknya ini
nampak sangat jelas bagaimana sikap Goenawan dalam menghadapi
maut seperti halnya menghadapi seorang sahabat atau kekasih:
Puisi yang baik tidak selalu berarti puisi yang istimewa. Puisi-puisi
Goenawan Mohamad kali ini menjadi kurang istimewa, karena kita
terlalu berharap mengenai sesuatu yang baru dari penyair lirik
terkemuka yang tidak produktif ini. Bukan sekedar puisi-puisi yang baik.
(1990)
Acep Zamzam Noor
Singaparna, Tasikmalaya, Indonesia
Lihat profil lengkapku