Anda di halaman 1dari 240

Dahulu bernama Putu Setia - Jurnalis TEMPO Media Grup.

Sejak menjadi pendeta Hindu, 21 Agustus 2009, tinggal di


Pasraman Dharmasastra Manikgeni, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, Bali.

Minggu,25 Mei 2014 @ 22:46

Basa Basi

Pandita Mpu Jaya Prema


Suatu hari saya harus mencari surat keterangan kesehatan dari dokter
untuk menjadi "pelayan umat". Begitu pentingnya surat itu, kalau tak ada,
saya tak bisa dilantik. Saya pun datang ke puskesmas. Ketika berhadapan
dengan dokter, saya hanya ditanya berapa tinggi, berapa berat, ada cacat
fisik apa tidak. Saya menjawab, dokter menulis dan langsung tanda
tangan tanpa memeriksa saya. Hanya membayar Rp 2.000 untuk
administrasi.
Jauh sebelum itu, ketika saya memperpanjang surat izin mengemudi
(SIM), polisi meminta saya mencari surat keterangan dokter. Untuk apa
lagi, kan cuma memperpanjang SIM? "Untuk cek terakhir, siapa tahu kaki
atau tangannya buntung," kata polisi. La, kan tubuh saya bisa dilihat?
Repot amat. "Aturannya begitu. Tak usah repot, di sini sudah disediakan
suratnya, tinggal bayar," kata polisi lagi. Setelah saya membayar Rp 10
ribu, surat keterangan itu tinggal diisi identitas saya. Selesai urusannya.
Surat keterangan kesehatan untuk dua keperluan itu bisa disebut basabasi. Diremehkan tak bisa, karena harus jadi lampiran berkas. Diseriuskan
pun jauh dari kenyataan, tak ada pemeriksaan apa-apa. Saya ingat hal ini
karena pasangan capres dan cawapres sedang diperiksa kesehatannya.
Ada 51 dokter spesialis yang memeriksa, semua tubuh diperiksa,
termasuk jiwa yang tak tampak itu. Biayanya pun luar biasa, Rp 75 juta
per orang.
Untuk apa pemeriksaan yang menyita waktu 9 jam itu? Untuk persyaratan
menjadi presiden dan wakil presiden. Persyaratan basa-basi? Tentu tidak.
Para dokter itu disumpah untuk mengeluarkan hasil yang senyatanyatanya. Ini peristiwa serius karena menyangkut kesehatan orang yang
memimpin bangsa.
Jika begitu serius, apakah ada yang membayangkan calon presiden dan

calon wakil presiden itu gugur karena faktor kesehatan? Hasil tes segera
dikirim ke KPU, tapi penetapan capres dan cawapres dijadwalkan 31 Mei
nanti. Betapa runyamnya kalau ada capres dan cawapres yang gugur.
Koalisi partai akan kelabakan mencari pengganti dalam hitungan hari.
Maka, saya pun berasumsi, sebagaimana asumsi kebanyakan orang, tak
akan ada capres dan cawapres yang tidak lolos tes kesehatan. Bisa
amburadul pemilu presiden.
Keempat tokoh itu tampaknya sehat. Panu dan kudis pastilah tak ada. Tapi
apakah organ tubuh mereka bagus semua, termasuk kejiwaan mereka.
Apakah tak ada jiwa yang labil, emosional, mudah gugup, stres dalam
keadaan tertekan, yang semuanya mempengaruhi dalam mengambil
keputusan? Masyarakat tak pernah tahu rincian ini.
Persyaratan ketat yang ditetapkan KPU tampaknya hanya jumlah suara
partai pendukung. Yang lain bisa longgar. Termasuk rekam jejak sang
calon. Misalnya, beredar berbagai "kampanye negatif" yang menyebutkan
ada capres yang tercemar. Melanggar HAM, terlibat penculikan, pernah
dipecat di instansinya, pernah jadi warga negara di lain tempat, dan
seterusnya. Apakah KPU akan mengusut dugaan yang "negatif" itu? Saya
tidak yakin. KPU pasti berpedoman pada "surat keterangan berkelakuan
baik" dari kepolisian. Bagaimana kepolisian mengeluarkan surat
keterangan itu, KPU pasti berkelit: ya, urusan polisi.
Menggampangkan masalah. Masyarakat jadi tak percaya kalau KPU berani
menggugurkan capres dan cawapres meski ada masalah. Jika ingin
menghindari basa-basi, semua persyaratan termasuk hasil tes kesehatan
harus diteliti cermat. Pengumuman hasilnya ada tenggang waktu yang
cukup dengan penetapan capres dan cawapres yang memenuhi syarat.
Jadi, kalau ada yang gugur, koalisi partai bisa mencari pengganti. Bukan
basa-basi.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 25 Mei 2014)

Minggu,18 Mei 2014 @ 22:36

Galau
Pandita Mpu Jaya Prema
HIDANGAN makan malam di rumah Romo Imam sangat beragam. Istrinya
jago masak. Sebelum mengambil piring, kami biasa bergurau. Bu, saya
lagi tak ada nafsu makan, kata saya. Sariawan? Saya menggeleng:
Bukan, tak enak makan sebelum Jokowi mengumumkan calon wakil

presidennya.
Bu Imam tertawa. Sama, sahutnya. Kemarin ibu hampir luka ketika
memotong cabe. Pikiran menerawang, kok Demokrat begitu lambat
bergerak. Mau merapat ke capres yang sudah ada atau membuat poros
baru? Pemenang konvensi pun diumumkan dengan setengah hati.
Saya menunggu reaksi Romo Imam. Tapi Romo seperti tuli. Saya pun
menggoda Bu Imam lagi. Ibu tak memikirkan Golkar dengan capresnya
ARB? Lagi-lagi Bu Imam tertawa: Golkar tak laku. Pemenang kedua kok
miskin figur. Sekarang pasrah bongkokan mau merapat ke Megawati. ARB
lagi galau, tapi SBY lebih galau lagi.
Apa kabar Hatta Rajasa? tiba-tiba Romo Imam buka suara. Saya
menyahut: Sudah pamit mundur sebagai menteri. Hatta Rajasa sudah
dinyatakan sebagai cawapres Prabowo. Tapi ketika PPP dan PKS
mempersoalkan, pimpinan Gerindra segera berdalih deklarasi belum
resmi. Lalu PPP mengajukan cawapres ketua umumnya.
Romo mengambil piring lalu berkata: Hatta Rajasa patuh pada aturan. PP
18 Tahun 2013 menyebutkan menteri dan pejabat setingkat menteri harus
mundur paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi sebagai
capres atau cawapres. Jika Hatta Rajasa dibatalkan sebagai cawapres itu
namanya sudah jatuh tertimpa tangga.
Katanya koalisi tanpa syarat. Terserah yang dipilih oleh Jokowi maupun
Prabowo, saya menggugat. Ini komentar Romo: Masih percaya
omongan begitu? Tak ada dukungan yang gratis. Kalau betul tanpa syarat,
kenapa Hatta Rajasa dipersoalkan? Kenapa tiba-tiba ada tokoh PKB yang
mengusulkan agar Jokowi memilih Muhaimin sebagai cawapres? Kenapa
pimpinan NU bilang, NU hanya mendukung Jokowi jika wakilnya Mahfud
MD atau Jusuf Kalla? Ibarat promosi berhadiah, syarat dan ketentuan
berlaku.
Bu Imam mengambil piring sambil nyerocos: Saya sih tetap penasaran
sama Demokrat . Dahlan Iskan diumumkan sebagai pemenang, terus
dapat apa? Romo langsung menyambar: Dahlan sudah masuk kotak. Dia
menteri seperti Hatta Rajasa. Kalau mau jadi capres atau cawapres, harus
mundur paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi, begitu bunyi
PP 18/2014. Perdaftaran terakhir 20 Mei, ya, tak keburu. Entah kenapa
pengumuman konvensi sengaja mepet, mungkin tahu kalau Dahlan yang
belakangan tak dikehendaki, bisa menang. Tapi alasan SBY masuk akal,
Demokrat tak bisa mengusung capres, mau koalisi dengan siapa?
Golkar yang malam ini Rapimnas, kata saya memotong. Romo tertawa.
Golkar ini partai yang selalu ingin berkuasa atau gabung dengan
kekuasaan. Kalau dia lihat kemungkinan menang tak ada, dia pilih
merapat ke koalisi yang diyakini menang. Lagi pula, koalisi Golkar dan

Demokrat mau mengusung siapa? Figur yang populer sudah dikunci oleh
Jokowi sebagai kandidat cawapres. Mahfud MD, Jusuf Kala, Abrahan
Samad pasti lebih baik menunggu takdir ketimbang tertarik tawaran
Demokrat. Dan Megawati pinter, gembok kunci baru dibuka beberapa
menit sebelum didaftarkan.
Siapa tahu demi harga diri, ARB tetap maju dan Demokrat ambil salah
satu peserta konvensi untuk cawapres. Karena Dahlan Iskan masuk kotak,
ya, Pramono Edhie, ipar SBY. Kedua partai Rapimnas hari ini, kita tunggu
saja, kata saya. Romo Imam nyeletuk: Kalau begitu namanya koalisi
galau. ARB-Pramono hanya membuat pemilu presiden jadi boros.
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 18 Mei 2014)

Minggu,11 Mei 2014 @ 22:29

Yang Mulia
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Jumat lalu, cara dia menyapa hakim dan jaksa. Boediono,
sebagaimana layaknya para terdakwa dan saksi di dalam persidangan
yang lain, menyebut yang mulia. Berbeda dengan mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan
bapak
atau
pak.
Apakah
Jusuf
Kalla
terpengaruh
lagu
dangdut: Bapak hakim dan bapak Jaksa, tolonglah....
Bagaimana seharusnya menyapa para hakim di dalam persidangan? Saya
pernah bincang-bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu,
alhamdulilah, pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM), dia
menyebutkan, hakim di dalam sidang harus disapa yang mulia. Dengan
pakaian kebesaran itu hakim adalah wakil Tuhan. Keputusan hakim
selalu membawa-bawa nama Tuhan. Semua orang harus hormat kepada
hakim. Kalau di luar sidang mau disapa mas, bapak, bung, kakak,

terserah. Diajak bercanda juga bisa.


Artinya, kita menghormati simbol. Saya pernah ikut mengecam seorang
teman ketika ia ditangkap karena membakar gambar Presiden Yudhoyono
yang persis sebagai simbol kepala negara. Sepanjang presiden itu masih
sah adalah penghinaan membakar fotonya. Sebaliknya saya pernah
membela sebuah kelompok yang dituduh menginjak-injak bendera merah
putih, padahal yang diinjak itu kain merah dan kain putih yang
membentang semerawut. Itu bukan bendera karena bendera kebangsaan
adalah simbol yang jelas perbandingan ukuran panjang dan lebar maupun
porsi merah dan putihnya. Kalau semua warna merah dan putih yang
bersanding dianggap bendera, tim nasional PSSI tak boleh bercelana
putih dan berbaju merah, karena bendera itu kadang dijatuhkan dan
dilecehkan.
Dulu waktu saya kecil, masyarakat sangat menghormati simbol, polisi
yang berpakaian seragam pun dianggap simbol negara. Saat itu ada polisi
di desa yang bertengkar dan lawannya meminta kalau mau tanding buka
dulu baju seragam. Alasannya, berkelahi melawan polisi berseragam
berarti melawan aparat negara, berarti memusuhi negara.
Kalau polisi berseragam saja dihormati, apalagi presiden. Bukankah
menyapa Presiden Soekarno tak boleh sembarangan? Di kelas 2 SMP
ketika akan ikut menyambut kedatangan presiden, saya dimarahi guru
karena menulis dalam poster Selamat Datang Bapak Presiden Soekarno.
Harus ada kata PJM di depan kata bapak. Apa itu PJM? Paduka Jang Mulia.
Foto resmi presiden ketika itu tertulis: PJM Soekarno, Presiden RI.
Siapa yang tahu sejarahnya kenapa anggota DPR disapa yang
terhormat? Karena mereka mewakili rakyat. Kalau mereka tak diberi
predikat terhormat maka seluruh rakyat jadinya tidak terhormat.
Sampai sekarang pun sebutan itu muncul dalam forum resmi meski kita
tahu sudah sekian banyak anggota DPR yang ditahan karena korupsi.
Presiden dan wakil presiden, walau tak lagi dengan sapaan Paduka Yang
Mulia, tetap simbol negara. Ke mana-mana dikawal secara kenegaraan.
Jangankan masih menjabat, baru jadi calon presiden saja dikawal. Coba
lihat sebentar lagi, Jokowi pasti dikawal, suka atau tak suka. Berlebihan
jika ada yang mengecam Boediono karena dikawal pasukan resmi ketika
menjadi saksi di Pengadilan Tipikor. Yang dikawal bukan Boediono sebagai
orang Yogya, tetapi simbol kenegaraan. Dan jika di dalam sidang Boediono
menyebut hakim dengan yang mulia itu bukan merendahkan jabatan
wakil presiden, tetapi karena hakim simbol pengadil di dunia ini,
mewakili Pengadil Maha Tinggi. Mari kita hormati simbol-simbol
kenegaraan, untuk menghormati negara kita.
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 11 Mei 2014)

Minggu,04 Mei 2014 @ 07:17

Proporsional
Pandita Mpu Jaya Prema
Menonton televisi bersama orang-orang desa tatkala hajatan selalu
menarik. Komentar mereka bebas, dengan tawa yang menurut ukuran
orang kota mungkin kurang sopan. Ini contohnya. Seorang calon legislator
yang gagal masuk Senayan mengatakan dia memang tak mau
mengeluarkan uang untuk pemilu legislatif lalu. Ada komentar dengan
ketawa cekikikan: "Ya, pantas dong gagal, mana bisa mendapat suara
kalau tak keluarkan uang. Tak usah protes." Yang lain: "Caleg bego, cari
kerjaan tak mau keluar duit, mana bisa?"
Saya tak tahu pasti, siapa yang dituding. Di layar ada wajah Ahmad Yani
dan Sutan Bhatoegana. Saya terlambat nonton. Tapi, apakah benar
keduanya tak mau keluar uang? Saya coba mengadakan survei di
kalangan penonton. Hasilnya: orang desa itu tak yakin mereka tak main
duit. Pasti ikut main, tapi kalah besar. Setelah kalah, berkelit.
Yang saya herankan, ketika saya bertanya apakah pemilu legislatif 9 April
lalu itu tergolong baik atau buruk, semuanya menjawab baik. Tak ada
yang buruk. Masyarakat tenang, tak ada keributan, serangan fajar
berubah menjadi serangan sore yang terbuka di depan umum, apakah itu
pembagian uang, pengiriman pulsa telepon, ataupun bingkisan baju.
"Sembako sudah kuno, kami bukan orang kelaparan," kata seseorang.
Jelas berbeda dengan pendapat beberapa politikus, termasuk pengamat
politik, yang mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk.
Apalagi kalau kita membaca testimoni para caleg yang gagal ke Senayan.
Semuanya sepakat: ini pemilu terburuk. Uang yang berkuasa. Terjadi jualbeli suara.
Sejauh mana jual-beli suara benar? Orang-orang desa mengakui itu. Letak
soal pada sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Terjadi persaingan
antarcalon legislator pada partai-partai besar. Orang desa, ibu dan bapak
petani yang tua, juga pemilih pemula, sangat ribet untuk memilih calon
dengan nomor urut ketiga sampai kedua belas. Sudah hurufnya kecil,
menuntun paku pencoblos ke nomor yang dikehendaki susah. Jadi,
gampangnya mereka mencoblos gambar partai saja. Apalagi, caleg yang
nomor urut besar sudah berkampanye: coblos partai saja supaya cepat.
Coblosan ini disebut "suara mengambang"-ini versi di desa. Peraturan
KPU, suara ini adalah milik caleg dengan suara terbanyak. Tapi, ketika

penghitungan suara, saksi-saksi bermain, ke mana "suara mengambang"


itu dimasukkan. Nah, para petugas KPU bersama para saksi tiba-tiba fasih
berbahasa Jawa: wani piro? Dengan kode jari tangan-ini kode di judi
sabungan ayam-suara pun menyasar ke nomor yang dihendaki. "Kalau tak
mau membayar saksi khusus dan membayar 'suara mengambang', jangan
harap menang," kata seseorang. "Permainan" lebih canggih diulang saat
rekapitulasi di kelurahan, juga di kecamatan.
Sistem proporsional terbuka diperkenalkan pada Pemilu 2009 dan dari
sana rekayasa "penyelewengan" itu dikembangkan. Bagaimana kalau
sistem ini dikembalikan ke proporsional tertutup dan kembali mengacu
pada caleg nomor urut? Persoalannya, apakah partai siap membuat
peringkat berdasarkan mutu caleg. Atau dibuat berdasarkan uji kelayakan
terlebih dulu. Apa komentar orang desa? "Caleg harus kembali seperti
dulu, berjuang untuk rakyat. Sekarang caleg itu mencari pekerjaan lewat
suara rakyat, setelah menjabat kan tak pernah datang lagi. Makanya caleg
harus membayar dulu."
Nah, Anda mau bilang pemilu ini baik atau buruk, silakan. Mungkin yang
diperlukan sekarang bagaimana memilih presiden yang paham mengatasi
masalah ini agar negara kita bisa lebih cerdas sedikit dalam
berdemokrasi. Sistem dan undang-undang yang ada perlu direvisi.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 4 Mei 2014)

Minggu,30 Maret 2014 @ 07:51

Nyepi
Pandita Mpu Jaya Prema
Esok hari, kehidupan seperti berhenti di Bali. Tak ada mobil bergerak di
jalanan. Baliho partai yang memenuhi tikungan jalan, bebas dari
cemohan, karena tak ada orang berlalu-lalang. Pelabuhan dan bandar
udara ditutup. Ini bukan lantaran kabut asap, Bali tak punya hutan, apa
yang dibakar. Umat Hindu merayakan pergantian Tahun Saka dan Bali
masih boleh menutup diri.
Nyepi tentu hakekatnya adalah sepi. Dalam kesepian dan kesunyian kita
belajar untuk mendengar dan sesekali berhenti berbicara. Ayo dengarkan
apa kata orang, jangan cuma meminta orang untuk mendengar suara
kita. Tapi karena orang lain juga melakukan hal yang sama, lalu apa yang
didengar? Televisi dan radio tak boleh siaran kecuali lewat parabola atau
internet. Ya, dengarkan suara hati. Cobalah kita bertanya pada hati dan

dengarkan apa jawabnya.


Mari bertanya: Wahai hati kecilku yang jernih suci, sesungguhnya apakah
aku layak mencalonkan diri sebagai presiden? Dan hati mungkin
menjawab: Kamu sama sekali tak layak nyapres. Pemilu yang lalu sudah
jadi calon, kalah pula. Usia sudah tua, cara kamu berkampanye saja sudah
tidak kreatif, meniru-niru jadi tukang becak atau pedagang asongan,
bukan menjadi diri sendiri. Sudahlah, beri kesempatan calon lebih muda.
Atau barangkali hati menjawab begini: Kamu mau jadi presiden? Lumuran
darahmu di masa lalu masih berbekas, bukan di tubuhmu, tetapi di tubuh
rakyat. Betul orang bisa tobat, betul juga kesalahan di masa lalu bisa tak
diulang di masa depan, betul sekali setiap saat orang bisa berbuat baik
untuk menebus kesalahannya. Tetapi itu tak pernah kamu buktikan
dengan langkah nyata, tiba-tiba saja mau berubah secara mendadak.
Tidak, kamu tak layak nyapres. Kalau mau berbuat baik untuk negeri ini,
masih ada pekerjaan lain, bukan sebagai presiden.
Mungkin hati menjawab lebih halus: Ya, sudahlah, lupakan niatmu
menjadi presiden. Padi yang mestinya menguning sudah lama dilanda
lumpur dan tak ada rasa menyesal yang kamu tunjukkan, baik pada alam
maupun pada sesama manusia. Semesta telah memberi kode dan kamu
tak pernah membacanya, karena matamu ditutup oleh kekayaan semu.
Berikan kesempatan pada sahabatmu untuk nyapres, kamu peluk-peluk
boneka lebih humanis.
Dalam keadaan hening, hati pasti berbicara lebih jujur. Misalnya seperti
ini: Di antara calon yang lain, kamu memang ditunggu-tunggu untuk
menjadi presiden. Tapi kamu harus instrospeksi diri, apa betul punya misi
dan visi untuk negeri yang begitu luas? Rakyat sudah berkali-kali kecewa,
menggebu-gebu dengan eforia tinggi memilih presiden, ternyata
belakangan mendapatkan presiden yang tak banyak berbuat. Aku
khawatir kamu hanya mengulang sejarah. Coba kamu telisik dirimu,
memangnya kamu tahu masalah yang lebih makro, kamu punya kontakkontak di mancanegara, kamu punya perhatian yang lebih dari sekedar
melihat got mampet dan blusukan ke mana-mana? Presiden harus kerja
keras, tapi tak bisa setiap hari hanya bersalaman dengan rakyat dan itu
pun dengan liputan seabrek jurnalis. Presiden harus banyak berpikir,
mencari solusi, lalu memerintahkan pembantunya untuk mengerjakan.
Yang penting lagi, ayomi seluruh rakyat, bukan mementingkan partai.
Mandat itu dari rakyat bukan dari partai.
Contoh bagaimana hati menjawab bisa diperpanjang. Yang pasti jawaban
lebih jujur akan diperoleh karena kita dalam keadaan hening untuk
bertanya, dan jawabannya hanya kita yang tahu. Terserah kemudian kita
mengikuti kata hati atau tidak. Selamat Nyepi dan melakukan
perenungan.

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 30 Maret 2014)

Minggu,23 Maret 2014 @ 07:44

Kampanye
Pandita Mpu Jaya Prema
Saya terlambat datang ke padepokan Romo Imam karena jalanan macet.
Romo memaklumi. "Ini kampanye partai yang sukses. Ukurannya, jalanan
sampai macet," kata Romo penuh maklum. "Betul sekali, kampanye
sebelumnya sepi, orang malas datang ke alun-alun mendengarkan
pidato," kata saya.
"Kenapa ada kampanye yang sepi dan ada yang meriah?" tanya Romo.
Saya harus menjelaskan panjang-lebar situasi masyarakat saat ini. Sepi
dan meriahnya sebuah kampanye bukan karena partai, melainkan karena
masalah dana. Apakah partai itu dan para calon legislatornya mau
mengerahkan massa atau tidak untuk pencitraan semu. Kalau mau, maka
para caleg itu mencari "biro jasa" pengerahan massa. Makelar kampanye,
begitu julukan "biro jasa" ini, banyak ada. Saya tidak tahu berapa tarif
yang dikenakan sang makelar kepada caleg, tetapi saya tahu setiap orang
dibayar oleh makelar Rp 100 ribu. Rinciannya, untuk membeli Premium
empat liter, makan-minum seadanya, dan sisanya sekitar Rp 60 ribu sama
dengan upah terendah sehari buruh bangunan di pedesaan. Bagi peserta
yang mendapat tugas memegang bendera partai dan di alun-alun harus
berdiri dekat podium, bayarannya ditambah Rp 25 ribu.
"Mereka kader partai di desa?" tanya Romo. "Bukan, mereka tak
berurusan dengan partai. Mereka orang upahan," jawab saya cepat. Saya
jelaskan, peserta itu betul-betul "masa mengambang", mereka bisa
digunakan oleh partai apa saja. Sekarang kampanye untuk partai ini,
besoknya bisa untuk partai itu. Cuma, sang makelar bijak. Yang
memegang bendera dan berdiri dekat podium dibagi, kelompok ini untuk
partai itu, kelompok itu untuk partai ini. "Pertimbangan makelar supaya
beda orangnya, siapa tahu disorot kamera televisi, biar tak ketahuan
peserta bayaran," kata saya.
"Itu haram, politik uang," kata Romo. Saya tertawa. Romo mungkin pura-

pura saja menyebut itu haram, seolah tak tahu situasi masyarakat saat
ini. Siapa lagi yang mau kampanye dengan kesadaran sendiri saat ini?
Dua puluh lima tahun yang lalu, saya ikut kampanye ke Jakarta. Dari
Ciputat naik bus dan dihadang di Pondok Cabe, karena warga Jawa Barat
tak boleh berkampanye di Jakarta. Dari Pondok Cabe berjalan kaki ke
Senayan untuk "memerahkan Jakarta". Tak ada yang menyuruh dan tentu
tak ada pula yang membayar. Kemacetan menjadi suatu kenikmatan
karena bisa saling melempar yel-yel dan mengibarkan bendera partai.
Sekarang? Macet lantaran kampanye justru mendapat caci-maki dari
pengguna jalan.
"Kalau begitu, tak ada pengaruhnya kampanye sekarang ini," kata Romo
bergumam. Saya menyahut, "Jangankan kampanye ke alun-alun
mendengarkan pidato, menonton berita kampanye di televisi saja
membuat orang mual. Yang memasang baliho di jalanan itu pun hanya
menghabiskan uang, hampir tak ada pengaruhnya."
"Harus ada terobosan baru untuk memikat masyarakat pada partai," kata
Romo bak seorang makelar politik-julukan kerennya konsultan. Saya
malas menjawab pernyataan yang "standar" ini. Terobosan apa?
Terobosan itu konotasinya gerakan instan. Situasi anti-partai saat ini tak
bisa main terobos, ini harus kerja keras berkesinambungan membangun
kepercayaan. Reformasi sesungguhnya memberi kesempatan kepada
partai untuk kembali hidup setelah dikerdilkan di era Orde Baru.
Sayangnya, puluhan partai yang berdiri ternyata tidak memiliki pemimpin
yang kuat, mereka memanfaatkan eforia itu untuk kepentingan pribadi.
Organisasi tidak ditata dengan baik, di atas terjadi saling sikut dan di
bawah kaderisasi macet. Ditambah korupsi, lantas siapa yang mau
percaya kepada partai?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 23 Maret 2014)

Minggu,16 Maret 2014 @ 23:02

Pengawal
Pandita Mpu Jaya Prema
Bung Karno hilang. Ketika diintip ke kamarnya sekitar pukul tujuh pagi, tak
ada siapa pun di sana. Penjaga Istana Tampaksiring panik, pengawal pun
juga bingung, ke mana presiden. I Gde Putu Riyasse selaku protokol
pemerintah Bali-orang yang selalu mendampingi Bung Karno di Balimenenangkan petugas. "Nanti saya cari, pasti tak jauh dari sini," kata

Riyasse.
Seperti yang diduga, Riyasse menemukan Bung Karno minum kopi di
warung kolam renang di bawah istana. Ia mengenakan pakaian tidur,
piyama kedodoran tanpa kopiah. Ia asyik ngobrol dengan peminum kopi
yang lain. Ketika Riyasse menjelaskan orang berpiyama itu adalah Bung
Karno, seluruh orang yang ada di warung itu langsung bersimpuh hormatdan terheran-heran. Riyasse lalu meminta Bung Karno kembali ke istana.
"Masak Bapak enggak boleh ngobrol?" kata Bung Karno.
Kisah ini dituturkan Nyonya S. Riyasse dalam buku kecil In Memorium I
Gde Putu Riyasse. Tak disebutkan kapan "insiden Tampaksiring" itu, tapi
Putu Riyasse menjadi protokol pemda Bali 1958-1962. Masih banyak
anekdot di sekitar Bung Karno yang direkam Nyonya Riyasse untuk
mengenang almarhum suaminya yang meninggal dunia pada Januari
2002. Misalnya, ketika pengawal memaksa Bung Karno meninggalkan
pesta pada saat dia asyik menari lenso. Bung Karno tunduk pada
pengawal, tetapi ngedumel kepada Riyasse, "Masak Bapak tak boleh
bersenang-senang."
Suatu kali Bung Karno ke Gallery Le Mayeur (kini Museum Ni Polok) hanya
ditemani Riyasse dan Sabur. Bung Karno tertarik pada sebuah lukisan.
"Bapak suka ini, ayo beli." Riyasse bertanya: "Siapa yang bayar?" Bung
Karno bingung, tak ada yang membawa uang. Akhirnya tak jadi membeli.
Penjaga galeri tak mengizinkan beli lukisan dengan berutang, ia tak tahu
siapa peminat itu.
Yang hendak dikisahkan adalah presiden pertama republik ini ternyata
suka blusukan dan itu sering dilakukan tanpa pengawalan-baik karena
pengawalnya dilarang maupun dikecoh. Presiden dikawal ketat tentulah
keharusan protokoler. Di era Bung Karno malah ada pasukan khusus
Tjakrabirawa. Bahwa sesekali Bung Karno kesal dengan pengawalan ketat,
itu juga sangat manusiawi.
Di era presiden selanjutnya, pasukan pengawal cukup disebut Pasukan
Pengawal Presiden (Paswalpres). Kini ada tiga grup pasukan elite ini, Grup
A untuk ring satu (paling dekat dengan presiden), ring B dan C yang lebih
jauh. Wakil presiden pun dikawal dengan satuan ini. Begitu pula mantan
presiden dan wakil presiden, juga mendapat pengawalan dari satuan ini,
tentu disesuaikan dengan situasi. Namun belum lama ini Presiden SBY
membentuk Grup D yang tugasnya khusus mengawal mantan presiden
dan wakil presiden.
Kenapa para mantan yang sudah "bebas" ini harus dikawal dengan ketat,
sampai membentuk grup baru? Barangkali sebagai penghormatan atas
jasa para mantan itu, dan bentuk penghormatan ini diharapkan
menimbulkan rasa aman. Tetapi Jusuf Kalla merasa tak perlu dikawal
ketat. "Bikin susah ke restoran saja," katanya. Boleh jadi. Kalau pengawal

ikut makan apa tidak kikuk? Tapi, kalau tak diajak makan, apa manusiawi?
Ke mana-mana kan ikut terus.
Bahwa grup baru ini dibentuk menjelang SBY menjadi mantan, mungkin
kebetulan. Juga sebuah kebetulan kalau SBY memang suka dan mau
dikawal ketat. Perilaku masing-masing mantan tentu beda, ada yang ingin
bebas, ada yang masih takut bebas keluyuran. Kalau Jokowi memenangi
pemilihan presiden nanti, apa yang dilakukannya? Apakah dia meniru
Bung Karno, suka lepas dari pengawalan? Orang tahu kalau blusukan
dijaga ketat, apalah artinya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 16 Maret 2014)

Minggu,09 Maret 2014 @ 22:52

Restu
Pandita Mpu Jaya Prema
Sudah lima orang calon legislator untuk Dewan Perwakilan Rakyat
menemui saya. Tujuannya meminta doa restu. Karena yang diminta cuma
restu, saya pun mengabulkan. Jangankan caleg, setan pun, kalau memang
ada, saya beri restu.
Pada semua baliho caleg yang bertebaran di jalan, ada permohonan doa
restu dan meminta dukungan. Seolah-olah itu kata wajib. Adapun kata
selebihnya bermacam-macam: berjuang untuk rakyat, bersama
membangun bangsa, mengabdi untuk negara, dan seterusnya. Kata-kata
klise. Ternyata ini pun bukan murni dari sang caleg, melainkan copy-paste
yang dilakukan perusahaan pencetak baliho.
Di Bali ada 100 caleg untuk DPR memperebutkan sembilan kursi. Akan
ada 91 orang yang nanti stres akut. "Karena itu, saya mohon doa restu
Nak Lingsir. Kalau gagal, anak dan istri ikut stres. Modal saya kan dari
menjual kebun," kata seorang calon. Nak Lingsir itu sapaan saya di Bali,
artinya "orang yang dituakan".
Saya terenyuh. Orang ini pendatang baru. Ratusan juta modalnya untuk
memimpikan kursi di Senayan. Ketika uang yang disetorkan ke partai "tak
memenuhi standar", ia hanya mendapat nomor urut tujuh. Caleg lainnya,
semuanya sudah duduk di Senayan. Uangnya banyak dan bukan dari
menjual kebun. "Ya, nabung dari berbagai kegiatan, antara lain sangu dari
studi banding ke luar negeri," kata seorang caleg.

Sebelum memberi restu, saya memang jail menanyakan ini dan itu. Selain
soal dana, saya menyindir mereka sebagai wakil rakyat yang tak pernah
bersuara di Jakarta. "Yunior saya, Gede Pasek Suardika, paling vokal di
Jakarta, disanjung di Bali karena cerdas, malah dia tak mencalonkan diri.
Kok kalian mau duduk lagi, bisa berbuat apa untuk Bali?" tanya saya. Para
caleg itu umumnya tertawa yang tak jelas arahnya, sampai saya sempat
berpikir jangan-jangan mereka sudah mulai stres. "Ah, Pasek itu kan
karena dibuang oleh partainya, dia terlalu berani. Saya ini sangat nurut,
setoran saya pada partai pun tak pernah nunggak," kata seorang caleg.
Kejailan saya pun bertambah. Saya tanya, sudah berapa lama
meninggalkan Jakarta? "Sudah dua bulan. Ini pertarungan berat, rakyat
sudah mulai pintar, tak mau lagi 'diserang fajar' dengan duit seratus ribu.
Harus lebih banyak bergerilya," kata seorang caleg. Saya langsung
ceramahi caleg ini. "Kamu berdosa besar kepada rakyat. Dua bulan lebih
absen, pantas saja sidang-sidang DPR kursinya kosong. Padahal gaji dan
tunjangan enam puluh juta itu tetap diterima, kan? Kalau tidak terpilih,
masih juga untung, ada pensiun seumur hidup. Enak benar."
Herannya, para caleg itu tak ada yang marah, bahkan merasa tersinggung
pun tidak. Mungkin sudah imun. Atau memang saat ini mereka berubah
status menjadi pengemis, seperti tergambar di baliho mereka yang
semuanya menadahkan tangan memohon dukungan. Mereka celingakcelinguk bak orang kehilangan sandal seusai sembahyang. "Sindiran Nak
Lingsir saya terima, yang penting kan restunya," katanya sebelum pamit.
Saya cuma mengangguk. Tapi ada yang nyeletuk: "Yang penting, wani
piro?"
Yang ngomong "wani piro" itu keponakan saya. Kata dia, saat ini harga
satu suara untuk DPR sudah Rp 250 ribu, untuk DPRD Rp 200 ribu.
Alasannya, mereka itu kan cari pekerjaan, harus nombok. "Uang seratus
ribu sudah tak ada harganya," kata ponakan saya. Lo, ini kok jual suara?
"Tidaklah, uang diterima, yang dicoblos terserah."
"Dosa berbohong dan ingkar janji," kata saya. "Membohongi pembohong
kan dosanya impas," kata keponakan saya. Untung caleg itu cuma minta
restu, bukan minta dipilih.
(Diambil daari Koran Tempo Minggu 9 Maret 2014)

Minggu,29 Juni 2014 @ 11:28

Puasa
Pandita Mpu Jaya Prema
Ramadan sudah datang. Bulan suci penuh berkah yang dinanti umat
Islam. Sebagai nonmuslim, saya akan menuturkan pengalaman yang
barangkali dialami oleh para sahabat muslim ketika pertama kali
memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.
Saat itu, akhir Januari lalu, umat Hindu melakukan brata (pantangan)
ketika merayakan hari Siwaratri. Salah satu pantangan adalah berpuasa,
dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua saya, enam tahun, diajak
"belajar berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.
Ternyata di siang hari yang panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini
diintip kakaknya, dan sang kakak langsung lapor ke saya. Ketika saya
konfirmasi, anak itu langsung menangis: "Kan sudah sembunyi, kakak
yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip kan tak ada yang tahu."
Saya rayu dia supaya berhenti menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apaapa. Kan baru pertama, nanti juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya
berhenti, saya katakan: "Puasa itu bukan untuk Bunda, bukan untuk
Bapak, apalagi untuk Kakek. Tidak, puasa itu untuk Tuhan. Kan Tuhan tak
pernah tidur, Tuhan melihat kita. Jadi, kita tak bisa berbohong sama
Tuhan."
Ketika saya bertugas di Yogya, rutin menyelenggarakan buka puasa di
kantor. Yang diundang bukan cuma teman-teman wartawan, juga para
pejabat dan aktivis. Yang memberi siraman rohani menjelang puasa lebih
banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan saya dekat dengan Kiai
Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren. Kami biasa
bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka
menggoda: "Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa.
Sesungguhnya saya memang puasa. Tapi, kalau itu harus disebutkan,
terasa pamer.
"Puasa itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling
mudah dilakukan adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini katakata yang saya ingat dari Kiai Hamam Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982
itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu lele bakar hasil
ternak di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.
Cucu saya ingin berbohong, dan itu hampir sempurna kalau saja tidak
diintip dan kemudian dilaporkan oleh kakaknya. Tapi kakaknya sendiri,
kelas dua sekolah dasar, memang suka pamer. Setiap kali tiba berpuasa
pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam pertanda puasa diakhiri,
dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es krimnya." Ibunya suka ngeledek:

"Benar nih...?" Dan dia langsung jawab: "Idih, kok pakai bohong."
Di sekitar kita, mendadak pada bulan-bulan puasa ada banyak orang
saleh. Undangan berbuka puasa hampir setiap hari dengan menu yang
cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka tak cuma umat Islam, juga umat
nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan, meski kalau
dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang non-Islam
disilakan bubar.
Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada siang ke malam?
Apakah puasa hanya menahan lapar sambil membayangkan bahwa saat
berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan makanan yang lezat? Apakah
puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari untuk
dilanjutkan malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan
bagaimana kaum duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan.
Hanya menunda maki dan fitnah di siang hari--dengan akun Twitter dan
Facebook palsu pula--untuk dilanjutkan malamnya. Puasa, dalam ajaran
agama apa pun, adalah mengendalikan nafsu dan membagi hati untuk
orang-orang yang menderita.
Pengalaman saya ini tak bermaksud "menggarami laut", hanya untuk
berbagi. Selamat melaksanakan ibadah puasa.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Juni 2014)

Minggu,22 Juni 2014 @ 09:48

KTP
Pandita Mpu Jaya Prema
Nyonya Murtina mendadak pingsan di sebuah halte Trans Jakarta. Orangorang panik karena wanita ini datang sendirian. Petugas lantas
membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Syukur, kartu tanda penduduk (KTP) Murtina diketemukan. Segera KTP itu
dibawa ke bagian pendaftaran. Dengan memasukkan ke card reader,
semua
catatan
pribadi
Murtina
terungkap,
termasuk
riwayat
kesehatannya. Setelah diberikan pertolongan, pihak rumah sakit
memasukkan riwayat kesehatan yang baru di KTP Murtina, tentang jenis
penanganan dan obat yang diberikan.
KTP itu canggih. Cip elektronik yang ada di sana bisa menyimpan berbagai
data, bahkan bisa ditambahkan data baru. Itulah KTP Online yang
diperkenalkan pertama kali di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada

2011. Dari KTP Online ini lantas dikembangkan KTP elektronik (e-KTP) yang
dijadikan program nasional. Jika saja e-KTP berjalan sesuai dengan
rencana, dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional, orang
tak bisa punya KTP ganda. Data yang tercantum di kartu juga bisa
dipangkas. Cukup dengan kolom nama, tanggal lahir, dan alamat.
Ini bisa menjawab polemik tentang perlu-tidaknya ada kolom agama di
KTP, sebuah perdebatan yang muncul lagi belakangan ini. Adalah Siti
Musdah Mulia, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang melontarkan perlunya kolom agama dihapus dalam KTP.
Alasannya, agama kerap dipolitisasi dalam berbagai kepentingan jangka
pendek. Semisal, kata Siti, pegawai yang berbeda agama dengan
pimpinannya akan dipersulit saat naik jabatan. Banyak kasus yang dialami
masyarakat minoritas yang tak bisa mencantumkan agama yang
diyakininya karena dipersulit oleh petugas kelurahan dan kecamatan.
Apalagi kalau ada razia yang menyasar masalah SARA.
Di KTP (versi lama) memang sudah ada NIK, lalu kolom nama, tanggal
lahir, alamat, agama, status kawin, pekerjaan, dan kewarganegaraan.
Untuk apa kolom status kawin? Ada kisah tentang seorang wanita yang
ketika memperbarui KTP sedang berstatus janda. Maka petugas
mencantumkan janda di kolom status kawin. Setahun kemudian dia
menikah. Tapi, dengan alasan KTP berlaku lima tahun, dia tak bisa
mengubah status itu. Celakanya, saat dia dan suaminya bermalam di
hotel kecil di Pasuruan, ada razia. Suami-istri itu pun terkena razia, Satpol
tak percaya bahwa pasangan itu suami-istri.
Kolom pekerjaan juga tak berguna. Petugas kecamatan yang
mengeluarkan "KTP primitif" itu terbatas pengetahuannya tentang
pekerjaan, yakni pegawai negeri, swasta, petani, ibu rumah tangga, dan
pekerjaan lain. Kalau wartawan mencari KTP di kolom pekerjaannya,
tertera swasta atau pekerjaan lain. Adapun kolom kewarganegaraan,
untuk apa pula? Bukankah di balik kolom identitas itu sudah tertulis besar:
Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia.
Saatnya program e-KTP yang lebih canggih dari KTP Online versi
Purwakarta segera diteruskan dengan meminimalkan kolom-kolom "KTP
primitif". KTP modern sudah memiliki cip yang bisa dibaca di card reader
dan di situ terpampang identitas yang sangat lengkap. Pada April tahun
lalu, PT Jamsostek dan PT Askes juga sudah menandatangani perjanjian
kerja sama pemanfaatan e-KTP dan database kependudukan yang
berbasis NIK dengan Kementerian Dalam Negeri. Kalau e-KTP yang
dipermodern ini bisa terwujud, Pemilu 2019 sudah bisa dilakukan secara evoting. Betapa murahnya pemilu.
Sayang, program e-KTP terhambat gara-gara korupsi. Mudah-mudahan
pemerintahan yang akan datang serius menggarap KTP modern ini, siapa

pun presiden yang terpilih.


(Diambil dari Koran Tempo Minggu 22 Juni 2014)

Minggu,15 Juni 2014 @ 09:43

Jenuh
Pandita Mpu Jaya Prema
ROMO Imam datang ke kampung saya di lereng Batukaru yang dingin.
Saya suguhi teh bunga rosela kering hasil tanaman di kebun sendiri. "Di
sini adem dan tenang," katanya, "Tentu saja, Romo. Juga tak dipusingkan
oleh riuhnya kampanye capres," kata saya.
Romo tersenyum. "Ya, saya tak melihat ada baliho dan spanduk calon
presiden. Yang ada malah bendera Belanda, Italia. Prancis, Jerman," Romo
menunjuk bendera yang berjejer di jalan. Saya mengangguk: "Itu bendera
dijahit sendiri di kampung. Warga juga menjagokan Brasil dan Spanyol,
tapi benderanya sulit dibuat. Untung ada hiburan Piala Dunia."
Romo minum. "Di kota jenuh dengan capres-capresan. Apalagi kalau
menonton televisi berita. Yang satu jagoannya pasti menang, presiden
pilihan rakyat. Yang satu lagi presiden kita, selalu disambut di manamana. Bingung dan lama-lama jenuh."
"Romo menonton televisi partisan. Keberpihakan stasiun itu sudah
kebablasan. Komisi penyiaran sudah merekomendasikan supaya izinnya
dicabut. Televisi dan radio, menurut undang-undang, harus netral. Kan
siarannya membutuhkan frekuensi, dan itu milik publik. Terbatas adanya.
Bukan milik nenek moyangnya yang seenaknya bisa dipakai. Cuma,
rekomendasi komisi penyiaran macet di Menteri Komunikasi, entah berani
menteri menutup televisi itu atau takut."
"Jadi, soal keberanian?" Romo menyela. "Ya dong, masalah pokoknya
berani atau tidak menegakkan aturan," kata saya. "Kasusnya sama
dengan tabloid Obor Rakyat. Orang resah, tapi polisi belum berani
melakukan pengusutan. Alasan polisi, kan tidak ada yang melaporkan
tabloid itu. Tapi, ketika Bawaslu melaporkan, tidak diterima polisi. Dalih
polisi, Bawaslu bukan pihak yang berwenang melaporkannya."
"Yang membuat tabloid itu orang kuat, mungkin," lagi Romo menyela.
"Tidak juga. Darmawan Sepriyossa, yang membuat tabloid itu, sudah
memberikan pernyataan terbuka di media online tempatnya bekerja,

dikutip juga di Facebook. Kalau mau mengusut, ya, panggil saja, nama
dan alamatnya juga jelas. Alasan membuat tabloid pun dibeberkan."
"Apa alasannya?" Romo antusias sampai mendekatkan duduknya ke arah
saya. "Keberpihakan juga," jawab saya. "Darmawan merasa Jokowi perlu
diingatkan karena semua media memujinya. Lalu, ia meracik bahan dari
Internet, terutama Facebook dan Twitter yang memojokkan Jokowi, ia
masukkan ke Obor. Alasannya, toh bahan-bahan itu sudah dibaca ribuan
atau jutaan orang di media maya. Kalau Darmawan tidak memihak salah
satu capres, kenapa yang jelek-jelek tentang Jokowi dimasukkan ke Obor,
sementara yang jelek-jelek soal Prabowo tidak ada?"
Romo diam. Barangkali dia bingung soal begitu mudahnya membuat
tabloid yang tak membutuhkan frekuensi seperti membuat stasiun
televisi. Saya terus menjelaskan: "Pokoknya, kalau polisi punya niat baik
mengusut kasus ini, mudah sekali. Tapi ujung-ujungnya yang disalahkan
bisa penulis di Facebook, yang kebanyakan nama palsu. Pengusutan bisa
bertele-tele, lalu pemilihan presiden selesai, kasusnya pun mengambang
dan dilupakan."
Tiba-tiba Romo bertanya kasus lain: "Panglima TNI mau mengusut siapa
pembocor surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa
Prabowo. Itu serius apa tidak?" Saya langsung menjawab: "Surat yang
dibocorkan itu sudah dikonfirmasi, asli bukan palsu. Lha, kalau sudah asli,
apa perlu diusut siapa pembocornya? Didiamkan juga berhenti sendiri."
Romo minum teh. "Ruwet juga, ya?" keluhnya. Saya bilang: "Hal gampang
diruwet-ruwetkan, makanya orang jenuh dengan keriuhan yang
diakibatkan oleh pemihakan kebablasan ini."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 15 Juni 2014)

Minggu,20 Juli 2014 @ 14:35

DUL
Pandita Mpu Jaya Prema
DUL bebas dari jerat hukum. Putra musisi Ahmad Dani dengan nama
panjang Abdul Qodir Jaelani ini masih di bawah umur. Tapi dia sudah biasa
mengemudikan mobil di jalan umum. Lalu di hari sial itu dia menabrak
orang dan korbannya tewas. Dalam persidangan jaksa menuntut hukuman
1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Artinya, Dul tak akan
dipenjara, kalau dia tak melakukan kesalahan yang sama. Toh hakim

memutuskan lebih ringan: bebas. Artinya, kalau pun Dul suatu kali
menabrak lagi, tak serta merta masuk penjara.
Karena Dul dan bapaknya selebritas yang kerap muncul di televisi, berita
bebasnya Dul banyak diikuti oleh orang-orang di desa saya. Para petani
kopi itu langsung bergembira dengan kabar ini. Mereka mengidolakan
Dul? Bukan itu alasannya. Orang-orang desa itu kini tak was-was lagi
melihat anaknya ngebut menggunakan sepeda motor. Ya, lebih
tenanglah. Kalau pun anak saya menabrak orang, toh tak akan dihukum,
kan di bawah umur, kata salah satu tetua.
Anak-anak di kampung saya bersekolah di SMP yang jaraknya empat
kilometer. Pernah ada imbauan dari polisi agar anak-anak SMP tak boleh
naik sepeda motor, karena sekolah berada di jalan umum. Hanya siswa
SMA yang boleh naik motor, meski tanpa SIM dan helm karena sekolahnya
tidak dilalui jalan umum. Tapi imbauan itu tak dipatuhi karena memang
tak ada angkutan pedesaan yang membawa anak-anak pelajar ini. Jadilah
siswa SMP yang baru belasan tahun naik motor. Dasar anak-anak, di jalan
mulus itu mereka suka ngebut. Kalau saya berpapasan dengan mereka
habis bubar sekolah, saya jadi rajin berdoa. Setiap di tikungan mobil saya
hampir ditabrak anak-anak ini.
Dul bebas dari hukuman. Saya sepakat, karena saya buta hukum.
Kesepakatan saya karena faktor kasihan, anak di bawah umur tak layak di
penjara. Tetapi saya selalu berpikir, mesti ada yang salah kalau ada anak
di bawah umur membawa motor atau mobil di jalanan. Siapa yang salah?
Saya kok merasa, orang tuanya yang bersalah.
Saya buta hukum tapi saya tahu aturan berlalu lintas. Orangtua
seharusnya mengawasi anak-anaknya jika mengemudikan mobil di jalan
umum. Kalau kecelakaan resikonya berat, apalagi kalau ada korban jiwa.
Eh, itu dulu. Kini ada yurisprudensi dari Dul, tak ada seorang pun yang
dihukum, baik si anak apalagi si bapak. Dul hanya membayar uang sidang
Rp 2.000 sungguh mati saya terheran-heran sampai tidur bagaimana
majelis hakim menghitung biaya sidang ini.
Apakah polisi berani dengan gencar merazia pengendara sepeda motor
(dan mobil) seperti dulu dengan mendenda pemakai yang tanpa SIM?
Atau melarang anak-anak di bawah umur mengendarai motor di jalur
yang jauh dari sekolahnya? Mungkin tidak karena polisi takut dicemoh:
Jangan berlagak Pak Polisi, Dul yang nabrak orang saja bebas, kan dia
juga tak punya SIM. Wow kalau begitu hakim yang mengadili Dul
mestinya memberi denda lebih dari sekedar Rp 2.000 sebagai pengganti
tilang (bukti pelanggaran) tak punya SIM.
Jaksa menuntut Dul telah melanggar pasal 310 ayat 4, ayat 3 dan ayat 1
UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Hakim
pun sepakat. Tapi hakim menerapkan azas restorative justice UU No.11

Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, lalu memutuskan Dul


dikembalikan ke orangtuanya padahal Dul tak pernah dipinjam.
Pertanyaan besar saya, bagaimana dengan tiga anak yang dihukum
karena mencuri kerupuk di Bojonegoro? Ketiga anak itu dihukum penjara 2
bulan 7 hari karena melanggar pasal 363 ayat 1 KUHP. Mari kita bertanya
pada rumput yang bergoyang.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 20 Juli 2014)

Minggu,13 Juli 2014 @ 11:27

Euforia
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang saya cintai, segenap anak bangsa. Pekan lalu di kolom Cari Angin ini
saya mendapat kiriman sepucuk surat yang baru pada alinea terakhir
saya ngeh bahwa surat itu ditujukan kepada saya. Perkenankan saya
membalasnya saat ini.
Inisial nama saya memang PS. Tentu saja bukan Prabowo Subianto, calon
presiden yang kini menunggu pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum.
Tak ada hubungan saya dengan beliau sekecil apapun bahkan serambut
dibelah tujuh pun tak ada. Prabowo seorang jenderal dan kebetulan pula
kaya raya. Modal yang cukup untuk menjadi seorang calon presiden.
Saya pernah berpikir untuk mencoblos pada pemilu presiden, semata
menghormati orang yang mau repot jadi calon presiden. Tapi saya
diingatkan oleh istri, niat mencoblos itu siapa pun yang dicoblos harus
diurungkan. Sejak pemilu 1971 saya mencoblos dengan berdarah-darah
ini bukan kiasan kenapa pemilu 2014 ini saya harus golput? Saya
diingatkan pemilu di Indonesia negeri saya tercinta masih primitif
dengan syarat mencelupkan jari ke tinta. Tujuannya, agar pemilih tidak
curang, mencoblos berkali-kali.
Sekarang saya jadi makhluk ajaib di mana setiap benda yang mau
melekat atau masuk ke tubuh saya, harus dalam wujud suci sesuai
keyakinan agama saya. Ini merepotkan kalau saya mencoblos. Tentu saya
ditertawai jika datang ke TPS membawa sesajen untuk menyucikan tinta
itu. Lagi pula, dengan aturan bahwa saya harus mencelupkan jari ke tinta,
berarti kejujuran saya diragukan jangan-jangan saya berniat curang
nyoblos di tempat lain lagi.
Saya membatin: Siapa pun presidennya, pemilu nanti harus lebih

moderen, misalnya, dengan sistem e-voting. Minimal administrasi


kependudukan diperketat sehingga orang bisa memilih tanpa harus
mencelupkan jari ke tinta. Belum sempat pikiran ini dirumuskan sebagai
usul, tiba-tiba anak saya sudah memamerkan kedua jarinya yang bertoreh
tinta ungu. Cucu saya usia empat tahun juga ikut-ikutan jarinya berisi
tinta sambil teriak: Salam dua jari, Kakek. Astaga, ada eforia baru pada
pemilu presiden sekarang. Orang yang dulu cuek ramai-ramai mencoblos
dan memamerkan jari bertinta termasuk meng-upload di media sosial.
Tinta itu tiba-tiba jadi lambang dukungan.
Teman yang saya cintai. Inisial nama saya memang PS tetapi bukan
Prabowo Subianto. Saya orang sederhana dan bahkan pada dasarnya
pelit. Saking pelitnya saya bertanya pada anak saya, untuk apa pulang
kampung hanya mencoblos dua kertas bersama istrinya padahal harus
membeli bensin Rp 150 ribu, belum lagi makanan? Untuk Jokowi,
presiden yang bukan siapa-siapa. Kalau dia menjadi presiden maka anakanak desa terbuka peluangnya menjadi presiden, meski ayahnya bukan
jenderal, bukan pengusaha minyak, bukan berdarah kraton. Jawaban
anak saya ini terganggu oleh teriakan cucu saya: Salam dua jari, Kakek.
Entah anak saya bergurau atau serius. Tapi kata-kata yang mirip seperti
itu menjadi magnit berbondong-bondongnya orang mendukung Jokowi,
padahal mereka tak pernah disapa partai banteng moncong putih.
Megawati boleh saja menangis menyambut kemenangan (versi hitung
cepat) Jokowi, tetapi saya kira ia harus secepatnya membenahi partainya.
Surya Paloh, Wiranto, Muhaimin Iskandar, juga harus memperbaiki
pengkaderan di partainya. Lima tahun lagi, belum tentu ada wabah
relawan seperti eforia orang yang mendukung Jokowi saat ini. Apalagi
sistem pemilu diserentakkan antara legislatif dan presiden. Kalau saat itu
mesin partai mandeg, jangan diharapkan calon presidennya terpilih.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 Juli 2014)

Minggu,26 Januari 2014 @ 01:25

Pilihan
Pandita Mpu Jaya Prema
Selalu ada pilihan. Kata-kata ini terus diucapkan Romo Imam. Apapun
topik yang saya tanyakan, jawabannya selalu ada pilihan. Saya lalu
memancing: Kalau begitu, apakah saya masih punya pilihan, pekerjaan

sampingan apa yang cocok buat saya?


Romo Imam terkekeh. Banyak. Menanam cabai atau jahe di dalam pot.
Mau lebih keren jadi penceramah. Selalu ada pilihan, kecuali jangan
menjadi sastrawan, apalagi yang berpengaruh. Itu perlu proses panjang,
tak bisa instan, malah mencemarkan predikat lain yang sudah bagus.
Saya terbahak: Ya, tidaklah Romo. Saya tak paham dunia sariawan, eh,
sastrawan. Dunia yang suka ribut di kalangan mereka sendiri. Setelah
agak tenang, saya lebih serius: Kalau untuk mengatasi banjir Jakarta?
Romo tenang menjawab: Banyak cara. Mengeduk kali, membuat sumur
resapan, memfungsikan waduk. Yang tak usah dipilih merekayasa hujan,
karena itu hanya memindahkan hujan ke daerah lain, artinya
memindahkan banjir. Selalu ada pilihan, tapi membuat sedotan di Kali
Ciliwung menuju ke Kali Cisadane juga tak bijak. Masak Jakarta
membuang banjir ke Tangerang, ya, ngamuk orang Banten.
Siaran televisi juga banyak ada pilihan, ujar Romo lagi. Banjir di manamana, Pemanukan, Pekalongan, Demak, Kudus, Pati, wah membentang
sepanjang jalan Pulau Jawa. Belum lagi di Menado dan provinsi lainna. Tapi
ada televisi yang terus menerus menyiarkan banjir Jakarta, tujuanna
menyentil Jokowi selain ongkosnya lebih murah. Di Jakarta pun banyak
pilihannya, misalnya, di mana ada banyak bendera parpol yang didukung
televise itu.
Wah, bagaimana dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, Romo? Kok
pilihannya pemilu serentak tapi tahun 2019? tanya saya. Ini jawaban
Romo: Selalu ada pilihan di saat MK tertekan. Uji materi yang diajukan
Effendi Gazali bersama Koalisi Masyarakat Sipil itu tak ada jalan keluarnya,
sementara uji materi yang diajukan Yusril Ihza Mahendra ada solusi.
Dengan memilih memutuskan gugatan Effendi Gazali, MK pun bebas
member solusi. Yaitu, gugatan diterima, tetapi untuk pemilu 2019.
Pemilu 2014 ini jadi tak sah dong? Romo menjawab: MK jelas
menyebutkan pelaksanaan pemilu 2014 ini inkonstitusional. Artinya, kita
mendapatkan wakil rakyat dan presiden yang inkonstitusional. Dan NKRI
jadi Negara in-Konstitusional Republik Indonesia.
Apa Romo sudah baca buku Selalu Ada Pilihan karya presiden kita? Saya
mengalihkan perhatian. Belum, saya mau membaca setelah beliau tak
lagi menjadi presiden, supaya lebih jernih mengomentari. Kan tinggal 270
hari. Saya kaget, kok Romo ikut menghitung mundur, ya?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 26 Januari 2014)

Senin,20 Januari 2014 @ 02:53


Menunggu
Pandita Mpu Jaya Prema
Menunggu adalah penantian yang berat. Apalagi yang ditunggu itu
sesuatu yang penting. Peraih Nobel Sastra tahun 1969, Samuel Barclay
Beckett (1906-1989), bahkan menggambarkan betapa bisa hilangnya
harapan karena menunggu sesuatu yang tak pasti. Itu ada dalam
dramanya yang kesohor: Menunggu Godot (Waiting For Godot).
Tapi pengungsi Sinabung tak akan kehilangan harapan menunggu
kedatangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masalahnya, SBY sejak
awal pekan lalu berjanji akan datang ke Sinabung pada pekan ini, entah
besok atau lusa. SBY sibuk luar biasa untuk koordinasi penanggulangan
bencana. Jakarta banjir sudah rutin, siapa pun gubernurnya. Namun banjir
bandang Manado lebih tragis, 16 jiwa melayang. Padahal SBY tak berjanji
ke Manado.
Ini tahun "menunggu" dan "ditunggu-tunggu". Anas Urbaningrum
ditunggu banyak orang. Ada yang menunggu kapan dia buka-bukaan
membantu KPK untuk menyebut sejumlah orang yang terlibat dalam
kasus Hambalang. Ada yang menunggu Anas bebas dari jerat hukum,
karena dengan beraninya dia menantang, "Satu rupiah pun Anas korupsi
dari Hambalang, Anas siap digantung di Monas." Pernyataan yang tak
main-main, seolah Anas punya bukti tak korupsi di Hambalang. Tapi
pernyataan itu membuat banyak yang menunggu Anas di Monas sambil
menyebut--antara guyon dan serius--menyiapkan tali tambang.
Menunggu sering tidak sabar, memang. Anas beda dengan tersangka lain,
sebutlah Ratu Atut, Akil Mochtar, Joko Susilo. Ketiga orang ini, sebelum
diadili, hartanya sudah ketahuan melimpah dan disita. Mereka tak
membuat perlawanan "siap digantung". Sedangkan Anas, tak satu pun
hartanya disegel, bahkan mobil yang tadinya disangka hasil gratifikasi tak
disita KPK. Dan Anas melawan, bahkan kemarin sudah nge-tweet lagi.
Kenapa ini tak membuat kita bersabar menunggu pengadilan? Betul ada
tradisi, tahanan KPK tak mungkin lolos dari jerat hukum. Tapi tetaplah
vonis hakim yang menentukan apakah tersangka itu korupsi atau tidak,
bukan KPK.
Adakah yang menunggu bagaimana nasib Sutan Bhatoegana, yang
rumahnya sudah digeledah KPK? Wow, sudah pasti banyak yang
menunggu "masuknya barang itu". Orang jadi bergairah menunggu
karena ada faktor lain: tokoh itu kontroversial. Orang yang berkoar-koar
bersih tapi ternyata bermasalah, para penunggunya seperti berdoa agar
orang itu betul-betul kotor.
Di atas segalanya itu (ini ucapan sakti Anas di gedung KPK), yang paling

banyak ditunggu dan melibatkan dua ratus juta rakyat Indonesia adalah
keputusan Mahkamah Konstitusi. MK akan menyidangkan uji materi yang
diajukan Yusril Ihza Mahendra pada pekan ini, 21 Januari. Kalau gugatan
Yusril diterima MK, maka pemilu legislatif dan pemilu presiden disatukan.
Ada yang menyebut akan terjadi kisruh politik, karena jadwal KPU akan
mundur semua. Mungkin itu berlebihan. Bukankah penyatuan pemilu itu
hanya berarti mengundurkan pileg dari 9 April ke Juli, bersamaan dengan
pilpres?
Sesederhana itu? Semestinya. KPU tinggal menjadwal ulang tahap-tahap
pemilu, termasuk membuat tahapan kapan pasangan capres dan
cawapres diajukan partai atau gabungan partai, sebagaimana
diamanatkan konstitusi. Nah, urusan terakhir inilah yang ditentang partai
besar, karena mereka sesungguhnya tak siap dengan capresnya. PDI
Perjuangan, misalnya, masih dilematis akan mengusung Jokowi atau
bukan. Kalau ya, akan jadi RI-1 atau RI-2? Pendampingnya itu, apakah dari
partai lain atau "trah Sukarno"? Daripada dilematis, lebih baik menentang
keras gugatan Yusril. Tapi sesungguhnya MK yang pegang palu, mau
diketok ke arah mana.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 19 Januari 2014)

Minggu,12 Januari 2014 @ 02:53

Gila
Pandita Mpu Jaya Prema
Pemilihan umum makin dekat dan orang-orang pada sibuk. Ada yang
sibuk membuat baliho sembari mencari pohon di pinggir jalan yang belum
digelayuti peraga kampanye. Ada yang sibuk mengajukan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi dengan target pemilu legislatif dan pemilu presiden
disatukan. Ada yang sibuk nge-tweet, menjelek-jelekkan calon tertentu,
dan mempromosikan calon yang dijagokannya. Para menteri pun sibuk,
terutama yang dari partai politik atau yang ikut konvensi calon presiden.
Urusan elpiji, pengungsi Sinabung, tanah longsor, diabaikan.
Kepala Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, juga sibuk. Rumah sakit ini
sedang menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk
mengantisipasi pasien gila setelah pemilu. Menurut Direktur Utama RSJ
Menur dr Adi Wirachjanto, pengalaman Pemilu 2004 dan 2009 cukup
memberi bukti, banyak orang gila setelah pencoblosan selesai.

"Pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan hal itu,'' katanya.


Siapa yang akan gila? Para caleg yang gagal menjadi anggota Dewan.
Astaga, kenapa hal itu bisa terjadi? Karena mereka mempertaruhkan uang
yang tidak sedikit, dan uang itu diperoleh dengan berbagai cara. Dari cara
yang halal (menjual perhiasan istri dan menjual warisan) sampai cara
berutang. Bahkan, di Kalimantan Timur, ada caleg yang tertangkap karena
merampok untuk mencari biaya kampanye.
Para caleg ini sebenarnya sudah "gila" sebelum pemilu dimulai. Dalam
otak mereka, uang yang dihamburkan sekarang ini akan kembali dalam
satu tahun masa jabatannya sebagai anggota Dewan. Masa jabatan
empat tahun setelahnya, sudah berarti keuntungan. Mereka tahu gajinya
"belum kembali modal", tapi fasilitas sana-sini plus saweran sudah
dihitungnya dengan cermat: amat banyak. Menjadi anggota Dewan di
provinsi atau kabupaten, hanya dengan memainkan dana bantuan sosial
saja, sudah jadi kaya.
Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) punya data. Pada Pemilu
2009, ada 7.376 caleg gagal yang gila. Data diambil dari Kementerian
Kesehatan. "Gila karena gagal. Bahkan ada yang sampai bunuh diri," ujar
Wakil Sekjen KIPP Jojo Rohi.
Jadi, layak kalau rumah sakit jiwa di berbagai kota lain juga dikabarkan
ikut mengantisipasi pasien gila pasca-pemilu. Persaingan caleg makin
ketat, uang yang harus disediakan makin banyak. Ditambah lagi
bermunculan "tim sukses dadakan" yang mengompori caleg agar aktif
berkampanye, memasang baliho dan mencetak baju kaus sebanyakbanyaknya. Di kampung saya, banyak anak muda yang jadi "tim sukses
dadakan" hanya supaya bisa menjual bambu untuk memasang baliho.
Para caleg juga saling serang. Anwar Fuadi, aktor sinetron yang
"mendadak nyaleg", mengecam caleg yang hanya berpendidikan SMA dan
miskin. Argumentasinya, sudah pendidikan rendah, miskin pula,
bagaimana bisa menambah wawasan, bukankah nanti anggota Dewan
menyeleksi pejabat-pejabat yang bergelar doktor? Fuadi dikecam, bahkan
di Banten muncul "ikatan caleg miskin" yang meminta Anwar Fuadi
meminta maaf.
Saling jegal seperti ini marak di daerah-daerah. Betul-betul gila. Partai
politik bukan hanya tak berhasil mencerdaskan masyarakat, mencari
kader yang "normal" saja sulit. Hasil pemilu nanti sudah bisa ditebak. Para
anggota Dewan terpilih adalah mereka yang "gila" (dalam tanda petik,
yang bisa berarti gila kekuasaan, tak tahu apa yang dikerjakan, dan
sebagainya), sementara yang gagal betul-betul gila dan menghuni rumah
sakit jiwa. Seharusnya ada lembaga independen yang memantau para
caleg "normal" dan mengumumkan ke masyarakat, hanya mereka yang

layak dipilih.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu, 12 Januari 2014)

Minggu,23 Februari 2014 @ 22:32

Mahkamah
Pandita Mpu Jaya Prema

Romo Imam sedang mengajari cucunya berhitung ketika saya datang.


"Dua kali dua hasilnya sama dengan dua ditambah dua, empat," kata
Romo sambil menepuk cucunya. Romo mengerling saya, lalu berkata,
"Tapi dua kali dua bisa jadi enam kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan
begitu." Anak kecil itu tampak bingung dan berlari ke arah ibunya. Ia takut
melihat tampang saya yang berjenggot.
"Romo mengajarkan hal yang salah," saya nyeletuk. Setelah kami duduk,
barulah Romo menjawab: "Salah dan benar di negeri ini sekarang
ditentukan oleh delapan hakim konstitusi. Apa pun yang mereka
putuskan, itulah kebenaran yang mutlak, tak bisa dibantah. Mantan Ketua
MK Mahmud Md. berkali-kali bilang, apa pun keputusan MK harus
dihormati, diterima, final, dan tak bisa didebat."
"Tapi itu hanya berkaitan dengan konstitusi, Romo, bukan masalah
matematika," potong saya. Romo menjawab, "Siapa tahu ada yang
memohon uji coba ke MK, dua kali dua harus enam, agar tidak
bertentangan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 hasil amendemen yang
berbunyi: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan seterusnya.
Kalau hakim MK menganggap untuk memajukan ilmu pengetahuan harus
ada revisi soal perkalian, kan harus dihormati."
Saya tertawa. "Romo mengada-ada. Etika dari mana itu?" Romo makin
serius: "Apa sekarang hakim MK tak mengada-ada dan punya etika?
Pemerintah capek membuat Perpu untuk menyelamatkan MK, DPR sibuk
bersidang mengesahkan Perpu menjadi UU. Ini melibatkan banyak orang,
kok delapan orang hakim itu bisa membatalkan? Etikanya, tentu,
janganlah mengadili diri sendiri untuk menguntungkan kedudukan
sendiri."
"Mungkin maksud hakim MK agar undang-undang tentang MK itu yang
direvisi," saya memotong. Romo menjawab, "Kalau revisi undang-undang
itu dibuat, lalu ada lagi yang mengajukan uji coba, ditolak lagi oleh MK jika

dianggap merugikan dirinya, bisa pula kan?"


Saya kehabisan argumentasi. Romo meneruskan, "Satu-satunya cara
memperbaiki MK hanya mengamendemen lagi UUD 1945, menambah
ayat lebih rinci di pasal 24C yang mengatur hakim konstitusi. Tapi perlu
waktu panjang, dan selama rentang waktu itu, hakim MK tak bisa diutakatik dan, kalau ada yang pensiun, syarat penggantinya memakai undangundang lama. Lihat saja sekarang, politikus ramai-ramai mencalonkan diri.
Padahal politikus itu bukan negarawan, tapi itu sah karena belum diatur
konstitusi. MK akan terus dikuasai orang-orang partai."
"Kok orang partai nafsu betul jadi hakim MK?" tanya saya polos. Romo
yang kini tertawa: "Jelas dong, sengketa pemilu dan pilkada akan banyak,
dan hakim dari partai pasti membela partainya. Kalaupun motifnya bukan
itu, ya, sabetan dari sengketa itu, contohnya ya Akil."
"Romo berprasangka," kata saya. "Saya pakai akal sehat," jawab Romo
cepat. "Sidang pleno untuk vonis di MK itu dihadiri seluruh hakim. Apakah
di era Akil Mochtar jadi Ketua MK, ke delapan hakim lainnya cuma
manggut-manggut saja dengan keputusan Akil yang dibayangi suap
miliaran? Apakah delapan hakim lainnya dihipnotis oleh Akil atau
dihipnotis oleh sesuatu?"
Saya tak bisa menjawab. Romo berkata datar: "Pasal 24C ayat 5 UUD
1945 menyebutkan, hakim MK haruslah negarawan. Mestinya negarawan
itu bebas dari kepentingan partai, bebas dari godaan harta benda, bebas
dari perbedaan suku agama, dan sebagainya. Negarawan kok masih
terima suap, silau dengan kemewahan. Dan negarawan kok masih sibuk
mempertahankan jabatannya."
Saya hanya melongo. Tapi saya tetap cinta Indonesia, meski sebuah
negeri dengan mahkamah yang ngeri-ngeri sedap.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 23 Februari 2014)

Minggu,16 Februari 2014 @ 00:56

Tangis
Pandita Mpu Jaya Prema
Gunung Kelud meletus. Abunya menyebar hingga Purwokerto dan
Sumedang, lebih dari 400 kilometer ke arah barat. Lima bandar udara
lumpuh--Malang, Surabaya, Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Luar biasa
letusan itu.
Apakah ini bencana? Orang mengatakan begitu. Ukurannya, lahan
pertanian bisa rusak, baik oleh abu, pasir, awan panas, dan mungkin juga
lahar. Rumah dan ternak ditinggal begitu saja karena penghuninya
mengungsi. Presiden mengadakan rapat mendadak, mengkoordinasikan
penanganan pasca-letusan. Orang-orang yang jauh dari Kelud bersimpati
dan mungkin sudah mengirim sumbangan. Bukankah ini bencana?
Penduduk di lereng Kelud, baik yang mengungsi maupun di desa yang
masih aman dihuni, barangkali tak menyebut bencana. Tinggal di lereng
gunung berapi punya risiko untuk mengungsi jika gunung itu "menunaikan
tugasnya" untuk meletus. Kalau takut diempas gelombang, jangan
berumah di pinggir pantai; kalau takut gunung meletus, jangan tinggal di
lereng bukit. Penduduk Kelud tentu sadar tentang itu. Kini mereka
mengungsi tanpa ada isak tangis karena mereka yakin alam sedang
mengharmoniskan diri dan sebentar lagi letusan itu akan berhenti. Abu
Kelud berubah menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah pertanian
mereka. Warga punya pengalaman, Kelud bukan sekali ini meletus.
Kitalah yang seharusnya menangis. Terutama para pengayom rakyat,
apakah itu wali kota, bupati, gubernur, menteri, ataupun presiden. Jika
pejabat ini kurang mampu memenuhi kewajiban untuk membantu hak-hak
dasar para pengungsi Kelud, maka layak bersedih dan menangis. Warga
Kelud sudah mematuhi tugasnya untuk mengungsi. Maka kini para
pengayom rakyat yang melanjutkan tugas membantu warga di
pengungsian.
Pengungsi tak boleh menderita, lapar tanpa ada yang memberikan
makanan, sakit tanpa ada yang mengobati. Itu harapan yang ideal. Jika
masih ada rakyat yang menderita seperti itu--apalagi karena kekuasaan
alam dan bukan karena malas bekerja, misalnya--maka yang mengayomi
rakyat wajib menangis. Itulah tanda kepekaan seorang pemimpin.
Pemimpin tanpa memperhatikan rakyat bukanlah pemimpin sejati.
Teladan sudah diberikan oleh Ibu Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Ketika

menyaksikan seorang jompo tergolek lemah karena sakit dan keluarga


yang mengurusinya tak berdaya, Ibu Risma menangis. Tentu tak cukup
menangis, Ibu Risma menolong warganya itu. Dalam sebuah acara di
televisi, Ibu Risma menyebutkan, menjadi pemimpin haruslah mengurusi
seluruh warga di wilayah tanggung jawabnya. Warga menderita, wali kota
menangis.
Ada juga wali kota lain yang menangis, kebetulan pula wanita. Ia adalah
Ibu Airin, Wali Kota Tangerang Selatan. Ia menangis setelah menjenguk
suaminya yang ditahan oleh Komisi Pemberantasan Komisi. Kita tak tahu
apa penyebab tangis itu. Yang diberitakan media massa setelah "insiden
tangis" itu adalah cerita tak sedap, yakni ada sederet artis yang
menerima aliran dana dari suami Airin. Apakah ada kaitan tangis dengan
itu, adakah Ibu Airin merasa "dihina" kecantikannya, karena suaminya
melirik artis cantik? Tak ada jawaban.
Ibu Risma dan Ibu Airin sama-sama peka. Mungkin itulah kelebihan
wanita. Tapi, yang membedakan, Risma yang hidup sederhana peka
terhadap warganya yang menderita, sedangkan Airin peka pada derita
suaminya yang bergelimang harta.
Apakah Anda cukup peka dengan segala kekurangan yang dialami
pengungsi Kelud--mungkin masih ada pengungsi Sinabung dan pengungsi
banjir? Jika ya, Anda berbakat jadi pengayom rakyat. Jangan tunda
berbuat baik, mari bantu mereka.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 16 Februari 2014)

Senin,10 Februari 2014 @ 01:40

Saksi
Pandita Mpu Jaya Prema
Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk
mewawancarai saksi partai di kampung. Astaga, orang itu sok nyentrik,
hanya mau menjawab pertanyaan saya secara tertulis. "Nanti saya buat
pengakuan bergaya puisi esai," katanya. Saya tertawa. Sehari kemudian,
saya terima pengakuan berikut ini.
Namaku Pardanem, bukan nama asli. Pekerjaan tukang sortir kopi luak di
lereng Batukaru yang dingin. Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa
meneruskan sekolah. Syukur aku lancar berbahasa Melayu dan badan
gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat pemilu. Nanti

pun dipakai lagi. Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya. Pemilu
harus menambah rezeki. Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi
oleh pemerintah. Kusebut lagi, karena yang membayari aku sudah ada.
Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp 150 ribu. Ini pemilu
2009, nanti bisa lebih.
Rezeki sampingan tentu ada. Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg
nomor urut satu. Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos
nomor urut. Mereka tak mau ribet, hanya coblos gambar partai. "Mau beri
uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk ke nomor satu?"
kataku. Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak:
"Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar." Dan aku, Pardanem,
bukan orang yang mudah dibentak. Kubentak balik dia: "Kerjaku seharian.
Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa bermain." Lalu uang yang kuterima
ditambah.
Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di
kampungku. Jangan dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di
kota. Kami semua bercanda, kami dari kampung yang sama. Masyarakat
yang menyaksikan juga tak ada. Mereka datang ke tempat pemungutan
suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari
melihat hasil pemilu. Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut
dua, atau tiga, atau seterusnya, tergantung yang bisa dibohongi. Ah, para
caleg itu kan pembohong juga.
"Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan
ke nomorku?" Tanya caleg itu. Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain
drama gong. "Itu sepele. Yang penting ada sangu," kataku. Caleg itu
memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi hadiah. Uang
kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?
Namaku Pardanem, artinya berakal banyak. Yang tadi itu kan caleg untuk
DPR, belum lagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Yang ini todonganku
lebih besar, kan calonnya ada banyak. Orang di kampungku, kalau
mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku malas
menghitung baris-baris. Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut
susah, dari lima ke atas. Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup
uang.
Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah. Yang dicoblos gambar
orangnya. Pemilu ini di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih.
Mereka itu hantu, balihonya ada di desa, orangnya tak pernah muncul. Di
antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta. Dia bisa ditodong
juga, asal aku berhasil mencari kontaknya.
Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain?
Sekali lagi kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orangorang kampung yang baik. Mereka tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk

mencari uang. Toh para caleg semuanya mencari rezeki, gombal besar
kalau mereka berjuang untuk rakyat. Kalau pemilu mau serius, kami pun
bisa. Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib
kami. Aku, Pardanem, jangan dikira orang tolol.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 9 Februari 2014)

Senin,10 Februari 2014 @ 01:34


Kuda
Pandita Mpu Jaya Prema
Gong Xi Fat Chai. Selamat Tahun Baru Imlek. Tapi saya tak berbicara tahun
baru, sudah telat dua hari. Saya bicara soal Tahun Kuda, yang baru terjadi
Senin besok mulai pukul 22.04. Jadi antara tanggal 1 sampai 3 Februari
sebelum malam, energi kehidupan di bumi ini masih energi Ular Air.
Saya mengenal kuda cukup baik. Ketika masih kecil suka menunggangnya
dan pernah dijatuhkan sampai berhari-hari keseleo kaki. Kuda adalah
teman seperjuangan petani. Kuda dipakai mengangkut buah kopi dari
kebun ke rumah. Di musim panen padi, punggung kuda penuh berisi padi
yang diikat-ikat, diangkut dari sawah ke lumbung untuk disimpan. Jika tak
ada panen, kuda dibawa berlari-lari di jalan pedesaan sambil konvoi.
Penonton terhibur.
Itu dulu. Kini, tak lagi ada kuda di kampung. Buah kopi diangkut motor
trail dengan mesin menderu dan asap mengepul. Padi di sawah langsung
rontok jadi gabah diambil tengkulak. Lumbung, ya, di mana lumbung?
Sudah habis diborong turis. Di jalan desa yang sudah beraspal, ada konvoi
anak-anak kecil membawa sepeda motor. Penonton mengumpat: awas
kalau jatuh, gak akan ditolong.
Saya tahu tenaga kuda luar biasa. Pantas kalau kekuatan mesin diukur
dengan kekuatan kuda. Dan di tahun 2014 ini, kekuatan kuda hitam
akan muncul. Apakah itu Gita Wiryawan yang baru saja mundur sebagai
menteri karena ikut konvensi capres? Saya tak tahu.
Memang ada ramalan, tahun ini muncul kekuatan kuda yang lebih dasyat.
Yakni kuda dengan keras kepala, tak mau diatur, tak mau mengalah.
Muncul banyak resiko. Pemilihan umum akan menjadi agak menakutkan.
Saya tak bisa berkomentar. Setahu saya kuda itu mudah diatur. Mungkin
kuda yang saya kenal dulu adalah kuda yang belum berpolitik praktis.
Selain untuk mengangkut barang, kuda bisa ditunggangi. Apakah di tahun
politik sekarang ini ada yang saling menunggangi, artinya ada yang jadi

kuda, ada yang jadi penunggang? Apakah Joko Widodo yang begitu
populer di mata banyak orang untuk menjadi presiden, akan ditunggangi
oleh yang lain? Siapa tahu, kekuatan Jokowi ini hanya untuk mengantar
sang penunggang, misalnya, ketua umum partai di mana Jokowi berada.
Artinya, Jokowi adalah kuda tunggangan untuk tokoh yang punya kuasa
hitam-putih.
Oya, saya hampir lupa. Ini tahun kuda kayu, bukan kuda besi, kuda
terbang, atau kuda lumping. Kuda kayu adalah mainan, bisa dibeli di
kawasan Subang. Kuda kayu biasa dinaiki anak-anak kecil. Bisa pula jadi
pajangan di ruang tamu. Yang jelas bukan kuda yang sebenarnya, apalagi
sampai seharga Rp 3 milyar seperti milik Ketua Dewan Pembina Partai
Gerindra. Karena cuma mainan, ya, bisa disebutkan kuda yang
menyalahi aturan atau gampangnya sebut saja kuda inkonstitusional.
Kalau kudanya sudah menyalahi aturan, hanya kuda mainan,
inkonstitusional pula, apakah penunggangnya nanti, siapa pun dia,
bukannya jadi penunggang inkonstitusional? Ini kalau kuda kayu dikaitkaitkan dengan pemilu di tahun ini, yang memang disebutkan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai pemilu yang aturan mainnya tidak sesuai
dengan UUD 1945.
Kok mau klop, tahun kuda kayu dikaitkan dengan tahun politik. Apakah
pemilunya yang salah di tahun ini, atau kuda kayunya yang keliru
dimasukkan dalam penanggalan Cina. Tapi, rasanya yang terakhir tak
salah, siklusnya memang begitu, alam semesta yang mengatur. Mungkin
pemilu 2014 ini yang lagi sial, kena imbas tahun kuda kayu. Atau para
tokoh bangsa yang akan terpilih nanti bernasib sial. Mari mencari Ebiet G
Ade, hanya penyanyi itu yang bisa bertanya pada rumput yang
bergoyang.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 Februari 2014)

Minggu,10 Agustus 2014 @ 09:33


Bingung
Silaturahmi saya dengan Romo Imam terasa sudah lama. Maka sore itu
pun saya bermaksud pulang. Perut tak mempan lagi dimasukkan
makanan, salaman bahkan sudah lebih dari sekali karena tak disengaja.
Bahan obrolan pun sudah ke mana-mana tak ada fokusnya. Belum selesai
soal pemilihan presiden di Korea Utara yang dipuji Prabowo, sudah beralih
ke Roro Jongrang yang membangun Tangkuban Perahu. Belum tuntas, eh,
mengomentari rencana penculikan Ketua KPU. Saya pun minta pamit.

