#1
15.3.73
De Rechten Van De Mens
President Soeharto: "Zeg Nou Zelf, We Moeten Die Mensen Toch Tegen Het
Kapitalistisch Systeeem Beschermen...!?"
Volkskrant, 15-3-1973
Terjemahan bebas:
2.
2.4.98
Wawancara Emha Ainun Nadjib : "Mengapa Tidak Wiridan di
Depan Istana Saja"
Jika mahasiswa mau berdialog dengan pemerintah, maka mahasiswa
harus punya titik tembak kontekstual dan sasaran yang jelas. "Dialog itu
jangan membicarakan masalah yang global, karena mubazir dan tidak ada
gunanya." Hal itu dikemukakan budayawan Emha Ainun Nadjib, ketika
memberikan ceramah dalam acara Sarasehan Sosial Budaya, di
auditorium FISIP UI, Depok, hari Rabu, 1 April 1998 lalu.
Mahasiswa harus bisa mengkerucutkan masalah, misalnya saja hanya
pada persoalan kekayaan pejabat atau meminta agar diatur persentase
sumbangan para konglomerat untuk mengatasi dampak krisis yang sudah
berimbas ke masyarakat bawah. Ketika ditanya tentang target yang
ditetapkan oleh mahasiswa agar Pak Harto melakukan lengser keprabon,
Cak Nun mengatakan mahasiswa jangan over target. Hanya aksi satu
minggu, sudah beranggapan bisa menjatuhkan kekuasaan presiden
Soeharto, ungkap Cak Nun.
Apa saja yang perlu dilakukan mahasiswa jika dialog itu jadi? Berikut
bincang-bincang dengan Emha Ainun Nadjib, yang ditemui oleh Edy
Budiyarso dari TEMPO Interaktif seusai acara Sarasehan Sosial Budaya di
Fisip UI, Depok, hari Rabu 1 April 1998 lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana Anda melihat pilihan mahasiswa untuk tetap
melakukan aksi daripada dialog dengan pimpinan ABRI dan
Presiden?
Mahasiswa itu jangan over target. Jangan hanya berdemonstrasi di UI
selama satu minggu, lantas berharap bisa menggulingkan Presiden
Soeharto. Target minimal aksi mahasiswa sekarang ini adalah sebagai
pemanasan. Target paling banter adalah membangun jaringan, baik
dengan kalangan mahasiswa lain di berbagai kampus, maupun dengan
segmen masyarakat yang lain, misalnya dengan para santri. Karena santri
lebih berani dibandingkan para mahasiswa.
Seperti yang dulu terjadi di Jawa Timur ketika aksi SDSB. Banyak santri
yang melakukan unjuk rasa dan merusak toko-toko yang menjual kupon
SDSB. Kiai diminta oleh aparat setempat untuk membubarkan massa
santri. Lantas kiai pidato di atas mobil meminta para santri pulang ke
#3.
29.12.98
Soeharto Tumbang, lalu bangkit?
KALAU belum sampai dikubur, tidak perlu mukjizat untuk bisa bangkit lagi.
Sekalipun dia bukan kucing yang konon punya sembilan nyawa. Soeharto
memang sudah lanjut usianya, tetapi tamsil mengenai tumbangnya
kekuasaannya jangan dilihat persis seperti robohnya pohon
tua dan lapuk. Sebagai faktor politik, sebetulnya Soeharto memang belum
pernah mati. Inilah pangkal dari kekeliruan menafsir. Disangka riwayatnya
tamat bersama tumbangnya kepresidenannya, sehingga ketika mantan
presiden ini menggeliat sedikit, ada yang terperanjat dan berseru, dia
bangkit kembali!
Ada baiknya kita membuat kalkulasi kembali dengan tenang. Mula-mula,
hendaknya kita hitung dulu sekali lagi, siapa dan apa sesungguhnya
Presiden Soeharto yang mengundurkan diri bulan Mei lalu. Yang terang,
yang mengambil alih kedudukannya bukanlah seterunya yang
memenangkan perkelahian melawannya. Singkatnya, Soeharto tidak
dalam posisi dikalahkan penggantinya, sedangkan yang mengganti tidak
merebut kekuasaan dari tangannya. Habibie adalah wakil presiden yang
ditunjuknya, dibesarkan, dan dipeliharanya. Begitu juga Jenderal
Wiranto yang memegang kedudukan Panglima Angkatan Bersenjata. Tentu
saja keduanya tidak berkemungkinan untuk jadi algojo yang akan
menghabisi bekas pembinanya.
Modal Soeharto amat besar. Tatkala ia masih berkuasa penuh, pernah ada
yang memperkirakan bahwa kemampuan keuangan dan ekonomi yang
dikumpulkannya dan keluarganya cukup untuk membuat perekonomian
Indonesia tergantung padanya. Kemampuan itu relatif tidak berkurang
ketika Soeharto turun karena garis perbekalannya tidak langsung
dipotong. Tak ada tindakan segera untuk membekukan atau menyita
kekayaannya. Dan sesudah mengundurkan diri, cukup banyak waktu
baginya untuk mengonsolidasi dana tunainya.
Bukan cuma kekuatan basis keuangan saja modalnya. Para pejabat, sipil
dan militer, hampir semua adalah binaannya atau berutang budi
kepadanya. Banyak rahasia keterlibatan mereka di tangan Soeharto.
Meskipun banyak yang menjauhi, tetapi secara mental hampir tak ada
yang berani melabrak Soeharto kalau berhadap-hadapan langsung. Jadi,
walau sudah berkurang, pengaruh Soeharto masih dominan terhadap
mereka yang menjalankan kekuasaan sekarang. Demikian juga terhadap
banyak tokoh masyarakat lainnya, yang menjadi tokoh karena dikarbit di
zaman Soeharto. Tanpa harus disuruh, mereka sudah merasa sungkan
lebih dulu pada orang yang dituakan ini. Jadi, tidak berani menilai, apalagi
menghakimi.
Tapi ini justru soal yang harus dipecahkan. Bagaimana memastikan bahwa
pemenang pemilihan umum adalah golongan yang akan menempatkan
Soeharto dan rezimnya di pihak yang bersalah dan harus dihukum? Sebab
kesempatan pendukung Soeharto menang juga selalu ada. Melarang
pendukung Soeharto untuk ikut pemilihan umum? Bukan saja itu tidak ada
dasar legalnya, tetapi penguasa sekarang juga tidak tegas sikap politiknya
ke arah itu. Kita akan berputar-putar dalam lingkaran setan karena
akhirnya yang diharapkan ialah ketegasan langsung terhadap
Soeharto. Bukankah justru itu yang tidak kita peroleh dengan Habibie di
tampuk kekuasaan?
Akhirnya, memang harus diakui, cara praktis yang masih tersedia untuk
menumbangkan rezim Soeharto hanyalah membawanya ke pengadilan,
sebelum pemilihan umum. Kalau ada perlawanan dari yang bersangkutan,
pemerintah harus bersikap tegas. Apabila pemerintah sendiri yang raguragu, atau mencoba mengulur waktu, maka masyarakat harus mendesak
dengan sungguh-sungguh. Kalau itu gagal, maka benarlah, bangkitnya
Soeharto tidak perlu dirisaukan karena dia memang belum pernah
tumbang.
#4
22.1.07
affidavit. "We're still building our case, however," the ambassador said.
"We will present more evidence when the full trial starts on March8."
Salman Maryadi, a spokesman for Indonesia's attorney-general, said on
Monday the corruption issue was secondary. "The best result would be
that the court recognises Tommy's outstanding obligations and orders the
money there be used to pay them," he said. "Whether the money was
obtained corruptly can be dealt with later."
Mr Natalegawa said that while 36m was the most commonly quoted
figure for the sum in the account, initial data put the balance at 75m.
"We still looking at this discrepancy, " he said. Mr Salman said Indonesia
was keen to seize the 36m in the Guernsey account opened in the name
of Garnet Investment because the authorities were not aware of any other
assets.
"He is reportedly doing business here but we cannot prove that it is his
money," he said. "And we did not go after the money in Guernsey until
now because we did not know it was there until this case emerged."
According to Transparency International' s Indonesia branch, Garnet
deposited money with BNP Paribas in Guernsey on 22 July 1998, weeks
after the fall of President Suharto in May.
Four years later, in October 2002, Garnet asked to transfer 36m, a
request the bank refused. Three weeks after that Garnet tried to transfer
47,500 and 7,960 to Peter Amy, a Garnet employee, according to
Transparency International. The bank also rejected the request.
