Basa Basi
calon wakil presiden itu gugur karena faktor kesehatan? Hasil tes segera
dikirim ke KPU, tapi penetapan capres dan cawapres dijadwalkan 31 Mei
nanti. Betapa runyamnya kalau ada capres dan cawapres yang gugur.
Koalisi partai akan kelabakan mencari pengganti dalam hitungan hari.
Maka, saya pun berasumsi, sebagaimana asumsi kebanyakan orang, tak
akan ada capres dan cawapres yang tidak lolos tes kesehatan. Bisa
amburadul pemilu presiden.
Keempat tokoh itu tampaknya sehat. Panu dan kudis pastilah tak ada. Tapi
apakah organ tubuh mereka bagus semua, termasuk kejiwaan mereka.
Apakah tak ada jiwa yang labil, emosional, mudah gugup, stres dalam
keadaan tertekan, yang semuanya mempengaruhi dalam mengambil
keputusan? Masyarakat tak pernah tahu rincian ini.
Persyaratan ketat yang ditetapkan KPU tampaknya hanya jumlah suara
partai pendukung. Yang lain bisa longgar. Termasuk rekam jejak sang
calon. Misalnya, beredar berbagai "kampanye negatif" yang menyebutkan
ada capres yang tercemar. Melanggar HAM, terlibat penculikan, pernah
dipecat di instansinya, pernah jadi warga negara di lain tempat, dan
seterusnya. Apakah KPU akan mengusut dugaan yang "negatif" itu? Saya
tidak yakin. KPU pasti berpedoman pada "surat keterangan berkelakuan
baik" dari kepolisian. Bagaimana kepolisian mengeluarkan surat
keterangan itu, KPU pasti berkelit: ya, urusan polisi.
Menggampangkan masalah. Masyarakat jadi tak percaya kalau KPU berani
menggugurkan capres dan cawapres meski ada masalah. Jika ingin
menghindari basa-basi, semua persyaratan termasuk hasil tes kesehatan
harus diteliti cermat. Pengumuman hasilnya ada tenggang waktu yang
cukup dengan penetapan capres dan cawapres yang memenuhi syarat.
Jadi, kalau ada yang gugur, koalisi partai bisa mencari pengganti. Bukan
basa-basi.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 25 Mei 2014)
Galau
Pandita Mpu Jaya Prema
HIDANGAN makan malam di rumah Romo Imam sangat beragam. Istrinya
jago masak. Sebelum mengambil piring, kami biasa bergurau. Bu, saya
lagi tak ada nafsu makan, kata saya. Sariawan? Saya menggeleng:
Bukan, tak enak makan sebelum Jokowi mengumumkan calon wakil
presidennya.
Bu Imam tertawa. Sama, sahutnya. Kemarin ibu hampir luka ketika
memotong cabe. Pikiran menerawang, kok Demokrat begitu lambat
bergerak. Mau merapat ke capres yang sudah ada atau membuat poros
baru? Pemenang konvensi pun diumumkan dengan setengah hati.
Saya menunggu reaksi Romo Imam. Tapi Romo seperti tuli. Saya pun
menggoda Bu Imam lagi. Ibu tak memikirkan Golkar dengan capresnya
ARB? Lagi-lagi Bu Imam tertawa: Golkar tak laku. Pemenang kedua kok
miskin figur. Sekarang pasrah bongkokan mau merapat ke Megawati. ARB
lagi galau, tapi SBY lebih galau lagi.
Apa kabar Hatta Rajasa? tiba-tiba Romo Imam buka suara. Saya
menyahut: Sudah pamit mundur sebagai menteri. Hatta Rajasa sudah
dinyatakan sebagai cawapres Prabowo. Tapi ketika PPP dan PKS
mempersoalkan, pimpinan Gerindra segera berdalih deklarasi belum
resmi. Lalu PPP mengajukan cawapres ketua umumnya.
Romo mengambil piring lalu berkata: Hatta Rajasa patuh pada aturan. PP
18 Tahun 2013 menyebutkan menteri dan pejabat setingkat menteri harus
mundur paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi sebagai
capres atau cawapres. Jika Hatta Rajasa dibatalkan sebagai cawapres itu
namanya sudah jatuh tertimpa tangga.
Katanya koalisi tanpa syarat. Terserah yang dipilih oleh Jokowi maupun
Prabowo, saya menggugat. Ini komentar Romo: Masih percaya
omongan begitu? Tak ada dukungan yang gratis. Kalau betul tanpa syarat,
kenapa Hatta Rajasa dipersoalkan? Kenapa tiba-tiba ada tokoh PKB yang
mengusulkan agar Jokowi memilih Muhaimin sebagai cawapres? Kenapa
pimpinan NU bilang, NU hanya mendukung Jokowi jika wakilnya Mahfud
MD atau Jusuf Kalla? Ibarat promosi berhadiah, syarat dan ketentuan
berlaku.
Bu Imam mengambil piring sambil nyerocos: Saya sih tetap penasaran
sama Demokrat . Dahlan Iskan diumumkan sebagai pemenang, terus
dapat apa? Romo langsung menyambar: Dahlan sudah masuk kotak. Dia
menteri seperti Hatta Rajasa. Kalau mau jadi capres atau cawapres, harus
mundur paling lambat seminggu sebelum didaftarkan resmi, begitu bunyi
PP 18/2014. Perdaftaran terakhir 20 Mei, ya, tak keburu. Entah kenapa
pengumuman konvensi sengaja mepet, mungkin tahu kalau Dahlan yang
belakangan tak dikehendaki, bisa menang. Tapi alasan SBY masuk akal,
Demokrat tak bisa mengusung capres, mau koalisi dengan siapa?
Golkar yang malam ini Rapimnas, kata saya memotong. Romo tertawa.
Golkar ini partai yang selalu ingin berkuasa atau gabung dengan
kekuasaan. Kalau dia lihat kemungkinan menang tak ada, dia pilih
merapat ke koalisi yang diyakini menang. Lagi pula, koalisi Golkar dan
Demokrat mau mengusung siapa? Figur yang populer sudah dikunci oleh
Jokowi sebagai kandidat cawapres. Mahfud MD, Jusuf Kala, Abrahan
Samad pasti lebih baik menunggu takdir ketimbang tertarik tawaran
Demokrat. Dan Megawati pinter, gembok kunci baru dibuka beberapa
menit sebelum didaftarkan.
Siapa tahu demi harga diri, ARB tetap maju dan Demokrat ambil salah
satu peserta konvensi untuk cawapres. Karena Dahlan Iskan masuk kotak,
ya, Pramono Edhie, ipar SBY. Kedua partai Rapimnas hari ini, kita tunggu
saja, kata saya. Romo Imam nyeletuk: Kalau begitu namanya koalisi
galau. ARB-Pramono hanya membuat pemilu presiden jadi boros.
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 18 Mei 2014)
Yang Mulia
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang mengesankan dari kesaksian Wakil Presiden Boediono di Pengadilan
Tipikor Jakarta, Jumat lalu, cara dia menyapa hakim dan jaksa. Boediono,
sebagaimana layaknya para terdakwa dan saksi di dalam persidangan
yang lain, menyebut yang mulia. Berbeda dengan mantan Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang cukup menyapa hakim dan jaksa dengan
bapak
atau
pak.
Apakah
Jusuf
Kalla
terpengaruh
lagu
dangdut: Bapak hakim dan bapak Jaksa, tolonglah....