Mumpung belum malam, saya mau beli solar dulu.


Romo terbahak dan menarik tangan saya. Apa ini musimnya orang
bingung? Ada orang mendesak Tuhan agar calon presidennya
dimenangkan Mahkamah Konstitusi. Astaga, Tuhan didesak-desak. Ini lagi,
pembatasan bahan bakar bersubsidi kok yang dibatasi waktu pembelian,
bukan jumlah yang dibeli. Kalau malam hari tak boleh beli solar, ya, beli
saja siang hari. Apa repotnya?
Saya tertunda pergi. Kalau diizinkan malam hari kan pengawasan sulit,
pembeli dan petugas SPBU bisa main mata membolehkan pembeli
memakai jeriken. Kalau siang mudah diawasi, kata saya. Romo
menggeleng. Di pinggiran kota, apalagi di kampung, tak ada
pengawasan. Kalau pun ada, tak setiap hari. Tetap saja orang beli solar
dengan jeriken. Masyarakat pun tak ada yang melaporkan, cari musuh
karena mereka saling kenal.
Saya tak bereaksi. Premium juga dilarang dijual di jalan tol. Lah, apa
susahnya isi tangki penuh sebelum masuk jalan tol? Anehnya orang kok
resah, padahal tak perlu, kata Romo. Ini kebijakan yang sangat
tanggung bahkan cenderung kebijakan orang bingung. Kenapa sih tak
mau menaikkan harga minyak bertahap? Orang-orang kampung sudah
biasa membeli premium di pengecer Rp 7 ribu per botol, itu pun kurang
dari seliter. Kita memberi subsidi pada orang kota yang seharusnya
mampu membeli minyak lebih mahal.
Saya sungguh capek kalau diajak diskusi soal subsidi bahan bakar minyak.
Pemerintah selalu mengeluh soal besaran subsidi yang terus
membengkak. Penghematan yang disarankan pemerintah selalu tak
dipatuhi masyarakat. Kuota minyak bersubsidi menjadi hantu yang
menakutkan. Namun yang takut pemerintah, rakyat cuek saja. Tak peduli.
Padahal opsi tak ada lain kecuali mengurangi subsidi yang berarti
menaikkan harga minyak. Kenapa takut kehilangan citra toh
pemerintahan Presiden Yudhoyono tinggal dua bulan lagi? Jangan-jangan
kalau dirundingkan dengan pemerintahan transisi presiden terpilih Joko
Widodo ada kesepahaman soal kenaikan harga minyak ini.
Saya kira Jokowi akan menanggung beban dari kebijakan soal minyak
yang membingungkan ini, kata Romo setelah melihat saya diam. Kini
saya menjawab sekenanya: Mungkin ya, apalagi program Jokowi banyak
sekali membutuhkan dana. Ada Kartu Sehat ada Kartu Pintar. Kalau subsidi
minyak harus ditambah lagi mungkin berat. Tapi tak tahu juga, partainya
Jokowi kan dulu tak setuju harga minyak dinaikkan karena memberatkan
wong cilik. Entah sekarang.
Tapi apa sudah pasti Jokowi yang dilantik menjadi presiden? Celetukan
spontan Romo Imam ini mengagetkan saya. Saya sampai tak mampu
menjawab. Jangan mendahului MK, jangan mendahului Tuhan. Siapa tahu

ada keputusan yang membingungkan dari sembilan hakim MK, saya tak
tahu, hanya mengingatkan saja, kata Romo setengah berbisik.
Apa sembilan hakim itu berani melawan arus? tanya saya. Romo
langsung jawab: Arus dari mana? Saya menambahkan: Romo seperti
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Romo tertawa. Saya kira
kali ini Romo tak mungkin bingung.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 10 Agustus 2014)

Minggu,03 Agustus 2014 @ 09:28


Salaman
Lebaran sudah berlalu. Itu versi resmi. Versi tidak resmi, hari ini adalah
lebaran ke tujuh. Masih terasa opor ayamnya. Apalagi masih libur dan
tempat tamasya masih ramai. Tapi yang berlebaran di udik, maksudnya
kampung halaman -- karena itu lahir istilah mudik harus balik ke kota
tempat mencari nafkah. Esok sudah bekerja seperti dulu. Bahkan kerja
lebih keras agar bisa menabung untuk mudik tahun depan. Siklus tahunan
yang tak pernah berhenti, persis perbaikan jalan di pantai utara Jawa
(pantura) yang juga tak kunjung henti.
Bersalaman dan saling mengucap mohon maaf lahir batin masih
berlanjut. Pada masyarakat Jawa ada istilah syawalan, silaturahmi
sepanjang bulan Syawal, karena bermaaf-maafan tak bisa persis pada
lebaran yang resmi. Ada kendala waktu dan jarak. Apakah Joko Widodo
dan Prabowo Subianto akan saling berkunjung atau bertemu dalam
sebuah hajatan untuk meminta dan memberi maaf? Bisa saja itu terjadi,
karena untuk mengirim kartu pos bergambar khas lebaran sudah sulit
karena seniman-seniman kartu pos di Pasar Baru sudah pada menghilang.
Salaman antara Jokowi dan Prabowo akan berdampak dasyat bagi
penghuni negeri ini, meski pun pengamat yang biasanya genit perlu
survey apakah itu dilakukan dengan tulus atau sekedar akting. Presenter
televisi pun akan sibuk mengulas, siapa yang lebih dulu menyodorkan
tangan, meski itu tidak penting-penting amat. Bagi masyarakat
kebanyakan yang tak pernah nyinyir, salaman kedua pemimpin ini
pastilah tulus dan itu jadi simbul dari bertemunya dua hati. Seseorang
disebut kesatria jika ia kalah dengan tetap berdiri tegak dan menang
dengan tidak menjadi angkuh.
Siapa yang menang dan yang kalah? Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah
menetapkan Jokowi yang menang. Tapi menurut konstitusi, jika KPU tak

dipercaya memutus kemenangan, maka pemenang pilpres ditentukan


oleh sembilan orang. Mereka adalah hakim Mahkamah Konstitusi. Kalau
sembilan pengadil ini bilang Prabowo menang, Jokowi harus kalah. Begitu
sebaliknya. Tetapi jutaan orang sudah tahu siapa yang menang
berdasarkan proses yang berjalan secara transparan dan hitung cepat
yang ilmiah, bukan dari lembaga survey abal-abal yang sudah meminta
maaf. Akan halnya hakim konstitusi riskan untuk berbuat curang apalagi
menerima suap, karena pasti ada efek jera dari hukuman seumur hidup
yang diterima mantan Ketua MK.
Yang kalah harus berjiwa besar dan menyalami atau minimal memberi
selamat kepada yang menang, apalagi masih di bulan Syawal. Lalu
instrospeksi, kenapa bisa kalah. Jika MK tetap memutus Prabowo kalah, ini
kesempatan buat Gerindra bertanya: kenapa partai nasionalis yang
melesat ke depan dengan kader yang memberi harapan, gagal
memenangkan jagonya? Apakah karena faktor Prabowo yang lebih tua
dari Jokowi? Atau jangan-jangan kemasukan partai yang memperjuangkan
kekhasan sempit sehingga masyarakat khawatir Bhineka Tunggal Ika dan
Pancasila terhapus dari garuda Indonesia. Prabowo dan pimpinan Gerindra
bisa membedahnya dengan jernih jika keihklasan menerima kekalahan itu
dilakukan. Begitu pula jika misalnya Jokowi yang dikalahkan MK, meski
KPU dan lembaga survey sudah memberikan kemenangan, introspeksi
harus dilakukan.
Kata kunci untuk tetap terhormat sebagai kesatria sejati dan terus
berjuang di masa mendatang adalah menerima kekalahan dengan tulus
dan mempelajari penyebab kekalahan. Lalu kedua pesaing bersalaman. Di
dunia hewan, salaman usai bertarung memang tidak ada, tetapi bukankah
kita makhluk berbudaya dan punya martabat?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Agustus 2014)

Minggu,27 April 2014 @ 08:07


Ahok,
Pandita Mpu Jaya Prema
Pada saat orang ramai mencari calon wakil presiden yang bermutu-seolah
calon presiden yang ada sudah bermutu-saya menjagokan Wakil Gubernur
DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Bukan sebagai calon wakil
presiden yang mendampingi Joko Widodo, Aburizal Bakrie, maupun
Prabowo. Ahok sebagai presiden.
Bahwa ini di luar kebiasaan, itu sudah pasti. Presiden Indonesia, meski tak
pernah ditulis dalam konstitusi, tentu "tak biasa" kalau bukan beragama

Islam. Bahkan masih dianggap "kurang biasa" kalau bukan dari Jawa.
Apalagi "jauh dari biasa" jika keturunan Tionghoa. Orang bisa berpidato
bahwa tak ada lagi dikotomi Jawa dan luar Jawa, militer dan sipil, muslim
dan nonmuslim, apalagi dikotomi usang: pribumi dan non-pribumi. Tapi itu
masih semu.
Ahok sudah meninggalkan jauh-jauh dikotomi itu. Ia sudah jadi "manusia
Indonesia" yang sebenarnya. Kamis pekan lalu, pada perayaan Paskah
yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI, Ahok berkata: "Kita ini masih
beragama tapi tidak bertuhan." Alasannya? Kelakuan kebanyakan
manusia Indonesia, apakah dia pejabat atau bukan, tidak sesuai dengan
tuntunan agama. Kalau boleh saya perpanjang (dan menafsirkan), banyak
orang sekarang tak lagi mengindahkan ajaran yang diwahyukan Tuhan,
tetapi tetap bangga menyebut beragama. Korupsi merajalela, suap, dan
kecurangan terjadi di mana-mana, tetapi label agama dengan bangga
masih dipakai. "Ahok pemimpin yang Islami," tulis Akhmad Sahal,
kandidat doktor di University of Pennsylvania Amerika, di Twitter.
Ahok memang ceplas-ceplos-tapi tidak haha hehe. Di hadapan umat
Kristen, dia berkata ihwal sikap yang harus sejalan dengan agama. "Tapi
kalau kelakuannya enggak Kristen, copot saja salibnya. Bikin saya malu.
Atau KTP-nya dikosongkan saja," katanya. Maksud Ahok tak usah
mencantumkan agama di KTP kalau perilaku tak sesuai dengan ajaran
agama. Saya dua ribu persen setuju. Agama selama ini lebih sering
dijadikan aksesoris belaka. Bukan dihayati.
Seperti jam tangan. Benda ini lebih hanya menjadi aksesoris, bukan
sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari. Jam tangan yang mahal itu
hanya untuk menambah percaya diri pemakainya-jadi, betapa mereka
merasa hina tanpa jam tangan yang mahal. Dan Ahok pun jujur mengaku,
jam tangannya berharga Rp 20 juta bermerek Tag Heuer. Ada yang lebih
mahal, merek Richard Mille, dengan harga Rp 1,4 miliar. Astaga, tapi asli.
Adapun Richard Mille yang palsu harganya cuma Rp 5 jutaan dan dipakai
Jenderal Muldoko, Panglima TNI. Karena palsu, jam itu pun dibanting di
depan wartawan. Nah, itulah aksesoris, bisa dibanting, ditanggalkan,
dipakai lagi. Seperti orang beragama tapi bukan bertuhan.
Berapa harga jam tangan Anda? Sepuluh tahun lalu saya membeli arloji
mahal, harganya Rp 150 ribu. Tapi sudah lima tahun saya tak lagi
memakai jam tangan. Saya merasa tak perlu aksesoris yang bernama
jam. Saya punya handphone, punya "tablet" yang memang berguna untuk
sehari-hari. Semuanya ada penunjuk waktu. Di rumah, setiap ruangan ada
jam dinding. Di mobil juga ada. Untuk apa lagi tangan harus digelayuti
jam, padahal handphone yang ada jamnya tak pernah lepas di era
keranjingan ber-Twitter ini.
Di dunia materialistis, orang mengejar aksesoris. Seorang istri pejabat
dengan bangga memakai tas Hermes, ratusan juta harganya. Saking

mahalnya, dia tak berani menitipkan tas itu kepada orang lain, takut
hilang. Tapi dia rela menitipkan anaknya kepada pembantu. Ini satu ciri
lagi manusia yang beragama tapi tidak bertuhan. Tas Hermes lebih
berharga daripada anak sendiri. Ahok, mana Ahok?
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 27 April 2014)

Minggu,13 April 2014 @ 08:59


Koalisi
Pandita Mpu Jaya Prema
Tanpa mengurangi rasa hormat akan keilmuannya, saya bosan mendengar
uraian para pengamat di televisi tentang hasil pemilu legislatif. Selain
orangnya itu-itu saja, pengamatannya terlalu metropolitan, kurang
memahami apa yang ada di desa.
Misalnya, soal efek-efekan. Ada efek Jokowi yang dianggap gagal
mendongkrak suara PDI Perjuangan. Lalu ada efek Rhoma Irama yang
berhasil mendongkrak suara PKB. Yang saya amati (meski saya tak
menyandang predikat pengamat) orang desa bukannya tak mendukung
Jokowi menjadi presiden. Mereka mendukung, tapi itu nanti pada
pemilihan presiden. Orang di desa cenderung memilih caleg yang dekat
dengan lingkungannya karena merekalah yang setiap saat membantu
warga. Tak peduli partainya. Tentang suara PKB yang melonjak, ini lebih
pada warga NU yang "pulang ke rumah". Sulit membayangkan para kiai
mencoblos PKB hanya karena Rhoma Irama, meski dia Raja Dangdut.
Soal koalisi, konon sudah mengerucut. Tiga partai teratas yang sudah
punya calon presiden menjadi "komandan" koalisi. Tapi, apa benar begitu,
saya ingin pendapat pengamat wong ndeso. Siapa lagi kalau bukan Romo
Imam. "Ah, percuma, kamu yang sudah mendukung Jokowi pasti
menyanggah," kata Romo, begitu saya meminta komentar soal koalisi.
Saya hanya nyengir kuda--bisa menebak kuda nyengir? Romo
melanjutkan: "Sudah ada tiga partai besar yang semua punya calon
presiden. PDIP dengan Jokowi, Golkar dengan ARB, dan Gerindra dengan
Prabowo. Saya ingin ada koalisi keempat, di luar ketiga partai itu, agar
Jokowi punya lawan."
Saya tersentak. Bukankah lawan Jokowi sudah jelas ARB dan Prabowo?
Atau Romo Imam menganggap Jokowi pasti menang mudah melawan
kedua tokoh itu? Saya tak berani bertanya, Romo langsung berkata:
"Kalau tiga saja partai menengah berkoalisi, sudah bisa mengusung calon
presiden, yaitu Demokrat, PKB, dan PAN. Lalu tokoh yang dimunculkan

adalah Anies Baswedan, peserta konvensi capres Demokrat, dan Mahfud


Md. Tentu ketiga pimpinan partai itu harus legowo, siapa yang jadi
presiden dan wakilnya. Bisa Mahfud-Anies, bisa Anies-Mahfud. Pasangan
ini akan menjadi pesaing tanggung Jokowi, siapa pun yang jadi wakilnya."
Saya tentu kaget, tapi saya sembunyikan. "Jokowi itu gesturnya belum
presiden. Bicaranya dalam menjawab pertanyaan spontan sering tak
fokus, ha-ha-he-he Wawasannya masih kurang." Ucapan Romo ini
langsung saya sanggah: "Romo, itu karena kita terbiasa punya presiden
yang menjaga citra dan penampilan. Kita ingin sesekali punya presiden
yang merakyat, yang bisa naik bak sampah, yang bisa mencebur ke got,
rakyat menyukai ini."
Romo terbahak dan tawanya agak aneh. Saya langsung diam. "Sudah
saya bilang, kamu pasti marah kalau saya komentari Jowoki dengan cara
saya," kata Romo dan mengajak saya minum. "Kalau ada koalisi sesama
partai menengah, pertarungan jadi seru. Terserah siapa dipilih rakyat,
Jokowi atau pasangan alternatif itu. Ingat, dalam pemilihan presiden yang
dilihat bukan partainya, tapi tokohnya. Orang tak melihat lagi PDI
Perjuangan, Demokrat, PKB, Golkar, atau Gerindra, tapi yang dilihat Anies
Baswedan, Mahfud Md., Jokowi, Prabowo, dan Ical. Siapa yang paling
bersih, jujur, dan punya wawasan," kata Romo.
Romo menyambung: "Tentu, kalau pasangan alternatif ini terpilih, akan
ada perlawanan dari parlemen. Tapi, kalau kerjanya bagus, menterinya
profesional, dan bukan bagi-bagi jatah partai, rakyat akan berkoalisi
dengan pemerintah." Saya tetap diam dan akhirnya sadar, inilah risikonya
minta pendapat pada pengamat ndeso. Anggap saja selingan.
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 13 April 2014)

Minggu,06 April 2014 @ 07:54


Nyoblos
Pandita Mpu Jaya Prema
Hari pencoblosan masih beberapa hari
mendatangi tempat pemungutan suara
atau mimpi baik, tak ada jawaban di
primbon kurang update menerangkan
kemajuan zaman.

lagi. Tapi saya sudah bermimpi


(TPS). Apakah ini mimpi buruk
buku Primbon Mimpi. Penyusun
soal mimpi, tak mengikuti

Ada yang tahu apa arti mimpi saya itu? Baik, saya ceritakan. Siang itu,
dengan surat panggilan di tangan, saya mendatangi sebuah TPS. Lama
sekali menunggu, tak juga dipanggil. Orang yang datang belakangan

malah sudah selesai mencoblos, saya tetap duduk di kursi. Tak sabar,
saya datangi petugas, kenapa saya tak dipanggil. "Lo, nama Bapak sudah
saya panggil sejak tadi, tidak dengar, ya?" jawab si petugas.
Wow, saya baru sadar, nama yang dipanggil adalah nama saya yang
lama. Tentu sesuai dengan surat panggilan. Paguyuban pendeta Hindu
pernah mempersoalkan kemungkinan pergantian nama untuk pendeta ke
Catatan Sipil. Supaya nama di KTP dan paspor menjadi "nama pendeta".
Sebagai bukti ada perubahan nama adalah ada ritual yang bernama "seda
angga", ritual kematian yang dikukuhkan dengan surat resmi Parisada
Hindu, sehingga ada "kelahiran kedua" dengan nama baru. Tapi Catatan
Sipil, konon setelah berkonsultasi ke pusat, tak mengizinkan dengan
alasan "itu kepercayaan lokal". Bahkan ada bisik-bisik menyebut: "seperti
tahayul". Ya, sudahlah.
"Apakah nanti setelah mencoblos, jari tangan saya juga dicelupkan ke
tinta?" tanya saya ke petugas, setelah urusan panggil-memanggil selesai
dengan damai. "Tentu saja, itu peraturan," jawab petugas. "Kalau Bapak
tidak mencelupkan jari tangan ke tinta, nanti Bapak dikhawatirkan
mencoblos lagi di tempat lain."
Saya katakan tak mungkin, bukankah surat panggilan hanya satu?
Petugas semangat membantah, "Bisa saja ada orang yang tak jujur, surat
panggilan dibuat dobel untuk Bapak. Atau Bapak sendiri yang tidak jujur,
ke TPS lain dengan membawa KTP dan menyebut tak ada nama dalam
daftar, lalu ngotot mencoblos. Tinta di jari itu untuk mengatasi
ketidakjujuran."
"Kalian menghina," jawab saya tegas. "Pemilu selalu didengungkan
dengan asas jurdil, jujur dan adil. Tapi kalian dan seluruh penyelenggara
pemilu mengajarkan orang untuk menghina kejujuran itu. Ini pemilu yang
primitif, sistem pemilu di negara yang tak berkembang, negeri yang jauh
dari kemajuan teknologi. Di negeri lain, orang sudah memilih dengan
sistem elektronik, dan penyelenggaraan pemilu ditangani lembaga
statistik sejenis Biro Pusat Statistik. Ini pemilu boros dan rumit, ada KPU,
ada Bawaslu, ada DKPP. TPS dijaga banyak orang masih perlu saksi-saksi,
ada lembaga pemantau. Semua ini karena kejujuran itu tak ada, atau
kejujuran itu sudah sejak awal dipastikan tidak ada untuk semua orang,
termasuk kaum pendeta. Itu kan menghina?"
Eh, saya terbangun. Saya sudah berusaha membalik bantal, konon
dengan cara itu saya bisa tidur pulas lagi dan melanjutkan mimpi. Tapi tak
bisa. Saya penasaran, apakah saya jadi mencoblos dalam mimpi itu atau
tidak?
Dalam terjaga, saya teringat ucapan almarhum Guru Nabe saya, "Pendeta
tak perlu mencoblos." Alasannya? Guru dengan bijak menjawab, "Ini
jawaban yang gampang supaya tak berdebat, pendeta tak lagi berurusan

dengan duniawi. Yang benar adalah soal nama dan kejujuran yang
disangsikan dengan mencelupkan jari ke tinta. Apalagi tinta itu bukan
barang suci bagi pendeta karena sudah dipakai banyak orang."
Untunglah pendeta Hindu tak sampai dua ribu di negeri ini, apalah artinya
ke-golput-an mereka. Dan kalaupun mimpi saya bersambung, saya tahu
apa ending-nya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 6 April 2014)

Selasa,24 September 2013 @ 20:21


Mobil Murah
Pandita Mpu Jaya Prema
Gagal menurunkan harga kedelai dan daging sapi, pemerintah tak mau
menyerah mencari jalan lain untuk mensiasati kata murah. Kali ini,
lewat peraturan Menteri Perindustrian, pemerintah meluncurkan mobil
murah. Pameran mobil bertaraf internasional pun digelar di Jakarta, entah
benar mobil murah atau pura-pura murah, belum ketahuan
juntrungannya.
Mobil itu nanti juga ramah lingkungan. Semuanya produksi luar negeri,
seperti halnya asal kedelai dan bawang. Toyota meluncurkan mobil
seharga Rp 80 jutaan, Daihatsu sedikit lebih murah, Rp 75 jutaan. Nisan
jauh lebih murah, Rp 30 jutaan. Nah, Cina tak mau kalah, akan
meluncurkan mobil super mewah, hanya Rp 13 jutaan. Obral obral
dibanting dibungkus
Apa reaksi masyarakat? Masyarakat Jakarta dari kalangan menengah ke
atas, protes keras karena mobil murah akan membuat Jakarta tambah
macet. Protes itu muncul di media sosial seperti Face Book atau Twitter
dan bisa jadi ditayangkan dari kemacetan di jalan. Mereka menghujat
kebijakan pemerintah sembari pegang kemudi, menuduh mobil murah itu
jadi biang keladi kemacetan lebih parah. Mereka merasa tidak adil kalau
ada orang yang hidupnya di bawah mereka ternyata ikut-ikutan punya
mobil. Mereka tak berpikir bahwa mengatasi kemacetan di Jakarta
seharusnya bukan hanya memprotes mobil murah, tetapi menyimpan
mobil di rumah masing-masing dan bepergian naik angkutan umum.
Kota-kota besar lain pun akan berwajah Jakarta dalam hal kemacetan.
Gengsi sekelompok masyarakat yang selama ini hanya mampu membeli
mobil bekas, langsung mencuat karena bisa memiliki mobil baru. Yang
penting mobil baru, murah pula.

Tapi, apa arti murah bagi masyarakat pedesaan takkala tempe dan tahu
menghilang, pete sulit didapat, harga bawang melambung, sementara
tebu yang mereka tanam dibeli dengan harga murah oleh pabrik? Tak ada
artinya kata itu. Murah dan mahalnya sebuah barang bukan karena nilai
rupiahnya, tetapi kemampuan untuk memiliki barang itu. Pasti
kebanyakan orang desa yang profesinya terhormat seperti petani, nelayan
dan buruh, belum juga paham apalagi menikmati kemurahan mobil yang
akan diluncurkan pemerintah. Andai kata pun satu dua mampu
membelinya mungkin sembari menggadaikan ladangnya apakah mobil
murah itu didesain untuk orang desa? Apakah jalanan di pedesaan yang
kebanyakan amburadul cocok dilindas mobil ramah lingkungan itu? Bahan
bakarnya saja nonsubsidi ini teori yang pasti tak sesuai kenyataan
betapa sulitnya mencari di pedesaan.
Alhasil, mobil murah hanya menimbulkan kelas-kelas baru yang berada
dalam posisi tanggung. Pemiliknya dikecam oleh pengguna mobil
nonmurah karena dianggap ikut memacetkan jalan di kota besar,
sementara di desa menjadi penambah gengsi baru meski mobil tak bisa
optimal dipakai.
Gubernur Jakarta Joko Widodo adalah satu-satunya pejabat yang tak
setuju mobil murah ini. Ia sudah menyurati Wakil Presiden Budiono untuk
mengingatkan bahwa ada kebijakan yang dilanggar oleh peraturan
menteri tentang mobil murah. Mungkin Budiono juga tak setuju, tapi
karena beliau pejabat yang biasa-biasa saja, pasti diam. Mana berani
dengan presiden. Tinggallah Jokowi yang posisinya terjepit, di satu sisi
mengemban tugas mencairkan kemacetan Jakarta, di lain pihak akan
menerima kiriman banjir mobil murah. Jokowi yang polos dan apa adanya
ini, barangkali tak sempat berpikir bahwa inilah salah satu cara untuk
menjegal pencapresannya. Lawannya bisa berseru: Lihat tuh, Jakarta
tambah macet, apa prestasimu Jokowi? Urus dulu Jakarta. Ternyata mobil
murah itu soal politik.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 22 September 2013)

Senin,16 September 2013 @ 19:59


Museum
Pandita Mpu Jaya Prema
Tadinya saya kira pemerintah tidak peduli kepada petani saja, karena
sibuk mengurusi hal-hal besar untuk masyarakat perkotaan. Ini membuat
mengalirnya impor produk pertanian ke negeri agraris yang mahasubur
ini, seperti bawang, beras, juga kedelai. Ternyata pemerintah juga tidak
peduli kepala banyak hal, antara lain, museum. Padahal, museum jadi

simbul dari sebuah kota dan negara yang beradab.


Kita punya berpuluh-puluh museum, baik yang dikelola negara maupun
swasta, tetapi nasibnya merana. Museum Nasional di Jakarta memang
mentereng dari luar, maklum di ibukota negara. Di sana disimpan
berbagai jenis benda purbakala yang nilai historisnya sulit diukur dengan
rupiah. Ternyata di balik megahnya bangunan, sistem pengamanannya
keropos. Berkali-kali museum ini kecolongan dan pekan lalu, ada empat
benda artefak purbakala yang raib dari sana. Benda itu terbuat dari emas
atau setidaknya sepuhan emas kuno dari abad ke 10 masehi.
Mari berdoa semoga yang mencuri bukan penadah emas. Jika itu terjadi,
barang ini hanya dijual berdasarkan berat emasnya, bukan nilai
sejarahnya yang memang sulit dihitung. Lalu dilebur jadi perhiasan.
Doakan juga pencurinya bukan sindikat benda purbakala, akan ruwet
mengusutnya. Sindikat ini bukannya fiktif. Majalah Tempo pernah
menurunkan laporan investigasi keberadaan sindikat ini (September 2008)
setelah ketahuan ada korban bernama Lambang Babar Purnomo yang
mayatnya ditemukan di selokan. Lambang adalah arkeolog yang getol
membongkar jaringan pencuri benda-benda purbakala, mulai dari
pencurian fosil situs Sangiran sampai koleksi Museum Radya Pustaka,
Surakarta.
Harap dimaklumi Sangiran itu sebuah situs terbuka, seperti kebanyakan
situs-situs purbakala di berbagai tempat, yang penjaganya mungkin tidak
ada. Museum Radya Pustaka tentu dijaga, tetapi tak ketat-ketat amat.
Museum Gajah yang memiliki lebih dari 240.000 koleksi semestinya dijaga
ketat. Apalagi benda artefak yang dicuri pekan lalu itu berada di dalam
lemari di lantai dua. Kok bisa dicuri?
Apakah pencurinya tergolong kelas yang labil ekonomi (mencuri untuk
menyambung hidup) ataukah dari kalangan yang sudah konspirasi
kemakmuran (maling kaya serakah) jelas tak penting. Lebih penting
adalah segera melacak kalau bisa pencurinya dan bagaimana mulai
peduli pada lembaga yang bernama museum.
Museum itu diurus oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, sebuah direktorat
yang berkali-kali dioper bolak balik bak main voli. Dioper ke Kementrian
Pariwisata tak juga banyak mendatangkan wisatawan, dikembalikan lagi
ke Kementrian Pendidikan tak banyak juga orang merasa terdidik dengan
belajar di museum. Pembenahan organisasi ke dalam pun kendor, dana
makin minim karena ketidak-pedulian pemerintah. Apakah Anda juga
peduli? Barangkali tidak, meski ketika ada musibah kehilangan ikut
prihatin padahal tak pernah berkunjung ke museum.
Di situ ajaibnya museum. Semua orang merasa perlu membangun
museum. Para menteri berlomba-lomba membuat museum di Taman Mini
Indonesia Indah. Instansi lain pun ikut-ikutan. Ada Museum Kereta Api di

Ambarawa, ada Museum Subak di Tabanan, ada Museum Tebu di Klaten,


banyak ragam lagi. Memang penting untuk mengenal sejarah
peradaban. Tapi, setelah berdiri, siapa yang merawatnya? Apakah
kementrian menyiapkan dana yang cukup untuk mengelola museum?
Mengurusi perut rakyat saja pemerintah kewalahan bayangkan tempe
bisa hilang apalagi mengurusi benda purbakala.
Mari sisihkan kepedulian kita pada museum agar kelak sejarah bangsa ini
tak lenyap begitu saja.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 15 September 2013)

Kamis,12 September 2013 @ 21:35


Jalan Soekarno
Pandita Mpu Jaya Prema
Ketika saya remaja, tinggal di kampung pinggiran timur Denpasar, saya
ikut menari kecak dengan lakon favorit Ramayana. Saya dan penari lain
tertarik dengan Wibisana, tokoh bijaksana padahal dia bersaudara dengan
Rahwana, sang durjana. Akhirnya, jalan di depan tempat pementasan
kecak itu kami beri nama Jalan Wibisana.
Bertahun-tahun jalan itu populer. Ketika dijadikan jalan kabupaten dan
beraspal licin, nama jalan diganti menjadi Jalan Kecubung. Lo, kok nama
bunga yang tak terkenal? Di kawasan ini jalan-jalan memakai nama
bunga. Nama tokoh wayang ada di kawasan lain, begitu alasan
pemerintah. Ternyata, pemberian nama jalan ada aturannya. Jalan yang
jadi pusat kota lama diberi nama tokoh atau pahlawan masa lalu.
Misalnya, Gajah Mada, Hayam Wuruk, Untung Surapati. Jalan utama
perluasan kota nama tokoh masa kini: Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku
Umar dan seterusnya. Di luar jalan utama memakai himpunan, ada nama
burung, bunga, wayang, pulau, gunung, danau dan banyak lagi.
Apakah itu peraturan nasional atau provinsi, tak jelas. Tapi begitulah
pemberian jalan di kota-kota di Bali. Orang jadi gampang mencari alamat.
Adapun jalan utama baru diberi nama tokoh masa kini seperti Jalan
Ngurah Rai dan Jalan Profesor Mantra. Jalan tol di atas laut yang baru saja
selesai sampai kini belum punya nama, konon sulit mencarikan nama
yang sesuai dengan keindahan panorama jalan itu.
Saya tak paham bagaimana di Jakarta. Sepertinya mengikuti nama
wilayah atau nama tempat bersejarah yang ada di kawasan itu. Nama
jalan pun bisa berubah kalau ada sejarah baru di sana. Misal, dulu Jalan
Pegangsaan Timur, karena dibangun patung proklamator di sana, nama

diganti Jalan Proklamasi.


Lantas untuk apa mengganti nama jalan Medan Merdeka, baik yang di
utara, selatan, barat dan timur? Bukankah kawasan yang kini bernama
Monumen Nasional dulunya adalah medan untuk memperjuangkan
kemerdekaan dan oleh Bung Karno disebut Lapangan Merdeka? Karena
jadi medan perjuangan menegakkan kemerdekaan, Bung Karno selain
mendirikan Monumen Nasional di sana, memberi nama Medan Merdeka
untuk jalan yang mengitarinya. Jika sejarah dihormati, semestinya nama
jalan itu dipertahankan.
Mengganti Medan Merdeka Utara dengan nama Bung Karno (atau
Soekarno, belum jelas) dengan alasan mengenang jasa beliau, rasanya
tak pas. Bandara terbesar di republik ini sudah bernama Soekarno-Hatta.
Gelora Senayan juga sudah bernama Gelora Bung Karno. Jalan Bung Hatta
(atau Mohamad Hatta) pengganti Medan Merdeka Selatan, hanya karena
di sana ada Istana Wakil Presiden, justru mengecilkan Bung Hatta. Apa
tak ada gedung atau kawasan lain yang layak diberi nama Bung Hatta?
Saya tak ingin melanjutkan dengan kontroversi mengganti Medan
Merdeka Barat menjadi Jalan Soeharto dan Medan Merdeka Timur menjadi
Jalan Ali Sadikin. Perdebatan bisa panjang. Saya lebih tertarik pada
masalah prioritas yang dihadapi bangsa ini. Pada saat rupiah terus
melemah dan sebagian besar hasil pertanian diimpor, kenapa mengganti
nama jalan harus prioritas? Ada biaya yang timbul. Mengganti papan
nama, ganti kop surat, kartu nama dan urusan jelimet lainnya.
Menghormati Bung Karno justru harus mempertahankan nama jalan yang
diwariskan Bung Karno di sekeliling Lapangan Merdeka yang kini berdiri
Monas itu. Lagi pula, kalau memang serius niatnya menempatkan Bung
Karno sebagai pahlawan yang berjasa pada Negara ini, saya setuju
dengan Ibu Megawati, berilah predikat Bapak Bangsa untuk Soekarno.
Bukan dengan menaruh nama Bung Karno di jalanan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 September 2013)

Minggu,01 September 2013 @ 02:58


Miss World
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang saya hormati Menteri Agama Suryadharma Ali, saya mengabarkan
kepada Bapak bahwa ada kemungkinan pergelaran Miss World tetap
berlangsung di Bali. Dengan sangat menyesal, kami penduduk Bali tak
bisa mengikuti saran Bapak agar memperhatikan fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) yang isinya menolak keras penyelenggaraan Miss World


itu.
Ormas-ormas Islam yang dimotori Front Pembela Islam (FPI) sudah jelas
pula sikapnya menolak Miss World ini, bahkan menyebutkan akan dilaknat
Allah jika pergelaran yang tak Islami itu dilangsungkan. Ternyata panitia
Miss World bersama pemuka adat Bali sudah datang ke Pura Besakih
untuk mohon restu ke hadapan Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa.
Di media massa disebutkan, jika Miss World tetap digelar, FPI akan
menguber panitianya. "Kalau aparat masih melindungi, akan kita tolak,"
ujar Misbahul Anam, Sekretaris Majelis Syuro DPP FPI, dikutip dari media
massa. Saya sempat takut. Tapi syukurlah, di media massa juga dikutip
ucapan Jero Gede Suwena, Ketua Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP)
Bali, yang mendukung kontes Miss World. Ini membuat ketakutan saya
sirna karena MUDP punya ribuan pecalang (petugas keamanan desa adat)
yang siap mengamankan Bali dengan semangat "perang puputan".
Apalagi Kepolisian Daerah Bali siap mengamankan perhelatan
internasional itu. Gubernur Bali Made Mangku Pastika, yang juga mantan
petinggi polisi, mendukung penuh acara budaya yang bersifat
internasional ini. Rasanya tak mungkin FPI datang ke Bali dan main uberuberan.
Pak Menteri Agama, saya dan mungkin seluruh pendeta di kalangan Hindu
sejatinya tak ada urusan dengan perhelatan Miss World itu. Jangankan ikut
jadi panitia, diundang pun ogah. Betapapun cantiknya wanita-wanita yang
datang dari penjuru dunia, pasti tetap lebih cantik jika cucu saya
didandani. Itu urusan duniawi, bukan urusan agama. Kalau kita menekuni
spiritual dan setiap hari bergelut dengan ayat-ayat suci, rasanya aneh jika
masih mengurusi atau tergiur atau tergoda oleh kecantikan visual. Ini
ranah budaya.
Jika urusan budaya, kenapa agama dibawa-bawa? Miss World digelar di
Bali, yang konon penduduknya mayoritas Hindu. Lha, kenapa fatwa MUI
harus diperhatikan? Mestinya fatwa Parisada Hindu Dharma Indonesia-dan pasti mustahil ada fatwa seperti itu untuk acara budaya yang tidak
melanggar agama. Kalau saran Pak Menteri kebablasan, nanti setiap acara
apa pun di Bali--termasuk main layang-layang atau pesta ogoh-ogoh-jangan-jangan disuruh memperhatikan fatwa MUI.
Budaya itu beragam di Nusantara ini, dan NKRI dengan empat pilarnya-kayak menceramahi murid SD--menjamin keberagaman itu. Miss World
dipadukan dengan budaya Bali, pembukaannya dengan tari kecak yang
pemainnya bertelanjang dada--padahal peserta Miss World akan pakai
kebaya. Mereka mengunjungi obyek wisata dengan pakaian adat Bali,
karena ada obyek yang sekaligus menyatu dengan tempat suci. Apakah
budaya lokal ini bertentangan dengan budaya nasional? Atau, budaya
nasional harus menutup seluruh tubuh seperti budaya di Timur Tengah?

Lalu, apakah budaya harus diseragamkan?


Tapi okelah, tak ada ruangan kalau saya curhat berkepanjangan, apalagi
terkesan saya ngotot supaya Miss World digelar, padahal saya tak ada
urusan dengan itu. Yang saya ngototkan adalah mari hormati kebhinekaan
dan keberagaman dalam payung NKRI. Mari gunakan fatwa majelis agama
untuk pengikut agama yang bersangkutan, bukan untuk masalah
berbangsa dan bertanah air. Saya malu masalah seperti ini muncul
setelah 68 tahun merdeka. Wassalam.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 1 September 2013)

Minggu,27 Oktober 2013 @ 04:38


Sulit Percaya
Pandita Mpu Jaya Prema
Kepercayaan kita kepada sesama, antarmanusia, nyaris hilang di negeri
ini. Jika dipersentasekan, angkanya begitu rendah. Pemimpin negeri ini
sudah tak memberi teladan dalam memelihara tingkat kepercayaan itu.
Semua janji dan perkataannya tak bisa dipegang. Yang korupsi justru yang
meneriakkan ucapan antikorupsi. Yang melanggar hukum justru penegak
hukum itu sendiri.
Di tengah kepercayaan yang hilang, para tokoh pun harus berbuih-buih
meyakinkan masyarakat dengan kata yang muluk. Dulu, tatkala kita
masih percaya omongan orang, tingkat kepercayaan itu tak harus
dibulatkan seratus persen. Ada angka tersisa untuk ketidakmampuan
manusia karena faktor yang sangat luar biasa. Angka untuk Tuhan, begitu
kita menyebutnya. Misalnya, saya berjanji kepada anak saya, "Kalau kamu
lulus SMA, akan Bapak belikan sepeda motor." Anak minta jaminan: "Bisa
dipegang janjinya?" Saya jawab: "90 persen." Dan sang anak puas, karena
yang 10 persen untuk segala kemungkinan yang tak kuasa dilakukan.
Karena ada pepatah "Manusia merencanakan, Tuhan menentukan".
Ketika kepercayaan itu makin luntur karena sering dilanggar, "angka
untuk Tuhan" mengecil. "Janji 99 persen". Semakin luntur, semakin naik
lagi angka itu: "Pokoknya, 100 persen janji." Angka ini sudah mutlakmutlakan--mengesampingkan kekuasaan Tuhan. Dalam ilmu matematika,
tak ada nilai yang lebih sempurna dari angka 100 persen. Karena persen
(lengkapnya persentase) artinya sebuah angka atau perbandingan untuk
menyatakan pecahan dari seratus. Pecahan seratus dari bilangan seratus
tentulah sempurna, anak-anak sekolah dasar pun tahu soal itu.
Kini para elite negeri mengumbar angka persentase di luar kenormalan.
Tujuannya untuk lebih dipercaya. Misalnya, Presiden Yudhoyono, dengan

menahan marah, membantah mengenal Bunda Putri dengan kata-kata,


"Seribu persen saya tak mengenal." Ketika menyebut ada isu bahwa
Bunda Putri ikut mempengaruhi kebijakan reshuffle kabinet, SBY bilang,
"Dua ribu persen itu bohong."
Kenapa angka itu disulap 10 dan 20 kali dari sebuah persentase yang
normal? Tentu bukan karena SBY tak belajar matematika. Ini lebih untuk
menyihir masyarakat agar percaya apa yang diucapkan. Sayangnya,
ucapan itu jadi bahan olok-olok dan orang makin tidak percaya. Apalagi
Bunda Putri kemudian memberi pernyataan: "SBY tiga ribu persen kenal
saya." Astaga, itu artinya SBY masih "berutang" dua ribu persen kepada
Bunda Putri.
Maaf kalau tulisan ini jadi serius, tidak seperti biasanya. Saya memang
sedang serius "menasihati" para pemimpin negeri ini, agar jangan terlalu
mengobral kata untuk meyakinkan orang. Ibarat pohon, semakin tinggi,
semakin mudah diombang-ambingkan. Normal-normal saja, tapi lakukan
tindakan nyata. Misalnya, SBY cukup menyebut, "Seratus persen saya tak
kenal Bunda Putri," lalu memerintahkan polisi segera memeriksa Bunda
Putri. Urusan selesai dalam hitungan jam, tidak berhari-hari yang
membuat rakyat bertanya: kita percaya yang mana?
Begitu pula pesan pendek yang beredar dari "terduga SBY" untuk
pengurus Partai Demokrat. Berhari-hari kasus itu digunjingkan, padahal
urusan cuma lima menit. Tinggal menjelaskan apakah itu palsu atau tidak.
Bagaimana kepercayaan bisa pulih kalau pemimpin tidak kembali ke
"jalan normal"? Jangan menentang arus, rakyat lagi susah. Baru saja kiai
pesantren dipukuli anggota FPI, kok tiba-tiba menteri meminta pemda
bekerja sama dengan FPI dan menyebutkan ormas itu aset bangsa.
Memangnya kiai bukan aset bangsa? Empat ribu persen rakyat jadi sulit
percaya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Oktober 2013)

Minggu,20 Oktober 2013 @ 00:28


Sedih
Pandita Mpu Jaya Prema
Setiap kali ada tokoh yang dimasukkan ke rumah tahanan, apalagi sampai
dibui, saya selalu sedih. Saya terlalu cengeng. Padahal sudah jelas secara
hukum tokoh itu bersalah, tetap saya bersedih karena hukum bisa
dimainkan. Dulu sedih ketika Ketua KPK Antasari Azhar divonis 18 tahun
penjara. Lalu sedih ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap tangan KPK.
Sekarang sedih dengan ditahannya mantan Menpora Andi Alifian

Mallarangeng. Contoh lain tak usah disebut, saking banyaknya.


Obyek sedih saya bisa ke tokohnya, bisa non-tokoh. Dalam kasus
Antasari,
saya
melihat
ada
bukti-bukti
penting
yang
tidak
dipertimbangkan oleh hakim. Misalnya, baju korban dan sebagainya. Saya
jadi setengah percaya Antasari otak pembunuhan itu. Bahwa Antasari
bersalah, saya setuju, sepanjang itu dikaitkan dengan moral-wong si
cantik Rani sampai masuk ke kamar hotelnya. Artinya, apakah Antasari
tak terlalu berat dihukum 18 tahun?
Seperti halnya Antasari, saya tak kenal Andi Mallarangeng secara dekat.
Ya, tahu karena dia selebritas. Tapi dia pernah menelepon saya langsungtidak lewat ajudan. Kami pun ngobrol. Kesan saya, dia orang cerdas, baik,
toleran. Saya jadi tak percaya dia korup-kecuali nanti dibuktikan. Saya
menduga dia hanya "tak paham betul urusan administrasi" sehingga
terjadilah kesalahan "kurang mengawasi" atau "kurang teliti" atau
"memberikan wewenang kepada orang lain" atau seterusnya lagi. Saya
sedih pemikir seperti dia harus ditahan karena urusan anggaran. Ah,
sudahlah.
Jika kesedihan saya atas Antasari dan Andi langsung pada tokohnya,
berbeda dengan kasus Akil Mochtar atau pejabat korup lainnya, siapa pun
dia. Saya sedih membayangkan istri dan anaknya. Mereka pasti terpukul
berat. Terbiasa hidup berkecukupan dan berjalan dengan tegak, kini
berjalan merunduk-bahkan memakai kerudung-dan ngumpet dari
keramaian. Meski, ya, hidup berkecukupan tetap. Mana ada koruptor yang
dimiskinkan di negeri ini.
Bulan lalu saya diundang cuap-cuap oleh keluarga besar polisi di sebuah
kota. Saya berpesan kepada para istri polisi, kalau suami Ibu suatu saat
pulang membawa mobil baru, menangislah keras-keras. Tanya dari mana
dapat uang untuk membeli mobil itu. Gaji pokok, tunjangan beras dan
lauk-pauk, pasti tak bisa untuk membeli mobil. Jangan berjingkrak senang
suami punya mobil. Kalau suatu saat ketahuan suami korupsi, atau
melakukan pemerasan, seluruh keluarga akan menderita.
("Itu cobaan dari Allah, Pak," celetuk seorang istri polisi. Jawab saya: "Itu
hukuman, bukan cobaan. Yang bernama cobaan, jika suami Ibu sudah
berhati-hati bertugas tapi mengalami kecelakaan.")
Berapa gaji Akil Mochtar? Hakim konstitusi gajinya besar, dari Rp 50 juta
sampai Rp 100 juta. Katakanlah yang maksimal, tetap tak bisa membeli
tiga mobil mewah dalam waktu empat atau enam bulan. Kenapa sang istri
tak bertanya, lalu curiga? Di situ saya sedih. Jika suami membawa harta
yang tak jelas juntrungannya, istri wajib bertanya. Apalagi tahu harta dari
cara tak benar. Kalau cuek, sang istri "ikut serta membantu kejahatan
korupsi".

Di sekeliling kita terjadi banyak ketidakwajaran. Mantan kepala kepolisian


resor punya rumah pribadi di tempatnya pernah bertugas. Tidakkah
rumah itu diberikan oleh penguasa properti? Perwira tentara punya mobil
mewah, dari mana mereka dapat? Lalu, calon bupati yang berani obral
duit puluhan miliar, bagaimana kalkulasi mengembalikan duit itu setelah
jadi bupati? Moral anak negeri ini runtuh sudah. Saya sedih, tapi kalau
saya ikut menghujat, justru lebih menyedihkan. Duh....
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 20 Oktober 2013)

Minggu,13 Oktober 2013 @ 00:22


Bunda
Pandita Mpu Jaya Prema
Bunda selalu putri. Tidak ada bunda yang lelaki. Kata ini umumnya
pengganti panggilan ibu atau mama. Bagaimana dengan Bunda Putri,
nama yang paling heboh saat ini?
Nama ini pun terbatas sebagai julukan, bukan nama sebenarnya. Versi
majalah Tempo, Bunda Putri adalah nama lain dari Non Saputri--entah
siapa pula nama lengkapnya. Sang Bunda dikenal oleh Luthfi Hasan
Ishaaq, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Bunda Putri ini disebut
Luthfi sangat dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan
bisa mempengaruhi kebijakan SBY dalam reshuffle kabinet. Bagaimana
ihwalnya seorang istri--bahkan istri kesekian--dari seorang pejabat di
Kementerian Pertanian begitu dekat dengan SBY, masih teka-teki.
Tapi ada versi lain, meski hanya "cuap-cuap" di media sosial. Bunda Putri
bukan "yang itu", melainkan istri seorang staf Istana yang memang
sehari-hari ada di Puri Cikeas. Persamaannya, Si Bunda ini tetap punya
pengaruh besar pada SBY, termasuk dalam hal "memasukkan uang ke
Cikeas".
Astaga, Bunda Putri pun ada silumannya. Tapi, apa pun, SBY sangat
berang mendengar itu. Turun dari pesawat yang membawanya dari
Brunei, SBY langsung menggelar jumpa pers di Halim Perdanakusuma.
"Seribu persen Luthfi bohong. Saya tidak tahu, saya tidak kenal, dan tidak
ada kaitan dengan saya," kata Yudhoyono. Presiden marah, bahkan sangat
marah.
Jika di negeri ini seorang presiden sampai marah, apakah para pembantu
presiden, para staf, bahkan seluruh rakyat Indonesia, tak bisa berbuat
apa-apa untuk meredam kemarahan presidennya? Presiden itu manusia
biasa--ah ini istilah klise--yang suatu saat bisa marah dan suatu saat bisa

riang sambil bernyanyi-ria. Apa sulitnya polisi melacak Bunda Putri lalu
memeriksanya. Atau, Bunda Putri dipanggil jaksa untuk tampil di
pengadilan sebagai saksi, agar kasusnya jelas. Apakah Luthfi yang
berbohong 1.000 atau 2.000 persen, atau Bunda Putri yang mengaku-aku
kenal sama SBY di depan Luthfi. Bisa terjadi begini: Bunda Putri memang
kenal baik dengan SBY, tapi SBY tak kenal Bunda Putri. Itu soal biasa. Tapi
bagaimana bisa saling mempengaruhi kalau tidak kenal-mengenal di
antara kedua selebritas itu, Bunda dan SBY.
Kita suka menggantung masalah. Yang kecil dibesar-besarkan, setelah
besar meledak sulit dipadamkan. Ini memunculkan berbagai tuduhan tak
sedap, dari tuduhan yang keras tapi sopan sampai tudingan enteng tapi
misuh-misuh. Apalagi kasusnya langsung menyodok kepala negara yang
begitu sibuk mengurusi negeri ini, sampai jarang ada di Ibu Kota.
Ricuh Bunda Putri ini mestinya cepat selesai, baik secara hukum maupun
secara politik. Masyarakat berhak tahu siapa sejatinya Bunda Putri dan
apa perannya. Jangan-jangan dia mengaku kenal baik dengan SBY hanya
untuk membohongi Luthfi dan Menteri Pertanian--sebagai korbannya.
Atau, memang ada korban di tempat lain yang ditutup-tutupi.
Mengurusi satu bunda saja repot, padahal banyak bunda bermasalah.
Misalnya Bunda Ratu Atut, yang kebetulan menjabat Gubernur Banten.
Sang Ratu kebetulan punya adik yang sudah ditahan KPK. Ratu pun
kebetulan pula telanjur mendirikan dinasti di Banten. Urusan ini pasti lebih
rumit ketimbang Bunda Putri, karena kebetulan rakyat Banten pun jauh
dari sejahtera. Kebetulan-kebetulan ini mengagetkan orang. (La, kok baru
sekarang kaget?)
Akankah kita tak bisa menyelesaikan kasus-kasus yang dilakukan para
bunda ini dengan cepat? Kalau kita kalah dengan bunda-bunda itu, Ibu
Pertiwi (ini bukan nama orang) bisa berduka. Dan cucu kita akan
mencemooh: kalian lelaki, lelaki itu pemberani.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 Oktober 2013)

Minggu,06 Oktober 2013 @ 00:12


Marah
Pandita Mpu Jaya Prema
Hukum mati. Seumur hidup saja. Miskinkan. Potong jarinya. Rakus.
Bubarkan MK. Negeri bedebah. Presiden kok cuma terkejut.
Anda masih marah? Ayo menghujat lagi. Belum ada kata-kata jorok.

Jumat petang lalu, dalam sebuah kerumunan di kampung saya, seseorang


melempar televisi dengan sandal jepit sambil mengumpat: "Gantung
saja!" Rakyat dari Sabang sampai Merauke tampaknya sedang marah
menyaksikan berita tertangkapnya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil
Mochtar, yang terus-menerus disiarkan televisi.
Kasus ini memang aib besar. Tapi, apakah cukup dengan marah dan
menghujat? Korupsi sudah menjadi hobi para pejabat tinggi negara.
Hukum sudah lumpuh karena aparat penegak hukumlah yang justru
melakukan korupsi. Memaki dan menghujat tak menyelesaikan masalah.
Harus ada tindakan drastis yang bisa meredam amarah rakyat.
Seharusnya, Presiden SBY segera melakukan tindakan itu. Tapi kita tahu
dan semakin sadar, SBY tak bisa berbuat apa-apa.
Jebolnya Mahkamah Konstitusi jadi klimaks dari hilangnya kepercayaan
rakyat kepada hukum, bahkan akhirnya kepada pemerintah. Saya tak
khawatir dengan umpatan di media massa maupun media sosial yang
saya kutip di atas. Tapi saya cemas melihat orang desa yang marah,
karena mereka tak bisa menuliskan caci-maki.
Saya usul SBY berbuat. Tiru apa yang dilakukan Pemda DKI Jakarta-saya
tak mau menyebut siapa gubernurnya, nanti ada yang tak enak hati.
Yakni, mencabut pentil untuk kendaraan yang parkir bukan di tempat
resmi. Aturan mana yang membolehkan petugas mencabut pentil itu,
bukankah lebih baik kendaraan ditilang? Ini terobosan hukum, karena
norma hukum normal tak membuahkan hasil.
Presiden SBY kalau mau-dan berani-bisa mengadopsi semangat itu
dengan mencabut "pentil yang lebih besar". Yakni mencopot semua hakim
konstitusi, bukan cuma Akil Mochtar. Saya kira ini terobosan yang
didukung rakyat, walau belum tentu pula kemarahan rakyat segera
mereda. Saya hormat kepada delapan hakim MK yang tersisa, tetapi
kepercayaan saya kepada mereka juga di bawah titik nol. Apa pun yang
mereka katakan, berbuih-buih ucapan membela diri dengan menyebutkan
diri bersih, sulit dipercaya. Keputusan MK selalu dalam sidang pleno,
bersifat kolegial. Jadi, betapa mustahilnya jika sang ketua saja yang
menikmati miliaran rupiah. Dalil ini yang dipercaya. Memang tidak adil,
tetapi ini disebut "salah posisi" karena hancurnya kepercayaan itu.
Sekarang dibentuk Majelis Kehormatan Hakim, eh, ketuanya Harjono yang
masih hakim MK. Lalu, apa yang dikerjakan? Ternyata hanya memeriksa
Akil Mochtar untuk mencari tahu apakah si Akil menyalahi kode etik. Ini
kan membodohi masyarakat. Sudah jelas Akil menjadi tersangka dan
ditangani KPK, kok masih dicari menyalahi etika atau tidak. Kalau mau
memeriksa, periksa delapan hakim yang tersisa, sejauh mana tahu ada
penyuapan di MK. Namun, ini pasti jeruk makan jeruk, bagaimana
mungkin Harjono memeriksa dirinya sendiri?

Kemarahan rakyat yang sudah memuncak seharusnya bisa diredam jika


delapan hakim MK yang tersisa itu mau legowo mengundurkan diri--jika
SBY tak berani mencopotnya. Soal penggantinya, bisa diangkat kembali
hakim-hakim MK di era awal ketika ketuanya Jimly Asshiddiqie. Kalau ada
hakim yang tak mau atau ada kendala kesehatan, cari pakar-pakar tata
negara. Jangan mengambil dari politikus yang sudah ternyata hanya bisa
merusak kewibawaan MK.
Jika MK bertahan dengan posisi sekarang dan hanya mencari ketua yang
baru, apakah MK yang sudah tidak dipercaya itu kita percayai mengadili
sengketa Pemilu 2014? Aneh, muskil, mustahil, ajaib.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 6 Oktober 2013)

Sabtu,26 Oktober 2013 @ 00:01


Risma
Pandita Mpu Jaya Prema
Nama lengkapnya Tri Rismaharini. Jabatannya Wali Kota Surabaya. Tapi
saya belum pernah bertatap muka dengan dia. Saya bukan arek
Suroboyo. Saya hanya kagum melihat wajah Surabaya yang lebih bersih.
Tamannya asri, sungainya jernih, jika dibandingkan dengan di masa lalu.
Dari warga, saya tahu, inilah prestasi Wali Kota Risma.
Kebetulan saya ingin menulis seorang tokoh. Tapi kenapa Risma, yang tak
membuat berita pekan-pekan ini? Kenapa bukan Ruhut Sitompul, yang
gegap-gempita di berbagai media? Saya harus mengatakan dengan jujur,
saya ingin menulis sesuatu yang serius untuk bangsa ini, bukan menulis
lelucon. Saya ingin mengajak pembaca untuk optimistis melihat Indonesia
ke depan, bukan larut dalam perseteruan para badut. Risma adalah
pilihannya.
Risma adalah pejabat publik yang tahu apa yang harus dikerjakannya. Ia
tidak memasang baliho mengajak rakyatnya menyukseskan program
pembangunan--seperti para bupati di daerah saya. Ia langsung blusukan.
Tatkala hujan, dia meninjau sungai apakah ada pintu air yang tersumbat.
Pada saat jalanan kotor, dia memunguti sampah untuk memotivasi warga
merayakan kebersihan. Karena itu, saya tak heran jika Risma langsung
memberhentikan ajudannya yang merasa jijik tatkala disuruh memungut
sampah.
Risma apa adanya. Dia pernah ikut mengatur lalu lintas saat Surabaya
terkena macet parah. Padahal para pejabat di pusat masuk ke busway jika
ada macet atau dikawal polisi bersirene mengaung. Wanita ini ingin
menjadikan Surabaya kota yang bebas pelacuran--suatu langkah terpuji

meski itu sangat berat. Caranya tidak dengan mengerahkan Satpol PP


yang membawa pentungan. Tidak pula dengan mengerahkan preman
yang mengamuk sambil berteriak "hancurkan maksiat..., hancurkan
maksiat...". Risma datang berdialog dengan para pelacur, memberi
motivasi bahwa pekerjaan itu tidak di jalan yang benar dan generasi yang
tumbuh di lokalisasi bukanlah generasi yang sehat. Setelah ia
memberikan motivasi itu, para pelacur diberi keterampilan, dan lokalisasi
pun ditutup. Tempat prostitusi yang sudah ditutup adalah Bangunsari,
Dupaksari, dan Klakah Rejo. Target akhir tahun ini, lokalisasi Dolly--dan
para "pemburu seks" tahu bagaimana kejayaan Dolly.
Prestasi Risma itu diakui, bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga para
elite politik. Dan itu membuat Risma diharap-harap mau "dinaikkan
statusnya", misalnya, mau dijadikan calon Gubernur Jawa Timur, bahkan
belakangan mau diundang konvensi calon presiden oleh sebuah partai.
Risma menolak tegas. Alasannya sederhana, khas rakyat. Jabatan itu
"diatur oleh Yang Di Atas", bukan dikejar-kejar. Tentu ini menarik, pada
saat jabatan presiden "dikejar" oleh banyak orang, bahkan ada yang
sampai mengemis-ngemis minta dipilih sambil menebar berbagai impian.
Risma tak pernah mikir jabatan itu.
Masih banyak lagi prestasi yang membuat saya tertarik menulis soal
Risma, sekaligus yang membuat saya punya harapan kepada negeri ini di
tengah karut-marut politik golongan. Ketika teman saya tahu bahwa saya
akan menulis soal Risma, dia langsung heran: "Kenapa tidak menulis Joko
Widodo, yang kini diharap-harap menjadi presiden?" Saya sempat
terkekeh: "Saya kan hobi main biliar. Mengincar bola tertentu bisa dengan
menyundulkan bola lain." Ah, teman saya pura-pura bego. Coba semua
kata Risma dalam tulisan ini diganti Jokowi, esensinya tetap sama. Kalau
terang-terangan saya memuji Jokowi, nanti Amien Rais tambah bingung
ngomong apa. Bangsa ini punya pemimpin yang bermutu dan membuat
kita optimistis. Risma atau Jokowi pemimpin yang akan dilahirkan
semesta.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 September 2013)

Minggu,24 November 2013 @ 11:47


Koruptor
Pandita Mpu Jaya Prema
Jika saya ditanya profesi apa yang paling tidak saya pilih, jawabannya
adalah menjadi hakim. Saya cepat sekali jatuh iba. Dan saya orang yang
sangat tidak tega. Bagaimana menghukum orang lain kalau saya sudah

terlebih dulu sedih atas nasib orang yang saya hukum?


Seorang pencuri ternak yang mukanya babak belur bekas pukulan
diajukan ke sidang pengadilan. Hakim menjatuhkan vonis 6 bulan penjara.
Hakim yang kejam, pikir saya. Pencuri itu punya keluarga, punya anak.
Siapa yang akan menghidupi istri dan anaknya itu? Pukulan yang
dilakukan oleh massa yang memergoki dia seharusnya sudah impas.
Kasihan, kata hati saya.
Para pejabat negara yang dibui karena korupsi pun bisa membuat saya
sedih. Sudah berapa menteri yang masuk bui. Saya membayangkan
kehidupan keluarganya pasti jatuh tersungkur. Mereka, yang sebelumnya
dilayani, disanjung di mana-mana, dan istrinya mungkin memakai tas
merek Hermes, tiba-tiba mendekam di penjara. Martabatnya jatuh.
Apakah ada yang lebih nista dari jatuhnya martabat dan kehormatan kita
sebagai manusia?
Kemarin, kembali saya bersimpati kepada seorang koruptor dan saya
seperti ikut merasakan kedukaannya. Koruptor itu adalah Angelina
Sondakh. Ia bekas orang hebat, ratu kecantikan, menjadi wakil rakyat
"yang terhormat". Ia pernah mengacungkan tangan sambil berteriak:
"Katakan tidak pada korupsi!" Saya yang memelototi televisi membatin:
"cantik di wajah, cantik di perilaku, semoga cucuku kelak seperti dia". Eh,
tiba-tiba dia dihukum 4 tahun 6 bulan karena korupsi. Hukuman yang
berat untuk ibu muda yang baru ditinggal mati suaminya. Dan, aduh,
hukuman itu kini membengkak menjadi 12 tahun penjara.
Kelemahan utama saya, ikut memikirkan kesedihan orang pada saat
orang itu sudah waktunya bersedih. Seharusnya orang-orang itu sudah
memprediksi kesedihannya tatkala dia berbuat tidak baik, saat melakukan
korupsi atau mencuri ternak orang lain. Sang pencuri yang mukanya
bengkak, seharusnya tahu bahwa ternak yang dicurinya ada yang
memiliki dan menjadi tabungan yang menghidupi banyak orang. Angie-begitu Angelina Sondakh disapa-seharusnya tahu, ketika dia menerima
duit miliaran rupiah, ada jutaan orang miskin yang harus dibiayai negara
dari duit yang dia ambil itu.
Hukuman Angie berlipat hampir tiga kali di tangan majelis hakim MA yang
dipimpin Artidjo Alkostar. Ia pun harus mengembalikan uang negara
sebesar Rp 39,6 miliar. "Supaya dia menyesal dan jera," kata istri saya,
yang menonton Angie di acara infotainment. Angie sudah pasti menyesal
dan jera sejak masuk bui. Ia seperti siap, tapi mungkin bukan untuk
sepanjang 12 tahun. Mungkin pula tak berpikir untuk dimiskinkan. Jika
sekarang ia bertambah-tambah sedih, sebaiknya kesedihan itu dipelajari
oleh para koruptor yang belum tertangkap, yang masih asyik mengoleksi
mobil dan rumah mewah.
Wahai para koruptor, percayalah, suatu saat Anda akan jatuh miskin

bersama keluarga. Miskin martabat, nista harga diri, dan seharusnya


miskin harta. Jutaan orang di negeri ini sedang berharap-harap ada
puluhan Artidjo Alkostar yang akan mengubah kehidupan Anda, jika masih
melakukan korupsi. Bahkan ada yang berharap hakim yang lebih hebat
lagi dari Artidjo Alkostar dengan menjatuhkan vonis tambahan: kerja
sosial menyapu jalan. Tapi saya tak berharap yang lebih hebat lagi,
misalnya, menghukum mati. Jangan! Mati itu bukan hukuman karena tak
bisa membuat orang menyesali dirinya, wong langsung mati.
Bahwa saya tetap sedih, itu pasti. Maka, jika ada yang kasihan melihat
saya bersedih, ya, berhentilah korupsi sekarang juga. Titik.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 24 November 2013)

Minggu,17 November 2013 @ 10:26


Runtuhnya MK
Pandita Mpu Jaya Prema
Saya begitu kangen sama Romo Imam. Tapi saya agak ragu ke
padepokannya karena mendengar kabar balai bambu di kebunnya roboh.
Ada hujan lebat dengan petir dan angin kencang. "Ya, masih bersyukur
karena bukan topan Haiyan," kata Romo, masih bisa tersenyum, ketika
saya mengunjunginya.

"Akan dibangun lagi?" tanya saya. "Tentu, ini urusan mudah,"


sahutnya. "Kalau yang runtuh Mahkamah Konstitusi, itu yang sulit
dibangun. Terlalu sulit, tapi para hakim di mahkamah itu enteng saja.
Padahal ini masalah kepercayaan. Ruang sidangnya diobrak-abrik, itu
penghinaan luar biasa, seharusnya mereka introspeksi walau perusuh juga
wajib dihukum."
Wah, Romo cepat sekali panas. Cuaca di negeri ini lagi tak menentu.
"Ketika Akil Mochtar ditangkap, wibawa MK sudah hancur. Ini bisa disebut
genting. Jadi, benar Presiden perlu membuat perpu untuk menyelamatkan
MK karena ada unsur gentingnya. Cuma, terlalu lama membuatnya,
padahal bisa sehari-dua hari. Masa kegentingannya pun berkurang. Ketika
perpu selesai, eh, DPR bersiap reses dan tak mau mengundurkan masa
resesnya. Tak ada koordinasi kapan DPR reses dan kapan perpu harus
dibahas."
Saya memberanikan nimbrung. "MK sepeninggal Akil Mochtar kan sudah
berbenah, sudah membentuk Dewan Kehormatan. Dan Akil pun sudah
diberhentikan dengan tidak hormat. Sudah pula memilih ketua yang baru.

Jadi, mahkamah tak genting lagi, dong. Sidang-sidang terus berjalan."


"Betul," Romo memotong. "Delapan hakim MK itu merasa kegentingan
sudah berlalu. Bahkan ada pernyataan mereka yang mengesampingkan
kepercayaan masyarakat yang merosot. Mereka justru berani menguji
perpu yang berkaitan dengan dirinya. Ini dobel kesalahannya. Pertama,
MK hanya bisa menguji undang-undang yang bermasalah dengan UUD
1945. Perpu tanpa disetujui DPR kan belum setara dengan UU, kok bisa
diuji MK? Jangan-jangan nanti perda pun mau diuji. Kedua, apakah etis
menguji sesuatu yang menyangkut dirinya? Sekarang mau membentuk
Dewan Etik, ini jelas mau menabrak perpu yang mensyaratkan ada Majelis
Kehormatan MK. Ini bentuk perlawanan."
Saya tak berani nimbrung. "MK sekarang ini tak mau tahu bagaimana
kepercayaan masyarakat sudah hilang," katanya. "Ya, dong, apa
jaminannya hakim-hakim itu bersih? Bukankah, dalam setiap keputusan
yang dipimpin Akil Mochtar, mereka terlibat? Masak, sih, tak tahu ada
aliran dana? Atau mendengar tapi pura-pura tak tahu? Oke, katakan saja
mereka bersih, mereka harus bersikap kesatria. Misalnya, secara terbuka
minta diperiksa. Setidak-tidaknya lebih kalem melangkah, jangan
membuat perlawanan, ikuti aturan menjelang perpu dibahas DPR."
"Kalau begitu, Romo, apa sebaiknya dilakukan untuk menegakkan wibawa
MK lagi?" tanya saya. "Sukar, tapi bukannya tak bisa. DPR segera sahkan
perpu, lalu bentuk panel ahli untuk memilih hakim MK yang baru sesuai
dengan perpu. Delapan hakim yang ada boleh mendaftar, meski beberapa
pasti gugur karena belum 7 tahun keluar dari partai politik. Dalam tiga
bulan, MK baru harus terbentuk."
"Kenapa buru-buru?" Romo langsung memotong: "Pemilu tinggal empat
bulan lagi. Ini pemilu yang akan banyak ada sengketa, DPT masih
amburadul. Kalau MK baru belum terbentuk, memangnya mau sengketa
pemilu ditangani MK yang wibawanya sudah runtuh ini?"
Saya diam dan hanya membatin: Jangan-jangan ada yang berharap DPR
mempersulit perpu atau MK malah menolaknya. Lalu, semakin banyak
sengketa, semakin tak dipercaya penengah sengketa, semakin tak
berkualitas pemilu, semakin runtuh republik ini. Astaga, ada yang
berharap begitu? Mari berbuat terbaik untuk bangsa.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 17 November 2013)

Minggu,03 November 2013 @ 04:45


Monyet

Pandita Mpu Jaya Prema


Mari kita membicarakan monyet. Kalaupun salah menulis, tak akan
membuat orang marah dan tak dituduh mengobok-obok partai. Siapa tahu
isu soal monyet bisa membesar lalu mengalihkan isu Bunda Putri atau isu
Perpu Mahkamah Konstitusi yang bakal tak mulus itu.
Topeng monyet sedang di-sweeping di Jakarta, itu pangkal kasus.
Gubernur Jakarta Joko Widodo sangat serius memikirkan monyet, lebih
dari memikirkan para buruh (ini menurut tuduhan buruh). Calon presiden
berstatus "wacana" ini melarang topeng monyet, kesenian tradisional
yang juga bisa ditemukan di India, Pakistan, Vietnam, Cina, Jepang, dan
Korea. (Ini menurut Wikipedia, tak semua negara itu pernah saya
kunjungi). Rupanya, topeng monyet di Jakarta tak punya tempat pentas.
Jalanan dijadikan panggung.Tentu menghina orang Jakarta, wong mal
berdiri di mana-mana dan sebentar lagi ada kereta api bawah tanah, eh,
ada topeng monyet ndeso di jalanan.
Jokowi banyak didukung. (Berani mengkritik Jokowi saat ini, siap-siap tidak
populer). Para penyayang binatang (belum disurvei apa mereka juga
penyayang anak jalanan) kontan setuju. Alasannya, ada penyiksaan
terhadap monyet selama latihan. Konon, latihan itu begitu kejam, banyak
monyet yang sampai meninggal dunia (untuk monyet, baiknya ditulis:
mampus). Hanya monyet hebat yang lolos jadi topeng monyet. Beda
dengan manusia bertopeng yang pengecut.
Apakah latihan bertinju, bagi manusia, tidak keras? Kenapa tidak dilarang?
Ah, ini bukan hewan, fokus tulisan melenceng. Apakah sapi atau banteng
(yang moncongnya tidak putih) tidak dilatih keras di Bali sebelum dipakai
membajak sawah? Sapi-sapi remaja itu bisa dipukuli berkali-kali kalau
salah menerima perintah. Pada karapan sapi di Madura dan adu kerbau di
Negara (Bali Barat), sang sais memakai cambuk yang diisi paku, dan itu
dipukulkan ke badan hewan agar lari lebih kencang. Ini penyiksaan. Kok
boleh?
Jika topeng monyet dituduh mengkomersialkan hewan, bagaimana
dengan pertunjukan "aneka satwa" di taman-taman safari? Bagaimana
dengan sirkus? Lalu, apakah kebun binatang akan digratiskan bagi
pengunjung? Bagaimana dengan dokar di Bali dan cidomo di Lombok,
apakah tak mengkomersialkan kuda? Kadang kuda itu seharian berjemur
dengan terus berdiri kalau tak ada penumpang, sementara saisnya enak
saja tidur. (Saya ingin mewawancarai kuda itu apakah mereka merasa
disiksa, sayang bahasa saya tak dipelajari oleh kuda).
Isu topeng monyet melebar ke kopi luak. Kopi luak dianggap produk yang
"menyesatkan" karena mempekerjakan luak bak romusha (pekerja paksa
yang diperas majikan). Betul, luak itu dikerangkeng, lalu dihidangkan kopi
yang "terpaksa" harus ia makan. Saya paham soal dunia luak, rumah saya
di area kebun kopi dan produksi kopi luak ada di depan rumah. Saya ikut

kasihan melihat para luak di dalam sel, tapi kok lebih segar daripada luak
liar di kebun. Saya pikir, luak liar kesulitan cari makan di luar musim kopi
(Mei sampai Agustus). Andaikan luak bisa bicara....
Kembali ke monyet. Saya setuju empat ribu persen (ulangi: 4.000 persen)
topeng monyet diberangus dari Jakarta. Tapi, apakah harus sampai ke
pelosok desa? Di Srono, Banyuwangi, ada pentas rutin ledhek munyuk
(nama asli topeng monyet) dan jadi tontonan menarik anak-anak desa.
Kalau saya ke Pura Blambangan, cucu-cucu saya minta ikut, bukan
bersembahyang tapi menonton ledhek munyuk itu. Indonesia luas,
janganlah kebijakan pusat harus diikuti daerah. Jakarta daerah khusus.
Jokowi patut diacungi jempol, di saat orang serius memikirkan bagaimana
menjadi capres, ia justru memikirkan monyet.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 3 November 2013)

Minggu,26 Mei 2013 @ 06:50


Penghargaan
Pandita Mpu Jaya Prema
Karena Romo Imam lagi sumringah di padepokannya, saya pun berani
menggoda. "Saya dengar Romo mendapat penghargaan dari Bupati
karena sikap Romo yang melindungi kaum tertindas dan kaum minoritas.
Romo tanggap memberi pernyataan untuk kasus-kasus intoleransi."
Pertanyaan itu saya susun dengan hati-hati supaya Romo tidak
tersinggung. "Ya. Memang benar. Penghargaan diberikan karena saya
dianggap berjasa menjaga toleransi. Saya tentu saja senang dengan
penghargaan ini."
Saya ikut senang. Bukan karena penghargaan itu, melainkan Romo
menjawabnya dengan senyum. "Kapan penghargaan diberikan?" tanya
saya. Romo memandang saya: "Penghargaan itu prestisius, tapi saya tak
akan pernah menerimanya. Saya sudah mengajukan surat penolakan."
Ah, saya terkejut. Dan Romo melanjutkan: "Saya kira Bupati hanya mau
menyindir dengan memberikan penghargaan itu. Toleransi di sini malah
semakin bermasalah, bukan saja kaum minoritas tidak terlindungi, tapi
semakin terpojok. Kalau itu bukan sindiran, berarti Bupati menerima
laporan yang salah."
"Salah bagaimana, Romo?" Saya menyela. Romo berkata: "Ya, siapa tahu
Bupati menerima kabar yang tidak lengkap. Misalnya, setiap terjadi
kerusuhan antara kaum minoritas dan kelompok mayoritas, saya memang
selalu berseru: hentikan kerusuhan, berdamailah. Setiap ada korban yang

jatuh, saya selalu berkata: saya prihatin dan usut tuntas sesuai hukum."
Saya menyela lagi: "Itu kan sikap yang bagus, Romo, pemimpin yang
segera tanggap." Romo tertawa: "Tetapi kerusuhan bukannya berkurang,
malah bertambah. Rupanya, perintah saya untuk mengusut sesuai hukum
tidak dijalankan di lapangan. Imbauan saya untuk berdamai tidak
didengar. Pernyataan keprihatinan saya malah dijadikan bahan guyonan.
Toleransi semakin tipis di masyarakat, tapi Bupati salah mencerna.
Dikiranya perintah dan imbauan yang saya keluarkan sudah dilaksanakan
dengan sebaiknya."
"Kalau begitu bupatinya kurang informasi. Pantas saja ada yang
melaporkan keadaan sebenarnya lewat surat," kata saya. Romo
tersenyum: "Tapi, sebelum Bupati memberi penghargaan, saya sudah
menulis surat penolakan. Saya malu dong kalau menerima penghargaan
untuk pemimpin yang berjasa dalam hal toleransi, tapi dalam kenyataan
toleransi semakin mundur. Di padepokan ini, banyak kaca untuk becermin.
Saya memang tak pantas menerimanya. Pemimpin yang pantas
menerima penghargaan itu hanya pemimpin yang betul-betul bergerak ke
lapangan dan bertindak untuk menghentikan kerusuhan atau perselisihan.
Bukan pemimpin yang hanya memberi perintah dan mengimbau atau
memberi pernyataan prihatin, sementara aksi lanjutannya tidak ada. Itu
pemimpin yang hanya berwacana."
Romo luar biasa, saya membatin. Padahal tokoh-tokoh formal dan
nonformal di negeri ini sangat senang menerima penghargaan, entah itu
di bidang akademis, status sosial mendadak berdarah biru, ataupun
penghargaan karena seolah-olah suatu prestasi. Penghargaan itu pun
dipamerkan di televisi, misalnya, sang tokoh muncul sebagai bintang
iklan. Ya, kalau tak ada dana membuat iklan layanan masyarakat, iklan
jamu pun oke juga.
"Memangnya ada pemimpin yang gemar penghargaan?" tanya Romo tibatiba. Saya jadi kaget dan minta supaya pertanyaan itu diperjelas. Romo
memperjelas: "Maksud saya, apakah ada orang sejenis saya atau yang
jabatannya lebih tinggi, misalnya, bupati atau gubernur atau presiden
yang mendapat penghargaan toleransi padahal masyarakatnya tetap
rusuh?"
Saya merenung sesaat, lalu menjawab: "Romo, saya sulit menjawab, nanti
saya dituduh bermata dangkal."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 26 Mei 2013)

Minggu,19 Mei 2013 @ 06:48

Geng Motor
Pandita Mpu Jaya Prema
Geng motor itu, sekedar kenakalan remaja ataukah sudah merupakan
kelompok kriminal yang harus segera diatasi? Dulu anak-anak muda yang
suka balapan liar ini hanyalah menyalurkan rasa frustasinya. Frustasi
karena tak mendapatkan kasih sayang di rumah karena sudah tipisnya
komunikasi antara anak dan orang tua. Frustasi dengan keadaan saat ini,
di sekeliling mereka sudah terjadi berbagai ketidak-normalan. Juga
masalah kurangnya sarana untuk menyalurkan kreatifitas yang positif,
misalnya, lapangan atau alun-alun kota yang berubah menjadi mal.
Lapangan basket dan volly lebih sulit dicari dibandingkan supermarket.
Sekarang geng motor sudah naik kelas. Bukan lagi masalah kenakalan
tetapi sudah menjadi pelaku kriminal. Di Pekanbaru anggota geng motor
melakukan perampokan plus perkosaan, melempar kantor polisi, dan
berbagai kejahatan lain. Di Makasar geng motor melakukan penganiayaan
kepada jurnalis. Di Jakarta geng motor menabrak orang di jalanan, dan
mereka cuek begitu saja. Hampir di seluruh kota, baik ibukota provinsi
maupun ibukota kabupaten, geng motor itu ada dengan berbagai nama
yang aneh-aneh. Secara berkelompok mereka bisa saja menjarah
minimarket bahkan memalak pedagang kecil di jalanan. Kalau saja
mereka sempat menghimpun diri secara nasional, apalagi membentuk
Partai Geng Motor, jangan-jangan bisa menang dalam pemilihan umum.
Polisi mengaku kewalahan karena personil yang terbatas. Itu saya ketahui
ketika malam-malam ikut nongkrong di arena balapan liar ini, di jalanan
mulus yang lurus panjang di komplek pemerintahan Provinsi Bali di
Denpasar. Dengan personil yang terbatas polisi hanya bisa mengawasi
beberapa jam saja. Begitu polisi kabur, aksi kebut-kebutan dimulai.
Pesertanya setiap malam bertambah.
Adakah pengaruh dari mudahnya memiliki sepeda motor? Barangkali
begitu. Membeli motor dengan cicilan hanya satu juta rupiah ditambah
kartu identitas, motor bekas tetapi lumayan bisa lari kencang, sudah bisa
diambil dari dealer. Lalu, kalau cicilan tak dibayar sampai dua bulan,
motor diambil kembali. Ini artinya para geng motor itu hanya menyewa
motor untuk ugal-ugalan.
Prilaku ugal-ugalan itu terasa juga di jalanan umum meski tak begitu
brutal jika anggota kelompoknya tidak banyak. Namun tetap saja
memprihatinkan. Mestinya ada upaya lebih serius untuk menangani
kenakalan yang menjurus pada aksi kriminalitas ini. Pemberian surat izin
mengemudi yang terlalu mudah bahkan sudah mengabaikan faktor umur
banyak anggota geng motor yang masih di sekolah menengah pertama
yang mestinya belum cukup umur dapat SIM. Razia polisi di jalanan yang
cukup berakhir dengan aksi damai. Pemerintah yang begitu
memanjakan pemilik motor dengan pajak yang ringan, bahkan hampir
saja melakukan langkah blunder dengan memberi harga spesial untuk

premium bagi pemilik motor.