Todung Mulya Lubis, the head of Transparency International Indonesia,
said BNP Paribas must have had good grounds to refuse the transfer
requests. BNP Paribas in Jakarta on Monday denied any knowledge of the
case while requests for comment from Tommy's assistants went
unanswered.
http://us.ft.com/ftgateway/superpage. ft?news_id=
fto012220071858561701
#5
28.1.07
Kenangan masa Orba
Yang mengalami hidup di Jaman Suharto mungkin menemui hal-hal
berikut (yang mungkin gak bisa ditemui di Jaman Reformasi) :
1. Penataran P-4 dimana-mana ; masuk SMP hingga kuliah, di kelurahan
juga ada
#7
24.4.07
Antara Bung Karno dan Pak Harto
Oleh Sulastomo
Koordinator Gerakan Jalan Lurus
"Thus, It is not true, that the first two presidents had contradicted
#8
25.4.07
Salah satu pelajaran berharga yang dapat dipetik, para pemimpin jangan
terlalu percaya kepada laporan anak buah dan sesekali harus turun ke
bawah melihat langsung keadaan rakyat. Pemimpin juga jangan terlalu
lama berkuasa.
"Bung Karno diturunkan karena terlambat keluar dari bus. Sedangkan Pak
Harto terlambat banting setir," kata Retnowati Abdulgani-Knapp dalam
peluncuran buku tulisannya berjudul Soeharto, The Life and Legacy of
Indonesian's Second President, Rabu (25/4). Retnowati mengaku butuh
waktu sekitar tiga tahun untuk menulis buku ini.
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0704/26/Politikhukum/3483840.htm
Sphere: Related Content
DI 9:23 PM
L A B E L : R E T N O W AT I A B D U L G A N I - K N A P P
1 COMMENT:
menurut saya, soekarno merupakan sosok pemimpin besar yg belum ada tandingannya di negeri
indonesia ini. kita patut mencontoh semangatnya utk mempersatukan bangsa ini dan mewujudkan
TRISAKTI! namun sangat disayangkan, kepemimpinannya harus digerogoti oleh sakit dan
pengkhianatan org2 yg berada di bawah komando soeharto yg menghalalkan sgala cara utk merebut
kekuasaan!
jika saya harus menyalahkan mengapa indonesia saat ini adalah negara yg semrawut dan mengemis2,
dgn bangga saya menyalahkan soeharto dan kroni2nya!
zaman orde baru, pemerintahan adalah negara, negara adalah keluarga, keluarga adalah cendana!
saya sgt kasian dengan pahlawa2 kita terdahulu,,sampai detik ini cita2nya clm terwujud utk
mewujudkan indonesia sbg negara maju yang bisa BERDIKARI dan mewujudkan bangsa yg tidak
pelupa thdp jasa pahlwan dan sejarah!
kini indonesia tinggal sejarah,darah,dan sampah!
kecuali kita bersatu dan terus berdoa agar akan ada pemimpin yg hebat, yg berwibawa dan matang
konsepnya utk membangun bumi pertiwi ini..
#8
25.4.07
An authorized biography of former president Soeharto has been published arguing that his historical legacies
should be remembered over his ill-fated rule.
Author Retnowati Abdulgani-Knapp, the daughter of the late Indonesian freedom fighter Roeslan Abdulgani, said
Tuesday she wanted to put Soeharto's reign into a perspective she believed was accurate without intending to
convert any staunch haters of the country's second president. Soeharto resigned in 1998 following nationwide
demonstrations.
"There's no political motivation whatsoever, let alone a desire to clear (Soeharto's) image or name," she said
during her book launch here, adding that she acknowledged many readers would have reservations about
picking up the book.
She began intensive interviews with Soeharto in 2005 and has met with him three to four times a year since.
Each visit, she said, lasted for no more than an hour.
Retnowati said she was aware the 376-page book, titled Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia's Second
President, could appear as defending Soeharto, but that she believed the former president was a victim of the
actions of his children and former ministers.
"(The biggest misconception about Soeharto) is that he's like his children. I don't think he's corrupt. His children
on the other hand, must have been difficult to control," she said, adding that Soeharto believes he is innocent of
corruption charges filed against him.
"He doesn't feel guilty. Whatever moves he made were products of a Cabinet, which included all former officials
ever to have worked with him. So if they're seeking his prosecution, they would have to involve all former vice
presidents and ministers," said Retnowati.
The book also details grudges Soeharto still holds against those he believes betrayed and deserted him at the
time of his fall in the wake of the 1997 financial crisis.
One of these people is Soeharto's successor, B.J. Habibie, who was vice president prior to the 1997 resignation
of the "smiling general".
Judging from her interviews with Soeharto, Retnowati believes he is still unable to forgive Habibie, who was seen
as one of his closest friends, for allowing his prosecution. The Supreme Court declared Soeharto unfit to stand
trial in 2002.
The corruption charges were revoked last year by the Attorney General's Office over the impossibility of a trial
due to what a presidential team of doctors claim to be permanent brain damage and a physical inability to stand
trial.
Retnowati said it was difficult to discuss with accuracy past issues with Soeharto because of his memory loss,
and that Soeharto's case highlighted to future leaders that they should not overly trust their ministers, but rather
examine political situations from the grassroots level up.
Muhammadiyah figure Ahmad Syafii Maarif said the book was empathetic toward Soeharto, but agreed that the
former president should be remembered for his accomplishments during his 32-year reign.
"His children should be mature enough to defend and face all the charges against their father. There's no way
he's ever going to be able to stand trial, so his children need to wake up and be bold," he said.
Azyumardi Azra, rector at state Islamic university Syarif Hidayatullah, said that despite his fall, none of Soeharto's
successors had managed to combine his political skills with his ability to "conveniently" position Indonesia in the
international community.
http://www.thejakartapost.com/detailnational.asp?fileid=20070426.H05&irec=4
#9
7.9.07
Soedjinah, yang pernah beberapa tahun mewakili gerakan wanita Indonesia dalam Gabungan Wanita
Demokratik Sedunia (GWDS) dan ikut dalam berbagai konferensi internasional, telah mengalami bermacammacam siksaan selama dalam tahanan militer, seperti halnya banyak wanita lainnya yang pernah ditahan atau
dipenjarakan selama bertahun-tahun oleh rezim Suharto dkk.
Dengan menyimak sejenak riwayat hidupnya, yang berupa wawancara dengan HD Haryo Sasongko (editor buku
"Terempas Gelombang Pasang" karya Soedjinah, terbitan ISAI) maka kita semua ingat kembali kepada
kekejaman dan kesewenang-wenangan rezim Suharto terhadap orang-orang kiri, termasuk anggota dan
simpatisan PKI dan pendukung Presiden Sukarno.
Riwayat hidup Soedjinah, yang menggambarkan bagaimana ia telah berjuang untuk bangsa, dan khususnya
untuk kebangkitan dan kebebasan wanita Indonesia, perlu diketahui oleh banyak orang, terutama generasi muda
dewasa ini dan di masa-masa yang akan datang.. Selain itu, penyajian secara singkat kisah hiduppnya ini juga
untuk mengingat kembali betapa besar kekejaman rezim militer Suharto dkk terhadap ratusan ribu -- bahkan
Soedjinah, yang di harituanya sampai wafatnya -- terpaksa tinggal di sebuah rumah jompo di Jakarta, hanyalah
seorang dari begitu banyak kader-kader, aktivis, dan pimpinan Gerwani, yang telah dipersekusi di seluruh
Indonesia. Sekarang ini masih banyak di antara mereka yang tetap terus mengalami berbagai penderitaan
sebagai eks-tapol.
Mengingat itu semualah maka berikut ini disajikan wawancara dengan Soedjinah, yang dilakukan oleh HD Haryo
Sasongko dalam bulan Desember 2000, yang selengkapnya adalah sebagai berikut.
Umar Said
****
Tanggal 6 September 2007, SOEDJINAH telah meninggal dunia. Untuk mengenang wafatnya tokoh wanita yang
pernah terlibat dalam perjuangan fisik di masa revolusi kemerdekaan dan perjuangan politik di masa
prakemerdekaan, namun nasib dirinya sendiri tidak merdeka sampai di akhir hidupnya, berikut dikutip kembali
sinopsis wawancara dengan SOEDJINAH, diangkat dari kumpulan dokumen tentang Korban Tragedi '65. Karena
wawancara dilakukan pada tahun 2000, jadi tidak mencakup kisah SOEDJINAH ketika masuk ke rumah Jompo.
Semoga ada manfaatnya. (HD. Haryo Sasongko)
Menyaksikan dan merasakan hidup terjajah, Soedjinah terpanggil untuk ikut bergerilya membantu Tentara
Pelajar dan laskar-laskar lainnya yang berniat mengusir penjajah. Karena tak tahan melihat darah, dia memilih
sebagai kurir. Selama Perang Kemerdekaan dia tak pernah absen, baik dalam menghadapi Clash I atau Clash II.
Usai penyerahan kedaulatan barulah dia kembali ke sekolah, kuliah dan kemudian aktif di Pemuda Rakyat serta
Gerwani. Dari sana dia kemudian melanglang buana, menghadiri berbagai forum pertemuan internasional.