Bagaimana seharusnya menyapa para hakim di dalam persidangan? Saya
pernah bincang-bincang dengan seorang pakar hukum (dan teman itu,
alhamdulilah, pernah menjadi Menteri Hukum dan HAM), dia
menyebutkan, hakim di dalam sidang harus disapa yang mulia. Dengan
pakaian kebesaran itu hakim adalah wakil Tuhan. Keputusan hakim
selalu membawa-bawa nama Tuhan. Semua orang harus hormat kepada
hakim. Kalau di luar sidang mau disapa mas, bapak, bung, kakak,
Proporsional
Pandita Mpu Jaya Prema
Menonton televisi bersama orang-orang desa tatkala hajatan selalu
menarik. Komentar mereka bebas, dengan tawa yang menurut ukuran
orang kota mungkin kurang sopan. Ini contohnya. Seorang calon legislator
yang gagal masuk Senayan mengatakan dia memang tak mau
mengeluarkan uang untuk pemilu legislatif lalu. Ada komentar dengan
ketawa cekikikan: "Ya, pantas dong gagal, mana bisa mendapat suara
kalau tak keluarkan uang. Tak usah protes." Yang lain: "Caleg bego, cari
kerjaan tak mau keluar duit, mana bisa?"
Saya tak tahu pasti, siapa yang dituding. Di layar ada wajah Ahmad Yani
dan Sutan Bhatoegana. Saya terlambat nonton. Tapi, apakah benar
keduanya tak mau keluar uang? Saya coba mengadakan survei di
kalangan penonton. Hasilnya: orang desa itu tak yakin mereka tak main
duit. Pasti ikut main, tapi kalah besar. Setelah kalah, berkelit.
Yang saya herankan, ketika saya bertanya apakah pemilu legislatif 9 April
lalu itu tergolong baik atau buruk, semuanya menjawab baik. Tak ada
yang buruk. Masyarakat tenang, tak ada keributan, serangan fajar
berubah menjadi serangan sore yang terbuka di depan umum, apakah itu
pembagian uang, pengiriman pulsa telepon, ataupun bingkisan baju.
"Sembako sudah kuno, kami bukan orang kelaparan," kata seseorang.
Jelas berbeda dengan pendapat beberapa politikus, termasuk pengamat
politik, yang mengatakan bahwa pemilu kali ini adalah pemilu terburuk.
Apalagi kalau kita membaca testimoni para caleg yang gagal ke Senayan.
Semuanya sepakat: ini pemilu terburuk. Uang yang berkuasa. Terjadi jualbeli suara.
Sejauh mana jual-beli suara benar? Orang-orang desa mengakui itu. Letak
soal pada sistem pemilu dengan proporsional terbuka. Terjadi persaingan
antarcalon legislator pada partai-partai besar. Orang desa, ibu dan bapak
petani yang tua, juga pemilih pemula, sangat ribet untuk memilih calon
dengan nomor urut ketiga sampai kedua belas. Sudah hurufnya kecil,
menuntun paku pencoblos ke nomor yang dikehendaki susah. Jadi,
gampangnya mereka mencoblos gambar partai saja. Apalagi, caleg yang
nomor urut besar sudah berkampanye: coblos partai saja supaya cepat.
Coblosan ini disebut "suara mengambang"-ini versi di desa. Peraturan
KPU, suara ini adalah milik caleg dengan suara terbanyak. Tapi, ketika
Nyepi
Pandita Mpu Jaya Prema
Esok hari, kehidupan seperti berhenti di Bali. Tak ada mobil bergerak di
jalanan. Baliho partai yang memenuhi tikungan jalan, bebas dari
cemohan, karena tak ada orang berlalu-lalang. Pelabuhan dan bandar
udara ditutup. Ini bukan lantaran kabut asap, Bali tak punya hutan, apa
yang dibakar. Umat Hindu merayakan pergantian Tahun Saka dan Bali
masih boleh menutup diri.
Nyepi tentu hakekatnya adalah sepi. Dalam kesepian dan kesunyian kita
belajar untuk mendengar dan sesekali berhenti berbicara. Ayo dengarkan
apa kata orang, jangan cuma meminta orang untuk mendengar suara
kita. Tapi karena orang lain juga melakukan hal yang sama, lalu apa yang
didengar? Televisi dan radio tak boleh siaran kecuali lewat parabola atau
internet. Ya, dengarkan suara hati. Cobalah kita bertanya pada hati dan
Kampanye
Pandita Mpu Jaya Prema
Saya terlambat datang ke padepokan Romo Imam karena jalanan macet.
Romo memaklumi. "Ini kampanye partai yang sukses. Ukurannya, jalanan
sampai macet," kata Romo penuh maklum. "Betul sekali, kampanye
sebelumnya sepi, orang malas datang ke alun-alun mendengarkan
pidato," kata saya.
"Kenapa ada kampanye yang sepi dan ada yang meriah?" tanya Romo.
Saya harus menjelaskan panjang-lebar situasi masyarakat saat ini. Sepi
dan meriahnya sebuah kampanye bukan karena partai, melainkan karena
masalah dana. Apakah partai itu dan para calon legislatornya mau
mengerahkan massa atau tidak untuk pencitraan semu. Kalau mau, maka
para caleg itu mencari "biro jasa" pengerahan massa. Makelar kampanye,
begitu julukan "biro jasa" ini, banyak ada. Saya tidak tahu berapa tarif
yang dikenakan sang makelar kepada caleg, tetapi saya tahu setiap orang
dibayar oleh makelar Rp 100 ribu. Rinciannya, untuk membeli Premium
empat liter, makan-minum seadanya, dan sisanya sekitar Rp 60 ribu sama
dengan upah terendah sehari buruh bangunan di pedesaan. Bagi peserta
yang mendapat tugas memegang bendera partai dan di alun-alun harus
berdiri dekat podium, bayarannya ditambah Rp 25 ribu.
"Mereka kader partai di desa?" tanya Romo. "Bukan, mereka tak
berurusan dengan partai. Mereka orang upahan," jawab saya cepat. Saya
jelaskan, peserta itu betul-betul "masa mengambang", mereka bisa
digunakan oleh partai apa saja. Sekarang kampanye untuk partai ini,
besoknya bisa untuk partai itu. Cuma, sang makelar bijak. Yang
memegang bendera dan berdiri dekat podium dibagi, kelompok ini untuk
partai itu, kelompok itu untuk partai ini. "Pertimbangan makelar supaya
beda orangnya, siapa tahu disorot kamera televisi, biar tak ketahuan
peserta bayaran," kata saya.
"Itu haram, politik uang," kata Romo. Saya tertawa. Romo mungkin pura-
pura saja menyebut itu haram, seolah tak tahu situasi masyarakat saat
ini. Siapa lagi yang mau kampanye dengan kesadaran sendiri saat ini?
Dua puluh lima tahun yang lalu, saya ikut kampanye ke Jakarta. Dari
Ciputat naik bus dan dihadang di Pondok Cabe, karena warga Jawa Barat
tak boleh berkampanye di Jakarta. Dari Pondok Cabe berjalan kaki ke
Senayan untuk "memerahkan Jakarta". Tak ada yang menyuruh dan tentu
tak ada pula yang membayar. Kemacetan menjadi suatu kenikmatan
karena bisa saling melempar yel-yel dan mengibarkan bendera partai.
Sekarang? Macet lantaran kampanye justru mendapat caci-maki dari
pengguna jalan.
"Kalau begitu, tak ada pengaruhnya kampanye sekarang ini," kata Romo
bergumam. Saya menyahut, "Jangankan kampanye ke alun-alun
mendengarkan pidato, menonton berita kampanye di televisi saja
membuat orang mual. Yang memasang baliho di jalanan itu pun hanya
menghabiskan uang, hampir tak ada pengaruhnya."
"Harus ada terobosan baru untuk memikat masyarakat pada partai," kata
Romo bak seorang makelar politik-julukan kerennya konsultan. Saya
malas menjawab pernyataan yang "standar" ini. Terobosan apa?
Terobosan itu konotasinya gerakan instan. Situasi anti-partai saat ini tak
bisa main terobos, ini harus kerja keras berkesinambungan membangun
kepercayaan. Reformasi sesungguhnya memberi kesempatan kepada
partai untuk kembali hidup setelah dikerdilkan di era Orde Baru.