Siapa sekarang ini memperhatikan para remaja itu? Sekolah sudah lepas
tangan begitu anak-anak ini berada di luar sekolah. Orang tua mereka tak
lagi sempat memperhatikan anak remajanya. Organisasi nonformal
semacam Karang Taruna sudah mulai tak berperan karena pengayoman
dari pemerintah mulai berkurang. Organisasi yang formal, sebut misal
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), tak juga meliriknya karena
KNPI sudah dikuasai pemuda berumur. Partai politik pun sama sekali tak
melirik anak-anak ini. Mereka, para remaja yang kini frustasi dan tak tahu
harus berbuat apa di tengah ingar-bingar urusan politik ini, seperti anak
ayam kehilangan induk. Dan geng motor merekrutnya. Mari prihatin.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 19 Mei 2013)

Minggu,12 Mei 2013 @ 07:40


Eyang Presiden
Saya pernah janji untuk tidak membaca dan menonton apapun mengenai
Eyang Subur, guru spiritual para selebritas, yang kini dicaci oleh para
selebritas itu sendiri. Alasan saya sederhana, perselisihan di antara para
selebritas itu hanya untuk mendongkrak kembali popularitas mereka yang
sudah mulai redup. Apa yang saya dapatkan?
Tapi dalam situasi di mana televisi memuja peringkat (ratting) dan berita
politik membosankan, lingkungan saya tak mendukung. Melangkah sedikit
saja, Eyang Subur selalu hadir. Orang membela dan orang mencaci,
semakin membuat Eyang populer. Astaga, kepopuleran itu membuat
Eyang Subur ingin nyapres tidak sekedar nyaleg. "Ya,benar sekali bro,
dia ingin nyapresbuat 2014," tegas RamdhanAlamsyah, juru bicara
merangkap pengacara Eyang.
Apakah saya harus bilang: wow.. gitu? Nanti terkesan melecehkan. Dulu,
ketika
Rhoma
Irama
berkeinginannyapres,
saya
bilang:terlaluu... Ungkapanterlalu itu dari lagu Bang Haji, memang sedikit
sinis. Ternyata saya salah, ada partai yang menampung keinginan Bang
Haji itu. Saya jadi malu.
Jika dirunut ke belakang, saya kurang sreg mendengar Megawati mau
maju di Pemilu 2014. Begitu pula Wiranto dan Prabowo, bahkan Jusuf
Kalla dan Aburizal Bakrie sekali pun. Lagi-lagi alasan saya sederhana,
beliau tokoh masa lalu, gerak langkahnya sudah diketahui. Saya ingin
wajah baru, saya bisa menyebut banyak orang. Tapi, adakah partai yang

mengusung mereka karena mereka bukan kader partai dan bukan


selebritas?
Partai politik lebih senang mengusung orang yang sudah populer karena
mereka disenangi rakyat desa dibandingkan orang pinter yang tak
dikenal. Calon legislatif contohnya. Kaum populer itu bahkan bisa
mencalonkan diri di beberapa partai mereka lupa kalau komisioner KPU
mau kerja teliti. Dan nanti, ketika orang-orang populer itu masuk Senayan,
mereka bisa memberi insprirasi untuk masuknya orang populer lain
sebagai calon presiden. Ya, semacam Eyang Subur atau boleh jadi
ditambah Arya Wiguna itu diduga musuh Si Eyang.
Jika dalam pemilu presiden nanti, pilihan yang tersedia Megawati,
Prabowo, Wiranto, Aburizal, Eyang Subur, Arya Wiguna, plus tokoh baru
yang melejit luar biasa belakangan ini -- Vitalia Sesha-- siapa yang saya
pilih? Kalau ada fatwa yang menyebut golput itu haram, saya pasti
memilih nama-nama di urutan depan. Namun, keponakan-keponakan saya
di desa bisa jadi memilih Vitalia. Mereka terbiasa karena sudah
pengalaman dalam pilkada bupati dan gubernur memilih dengan cara
nyeleneh dan tidak perlu bertanggung-jawab. Mereka putus asa dengan
keadaan dan pemilihan pemimpin pun dianggap main-main, karena
memang diberi contoh dari atas dan media massa pun mengumbar
permainan itu. Orang pintar sudah masuk angin, orang populer bablas
angine.
Semakin tertutup angan-angan saya untuk mendapatkan presiden dengan
wajah baru yang punya kemampuan serta wawasan. Jagoan saya tidak
berpartai
dan
partai
enggan
mengambilnya
karena
ongkos
mempopulerkan ke desa-desa perlu biaya tinggi. Mereka juga tak punya
dana. Saya kira ada yang perlu dibenahi, sistem memilih pemimpin yang
bisa membuat negeri ini lebih baik. Entah itu undang-undang atau aturan
lain. Masalahnya kok melingkar di sini terus, ya bagaimana membuat
undang-undang yang baik kalau parlemen isinya wajah lama yang sudah
tak becus membuat undang-undang ditambah para selebritas yang tak
paham hukum. Kalau begini terus, hanya mukjijat yang bisa menyegarkan
negeri ini. Saya harus pasrah menanti mukjijat itu, tetapi bukan tsunami.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 12 Mei 2013)

Senin,04 Maret 2013 @ 04:54


Halaman Dua
Pandita Mpu Jaya Prema
Kalau saya membeli buku, ada kriteria yang dijadikan patokan. Pertama,

siapa penulisnya. Kalaupun belum terkenal, dilihat dulu latar belakangnya.


Kemudian, apa yang diulas. Saya tak akan membeli buku tentang
peternakan ular, karena saya takut ular. Lalu, tidak terlalu tebal, karena
buku itu akan dibaca, bukan dijadikan bantal. Nah, kalau buku itu tidak
dibungkus plastik, biasanya saya baca halaman pertama.
Halaman pertama sering kali membatalkan niat saya membeli. Jika
halaman itu isinya "Pendahuluan. Buku ini kami tulis dengan maksud....",
langsung saya kembalikan ke rak. Ini skripsi atau laporan studi banding
wakil rakyat di daerah--saya tak menyebut wakil rakyat di pusat, karena
tak pernah membukukan laporannya.
Buku yang layak dibaca adalah yang halaman pertamanya menjanjikan.
Isinya bisa rangkuman permasalahan atau janji akan ada suatu misteri
yang diungkap atau langsung menggebrak. Tentu menulisnya sulit. Saya
pernah gagal membuat buku seperti itu. Kegagalan lebih disebabkan oleh
nafsu menggebrak dan memberi janji yang kelewat tinggi, sementara
saya tak punya data yang cukup untuk mendukungnya. Atau, masih
mengais-ngais data. Menulis halaman kedua jadi sulit. Tetap menurunkan
data yang kadarnya lebih rendah membuat mutu berkurang. Tetap
menggebrak dengan data yang belum tentu benar akan jadi cemoohan di
kemudian hari. Ya, terpaksa hanya berhenti di halaman pertama. Gagal,
tak ada halaman kedua.
Anas Urbaningrum, yang baru saja mengundurkan diri sebagai Ketua
Umum Partai Demokrat, memang tak menyebutkan akan menulis buku.
Tapi pernyataannya soal halaman pertama bisa saja kita analogikan
sebagai membuat buku. Gebrakan Anas termasuk dinantikan. Di halaman
pertama dia sudah menyiratkan akan membongkar misteri besar di
republik ini. Anas meminta, halaman-halaman selanjutnya dibaca dengan
baik. Ini menyiratkan sebuah buku yang amat berharga--dan mahal.
Berhari-hari media massa mengulas dan menebak-nebak halaman kedua
dari "buku" Anas itu. Ada yang mengira isinya soal kasus Bank Century,
ada yang menebak soal aliran dana kasus Hambalang, ada yang menuduh
Anas berani melawan SBY. Bermacam-macam terkaan orang, sementara
saya kira Anas justru sedang mengumpulkan data untuk mendukung
halaman pertama itu.
Anas pasti sulit menulis halaman kedua. Penyebabnya, di halaman
pertama dia sudah telanjur membuat orang berharap. Dalam kasus Bank
Century, misalnya, harapan orang adalah Anas mendapat bocoran ada
uang yang masuk ke petinggi Demokrat. Kalau tak ada bocoran itu, isi
kepala Anas sama dengan anggota Tim Pengawas Kasus Century, karena
Anas waktu itu adalah anggota DPR yang menjadi ketua fraksi. Dalam
kasus Hambalang, bisa jadi Anas tahu siapa saja yang mendapat aliran
dana. Tapi, bukankah hal itu akan memukul balik dia, karena Anas justru
jadi tersangka dalam kasus ini? Itu bukan gebrakan, tapi membuat peti
mati. Akan halnya ketika Anas menyebut dirinya "bayi yang tidak

diharapkan" sebagai bentuk perlawanan kepada SBY, itu sudah dibaca


oleh publik sebagai hal yang keliru. Bukankah Anas tetap ketua umum
sebelum dinyatakan tersangka oleh KPK?
Jadi, apa yang akan dikatakan Anas di halaman kedua? Kalau "buku" tetap
dipaksakan terbit, saya kira isinya jadi semacam ralat yang dikemas
dengan bahasa elegan dan puitis, untuk mengelabui pembaca bahwa
sebenarnya tak ada sesuatu yang menggebrak. Kalau begitu, ada baiknya
Anas menggantung halaman kedua itu di puncak Monas supaya tak ada
yang baca, lalu fokus pada persoalan hukum yang menimpanya sehingga
ia terlepas dari jeratan Monas.
(Dari Koran Tempo Minggu, 3 Maret 2013)

Minggu,30 Juni 2013 @ 11:15


Debat Televisi
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada urusan yang sangat penting yang membuat saya harus mengunjungi
Romo Imam. Urusan itu pun sudah saya sampaikan lewat pesan pendek
agar Romo siap menerima kedatangan saya. Dan betul juga, sore itu
Romo duduk di sofanya. Segelas teh menemaninya.
Ayo duduk dekat sini, kata Romo ketika saya mengambil tempat duduk
di kursi yang agak jauh. Saya pun berdiri lagi dan mendekati Romo.
Kenapa sih takut duduk dekat sini? Takut disiram teh ya? Memang
tampang Romo sangat, gitu?
Saya kontan tertawa. Romo jangan menyindir. Debat yang pakai adegan
siraman teh atau air putih itu hanya ada di televisi. Mungkin itu hanya
akting saja, kata saya. Romo juga tertawa: Ya, saya kira cuma akting.
Kalau bukan akting kan main cekik leher.
Wah, lagi Romo menyindir, kata saya. Romo mulai serius. Menyindir
bagaimana? Memangnya sakarang ini ada orang yang bisa memperbaiki
diri dengan hanya disindir? Romo bicara fakta. Saat ini orang sudah imun
dengan sindiran, orang sudah tak bisa dinasehati dengan baik-baik.
Televisi telah mengajarkan budaya baru yang kalau berbicara harus
berteriak-teriak, tangan harus menuding lawan bicara, dan saling jegalmenjegal omongan. Semakin banyak bicara, semakin pandai memotong
omongan lawan bicara, semakin kasar kata-kata yang dikeluarkan,
semakin mendapat tepuk tangan penonton yang memang sudah
disiapkan oleh stasiun televisi itu.

Apakah media televisi sudah meninggalkan asas mendidik yang di masa


lalu dipakai istilah edukatif? Tanya saya. Romo tertawa, tetapi tetap
serius. Itu zaman Si Unil. Sekarang tak ada edukatif-edukatifan, tak ada
unsur pendidikannya, yang lebih diutamakan adalah dramanya yang
dasyat. Itu artinya kekerasan, ya, keras di lapangan dan keras adu urat
leher lewat debat di studio. Semuanya live tanpa sensor. Bentrok
mahasiswa di Makassar selalu ditunggu, seolah-olah kota Makassar isinya
hanya kekerasan, orang jadi takut ke sana. Padahal di sana ada
pertemuan penulis dan sastrawan berbobot, Makasar Writer Festival, yang
sangat mendidik dan mengetengahkan budaya bangsa.
Seharusnya Komisi Penyiaran jadi kendali dari era keblablasan informasi
kekerasan ini. Tapi komisionernya tak berdaya, hanya bisa memberi
tegoran tanpa tindakan yang lebih, Romo terus melanjutkan. Lalu apa
yang bisa diharapkan? Oya ada, lembaga-lembaga nonformal di
beberapa daerah mulai bersuara. Tapi bukan memprotes siaran televisi
yang tak karuan juntrungannya itu karena tahu tak akan diperhatikan.
Yang dilakukan mengimbau masyarakat untuk beralih ke chanel yang lain,
yang lebih berbudaya. Televisi di tempat umum, misalnya di balai adat di
Bali, sudah tak menyiarkan lagi acara debat-debatan yang saling serobot
omongan.
Oh, ya? Saya kaget. Yang saya tahu televisi dan radio itu menggunakan
frekuensi publik yang terbatas, karena itu tak sembarang orang diizinkan
mendirikan stasiun televisi dan radio. Seharusnya, orang-orang yang
diberi izin itu menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan yang
benar-benar publik, untuk bangsa dan masyarakat keseluruhannya. Kalau
kepemilikan yang terbatas ini dimonopoli untuk mengkampanyekan
kekerasan dan debat kusir yang tak berbobot pakai siram-menyiram air
maupun tidak sangat disayangkan. Padahal pemilik stasiun televisi itu
sudah mendapatkan kebebasan mengkampanyekan dirinya sebagai calon
presiden, yang kemungkinan besar tak berbayar. Kalau bayar saja tidak,
bagaimana menarik pajak iklannya.
Tapi saya hanya bisa bergumam dalam hati, sampai Romo Imam
mengingatkan saya: Lo, urusan serius itu soal apa? Saya gelagapan
sesaat, lalu menjawab: Waduh, maaf Romo, saya lupa apa yang serius
itu. Tapi obrolan kita tadi tak kalah seriusnya, kita ajak masyarakat cerdas
menonton televisi.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 20 Juni 2013)

Sabtu,22 Juni 2013 @ 04:00


Orang Miskin

Pandita Mpu Jaya Prema


Tetangga saya di kampung sudah mendapat Kartu Perlindungan Sosial.
Dengan kartu ini, dia bisa datang ke kantor pos untuk mendapatkan
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Kemarin sore, dia
meminta nasihat apakah sebaiknya mengambil uang itu atau tidak. Dia
ragu. Wah, ini sisi lain dari BLSM yang jarang terdengar.
"Lo, kenapa tak diambil? Itu hak orang miskin. Di Denpasar, sebagian
pemegang kartu itu sudah mengambil uangnya tadi pagi," kata saya. Dia
tampak gelisah dan memperlihatkan kartu itu kepada saya. Dia
menjelaskan, kartu itu ia peroleh tanpa sepengetahuannya dan dititipkan
kepada istrinya yang tak bisa baca-tulis. "Mungkin karena dulu saya dapat
BLT dan raskin," katanya.
BLT akronim dari Bantuan Langsung Tunai, yang diberikan pemerintah
sebagai imbalan atas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2009.
Adapun "raskin" dari kata "beras untuk orang miskin", sumbangan
pemerintah kepada orang-orang miskin. "Saya sudah kapok menerima
raskin, juga BLT. Malu sama tetangga," katanya.
Tetangga saya ini tinggal di rumah hanya bersama istrinya. Kedua anak
gadisnya sudah lama menikah dan tinggal di desa lain. Di rumahnya yang
sederhana, separuh berdinding bata dan separuhnya anyaman bambu,
ada televisi. Kepala desa mendatanya sebagai "orang miskin", bersama
orang lainnya yang setara, dulu ketika ada program BLT. Padahal suamiistri itu punya penghasilan. Sang istri memburuh di tempat usaha
pengolahan kopi luwak, suaminya bekerja serabutan. Di kampung saya,
kalau orang mau kerja kasar dan tidak gengsi menyandang predikat
buruh, ia tak akan sampai kelaparan.
"Dulu, ketika saya dapat raskin dan BLT, diejek-ejek warga lain. Malah
anak saya tak lagi menyumbang beras. Alasannya, sudah dapat dari
pemerintah. Padahal beras raskin itu mutunya jelek, hanya layak untuk
makan burung," katanya. "Saat ada kerja adat, saya tiba-tiba dikenai
iuran, padahal sebelumnya bebas. Alasan warga, kan sudah dapat gaji
bulanan dari pemerintah."
Wow, saya maklum. Pergaulan di desa kadang aneh. Kebersamaan tinggi.
Kalau ada orang sakit, banyak warga datang membantu. Ada yang
membawa bahan makanan, bahkan menyumbang uang. Kalau ada "orang
tak mampu", warga menawarkan pekerjaan semampu yang dikerjakan,
supaya tidak ada yang kelaparan. Tetapi rasa iri juga tinggi. Kalau ada
yang mendapat bantuan dari luar, entah itu dari suatu yayasan atau
pemerintah semacam BLT dan raskin itu, warga cuek kepada orang itu. Si
penerima bantuan bukan hanya seperti diasingkan, tapi juga malah
dicibir: "Kerja, kerja. Jangan mengemis, memalukan desa."
"Ambil saja uangnya, Rp 150 ribu kan lumayan," kata saya. Tetangga saya
tertawa nyengir. Rupanya, ia sudah mengkalkulasi. Untuk mengambil ke

kantor pos di kota kecamatan, ongkos jalannya Rp 20 ribu atau dua kali
lipat kalau naik ojek. Belum lagi makan dan minum. Paling yang bisa
dibawa pulang Rp 120 ribu. Ini untuk sebulan. Sehari jadi Rp 4.000. "Untuk
beli minyak saja kurang, padahal menanggung malu disindir tetangga,
katanya sudah jadi pegawai yang digaji bulanan," kata tetangga saya,
terkekeh.
Tiba-tiba dia punya usul bagus: "Mestinya pemerintah memberi bantuan
dengan voucher pulsa, jadi tak repot mengambilnya. Terima uang tanpa
kerja, kesannya beda." Lo, memangnya orang miskin punya handphone?
"Semua orang di desa punya HP, orang miskin apalagi kaya."
Saya jadi ingat sebuah koran di Bali, Jumat lalu, memberitakan: 1.008
calon penerima BLSM di Kota Denpasar belum terverifikasi. Apakah
mereka malu disebut "orang miskin" atau pendataan yang salah, tak
disebutkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 23 Juni 2013)

Minggu,16 Juni 2013 @ 07:55


Menunggu
Pandita Mpu Jaya Prema
Inilah penantian yang lebih dramatis dari "Menunggu Godot", padahal
ini bukan pentas teater: menunggu kenaikan harga bahan bakar minyak.
Setiap saat berita kenaikan itu muncul, sudah berpuluh pengamat
memberi tanggapan, sudah ribuan batu dilemparkan mahasiswa di
Makassar, tapi tak seorang pun yang bisa memastikan kapan harga itu
akan naik. Bahkan jadi naik atau tidak bak menghitung bunyi tokek.
Inilah beda nyata antara Orde Baru dan orde sekarang--saya sering
bingung memberi nama orde ini--yang paling mencolok. Di masa Orde
Baru, masyarakat tiba-tiba saja menyaksikan Menteri Pertambangan
muncul di layar televisi sekitar pukul sepuluh malam, seusai siaran Dunia
Dalam Berita di TVRI. Di situ diumumkan harga baru bahan bakar minyak
yang berlaku pukul 00.00 tengah malam. Orang yang belum tidur
langsung menyerbu SPBU, dan antre panjang dengan pembelian yang
dibatasi. Yang setengah tidur ada yang malas ke luar rumah, toh besokbesok akan tetap saja membeli minyak.
Era ini, kenaikan harga minyak lebih pada wacana, dan orang menebaknebak kapan waktunya--yang ternyata sering salah. Wacana itu bukan
sehari-dua hari, melainkan berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Para pengusaha kecil sibuk berhitung, kalau harga minyak sekian, produk

dijual sekian. Ada yang menahan barang dulu, sibuk mengkalkulasi harga
pokok produksi jika harga minyak naik. Eh, ternyata hitung-hitungan itu
pun berlarut-larut. Harga minyak tetap baru wacana. Banyak orang tak
habis pikir, kalau memang pemerintah masih mengkaji ini-itu, ya, kaji
saja, jangan dilempar ke masyarakat. Ketidakpastian membuat bingung
para pedagang dan produsen kecil.
Dengan situasi yang serba wacana ini, siapa yang diuntungkan? Yang jelas
pengusaha printing digital--sebuah teknik baru membuat spanduk dengan
murah, hanya Rp 20 ribu per meter persegi dan bisa kurang kalau
membuat banyak. Lihatlah, spanduk Partai Keadilan Sejahtera yang
menolak kenaikan harga minyak bertebaran sampai di kota kecamatan.
Beberapa hari belakangan ini, muncul "spanduk pesaing" yang setuju
kenaikan harga minyak. Perang spanduk membuat untung pengusaha
printing.
Yang juga untung adalah rumah produksi yang membuat iklan layanan
masyarakat yang intinya setuju subsidi minyak dikurangi untuk dialihkan
ke rakyat miskin. Kementerian Perumahan Rakyat membuat iklan yang
menyasar keluarga miskin yang rumahnya tak layak. Kementerian
Pendidikan menyasar keluarga miskin yang anaknya nyaris berhenti
sekolah. Semua kementerian berlomba membuat iklan, bersuara bahwa
subsidi minyak harus dialihkan ke orang miskin. Di atas segala-galanya,
televisi kecipratan rezeki mendapat biaya penayangan iklan. Berapa miliar
rupiah habis untuk kampanye sia-sia ini?
Masalah juga muncul dari ketidakpastian ini. Ada pendapat nilai rupiah
yang jatuh terhadap dolar itu akibat tak lekasnya pemerintah
memutuskan harga minyak. Jika ini benar, ketidaktegasan pemerintah
berdampak "sistemik" terhadap ekonomi nasional.
Kenapa pemerintah galau memutuskan harga minyak? Padahal DPR sudah
sejak tahun lalu memberi kebebasan--lewat undang-undang--kepada
eksekutif untuk menentukan harga minyak. Justru masalah ini
dikembalikan lagi ke DPR bersamaan dengan pembahasan APBN
Perubahan. Tentu menjadi kesempatan emas bagi partai politik untuk
menggoyang kegalauan pemerintah, sekaligus jadi arena kampanye awal
menjelang Pemilu 2014. Rakyat pun mulai diprovokasi. Yang tadinya
tenang menghadapi harga baru, bisa jadi berbalik. Sungguh harga yang
mahal untuk sebuah penantian yang lama ditunggu ini.
(Diambil dari Koran Tempo 16 Juni 2013)

Minggu,09 Juni 2013 @ 05:54


Dua Muka

Pandita Mpu Jaya Prema


Dalam cerita klasik sastra India yang di negeri ini sering disebut "jagat
pewayangan", tokoh Rahwana dinamai juga Prabu Dasamuka. Dasamuka
artinya bermuka sepuluh. Kesepuluh wajah itu mewakili sifat-sifat buruk
Rahwana, seperti iri, dengki, tamak, dan seterusnya. Hikayat Ramayana
memang menampilkan tokoh kesatria yang nyaris tiada salah, yakni Rama
dan tokoh jahat yang nyaris tak ada yang benar, yaitu Rahwana. Berbeda
dengan Mahabharata, yang menampilkan tokoh-tokoh yang semuanya
punya masalah.
Kemudian, dalam sastra kitab-kitab Hindu, ada tokoh yang bermuka tiga:
Siwa. Ini mewakili sifat-sifat mulia: Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa.
Ketiga sifat berjenjang yang jadi tujuan hidup kelahiran manusia. Lalu, di
Kota Denpasar, Bali, ada patung caturmuka, ?gtokoh?h setengah raksasa
berwajah empat. Apa maknanya? Tak ada apa-apa, patung yang tidak
sakral ini berdiri di tengah persimpangan empat yang ramai.
Kini, santer istilah dua muka. Istilah yang memenuhi halaman media
massa dan laman media sosial, dari menit ke menit. Apa makna dwimuka
itu? Apakah melambangkan sifat-sifat buruk seperti dasamuka, atau
melambangkan sifat-sifat mulia seperti trimuka, atau tak punya arti apaapa seperti caturmuka? Mari diurai dulu, karena masalah ini sangat peka.
Bukan soal legenda, bukan pula soal keyakinan, melainkan masalah
politik.
Entah siapa yang mula menyebut istilah dua muka ini. Yang pasti, dalam
siaran di televisi, hal itu diucapkan oleh Ketua Fraksi Demokrat di DPR,
Nurhayati Ali Assegaf. Nurhayati menuduh Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
menerapkan politik dua muka. Muka yang satu ada di pihak pemerintah,
dengan bergabung di barisan koalisi. Sebagai mitra pemerintah yang
berkuasa, PKS mendapatkan jatah tiga kursi. Adapun muka yang satu lagi
menentang kebijakan pemerintah, dengan tidak menyetujui kenaikan
harga minyak. gSebagai partai Islam, ini memalukan,h kata
Nurhayati.
Tanpa membawa Islam, mari kita lihat apakah ini baik atau buruk. Bagi
PKS, tentu saja baik. Partai ini seolah-olah mewakili rakyat yang menolak
kenaikan harga minyak, dan seolah-olah berseberangan dengan
pemerintah yang kini banyak dikecam. PKS ingin meraih citra dari satu
muka ini. Adapun muka yang lain tetap ikut barisan koalisi. Tiga
kementerian jatah PKS pasti menghasilkan giuran uangh,
meskipun barangkali tak memenuhi target Rp 2 triliun itu. Jadi, dua muka
itu, yang satu demi citra, dan yang satu demi uangsudahlah, tak usah
ditutupi.
Namun, apakah baik buat PKS juga baik untuk kehidupan partai politik,
baik untuk perjalanan demokrasi ke depan, baik dari sisi moral? Apakah
dua muka itu bisa dijadikan teladan untuk perjalanan bangsa ini ke

depan? Ini yang perlu ditelaah, kenapa dua muka itu bisa muncul.
PKS sudah sering menusuk barisan koalisi, dari depan maupun dari
belakang. Pimpinan mereka belajar dari pengalaman, penusukan itu tak
mendapat ganjaran karena mereka tahu pimpinan koalisi sayang kepada
mereka, juga takut karena membawa agama yang bersih dan suci, selain
memang pimpinan koalisi tidak berani tegas. Ini membuat PKS semakin
berani bermuka dua, apalagi menjelang Pemilu 2014, dan apalagi dalam
keadaan tersudut karena kasus impor daging sapi.
Koalisi-lah yang seharusnya dievaluasi, terutama pasca-Pemilu 2014.
Apakah harus berbentuk seperti sekarang, jatah-jatahan menteri--yang
artinya jatah-jatahan menggerogoti uang negara untuk partai. Siapa tahu
ada sistem, koalisi hanya di parlemen, sementara di kabinet isinya
profesional. Bukankah mengurusi satu muka saja sulit, apalagi dua muka.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 9 Juni 2013)

Minggu,02 Juni 2013 @ 06:52


Konvensi
Pandita Mpu Jaya Prema
Mencari calon presiden ternyata sulit setengah mati. Padahal penduduk
Indonesia sudah 250 juta. Orang pintar pun banyak, baik yang minum
jamu maupun tidak. Masalahnya, orang pintar itu harus ada embel-embel
jujur, tidak korupsi, tidak ngemplang pajak. Dia harus punya martabat,
bermoral, dan--ini sering disebut meski sulit diukur--bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Jika persyaratan ini dipenuhi, tak mungkin seorang presiden selingkuh
dengan anak sekolah menengah kejuruan. Presiden seperti itu pasti
rohaninya sakit. Jika begitu, selain jasmani yang sehat, rohani pun harus
sehat. Wah, semakin sulit, karena banyak orang yang tak sadar rohaninya
bermasalah.
Partai Demokrat akan menggelar konvensi. Ketua Fraksi Demokrat
Nurhayati Ali Assegaf menyebutkan proses konvensi itu sudah dimulai
bulan Juni ini, meski mekanismenya belum disusun. Tak apa-apa, petinggi
partai itu sudah biasa mewacanakan sesuatu yang belum jelas
juntrungannya. Presiden SBY sebagai Ketua Umum Demokrat sudah
mengundang beberapa orang untuk ikut konvensi.
Secara normal, konvensi dilakukan oleh partai karena kader-kader mereka
banyak yang bermutu. Konvensi digelar untuk memilih satu yang paling
bermutu. Partai Golkar pernah melakukan hal ini. Namun yang terjadi

pada Partai Demokrat beda, konvensi dilakukan karena kader-kadernya


"tak bermutu" sehingga perlu mengundang "orang luar". Terbetik berita
yang belum pasti benar, Gubernur Jakarta Joko Widodo termasuk yang
diundang. Padahal orang tahu Joko Widodo kader PDI Perjuangan, dan
orang pun tahu jawaban Jokowi: "Ngurusin Kartu Jakarta Sehat saja loncatloncat begini."
Ada hikmahnya Demokrat menggelar konvensi. Kalau tidak ada hajatan
ini, bagaimana tokoh-tokoh bermutu yang tak berpartai bisa dijaring?
Golkar sudah tertutup untuk calon presiden selain Aburizal Bakrie.
Gerindra juga begitu, harga mati untuk Prabowo. Hanura sama saja, tak
bisa berpaling dari Wiranto. PAN apalagi, hanya punya Hatta Rajasa. Partai
kecil seperti PBB juga punya kandidat, Yusril Ihza Mahendra. Akan halnya
PDI Perjuangan, "konvensi absolut" ada pada diri sang ketua umum,
Megawati. Siapa pun calon presiden dari PDI Perjuangan, harus melalui
Megawati. Jika benar Megawati tak mencalonkan diri, kader PDI
Perjuangan yang bermutu masih lumayan. Di luar Joko Widodo, yang
belum berhasil menangani kemacetan Jakarta, ada Pramono Anung dan
Tjahjo Kumolo--sebut dua saja dulu--yang cukup berwawasan, santun, dan
gemar bola.
Yang jadi persoalan, apakah tokoh luar partai berminat mengikuti konvensi
Partai Demokrat? Nurhayati menyebutkan, tokoh yang diundang dan
diseleksi ketat itu pemikirannya harus sesuai dengan visi dan misi partai.
Artinya, dia harus menjalankan program Partai Demokrat sebagai partai
yang mengusungnya, bahkan nanti bisa diajak berkeringat memenangkan
Demokrat. Tokoh-tokoh yang selama ini berada di luar partai bisa berpikir
keras untuk menerima undangan konvensi itu. Mereka senang
mempertahankan predikat "non-partai" di tengah partai-partai yang
korup.
Inilah dilema Indonesia, sulit mencari pemimpin yang benar. Apa tak
sebaiknya konvensi diadakan oleh lembaga independen yang dibuat
khusus untuk itu, yang pendirinya tokoh-tokoh republik ini, tanpa sekat
partai dan juga tokoh tak berpartai. Hasil konvensi, tawarkan kepada
partai karena hanya partai yang bisa mengusung calon presiden.
Andaikata memilih presiden sama dengan memilih gubernur, yang
dibolehkan ada calon independen, persoalan bisa lebih mudah. Memilih
presiden rupanya sengaja dibatas-batasi.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 Juni 2013)

Minggu,28 Juli 2013 @ 00:12


Penjara

Pandita Mpu Jaya Prema


Penjara tidak lagi seseram di masa lalu, ketika masyarakat cukup
memberi nama yang singkat: bui. Penghuni penjara di masa kini hakhaknya sama sekali tidak dikurangi, asalkan pandai-pandai meniti buih.
Makan apa maunya, bisa berhalo-halo-ria dengan telepon seluler, bisa
punya kamar berpendingin ruangan. Bahkan di penjara yang tidak
membuat jera ini akan dibangun bilik asmara. Di bilik inilah penghuni
penjara bisa menyalurkan hasrat seksnya-dengan pasangan sah atau tak
sah, tentu semua bisa diatur.

Tanpa ada bilik asmara pun penghuni penjara sudah bebas


menyalurkan hasratnya bercinta. Bahkan kekasihnya bisa lebih dari satu.
Contohnya Freddy Budiman. Terpidana narkoba yang divonis hukuman
mati ini-dulu saya bergetar jiwa-raga mendengar orang dihukum mati dan
karena itu saya menolak hukuman mati diterapkan-punya dua atau lebih
kekasih. Yang satu resmi, model cantik Anggita Sari. Sedangkan
selingkuhannya, antara lain yang baru memperkenalkan diri, Vanny
Rossyane. Mereka wanita terpandang-maksud saya, enak dipandang
karena mereka model yang banyak mengisi majalah hiburan pria. Mereka
saling membeberkan apa yang mereka lakukan saat bercinta di penjara.
Saya tak ingin mengutip, ini masih bulan puasa.
Freddy, yang berlagak budiman selama jadi penghuni penjara, sekarang di
Cipinang. Dia alumnus berbagai "rumah bui". Pernah di Surabaya,
Tangerang, Salemba, sebelum ke Cipinang. Dan kasusnya pun bertingkattingkat, tapi semuanya berhubungan dengan narkoba. Hukuman mati dia
terima di Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena terbukti menjadi dalang
penyelundupan 1.412.476 butir pil ekstasi seberat 380.996,9 gram.
Apakah Freddy menyesal, jera, tobat, dan segera membaca kitab-kitab
suci-sebagaimana yang saya perkirakan jika orang dihukum berat? Jauh
panggang dari kompor. Ia tetap tersenyum, tetap menerima kunjungan
kekasihnya. Anggita mengaku menengoknya tiga kali seminggu, sambil
membawa makanan kesukaan Sang Arjuna, tanpa merinci apa yang
dilakukan selain makan. Sedangkan Vanny sudah membeberkan
kelakuannya bersama Freddy di penjara, seperti berhubungan seks,
minum (atau makan, saya tak tahu) sabu, dan seterusnya. Dan ini yang
luar biasa bagi mereka yang masih menganggap penjara itu bui. Freddy
tetap mengontrol dan mengendalikan bisnis besarnya: perdagangan
narkoba.
Bagaimana terpidana mati-saya langsung membayangkan sepuluh polisi
terlatih, tapi hatinya gundah, menembak pesakitan yang matanya
ditutup--bisa hidup seperti itu di penjara? Hal ini tak perlu dijelas-jelaskan.
Omzet narkoba yang ditangani Freddy dari penjara miliaran rupiah.
Penuturan wanita-wanita kekasih Freddy pun sudah gamblang. Tinggal
menggesekkan jempol dan telunjuk, keluar uang jutaan. Nah, bayangkan
kalau tangan menggebrak, berapa juta keluar dari Freddy. Kok di penjara

ada uang? Lo, jangan bertanya lagilah, itu sudah terang-benderang.


Kepala penjara narkotik Cipinang, Thurman Hutapea, dicopot dari
jabatannya karena cuap-cuap para kekasih Freddy Budiman. Kementerian
Hukum mungkin terpukul oleh kasus ini, lalu merasa malu bahwa sidak
yang banyak dilakukan Wakil Menteri Denny Indrayana hasilnya hanya nol
koma kosong. Tak ada perubahan apa pun di penjara. Yang punya uang
berlimpah tetap bersuka-ria meski divonis mati. Yang tak punya uang
(atau tak mau menyuap) tetap dibatasi ketat. Misalnya Anand Krishna,
pemikir Hindu yang mendekam di Cipinang juga. Jangankan ada
handphone, laptop untuk menulis saja tak boleh dibawa. Ada kasta di
penjara, ini perlu dibenahi tanpa dikaitkan dengan pencitraan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 28 Juli 2013)

Minggu,21 Juli 2013 @ 00:06


Pantura
Pandita Mpu Jaya Prema
Ramadan adalah bulan baik untuk memperbaiki akhlak. Tapi momentum
Ramadan juga baik untuk memperbaiki jalan. Sepanjang Pantura--Pantai
Utara--Jawa, suara azan berpadu dengan mesin pemanas aspal di bulan
suci ini. Berulang terus setiap tahun.
Teman di kampung saya, yang tak pernah ke Jawa dan hanya melihat
kesibukan memperbaiki jalan itu di layar televisi, bertanya: kenapa setiap
Lebaran datang, jalan di Jawa itu selalu dibongkar-pasang? Kenapa tak
ada perbaikan jalan menjelang Natal atau Nyepi? Kenapa perbaikan jalan
saja harus dikaitkan dengan agama tertentu?
Saya tertawa mendengar pertanyaan itu. Maklumlah, di Bali sudah
beberapa tahun ini ada tren baru: warung makanan di pinggir jalan
berlabel agama, yakni Warung Muslim. "Idiom agama itu karena salah
kaprah saja, tak ada maksud buruk," kata saya. "Seperti warung muslim
yang maksudnya tidak menjual makanan dari babi, perbaikan jalan itu
untuk kepentingan orang mudik yang jumlahnya jutaan dan mereka
mayoritas kaum muslim."
Saya tak tahu apakah teman saya bisa menerima penjelasan ini. Kini saya
yang tidak jelas, apakah perbaikan jalan selalu menjelang Ramadan
karena anggarannya baru turun? Atau jalan itu memang kemampuannya
cuma setahun dan siklus rusaknya pas sebelum Ramadan? Kalau usia
jalan mulus hanya setahun, kenapa siklus perbaikan tidak digeser saja,
misalnya menjelang Natal atau Nyepi--untuk menyenang-nyenangkan
minoritas karena hari rayanya pernah dijadikan "label" perbaikan jalan?

Siklus perbaikan ini akan jauh lebih bagus karena pada hari Nyepi tak ada
arus mudik, sehingga pada Lebaran yang dimeriahkan mudik, jalan sudah
mulus. Tentu tidak ada yang waswas seperti sekarang. Dan tentu tidak
ada perbaikan yang sembrono, asal tambal-sulam. Yang paling penting,
Menteri PU tak salah terus menepati janji. Suatu kali bilang perbaikan
selesai sebelum Ramadan, lalu diralat menjadi pertengahan Ramadan.
Yang mengagetkan, disebut-sebut jalan Pantura-ingat, ini akronim dari
Pantai Utara--yang membentang sepanjang 1.300 km dari Anyer ke
Banyuwangi itu memang dibuat dengan perencanaan tak matang, pola
perbaikannya pun tidak matang pula. Dengan ketidakmatangan itu, jalan
yang sudah kelihatan mulus hanya bertahan kurang dari enam bulan.
Artinya, jalan yang diperbaiki setiap Ramadan itu sesungguhnya sudah
rusak jauh sebelum Ramadan yang akan datang. Hanya karena tak ada
kepentingan memanjakan pemudik, jalan itu dibiarkan rusak.
Di mana ketidakmatangan itu? Menteri PU Djoko Kirmanto menyebutkan,
jalan ini seharusnya dibuat dengan konstruksi beton, sehingga mampu
bertahan 10 tahun. Dengan konstruksi sekarang, beban terberat untuk
jalan itu hanya mobil di bawah 10 ton. Nah, yang melewati sekarang mobil
yang beratnya dua kali lipat. "Wajar jalan itu cepat rusak," kata Menteri
PU.
Kalau kita tanya kenapa tidak dirancang saja jalan berkonstruksi beton
sehingga jika ada perbaikan maka cukup menunggu 10 Ramadan,
jawabannya pasti soal anggaran, dari mana duit, lebih penting mana
membuat rel kereta api ganda atau memperbaiki pelabuhan, sehingga
barang tak harus diangkut truk gede. Wacananya bisa sepuluh tahun
lebih. Tapi kalau bertanya ke Menteri PU begini: "Jalan itu hanya mampu
menampung truk seberat 10 ton, kenapa tak dilarang saja truk yang
muatannya lebih dari 10 ton, kenapa tak memfungsikan kembali jembatan
timbang seperti dulu?" Saya kira Menteri akan tertawa sambil menjawab:
"Saya kan hanya membuat jalan. Urusan truk, tanya Menteri
Perhubungan." Menteri kita memang pintar-pintar.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 21 Juli 2013)

Minggu,07 Juli 2013 @ 22:20


Deklarasi
Pandita Mpu Jaya Prema
Sudah bertambah calon presiden dan calon wakil presiden yang diusung
partai lewat deklarasi. Sebelumnya, hanya Aburizal Bakrie yang diusung

Partai Golkar. Itu pun tanpa pendamping calon wakil presiden.


Partai Hanura hebat. Percaya diri ketua umumnya, Wiranto, untuk
mencalonkan diri begitu kuat. Bahkan dia langsung punya calon wakil
presiden-tidak takut seperti Golkar-dan menempatkan kadernya sendiri:
Hary Tanoesoedibjo. Kenapa tidak Fuad Bawazier, misalnya? Ideologi dan
rekam jejak tak berlaku sekarang, Hary Tanoe menyediakan triliunan
rupiah, barangkali jauh lebih banyak daripada yang dipunyai Bawazier,
meski ia pernah jadi Dirjen Pajak dan Menteri Keuangan.
Ada satu kekuatan Hary Tanoe yang tak dipunyai oleh calon-calon
presiden yang sudah resmi maupun yang masih (ingin) digadang-gadang:
jaringan televisi. Ia punya MNC Group. Di sini ada RCTI, MNC TV (dulu
Televisi Pendidikan Indonesia), dan Global TV. Aburizal hanya punya TV
One dan ANTV. Surya Paloh, yang masih malu mendeklarasikan diri
sebagai calon presiden-padahal pasti niatnya ke sana sejak "merebut"
Partai NasDem-hanya punya satu stasiun televisi: Metro TV.
Partai lain, seperti PDI Perjuangan, Demokrat, dan PAN, tak punya stasiun
televisi. Gerindra, yang pasti mencalonkan Prabowo tetapi belum
deklarasi, juga tak punya stasiun televisi. Mau bikin mendadak tak
mungkin, kecuali membeli yang ada. Frekuensi radio dan televisi bukan
hal yang bebas, melainkan ada batasnya. Tapi tentu bukan karena tak
punya stasiun televisi yang menyebabkan partai ini "belum berkenan"
mendeklarasikan calonnya. Demokrat akan membuat konvensi. Bahwa ini
konvensi sungguhan atau tidak, pemenangnya pastilah yang direstui
Cikeas-di mana-mana dinasti itu sah ingin dibangun. PDI Perjuangan
masih menunggu kadernya yang terbaik, konon. Istilah yang dipakai
terkesan demokratis: tingkat elektabilitas menjadi pertimbangan. Dan
sebagai bunga-bunga, Gubernur Jakarta Joko Widodo termasuk yang
dipantau elektabilitasnya. Mari kita percaya, walau masih ada pertanyaan
apakah Megawati benar-benar mau lengser atau tidak, karena ia yang
menentukan calon presiden itu, bukan rapat pimpinan. Jangan-jangan,
setelah diketahui lawannya cuma Bakrie, Wiranto, Prabowo, atau Surya
Paloh, Mega batal lengser karena yakin menang.
PAN tak akan jauh dari Hatta Rajasa seperti halnya PPP tak akan berpaling
dari Suryadharma Ali. Tokoh lain yang non-partai paling diiming-imingi jadi
wakil. Tapi siapa pun calonnya, kenapa tak segera deklarasi?
Memperkenalkan calon itu ke desa-desa, sangat sulit. Hanya media
televisi yang efektif. Minat baca media cetak di pedesaan masih kurang.
Minat baca media sosial (Twitter, Facebook, dan pesan pendek) memang
meningkat, tapi di desa urusan politik begini jarang jadi ramai.
Tokoh-tokoh non-partai yang kebelet ingin jadi calon presiden-saya tak
menyebut
nama
karena
muncul-tenggelam-semakin
tak
punya
kesempatan dalam persaingan memperkenalkan diri kepada rakyat.
Mereka tak punya uang triliunan rupiah dan jaringan televisi. Jadi bintang

iklan jamu pun malah menuai kritik karena tak pas-maklum aktor
dadakan.
Ada
ketidakadilan,
memang.
Undang-Undang
Penyiaran
tidak
mengantisipasi penggunaan (dan penyalahgunaan) siaran televisi untuk
ambisi politik pemiliknya. Orang tahu, televisi menggunakan frekuensi
publik yang semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tapi tak
ada langkah yang mengatur frekuensi itu. Nah, dalam ketimpangan ini,
ayo para tokoh yang ngebet ingin jadi presiden, segeralah deklarasi-soal
berapa jumlah suara yang diraih pada pemilu legislatif nanti tak usah
dipikirkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 7 Juli 2013)

Sabtu,19 Januari 2013 @ 19:08


Wisata Banjir
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada banjir di Jakarta. Ada orang yang berpeluh di tengah gerimis
menyelamatkan orang yang terjebak. Ada Kopassus, Marinir, Brimob
menggotong orang-orang tua menuju tempat pengungsian. Ada gubernur
di atas gerobak yang mengajak warga untuk segera melakukan action
ketika musim kering tiba-hal yang sering dilupakan karena banjir sudah
berlalu. Ada komunitas seni yang mengumpulkan pakaian layak pakai
untuk disumbangkan kepada korban. Ada presiden yang menggulung
celana dan memberi pengarahan. Ini musibah.
Tapi ada orang-orang "narsis", yang bergaya dengan latar genangan,
difoto karibnya dengan tingkah yang tak kurang narsisnya. Sejumlah
orang menonton banjir, dengan takjub dan ketawa-ketawa, ketika nenek
yang kesakitan menggeliat digotong tim SAR. Puluhan orang lagi datang
ke Bundaran Hotel Indonesia, ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi,
berdiri di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin sambil mengunyah roti.
Bukan membantu orang yang terjebak, apalagi mencoba mengalirkan air
yang tergenang. Mereka berwisata. Pemandangan yang indah, katanya.
Huss!
Lalu ini tingkah sejumlah pengamat, pakar komunikasi, dan entah apa lagi
julukan yang mereka senangi. Di televisi--juga di social media Twitter-mereka mengulas kenapa Jokowi berpakaian hitam, kenapa Jokowi naik
gerobak
padahal
ada
mobil
tinggi.
Apakah
ini
tanda
ketidakberdayaannya? Kenapa SBY mendatangi pengungsi sambil
menuntun Ibu Anie, apakah ini pertanda di tahun 2014 SBY mencalonkan
Ibu Anie? Dan kesimpulan mereka jelas: ini pencitraan. Otak mereka

penuh dengan prasangka. Kebiasaan nyinyir mereka tak mengenal ada


musibah atau tidak. Padahal mereka sendiri yang sejatinya melakukan
pencitraan. Huss!
Jakarta lumpuh. Namun yang lumpuh hanyalah gerak kota, bukan "gerak
hati". Masih banyak orang yang tergerak hatinya untuk menolong,
mengirimi korban selimut, mi instan, nasi bungkus. Dan dokter rumah
sakit itu masih setia memeriksa pasiennya padahal ruangannya terendam
air. Hentikan kenyinyiran sejenak, hentikan tuduh-menuduh pencitraan,
bahkan hentikan bicara soal-soal politik yang sudah basi, yang hanya
menunjukkan isi otak dipenuhi ambisi kekuasaan.
Penderitaan dalam musibah jangan dijadikan bahan bercanda dan
komoditas politik. Juga tak harus dicurigai. Dari mana pun datangnya mi
instan dan nasi bungkus itu, mari kita bagikan kepada yang berhak,
sepanjang itu masih sehat disantap. Jangan curiga dan jangan pula
mengusut apakah si penyumbang punya niat tertentu. Urusan niat itu
biarlah urusan Tuhan. Kita tak perlu menghakimi niat seseorang.
Jokowi melarang posko berlabel partai. Saya setuju karena pengalaman di
masa lalu--dan sangat boleh jadi tetap terjadi sekarang ini--mereka akan
memasang atribut yang berlebihan untuk suatu sumbangan yang juga tak
terlalu luar biasa. Spanduk partai yang dipasang di posko bantuan itu-kalau dibolehkan seperti masa lalu--nilainya setara dengan lebih dari 10
kardus mi instan. Kenapa tidak digunakan untuk menambah kardus mi
saja?
Saya yakin Jokowi tak melarang kalau, misalnya, Puan Maharani atau
Ramadhan Pohan, bahkan juga Ruhut Sitompul, membagikan selimut,
pakaian, susu, di tempat-tempat pengungsian. Apalagi jika mereka tak
merasa perlu mengundang media massa untuk meliput pemberian
sumbangan itu--kalau kebetulan media tahu, itu soal lain.
Mari kita memaknai setiap musibah dengan ketulusan menolong korban
dan bukan saling menyalahkan. Lebih-lebih jika menyalahkan alam,
menyalahkan semesta, dan Tuhan dibawa-bawa. Ini kesalahan manusia
yang lalai menjaga alam.
(Koran Tempo Minggu 20 Januari 2013)

Minggu,29 Desember 2013 @ 03:18


Tokoh 2013
Pandita Mpu Jaya Prema

Mumpung liburan, saya berkesempatan ngobrol santai bersama Romo


Imam. Topik yang ingin saya mintai komentarnya adalah siapa tokoh yang
layak ditulis tahun 2013. "Ya, siapa lagi kalau bukan Susilo Bambang
Yudhoyono, orang pertama di negeri ini," kata Romo Imam.
Saya terkesiap. Padahal sebelumnya sudah saya jelaskan, tokoh yang mau
saya tulis harus kontroversial, bukan pejabat yang lurus-lurus saja seperti
presiden, wakil presiden, menteri, dan sebagainya. "Lo, SBY sebagai
presiden juga kontroversial," jawab Romo. "Beliau kan sudah menerbitkan
perpu untuk menyelamatkan Mahkamah Konstitusi, lalu perpu itu lolos di
DPR sebagai undang-undang. Tapi, ketika keppres yang mengangkat
hakim MK Patrialis Akbar dibatalkan pengadilan tata usaha negara,
kenapa SBY mau banding. Mestinya diterima sembari mengucap syukur
alhamdulillah, karena sekalian mengangkat hakim-hakim MK yang baru.
Patrialis Akbar sudah tak layak jadi hakim MK, karena syaratnya harus
tujuh tahun meninggalkan partai. Patrialis masih bau partai, buktinya
partainya juga mengusulkan presiden banding."
"Tak berminat?" tanya Romo. "Bukan tak berminat," jawab saya cepat.
"Saya takut menulis, kalau salah nanti saya disomasi pengacara SBY.
Sudah dua orang kena somasi, saya tak mau jadi orang ketiga. Tokoh lain
saja Romo."
Romo mengambil sirih-kami memang bukan perokok. "Kalau Ketua Umum
Demokrat tidak, bagaimana kalau Ketua Umum Golkar, Pak Ical alias ARB?
Pasti tak berminat juga. Romo tahu ada ungkapan di sekitar ARB yang
perlu diluruskan. ARB itu katanya ibarat cinta, semakin dipaksakan
semakin tidak diterima."
Romo tertawa, lalu mengulum sirih. Saya ikut tertawa, tanpa komentar.
Romo melanjutkan: "Yusril Ihza Mahendra bagus ditulis, Majelis Syuro
Partai Bulan Bintang. Dia tokoh paling berani menggugat pemilu legislatif
dan pemilu presiden. Dia betul, tak ada di konstitusi yang menyebut
syarat pengajuan presiden dan wakil presiden harus memperoleh suara
tertentu. Yang berhak mengajukan pasangan calon presiden-wakil
presiden adalah partai atau pasangan partai peserta pemilu. Dan Yusril
merasa sendirian karena tokoh lain terganggu oleh ulahnya ini, meskipun
diam-diam semua setuju untuk masa depan negeri."
Saya pura-pura berpikir. "Menulis Yusril juga sulit, meski saya setuju
dengan ulah dia. Bahkan banyak pemikiran Yusril yang saya sepakati
dalam menata negara ini. Tapi nama partainya ada bulan ada bintang,
benda-benda di langit. Eksklusif. Saya maunya simbol yang ada di bumi,
yang akrab dilihat orang desa."
"Ya, banteng moncong putih," Romo kembali tertawa. "Tulis Ibu Mega,
kalau berani. Dugaan Romo, dia tak akan men-capres-kan Jokowi sebelum
pemilu. Setelah pemilu, dia berhitung, kalau suara PDIP di atas 20 persen,

dia akan maju dan Jokowi dijadikan cawapres. Kalau kurang-kurang sedikit
dan PDIP harus berkoalisi, dia lihat lawannya. Kalau cuma yang itu-itu
saja, Mega akan berani tampil dan menggandeng cawapres dari partai
'penggenap suara'. Jokowi jadi tim sukses andalan. Kalau suara PDIP
kurang banyak, ya, apa mau dikata. Jokowi jadi cawapres mendampingi
capres dari Gerindra sesuai dengan kesepakatan Batutulis. Ada
pendapat?"
Saya tahu Romo menantang. "Saya tak punya pendapat, kecuali kasihan
pada Jokowi." Romo menyahut: "Kalau begitu, tulis Jokowi saja, tokoh ini
unik. Semakin hari semakin kelihatan ada ambisi di saat pernyataan tanpa
ambisi. Ia pura-pura tak mikir, entah jika itu strategi. Atau menulis tokoh
lain lagi?"
"Tidak, Romo," cepat saya jawab. "Kolomnya sudah habis, ini saya lagi
menulis."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Desember 2013)

Minggu,22 Desember 2013 @ 03:10


Ibu
Pandita Mpu Jaya Prema
Saya persembahkan tulisan ini dengan setulusnya kepada para ibu, dan
perempuan-perempuan yang akan menjadi ibu. Begitu mulianya seorang
ibu, bahkan ajaran agama menempatkan kaum ibu sebagai manusia yang
terhormat. Jika kita ingin tahu di mana letak surga, maka kita harus
sungkem kepada ibu. Dengan posisi sungkem itu, kita pun bisa melihat
telapak kaki ibu. Nah, di sanalah surga.
Surga tidak terletak di tubuh para lelaki. Surga dibawa ibu, tetapi tidak
diletakkannya di dalam tas, meski mereknya Hermes. Tak pula di gelang
berlian atau arloji yang harganya ratusan juta rupiah. Karena ibu
membawa surga, ia harus membagi perhatiannya kepada suami, kepada
anak dan cucu. Jika ada anak-anaknya yang setiap hari bersekolah
melewati jembatan gantung yang bergoyang, ibu harus membangun
jembatan yang kokoh, bukan mempersolek wajahnya. Ibu harus
mengontrol perilaku suaminya agar bekerja dengan jujur, bukan malah
mendorong suaminya untuk korupsi. Sang ibu harus sadar kehormatan
keluarga begitu penting. Korupsi, pelan atau cepat, pasti berujung pada
aib yang ditanggung seluruh keluarga. Apalagi jika sang ibu yang jadi
pejabat dan melakukan korupsi, maka aibnya berkali lipat. Orang bersorak
ketika ibu itu diangkut dengan mobil tahanan.
Jika ibu hanya mengurusi rumah tangga, campur tangan ibu dalam

pekerjaan sang suami, seharusnya juga melekat. Kenapa harus dibantah


jika Ibu Negara ikut campur urusan kabinet yang jadi pekerjaan presiden?
Tentu campur tangan itu tidak diobral di ruang kantor, karena tugas sudah
dibagi-bagi. Campur tangan menjelang tidur malam, Ibu Negara berbisik
kepada Presiden tentang kabinet dan urusan negeri, bukankah itu wajar?
Saya sendiri menjelang tidur pernah dibisiki oleh ibunya anak-anak:
"Sudah mulai tua, menulis yang bijak, jangan menghujat seperti dulu."
Kalau misalnya Ibu Negara berbisik: "Mas, menteri itu sepertinya tak
berpihak ke rakyat. Izin mal diobral, pasar rakyat tak dibangun. Menteri itu
mengajarkan permusuhan, orang sembahyang saja dipersulit. Menteri itu
kok suka benar impor hasil pertanian, memangnya kita tak punya tanah."
Dan bisikan selebihnya. Bukankah itu pertanda ada perhatian? Tergantung
kemudian sang presiden memilah, apakah itu bisikan malaikat atau
bisikan setan. Jadi, tak ada gunanya membantah bertubi-tubi kalau ada
tuduhan Ibu Negara ikut campur urusan presiden, karena bantahan itu
justru terkesan menutupi sesuatu.
Suami yang sukses karena ada istri perkasa di sampingnya, itu kata
orang. Presiden yang sukses tentu karena ada Ibu Negara yang perkasa
juga. Namun ada sukses yang negatif. Jika suami sukses melakukan
korupsi, bisa jadi itu berkat istri yang perkasa, selalu merongrong suami
dengan permintaan yang konsumtif. Lalu, ketika suami ditahan karena
tertangkap tangan menerima suap, sang istri hanya bisa menangis sambil
menutupi
wajahnya
dengan
kerudung.
Supaya
tak
menyesal
berkepanjangan, jadilah istri yang mendorong suami untuk bersyukur dan
menasihati suami kalau ada tanda-tanda melakukan perbuatan tak baik.
Kalau suami membeli mobil dan rumah, tanya dari mana uangnya. Bukan
minta jatah mobil lain.
Istri yang mengantar keluarganya hidup di jalan penuh berkah, itulah ibu
yang sejati. Ibu dengan predikat mulia. Bumi ini disebut Ibu Pertiwi, bukan
Bapak Pertiwi, karena ia menjadi sumber kehidupan. Sungguh laknat
orang yang memperkosa Ibu Pertiwi, selaknat orang yang memperkosa
perempuan sebagai calon ibu.
Kita berutang karena lahir dari rahim ibu. Mari sungkem kepada ibu di hari
Minggu ini. Kepada ibu yang mulia: Selamat Hari Ibu.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 22 Desember 2013)

Minggu,15 Desember 2013 @ 03:03


Pesawat RI 1
Pandita Mpu Jaya Prema

Tak lama lagi, Maret tahun depan, pesawat kepresidenan yang


supermewah datang. Jenisnya Boeing Business Jet 2 Green atau lebih
keren disebut Boeing 737-800 BBJ-2. Kalau tak juga paham, ya, tak usah
bertanya. Saya juga tak paham. Pesawat ini bukan buatan Bandung.
Bayangkan saja yang gampang. Pesawat ini punya kamar tidur besar,
ada ruang tamu, ada ruang istirahat, ada kamar mandi dengan pancuran.
Itu khusus untuk presiden dan keluarganya. Di belakangnya ada kursikursi penumpang yang bisa diselonjorkan jadi tempat tidur. Lalu ruang
rapat, ruang olahraga, dan beberapa toilet. Tak disebutkan apakah di
ruang istirahat ada sarana karaoke, maklum presiden kita gemar
menyanyi.
Harga pesawat ini US$ 91,2 juta atau sekitar Rp 820 miliar. Lebih murah
daripada membangun pusat olahraga Bukit Hambalang yang telantar itu.
Bahwa masih banyak rakyat yang miskin, murid-murid belajar di
bangunan yang hampir roboh, dan korban berjatuhan di persimpangan
kereta api, itu urusan gubernur. Pesawat ini urusan presiden.
Siapa yang akan memakai? Kalau yang membeli, saya tahu: Presiden
Yudhoyono. Setidaknya, di masa beliau pesawat dibeli, dibayar, dan
datang-kalau sesuai dengan rencana. Inilah jasa besar Pak SBY setelah
dua periode memimpin bangsa ini menyiapkan motor mabur yang layak
untuk penggantinya.
Yang jelas, sepertinya SBY tak akan menikmati pesawat ini. Pesawat
datang bulan Maret saat kampanye yang riuh. Bulan April pemilu legislatif.
Setelah itu, pemilu presiden. SBY sebagai ketua umum partai tentu sibuk
kampanye dan pastilah malu menggunakan fasilitas negara. Untuk pergi
ke luar negeri supaya bisa menikmati pesawat ini, rasanya mengada-ada
di tengah keributan-setidaknya situasi politik panas-di antara pemilu
legislatif dan pemilu presiden. Kalau pesawat itu hanya dibawa terbang ke
Bali-dibuat seminar dadakan agar bisa mengundang Presiden-sepertinya
mubazir. Belum sempat SBY tiduran, eh, sudah mendarat. Kapan
menikmati pancuran?
Pengganti SBY, kalau melihat calon presiden yang sudah dideklarasikan,
tak ada masalah dengan pesawat ini. Mereka bisa menyesuaikan diri
dengan kemewahan. Yang jadi masalah, kalau Joko Widodo, yang saat ini
Gubernur DKI Jakarta, yang terpilih menggantikan SBY-itu kalau PDI
Perjuangan mau mencalonkan-apakah Jokowi nyaman di pesawat yang
ternyaman ini?
Presiden Jokowi pasti tetap blusukan di negeri yang luas ini. Ia pasti akan
melihat sungai-sungai tanpa jembatan di Banten, ia akan pergi ke petani
sawit yang tanahnya tergusur tambang batu bara di Kalimantan dan
Sulawesi, ia akan melihat bagaimana alam Papua terkuras sementara
daerah itu tak pernah dibangun dengan baik. Saya menduga Presiden

Jokowi akan lebih banyak blusukan ke Nusantara, untuk melihat apa yang
dirasakan
rakyatnya,
dibanding
berpidato
ke
mancanegara.
Pertanyaannya tentu: apakah Jokowi akan memakai pesawat supermewah
itu? Bagaimana pesawat itu mendarat di bandara kecil? Kapan Jokowi
akan tidur nyenyak dalam pesawat kalau penerbangan paling lama tiga
jam? Lalu, kapan olahraga dalam pesawat untuk mencari keringat agar
bisa mandi di pancuran? Yang paling bingung, saya membayangkan
apakah baju Jokowi yang seharga Rp 70 ribu dan dibeli di Pasar Klewer itu
tidak terbanting oleh kemewahan pesawat?
Andai Boeing 737-800 BBJ-2 belum jadi, saya setuju pesawat ini ditunda
sampai rakyat miskin berkurang dan anak-anak belajar di gedung yang
kokoh. Syukur kalau tak jadi dibeli. Ini membuat nyaman presiden
mendatang, juga enak untuk Pak SBY yang capek membeli pesawat tapi
tak sempat menggunakan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 15 Desember 2013)

Minggu,08 Desember 2013 @ 13:05


Kondom
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada yang bilang bahwa saya termasuk orang modern. Setidaknya
mengikuti perkembangan dunia modern meski tinggal di desa. Tapi ada
juga yang menyebut saya teramat kolot, jauh dari dunia modern. Apa
contohnya? Jijik dengan (maaf) kondom.
Nah, dengan menulis kata "maaf" sebelum kata kondom, itu sudah
membuktikan bahwa saya memang mengakui kekolotan itu. Saya
terganggu dengan perayaan orang modern yang membuat Pekan Kondom
Nasional. Dengan disingkat PKN, tadinya sempat berpikir ini Pekan Kopi
Nasional. Maklum, sebagai keluarga petani kopi, kami sedang
mengembangkan varian baru mengolah kopi. Atau Pekan Kedelai
Nasional, karena di kampung kami sedang dicoba menanam kedelai. Malu
negeri agraris mengimpor kedelai dari negeri kapitalis.
Ternyata yang diurusi pemerintah bukan kedelai, melainkan kondom,
yealah. Orang-orang di kampung saya langsung terbahak-bahak dan
ada yang berteriak: "Mana cewek kafe mana cewek kafe" Mereka
kolot seperti saya. Kami tahu, kondom itu alat pembatas kelahiran untuk
program Keluarga Berencana, program yang sukses di Bali meski
pemakaian kondom kecil. Kami tahu pula kondom itu alat kesehatan,
mencegah penularan AIDS. Tapi membicarakan kondom secara terbuka,
dibagikan gratis di tempat umum--di kantor desa, sekolah, dan di
kampus--adalah perbuatan kolot yang sok modern. Kondom itu untuk

orang dewasa yang sudah kawin, begitulah pengertian yang selama ini
ada.
"Kondom itu setara benda sakral yang harus disembunyikan dari orang
yang belum berhak memakainya," begitu ceramah pemuka agama di
tahun 1970-an, saat saya menjadi "wartawan KB". Kata sakral mengacu
pada penggunaannya yang terbatas dan dijual secara "sembunyi". Tidak
ada warung menjual kondom, barang itu hanya ada di apotek dan toko
obat. Itu pun berada di sudut-sudut, atau lemarinya beda dengan obat
batuk. Ini bukan pengamatan kedaluwarsa, bulan-bulan lalu masih seperti
itu. Entah sejak ada Pekan Kondom Nasional, ketika kondom dibagikan
seperti permen.
Kenapa kondom disebut setara benda sakral? Selain risi diperbincangkan,
benda itu dipakai di tempat yang sakral. Perkawinan adalah sakral, bukan
dijadikan hobi. "Pertemuan" sang istri dan suami juga sakral. Dalam
agama Hindu (ini bukan ceramah agama), "pertemuan lingga dan yoni" itu
harus di tempat yang semestinya dan bahkan ada hari-hari yang pantang
untuk "pertemuan" itu. Tidak bisa diumbar di pojok alun-alun pada
kegelapan malam. Karena dari "pertemuan" itu akan direproduksi anak
yang suputra (putra utama) dari keluarga sukhinah.
Perzinaan sanksinya berat--kalau ketahuan. Apalagi sampai punya anak di
luar nikah, jelas hasil perzinaan yang tak bisa ditutupi. Aib ditanggung
keluarga. Karena itu, orang-orang "tersesat" yang berbuat zina pastilah
sekuat tenaga menutupi hasil "sesatnya" dengan berbagai cara. Dan,
astaga, kini ada barang murah bahkan gratis untuk menghindari itu, yakni
kondom.
Kesakralan hubungan suami-istri, moral yang mengedepankan hidup
harmoni dalam keluarga, bahaya seks bebas dan seks sebelum kawin dari
sudut agama maupun sanksi sosial, semestinya digencarkan lebih dulu
dan terus-menerus, sebelum sampai pada kampanye kondom untuk alat
kesehatan mencegah AIDS. Saya sangat maklum, jumlah penderita AIDS
semakin bertambah dan kondom bisa mencegah hal itu. Tapi kalau
manusia Indonesia tetap dalam "kekolotannya" dan memandang seks
sebelum nikah dan seks bebas adalah sebuah aib dunia-akhirat, kondom
akan kembali pada fungsinya yang mulia: hanya untuk orang dewasa
sebagai alat kontrasepsi Keluarga Berencana.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 Desember 2013)

Minggu,01 Desember 2013 @ 06:20


Dokter

Pandita Mpu Jaya Prema


Dengan bergegas saya mengunjungi Romo Imam di padepokannya. Beliau
lagi sakit dan tiduran di sofa. Tidak ke dokter, Romo? Pertanyaan saya
hanya dijawab ringan: "Malu ke dokter," katanya. "Mereka lagi dapat
masalah, para dokter memperjuangkan nasibnya, tapi banyak yang
mencela."
Saya mendekat. "Jangan malu, Romo. Orang yang mencela itu saja tak
malu-malu ke dokter, apalagi Romo yang bijak menempatkan
permasalahannya. Apa perlu saya antar? Para dokter sudah berhenti
mogok."
"Bukan mogok, aksi solidaritas," Romo cepat memperbaiki ucapan saya.
"Maaf, Romo, bukankah itu artinya sama? Pasien jadi telantar, di NTT
malah ada yang melahirkan sendiri tanpa pertolongan dokter. Padahal
janjinya aksi dokter itu tak mengurangi pelayanan."
Tiba-tiba Romo duduk dan menatap saya. "Niat mereka memang tak
mengganggu pelayanan, buktinya unit rawat darurat tetap dibuka. Tapi
ada yang lebih berkuasa mengatur, agar kasus ini mendapatkan perhatian
serius. Ini sangat penting, mencari solusi bagaimana sebaiknya
memenjarakan dokter."
"Dokter tak boleh kebal hukum, presiden dan wakilnya juga tak boleh,"
kata Romo lagi. "Dokter yang korupsi harus dihukum, dokter menabrak
orang sampai meninggal harus dihukum, jangan seperti anak menteri itu
yang bisa bebas setelah nabrak. Tapi dokter yang tak berhasil mengobati
pasiennya sehingga meninggal dunia, kenapa harus dihukum?"
"Karena lalai, Romo," jawab saya. "Lalai menurut siapa?" Romo menatap
tajam saya. "Lalai menurut hakim yang tak memahami pekerjaan seorang
dokter. Lalai menurut jaksa. Hakim yang tak tahu pekerjaan dokter itu
harusnya menjatuhkan vonis berpedoman pada saksi ahli. Juga pada
sidang komite etik. Hakim-hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi
mendengarkan saksi ahli ini secara langsung, lalu membebaskan dokter
yang dianggap lalai oleh jaksa itu. Kenapa hakim kasasi yang tak
menghadirkan saksi ahli jadi mengabaikan keterangan itu?"
"Hakim kasasi sekarang ini lagi gemar memperberat hukuman. Itu bagus
untuk efek jera, tetapi buat koruptor. Kalau menghukum dokter dengan
niat ada efek jera, maka efek jera itu merugikan masyarakat. Dokter jadi
jera menangani pasien yang gawat. Kalau meninggal, apa tak masuk bui?
Dokter jadi tak mau mengoperasi pasien kalau tak ada persetujuan
keluarganya. Kalau ada kecelakaan, pasien kritis diantar oleh polisi atau
orang lain, dan dokter merasa perlu penanganan operasi, apa harus
menunggu keluarga korban yang entah ada di mana? Efek jera yang
diniatkan hakim ini sangat keliru."

Saya kasihan Romo terlalu banyak bicara. "Sekarang solusinya


bagaimana, Romo?" Tanya saya. "Hidupkan kembali peradilan khusus
profesi kedokteran yang dihapus dalam undang-undang tahun 2004. Aksi
solidaritas dokter, ya, dihentikan saja, karena pengamat mulai
mengaitkan dengan moral, sumpah dokter, dan tetek bengek lainnya.
Padahal yang diperjuangkan dokter adalah juga moral. Harus ada sebuah
rumusan, sejauh mana dokter dianggap lalai sehingga perlu dihukum jika
pasiennya meninggal dunia. Sepanjang dokter bekerja benar menurut
profesi yang sesuai dengan etika kedokteran, bukan berdasarkan
penilaian orang luar, jangan kaitkan dengan kematian pasien. Dokter
bukan malaikat yang selalu bisa menyembuhkan. Kematian di tangan
Tuhan."
Saya menyodorkan air minum ke Romo, dan beliau berbisik: "Dokter boleh
dihujat karena aksi ini, apalagi itu dilakukan saat penghujat lagi sehatsehatnya. Ingat, suatu saat penghujat akan sakit, di situ akan disadari
ternyata dokter manusia biasa juga, butuh ketenangan dan kepastian
dalam bekerja."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 1 Desember 2013)

Minggu,04 Agustus 2013 @ 00:18


Pulang
Pandita Mpu Jaya Prema
Ini bukan perbincangan soal novel. Ini sekadar renungan tentang pulang.
Pulang dalam bentuknya yang sederhana, pulang ke kampung halaman,
pulang ke tanah kelahiran. Betapa orang rindu akan pulang karena di sana
mereka kembali menemukan jati dirinya, berkumpul dengan orang-orang
yang sulit untuk dilupakan. Pulang adalah sebuah ritual yang sulit
dirumuskan dengan kata-kata, tak bisa dituturkan lewat Twitter yang
hanya 140 huruf.
Karena itu, saya tak ingin mencemooh mereka yang hari ini masih
berjuang untuk pulang, meninggalkan Jakarta yang selama ini menjadi
padang pertempuran untuk meraih harta. Tak semua orang menang
dalam "pertempuran duniawi" itu. Ada yang masih berstatus pembantu
rumah tangga, kesehariannya melayani majikannya, menonton televisi
dari balik pintu kamar yang sempit atau duduk bersimpuh di samping
kursi majikannya yang sering kosong. Ada yang bekerja di pabrik yang
pengap, makan seadanya di saat jeda, dan tidur berdempetan di kamar
kos. Atau berjualan di kaki lima, yang setiap saat didatangi polisi pamong
praja karena dianggap tidak tertib padahal mereka selalu tertib membayar
uang keamanan.