Namun tragedi 1965 membawanya masuk penjara dan disekap di sana selama 16 tahun. Toh, di balik terali besi
itu, dia terus melanjutkan perjuangannya. Dia pun menulis pengalaman, puisi dan cerita pendek di kertas yang
dicurinya dari petugas penjara. Kini di masa tuanya, tanpa suami tanpa anak, Soedjinah memanfaatkan
kemampuannya berbahasa Inggris, Belanda dan Jerman dengan menjadi penerjemah dan memberikan kursus
di LSM maupun di rumah kontrakannya.
Sebagai anak pertama dari seorang Abdi Dalem Kraton Kasunanan Sala yang lahir pada tahun 1929 ini,
Soedjinah mendapat kesempatan mengecap pendidikan HIS selama tujuh tahun sampai tamat yang kala itu
sebenarnya hanya terbuka bagi keluarga orang-orang Belanda atau keluarga bangsawan saja. Hal itu terjadi
karena Soedjinah didekati oleh seorang putera Mangkubumi. Karena itu pula Soedjinah sudah menguasai
bahasa Belanda sejak masa kanak-kanak. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di MULO, namun kali ini tidak
sampai tamat karena baru menginjak tahun pertama Jepang datang. Sehingga Soedjinah harus melanjutkan
pendidikan di sekolah Jepang selama tiga tahun dan selesai di masa penjajahan Jepang.
Ketika itu Soedjinah mulai merasakan perlakuan penjajah Belanda maupun Jepang yang sama-sama
merendahkan bangsanya. Mula-mula dia harus memberi hormat terhadap orang-orang Belanda dan kemudian
terhadap orang-orang Jepang. Sementara orang-orang pribumi tetap menjadi warga kelas tiga pada strata yang
paling bawah. Lebih-lebih Soedjinah sangat sakit hati karena ketika itu dengan alasan untuk biaya perang
Jepang menyita harta benda milik rakyat pribumi seperti emas atau berlian sambil melakukan pemerasan serta
pelecehan seksual terhadap kaum wanita.
Karena itu sejak Proklamasi Kemerdekaan Soedjinah menyambut gembira dengan ikut serta di badan-badan
perjuangan. Pada masa perang kemerdekaan berkecamuk, Soedjinah pada tahun 1946-47 (Clash I) masuk
dalam Barisan Penolong sebagai kurir dan membantu logistik dapur umum di tengah medan pertempuran yang
terjadi antara lain di daerah Ampel dekat Salatiga hingga Tengaran dekat Semarang. Dia bergaul akrab dengan
para laskar pejuang muda yang kebanyakan dari TP (Tentara Pelajar), antara lain dipimpin oleh Achmadi yang di
kemudian hari menjadi seorang menteri pada masa pemerintahan Bung Karno.
Pada Clash II yang berlangsung hingga tahun 1949, Soedjinah juga ikut aktif bergerilya bersama tentara dan TP
sampai di Bekonang dan tempat tempat lain. Salah seorang pimpinannya yang masih diingat Soedjinah ialah
Soebroto yang di kemudian hari juga menjadi menteri. Ketika itu Soedjinah berperan sebagai kurir antar pasukan
gerilya yang berada di desa dan di perkotaan. Siang malam harus jalan kaki menyusup di pedesaan untuk
menghindari patroli Belanda.
Tahun 1950 ketika terjadi cease fire, Soedjinah kembali ke kota (Sala) untuk melanjutkan sekolah sampai dapat
menyelesaikan SMAnya di Yogyakarta pada tahun 1952. Ketika itu Soedjinah pernah mendapatkan beasiswa
untuk 5 tahun. Dia manfaatkan beasiswa itu untuk masuk ke Universitas Gajah Mada di fakultas sosial politik
yang sayangnya hanya sampai tiga tahun saja karena beasiswa sudah tidak ada lagi. Selanjutnya Soedjinah
aktif di Pesindo yang di kemudian hari menjadi Pemuda Rakyat dan juga di Gerwis yang di kemudian hari
menjelma menjadi Gerwani. Bahkan ketika Gerwis menyelenggarakan Konferensi Nasionalnya yang pertama di
Surabaya pada tahun 1951, Soedjinah sudah ikut serta di mana ketika itu juga ada SK Trimurti sebagai salah
seorang ketuanya. Pada masa itu di samping Gerwis juga sudah ada organisasi wanita Perwari (Persatuan
Wanita Republik Indonesia) yang sudah berdiri sejak 1946 dan Aisyiyah dari Masyumi. Sejak Konferensi
Nasional yang pertama itu, Gerwis sudah menjadi anggota Gabungan Wanita Demokratis Sedunia.
Dalam Kongres Gerwis di Jakarta pada 1954, barulah namanya berubah menjadi Gerwani dan sekretariatnya
pun pindah dari Surabaya ke Jakarta dengan Ketua Umum Umi Sardjono. Sejak itu pula Gerwani
mengembangkan sayapnya dan jumlah keanggotaannya terus meningkat di seluruh Indonesia. Soedjinah
semakin aktif di organisasi ini. Aksi-aksi menentang kenaikan harga bahan pokok, pemerkosaan dan pelecehan
seksual menjadi salah satu tema perjuangan Gerwani yang banyak menarik simpati masyarakat wanita,
sehingga sebelum pecahnya tragedi 1965, Gerwani merupakan organisasi wanita terbesar di Indonesia.
Ketika pada tahun 1955 diselenggarakan Festival Pemuda Sedunia di Praha Chekoslovakia, Soedjinah
mengikutinya sebagai wakil dari Pemuda Rakyat. Seusai Festival, Soedjinah mendapat tugas dari Gerwani untuk
bekerja di Sekretariat Gabungan Wanita Demokratis Sedunia yang berkedudukan di Berlin Timur selama dua
setengah tahun. Di sinilah puteri Abdi Dalem Keraton Kasunanan Sala ini medapat banyak pengalaman dalam
pergaulan dengan wakil-wakil gerakan wanita berbagai negara, baik dari AS, negara-negara Eropa Barat, Timur,
Australia, Afrika maupun sesama negara-negara di Asia. Ketika itu wanita Asia yang mengikuti kegiatan
kewanitaan di forum internasional baru dari India, China dan Indonesia. Selama aktif bekerja di Berlin Timur itu,
Soedjinah mendapat kesempatan pula untuk memperdalam pengetahuan dalam bahasa Inggris dan Jerman
yang dilakukannya seusai tugas kantor.
Dari Gerakan Wanita Demokratis Sedunia itu pula Soedjinah kemudian mendapat tugas melanglang buana
dengan mengikuti kongres-kongres di Eropa seperti di Prancis, Denmark, Italia, Austria, Finlandia, Yugoslavia,
Swedia dan juga Uni Soviet dan China. Tahun 1957 Soedjinah baru kembali ke Indonesia dan banyak membuat
karya-karya jurnalistik berupa laporan perjalanan yang pernah dilakukannya di berbagai suratkabar, di samping
menjadi penerjemah untuk bahasa Inggris, Belanda dan Jerman bagi tamu-tamu asing yang mengunjungi
sekretariat Gerwani. Di samping karya-karya jurnalistik, untuk menambah pendapatan guna menopang biaya
hidup (karena dana dari organisasi tidak mungkin mencukupi), Soedjinah juga membuat karya-karya sastra
dengan menulis cerita pendek, esai atau puisi dan dimuat di berbagai media.
Tahun 1963 Soedjinah aktif sebagai penerjemah untuk perwakilan kantor berita asing di Indonesia, antara lain
Pravda (Uni Soviet) di samping dia sendiri aktif menulis pemberitaan di suratkabar dalam negeri. Karena itu
Soedjinah sering juga keluar masuk Istana Merdeka dan bertemu tokoh-tokoh nasional. Ketika diselenggarakan
Kongres Buruh Wanita Internasional di Rumania, Soedjinah ditunjuk oleh pimpinan Sobsi sebagai penerjemah
untuk delegasi Gerwani Indonesia. Selanjutnya mendapat undangan untuk mengunjungi China.
Aktivitasnya di DPP Gerwani di Bagian Penerangan dan Penerjemahan, membuat dia harus sering tidur di
kantor. Sampai kemudian, terjadilah Peristiwa Gestapu dan dirinya bersama kawan-kawan lainnya ditangkap
dalam suatu penggerebegan yang dilakukan oleh suatu aparat keamanan. Padahal, semua personil Gerwani
sedang sibuk menyiapkan suatu acara, sehingga mereka kaget ketika di siang hari tanggal 1 Oktober 1965
mendengar warta berita tentang telah terjadinya peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal di Lubang Buaya dan
juga tentang telah dibentuknya Dewan Revolusi untuk menggagalkan rencana kudeta Dewan Jenderal. Mereka
benar-benar tak tahu menahu tentang hal itu. Konsentrasi mereka masih pada rencana penyelenggaraan
Kongres Gerwani. Terdorong keingintahuannya, Soedjinah pada hari itu pergi ke kantor CC PKI dan ternyata
kantor itu sudah dirusak massa. Soedjinah tak mau kembali ke kantor DPP Gerwani, tetapi juga tak pulang ke
rumah tempat tinggalnya. Dia pilih berkeliling menyelinap dari tempat ke tempat untuk mencari informasi lebih
lanjut tentang apa yang sebenarnya telah terjadi.