Sayangnya, puluhan partai yang berdiri ternyata tidak memiliki pemimpin
yang kuat, mereka memanfaatkan eforia itu untuk kepentingan pribadi.
Organisasi tidak ditata dengan baik, di atas terjadi saling sikut dan di
bawah kaderisasi macet. Ditambah korupsi, lantas siapa yang mau
percaya kepada partai?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 23 Maret 2014)
Pengawal
Pandita Mpu Jaya Prema
Bung Karno hilang. Ketika diintip ke kamarnya sekitar pukul tujuh pagi, tak
ada siapa pun di sana. Penjaga Istana Tampaksiring panik, pengawal pun
juga bingung, ke mana presiden. I Gde Putu Riyasse selaku protokol
pemerintah Bali-orang yang selalu mendampingi Bung Karno di Balimenenangkan petugas. "Nanti saya cari, pasti tak jauh dari sini," kata
Riyasse.
Seperti yang diduga, Riyasse menemukan Bung Karno minum kopi di
warung kolam renang di bawah istana. Ia mengenakan pakaian tidur,
piyama kedodoran tanpa kopiah. Ia asyik ngobrol dengan peminum kopi
yang lain. Ketika Riyasse menjelaskan orang berpiyama itu adalah Bung
Karno, seluruh orang yang ada di warung itu langsung bersimpuh hormatdan terheran-heran. Riyasse lalu meminta Bung Karno kembali ke istana.
"Masak Bapak enggak boleh ngobrol?" kata Bung Karno.
Kisah ini dituturkan Nyonya S. Riyasse dalam buku kecil In Memorium I
Gde Putu Riyasse. Tak disebutkan kapan "insiden Tampaksiring" itu, tapi
Putu Riyasse menjadi protokol pemda Bali 1958-1962. Masih banyak
anekdot di sekitar Bung Karno yang direkam Nyonya Riyasse untuk
mengenang almarhum suaminya yang meninggal dunia pada Januari
2002. Misalnya, ketika pengawal memaksa Bung Karno meninggalkan
pesta pada saat dia asyik menari lenso. Bung Karno tunduk pada
pengawal, tetapi ngedumel kepada Riyasse, "Masak Bapak tak boleh
bersenang-senang."
Suatu kali Bung Karno ke Gallery Le Mayeur (kini Museum Ni Polok) hanya
ditemani Riyasse dan Sabur. Bung Karno tertarik pada sebuah lukisan.
"Bapak suka ini, ayo beli." Riyasse bertanya: "Siapa yang bayar?" Bung
Karno bingung, tak ada yang membawa uang. Akhirnya tak jadi membeli.
Penjaga galeri tak mengizinkan beli lukisan dengan berutang, ia tak tahu
siapa peminat itu.
Yang hendak dikisahkan adalah presiden pertama republik ini ternyata
suka blusukan dan itu sering dilakukan tanpa pengawalan-baik karena
pengawalnya dilarang maupun dikecoh. Presiden dikawal ketat tentulah
keharusan protokoler. Di era Bung Karno malah ada pasukan khusus
Tjakrabirawa. Bahwa sesekali Bung Karno kesal dengan pengawalan ketat,
itu juga sangat manusiawi.
Di era presiden selanjutnya, pasukan pengawal cukup disebut Pasukan
Pengawal Presiden (Paswalpres). Kini ada tiga grup pasukan elite ini, Grup
A untuk ring satu (paling dekat dengan presiden), ring B dan C yang lebih
jauh. Wakil presiden pun dikawal dengan satuan ini. Begitu pula mantan
presiden dan wakil presiden, juga mendapat pengawalan dari satuan ini,
tentu disesuaikan dengan situasi. Namun belum lama ini Presiden SBY
membentuk Grup D yang tugasnya khusus mengawal mantan presiden
dan wakil presiden.
Kenapa para mantan yang sudah "bebas" ini harus dikawal dengan ketat,
sampai membentuk grup baru? Barangkali sebagai penghormatan atas
jasa para mantan itu, dan bentuk penghormatan ini diharapkan
menimbulkan rasa aman. Tetapi Jusuf Kalla merasa tak perlu dikawal
ketat. "Bikin susah ke restoran saja," katanya. Boleh jadi. Kalau pengawal
ikut makan apa tidak kikuk? Tapi, kalau tak diajak makan, apa manusiawi?
Ke mana-mana kan ikut terus.
Bahwa grup baru ini dibentuk menjelang SBY menjadi mantan, mungkin
kebetulan. Juga sebuah kebetulan kalau SBY memang suka dan mau
dikawal ketat. Perilaku masing-masing mantan tentu beda, ada yang ingin
bebas, ada yang masih takut bebas keluyuran. Kalau Jokowi memenangi
pemilihan presiden nanti, apa yang dilakukannya? Apakah dia meniru
Bung Karno, suka lepas dari pengawalan? Orang tahu kalau blusukan
dijaga ketat, apalah artinya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 16 Maret 2014)
Restu
Pandita Mpu Jaya Prema
Sudah lima orang calon legislator untuk Dewan Perwakilan Rakyat
menemui saya. Tujuannya meminta doa restu. Karena yang diminta cuma
restu, saya pun mengabulkan. Jangankan caleg, setan pun, kalau memang
ada, saya beri restu.
Pada semua baliho caleg yang bertebaran di jalan, ada permohonan doa
restu dan meminta dukungan. Seolah-olah itu kata wajib. Adapun kata
selebihnya bermacam-macam: berjuang untuk rakyat, bersama
membangun bangsa, mengabdi untuk negara, dan seterusnya. Kata-kata
klise. Ternyata ini pun bukan murni dari sang caleg, melainkan copy-paste
yang dilakukan perusahaan pencetak baliho.
Di Bali ada 100 caleg untuk DPR memperebutkan sembilan kursi. Akan
ada 91 orang yang nanti stres akut. "Karena itu, saya mohon doa restu
Nak Lingsir. Kalau gagal, anak dan istri ikut stres. Modal saya kan dari
menjual kebun," kata seorang calon. Nak Lingsir itu sapaan saya di Bali,
artinya "orang yang dituakan".
Saya terenyuh. Orang ini pendatang baru. Ratusan juta modalnya untuk
memimpikan kursi di Senayan. Ketika uang yang disetorkan ke partai "tak
memenuhi standar", ia hanya mendapat nomor urut tujuh. Caleg lainnya,
semuanya sudah duduk di Senayan. Uangnya banyak dan bukan dari
menjual kebun. "Ya, nabung dari berbagai kegiatan, antara lain sangu dari
studi banding ke luar negeri," kata seorang caleg.
Sebelum memberi restu, saya memang jail menanyakan ini dan itu. Selain
soal dana, saya menyindir mereka sebagai wakil rakyat yang tak pernah
bersuara di Jakarta. "Yunior saya, Gede Pasek Suardika, paling vokal di
Jakarta, disanjung di Bali karena cerdas, malah dia tak mencalonkan diri.
Kok kalian mau duduk lagi, bisa berbuat apa untuk Bali?" tanya saya. Para
caleg itu umumnya tertawa yang tak jelas arahnya, sampai saya sempat
berpikir jangan-jangan mereka sudah mulai stres. "Ah, Pasek itu kan
karena dibuang oleh partainya, dia terlalu berani. Saya ini sangat nurut,
setoran saya pada partai pun tak pernah nunggak," kata seorang caleg.
Kejailan saya pun bertambah. Saya tanya, sudah berapa lama
meninggalkan Jakarta? "Sudah dua bulan. Ini pertarungan berat, rakyat
sudah mulai pintar, tak mau lagi 'diserang fajar' dengan duit seratus ribu.