Tentu ada yang sudah menang dalam "pertempuran duniawi" ini. Mereka
hidup dengan kemewahan, naik mobil di lajur busway karena yakin, jika
ada polisi menindaknya, dia sanggup menyelesaikan dengan damai.
Tampil di televisi menyebut-nyebut sebagai wakil rakyat yang sudah
menerima mandat dari rakyat, entah rakyat yang mana. Memberikan
hadiah mobil miliaran rupiah kepada anak remajanya yang berulang
tahun, padahal kerjanya setiap hari hanya menjual-belikan perkara. Lalu,
banyak juga yang tiba-tiba memasang iklan atau "terduga iklan", siap
menjadi calon presiden. Puih, apakah mereka tak punya cermin di
rumahnya?
Tapi, saya tak ingin menghujat, karena mereka yang kalah dan menang
dalam "pertempuran duniawi" di Ibu Kota pada pulang hari ini. Orangorang menyebut tradisi ini sebagai mudik, kata yang ingin saya hindari,
karena ada yang menyebut itu berawal dari "udik", sebutan yang masih
dianggap mengejek seperti halnya kampungan atau ndeso. Saya rindu
suatu saat kata-kata seperti udik, kampungan, ndeso bukan untuk
merendahkan. Itu artinya, saya rindu pemimpin negeri ini mau
membangun desa dan kampung, bukan hanya membangun kota. Siapa
tahu, kalau kampung orang-orang udik ini dibangun, tidak lagi ada tradisi
mudik semeriah hari ini. Sampai saat ini ketimpangan pembangunan di
kota dan desa ibarat bumi dan langit. Ketertinggalan di pedesaan dengan
warganya yang hidup miskin hanya dijadikan proyek menjelang pemilihan
umum.
Doa saya untuk para sahabat yang pulang ke kampung naik sepeda
motor. Jangan lupa menghidupkan lampu motor di siang hari sesuai
dengan aturan, meski kita tak paham apa gunanya lampu itu di saat
terang-benderang dalam keadaan macet pula, selain menyilaukan dan
memboroskan aki. Doa saya untuk yang menggunakan kendaraan pribadi,
meski sejatinya itu mobil sewaan. Doa saya pun ikhlas untuk yang pulang
naik pesawat, jet pribadi atau bukan, semoga uang yang dibagikan di
kampung tak membuat kalian tinggi hati karena sesungguhnya itu uang
mereka yang kalian rampok lewat ngemplang pajak atau utak-atik
anggaran.
Pada saatnya kita semuanya akan pulang dalam keabadian, pulang yang
sesungguhnya pulang, dan di sana kita ditanya: apa amal Anda di dunia?
Kita tak tahu kapan waktu pulang itu, tak pernah ada sidang di
Kementerian Agama. Karenanya, mari beramal yang baik mulai saat ini,
siapa tahu sebentar lagi kita dipaksa pulang. Selamat Lebaran, maaf lahirbatin.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 4 Agustus 2013)

Minggu,28 April 2013 @ 00:24


Caleg
Pandita Mpu Jaya Prema
Barangkali karena penampilan saya lusuh ketika menemui Romo Imam,
beliau langsung nyerocos: "Lagi ruwet, ya? Apa dicoret dari daftar calon
legislatif?" Saya hanya tersenyum dan mengambil tempat duduk di
depannya.
"Apakah Romo melihat saya kurang waras selama ini?" tanya saya. "Kalau
saya punya uang Rp 6 miliar, saya akan membeli sawah di kampung. Saya
ajak petani menanam bawang merah dan bawang putih. Saya sudah tahu
teknik menanam bawang putih di daerah tropis. Ini lebih bermanfaat
dibanding nyaleg di DPR."
Romo tak bereaksi, mungkin pernyataan saya terlalu idealis. Atau terlalu
klise. "Balik modalnya lama, dan untungnya tidak banyak," kata Romo
dengan tenang. "Yang saya dengar, caleg mengeluarkan uang Rp 6 miliar
tidak rugi, asalkan berhasil duduk di gedung Senayan. Balik modalnya
cepat. Tahun ketiga sudah menerima untung."
Saya tertawa ngakak. Romo pasti menyindir. "Romo betul, orang yang
nyaleg ke DPR itu gayanya saja seperti malaikat, sok dermawan yang
membela rakyat. Apalagi kalau mendengar komentarnya, rasanya mau
muntah. Ada yang bilang mereka tidak berminat tetapi rakyat yang
meminta. Padahal mereka berbulan-bulan kasak-kusuk minta dipilih. Ada
artis yang bilang dia mau menjadi calon karena dapat wangsit di Hari
Kartini. Gombal, kok Kartini dibawa-bawa. Apakah mereka baca suratsurat Kartini? Romo, mereka itu sebenarnya tengkulak. Dengan modal Rp
6 miliar, lalu mengutak-atik anggaran negara, dua tahun sudah kembali
modal. Lalu terima untungnya, seperti kata Romo. Katakanlah di tahun
ketiga ditangkap KPK, itu dianggap musibah. Paling dihukum tiga tahun.
Balik dari penjara, masih tetap untung karena hartanya tak disita.
Undang-undang kita lemah menjerat maling-maling itu."
Romo menyela, kali ini serius. "Untuk membuat negara ini bersih dari
koruptor bermental tengkulak tengik itu, perlu undang-undang yang lebih
bagus. Banyak undang-undang yang harus diperbarui. Bukan hanya yang
menyangkut korupsi, juga soal kepartaian, pajak, dan sebagainya. Itu
tugas penting wakil rakyat pilihan 2014 nanti."
"Tapi," saya memotong, "bagaimana mengharap ada perbaikan undangundang kalau yang duduk di sana sebagian besar wajah lama? Kalaupun
ada yang baru, mereka itu artis yang ilmu tata negaranya diragukan.
Apakah undang-undang yang ideal di negeri ini bisa dipercayakan kepada
artis penyanyi dangdut dan pelawak?"
Saya kemudian menambahkan info kepada Romo Imam, bagaimana tidak
etisnya pencalonan legislatif ini. Ibas, putra sang presiden, mundur dari
anggota DPR karena ingin fokus mengurus keluarganya. La, sekarang kok

mencalonkan diri. Apakah orang mundur tiba-tiba bisa maju? Susno Duadji
divonis penjara 3 tahun lebih di tingkat kasasi--pengadilan paling tinggi.
Kok bisa dicalonkan? Mantan narapidana, yang secara moral mestinya
tobat, enak sekali ingin menjadi wakil rakyat dan mau mengurusi rakyat.
Logika berpikirnya aneh dan menghina kecerdasan rakyat dengan
gayanya yang bodoh itu--padahal mereka semestinya memberi teladan.
"Kalau begitu, mereka dan partai yang mencalonkan harus dihukum," kata
Romo. Saya setuju. Tapi bagaimana caranya menghukum, karena
keajaiban itu merata di semua partai? "Harus ada lembaga swasta yang
mencari tahu siapa-siapa saja orang yang tak pantas dipilih. Lalu dibuat
daftar orang yang bisa dipilih tanpa memandang partai mana yang
mencalonkannya," usul Romo.
Saya setuju, tapi tetap saja ruwet. Ibarat komputer, negeri ini memang
harus diinstal ulang. Namun mari kita tidak mencemooh negeri tercinta:
I.N.D.O.N.E.S.I.A.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 28 April 2013)

Minggu,21 April 2013 @ 00:22


Kartini
Pandita Mpu Jaya Prema
Hari ini adalah hari lahirnya Raden Ajeng Kartini. Kalau saja beliau masih
ada, hari ini perayaan ulang tahunnya yang ke-134. Tentu jarang orang
berusia lanjut seperti itu. Justru Kartini meninggal pada usia muda, 25
tahun, empat hari setelah melahirkan putranya.
Kartini kini menjadi legenda. Kalau saja hari ini bukan Minggu, dipastikan
sejumlah karyawan wanita akan mengenakan "pakaian nasional" ke
kantor. Kebaya, kain, sanggul. Begitu melegendanya pahlawan emansipasi
wanita ini, "Ibu Kita Kartini" bukan lagi nama, melainkan simbol
perjuangan wanita. Guyonan pun sering terjadi: "Siapa nama asli Ibu Kita
Kartini?" Jika yang ditanya melongo, maka ini jawabannya: "Namanya
Harum." Dan jika yang melongo tadi tambah bingung, yang bertanya itu
pun langsung menyanyi: "Ibu kita Kartini, harum namanya..."
Seberapa banyak wanita Indonesia yang tidak mengaitkan Kartini dengan
kebaya? Seberapa banyak orang tak mengaitkan Kartini dengan suratmenyurat? Tak banyak. Kartini adalah kebaya itu sendiri, perjuangan
Kartini adalah surat-suratnya itu, yang termuat dalam buku Habis Gelap
Terbitlah Terang.
Lihat di sekitar kita sekarang. Ada lomba berkebaya dan bersanggul. Atau

lomba menulis surat ala Kartini. Padahal Kartini dengan kebayanya itu
adalah gadis Jawa yang terbelenggu oleh adat dan harus dipingit begitu
menginjak remaja pada umur kurang dari 13 tahun. Kartini menulis surat
karena hanya itu cara dia melampiaskan gejolak hatinya. Untung ayahnya
bupati, sehingga ia punya banyak teman. Artinya, Kartini orang yang
cerdas. Ia berjuang mendobrak kungkungan adat. Ia berjuang melawan
"kebaya".
Perlawanan terhadap tradisi adat yang mengurung kaum perempuan
inilah yang semestinya ditonjolkan dalam memperingati Hari Kartini.
Bukan berkebaya atau menyanyikan "ibu kita Kartini, harum namanya". Di
sekeliling kita masih banyak wanita yang dipoligami, bahkan ada lelaki
yang sampai punya delapan istri--dan uniknya jadi selebritas. Pun masih
marak perdagangan wanita, termasuk wanita yang dijadikan obyek
gratifikasi oleh mereka yang seharusnya bermartabat. Kenapa ormas
perempuan tak ada yang bersuara soal ini?
Kartini barangkali menangis saat ini kalau dia masih ada. Perempuan di
negeri ini masih menjadi "penggenap" dan "pemanis". Kuota perempuan
harus ada 30 persen di daftar calon legislatif, tak peduli bagaimana partai
mendapatkan angka itu. Kabinet harus punya menteri yang mengurusi
peranan wanita, tak peduli apa yang diurusnya sudah benar atau tidak.
Karena hanya "penggenap" dan dalam beberapa hal hanya "pemanis",
yang menentukan siapa jadi "penggenap" dan "pemanis" itu kebanyakan
laki-laki. Lelaki memang tetap hebat.
Emansipasi yang diperjuangkan Kartini lebih bermutu daripada itu karena
menempatkan wanita sejajar dengan lelaki. Sayang, Kartini lahir di zaman
kolonial, dalam situasi yang sulit segalanya. Ia tak bisa menghimpun
jaringan lebih luas. Ia melejit sendiri dan hanya bisa membuat sekolah
untuk kaum wanita dalam skala kecil. Akhirnya, zaman pula yang
"membunuh" Kartini dengan segala idenya. Ia justru takluk oleh adat yang
kolot itu, ia dipoligami. Ia dikalahkan oleh "kebaya".
Penerus Kartini sekarang tentu punya kesempatan lebih untuk berjuang
menegakkan emansipasi. Perjuangan itu bisa diteriakkan dengan lantang
lewat berbagai kemajuan komunikasi. Kartini hanya bisa menulis surat
pakai tangan untuk memperjuangkan idenya, karena di era dia belum ada
e-mail, Facebook, maupun Twitter. Masak, Kartini sekarang hanya
ngerumpi lewat media komunikasi yang canggih itu?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 21 April 2013)

Minggu,14 April 2013 @ 00:19


Akun SBY

Pandita Mpu Jaya Prema


Telah lahir akun Twitter yang langsung mendapat pengikut (follower)
ribuan akun lain, dalam hitungan jam. Itulah akun @istanarakyat milik
Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Kita tahu, SBY adalah presiden di
negeri ini dengan berbagai jabatan sampingan. Jagat maya sempat
mempertanyakan apakah akun itu milik pribadi, atas nama presiden, atau
mungkin untuk sarana Ketua Umum Partai Demokrat menjelang Pemilu
2014.
Saya mem-follow, tanpa perlu berpikir tiga kali. Kebiasaan saya untuk
mengikuti akun lain memang butuh tiga kali berpikir. Pertama, adakah
akun itu berterus-terang tentang siapa dirinya. Kedua, apakah akun itu
bertutur sopan dan tidak jorok. Ketiga, apakah ia berkicau untuk
pencerahan atau sekadar untuk memuaskan dirinya. Banyak kicauan yang
hanya ngomong untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain. Misalnya,
begitu bangun, ia menulis: "Aku sudah bangun." Ketika lapar, ia menulis:
"Makan apa, ya?" Berangkat sekolah, ia menulis: "Dag, Mama Papa.
Sekolah dulu, ya." (Contoh-contoh ini dari akun cucu saya, murid kelas I
sekolah dasar).
Pertimbangan itu lantaran saya masih punya kesibukan, tak mungkin
mengikuti semua obrolan. Usia saya sudah "senja", meski lebih "pagi"
daripada usia SBY. Jadi, perlu selektif. Kecuali kicauan yang banyak
lelucon, karena saya sulit tertawa dan saya selalu mendapat hikmah dari
guyonan itu.
Nah, akun SBY--karena milik pribadi tanpa mempertimbangkan SBY
sebagai apa--langsung saya ikuti karena pemiliknya jelas, bukan tuyul.
Maka, saya memperoleh informasi: wow SBY sedang di istana, wow SBY
sedang makan, wow makannya ubi. Saya tertegun sebentar, kok isinya
mirip akun cucu saya?
Tiba-tiba akun bercerita soal Istana Cipanas dengan seluk-beluknya. Saya
membayangkan, setelah serial Istana Cipanas, akan ada Istana Bogor,
Istana Tampak Siring, Istana Merdeka, dan seterusnya. Saya lagi tertegun,
ini akun tentang sejarah istana atau apa?
Mungkin ini baru awal, dan SBY masih kikuk serta gamang menulis di
Twitter--secara formal harus saya katakan itu tulisan SBY karena saya
bukan Eyang, yang tahu secara persis. Saya ingin akun ini lebih
bermartabat, lebih dewasa, karena pemiliknya lebih "senja" daripada
saya, punya arti untuk orang lain, mencerahkan serta menenteramkan,
dan pada ujung-ujungnya akun ini harus berwibawa. Wong pemiliknya
presiden kok, bukan anak remaja, apalagi bukan anak sekolah dasar.
Nasihat saya--sekali lagi saya bukan Eyang, boleh tidak diikuti--jika akun
itu milik pribadi dan bagaimanapun mengutak-atik SBY tetap presiden
kami, berilah pengikutnya arah kebijaksanaan yang akan ditempuh dalam
mengatur bangsa ini. Respons masalah di masyarakat, soal banjir

Bengawan Solo, penyerbuan bui, dan sejenisnya, bukan soal makan


sekoteng dan ubi rebus. Kalimatnya harus menyejukkan, sesekali dengan
humor agar Pak SBY lebih humanis dan panjang umur.
Jika SBY tak bisa begitu, rimba raya Twitter ini justru jadi bumerang, akun
ini bisa dibanjiri sampah yang penuh dengan caci-maki, celaan, hinaan-dan saya yang paling sedih, karena Bapak masih presiden, yang harus
saya bela dengan semangat "jiwa korsa tanah air".
Nasihat kedua dan terakhir (menasihati presiden tak boleh banyak), SBY
pasti lebih sibuk daripada saya, bagaimana mungkin bisa merespons
setiap masalah. Jadi, lebih baik tak mengklaim akun itu sebagai milik
pribadi, ralat saja, sebut akun itu dikelola oleh staf kepresidenan dalam
mendukung tugas-tugas Ketua Umum, eh, Presiden. Sementara itu, Pak
SBY buat akun baru, misalnya, @sbyudhoyono. Pasti ditunggu, meski
jarang ngetwitt.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 14 April 2013)

Minggu,07 April 2013 @ 00:17


Kesatria
Pandita Mpu Jaya Prema
Penyerbu Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogya, terungkap
sudah. Mereka adalah sebelas prajurit Kopassus. Tim yang berhasil
mengungkap adalah tim dari TNI Angkatan Darat, sementara tim dari
kepolisian dan Komnas HAM masih bekerja.
Awalnya, saya sempat ragu akan tim yang dipimpin Brigadir Jenderal
Unggul Yudoyono ini. Bukan karena ia memakai nama Yudoyono,
melainkan lantaran bintang di pundaknya satu, sementara yang
berbintang dua, yaitu Pangdam Diponegoro, dengan yakin menjamin tak
ada prajurit TNI AD yang terlibat. Saya salut kepada Pak Unggul.
Ketika memaparkan hasil investigasi itu, Brigjen Unggul menyebutkan,
para penyerbu secara kesatria dan dilandasi kejujuran serta tanggung
jawab mengakui perbuatan itu pada hari pertama investigasi. Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono langsung bereaksi positif. SBY memuji para
prajurit yang telah mengakui perbuatannya itu sebagai sikap bertanggung
jawab dan berjiwa kesatria. Tetapi SBY tetap menegaskan tindakan main
hakim itu tidak dibenarkan.
Kedua Yudhoyono ini pasti taat pada aturan, termasuk aturan bertata
bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan arti kata
kesatria sebagai: (1) orang (prajurit, perwira) yang gagah berani,

pemberani; (2) kasta kedua dalam masyarakat Hindu. Tak ada penjelasan
lainnya.
Mengacu ke kamus, tak ada celah apa pun untuk membantah ke-kesatriaan para prajurit Kopassus yang menyerbu dan menewaskan empat
tahanan titipan polisi itu. Mereka prajurit, mereka gagah dan berani. Ya
sudah, klop. Lalu mereka jujur mengakui perbuatannya ketika ditanya tim
investigasi. Dan mereka siap bertanggung jawab jika pengadilan--militer
atau sipil saya tak peduli--menjatuhkan hukuman.
Cuma, saya jadi sulit tidur. Kalimat "berjiwa kesatria, jujur, serta
bertanggung jawab" melayang-layang di depan mata saya. Penyandang
kesatria kok menyerbu dengan paksa di malam hari, menodongkan
senjata, lalu menembakkannya dalam jarak dekat, dan kabur. Yang mana
jiwa kesatria itu? Dalam benak saya, seorang kesatria tak akan main
keroyok, ia berani berduel satu lawan satu. Kalau lawan tak pakai senjata,
seorang kesatria harus menghadapinya juga tanpa senjata. Penyerbu ke
Lapas Cebongan itu sama sekali tidak berjiwa kesatria, begitu bisikan hati
saya. Apalagi jujur dan bertanggung jawab. Kalau jujur, begitu selesai
"melampiaskan dendam", mereka melapor ke atasannya, bukan mengakui
perbuatan setelah ditanya. Maklumlah, latar belakang saya penonton
wayang kulit epos Mahabharata, di mana kesatria Pandawa dan Kurawa
selalu berduel tanpa main keroyok. Bahkan, di malam hari, pertempuran
dihentikan. Tapi saya tak menyesal mendapat pendidikan moral lewat
"sesuluh" Mahabharata.
Yang saya khawatirkan, bangsa ini mengalami pergeseran moral dalam
menyikapi masalah kekerasan. Saya setuju premanisme diberantas.
Bukankah itu sudah diperintahkan Presiden kepada Kapolri? Masak, saya
tak setuju. Tetapi haruskah memberantas itu dengan cara-cara kekerasan,
main dor? Hukum haruslah menjadi payung dalam pemberantasan itu.
Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, saya harus katakan, yang
menjadi preman itu kebanyakan saudara kita dari Indonesia timur. Apakah
ini bawaan etnis tertentu? Saya yakin bukan itu, tetapi kemiskinan dan
pengangguranlah yang jadi biangnya. Artinya, pemerintah harus sadar
bahwa Indonesia timur selama ini tak mendapat perhatian selayaknya.
Pemerintah lupa membangun di sana. Kalau kesejahteraan ada di sana,
mereka pasti akan menjadi kesatria - baik menurut kamus maupun
"menurut" Mahabharata.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 7 April 2013)

Minggu,30 September 2012 @ 08:08


Berkabung

Pandita Mpu Jaya Prema


Hari ini tanggal 30 September dan besok 1 Oktober. Ya, semua orang
tahu. Hari ini adalah hari berkabung nasional, bendera dinaikkan setengah
tiang, dan besok Hari Kesaktian Pancasila, bendera berkibar penuh
menghormati "Tujuh Pahlawan Revolusi". Apakah semua orang masih tahu
soal itu?
Sudah beberapa tahun ini saya tak melihat bendera berkibar setengah
tiang di kampung pada 30 September. Saya tak tahu, apakah hari
berkabung itu sudah dicabut, dan apakah Hari Kesaktian Pancasila masih
dirayakan di daerah. Saya pernah bertanya kepada seorang pejabat
negara yang latar belakangnya partai. Jawabnya, "Ah, kenapa ada Hari
Kesaktian Pancasila? Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni saja tidak dirayakan
oleh negara. Apa ada orang sakti kalau tidak pernah lahir?"
Apa pun yang terjadi hari ini, ada bendera setengah tiang atau tidak,
setiap ketemu tanggal ini, saya selalu galau. Trauma mencekam ke
memori saya soal G30S-PKI. Masa penuh kegelapan--antara kebiadaban
dan ketidakberdayaan--saya alami pada usia yang sama sekali tidak
matang, kelas 3 SMP.
Jika pelajar SMP dan SMA sekarang ini terlibat tawuran--dan jatuh korban-pelajar SMP di era saya dilibatkan dalam masalah politik--dan juga
memakan korban. Situasi sebelum G30S-PKI adalah perseteruan yang tak
kenal lelah antara PKI dan PNI di Bali. Perseteruan sampai ke "akar-akar"nya. Naik ke kelas 3 SMP, saya dilantik sebagai Ketua Gerakan Siswa
Nasional Indonesia (GSNI)--ormas pelajar di bawah PNI--untuk sekolah
saya, SMPN Bajera. Sekolah saya basis GSNI, meski beberapa ada anggota
IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia)--ormas di bawah PKI. Basis IPPI di
sekolah swasta, tetangga sekolah saya.
Sampai awal November 1965, belum ada keributan berarti di sekolah
saya, kecuali saya memerintahkan mencopot semua tempelan di tembok
yang memakai kata-kata pelajar dan diganti dengan kata siswa. Misalnya,
"Pelajar harus taat pada guru" diganti menjadi "Siswa harus taat pada
guru". Baru sekitar Desember, di jalanan berseliweran tentara, dan muridmurid--terutama perempuan--takut karena ada razia. Kepala sekolah, Pak
Dedeh (masih ada sekarang, tapi sakit-sakitan), memanggil saya,
bagaimana menyelamatkan murid yang tak punya kartu anggota GSNI.
Ide muncul, membuat surat keterangan "simpatisan GSNI". Cukup ditulis
tangan, yang penting ada stempel.
Tentara
semakin
banyak
berseliweran.
Pak
Dedeh
kemudian
mengumumkan keputusan pemerintah, ujian akhir ditunda enam bulan,
sekolah diliburkan. Lima pelajar putri tak berani pulang ke desanya yang
hanya berjarak 3 km, keluarganya anggota PKI. Saya berikan surat
keterangan "simpatisan GSNI" dan meminta seorang pesuruh sekolah
yang kebetulan anggota Gastam (Gerakan Senisilat Tameng Marhaenis)

mengantarnya pulang.
Saya juga pulang kampung. Lalu, apa yang saya saksikan di desa, selama
enam bulan, dalam usia 15 tahun itu? Penyiksaan dan pembunuhan,
untuk sebuah slogan: "Tumpas PKI sampai ke akar-akarnya". Suami kakak
sepupu saya termasuk yang kena "tumpas", kesalahannya ikut membuat
panggung ketika pelantikan Pemuda Rakyat. Setelah sekolah dibuka, satu
pelajar putra "kena garis", satu pelajar putri "hanya diperkosa", dua guru
"dinaikkan truk"--begitu istilah pop saat itu.
Tragedi ini yang terus ada di memori saya. Meski kejadiannya jauh setelah
30 September, tetap saja tanggal hari ini membuat saya tak bisa
melupakan sejarah hitam itu. Saya tetap berkabung, sambil berharap,
barangkali ada yang "menyesali" peristiwa itu, meminta maaf, dan
berseru, "Mari jadikan pelajaran pahit bangsa ini."
(Dari Koran Tempo 30 September 2012)

Minggu,23 September 2012 @ 08:05


Para Kesatria
Pandita Mpu Jaya Prema
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta berakhir dengan melahirkan para kesatria.
Ini memberikan harapan bahwa Indonesia ke depan bisa lebih baik jika
dijadikan barometer dan pelajaran berharga. Tak ada kerusuhan dan
mudah-mudahan tak ada saling gugat, karena para kesatria sudah berada
dalam posisinya yang benar.
Joko Widodo alias Jokowi nama populernya, kesatria yang lugu. Ia tak
meledak-ledak, bicaranya tidak begitu tinggi, apa adanya. Kalau orang
masih ingat Ali Sadikin memimpin Jakarta, suara Bang Ali menggelegar, ia
kesatria yang gagah, keras, tegas dan jika perlu kasar dengan
menempeleng orang, misalnya. Bang Ali menghalalkan judi untuk
pembangunan, dan Jakarta pun berbenah cepat. Zaman itu Jakarta
memerlukan kesatria seperti Ali Sadikin, dan kita tahu bahwa Bang Ali
adalah gubernur yang nyaris jadi legenda.
Dibandingkan Ali Sadikin, Jokowi sama sekali beda. Kesatria Solo ini
jangankan bicara meledak-ledak, mengucapkan pernyataan saja seperti
tak lancar berbahasa Indonesia. Bagaimana mungkin Jokowi akan
menempeleng warga Jakarta yang membandel, bahkan Satuan Polisi
Pamong Praja saja akan dilucuti pentungannya. Tapi ia berjanji bertindak
tegas menertibkan warga Jakarta, bukan dengan tamparan atau
pentungan, tetapi dengan hati, kejujuran, dan penampilan apa adanya.

Barangkali saja gaya kesatria seperti ini akan mengubah wujud Jakarta,
ibu kota akan jadi kemayu dan tidak grasa-grusu seperti sekarang.
Fauzi Bowo alias Foke nama populernya, ternyata pula seorang kesatria
yang bijak, begitu pemungutan suara berakhir. Pada saat orang-orang
sekelilingnya masih berperan sebagai bhuto cakil dan membuat
pernyataan seperti: ah ini kan hasil quick count, hasil KPU bisa beda
atau belum ada yang menang dan kalah, tunggu keputusan resmi KPU,
Foke sudah memberi ucapan selamat kepada Jokowi. Hanya seorang
kesatria sejati yang bersedia mengaku kalah kepada kesatria yang
kebetulan saat itu unggul. Jagat kesatria adalah pertarungan kehormatan
yang melibatkan seluruh rakyat. Ucapan selamat Foke kepada Jokowi,
bukan saja menentramkan rakyatnya, tetapi yang lebih penting adalah
menyatukan kembali perbedaan yang telah muncul selama pertarungan.
Masyarakat jadi terdidik dan makin cerdas. Foke akan dikenang sebagai
tokoh berjiwa kesatria yang melindungi warganya.
Sejatinya masyarakat Jakarta itu memang warga yang cerdas lagi-lagi
contoh yang menggembirakan jika ditularkan ke daerah lain, untuk
Indonesia yang lebih baik. Gempuran bertubi-tubi ditujukan kepada
Jokowi, dari yang seperti ada benarnya lalu yang benar-benar ngawur
sampai pada yang benar-benar tidak benar. Di dunia maya nyaris setiap
detik bermunculan dosa-dosa Jokowi yang diumbar oleh akun anonim
boleh disebut akunnya pada bhuto. Ternyata ini bumerang, satu
kejelekan Jokowi diumbar, ribuan simpati bertambah.
Pelajaran penting lain, tidak lakunya isu SARA, terutama dibawa-bawanya
masalah agama dan etnis untuk mencari pemimpin yang warganya
majemuk. Jakarta mencari gubernur untuk mengurusi masalah
kemacetan, banjir, ketimpangan sosial, bukan untuk memimpin ritual
keagamaan, jadi apa perlunya seiman atau tidak?
Pemilihan gubernur Jakarta ini pasti akan menginspirasi Pemilu Presiden
2014. Isu harus dikemas dengan baik, fitnah akan menjadi bumerang,
figur lebih penting dari dukungan partai. Masalahnya, adakah kesatria
muda yang dimunculkan oleh partai hanya partai yang bisa
mencalonkan -- karena yang digadang saat ini jauh dari kesatria sejati,
dan itu pun sudah sepuh pula.
(Dari Koran Tempo Minggu 23 September 2012)

Minggu,16 September 2012 @ 08:02


Identitas
Pandita Mpu Jaya Prema

CDulu identitas itu hanya berupa kartu. Yang harus dimiliki oleh orang
dewasa tentu saja identitas kependudukan yang disebut Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Di situ tercantum nama, jenis kelamin, tanggal lahir,
alamat, status perkawinan, golongan darah, agama, foto diri dan tanda
tangan. Semua ini penting, bahkan supaya identitas itu tidak mudah
digandakan, mulai muncul kode NIK nomor induk kependudukan.
KTP tidak satu-satunya identitas. Ada Pasfor, Surat Izin Mengemudi, kartu
kredit, kartu asuransi, kartu pers, kartu anggota partai dan banyak lagi
kalau mau disebut. Identitas yang dimasukkan ke kartu itu disesuaikan
dengan kebutuhan. Kartu kredit tentu tak ada golongan darah. Kolom
agama? Hanya ada di KTP dan itu pun khas Indonesia. KTP di negeri
seberang,konon yang ada kolomagamanya bisa dihitung dengan jari.
Untuk apa kolom agama itu? Jika ada orang terkapar di jalanan dan
membutuhkan bantuan, apakah dilihat dulu KTP-nya, agamanya apa? Jika
Islam dibawa ke RS Islam, jika Kristen dibawa ke RS Kristen, jika Hindu
cukup ke Puskesmas tak ada rumah sakit Hindu di Indonesia. Ternyata
tidak begitu.
Seorang pejabat di Kementrian Dalam Negeri menyebutkan, kolom agama
di KTP itu penting untuk pendataan berapa jumlah pemeluk agama di
Indonesia. Urusan pribadi dengan Tuhan ini harus diketahui oleh manusia,
karena orang-orang beragama itu mendapat pembinaan di Kementrian
Agama. Semua agama yang terdaftar punya Bimas bimbingan
masyarakat. Jadi, umat beragama wajib dibimbing oleh pemerintah.
Kalau KTP tak diisikolom agama, bagaimana menentukan pendirian rumah
ibadah, kan harus berdasarkan jumlah pemeluk agama? Itu kata Pak
Pejabat tadi. Oya, benar, pendirian rumah ibadah harus mematuhi jumlah
pemeluk agama di wilayah tersebut dan itu dibuktikan lewat KTP. Ini
berlaku di Indonesia minus Bali, karena di pulau dewata ini masjid, gereja
dan vihara sedang giat dibangun di setiap kota kecamatan, tak peduli
pemeluk agama tersebut hanya sepuluh atau dua puluh orang. Ya,kalau
tak ada rumah ibadah, kasihan mereka menempuh jarak 30-an km untuk
bersembahyang.Semakin banyak rumah Tuhan tentu semakin damai.
Tapi perlukah pula identitas agama terus-menerus ditonjolkan dalam soalsoal yang remeh? Misalnya, di Bali sekarang ini mendadak
bertebaranwarung muslim. Di setiap pelosok dari kota sampai ke desa
ada label warung muslim itu. Maksudnya memberi informasi yang benar
kepada pelanggannya bahwa di warung itu tidak menjual makanan
haram, seperti babi. Tadinya, identitas yang digunakan adalah halal,
rupanya kurang jelas dipahami pelanggan. Bahkan sebelum tulisan halal
yang mencolok, identitasnya cukup warung Madura, pecel lele
Banyuwangi, soto Lamongan. Identitas itu menghilang atau mengecil,
yang mencolok kini warung muslim. Tak ada warung Hindu, misalnya.

Identitas dengan idiom keagamaan terus bermunculan. Lambang Palang


Merah Indonesia mau diganti oleh DPR karena menggantinya lewat
undang-undang yang hanya bisa dibuat DPR. Tadinya saya pikir karena
lambang itu terlalu sederhana, kurang modis, sehingga perlu study
banding ke Denmark. Ternyata, penggantian itu karena palang merah
hampir mirip dengan salib, dan itu identitas agama tertentu yang
minoritas. Lalu ada pendapat, jika identitasnya harus idiom agama,
pakailah milik mayoritas. Maka calon penggantinya adalah bulan sabit.
Ya,Tuhan, semoga munculnya identitaskeagamaan untuk hal-hal yang tak
ada urusan dengan keyakinan ini, tak menjadi masalah ke depan, pada
saat toleransi mulai surut.

Senin,03 September 2012 @ 13:17


Pidato danTidur
Pandita Mpu Jaya Prema
Jika ada orang yang bisa mendengarkan pidato atau mendengarkan orang
ngobrol padahal dia tidur, itu orang yang luar biasa. Apalagi sudah
mendengkur, tetap mendengar pula. Adakah orang yang diberi
kemampuan seperti itu?
Ada, tapi saya tak menemukan lebih dari satu. Dia adalah Presiden
Indonesia yang keempat di republik yang berbudaya ini: Abdurrahman
Wahid. Dengan beribu-ribu maaf--nuwun sewu--saya harus menyebutkan
junjungan saya yang sudah lama berada di sisi Tuhan ini. Saya akrab
dengan beliau, tentu saja ketika beliau belum menjadi Presiden. Maklum,
pada 1980-an, saat beliau menulis kolom untuk Majalah Tempo, saya yang
menyediakan mesin ketik dan kertas.
Suatu ketika--ini sudah tahun 1990-an--beliau ikut di mobil saya bersama
Wahyu Muryadi dalam perjalanan ke Ciganjur. Mulanya kami asyik ngobrol
bertiga. Tiba-tiba Gus Dur tidur dan mendengkur, saya dan Wahyu
menghentikan obrolan. Junjungan kita capek, biar istirahat, kita tutup
diskusi, kata Wahyu. Eh, tiba-tiba Gus Dur berhenti mendengkur,
Sampean ngomong saja terus, nanti saya jawab. Kami terbahak, dan
Gus Dur mengaku mendengar apa yang kami obrolkan.
Di Bali, jika ada pesantian (menembangkan dan mengupas sastra kuno
seperti Kakawin Arjuna Wiwaha), banyak orang tampak tidur, tapi tak
sampai mendengkur. Ini pertanda mereka menghayati seni tembang atau
petuah dalam sastra itu, bukan mengantuk. Konsentrasi dan penghayatan
mereka yang mantap membuat kepala mereka merunduk dan mata

setengah pejam.
Dalam tradisi spiritual, hubungan antara guru dan murid tak bisa bertatap
frontal. Jika guru memberi petuah yang bisa saja sejenis pidato, sisya
(murid) mendengarkan dengan tekun dan kepala merunduk. Ya, seperti
orang mengantuk atau setengah tidur. Pantang bagi murid untuk menatap
guru pada saat seperti itu, dikira memelototi guru. Bahkan, dalam
dialog keseharian pun, murid hanya menatap wajah guru saat murid
berbicara.
Seorang guru spiritual--mungkin patut dicontoh oleh pemimpin nonspiritual--jika dalam memberi wejangan, baik yang terbatas maupun
berpidato di depan umum (istilahnya memberi dharma wacana), melihat
ada peserta yang mengantuk apalagi tidur, dia tak akan menegur. Ia
melakukan manuver intonasi, misalnya, suaranya tiba-tiba menggelegar
bak memprovokasi atau sedih seperti menangis, tentu tergantung konteks
wejangan. Atau materi wejangan dibelokkan ke hal-hal yang humor,
sehingga orang tertawa, yang tidur pun bangun ikut terbahak. Jika semua
manuver itu tak mempan membunuh kantuk hadirin, ya, pidatonya tak
bermutu. Mungkin pidato itu umum saja, misalnya, Saya prihatin dengan
kasus ini, saya sudah perintahkan. disertai gerak tangan ke samping,
ke depan, dan sebagainya. Guru tahu diri dan wejangan segera diakhiri.
Berpidato di depan anak-anak jauh lebih sulit. Anak mengantuk dan tidur
justru lebih memudahkan berpidato. Yang sering terjadi, anak itu
bercanda, mengobrol dengan temannya, saling melempar barang kecil,
seperti permen dan bola kertas. Tegurlah anak-anak itu dengan teknik
penyampaian pidato, entah menyelipkan cerita, lagu, atau celetukan khas
anak-anak. Menegur anak yang tidur bukan saja tak dianjurkan, tapi justru
harus dicari tahu kenapa dia capek sampai tertidur. Mungkin belum
sarapan atau menunggu acara yang molor.
Jadi, jika lain kali Anda sedang berpidato dan ada hadirin yang
mengantuk, koreksi dulu cara berpidato Anda. Atau orang yang (kita kira)
mengantuk itu ternyata menyimak penuh khidmat pidato Anda, dengan
budaya dan tradisi lokalnya. Kenapa harus ditegur?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 September 2012)

Minggu,28 Oktober 2012 @ 04:56


Sumpah
Saya bersumpah, tidak akan makan buah-buah impor untuk membantu

petani memasarkan hasil kebunnya. Saya bersumpah tidak akan


melakukan korupsi agar pemerintah bisa lebih banyak mengucurkan uang
untuk kesejahteraan rakyat. Saya bersumpah untuk menjunjung tinggi
persatuan. Saya bersumpah...
Saya mendengar suara itu sayup-sayup di radio. Karena mendengar
selintas sambil berbaring dan tidak fokus, saya tidak tahu ini acara apa.
Dan sumpah pun semakin banyak. Tapi, karena ada suara cekikikan di
sela sumpah, saya kira ini hanya bercanda. Radio saya matikan.
Dalam senyap, saya merenung, sumpah itu isinya baik. Hanya,
mengucapkannya dengan main-main. Apakah ini menyindir seseorang?
Saya tak tahu. Yang jelas, saya termasuk orang yang prihatin dengan
membanjirnya buah impor ke Tanah Air yang subur makmur ini. Apel
malang, jeruk bali, duku palembang, dan durian parung sudah tersisih di
pasar-pasar, apakah itu pasar modern atau pasar tradisional. Soal korupsi,
waduh, ini aneh bin ajaib. Orang berteriak antikorupsi tetapi membela
koruptor. Menjunjung persatuan bangsa? Antar-fakultas di satu kampus
saja bisa tawuran, satu agama beda ormas bisa saling merusak tempat
ibadah, bagaimana bicara persatuan?
Masalahnya, mengatasi itu haruskah pakai sumpah? Kalau sumpah masih
ditakuti, tak ada pejabat negara yang korupsi. Semuanya bersumpah saat
dilantik. Cuma, sumpah itu seremonial belaka, tak meresap ke dalam hati.
Sumpah sudah menjadi serapah--tak ada nilai religiusnya. Tak ada orang
tergetar mendengarkannya.
Padahal, hari ini, delapan puluh empat tahun yang lalu, sebuah sumpah
diucapkan para pemuda di Jakarta, gemanya masih hidup. Sumpah itu ikut
mengantarkan berdirinya Republik. Di mana saktinya? Sumpah itu
dilahirkan oleh orang-orang yang ikhlas, pemuda yang tulus, mereka yang
menatap masa depan yang jauh dengan membuang sekat perbedaan
kelompok, suku, maupun agama. Bukan sejenis ikrar atau slogan tokohtokoh masa kini, yang hanya berpikir pendek merebut jabatan dan
kekuasaan.
"Sumpah Pemuda", demikian pernyataan pada 28 Oktober 1928 itu
disebut, isinya ternyata tak mencantumkan kata sumpah, seperti lazim
orang bersumpah saat ini, "Saya bersumpah bla-bla-bla." Isi
pernyataan akhir Kongres Pemuda yang dipimpin Soegondo Djojopoespito
itu hanya tiga masalah: dua hal yang sifatnya "mengakui" dan satu hal
"menjunjung". Dua yang "diakui" itu adalah "mengaku bertumpah darah
yang satu, tanah air Indonesia" dan "mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia". Adapun yang "dijunjung" adalah "menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Sederhana sekali, tak memakai kata-kata
"kami putra dan putri Indonesia, bersumpah."
Ada pendapat, para pemuda dari berbagai etnis, suku, dan agama bisa

berkumpul dan melahirkan ikrar pada saat itu karena ada "musuh
bersama", lalu muncul "semangat yang sama". Musuh itu penjajah,
semangat itu mendirikan negara bangsa. Bisakah kita saat ini menjadikan
koruptor sebagai "musuh bersama" dan pemerintah yang bersih sebagai
"cita-cita yang sama"? Ini yang sulit. Banyak dari kita yang ikut kaya dari
mengurusi koruptor, dan kita pun punya "semangat" yang berbeda-beda.
Agaknya, kita perlu menyelenggarakan "kongres pemuda" lagi, seperti
pada 1928. Pemuda Batak, pemuda Bali, pemuda Bugis, pemuda Madura,
pemuda keturunan Cina dan Arab, semua pemuda tanpa kecuali, berikrar,
"Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia." Minimal, kita
apresiasi apa yang dilakukan di kampus UGM hari ini, semangat Sumpah
Pemuda itu "dihidupkan" kembali.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 28 Oktober 2012)

Minggu,14 Oktober 2012 @ 08:17


Gaji Polisi
Pandita Mpu Jaya Prema
Perseteruan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kepolisian
sedikit demi sedikit membuka rahasia dapur, apa sebenarnya yang ada di
balik gemuruh itu. Salah satunya adalah pernyataan Wakil Kepala
Kepolisian Nanan Sukarna. Jenderal polisi bintang tiga ini secara terangterangan menyebutkan gaji polisi itu tidak cukup untuk menghidupi
keluarga sehari-hari.
"Siapa yang bisa hidup hanya dari gaji? Tidak perlu munafik, termasuk
saya," kata sang jenderal saat Seminar Nasional Komisi Kejaksaan di Hotel
Atlet Century, Jakarta, Kamis pekan lalu. Karena gaji polisi kecil, maka (1)
Polisi perlu kerja sampingan dan (2) Polisi sulit memberantas korupsi.
Polisi punya pekerjaan sambilan sudah lama saya tahu. Bahwa hal ini
dikaitkan dengan kesulitannya memberantas korupsi, itu membuat kaget.
Saya salut karena ada polisi yang tidak munafik. Jika keterusterangan itu
diungkap sejak dulu, tidak ada gunanya polisi berkukuh memeriksa kasus
simulator pengemudi. Serahkan saja kepada KPK, yang gajinya lebih besar
dan tak perlu kerja sambilan. Jika pernyataan ini dilontarkan jauh-jauh
hari, masyarakat pun tidak kecewa jika kasus rekening gendut di
kepolisian tidak diusut. Bukankah tidak mampu? Jangan-jangan itu hasil
kerja sambilan.
Seperti apa, ya, kerja sambilan polisi? Apakah seorang polisi berpangkat
brigadir satu pulang dari dinas lalu pergi ke pasar menjadi juru angkut
barang? Rasanya tidak. Pekerjaan sampingannya lain, misalnya

mendatangi tempat sabung ayam, lalu memanggil panitia, lalu berbisik,


"Saya bisa membubarkan ini jika mau", lalu panitia mengambil dompet
dan mengeluarkan sejumlah uang, lalu polisi pergi.
Jika contohnya itu, betapa tebal kalau diurai semua. Di setiap jenjang
kepangkatan dan di setiap bidang tugas, pasti ada pekerjaan sampingan.
Antara brigadir dan komisaris pasti berbeda kerja sambilannya, lalu
bayangkan pula apa pekerjaan sampingan seorang jenderal. Gaji jenderal
polisi tak ada yang cukup untuk hidup sekeluarga, menurut Jenderal
Nanan Sukarna. Lalu, kenapa jenderal polisi punya rumah yang bagus,
punya mobil banyak, dan tabungan miliaran rupiah? Saya pernah
"menyelidik", di kabupaten yang pembangunan kompleks permukimannya
gencar, ada saja rumah yang dimiliki kepala kepolisian resor. Kalau
gajinya tak cukup, kok bisa membeli rumah?
Saya pun pernah membanding-bandingkan penghasilan dengan teman
seangkatan di SMP. Teman itu masuk Akabri Bag. Kepolisian (sekarang
Akademi Kepolisian). Lulus dari sana bekerja berpindah-pindah, beberapa
kali menjadi Kepala Polres, lalu Wakil Kepala Polda, dan pensiun
berbintang satu. Gaji dia selalu di bawah gaji saya sebagai wartawan.
Tapi, ketika sama-sama pensiun, saya kok "begitu miskin" dibanding dia?
Padahal pekerjaan sampingan saya ada: menulis buku. Pekerjaan
sampingan dia tak pernah ketahuan.
Saya menduga "pekerjaan sampingan" (sekarang pakai tanda petik)
seperti yang dikatakan Jenderal Nanan Sukarna ada kaitan dengan
jabatan. Semakin tinggi pangkat dan jabatan, penghasilan dari "pekerjaan
sampingan" itu pasti nilainya membesar. Nah, kalau dikaitkan dengan
kesulitan polisi memberantas korupsi, apakah keterkaitan itu disebabkan
oleh adanya "pekerjaan sampingan"? Atau, ah yang ini bukan menuduh,
hanya pertanyaan nakal, "pekerjaan sampingan" itu ada unsur
korupsinya?
Kesimpulan saya: pemerintah perlu menaikkan gaji polisi, sehingga polisi,
apa pun pangkat dan jabatannya, tak mencari "pekerjaan sampingan".
Selama polisi mencari "pekerjaan sampingan", perkuat KPK, karena polisi
sulit memberantas korupsi.
(Dari Koran Tempo Minggu 14 Oktober 2012)

Minggu,07 Oktober 2012 @ 08:13


Vonis Koruptor
Pandita Mpu Jaya Prema
Setujukah koruptor dihukum mati? Tidak, jawab saya tegas. Ini yang

membuat teman-teman saya heran. Mereka sampai menuduh saya


membela koruptor. Mereka menyebut koruptor itu secara tak langsung
membuat rakyat melarat. Contoh besar sampai kecil disebutkan. Jalanan
ke desa-desa cepat rusak karena volume aspal dikurangi, lantaran
pemborong menyisihkan anggaran untuk menyuap pejabat. Kalau
perbaikan jalan yang anggarannya cuma Rp 2 miliar saja dikorup,
bagaimana dengan proyek triliunan rupiah? "Koruptor harus dihukum
berat," ujar teman saya.
Itu saya setuju. Bahkan setuju ada undang-undang yang mengatur
hukuman minimal bagi koruptor. Misalnya, koruptor yang terbukti
merugikan negara di atas Rp 100 juta dihukum minimum 10 tahun.
Maksimum adalah hukuman terberat yang bukan mati, seumur hidup atau
20 tahun penjara.
Kalau seseorang melarikan uang arisan, bolehlah hukumannya di bawah
koruptor, karena ini bukan uang dari rakyat. Ini uang dari sebuah
kelompok yang bisa diartikan sebagai kesalahan bersama kelompok itu,
salah memilih pemimpin arisan. Korupsi itu kejahatan yang
menyengsarakan orang banyak.
Gayus, yang merampok uang dari hasil pajak, semestinya dihukum
seumur hidup. Uang yang dijarah itu bukan saja besar dari sisi nilai, tapi
juga membuat kepercayaan orang membayar pajak berkurang. Bayar
pajak itu berat, dari membuat laporan bulanan, antre di Kantor Pajak,
utak-atik dokumen saat diperiksa, belum lagi jalanan yang macet. Berat,
tapi wajib dilakukan warga yang sadar bahwa negara ini perlu uang untuk
membangun, membayar pegawai, dan sejenisnya. Eh, tiba-tiba itu
dirampok oleh Gayus dan teman-temannya, betapa mirisnya pembayar
pajak. Dalam sisi ini, "ancaman" Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang
hendak boikot pajak jadi masuk akal.
Selama ini koruptor dihukum ringan. Hanya 2 atau 3 tahun, padahal
korupsinya miliaran rupiah. Dipotong remisi hari raya agama, remisi 17
Agustus, masa sosialisasi, bebas bersyarat, berapa bulankah mereka
mendekam di penjara? Tak banyak. Setelah itu, masih bisa mendongak ke
atas seperti tak merasa bersalah, masih bisa memimpin PSSI, misalnya.
Bagaimana hukuman ini bisa dijadikan efek jera?
Selain dihukum berat, koruptor itu harus dipermalukan. Vonis 10 tahun
penjara plus kerja sosial menyapu jalanan, misalnya. Tentu pula
sebelumnya harus "dimiskinkan", semua hartanya disita. Bahwa
keluarganya ikut menderita, itu sebenarnya bukan penderitaan, itu
cobaan dan dijadikan pelajaran hidup. Masih banyak rakyat yang
menderita.
Cara mempermalukan koruptor sekarang ini masih sangat manusiawi--tak
menimbulkan efek malu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
membuatkan jaket yang berisi tulisan "Tahanan KPK". Karena tulisan itu di

belakang, tersangka koruptor tak baca, lagi pula baju yang bersih itu
malah jadi modis di tubuh Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Wa Ode,
dan lainnya.
"Kenapa tak sekalian hukum mati saja?" teman saya ngotot. Saya jawab,
mati itu bukan hukuman. Bahkan orang mati dibebaskan dari tuntutan apa
pun. Mati itu hak prerogatif Tuhan. Ada ajaran agama menyebutkan bahwa
mati itu menyenangkan karena bebas dari hukuman duniawi. Karena itu,
mati sering disebut "dipanggil Tuhan". Betapa enaknya dipanggil Tuhan,
jauh lebih enak daripada dipanggil KPK. Jadi jelas, saya tak setuju
hukuman mati bukan soal koruptor, melainkan soal mengambil alih
wewenang Tuhan itu.
"Tapi negara kita mencantumkan hukuman mati," kata teman saya. Saya
mengangguk, "Ini kan pendapat pribadi, aturan negara, ya saya juga
tunduk, yang jelas saya bukan pembela koruptor."
(Diambil dari Koran Tempo 7 Oktober 2012)

Selasa,13 November 2012 @ 06:05


Kata-Kata
Pandita Mpu Jaya Prema
Barangkali kita terlalu banyak mengeluarkan kata-kata, tapi terlalu sedikit
berbuat. Barangkali kita terlalu nyerocos dengan ide, tapi tak pernah
mewujudkannya. Barangkali kita terlalu banyak mengeluh, menyalahkan
orang lain, tapi tak pernah menuding diri sendiri, apakah kita sudah benar
dan sudah melakukan kewajiban kita.
Mungkin penyebabnya kita dimanja oleh tekonologi penyebar kata-kata,
apakah itu bernama media sosial seperti Tiwtter, Face Book dan berbagai
jejaring sosial lewat internet, dan juga media-media online, baik yang
resmi maupun yang tak jelas siapa pemiliknya. Banyak blog yang tak
mencantumkan siapa yang me ngelola, dan isinya pun bermacam-macam,
ada yang positif ada yang negatif, termasuk yang mengolok-olok agama.
Semua ini tak bisa dibendung. Orang bisa membuat akun Twitter dengan
nama apa saja -- termasuk nama binatang yang lebih rendah dari
manusia -- dan setiap hari kerjanya mengolok-olok, mencampurkan
umpatan dengan fitnah. Kehebatannya, akun-akun anonim ini terus
menerus mengumbar kata-kata, pertanda bahwa yang mengelolanya
(admin) banyak. Kita tepatnya saya kalau Anda tak mau saya ajak
terlibat kadang-kadang percaya bahwa yang disampaikan itu betul,
kadang masih mempertanyakan, selebihnya, ya, jelas memprovokasi,

menghujat orang, memfitnah. Kalau sudah masuk dalam ranah ini,


sebenar-benarnya yang dikatakan akun itu, semuanya jadi bohong. Kita
punya pepatah: setitik nila merusak susu sebelanga. Artinya, meski pun
sebelanga yang ditulisnya benar, menjadi ternoda dan orang tak percaya
kebenaran itu lantaran nila yang setitik. Apalagi nilanya bertitik-titik.
Di luar dunia maya, kata-kata juga terlalu banyak berseliweran.
Ketegangan polisi dan KPK juga karena perang kata-kata. Perang
pernyataan tak sebanding dengan pekerjaan yang dilakukan. Kasus-kasus
besar yang ditangani KPK tak kunjung selesai karena disibukkan untuk
melayani perang kata-kata itu. Polisi pun tak terdengar lagi, korupsi
macam apa yang diberantasnya. Yang diketahui masyarakat polisi makin
gesit memburu terduga teroris.
Kini heboh terbaru adalah perang kata-kata antara Menteri BUMN dengan
lembaga DPR, dilanjutkan dengan meriah oleh perang antar-pengamat
hukum di berbagai media, yang paling utama di televisi.
Dahlan Iskan, Menteri BUMN, tahu betul bagaimana suatu obyek berita
bisa ranning(terus-menerus diberitakan) sepanjang hari, maklum dia
orang media. Maka dicicillah setoran nama anggota dewan yang
bermasalah ke DPR. Mula-mula disebut 10 nama, lalu muncul inisial ke
sepuluh nama itu, tapi bukan Kementrian BUMN yang membocorkan.
Kemudian sepuluh nama menjadi sekitar sepuluh, meski pun pada hari
pertama yang disetorkan 2 nama saja. Di hari ketiga disusul 6 nama. Tapi
efeknya, kata berhamburan, apakah ini pemerasan, percobaan
pemerasan, awal dari pemerasan. Itu saja sudah bisa dikembangkan
dengan ribuan kata-kata. Belum ada yang bekerja untuk memastikan
bahwa kata itu punya arti, dan nama-nama yang disebut itu apakah
berstatus pemeras atau calon pemeras atau terduga pemeras, semuanya
di awang-awang.
Bisa jadi kasus ini segera terlupakan. Karena yang dilaporkan Dahlan
hanya orang-orang yang nakal, sementara kerugian BUMN belum ada.
Harusnya yang dilaporkan adalah pemeras yang berhasil, tapi apa berani
direksi BUMN melaporkan hal itu, meskipun lewat Dahlan Iskan?
Akhirnya, ungkapan BUMN sebagai sapi perah hanya cerita sebatas
kata. Kasihan sapinya, karena pemerahnya tak dikenali, sementara energi
kita berhari-hari dihabiskan untuk itu.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 11 November 2012)

Sabtu,03 November 2012 @ 04:58

Gelar dan Musibah


Kisah duka datang dari Lampung. Dua desa di Kabupaten Lampung
Selatan yang bertetangga, Desa Agom yang penduduknya mayoritas asli
Lampung dan Desa Balinuraga yang penduduknya-seperti terlihat dari
nama desanya-mayoritas asli Bali, berseteru. Korban berjatuhan.
Ada duka, ada suka. Suka-duka itu berdampingan. Datang silih berganti,
seperti siang dan malam, seperti sakit dan sehat. Orang Bali
menyebutnya hukum rwabhineda.
Apa berita sukanya? Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianugerahi
gelar tinggi oleh Ratu Elizabeth II dari Kerajaan Inggris. Presiden naik
kereta yang ditarik kuda untuk menuju istana. Tentu saja wajah Presiden
berseri-seri. Maklum, gelar itu bernama "Knight Grand Cross in the Order
of the Bath". Tolong diterjemahkan sendiri, saya takut salah. Yang jelas,
tak ada urusan dengan mengorder kamar mandi. Gelar terhormat ini
sebelumnya sudah pernah diberikan kepada sejumlah pemimpin negara
lain, seperti Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan, Presiden Prancis
Jacques Chirac, dan Presiden Turki Abdullah Gull. Jadi, gengsinya luar
biasa.
Kita hidup di zaman modern, bukan zaman Majapahit. Pada era Majapahit,
seorang pemimpin, apakah itu raja atau sekadar demang di wilayah yang
kecil, menolak atau setidaknya menunda penerimaan gelar-gelar itu jika
rakyatnya tertimpa musibah. Raja atau demang akan menemui rakyatnya
yang terkena musibah lebih dulu, mengucapkan dukacita yang mendalam
kalau ada yang tewas. Raja merasa bangga jika kehormatan itu datang
dari rakyatnya, bukan dari raja yang lain-yang mungkin saja
menganugerahkan gelar dengan pamrih bisnis, misalnya jual-beli senjata,
eh, tembakau.
Pada era modern seperti saat ini, tentu Presiden SBY tak sudi menunda,
apalagi menampik pemberian gelar dari Inggris itu. Gelar dan rentetan
upacara sudah disiapkan sebelumnya, tak bisa ujug-ujug ditunda. Nanti,
negara kita dianggap tidak loyal mengabdi kepada Kerajaan Inggris Raya.
Jadi, protes yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis
Hidayah, bisa diabaikan. Anis berkata: "Apa bangganya kepala negara
diundang ke Kerajaan Inggris mendapat penghargaan dalam situasi
rakyatnya tidak dihargai negara lain." Ya, masalah TKI yang mau "diobral"
di Malaysia itu tentu merupakan kasus kecil jika konteksnya dilihat dari
pemberian gelar ini, mungkin ada pendapat demikian.
Untuk kasus Lampung yang menelan korban 12 orang (3 warga asli
Lampung dan 9 warga asli Bali, jadi jumlahnya 12 warga asli Indonesia)
tadinya saya kira kasus besar: minimal Bapak Presiden menyampaikan
ucapan dukacita. Rupanya, musibah itu juga "kasus kecil", tak ada
dukacita sampai 3 korban dikubur dan 9 korban dikremasi. Saya sangat

maklum, untuk mengucapkan dukacita atau belasungkawa, nada suara


dan wajah haruslah bernuansa sedih, dan ini pasti akan mengurangi
kesumringahan Pak SBY dalam menerima gelar. Yang penting kan Presiden
SBY, sebelum naik pesawat di Halim Perdanakusuma menuju Inggris,
sudah menyampaikan kata yang sangat tegas: prihatin.
Tipe pemimpin itu beragam. SBY sangat tegas dan formal: berjalan bak
menghitung langkah kaki, sebelum berpidato letak mike diperbaiki meski
sudah bagus posisinya, dan menegur orang yang tak mendengar
pidatonya. Obama lebih santai: berlari kecil naik ke pesawat dan di
podium melucu terlebih dulu sebelum berpidato ("pulang kampung nih
ye...." ketika berpidato di UI). Gus Dur lebih santai lagi: semuanya
dianggap enteng dan "begitu saja kok repot".
Agaknya, agar tensi kita terkontrol, lebih baik kita yang memahami
pemimpin dibanding pemimpin yang memahami kita. Dunia lagi jungkir
balik.
(Diambil dari Koran TempoMinggu 4 November 2012)

Senin,21 Mei 2012 @ 08:50


Ga Ga
Pandita Mpu Jaya Prema
Seorang Lady Gaga, penyanyi pop yang albumnya laku keras--tapi saya
tak punya--menggoyang negeri ini sebelum dia menggelar pentas yang
sebenarnya. Penyanyi yang konon gaya berpakaiannya begitu aneh dan
mengumbar aurat--tapi saya jarang lihat--itu menelanjangi berbagai orang
penting di negeri ini. Ribut di dunia nyata dan riuh di dunia maya. Menjadi
santapan stasiun televisi yang memang suka membesar-besarkan sesuatu
yang tidak besar.
Orang yang ingin mendapatkan atau mengaku sudah mendapat gelar
sebagai "penjaga moral bangsa" asyik berdebat tentang Lady Gaga,
seolah-olah penyanyi ini sudah hadir di Indonesia, negeri yang
mewariskan budaya adiluhung di dunia. Gaga pun dicap sebagai pemuja
setan, corong orang-orang Yahudi, penebar kemerosotan moral.
"Bagaimana nasib anak-cucu kita di kemudian hari kalau orang seperti
Lady Gaga itu dibiarkan datang merusak moral bangsa," kata seolah
ulama dari Forum Umat Islam. "Bencana akan datang ke negeri ini. Kita
sudah pernah mengalami tsunami, lain kali mungkin tsunama," begitu
lanjutannya, berupaya melucu di tengah wacananya soal moral.

Ulama lain dari Front Pembela Islam berkata: "Lady Gaga belum datang
saja sudah datang musibah, jatuhnya pesawat Sukhoi yang menimpa
banyak korban. Bagaimana kalau dia benar-benar datang?"
Saya terkesiap. Dada ini terasa makin sesak. Musibah Sukhoi membuat
saya ikut sedih, di antara korbannya ada teman saya. Juga karena
jatuhnya pesawat itu di Gunung Salak, gunung yang menyimpan banyak
hikayat masa lalu, dan di salah satu lerengnya umat Hindu membangun
pura, melengkapi candi peninggalan kerajaan Pajajaran. Apa iya Sukhoi
supercanggih itu jatuh sebagai "kutukan" akan datangnya seorang wanita
centil bernama pop Lady Gaga?
Lumayan ada suara lain, datang dari Ketua PBNU Said Aqil. Beliau berkata
(dan lalu menulis di akun Twitter-nya): "Meskipun datang sejuta Lady Gaga
maupun sejuta Irsyad Manji, keimanan warga NU tidak akan goyah dan
berkurang."
Ini lebih masuk akal, soal iman tak segampang itu dipengaruhi oleh Lady
Gaga, yang hanya seorang diri, belum sejuta. Sependapat, Kiai. Tetapi
kenapa suara yang beda ini tak mendapatkan panggung segemuruh
penghujat Gaga?
Masyarakat--yang normal--tidak semudah itu imannya runtuh hanya
karena menonton Lady Gaga selama dua jam atau lebih sedikit. Kalau
aksinya disebut erotis dan gayanya menjurus porno--muncul lagi kata
yang saya benci ini--bukankah pentas dangdut di kota-kota kecamatan di
seluruh pelosok negeri ini juga penuh dengan erotisme? Dangdutan di
kota-kota kecil itu adalah "pentas mini" dari Lady Gaga. Kenapa itu tak
diriuhkan? Bukankah melibatkan lebih banyak masyarakat, karena
karcisnya murah, bahkan orang bisa menonton gratis dengan menerobos
pagar? Penonton Lady Gaga itu lebih terseleksi karena mahalnya harga
tiket.
Maaf, saya bukan pengagum Lady Gaga. Kalau misalkan saya diberi tiket
gratis, belum tentu saya memilih Gaga jika di sekitar itu ada wayang atau
ketoprak. Saya orang kolot, kuno, selera kampungan. Yang hendak saya
bela dari heboh Lady Gaga ini adalah kepolisian tidak memberikan izin
pertunjukan hanya karena ada ormas yang mengancam akan
membubarkan pertunjukan itu dengan alasan iman dan moral--termasuk
membawa-bawa nama setan yang sampai saat ini belum pernah saya
temui. Saya cemas, kalau "tradisi" ini berlanjut dan polisi pasrah
bongkokan kepada ancaman seperti itu, apa yang akan kita tonton nanti-termasuk apa yang kita diskusikan--harus dimintakan persetujuan dulu
kepada ormas itu, sebelum minta izin ke kantor polisi. Ini harus dilawan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 20 Mei 2012)

Senin,21 Mei 2012 @ 08:48


\"Polisi Lain\"
Pandita Mpu Jaya Prema
Polisi itu ada banyak. Paling terkenal adalah polisi lalu lintas, lantaran
berkeliaran di jalan. Lalu ada polisi wanita, meskipun tak ada sebutan
polisi lelaki. Ada polisi air dan polisi udara, tapi tak ada polisi darat.
Adapun polisi pamong praja, ini bukan dalam struktur Kepolisian Negara.
Itu polisi yang resmi melindungi warga masyarakat. Ada polisi kiasan,
yang tak digaji: polisi tidur. Itu juga melindungi warga masyarakat, agar
pengendara motor dan mobil terhambat jalannya. Karena banyak anak
kecil di sana. Dan yang belakangan marak dengan aksi-aksinya adalah
"polisi lain". Saya sebut "polisi lain" karena tak memenuhi syarat
dimasukkan ke kategori polisi yang sudah disebut duluan.
Teman menganjurkan istilah "polisi moral" atau "polisi agama" karena
selalu mengatasnamakan moral dan ajaran agama. Saya tak setuju,
karena aksi mereka bertentangan dengan etika, sopan santun,
persaudaraan, yang jadi inti kemuliaan moral. Polisi agama? Tentu jauh
panggang dari api. Agama mengajarkan kedamaian, bukan kekerasan.
Lagi pula, bagaimana mungkin agama punya "polisi", karena ini urusan
yang sangat pribadi antara seseorang dan Tuhan, yang dipuja sesuai
dengan agamanya.
Saya tetap pakai "polisi lain". Sebutan polisi diberikan karena ulah
kelompok ini bisa membubarkan forum diskusi, mengobrak-abrik tempat
hiburan, berupaya menggagalkan sebuah konser, bahkan merusak tempat
ibadah dengan alasan rumah Tuhan itu dimiliki "kaum sesat". Jelas ini
melebihi tugas polisi negara. Polisi lalu lintas paling hanya berani
memberi tahu seseorang yang sesat di jalan umum, bukan "sesat" di jalan
memuja Tuhan.
Diskusi membedah buku Iman, Cinta dan Kebebasan yang menghadirkan
penulisnya, Irshad Mandji, dibubarkan di Komunitas Salihara, Pasar
Minggu, Jakarta Selatan. Yang membubarkan, massa Front Pembela Islam
(FPI), dan polisi akur-akur saja. Diskusi serupa juga dibubarkan oleh
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) tatkala berlangsung di Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta. Dalam kasus ini, FPI dan MMI saya
masukkan sebagai "polisi lain". Jelas?
Seperti anak kecil di pedesaan yang takut kepada polisi, kita takut pula
kepada "polisi lain" itu. Kalau Anda masih berani, kata "kita" akan saya
cabut. Namun saya kira kita ketakutan. Rektor Universitas Gadjah Mada
pun takut, sehingga ambil jalan aman, melarang diskusi yang
menampilkan Irshad Mandji itu. Amit-amit, bagaimana mungkin sesuatu
itu bisa meresahkan atau membahayakan moral kalau belum dipaparkan

dalam diskusi? Saya belum membaca buku Mandji. Dari kutipan beberapa
media, saya pun banyak tak sepaham dengan dia. Tapi apa hak saya
membungkam dia, wong dia saja tak pernah membungkam saya?
Tapi, nyatanya, ketakutan itu sudah meluas, bahkan merasuk ke pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti diumumkan, FPI bertekad
menggagalkan konser Lady Gaga yang akan digelar 3 Juni mendatang. FPI
mengancam, kalau konser itu tetap digelar, mereka tak menjamin
keamanan jika kerusuhan terjadi. Kalimat ini harus dibaca: merekalah
yang bikin rusuh, bagaimana perusuh membikin aman.
Pimpinan MUI lalu berhitung. Kerusuhan bisa sejak di bandara, di jalanjalan, atau di stadion tempat konser. Ketua MUI Bidang Seni dan Budaya,
Cholil Ridwan, lalu berkesimpulan pembatalan Lady Gaga akan
menguntungkan karena meniadakan pengeluaran negara akibat
kerusuhan. Inilah logika pemikiran takut.
Saya kira SBY pun takut kepada "polisi lain" itu. Karenanya, saya berani
bilang, prestasi SBY selama dua periode memerintah akan dinodai oleh
kasus ini. Memprihatinkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 Mei 2012)

Kamis,03 Mei 2012 @ 10:09


Mengawasi Parlemen
Pandita Mpu Jaya Prema
Salah satu tugas anggota Dewan Perwakilan Rakyat adalah dalam bidang
pengawasan. Bidang ini membuat mereka sangat asyik bekerja, sama
asyiknya dengan tugas di bidang anggaran--karena bisa mengolah
anggaran untuk mendapatkan komisi proyek. Tidak seperti bidang
legislasi, yang ditelantarkan.
Di sektor pengawasan, anggota Dewan bisa memposisikan diri sebagai
orang kuat, berbuat apa saja atas nama lembaga pengawasan. Mau
masuk ke bui sampai larut malam menemui tersangka korupsi, tak ada
yang melarang. Dalihnya, mengawasi penjara. Mau mengobrak-abrik
badan usaha milik negara, bisa pula. Kan direksi BUMN harus mendapat
persetujuan DPR. Jangankan direksi BUMN, pengangkatan kepala
kepolisian negara, duta besar, Deputi Senior Bank Indonesia, sampai
memilih anggota berbagai komisi, pun DPR berperan besar. Jangan mimpi
jadi anggota Komisi Penyiaran, misalnya, jika Anda tak disukai anggota
DPR.

Parlemen sekarang luar biasa kuat. Tentu saja ini barang ideal karena
demokrasi pada intinya adalah suara rakyat untuk kesejahteraan rakyat.
Hanya parlemen yang bisa mengatasnamakan rakyat. Cuma, yang jadi
masalah, antara ideal dan kenyataan jauh panggang dari api. Rakyat
sedang menderita karena berbagai bencana, anggota DPR terus
memperbaiki fasilitas ruang kerjanya. Rakyat ingin kemerosotan akhlak
diperangi, anggota DPR menebar video porno. Rakyat sedang bergulat
dengan kesulitan ekonomi, anggota DPR berfoya-foya ke luar negeri.
Penyakit ini sudah akut, tak mempan dikritik lewat media. Media
menggonggong, parlemen berlalu. Adakah cara lebih manjur mengawasi
lembaga pengawasan ini? Adik-adik kita yang tergabung dalam
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman memberi satu contoh untuk
mengawasi parlemen. Mereka mengorbankan waktu kuliahnya untuk
membuntuti dengan sembunyi anggota parlemen yang sedang melakukan
studi banding ke Jerman. Tim buser PPI Jerman lalu menemukan
anggota DPR bersama keluarganya pelesir ke Kaufhaus des Westens
(KaDeWe), pusat belanja termewah di Berlin Barat. Juga berbelanja ke
Lafayette, salah satu galeri ternama di Berlin.
Sesungguhnya, apa yang hendak dibandingkan oleh anggota DPR itu ke
Jerman? Acara yang disusunnya masuk akal. Agenda utamanya
berkunjung ke pabrik tank Leopard, maklum mereka anggota Komisi
Pertahanan. Padahal mereka belum tahu benar seluk-beluk pabrik Pindad
di Bandung atau PAL di Surabaya, yang juga memproduksi senjata.
Agenda kedua, menggelar acara ramah-tamah dengan staf KBRI. Ini harus
dimaklumi juga karena mereka membidangi luar negeri. Bahwa kunjungan
itu ada hasilnya, jangan terlalu percaya. Sama seperti kunjungan anggota
DPR ke Yunani untuk belajar soal etika, hasilnya adalah etika anggota
parlemen semakin amburadul.
Etika itu termasuk cara berpikir dan berperilaku. Ketika banyak orang
menyoroti kenapa anggota DPR yang melakukan studi banding ke luar
negeri mengajak keluarga, ada jawaban: Kenapa dipersoalkan? Pejabat
pemerintah juga biasa begitu. Jadi, kalau ditanya, kenapa korupsi?
Jawabannya: Lho, yang lain juga korupsi. Kenapa memperkosa
penumpang? Sopir angkot menjawab: Meniru teman, kok.
Kalau anggota parlemen sudah berpikir dan berperilaku seperti ini,
memang cara adik-adik kita di PPI Jerman patut dicontoh dan
dikembangkan. Mari kita awasi terus lembaga yang seharusnya
mengawasi pemerintah ini. Kita kuntit ke mana saja mereka pergi, apa
saja yang diperbuatnya. Tentu kemudian kita catat nama-nama mereka
untuk saatnya nanti kita pampang sebagai orang yang tak layak jadi
orang terhormat
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 April 2012)

Senin,19 Maret 2012 @ 15:45


Satgas Porno
Pandita Mpu Jaya Prema
Tiga menteri, Jero Wacik, Muhaimin Iskandar, dan Helmy Faishal Zaini,
berpose diapit gadis-gadis seksi yang mengenakan rok mini. Saya
menduga, foto ini ingin menunjukkan contoh betapa rok mini memang
tergolong porno di tengah-tengah para menteri yang berpakaian perlente.
Tapi kenapa tiga menteri itu jadi model? Jero Wacik, Menteri ESDM,
semestinya sedang sibuk menghitung berapa subsidi bahan bakar minyak
yang bisa diberikan kepada rakyat. Muhaimin pasti tak kalah sibuk
mengurusi aksi buruh yang minta upah minimum regional. Akan halnya
Helmy Faishal, terus terang saya tak tahu apa saja kesibukan beliau
sebagai Menteri Daerah Tertinggal--kementeriannya pun kadang saya lupa
masih ada atau tidak. Yang jelas, pasti ketiganya sibuk. Kok sempatnya
mengurusi rok mini?
Setelah saya pelototi teks di bawah gambar itu--jika saya dituduh
memelototi paha, itu pasti saya bantah--saya baru tahu, ketiga menteri ini
lagi berpose-ria dengan cewek-cewek caddy golf. Saya pun menghela
napas: astaga!
"Menteri kurang kerjaan," kata saya, agak keras. Saya buka-buka koran
lagi, cari berita yang lebih bermanfaat. Presiden SBY membentuk Gugus
Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi. Saya berpikir sejenak,
Undang-Undang Pornografi itu diundangkan pada 26 November 2008, tak
terdengar apakah selama ini pernah dilaksanakan atau tidak, kok tiba-tiba
ada gugus tugas yang mirip satuan tugas alias satgas? "Presiden kurang
kerjaan," kata saya, tapi dalam hati, supaya tak ada yang mendengar-harap dimaklumi, saya harus sopan kepada Presiden.
Negeri ini banyak masalah. Korupsi semakin subur, pembela koruptor
semakin terang-benderang, demo menolak kenaikan harga bahan bakar
minyak merebak di mana-mana, buruh unjuk rasa memblokade jalan.
Belum lagi angin ribut dan tanah longsor di berbagai daerah. Kok yang
dibentuk Satgas Pencegahan Pornografi?
Apakah ada hubungannya dengan tiga menteri bersama caddy pemakai
rok mini itu? Apakah kebetulan saja beritanya hampir bersamaan? Di
negeri ini semua bisa dipelintir bolak-balik, sehingga banyak rumor politik
yang bisa dimainkan. Satgas Pornografi ini hanya pengalihan isu, begitu
sebuah teori. Isu yang dialihkan, misalnya, penolakan kenaikan harga
Premium, atau isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi oleh wakil
rakyat, atau isu kemelut Partai Demokrat. Kalau masih kurang, ditambah

sendiri isunya.
Saya siap dijebak dalam pengalihan isu ini dengan bersedia
mengomentari Satgas Pornografi. Komentar saya, selain satgas ini
mengada-ada, dia membangunkan macan tidur, padahal UU Pornografi itu
juga bukan "macan". Reaksi yang terjadi bukan hanya satgasnya yang
ditolak, UU Pornografi yang sudah sah itu pun hendak diuji lagi ke
Mahkamah Konstitusi. Sampai saat ini tak tuntas dialog yang terjadi
empat tahun lalu, apa kriteria porno itu. Bisakah kepornoan diseragamkan
untuk berbagai budaya, atau bisakah otak ngeres di-zona-tunggal-kan?
Telanjang di depan umum dinyatakan porno, itu oke. Lukisan telanjang di
depan umum, belum tentu, bergantung pada lukisan itu menyimbolkan
apa. Simbol penghayatan Tuhan dalam keyakinan Hindu yang disebut
Acintya, apakah juga porno karena telanjang?
Kata "tetek" dan "puting" jorok diucapkan di depan umum, apalagi
didengar anak-anak. Apakah perlu kata "tetek-bengek" dan "puting
beliung" dihapus dari kamus supaya negeri ini tidak porno?
Saya khawatir Satgas Porno hanya mengurusi hal-hal kecil, sementara
masalah bangsa begitu besar. Presiden dan menterinya harus bekerja
keras mengurusi hal-hal yang besar itu, rok mini biarlah diurus pedagang
Tanah Abang.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 18 Maret 2012)

Selasa,13 Maret 2012 @ 16:51


Citra Parlemen
Pandita Mpu Jaya Prema
Menaikkan citra parlemen tak perlu dengan melarang pemakaian rok mini.
Pemimpin DPR, yang kebetulan semuanya lelaki, pasti tak akan memakai
rok mini tatkala memimpin sidang. Entah kalau sedang berada di kamar
kerja, siapa tahu untuk menghindari kejenuhan, mereka coba-coba
memakai rok mini.
Tapi saya setuju rok mini tak dipakai para wakil rakyat yang sedang
berada di gedung parlemen. Bukannya saya berotak jorok dan mudah
terangsang melihat paha wanita, tapi gedung parlemen itu bagi saya
adalah tempat khusus untuk memperjuangkan nasib rakyat dan
meninggikan martabat bangsa. Saya sering menyebut tempat khusus itu
semacam rumah ibadah, di mana ada etika yang harus dipatuhi dalam

berbusana, meski tak ada imbauan atau aturan tertulis. Dulu, Bob Sadino
pernah ditolak menemui anggota DPR karena dia hanya memakai celana
pendek butut, meski dia berkukuh itu adalah "pakaian dinas"-nya. Ada
norma dan kesantunan umum bagaimana kita bertingkah laku.
Etika dan kesantunan ini seharusnya melekat pada seseorang "yang
terhormat" seperti anggota DPR. Ini juga sikap yang mencerminkan
kedewasaan seseorang yang dipilih sebagai wakil rakyat. Karena itu sudah
melekat, imbauan tak diperlukan, seperti imbauan agar anggota DPR
selalu gosok gigi setiap hari. Lebih aneh lagi kalau larangan itu
diberlakukan, karena selama ini ada wakil rakyat yang memakai rok mini
saat bersidang. Sepertinya dia tidak bisa menempatkan diri di mana
bertugas. Dia lupa menanggalkan predikatnya sebagai artis. Dia terus
bersolek karena masih menganggap dirinya selebritas dengan modal
kecantikan. Dia lupa bahwa di gedung rakyat itu soal cantik adalah nomor
sekian, yang utama adalah kecerdasan dalam memperjuangkan nasib
rakyat.
Jika mau meningkatkan citra parlemen, kesantunan dan kesederhanaan
harus diletakkan paling atas. Ini warisan leluhur yang kini berantakan.
Santun, bukan hanya tecermin dalam busana, tapi dalam perilaku dan
tata bicara. Lihat sekarang anggota DPR dalam rapat dengar pendapat
dengan pemerintah. Gaya mereka otoriter, maunya menginterogasi
melulu, berlagak paling tahu, dan menunjukkan dirinya lebih berkuasa.
Bahasa tubuh mereka, dari gerak tangan sampai tatapan mata, jauh dari
santun karena mereka adalah tuan rumah. Mereka lupa membuang
kebiasaan sebagai pengacara, jaksa, atau polisi.
Masalah kesederhanaan, banyak contoh yang buruk. Baju para wakil
rakyat yang mahal-mahal itu, memang bisa dimaklumi, karena mereka
bergaji besar dan mampu membeli. Baju batik yang dikenakan anggota
DPR tentu tak sekelas batik di Pasar Klewer. Namun, untuk apa ke gedung
parlemen mengendarai mobil mewah? Untuk apa pula memakai jam
tangan yang harganya ratusan juta? Jam tangan mahal itu, misalnya,
kalau ditaruh di lemari rumah, tak akan punya pengaruh dalam hal
kinerja. Setiap anggota DPR pasti punya telepon seluler, dan semurahmurahnya ponsel pasti ada penunjuk waktu. Di mobil, di lobi, dan di setiap
ruangan tergantung pula jam dinding. Jam tangan tak diperlukan kalau
kita membiasakan diri melirik jam di dinding atau mengambil ponsel di
saku. Ini semua aksesori, yang tak berhubungan dengan kecerdasan otak.
Selama anggota parlemen masih memuja kemewahan, memuja
penampilan, meninggikan ego, menggemari aksesori, selama itu citra
parlemen tak akan membaik. Apalagi ditambah dengan korupsi lantaran
memuja kemewahan. Jika ingin citra naik, berubahlah. Perubahan itu pun
harus dilakukan diam-diam dengan tulus, bukan dengan gembar-gembor
mengundang wartawan seperti melarang rok mini itu.