Dan informasi memang terus mengalir. Penangkapan-penangkapan telah terjadi atas diri para tokoh Gerwani.
Rumah yang ditempati Soedjinah dan dalam keadaan sudah dikosongkan, juga kantor DPP Gerwani itu sendiri,
ternyata sudah dijarah. Dia menginap dari satu tempat ke lain tempat secara sembunyi-sembunyi di rumah
kenalan atau saudara. Tak pernah ada tempat yang diinapinya sampai tiga malam berturut-turut. Pernah juga dia
tinggal di rumah mantan Kolonel Suwondo dari Divisi Brawijaya yang dikenalnya sebagai pendukung Bung
Karno.
Di tengah situasi politik yang memanas, Soedjinah bersama sejumlah kawannya yang sehaluan dalam
mendukung Bung Karno sempat membuat buletin bernama PKPS (Pendukung Komando Presiden Soekarno).
Ketika itu Soeharto sudah mencium adanya kegiatan tersebut dan siapa yang terbukti sebagai pendukung
Soekarno ditangkap. Selama dua tahunan, Soedjinah terus bergerilya sambil menyebarkan buletin ini ke
tengah masyarakat. Termasuk ke kedutaan-kedutaan negara asing. Sampai akhirnya dia tertangkap pada 17
Februari 1967 di rumah seorang kawan (yang juga ikut ditangkap) di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan.
Soedjinah dibawa ke suatu tempat mungkin sebuah sekolah tionghoa di daerah Pintu Besi yang dijadikan
semacam posko di Gunung Sahari Jakarta Pusat - oleh petugas keamanan yang menangkapnya dan mulailah
dia menyaksikan bahkan mengalami sendiri berbagai bentuk penyiksaan yang amat kejam bahkan banyak
tahanan yang sampai mati dalam penyiksaan. Dia sendiri (seperti kawan-kawan lainnya yang sama-sama
tertangkap, antara lain Soelami, Soeharti dan Sri Ambar) ditelanjangi dan dipukuli dengan rotan oleh delapan
orang tentara berbaju loreng. Seorang di antaranya, Letkol Acep, pimpinan di posko tersebut, konon pernah
dididik oleh CIA. Ketika kelihatan Soedjinah hampir mati - dan dia memang pura-pura mati - barulah seorang
tentara melerai agar penyiksaan dihentikan sehingga tahanan dapat dibawa ke pengadilan. Padahal di bagian
belakang halaman gedung tempat penyiksaan itu sudah digali lubang-lubang untuk mengubur mayat mereka
yang mati disiksa.
Soedjinah bersama tiga kawannya yang tidak sampai mati dalam penyiksaan itu akhirnya dibawa ke tempat lain
secara berpindah-pindah hingga lima kali (yang masih diingat, Kodam Jayakarta, kantor CPM Guntur), untuk
kemudian ditahan di Penjara Wanita Bukitduri guna diajukan ke pengadilan karena terbukti menerbitkan PKPS.
Karena dianggap sebagai orang berbahaya, maka Soedjinah dimasukkan ke sel khusus untuk diisolasi. Di
Bukitduri inilah Soedjinah bertemu dengan banyak kawan-kawan sesama Gewani, baik tingkat pimpinan, aktivis
hingga anggota biasa dan simpatisan.
Di tempat ini pula dia bertemu dengan anak-anak perempuan muda yang ditangkap di Lubang Buaya. Mereka
berusia sekitar 14 tahunan sehingga dapat dipastikan bukanlah anggota Gerwani, karena batas minimal usia
agar bisa menjadi anggota Gerwani adalah 18 tahun. Dari merekalah Soedjinah mendapat kepastian bahwa
tidak ada adegan mencungkil mata apalagi memotong alat kelamin para jenderal. Mereka di sana karena ikut
latihan sukarelawan Dwikora dari Pemuda Rakyat dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Merekalah yang
ketika ditangkap malah diperkosa oleh aparat yang menangkapnya dan dipaksa untuk mengaku sebagai
anggota Gerwani. Di antara mereka yang menghadapi pemaksaan dan penyiksaan itu ada yang bernama Emi
- adalah pelacur muda yang masih buta huruf, dan baru saja bebas dari Penjara Bukitduri sebulan sebelumnya
akibat kasus kriminal.
Di sel isolasi khususnya, Soedjinah tidak dapat berkomunikasi dengan siapa pun karena tertutup rapat dan
hanya ada lubang kecil untuk bernafas. Sehari hanya diberi kesempatan keluar untuk angin-angin selama satu
jam dengan penjagaan ketat. Makanan hanya diberikan sekali sehari sekitar dua sendok nasi saja atau jagung
rebus sekitar 40-60 butir. Bila ada kesempatan keluar sebentar, dia makan daun apa saja yang ada di dekatnya
untuk menutup rasa laparnya Dia diisolasi penuh di tempat ini selama 8 tahun, untuk selanjutnya dipisah di sel
isolasi untuk tahanan kriminal. Di sel ini Soedjinah dapat mencuri-curi kesempatan agar bisa berdialog dengan
tahanan kriminal dan mendapatkan banyak informasi dari mereka tentang kenapa mereka ditahan dan
bagaimana pula perlakuan aparat penguasa terhadap tahanan politik maupun tahanan kriminal selama di dalam
selnya.
Sementara itu pemeriksaan atas dirinya masih berjalan terus. Di antara mereka yang melakukan pemeriksaan itu
adalah bekas teman sekolah Soedjinah. Ketika kemudian diajukan ke depan pengadilan di Pengadilan Jakarta
Pusat pada tahun 1975 (hanya empat orang anggota Gerwani yang ketika itu diajukan ke depan pengadilan,
yakni Soedjinah, Soelami, Soeharti dan Sri Ambar karena terbukti menyebarkan buletin PKPS dan nyata-nyata
menentang rezim Soeharto-Nasution), seorang hakim yang mengadilinya adalah teman kuliahnya ketika di
Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Hakim itu keponakan SK Trimurti masih mengenal baik siapa Soedjinah
- ketika itu menjadi terdakwa II - yang kemudian divonisnya dengan hukuman 18 tahun. Vonis ini tidak berubah
ketika Soedjinah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Sesama aktivis Gerwani lainnya yang juga
mendekam di Penjara Bukitduri, seperti Tanti Aidit, Ny. Mudigdo dan Umi Sardjono - semua pimpinan Gerwani yang bertemu dengan Soedjinah tidak ada yang diadili karena tidak ada bukti apa-apa yang dapat diajukan ke
depan pengadilan kecuali sebagai aktivis Gerwani itu saja.
Sekitar tahun 1980, dari Penjara Wanita Bukitduri Soedjinah dipindahkan ke Penjara Tangerang. Di tempat inilah
dia mendapatkan kesempatan untuk menuliskan semua yang dialaminya selama di Penjara Bukitduri, termasuk
pengakuan sesama tahanan para gadis remaja yang tertangkap di Lubang Buaya dan dipaksa mengaku
sebagai anggota Gerwani itu di kertas-kertas yang dicurinya. Ketika itu, karena mempunyai kemampuan
melukis, Soedjinah diberi tugas membuat disain untuk kain bordir yang akan dikerjakan sesama tahanan wanita.
Sebagai disainer tentu saja dia membutuhkan kertas dan pensil. Dan inilah memang yang sesungguhnya dia
cari. Sebagian kecil dari kertas yang disediakan petugas penjara itu dia curi, disembunyikan, yang kemudian
dipakai untuk menuliskan catatan-catatan tentang pengalaman sesama tahanan, juga puisi bahkan cerita
pendek. Catatan yang ditulis di toilet di dalam selnya ini kemudian diselundupkan lewat seorang wartawan dari
Harian Sinar Harapan (kini Suara Pembaruan) yang menyaru sebagai arsitek dan tukang bangunan sehingga
bisa sering datang mendekatinya. Tulisan yang dikumpulkan oleh si wartawan itulah yang di kemudian hari
diserahkan kembali kepada Soedjinah sesudah dia bebas dan diterbitkan oleh Lontar sebagai buku.
Di penjara Tangerang, Soedjinah memang sedikit mendapatkan kebebasan, tidak dikurung dalam sel lagi.
