Anda di halaman 1dari 8

SEPULUH PUISI GOENAWAN

http://sastra-acepzamzamnoor.blogspot.co.id/2009/08/artikel-15.html

Acep Zamzam Noor

KEMUNCULAN puisi-puisi Goenawan Mohamad termasuk yang sangat


kita tunggu-tunggu dan rindukan. Masalahnya bukan karena Goenawan
seorang penyair terbaik kita yang selalu hadir dengan kecemerlangan
puisinya, tapi karena sebagai penyair Goenawan tidak produktif menulis
puisi. Sejak terbitnya Parikesit yang memuat puisi-puisi awalnya tahun
1971, lalu disusul oleh Interlude yang terbit tahun 1973, praktis kita
tak pernah mendengar lagi kumpulan puisi lainnya. Majalah Sastra
Horison dalam salah satu edisinya tahun 1978 memang sempat memuat
selusin puisinya dan kemudian tahun berikutnya Harian Kompas juga
memuat empat puisinya. Pada terbitan awal Majalah Zaman satu dua
puisinya muncul, di antaranya adalah Penangkapan Sukra. Sedang
sepanjang dekade 1980 malah lebih parah lagi, dalam catatan saya ada
lima buah puisi yang dimuat dalam Majalah Sastra Horison edisi Februari
1986, itu pun dua di antaranya pernah dimuat Majalah Zaman kurang
lebih tujuh tahun sebelumnya.

Pada edisi bulan Juli 1990 puisi-puisi dari penyair yang juga terkenal
sebagai eseis dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo ini kembali muncul.
Kemunculannya dengan sepuluh puisi terbaru yang ditulis antara tahun
1979-1990 ini tidaklah terlalu istimewa meskipun cukup mengobati
kerinduan kita akan puisi-puisinya. Yang menarik, bahwa puisi-puisi ini
ditulis dalam suatu perjalanan di luar negeri yang membuatnya sejenak
terlepas dari kesibukan dan rutinitas sehari-hari. Goenawan
mengirimkannya langsung dari Amerika dengan disertai catatan: Saya
tidak tahu adakah nanti kembali kepada pekerjaan di Jakarta akan
memberi kesempatan kepada saya untuk merampungkan beberapa sajak
lagi. Masalahnya bukanlah waktu. Masalahnya mungkin suasana hati: di
Jakarta saya selalu cenderung kepada kemarahan.

Goenawan Mohamad memang dikenal sangat tipikal sebagai penyair


suasana hati. Puisi-puisi terbaiknya di masa lalu sudah meyakinkan kita
dengan bahasanya yang basah, jernih, cerdas dan mempunyai ketajaman
dalam menangkap nuansa alam, misteri waktu atau keterpesonaan akan
maut. Beberapa puisinya terkadang hadir sebagai renungan spiritual
yang sangat religius. Lebih dari itu, dalam puisi-puisi Goenawan terjalin
kebeningan perasaan dan kebersihan pikiran dalam bentuk pengucapan
yang sederhana. Membaca ucapannya di atas, kita akan menjadi maklum
betapa pentingnya suasana hati dalam hubungannya dengan menulis
puisi. Dengan demikian menulis puisi baginya merupakan sebuah
kontemplasi, sebuah kekhusyukan.

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi


Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin berhembus ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayat


Diluar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Betapa bersahaja ungkapan di atas, tapi sekaligus betapa ia telah


menusukan kilatan imaji yang kaya pada kesadaran kita. Kita terhenyak
dan sekaligus hanyut dalam irama yang merdu. Puisi suasana pada
dasarnya hanyalah memberikan suasana, bukan cerita. Maka membaca
dua bait di atas kita merasakan intensitas kata-kata, merasakan
bagaimana setiap kata diberi bobot suasana oleh penyairnya. Puisi Di
Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi yang kita kutip dua dari tiga
bait keseluruhannya ini, merupakan salah satu puisi terbaik Goenawan
dari periode awal yang kesederhanaannya, kejernihannya, kebasahan
suasananya dan kekayaan imajinya memberikan jejak yang jelas pada
hampir semua puisi-puisi yang ditulis kemudian.

Memang tidak semua puisi Goenawan Mohamad berupa puisi suasana


hati yang pendek dan sederhana. Ada juga beberapa puisinya yang
panjang dengan bentuk balada seperti puisi Parikesit, Internasionale,
Tentang Seorang Yang Terbunuh Di Hari Pemilihan Umum, Di Kebun
Jepun, Penangkapan Sukra, dan beberapa lagi. Tapi yang diungkapkan
oleh puisi baladanya bukan sekedar cerita seperti yang menjadi karakter
bentuk puisi tersebut, namun yang diungkapkan Goenawan pada kita
tetaplah dalam konteks suasana hati di mana setiap kata masih tetap
terjaga intensitasnya. Bahkan lewat puisi baladanya ini, Goenawan telah
menyumbangkan warna lain dalam pemakaian unsur dialog tanpa harus
menjadi prosais. Tanpa harus kehilangan tenaga puitiknya.