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 11 Maret 2012)

Kamis,08 Maret 2012 @ 04:23


Orang Miskin
Pandita Mpu Jaya Prema
Aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak sudah
terjadi di berbagai kota. Padahal pemerintah masih bingung--mungkin
juga ragu--seberapa besar kenaikan itu. Itu pun kalau jadi naik. Berbeda
dengan era "sebelum reformasi", pembahasan kenaikan harga bensin,
solar, dan minyak dilakukan tanpa hiruk-pikuk. Tiba-tiba saja, di malam
hari, seorang menteri mengumumkan kenaikan harga itu.
Sekarang pemerintah tak bisa mengambil kebijakan sendiri. Harus
meminta pendapat ke parlemen. Termasuk mungkin menyerap pendapat
dari koordinator lapangan aksi unjuk rasa.
Lagi pula, pemerintah sekarang maunya adil dan sangat memihak orang
miskin. Jika harga bahan bakar minyak dinaikkan, harga bahan kebutuhan
pokok pasti melambung, maka orang miskin harus dibantu. Perlu
diberikan subsidi secara langsung lewat apa yang disebut BLT--bantuan
langsung tunai. Tak bisa kasbon, harus tunai.
Berapa layaknya besar uang tunai itu? Dulu, menurut seseorang yang
disebut miskin di kampung saya, besarnya Rp 100 ribu per bulan. Dan ia
mendapatkan tunai selama enam bulan. Sekarang, kata dia, jumlah itu
harus naik. Dia menghitungnya begini.
Orang kota yang punya mobil sedikitnya menghabiskan 30 liter Premium
setiap minggu. Sebulan, habis 120 liter. Kalau seliter Premium disubsidi
pemerintah Rp 2.000, maka orang kaya menerima subsidi Rp 240 ribu
setiap bulan. "Orang miskin paling tidak harus mendapat tunai Rp 200
ribu sebulan, itu baru adil," kata dia.
Untuk apa uang itu, tanya saya. Dia menjawab enteng: "Ya, untuk beli
pulsa, ini kan kebutuhan pokok sekarang." Saya kaget. Jadi, orang miskin
membeli pulsa, orang miskin punya handphone? Saat kekagetan itu saya
ceritakan kepada seorang staf lurah, dia malah tertawa. "Bapak terlalu
lama tinggal di kota, sudah tak tahu kemajuan desa. Hampir semua
penduduk punya handphone, termasuk anak-anak TK. Itu memang
kebutuhan pokok sekarang," katanya.
Di desa-desa, warung penjual pulsa sudah lebih banyak dari warung
sembako. Saya lihat pula hampir di setiap desa ada papan bertulisan

"Terima gadai HP". Dari staf lurah itu, saya tahu, tak ada orang yang
kelaparan di desa, asalkan dia mau bekerja apa saja. Istilahnya,
serabutan. Kalau mengurangi makan dari tiga kali sehari menjadi dua kali,
misalnya, itu hal biasa. Jatah makan yang dihilangkan diganti dengan
membeli pulsa. Penggunaan pulsa terbanyak untuk SMS. Mereka
suka ngerumpi? "Tidak juga, mereka menebak-nebak undian lewat SMS,
ada juga yang memasang nomor togel (toto gelap). Yang remaja dan
anak-anak baru ngerumpi," kata staf lurah itu.
Tapi, dari mana ceritanya mereka berpredikat "orang miskin"? Itu karena
kriteria dari "atas", tak punya lahan pertanian dan tak punya pekerjaan
tetap. Mereka setiap hari bekerja, namun tak punya pekerjaan tetap. Hari
ini jadi tukang bangunan, esoknya berburu burung, esoknya ngojek,
tergantung situasi. Adapun predikat "orang miskin" sama sekali tak
membuat malu, termasuk ambil jatah "raskin" (beras untuk orang miskin),
meskipun jika mutu berasnya jelek dikasih ke ayam peliharaannya. Malah
orang bermobil pun bisa mendapat "surat miskin", karena dengan surat
itu, berobat, termasuk rawat inap, di rumah sakit bisa gratis.
Orang-orang miskin itu tahu bagaimana pejabat di kota menghamburkan
uang dan "orang kota" korupsi miliaran rupiah. Mereka menonton televisi,
paling tidak di balai desa, dan mereka selalu merasa diperlakukan tidak
adil. Karena itu, urusan BLT mereka sebut hak dan harus naik. Saya kira
ada yang salah dalam hal ini, tapi saya malas menuliskannya sekarang.
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo 4 Maret 2012)

Kamis,08 Maret 2012 @ 04:21


Surat untuk Romo
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang mulia Romo Imam. Saya kehilangan Romo setelah Romo balik ke
Karanganyar, menetap di padepokan yang asri di Dusun Kemuning, di
bukit teh Gunung Lawu. Dengan berat hati surat ini saya tulis setelah
subuh, seperti kebiasaan kita berbincang di waktu lalu. Mau apa lagi,
untuk BBM-an tak mungkin, saya tak punya BlackBerry.
Lagi pula saya rindu menulis surat. Terpikir tadinya menulis surat untuk
Presiden, tapi saya ragu apakah saya benar-benar tidak kehilangan
Presiden, saat ini? Kalaupun Bapak Presiden itu ternyata tak hilang dari
memori saya, pastilah beliau sangat sibuk. Sibuk memikirkan partainya,
partai idola kita--dulu, empat tahun lalu.
Yang mulia Romo. Saya sedang kena penyakit lupa, penyakit yang

mewabah sekarang ini. Kadang lupa kalau negeri ini masih punya
presiden--begitu banyak masalah kok seperti tak ada yang mengurus.
Juga lupa apakah sebelum ini Ibu Megawati, Bapak Jusuf Kalla, Prabowo,
Wiranto, sudah pernah jadi presiden atau belum? Atau hanya jadi calon
presiden, lalu kalah? Saya lupa, apakah Ical Bakrie dan Hatta Rajasa
masih ketua umum partai? Yang saya ingat, tokoh-tokoh itu tetap
digadang-gadang untuk bertarung dalam pemilu dua tahun lagi. Yang
menggadangnya adalah pebisnis survei.
Romo yang mulia. Saya sebut pebisnis survei karena, kalau namanya tak
dimasukkan dalam pertanyaan, bagaimana responden memilihnya? Saya
mungkin salah, karena mudah dibantah: bukankah sebelumnya
masyarakat yang disuruh memasukkan namanya? Ya, betul. Tapi kalau
diberi catatan "jangan pilih nama-nama itu karena sudah kedaluwarsa",
misalnya, kan juga tak apa-apa. Ya, saya pasti salah lagi, karena itu
menyimpang dari metode survei yang harus "apa adanya". Oke, saya
mengaku salah. Karena itu, saya tak berminat membuat lembaga survei.
Romo yang mulia, bukankah partai saat ini lagi dijauhi oleh masyarakat?
Bukankah partai telah gagal total membangun negeri ini, apalagi
mensejahterakan rakyat? Partai Demokrat terjun bebas karena gonjangganjing di dalam. Partai lain yang mencoba mencari untung dari gonjangganjing itu ternyata tak dilirik. Artinya, semua partai sami mawon, tak ada
satu pun partai yang diuntungkan oleh jebloknya Demokrat. Bahkan,
semakin bernafsu partai lain memanfaatkan gonjang-ganjing Demokrat,
semakin kentara pula bahwa partai itu juga tak beres. Seperti
para lawyer yang berkumpul setiap minggu. Semakin mereka berdebat
membela kliennya plus memojokkan lawannya, semakin telanjang mereka
membuka aib tentang profesi kepengacaraannya.
Di saat partai tak lagi diminati masyarakat, bagaimana mungkin pucuk
pimpinan partai itu dipilih oleh masyarakat untuk bertanding dalam
Pemilu 2014? Secara akademis tentu tak aneh, karena yang berhak
menjadi presiden di negeri ini adalah orang partai atau orang bukan partai
tetapi dicalonkan oleh partai, meskipun akhirnya rakyat pula yang
memilih--suka atau benci kepada partai. Ini susahnya jadi rakyat.
Celakanya, masyarakat lupa akan "jasa-jasa" yang pernah dihasilkan oleh
tokoh-tokoh yang digadang-gadang untuk bertarung dalam Pemilu 2014
itu. Misalnya, ada yang "berjasa" dalam bidang keamanan dengan
menangkap sejumlah aktivis, ada yang "berjasa" mengeluarkan lumpur di
perut bumi Sidoarjo, ada yang "berjasa" karena memang tak berbuat apaapa. Sudah tahu ingatan masyarakat itu pendek, metode survei tak juga
memberi alternatif, selain kepopuleran tokoh.
Itu sebabnya saya tak paham, Romo. Apakah ada kemajuan di negeri ini
setelah reformasi yang dibanggakan itu, selain kita mudah lupa dan pintar

berdusta?
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu 26 Februari
2012)

Kamis,08 Maret 2012 @ 04:19


Gempa Demokrat
Pandita Mpu Jaya Prema
Ada apa dengan Partai Demokrat? Karena ini bukan judul film, saya perlu
komentar orang lain, ada apa sebenarnya. Tapi saya tak bertanya ke
pengamat yang sering muncul di televisi. Pasti jawabannya panjang-lebar,
beliau kan serba tahu. Bertanya ke budayawan seperti Soedjiwo Tejo dan
Arswendo juga kurang pas. Jawabannya pasti mengambang. Ke Ruhut
Sitompul? Ah, jangan, beliau orang dalam. Belum apa-apa pasti akan
keluar: "yang saya banggakan dan yang saya kagumi Bapak SBY...."
Saya ingin mendapatkan komentar dari orang desa, yang biasa-biasa saja.
Bodoh sedikit, tak apa, yang penting mengikuti masalah. Dia tetangga
saya, pedagang ayam. Ada apa dengan Demokrat, tanya saya.
Jawabannya: "Tak ada apa-apa, hanya kalah dalam perang opini."
Jangan kaget kalau jawabannya dengan bahasa tinggi, dia sering ke
berbagai kota. "Demokrat tak punya media, sementara partai lain punya
jaringan media yang bisa menjadi senjata ampuh memenangkan opini.
Kan hanya dua televisi itu yang cerewet dengan Demokrat, satu dimiliki
ketua umum partai pesaingnya, satu lagi dimiliki partai baru yang siap
ikut pemilu. Jelas dong mereka ingin Demokrat hancur."
Analisis konyol, kata saya. Dia terbahak: "Ya, namanya orang bodoh, yang
dilihat apa yang tak dilihat orang kota yang pintar." Saya menggugat:
"Televisi dan media yang lain kan juga menayangkan aib Demokrat?" Lagi
dia tertawa: "Kan cuma menayangkan fakta, bukan mencecar dan
mengais-ngais terus sisi buruk Demokrat. Sebenarnya bagus juga kalau
keburukan partai lain dikais-kais, kan semua partai sama. Masalahnya,
siapa yang memegang kendali opini itu."
Waduh, tambah konyol lagi, pikir saya. Saya tak lagi berdebat, takut
ketularan bodoh, meskipun saya juga tak pernah pintar, buktinya tak
pernah muncul di televisi. Saya harap komentar pedagang ayam itu
dilupakan saja.
Tapi "ada apa dengan Demokrat" terus mengganggu. Kenapa petingginya
mudah diadu dan terjebak dalam perseteruan diam-diam? Jangan-jangan

ideologi partai ketika Demokrat didirikan belum matang benar, sehingga


yang berkumpul adalah orang dari berbagai ideologi--persis di awal Orde
Baru ketika Soeharto memaksa organisasi kemasyarakatan bergabung di
Sekber Golkar. Tapi Soeharto tegas, keras, dan otoriter. Beda dengan SBY,
yang hati-hati, kalem, santun, demokratis, sehingga Ruhut sering
mengulang: "yang saya banggakan."
Di Demokrat bergabung penguasa muda yang kaya-raya, seperti
Nazaruddin dan kakaknya, mantan Puteri Indonesia Angelia Sondakh,
mantan Ketua Umum HMI, mantan wartawan, mantan pengacara populer,
mantan politikus partai lain, yang barangkali kumpulan ini belum
mencampur-baurkan ideologi yang dibawanya. Ada yang "memuja uang",
ada yang "memuja ketenaran", ada yang "memuja penampilan". Jadi,
kesehariannya ada yang mengumpulkan duit tak peduli haram atau halal,
ada yang menguber wartawan agar dirinya diwawancarai, ada yang sibuk
memikirkan baju apa yang harus dipakai dan bagaimana cara berjalan ke
podium. Kini "pemuja uang" seperti Nazar terlempar dengan sakit, dan
tentu dia tak mau "sakit sendiri". Kumpulan itu pun menjadi berantakan
karena partai ini tidak dipimpin oleh Soeharto yang otoriter, melainkan
oleh SBY yang sangat negarawan dan demokratis--seperti kata Ruhut.
Namun saya pikir tak ada "tsunami" di Demokrat. Yang ada gempa kecil
yang tak merobohkan bangunan. Perlu ditopang oleh kesadaran
pentingnya kesamaan ideologi dan tentu saja--kalau percaya pedagang
ayam tadi--janganlah terjebak perang opini, wongtak punya media.
Berbuat apa pun selalu salah.
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu 19 Februari
2012)

Kamis,08 Maret 2012 @ 04:13


Sukses
Pandita Mpu Jaya Prema
Perjuangan kaum buruh di Bekasi akhirnya sukses. Setelah memblokade
jalan tol Cikampek, tuntutan mereka mengenai upah minimum kabupaten
akhirnya disepakati. Jumlahnya hanya beda ratusan rupiah dengan yang
ditetapkan keputusan Gubernur Jawa Barat, yang dibatalkan Pengadilan
Tata Usaha Negara. Mungkin pertimbangannya tidak ada uang receh
enam rupiah atau tiga rupiah, baik logam, apalagi kertas.
Sukses juga dinikmati masyarakat di Kabupaten Bima, yang jauh dari
Jakarta. Setelah membakar kantor bupati, esoknya turun rekomendasi dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tambang emas di sana

bisa ditutup. Bupati


pertambangan.

Bima

pun

mengeluarkan

surat

penghentian

Apakah kisah sukses ini akan ditiru? Misalnya, di Bali, masyarakat sudah
enam tahun menolak proyek listrik geotermal di Bedugul. Proyek ini
membabat hutan lindung, menghancurkan sumber resapan air, dan
berada di kawasan suci umat Hindu. Tiga sumur sudah dibor, lalu proyek
mangkrak karena masyarakat ngotot menolak. Ketika Jero Wacik menjadi
Menteri ESDM, ia bertekad melanjutkan proyek itu, dan masyarakat pun
heboh kembali. Apa iya orang Bali harus memblokade dulu Bandara
Ngurah Rai barang sehari-dua hari agar pemerintah resmi menutup
proyek listrik panas bumi itu?
Dua kisah sukses itu seharusnya tak ditiru--jika negeri ini ingin disebut
negeri yang santun dan beradab. Unjuk rasa memang hak setiap warga,
tapi ada pembatasan di mana unjuk rasa itu bisa dilakukan. Sudah ada
undang-undang tentang ini (UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum), yang intinya
menyatakan hak berunjuk rasa itu tidak mengorbankan hak orang lain
yang lebih besar.
Siapa pun mendukung buruh menuntut haknya memperbaiki nasib.
Apalagi nilai tuntutannya masih bisa dieja dengan ribuan rupiah, bukan
miliaran rupiah seperti "tuntutan" para wakilnya di Senayan. Tapi, ketika
jalan tol yang menjadi akses jutaan orang diblokade, dukungan berubah
menjadi kecaman. Sebab, di jalan itu terjebak orang-orang dengan nasib
yang juga tak lebih baik daripada buruh Bekasi itu. Ada sopir truk yang
harus mengeluarkan denda--atau upahnya dipotong--karena terlambat
membawa bahan kebutuhan pokok ke pasar induk Jakarta, ada anak kecil
yang menangis kelaparan dan bayi yang kehabisan susu, ada orang sakit
yang meninggal karena tak mendapat pertolongan. Ribuan orang memaki
karena hak mereka dirampas. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, pun tak
bisa minta tolong dan tak punya akses ke mana minta tolong. Mereka
tidak seperti Menteri Linda Gumelar, yang segera ditolong oleh helikopter
kepolisian dari keterjebakan itu.
Setelah kantor Bupati Bima dibakar, ribuan orang kini susah, berbagai
arsip dan dokumen terbakar, rakyat kecil yang mengurus soal tanah,
kependudukan, serta berbagai akta jadi kelimpungan. Banyak kesusahan
yang datang dari kesuksesan menutup izin pertambangan itu.
Jika begitu, "duo sukses" ini harus dianggap sebagai kerugian besar. Tak
layak dicontoh, bahkan harus dicegah dengan berbagai cara, termasuk
memperbaiki undang-undang tentang unjuk rasa, buat lebih memerinci di
mana saja unjuk rasa tak boleh dilakukan. Para tokoh bangsa harus
bersatu menyatakan bahwa cara-cara itu salah, jangan malah
menyanjung. Yang jelas, pemerintah wajib belajar dari kasus ini, jangan
lamban mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

bilang harus ada komunikasi. Artinya, sengketa buruh dan majikan


diselesaikan lewat dialog: kalau majikan pergi dan pabrik ditutup, yang
rugi juga buruh. Dalam merencanakan proyek, dengarkan suara rakyat
setempat, jangan cuma mengharap fee dari investor.
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu 29 Januari
2012 )

Senin,25 Juni 2012 @ 06:28


Komentator
Pandita Mpu Jaya Prema
Piala Eropa segera memasuki semifinal. Babak yang menghibur jutaan
penduduk negeri ini. Tinggal menunggu pertandingan Inggris melawan
Italia esok dinihari, keempat tim yang lolos ke semifinal pasti akan
diperbincangkan habis-habisan di media massa, televisi, gardu ronda,
juga di tempat pemancingan. Penduduk negeri ini penggila bola,
meskipun tak pernah punya tim nasional yang bisa "digilakan".
Akan bermunculan banyak komentator yang memamerkan kepiawaiannya
dalam menganalisis tim yang berlaga. Andaikata ada survei internasional
negeri mana yang penduduknya paling banyak melahirkan komentator
sepak bola, jawabannya: Indonesia. Lebih hebat lagi, mereka datang dari
berbagai kalangan. Ada artis, politikus, mantan atlet, pengusaha,
pengamat politik. Mereka penuh percaya diri, sepertinya paham berbagai
kendala yang dihadapi tim yang sedang bertanding, melebihi pelatih tim
itu. Luar biasa.
Cuma saja, saya pikir mereka perlu belajar etika jika bicara di depan
umum, bukan di kolam pemancingan. Jangan sok tahu, sok paham,
sok ngerti strategi. Saya sering malu mendengarnya sehingga, saat jeda
permainan dan komentator mengambil-alih siaran, saya menjauhi televisi.
Misalnya ucapan begini: "Kenapa pelatih itu menurunkan dia, mestinya si
anu diturunkan. Polanya jangan 4-4-2, itu tak cocok, harusnya 4-3-3.
Jangan bertahan, serang dari sayap kiri. Jerman harus mematikan Ronaldo
jika mau mengalahkan Portugal."
Kok bisa ngomong begitu, padahal ribuan kilometer jarak Jakarta dengan
Warsawa. Apa mereka pernah datang ke Eropa, bergaul dengan pemain,
memahami apa kendala yang dihadapi tim sebagaimana pelatih yang
diomeli itu? Menurut saya, komentator itu harus tahu tata krama,
misalnya: "Kenapa pelatih itu menurunkan dia? Menurut saya, si anu lebih
baik. Kenapa strateginya dengan pola itu? Menghadapi tim ini, sebaiknya

ganti pola."
Sudahlah, barangkali ini memang tabiat orang kita. Dari dulu sudah ada
pemeo di kalangan sepak bola: penonton lebih pinter dibanding pelatih
dan pemain. Dari sini muncul pula istilah: berkomentar jauh lebih mudah
daripada melaksanakan. Kemudian peribahasa menampungnya dengan
kalimat "lidah memang tak bertulang".
Yang jadi persoalan, gaya komentator bola seperti itu sekarang merambat
ke berbagai bidang. Orang-orang yang muncul di televisi dan media
massa, yang diistilahkan sebagai narasumber, meniru "kesombongan"
komentator bola. Mereka mengadu kevokalan, bukan argumentasi.
Keselebritasannya
lebih
diutamakan
ketimbang
wawasan
dan
integritasnya.
Contoh kecil, pimpinan KPK menjelaskan bagaimana Neneng Sri Wahyuni
ditangkap di rumahnya di Pejaten. Saat bersamaan, seorang
"komentator" ngotot Neneng menyerahkan diri sambil ngeledek dengan
menyebut pimpinan KPK sedang mementaskan ludruk. Lo, yang turun ke
lapangan siapa?
Pidato SBY di depan pendiri Partai Demokrat dikomentari berhari-hari.
Padahal itu urusan intern partai yang tak ada pentingnya bagi rakyat.
Anas Urbaningrum terus-menerus "diomongin" kenapa belum mundur,
kenapa belum diperiksa, sementara di lain pihak KPK harus diperkuat dan
dipercaya. Kalau begitu, serahkan pada KPK dong, kenapa ribut?
Negeri kita sekarang dibisingkan oleh suara komentator. Sungguh tak
sehat karena perbincangan berputar di masalah kekuasaan, tak berurusan
dengan perut rakyat. Yang dibutuhkan rakyat sederhana, misalnya
bagaimana di tanah yang subur ini bisa dihasilkan buah yang ranum, lalu
bisa dijual di pasar. Aneh, negeri gemah ripah loh jinawi ini ternyata
dipenuhi buah dari negara jiran. Kok tak ada komentator buah?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 24 Juni 2012)

Rabu,13 Juni 2012 @ 08:40


Menuding
Pandita Mpu Jaya Prema
Orang tua di masa lalu suka menasihati anak-anaknya begini: "Jangan
suka menuding orang. Kalau itu kau lakukan, hanya satu jari yang
mengarah kepadanya, tiga jari lainnya mengarah kepada dirimu."

"Paham?" tanya saya. Cucu saja menjawab: "Tidak!" Waduh, terpaksa


saya memberi penjelasan. "Cobalah menuding. Telunjuk mengarah kepada
orang yang dituding. Jari tengah, jari manis, dan kelingking mengarah
kepada dirimu, sementara ibu jari netral. Artinya, bisa jadi kesalahan
dirimu lebih besar dibanding kesalahan orang yang kamu tuding. Paham?"
"Tidak," cucu saya menggeleng. Saya membatin: "Anak metropolitan, tak
pernah bacaSutasoma, Kidung Pararaton, Arjuna Wiwaha." Terpaksa saya
menjelaskan dengan contoh yang ia tahu.
Pengangkatan wakil menteri, yang harus diulang lewat surat keputusan
presiden yang baru, bisa jadi contoh. Mahkamah Konstitusi menyebut
keppres lama salah karena mengacu kepada Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2008 dengan penjelasannya. Pasal 10 itu sendiri tidak
melanggar konstitusi, tetapi penjelasannya yang bertentangan dengan
pasal yang diterangkannya.
Ada anggota DPR menuding: "Presiden dipermalukan." Tapi tak disadari
kesalahan utama ada pada DPR. Bagaimana bisa DPR ngawur membuat
undang-undang, antara pasal dan penjelasannya tidak sinkron? Pasal 10
berbunyi: "Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan
penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada
kementerian tertentu." Dalam penjelasannya dikatakan, "Yang dimaksud
dengan wakil menteri adalah pejabat karier, dan wakil menteri bukan
anggota kabinet." Dari mana kalimat ini dicomot? Jangan-jangan tadinya
pasal baru, karena tak akur, dicomot dan diselundupkan ke penjelasan.
Alur kelahiran undang-undang, diperdebatkan di komisi lebih dulu, lalu
dibahas di pansus, hasilnya diserahkan ke paripurna untuk disahkan.
Formalnya, 500 lebih anggota DPR harus membaca dengan teliti pasal per
pasal, termasuk penjelasan, sebelum disahkan, meskipun dia bukan
anggota pansus dan bukan di komisi terkait. Apakah tak malu berteriak
"setujuuu" padahal apa yang disetujui tak pernah dibaca? Lebih malu lagi
secara lembaga kalau persetujuan undang-undang disahkan oleh tanda
tangan, orangnya entah di mana seperti tuyul. Jadi, bukan hanya presiden
yang dipermalukan Mahkamah, tetapi DPR juga malu-maluin.
Saya ingin mengajarkan ke cucu, cobalah berhenti menyalahkan orang
lain, karena diri kita juga banyak salahnya. Berhenti bertengkar,
menyerang, memfitnah, ngeledek. Lebih baik sama-sama mencari
kesalahan untuk diperbaiki bersama. Justru pada saat banyak pemimpin
diliputi berbagai kekurangan, kita perlu guyub dan saling membantu.
Contoh lain, KPK bersama Dirjen Pajak berhasil menangkap Tommy
Hendratno, yang sedang menerima suap Rp 280 juta dari pegawai PT
Bhakti Investama, James Gunardjo. Sebagian orang mencibir: "Ah, cuma
teri. Tangkap dong pengemplang pajak triliunan, berani enggak?" Badan
Narkotika Nasional menangkap sersan mayor penyelundup ribuan pil

ekstasi, orang mencibir: "Beraninya pada sersan mayor. Jenderalnya,


dong."
Cibiran dan sinisme tak membuat Indonesia lebih bagus. Serahkan data
jenderal penyelundup ekstasi, serahkan data pengemplang pajak, lalu
bersama-sama menangkapnya. Saya setuju, pemerintah kita lemah saat
ini. Justru kelemahan itu kita tambal, bukan dengan asal tuding. Jika tiap
malam kita mencari-cari kesalahan pemerintah, kita begadang dengan
gelisah. Berpikirlah positif dan tetap optimistis, kita akan melewati
malam-malam yang indah. Apalagi ada Piala Eropa, goool, kita pun
puas.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 10 Juni 2012)

Rabu,13 Juni 2012 @ 08:31


Komunikasi
Pandita Mpu Jaya Prema
Komunikasi kita ternyata buruk sekali. Dialog tak terjadi, kata kehilangan
makna. Antara saran, keluhan, dan gerutuan sulit dibedakan. Ada orang
yang memberi masukan untuk perbaikan, ternyata ditanggapi sebagai
keluhan. Menawarkan argumentasi, justru dianggap mencari-cari
pembenaran alias ngeles.
Jika komunikasi sudah buruk, koordinasi pun berantakan. Ada contoh yang
sepele. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebelum membuka rapat
kabinet di Gedung Agung, Yogyakarta, menegur para menterinya yang
tidak bisa melakukan penghematan. Sudah disiapkan pesawat
kepresidenan dari Jakarta, masih ada menteri yang berpaling ke pesawat
lain.
Sudah jelas SBY menegur, eh, ada yang bilang SBY mengeluhkan
komunikasi dengan pembantunya yang tak nyambung. Yang pasti,
koordinasi macet. Kalau Presiden sudah meminta semua menteri wajib
naik dalam satu pesawat, tentu koordinasi harus dilakukan. Absen setiap
menteri, bukankah ada Menteri Sekretaris Kabinet? Bisa jadi ada menteri
yang tak bisa berangkat bareng karena telanjur ada acara yang sangat
penting di Jakarta. Artinya, ada komunikasi, siapa yang tak ikut, siapa
yang kemudian terlambat. SBY jadi tak ujug-ujug menegur sang menteri di
depan publik. Syukur SBY introspeksi, kalau mau berhemat, mengapa pula
rapatnya jauh-jauh ke Yogyakarta, memangnya ada gudeg rasa baru.
Ajakan SBY untuk hemat energi itu serius, tetapi ada saja yang bilang itu

pencitraan. Barangkali komunikasi tak beres, arah penghematan itu tak


jelas juntrungannya. Jalan di pedesaan sudah terbiasa gelap karena tak
terpasang lampu. Anjuran hemat memakai listrik seolah-olah seluruh desa
di republik ini sudah menikmati listrik. Hemat memakai bahan bakar
minyak sudah dilakukan, sudah sebulan lebih elpiji kelas rakyat yang
berisi 3 kg langka di pasar. Premium pun harus dibeli dengan antre
berjam-jam. Apa-apanya dong yang boros?
Hemat energi lebih tepat untuk masyarakat di kota besar seperti Jakarta.
Kuota bahan bakar minyak per kapita di Jakarta jauh lebih tinggi
ketimbang di Kalimantan atau semua daerah di luar Jawa. Ketika daerah
mengusulkan dengan berbagai argumentasi, disebut memprotes. Ketika
benar masyarakat Kalimantan memprotes dengan melarang batu bara
keluar dari bumi itu, disebut melakukan perlawanan. Pangkalnya adalah
komunikasi yang buruk antara pusat dan daerah. Dengan membenahi
komunikasi itu, semua masalah bisa diselesaikan.
Lagi contoh yang sepele. Di Pelabuhan Merak, antrean truk ke Sumatera
begitu panjang dan sopir berhari-hari menunggu. Sopir kehabisan bekal,
barang di dalam truk bisa rusak selama antre. Wajar kalau sopir sampai
kesal dan merusak fasilitas pelabuhan--meskipun kewajaran ini jangan
diulang. Masalahnya, tak ada komunikasi. Perbaikan dermaga itu kan
sudah dijadwalkan, apa repotnya jauh-jauh hari memberi pengumuman
kepada sopir truk lewat Organda, lewat media, lewat surat ke instansi
terkait. Kalau informasi perbaikan itu ada, pengusaha pasti melakukan
antisipasi. Tak mungkin mengirim kentang, buah salak, bawang, dan
sejenisnya kalau seminggu lebih belum bisa menyeberang.
Kini, komunikasi yang amburadul menular dari lembaga tertinggi negara
ke lembaga terendah negara. Di televisi, orang berdebat, anak muda
kurang ajar menuding orang lebih tua dengan kata-kata yang tak
seharusnya diumbar di depan umum. Budaya dan sopan santun tampak
luntur. Eh, ternyata yang berdebat itu sedang menjalankan job. Sehabis
siaran, meneken honor dan ketawa bersama. Sebaliknya, Presiden
mengajak kita prihatin, lalu orang pun berisik: "Pak prihatin lagi
mendulang citra"
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Juni 2012)

Jumat,01 Juni 2012 @ 08:03


Bangga
Pandita Mpu Jaya Prema
Dia datang, langsung memelukku. Kemudian duduk dan berkata: "Saya

mau mengeluh. Saya masih bangga dengan bangsa ini, saya tak tega
bangsa
ini
jadi
jelek.
Tapi
apa
yang
masih
bisa
saya
banggakan, wong kenyataannya memang jelek."
Aku terkesima. Puting-beliung dari mana yang menerbangkan
keponakanku ini, kok tiba-tiba ada di depanku? Tahun lalu, ketika ayahnya
meninggal dunia, selama tiga bulan ia bersedih-sedih di akun Facebooknya.
"Bulu tangkis, yang pernah mengharumkan bangsa, kini hancur. Tim Piala
Thomas dan Piala Uber kalah sebelum semifinal. Tak ada juara dunia lagi,
padahal dulu selalu all-Indonesian final. Sepak bola, ya ampun, kalah
melulu. Apa dong yang kita banggakan?"
Aku mengusap rambutnya, sambil mengkhayal sejenak, kalau ada kamera
di depanku, jangan-jangan ada yang mengira ini shooting sinetron. Dia
melanjutkan.
"Apa dong yang masih baik di negeri ini? Negara paling korup, tapi
koruptornya dibela terus. Negeri yang jadi pasar narkoba, tapi terpidana
narkoba dapat grasi. Bangsa yang suka diadu, menjelek-jelekkan sesama
anak bangsa. Yang dipuja orang asing, Lady Gaga, Inter Milan.
Memangnya Agnes Monica kalah aksi? Bangsa yang tidak bebas
melaksanakan ritual. Masjid dirusak, gereja disegel, tapi yang diteriakkan
Tuhan Maha Besar."
"Sudahlah, cukup. Cukup," aku sampai memegang mulutnya, ocehannya
sudah sensitif. "Kamu jangan terlalu pesimistis, apalagi sampai mengolokolok bangsa sendiri. Itu sama saja artinya kau telah mewujudkan tanah
airmu untuk menjadi bangsa yang gagal. Tetaplah bangga."
Kata-kataku itu, kalau tak salah, sepertinya ditulis sahabatku Tulus
Wijanarko di akun Facebooknya. Ah, biarlah aku pinjam agar dia bisa
tenang. Benar, dia agak tenang dan berkata:"Bagaimana saya bisa
berbangga kalau faktanya jelek, korupsi semakin menggila, polisi semakin
takut pada ormas...."
"Ini masalah pilihan," kataku memotong. "Kau tetap mau mengolok-olok
bangsamu sendiri, atau kau mau menebarkan semangat optimisme di
tengah keterpurukan ini? Betul korupsi itu merajalela, sudah berapa
gubernur yang dipidana. Malah mau bertambah lagi kalau saja tidak
dibela oleh seorang mantan menteri. Tapi bukankah ada Dahlan Iskan,
menteri yang tak mau terima gaji, dan makan siang dari bungkusan
istrinya? Sepak bola kita hancur. Tapi tidakkah kau lihat lapangan di
Denpasar, Probolinggo, Tuban dipenuhi anak-anak bermain bola? Tidakkah
kau baca berita pemuda Kristen di Ambon sibuk menyukseskan MTQ?
Tidak pernahkah kau lihat umat muslim di Bali ikut mengatur lalu lintas
ketika ada pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi? Tim SAR kita luar biasa di

Gunung Salak. Ini tetap membanggakan, ini membuat kita selalu


optimistis tentang Indonesia ke depan."
Wah, ini betul-betul adegan sinetron, pikirku. "Tapi," dia melanjutkan,
"Yang baik itu tenggelam, yang jelek diobral siang-malam."
"Nduk, kowe iki keakehan ndelok TV yang enggak benar," kataku dengan
bahasa Jawa campuran, maklum ibunya dari Lumajang. "Stasiun televisi
dimiliki konglomerat sekaligus politisi yang haus kekuasaan. Sebagai
konglomerat, dia memuja rating tinggi agar iklan masuk. Sebagai politisi,
dia menjelekkan lawannya sembari berkampanye di televisi itu. Tapi tetap
ada pilihan, ada banyak media, ada TVRI."
"Jadi, kita harus memilih, toh...." Aku langsung menyambar: "Memilih, jadi
orang pesimistis atau optimistis, jadi orang yang gemar mengolok-olok
bangsa sendiri atau memperbaiki diri dengan berkarya. Percayalah,
saatnya masyarakat akan bosan mendengar orang yang menjelekjelekkan negerinya sendiri. Media seperti itu pun akan ditinggal."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 27 Mei 2012)

Kamis,26 Juli 2012 @ 04:04


Mobil Listrik
Pandita Mpu Jaya Prema
Selamat menjalankan ibadah puasa sahabat-sahabat muslim. Di hari libur
awal Ramadan ini, mari bersantai sejenak. Mengkhayal barangkali tidak
salah, terserah tentang apa dan mau jadi apa.
Mengkhayal itu gampang, pikiran bisa dibawa ke mana saja dengan
sangat cepatnya dan berpindah-pindah setiap saat. Para pujangga lama
menyebut pikiran itu ibarat kuda liar. Semalam, misalnya, saya sempat
mengkhayal menjadi menteri yang juga ketua partai. Enak sekali. Tetapi,
ketika Bapak Presiden menegur bahwa menteri yang masih sibuk
mengurusi partai lebih baik mundur, rasanya sedih. Mau membalas
dengan kata-kata, "Lo, kan Bapak yang memberi contoh", tentu tidak etis.
Apalagi begini, "Lo, saya kan pembantu Bapak, kalau pekerjaan saya
Bapak anggap tidak fokus, berhentikan saja saya. Berani?"
Ah, mengkhayal jadi pejabat, tak enak. Lebih baik mengkhayal memiliki
suatu benda, dan agar khayalan ini bermutu, benda itu harus canggih.
Saya lantas mengkhayal memiliki mobil listrik yang dibeli dengan harga
Rp 300 juta. Dari mana uangnya, jangan ditanya, namanya saja

mengkhayal.
Saya mau pamerkan mobil canggih itu ke teman-teman di Jakarta, agar
dia tahu, mobil listrik ini bisa diproduksi di Bali--meskipun di bawah lisensi
PT Sarimas Ahmadi Pratama, milik Dasep Ahmadi yang sudah direstui
Menteri Dahlan Iskan. Saya berangkat dari Denpasar pagi hari dengan
baterai penuh yang bisa menempuh perjalanan 120 km. Sekadar
diketahui, saya begadang semalaman, takut ada pencuri. Maklum, rumah
gelap, semua peralatan yang memakai listrik dimatikan. Seluruh daya
diarahkan untuk men-charge baterai mobil ini.
Denpasar-Gilimanuk aman. Masuk ke kapal pun aman. Tatkala antre
keluar, awak kapal membentak saya, "Cepat hidupkan mobil." Saya pun
membalas, "Sudah hidup, tahu! Ini mobil listrik, gak pakai bunyi." Keluar
dari geladak, injak gas dalam-dalam, greeng (eh, maaf, salah tulis,
enggak pakai bunyi) ssstt..., mobil melesat mulus.
Beberapa kilometer lewat Ketapang, mobil mogok. Ingat kata Menteri
Dahlan, itu bukan mogok, baterainya habis. Saya pusing mencari toko
atau rumah yang daya listriknya 2.200 kWh, kebanyakan hanya 1.300
kWh. Untung ada pabrik penyosohan beras yang memakai genset. Di sana
saya menumpang "nyetrum" baterai mobil. Perlu waktu lima jam agar
baterai penuh, sampai-sampai ada tengkulak yang mengira sayalah
pemilik penyosohan beras itu.
Saya berhitung, dari sini dengan jarak 120 km baru sampai Pasir Putih, ya,
kalau persis di obyek wisatanya. Kalau di hutan? Jika pun ada tempat
menumpang nyetrum baterai,nunggu lagi lima jam. Berapa hari DenpasarSurabaya ditempuh, dan kapan sampai Jakarta?
"Harusnya bawa baterai cadangan, paling tidak tiga," seperti ada bisikan.
Masuk akal, sehingga ketika malam saat tidur, semua baterai di-charge.
Tapi, adakah hotel yang menyediakan daya listrik besar untuk hal itu di
kota kecil?
"Anda terlalu cepat punya mobil listrik, mestinya sepuluh tahun lagi baru
beli," ini tulisan di Twitter. Saya balas, "Lo, menterinya saja tak sabaran,
kok. Saya kan hanya ikut-ikutan." Lalu ada bisikan lagi yang menyalahkan
saya, "Kok, Anda percaya dengan program instan seperti ini? Semua
pekerjaan ada tahapannya, ada komponen pendukung, ada infrastruktur,
yang instan itu hanya mi."
Saya merenung, "Kalau program ini berhasil dan sepuluh tahun lagi baru
saya punya mobil listrik, di mana dikebut? Sekarang saja jalanan sudah
macet, apalagi setelah ada mobil listrik." Tapi saya tak mau memikirkan
itu lagi, khayalan saya sudahi. Mengkhayal, kok, yang ruwet.

(Diambil dari Koran Tempo 22 Juli 2012)

Kamis,26 Juli 2012 @ 03:30


Jokowi
Pandita Mpu Jaya Prema
Joko Widodo yang populer dengan panggilan Jokowi, belum tentu menjadi
Gubernur DKI Jakarta. Masih ada putaran kedua. Kemenangannya pada
putaran pertama, mengagetkan banyak orang termasuk saya, yang bukan
warga Jakarta. Jika orang kaget karena survey sebelumnya menempatkan
Fauzi Bowo di peringkat pertama, saya tidak kaget karena itu, saya sudah
lama tak percaya survey. Jika orang kaget karena ada pendatang yang
mengalahkan warga Betawi asli, saya pun tidak kaget soal itu, saya tahu
jumlah orang Jawa di Jakarta mungkin lebih banyak dari orang Betawi.
Yang membuat saya kaget, tadinya saya mengira warga Jakarta memilih
gubernur yang berpenampilan pejabat seutuhnya seperti yang
dicitrakan saat ini. Pejabat yang gagah, ke mana-mana didampingi ajudan
plus pengawal, matanya selalu menatap ke depan dan sedikit mendongak
ke atas. Pakaiannya parlente. Seperti itulah pemimpin kita saat ini, sangat
memperhatikan penampilan yang mungkin dipelajari dari buku yang sama
atau kursus yang sama atau konsultan yang sama. Cara berjalan mereka
ke podium untuk membacakan sambutan, cara mengetuk-ngetuk
mikropon untuk dites, membaca teks pidato dan kapan tangan harus
bergerak ke depan, kea rah badan, menunjuk ke atas dan sebagainya.
Semua ini harus diatur, dijaga konsistensinya, karena konon dari sini lahir
citra seorang pejabat yang berwibawa.
Tapi, karena pencitraan yang terus diulang-ulang ini tidak diimbangi
dengan hasil karya yang baik, lama-lama orang pun bosan, lalu tiba-tiba
merasa dipimpin oleh pejabat yang tidak ada apa-apanya. Tong kosong
nyaring bunyinya. Antara ucapan, baik rencana kerja maupun janji,
menyimpang dari pelaksanaan. Slogan hanya tinggal kata-kata yang
artinya bisa berbeda. Kalimat katakan tidak pada korupsi sekadar
dijadikan contoh kasus ternyata yang dipraktekkan adalah katakan
(saja) tidak, pada (hal) korupsi.
Pada pemilihan Gubernur Jakarta putaran pertama yang lalu, warga
Jakarta agaknya mulai meninggalkan pejabat yang hanya menjaga citra
penampilan, itu yang membuat saya kaget. Tenyata Jokowi yang banyak
dipilih, orang yang sederhana, pejabat yang polos, yang kalau berjalan
biasa saja, kalau mengunjungi pasar tidak mematut-matutkan dirinya
supaya dihormati. Jokowi apa adanya, kalau pidato, ya, ngomong seperti
biasa mau menyampaikan apa, tidak memperhatikan bahasa tubuh sama

sekali, tidak meledak-ledak. Ia tidak memerintah, ia mengajak. Ia tidak


melarang, ia memberi saran. Ia polos tapi cerdas.
Di Solo ia jarang di Balai Kota, lebih sering di tengah-tengah masyarakat.
Penampilannya yang, maaf, terkesan ndeso ini, membuat warganya bebas
menyampaikan apa keinginannya, dan Jokowi memperhatikan semua itu.
Ternyata Solo jadi kota yang tata ruangnya bagus, bahkan Jokowi
dinominasikan sebagai walikota terbaik di dunia.
Saya bukan pengamat dan tak bisa memprediksi bagaimana nasib Jokowi
pada putaran kedua pemilihan Gubernur Jakarta. Apakah wong Solo
yang ndeso dan apa adanya ini, masih tetap diunggulkan di Jakarta. Kalau
ternyata ya, itu artinya warga Jakarta memang menginginkan perubahan.
Perubahan yang pertama tentu saja gaya kepemimpinan, dari pemimpin
salon yang menjurus pada pencitraan pribadi berlebihan, menjadi
pemimpin rakyat yang kesehariannya tak jauh dengan penampilan rakyat
pada umumnya. Kalau perubahan ini membawa perubahan pada wajah
Jakarta yang lebih baik, itu artinya gaya Jokowi bisa ditularkan ke seluruh
negeri. Saatnya kita melahirkan pemimpin yang sederhana, polos, tetapi
cerdas dan berhasil membuat rakyat senang.
(Dimuat Koran Tempo Minggu 15 Juli 2012)

Rabu,11 Juli 2012 @ 08:04


Gubernur Hantu
Pandita Mpu Jaya Prema
Dalam hitungan hari, Jakarta akan memilih gubernur. Bisa jadi gubernur
yang lama terpilih kembali, bisa pula gubernur dari provinsi lain terpilih di
Jakarta, atau seorang wali kota di Jawa menjadi Gubernur Jakarta.
Semuanya tidak pasti, termasuk apakah calon gubernur yang tak
didukung partai politik bisa menjadi gubernur.
Siapa yang akan Mama pilih? Pertanyaan ini saya ajukan kepada "mantan
ibu kos" yang sampai kini tetap saya panggil Mama. Dia tinggal di
kawasan Warung Buncit. "Saya pilih semuanya. Orang Jakarta harus
cerdas. Biarkan ada banyak gubernur," ini jawaban Mama.
Pilihan ini tentu tak masuk akal, jauh pula dari cerdas. Namanya saja
pemilihan, dari keenam pasangan harus ada yang dipilih. Tapi
Mama ngotot, "Jakarta tak bisa maju kalau dipimpin oleh sepasang calon.
Semua pasangan harus naik."
Ternyata Mama serius dengan pendapatnya ini, yang tentu saja sangat

tidak normal. Kata dia, kalau enam pasangan itu semuanya diangkat
sebagai gubernur dan wakil gubernur, uang untuk membayar gaji mereka
tak banyak. Mereka sudah kaya, terbukti ongkos kampanyenya begitu
besar, yang tak mungkin akan kembali dengan pendapatan gaji yang
normal. Mereka sebenarnya tak mencari gaji dengan jabatan gubernur,
melainkan mencari gengsi.
Lagi pula--ini masih pendapat Mama--dengan punya enam gubernur dan
enam wakil gubernur, warga Jakarta akan menikmati masa kejayaannya
dan segera mengalami kesejahteraan yang luar biasa. Tak akan ada lagi
daerah kumuh, tak ada fakir miskin dan gelandangan, tak ada wilayah
yang kebanjiran, tak ada jalan yang macet, serta tak ada perampokan,
prostitusi, dan perjudian. Pemerkosaan, apalagi di angkutan kota, itu jadi
dongeng masa lalu.
Gubernur Fauzi Bowo meneruskan program lamanya mempercantik
Jakarta sebagai kota paling modern di dunia. Gubernur Hendardji
mempersolek wilayah yang kumuh, akan sulit mencari orang yang tidur di
rumah kardus. Gubernur Joko Widodo membangun rumah susun dan
menertibkan pedagang kaki lima, tak mungkin lagi ditemukan orang
berjualan di trotoar. Gubernur Hidayat Nur Wahid, wah ini dia, menjadikan
Jakarta kota religius, semua orang taat beragama, yang muslim silakan ke
masjid, yang Kristen kebaktian di gereja, tak ada menggunakan trotoar
untuk kebaktian. Gubernur Alex Noerdin membuat Jakarta bebas macet,
bahkan jika perlu jalanan dibikin lengang seperti di pedalaman Sumatera
Selatan. Sehari setelah dilantik, Gubernur Alex membebaskan warga dari
biaya rumah sakit, tak lagi membayar uang sekolah, jangan-jangan rakyat
juga digaji. "Kenapa gubernur dipilih? Supaya adil, ditetapkan saja seperti
di Yogyakarta, dan untuk Jakarta sekalian ditetapkan enam pasangan itu,"
kata Mama.
Saya memotong, takut Mama nyerocos terus, "Ma, kok Faisal Basri
dilewatkan?" Mama tertawa, "Eh, lupa, habis iklannya jarang ada di TV."
Segera Mama nyerocos, "Gubernur Faisal akan mengajak semua pegawai
dan pengusaha bekerja dengan jujur dan tidak korupsi. Kalau tak ada
dana, saweran seperti membangun gedung KPK itu. Nah, klop, Jakarta
gemerlap, warganya sejahtera, jalannya lengang, aman tenteram tak ada
penjahat karena semua warganya religius."
Saya seperti terhipnotis, membayangkan suara azan beradu keras di
waktu subuh, bagaikan simfoni menyongsong alam surgawi di Jakarta
yang religius ini. Tapi, bagaimana kalau semua janji calon gubernur itu tak
terbukti? "Gantung mereka di Monas, jangan pelihara penipu busuk,
biarkan dia jadi hantu," ceplos Mama. Indri, sang cucu yang sedari tadi
diam, ikut nyeletuk, "Wah, bisa-bisa kita dipimpin Gubernur Hantu, nih."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 Juli 2012)

Rabu,11 Juli 2012 @ 07:59


Saweran
Pandita Mpu Jaya Prema
Saat saya mendukung saweran untuk pembangunan gedung baru Komisi
Pemberantasan
Korupsi,
alasannya
sangatlah
sederhana:
ingin
menyatakan sikap bahwa saya anti korupsi. Tak ada alasan lain.
Pernyataan sikap ini perlu untuk dijadikan pegangan bahwa saya tak akan
merampas harta orang lain untuk kepentingan pribadi. Saya yakin, Tuhan
memberi rejeki kepada setiap makhluk hidup. Ada yang diberi berlebih,
yang sesungguhnya adalah ujian apakah mereka menggunakan kelebihan
rejeki itu untuk menolong orang lain. Ada yang pas-pasan, barangkali
dimaksudkan agar mereka mau bersyukur, terserah itu dilakukan atau
tidak. Lalu ada yang kurang, siapa tahu ini semacam cambuk untuk lebih
bekerja keras. Mereka yang rejekinya kurang, termasuk fakir miskin,
adalah orang-orang yang mulia karena telah memberikan kesempatan
kepada mereka yang rejekinya berlebih untuk bersedekah. Indonesia pun
negeri yang mulia, karena konstitusinya menyebut fakir miskin diasuh
Negara.
Kalau semua normal, seharusnya tak ada orang yang sengaja mau
merampas rejeki orang lain. Tak ada korupsi karena harta di dunia ini
adalah titipan. Anehnya, di negeri yang konon dahulu budayanya
adiluhung ini, korupsi merajalela. Korupsi merebak demikian luas, padahal
pelajaran agama sudah diberikan sejak sekolah dasar dan presiden pun
dibantu oleh Menteri Agama. Singapura, misalnya, tak punya Menteri
Agama namun pejabatnya jarang korupsi. Lebih memprihatinkan, di
kementrian agama pun ada korupsi dan masya Allah dana pengadaan
kitab suci juga dikorup.
Karena itu saya pikir perlu setiap orang menyatakan sikap yang sejujurnya
untuk berperang melawan korupsi, bagi yang memang mau merayakan
niat itu. Tak diperlukan jargon dan mengumbar slogan, karena ternyata
hal ini hanyalah kamuflase. Kita pernah menyaksikan orang-orang yang
terhormat mengepalkan tangan dan berseru: Katakan tidak pada
korupsi. Ternyata mereka sebenarnya mau mengatakan: Katakan (saja)
tidak, pada (hal) korupsi.
Sekarang, bagai dikirim dari langit, ada gerakan saweran untuk
pembangunan gedung baru KPK. Ini bisa dijadikan momentum untuk
menyatakan sikap bahwa siapa pun yang ikut saweran adalah orang yang
sebenar-benarnya anti korupsi. Setidaknya, itulah simbol yang saya
gunakan, sederhana kan? Karena sederhana, nilai rupiah yang disawer tak
menjadi penting. Lebih penting adalah niat yang kemudian dijadikan sikap

dalam keseharian.
Mendukung saweran sama sekali tanpa maksud menyalahkan dan
membenarkan sesuatu. Tak terlintas, saweran ini saya jadikan simbol
perang kepada Komisi Hukum DPR yang menjegal anggaran gedung baru
KPK. Saya berpikir positif, anggota DPR sudah bekerja dengan baik.
Disebutkan, Komisi Hukum punya 14 mitra kerja, yang semuanya minta
gedung baru. DPR harus memilih, siapa yang diberi, siapa yang ditunda,
siapa yang ditolak. Kekuasaan DPR yang luar biasa itu kebetulan menunda
anggaran KPK. Tak ada yang salah kan? Yang salah adalah ketika kita
menciptakan kekuasaan parlemen begitu besar, kita memilih orang-orang
yang tidak pandai bersyukur dengan rejeki yang sudah didapatkan
dengan halal. Kesalahan ini kemudian bisa bercabang banyak, mungkin
sistem pemilihan yang salah, atau asal-muasal sumber anggota parlemen
itu yang tak pas.
Tapi apa perlu saling menyalahkan? Lebih baik saling memperbaiki.
Sambil memperbaiki itu, bobrok utama negara ini, yakni korupsi, harus
diperangi dengan melibatkan sebanyak-banyaknya orang. Kita buat
simbol perlawanan yang sederhana: saweran untuk gedung yang jadi
ujung tombak pemberantasan korupsi itu. Setuju?
(Dimuat Koran Tempo Minggu 1 Juli 2012)

Senin,23 Januari 2012 @ 16:12


Kursi
Pandita Mpu Jaya Prema
Kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat sangat mahal. Pernyataan ini
sudah lama ada, sejak Orde Baru, Orde Reformasi, sampai "orde salah
pilih" sekarang ini. Namun kata kursi itu diapit tanda petik menjadi "kursi".
Berarti kiasan, yang dimaksud adalah jabatan.
Maklum, ketika sistem pemilihan umum legislatif memakai nomor urut,
calon wakil rakyat harus menyetor sejumlah uang kepada pemimpin
partai di daerah, lalu segepok duit lagi kepada pemimpin partai di pusat,
agar nomornya kecil. Ketika sistem berubah memakai perolehan suara,
ternyata jumlah uang yang keluar lebih banyak untuk membeli suara
langsung di masyarakat. Apalagi rakyat semakin cerdas, uang diterima
dari setiap calon sambil bersumpah akan mencoblosnya--dan rakyat yang
cerdas itu tahu sumpah di depan "pemabuk jabatan" tak akan apa-apa.
Walhasil, kita mendapatkan anggota DPR yang menanam modal terlalu
banyak untuk "kursi", lalu berupaya selama menjabat mendapat

"pengembalian" plus "bunga".


Itulah wajah parlemen kita sekarang. Orang-orang yang cerdik
memanfaatkan peluang untuk menimbun harta--studi banding, dana
reses, tunjangan komunikasi, sampai minta obat kuat. Lalu mencuri waktu
untuk job di luar--ngurusi listrik tenaga surya, bisnis batu bara, calo
anggaran--yang membuat sidang kosong melompong.
Sudah kelakuannya begitu, gaya bicaranya "tinggi", menunjukkan "aku
yang lebih kuat". Lihat gaya mereka ketika berdialog dengan eksekutif.
Main tuding, ucapan kurang etika, dan selalu menekan lawan bicaranya
bak pengacara dalam sidang pengadilan--eh, ya, memang banyak mantan
pengacara.
Apakah benar kita berada di era "demokrasi salah pilih", mengutip istilah
yang dipopulerkan sebuah televisi swasta. Barangkali benar. Anggota
parlemen mabuk menikmati "kursi" yang mahal itu, dan kini sudah pula
datang kursi (tanpa tanda petik) yang juga mahal, Rp 24 juta sebuah.
Kursi itu diimpor dari Jerman dengan pesawat terbang--kalau pakai kapal
laut kelamaan, mungkin mereka tak sabar.
Dengan wajah parlemen seperti sekarang, tentu jauh berjarak dari
kehidupan rakyat. Rakyat bergulat dengan sampah dan lumpur di saat
musim banjir ini, wakil rakyat merasa ruangnya kurang wangi jika tak ada
pewangi impor. Maka dianggarkanlah uang pewangi Rp 1,3 miliar-wong yang membuat anggaran dan menyetujuinya mereka, kok, eksekutif
mau apa. Toilet dirombak (padahal di gedung bertingkat itu tak ada
banjir), butuh anggaran Rp 2 miliar. Kalender dicetak dengan biaya
miliaran untuk mengisi seluruh ruangan, eh, gambarnya kegiatan mereka
juga--kok tak bosan melihat dirinya sendiri? Semestinya di gedung rakyat
itu dipajang kalender "kelas rakyat", ada gambar petani membajak sawah,
ibu-ibu membatik, anak kecil memahat, dan banyak lagi coraknya. Pasti
gratis karena rakyat mau menyumbang kalender itu agar mereka
diperhatikan--minimal diperhatikan gambarnya.
Soal kursi yang mahal itu, Ketua DPR Marzuki Alie meminta agar kursi
tersebut dikeluarkan dan dikembalikan. Ini menusuk perasaan rakyat, kata
dia, sambil bertanya: apa lagi yang bisa dikeluarkan dari ruangan yang
mewah ini? Belum ada yang usul kepada Marzuki apa yang mesti
dikeluarkan lagi. Kalau suara rakyat diperhatikan, baik lewat percakapan
sehari-hari maupun lewat jejaring sosial, ada yang perlu dipikirkan untuk
dikeluarkan dari gedung parlemen Senayan. Yakni, orang-orang yang
duduk di kursi Dewan itu, kembalikan ke habitat mereka yang benar. Lalu
mari kita kaji bersama sebuah sistem pemilihan untuk mendapatkan wakil
rakyat yang betul-betul tahu rakyat, dari keluhannya sampai baunya.
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu 22

Januari 2012)

Kamis,19 Januari 2012 @ 01:53


Dusta
Pandita Mpu Jaya Prema
(Tulisan Putu Setia diambil dari Koran Tempo Minggu 15 Januari 2012)
Jangan ada dusta di antara kita. Ini satu kalimat dalam lirik lagu lama, tapi
sering dikumandangkan dalam acara nostalgia di berbagai radio. Kalimat
itu pun sering dikutip oleh para pejabat, apakah dia politikus atau pejabat
karier nonpolitikus. Penekanannya ada pada kata "dusta". Cuma,
sementara dalam lagu dusta itu berkaitan dengan cinta, dalam dunia
yang tak berurusan dengan senandung, dusta berkaitan dengan
persahabatan, kebijaksanaan, pernyataan, dan seterusnya.
Dusta sudah memenuhi atmosfer negeri ini. Dari Aceh sampai Papua,
virus dusta sudah memasuki berbagai lapisan masyarakat. Dari pejabat
tinggi sampai pejabat rendah, urusan dusta sudah tak asing lagi. Bahkan
berbagai instansi menggunakan dusta justru untuk mempertahankan
citranya, atau setidak-tidaknya untuk membantah tuduhan negatif yang
mengarah ke instansi tersebut.
Sebut saja kepolisian. Setiap polisi bentrok dengan rakyat dan memakan
korban jiwa, polisi selalu bilang, tak pernah menggunakan peluru tajam.
Ketika ada bukti selongsong peluru ditemukan, dusta pun direvisi menjadi:
sudah sesuai dengan prosedur, peluru hampa dulu, peluru karet
menyusul, dan dalam keadaan terpaksa baru peluru tajam untuk
melumpuhkan. Kenapa korban sampai tewas? Dusta direvisi lagi:
korbannya barangkali sedang merunduk.
Kasus anyar tentang kematian dua adik-kakak, Faisal Akbar dan Budri M.
Zen, di tahanan Kepolisian Sektor Sijunjung, Sumatera Barat. Dari instansi
kepolisian yang paling rendah sampai yang tertinggi sepakat menyebut
Faisal dan Budri tewas gantung diri bersamaan di kamar mandi. Kenapa
orang tewas gantung diri tubuhnya penuh lebam dan lehernya patah?
Dusta pun ditambah satu tingkat: itu akibat dikeroyok warga. Ketika warga
bisa membuktikan tak pernah mengeroyok Faisal--apalagi Budri--dusta
akan diteruskan sampai beberapa tingkat lagi.
Tapi bukan hanya polisi yang memonopoli dusta. Anggota parlemen yang
punya sebutan "yang terhormat" (polisi tak memakai sebutan itu) juga
menyimpan banyak dusta. Bahkan dusta dijadikan hobi, seperti hobi
memakai mobil mewah dan hobi malas menghadiri sidang. Kasus paling

gres soal renovasi ruang rapat Badan Anggaran senilai Rp 20 miliaran itu.
Setelah media massa jail mempermasalahkan hal ini, dan setelah
Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat takut berdusta, lalu
membeberkan apa adanya, para wakil rakyat ramai-ramai bilang tidak
tahu.
Apakah itu dusta atau bukan? Kalau anggota parlemen tak pernah
mengeluhkan soal ruang rapatnya yang sekarang, bagaimana mungkin
ada rencana merenovasi? Kalau Badan Urusan Rumah Tangga DPR tak
menyetujui renovasi dan Badan Anggaran tak menyetujui anggarannya,
bagaimana mungkin Sekjen DPR melaksanakan proyek itu? Situasi
transparan seperti ini memang menyulitkan untuk berdusta. Misalnya
bilang, "Wah, saya baru tahu setelah kursi dari Jerman itu dipasang." Ini
artinya anggota DPR tak tahu rumahnya sendiri. Lalu bagaimana ia tahu
rumah rakyat di Flores, Sampit, Bima, dan lainnya?
Biar adil, jangan cuma menyebut polisi dan politikus. Mari sebut eksekutif,
misalnya, menteri. Wah, kalau dusta para menteri ditulis, perlu berlembarlembar halaman. Bagaimana kalau cari satu contoh kecil saja--dan
sepele--yakni mobil Menteri Muhaimin yang mendadak mogok dan
menyebabkan tabrakan beruntun di Malang. Sudah jelas gambarnya
terpampang di media massa betapa hancurnya beberapa mobil akibat
tabrakan beruntun itu, Muhaimin tetap bilang, "Enggak ada, tuh,
tabrakan. Aku lancar-lancar saja."
Apakah perlu Presiden mengeluarkan instruksi mengakhiri dusta? Janganjangan malah ini menambah dusta baru.

Minggu,08 Januari 2012 @ 11:28


Kerja. Kerja. Kerja.
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 8 Januari 2012)
Kerja. Kerja. Kerja. Baca tiga kali, tapi tak perlu setiap hari, nanti dikira
obat asma. Kalau hanya dibaca sekali, kata ini terasa hambar, tanpa ada
penekanan. Dahlan Iskan, ketika masih menjabat Direktur Utama PT PLN,
menggunakan kata yang diulang tiga kali itu untuk memberi semangat
"bekerja habis-habisan" kepada anak buahnya. Wajah perusahaan setrum
negara itu pun segera berubah. Program sejuta sambungan baru, listrik
prabayar, dan meminimalkan byar-pet, yang tadinya seperti mustahil
dilaksanakan, tiba-tiba di ada depan mata. Dulu minta tambahan daya

menunggu seminggu, sekarang bisa telepon tengah malam ke call


center PLN.
Slogan "kerja, kerja, kerja" dibawa Dahlan ke kantornya yang baru sebagai
Menteri Badan Usaha Milik Negara. Bukan cuma di bibir, tapi
dilaksanakan. Kerja Direksi BUMN dimaksimalkan, Komisaris BUMN diberi
wewenang lebih. Staf khusus dan staf ahli dihapus, kata Dahlan, bukankah
yang paling khusus dan paling ahli itu direktur utama? Artinya, direksi dan
komisaris BUMN bukan lagi merupakan "jabatan titipan" atau "jabatan
hadiah". Kesan ini sudah lama ada, pejabat tinggi yang pensiun diberi
jabatan komisaris di BUMN, padahal dia tak mengerti masalah di sana.
Bagi saya, tak ada yang baru dari ucapan Dahlan soal "kerja, kerja, kerja"
itu. Pada pertengahan 1978, Dahlan pindah dari Samarinda ke Surabaya,
dan saya pindah dari Denpasar ke Yogyakarta. Majalah Tempo bertekad
membangun organisasi dengan manajemen modern. Dahlan dengan
stafnya memulai dari kamar 3 x 3 meter. Di sana tergeletak mesin ketik,
koran, termos, juga kasur. Di Yogya juga sama. Kalau kami saling
berkunjung, obrolan pasti ramai, tapi selalu berhenti dengan teriakan:
kerja, kerja, kerja.
Dahlan kini jadi orang sukses, kaya, dan terkenal. Saya jauh dari sukses,
tidak kaya, dan sama sekali tak terkenal. Tapi saya bangga Dahlan masih
tetap asyik naik kereta api kelas rakyat, seperti 30 tahun lalu kalau kami
ke Jakarta. Asalkan jangan sering-sering, karena Dahlan sekarang menteri,
nanti terbuka kesan: "Dahlan mencari popularitas murahan". Maklum,
banyak politikus yang punya hobi iri.
Indonesia, yang kini terpuruk, sebenarnya bisa bangkit dengan konsep
sederhana itu: kerja, kerja, kerja. Kerja yang sesuai dengan bidangnya,
bukan ngerjain orang lain supaya orang itu terjungkal. Lalu hormati apa
hasil kerja itu. Misalnya, tugas Dewan Perwakilan Rakyat mengawasi, lalu
mereka menemukan kejanggalan dalam kasus Bank Century, sehingga
mereka yakin ada korupsi di sana. Adapun Badan Pemeriksa Keuangan,
yang melakukan audit, tak menemukan kejanggalan. Maka hormati kerja
BPK, bukan melecehkan dan meminta auditor internasional. Kalau nanti
Komisi Pemberantasan Korupsi, misalnya, tak menemukan juga unsur
korupsi dalam kasus ini, apakah DPR meminta turun tangan KPK
internasional? Jangan memaksakan hasil kerja sebuah lembaga
berdasarkan apa yang diduga lembaga lain.
Dahlan menghormati hasil kerja keras orang lain. Sepatu kets, baju lengan
panjang yang digulung, serta cara bicara dan berjalannya tetap seperti
Dahlan Iskan yang lalu. Indonesia membutuhkan orang-orang apa adanya
seperti ini, bukan "manusia sandiwara", yang setelah jadi pejabat lalu
mematut-matutkan dirinya: harus ada sopir, ada ajudan, ada pelayan,
kapan harus tersenyum, dan bagaimana melangkahkan kaki. Presiden
Amerika Serikat Barack Obama, ketika turun dari pesawat sendirian tanpa

istri, berlari kecil. Ia berjalan, berpidato, dan ngobrol dengan sikap biasa
saja. Pejabat kita, waduh, penuh basa-basi feodalisme. Berjalan
menghitung langkah, pidato memakai teks, pantas saja Dahlan gerah
ketika tahu ada Direksi BUMN yang punya "staf khusus membuat pidato".

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:47


Menteri Baru
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Hari-hari ini pasti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak sempat
memikirkan mengganti para menterinya. Desakan supaya mengganti
menteri yang kinerjanya buruk, terus menggema. Bencana alam yang
beruntun, dari barat ke timur, membuat perhatian SBY tercurahkan ke
rakyat.
Saya terpanggil membantu SBY. Tapi bukan soal mengganti menteri,
karena saya tak banyak hafal nama menteri, apalagi yang dikerjakannya.
Saya justru mengusulkan menambah dua kementrian baru. Ini usul serius,
jangan ditertawakan, tak boleh ada seorang pun anak bangsa (istilah ini
mengingatkan saya pada Amien Rais, di mana ya beliau?) yang tertawa di
tengah bencana.
Kementrian pertama adalah Kementrian Urusan Studi Banding. Yang
kedua, Kementrian Urusan Bencana.
Tugas Menteri Studi Banding adalah membuat aturan apa yang
dimaksudkan studi banding, apa tema yang akan dibandingkan, siapa
orang yang berangkat, kemana tujuannya, kapan boleh berangkat, dan
banyak lagi.
Menjelang berakhirnya tahun anggaran ini, studi banding begitu meriah,
baik yang keluar negeri maupun di dalam negeri. Tetapi temanya
menghina kecerdasan maupun nalar anak bangsa, yang sudah
mewariskan budaya luhur sejak Zaman Majapahit. Untuk urusan etika saja
harus berangkat ke Yunani, memangnya Kerajaan Majapahit, Kediri,
Mataram tak pernah menghasilkan susastra berkaitan dengan etika? Aksi
unjuk rasa era Mataram dilakukan rakyat dengan pepe berjemur diam di
alun-alun dan Raja terhina kalau tidak mendengar pengaduan
rakyatnya. Ini satu contoh kecil etika adiluhur. Sekarang aksi unjuk rasa
sudah meniru Barat, merobohkan pagar, membakar ban bekas (ban baru
mahal kan?), lalu bentrok dengan petugas. Mestinya orang Barat yang

belajar etika ke sini.


Begitu pula etika berangkatnya, negeri sedang berkabung dengan mayatmayat tergeletak diserang tsunami dan awan panas, kok bisanya terbang
ke luar negeri. Apa masih enak bersantap di atas langit dilayani pramugari
cantik, berjalan di London, Athena, Berlin? Jika tak terganggu dengan
musibah di dalam negeri, berarti sudah tak waras lagi maaf, tadinya
hampir saya gunakan kata edan.
Di dalam negeri juga begitu. Pejabat di Bali studi banding ke Kalimantan
Timur,
mempelajari
dampak
pertambangan
batubara.
Apa
juntrungannya, wong di Bali tak ada batubara? Bali pun dipenuhi pejabat
dan wakil rakyat dari daerah lain yang studi banding, tapi yang dikunjungi
Pura Besakih, Pura Tanah Lot, apa mau belajar Hindu? Terlalu dangkal
penipuan ini, hanya untuk plesir saja menggunakan uang rakyat.
Menteri Bencana urusannya pun banyak. Kita hidup di alam yang akrab
dengan bencana, tetapi penanganan bencana kacau, tak ada kordinasi.
Banyak lembaga yang mengumpulkan dompet bencana khususnya
media massa tapi tak ada transparansi sudah berapa bantuan
diserahkan ke korban, bagaimana cara membantu dan prioritas yang
dibantu, berapa sisa dana dan bunga banknya, siapa yang mengaudit,
dan layakkah bantuan itu diberi label pengelola dompet padahal
uangnya dari masyarakat.
Jika ada kementerian ini, semuanya harus melalui pintu itu, ada
penanggungjawab tunggal, tetapi yang bergerak bisa banyak institusi.
Akan terhindar salah bantu, misalnya, ketika di satu tempat pengungsian
dilaporkan makanan tak cukup, semua orang menyumbang nasi bungkus.
Esoknya, ribuan nasi bungkus basi, sementara bayi kehabisan susu.
Itulah usul saya Pak SBY, tambah dua kementrian. Kalau disetujui satu,
cukup Kementrian Bencana saja, urusan studi banding dijadikan direktorat
jenderal namanya: direktorat jendral bencana moral.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:48


Damai
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Damai itu indah. Spanduk itu terpampang di depan kantor Komando


Distrik Militer. Di sebelahnya ada gardu jaga dan seorang prajurit
bersenjata lengkap entah ada pelurunya atau hampaberdiri tegak
dengan wajah garang.

Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita
sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang
damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada
sebuah misa Natal entah di mana, karena saya mendengarnya lewat
radio.

Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal
tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang
budayawan, yang agak relevan disebut seorang Muslim.

Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual
keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang
jawabannya melebar ke mana-mana.

Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide
agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh
aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu
dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang
masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia
sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat.
Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.

Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh
diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka
percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan
persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala
niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah dicegah oleh
Tuhan.

Saya setuju persembahyangan jangan dijaga polisi, apalagi sampai


memakai alat dedektor logam di pintu masuk pura. Kalau pun ada polisi

yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya
tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau
Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu:
kalau itu sampai terjadi sembahyang dijaga polisi akan menjadi trauma
berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita
tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga
jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang
menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana
menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom
apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi
siap menjaga gereja. Pecalang aparat keamanan milik adat di Bali juga
diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa
aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena
saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani
mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai menebar ketakutan,
seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih
parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal
ingin mengacaukan misa Natal.

Pada akhirnya, perlu tidaknya penjagaan tidak bisakah menjaga


keamanan dengan diam-diam -- tentu umat Kristiani yang paling tahu
jawabannya. Barangkali benar ada ketakutan, karena sejumlah gereja
pernah dirusak -- menjelang atau sesudah Natal-- tapi apa itu sepanjang
tahun?

Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat
Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin
Indonesia yang damai -- seperti dulu.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:50


J. K.
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Keputusan Jusuf Kalla (JK) pisah dengan Soesilo Bambang Yudhoyono

membuat girang Romo Sugeng begitulah lelaki ini saya panggil dengan
akrab. Romo yang usianya sudah kepala tujuh tetapi masih berani makan
tongseng kambing ini, bukan partisan partai. Ia petani, tapi lahan
pertaniannya disewakan untuk perkebunan teh. Ia kerap saya temui di
warung tongseng Bang Jarot yang terkenal di Desa Kemuning itu, desa
terdekat sebelum menanjak menuju Candi Ceto di Gunung Lawu,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Seandainya JK masih berkoalisi dengan SBY, pertandingan tidak seru,


karena yang menang sudah jelas. Ibarat Barcelona melawan Perseketos
(persatuan sepakbola Kemoning Ceto dan sekitarnya). Kan sempat
muncul istilah boikot pemilihan presiden, tak mengajukan calon, bahkan
ada usul supaya dikaji dasar hukum untuk jaga-jaga kalau ternyata calon
presidennya tunggal, seperti di zaman Harto, ujar penggemar bola dan
penggila Lionel Messi ini.

Jadi, Romo akan memilih JK ketimbang SBY? tanya saya asal-asalan.

Lo, belum ke sana. Sampeyan nggak ngerti politik, sih. Posisi JK itu
sekarang, baru pada mencairkan kembali semangat untuk bertanding
yang tadinya sempat loyo. Dengan cerainya JK pada SBY, partai lain
menaruh harapan untuk disambangi JK. Sebaliknya, JK pun bersemangat
untuk mendatangi. Kalau JK berhasil membangun kekuatan, kan yang
memilih jadi bersemangat karena hasilnya tidak pasti. Seni dalam memilih
itu adalah jika kita tak bisa memastikan hasil akhirnya. Ketidak-pastian
ini, seperti dialami para petaruh, memunculkan kegairahan.

Apa JK punya kekuatan, Romo? tanya saya, masih asal-asalan.

Dia kan pengusaha, jadi awalnya non-birokrat, lalu non-militer, kemudian


non-Jawa. Non-non ini akan membuat pemilih untuk main coba-coba

Romo, ini saya tak setuju, memilih pemimpin kok coba-coba, taruhannya
bangsa Romo, kata saya memotong.

Lagi-lagi sampeyan tak tahu politik para pemilih, kata Romo agak keras.
Sampeyan kemarin bilang, di Bali ada pelawak yang hanya cengangascengenges di panggung bisa meraih kursi di Senayan, mengalahkan para
politikus karatan. Itu artinya, pemilih bosan dikibuli para politikus selama
ini. Nah, apa bedanya dengan bangsa? Puluhan tahun dipimpin militer,
berpuluh tahun dipimpin orang Jawa, berbilang tahun dipimpin birokrat
tulen, hasilnya begini-begini saja. Coba pilih yang lain, jangan-jangan
lebih bagus. Pergilah sampeyan ke Sulawesi, Kalimantan, Papua, Flores,
pemikiran seperti ini berkembang.

Saya diam, bukannya setuju, tetapi rikuh mendebat. Romo melanjutkan:


Kekuatan JK lainnya, ia dipojokkan dengan basa-basi khas Jawa, lalu
mencuat harga dirinya. Ia sebenarnya ditolak mendampingi SBY kembali,
tetapi pihak SBY berdalih: mbok sodorkan nama lebih dari satu. Ia tak
diharap menghadiri rapat kabinet, tetapi dalihnya: kalau sibuk nggak usah
ikut rapat. Kenapa tak berjelas-jelas saja? Dalam kasus ini, ada istilah
politik Inul yang pernah pula dinikmati SBY pada pemerintahan Mega.
Pada saat seseorang dilecehkan --seperti Inul dilecehkan Rhoma Irama-pada saat itulah simpati berhamburan datang.

Saya merasa lebih baik diam, sehingga Romo nyerocos lagi: Kelemahan
JK, jika ia tak berhasil memimpin koalisi, lalu tetap hanya jadi orang nomor
dua, maka tamatlah dia. Siapa pun orang pertamanya, kemungkinan
koalisi itu menang melawan SBY sangat tipis.

Saya ternganga, lalu permisi. Di lereng Gunung Lawu yang beraroma


magis ini, sulit membedakan antara pengamat, peramal, paranormal, atau
orang lagi stress.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:50


Terburuk
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Politisi yang kalah pada Pemilu 9 April, plus para tokoh yang nafsu besar
berkuasa tapi tidak punya partai, berkumpul di rumah Ibu Megawati. Salah
satu kesepakatannya, Pemilu 9 April lalu adalah Pemilu terburuk
sepanjang era reformasi. Kesimpulan itu diiyakan juga oleh mantan wakil
Presiden Hamzah Haz.

Saya sepakat soal ini. Tak ada yang perlu dibantah.

Pemilu yang lalu membuat capek banyak orang. Calon legislator capek
bukan main, bahkan ada yang nekad ingin istirahat selamanya, misalnya,
gantung diri. Petugas Pemilu, dari panitia pemungutan suara sampai
anggota komisi pemilihan umum, pasti capek juga. Pimpinan partai lebih
capek lagi, mondar-mandir menawarkan koalisi.

Saya yang mujur tidak menjadi calon legislator, juga capek. Mata capek
melihat tabulasi suara di televisi yang tak beranjak naik. Kuping capek
mendengar politisi yang saling tuduh lewat radio. Jadi, saya sepakat soal
capek itu.

Pemilu direkayasa untuk kemenangan partai tertentu. Daftar pemilih tetap


yang amburadul disengaja untuk menggelembungkan Partai Demokrat.
Karena itu Pemilu harus digugat, tidak sah, dan perlu diulang. Ini
pendapat sejumlah tokoh, bahkan tokoh yang pernah saya kagumi karena
sempat menyebut diri calon presiden alternatif.

Saya, dengan mengurangi rasa hormat, tidak sepakat. Saya langsung


mencoret sejumlah tokoh idola dalam memori otak saya.

Menjelang Pemilu, saya banyak di Bali dan di eks Karesidenan Surakarta,


kadang di Solo kadang di Karanganyar. Orang-orang yang tak terdaftar di
daftar pemilih tetap atau yang tak menerima surat panggilan
mencontreng, kesal benar dengan pemerintah. Pemerintah disebut
memihak partai besar, yaitu Partai Banteng Gemuk dan Partai Beringin.
Lo, kenapa partai itu jadi tersangka? Maklum, yang jadi Bupati adalah

kader PDI P dan Golkar. Bahkan di Bali, gubernurnya ikut kampanye PDI P.
Bukankah dari pemerintah itu sumber daftar pemilih tetap yang
amburadul? Maka, kader partai biru meradang, sedang kader partai
merah dan partai kuning, tenang-tenang saja.

Eh, setelah Pemilu, terjadi keajaiban. Yang memprotes daftar pemilih tetap
justru sebaliknya. Artinya, protes dan tidak memprotes, hujat dan tidak
menghujat, tergantung siapa yang kalah dan siapa yang menang. Partai
menang sudah nasibnya jadi tersangka dan partai kalah tak perlu malu
untuk jadi penuntut.

Pemilu yang buruk, memang disepakati. Tetapi, buruk rupa Pemilu jangan
cermin bangsa dibelah. Sistemlah yang membuat Pemilu jadi rumit,
bertele-tele, dan amat mahal. Sistem lahir karena tuntutan undangundang. Contoh kecil, pemilih harus terdaftar. Padahal kalau mau
gampang, pemilih tinggal menyodorkan kartu tanda penduduk. Bukankah
dengan KTP ber NIK (nomor induk kependudukan) yang oleh orang desa
disebut KTP Nasional tidak memungkinkan (teorinya) ada seorang
memiliki dua KTP? Kalau pun ada maklum masih ada desa yang tak
punya komputer online dan banyak orang kota yang nakal bukankah ada
tinta Pemilu yang mencegah orang memilih dua kali? Tinggal
pengawasan.

Yang gampang itu dipersulit oleh undang-undang. Ini hanya satu contoh,
banyak contoh lain. Lalu siapa yang membuat undang-undang itu? Ya,
wakil rakyat yang ditentukan oleh partai. Jadi, kalau Pemilu ini buruk, yang
sesungguhnya buruk itu adalah orang-orang partai di Senayan.

Mari perbaiki dari pangkalnya, jangan menuduh, apalagi memprovokasi


dengan wacana Pemilu tak sah atau perlu diulang. Rakyat, yang makin
pintar, siap menghukum tokoh provokator. Saya, sebagian dari rakyat itu,
meski pun tak cukup pinter.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52


Iklan
Pandita Mpu Jaya Prema

Iklan

Putu Setia

Ini bukan iklan politik. Juga bukan iklan caleg-calegan. Ini hanya cerita
seorang teman yang gemar sekali mengomentari iklan, tetapi sangat
terpengaruh oleh iklan. Bayangkan saja, ia sudah demikian sehat lahir
batin, masih saja minum suplemen untuk keperkasaan laki-laki. Apanya
lagi yang perlu diperkasa?

Kalau saya tak minum obat kuat itu, kasihan kan produsennya pasang
iklan mahal-mahal, katanya. Artinya, teman saya ini setuju, iklan itu
perlu untuk menjual produk. Namun, katanya lagi, kalau usahanya itu
sudah monopoli, tak ada saingan sama sekali, ya, untuk apa beriklan? Itu
buang-buang duit dan rentan korupsi, apalagi jika itu perusahaan negara.
Contohnya Pertamina, ngapain mengiklankan jual premium? Memangnya
kalau tak beriklan, pemilik sepeda motor dan mobil akan membeli
premium di kantor telepon?

Teman saya ini mencatat, hampir semua departemen membuat iklan tak
bermutu, pesan yang disampaikan tak sebanding dengan biaya yang
milyaran rupiah. Menteri Kesehatan buat iklan untuk hidup sehat, Menteri
Olahraga buat iklan untuk berolahraga. Masyarakat kok dianggap bodoh.
Mending uang itu langsung dibagikan ke rakyat saja. Yang mereka jual itu
sesungguhnya bukan produk, tetapi tampang pengiklan.

Lihat di Depok, walikota pasang iklan lewat baliho untuk mengajak rakyat
makan pakai tangan kanan. Ini dikaitkan dengan jati diri bangsa. La,
senorak itu pesan yang disampaikan, membawa-bawa jati diri bangsa.
Memangnya tak ada yang lebih penting dari itu? kata teman saya.

Iklan politik dan iklan caleg (ini sudah populer, maksudnya iklan yang
dibuat para calon legislatif) juga menyebalkan di mata teman saya ini.
Partai besar membuat iklan yang menyalahkan pemerintah. Janjinya
begitu, faktanya begini. Padahal mereka menyembunyikan fakta penting,
yakni pemimpin partai itu sudah pernah memimpin bangsa ini, tetapi

ditinggalkan rakyat karena memang tidak berhasil, katanya.

Iseng-iseng saya bertanya, apakah kegemaran beriklan ini berdampak


positif atau buruk? Positif untuk pemilik televisi, pembuat spanduk dan
baliho. Pengiklan belum tentu, bisa positif bisa negatif, jawabnya. Lihat
iklan caleg, semuanya dengan bahasa pengemis: mohon dukungan,
mohon doa restu, tolong pilih saya. Atau bahasa klise yang jadi bahan
tertawaan: kami berjuang untuk rakyat, tempat rakyat mengadu, dan
sejenisnya. Memangnya rakyat buta dengan kelakuan anggota dewan
yang penuh skandal itu?

Ah, Anda terlalu jauh, skandal itu kan ulah oknum, kata saya. Tapi ini
yang melekat di hati rakyat sekarang. Pada saat rakyat sudah
berkesimpulan anggota dewan itu brengsek, meski tidak semua,
seharusnya cara beriklan itu lain. Begitu pula pada saat pejabat tak bisa
memberi contoh baik pada rakyat, jangan beriklan sok menggurui. Pilih
makanan yang sehat, cuci tangan pakai sabun, itu kan seolah rakyat
bodoh. Masalahnya, apa rakyat punya makanan dan bisa membeli sabun?
Ini kan pesan-pesan gombal.

Wah, saya tak berani mendebat lagi, takut kata yang keluar lebih jorok
dari gombal. Lama saya tak ketemu dia, sampai saatnya saya perlu
banget dan mengontak handphone-nya. Tak ada jawaban. Berkali-kali
saya memutar nomor 0818xxx xxx, tak ada jawaban, padahal ini kartu
yang jangkauannya paling luas dan tarifnya konon paling murah. Eh, tibatiba dia nongol dan langsung saya semprot: Saya telepon Anda, kok tak
dijawab? Dia tenang saja: Gara-gara iklan. Kartu yang saya pakai dulu,
sekarang dipakai para monyet, ya, saya ganti, memangnya saya juga
monyet?