Namun tetap dengan baju biru karena statusnya masih tetap disamakan dengan tahanan kriminal.Dia banyak
memberikan bimbingan dan pelajaran bahasa Inggris kepada para tahanan kriminal sehingga mereka
memanggilnya mamie kepada Soedjinah. Tahun 1983 dia baru dibebaskan sehingga dia total menjalani hidup
di belakang terali besi selama 16 tahun dari 18 tahun yang harus dijalaninya. Di luar penjara, tidak berarti dia
benar-benar bebas merdeka. Di samping masih dikenai wajib lapor diri di Kodim Jakarta Selatan sampai 1997,
KTPnya juga diberi stigma ET sampai 14 tahun kemudian dan tanda itu baru hilang setelah Soeharto lengser.
Ketika dibebaskan, Soedjinah tinggal di rumah saudaranya Widodo yang juga pernah mendekam di Pulau Buru
yang berada di Gandul. Menyadari dirinya tak mungkin bisa bekerja di instansi pemerintah berhubung
stigmatisasi pada KTPnya itu, maka untuk menghadapi hari-hari depannya Soedjinah hanya bisa mengandalkan
kegiatan memberikan les bahasa asing untuk menghidupi dirinya. Dia mengambil sertifikat untuk penerjemah
bahasa Belanda di Erasmushuis selanjutnya dia mengambil sertifikat sebagai guru bahasa Inggris di LIA.
Dengan modal inilah Soedjinah menapaki hari-hari kebebasannya dalam usia tua sebagai penerjemah dan guru
bahasa Inggris di sejumlah LSM, antara lain Kalyana Mitra dan Solidaritas Perempuan serta Yasalira yang
dikelola oleh Kartini Syahrir.
Beberapa karya terjemahan telah dihasilkan pula, antara lain dari tulisan Carmel Budiardjo dan sejumlah penulis
dari Australia. Kini, Soedjinah yang pernah mendapatkan Award dari Hawaii University dan Hamlet Award karena
ketekunannya untuk terus menulis meskipun berada di dalam penjara, tinggal seorang diri di sebuah rumah
sewa ukuran kecil yang harus dibayarnya setiap bulan Rp 125.000,- Di rumah itu pula dia memberikan les
bahasa Inggris untuk beberapa orang sambil terus menulis buku. Agar bisa lebih konsentrasi dalam menekuni
pekerjaannya, dia tak mau repot-repot memasak dan mencuci pakaian sendiri. Semua diserahkan kepada
tetangganya dan dia tinggal memberikan uang lelah kepada tetangganya itu.
Kini dia sedang menunggu bukunya Terhempas Gelombang Pasang yang berisi memori pribadinya selama
dalam penahanan yang diterbitkan oleh ISAI dan Mereka yang Tersisih (kumpulan 18 cerpen) yang diterbitkan
dalam bahasa Inggris oleh Yayasan Lontar. Dengan pengeluaran bulanan sekitar Rp 500.000,- Soedjinah yang
beragama Islam dan kini berusia 72 tahun ini masih bisa menyisakan sedikit uang untuk membantu saudarasaudaranya di Sala yang mengalami kesulitan mengarungi sisa hidupnya karena identitas mantan tapol dan
stigmatisasi pada KTPnya. Karena sikapnya yang suka menjalin keakraban dengan tetangga, sejak bebas
hingga kini Soedjinah tak pernah mengalami kesulitan dalam mensosialisasikan diri di lingkungan
masyarakatnya. Demikian juga bila dia sekali waktu pulang ke Sala, kota kelahirannya. Para tetangga
menyambutnya dengan baik , lebih-lebih karena orangtuanya dulu dikenal sebagai seorang guru mengaji.
***
http://perso.club-internet.fr/kontak
8.10.07
tertinggi militer dan presiden Cili) beserta 5 anak-anaknya dan 17 pembantu (militer dan sipil)
terdekatnya karena tuduhan korupsi, merupakan satu berita lainnya yang bisa menarik banyak
perhatian internasional.
Berita tentang tindakan terhadap istri dan anak-anak Pinochet tersebut disiarkan mulai tanggal 4
Oktober 2007 oleh kantor-kantor berita internasional dan nasional yang besar-besar, seperti United
Press, Associated Press, Reuter, AFP, Kyodo, dan juga radio-radio berbagai negeri. Boleh dikatakan
banyak suratkabar di dunia juga menyiarkan berita yang termasuk menarik ini.
Oleh karena pentingnya masalah perintah penahanan terhadap keluarga mantan diktator Cili beserta
sejumlah besar pembantu-pembantunya, dan kaitannya dengan kasus korupsi besar-besaran
jenderal Pinochet, maka berikut ini disajikan rangkuman berita-berita dari berbagai sumber mengenai
persoalan-persoalan itu.
Mungkin sekali banyak orang di Indonesia ketika membaca berita tentang tindakan hukum terhadap
keluarga mantan diktator Pinochet ini akan teringat kepada kasus korupsi besar-besaran yang
dilakukan oleh keluarga Suharto, seperti yang disajikan dalam laporan majalah TIME atau
tulisan George Aditjondro.
Karenanya, berita tentang tindakan terhadap janda Pinochet dan 5 anak-anaknya beserta sejumlah
besar pembantu-pembantunya itu akan membangkitkan kemarahan banyak orang di Indonesia (dan
juga di luarnegeri) mengenai kasus korupsi Suharto. Dan wajar sekalilah kiranya kalau ada orangorang di antara mereka yang bertanya, bahkan diiringi pula dengan protes : Kalau kejahatankejahatan Pinochet (yang jauh sekali lebih kecil dari kejahatan-kejahatan Suharto !!!) bisa ditindak
secara hukum, mengapa kejahatan-kejahatan Suharto tidak ?
Mengenai persoalan sekitar kasus Pinochet dan Suharto, yang mungkin sekali menjadi perhatian
banyak orang ini, sekarang sedang dipersiapkan adanya sebuah rubrik khusus dalam
website http://kontak.club.fr/index.htm yang merupakan kumpulan berita, tulisan atau bahanbahan mengenai persoalan ini, dihubungkan dengan gugatan Suharto terhadap Time dan juga
dengan disiarkannya oleh PBB dan Bank Dunia bahwa Suharto adalah pencuri nomor satu di
dunia. Yang berikut ini adalah rangkuman berita terbaru dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
tindakan pengadilan Cili terhadap keluarga Pinochet itu :
yang kuat (solid) bahwa mereka berpartisipasi dalam penyelewengan pajak (misuse of fiscal funds)
selama kediktatoran Pinochet antara 1973-1990. Indikasi-indikasi tersebut dijelaskan
dalam dokumen pengadilan (courts documents) yang setebal 2000 halaman. Di antara indikasiindikasi tersebut terdapat persoalan penyelewengan sebesar $ 27 juta yang disimpan dalam bankbank di Cili dan di luarnegeri. Jaksa Carlos Cerda sedang mempertimbangkan apakah mereka itu
akan ditahan terus atau dibebaskan untuk kemudian diajukan di depan pengadilan.
Menteri Kehakiman Cili, Carlos Maldonado mengatakan bahwa ia tidak akan memberikan perlakuan
istimewa yang berbentuk apa pun (any form of privileged treatment) terhadap keluarga Pinochet yang
ditahan. "Kita semua orang-orang Cili adalah setara (sederajat) di depan hukum. (We Chileans are all
equal before the law)".
Jaksa Carlos Cerda juga bertugas untuk mengusut pengiriman secara sembunyi-sembunyi oleh
Pinochet uang sebanyak $ 25 juta dengan bantuan bank Riggs yang bermarkas di Washington.
Kasus ini muncul ketika dalam 2004 Senat AS menemukan ratusan rekening atas nama Pinochet dan
keluarganya dalam bank Riggs ini.
Pemerintah Cili menegaskan bahwa tindakan penahanan terhadap istri dan anak-anak Pinochet
beserta 17 pembantu-pembantu terdekatnya adalah sepenuhnya berupa keputusan hukum (strictly
judicial decision). "Pengadilan sudah memerintahkan penahanan ini (the courts have ordered the
arrest). Pemerintah tidak memberikan keterangan lainnya", kata menteri dalamnegeri Cili Felipe
Harboe. Sedangkan Presiden (wanita) Cili, Michele Bachelet, mengatakan tentang perintah
penahanan ini "Kami menunggu putusan pengadilan dengan tenang. Tidak ada seorang pun di Cili
yang berada di atas hukum".
Jenderal Pinochet, yang memerintah Cili antara 1973-1999 telah meninggal dalam bulan Desember
tahun yang lalu ketika berumur 91 tahun. Waktu meninggal ia sedang menjalani tahanan rumah
karena dituduh telah melakukan korupsi, penggelapan pajak dan pelanggaran HAM. Sampai
meninggalnya ia tidak jadi diadili oleh pengadilan karena alasan kesehatan dan sudah tua. Tetapi
selama ia dalam tahanan sebagian harta yang dikumpulkannya lewat korupsi dapat dibekukan.