Di awal tulisan ini saya menyebut bahwa puisi-puisi terbaru Goenawan


Mohamad tidaklah terlalu istimewa. Saya menyatakan demikian karena
baik tema maupun pengucapan puisi-puisi terbarunya sebenarnya sudah
ia lakukan pada kedua kumpulan terdahulu serta beberapa puisi
lepasnya. Tapi meskipun begitu puisi-puisi terbarunya bukan tidak
menarik, karena jelas yang ditampilkan Goenawan kali ini adalah puisipuisi yang baik. Kepiawaiannya menyuguhkan suasana, intensitasnya
memberi tenaga pada kata-kata sederhana masih tetap memikat.

Pada puisi-puisi Goenawan Mohamad kesederhanaan telah menjelma


menjadi sebuah kekuatan. Kesederhanaan puisi-puisinya menunjukkan
sebuah kebulatan, di mana keutuhan atau keseimbangan pikiran dan
perasaan telah memungkinkan lahirnya imaji-imaji yang pekat. Hal ini
pernah disinggung oleh Budi Darma dengan sangat tepat dalam sebuah
eseinya di Majalah Horison edisi Februari 1977, yang menyatakan bahwa
kesederhanaan yang baik dalam puisi yang baik adalah kesederhanaan
yang mengundang imaji-imaji yang dalam, dengan lanskap-lanskap yang
indah seperti yang terdapat dalam sebagian besar puisi-puisi Goenawan
Mohamad.

Puisi Nota Untuk Umar 49 Tahun yang ditulis tahun 1990 ini
barangkali
akan
menunjukan
dengan
gamblang
bagaimana
kesederhanaan yang baik dalam puisi yang baik itu, di mana
kesederhanaan mampu mengundang imaji-imaji yang dalam dengan
lanskap-lanskap yang indah:

Pasir dalam gelas waktu


menghampur
ke dalam plasmaku

lalu di sana tersusun gurun


dan mungkin oase
tempat akhir burung-burung

Ada kegetiran yang tersembunyi di balik kata-kata ini, semacam


keterhenyakan penyair ketika tiba-tiba menyadari betapa waktu seakan
hamburan pasir yang menyerbu dirinya. Puisi ini merupakan kontemplasi
mendalam tentang keberadaan manusia yang sudah mendekati akhir
perjalanan, di mana sebuah gurun tandus atau oase sejuk merupakan
dua kemungkinan yang menunggunya di ujung usia. Beberapa puisi
Goenawan terakhir memang banyak mengisyaratkan waktu dalam
hubungannya dengan kematian, sebagai sesuatu yang akrab dan
mungkin mempesona. Dua bait dari puisi Sajak Untuk Svetlana B yang
juga ditulis tahun 1990 barangkali akan menunjukan bagaimana penyair
memandang dan memahami kematian:

Langit warna ganih,


katamu, dan kulihat kain kafan
terentang tak teraih
pada kemah-kemah awan
Lalu kita duduk di kafe itu
Lalu kutunjukkan negeriku
Di sini, kataku. Kuraba parasmu
Dan kau menciumku: Seperti kematian itu, katamu

Kita tidak tahu bagaimana Goenawan bisa sampai pada renungan seperti
itu. Mungkin kita hanya bisa menduga-duga bahwa ia sedang khusyuk
menikmati kesepian sambil merindukan tanah air dari jauh. Atau
mungkin juga sajak ini merupakan kristalisasi usia dan pengalamannya
yang semakin matang dalam kehidupan hingga membuatnya bijak dalam
memahami kematian sebagai sesuatu yang wajar dan tak perlu
dikhawatirkan. Sajak Untuk Svetlana B. ini mengingatkan saya pada
puisi lamanya yang berjudul Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis telah
menjadi logam, yang juga merupakan renungan kematian dalam konteks
cinta: Jika samsu pun berdebu, kekasihku, juga pelupukmu/Tapi tutuplah
matamu, dan bayangkan aku menjemputmu, mautmu.

Buat H.J. Dan P.G. merupakan puisi lain yang juga mengapungkan
masalah yang sama. Dalam puisi yang ditujukan pada anaknya ini
nampak sangat jelas bagaimana sikap Goenawan dalam menghadapi
maut seperti halnya menghadapi seorang sahabat atau kekasih:

Seperti sebuah makam yang tenang


dua leli paskah
disematkan
pada marmar hitam

Seperti kelebat jam yang datang


mupu-kupu putih
melayang letih
ke loteng lengang

Seperti sebuah bel yang riang

kabar itu datang ke ruang


telah kutengok kawat,
Bapak, saya agak tiba lambat

Maka aku berbisik hati-hati


pada malaikat yang tiba pagi
Hari ini aku
belum ingin mati.