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52


Angka (1)
Pandita Mpu Jaya Prema
Angka

Putu Setia

Namanya Sidhayogi Acharya Shri Kamal Kishore Gosvami. Ia penemu


teknik meditasi angka. Disebut begitu, karena peserta hanya perlu
mengingat satu angka. Angka itu harus dirahasiakan dan hanya boleh
diketahui Sang Guru, karena angka itu disucikan di hadapan guru. Lewat
angka suci itulah para penekun meditasi menyebut nama Tuhan untuk
membangkitkan kekuatan kundalini yang ada di dalam tubuh.

Sebagai penekun, seharusnya saya tak perlu tahu angka berapa yang
dipilih para sahabat meditasi. Tapi, dasar saya suka iseng, dalam sekali
lirikan saya bisa menebak angka yang dipilih oleh teman duduk saya.
Misalnya, dengan melihat berapa batang dupa (atau hio) yang dia bakar,
berapa kali dia melafalkan doa dari bahasa tubuhnya. Bermeditasi
dengan iseng melirik kiri kanan seperti ini tentu tak dianjurkan, tapi saya
kan memang bandel?

Saya menduga, banyak peserta yang memilih angka 6. Lalu saya main
tebak: O, itu pasti karena angka 6 adalah milik alam semesta, yang
memenuhi jagat raya. Dalam ritual Hindu, angka 4 ada di utara, angka 5
di timur, angka 7 di barat, angka 8 di tengah, dan angka 9 ada di selatan.
La, angka 6 kok dilewatkan? Itu artinya angka yang maha sakti
memenuhi seluruh penjuru angin.

Seorang yogi menyebutkan, angka 6 paling baik. Hanya angka 6 yang


kalau dibalik, nilainya jadi 9, angka tertinggi. Kalau 666, itu lebih
istimewa, karena jumlahnya 18, dijumlah lagi jadi 9, padahal tanpa harus
dibalik, katanya. Angka yang bisa diputar balik adalah 1, 6, 8 dan 9.
Angka lainnya kalau dibalik tak berbunyi. Angka 1 dan 8 meski pun
dibalik, nilainya sama. Angka 9 kalau dibalik nilainya malah turun.

Bagi sebagian masyarakat, sejak zaman baheula, angka menjadi roh


kehidupan. Semua angka punya makna dan perlambang, lalu jadi acuan
dalam mencari jodoh, melakukan usaha, peruntungan, dan segalanya. Ini

disebut primbon. Adapun di era modern ini, angka dikutak-katik untuk


memasang togel (toto gelap). Ini kebiasaan orang desa. Kalau orang kota,
mereka mau membayar mahal untuk nomor polisi di mobilnya atau
nomor hp-nya. Ini disebut nomor cantik.
.
Banyak juga yang tak peduli angka. Saya termasuk di dalamnya, cuek
saja, kecuali untuk meditasi itu. Apalagi, jika dikaitkan dengan
kepercayaan, saya bisa bingung, mengacu kepada kepercayaan yang
mana? Di India, Cina, Yunani, Dayak Kaharingan, Jawa, makna angka bisa
berbeda. Yang mirip hanya di Jawa dan Bali, cuma nama ilmunya beda.
Di Jawa disebut neptu, di Bali disebut urip.
Karena itu saya kaget ketika Aburizal Bakrie marah karena dalam gambar
sampul Majalah Tempo dikeningnya ada angka 666. Beliau rupanya
percaya akan makna angka dan saya tambah kaget lagi karena
berdasarkan kepercayaan tertentu.

Tadinya saya pikir beliau senang, karena saya teringat makna angka 666
dari kepercayaan yang lain. Saya membayangkan, Pak Ical akan maju
terus bisnis dan kariernya. Lagi pula sebagai penggemar tenis, dapat
point 6 berarti memenangkan pertandingan. Ternyata, menurut beliau, itu
angka setan. Ih, ngeri juga.

Apakah yang menggambar wajah Pak Ical dengan angka itu, tahu seluk
beluk angka dari berbagai kepercayaan? Saya meragukannya. Mereka, tim
desain Tempo itu, anak-anak muda yang lurus, tak pernah saya jumpai
pegang buku primbon, apalagi memelototi Ramalan Romo Gayeng
untuk memasang togel. Saya kira, mereka hanya tak sempat ke Tanah
Abang makan sop kambing, lalu kesal dan menulis angka 666. Maklum,
langganannya Bang Kumis 999. Eh, somasi pun datang, tapi bukan dari
Tanah Abang.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:53


Psikopat
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Dua remaja wanita lagi berbisik di atas bus kota yang terseok karena
macet. Jadi, kau putus sama dia? tanya yang satu. Yang ditanya
menjawab:
Aku
lagi
bingung,
orangnya
pendiam.
Wajahnya
yang ndeso awalnya justru jadi daya tarikku. Tapi, aku bingung,
bagaimana kalau kalau dia itu psikopat.

Psikopat jadi kata yang ramai diributkan belakangan ini setelah


VerryIdham Henyansyah alias Ryan menjadi tokoh nasional. Ia
mencincang korbannya dan membuangnya di sebuah tempat. Ia
membunuh teman-temannya di halaman belakang rumahnya dan
menguburnya diam-diam. Ia tenang saja, tak menutupi wajahnya ketika
kamera televisi membidiknya. Ia mengaku tak tahu, kenapa dia
membunuh.

Psikopat, kata seorang ahli, adalah orang yang senang melanggar aturan.
Puas kalau orang lain sengsara. Tak pernah menyesal meskipun
perbuatannya sangat terkutuk. Jadi, begitu jauhkah beda antara pengidap
psikopat dengan orang yang saleh dan taat beragama, seperti para
pendeta, misalnya? Tidak juga. Karena, menurut seorang ahli yang lain,
pengidap psikopat itu juga kerap memamerkan pribadi yang santun, tutur
kata indah, menyenangkan sebagai kawan, dan rajin sembahyang.

Kalau begitu, psikopat gentayangan di sekitar kita. Perlu vaksin agar kita
yang normal sudah pasti pula kaum psikopat merasa dirinya normal
tidak kejangkitan virus psikopat. Cobalah dibuka ingatan kita, betapa virus
psikopat ini sudah jauh menyebar. Setiap pelaku teror tertangkap, pasti
masyarakat sekitarnya berkomentar: tak menduga, ya, orangnya baik
kok, kalem, taat sembahyang. Apakah ini pertanda penggemar STMJ
sembahyang taat maksiat jalan-- makin banyak?. Amrozi yang senyumnya
manis itu, adakah pengidap psikopat juga, karena ia membunuh ratusan
orang tanpa pernah menyesal?

Ditelisik lebih jauh, prilaku menyimpang yang dikatagorikan psikopat atau


mendekati gejala psikopat, ternyata tak sulit-sulit amat dicarikan contoh.
Anggota DPR yang tertangkap menerima suap justru yang rajin
sembahyang dan bahkan memasang stiker puasa korupsi di pintu
masuk ruang kerjanya. Mereka karena lebih dari satu bisa
digolongkan sweet psychopatic, pengidap psikopat yang manis: manis

prilakunya, manis tutur katanya, manis dandanannya. Kalau begitu


persyaratan untuk calon legislatif mendatang perlu ditambah satu lagi:
bebas dari virus psikopat. Cuma, resikonya, tukang test ini juga
janganlah orang yang suka menyengsarakan orang atau sekedar ingin
menjegal. Ini artinya jeruk makan jeruk.

Lebih berbahaya mana Ryan, anak Jombang yang berpenampilan tenang


itu, dengan para pengemplang uang negara, yang juga bisa
berpenampilan tenang? Tentu sama-sama bahayanya. Ulah Ryan
membuat kita cemas, dan sama sekali tak masuk di akal, bagaimana
mungkin orang bisa puas dengan menyayat-nyayat tubuh manusia, yang
adalah temannya sendiri? Tapi, para koruptor itu juga sangat
mencemaskan, karena korupsi dijadikan profesi, bahkan hobi. Termasuk
anggota DPR itu, misalnya. Gaji yang didapat sebulan sudah Rp 80 juta
menurut pengakuan resmi Mahmud MD yang kini jadi hakim konstitusi
belum lagi ada uang ini itu, eh, masih menerima suap. Menjadi wakil
rakyat kok menyengsarakan rakyat, kan keterlaluan.

Sayangnya, para psikopat ini, apakah semacam Ryan atau sejenis


koruptor, sulit disembuhkan. Pencegahan dini bisa dilakukan dengan
pengawasan. Komunikasi horizontal perlu diperbarui dan perbanyak
dialog, tak usah mendirikan PAP partai anti psikopat. Selebihnya hukum
ditegakkan, nah, di sini sulitnya.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:53


Partai
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Ketika menonton Muhaimin Iskandar berebutan mengambil nomor urut


partai dengan Yenny Wahid, istri saya kembali kambuh kesalnya gara-gara
partai yang ia dirikan tidak lolos dalam verifikasi Komisi Pemilihan Umum.

Padahal partai itu akan menjadi partai besar. Namanya saja Partai Besar,
tentu aneh kalau tetap kecil. Nama partai itu sudah ibu pikirkan matang-

matang dan masyarakat pasti akan mendukungnya. Sekarang ini di manamana orang berteriak Tuhan Maha Besar, itu artinya harus diayomi oleh
Partai Besar. Wong cilik pasti ingin menjadi besar, dan orang-orang besar
tak akan mau menjadi orang kecil. Nah, partai ibu akan didukungnya,
kata istri saya nyerocos. Belum lagi masalah-masalah kecil yang ada di
negeri ini selalu dibesar-besarkan, bukankah itu pertanda partai ibu akan
laku?

Saya sudah capek menasehati kalau istri saya itu sebenarnya lagi sakit.
Ya, seperti orang-orang besar yang mendirikan partai itu, sejatinya
mereka itu orang sakit. Mereka harusnya istrirahat setelah menjadi kaya
dari sebuah rezim. Mendirikan partai kentara sekali hanya untuk
memuaskan nafsu berkuasa, bukan itikad luhur untuk melayani
masyarakat. Uang dihambur-hamburkan untuk itu, padahal begitu banyak
orang papa di sekitar kita.

Bersyukurlah Bu, Partai Besar tidak lolos. Sudah ada 34 partai yang lolos,
dan itu terlalu banyak. Rakyat sudah antipati pada partai. Mendengar
partai yang dibayangkan anggota dewan, lalu mendengar sejumlah kata:
korupsi, suap, main perempuan. Citra partai sudah hancur, kata saya
menenangkan.

Partai-partai baru sulit laku, kata saya lagi. Masyarakat telah terpola
dengan tiga partai, PDI mewakili kaum nasionalis, Golkar mewakili
kekaryaan dan PPP mewakili Islam. Ini karena sejarah yang panjang. Kalau
ditambah dua lagi, yaitu PKS dan Partai Demokrat, ya, semestinya sudah
cukup lima partai. Partai baru seperti Hanura, Gerinda, dan lainnya, itu
kan Golkar dalam bentuk lain. Partai Pelopor, PNI Marhaenis, Banteng
Kemerdekaan, dan sejenisnya, itu kan dianggap sempalannya PDI. Begitu
pula partai yang berbasis Islam, ada banyak karena sempal-menyempal.
Kalau induknya masih ada kenapa harus bergabung ke sempalannya?
Coba saja lihat nanti, partai-partai baru itu hanya dapat suara nol koma
nol nol persen.

Tapi kan tetap dapat suara, potong istri saya. Waktu pemilihan
Gubernur Bali ada kandidat yang mengumpulkan partai yang perolehan
suaranya nol koma nol persen itu, partai kecil dapat uang lumayan karena
menjadi penggenap agar jumlah suaranya 15 persen.

Itu memalukan. Mestinya partai dengan suara minimum langsung


dibubarkan dan pengurusnya tak boleh mendirikan partai apapun lagi.
Unsur malu harus jadi etika politik. Negeri ini amburadul kalau rasa malu
sudah hilang, saya memotong. Namun saya sudah tak sabar. Ya sudah,
tapi Ibu jangan menyalahkan KPU. Mungkin anak kita di Jakarta yang
terlambat mendaftarkan saya mencoba lagi menenangkan.

Istri saya langsung menelepon anaknya. Komang, apa betul Partai Besar
yang ibu dirikan sudah didaftarkan ke KPU? Kok tidak lolos? Kan semua
keluarga Ibu di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Jawa sepakat
membentuk cabang?

Terdengar suara di handphone. Lo, lo, ibu mendirikan partai politik?

Ya, dong, Partai Besar itu partai politik

Waduh, maaf Bu, saya mendaftarkannya ke Departemen Perdagangan,


bukan ke KPU.
Saya pikir Ibu mendirikan toko kelontong, kan toko kelontong di Jakarta
umumnya berisi tulisan: menjual eceran, grosir, partai besar dan partai
kecil.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52


Sontoloyo
Pandita Mpu Jaya Prema
Sontoloyo

Putu Setia

Dia, seorang perempuan parobaya, menghampiri saya yang lagi duduk di


taman kota sebelum jalan kaki sore hari. Bapak wartawan kan? Ada
tulisan nama koran di topi bapak. Kebetulan saya sedang gusar benar,
katanya dan langsung duduk di bangku beton.

Belum sempat saya menerka apakah ini perempuan sinting atau hanya
sekedar stress, dia sudah bicara lagi: Apa sekarang Bapak
masih membela-belain mahasiswa? Lihat itu ulahnya, dengan semangat
merusak pagar, dengan sorak gembira memblokir jalan, dengan enteng
membakar mobil. Apa yang membedakan mereka dengan preman yang
mabuk? Padahal tujuannya bagus untuk kepentingan rakyat, tapi ulahnya
mengganggu rakyat.

Sebentar Bu, ini soal apa?

Dia tak memberi waktu saya bertanya. Sudah tahu mahasiswa brutal, eh,
masih dibela-belain. Kalau ada mahasiswa yang kepalanya robek di rumah
sakit, dikunjungi tokoh-tokoh penting. Polisi yang kepalanya robek, siapa
yang mengunjungi? Polisi kan manusia juga.

Sebentar Bu, apa Ibu istri polisi atau seorang polisi?

Aksi brutal mahasiswa itu dibiayai oleh orang-orang penting. Terima gaji
sebagai komisaris perusahaan negara, bukannya membantu pemerintah,
eh, malah menyerang pemerintah. Maunya apa? Menggulingkan
pemerintah dan mau kedudukan? Kalau tujuannya seperti itu, bergabung
ke partai dong, atau bikin partai sendiri jika tak laku di partai yang ada,
rebut kedudukan dan ganti pemerintahan lewat pemilu. Jangan malah
mahasiswa disuruh merusak.

Maaf, saya mau olahraga, kalau saya tak diberi waktu bicara, saya
berjalan sekarang, kata saya mengancam.

Nah, bicara sekarang, asal jangan


mahasiswa musuh bersama, katanya.

membela

mahasiswa.

Jadikan

Ibu salah besar, kata saya menuding. Jutaan mahasiswa berperilaku


sopan, yang brutal itu hanya seberapa. Musuh bersama kita bukan
mahasiswa, tetapi kekerasan. Siapapun yang berbuat kekerasan, apakah
itu mahasiswa, kelompok agama, polisi, menteri sekalipun, mari kita
lawan, kita jadikan musuh bersama, kata saya.

Jangan berteori Pak Wartawan. Faktanya, sudah nyata mahasiswa


membakar mobil, merobohkan pagar mahal, melempar dengan batu, kok
tidak pernah disebut melanggar hak asasi manusia? Apa pernah LBH,
Kontras, Komnas HAM menyebut mahasiswa melanggar HAM?
Sontoloyo

Ibu, siapa yang Ibu sebut sontoloyo? Saya tersinggung

Semuanya sontoloyo. Memang, ada saatnya mahasiswa jadi pahlawan


demokrasi, menggulingkan pemerintah melalui aksi jalanan. Tapi, itu
karena pemerintahnya otoriter, diktator, tidak demokratis. Ketika kita
sudah bertekad membangun demokrasi dengan baik, penggantian
pemerintah haruslah melalui demokrasi, ada sopan santun dan aturan
dalam demokrasi. Pemerintahan yang dibangun dengan kekerasan, akan
digulingkan dengan kekerasan. Pemerintahan yang berdiri karena dendam
akan berakhir dengan dendam pula. Pernah baca sejarah Singosari
tentang kutukan Mpu Gandring? Jadikan itu sesuluh. Kok sekarang
semuanya sontoloyo

Ibu, sekali lagi jangan bilang sontoloyo. Menurut kamus, kata itu bernada
memaki, tak enak didengar, kata saya.

Memang sonto loyo. Suami saya Sontonugroho, kami sudah lima tahun
menikah tak punya anak, dia memang loyo. Perempuan itu tiba-tiba
berlari kecil, dan saya pun berjalan kaki mengitari lapangan sambil

tersenyum.

Taman kota Denpasar memang tempat romantis untuk olahraga, tak akan
ada unjuk rasa brutal di sini. Di Bali, kalau ada aksi demo, masyarakat
adat langsung mengawasi. Begitu ada aksi yang mengganggu ketertiban,
masyarakat adatlah yang menertibkannya.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52

Tokoh Muda
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Sebuah karikatur di tabloid istana menyindir Wiranto dan Megawati
sebagai kakek dan nenek. Imajinasi yang mau digiring adalah mereka itu
sudah tua. Dalam bahasa anak muda, Kalian sudah uzur, istirahat
sajalah, jangan ngurus macam-macam.
Pramono Anung, tokoh setia di samping Megawati, protes keras. Pengelola
tabloid yang menyuarakan kubu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini,
cepat minta maaf. Jadi, tidak sampai menjadi bola salju yang bisa
ditendang ke mana-mana.
Zaman sudah berubah. Di masa lalu, partai besar punya koran. Andaikata
era ini semua partai besar punya koran (yang pasti tidak akan laku secara
bisnis), Pramono tak perlu protes. Kubu Megawati akan membalas
karikatur itu dengan menggambarkan Susilo Bambang Yudhoyono juga
seorang kakek, bahkan mungkin dengan dramatisasi, kakek yang ragu
berjalan sehingga langkahnya tersendat, kakek yang ber-poco-poco.
Untunglah ini tak terjadi dan orang sudah melupakan karikatur kakek dan
nenek itu. Namun, yang tak boleh dilupakan, sejatinya semua tokoh itu
sudah berstatus kakek dan nenek. Katakanlah dengan istilah keren,
kakek bangsa dan nenek bangsa. Sederet nama bisa ditambahkan di
jajaran ini, misalnya, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan
banyak lagi.
Kalau mereka tidak mau istirahat, rakyat yang mengistirahatkannya
dengan segala hormat. Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Barat, menjadi
contoh paling akhir. Kurang apa lagi pengalaman kakek kita yang satu

ini, Agum Gumelar. Pernah menjadi Menteri dengan gonta-ganti pos,


pernah memimpin organisasi sepakbola, olahraga yang paling
memasyarakat. Pernah menjadi calon Wakil Presiden. Semua dicatat
rakyat. Lalu, Kakek Agum didukung partai besar, partai banteng gemuk
bermoncong putih. Tapi, rakyat membutuhkan orang muda yang
darahnya segar, yang belum banyak dimasuki virus. Pilihan pada
pasangan Ahmad Heryawan-Dede Jusuf.
Siapa Dede? Ah, hanya aktor film, bintang iklan obat sakit kepala. Siapa
Agum? Wow, tentara pilihan, ketua alumni Lemhanas, mantan menteri ini
dan menteri itu. Rano Karno, kini wakil bupati Tangerang, juga hanya aktor
film. Rakyat memilih Dede dan Rano, pertama-tama karena ia anak muda,
dan kedua karena rakyat mengharapkan muncul tokoh segar di dunia
birokrasi.
Rakyat sekarang ini cerdasnya bukan main. Selain itu (maaf sekali para
rakyat) juga licik. Dikatakan cerdas karena tahu, memilih bupati, gubernur
dan presiden tak ada kaitan dengan memilih partai. Partai boleh
mengusung siapa saja, kalau rakyat tak suka figur itu, ya, tak dicoblos.
Licik? Tentu. Baju kaos calon gubernur diterima, uang kampanye diambil,
bantuan diminta. Pas pencoblosan, semua barang dan uang itu dilupakan.
Pada pemilihan Bupati Gianyar, Bali, tempo hari, saya terkesima dengan
pilihan rakyat. Siapa menduga di kandang banteng, di tempat ribuan
orang mengelukan Megawati saat kampanye, calon dari partai banteng
malah kalah. Ya, karena rakyat butuh pemimpin yang segar.
Lalu, kenapa Rano dan Dede? Karena anak muda yang ada di jajaran
partai (sebut misalnya Pramono Anung, Anas Urbaningrum, Soetrisno
Bachir) masih dikeloni kakek dan nenek partai. Tokoh muda partai tak ada
yang berani bilang tidak pada kakek dan neneknya. Lihat saja, simpati
datang pada Muhaimin Iskandar justru saat ia berani melawan. Kalau
anak-anak muda di partai tak bisa melepaskan belenggu ini, ya, apa boleh
buat, dunia artis masih banyak stok, ada Tantowi Yahya, ada Garin
Nugroho dan sederet lagi yang punya otak dan integritas. ***

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52

Alternatif
Pandita Mpu Jaya Prema

Putu Setia
Seorang mantan aktifis kampus mengeluh. Ia heran, begitu banyaknya
partai politik, sampai kini, tak satu pun partai yang meminta dia untuk
menjadi calon anggota legislatif. Padahal ia sudah mau dicalonkan di
mana saja, apakah itu untuk kabupaten, di tingkat provinsi, apalagi di
pusat. Dia bertanya: Apa salah saya?
Saya menjawab dengan serius, karena keluhannya memang serius. Ada
lima kesalahanmu, kata saya.
Pertama, kamu lelaki. Coba kalau lahir perempuan, bisa mendapatkan
tawaran. Partai-partai politik sedang mencari calon legislatif perempuan
untuk memenuhi kouta 30 persen. Kalau kouta itu tak dipenuhi, daftar
calon akan dikembalikan Komisi Pemilihan Umum. Begitulah enaknya
perempuan Indonesia saat ini. Meski begitu, tetap saja sulit mencari
perempuan yang mau dicadikan calon di daerah karena mereka tahu akan
dikibuli. Hanya sebatas calon, hanya penggenap kuota, bukan untuk
disiapkan menjadi wakil rakyat.
Kesalahan kedua, orangtuamu bukan pemilik partai. Puan Maharani, anak
Megawati, langsung bisa jadi calon dengan nomor urut satu. Edi Baskoro,
anak Susilo Bambang Yudhoyono, juga begitu. Pemimpin partai di daerah
akhirnya mengikuti apa yang terjadi di pusat: anak, istri, mantu, besan
dicalonkan. Apakah ini nepotisme tentu jawabannya sudah tersedia:
mereka kader partai, hak setiap orang untuk dicalonkan jangan dihambat.
Kesalahan ketiga, kamu tidak mendeklarasikan dirimu alias tidak
meminta, tapi menunggu tawaran. Ini bukan zamannya lagi. Kamu salah
memahami ajaran Soeharto di masa lalu. Soeharto dan para tokoh di era
itu selalu berkata tidak mengejar jabatan, tidak punya ambisi menjabat,
jabatan adalah amanah dan seterusnya. Lalu ada kata penutup: Kalau
rakyat menghendaki, saya tak berani menolaknya. Kenyataannya, suara
rakyat direkayasa oleh para pembantunya, ah, ini cerita lama. Sekarang,
siasat itu sudah jadi gombal. Yang laku saat ini adalah deklarasikan dirimu
bahwa kamu mampu menjadi pemimpin alternatif dan sanggup
mensejahtrakan masyarakat, meski pun sama gombalnya. Buat iklan di
televisi, buat baliho, sebarkan pamflet, sebutkan hanya kamu yang bisa
mengatasi keadaan yang terpuruk ini.
Cuma, kamu harus mencari orang yang pinter menyusun kata-kata
slogan. Cari juga pemantau yang suka keluyuran ke daerah-daerah,
tempat rakyat yang akan memberikan suara itu bermukim. Ini penting,
karena rakyat sudah kritis, agar iklanmu tidak ditertawakan. Misalnya,
iklanmu berbunyi: Saya, Sutowo, Ketua Himpunan Peternak Bebek se
Indonesia Apa memang kamu pernah memelihara bebek? Rakyat yang
mengikuti kiprahmu, akan tertawa nyengir.

Juga, jangan membuat iklan terlalu puitis, rakyat bingung apa maunya,
dan akhirnya mencari-cari kata yang akan dijadikan tertawaan. Misalnya,
kalau masyarakat mengizinkan, saya akan membawa harapan. Kamu
tahu kan, setiap iklan itu muncul, orang mengejek di depan layar kaca:
Memangnya siapa yang akan kasi izin?
Hindari polemik soal usia. Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Abdurahman
Wahid, Amien Rais, Sultan, dan sederet tokoh lain, masih lebih muda
dibandingkan ketika Ronald Reagan terpilih menjadi presiden Amerika.
Lebih baik kamu sebutkan bahwa bapak dan ibu itu sudah diberi
kesempatan oleh rakyat memimpin dan ternyata tidak berhasil. Kalau
kamu lebih berani, sebut saja mereka gagal. Jadi memang perlu pemimpin
alternatif.
Wah, saya tak sejauh itu berpikir, kata anak muda ini. Saya langsung
memotong: Itu kesalahanmu nomor empat: penakut. Dan nomor limanya
bermodal dengkul.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52

Angka
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Ada angka sial, ada angka mujur, bagi yang percaya. Kalau punya mobil
baru, orang berani membayar mahal untuk nomor polisi yang angkanya
diyakini membuat mujur. Setidak-tidaknya menolak angka sial.
Secara nasional, angka sial itu 13. Banyak nomor rumah, bahkan nomor
lantai gedung tinggi, memakai angka 12-A untuk mengganti angka 13.
Tapi di Bali, angka sial itu bukan 13, melainkan 12. Sering ada ungkapan:
"celaka dua belas". Dari mana asal-usulnya? Seperti halnya angka 13,
kesialan angka 12 tak punya sejarah pasti. Ada yang menduga diambil
dari permainan sepak bola, ada istilah "dua belas pas"--hukuman
tendangan penalti dengan jarak 12 langkah dari garis gawang.
Angka mujur? Orang Cina yang percaya Taoisme menyebutnya angka 8.
Beberapa keyakinan lain menyebut angka 9, tentu dengan kelipatannya
(99 dan seterusnya) atau setelah dijumlah menjadi 9 (misalnya 18).
Dalam keyakinan Hindu, 9 itu angka tertinggi, karena itu Tahun Baru Saka,

yang di Indonesia dirayakan dengan Nyepi, terjadi pada tanggal 1 bulan


10. Tasbih umumnya berisi 99 butir, tapi "tasbih" yang dipakai umat Hindu
berisi 108 butir, kalau angka itu dijumlah menjadi 9.
Nol bukan angka, ini terdapat dalam berbagai keyakinan. Berapa pun
besar bilangan itu, kalau dikalikan 0 akan hilang, karena 0 adalah kosong,
sesuatu yang tak terbayangkan. Nol adalah "angka Tuhan", misteri
kekosongan yang tak terjangkau oleh pikiran manusia. Adapun angka 1
tak pernah disebut mujur, baik berdiri sendiri maupun berderet-deret,
karena (bilangan) apa pun yang dikalikan 1, hasilnya tak pernah
bertambah.
Bagaimana dengan 11-11-11 atau 11 November 2011 yang jatuh pada
Jumat lalu? Kenapa ada ribuan orang kawin dan ratusan bayi dilahirkan
dengan terpaksa lewat pembedahan (caesar)? Padahal, kalau
dihubungkan dengan ajaran Tao, ini "hari sial", bukan "hari mujur", karena
angka 1 mengandung unsur logam, lambang kekerasan. Bayangkan kalau
"kekerasan" itu bertumpuk-tumpuk tak ada unsur lain yang meredamnya.
Di Denpasar ada 26 bayi yang "beruntung" bisa lahir caesar pada 11-1111, di kota lain mungkin lebih banyak. Di sebut "beruntung" karena tak
semua dokter kandungan mau menerima "pesanan" itu. Ada yang dengan
alasan medis--usia kandungan masih kurang--ada pula yang memakai
alasan "keyakinan", yakni kelahiran seseorang biarlah diatur oleh "Yang Di
Atas" karena sang bayi membawa sendiri sifat-sifatnya. Saya setuju
dengan alasan terakhir ini, karena dalam Hindu, kelahiran itu tak bisa
dipaksakan lewat bedah perut jika bukan karena alasan medis (darurat,
untuk keselamatan bayi dan ibunya). Kalau kelahiran "direstui" dengan
bedah, orang Bali akan menghindari anaknya lahir pada hari tertentu,
yang mengharuskan anak itu diruwat setelah besar. Ritual ruwatan ini
biayanya lebih mahal daripada caesar.
Kenapa SEA Games Palembang harus dipaksakan dibuka pada 11-11-11,
padahal persiapannya amburadul? Kenapa tak diundurkan tiga bulan,
misalnya? "Makanya sial, hujan turun, Susi Susanti melenceng
melemparkan tombak api. Api yang menyala di kaldron itu bukan api SEA
Games dari Grobogan," ini kata anak saya--karena saya tak menonton.
Saya hanya tertawa, tapi saya pun bertanya dalam hati, apa benar ada
pertimbangan angka mujur (dan angka sial) dalam hajatan semacam ini?
Atau sekadar kegenitan kita "memuja angka", lalu mengabaikan hal
utama, membenahi sarana?
Saya khawatir, kalau Indonesia tidak menjadi juara umum, nanti ada
orang nyeletuk: "Itu gara-gara salah memilih hari." Mari berdoa, semoga
Indonesia bisa: bisa juara dan bisa rasional.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:52


Gerhana
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Gerhana bulan semalam istimewa. Orang menyerbu pantai menyaksikan
gerhana di atas air. Saya tetap di kampung, bulan terbit di lereng gunung.
"Ya, istimewa karena tidak larut malam. Apakah suasananya meriah?"
tanya Romo Imam, begitu saya usai menceritakan fenomena alam itu
lewat telepon.
"Meriah? Ya, biasa saja. Ada orang yang menatap langit, ada yang asyik di
kamar menonton sinetron. Maklum, di kampung, tak satu pun yang
memotret, wong mereka tak paham apa indahnya gerhana."
"Ada yang memukul kentongan? Ada yang melemparkan air ke atap
rumah, melakukan ruwatan dengan membersihkan diri dari air yang jatuh
dari atap?"
Saya tercenung sejenak. "Tak ada. Itu kan cerita setengah abad lalu,
ketika saya bocah. Bahkan saya ingat memukul baskom keras-keras. Kata
Ibu, bulan dicaplok Kala Rawu, raksasa jahanam, jadi perlu diusir dengan
bunyi-bunyian keras, ha-ha-ha?."
Romo ikut tertawa. "Tradisi leluhur kita di Jawa dan Bali sudah tak
berbekas," katanya. Saya jawab, "Ya, karena itu dongeng konyol."
"Tapi Kala Rawu masih ada, banyak orang menjadikan fenomena alam itu
sebagai saat yang baik untuk membersihkan rohani, ya, semacam
ruwatan di masa lalu," kata Romo.
Saya tak merespons. "Kala itu artinya waktu," ujar Romo. "Rawu itu
malam atau gelap. Pada saat sinar menyejukkan ditutupi oleh kegelapan,
ketika itu orang semestinya meruwat diri dengan melakukan introspeksi,
apa sebenarnya yang salah. Ini harus diketahui agar kegelapan bisa diusir
dan sinar kembali muncul."
"Waduh, saya tak paham," kata saya. Romo melanjutkan, "Ya, kita ambil
contoh gampangan. Presiden SBY sudah berjanji akan menjadi orang
terdepan memberantas korupsi. Ketika rakyat berdemo di istananya
menuntut koruptor ditindak tegas, kan mestinya SBY keluar dan berseru,
'Ayo, kita sama-sama memerangi koruptor.' Jadi tak perlu ada orang bakar
diri. Ketika Menteri Hukum ingin membuat jera koruptor dengan
menghapus remisi dan bebas bersyarat, anggota DPR seharusnya
mendukung. Tapi kok malah tidak, bahkan mencecar Menteri, hanya

karena teman anggota DPR itu sedang ditahan dengan status koruptor.
Ketika rumah Anas Urbaningrum mau disegel massa antikorupsi, Anas kan
semestinya keluar, lalu mengajak massa: 'Ayo kita ke KPK, periksa saya,
pertemukan saya dengan Nazaruddin, siapa yang benar dan siapa
yang ngaco.'"
"Ada kegelapan yang menutupi sinar baik," kata Romo lagi. "Sinar baik itu
katakanlah tekad memberantas korupsi. Dari Presiden, Menteri, wakil
rakyat, hingga mahasiswa semuanya bertekad memberantas korupsi.
Tapi, begitu koleganya jadi koruptor, mereka langsung membela.
Sebenarnya mereka itu betul-betul antikorupsi atau tidak?"
"Sekarang semua orang bilang antikorupsi. Koruptor dimiskinkan, buatkan
'kebun koruptor', usut skandal Century, seret pengemplang pajak, tangkap
Angelina, tangkap Muhaimin, eh, malah Nazaruddin didukung. Ini kan
terbalik."
"Romo," saya menyela, "Nazaruddin didukung maksudnya supaya terus
bercerita siapa saja yang menilap uang negara." Romo langsung pula
menyela, "Ya, tapi kan ada gilirannya. Selesaikan kasus satu per satu.
Abraham Samad benar, harus ada prioritas. Yang tak benar dari Samad
adalah dia mengecam Busyro terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya
tiap jam mengobral janji. Sami mawon."
"Mari kita mengusir Kala Rawu, meruwat diri dengan bertanya kepada diri
sendiri: kita ini sebenarnya korup atau tidak?" kata Romo. Saya mau
menanggapi, tapi Romo duluanbicara, "Sudah, ya, sebentar lagi Barca
melawan Real Madrid. Ini lebih menarik daripadangomongin koruptor
membela koruptor."

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:51


Anas Urbaningrum
Pandita Mpu Jaya Prema

Putu Setia
Ketika Arjuna membentangkan panah membidik seekor burung, Krishna
bertanya: Burung apa yang kau bidik? Arjuna menjawab tegas: Burung
tekukur, Guru. Krishna tersenyum: Itu bukan tekukur. Itu burung gagak.
Arjuna tak melepaskan anak panahnya: Ya, benar, benar Guru, itu burung
gagak. Lagi-lagi Krishna tersenyum: Bukan gagak Arjuna, kau salah.

Ternyata itu burung sempati. Arjuna lalu batal memanah dan minta maaf.
Betul, itu burung sempati, katanya.
Apakah satria Pandawa ini tak tahu jenis burung? Tak bisa membedakan
tekukur yang bersuara indah dengan gagak yang menakutkan, apalagi
burung sempati yang dikenal sebagai burung suci. Persoalan tidak di
sana. Arjuna sangat takut kepada Krishna. Ia kehilangan integritas diri dan
bahkan tak memiliki apapun yang semestinya ia miliki, jika sedang berada
di samping guru spiritualnya.
Apakah Anas Urbaningrum, tokoh muda yang santun, kehilangan
integritas dan kecerdasannya, ketika ia berhasil merebut jabatan Ketua
Umum Partai Demokrat? Terlalu awal untuk menilai, meski pun saya
cemas hal itu akan terjadi melihat sinyal yang keluar. Ia, misalnya, berani
menantang siapa pun pesaingnya dengan cara-cara yang bermartabat,
tetapi begitu menyangkut nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
keluarga, Anas bagaikan Arjuna, tak bisa membedakan mana tekukur dan
mana gagak.
SBY bagi Anas adalah belahan pikiran, lihat pernyataan Anas: Garis SBY
adalah garis saya. Ketika ada aspirasi yang tak jelas sumbernya, yang
menyebut kemungkinan Ani Yudhoyono dijadikan calon presiden oleh
Partai Demokrat pada Pemilu 2014, Anas berkata: Saya tidak ingin
menutup kemungkinan itu. Padahal SBY sendiri pernah bilang tak
menyiapkan istrinya untuk menggantikannya.
Begitu pula niat Anas yang menggebu menjadikan Ibas sebagai Sekjen
Partai. Kesannya, lebih mencari muka kepada SBY. Semua orang tahu,
Ibas belum punya jam terbang cukup untuk menjadi Sekjen.
Orang berharap Anas membangun kepemimpinan baru di negeri yang
langka pemimpin berkualitas ini. Ketenangannya, wajahnya yang
menyejukkan, kecerdasan yang dimiliki, dan pengalaman memimpin
ormas mahasiswa terbesar di tanah air, membuat orang tidak cemas
menatap Indonesia ke depan. Anas layak dijadikan ikon untuk alih
generasi kepemimpinan. Karena itu jika ia bisa bebas dari jebakan takut
pada bayang-bayang SBY, harapan bertumpu pada Anas otomatis citra
Partai Demokrat juga terangkat. SBY tentu masih layak dijadikan panutan,
tempat meminta pendapat dan arahan, namun tak berarti Anas
memposisikan diri sebagai boneka, seperti Arjuna yang jadi boneka
Krishna, tekukur disebut gagak, mengangguk.
Arjuna pun sejatinya bukan orang bego -- itulah kenapa kitab
Mahabharata dijadikan hikayat suci. Arjuna sadar, guru spiritualnya
adalah Awatara penjelmaan Tuhan yang turun ke bumi pada situasi
tertentu, sebuah keyakinan dalam Hindu. Krishna adalah Tuhan itu sendiri,
Tuhan yang kekuasaannya maha, yang menciptakan langit dan bumi
dengan segala isinya. Dengar kata Arjuna pada Krishna: Guru adalah

Tuhan itu sendiri, yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Jika Guru
berkehendak tekukur menjadi gagak, menjadilah dia gagak, tak ada
kekuatan lain yang menghalangi.
Dan kita tahu, SBY bukanlah Awatara. Beliau manusia biasa, punya
kelebihan dan pasti juga memiliki kelemahan. Anas harus memilahnya,
kelebihan mana yang layak diteruskan dan kelemahan mana yang harus
berani dilawan. Ini urusan bangsa yang besar, bukan sekadar urusan
burung tekukur dan burung gagak.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:51


SBY & ARB
Pandita Mpu Jaya Prema

Ketika
penyiar
televisi
berkata:
Kami
segera
kembali
melaporkan ricuh musik dangdut di Probolinggo aku
menekan remote. Tak ada gambar apapun lagi di layar kaca.
Negeri ini semakin kacau, rusuh, menyebalkan. Tapi anehnya
aku tak pernah berhenti memikirkannya, aku mengeluh.
Istriku tak bereaksi. Sudah tujuh berita ditayangkan, semua
tentang kejelekan. Mahasiswa Makasar membakar ruang
kuliahnya, perang suku di Papua, banjir di Lumajang, bonek
Persebaya bentrok, anggota DPR terdakwa korupsi, polisi pamong
praja dilempari pedagang, teroris ditembak mati. Masih berlanjut
ricuh pentas musik dangdut, waduh, negeri yang bobrok, aku
semakin keras mengeluh, supaya istri mau peduli.
Benar, istriku mengambil remote. Wajah negeri tergantung
di remote ini, suaranya pelan. Lalu ia pencet tombol. Itu
mahasiswa menciptakan protipe mobil hemat bahan bakar. Ia
pencet lagi tombol: Wah, pentas Nyai Ontosoroh yang
mengagumkan dari Sita RSD, lebih bagus dari Happy Salma yang
lalu. Lagi pindah tombol: Anak yang cerdas beradu dalam kuis.
Pindah tombol lagi: Ha..ha Parto masih lucu di Opera Van
Java.
Indonesia
begitu
damai,
kata
istriku
sambil
melemparkan remote ke dadaku, pas di layar ada langgam
keroncong dari TVRI musik yang mungkin sudah lima tahun tak
kudengar, dari stasiun yang kukira sudah bubar.

Tidurlah, kata istriku. Tak mau ngantuk, jawabku. Aku lagi


berpikir memperbaiki negeri ini dan bertanya, siapa yang
memimpin sekarang, SBY atau ARB? Istriku membentak: Nama
aslimu kan SBY juga, Setia Bagus Yudana. Kamu saja yang
memimpin mulai malam ini. Dan orang akan memanggilku Nyonya
Ani SBY.
Wkwkwk(artinya aku tertawa, ini bahasa gaul di facebook).
Oke, sekarang aku mendeklarasikan diri sebagai presiden,
dengar wahai cicak dan buaya. Ibu Negara, apa saranmu malam
ini kepada Bapak? aku mulai berteater, profesiku ketika jadi
pengangguran, puluhan tahun lalu.
Istriku jadi centil: Presiden, tolong bebaskan buaya, eh,
maksudku Susno Duadji, dari tahanan. Ia sudah rela berkorban
dengan dicopot dari jabatannya selaku Kabareskrim Mabes Polri walaupun
ia tidak memiliki kaitan tanggung jawab langsung dengan penanganan
kasus Bibit-Chandra. Ia sudah menjalani pemeriksaan di Itwasum Polri dan
dinyatakan tidak bersalah.
Stop, aku memotong. Kok Ibu lancar ngomongnya, panjang lagi." Istriku
tetap main drama. Lo, ini kan surat istri Susno untuk kita yang dikirim
terbuka ke media massa.Please Presiden, lepaskan dia
Ibu, itu urusan polisi, Bapak tak mau intervensi. Banyak masalah di
negeri ini, ada lumpur Lapindo yang akan menenggelamkan
Sidoarjo, mbok itu diberi saran.
Memangnya mau terima saran lumpur Lapindo? Tak takut sama ARB, eh,
siapa ya dia? Bapak bukannya membela rakyat Sidoarjo, malah mengajak
orang wisata ke lumpur. Bapak bukannya membela Jeng Sri, malah
menjadikan ARB Perdana Menteri siluman. Bapak tak percaya diri. Ingat,
Bapak menang di putaran pertama, rakyat lebih percaya Bapak.
DPR lagi galak Bu, mereka selalu menyerang dengan dalih rakyat,
jawabku. Istriku nyerocos: Rakyat yang mana? Itu kan main klaim, sudah
nyata suara rakyat kepada Bapak. Bapak jangan mengalah pada lawan
politik. Memang, dari banyak kelemahan Bapak, salah satunya lupa
membangun jaringan televisi, padahal itu jadi corong propaganda maupun
provokator. Di sini ARB memang hebat, selain partainya punya
pengalaman melahirkan sekretariat bersama era 1960-an. Dan itu mau
didaur-ulang sekarang eh, ARB itu siapa, Ibu ikut-ikutan saja kok.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:51


Sri Mulyani

Pandita Mpu Jaya Prema

Putu Setia

Kembali Romo Imam memanggil saya ke pedepokannya. Kamu kenal Sri


Mulyani? Ketika saya jawab tidak, Romo tampak kecewa.

Romo lalu menyebut sejumlah nama. Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo,
Maruar Sirait, Aburizal Bakrie dan banyak lagi. Semuanya tidak saya
kenal Romo, saya kan rakyat kecil, mana kenal tokoh besar itu, jawab
saya. Dengan nada kecewa, Romo berkata: Kamu kurang bergaul,
padahal saya ingin membicarakan Sri Mulyani dalam kasus Bank Century.

Saya berusaha membelokkan perbincangan. Urusan Bank Century ruwet,


kita bicara Ibu Sri dalam kaitan Hari Ibu saja, kata saya. Romo seperti
tersinggung: Itu keliru besar. Kasus Century masalah sederhana yang
diruwetkan karena banyak pihak memiliki target masing-masing.

Romo menjelaskan dengan analogi rumah terbakar padahal saya


mengharap analogi Profesor Kodok, seperti yang dilansir Kwik. Saat itu,
kata Romo, ada rumah terbakar di sebuah komplek dalam kawasan
kampung besar. Untuk memadamkan rumah itu perlu disemprot air dan
zat kimia yang membutuhkan biaya mahal. Uang ada, karena setiap
rumah di komplek itu sudah urunan untuk musibah tak terduga seperti ini.
Bukan uang milik kampung.

Badan otorita komplek mengadakan rapat darurat. Ada dua pendapat,


biarkan rumah itu terbakar sendiri, dan tak perlu biaya untuk
memadamkan api. Pendapat lain, semprot segera, toh uang ada, karena
bisa berdampak sistemik, api merambat ke rumah yang lainnya. Jika itu
terjadi, bukan saja warga komplek yang menanggung akibatnya, juga
warga kampung. Keputusan harus diambil cepat. Berdasar analisa saat
itu, rumah harus disemprot. Jadi masih ada pondasinya dan dibangun
rumah baru. Pemilik rumah itu nanti harus mengembalikan uang hasil
iuran itu, karena memang sifatnya bantuan sementara.

Sri Mulyani mengambil keputusan itu dengan cepat, kata Romo. Kalau
sekarang ada yang mencela pengambilan keputusan itu, kata Romo, itu
sangat tak adil. Karena pencelanya berbicara saat kondisi aman tentram.
Pengambilan keputusan cepat saatemergency sering disebut judi yang
dibenarkan. Andaikata Sri Mulyani memutuskan membiarkan rumah itu
terbakar, lalu api merembet ke mana-mana, bayangkan celaan macam
apa pula yang diterimanya?

Tapi nyatanya api tak merembet, Romo, saya memotong. Kamu ikutan
tolol, jawab Romo. Kamu berbicara dalam konteks situasi sekarang yang
aman.

Saya diam, takut kena semprot. Kemudian, Romo bicara lagi, jika aliran
biaya menyemprot rumah itu dipersoalkan, nah, itu bagus, jangan Sri
Mulyani yang dihujat. Kan tak mungkin Ibu Sri turun langsung memeriksa,
berapa aliran uang untuk beli air, beli selang dan sebagainya. Kalau di situ
ada korupsi, ya, tindak di situ. Juga jangan sok pahlawan kesorean, selalu
bilang:
uang
rakyat
raib.
Uang
ini
memang
diperuntukkanemergency semacam itu untuk para anggotanya yang
kemudian akan dikembalikan lagi. Ya, kalau disebut uang Negara atau
uang rakyat, itu perdebatan para kusir delman, memangnya ada
organisasi silat menerbitkan uang? Semua uang, ya, dikeluarkan Negara,
tapi ada hak milik yang melekat pada orang atau paguyuban.

Kamu kenal Marsilam Simanjuntak? tiba-tiba Romo bertanya tentang


orang lagi. Kalau dia saya kenal, karena Marsilam orang besar yang
menghormati martabat saya sebagai orang kecil, jawab saya. Sejauh
mana kenal? Saya jawab: Sampai saya mengenali suaranya di telepon
meski beliau sering bercanda. Karena itu, dalam rekaman yang kini
beredar, saya yakin Sri Mulyani berbicara dengan Marsilam, bukan Robert
Tantular. ***

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:51


Menunggu Obama
Pandita Mpu Jaya Prema

Putu Setia

Presiden Amerika Serikat Barack Obama batal berkunjung bulan ini.


Teman saya marah. Rasanya saya ingin demo untuk menuntut agar
Obama tetap datang, katanya. Ia menyebutkan, alasan pembatalan itu,
soal rancangan undang-undang mengenai reformasi kesehatan, sesuatu
yang remeh-temeh.

Saya bertanya, apa pentingnya Obama datang? Sangat penting, supaya


saya bisa melakukan aksi unjuk rasa menolak kedatangannya. Saya sudah
siapkan beberapa orang yang ikut aksi, jawabnya.

Saya makin tak paham: Kamu ini sebenarnya mengharap Obama datang
atau tidak? Teman saya menjawab: Mengharap Obama datang sehingga
saya bisa melakukan aksi unjuk rasa menolak kedatangannya. Tak takut
dengan pengamanan yang super ketat itu? Ya, aksinya agak jauhlah, asal
pandai memanfaatkan situasi, misalnya, adu dorong sedikit dengan polisi,
pasti diliput televisi. Televisi kita kan senang dengan liputan begini.

Saya mulai bingung: Kalau kamu menolak kedatangan Obama,


semestinya kamu senang dong Obama tak jadi datang. Teman saya
tertawa: Anda ini bagaimana sih. Kalau Obama tak datang, bagaimana
saya bisa melakukan aksi menolak kedatangannya? Saya ini kordinator
lapangan aksi demo yang sudah berpengalaman, banyak orang yang
mencari-cari saya.

Saya mulai paham, dan tak berani lagi bertanya. Ini masalah sensitif.
Mungkin kawan saya tergolong mardem makelar demo. Namun, ada
yang saya renungkan dari ucapan teman ini, yaitu alasan Obama
menunda kedatangannya ke Indonesia karena kasus remeh-temeh -untuk ukuran Indonesia.

Pertanyaannya, apa betul Amerika Serikat negara adidaya? Tidakkah


pemerintah Indonesia lebih berdaya? Mari perbandingkan. Hanya karena

rancangan undang-undang kesehatan yang sulit diloloskan parlemen,


Obama menunda lawatannya ke luar negeri. Di Indonesia, rancangan
undang-undang kesehatan sama sekali tak jadi masalah. Bahkan
rancangan itu tiba-tiba saja sudah disetujui parlemen tanpa banyak
perdebatan. Rakyat seperti sengaja tak boleh tahu, apalagi berkomentar.
Lalu, setelah disahkan parlemen, undang-undang itu pun masih dipreteli
pasal-pasalnya oleh beberapa anggota DPR. Anehnya, kasusnya baru
ketahuan sekarang dan baru pekan lalu dilaporkan ke polisi. Hebat kan
pemerintah Indonesia? Tak ada satu pun pemimpinnya yang gusar,
semuanya tenang. Parlemen pun super hebat, pasal undang-undang bisa
dipreteli di luar sidang, mungkin di restoran mahal bersama para
pemesan, di negeri masa ada kasus begini?

Berbagai krisis dialami Indonesia, pemimpinnya tetap saja pergi kalau


memang jadwalnya pergi. Bukankah ketika bail out Bank Century
dilakukan, Presiden Indonesia sedang ada di negeri Abang Sam? Ketika
kasus Bank Century diramaikan oleh Panitia Khusus, Presiden Indonesia
pun melawat ke Australia. Tak ada yang mesti ditakuti. Kenapa Obama
takut meninggalkan negerinya hanya lantaran sebuah rancangan undangundang yang alot untuk disahkan?

Obama terlalu memikirkan rakyatnya. Tugas saya sebagai Presiden


Amerika adalah memastikan rakyat Amerika menikmati biaya kesehatan
murah, katanya. Di Indonesia biaya kesehatan murah sudah lama ada di
Puskesmas, obat racikan yang cespleng untuk segala jenis penyakit.
Kalau pun ada pasien miskin dirujuk ke rumah sakit, pengelola rumah
sakit dengan baik hati membiarkan pasien itu tetap tinggal di rumah sakit
meski pun dinyatakan sembuh sebelum keluarganya melunasi biaya
administrasi.

Rakyat Indonesia layak menunggu Obama, untuk belajar bagaimana


menjadi pemimpin yang mau mengurusi hal remeh-temeh.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:51


Poltak
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

Tak pernah sekali pun saya minta pendapat kepada orang lain untuk
menulis. Kalau ingin menulis, ya, menulis saja. Kecuali kali ini, ketika saya
ingin menulis tentang Ruhut Poltak Sitompul.

Saya menemui Romo Imam hanya untuk hal yang tak lazim: apakah saya
etis mengomentari pendapat Ruhut Sitompul sekitar masa jabatan
presiden. Tak saya duga, Romo Imam melarang. Masa jabatan presiden
adalah soal yang sudah selesai. Kenapa pernyataan itu ditanggapi dengan
ramai? tanya Romo.

Bukan itu yang mau saya tulis, kata saya. Kenapa Ruhut melontarkan
gagasan seperti itu, apa cuaca ektrim ikut mempengaruhi pola pikir para
politisi? Siapa tahu ada pengaruhnya, banjir terjadi di bulan Agustus,
padahal hujan di bulan Juni saja membuat Sapardi menulis puisi.

Romo tertawa: Itu terlalu jauh. Politisi sekarang ini bukan lagi profesi,
politisi bukan sebuah minat yang dipelihara dengan ketekunan mengasah
diri, politisi juga bukan pengabdian, ah, yang terakhir ini sudah taik
kucing. Seorang pemain sinetron yang punya uang bisa menjadi anggota
dewan, seorang anak bupati bisa menjadi bupati dengan memanfaatkan
uang dari bapaknya yang masih menjabat. Masalahnya adalah uang,
karena pemilihan apapun sekarang ini semuanya ditentukan oleh uang.
Nah, setelah jabatan diperoleh, orang-orang itu kembali kepada habitat
aslinya, yang doyan ngomong jorok kembali ngomong jorok, yang doyan
kawin kembali selingkuh. Tentu saja itu sebagai selingan dari pekerjaan
utamanya, yaitu korupsi. Ya, korupsi dengan berbagai cara, termasuk
membuat anggaran yang tak masuk akal seperti dana aspirasi, dana desa,
rumah aspirasi dan segudang kebusukan lainnya.

Saya pikir Romo terlalu melebar. Romo, yang tadi menarik, tetapi saya
tak berminat. Yang saya maksudkan, kenapa orang seperti Ruhut bicara
soal masa jabatan presiden? kata saya.

Banyak teori soal itu, dari teori paling dangkal sampai paling dalam,

jawab Romo. Yang paling dangkal, Ruhut disuruh bicara seperti itu untuk
tes, apa reaksi masyarakat. Siapa tahu masyarakat mendukungnya. Kalau
masyarakat mendukung artinya terjadi ketidak-pedulian di masyarakat
atau rakyat sudah masa bodoh, mau tiga periode atau sepuluh periode
nggak usah dipikir. Bangsa ini jadi bangsa bekicot, tak pernah maju. Teori
yang lebih dalam, Ruhut disuruh bicara ngawur, ya, semacam tokoh
antagonis dalam sinetron, agar ada kesempatan untuk menaikkan pamor
dan citra sang pemain utama, sang pahlawan. Kalau Ruhut tak bicara
ngawur, kapan Presiden SBY punya kesempatan menjelaskan ketidaksetujuannya dengan jabatan presiden diperpanjang sampai mengutip
sejarawan Inggris John Dalberg-Acton segala? Jadi SBY dapat point dari
cara Ruhut yang ngaco itu.

Itulah masalahnya, kenapa saya mau menulis Ruhut. SBY bukan dapat
point, justru kehilangan point. Kalau saya menjadi SBY, saya sangat
terhina dipuji dengan cara vulgar ala Ruhut itu. Rendah hati, jujur,
membela rakyat, dan entah apalagi, diucapkan dengan cara seorang ibu
memuji anaknya di forum arisan, sungguh tak bisa saya bayangkan keluar
dari mulut seorang politisi yang menjadi ketua partai besar. SBY kan
bukan anak kecil, beliau kan sangat terpandang?

Sebentar, Romo memotong. Bagaimana kalau SBY memang suka


pujian vulgar begitu? Ya, siapa tahu, kekuasaan membuat orang manja.
Lagu SBY dan bukan pendapatnya yang bernas -- juga dijual di situs
kepresidenan. Karena itu, sudahlah, tak usah menulis soal Ruhut.

Saya menyerah dan menjawab dengan pelan. Baik Romo, saya akan
menulis tentang Poltak saja.

Kamis,05 Januari 2012 @ 08:39


Lawar Century
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Ngobrol tentang kasus Bank Century dengan orang desa, asyik juga.
Kepolosan mereka membuat saya makin bernafsu. Mulanya ini selingan
yang menarik setelah dijejali ocehan para pakar dalam tayangan

televisi. Lama-lama bukan lagi selingan, karena saya mulai muak dengan
ocehan itu, apalagi dengan penyiar yang mirip provokator, bukan
melaksanakan fungsi sebagai penggali berita.

Orang desa itu tidaklah ndeso amat. Ada yang saudagar sapi. Ada yang
makelar mobil bekas. Ada yang propfesinya ini bermunculan di pedesaan
menerima gadaian telepon seluler. Mereka berurusan dengan bank,
minimal punya tabungan jauh sebelum Presiden SBY mencanangkan
gerakan Mari Menabung. Suara mereka tak mungkin masuk televisi,
karena sudah dianggap terwakili oleh segelintir orang di kota yang
teriak-teriak di jalanan. Benar atau salah pendapat mereka, tentu tak
sempat diuji, apalagi kebenaran sudah dimonopoli oleh beberapa
politikus.

Misalnya, tentang Sri Mulyani Indrawati sungguh-sungguh mereka hafal


nama lengkap Menteri Keuangan ini. Sebagai pejabat yang
bertanggungjawab mengenai kestabilan ekonomi, Ibu Sri dengan cepat
memutuskan mem-bailout Bank Century agar tidak merembet ke bank
lain dan mengakibatkan krisis lebih dalam. Pengalaman 1998 menjadi
guru yang baik karena kekurang-cermatan penanganannya.

Salah atau benarkah Ibu Sri? Gampang sekali, lihat saja setelah 2008 itu,
ada krisis atau tidak? Tak ada krisis, jadi tindakannya benar, kok repot
sekali, kata juragan sapi. Bahwa ada aliran uang yang menetes ke sana
atau ke sini, itu bukan urusan Ibu Sri, silakan diproses sesuai hukum.
Masak Ibu Sri harus nongkrongi kasir bank?

Tentang uang 6,7 trilyun itu apakah membuat negara rugi? Ini uang hasil
iuran bank yang memang dipergunakan untuk kestabilan. Memang sudah
keluar uangnya, tapi kan bisa kembali kalau nanti Bank Muatiara yang jadi
siluman Century, sudah baik dan bisa dijual. Nyatanya Bank Mutiara jalan
bagus, saya baru menabung di sana, kantornya di Denpasar malah makin
besar di daerah elite, kata makelar mobil bekas. Tapi ia buru-buru
menambahkan, aliran dana yang tak beres kalau nyatanya ada tetap
diusut dan diproses.

Yang menarik adalah pendapat mereka tentang Pansus Angket Century.


Kesimpulan Pansus baik sementara maupun akhir hanya membuang-

buang duit 2,5 milyar, anggaran yang dipakai Pansus. Lo, kok begitu?
Semua fraksi bilang, hasil Pansus Century perlu ditindak-lanjuti ke jalur
hukum. Kalau hasilnya begitu, ngapain pakai hak angket, dari dulu saja
serahkan ke aparat hukum, kata rentenir telepon seluler.

Jadi apa dong hasil kerja Pansus? Kata mereka, anggota Pansus hanya
berupaya menaikkan citra partai. Partai Golkar paling ge-er, seolah
berhasil menjadikan panas 32 tahun dihapuskan oleh hujan dua bulan,
padahal rakyat belum tentu mudah lupa. Partai lainnya yang kalah
Pemilu lalu mengklaim mengungkap kebenaran sejati, seolah partai
lainnya menutupi kebenaran. Padahal kebenaran tak bisa dimonopoli.
Kebenaran berkaitan dengan siapa pemberi informasi yang dianggap
benar itu. Apakah kalangan perbankan dan pengusaha didengar oleh
Pansus untuk menentukan kebenaran itu?

Lalu, kerja Pansus ibarat apa? Membuat lawar capung, kata mereka.
Wah, ini kiasan khas Bali, lawar itu masakan yang bumbunya banyak
sekali, padahal bahan pokoknya hanya capung, serangga kecil. Jadi,
masalah kecil yang bumbunya riuh, pakai nyanyi-nyanyi segala tatkala
puluhan buruh teh di Jawa Barat tertimbun lumpur. Amit-amit.

Senin,03 Desember 2012 @ 04:46


Jaga Mulut
Pandita Mpu Jaya Prema
Mulutmu harimaumu. Ini ungkapan kedaluwarsa. Sekarang, ungkapan
yang bermaknahati-hati bicara itu bisa kita ganti, misalnya, mulutmu
batumu. Harimau atau batu, yang penting jaga mulut.
Adalah Sutan Bathoegana yangnyerocos berbicara, kini kena batunya.
Untuk suara keras sampai urat lehernya s terlihat ketika di-close-up
televisi itu, Sutan harus sungkem plus meminta maaf kepada keluarga
Abdurrahman Wahid, karena sudah menuduh pemerintahan Gus Dur tidak
bersih Sutan tak menyebutnya korupsi.
Tatkala Sutan meminta maaf, Ibu Shinta Nuriah, istri Gus Dur, menasehati
politisi Partai Demokrat ini agar berbicara jati-hati. Ngomong sedikit bisa
menimbulkan gejolak, kata Ibu Shinta. Sutan pun mencium tangan Shinta

Nuriah.
Kalau Sutan tidak minta maaf, pendukung Gus Dur yang resah di daerahdaerah, terutama Pemuda Ansor, akan melaporkan Sutan ke polisi. Ketua
DPR Marzuli Alie yang juga politisi Demokrat, setuju jika Sutan dilaporkan
ke polisi. Saya yang tak ada urusan dengan kasus ini, juga setuju.
Berharap polisi memprosesnya dan hasil penyidikan dibawa ke kejaksaan.
Lalu kejaksaan meneruskan ke pengadilan, dan hakim yang memutuskan.
Ini lebih fair dan mendidik meski sedikit bertele-tele di zaman yang
keblablasan ini. Jika tidak, pengadilan opini selalu menjadi panglima
jika ada kasus seperti ini.
Coba diurai permasalahannya. Bathoegana bertengkar dengan Adhi
Masardi dalam suatu acara yang diliput televisi. Saya sebut bertengkar
karena debat yang disiarkan oleh televisi harus bertengkar. Kalau penuh
sopan santun seperti debat di Amerika, kurang seksi diliput. Adhi
Masardi menyebut pemerintahan SBY tidak bersih, dan gelar Kesatria
dari Inggris ada kaitannya dengan bisnis minyak. Sutan Bathoegana
berang dengan menyebut semua pemerintahan tidak bersih, termasuk
pemerintahan Gus Dur tatkala Adhi Masardi menjadi juru bicara presiden.
Nah, ini imbang, semua menjagokan tokohnya, semua mengecilkan tokoh
lawan.
Tapi, saat ini opini publik bisa diarahkan tergantung siapa yang menguasai
media. Lalu yang lebih menentukan: siapa yang kini dipercaya rakyat,
meskipun kepercayaan ini juga berkat penguasaan media. Jelas Masardi di
atas angin ketimbang Bathoegana. Masardi ketua Indonesia Bangkit dan
Gerakan Indonesia Bersih. Orang bersih mana bisa korup meski saya tak
tahu apa saja kegiatan anak ini. Akan halnya Bathoegana adalah kader
Partai Demokrat yang sedang limbung dengan berbagai persoalan dan
pendukung pemerintahan SBY. Analoginya, sedan menabrak sepeda.
Betapa pun salahnya pendayung sepeda, tetap saja masyarakat
menyalahkan pengemudi mobil sedan.
Jika ranah hukum bicara, masyarakat dididik untuk melihat siapa yang
salah. Mungkin Masardi yang menghina SBY juga bersalah, meski pun
massa Demokrat tidak turun ke jalan. Jangan-jangan Bathoegana tidak
bersalah, meski pun dia sudah disalahkan massa karena diadili lewat
opini. Atau dua-duanya seri, seperti Tim Nasional lawan Laos.
Bahaya lain pengadilan opini adalah mulut bisa bebas bicara tak terjaga,
bak harimau atau batu. Anggota DPR dilaporkan memeras oleh Menteri
BUMN. Jelas rakyat memuji-muji Sang Menteri yang merakyat ini, dan
menghujat anggota dewan yang sudah dicap bobrok. Opini publik begitu.
Tapi siapa yang memeras? Tiap hari orangnya diralat. Jadi Pak Menteri
bicaranya kurang dijaga, asal menuduh. Nah, kenapa sesekali tak
diselesaikan lewat jalur hukum? Adukan ke polisi. Agar ada efek jera bagi

mereka yang tak bisa menjaga mulutnya, agar ada keadilan opini.Siapa
pun dia.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 Desember 2012)

Minggu,26 Agustus 2012 @ 05:05


Hari Kemerdekaan Tanpa Pahlawan Nasional
Pandita Mpu Jaya Prema
(Artikel ini sejatinya versi lengkap dari Cari Angin dengan judul SukarnoHatta. Tulisan Cari Angin seringkali bermula dari tulisan panjang, lalu saya
simpan, dan kemudian diperpendek sesuai dengan kolom yang
disediakan untuk rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu)
Sebentar lagi, kita merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bendera merah putih sudah berkibar di pelosok desa dan kota. Detik-detik
pengibaran bendera pusaka (kini tentu duplikatnya karena bendera
pusaka sudah lapuk) akan menjadi perhatian banyak orang di negeri ini.
Pengibaran serupa juga terjadi di daerah-dcaerah, di setiap instansi dan
sekolah.
Bukan hanya bendera yang dikibarkan dengan khikmad. Juga ada
pembacaan teks proklamasi, teks yang kini ibarat mantra sakral, singkat,
padat, penuh makna. Ini yang membuat orang tergetar ketika
mendengarkannya. Proklamasi itu diakhiri dengan kata-kata: Atas nama
bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta.
Rasanya, di negeri ini, tak ada seorang pun yang tidak tahu siapa
Soekarno dan Hatta, jika dia sudah berangkat dewasa. Anak-anak sekolah,
saya kira juga mulai mengenal siapa Bapak Proklamator ini. Minimal,
mengenalnya sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia yang
pertama.
Tapi seberapa orang yang tahu, seberapa banyak orang yang peduli,
bahwa kedua pendiri bangsa itu ternyata tidak atau belum berpredikat
Pahlawan Nasional? Aneh bin ajaib, orang yang paling berjasa di negeri
ini, yang membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah ternyata
tidak berstatus sebagai pahlawan nasional. Padahal sudah ada ratusan
pahlawan nasional dan setiap tahun jumlah itu bertambah banyak.
Pemerintah lewat lembaga yang mengurusi bintang jasa kepahlawanan
disebut Dewan Gelar -- setiap tahun menerima usulan dari daerah-daerah
siapa yang akan dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Tetapi Soekarno
dan Hatta selalu dilewatkan begitu saja. Ini tentu masalah politik dan
memerlukan keberanian politis untuk menerobosnya jika kita ingin

menghormati leluhur bangsa kita sendiri.


Memang ada ganjalan politik sejak masa orde baru, ketika Soekarno
ditumbangkan dengan berbagai rekayasa, dimulai adanya Surat Perintah
11 Maret, sebuah dokumen sejarah yang sampai saat ini tak diketahui di
mana adanya. Ganjalan itu adalah keluarnya Ketetapan MPRS Nomor 13
Tahun 1967. Di sana disebutkan, mencabut kekuasaan Soekarno sebagai
Presiden RI dan menunjuk Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Lalu pada
Bab II Pasal 6 disebutkan, penyelesaian proses hukum menyangkut
Soekarno dilakukan menurut ketentuan hukum yang berlaku.
Pelaksanaannya diserahkan ke Pejabat Presiden.
Ketetapan MPRS itu jelas mengasumsikan bahwa Bung Karno memiliki
masalah hukum. Bung Karno kerap dituding terkait dengan Gerakan 30
September. Namun Soeharto, yang mendapat mandat MPRS untuk
menyelesaikan proses hukum itu sebagai Pejabat Presiden, tidak
memproses Bung Karno, misalnya, di bawa ke pengadilan. Status Bung
Karno dibuat mengambang, bahkan menjurus sengaja dibuat gelap.
Namanya saja gelap, masyarakat sulit melihat apa yang sesungguhnya
terjadi.
Apakah Bung Karno bersalah, atau Bung Karno tidak bersalah, tak pernah
urusan ini selesai secara hukum. Sementara itu syarat-syarat seseorang
menjadi pahlawan nasional adalah tidak cacat hukum.
Ketika Bandar Udara Cengkareng menjelang selesai, timbul desakan dari
masyarakat agar nama proklamator itu dijadikan nama Bandara. Desakan
masyarakat itu namaknya direspon Presiden Soeharto dan keluarlah
Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1986, yang memberikan gelar
pahlawan proklamator kemerdekaan bagi dwitunggal itu. Tapi gelar itu
hanya akal-akalan. Dewan Gelar yang dibentuk pemerintah menyatakan
keputusan Soeharto itu tak jelas dasar perundangannya. Seperti halnya
keputusan Soeharto yang mengangkat dirinya sebagai Jenderal Besar
dengan bintang lima di pundaknya, tak jelas juntrungannya. Sebutan
pahlawan proklamator pun tak dikenal dalam khazanah gelar
kepahlawanan yang resmi ada di Dewan Gelar. Sebutan pahlawan
proklamator hanya bisa disandingkan dengan sebutan pahlawan tanpa
tanda jasa yang dipersembahkan untuk guru-guru, atau pahlawan
devisa untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Saya, dalam posisi sebagai wartawan utama (sebutan baru Dewan Pers
untuk wartawan senior) yang kini menekuni dunia rohani, sering
merenung di malam hari, jangan-jangan terpuruknya bangsa ini sekarang
karena mulai tidak hormat ke pada leluhurnya. Ajaran Hindu
menyebutkan, ketika seseorang lupa kepada kawitan dan tidak lagi
menghormati leluhur, maka kehidupannya tidak akan tentram. Percaya
atau tidak, itu masalah keyakinan.

Karena saya percaya hal ini, saya memohon agar Dewan Gelar membuat
terobosan baru, bagaimana caranya agar Bung Karno dan Bung Hatta bisa
memperoleh gelar pahlawan nasional. Terobosan yang saya maksudkan
adalah tidak memakai prosedur yang berbelit-belit sebagaimana sekarang
ini.
Untuk diketahui, saat ini seseorang yang akan diangkat sebagai pahlawan
nasional memerlukan perjalanan panjang dan syarat jelimet. Masyarakat
harus mengusulkan dulu ke provinsi. Gubernur dan DPRD setempat
menyetujuinya, lalu mengusulkan ke Kementerian Sosial. Usulan harus
diverifikasi berjenjang dari pemerintah daerah, provinsi, lalu dilengkapi
riset, lalu diadakan seminar, dan terakhir diskusi di antara para ahli
sejarah dan politik.
Belum tentu pula
mulus. Syafruddin
Prawiranegara, Presiden
Pemerintahan Darurat RI, bisa jadi contoh. Beliau dua kali diusulkan dan
baru diterima usulannya pada tahun 2009. Bahkan mantan Presiden
Soeharto pun sudah pernah diusulkan oleh Kabupaten Karangnyar, Jawa
Tengah, begitu pula mantan Presiden Abdurrahman Wahid sudah pernah
diusulkan oleh beberapa kabupaten di Jawa Timur. Tahun lalu, banyak
angkutan umum di Jawa Timur yang memasang stiker berbunyi: Gus Dur
Pahlawan Nasional.
Prosedur berbelit-belit seperti itu tak layak diterapkan pada Soekarno dan
Hatta. Kita tak bisa mengingkari jasa beliau. Keduanya adalah pemimpin
revolusi, orang yang merumuskan dasar negara, dan puncaknya
memproklamasikan kemerdekaan. Seleksi bertele-tele untuk menjadikan
Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pahlawan nasional seperti
meremehkan jasa mereka.
Ganjalan politik pun sudah tak ada lagi. MPR melalu Ketetapan Nomor 1
Tahun 2003, menyebutkan tak perlu ada tindakan hukum lebih lanjut
terhadap
Ketetapan
MPRS
Nomor
13
Tahun
1967,
karena
bersifat einmalig (final)dalam kasus ini lantaran Soekarno telah
meninggal.
Jadi, apa yang ditakuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat
Soekarto-Hatta menjadi pahlawan nasional? Mumpung masih berkuasa,
siapa tahu inilah warisan SBY yang patut dikenang. Hanya keluarga yang
berbhakti kepada leluhurnya jadi keluarga yang harmonis, hanya bangsa
yang besar yang menghargai jasa pahlawannya. Dirgahayu Republik
Indonesia.

Minggu,26 Agustus 2012 @ 05:02


Sukarno-Hatta

Pandita Mpu Jaya Prema


Merah Putih sudah berkibar di jalan-jalan. Di pedesaan, berkibar di depan
rumah penduduk. Sangat mengagumkan nasionalisme penduduk desa
menyambut hari ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan pekan ini. Padahal,
sebelumnya, yang berkibar bendera "penjajah": Belanda, Inggris, dan
Portugal, menyambut Euro 2012.
Di perkotaan pun Merah Putih berkibar di sudut-sudut jalan dan trotoar,
bukan di rumah dan depan toko, melainkan dibawa oleh pedagang
musiman. Orang kaya dan juragan toko umumnya mengibarkan bendera
setelah ada pengumuman resmi. Kadar nasionalisme mereka barangkali
sudah di bawah orang desa. Atau ada ketidakpedulian. Atau merasa tak
berguna memikirkan apa pentingnya ada Hari Proklamasi, Hari Pahlawan,
Hari Pers, dan sejenisnya. Apa pentingnya pula mengibarkan Merah Putih.
Pengibaran Merah Putih di Istana Merdeka pada detik-detik peringatan
Hari Proklamasi umumnya masih menyedot perhatian penonton televisi.
Wakil-wakil pelajar dari seluruh Tanah Air mengibarkan bendera itu
dengan gagah perkasa. Naskah proklamasi dibacakan dengan kalimat
terakhir: "atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta." Hati saya masih
tergetar.
Adakah di antara hadirin yang menyaksikan secara langsung detik-detik
peringatan itu, tidak tahu siapa Sukarno dan Hatta? Kalau ada, mereka
memang tak layak lagi diundang ke Istana. Pertanyaan lanjutan: adakah di
antara hadirin itu yang tidak tahu jasa-jasa Sukarno dan Hatta, atau
mengecilkan jasa kedua beliau? Kalau ada, mereka itu tak memahami
sejarah negeri ini. Pertanyaan terakhir: adakah yang peduli dan merasa
perlu memberikan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno dan Hatta?
Saya tak tahu jawabnya, yang jelas sampai saat ini Sukarno dan Hatta
belum menjadi pahlawan nasional. Yang mengusulkan saja tidak ada,
apalagi yang memprosesnya.
Setiap Agustus datang, pedagang bendera mendorong gerobak yang
penuh dengan Merah Putih, hati saya terenyuh, kapan proklamator
kemerdekaan ini menyandang gelar pahlawan nasional. Setiap menjelang
bulan November, pada Hari Pahlawan-dan Presiden memberikan gelar
kepahlawanan plus bintang jasa-saya semakin prihatin, begitu
berlombanya masing-masing daerah mengusulkan "putra terbaiknya"
untuk mendapatkan gelar pahlawan. Soeharto pun berkali-kali diusulkan.
Tapi kenapa tak ada yang mengusulkan nama Sukarno dan Hatta? Apakah
Sukarno dan Hatta bukan putra terbaik?
Konon ada ganjalan. Ketetapan MPRS Nomor 13 Tahun 1967 mencabut
kekuasaan Sukarno. Bab II Pasal 6 menyebutkan, penyelesaian proses
hukum menyangkut Sukarno dilakukan menurut ketentuan hukum yang
berlaku. Pelaksanaannya diserahkan ke pejabat presiden. Dan Soeharto

tak melakukan apa-apa.


Ya, Soeharto pastilah "punya masalah" dengan pendahulunya. Tetapi
empat presiden setelah Soeharto (Habibie, Abdurrahman Wahid,
Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono) juga tak melakukan apa-apa.
Soeharto pernah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun
1986, yang memberikan gelar pahlawan proklamator kemerdekaan bagi
dwitunggal itu. Tapi sebutan pahlawan proklamator itu tak dikenal dalam
gelar kepahlawanan yang kita miliki.
Kepada Presiden SBY, saya "nasihatkan" (sesekali rakyat memberi
nasihat), angkat Sukarno dan Hatta menjadi pahlawan nasional. Apalagi
MPR telah mengeluarkan Ketetapan Nomor 1 Tahun 2003, yang
menyebutkan tak perlu ada tindakan hukum untuk Sukarno karena beliau
telah meninggal. Tolong, Pak SBY, saya memerlukan gelar pahlawan
nasional untuk kedua proklamator itu agar saya lebih khidmat
mengibarkan Merah Putih. Dirgahayu Indonesia kita.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 12 Agustus 2012)

Sabtu,28 April 2012 @ 05:44


Pak Raden
Pandita Mpu Jaya Prema
Kisah mengharukan Pak Raden alias Drs Suyadi dalam meniti hari tuanya
adalah "cerita bersambung" tentang kehidupan seniman yang tak pernah
tahu seluk-beluk hak cipta. Ada banyak seniman, baik tradisi maupun
modern, yang walaupun menyandang julukan maestro, hidup dalam
kemiskinan di hari tua. Dan ketika mereka meninggal dunia, di kemudian
hari pemerintah paling-paling mengabadikan nama mereka sebagai
gedung kesenian atau museum. Itu pun kalau ada desakan dari
masyarakat.
Maka, di Bali ada Gedung Kesenian Gde Manik, Gedung Ketut Maria, dan
berbagai museum yang mengabadikan nama para seniman. Tapi Gde
Manik dan Ketut Maria--yang lain terlalu banyak jika disebut--tak
mendapatkan apa-apa pada saat mereka hidup. Padahal ciptaannya
berupa seni tari sampai sekarang dipentaskan di berbagai tempat, dan
membuat kaya para makelar seni. Buku-buku tentang mereka, baik
menyangkut proses kreatif mereka maupun kehidupannya yang penuh
warna, dicetak ulang dan membuat penulisnya kehujanan royalti,
sementara para seniman itu tetap kehujanan karena rumahnya bocor.
Undang-Undang tentang Hak Cipta sudah beberapa kali direvisi, terakhir

menjadi UU No. 19 Tahun 2002 yang lebih terperinci dari sebelumnya.


Namun para seniman, apalagi seniman tradisional, tetap saja enggan
mengurus hak cipta itu, selain mengurusnya juga ruwet dan perlu biaya.
Dalam musik pop, untung ada Yayasan Hak Cipta, yang mau mengurusi
royalti, meski untuk memungutnya tetap kewalahan. Tapi lumayan, dan
inilah
yang
membuat
pencipta
lagu Begawan
Solo,
Gesang,
"terselamatkan" di hari tuanya sampai beliau meninggal dunia, dua tahun
lalu.
Tapi siapa yang mengurus hak cipta para seniman tari, karawitan,
pematung, pelukis, dan sebagainya? Pemerintah hanya bisa melahirkan
undang-undang tanpa merasa perlu melakukan sosialisasi yang cukup,
seolah-olah semua rakyat tahu, begitu sebuah undang-undang dimuat
dalam
Lembaran
Negara,
urusan
selesai.
Apalagi
mengurus
pendaftarannya. Kalau Pak Raden saja kelimpungan dengan hak cipta ini,
jangan tanya lagi seniman di daerah.
Pak Raden menciptakan tokoh boneka Si Unyil. Memang ide itu datang
dari pimpinan Perusahaan Film Negara, dan biaya pun datang dari badan
usaha milik negara ini. Sesuai dengan undang-undang, hak cipta itu
seharusnya milik sah Pak Raden, bukan siapa yang punya ide dan siapa
yang membiayai. Hak cipta melekat pada si pencipta, namun dengan
catatan Pak Raden sendiri yang mendaftarkannya ke Ditjen Hak Cipta dan
Paten.
Rupanya, Pak Raden tak melakukan hal itu dan ia menyerahkan
pengurusan hak cipta kepada PFN, dan PFN mendaftarkan diri sebagai
"pemilik hak cipta". Ini dimungkinkan asalkan ada perjanjian batas waktu
antara lembaga yang "menampung hak cipta" dan perorangan "pemilik
hak cipta". Masalahnya, perjanjian batas waktu itu tak ada, meskipun Pak
Raden sebelumnya merasa meneken perjanjian dengan batas waktu lima
tahun. Entah mana yang betul.
Si Unyil, yang 12 tahun (1981-1993) menghadirkan tontonan mendidik
di TVRI, ini begitu populer dan menjadi "merek dagang" yang laku dijual.
Ketika TV swasta muncul, Si Unyilditayangkan di RCTI selama setahun
(2002-2003), lalu pindah ke TPI selama setahun.Trans7 kemudian
mencoba memboyong Si Unyil dari dunia pedesaan ke alam kota, dan
judulnya menjadi Laptop Si Unyil. Semua tayangan itu dengan iklan
komersial. Belum lagi pemakaian nama Unyil untuk berbagai produk, dari
roti sampai toto gelap (togel).
Lalu, apa yang diperoleh Pak Raden? Ya, hanya nama besar sebagai
pencipta Unyil, bukan uang, karena hak ciptanya bukan dia yang pegang.
Mari bersimpati kepada Pak Raden.