Pinochet wafat dengan meninggalkan istrinya Lucia Hiriart (sekarang umur 84 tahun) dan 5 anaknya
yang masing-masing bernama Augusto, Lucia, Marco Antonio, Jacqueline dan Veronica. Kematiannya juga
meninggalkan citra buruk bagi keluarga dan para pembantunya terdekat. Para jaksa Cili yang mengusut
perkaranya selalu mengatakan bahwa keluarga besar Pinochet telah terlibat dalam berbagai kejahatannya itu dan
karenanya mereka harus diadili.
Pinochet, salah seorang pimpinan militer di Amerika Latin menjadi paling tersohor karena telah merebut
kekuasaan dari presiden terpilih Salvador Allende yang berhaluan sosialis, dengan mendapat bantuan terangterangan dari AS (lewat kegiatan-kegiatan CIA-nya). Setelah melakukan coup d'etat, maka Pinochet telah
memburu dan menghabisi kekuatan kiri yang mendukung presiden Allende, yang merupakan kejahatankejahatan terhadap HAM secara besar-besaran dalam sejarah modern Cili.
Sekitar 3000 orang telah dibunuh oleh aparat militer (termasuk oleh intel Cili yang terkenal kejamnya), dan 28
000 orang telah ditahan secara sewenang-wenang dan disiksa, sedangkan ratusan ribu orang lainnya lari keluar
negeri ke berbagai penjuru di dunia. Di antara orang yang pernah dipersekusi Pinochet adalah Michele Bachelet,
wanita yang sekarang terpilih untuk menjabat sebagai presiden Cili. Ia sendiri pernah ditahan dan disiksa di
rumah penjara,sedangkan ayahnya telah wafat di penjara sesudah mengalami siksaan berat.
Sementara itu didapat berita juga bahwa Perancis sedang menuntut diadilinya in absentia 17 pembantupembantu Pinochet karena dituduh telah menghilangkan 4 warganegara Perancis dalam tahun 70-an. Di antara
mereka yang dituntut diadili itu terdapat Manuel Contreras, pembangun polisi rahasia Cili, dan Paul Schaefer,
yang memimpin Colonia Dignidad, suatu kamp besar dimana banyak tahanan politik disekap selama
kediktatoran Pinochet.
sewenang-wenang, ratusan ribu tapol yang ditahan bertahun-tahun di penjara-penjara dan kamp-kamp (termasuk
10 000 di Pulau Buru) dan puluhan juta orang lainnya sebagai korban Orde Baru.
Jadi, dalam beberapa hal, ada persamaannya antara Pinochet dan Suharto, tetapi banyak hal juga berbeda jauh
sekali, umpamanya (antara lain) mengenai besarnya jumlah kejahatan HAM atau hasil korupsi. Jelaslah kiranya
bagi banyak orang bahwa apa yang telah dilakukan oleh Pinochet terhadap rakyat Cili adalah jahat dan serius
sekali, tetapi apa yang dilakukan Suharto adalah ribuan kali lebih serius dan juga lebih jahat lagi, kalau dilihat
dari berbagai segi.
Di Cili penegakan hukum bisa diusahakan dijalankan dan dihormati, dan karena itu kepercayaan rakyat kepada
pemerintah bisa dipupuk. Di Indonesia sebaliknya, penegakan hukum hanya menjadi pemeo yang tidak artinya
atau sebagai slogan yang tidak ada harganya sama sekali. (Contohnya, antara lain : kasus gugatan Suharto
terhadap majalah TIME, berbagai kasus Tommy Suharto, kasus 7 yayasan Suharto, kasus pembunuhan Munir
dll dll dll dll !!!).
Di Cili para korban diktatur militer Pinochet mendapat perlakuan yang layak dan juga pembelaaan dalam
berbagai cara dan bentuk untuk menuntut keadilan. Di Indonesia, para korban Orde Baru (yang jumlahnya
jutaan orang itu) masih tetap terus mengalami berbagai perlakuan yang tidak layak dari pemerintah dan dari
sebagian kalangan di masyarakat.
Di Cili keluarga mantan presiden Pinochet (istri beserta 5 anaknya) dapat ditindak (dalam tahanan) karena
dituduh terlibat korupsi yang dilakukan Pinochet, berkat adanya sistem hukum dan peradilan yang independen,
bersih, dan berwibawa. Di Indonesia, banyak pengalaman (umpamanya : di Mahkamah Agung, Kejaksaan
Agung) menunjukkan betapa bobroknya moral para hakim dan jaksa kita (dan tokoh-tokoh dalam berbagai
lembaga penting lainnya) dalam menghadapi kasus keluarga Suharto.
Di Cili banyak kesalahan-kesalahan diktatur militer Pinochet telah dikoreksi dan para pelaku berbagai kejahatan
(politik,ekonomi, militer dan HAM) telah dan sedang terus ditindak. Tetapi di Indonesia kita saksikan masih
diteruskannya -sampai sekarang ! - berbagai politik salah semasa pemerintahan Orde Baru.
Berbagai fakta dan banyak pengalaman sudah menunjukkan dengan jelas bahwa berlainan dengan situasi di Cili,
dimana perubahan besar sudah - dan sedang terus - terjadi di bidang politik dan pemerintahan, maka di
Indonesia tidak ada perubahan mendasar. Perubahan besar di Indonesia hanyalah mungkin terjadi kalau ada
pergantian kekuasaan politik dari yang sekarang, yang masih didominasi oleh orang-orang yang sikap politik
dan moralnya masih berbau Orde Baru
Lalu, bagaimana dengan kasus Suharto beserta keluarganya?
Paris, 8 Oktober 2007
Ia menyarankan jaksa maupun hakim mengajak dokter lain membuatsecond opinion, apakah
tersangka benar-benar sakit ataukah hanya berpura-pura. "Jadi, jangan mendengarkan pendapat
satu pihak saja," ujarnya.
Menurut Yuntho, banyak tersangka kasus korupsi pura-pura sakit untuk memperlambat
persidangan untuk memperoleh pembebasan bersyarat. "Dahulu Abdullah Puteh dinyatakan
sakit, tapi oleh tim dokter KPK dinyatakan sehat-sehat saja. Sakit itu bisa diatur kok," ujarnya.
Mantan Direktur Utama Perum Bulog Widjanarko Puspoyo dua kali menjalani pemeriksaan
kesehatan di Rumah Sakit Pusat Pertamina selama masa penahanan. Hasilnya menunjukkan
Widjan sehat-sehat saja. Menanggapi hal ini, Direktur Penuntutan Jampidsus Salman Maryadi
mengatakan meskipun kuasa hukum Widjan, O.C. Kaligis, menyebutkan hasil pemeriksaan di
Klinik Prodia menunjukkan kolesterol kliennya tinggi, jaksa tetap percaya pada hasil
pemeriksaan dokter RSPP. "Kami tetapi meyakini pemeriksaan RSPP," ujar dia.
Menurut Salman, kejaksaan keberatan jika Widjan menjalani rawat jalan seperti yang diminta
pengacaranya. "Selama dokter menyatakan normal, kami keberatan kalau rawat jalan. Namun,
semua bergantung pada Majelis Hakim," ujarnya.
Menurut O.C. Kaligis, hasil pemeriksaan Klinik Prodia hari Jumat (5-10) menunjukkan kolesterol
Widjan mencapai 242 dari batas normal 240. Pada hari Selasa (9-10), Widjan dikembalikan ke LP
Cipinang. Sebelumnya, tanggal 31 Mei 2007, Widjan sempat dilarikan ke RSPP dari LP Cipinang
karena masalah jantung. Namun, dokter mempersilakan Widjan kembali ke LP karena sakit yang
dideritanya tidak parah. n U-2
17.10.07
B E R - H A R I R AYA L E B A R A N D E N G A N S U H A RTO
H A R I R A YA L E B A R A N S U D A H L E W AT. D A N K E T U PAT S E R T A
MA K A NA N-MA KA NA N L E Z AT YANG MA CA M-MA CA M I T U S UDA H
H A B I S J U G A ATAU T I N G G A L S I S A - S I S A N YA S A J A . Z A K AT S U D A H
DI B AG I -B A GI K A N KE PADA ME RE KA YANG B E RHAK ME NE RI MA N YA,
SEDANGKAN SAMPAH-AMPAH JUGA SUDAH DIBUANG. SEMENTARA
I T U , B A N YAK O R A N G S U D A H L U PA ATAU T I D A K P E D U L I L A G I
KEPADA UCAPAN SALING MEMA'AFKAN, DAN PARA PENCOLENG
DAN KORUPTOR (SERTA PARA PENIPU POLITIK !!!) AKAN
M E N E R U S K A N , D E N G A N L E L U A S A , B E R B A G A I K E J A H ATAN
MEREKA SEPERTI BIASANYA.