Harus lebih banyak bergerilya," kata seorang caleg. Saya langsung
ceramahi caleg ini. "Kamu berdosa besar kepada rakyat. Dua bulan lebih
absen, pantas saja sidang-sidang DPR kursinya kosong. Padahal gaji dan
tunjangan enam puluh juta itu tetap diterima, kan? Kalau tidak terpilih,
masih juga untung, ada pensiun seumur hidup. Enak benar."
Herannya, para caleg itu tak ada yang marah, bahkan merasa tersinggung
pun tidak. Mungkin sudah imun. Atau memang saat ini mereka berubah
status menjadi pengemis, seperti tergambar di baliho mereka yang
semuanya menadahkan tangan memohon dukungan. Mereka celingakcelinguk bak orang kehilangan sandal seusai sembahyang. "Sindiran Nak
Lingsir saya terima, yang penting kan restunya," katanya sebelum pamit.
Saya cuma mengangguk. Tapi ada yang nyeletuk: "Yang penting, wani
piro?"
Yang ngomong "wani piro" itu keponakan saya. Kata dia, saat ini harga
satu suara untuk DPR sudah Rp 250 ribu, untuk DPRD Rp 200 ribu.
Alasannya, mereka itu kan cari pekerjaan, harus nombok. "Uang seratus
ribu sudah tak ada harganya," kata ponakan saya. Lo, ini kok jual suara?
"Tidaklah, uang diterima, yang dicoblos terserah."
"Dosa berbohong dan ingkar janji," kata saya. "Membohongi pembohong
kan dosanya impas," kata keponakan saya. Untung caleg itu cuma minta
restu, bukan minta dipilih.
(Diambil daari Koran Tempo Minggu 9 Maret 2014)
Puasa
Pandita Mpu Jaya Prema
Ramadan sudah datang. Bulan suci penuh berkah yang dinanti umat
Islam. Sebagai nonmuslim, saya akan menuturkan pengalaman yang
barangkali dialami oleh para sahabat muslim ketika pertama kali
memperkenalkan anak-anak pada kegiatan puasa.
Saat itu, akhir Januari lalu, umat Hindu melakukan brata (pantangan)
ketika merayakan hari Siwaratri. Salah satu pantangan adalah berpuasa,
dalam Hindu disebut upawasa. Cucu kedua saya, enam tahun, diajak
"belajar berpuasa". Dia bersedia, bahkan dengan semangat.
Ternyata di siang hari yang panas itu dia masuk kamar dan minum. Ini
diintip kakaknya, dan sang kakak langsung lapor ke saya. Ketika saya
konfirmasi, anak itu langsung menangis: "Kan sudah sembunyi, kakak
yang curang, kok diintip. Kalau tak diintip kan tak ada yang tahu."
Saya rayu dia supaya berhenti menangis. "Kalau tak tahan puasa, tak apaapa. Kan baru pertama, nanti juga terbiasa," kata saya. Setelah tangisnya
berhenti, saya katakan: "Puasa itu bukan untuk Bunda, bukan untuk
Bapak, apalagi untuk Kakek. Tidak, puasa itu untuk Tuhan. Kan Tuhan tak
pernah tidur, Tuhan melihat kita. Jadi, kita tak bisa berbohong sama
Tuhan."
Ketika saya bertugas di Yogya, rutin menyelenggarakan buka puasa di
kantor. Yang diundang bukan cuma teman-teman wartawan, juga para
pejabat dan aktivis. Yang memberi siraman rohani menjelang puasa lebih
banyak pengajar di Pesantren Pabelan, kebetulan saya dekat dengan Kiai
Haji Hamam Dja'far--kini almarhum--pengasuh pesantren. Kami biasa
bergurau menunggu undangan lengkap. Teman-teman wartawan suka
menggoda: "Memangnya kamu puasa?" Saya hanya tertawa.
Sesungguhnya saya memang puasa. Tapi, kalau itu harus disebutkan,
terasa pamer.
"Puasa itu bukan untuk dipamer-pamerkan. Kebohongan yang paling
mudah dilakukan adalah menyebut diri berpuasa padahal tidak," ini katakata yang saya ingat dari Kiai Hamam Dja'far. Kalau tak salah, pada 1982
itu saya sekeluarga diundang makan siang dengan menu lele bakar hasil
ternak di pesantren, seminggu sebelum Ramadan tiba.
Cucu saya ingin berbohong, dan itu hampir sempurna kalau saja tidak
diintip dan kemudian dilaporkan oleh kakaknya. Tapi kakaknya sendiri,
kelas dua sekolah dasar, memang suka pamer. Setiap kali tiba berpuasa
pada hari-hari tertentu, setelah surya terbenam pertanda puasa diakhiri,
dia selalu teriak: "Saya berhasil, mana es krimnya." Ibunya suka ngeledek:
"Benar nih...?" Dan dia langsung jawab: "Idih, kok pakai bohong."
Di sekitar kita, mendadak pada bulan-bulan puasa ada banyak orang
saleh. Undangan berbuka puasa hampir setiap hari dengan menu yang
cukup menggiurkan. Yang ikut berbuka tak cuma umat Islam, juga umat
nonmuslim. Sebuah tradisi yang bagus untuk kebersamaan, meski kalau
dilanjutkan dengan tarawih hanya diikuti oleh umat Islam. Yang non-Islam
disilakan bubar.
Apakah puasa hanya memindahkan jam makan pada siang ke malam?
Apakah puasa hanya menahan lapar sambil membayangkan bahwa saat
berbuka nanti akan dipuaskan lidah dengan makanan yang lezat? Apakah
puasa hanya menunda caci-maki di media sosial siang hari untuk
dilanjutkan malam hari? Kalau cuma itu, nurani kita tak bisa merasakan
bagaimana kaum duafa yang tidak makan karena tak ada yang dimakan.
Hanya menunda maki dan fitnah di siang hari--dengan akun Twitter dan
Facebook palsu pula--untuk dilanjutkan malamnya. Puasa, dalam ajaran
agama apa pun, adalah mengendalikan nafsu dan membagi hati untuk
orang-orang yang menderita.
Pengalaman saya ini tak bermaksud "menggarami laut", hanya untuk
berbagi. Selamat melaksanakan ibadah puasa.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Juni 2014)
KTP
Pandita Mpu Jaya Prema
Nyonya Murtina mendadak pingsan di sebuah halte Trans Jakarta. Orangorang panik karena wanita ini datang sendirian. Petugas lantas
membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan.
Syukur, kartu tanda penduduk (KTP) Murtina diketemukan. Segera KTP itu
dibawa ke bagian pendaftaran. Dengan memasukkan ke card reader,
semua
catatan
pribadi
Murtina
terungkap,
termasuk
riwayat
kesehatannya. Setelah diberikan pertolongan, pihak rumah sakit
memasukkan riwayat kesehatan yang baru di KTP Murtina, tentang jenis
penanganan dan obat yang diberikan.
KTP itu canggih. Cip elektronik yang ada di sana bisa menyimpan berbagai
data, bahkan bisa ditambahkan data baru. Itulah KTP Online yang
diperkenalkan pertama kali di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada
2011. Dari KTP Online ini lantas dikembangkan KTP elektronik (e-KTP) yang
dijadikan program nasional. Jika saja e-KTP berjalan sesuai dengan
rencana, dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) secara nasional, orang
tak bisa punya KTP ganda. Data yang tercantum di kartu juga bisa
dipangkas. Cukup dengan kolom nama, tanggal lahir, dan alamat.
Ini bisa menjawab polemik tentang perlu-tidaknya ada kolom agama di
KTP, sebuah perdebatan yang muncul lagi belakangan ini. Adalah Siti
Musdah Mulia, guru besar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang melontarkan perlunya kolom agama dihapus dalam KTP.
Alasannya, agama kerap dipolitisasi dalam berbagai kepentingan jangka
pendek. Semisal, kata Siti, pegawai yang berbeda agama dengan
pimpinannya akan dipersulit saat naik jabatan. Banyak kasus yang dialami
masyarakat minoritas yang tak bisa mencantumkan agama yang
diyakininya karena dipersulit oleh petugas kelurahan dan kecamatan.