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 22 April 2012)

Minggu,08 April 2012 @ 10:38


Bui Narkoba
Pandita Mpu Jaya Prema
Seumur-umur, baru sekali saya memasuki kompleks penjara. Itu pun pada
1980-an, dalam tugas meliput. Saya menemukan lelaki kurus di belakang
jeruji besi yang kehausan, mungkin juga kelaparan. Saya menjumpai
orang yang dengan mudahnya ditampar sipir penjara tanpa jelas apa
kesalahannya. Orang-orang tidur berdempetan, kaki ketemu kepala, ludah
dan kencing menyatu di lantai, tempat mereka berbaring. Saya tak kuat
menahan sedih. Aduh....
Beberapa bulan yang lalu, seorang teman mau mengajak saya ke Rumah
Tahanan Salemba dan Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Mau bezuk
kawan akrab yang dipenjara kasus cek pelawat. Hanya berpikir sejenak,
saya menolak ajakan itu. Penjara sekarang beda, mereka bisa tidur pulas,
ketawa-ketawa sambil olahraga, makannya enak, bisa nonton TV dan
pakai telepon selular, kata sahabat saya.
Saya tahu itu, walau hanya dari membaca dan menonton TV. Ada
perubahan konsep, istilah penjara dan bui dihapus karena kesannya
penghukuman.
Penggantinya,
lembaga
pemasyarakatan,
yang
bermakna pembinaan. Namun konsep itu tak sepenuhnya jalan, bahkan
terjadi ketidakadilan antara terpidana berduit dan terpidana kere.
Perubahan konsep seharusnya tak mengubah pengawasan. Dihukum atau
dibina, penghuni penjara harus tetap diawasi ketat. Sebagian hak mereka
dipasung: tak boleh keluar tanpa izin, dibezuk dengan batasan waktu, dan
seharusnya--peraturan
juga
menyatakan
demikian--tak
boleh
menggunakan telepon selular. Pemasungan itulah yang membedakan
dengan orang tak bersalah, dan diharapkan menimbulkan efek jera
sehingga anak binaan ini kembali ke masyarakat dengan prilaku yang
baik.
Sekarang, bagaimana bisa para terpidana bebas menggunakan telepon
seluler di dalam tembok penjara? Yang sangat tak masuk akal, bagaimana
mungkin anak binaan itu bisa mendapatkan sabu-sabu, ganja, ekstasi,
dan jenis narkotik lainnya? Lebih-lebih lagi, mereka bukan hanya pemakai,
tetapi juga bandar narkotik. Ini aneh berbapak ajaib, dari dalam tembok
bui bisa melakukan bisnis haram.
Jelas, pengawasan lemah. Kepala penjara, stafnya, sipir, semua harus

disalahkan. Padahal pengawasan itu tidaklah ribet. Para pembezuk antre,


dan barang bawaan mereka diperiksa dengan teliti. Ternyata kebobolan.
Kini bui berubah jadi pasar gelap. Barang apa pun, termasuk narkoba,
bisa lolos dengan aman. Para terpidana elite--makelar narkoba dan
koruptor--justru jadi bos di bui. Merekalah yang mengatur sipir. Dulu sipir
hanya memainkan pungutan antre bezuk, kini sudah dibina terpidana
elite.
Penggerebekan sarang narkoba di penjara tak mungkin melibatkan kepala
penjara, apalagi sipir. Itu yang dilakukan Badan Narkotika Nasional saat
menggerebek sarang narkoba di beberapa penjara, termasuk di LP
Pekanbaru. Masuk akal jika Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny
Indrayana, yang ikut dalam penggerebekan itu, marah besar karena pintu
terlambat dibuka. Keterlambatan bisa berarti banyak, orang yang dicari
dengan mudah membuang barang bukti ke toilet, dan penjara pun
terkesan bersih.
Sekeras-kerasnya seorang Denny menampar sipir--itu pun kalau benar-pekerjaannya jauh lebih dahsyat: membasmi pasar narkoba di penjara. Ini
yang harus didukung kalau Anda ingin negeri ini bebas dari narkoba.
Menteri Hukum tak boleh takut, manajemen penjara harus dibenahi,
masih banyak orang yang perlu ditampar. Tentu, tamparan yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi, dengan menegur atau mencopot,
misalnya. Sesekali ada tamparan fisik kepada sipir, anggaplah itu hukum
karma karena sipir biasa menampar terpidana kelas jelata.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 April 2012)

Minggu,08 April 2012 @ 10:36


Minyak
Pandita Mpu Jaya Prema
Minyak mudah terbakar dan bisa untuk membakar. Minyak juga licin,
orang bisa tergelincir jika tidak hati-hati berjalan di atasnya. Baru
membahas harga minyak saja, emosi para elite partai dan masyarakat,
khususnya mahasiswa dan buruh, sudah terbakar.
Kita disuguhi aksi demo yang begitu memprihatinkan. Aksi di berbagai
daerah dengan kekerasan yang meningkat. Sementara dulu hanya
memblokade jalan, membakar ban bekas, merusak fasilitas umum, dan
meruntuhkan pagar, sekarang memblokade pelabuhan, bandar udara,
bahkan jalur kereta api. Semangat yang berapi-api membela kepentingan
rakyat.

Presenter televisi pun bersemangat mengabarkan aksi kerusuhan itu


tanpa ada intonasi suara yang miris dan prihatin, seolah-olah bentrokan
antara polisi dan mahasiswa menjadi vitamin buat mereka untuk
bergairah dalam bekerja. Kemajuan luar biasa bagi dunia pertelevisian
dalam mendidik dan mencerdaskan bangsa lewat tontonan--kalau
memang Anda masih belum bosan.
Para wakil rakyat berebut bicara dalam sidang paripurna ketika
menentukan apakah harga minyak harus naik segera atau ditunda atau
tidak naik sama sekali. Interupsi saling menyambung, hal-hal kecil pun
diinterupsi. Istri saya berbisik: apakah mereka itu tak punya anak di
rumah, bagaimana kalau anaknya menonton kelakuan bapaknya dalam
sidang paripurna itu? Saya jawab: mungkin anaknya tak menonton karena
kuliah di luar negeri, mereka orang-orang kaya tapi tak sanggup
membayar Premium dengan harga pasar.
Minyak membakar bukan hanya benda yang tampak, tapi juga membakar
hati, pikiran, dan ego orang-orang. Semuanya dalam bingkai membela
rakyat kecil.
Ada partai politik yang tergelincir akibat minyak. Setelah terpeleset,
tampaklah secara telanjang bagaimana wujud partai itu sebenarnya.
Partai Keadilan Sejahtera, partai dakwah yang bersih suci itu, menerapkan
jurus berteman di kala suka, berseberangan di kala tak suka. Partai ini
anggota koalisi untuk mendapatkan kursi, tapi menjadi oposisi untuk
pencitraan membela rakyat. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan lebih
dahsyat lagi, dengan kader yang cerdas dan pandai berargumentasi, tibatiba mengambil alih peran Partai Rakyat Demokratik di masa lalu, yakni
menjadi partai jalanan. Instruksi agar kader PDIP turun ke jalan langsung
datang dari pimpinan pusatnya.
Saking bersemangatnya kader PDIP menjalankan instruksi untuk menjadi
partai jalanan, Wakil Wali Kota Solo dan Wakil Wali Kota Surabaya (cukup
dua contoh saja) larut dalam aksi demo menentang kenaikan harga
minyak. Padahal baru rencana, masih dibahas.
Sebagai pejabat publik, ada sumpah jabatan yang mereka ucapkan,
antara lain, berlaku adil mengayomi warga di wilayahnya. Tidak ada wali
kota yang hanya mengurus warga dari partai tertentu. Kalau ada musibah,
wali kota tak etis bertanya: kamu dari partai mana, kalau bukan dari
partaiku, tak ada bantuan. Kalau seseorang belum siap menjadi orang
netral dan masih terbelenggu oleh sekat-sekat partai, juga sekat-sekat
lain seperti suku, etnis, dan agama, janganlah melamar menjadi pejabat
publik.
Barangkali banyak orang tak bisa netral dan masih memiliki monoloyalitas
kepada partai--bukan kepada negara. Kalau begitu, hikmah yang diambil
dari kasus ini, buat larangan bagi pejabat publik--presiden, menteri,

gubernur, dan bupati/wali kota--untuk merangkap jabatan di partai. Bagi


Indonesia yang politiknya tetap keruh, idealnya memang pejabat publik
itu orang nonpartai, seperti kawan lawas saya, Dahlan Iskan. Ia bebas
bergerak, tidur di rumah petani pun tak ada yang menuduhnya
berkampanye.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 1 April 2012)

Minggu,18 September 2011 @ 12:18


Setan Gundul
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 18 September 2011)
Seumur-umur saya belum pernah melihat setan. Baik setan yang gundul
maupun yang gondrong. Ketika saya kecil, ayah pernah bertutur, saya tak
mungkin bisa melihat setan. Alasannya, keluarga saya ditakdirkan hidup
"mengabdi" kepada Tuhan. Setan dan Tuhan itu bermusuhan, salah satu
harus diikuti. Alasan yang sederhana. Toh naluri wartawan yang ingin
serba tahu membuat saya penasaran, bagaimana wujudmu, wahai setan?
Meski tak pernah lihat, mendengar kata setan sering. Setan untuk
mengumpat dan setan untuk menyindir, misalnya. Ketika Gayus
Tambunan, terpidana pembobol uang pajak yang cerdas itu, menyerahkan
miliaran rupiah uangnya untuk digandakan di penjara, seorang teman
mengumpat: "Dasar setan semuanya, kekayaan dihamburkan di tengah
penduduk yang antre air minum." Teman yang lain hanya menyindir:
"Uang haram, ya, dimakan setanlah."
Saya tak ingin mengumpat atau menyindir. Saya bertanya dalam hati,
seandainya setan itu memang ada, pasti yang membawa uang itu ke
penjara Cipinang adalah setan berdasi. Mustahil manusia seperti saya.
Alasan saya sederhana: uang miliaran rupiah itu dibawa ke penjara,
masak sih petugas penjara tak curiga? Atau alur pikirnya sederhana
begini. Rekening Gayus itu semua diblokir, seharusnya ia jadi miskin.
Bagaimana mungkin masih punya harta Rp 4 miliar lebih kalau uangnya
itu tidak dititipkan dulu pada setan sebelum diblokir?
Pikiran sederhana saya pun berlanjut: jangan-jangan semua koruptor itu
berteman dengan setan, atau koruptor itu sendiri adalah setan yang
sebenarnya? Waduh, mudah-mudahan tak ada orang yang "mendengar

pikiran" saya ini.


Kembali ke setan gundul. Permadi--politikus PDI Perjuangan yang loncat ke
Partai Gerindra--menyebut ada setan gundul dalam kasus Antasari Azhar.
Karena saya tahu Permadi dekat dengan dunia paranormal, tentulah setan
gundul itu memang ada, dan yang paling penting ada dalam kasus
Antasari. Permadi yakin, kasus Antasari Azhar direkayasa dan hakim
menjatuhkan putusan 18 tahun penjara hanya karena pesanan setan
gundul. Kenapa setan gundul itu dendam kepada Antasari? Karena--ini
kata Permadi, bukan kata saya--ada tiga kesalahan besar Antasari.
Pertama, hendak mengusut kasus IT pemilu. Kedua, hendak mengusut
kasus Bank Century. Ketiga, menangkap dan memenjarakan Aulia Pohan,
Direktur Bank Indonesia yang besan Presiden SBY.
Karena pikiran saya sederhana, saya tak bisa mengira setan gundul yang
dimaksudkan Permadi. Tapi, dalam kasus Antasari Azhar ini, saya pun
setuju ada yang janggal dalam persidangan sejak di pengadilan negeri.
Misalnya soal barang bukti, soal penanganan jenazah Nasrudin
Zulkarnaen, dan banyak lagi seperti yang sudah tersiar serta yang juga
ditemukan oleh Komisi Yudisial. Namun saya tak mau menyebut ini
"peradilan sesat" seperti yang diucapkan sahabat lama saya, Jimly
Asshiddiqie. Bung Jimly pantas mengatakan begitu karena dia profesor
hukum. Saya hanyalah orang yang pernah belajar hukum, jadi cukup
menyebut "peradilan janggal".
Nah, harapan saya, kejanggalan itulah yang kini harus dijelaskan dalam
sidang peninjauan kembali. Hakim PK seharusnya tak perlu takut ada
pesanan dari setan gundul. Bukankah Aulia Pohan sudah bebas, bukankah
hasil Pemilu 2009 sudah dinyatakan sah dengan penghitungan manual
bukan dengan alat canggih, dan bukankah kasus Bank Century sudah
"selesai secara politik"? Siapa tahu setan gundul yang disebut Permadi itu
sendiri sudah lupa. Artinya, mari tuntaskan kasus Antasari Azhar ini dalam
koridor hukumnya yang sejati, tanpa melibatkan setan-setan.

Minggu,04 September 2011 @ 12:17


Lebaran Terhangat
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 4 September 2011)
Mohon maaf lahir-batin. Meski terlambat beberapa hari, bukalah pintu

maaf untuk saya, Romo.


Romo Imam tertawa renyah menyambut salam saya itu. Kami bahkan
berpelukan. "Dulu, waktu kita sama-sama di Yogya, selama bulan Syawal
ini, ya, kita berkeliling meminta dan memberi maaf. Namanya saja
Syawalan. Tak ada yang terlambat," ujar Romo.
"Ini Lebaran yang sangat berkesan. Lebaran terhangat," kata Romo lagi.
Saya masih diam, sengaja membiarkan Romo mengenang hari-hari
kemenangan itu. "Awalnya sih hampir kacau, orang tua dan anak-anak
tidak akur. Tapi akhirnya ada kesamaan."
"Lo, ada cerita apa?" saya mulai curiga ada sesuatu yang terjadi. Romo
menjelaskan, keluarga dan tetangganya sudah takbiran pada Senin.
Mereka yakin Lebaran jatuh pada Selasa. Apalagi ada berita di televisi,
hilal sudah dilihat oleh pengamat di Cakung dan Jepara. "Anak-anak sudah
takbiran. Ibu sudah merebus ketupat. Ternyata pemerintah memutuskan
Lebaran itu Rabu, dan berita itu sudah pukul 9 malam lebih di Bali.
Takbiran sudah berlangsung, ketupat hampir matang, bingung, kan?" ujar
Romo.
Wah, ini cerita yang sudah malang-melintang di kalangan bawah. "Apa
sikap Romo?" tanya saya, sebenarnya hanya basa-basi. "Kami sekeluarga
kumpul. Saya dan Ibu ingin tetap Lebaran Selasa, tapi anak-anak ingin
mundur ke Rabu. Alasannya mematuhi aturan pemerintah," ujar Romo.
Romo menyebutkan sempat membawa istrinya ke kamar, berdiskusi
berdua. Istrinya berkukuh Lebaran Selasa dengan alasan banyak orang
yang melakukannya. Alasan lain, semua penganan sudah siap. Tapi Romo
terusik oleh alasan anak-anaknya: mematuhi pemerintah. Patuh kepada
pemerintah adalah sikap yang sangat bijaksana dan selalu dianjurkan oleh
Romo. "Akhirnya saya punya peluru, kepada istri saya katakan, kalau kita
Lebaran Selasa dan anak-anak Lebaran Rabu, siapa yang sungkem pada
Selasa? Padahal tradisi kita sejak di Yogya, sungkem itulah awal dari
nikmatnya makan ketupat." Romo tertawa.
Ya, ujungnya happy ending, keluarga ini Lebaran Rabu. "Jadilah Lebaran
terhangat," kata Romo, masih diselingi tawa. "Ketupat dihangatkan, opor
ayam dihangatkan lagi, semua kue basah kembali dihangatkan."
Saya ikut tertawa. "Umat Islam di Indonesia luar biasa. Perbedaan pun
disikapi dengan tertawa, benar-benar patut dicontoh dunia," kata saya.
Romo malah berhenti tertawa. "Ya, tapi menjadi tertawaan umat Islam
negara lain, menentukan Lebaran saja ributnya bukan main,
dan nyeleneh lagi. Negara-negara Islam lainnya semua Lebaran Selasa,"
ujar Romo.
Saya tak bisa berbasa-basi lagi. Dalam hati, saya juga heran, kenapa

perhitungan hari yang didasarkan pada peredaran bulan begitu rumit di


tengah teknologi yang canggih. Kalender Bali yang dibuat puluhan
pemuka Hindu yang didasarkan pada tahun Saka, yang juga memakai
pedoman peredaran bulan seperti tahun Hijriah, menetapkan 1 Syawal
pada Selasa, 30 Agustus. Dalam tahun Saka, bulan mati dan bulan
purnama bisa dihitung untuk seratus tahun ke depan atau lebih, kalau
mau. Namun keheranan itu saya pendam, takut disebut sok usil
mengurusi orang lain, karena saya nonmuslim.
"Yang penting, hikmahnya bisa dipetik, umat Islam tetap berada dalam
kemenangan sejati, menjadi contoh bagaimana perbedaan itu disikapi
dengan bijaksana dengan tetap menaati keputusan pemerintah," kata
saya, kali ini bukan basa-basi.
"Ya, tapi pemerintah juga harus belajar bagaimana membuat keputusan
yang tepat dalam waktu yang tidak mepet. Nusantara ini luas, sore di
Jakarta jadi malam di Jayapura," ujar Romo.

Minggu,30 Oktober 2011 @ 11:21


Komodo
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 30 Oktober 2011)
Mari dukung Pulau Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia
kategori alam. Ambil telepon seluler, ketik KOMODO, kirim ke 9818.
Biayanya murah, hanya Rp 1 per SMS. Jangan takut, ini bukan SMS
jebakan yang akan menguras pulsa Anda. Komodo tak memakan pulsa.
Kirim sebanyak-banyaknya. Lalu apa yang terjadi setelah Pulau Komodo
menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam? Semua orang akan senang,
apalagi Bapak Jusuf Kalla, yang kini menjadi Duta Komodo. JK
mengatakan, jika predikat itu didapat, Provinsi Nusa Tenggara Timur akan
menjadi "Bali kedua" dalam hal menggaet wisatawan. Komodo akan
menjadi ikon pariwisata di NTT dan rakyat di kawasan ini menikmati
kesejahteraannya. Luar biasa, hanya dengan SMS seharga Rp 1, Anda
sudah mengentaskan masyarakat dari kemiskinan di kepulauan ini.
Dalam
karena
jual di
dalam

pikiran saya yang sederhana, wisatawan membanjiri NTT tentu


Pulau Komodo. Saya belum melihat ada kawasan wisata yang siap
sana, meskipun potensi alamnya banyak yang bagus. Artinya,
satu dasawarsa ke depan, Pulau Komodo yang akan dituju

wisatawan. Apa yang dilihat? Ya, komodo.


Celakanya, binatang purba ini tak mau diajak modern, tak mau diajak
berpatungan menggaet wisatawan. Sudah ada penelitian, jika habitat
mereka dirusak, populasi mereka tak akan berkembang. Semakin banyak
komodo berinteraksi dengan manusia, semakin stres dia, sampai-sampai
bunuh diri. Terbukti komodo yang ada di Kebun Binatang Surabaya bisa
mati, padahal sudah dipelihara dengan bagus.
Bagaimana mengembangkan wisata komodo kalau ikon yang dijual itu tak
bisa diajak bermusyawarah? Pelancong membutuhkan hotel, restoran,
jalan aspal, mobil, air bersih, dan listrik. Komodo membutuhkan hutan,
rawa, air kotor, dan bangkai hewan untuk makanannya. Kalau tak ada
kompromi dan manusia gagal memecahkan masalah ini, wisata komodo
tak akan berumur panjang.
Dunia wisata di Bali masih bertahan--meski tak lama lagi--karena ada dua
ikon yang dimilikinya: budaya dan alam. Alam ciptaan Tuhan, budaya
ciptaan manusia. Manusia Bali bukan komodo, mereka punya akal, pikiran,
dan otak yang bisa dibuat modern. Mereka dulu bisa polos dan senang
dipuji: teruskan mandi di sungai, teruskan bertani di sawah yang
teraseringnya memukau itu, dan teruskan melakukan ritual yang penuh
hura-hura tersebut. Turis senang, pengelola wisata kaya, orang Bali tetap
miskin.
Karena bukan komodo, manusia Bali kini bertanya, "Kenapa sawah saya
yang indah itu harus saya pertahankan, memangnya ada yang mengurusi
irigasinya, pajak buminya saja naik terus? Kenapa saya harus
melaksanakan ritual yang besar, yang membuat sengsara, apalagi
pendeta Hindu sudah memperkenalkan ritual sederhana yang murah,
memangnya ritual itu tontonan, kalau tontonan bayar, dong? Kenapa pura
saya harus dikunjungi wisatawan, memangnya saya tak terganggu kalau
bersembahyang?"
Pengelola wisata terus berkoar-koar: lestarikan budaya Bali. Sementara
itu, orang Bali bersama pendetanya sudah menemukan format untuk
melaksanakan ritual yang murah dan "tanpa enak ditonton". Maka yang
masih dinikmati oleh turis nantinya hanya budaya dalam bentuk kesenian
dan alam yang sudah compang-camping akibat ulah orang kaya.
Sementara kepariwisataan di NTT tak akan bernapas panjang karena
ikonnya adalah komodo--yang tak bisa diajak modern--kepariwisataan di
Bali juga tak panjang karena ikonnya adalah manusia--yang ternyata bisa
modern dan bisa melihat ketidakadilan. Sayangnya, tak ada satu pun
Menteri Pariwisata di negeri ini yang memikirkan bagaimana mengelola
"pariwisata budaya dan alam" secara benar.

Minggu,09 Oktober 2011 @ 12:20


Gaya Presiden
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 9 Oktober 2011)
Ada janji yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di tengah
upaya merombak kabinetnya sekarang ini. Yakni, Presiden akan
mengubah gaya kepemimpinannya dan tata kerja kabinetnya setelah
dilakukan perombakan.
Anda percaya? Jika ya, bagus sekali. Ini memberi harapan yang lebih baik
ke depan. Maaf, saya tak begitu yakin. Gaya--baik urusan rambut maupun
perilaku--menyangkut kebiasaan yang sudah melekat dalam diri
seseorang. Perubahan bisa dipaksakan, tapi tak akan jauh dari aslinya.
Khusus gaya Presiden, lihat saja saat ini, ketika Presiden akan merombak
kabinetnya. Lebih banyak hebohnya. Pengumuman penggantian jauh-jauh
hari melahirkan manuver dari partai yang menempatkan menterinya.
Kasak-kusuk terjadi, ancam-mengancam dilakukan beberapa partai. Para
menteri tak tenang bekerja.
Nama menteri yang ditendang dan calon menteri baru beredar. Ada kesan
sengaja dibocorkan, lalu dibantah pula. Situasi yang tak menguntungkan
buat siapa pun, apalagi buat rakyat. Tak ada manfaat apa pun yang bisa
diperoleh. Ini gaya lama SBY--tanpa ada tanda perubahan--calon menteri
dikesankan dipilih dengan sangat saksama, diteliti betul rekam jejaknya,
diuji kelayakan dan kepatutannya. Semua dipertontonkan ke masyarakat,
seolah SBY mau berkata: "Para menteri dipilih dengan kajian mendalam
dan perhitungan yang sangat matang, bukan membeli kucing dalam
karung." Bukankah gaya ini mengulang gaya sebelumnya, yang hasilnya
kita tahu, para menteri sudah ada "dalam karung" partai koalisi.
Pada masa Soeharto, kabinet dibentuk minus heboh. Penggantian menteri
di tengah jalan (reshuffle) jarang terjadi. Pembentukan kabinet di awal
periode jabatan--maklum, bapak kita ini terpilih dalam enam kali periode-polanya sederhana. Begitu Presiden dan Wakil Presiden disumpah, kabinet
dinyatakan demisioner, tapi Soeharto tegas: "Para menteri tetap
melaksanakan daripada tugasnya
dengan
baik,
tapi
tidak
membuat daripadakeputusan strategis." Seminggu kemudian kabinet
diumumkan.
Apakah Soeharto membeli "kucing dalam karung"? Pasti ada
pertimbangan saksama, dilihat rekam jejaknya bersama pembantu
dekatnya. Namun
tanpa
heboh,
tanpa
ada
panggilan yang

"dipertontonkan" ke publik. Yang gelisah hanyalah para tokoh yang


merasa dirinya pantas jadi menteri dan dekat dengan Soeharto, sampai
tak berani meninggalkan rumah, takut Soeharto meneleponnya--kan
belum ada telepon seluler. Uniknya, gaya Soeharto dalam memberi tahu
seseorang jadi menteri tak harus lewat telepon, ada yang
diajaknya mancing ke Kepulauan Seribu. Menurut seorang menteri di era
itu, Soeharto memberi pertanda lewat dialog santai: "Kita berlayar lagi,
mari bantu saya daripadaberlayar ke depan."
Perombakan kabinet pada era SBY, heboh dan geger. Antarpartai koalisi
saling serang. Ada partai punya "kartu rahasia" yang siap dibuka kalau
menterinya dicopot. Bagaimana para menteri bekerja dengan nyaman?
Apalagi reshuffle itu seperti pentas ludruk di Jember, "tanggal mainnya"
tak pasti, capek menunggu kan?
Kalau SBY memainkan "gaya baru" dalam kepemimpinannya, saya ingin
Presiden berubah total. Jangan hiraukan partai karena presiden dipilih oleh
rakyat secara langsung tanpa nyoblos partai, pilih menteri profesional.
Kalau gaya ini akhirnya gagal, ya, sudahlah, toh ini masa jabatan terakhir
SBY sebagai presiden. Siapa tahu rakyat merasakan manfaatnya, maka
SBY akan meninggalkan kenangan manis di akhir jabatannya. Kalau gaya
sekarang, yang sangat bertele-tele itu, dipertahankan, lalu apa yang
diwariskan SBY selama 10 tahun memerintah?

Minggu,20 November 2011 @ 11:23


Hedonisme
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 20 November 2011)
Apa yang salah dengan sikap hidup hedonisme? Mereka yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan
utama dalam hidup sah-sah saja ada di bumi ini. Tak ada orang yang
semestinya iri, karena nasib sudah ditentukan oleh "garis tangan". Siapa
yang menciptakan "garis tangan" itu? Bertanyalah kepada anak-anak.
Jawabannya: Dia, yang juga membuat pelangi, "pelangi-pelangi ciptaan
Tuhan".
Kaum hedonis hanya perlu disalahkan jika, dalam mengejar kenikmatan
materi itu, merampas kenikmatan orang lain. Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat sah saja memakai Bentley, Hummer, apalagi Toyota Alphard, yang
katanya tak mewah, sepanjang dia membelinya dengan hasil jerih

payahnya yang halal. Bukan dengan menjadi makelar anggaran, atau


menyetujui pasal sebuah undang-undang dengan imbalan uang. "Saya
dari dulu sudah kaya, saya kan lawyer, saya kan pengusaha," begitu
mereka membela. Bahwa ketika menjadi pengusaha dia pernah
merampas hak karyawan dengan tidak memberi upah berbulan-bulan,
dan ketika menjadi pengacara dia membela koruptor dengan membagibagikan uang sogokan kepada hakim dan jaksa, itu urusan masa lalu.
"Jangan ungkit masa lalu, dong...," begitu pula mereka membela diri.
Saya punya cerita tentang kaum hedonis, apakah ini salah atau tidak,
terserah yang membacanya. Malapetaka terjadi, tanah longsor melanda
petani ketika mengerjakan saluran irigasi, sejumlah orang menjadi korban,
lalu sejumlah orang--anak-anak dan para istri--telantar kekurangan
makanan. Wakil rakyat terketuk hatinya. Mereka kumpul di sebuah rumah
makan di hotel untuk memperbincangkan bagaimana mencari dana untuk
menolong korban kelaparan itu. Berbagai jurus disebutkan: alihkan
anggaran ini dan itu, hentikan proyek ini dulu, dananya bawa ke situ.
Belum ada kesepakatan. Esoknya rapat diulang di tempat yang sama,
dengan jumlah anggota lebih banyak. Butuh waktu panjang--dan makanan
terus bertambah--untuk menolong rakyat yang menderita itu.
Akhirnya diperoleh anggaran, mereka menyumbang empat karung beras,
ditambah ikan teri, garam, mi instan, dan sebagainya. Disepakati pula,
ketika menyerahkan sumbangan, diliput oleh stasiun televisi--"Kalau tidak
diliput, rakyat kan tak tahu?" Kru TV meminta uang transpor Rp 300 ribu,
itu tak jadi masalah dan tak perlu rapat. Saya menghitung nilai
sumbangan tak lebih dari Rp 200 ribu. Kalau saja mereka tak perlu rapat
di hotel dan tak perlu liputan televisi, lalu biaya itu dimasukkan sebagai
sumbangan, nilainya bisa Rp 1 juta. Sumbangan pun bisa lebih cepat. Ini
keterlaluan, kepekaan mereka terhadap penderitaan sudah tumpul,
bahkan dijadikan bahan pamer. "Bedebah, taik kucing,bangxxt?," saya
memaki dalam hati--ini kejadian sekitar tiga tahun lalu, ketika saya belum
dilarang mengumpat.
Apakah wakil rakyat yang hidup hedonistis itu bersalah? "Lo, saya kan
sudah menyumbang," pasti jawabannya begitu kalau ada yang bertanya.
Namun orang malas bertanya. Perilaku seperti itu sudah menjadi hal
biasa, bahkan sampai sekarang ini. Lihat saja, begitu ada bencana,
apakah angin puting beliung atau banjir, bendera partai berkibar di sana
dan judul berita di koran berbunyi: "Fraksi XXX Telah Menyumbang
Sepuluh Kardus Mi Instan". Nilai sumbangan lebih rendah daripada 4 liter
oli untuk mobil Hummer.
Tragisnya, negeri ini akan masih lama memiliki wakil rakyat dan pejabat
yang hedonistis. Sebab, hanya merekalah yang punya uang untuk
menomboki pemimpin partai agar bisa dicalonkan, lalu hanya mereka
yang punya uang untuk dibagikan kepada rakyat saat pencoblosan.
Revolusi
moral--mungkin
hanya
itu
kalau
berani--yang
bisa

menyelamatkan negeri ini.

Minggu,29 Mei 2011 @ 12:10


Pancasila
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 29 Mei 2011)
Menjelang 1 Juni, orang sibuk bicara Pancasila sebagai dasar negara.
Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menjadi tamu para petinggi negara yang
membicarakan betapa pentingnya kelahiran Pancasila diperingati.
Apakah ini juga buah reformasi? Pada masa Orde Baru, Soeharto tak sudi
merayakan kelahiran Pancasila karena lebih tertarik pada kesaktian
Pancasila--padahal semua orang tahu tak ada yang sakti kalau tak pernah
dilahirkan. Namun di era reformasi pula Pancasila mulai dilupakan,
setidaknya pengamalannya luntur. Pancasila tak lagi diajarkan secara
khusus, sehingga para rektor di Jawa Timur meminta agar Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diajarkan kembali.
Saya setuju Pancasila diajarkan, tapi kurang sreg P4 dihidupkan, meskipun
saya alumnus penataran P4 tingkat nasional angkatan ke-145. P4
penafsirannya terlalu mutlak dan kurang menghargai dialog. Tapi itu
urusan Ketua MPR, Ketua DPR, presiden, dan petinggi lainnya.
Yang hendak saya katakan, pengamalan Pancasila sudah jauh merosot.
Sekarang ini perikehidupan--ini bahasa penataran--menyimpang dari
Pancasila, baik di tingkat elite maupun lapisan bawah. Yang banyak
diamalkan justru "Pancasala". Sala, seperti halnyasila, adalah bahasa Jawa
kuno yang artinya salah. "Lima kesalahan" inilah yang kini banyak
diamalkan.
Apakah itu? Sala pertama: keuangan yang mahakuasa. Uanglah yang
membuat orang berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Untuk
menjadi bupati, gubernur, presiden, dan wakil rakyat perlu uang. Menjadi
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia saja perlu miliaran uang untuk
menyogok wakil rakyat. Menurut akal sehat, tak masuk akal, bagaimana
mengembalikan uang itu dengan gaji yang diperoleh? Tapi itu yang terjadi,
korupsi semakin marak. Memalukan luar biasa.
Salakedua: kemanusiaan yang batil dan biadab. Menurut kamus, batil
artinya tak benar. Banyak perilaku kita yang tak benar dan kebiadaban

terjadi di mana-mana. Teroris menjadi ancaman, perampok seenaknya


menembak tewas polisi, rumah ibadah dirusak dengan beringas. Antara
Mahfud Md. dan Muhammad Nazaruddin, siapa yang batil? Meski secara
"perasaan" gampang ditebak--yang kabur biasanya tak benar--secara
hukum, perdebatannya panjang. Ini skandal moral.
Salaketiga: perseteruan Indonesia. Orang gampang berseteru. Buaya
berseteru dengan cicak, es lilin berseteru dengan es kopyor. Andi
Mallarangeng berseteru dengan Nazaruddin, Muchdi Pr. berseteru dengan
Suryadharma Ali. Padahal semuanya satu partai dan semuanya bicara
partainya solid. Memilih Ketua Umum PSSI saja ributnya setengah modar,
padahal siapa pun yang terpilih tak akan membuat Indonesia juara dunia.
Ini memprihatinkan.
Salakeempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah keraguan dalam
permusyawaratan semu. Semua langkah yang diambil berdasarkan
keraguan. Menaikkan harga Premium takut, tapi tetap mengimbau pemilik
mobil membeli Pertamax. Petinggi partai semuangomong: koalisi solid, tak
ada perpecahan, nyatanya itu semu. Ini memuakkan.
Salakelima: kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini tak perlu
diulas, capek. Wakil rakyat membuat gedung mewah, anak-anak rakyat-yang jadi ketua rakyat--gedung sekolahnya roboh. Gaji wakil rakyat Rp 54
juta--di luar komisi proyek, uang reses, sangu studi banding, dan
penghasilan makelar anggaran--sementara gaji guru honorer, termasuk
yang mengajarkan Pancasila, Rp 200 ribu.
Pertanyaan untuk elite kita: betulkah kalian mau kembali ke dasar negara
Pancasila kalau kenyataan yang kalian amalkan "Pancasala"? Beri teladan
dong, jangan omong doang!

Minggu,15 Mei 2011 @ 12:06


Semut
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 15 Mei 2011)
Sebagai pemerhati semut, saya kagum dengan fotografer Robertus Agung
Sudiatmoko yang bisa memotret semut yang tengah menari dengan satu
kaki. Bahkan dalam serial foto semutnya yang dilansir Daily Mail, Robertus
juga mengabadikan seekor semut yang berdiri di atas bebatuan tengah
menyilangkan tangannya seperti berdoa. Robertus mengaku suka hewan

kecil itu, alasannya semut sangat mandiri dan dalam bekerja sama
semuanya bekerja.
Saya setuju. Saya sering memakai semut untuk memberi contoh
bagaimana seharusnya manusia bekerja sama. Begitu banyak teladan dari
alam, baik benda hidup maupun mati, saya suka dengan tiga hal:
persekutuan binatang buas, persatuan sapu lidi, dan paguyuban semut.
Persekutuan binatang buas, misalnya macan, dalam mencari mangsa
awalnya berkelompok. Begitu ketemu mangsa, macan-macan ini bersatu
membunuh korbannya. Kemudian, macan itu saling berebut mendapat
jatah paling banyak. Setelah kenyang mereka pergi cerai berai, lupa pada
persekutuan.
Di dunia manusia, persekutuan ini banyak dipraktekkan dalam kasus
korupsi berjamaah istilah yang tak saya suka karena mengambil idiom
agama. Kasus cek pelayat yang dikaitkan dengan terpilihnya Miranda
Goeltom sebagai deputi Gubernur Bank Indonesia, masuk katagori ini.
Macan-macan itu setelah puas melahap cek, kini saling menyalahkan.
Kasus Gayus Tambunan juga masuk katagori ini. Tak mungkin sebagai
macan Gayus sendirian menggarong uang rakyat, tapi macan yang
lain keburu hilang dalam rimba. Selain gelap, penjaga hukum dalam rimba
terbiasa tebang pilih.
Kasus anyar, korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang,
juga tergolong persekutuan macan. Pelaku yang ramai disebut,
membantah terlibat, bahkan tiba-tiba saling tak kenal. Lalu saling
menuduh, yang ini merekayasa itu, yang itu merekayasa ini. Sekejamkejam macan tak pernah memangsa anaknya, dan manusia yang baik
tentu melindungi anak buahnya. Maka petinggi partai pun, baik
Demokrat maupun Demokrasi Indonesia Perjuangan, pasti berusaha
meminimalkan keterlibatan kadernya.
Mari lihat persatuan sapu lidi. Setangkai lidi mudah dipatahkan, tetapi
sekumpulan lidi, sulit dipatahkan. Bersatu teguh, bercerai rapuh.
Masalahnya, sebuah sapu mudah dipakai oleh siapapun yang merasa
memiliki. Di jagat manusia, kita sudah biasa melihat berbagai aksi yang
orangnya itu-itu saja. Apalagi saat kampanye Pemilu, tinggal memberi
baju kaos plus nasi bungkus dan sangu. Kini, kita mendapatkan wakil
rakyat yang gemar mengejar bungkusan dan sangu.
Tapi, saya tak ingin memasukkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
katagori ini. Komisi ini pasti tak bisa dipinjam untuk menyapu bagian
sana tapi tidak bagian sini. Misalnya, sapu bersih penerima cek pelayat,
tapi jangan menyapu pemberinya. Sapu bersih penerima suap Wisma
Atlet, tapi jangan sampai ke petingginya.
Paguyuban semut yang ideal. Selebar apapun jalannya, mereka antre,

lebih mulia dari manusia di jalanan. Kalau ada sumber makanan, ia


komunikasikan lewat sinyal kimiawi yang canggih, yang oleh manusia
sistem ini ditiru untuk menciptakan Facebook. Ini bukan omongan saya, ini
penelitian Noa Pinter-Wollman dari Stanford University. Ketangguhan
semut, seperti dibuktikan Robertus dalam fotonya, dapat membawa daun
berukuran lebih dari 10 kali tinggi badannya.
Cuma, semut hewan wong cilik, disemprot pestisida mati akibatnya
muncul wabah ulat bulu. Pelajaran dari sini, kalau pemerintah tetap tak
memperhatikan rakyat kecil, jangan salahkan ulat bulu yang radikal itu
jadi subur.

Minggu,08 Mei 2011 @ 12:05


Bego dot Com
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 8 Mei 2011)
Mari santai sejenak. Jangan biarkan otak kita dicuci oleh tayangan televisi
yang terus-menerus membuat kita tegang: penyerbuan Usamah, teror
bom, jihad, pembalasan al-Qaeda, negara Islam Indonesia, dan sederet
yang lain. Bukan saja adegan kekerasan yang diulang-ulang itu yang
membuat saya heran, tetapi juga bermunculannya pengamat yang sok
tahu segala hal, dan sering memprovokasi atau setidaknya mendukung
keradikalan itu. Padahal bumi ini tak sepenuhnya diisi oleh kekejaman.
Mari santai dan berjalan-jalanlah di kawasan pantai utara Jawa atau lazim
disingkat Pantura lo, Jawa-nya mana? Jika mau menyalip truck yang
berjalan pelan karena muatannya melebihi kapasitas yang dibolehkan
jembatan timbang tak berfungsi baca grafiti di bak belakang truck. Itu
hiburan yang gratis.
Ada teman saya yang mengkoleksi berbagai kalimat grafiti itu. Saya tak
rajin mencatat, namun sebagai pengamat truck saya menyimpulkan,
kalimat itu selalu menyesuaikan dengan zaman. Pada awal-awalnya grafiti
bak truck itu muncul, kalimatnya bernada peringatan. Misal, Awas, berani
nabrak, modar. Menyusul kalimat bernada keluhan seperti Pengelana
tak pernah kaya atau Luntang-lantung bini ditinggal. Urusan wanita -cinta, perselingkuhan dan sejenisnya menyusul marak dengan bahasa
yang norak dan kadang tak nyambung antar kata. Yang penting ada
gambar wanita seksi, kalau mutu gambarnya buruk, ya, seperti kuntilanak
dalam komik. Kalimatnya berbunyi, satu contoh saja: Kutunggu

jandamu.
Kemajuan teknologi berimbas ke grafiti truck itu. Muncul www.wong
desa.com atauwww.dilarang nyengir.com. Lalu kombinasi, ada tulisan
besar, dibawahnya tulisan kecil, seperti yang saya temukan di rumah
makan para supir truck di Pati, Jawa Tengah. Tulisan besarnya Teroris
ingkar janji dibawahnya yang kecil www.bego.com. Baik tulisan yang
besar maupun yang kecil tak bisa saya pahami dan jangan sesekali
mengulas apa pesan tulisan itu, nikmati saja sebagai hiburan.
Saya tanya supir truck itu, apa maksud teroris ingkar janji. Dia tertawa,
ternyata yang dimaksudkan teroris itu pacar gelapnya yang mulai serong.
Kan teroris lagi ramai diberitakan, ya, pacar saya itu seperti teroris, kata
supir yang sudah punya istri dan dua anak ini. Saya kenalan dengan dia
di fesbuk (baca: facebook), makanya di bawahnya saya tulis bego com.
Saya memang bego, mudah dikibuli.
Saya kaget. Bisa fesbukan? Supir jaman sekarang. Kalau makan di
Rembang, fesbukandulu, katanya. Oya, sejak itu saya baru ngeh,
ternyata rumah makan di kawasan Lasem (Rembang) sampai Tuban sudah
dilengkapi warnet yang sewanya hanya dua ribu rupiah sejam. Para supir
dan krenet berkerumun dan terbahak-bahak di sini. Negeri ini luar biasa
majunya.
Karena bisa fesbukan, tentu para supir itu punya alamat email. Namun
mereka mengaku tak punya alamat web. Bukan kelas supir itu,
jawabnya. Tapi istilah dot com populer di kalangan mereka. Kalau ada
yang pinjam uang sama temannya, bilangnya: ngutang duit dot com.
Mereka tahu dot itu simbulnya titik, seperti yang ditulis di bak trucknya.
Luar biasa, saya betul-betul terhibur di tengah mereka.
Ironinya, luar biasa pula kalau ada anggota wakil rakyat yang tak tahu
alamat emailkantornya, atau jangan-jangan dia sendiri tak punya
alamat email, apalagi web. Saya tak mengatakan wakil rakyat itu bego
dot com, mungkin saja dia merasa urusan kecil itu harus dikerjakan
staf ahlinya. Maaf, saya tak bermaksud menyindir, dikritik terbuka saja tak
mempan, apalagi disindir.

Minggu,01 Mei 2011 @ 12:03


Cuci Otak
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

(Dimuat Koran Tempo 1 Mei 2011)


Bergegas saya ke padepokan Romo Imam. Berita yang beredar sangat
mengagetkan. Beliau terkena serangan stroke. Ketika saya mendekati
beranda rumahnya, ternyata Romo asyik membaca buku.
Lo, Romo sehat walafiat toh.. Romo tersenyum memandang saya.
Ada isu apa tentang saya? tanyanya. Romo terkena stroke, jawab
saya.
Romo Imam mempersilakan saya duduk. Ya, sesekali boleh dong
menyebarkan isu. Dengan cara itu saya punya kesempatan untuk
menjawab. Saya mendapat tempat lagi dalam pemberitaan. Kalau terlalu
lama saya tak menjadi berita dan masyarakat direcoki terus oleh berbagai
isu yang saling menyambung, saya bisa dilupakan, sulit menjaga citra,
katanya dengan tenang.
Saya yang kini tidak tenang. Ini permainan apa lagi, pikir saya. Sudah
cuci otak? tanya Romo tiba-tiba. Saya kaget. Romo, kenapa otak saya
harus dicuci? Saya tak ingin jadi beda, saya masih menghormati orangtua,
masih mengakui negara ini dan mencintainya, betapa pun buruknya
perilaku pemimpinnya.
Sudahlah, Romo menghentikan suara saya. Ini salah paham tentang
makna cuci otak. Sesekali otak harus dicuci supaya bersih. Caranya
dengan berdoa, berzikir kata orang Islam, berjapa kata orang Hindu. Atau
melakukan meditasi. Intinya membuang segala kekotoran yang
disebabkan oleh prasangka berlebihan, keserakahan, ketamakan, dan
segala nafsu buruk lainnya. Sisakan kepasrahan, ketulusan, kejernihan
melihat permasalahan, jujur pada hati nurani.
Romo masih banyak mengumbar kata, tapi perhatian saya tak sempurna.
Itu cuci otak yang sejatinya, sangat positif dan harus dilakukan secara
berkala. Kalau cuci otak yang dikaitkan dengan gerakan Negara Islam
Indonesia yang ramai di media hari-hari ini, itu namanya meracuni otak.
Otak seseorang diberi racun sehingga rusak, orangtua dianggap kafir,
mencuri dan merampok disebut halal, berzina dan melacurkan diri
dianggap wajar, astagafirulah
Saya mulai agak tenang. Apa sih komentar orang non-Muslim tentang
NII? Kok tak terdengar? tanya Romo yang mulai berbicara lembut. Saya
menjawab: Sepertinya orang rikuh mengomentari selama ada embelembel Islam. Kerikuhan yang sama jika mengomentari soal Front Pembela
Islam, Tim Pembela Muslim, Ahmadiyah, terror berkedok jihad, dan banyak
lagi. Bahkan munculnya ratusan warung yang berlabel Muslim di Bali juga
tak pernah dikomentari terbuka, meski pun orang Bali heran, kenapa
sebuah warung sampai menonjolkan identitas agama. Kan tak ada
warung Hindu, bahkan bar Budha di Jakarta saja diprotes, sekarang kok

bertebaran warung Muslim sampai ke pelosok desa di Bali.


Romo serius mendengarkan omongan saya. Jadi saya lanjutkan saja:
Apalagi soal NII, saya tak paham di mana posisi pemerintah. NII cerita
lama, kampungnya ada bahkan direportase oleh berbagai media,
tokohnya ada, gerakannya ada, korbannya juga ada. Pemerintah mau apa
sih? Sulit membantah kalau pemerintah dianggap memelihara NII sebagai
anak republik untuk dimunculkan setiap saat kalau ada kebijaksanaan
pemerintah yang perlu ditutup-tutupi. NII diperlukan untuk mengalihkan
isu
Romo tertawa membuat saya berhenti bicara. Kamu sama saja dengan
Oneng, eh, Rieke Dyah Pitaloka, yang menyebut kasus NII dibesarbesarkan untuk menutupi aksi buruh hari Minggu ini. Otak seperti ini yang
harus dicuci. Romo berhenti sebentar, lalu: Tapi, saya juga tak tahu,
pemerintah mau apa soal NII ini, dianggap tak ada, hanya diwaspadai,
dipantau saja, dipelihara? Bingung saya.
Kalau Romo bingung, ikut cuci otak saja, jawab saya spontan.

Minggu,13 Maret 2011 @ 10:53


Gertak Sambal
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 13 Maret 2011)
Apa masalahnya sambal dikaitkan dengan kata gertak? Mungkin karena
sambal identik dengan pedas. Gertak artinya mengancam dengan
kekerasan. Itu menurut kamus. Jika ditambah sambal, artinya mengancam
untuk menakut-nakuti. Unsur kekerasannya hilang. Kalau tak ada yang
takut, ya, tak apa-apa juga. Bukankah rasa pedas itu hanya sementara?
Agar mata pelajaran soal gertak sambal ini lebih dipahami, saya
memberi contoh. Front Pembela Islam (FPI) mengancam menggulingkan
Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono jika pemerintah berani
membubarkan organisasinya. Ancaman itu dilontarkan karena SBY
berpidato di Kupang pada perayaan Hari Pers Nasional. Di situ SBY
mengancam akan membubarkan ormas yang suka membuat anarkistis.
Pidato itu disambut tepuk tangan sebagai pertanda bahwa hadirin
mendukung.
SBY tak pernah menyebut FPI, tapi pimpinan FPI merasa sebagai sasaran.

Maka ancaman menggulingkan pemerintah itu disampaikan. Saya tak


tahu apakah Presiden jadi takut atau tidak. Yang jelas, Menteri Dalam
Negeri yang menjadi pembantu Presiden berdialog dengan pimpinan FPI
dan hasilnya kita semua tahu tak ada satu pun ormas yang dibubarkan.
FPI pun nyaman, karena targetnya sudah tercapai. Akan halnya
penggulingan itu barangkali jauh dari target, karena seperti halnya pidato
SBY di Kupang, ini hanya gertak sambal dan bukan gertak.
Contoh lain, SBY dengan wajah dan nada serius, berpidato di Istana.
Presiden menyebutkan akan ada evaluasi soal koalisi karena ada satu dua
partai yang mengingkari koalisi. Ucapan Presiden ini diterjemahkan
sebagai ancaman untuk partai yang membangkang. Para elit politik yang
dekat dengan SBY meneruskan ancaman itu lebih keras lagi: ada dua
partai akan didepak dan jatah menterinya di kabinet akan dicopot.
Bagaikan paduan suara, orang pun bernyanyi: reshuffle reshuffle.
Dimunculkan nama menteri yang baru seiring dengan nama menteri yang
akan hengkang. Para pengamat semuanya yakin reshuffle dalam waktu
dekat. Prof Tjipta Lesmana nama ini perlu disebut karena yang diamati
banyak, termasuk sepakbola hakul yakin reshuffleakan terjadi tanggal 9
Maret (karena SBY suka angka sembilan), paling tidak tanggal 11 Maret
(itu hari bersejarah, Super Semar).
Tiba-tiba Menteri Sekretaris Negara berpidato di Istana. Beliau
menyebutkan Presiden jangan dipaksa untuk melakukan reshuffle. Tak
ada reshuffle dan tak ada partai yang ditendang dari koalisi. Sidang
pembaca tentu sudah lebih tahu dari saya, apakah saat berpidato tentang
evaluasi koalisi itu, SBY hanya menggertak atau menggertak
sambal? Kita tahu sampai hari ini tak satu pun menteri yang diganti,
malahan Presiden meminta: bekerjalah dengan tetap konsentrasi pada
tugas.
Golkar dan PKS dua partai yang dianggap membangkang tahu betul
apa difinisi gertak sambal. Golkar tak mampu ditakut-takuti dengan
merapatnya PDI Perjuangan ke SBY, karena mereka yakin hal itu seperti
punguk merindukan Mega. PKS selalu yakin tetap dalam koalisi karena
partai ini punya senjata ampuh yang terpendam : menggerakkan massa
ke istana, dan itu ditakuti penghuni istana. Kedua partai ini akhirnya tetap
berkoalisi di pemerintahan sembari beroposisi di parlemen.
Tiga setengah tahun menunggu 2014. Entah berapa lagi ada contoh
gertak sambal. Capek sebenarnya, karena urusan ini hanya di seputar
Istana dan Senayan. Yang mengurusi kemacetan di Merak tak ada, yang
melindungi warga Ahmadiyah tak ada, apalagi mengurusi lumpur Lapindo.
Rakyat seolah tanpa negara. Tapi mau apa kita, ikut menggertak pakai
sambal ?

Minggu,12 Juni 2011 @ 12:11


Istri
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 12 Juni 2011)
Apakah Anda seorang istri? Atau bersiap mengemban tugas sebagai
seorang istri? Atau mungkin sudah nenek-nenek karena punya putri yang
telah menjadi istri? Siapa pun Anda, asalkan masuk dalam kategori di
atas, harap bersiap-siap bergabung--suka atau tidak--dalam Ikatan Istri
Taat Suami. Ikatan ini akan dideklarasikan di Jakarta akhir pekan ini, kalau
jadi.
Bergembiralah para suami seperti saya, perkumpulan ini sejatinya hanya
untuk memuaskan kita. Kaum wanita, para perempuan, kaum ibu, para
istri--maaf, saya tak tahu apakah termasuk para selir dan istri simpanan-sibuk merancang teknik hanya untuk memuaskan kita, para suami
perkasa. Dan teknik yang diutamakan oleh ikatan ini adalah sesuatu yang
kabarnya sering dilupakan para istri, bagaimana memuaskan suami di
atas ranjang, apakah ranjang itu beralas kapuk, busa super, atau spring
bed. Intinya, para istri akan diberi pelatihan lewat konsultasi bagaimana
berlaku sebagai pelacur profesional tatkala melayani suami.
Hore...! Betapa nikmatnya para suami. Setiap malam--siang pun oke
juga--dilayani "pelacur kelas tinggi" yang gratisan. Jika para istri tak mau
memerankan diri mereka sebagai wanita tunasusila atau pekerja seks
atau kupu-kupu malam atau sebutan lain yang lebih manis lagi (di
kampung saya sebutannya menyakitkan agar mereka tobat:sundel),
berarti istri itu tidak taat kepada suaminya. Ketaatan itu diukur dari
bagaimana cumbu rayu di atas ranjang. Luar biasa.
Penggagas Ikatan Istri Taat Suami ini bukan orang sembarangan. Di
Malaysia, yang jadi cikal-bakalnya, organisasi yang bernama Klub Istri Taat
Suami alias Obedient Wives Club (OWC) diprakarsai oleh kalangan
intelektual, salah satunya Dr Rohaya Mohammad, yang kini menjadi Wakil
Presiden OWC.
Di Indonesia, penggagasnya Dr Gina Puspita, PhD. Wow, melihat gelar
kesarjanaannya saja saya harus angkat topi--eh, maaf, saya tak boleh
pakai topi sejak dua tahun lalu. Kekaguman saya pun bertambah setelah
tahu Dr Gina adalah doktor aeronautika yang langka, dan menjadi salah
satu istri dari seorang suami. Gina melayani suaminya bersama tiga
madunya, Basiroh, Salwa, dan Fatimah. Saya merinding membayangkan

jika sayalah suami itu: oalah, ada empat pelacur menemani saya di satu
ranjang.
Apakah hubungan suami-istri dan hakikat perkawinan semata-mata soal
seks? Apakah seks semata-mata soal nafsu? Apakah nafsu semata-mata
karena teknik mencumbu dan dicumbui? Dr Gina mengutip ajaran Islam
dalam menyebarkan idenya ini: ketaatan istri kepada suami adalah
ibadah. Saya buta soal ini, apalagi memaknai kata "taat" jika dikaitkan
dengan ibadah.
Yang saya tahu, dalam Hindu, teknik "bermain" di ranjang ada dalam kitab
Kama Sutra. "Permainan" ini sejatinya lebih pada "permainan rasa", bukan
"pertarungan nafsu". Hanya gara-gara film Hong Kong yang banyak
menerjemahkan Kama Sutra dengan konyol sehingga jadilah Kama Sutra
cabul, bahkan vulgar. Kama Sutra dipraktekkan oleh pasangan yang sah
karena perkawinan adalah sakral. Bahkan dalam Hindu ada saatnya kapan
boleh berhubungan suami-istri dan kapan tidak, karena "tujuan hubungan"
melahirkan anak yang suputra (anak saleh).
Hubungan seks saat ini sepertinya tak lagi mengikuti pakem. Para istri
harus taat kepada suami, melayani suami bak pelacur, dan suami pun
hanya menyalurkan rasa lelah dan kesal oleh pekerjaan rutinnya
menumpuk harta. Tak ada sentuhan rohani sedikit pun di atas ranjang dan
kelak lahirlah bayi-bayi instan yang nantinya mungkin menjadi koruptor,
penjarah, penyuap, atau pengemplang pajak.

Minggu,13 Februari 2011 @ 10:50


Sesat
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 13 Februari 2011)
Akhirnya Romo Imam tiba juga di tempat tinggal saya, sebuah desa sepi
nan asri di lereng barat Gunung Batukaru, Bali. Empat jam lebih saya
menunggu. Ada kemacetan, Romo? tanya saya.
Lancar saja. Romo tidak lewat jalur selatan. Romo lewat Bedugul, lalu
Singaraja, dan terus ke sini, katanya.
Romo tersesat, kata saya sambil menyilakan duduk. Jangan mudah
menuduh orang sesat, itu tidak baik, dan itu bukan bahasa kaum

agamawan, jawab Romo.


Saya kaget. Karena Romo mengucapkan dengan penuh senyum, saya pun
tak merasa dimarahi. Mohon maaf, kalau Romo tidak tersesat, lalu kata
apa yang baik dipakai? tanya saya.
Memilih jalan yang beda. Pilihan jalan yang beda itu tidak berarti sesat
karena tujuan yang mau dicapai sama saja, kata Romo. Dalam
persoalan memilih agama sesungguhnya adalah menetapkan sebuah
keyakinan, dan setiap keyakinan punya jalannya sendiri. Tapi tujuan
agama sebenarnya sama saja, kedamaian, kesentosaan, kesejahtraan
lahir dan batin, dan kembali ke asalnya, menghadap Tuhan Sang Pencipta
untuk kedamaian yang abadi.
Istri saya datang membawa minuman. Romo menyampaikan salam, lalu
meneruskan: Sekarang ini banyak pemuka agama yang seenaknya
menuduh orang lain sesat. Bahkan sebuah keyakinan yang punya banyak
pengikut, juga dituduh sesat. Itu tak baik dan memang tak pantas
dikatakan, kalau kenyataan yang terjadi hanyalah masalah jalan yang
berbeda. Ibaratkan kampung ini adalah rumah Tuhan, tujuan akhir yang
mau dicapai oleh para spiritual, orang bisa datang dari selatan, dari utara,
dari mana saja. Banyak ada jalan yang penting kan sampai. Kalau orang
memilih jalan dari selatan, dia tak bisa menyebut orang yang datang dari
utara itu sesat. Kalau mau main tuduh, orang yang memilih jalan dari
utara itu juga bisa menyebut orang dari selatan sesat. Kan tak selesai
perdebatan ini, masalah keyakinan tak bisa diperdebatkan seperti itu.
Tapi Romo, kalau contohnya kampung saya ini, umumnya orang datang
dari selatan. Lebih singkat, lebih ramai jalannya, kata saya.
Romo tertawa: Dalam masalah keyakinan, proses mencapai tujuan itu
yang justru menarik dan ini tak bisa diseragamkan. Ada orang yang suka
ritual mewah, ada yang ingin ritual sederhana, ada yang memilih jalan
berliku untuk menikmati lebih banyak pemandangan hidup, ada yang
ingin cepat mendaki. Orang harus menghormati semua jalan itu, tak boleh
ada celaan dan penistaan, apalagi saling mencelakakan.
Saya merenungkan kata-kata Romo yang penuh simbol ini. Tapi memang
ada keyakinan yang sesat, kata Romo tiba-tiba yang membuat saya
tersentak. Keyakinan yang membahayakan kemanusiaan, keyakinan
yang merusak alam lingkungan, keyakinan yang diluar koridor kedamaian.
Contoh ada sekte yang mengajak anggotanya minum racun atau ada
sekte yang melakukan seks bebas. Ini jelas diluar kemanusiaan karena
mereka mencontoh prilaku binatang.
Jadi, mereka patut diserang atau dibunuh? saya memotong. Romo
kaget: Jangan, jangan main bunuh, memangnya mereka serangga?
Mereka itu manusia, tapi sesat. Orang sesat itu justru harus dirangkul,

dikasihani, dan diberi petunjuk ke arah yang benar. Kalau tetap nekad dan
membahayakan orang lain, baru diberi pembatasan yang sesuai dengan
hukum duniawi.
Saya kembali merenung dan kemudian spontan bertanya; Bagaimana
dengan kelompok Ahmadiyah, apakah perlu diberi petunjuk jalan? Romo
berdiri dan telunjuknya mengarah ke muka saya: Ahmadiyah bukan
sesat, mereka hanya memilih jalan yang beda, renungkan sendiri. Romo
lalu melangkah menuju perpustakaan.

Minggu,18 Desember 2011 @ 11:27


Buka-Bukaan
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 18 Desember 2011)
PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi sudah dilantik. Nunun Nurbaetie
sudah tertangkap. Mohamad Nazaruddin sudah diadili. Wa Ode Nurhayati
pun sudah jadi tersangka. Sementara Tim Pengawas Kasus Century di DPR
telah diperpanjang masa kerjanya.
Lalu, adakah angin segar yang akan bertiup, yang akan mengusir
kegelapan dalam berbagai kasus yang menyangkut korupsi di tanah air
ini? Semestinya ada, kalau tidak ada, orang Jawa bilang kebangetan.
Entah kenapa, negeri tercinta ini sedang tertimpa banyak masalah,
sementara pemerintah hanya sedikit bisa mengatasi masalah. Dari
berbagai sudut masalah muncul, jembatan ambruk, perkosaan di
angkutan kota, pembantaian di Lampung, sampai PSSI yang ricuh melulu.
Sepertinya hanya Perum Pegadaian yang bisa mengatasi masalah tanpa
masalah, walau berupa slogan saja. Tapi, kita kan tidak ingin
menggadaikan negeri ini ke orang lain? Apalagi digadaikan kepada
koruptor.
Dengan wajah baru pimpinan KPK yang katanya (kalau katanya diulangulang mirip omongan Nazarudin sebelum kabur, yang kini jadi lelucon)
makin berani dan makin profesional, kita berharap ada kegelapan yang
segera terkuak. Kasus Bank Century, misalnya. Kenapa begitu lama
mengambang? Kebijakan dalam menangani kasus bank yang kolep itu
memang tak perlu dipersoalkan, pasti ada yang pro ada yang kontra.
Masalahnya pun tidak di sana. Yang jadi masalah, duit talangan itu sudah
dialirkan dengan benar atau menyimpang? Saya heran: masak mengusut

begini saja bertahun-tahun. Kalau KPK benar berani (bukan katanya),


panggil orang yang tahu masalah aliran uang itu, periksa dan umumkan,
ada penyimpangan atau tidak.
Kuncinya semua orang mau buka-bukaan. Setelah Nunun tertangkap,
segera diusut siapa yang menyuruh dia memberi duit ke anggota DPR dan
dari mana duit itu. Orang curiga pada Miranda Goeltom, saya pun
sependapat. Tapi, apa dia sendirian? Uang yang dikeluarkan untuk
nombok anggota DPR itu kan jauh lebih besar dari gaji sebagai Deputi
Senior Gubernur BI selama lima tahun masa jabatan, meskipun gajinya
luar biasa pula? Pasti ada orang lain, kelompok orang yang mengambil
keuntungan dengan terpilihnya Miranda, para pemburu rente, misalnya.
Artinya, Miranda memang bisa diperalat dan bersedia diperalat,
karena itu orang mau memberi dana talangan. Tapi siapa? Tak mungkin
tuyul.
Wa Ode yang justru pertamakali mengungkap mafia anggaran di DPR
lewat talkshow di televisi, kini jadi tersangka. Kesempatan bagi Wa Ode
untuk buka-bukaan, sehingga mafia yang menistakan parlemen itu
terkuak. Wa Ode -- ternyata dia juga kaya-- mungkin ikut salah, namun
seperti halnya Nunun, orang lain akan banyak yang ketahuan ikut salah.
Bicaralah Wa Ode, masuk penjara ramai-ramai kan lebih asyik.
Begitu pula Nazaruddin, yang liciknya tak kepalang. Biarkan ia
bernyanyi di dalam sidang, tak usah dibatasi. Meski orang tahu dia
pembual sebagaimana tabiat orang licik, namun ada ungkapan: dalam
seember bualan ada setitik kebenaran. Nazar sudah berkoar beremberember, kalau sepuluh persennya saja ada yang benar, ini kan bisa
menjelaskan apakah Anas Urbaningrum, Anggie, Andi Malarangeng,
terlibat apa tidak. Bahkan yayasan milik Ahmad Mubarok pun bisa
diperiksa dan sepanjang sejarah pendirian yayasan oleh orang gede
sumber dana dari merampok seperti yang disebut Nazar banyak
benarnya.
Persoalan sekarang, apakah pimpinan KPK yang baru mau memaksa
orang-orang itu buka-bukaan. Dan apakah KPK sendiri juga mau bukabukaan? Jika tidak, Abraham Samad pulang saja ke Makasar.

Minggu,04 Desember 2011 @ 11:25


Malu
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

(Dimuat Koran Tempo 4 Desember 2011)


ABRAHAM Samad terpilih sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang baru. Saya tak paham selain tak mau tahu -- pertarungan
politik apa di balik terpilihnya Samad. Bahwa Samad disokong oleh
kelompok ini, bahwa koalisi partai pemerintah pecah, bahwa Samad sudah
disandera partai tertentu, saya tak mau memikirkannya. Tambahkan lagi
puluhan gossip di sekitar itu, saya tak peduli. Saya tetap senang dengan
terpilihnya Samad.
Berkali-kali saya dikecewakan oleh para wakil rakyat. Dalam kasus
tertentu bahkan saya dibuat muak. Namun kali ini, ketika mereka memilih
Samad sebagai Ketua KPK, saya kok sepakat. Saya setuju dengan pilihan
itu, mungkin karena saya buta politik.
Apakah karena Samad anak muda, sementara negeri ini sepertinya
akan terus dipimpin orang-orang lanjut usia? Apakah karena dia orang
daerah, pada saat urusan daerah tak kunjung diperhatikan pusat?
Apakah karena tabungannya hanya Rp 200 juta tak mungkin nanti ia
mantu berbiaya milyaran -- sehingga saya senang dia terpilih? Sedikit
benar. Yang banyak benarnya adalah karena Samad secara terbuka
menyebutkan kata malu pada saat dicecar anggota DPR. Kalau setahun
saya tak bisa menuntaskan kasus besar, saya mundur. Malu rasanya
datang dari jauh, Makasar, tak bisa apa-apa, katanya.
Malu! Kata yang kehilangan arti di kota Jakarta, kata yang tak pernah
diucapkan dan perilaku yang tak pernah dipraktekkan oleh pejabat dan
petinggi negara. Tapi orang daerah, yang masih kental dengan kearifan
lokal, menempatkan kata malu sebagai sesuatu yang sakral. Saya
percaya Samad memegang kata-katanya itu, karena sanksi moralnya
berat. Ini sudah menjadi budaya di banyak daerah, seperti halnya orang
Bali atau orang Minang, yang malu pulang kalau tak berhasil di rantau.
Ketidak-berhasilan
itu,
apalagi
disertai
kecurangan,
harus
dipertanggungjawabkan dengan malu, mundur, mengalah dan sejenisnya.
Saat ini, siapa yang masih punya rasa malu, kalau indikatornya memakai
budaya daerah? Nunun Nurbaetie, kita tahu, tersangka kasus cek pelayat
ini sudah diburu pasukan Interpol. Abraham Samad pun menargetkan
menangkap Nunun dalam setahun ini. Kalau tidak berhasil, dia malu. Tapi
apakah suami Nunun, Adang Daradjatun yang menjadi anggota Komisi
Hukum DPR, merasa malu dengan kasus istrinya ini? Jika indikatornya
orang daerah mestinya malu, kemudian ikut mencari istrinya dan
menyerahkannya kepada KPK.
Ada pejabat negara yang menikahkan putranya dengan pesta demikian
mewah, menghabiskan milyaran rupiah. Berapa tahunkah ia menabung
uang ini dari gajinya sebagai pejabat negara? Padahal dia pernah
mengeluhkan gajinya yang tak naik-naik. Kenapa bisa mengeluarkan uang

sedemikian banyak untuk mantu? Mestinya dia merasa malu, minimal


malu pada dirinya sendiri.
Para koruptor jelas tak punya rasa malu. Ketika kasusnya terbongkar, dia
ditangkap, diperiksa, diadili, dipenjara, rasa malu itu tak ada. Termasuk
keluarganya. Calon-calon koruptor pun akhirnya bertambah, toh kalau
ketahuan dan dipenjara, itu hanya nasib sial. Tak ada efek jera dari
tertangkapnya koruptor terdahulu. Makanya menjadi menarik kalau ide
Kebun Koruptor Mahmud Md direalisasikan saja, toh hanya
mempermainkan rasa malu, dan belum tentu pula ada efek jera.
Mari beri kesempatan pada Samad untuk berjuang, apakah dia berhasil
menangkal rasa malu itu, sekaligus bisa mempermalukan lebih banyak
lagi koruptor. Bahwa ia akan disetir dan disandera oleh mantan
pemilihnya, lupakan sajalah. Kalau itu terjadi, malu dia malah akan
bertambah-tambah.

Minggu,11 Desember 2011 @ 11:24


Gerhana
Pandita Mpu Jaya Prema
Gerhana
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 11 Desember 2011)
Gerhana bulan semalam istimewa. Orang menyerbu pantai menyaksikan
gerhana di atas air. Saya tetap di kampung, bulan terbit di lereng gunung.
"Ya, istimewa karena tidak larut malam. Apakah suasananya meriah?"
tanya Romo Imam, begitu saya usai menceritakan fenomena alam itu
lewat telepon.
"Meriah? Ya, biasa saja. Ada orang yang menatap langit, ada yang asyik di
kamar menonton sinetron. Maklum, di kampung, tak satu pun yang
memotret, wong mereka tak paham apa indahnya gerhana."
"Ada yang memukul kentongan? Ada yang melemparkan air ke atap
rumah, melakukan ruwatan dengan membersihkan diri dari air yang jatuh
dari atap?"
Saya tercenung sejenak. "Tak ada. Itu kan cerita setengah abad lalu,
ketika saya bocah. Bahkan saya ingat memukul baskom keras-keras. Kata

Ibu, bulan dicaplok Kala Rawu, raksasa jahanam, jadi perlu diusir dengan
bunyi-bunyian keras, ha-ha-ha?."
Romo ikut tertawa. "Tradisi leluhur kita di Jawa dan Bali sudah tak
berbekas," katanya. Saya jawab, "Ya, karena itu dongeng konyol."
"Tapi Kala Rawu masih ada, banyak orang menjadikan fenomena alam itu
sebagai saat yang baik untuk membersihkan rohani, ya, semacam
ruwatan di masa lalu," kata Romo.
Saya tak merespons. "Kala itu artinya waktu," ujar Romo. "Rawu itu
malam atau gelap. Pada saat sinar menyejukkan ditutupi oleh kegelapan,
ketika itu orang semestinya meruwat diri dengan melakukan introspeksi,
apa sebenarnya yang salah. Ini harus diketahui agar kegelapan bisa diusir
dan sinar kembali muncul."
"Waduh, saya tak paham," kata saya. Romo melanjutkan, "Ya, kita ambil
contoh gampangan. Presiden SBY sudah berjanji akan menjadi orang
terdepan memberantas korupsi. Ketika rakyat berdemo di istananya
menuntut koruptor ditindak tegas, kan mestinya SBY keluar dan berseru,
'Ayo, kita sama-sama memerangi koruptor.' Jadi tak perlu ada orang bakar
diri. Ketika Menteri Hukum ingin membuat jera koruptor dengan
menghapus remisi dan bebas bersyarat, anggota DPR seharusnya
mendukung. Tapi kok malah tidak, bahkan mencecar Menteri, hanya
karena teman anggota DPR itu sedang ditahan dengan status koruptor.
Ketika rumah Anas Urbaningrum mau disegel massa antikorupsi, Anas kan
semestinya keluar, lalu mengajak massa: 'Ayo kita ke KPK, periksa saya,
pertemukan saya dengan Nazaruddin, siapa yang benar dan siapa
yang ngaco.'"
"Ada kegelapan yang menutupi sinar baik," kata Romo lagi. "Sinar baik itu
katakanlah tekad memberantas korupsi. Dari Presiden, Menteri, wakil
rakyat, hingga mahasiswa semuanya bertekad memberantas korupsi.
Tapi, begitu koleganya jadi koruptor, mereka langsung membela.
Sebenarnya mereka itu betul-betul antikorupsi atau tidak?"
"Sekarang semua orang bilang antikorupsi. Koruptor dimiskinkan, buatkan
'kebun koruptor', usut skandal Century, seret pengemplang pajak, tangkap
Angelina, tangkap Muhaimin, eh, malah Nazaruddin didukung. Ini kan
terbalik."
"Romo," saya menyela, "Nazaruddin didukung maksudnya supaya terus
bercerita siapa saja yang menilap uang negara." Romo langsung pula
menyela, "Ya, tapi kan ada gilirannya. Selesaikan kasus satu per satu.
Abraham Samad benar, harus ada prioritas. Yang tak benar dari Samad
adalah dia mengecam Busyro terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya
tiap jam mengobral janji. Sami mawon."

"Mari kita mengusir Kala Rawu, meruwat diri dengan bertanya kepada diri
sendiri: kita ini sebenarnya korup atau tidak?" kata Romo. Saya mau
menanggapi, tapi Romo duluanbicara, "Sudah, ya, sebentar lagi Barca
melawan Real Madrid. Ini lebih menarik daripadangomongin koruptor
membela koruptor."

Minggu,28 Agustus 2011 @ 12:16


Nikmat Mudik
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 28 Agustus 2011)
Mau ikut mudik, tak mungkin. Masalahnya, saya sudah tinggal di udik.
Jadi, memang tak perlu mudik. Toh, nikmatnya mudik masih bisa saya
pantau lewat celotehan para sahabat di Facebook, Twitter, dan pesan
pendek, yang semuanya jadi mudah dengan telepon seluler.
Ada sahabat yang bilang, rekor tertinggi selama mudik dari Jakarta ke
Karanganyar, Jawa Tengah, adalah 36 jam perjalanan. "Itu tahun lalu.
Kalaupun sekarang lebih, tetap merupakan kenikmatan," tulisnya di
Facebook.
Saya tak sulit membayangkan kenikmatan itu. Pemudik bermobil biasa
saling serobot. Mereka tahu dengan saling serobot akan membuat
kemacetan bertambah parah. Tapi di situlah nikmatnya mudik. Bagi
keluarga tukang serobot, sang ayah yang menyetir berlagak pahlawan
karena berhasil melalui puluhan mobil lain. Lalu sang anak berteriak "Papa
hebat" ketika mobil menyelinap dengan paksa ke depan mobil yang antre,
padahal ruangnya terbatas.
Sebaliknya, bagi pemudik sopan, di situ pula nikmatnya. Mereka
mematikan mesin mobil tatkala antre panjang, lalu berjalan-jalan di
sekitar kemacetan. Ketika ada mobil yang melesat main serobot, mereka
berteriak memaki-maki, seisi kebun binatang berhamburan disebut: dasar
monyet, dasar kadal, buaya lu. Seolah-olah sumpah serapah itu tidak
membatalkan puasa. Yang dimaki tak mendengar, karena mobilnya sudah
berjarak jauh.
Perilaku anak bangsa di perjalanan mudik sama sebangun dengan
perilaku bapak bangsa dalam menyetir negeri ini. Yang penting,
kekuasaan di tangan, artinya proyek juga di tangan, paling tidak di tangan
kelompoknya. Menyerobot anggaran sejak di parlemen, menikung tender

di kementerian, menghamburkan uang komisi tanpa peduli mutu proyek


jadi kurang. Semuanya dilakukan dengan pujian: "Papa hebat, Bapak
hebat, kalian hebat." Tak peduli ada sejumlah orang memaki, karena yang
memaki dan yang dimaki berjarak.
"Aku sempat tidur, enak sekali, baru di Tegal," begitu pesan pendek dari
sahabat yang naik kereta api. Ia pulang ke Purworejo, dan di Stasiun
Senen sudah menginap sejak tengah malam tadi. Saya tak tahu apa dia
tidur di kursi, telentang di lantai, atau tidur berdiri di depan WC. Apa
nikmatnya? "Ya, rasanya berada di dunia lain, tak ada Nazaruddin, tak ada
O.C. Kaligis, tak ada KPK. Ternyata tidak menonton TV dan tak membaca
koran jauh lebih nikmat," tulisnya lagi.
Saya sempat tergelak. Rupanya, sebagian orang sulit menghindar dari
Nazaruddin. Padahal ini pasti masuk skenario, bagaimana memunculkan
berbagai manuver agar kasus ini berpanjang-panjang sampai rakyat muak
sendiri. Minimal, akar kasusnya berbelok pada saat rakyat muak, dari
korupsi besar-besaran yang melibatkan mafia anggaran di parlemen
menjadi serpihan kisah-kisah tentang "kegenitan" Nazaruddin.
"Bung, nikmat juga mudik pakai bus gratis sumbangan partai. Berdosa
enggak, ya, padahal seumur-umur aku enggak pernah nyoblos partai itu,"
tulis pesan pendek dari sahabat yang lain. Saya tak menjawab, karena
saya yakin dia tak butuh jawaban. Ia pasti tahu, partai yang menyediakan
bus gratis itu pun tak meminta balas jasa untuk dicoblos. Pemilu masih
jauh. Ini hanya sekadar politik pencitraan. Uangnya belum tentu murni
dari partai, bisa dari pengusaha-pengusaha yang menjadi--atau dekat
dengan--politikus. Ya, sejenis Nazaruddin itulah.
Perjalanan mudik adalah perjalanan yang nikmat, meski tak membuat kita
sejahtera. Sama sebangun dengan nasib perjalanan bangsa ini, tak
pernah menyejahterakan rakyat, namun toh dinikmati oleh warganya, apa
adanya. Selamat berlebaran di udik, maaf lahir-batin.