Dalam rangka Hari Raya Lebaran yang telah usai ini ada berita yang cukup menarik untuk kita
perhatikan bersama, dan berusaha kita jabarkan dari berbagai sudut pandang. Berita itu adalah
tentang sowannya (bahasa Jawa, artinya : menghadap) sejumlah pejabat tinggi dari berbagai
lembaga negara dan tokoh kepada Suharto. Untuk itu, di bawah ini disajikan sebagian apa yang
diberitakan oleh Balipos dan Detikcom.
Chrisnandi. A
nggota Komisi I
DPR ini meminta semua pihaktidak mempersoalkan lagi pengadilan atas diri man
tan Presiden RIitu mengingat kondisi fisiknya yang sudah sangat sepuh. Yuddyme
Sedangkan Detkcom menulis sebagai berikut : "Meski sudah tak lagi berkuasa, kharisma mantan
Presiden Soeharto tampaknya masih besar. Puluhan tokoh-tokoh merasa perlu bersilaturahmi ke
Soeharto. Berdasarkan laporan reporter detikcom, para pejabat, mantan pejabat dan pengusaha itu
silih berganti tiba di kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta, Sabtu (13/10/2007)
sejak pagi.
Tokoh-tokoh lainnya:
- Konglomerat Bob Hasan
- Konglomerat Setiawan Djodi
- Ekonom Sri Edi Swasono
-
Paris, 17 Oktober
22.10.07
VHRmedia.com, Jakarta - Salah satu tergugat perkara perdata tukar guling lahan milik Badan Urusan Logistik
dengan PT Goro Batara Sakti, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, menyerahkan proposal
perdamaian kepada Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung.
Dalam sidang mediasi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (22/10), Elza Syarief, pengacara Tommy
Soeharto, enggan menyebutkan isi proposal perdamaian tersebut. Elza juga menolak menyebutkan nilai nominal
yang diajukan Tommy
PENGACARA SOEHARTO BANTAH ADA PINJAMAN ILEGAL
VHRmedia.com, Jakarta - Kuasa hukum Soeharto dan Yayasan Supersemar menampik tuduhan ada
penyaluran dana ilegal milik yayasan ke kroni Soeharto dalam bentuk pinjaman.
Juan Felix Tampubolon, pengacara bekas presiden itu, mengatakan pinjaman dana yang dilakukan perusahaan
milik kroni Soeharto kepada Yayasan Supersemar dilakukan berdasarkan aturan hukum.
Menurut Juan Felix, pinjam-meminjam dalam bentuk penyertaan saham dan penambahan modal dari Yayasan
Supersemar kepada perusahaan-perusahaan tersebut
PAS U K A N K O R E A S E L ATAN TE TAP D I I R A K
VHRmedia, Seoul - Pemerintah Korea Selatan mempertahankan pasukan tempurnya di Irak hingga tahun 2008.
Namun jumlah pasukan akan dikurangi separonya. Keputusan itu dikeluarkan sebulan setelah berakhirnya
penyanderaan warganya di Afghanistan, yang menelan dua korban jiwa.
"Pasukan di Irak akan ditarik, yang seharusnya akhir Desember 2007, akan ditunda hingga tahun depan. Namun
jumlahnya akan dikurangi dari 1.200 menjadi 600 personel," kata juri bicara Kementerian Pertahanan Korea
Selatan,
BURUH MOGOK, TRANSP ORTASI PRANCIS LUMPUH
VHRmedia.com, Paris - Pemimpin sejumlah serikat buruh kereta api Prancis bertemu untuk merancang langkah
berikut setelah mengadakan mogok kerja. Aksi itu telah melumpuhkan jalur transportasi nasional, terutama di
sekitar Paris.
Pada pertemuan Minggu (21/10) para buruh menyatakan mogok kerja itu sebagai respons atas rencana
Presiden Nicolas Sarkozy yang akan memotong keringanan pensiun buruh kereta api dan energi. Pemerintah
menyatakan hanya pekerja yang telah bekerja 40 tahun
---------------------------------------------------
Aan
www.VHRmedia.com
Jakarta
T. 021 - 8318274
F. 021 - 8318276
22.10.07
Penyaluran dana
?Peminjaman dana kepada perusahaanperusahaan tersebut tidak dilarang dalam AD/ART yayasan sebagaimana
tercantum pada pasal 3 ayat (4) yakni yayasan berhak meminjamkan
uang yayasan kepada pihak lain. Jadi, tergugat tidak melakukan
tindakan melawan hukum sebagaimana dituduhkan penggugat,? kata
Assegaf.
24.10.07
http://www.gatra.com/artikel.php?id=108932
Namun, di luar gugatan ini, ada hal yang tampaknya memang luput dari perhatian publik. Beberapa bulan setelah lengser, tepatnya 22 November 1998, Pak Harto melayangkan
surat kepada Presiden B.J. Habibie. Isinya, ia menyerahkan ketujuh yayasan yang dipimpinnya itu kepada pemerintah. "Surat itu isinya menyerahkan pengelolaan yayasan
kepada pemerintah, bukan kepemilikan," ujar Subiakto Tjakrawerdaya, Sekretaris Pengurus Yayasan Damandiri.
Walau demikian, Subiakto mengaku, sampai saat ini aktivitas yayasan yang berkiprah membantu keluarga miskin itu masih berada di tangan pengelola. Dan, sejauh ini, tidak
ada wakil pemerintah yang berada di dalam kepengurusan. "Namun kami tetap melaporkan perkembangan yayasan kepada pemerintah melalui Menko Kesra," katanya.
Hal itu juga dibenarkan Juan Felix. Ia menegaskan, lewat surat itu, Pak Harto menyerahkan koordinasi ketujuh yayasan itu kepada pemerintah. Koordinasi itu, mulai operasi
kegiatan hingga penyaluran sejumlah dana, diawali oleh Kantor Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Lalu sempat berpindah ke Sekretariat Negara. "Sekarang saya tidak
tahu lagi lembaga mana yang mengoordinasikan," ujarnya.
Sejak Pak Harto lengser, sumber-sumber dana bagi yayasan banyak menciut. Bahkan ada yang terhenti sama sekali. Seperti diungkapkan Sulastomo, Ketua Pengurus YAMP.
Dulu sumber dana utama yayasan itu berasal dari sumbangan wajib pegawai negeri, anggota tentara, dan polisi yang beragama Islam.
Sumbangan itu diambil dari gaji mereka yang besarnya menurut golongan: yang terendah Rp 50 dan tertinggi Rp 2.000 per bulan. Tapi aliran dana itu dihentikan sejak Habibie
berkuasa. "Sekarang kami hidup dari deposito bank dan dividen dari saham yayasan di Bank Muamalat dan Gedung Granadi," katanya.
Akibatnya terasa langsung pada kegiatan-kegiatan yayasan yang berdiri pada 17 Februari 1982 itu. Kalau dahulu yayasan itu bisa membangun puluhan masjid sekaligus, kini
paling banyak delapan masjid dalam setahun. Demikian pula, dulu yayasan sanggup mengirim ribuan da'i ke 18 provinsi di Indonesia. Kini kegiatan itu jadi sangat terbatas. Tapi,
Sulastomo mengaku, proses peradilan Pak Harto dan Yayasan Supersemar tak memberi pengaruh pada aktivitas YAMP.
Hal serupa diungkapkan Subiakto. Menurut dia, operasional dan kegiatan Yayasan Damandiri tak terpengaruh oleh gugatan terhadap Yayasan Supersemar. "Kami jalan terus
karena ini misinya untuk rakyat banyak. Yang penting, kami kelola dengan akuntabel dan transparan," ujar mantan Menteri Koperasi dan Pemberdayaan Usaha Kecil dan
Menengah itu.
Sama pula halnya dengan YAMP, sumber dana Yayasan Damandiri merosot seiring dengan lengsernya Pak Harto. Subiakto mengakui, kini tidak ada lagi pihak yang menjadi
donatur. Padahal, dulu yayasan ini mengelola sumber-sumber dana dari para konglomerat. "Begitu Pak Harto berhenti, kan sumber dana ini distop. Ya, sudah, kami mengelola
dana yang ada saja," katanya, sembari menyebut total dana milik yayasan kini sekitar Rp 3,5 trilyun.