Apalagi kalau ada razia yang menyasar masalah SARA.
Di KTP (versi lama) memang sudah ada NIK, lalu kolom nama, tanggal
lahir, alamat, agama, status kawin, pekerjaan, dan kewarganegaraan.
Untuk apa kolom status kawin? Ada kisah tentang seorang wanita yang
ketika memperbarui KTP sedang berstatus janda. Maka petugas
mencantumkan janda di kolom status kawin. Setahun kemudian dia
menikah. Tapi, dengan alasan KTP berlaku lima tahun, dia tak bisa
mengubah status itu. Celakanya, saat dia dan suaminya bermalam di
hotel kecil di Pasuruan, ada razia. Suami-istri itu pun terkena razia, Satpol
tak percaya bahwa pasangan itu suami-istri.
Kolom pekerjaan juga tak berguna. Petugas kecamatan yang
mengeluarkan "KTP primitif" itu terbatas pengetahuannya tentang
pekerjaan, yakni pegawai negeri, swasta, petani, ibu rumah tangga, dan
pekerjaan lain. Kalau wartawan mencari KTP di kolom pekerjaannya,
tertera swasta atau pekerjaan lain. Adapun kolom kewarganegaraan,
untuk apa pula? Bukankah di balik kolom identitas itu sudah tertulis besar:
Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia.
Saatnya program e-KTP yang lebih canggih dari KTP Online versi
Purwakarta segera diteruskan dengan meminimalkan kolom-kolom "KTP
primitif". KTP modern sudah memiliki cip yang bisa dibaca di card reader
dan di situ terpampang identitas yang sangat lengkap. Pada April tahun
lalu, PT Jamsostek dan PT Askes juga sudah menandatangani perjanjian
kerja sama pemanfaatan e-KTP dan database kependudukan yang
berbasis NIK dengan Kementerian Dalam Negeri. Kalau e-KTP yang
dipermodern ini bisa terwujud, Pemilu 2019 sudah bisa dilakukan secara evoting. Betapa murahnya pemilu.
Sayang, program e-KTP terhambat gara-gara korupsi. Mudah-mudahan
pemerintahan yang akan datang serius menggarap KTP modern ini, siapa
Jenuh
Pandita Mpu Jaya Prema
ROMO Imam datang ke kampung saya di lereng Batukaru yang dingin.
Saya suguhi teh bunga rosela kering hasil tanaman di kebun sendiri. "Di
sini adem dan tenang," katanya, "Tentu saja, Romo. Juga tak dipusingkan
oleh riuhnya kampanye capres," kata saya.
Romo tersenyum. "Ya, saya tak melihat ada baliho dan spanduk calon
presiden. Yang ada malah bendera Belanda, Italia. Prancis, Jerman," Romo
menunjuk bendera yang berjejer di jalan. Saya mengangguk: "Itu bendera
dijahit sendiri di kampung. Warga juga menjagokan Brasil dan Spanyol,
tapi benderanya sulit dibuat. Untung ada hiburan Piala Dunia."
Romo minum. "Di kota jenuh dengan capres-capresan. Apalagi kalau
menonton televisi berita. Yang satu jagoannya pasti menang, presiden
pilihan rakyat. Yang satu lagi presiden kita, selalu disambut di manamana. Bingung dan lama-lama jenuh."
"Romo menonton televisi partisan. Keberpihakan stasiun itu sudah
kebablasan. Komisi penyiaran sudah merekomendasikan supaya izinnya
dicabut. Televisi dan radio, menurut undang-undang, harus netral. Kan
siarannya membutuhkan frekuensi, dan itu milik publik. Terbatas adanya.
Bukan milik nenek moyangnya yang seenaknya bisa dipakai. Cuma,
rekomendasi komisi penyiaran macet di Menteri Komunikasi, entah berani
menteri menutup televisi itu atau takut."
"Jadi, soal keberanian?" Romo menyela. "Ya dong, masalah pokoknya
berani atau tidak menegakkan aturan," kata saya. "Kasusnya sama
dengan tabloid Obor Rakyat. Orang resah, tapi polisi belum berani
melakukan pengusutan. Alasan polisi, kan tidak ada yang melaporkan
tabloid itu. Tapi, ketika Bawaslu melaporkan, tidak diterima polisi. Dalih
polisi, Bawaslu bukan pihak yang berwenang melaporkannya."
"Yang membuat tabloid itu orang kuat, mungkin," lagi Romo menyela.
"Tidak juga. Darmawan Sepriyossa, yang membuat tabloid itu, sudah
memberikan pernyataan terbuka di media online tempatnya bekerja,
dikutip juga di Facebook. Kalau mau mengusut, ya, panggil saja, nama
dan alamatnya juga jelas. Alasan membuat tabloid pun dibeberkan."
"Apa alasannya?" Romo antusias sampai mendekatkan duduknya ke arah
saya. "Keberpihakan juga," jawab saya. "Darmawan merasa Jokowi perlu
diingatkan karena semua media memujinya. Lalu, ia meracik bahan dari
Internet, terutama Facebook dan Twitter yang memojokkan Jokowi, ia
masukkan ke Obor. Alasannya, toh bahan-bahan itu sudah dibaca ribuan
atau jutaan orang di media maya. Kalau Darmawan tidak memihak salah
satu capres, kenapa yang jelek-jelek tentang Jokowi dimasukkan ke Obor,
sementara yang jelek-jelek soal Prabowo tidak ada?"
Romo diam. Barangkali dia bingung soal begitu mudahnya membuat
tabloid yang tak membutuhkan frekuensi seperti membuat stasiun
televisi. Saya terus menjelaskan: "Pokoknya, kalau polisi punya niat baik
mengusut kasus ini, mudah sekali. Tapi ujung-ujungnya yang disalahkan
bisa penulis di Facebook, yang kebanyakan nama palsu. Pengusutan bisa
bertele-tele, lalu pemilihan presiden selesai, kasusnya pun mengambang
dan dilupakan."
Tiba-tiba Romo bertanya kasus lain: "Panglima TNI mau mengusut siapa
pembocor surat keputusan Dewan Kehormatan Perwira yang memeriksa
Prabowo. Itu serius apa tidak?" Saya langsung menjawab: "Surat yang
dibocorkan itu sudah dikonfirmasi, asli bukan palsu. Lha, kalau sudah asli,
apa perlu diusut siapa pembocornya? Didiamkan juga berhenti sendiri."
Romo minum teh. "Ruwet juga, ya?" keluhnya. Saya bilang: "Hal gampang
diruwet-ruwetkan, makanya orang jenuh dengan keriuhan yang
diakibatkan oleh pemihakan kebablasan ini."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 15 Juni 2014)
DUL
Pandita Mpu Jaya Prema
DUL bebas dari jerat hukum. Putra musisi Ahmad Dani dengan nama
panjang Abdul Qodir Jaelani ini masih di bawah umur. Tapi dia sudah biasa
mengemudikan mobil di jalan umum. Lalu di hari sial itu dia menabrak
orang dan korbannya tewas. Dalam persidangan jaksa menuntut hukuman
1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Artinya, Dul tak akan
dipenjara, kalau dia tak melakukan kesalahan yang sama. Toh hakim
memutuskan lebih ringan: bebas. Artinya, kalau pun Dul suatu kali
menabrak lagi, tak serta merta masuk penjara.
Karena Dul dan bapaknya selebritas yang kerap muncul di televisi, berita
bebasnya Dul banyak diikuti oleh orang-orang di desa saya. Para petani
kopi itu langsung bergembira dengan kabar ini. Mereka mengidolakan
Dul? Bukan itu alasannya. Orang-orang desa itu kini tak was-was lagi
melihat anaknya ngebut menggunakan sepeda motor. Ya, lebih
tenanglah. Kalau pun anak saya menabrak orang, toh tak akan dihukum,
kan di bawah umur, kata salah satu tetua.