Berakrab-akrab dengan maut bukanlah sesuatu yang aneh bagi para


penyair. Sutardji Calzoum Bachri dalam sejumlah puisinya bahkan
dengan lantang mengucapkan keterpesonaannya pada maut. Dalam salah
satu tulisannya, penyair sufistik ini menyatakan bahwa maut telah hadir
dalam diri kita sejak kita hidup. Sejak kita mulai bernafas, sejak itu pula
maut membenihi kita dan kemudian lambat atau cepat tumbuh memagut
kita. Tentu saja keterpesonaan Sutardji pada maut sangat berbeda
dengan Goenawan. Jika keterpesonaan Sutardji nampak seperti terbius
secara emosional, keterpesonaan Goenawan lebih rilek serta cenderung
rasional. Pada malaikat yang tiba pagi, aku-lirik puisi di atas sebenarnya
tidak menolak untuk diajak pergi. Hanya saja ia ingin lebih
mempersiapkan diri secara terencana, atau paling tidak bertemu dulu
dengan anaknya -- seperti yang diungkapkan dalam bait ke empat:
Sebab anakku/akan terbang kemari/dari rumahnya yang jauh/di sebuah
negeri yang teduh. Dalam bait berikutnya dilukiskan dengan indah
bagaimana keakraban aku-lirik dengan malaikat pencabut nyawa. Potret
anaknya yang tersenyum pada stang sepeda di depan rumpun asalea
ditujukan pada malaikat itu. Dan seperti maklum, sang pencabut nyawa
pun tertawa melihatnya.

Tema kematian memang sangat dominan dalam puisi-puisi terbaru


Goenawan Mohamad ini. Selain yang sudah disinggung di atas, puisipuisi seperti Perempuan Yang Dirajam Menjelang Malam, Di Jazirah
Burung Hantu serta Hiroshima Cintaku juga masih mempunyai
nuansa yang sama kuat, meskipun lebih tersurat. Ketiga sajak ini
merupakan puisi panjang berbentuk balada. Soal siapa yang diceritakan
pada kita dalam puisi yang naratif ini, rasanya tidak begitu penting. Tapi

bagaimana suasana dramatik dibangun Goenawan dengan penggunaan


kata yang efektif rasanya sudah cukup menyiratkan apa yang ingin
disampaikan. Seorang perempuan yang menanti hukuman rajam karena
melakukan zinah bisa jadi hanya cerita yang dihadirkan untuk
membingkai suasana hati penyair dalam menyongsong datangnya maut.
Begitu juga dalam puisi Hiroshima Cintaku yang menampilkan latar
sejarah, yang sampai pada kita tetaplah suasana.

Puisi-puisi terbaru Goenawan Mohamad yang ditulis selama perjalanan di


luar negeri ini sangat diwarnai oleh lanskap-lanskap kota yang indah,
dan terkadang dengan menyinggung latar sosial atau sejarahnya. Dengan
puisinya yang relatif pendek seperti New York, Cambridge, Di
Negeri Winnetou atau Lagu Orang Perahu, sesungguhnya puisi-puisi
Goenawan terasa lebih pekat dan utuh. Dengan begitu, lebih tampil
sebagai suara lain meminjam istilah Octavio Paz dari apa yang
dilihatnya, dirasakannya, dipikirkannya atau dipelajarinya dari sejarah.
Lagu Orang Perahu yang sebenarnya mempunyai tema kontektual
tentang para pengungsi misalnya, menjadi suara yang berbeda sama
sekali dari berita-berita tentang hal yang sama. Puisi kemudian menjadi
suara yang menyentuh sanubari karena lahir dari sebuah kontemplasi:

Trinh, kulihat bintang lari, bercerai


menyebrangi kontinen malam

Tapi angin selesai, laut lerai


dan kau katakan, Ada burung hitam di buritan

Trinh, kuingat pohon-pohon kota Saigon


dan nyanyian di ranting-rantingnya

Kusebut namamu, terkubur di tiap sekon


Laut lama akan tak mengingatnya

Puisi yang baik tidak selalu berarti puisi yang istimewa. Puisi-puisi
Goenawan Mohamad kali ini menjadi kurang istimewa, karena kita
terlalu berharap mengenai sesuatu yang baru dari penyair lirik
terkemuka yang tidak produktif ini. Bukan sekedar puisi-puisi yang baik.

(1990)
Acep Zamzam Noor
Singaparna, Tasikmalaya, Indonesia
Lihat profil lengkapku

Anda mungkin juga menyukai