Erwin Y. Salim, Deni Muliya Barus, Rach Alida Bahaweres, dan Mukhlison S. Widodo
[Laporan Utama, Gatra Nomor 50 Beredar Kamis, 25 Oktober 2007
25.10.07
Dalam pengakuannya di depan Mahmillub pada 1967-1968, Ketua BC PKI Syam menyatakan seluruh
perbuatannya sebagai pelaksanaan instruksi Ketua PKI Aidit termasuk pengumuman dan dekrit yang
disampaikan lewat RRI Jakarta menurut pengakuannya disusun oleh Aidit. Segala pengakuan Syam tentang
G30S boleh dibilang tidak dapat diperiksa dan dirujuk kebenarannya. Dokumen G30S yang diumumkan pada 1
Oktober 1965 yang terdiri dari pengumuman Letkol Untung, Dekrit No.1, Keputusan No.1 dan Keputusan No.2,
rendah mutu politiknya. Dalam pengumuman pertama bernada emosional. Sulit dipercaya dokumen semacam
itu disusun oleh seorang Aidit, seorang pemimpin politik yang telah malang melintang secara nasional dan
internasional, pemimpin komunis kaliber dunia.
Dalam pengumuman yang dibacakan di RRI Jakarta pada 1 Oktober 1965 jam 07.00 pagi a.l. disebutkan,
"Presiden Sukarno selamat dalam lindungan Gerakan 30 September. Juga sejumlah tokoh-tokoh masyarakat
lainnya yang menjadi sasaran tindakan Dewan Jenderal berada dalam lindungan Gerakan 30 September."
Pernyataan ini tidak benar karena keberadaan Presiden Sukarno di PAU Halim merupakan kehendak beliau
sendiri berdasarkan prosedur baku penyelamatan. Rombongan presiden ini berada dalam lindungan lingkungan
PAU Halim, sedang pasukan G30S berada di luarnya, ketika hendak masuk ke wilayah PAU Halim mereka diusir
oleh pasukan penjaga pangkalan. Memang Brigjen Suparjo, salah seorang pemimpin G30S menemui BK di
Halim. Dari Halim Presiden Sukarno memanggil sejumlah petinggi negara untuk menemuinya
Selanjutnya dokumen itu bertentangan dengan politik front nasional yang mati-matian diperjuangkan oleh
pimpinan PKI. Terlebih lagi dokumen itu menafikan persekutuan PKI dengan Presiden Sukarno. Dalam Dekrit
No.1 antara lain disebut, "Dewan Revolusi Indonesia menjadi sumber daripada segala kekuasaan dalam Negara
Republik Indonesia," selanjutnya, "Dengan jatuhnya kekuasaan negara ke tangan Dewan Revolusi Indonesia,
maka Kabinet Dwikora dengan sendirinya berstatus demisioner." Ini berarti kudeta terhadap kekuasaan Presiden
Sukarno, meski dalam kenyataannya hanya di atas kertas dan tidak pernah mewujud. Apa mungkin Aidit
mengubah dasar politik PKI dalam semalam pada saat BK masih segar bugar? Pendeknya dokumen-dokumen
tersebut menyerimpung politik PKI ketika itu, sesuatu yang mokal jika disusun oleh seorang Ketua PKI DN Aidit.
Kekanak-kanakan dan Mencari Musuh
Dalam pengumuman Letkol Untung tentang gerakan termuat retorika emosional. "Jenderal-jenderal dan
perwira-perwira yang gila kuasa, yang menelantarkan nasib anak buah, yang di atas tumpukan penderitaan anak
buah hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya menghina kaum wanita dan menghambur-hamburkan uang
negara harus ditendang keluar dari Angkatan Darat dan diberi hukuman setimpal...."
Kegiatan Dewan Revolusi (DR) sehari-hari disebutkan diwakili oleh Presidium Dewan yang terdiri dari
komandan dan wakil-wakil Gerakan 30 September (G30S), yang semuanya dari kalangan ABRI (termasuk polisi)
yakni Letkol Untung (Komandan), Brigjen Suparjo (Wakil Komandan), Letkol Udara Heru (Wakil Komandan),
Kol Laut Sunardi (Wakil Komandan), Ajun Komisaris Besar Polisi Anwas (Wakil Komandan). Dengan kata lain
pemerintah harian dipegang oleh militer alias pemerintah militer. Lima orang ini sekaligus menjadi Ketua dan
Wakil ketua DR yang seluruh anggotanya terdiri dari 45 orang (termasuk ketua dan wakilnya), dengan 23 orang
dari kalangan ABRI, 2 orang pemimpin PKI eselon dua atau tiga. Apa pun susunannya, dewan ini tidak pernah
eksis dalam sejarah Indonesia.
Dalam keputusan No.2 disebutkan, "... segenap kekuasaan dalam negara Republik Indonesia.... diambil alih
oleh Gerakan 30 September...." Dokumen ini masih berlanjut "....Gerakan 30 September yang Komandannya
adalah perwira dengan pangkat Letnan Kolonel, maka dengan ini dinyatakan tidak berlaku lagi pangkat dalam
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang di atas Letnan Kolonel atau setingkat...." Pendeknya dokumen ini
selain sekali lagi menegaskan penyingkiran Presiden Sukarno, sementara dalam pengumuman pertama
disebutkan tentang penyelamatan Presiden Sukarno, secara kekanak-kanakan tidak mengakui pangkat setara
atau di atas sang komandan Letkol Untung. Bukan saja kekanak-kanakan, tetapi juga mencari musuh lebih
banyak lagi alias memperlebar front musuh.
Dokumen DARIPADA
Dua dokumen penting yang disiarkan oleh RRI Jakarta pada Oktober1965
yang mungkin selama ini kurang mendapat perhatian dari segi bahasanya. Yang
pertama dokumen pengumuman G30S tentang penurunan dan penaikan pangkat
yang disiarkan RRI pada siang hari 1 Oktober 1965. Dokumen kedua pidato
Mayjen Suharto di Lubang Buaya pada 4 Oktober 1965 yang malamnya disiarkan
oleh RRI.
Dokumen pertama dari G30S pada butir kedua berbunyi sbb, "Karena
Gerakan 30 September pada dasarnya adalah gerakan DARIPADA Prajurit
bawahan, terutama DARIPADA Tamtama dan Bintara, maka dengan ini
dinyatakan, bahwa semua Tamtama dan Bintara dari semua Angkatan Bersenjata
RI yang mendukung Gerakan 30 September dinaikkan satu tingkat lebih tinggi
DARIPADA sebelum tanggal 30 September 1965". Sedangkan dokumen kedua
pidato Mayjen Suharto pada bagian akhir kalimat alinea kedua dan kalimat
pertama alinea ketiga berbunyi sbb, ". tidak mungkin tidak ada hubungan
dengan peristiwa ini DARIPADA oknum-oknum DARIPADA anggota AURI. Oleh
sebab itu saya sebagai warga DARIPADA anggota AD mengetok jiwa
perasaan DARIPADA patriot anggota AU bilamana benar-benar ada oknumoknum yang terlibat dengan pembunuhan yang kejam DARIPADA para Jenderal
kita yang tidak berdosa ini saya mengharapkan agar supaya para patriot
anggota AU membersihkan juga DARIPADA anggota-anggota AU yang terlibat".
Meninjau kedua dokumen tersebut haruslah dalam konteks jamannya, gaya bahasa
dengan penggunaan kata DARIPADA semacam itu tidaklah lazim di masa itu. Hal ini amat
berbeda dengan gaya bahasa selama lebih dari 30 tahun Orba yang begitu dominan, bahkan
sampai saat ini sering masih kita temukan keluar dari mulut 'daripada' para pemimpin dan
'daripada' birokrat di depan publik, juga mereka yang bicara di televisi. Kita semua
mengenal gaya bahasa itu mula-mula milik Suharto, selalu dipeliharanya tanpa putus
sepanjang kekuasaan dan sesudahnya. Dalam pidato pendek pengalihan kekuasaannya
kepada BJ Habibie, Jenderal Besar Suharto telah menggunakan berpuluh 'daripada'.
Rupanya Suharto memang 'daripada' kampiun dan pencinta 'daripada' yang tiada
bandingnya.
Dalam dokumen pertama dalam satu kalimat terdapat 3 (tiga) 'daripada',
sedang pada dokumen kedua dalam dua kalimat terdapat 6 (enam) 'daripada'.
Dari situ dapat dibuat beberapa kesimpulan sementara, Letkol Untung,
Komandan G30S [atau katakan DN Aidit] mempunyai gaya bahasa yang sama
dengan Mayjen Suharto, Panglima Kostrad yang baru saja melumpuhkan G30S.
Atau dokumen-dokumen tersebut mempunyai pabrik tunggal?
Menurut pengakuan Letkol Untung kepada Letkol Heru Atmodjo, mantan Perwira Intelijen AURI selama di
penjara, ia tidak tahu menahu dokumen tersebut di atas. Sedang dokumen sebelumnya tentang pengumuman
G30S yang disiarkan RRI pada 1 Oktober 1965 setelah warta berita jam 7.00 pagi disodorkan oleh Syam
Kamaruzaman kepadanya untuk ditandatangani.[]
__._,_.___