Anak-anak di kampung saya bersekolah di SMP yang jaraknya empat
kilometer. Pernah ada imbauan dari polisi agar anak-anak SMP tak boleh
naik sepeda motor, karena sekolah berada di jalan umum. Hanya siswa
SMA yang boleh naik motor, meski tanpa SIM dan helm karena sekolahnya
tidak dilalui jalan umum. Tapi imbauan itu tak dipatuhi karena memang
tak ada angkutan pedesaan yang membawa anak-anak pelajar ini. Jadilah
siswa SMP yang baru belasan tahun naik motor. Dasar anak-anak, di jalan
mulus itu mereka suka ngebut. Kalau saya berpapasan dengan mereka
habis bubar sekolah, saya jadi rajin berdoa. Setiap di tikungan mobil saya
hampir ditabrak anak-anak ini.
Dul bebas dari hukuman. Saya sepakat, karena saya buta hukum.
Kesepakatan saya karena faktor kasihan, anak di bawah umur tak layak di
penjara. Tetapi saya selalu berpikir, mesti ada yang salah kalau ada anak
di bawah umur membawa motor atau mobil di jalanan. Siapa yang salah?
Saya kok merasa, orang tuanya yang bersalah.
Saya buta hukum tapi saya tahu aturan berlalu lintas. Orangtua
seharusnya mengawasi anak-anaknya jika mengemudikan mobil di jalan
umum. Kalau kecelakaan resikonya berat, apalagi kalau ada korban jiwa.
Eh, itu dulu. Kini ada yurisprudensi dari Dul, tak ada seorang pun yang
dihukum, baik si anak apalagi si bapak. Dul hanya membayar uang sidang
Rp 2.000 sungguh mati saya terheran-heran sampai tidur bagaimana
majelis hakim menghitung biaya sidang ini.
Apakah polisi berani dengan gencar merazia pengendara sepeda motor
(dan mobil) seperti dulu dengan mendenda pemakai yang tanpa SIM?
Atau melarang anak-anak di bawah umur mengendarai motor di jalur
yang jauh dari sekolahnya? Mungkin tidak karena polisi takut dicemoh:
Jangan berlagak Pak Polisi, Dul yang nabrak orang saja bebas, kan dia
juga tak punya SIM. Wow kalau begitu hakim yang mengadili Dul
mestinya memberi denda lebih dari sekedar Rp 2.000 sebagai pengganti
tilang (bukti pelanggaran) tak punya SIM.
Jaksa menuntut Dul telah melanggar pasal 310 ayat 4, ayat 3 dan ayat 1
UU Nomor 2 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Hakim
pun sepakat. Tapi hakim menerapkan azas restorative justice UU No.11
Euforia
Pandita Mpu Jaya Prema
Yang saya cintai, segenap anak bangsa. Pekan lalu di kolom Cari Angin ini
saya mendapat kiriman sepucuk surat yang baru pada alinea terakhir
saya ngeh bahwa surat itu ditujukan kepada saya. Perkenankan saya
membalasnya saat ini.
Inisial nama saya memang PS. Tentu saja bukan Prabowo Subianto, calon
presiden yang kini menunggu pengumuman dari Komisi Pemilihan Umum.
Tak ada hubungan saya dengan beliau sekecil apapun bahkan serambut
dibelah tujuh pun tak ada. Prabowo seorang jenderal dan kebetulan pula
kaya raya. Modal yang cukup untuk menjadi seorang calon presiden.
Saya pernah berpikir untuk mencoblos pada pemilu presiden, semata
menghormati orang yang mau repot jadi calon presiden. Tapi saya
diingatkan oleh istri, niat mencoblos itu siapa pun yang dicoblos harus
diurungkan. Sejak pemilu 1971 saya mencoblos dengan berdarah-darah
ini bukan kiasan kenapa pemilu 2014 ini saya harus golput? Saya
diingatkan pemilu di Indonesia negeri saya tercinta masih primitif
dengan syarat mencelupkan jari ke tinta. Tujuannya, agar pemilih tidak
curang, mencoblos berkali-kali.
Sekarang saya jadi makhluk ajaib di mana setiap benda yang mau
melekat atau masuk ke tubuh saya, harus dalam wujud suci sesuai
keyakinan agama saya. Ini merepotkan kalau saya mencoblos. Tentu saya
ditertawai jika datang ke TPS membawa sesajen untuk menyucikan tinta
itu. Lagi pula, dengan aturan bahwa saya harus mencelupkan jari ke tinta,
berarti kejujuran saya diragukan jangan-jangan saya berniat curang
nyoblos di tempat lain lagi.
Saya membatin: Siapa pun presidennya, pemilu nanti harus lebih
Pilihan
Pandita Mpu Jaya Prema
Selalu ada pilihan. Kata-kata ini terus diucapkan Romo Imam. Apapun
topik yang saya tanyakan, jawabannya selalu ada pilihan. Saya lalu
memancing: Kalau begitu, apakah saya masih punya pilihan, pekerjaan
banyak ditunggu dan melibatkan dua ratus juta rakyat Indonesia adalah
keputusan Mahkamah Konstitusi. MK akan menyidangkan uji materi yang
diajukan Yusril Ihza Mahendra pada pekan ini, 21 Januari. Kalau gugatan
Yusril diterima MK, maka pemilu legislatif dan pemilu presiden disatukan.
Ada yang menyebut akan terjadi kisruh politik, karena jadwal KPU akan
mundur semua. Mungkin itu berlebihan. Bukankah penyatuan pemilu itu
hanya berarti mengundurkan pileg dari 9 April ke Juli, bersamaan dengan
pilpres?
Sesederhana itu? Semestinya. KPU tinggal menjadwal ulang tahap-tahap
pemilu, termasuk membuat tahapan kapan pasangan capres dan
cawapres diajukan partai atau gabungan partai, sebagaimana
diamanatkan konstitusi. Nah, urusan terakhir inilah yang ditentang partai
besar, karena mereka sesungguhnya tak siap dengan capresnya. PDI
Perjuangan, misalnya, masih dilematis akan mengusung Jokowi atau
bukan. Kalau ya, akan jadi RI-1 atau RI-2? Pendampingnya itu, apakah dari
partai lain atau "trah Sukarno"? Daripada dilematis, lebih baik menentang
keras gugatan Yusril. Tapi sesungguhnya MK yang pegang palu, mau
diketok ke arah mana.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 19 Januari 2014)
Gila
Pandita Mpu Jaya Prema
Pemilihan umum makin dekat dan orang-orang pada sibuk. Ada yang
sibuk membuat baliho sembari mencari pohon di pinggir jalan yang belum
digelayuti peraga kampanye. Ada yang sibuk mengajukan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi dengan target pemilu legislatif dan pemilu presiden
disatukan. Ada yang sibuk nge-tweet, menjelek-jelekkan calon tertentu,
dan mempromosikan calon yang dijagokannya. Para menteri pun sibuk,
terutama yang dari partai politik atau yang ikut konvensi calon presiden.
Urusan elpiji, pengungsi Sinabung, tanah longsor, diabaikan.
Kepala Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, juga sibuk. Rumah sakit ini
sedang menyiapkan 300 tempat tidur dan 10 kamar paviliun untuk
mengantisipasi pasien gila setelah pemilu. Menurut Direktur Utama RSJ
Menur dr Adi Wirachjanto, pengalaman Pemilu 2004 dan 2009 cukup
memberi bukti, banyak orang gila setelah pencoblosan selesai.
layak dipilih.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu, 12 Januari 2014)
Mahkamah
Pandita Mpu Jaya Prema
Tangis
Pandita Mpu Jaya Prema
Gunung Kelud meletus. Abunya menyebar hingga Purwokerto dan
Sumedang, lebih dari 400 kilometer ke arah barat. Lima bandar udara
lumpuh--Malang, Surabaya, Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Luar biasa
letusan itu.