Minggu,21 Agustus 2011 @ 12:14

Surat Untuk SBY


Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 21 Agustus 2011)

Sejak awal puasa saya tak bertemu Romo Imam. Rupanya, kami samasama kangen. Romo lalu mengundang saya ke padepokannya berbuka
bersama. Saya datang lebih awal, dengan maksud bersedia ikut repot di
dapur.
Ibu tak usah dibantu. Bantu saja Romo membuat surat untuk SBY, kata
Ibu Imam. Saya melihat Romo sudah siap dengan kertas dan pulpen.
Surat ditulis tangan lebih orisinil, kata Romo. Kalau surat Nazaruddin ke
SBY ditulis di komputer, kan jadi pertanyaan, siapa yang mengetik, siapa
yang mengkonsep. Kecurigaan sudah membayangi negeri ini sampai ke
sudut-sudut terkecil.
Saya duduk di sebelah Romo. Saya ingin surat ke SBY sesopan mungkin.
Saya tak ingin memaki, tak ingin saling tawar. Banyak sekali orang
memaki saat ini, meski pun bulan puasa. Tapi negeri ini tak akan bisa jadi
baik dengan memaki saja. Ada begitu banyak tawar-menawar antar
komponen politik, kasus Century ditawar lumpur Lapindo, wah, banyak
lagi. Tapi, persoalan bangsa ini tak bisa disandera oleh kasus.
Menegakkan hukum adalah tawaran yang terbaik.
Romo memperbaiki letak kertas, siap menulis. Kalau Nazaruddin saja bisa
menulis surat kepada SBY, kenapa saya tidak? Memang saya bukan
tokoh, kalau saya ditahan, tak akan mungkin dikunjungi anggota DPR ke
sel, tak akan mungkin diposisikan sebagai pahlawan.
Nazar seorang aktor, kata Romo kemudian. Dulu ia berkicau menyebut
banyak nama, memperlihatkan banyak benda, seolah-olah semua
kebenaran ada di benda itu. Lalu benda itu seolah-olah ada dalam tasnya,
dan tasnya dititipkan. Tiba-tiba bendanya dinyatakan raib. Politisi dan
pengamat yang gemar memaki pemerintah memanfaatkan keaktoran
Nazar ini. Penjemput Nazar disebut menghilangkan barang bukti, Nazar
disebut berada dalam ancaman, bahkan gelinya dipercaya kalau dua hari
tak makan karena takut diracun. Televisi membantu sepenuhnya
keaktoran Nazar. Namun, penonton jadi muak, karena sesungguhnya
Nazar bukanlah aktor hebat, ia hanya dibuat seolah-olah hebat oleh
sekelompok orang yang menggunakan Nazar sebagai peluru memaki
pemerintah.
Romo siap menggerakkan pulpennya. Yang mendorong saya menulis
surat kepada SBY adalah surat Nazar yang meminta istri dan anaknya
diberi ketenangan lahir dan batin, tidak diproses dalam kasus apapun.
Saya ingin memberi saran kepada SBY, jangan hiraukan itu. Kalau istrinya
tak bermasalah, kenapa pula diproses? Tapi kalau memang bermasalah,
kenapa tidak diproses? Jika ingin memberi ketenangan kepada keluarga,
berbuatlah jujur di dunia ini, jangan mencari kekayaan di jalan setan,
carilah uang halal.
Romo minum seteguk air. Yang menyakitkan dari surat Nazar kepada SBY

itu adalah dia menghina akal sehat seluruh bangsa. Dia bersedia dihukum
tanpa disidik, dia bersedia tak menceritakan apapun yang bisa merusak
citra Partai Demokrat, asal istrinya tenang. Seolah-olah dia punya rahasia
besar tentang Partai Demokrat tetapi tak mau bicara asal ada
imbalannya.
Pemerintah memang dalam puncak kegalauan, kata Romo melemah.
Penegak hukum salah tingkah melulu, presiden dan menterinya juga
gamang, parlemen dikuasai politisi yang penuh ambisi kekuasaan buat
kelompoknya, televisi mengejar rating dengan menampilkan orang-orang
yang pinter berdebat kusir. Tapi apakah memperbaiki keadaan itu cukup
dengan memaki? Apalagi yang memaki itu, bukan pula orang yang bersih
dari kesalahan.
Saya mengumpulkan keberanian untuk bicara: Romo, menulislah. Kita
tak punya jabatan untuk memaki, kita tak laku di televisi, takdir kita
hanya bisa menulis. Ayo menulis.

Minggu,07 Agustus 2011 @ 12:13


Lapar
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 7 Agustus 2011)
Keluarga duafa itu duduk termangu di trotoar jalan. Ibu yang memangku
bayinya. Dua anak, laki dan perempuan, juga duduk lemas, entah itu
bersaudara dan entah anak sang ibu itu. Panas terik, jalanan padat, tapi
anak-anak dan perempuan itu tak menadahkan tangannya ke pengemudi
mobil. Mungkin mereka lelah, mungkin juga mereka lapar dan haus. Lalu
saya bergumam: Oh, sama dong. Saya juga lapar, kita sama-sama
berpuasa. Selamat berpuasa anak-anak. Gumaman saya begitu klise,
kata yang bertebaran di jejaring sosial.
Tiba di rumah, ada undangan berbuka puasa dari seorang sahabat yang
kini jadi pengusaha sukses. Buka puasa di restoran hotel bintang lima.
Padahal, sejam lalu ada pesan singkat dari sahabat wartawan, mengharap
kehadiran saya pada buka puasa di sekretariat paguyuban jurnalis
independen. Saya telah menyanggupinya. Saya jadi bimbang sejenak,
apakah akan membatalkan buka puasa bersama para jurnalis, yang
mungkin suguhannya hanya pecel lele, sayur lodeh, kolek pisang. Lalu,
datang ke para konglomerat, pasti di sana ada steak ikan tuna, kambing

bakar, spaghetti, dan es krim yang warna-warni.


Apa yang kau pikirkan saat menahan lapar di bulan Ramadhan ini? Tibatiba kata itu seperti terngiang di telinga saya. Ini ucapan Kiai Hamam
Djafar sudah almarhum pengasuh Pondok Pesantren Pabelan, Muntilan.
Pertanyaan itu tidak ditujukan untuk saya, tetapi untuk beberapa
santrinya. Namun, saya ada di samping beliau, waktu itu tahun 1980-an,
saya lagi belajar perbandingan agama dan akrab dengan beliau. Saya
tak ingat apa jawaban para santri, tapi yang saya ingat kata Kiai: Jika
yang dibayangkan adalah makanan enak-enak, puasa tak begitu
bermakna. Hari itu saya mendapat pelajaran bagaimana puasa bisa
melatih kepekaan batin pada masalah sosial, kemiskinan, ketimpangan,
ketidak-adilan dan sebagainya.
Ingat itu, saya jadi ingat keluarga pengemis tadi, dan saya merasa
berdosa telah bergumam yang salah. Kita sama-sama menahan lapar,
tetapi saya pasti akan makan setelah magrib nanti, bahkan bisa memilih
pecel lele atau kambing bakar. Tetapi, apakah dua anak itu, plus ibunya
yang menggendong bayi, akan bisa makan, meski pun tak perlu pecel lele
apalagi kambing bakar? Terus-terang saya tak yakin.
Berjuta-juta orang lapar karena kemiskinan, bukan puasa Ramadhan atau
merayakan Nyepi. Dan kita lalai, sebagian besar acuh, karena mengutip
Bimbo kita punya mata tetapi tidak melihat (kesengsaraan itu), kita
punya telinga tetapi tidak mendengar (kepedihan itu). Yang kita lihat saat
bulan Ramadhan adalah Lebaran Sale dan sejenisnya, dan saat umat
Hindu berpuasa yang dilihat adalah Bazar Nyepi. Di situ berbagai
makanan lezat dan barang konsumtif dijajakan. Puasa tak lagi bermakna,
karena batin kita tak diolah untuk peka pada nasib sesama, begitu kata
bijak Kiai Hamam.
Tapi apa bentuk kepedulian kita? Mengumpulkan kaum papa, lalu
melemparkan makanan ke arah mereka, dan kita terhibur melihat kaum
papa saling berebut dan saling injak, bak memberi makan pada
sekumpulan ayam? Atau kita mendatangi fakir miskin, memberikan
kardus mie instan, sambil mengajak wartawan televisi agar disiarkan
secara luas bahwa kita sudah menjadi dermawan agung? Puasa melatih
kita untuk jujur, ihklas, bukan dengan pamrih, lagi kata bijak Kiai Hamam.
Saya jadi terganggu dengan buka puasa di hotel mewah. Syukur banyak
tempat berbuka yang peduli pada kaum miskin seperti masjid, wihara,
alua kampus dan tempat lainnya lagi. Lapar bersama-sama, mari
upayakan kenyang yang tidak berbeda.

Minggu,24 April 2011 @ 12:02


Buku
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 24 April 2011)
Rindu saya dengan Romo Imam. Rindu dengan pencerahan moral yang
disampaikannya lewat guyonan. Saya datangi beliau di padepokannya,
seraya memberi oleh-oleh sebungkus buku. Romo dan istrinya lagi santai.
Ada paket buku, baru tiba dari Jakarta, sebaiknya untuk Romo saja, kata
saya. Romo menatap bungkusan itu, tetapi istrinya tiba-tiba menjerit:
Astaganaganaga awas bom Istrinya lari menjauh.
Romo juga mundur dua langkah. Siapa pengirimnya, tanyanya. Saya
katakan dari kantor Tempo, dikirim lewat paket khusus. Di Bali, jasa
pengiriman paket sudah diawasi oleh Tim Gegana Kepolisian.
Romo mendekati bungkusan itu. Ia merobek sampulnya dengan hati-hati,
tapi dengan cepat buku tebal itu dia taruh kembali. Mencurigakan,
judulnya Orang Kiri Indonesia, ada gambar Aidit dan tokoh-tokoh
komunis lainnya. Wah, ini teror, mari menjauh. Romo mengajak saya ke
kursi tamu yang jaraknya sekitar empat meter. Buku itu berisi pita
merah, jangan-jangan kalau pitanya ditarik, bomnya meledak, kata Romo
lagi. Saya ikut cemas.
Apa yang salah dengan bangsa ini, kok begini terpuruk. Tak ada satu pun
tersisa warisan budaya leluhur yang adiluhung. Buku yang mencerdaskan
umat dijadikan perantara bom, ini keterlaluan, Romo mulai bergumam.
Seluruh umat manusia di dunia ini sebenarnya wajib membaca. Bahkan
kitab suci berbagai agama diawali dengan perintah membaca. Bacalah,
baca, baca suara Romo bergetar. Dalam keterbatasan bahan,
manusia zaman dulu menulis di batu, di daun rontal, sebelum
ditemukannya kertas. Setiap zaman melahirkan pujangga, banyak kitab
terbit di era Singosari, Majapahit, Mataram. Arjuna Wiwaha, Kidung
Pararaton, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, I Swasta Setahun di Bedahulu
sampai pada Bumi Manusia dan seterusnya adalah bacaan yang
memperkaya rohani kita, mengajarkan keluhuran budi pekerti, menjadi
sesuluh menuju ke peradaban mulia. Kok tiba-tiba buku disisipi bom. Ini
kebiadaban.
Bagaimana tradisi Hindu? tanya Romo. Saya langsung menjawab;
Jangan sebut Hindu, saya kira seluruh agama memuliakan kitab. Memang
dalam Hindu ada hari yang memuja Dewi Saraswati, dewi yang
menurunkan ilmu pengetahuan yang oleh masyarakat dirayakan dengan
memuliakan buku . Padahal intinya adalah baca, karena dengan membaca

kita menjelajahi dunia.


Warga Jepang patut dicontoh. Di setiap waktu mereka membaca. Di bus,
di kereta api, di trotoar, mereka tetap membaca. Peradabannya diasah
terus lewat pesan yang diperolehnya dari buku. Kini Jepang diterpa
bencana, gempa hebat, tsunami dasyat, nuklir gawat. Tapi, mereka tetap
tertib antre menahan lapar dan dingin, menunggu pasokan bantuan.
Mereka beradab, malapetaka tak harus ditambahi dengan bencana lain
misalnya penjarahan atau saling menyalahkan, seperti bangsa kita.
Romo meneguk minuman.
Kita punya menteri kebudayaan, tapi yang diurusi kesenian. Punya
menteri pendidikan, yang diurusi ujian nasional. Punya menteri agama,
yang diurusi administrasi. Tak ada yang menanamkan budi pekerti,
mengajarkan akhlak baik, apalagi membina moral. Bahkan tokoh agama
kita pun sibuk mengurusi kekuasaan. Kita menuju kehancuran segalagalanya.
Romo berhenti bicara. Anaknya datang dan anak itu langsung mengambil
paket buku yang tergeletak tadi. Awas bom, Romo mengingatkan. Anak
itu tak peduli, ia langsung menarik pita merah pada buku itu. Byar
bukan bom. Empat buku jatuh ke lantai. Ini buku yang saya cari, seri
buku Tempo, kata anak itu.
Romo menghela napas lega: Semoga penghinaan pada buku segera
berakhir.

Minggu,10 April 2011 @ 11:55


Sidang Pariporno
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 10 April 2011)
Kalau boleh berterus-terang, saya ingin menghindar ketika Romo Imam
mengajak saya ngobrol soal Partai Keadilan Sejahtra. Partai ini sedang
dirundung masalah, seharusnya kita berempati. Saya kasihan melihat
kenyataan ini, banyak teman saya kader partai itu, kata saya.
Romo Imam mengangguk seperti memaklumi. Apa yang salah?
tanyanya, seperti tak butuh jawaban. Tapi saya menjawab: Mungkin
masalah takdir, kalau kita percaya adanya takdir. Mungkin hukuman dari
langit kalau kita percaya ada kekuasaan di atas sana. Kemunculan partai

ini mengusung slogan sangat mulia: partai yang bersih. Slogan itu
kemudian dikampanyekan secara luas, termasuk di jalan-jalan. Kesannya
jadi jumawa dan takabur, seolah-olah yang lain semua kotor. Padahal soal
bersih, jujur, berakhlak dan sebagainya, menjadi penilaian orang luar,
bukan kita yang mengumbarnya.
Sekarang semuanya terjungkir, saya melanjutkan. Elit partai digugat
karena dituduh menyelewengkan uang. Ada bisnis tak wajar yang
melibatkan partai. Bersama partai koalisi juga terjadi masalah. Kalau
semua ini terbukti, lalu apanya yang bersih?
Dan kadernya membuka situs porno saat sidang paripurna, Romo Imam
memotong pembicaraan saya. Saya tertawa, tapi bernada prihatin. Itu
sebenarnya mau saya sembunyikan, saya kira Romo belum tahu. Ya, ini
tragedi, sebuah partai yang mendukung undang-undang pornografi
meskipun undang-undang itu salah menafsirkan pornografi dari sisi
budaya, ternyata kadernya membuka situs porno. Dalam sidang terhormat
pula, sidang pariporno, eh maaf, sidang paripurna.
Romo mengambil koran. Kader partai itu, Arifinto, tidak sengaja
membuka tautan email. Dan hanya hitungan detik, langsung dia hapus
gampar porno itu. Tapi Irfan, wartawan yang memotret, melihat Arifinto
memelototi sekitar semenit sebelum memilih-milih gambar. Mana yang
betul?
Saya tersenyum. Bukan karena saya wartawan lalu membela fotografer.
Anak kecil pun tahu, memotret membutuhkan waktu, mengangkat
kamera, memutar lensa supaya fokus, mencari sudut pandang, lalu
menjepret. Bahkan sebelum mengangkat kamera, sasaran harus dicari.
Mustahil Irfan menyiapkan sasaran lebih dulu seolah-olah tahu ada
anggota DPR yang akan membuka situs porno. Saya kira Irfan bukan
malaikat dan tidak dapat wangsit untuk memotret sesuatu yang membuat
aib itu. Ini masalah kejelian dan gerak cepat. Tapi, secepat-cepatnya
gerakan seorang forografer, hitungannya tidak detik.
Romo Imam menghela nafas. Sebaiknya Arifinto jujur, setiap orang punya
hari sial. Saya mengangguk dan menambahi: Dengan jujur dan niat
yang bersih, kasus ini bisa jadi pelajaran buat para wakil rakyat. Ya, siapa
tahu
nanti
ada
kode
etik,
saat
sidang
paripurna
semua handphone dimatikan, tak boleh membawa koran, tak boleh
anggota ngobrol saat orang lain bicara, apalagi yang bicara itu tamu.
Semuanya harus tertib, tak boleh seperti murid Taman Kanak-kanak.
Setuju, kata Romo. Sidang paripurna sering diliput media elektronik,
seharusnya sidang itu menjadi terhormat karena akan dijadikan contoh di
daerah. Sekarang ini rapat adat di pedesaan sering ricuh, semuanya
berebut bicara, konon itu meniru sidang paripurna parlemen. Sudah
saatnya wakil rakyat memberi teladan yang baik, bagaimana menggelar

paripurna, jangan menjadi pariporno.


Saya tertawa. Setelah semua kebobrokan ini diumbar, ada yang mau
introspeksi dan memperbaiki diri, termasuk para elit partai seyogyanya
lebih santun dan tidak gembar-gembor bilang diri paling bersih dan paling
jujur.

Minggu,26 September 2010 @ 11:44


Hendarman
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 26 September 2010)
Hendarman Supandji, akhirnya resmi dicopot sebagai Jaksa Agung. Ini
mengakhiri polemik yang sesungguhnya tak pantas dipolemikkan lagi.
Mahkamah Konstitusi memutuskan jabatan Jaksa Agung yang disandang
Hendarman tak sah setelah hari Rabu pukul 14.35 WIB.
Mungkin Hendarman sudah menduga keputusan itu. Buku-buku pribadinya
sudah dibawa pulang. Namun, ia tak langsung menyatakan dirinya bukan
lagi Jaksa Agung meski pun hari Rabu telah berganti Kamis.
Apakah
Pak
Hendarman
yang
wajahnya
membangkang? tanya saya kepada Romo Imam.

selalu

tenang

itu

Romo Imam menjawab: Kamu salah menerka. Hendarman menerima


keputusan itu dengan sangat legowo. Indikasinya, selain berbenah akan
meninggalkan kantornya, beliau menyatakan tak akan membuat
keputusan strategis. Bahkan tak ikut senam kesegaran jasmani pada hari
krida Jumat lalu, padahal olahraga itu bukan keputusan strategis.
Bagaimana disebut membangkang?
Tapi Pak Hendarman berkata, dirinya tetap Jaksa Agung sampai ada
keputusan Presiden yang memberhentikannya. Beliau mengutip sebuah
pasal dalam undang-undang, jabatan Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan dengan keputusan presiden. Itu berarti beliau ngotot
sebagai Jaksa Agung, kata saya.
Romo tertawa. Kamu masih perlu belajar budaya Jawa. Setelah
keputusan Mahkamah diketok, sinyal dari Istana semula menyiratkan
perlawanan. Orang-orang di lingkaran Presiden, terutama menteri yang
mengurusi masalah administrasi negara, menyebutkan Hendarman tetap

Jaksa Agung yang sah, sampai ada keputusan presiden yang


memberhentikannya. Kalau Hendarman tidak mengikuti arus itu,
misalnya, ia langsung tak masuk kantor, justru ia membangkang pada
atasannya, yaitu presiden.
Tapi kenapa ia menyebut pasal yang seolah-olah membenarkan dirinya
masih Jaksa Agung? tanya saya. Romo kembali tertawa: Ucapan itu
ibarat permainan bilyar. Yang disodok sebuah bola, yang masuk lubang
bola yang lain. Hendarman berkata, Jaksa Agung diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. Orang tahu, ia diangkat pada pemerintahan
SBY periode 2004-2009. Nah, ketika periode itu berakhir, berakhir pulalah
jabatan Jaksa Agung, wong presiden yang mengangkatnya berakhir masa
jabatannya. Lalu, SBY terpilih lagi menjadi presiden masa jabatan 20092014, mengucapkan sumpah secara resmi. Presiden kemudian
mengangkat anggota kabinetnya. Menteri yang terpilih kembali, disebut
lagi namanya dan dilantik pula. Saat itu Hendarman tak disebut lagi
sebagai Jaksa Agung, dilantik pun tidak. Lalu siapa yang mengangkat dia
sebagai Jaksa Agung?
Surat pengangkatan lama kan belum dicabut, jawab saya. Romo
tergelak: Periodesasi kabinet itu mengikuti masa jabatan presiden.
Hendarman tahu soal itu, kalau tidak, tak mungkin ia mempreteli sendiri
wewenangnya setelah keputusan mahkamah.
Jangan-jangan presiden kurang ngeh soal administrasi, saya nyeletuk.
Betul, Romo langsung memotong. Administrasi negara amburadul.
Hendarman hanya korban kesekian. Sebelumnya ada Anggito Abimanyu,
sudah diumumkan jadi Wakil Menteri, eh, pangkat kurang, lalu dibatalkan.
Yang kena getah Presiden, seolah-olah beliau tak konsisten memegang
ucapannya.
Ya, kasihan SBY, kata saya. Baru saja beliau menegur Telkom dan
Telkomsel gara-gara teleconfrennya ngadat. Orang sekitar SBY mestinya
tahu, saluran komunikasi saat ini bukan cuma diurus Telkom dan
Telkomsel. Benar kan, teguran itu salah alamat.
Romo berbisik: Tapi apa presiden minta maaf kepada Telkomsel, kepada
Anggito, kepada Hendarman Saya diam, tak tahu jawabnya.

Minggu,31 Oktober 2010 @ 10:48


Misteri Merapi
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

(Dimuat Koran Tempo 31 Oktober 2010)


Merapi menyimpan sejuta misteri. Seandainya gunung berapi ini ada di
Aceh atau Papua, mungkin misterinya tidak seheboh sekarang.
Merapi ada di pusaran budaya Jawa, meneruskan warisan budaya Hindu.
Masyarakat penunggu Merapi sudah sejak dulu beralih agama, jauh
sebelum negara kesatuan ini ada. Mbah Maridjan, juru kunci Merapi,
mewarisi jabatan dari leluhurnya, yang tentu saja, sudah menjadi Muslim
yang taat. Rumah Mbah Marijan berdampingan dengan masjid,
kesehariannya
Simbah
lebih
bertampang
ustad
dibandingkan
seorang kuncen Merapi sebuah jabatan yang mengharuskan dia tak
melupakan tradisi persembahan ala budaya Hindu, minus doa-doanya.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mempertahankan tradisi leluhur itu
dengan baik. Merapi tak bisa dilepaskan dari kesatuan keraton, karena
gunung dalam konsep Hindu tak bisa lepas dari pusat kerajaan dan laut
yang ada di selatannya. Ritual budaya Hindu Nusantara yang tetap
lestari di Bali menempatkan gunung selalu di arah utara (kaja, bahasa
Bali) dan laut di arah selatan (kelod, bahasa Bali) dilihat dari posisi
keraton, sehingga ritual apapun yang dilakukan tak akan sempurna
sebelum ada persembahan nyegara-gunung. (Nyegara berasal dari kata
segara, artinya laut).
Keraton Yogyakarta tetap melakukan ritual di laut selatan dengan sesaji
penuh warna, apalagi mitos Nyai Roro Kidul sebagai penguasa laut selatan
tak bisa hapus dari memori warga betapa pun masyarakat pendukung
budaya ini sudah bukan Hindu lagi. Dan Merapi jadi bagian yang tak bisa
dipisahkan, dan di situ pentingnya seorang juru kunci (di Bali disejajarkan
dengan pemangku gede) yang menjaga kesucian gunung. Mbah
Maridjan adalah sosok yang sangat setia dengan jabatan ini.
Ketika Gunung Agung di Bali meletus dengan dasyatnya (1963), Mbah
Maridjan-nya Gunung Agung yang tak cuma satu karena ada di setiap
arah mata angin begitu gigih bertahan di posnya, meski lahar dan
bebatuan menghunjam kawasan mereka. Ada yang mengajak masyarakat
untuk menghadang lahar dengan doa, ada yang menyuruh masyarakat
pergi menyelamatkan diri tetapi dia tetap membelokkan lahar melalui
doanya. Cerita sekitar ini begitu hebohnya apalagi ditambah-tambahi
supaya lebih serem ada lahar yang berbelok ke tebing, ada batu yang
mendadak berhenti meluncur. Tapi, tak sedikit cerita, puluhan orang mati
terpanggang lahar karena kekonyolannya. Lalu, dengan cara apa
menjelaskan, bahwa juru kunci Gunung Agung yang ada di kawasan
Pura Besakih, bukan saja selamat sejahtra seperti Mbah Maridjan di tahun
2006, tetapi juga amukan Gunung Agung yang memuntahkan jutaan kubik
batu itu tak membuat Pura Besakih rusak. Kok bisa, batu terbang

melewati pura, lahar tak menjamah pura, sementara kawasan di


sekitarnya hancur total?
Kini Merapi tak meletus seperti Agung, hanya erupsi, tetapi siklusnya
cepat. Dan Mbah Maridjan terbukti sukses bertahun-tahun menjaga
gunung ini sampai akhirnya ia menyerah pekan lalu.
Maaf, saya tak ingin menggosipkan lebih banyak misteri, apalagi kisah
gaib begini mudah diplesetkan jadi klenik, lalu dikaitkan dengan musyrik.
Saya hanya ingin berbagi, bahwa misteri itu seringkali ada di sekitar kita
tanpa bisa kita rinci, namun kita jangan terjebak pada urusan yang gaib.
Kalau deteksi ilmiah menyebutkan Merapi tak aman sampai wilayah
tertentu, bebaskan wilayah itu tanpa resiko apapun. Hidup mati memang
rahasia Tuhan, namun menyelamatkan penduduk berdasarkan data
ilmiah, bisa memperkecil korban kalau nanti Merapi kembali erupsi.

Minggu,24 Oktober 2010 @ 11:47


Pahlawan
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 24 Oktober 2010)
Awalnya hanya bercanda. Saya meminta komentar Romo Imam, apakah
saya kalau nanti telah tiada layak disebut pahlawan. Ternyata Romo
serius. Kamu pahlawan, karena ikut mendobrak tradisi masyarakat Bali
masa lalu yang berkutat pada kasta dan menyimpang dari Hindu. Satu
contoh, sudah ada ratusan pendeta Hindu yang di masa lalu tak mungkin
jadi pendeta karena dianggap berkasta Sudra. Gerakanmu lewat tulisan,
buku dan ceramah, pantas diganjar pahlawan back to Veda,
sebagaimana dikatakan orang.
Stop jangan teruskan, saya mengharap, dan memeluk Romo. Ini
masalah lokal, saya malu, yang anti juga banyak.
Romo melepaskan pelukan saya. Sekarang ini gelar pahlawan itu sangat
lokal, yang tak setuju banyak. Gelar yang sudah salah kaprah. Apalagi
usulan itu bermula dari daerah. Akibatnya, pemerintah daerah mencaricari orang yang harus dipahlawankan, untuk gengsi. Bagi Romo, gelar
pahlawan itu seharusnya sudah ditutup, pahlawan adalah mereka yang
gugur di medan juang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Kami duduk dan Romo masih bersemangat. Awalnya sudah benar,


kriteria pahlawan seperti itu, berjuang atas nama kemerdekaan, lalu dicari
sebuah hari yang bisa diperingati, ketemu tanggal 10 November,
pertempuran di Surabaya. Setelah itu orang-orang yang berjasa di
republik ini, yang dianggap setara dengan pahlawan, diberi julukan
pahlawan dengan embel-embel, yaitu pahlawan proklamasi dan pahlawan
revolusi. Tiba-tiba, dua marinir digantung mati di Malaysia, dan kita
mengelu-elukannya sebagai pahlawan. Mungkin sulit menyebut pahlawan
apa, atau emosi kita waktu itu menggebu bahwa keduanya harus
pahlawan, ya, hanya disebut pahlawan saja, tanpa embel-embel.
Nah, Romo melanjutkan, ketika lembaga yang memberi gelar tanda
jasa diformalkan, pahlawan baru dimunculkan setiap tahun. Di sinilah
terjadi kerancuan, pahlawan apa? Ya, pahlawan saja. Bermunculan
pahlawan di daerah. Uniknya, kalau itu tokoh lokal, justru tak ada
perdebatan, karena plus minus tokoh itu tak diketahui, orang cuek. Tetapi
begitu tokohnya dikenal di daerah lain, polemik ramai.
Romo bertanya: Soeharto apa layak jadi pahlawan? Gus Dur dan Ali
Sadikin apa layak? Saya menjawab: Karena saya berprinsip mikul
dhuwur mendhem jero semuanya layak. Apalagi pahlawan itu orangnya
harus mati dulu, membicarakan kejelekan orang mati pantang bagi saya.
Bagus, kata Romo. Tapi, karena gelar ini diberikan negara dan
pahlawan dianggap orang yang layak jadi panutan, wajar ada warga
negara bertanya. Soeharto berjasa membangun, ribuan sekolah dan
puskesmas dibangun di desa, luar biasa, sampai diberi julukan Bapak
Pembangunan. Ada orang bertanya, apa pantas Pak Harto yang gampang
menangkap orang, yang membredel pers, jadi pahlawan? Ali Sadikin
berjasa membangun Jakarta. Orang bertanya, apakah orang yang setuju
judi, yang nyata-nyata melanggar agama, layak jadi pahlawan? Gus Dur
pemikirannya luar biasa, pejuang pluralisme. Orang bertanya, menjadi
presiden saja harus diberhentikan di tengah jalan, apakah itu teladan
yang baik?
Saya merenung. Saya pikir ada benarnya gelar pahlawan itu tidak
diumbar lagi. Apalagi, tokoh-tokoh yang berjasa itu sebenarnya tak sudi
dimakamkan di Taman Pahlawan. Biarlah sebutan pahlawan bersifat lokal
atau hanya sekedar predikat untuk menunjukkan orang itu berjasa.
Seperti kaum guru menyebut diri pahlawan tanpa tanda jasa, TKI
disebut pahlawan devisa, Rudy Hartono pahlawan bulu tangkis. Kita
harus jadi pahlawan, minimal pahlawan keluarga.

Minggu,17 Oktober 2010 @ 11:46

Bencana
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 17 Oktober 2010)
Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah
mengajukan pertanyaan: Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang
menjadi dasar negara?
Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari
tahu ada apa di balik pertanyaan itu. Kenapa Romo menanyakan hal itu?
saya balik bertanya.
Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri
Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga
bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak
sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono.
Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.
Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab:
Ketuhanan Yang Maha Esa. Romo tertawa senang, lalu berdiri: Benar,
dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang,
kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan
Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan
dasar, padahal ini sila pertama?
Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: Kalau benar orang Indonesia
menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang
pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan
Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan
kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang
diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk
dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.
Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. Alam itu
diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak,
alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak
dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan
posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana tak
nyaman, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses
pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu
disebut bencana oleh manusia?
Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam.
Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam
dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau

diberi sesajen dan sebagainya, kata Romo.


Yang ini saya paham, makanya saya nimbrung: Romo benar, orang Bali
menjaga alam dengan banyak ritual. Pohon diberi sesajen, sesungguhnya
agar pohon itu tak mudah ditebang orang yang haus kayu. Tapi, orang Bali
menjadi sibuk menjelaskan konsep keseimbangan alam ini, karena belum
apa-apa sudah dituduh klenik, mistik, memuja berhala. Padahal yang
dipuja adalah Tuhan dengan ciptaan-Nya.
Romo menyela: Inti yang mau saya katakan adalah mari sesekali kita
menoleh kepada kekuasaan Tuhan, karena bukankah ini sila pertama
dasar negara kita? Siapa tahu kita banyak berbuat salah. Kita membabat
hutan, banjir datang. Kita menguras air tanah, ambles datang. Jika kita
menyadari ada yang salah, mari kita bertobat. Kita lakukanruwatan
nasional.
Saya memotong: Betul Romo, kita lakukan intropeksi mengacu kepada
Ketuhanan Yang Maha Esa. Kereta api tabrakan terus, jangan-jangan
pejabat yang mengurusi perhubungan moralnya cela di mata Tuhan. Bus
wakil rakyat tabrakan, jangan-jangan para wakil rakyat banyak yang
berdusta.
Romo terpingkal-pingkal. Kalau itu diperpanjang, jadi banyak. Bisa tak
nyambung, bisa pula nyambung. Tapi ada baiknya kita sesekali berpikir:
apa perlu melakukan pertobatan nasional dan minta ampun pada Tuhan,
sembari memperbaiki moral kita bersama-sama?

Minggu,23 Mei 2010 @ 11:35

Anggito Abimanyu
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Versi panjang dari yang dimuat Koran Tempo 23 Mei 2010)
Anggito adalah Abimanyu yang sebenar-benarnya di negeri ini, sekarang.
Seperti ayah biologisnya, Raden Arjuna, Abimanyu adalah kesatria
penerus Pandawa yang kemayu, polos, tak banyak cakap, tapi cerdas.
Mungkin karena ia seniman yang ahli sastra dan karawitan alias musik, ia
bukan tukang gugat meski pun nasib buruk ditimpakan padanya. Dalam
ephos Mahabharata yang sering dijadikan sesuluh (pelajaran dan
pedoman spiritual) oleh masyarakat Nusantara, Abimanyu akhirnya gugur

sebagai tumbal dari kebimbangan orang tua dan paman-pamannya dalam


Bharatayudha. Gugur dengan segala kepasrahannya karena ia begitu
berbakti pada orang tua dan mencintai negerinya.
Anggito Abimanyu adalah tumbal yang sebenar-benarnya dalam perang
intrik politik kotor di negeri ini, sekarang. Dalam posisi sebagai Kepala
Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan, dia dipilih menjadi Wakil
Menteri Keuangan. Tes sudah dijalaninya, kontrak politik pun sudah
ditandatangani, dan pelantikan sudah diumumkan pada 6 Januari 2010.
Saya tidak tahu apakah Anggito sampai perlu menyiapkan jas dan sepatu
baru mengingat setahu saya dia cukup sederhana kesehariannya. Yang
saya tahu dan masyarakat Indonesia tahu meski pun banyak tak peduli
Anggito batal dilantik sebagai Wakil Menteri.
Alasan pembatalan adalah pangkat Anggito tak memenuhi syarat.
Maklum, jabatan wakil menteri setengah politis setengah karier. Karena
Anggito menyandang nama Abimanyu, saya menduga dia tak peduli akan
pangkat, karena seperti Abimanyu dalam Mahabharata, kesatria ini tak
pernah menuntut apa jabatannya dan apa pangkatnya, dia hanya
berpikir pekerjaan harus dilakukan penuh tanggung jawab.
Sampai di sini saya membayangkan, betapa buruknya administrasi
Negara di negeri ini. Pemanggilan Anggito ketika ditawari jadi wakil
menteri dengan segala proses seleksinya, tentu dilihat atau setidaknya
didengar oleh pembantu Presiden. Katakanlah Presiden tak tahu pangkat
Anggito, kok tak ada staf presiden yang membisiki presiden kalau Anggito
tak memenuhi syarat, sampai namanya keburu diumumkan?
Oke, soal buruk banyak yang buruk di negeri ini, tapi mari kita tetap
mencintai negeri ini. Kisah saya teruskan, Anggito pun mengurus
kepangkatannya. Sepuluh tahun mengabdi sebagai eselon satu tentu
aneh kalau pangkatnya tak memenuhi syarat. Syahdan, hanya sekitar
seminggu, pangkat itu memenuhi syarat. Ritual pangkat baru itu pun
dilakukan secara resmi dengan pelantikan oleh Menteri Keuangan Sri
Mulyani. Tapi, tak ada satu pun kabar yang dia terima setelah itu, apakah
jabatan wakil menteri ini tetap diberikan atau tidak. Adakah presiden dan
para pembantu presiden bimbang akan hal ini, sebagaimana Arjuna yang
sangat bimbang menjelang Bharatayudha?
Saya tak tahu, yang saya tahu adalah gossip yang mengabarkan
terjadinya berbagai intrik politik untuk menggagalkan Anggito sebagai
wakil menteri. Tuduhan yang berat, tapi tak pernah ada yang
membuktikan, Anggito condong ke partai politik tertentu. Masalahnya,
Anggito adalah Abimanyu, tak pernah menanyakan hal ini kepada
ayahnya,
berbilang
bulan
sehingga
masalah
sesungguhnya
menggantung.
Tibalah saat itu. Gonjang-ganjing politik membuat Sri Mulyani mundur

sebagai Menteri Keuangan. Kesempatan emas bagi presiden untuk


mencari pengganti Srikandi ini, plus sekalian mengangkat wakil menteri
supaya satu paket dilantik. Menjelang pengumuman menteri dan
wakilnya, Anggito banyak menerima ucapan selamat dari sahabatnya.
Para sahabat ini tentu berpikir waras dan berakal sehat: bukankah jabatan
itu pernah diumumkan untuk Anggito, bukankah syarat pangkat sudah
dipenuhi, bukankah sejak Januari sampai Mei tak pernah ada pembatalan
dari istana baik pemberitahuan lisan maupun tertulis.
Ternyata, kewarasan dan akal sehat kalah, wakil menteri dijabat kolega
Anggito, bukan dirinya. Anggito pun memilih mundur dari gelanggang.
Ada harga diri dan martabat yang jauh lebih mulia dari jabatan. Ada
wartawan bertanya: apakah Anggito kecewa? Bussyet ini pertanyaan
paling bodoh, Anggito yang Abimanyu tak mungkin berkata kecewa. Dunia
yang kecewa, kenapa petinggi kita kehilangan etika yang paling dasar,
yang oleh orang Jawa disebut diwongke. Apa salahnya memberitahu
Anggito bahwa ia tak jadi diangkat sebagai wakil menteri, toh alasan bisa
dicari-cari.
Yang lebih konyol, seorang menteri kordinator membujuk Anggito agar tak
jadi mundur, atau menawari jabatan lain. Saya terbahak-bahak, Abimanyu
bukan Bhuto Cakil, juga bukan anak kecil yang kehilangan permen lalu
diberi coklat. Anggito memang lebih baik pulang ke Yogya dan Sri
Mulyani ke negeri seberangkarena di sini bharatayudha atau perang
intrik belum berakhir. Orang-orang seperti Anggito dan Sri Mulyani akan
sangat dibutuhkan jika negeri ini sudah normal. Tapi kapan? ***

Minggu,09 Mei 2010 @ 11:33

Jeng Sri
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 9 Mei 2010)
Ada perubahan di Padepokan Romo Imam, entah sejak kapan. Di beranda
depan ada tulisan: I love you 90 persen full, Jeng Sri. Kata yang aneh,
istilah yang usang, juga tak lucu. Aneh kek, lucu kek, terserah. Apa tak
boleh Romo mencintai Jeng Sri? Dia orang baik yang harus dikasihi tapi
bukan dikasihani, itu jawaban Romo Imam.
Kenapa tak 100 persen full? Yang 10 persen dipotong pajak. Jeng Sri telah

mereformasi kantor pajak, meski pun belum tuntas, malah tikusnya yang
mencuat, jawab Romo.
Saya mulai menebak: Jeng Sri itu Sri Mulyani? Romo tertawa
mengiyakan. Saya kaget: Romo, jangan bicara Sri Mulyani. Mata dan
telinga saya sudah capek. Kalau mau menggosipkan orang, yang lain
saja.
Itu karena Jeng Sri mendapat tempat terhormat di Bank Dunia. Orang
lain kan menunggu panggilan bank akhirat. Romo tertawa, kemudian:
Coba sebutkan siapa yang cocok menggantikan Jeng Sri.
Saya menolak, tapi Romo memaksa. Akhirnya saya sebutkan: Fuad
Bawasir, Aburizal Bakrie, Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo, Ruhut
Sitompul, Akbar Faisal, Ali Mocthar Ngabalin Romo terpingkal-pingkal,
padahal nama itu bintang televisi. Tolong cari yang lain, perintah
Romo.
Saya gelisah, rasanya mau pulang. Lalu saya jawab: Kalau gagal menjadi
Wakil Bupati Pacitan, Jupe cocok menggantikan Sri Mulyani. Atau Luna
Maya dan Nunung Srimulat.
Romo berhenti tertawa. Calon yang bagus untuk Indonesia saat ini.
Romo mendadak serius. Jeng Sri punya integritas yang tinggi, ia terdidik
di kalangan keluarga akademis, ia berakal sehat dan bahkan kini jadi
simbol dari orang-orang berakal sehat, ia menggunakan otak bukan otot
leher. Tapi, dia bekerja di tempat yang tidak tepat, berhadapan dengan
orang-orang yang sedang tidak menggunakan akal sehat. Dia memang
harus mundur karena kalau melawan, selain lawannya tidak selevel, akan
menurunkan integritas pribadinya. Nah, kalau Jupe atau Luna Maya atau
Nunung Srimulat yang jadi Menteri Keuangan, pasti cocok berhadapan
dengan mitra kerjanya di parlemen, dan pasti berani melawan. Jika perlu
saling bentak, saling teriak sampai putus otot leher dan otot-otot lainnya,
kecuali otot malu.
Saya diam, Romo lagi on. Coba pikir, Jeng Sri diundang ke DPR, di
sana dicuekin malah ditinggal pergi. Sopo sing waras? Dia bekerja matimatian untuk perbaikan Indonesia, pertumbuhan ekonomi bagus, krisis
tak terjadi, tapi mahasiswa menghujatnya di jalanan sambil membakar
ban bekas.
Saya memotong: Romo, kenapa mahasiswa sampai membakar ban
bekas? Romo menjawab: Kalau ban baru yang dibakar, tak bisa beli,
uang sakunya tak cukup. Kalau tak pakai bakar-bakaran kurang seru, tak
diliput televisi. Yang menggerakkan aksi dan yang meliput aksi, bisa jadi
satu jaringan pengusaha yang ngemplang pajak.

Romo tetap bersemangat. Ketika Jeng Sri mundur, orang yang tak
berakal sehat itu gembira, tapi kepleset ketika mencari bahan cemohan
lain dengan menyebut Jeng Sri meninggalkan kasus di tanah air. Kasus
apa? Kan hanya kasus politik dan siapa yang memainkan politik itu?
Orang yang sedang tak berakal sehat. Maaf, yang Romo sedihkan bukan
ditinggal Jeng Sri, Romo sedih negeri ini diurus oleh orang yang tak
berwawasan. Contoh paling sepele, parlemen meributkan gedung
mewahnya yang miring 0,17 derajat, lalu minta gedung baru di saat anakanak sekolah belajar di kandang bebek. Romo mau nanya, ngerti nggak
arti derajat dalam ilmu arsitektur? Kemiringan itu bukan masalah. Janganjangan wakil rakyat kita hanya tahu derajat Celcius, derajat Fahrenheit
dan Drajat Wibowo.

Minggu,02 Mei 2010 @ 11:29

Gigolo in Paradise
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 2 Mei 2010)
Orang Bali dikesankan lagi resah. Penyebabnya karena ulah gigolo anak
kecil di Pantai Kuta menyebutnya orang bego gila yang selama ini
gentayangan di pantai, bisa jadi aktor populer. Wajah mereka tiap hari
muncul di layar televisi, diambil dari cuplikan filmCowboys in Paradise.
Film dokumenter ini karya Amit Virmani, seorang pelancong yang tinggal
di Singapura. Karena film berkisah tentang sisi gelap kepariwisataan di
Bali, yaitu kehidupan para gigolo, banyak tokoh yang kebakaran jenggot.
Tempat tinggal sang sutradara juga cepat menjadi penyulut terbakarnya
jenggot itu, meski para tokoh yang resah itu tak berjenggot.
Film ini sengaja ingin merusak image pariwisata Bali, kata sejumlah
orang. Ya, Virmani tentu menjelek-jelekkan Bali karena Singapura kalah
bersaing dalam menggaet turis asing yang batal ke Thailand, kata
pemilik hotel. Film ini dibuat tanpa prosedur, tak ada izinnya, kata
Gubernur Bali. Sang Sutradara bisa dihukum pidana, kami sudah minta
bantuan Interpol karena Indonesia dan Singapura tak punya perjanjian
ekstradisi, kata juru bicara kepolisian.
Pokoknya, film yang mudah diunduh di internet ini sudah menjadi running
news demikian menurut jurnalis televisi lokal. Stasiun televisi nasional

pun menayangkan kasus ini berulang-ulang dengan mencuplik adegan


dalam film itu sampai memuakkan. Untunglah, belum ada anggota DPR
yang berceloteh. Kalau saja ada, ucapannya mungkin begini: Cowboy in
Paradise hanya mengalihkan isu Bank Century.
Betulkah orang Bali resah? Ah, tidak. Saya sudah memancing pertanyaan
lewat sandek (pesan pendek di telepon selular) dan jawaban yang saya
terima: gpp jika dipanjangkan maksudnya gak apa apa. Para aktor di
film itu wajahnya tak asing bagi penggemar Kuta. Mereka tiap hari di sana
karena pekerjaannya pelatih surfing, penyewa alat surfing, dan ini sisi
sosialnya memberi petunjuk kepada orang di mana nyebur yang aman
dari sergapan ombak.
Soal gigolo dan turis cewek, memang cerita lama. Banyak yang mengakui
hal itu ada, termasuk pemuka adat di Kuta. Saya pun kadang percaya.
Tapi, saya tak yakin, bahwa gigolo yang asli adalah gigolo
dalam Cowboy itu. Saya ditipu, saya bukan gigolo, kata salah satu dari
tiga aktor Cowboy itu di kantor kepolisian.
Apa ya, film secuil ini merusak pariwisata Bali? Ditelaah dari sisi manapun
saya tetap yakin, film ini tak punya pengaruh apa-apa, baik pada dunia
wisata Bali maupun pada citra Bali. Jika wisatawan bisa dipilah, ada tiga
kelompok. Wisatawan kelas A, uangnya banyak, belanjanya banyak.
Mereka tinggal di Nusa Dua, Jimbaran, Sanur, di hotel dan resort
berbintang. Mereka ini bukan pengunjung Kuta, mobilnya saja tak bisa
masuk. Tour mereka diatur biro perjalanan, di mana makan, di mana
belanja, apa saja yang dikunjungi.
Kelompok kedua, sebut kelas B. Mereka wisatawan religius, tinggal di villa
atau pondok wisata pedesaan, berlatih yoga, meditasi, mencari
keheningan di alam yang asri. Menetapnya bisa lama, tetapi belanjanya
minim wong kebanyakan vegetarian. Lalu kelompok ketiga, sebut kelas
C, itulah penggemar Kuta. Mereka tinggal di hotel tanpa lihat bintang,
sewa sepeda motor keluyuran ke mana-mana, belanja di mana saja dia
mau.
Pemasukan terbesar untuk pemerintah dan pengusaha dari pajak dan
sebagainya-- tentu dari kelompok A, namun yang langsung dirasakan
rakyat Bali dari kelompok B dan C. Cowboys in Paradise tak akan menohok
kelompok A dan B, sementara bagi kelompok C, film itu justru jadi ajang
promosi. Jadi, kenapa resah?

Minggu,14 Maret 2010 @ 10:27

Nyepi

Pandita Mpu Jaya Prema


Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 14 Maret 2010)
Dua hari lagi, umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi, tahun
baru Saka 1932. Atas nama toleransi, kebhinekaan, dan persaudaraan,
hari itu dinyatakan sebagai hari libur nasional. Senin besok boleh disebut
Harpitnas hari kejepit nasional.
Selamat bagi Anda yang tidak merayakan Nyepi, karena libur jadi
panjang. Bagi Anda yang merayakannya, bersiaplah menjalani pantangan
di hari itu, agar renungan Anda tentang kehidupan ini lebih tuntas. Ada
atau tidak ucapan selamat, Nyepi harus dimaknai sebagai beban,
bagaimana kita melakukan introspeksi untuk memperbaiki hidup. Ucapan
selamat kadang menimbulkan salah paham, meskipun lucu.
Ada kisah lama, merayakan Nyepi di Jakarta yang riuh. Pintu pagar sudah
tertutup ketika siang itu ada yang mengetok, ternyata seorang kawan,
pimpinan media massa terkenal. Ia bersama istri dan dua anak yang
masih kecil. Selamat Hari Raya Nyepi, saya baru sadar setelah menonton
televisi semalam, ada pidato dari Menteri Agama yang menyampaikan
ucapan selamat, kata kawan itu. Karena langkah kakinya sudah menuju
kamar tamu, saya tak bisa berbuat apa-apa.
Kami ngobrol panjang sebelum diakhiri karena ada insiden, sang anak
menangis. Haus? Tanya ibunya. Anak itu mengangguk. Terpaksalah
dengan memakai kata-kata yang tak membuat teman tersinggung, saya
jelaskan bahwa di rumah ini tak ada makanan dan minuman, karena kami
puasa total. Teman saya kaget. Dan beberapa hari kemudian dia
menelepon meminta maaf, saya baru tahu kalau menerima tamu pun tak
boleh,
jadi
saya
mengganggu,
ya?
Saya
tertawa
untuk
menyenangkannya.
Nyepi di Bali memang sangat sepi. Semua orang, apapun agamanya,
dilarang ke jalan umum. Listrik tak boleh menyala, kecuali keluarga itu
punya bayi atau orang sakit yang diberi penerangan terbatas. Dulu, listrik
dimatikan dari gardu, belakangan tidak karena orang protes, listrik tak
hanya alat penerang, tetapi energi peralatan modern.
Saya pernah mengusulkan ide ada yang menyebut ide gila
membebaskan orang non-Hindu di Bali untuk melakukan kegiatan apapun
saat Nyepi. Alasan saya sebenarnya tidak hanya toleransi atau
menghormati perbedaan, tetapi sangat religius, yakni pengendalian diri
itu tak harus dipaksakan oleh pihak luar, apalagi oleh negara.
Pengendalian diri harus muncul dari dalam diri sendiri. Ternyata yang
keberatan juga tokoh-tokoh Islam dan Protestan. Mereka mengaku

senang, toh setahun sekali, apalagi dengan alasan mengurangi polusi


udara. Mereka menyebut, semangat Nyepi menular di berbagai kota besar
dengan adanya bebas kendaraan bermotor pada hari tertentu. Udara
menjadi bersih.
Tentu saja sejarah awal adanya Nyepi bukan untuk membersihkan udara,
tetapi membersihkan diri. Lewat perenungan intens itu kita jadi tahu apa
yang salah selama ini dan bagaimana memperbaiki di hari mendatang.
Nyepi ibarat kembali ke titik nol.
Semua orang menunggu dan memerlukan saat itu, saat jeda untuk
introspeksi. Para wakil rakyat di Senayan, misalnya, perlu merenung apa
sudah pantas meneriakkan kebenaran dan kejujuran kalau lembaga itu
tetap menjadi lembaga terkorup. Pimpinan partai yang berkoalisi perlu
merenung, apa tak malu hanya menuntut hak (meminta jatah menteri)
sementara kewajibannya membantu pemerintahan tak dijalankan, justru
pemerintah digerogoti. Para mahasiswa yang anarkis perlu memahami,
ulahnya yang merusak fasilitas umum sangat menyakiti rakyat. Mari kita
introspeksi -- cukup sehari saja -- siapa tahu ada titik cahaya terang esok
hari, untuk Indonesia yang lebih baik.

Minggu,20 Juni 2010 @ 11:38

(Ter) Mirip
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 20 Juni 2010)
Saya tak menyangka kalau Romo Imam datang ke rumah saya. Saatnya
kita harus bersuara. Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kata Romo
setelah saya persilakan duduk di ruang tamu yang sumpek.
Memalukan, kasus video mesum dibicarakan berlama-lama, katanya.
Saya kaget, orang setua Romo bicara masalah itu. Romo, sudahlah.
Semua orang mengharap kasus itu jangan dibahas lagi, tapi karena setiap
orang saling mengharap, jadinya malah makin bising. Seharusnya, jika
kita sepakat meredam kasus itu, ya, kita diam semua.
Kali ini tak bisa diam, malah harus bicara, kata Romo. Polisi membuat
riuh sesuatu yang seharusnya tidak riuh. Bahkan mereka menciptakan

istilah baru dalam dunia hukum, yaitu mirip atau termirip.


Romo membuka catatan. Dulu, dengan menghormati asas praduga tak
bersalah, seseorang yang baru ditengarai melakukan tindak pidana, cukup
disebut diduga atau terduga. Contohnya: Video mesum itu diduga
dilakoni Luna dan Ariel. Artinya, belum pasti apakah pelakonnya Luna dan
Ariel. Sekarang kok pakai istilah mirip. Coba simak ini: Video mesum yang
diduga mirip Luna dan Ariel. Ini kan membingungkan? Diduga dan mirip
itu sama-sama belum berarti kenyataan, kenapa digandeng?
Romo melanjutkan: Jika kasus pidana ditangani seperti ini, betapa
panjangnya mencapai kepastian hukum. Pertama seseorang dinyatakan
termirip. Setelah diteliti dengan berbagai alat, kemudian naik status
menjadi ternyata. Artinya orang itu nyata adanya, tapi belum tentu
bersalah. Statusnya lantas diselidiki, jadilah dia terduga. Setelah ada alat
bukti, lalu diperiksa dan statusnya menjadi tersangka. Proses hukum
berlanjut ke pengadilan, jadilah terdakwa, karena jaksa mengeluarkan
dakwaan. Hakim kemudian memutus perkara, jadilah terhukum. Setelah
vonis hakim ini punya kekuatan hukum tetap, baru menjadi terpidana.
Setelah itu ada proses hukum luar biasa seperti peninjauan kembali,
tetapi masyarakat sudah lupa siapa pelaku tindak pidana itu, muncul
status baru: terlupakan.
Romo mengada-ada, saya memotong. Romo tertawa: Sudah berapa
banyak koruptor yang tiba-tiba saja meninggalkan penjara karena bebas
bersyarat atau memang sudah selesai dipidana? Masyarakat sibuk
dengan isu yang terus bermunculan, lupa memantau, apakah remisi
terpidana sudah benar atau janggal? Terpidana yang membangun sel
hotel, apa masih dipantau masyarakat? Semuanya terlupakan. Ada bom
meledak, eh, pelakunya ternyata teroris yang tadinya dikira masih di
penjara.
Saya kembali ke fokus: Romo, soal termirip itu, bagaimana mestinya?
Romo menjawab: Tak perlu ada. Atau tak perlu berlama-lama. Soal mirip
Luna Maya atau tidak, perintahkan seorang polisi wanita memeriksa
bokong Luna Maya, ada tato kupu-kupu apa tidak. Itu pekerjaan lima belas
menit, bukan lima belas hari. Kalau pun kurang bukti, perintahkan ahli
forensik wajah meneliti perbandingan antara gambar dan kenyataan,
sertakan psikolog. Atau libatkan ulama seperti saya, saya tahu orang
berbohong dan orang jujur hanya dari gerak-geriknya selama berkata,
apalagi yang dikatakannya.
Wah wah wah hanya itu komentar saya. Romo berdiri mau pamit:
Karena itu mari kita bersuara, tolong selesaikan kasus video mesum ini
dengan cara normal, bertindak tegas. Memalukan urusan begini masuk
sidang parlemen dan istana.

Romo meninggalkan rumah saya. Tiba-tiba istri saya datang. Kamu kok
tega tidak menyapa Romo, tegur saya. Istri saya tenang saja: Saya tak
yakin itu Romo, saya menduga itu orang mirip Romo Imam.

Minggu,13 Juni 2010 @ 11:36

Dana Aspirasi
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 13 Juni 2010)
Saya bertamu ke Romo Imam saat beliau asyik dengan laptopnya. Seperti
ada masalah, dia menggeser-geser mouse. Mengunduh video 13 mega
kok lama, katanya. Kupu-kupu itu mengasyikkan dan memberi gairah
hidup.
Saya heran dengan ulah orang yang saya kagumi ini. Namun, saya hatihati bereaksi: Romo, kita sudah tua, tak sepatutnya mengunduh video
mesum. Lagi pula belum tentu itu Luna Maya, kan ia sudah membantah
punya tattoo kupu-kupu.
Giliran Romo memelototi saya. Ini bukan video mesum. Ini kupu-kupu liar
di kampung lereng gunung itu. Dulu, profesor Nagasaki dari Universitas
Tsukuba memvideokannya dan Romo dikirimi hasilnya lewat internet.
Saya diam dan menyesal. Saya terserang penyakit curiga.com. Maklum,
sebelum ke padepokan ini, saya mampir di warung internet dan
menyaksikan tujuh pelajar sekolah menengah sedang membahas tattoo
kupu-kupu di tubuh Luna Maya.
Romo akan menyampaikan aspirasi ke wakil rakyat dari daerah ini,
kawasan kupu-kupu liar itu harus dilindungi sebagai taman margasatwa
mini. Dananya tak sampai lima milyar, kata Romo. Kalau seorang wakil
rakyat dapat dana aspirasi Rp 15 milyar, katakanlah kemudian ditawar
pemerintah jadi Rp 10 milyar, itu sudah cukup.
Tapi kan pemerintah menolak, Romo, saya memotong. Romo ngotot:
Ah, belum, itu baru omongan menteri keuangan yang baru. Nanti kalau
menteri ini digoyang seperti Sri Mulyani, ya, akan menyerah juga, paling
angkanya sedikit turun. Ingat, rencana itu lahir di rapat Sekretariat
Gabungan, ketua hariannya kan Ketua Umum Golkar, memangnya

pemerintah berani? Kalau berani, ya, akan digoyang lagi. Pemerintah


sudah tersandera.
Saya mencoba memberi masukan. Romo, menurut editorial Koran ini
kemarin, permintaan anggota DPR itu sudah berlebihan, kata saya. Romo
langsung menjawab: Soal berlebihan, dari dulu permintaan anggota DPR
berlebihan. Gajinya berlebih, tunjangan dan fasilitasnya berlebih,
kantornya berlebihan, kekonyolannya juga berlebihan. Tapi mana
pemerintah berani melawan? Dana aspirasi ini pasti sukses, apalagi
dibahas diam-diam saat masyarakat sibuk dengan piala dunia, kekejaman
Israel, batalnya Obama ke sini, pimpinan KPK yang di ujung tanduk,
apalagi ditambah yang syur-syur mesum itu. Masyarakat terlena.
Saya mencoba mengalah. Oke, anggap teori Romo benar. Bukankah dana
aspirasi itu harus bermanfaat untuk hajat hidup rakyat? Lo, ini kok
memelihara kupu-kupu liar, jalan dan jembatan di daerah ini banyak yang
rusak. Bendungan juga jebol. Itu kan lebih penting?
Romo tertawa: Begini, dana aspirasi itu melekat pada anggota DPR
terpilih dari daerah pemilihan. Di daerah ini, yang terpilih dari partai
kuning, basis massanya di lereng gunung. Yang dekat dengan jalan rusak
dan bendungan jebol itu basis masa partai hijau dan partai biru, wakilnya
kalah. Ya, tentu konstituen yang dijaga adalah konstituen yang
memilihnya, yang berhak mengajukan usul juga masyarakat yang
wakilnya terpilih. Dana aspirasi ini adalah dana untuk mempertahankan
kursi sekaligus sarana untuk wakil rakyat bertepuk dada bercongkak-ria
kalau pulang ke kampungnya. Tak ada urusan dengan kesejahtraan
rakyat.
Ini akan membuat friksi di masyarakat, akan jadi benih baru pergolakan
di daerah, kata saya. Dana ini melanggar aturan, membuat simpang siur
wewenang pemerintah dan parlemen, sumber korupsi baru, saya akan
melawan, Romo. Please Romo, tetaplah berpihak pada rakyat.
Romo tersenyum; Sejak dulu saya berpihak ke rakyat, masalahnya apa
pemerintah juga berpihak ke rakyat?

Minggu,04 Juli 2010 @ 11:39


Celeng (an)
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia

(Dimuat Koran Tempo 4 Juli 2010)


Celeng beda dengan babi. Orang Jawa menyebut babi hutan. Orang
Sulawesi menyebut babi alas. Perbedaan bukan hanya phisik, juga haram
tidaknya. Ada orang Jawa yang muslim mau makan daging celeng
karena yang haram cuma daging babi.
Saya pernah ikut berburu celeng bersama masyarakat transmigran Bali di
Sulawesi Tenggara. Ikut juga empat orang Bugis yang muslim. Setelah
dapat buruan, orang Bugis itu lahap menyantap celeng yang sudah
dibakar. Ini tidak haram, kata mereka sambil menawari saya. Saya tetap
menolak. Saya berpantang makan beberapa jenis hewan, termasuk babi,
sesuatu yang mungkin aneh karena saya orang Bali.
Kenapa, padahal itu bukan babi? Nah, di sini saya jadi orang Bali yang
sebenarnya, babi dan celeng itu sama. Celeng itu bahasa Bali dari babi,
jadi saya sulit membedakan babi dengan celeng.
Tetapi, membedakan celeng dengan celengan, saya yakin mampu.
Akhiran an pada kata celeng memberi pengertian bukan yang
sebenarnya. Ada rumah makan di kawasan Puncak menawarkan daging
ayaman, ini jenis burung yang bukan sebenarnya ayam. Celengan
adalah benda yang berbentuk mirip celeng. Kata mirip perlu disebut
karena tidak semua wujud celeng diviualkan dalam celengan. Pengrajin
celengan grabah pantang membuat celengan yang ada gigi, jari kaki dan
ekor yang menyerupai celeng. Tadinya saya pikir itu masalah kerumitan
saja, tapi pembuat grabah menyebut: Celengan ini lambang
kemakmuran, pertanda orang itu berhemat dan suka menabung. Gigi, jari
kaki dan ekor celeng lambang ketamakan, tak bisa dibawa ke wujud
celengan.
Astaga, dari cerita ini saya baru tahu, ternyata celengan tak sekadar
mainan anak kecil untuk mencemplungkan uang logam. Celengan
menyimpan sejarah panjang, jauh lebih panjang dari sejarah republik ini.
Di masa Kerajaan Majapahit (abad ke 14) celengan adalah benda yang
hampir dipunyai oleh semua penduduk. Masyarakat Hindu pada saat itu
mempersembahkan babi (ya, celeng) pada ritual keagamaan sampai kini
dilaksanakan di Bali sebagai lambang dari rasa syukur atas
kemakmuran yang didapat, lalu membuat benda yang mirip celeng
dengan menghilangkan simbol ketamakan celeng, untuk menabung
hartanya. Harta berharga saat itu adalah uang kepeng. Dan benda mirip
celeng itulah puluhan tahun kemudian, entah kapan -- disebut celengan.
Baru belakangan saya paham, kenapa para pendeta Hindu dalam
melafalkan mantram menyangkut persembahan babi, selalu mengkaitkan
dengan kemakmuran. Jika Anda melihat ada celengan di rumah orang
gedongan, jangan buru-buru berkata: Hare gini masih pakai celengan?
Buka rekening dong, nabungnya di bank dong. Oke, itu pasti sudah

dilakukan orang kaya, tapi celengan adalah simbol yang wajib ada bagi
mereka yang meyakini tradisi leluhur itu sesuatu yang sulit dijelaskan.
Itu sebabnya, celengan sebagai lambang kemakmuran dan pengendalian
diri dari nafsu berfoya, sulit digantikan dengan celengan ayam atau
gajah.
Jika demikian, polisi berlebihan menggugat Majalah Tempo, karena sampul
Tempo jelas gambar celengan, bukan celeng. Tapi saya maklum, polisi
saat ini lagi tertekan, banyak kasus di dalam tubuhnya, banyak masalah
keamanan yang dihadapi, sehingga capek. Saya mengimbau teman
wartawan, hehe, sayangi polisi, orang capek mudah tersinggung.
Ibarat kata yang mirip Ruhut Sitompul, saya sangat bangga dan sangat
cinta polisi, karena itu polisiku yang gagah berani menumpas teroris
sampai mempertaruhkan nyawanya,janganlah kebanggaanku jadi hilang
hanya karena kalian takut pada celengan.

Minggu,07 Februari 2010 @ 10:25

Gerakan Perubahan
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk dimuat
Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)
Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan
sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh
Desa Kemoning. Saya mau minta restu bukan minta izin karena ingin
bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah
terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh
Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.
Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih
stock lama, komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya
beliau orang yang tulus.
Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih caloncalonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih
cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau
berubah, jawab saya. Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.
Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau
membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja

memakai nama Golkar Perjuangan atau Golkar Sejahtra atau Golkar


Pembaruan. Kedua tokoh itu kan lantaran tersingkir dari Golkar, ini
dampak sistemik dari kongres partai kan?
Ah, Romo jangan sinis dong, saya menyela. Romo kan pernah bilang,
semua organisasi politik yang menyempal dari induknya pasti tak laku,
karena pendirinya hanya punya target kekuasaan, bukan target
pengabdian. Mungkin Tuhan tak meridhoi. Kalau banteng perjuangan itu
lain, dia bukan menyempal, tetapi induknya yang menyempal ke
penguasa saat itu. Please Romo, beri restu saya, siapa tahu niat Pak Surya
kali ini bagus.
Romo kelihatan mulai lunak dengan sikap saya yang memelas. Apa yang
kau suka dari ormas itu, namanya atau tokohnya?
Bukan keduanya. Yang saya suka adalah slogan yang diusungnya:
gerakan perubahan. Ini penting sekali Romo, negeri ini membutuhkan
perubahan yang mendasar, perubahan yang fundamental sebelum
menjadi negeri yang amburadul. Boleh saya sedikit merinci apa
perubahan yang dilakukan? Karena Romo mengangguk, saya pun
bersemangat.
Dasar negara saja sudah diselewengkan. Sila pertama Pancasila itu
berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekarang yang dijalankan
kekuasaan yang maha esa kemudian keuangan yang maha kuasa.
Orientasi tokoh hanya satu, merebut kekuasaan. Untuk melanggengkan
kekuasaan dipakailah uang. Apa pun bisa dibeli. Mau demontran dua
puluh ribu, bisa dibayar. Mau mendatangkan kerbau, bisa. Mereka tak
sabar mengikuti konstitusi, karena memang jika pakai aturan konstitusi,
tokoh-tokoh itu sudah nyata kalah. Mereka mengembangkan opini lewat
klim-mengklim, seolah-olah gerakan yang sepuluh dua puluh ribu itu
mewakili ratusan juta masyarakat. Padahal, harga kursi untuk wakil rakyat
yang paling rendah saja di kabupaten sampai tiga puluh ribu. Harus ada
gerakan untuk mengubah jalan pikiran orang-orang ini.
Sila kedua Pancasila diselewengkan menjadi Kemanusiaan yang batil dan
biadab. Kekerasan yang terorganisir menjadi mode di berbagai kota.
Mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum hanya atas nama
menyalurkan ide. Kalau mahasiswa sudah begini, bagaimana mau
menyalahkan bonek Persebaya yang merampas pedagang kecil, karena
mereka sekolah menengah pun tak tamat. Anak sekolah dasar di Makasar
tawuran di jalan, jelas mereka meniru kakaknya yang mahasiswa.
Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia diselewengkan menjadi
perseteruan Indonesia. Dimana-mana diajarkan perseteruan. Debat
yang ada bukan perdebatan ide, tetapi perdebatan otot dan caci maki.
Anggota DPR saling caci maki dengan kata-kata kotor tapi ruang
kerjanya semakin sejuk dan ditambah komputer baru yang harganya perlu

diaudit . Ini ditonton jutaan orang, bagaimana orang desa mau


menghormati politisinya?
Siapa yang mengingatkan hal ini? Tak ada. Padahal harus ada yang
mengatakan bahwa kebiadaban ini segera diubah menjadi lebih beradab.
Itu pentingnya gerakan perubahan yang menyeluruh dari elemen bangsa.
Sekarang jangankan ada yang mengatakan itu biadab, yang melarang dan
memberi sanksi saja tak ada, padahal jika pelaku anarkis itu mahasiswa
kan ada dosen dan aparat kampus. Jika itu bonek, kan ada kordinatornya
atau wakil klub sepakbolanya. Sekarang yang ada gerakan pembiaran
padahal ini sudah nyata-nyata merusak akhlak bangsa. Aneh, pemuka
agama juga diam.
Romo, waktu saya habis, nanti saya lanjutkan. Kalau sampai di sini,
apakah restu Romo bisa saya dapatkan agar saya ikut dalam gerakan
perubahan itu?
Romo berpikir sejenak: Saya belum dapat diyakinkan. Ada yang sudah
membuat Pondok Perubahan di kawasan Jakarta Selatan dan banyak
sekali slogan perubahan lainnya. Tapi target mereka tetap hanya
menggulingkan kekuasaan, siapa pun yang sedang berkuasa. Hanya
sesempit itu yang dia maksudkan perubahan, bukan perubahan sikap,
mental, perilaku, budaya .
Jadi, bagaimana Romo? saya tak sabar.
Romo menjawab sambil berjalan: Tunggu beberapa saat, apa Pak Surya
dan Kanjeng Sultan betul-betul berubah atau tidak. Jangan-jangan
keduanya mengulang lagu lama tokoh lain, maklum mereka dalam satu
generasi.

Minggu,29 Agustus 2010 @ 11:42

Puasa
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 29 Agustus 2010)
Romo Imam lagi santai. Istri dan anak putrinya sibuk di dapur menyiapkan
makanan buka puasa. Sebagai basa-basi baru bertamu saya memuji: Ibu
memang pinter memasak, sudah terasa sedapnya makanan.
Romo tersenyum. Nanti kita buka puasa bersama, katanya. Saya

mengangguk. Puasa penting untuk kesehatan. Tapi, ya, sudah tiga hari
Ramadhan berlalu, Romo masih kurang sreg dengan puasa ini. Masih
puasa phisik.
Saya segera mengejar apa maksudnya. Puasa yang hanya menunda
makan. Pada saat kita menahan lapar, kita berpikir itu hanya menunda
makan, karena sudah pasti kita akan makan. Istri sudah menyiapkan
makanan, bahkan makanan yang enak-enak dibandingkan hari-hari yang
bukan Ramadhan. Menunya khusus, dari minuman pembuka, makanan
penambah selera, makanan besar, makanan penutup, sampai pada
pernik-pernik cemilan.
Romo mengambil koran dan membaca judul-judul berita dengan cepat,
seperti penyiar televisi membawakan rangkuman berita sepekan. Ada
bazaar Ramadhan di berbagai kota, ada liputan buka puasa bersama
pejabat, ada selebritas yang membuat pesta buka puasa yang mewah,
ada keluarga tahanan yang membawa puluhan tusuk sate kambing ke
rumah tahanan. Semuanya untuk berbuka puasa. Dan semua yang
berbuka puasa sudah siap dengan menu khusus itu. Jadi yang mereka
pikirkan adalah bagaimana caranya makan, dari mana memulai.
Itu puasa phisik. Mulut kita berpuasa, pikiran kita tidak. Kita tak sempat
berpikir, oh, begini toh rasanya lapar, betapa memprihatinkan kaum papa
yang selalu menahan lapar tanpa jelas tahu kapan akan menghentikan
lapar. Puasa phisik tak akan melahirkan solidaritas yang sejati, semuanya
menjadi solidaritas semu., kata Romo.
Saya menyela: Tapi bukankah banyak sekali fakir miskin yang diundang
saat berbuka puasa? Bahkan orang berbondong-bondong membawa nasi
bungkus untuk didermakan pada mereka?
Romo tersenyum: Ya, itu sucinya Ramadhan. Bahkan bisa disebut
saktinya bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan lewat, berapa orang yang
membawa nasi bungkus ke anak-anak jalanan dan para gembel yang
selalu dianggap mengotori kota ini? Ramadhan datang, warung remangremang dihancurkan, rumah pelacuran Dolly yang terbesar di Asia
Tenggara ditutup, hotel dirazia tamunya, panti pijat, karaoke dan semua
tempat hiburan malam tak boleh buka. Ramadhan lewat, negeri ini seperti
dibiarkan menjadi sarang maksiat. Itu karena pola puasa kita sebagian
besar menjadi urusan phisik, bukan rohani, bukan mengambil hikmat dari
bulan suci itu. Saya senang di Bali tak ada lokalisasi pelacur
Tapi Romo, saya langsung menyela agar pujian itu tak berlebihan.
Memang di Bali tak ada lokalisasi pelacur karena itu simbol membiarkan
perzinahan yang dilarang agama yang dipeluk mayoritas masyarakat
Bali. Tapi siapa yang berani mengatakan hotel-hotel di Bali bebas dari
kemaksiatan?
Tunggu dulu, Romo yang kini memotong saya. Justru itu penting,
memberangus simbol kemaksiatan. Bahwa kemaksiatan masih ada, itu
urusan polisi dan pemuka agama yang terus menerus memberi khotbah
yang menunjukkan bahwa itu maksiat. Jakarta dulu punya Kramat
Tunggak, lokalisasi pelacur paling terkenal, sekarang menjadi Islamic
Centre. Perubahan yang dasyat dan ini membuat citra baik. Bahwa masih
ada yang tak baik, itu yang kita perangi.
Adzan magrib bergema. Mari kita buka, kata Romo. Dan besok, Insya

Allah, kita berpuasa secara rohani agar nurani kita lebih berpihak pada
kaum papa dan perang terhadap kemaksiatan kita lakukan
berkesinambungan, ada Ramadhan atau pun tidak.

Minggu,01 Agustus 2010 @ 11:41

Ibu Kota
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 1 Agustus 2010)
Jakarta akan lumpuh total pada tahun 2014. Begitu menurut pakar
transportasi. Belum beberapa hari, pernyataan diralat: tahun kelumpuhan
Jakarta akibat kemacetan diprediksi lebih cepat, akhir tahun depan, atau
paling tidak awal 2012. Mobil dan motor tak bisa bergerak di jalanan.
Kalau Jakarta lumpuh, bagaimana bisa berfungsi sebagai Ibu Kota sebuah
negara? Presiden tak bisa ke mana-mana. Kalau beliau pas di Cikeas, ya,
tetap saja di sana, tak bisa ke Istana Negara meskipun ada ratusan polisi
mengamankan jalan. Jalanan sudah sesak mobil, tak bisa diamankan,
dan mungkin juga polisi tak bisa keluar dari markasnya karena terjebak
macet.
Kalau presiden sedang di Istana Negara, juga akan kesepian. Tamu tak
ada yang bisa datang, menteri cukup melaporkan kerjanya lewat telepon.
Membuka seminar atau musyawarah nasional, bisa dilakukan presiden
lewat satelit, tetapi kalau melayat tokoh yang wafat, apa bisa lewat
satelit?
Pejabat selain Presiden masih bisa menyesuaikan diri. Para wakil rakyat,
misalnya, diuntungkan dengan kemacetan total ini karena ada alasan
untuk tak hadir di sidang, meski pun dia tak berada di Jakarta. Wartawan,

nah ini dia, tentu punya kiat tersendiri mencari berita, bisa lewat telepon.
Selebihnya, orang-orang yang terjebak kemacetan itu tak peduli tua
atau muda akan sibuk dengan telepon genggamnya: kutak-katik
Facebook. Kemacetan menguntungkan pengelola telepon selular,
penjualan pulsa meningkat.
Kalau Jakarta benar akan lumpuh, tak ada cara lain kecuali memindahkan
ibukota negara. Pindah kemana? Kalau memakai cara gampangan, salah
satu ibukota provinsi di Jawa bisa dijadikan alternatif. Kalau masih
ditambah alternatif, kota kabupaten seperti Malang, Solo, Purwokerto bisa
dilirik. Tapi problemanya akan sama: dihantui kemacetan.
Semua kota di Jawa secara ideal tak bisa dijadikan ibukota negara, karena
sistem transportasinya juga amburadul. Bagaimana kalau pindah ke Bali?
Lebih runyam lagi. Bali sesungguhnya menyimpan kelumpuhan total yang
sama dengan Jakarta. Akan segera meledak, sudah ada sinyalnya. Bali tak
punya transportasi umum yang memadai, bahkan di kota sama sekali tak
ada angkutan kota. Kalau ada keluarga punya empat anak yang sudah
bersekolah, keluarga itu punya enam sepeda motor, empat untuk
anaknya, dua untuk ayah dan ibunya. Aktifitas mereka berbeda, kalau tak
ada motor, mau numpang apa? Lalu sebuah mobil untuk pergi bersama,
misalnya, jika bersembahyang ke pura.
Tak satu pun kota di Bali layak jadi ibukota negara karena hantu
kemacetan sudah makin nyata. Jadi, kelemahan kita sebenarnya pada
menata kota. Maka para idealis lebih cenderung melirik kota di luar Jawa,
yang belum terlambat untuk ditata. Kota yang digadang adalah Palangka
Raya, ibukota Kalimantan Tengah.
Adalah Presiden Soekarno, yang tiba-tiba kepincut dengan Palangka
Raya. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, Soekarno menyebut
Palangka Raya menjadi pemersatu Nusantara. Letaknya di tengah-tengah
Sabang-Merauke dan penduduknya multi etnis. Kalimantan juga bebas
dari gempa. Ketika Soekarno meletakkan batu pertama di bundaran
penjuru angin Palangka Raya, kota ini pun dirancang dengan sistem
jaring laba-laba, layaknya kota moderen.
Masalahnya, ketika nasionalisme (konon) memudar, apakah orang Jawa
tega ibukota negara diboyong keluar, dan tidakkah melakukan
perlawanan? Maklum, ibukota negara simbol penting sebuah republik,
sama pentingnya dengan Kepala Negara, sementara kita tahu dikotomi
Jawa dan luar Jawa seperti api dalam sekam.

Kiamat
Minggu, 23 November 2009 | 00:45 WIB

Putu Setia
Sembilan dari sepuluh orang yang saya wawancarai mengatakan bahwa
kiamat itu pasti terjadi. Ini masalah keyakinan. Seorang tak mau
menjawab dan menuduh saya mengalihkan perhatian dari isu Bibit dan
Chandra, yang kini memasuki masa paling sulit bagi Presiden Yudhoyono.
Sembilan dari sepuluh orang itu juga menyebutkan bahwa kiamat menjadi
rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya. Bagaimana
kalau

terjadinya

besok?

tanya

saya.

Hampir

serempak

mereka

menjawab: Jangan Senin besok, kita ingin lihat keputusan apa yang
diambil Presiden pada kasus Bibit dan Candra. Bagaimana kalau 2011?
Seseorang menjawab: Jangan, tahun depan saya ikut pilkada. Kalau saya
jadi bupati, kan cuma setahun menjabat, tak balik modal kampanye
saya. Bagaimana kalau kiamat itu terjadi 21 Desember 2012? Ah, itu
takhayul, kata mereka serempak. Itu kan versi film yang sudah tak
dipercayai oleh para ulama kita.
Katanya yakin kiamat pasti datang. Katanya rahasia Tuhan yang bisa
terjadi kapan saja. Tapi kok mau mengatur sendiri, kapan kiamat itu tidak
boleh?
Saya tanya lagi: Apa yang Anda lakukan seandainya kiamat itu sudah
dekat? Pertanyaan ini tentu konyol. Itu berarti saya pun terjebak pada
ramalan, padahal kiamat kan rahasia Tuhan. Tapi, karena mereka mau
menjawab, ya, kita dengarkan saja.
Saya mau terbang ke berbagai tempat, ganti pesawat setiap turun di
bandara, siapa tahu pas di atas awan kiamat datang, kan saya bisa lihat
dari atas, kata seseorang. Saya mau beli HP yang bisa untuk Facebook
sebanyak-banyaknya, saya kasih teman-teman saya, agar ia segera
mengomentari status saya kalau kiamat datang, kata yang lain. Yang
satu

lagi,

lelaki

bertato,

menjawab

agak

lama:

Rasanya

ingin

memperkosa penyanyi dangdut, kan tak masuk penjara, wong kiamat.


Stop, teriak saya. Meskipun ini bukan mewakili 200 juta penduduk
negeri, saya semakin yakin bangsa ini sudah tak lagi religius, tapi
konsumtif. Para pemuka agama acap kali berseru, Hai umat manusia,

berbuatlah saleh dan kebajikan, seolah-olah esok adalah hari akhir, hari
kiamat. Kematian itu, kata pemuka agama, harus kita persiapkan.
Matilah di jalan Tuhan, matilah pada saat kita sudah melaksanakan segala
amal saleh dan melaksanakan semua perintah-Nya.
Dongeng tentang kiamattermasuk filmmestinya menjadi cambuk buat
kita agar berlaku saleh dan beramal baik. Imajinasi tentang hari akhir
berkembang sesuai dengan tingkat pengetahuan. Masyarakat pedesaan di
masa lalu melukiskan datangnya kiamat dengan pertunjukan seni yang
memukau, misalnya, adegan gunung meletus, laharnya melanda umat
manusia. Orang-orang saleh disambar bidadari, diterbangkan ke atas,
sehingga tak merasakan pedihnya lahar panas seperti yang dialami
orang-orang durjana. Mereka tak melahirkan imajinasi tentang meteor
karena tak pernah baca kisah itu.
Kini, di zaman modern, kiamat divisualkan dengan benturan berbagai
benda planet yang menimbulkan gempa, tsunami, puting beliung, dan
sejenisnya. Bumi porak-poranda, tak ada bidadari karena orang modern
tak kenal Ken Subadra, Ken Sulasih, dan bidadari lainnya.
Di masa lalu, ketika tempat ibadah sedikit tapi umat religius, setiap orang
seperti diajak berlomba dalam kebajikan begitu kelar menonton drama
tentang kiamat. Orang berseru: Ya Tuhan, ampuni hamba, jauhkan
hamba dari dosa sebelum hari itu tiba. Kini, ketika rekaan datangnya
kiamat difilmkan, orang berlomba bilang: jangan percaya. Tapi filmnya
laris dan yang menonton pun tetap mengunyah popcorn. Kiamat cuma
jadi hiburan.
http://awamologi.wordpress.com/2009/11/18/kiamat-2012-danpenyesatan-media/

Anda mungkin juga menyukai