Apakah ini bencana? Orang mengatakan begitu. Ukurannya, lahan
pertanian bisa rusak, baik oleh abu, pasir, awan panas, dan mungkin juga
lahar. Rumah dan ternak ditinggal begitu saja karena penghuninya
mengungsi. Presiden mengadakan rapat mendadak, mengkoordinasikan
penanganan pasca-letusan. Orang-orang yang jauh dari Kelud bersimpati
dan mungkin sudah mengirim sumbangan. Bukankah ini bencana?
Penduduk di lereng Kelud, baik yang mengungsi maupun di desa yang
masih aman dihuni, barangkali tak menyebut bencana. Tinggal di lereng
gunung berapi punya risiko untuk mengungsi jika gunung itu "menunaikan
tugasnya" untuk meletus. Kalau takut diempas gelombang, jangan
berumah di pinggir pantai; kalau takut gunung meletus, jangan tinggal di
lereng bukit. Penduduk Kelud tentu sadar tentang itu. Kini mereka
mengungsi tanpa ada isak tangis karena mereka yakin alam sedang
mengharmoniskan diri dan sebentar lagi letusan itu akan berhenti. Abu
Kelud berubah menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah pertanian
mereka. Warga punya pengalaman, Kelud bukan sekali ini meletus.
Kitalah yang seharusnya menangis. Terutama para pengayom rakyat,
apakah itu wali kota, bupati, gubernur, menteri, ataupun presiden. Jika
pejabat ini kurang mampu memenuhi kewajiban untuk membantu hak-hak
dasar para pengungsi Kelud, maka layak bersedih dan menangis. Warga
Kelud sudah mematuhi tugasnya untuk mengungsi. Maka kini para
pengayom rakyat yang melanjutkan tugas membantu warga di
pengungsian.
Pengungsi tak boleh menderita, lapar tanpa ada yang memberikan
makanan, sakit tanpa ada yang mengobati. Itu harapan yang ideal. Jika
masih ada rakyat yang menderita seperti itu--apalagi karena kekuasaan
alam dan bukan karena malas bekerja, misalnya--maka yang mengayomi
rakyat wajib menangis. Itulah tanda kepekaan seorang pemimpin.
Pemimpin tanpa memperhatikan rakyat bukanlah pemimpin sejati.
Teladan sudah diberikan oleh Ibu Rismaharini, Wali Kota Surabaya. Ketika
Saksi
Pandita Mpu Jaya Prema
Polemik soal saksi partai dengan dana negara merangsang saya untuk
mewawancarai saksi partai di kampung. Astaga, orang itu sok nyentrik,
hanya mau menjawab pertanyaan saya secara tertulis. "Nanti saya buat
pengakuan bergaya puisi esai," katanya. Saya tertawa. Sehari kemudian,
saya terima pengakuan berikut ini.
Namaku Pardanem, bukan nama asli. Pekerjaan tukang sortir kopi luak di
lereng Batukaru yang dingin. Kemiskinan menyebabkan aku tak bisa
meneruskan sekolah. Syukur aku lancar berbahasa Melayu dan badan
gempal, aku sudah dua kali menjadi saksi partai politik saat pemilu. Nanti
pun dipakai lagi. Pardanem namaku, nama jelek tapi ada artinya. Pemilu
harus menambah rezeki. Aku tak peduli apakah saksi partai dibayar lagi
oleh pemerintah. Kusebut lagi, karena yang membayari aku sudah ada.
Pimpinan partai di kecamatan mengupah aku Rp 150 ribu. Ini pemilu
2009, nanti bisa lebih.
Rezeki sampingan tentu ada. Seperti pemilu yang lalu, aku dekati caleg
nomor urut satu. Kukatakan, pemilih tua di kampung repot mencoblos
nomor urut. Mereka tak mau ribet, hanya coblos gambar partai. "Mau beri
uang saksi berapa supaya coblosan itu sah dan masuk ke nomor satu?"
kataku. Caleg itu memberiku uang Rp 50 ribu sambil membentak:
"Peraturan memang begitu, kamu kerja yang benar." Dan aku, Pardanem,
bukan orang yang mudah dibentak. Kubentak balik dia: "Kerjaku seharian.
Kalau aku ngantuk, saksi lain bisa bermain." Lalu uang yang kuterima
ditambah.
Aku tak peduli hasil pemilu, tak ada pengaruhnya buat kehidupan di
kampungku. Jangan dikira perhitungan suara dilakukan serius seperti di
kota. Kami semua bercanda, kami dari kampung yang sama. Masyarakat
yang menyaksikan juga tak ada. Mereka datang ke tempat pemungutan
suara saja sudah syukur, menggemukkan kambing lebih penting dari
melihat hasil pemilu. Maka, diam-diam kudekati lagi caleg nomor urut
dua, atau tiga, atau seterusnya, tergantung yang bisa dibohongi. Ah, para
caleg itu kan pembohong juga.
"Memangnya, kalau yang dicoblos gambar partai saja, kamu bisa alihkan
ke nomorku?" Tanya caleg itu. Aku tertawa, ini akting, aku kan pemain
drama gong. "Itu sepele. Yang penting ada sangu," kataku. Caleg itu
memberiku uang dan janji kalau terpilih akan memberi hadiah. Uang
kuterima, janji tak pernah kuingat: mana ada caleg memenuhi janjinya?
Namaku Pardanem, artinya berakal banyak. Yang tadi itu kan caleg untuk
DPR, belum lagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten. Yang ini todonganku
lebih besar, kan calonnya ada banyak. Orang di kampungku, kalau
mencoblos caleg nomor empat dan seterusnya, mengaku malas
menghitung baris-baris. Aku berjanji akan membantu caleg di nomor urut
susah, dari lima ke atas. Janji gombalku dalam praktek berhasil meraup
uang.
Yang masalah, calon Dewan Perwakilan Daerah. Yang dicoblos gambar
orangnya. Pemilu ini di Bali ada 41 calon, bingung orang desa memilih.
Mereka itu hantu, balihonya ada di desa, orangnya tak pernah muncul. Di
antaranya, sepuluh lebih orang Bali tinggal di Jakarta. Dia bisa ditodong
juga, asal aku berhasil mencari kontaknya.
Apakah kutak-katik surat suara ini akan ketahuan, kalau kami bermain?
Sekali lagi kuberitahu, petugas di tempat pemungutan suara itu orangorang kampung yang baik. Mereka tahu pemilu harus dimanfaatkan untuk
mencari uang. Toh para caleg semuanya mencari rezeki, gombal besar
kalau mereka berjuang untuk rakyat. Kalau pemilu mau serius, kami pun
bisa. Tapi, wakil rakyat yang terpilih, serius juga dong memikirkan nasib
kami. Aku, Pardanem, jangan dikira orang tolol.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 9 Februari 2014)
kuda, ada yang jadi penunggang? Apakah Joko Widodo yang begitu
populer di mata banyak orang untuk menjadi presiden, akan ditunggangi
oleh yang lain? Siapa tahu, kekuatan Jokowi ini hanya untuk mengantar
sang penunggang, misalnya, ketua umum partai di mana Jokowi berada.
Artinya, Jokowi adalah kuda tunggangan untuk tokoh yang punya kuasa
hitam-putih.
Oya, saya hampir lupa. Ini tahun kuda kayu, bukan kuda besi, kuda
terbang, atau kuda lumping. Kuda kayu adalah mainan, bisa dibeli di
kawasan Subang. Kuda kayu biasa dinaiki anak-anak kecil. Bisa pula jadi
pajangan di ruang tamu. Yang jelas bukan kuda yang sebenarnya, apalagi
sampai seharga Rp 3 milyar seperti milik Ketua Dewan Pembina Partai
Gerindra. Karena cuma mainan, ya, bisa disebutkan kuda yang
menyalahi aturan atau gampangnya sebut saja kuda inkonstitusional.
Kalau kudanya sudah menyalahi aturan, hanya kuda mainan,
inkonstitusional pula, apakah penunggangnya nanti, siapa pun dia,
bukannya jadi penunggang inkonstitusional? Ini kalau kuda kayu dikaitkaitkan dengan pemilu di tahun ini, yang memang disebutkan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai pemilu yang aturan mainnya tidak sesuai
dengan UUD 1945.
Kok mau klop, tahun kuda kayu dikaitkan dengan tahun politik. Apakah
pemilunya yang salah di tahun ini, atau kuda kayunya yang keliru
dimasukkan dalam penanggalan Cina. Tapi, rasanya yang terakhir tak
salah, siklusnya memang begitu, alam semesta yang mengatur. Mungkin
pemilu 2014 ini yang lagi sial, kena imbas tahun kuda kayu. Atau para
tokoh bangsa yang akan terpilih nanti bernasib sial. Mari mencari Ebiet G
Ade, hanya penyanyi itu yang bisa bertanya pada rumput yang
bergoyang.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 Februari 2014)
ada keputusan yang membingungkan dari sembilan hakim MK, saya tak
tahu, hanya mengingatkan saja, kata Romo setengah berbisik.
Apa sembilan hakim itu berani melawan arus? tanya saya. Romo
langsung jawab: Arus dari mana? Saya menambahkan: Romo seperti
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Romo tertawa. Saya kira
kali ini Romo tak mungkin bingung.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 10 Agustus 2014)
Islam. Bahkan masih dianggap "kurang biasa" kalau bukan dari Jawa.
Apalagi "jauh dari biasa" jika keturunan Tionghoa. Orang bisa berpidato
bahwa tak ada lagi dikotomi Jawa dan luar Jawa, militer dan sipil, muslim
dan nonmuslim, apalagi dikotomi usang: pribumi dan non-pribumi. Tapi itu
masih semu.
Ahok sudah meninggalkan jauh-jauh dikotomi itu. Ia sudah jadi "manusia
Indonesia" yang sebenarnya. Kamis pekan lalu, pada perayaan Paskah
yang diadakan Pemerintah Provinsi DKI, Ahok berkata: "Kita ini masih
beragama tapi tidak bertuhan." Alasannya? Kelakuan kebanyakan
manusia Indonesia, apakah dia pejabat atau bukan, tidak sesuai dengan
tuntunan agama. Kalau boleh saya perpanjang (dan menafsirkan), banyak
orang sekarang tak lagi mengindahkan ajaran yang diwahyukan Tuhan,
tetapi tetap bangga menyebut beragama. Korupsi merajalela, suap, dan
kecurangan terjadi di mana-mana, tetapi label agama dengan bangga
masih dipakai. "Ahok pemimpin yang Islami," tulis Akhmad Sahal,
kandidat doktor di University of Pennsylvania Amerika, di Twitter.
Ahok memang ceplas-ceplos-tapi tidak haha hehe. Di hadapan umat
Kristen, dia berkata ihwal sikap yang harus sejalan dengan agama. "Tapi
kalau kelakuannya enggak Kristen, copot saja salibnya. Bikin saya malu.
Atau KTP-nya dikosongkan saja," katanya. Maksud Ahok tak usah
mencantumkan agama di KTP kalau perilaku tak sesuai dengan ajaran
agama. Saya dua ribu persen setuju. Agama selama ini lebih sering
dijadikan aksesoris belaka. Bukan dihayati.
Seperti jam tangan. Benda ini lebih hanya menjadi aksesoris, bukan
sebagai pelengkap kebutuhan sehari-hari. Jam tangan yang mahal itu
hanya untuk menambah percaya diri pemakainya-jadi, betapa mereka
merasa hina tanpa jam tangan yang mahal. Dan Ahok pun jujur mengaku,
jam tangannya berharga Rp 20 juta bermerek Tag Heuer. Ada yang lebih
mahal, merek Richard Mille, dengan harga Rp 1,4 miliar. Astaga, tapi asli.
Adapun Richard Mille yang palsu harganya cuma Rp 5 jutaan dan dipakai
Jenderal Muldoko, Panglima TNI. Karena palsu, jam itu pun dibanting di
depan wartawan. Nah, itulah aksesoris, bisa dibanting, ditanggalkan,
dipakai lagi. Seperti orang beragama tapi bukan bertuhan.
Berapa harga jam tangan Anda? Sepuluh tahun lalu saya membeli arloji
mahal, harganya Rp 150 ribu. Tapi sudah lima tahun saya tak lagi
memakai jam tangan. Saya merasa tak perlu aksesoris yang bernama
jam. Saya punya handphone, punya "tablet" yang memang berguna untuk
sehari-hari. Semuanya ada penunjuk waktu. Di rumah, setiap ruangan ada
jam dinding. Di mobil juga ada. Untuk apa lagi tangan harus digelayuti
jam, padahal handphone yang ada jamnya tak pernah lepas di era
keranjingan ber-Twitter ini.
Di dunia materialistis, orang mengejar aksesoris. Seorang istri pejabat
dengan bangga memakai tas Hermes, ratusan juta harganya. Saking
mahalnya, dia tak berani menitipkan tas itu kepada orang lain, takut
hilang. Tapi dia rela menitipkan anaknya kepada pembantu. Ini satu ciri
lagi manusia yang beragama tapi tidak bertuhan. Tas Hermes lebih
berharga daripada anak sendiri. Ahok, mana Ahok?
(Diambil dari Cari Angin Koran Tempo Minggu 27 April 2014)
Ada yang tahu apa arti mimpi saya itu? Baik, saya ceritakan. Siang itu,
dengan surat panggilan di tangan, saya mendatangi sebuah TPS. Lama
sekali menunggu, tak juga dipanggil. Orang yang datang belakangan
malah sudah selesai mencoblos, saya tetap duduk di kursi. Tak sabar,
saya datangi petugas, kenapa saya tak dipanggil. "Lo, nama Bapak sudah
saya panggil sejak tadi, tidak dengar, ya?" jawab si petugas.
Wow, saya baru sadar, nama yang dipanggil adalah nama saya yang
lama. Tentu sesuai dengan surat panggilan. Paguyuban pendeta Hindu
pernah mempersoalkan kemungkinan pergantian nama untuk pendeta ke
Catatan Sipil. Supaya nama di KTP dan paspor menjadi "nama pendeta".
Sebagai bukti ada perubahan nama adalah ada ritual yang bernama "seda
angga", ritual kematian yang dikukuhkan dengan surat resmi Parisada
Hindu, sehingga ada "kelahiran kedua" dengan nama baru. Tapi Catatan
Sipil, konon setelah berkonsultasi ke pusat, tak mengizinkan dengan
alasan "itu kepercayaan lokal". Bahkan ada bisik-bisik menyebut: "seperti
tahayul". Ya, sudahlah.
"Apakah nanti setelah mencoblos, jari tangan saya juga dicelupkan ke
tinta?" tanya saya ke petugas, setelah urusan panggil-memanggil selesai
dengan damai. "Tentu saja, itu peraturan," jawab petugas. "Kalau Bapak
tidak mencelupkan jari tangan ke tinta, nanti Bapak dikhawatirkan
mencoblos lagi di tempat lain."
Saya katakan tak mungkin, bukankah surat panggilan hanya satu?
Petugas semangat membantah, "Bisa saja ada orang yang tak jujur, surat
panggilan dibuat dobel untuk Bapak. Atau Bapak sendiri yang tidak jujur,
ke TPS lain dengan membawa KTP dan menyebut tak ada nama dalam
daftar, lalu ngotot mencoblos. Tinta di jari itu untuk mengatasi
ketidakjujuran."
"Kalian menghina," jawab saya tegas. "Pemilu selalu didengungkan
dengan asas jurdil, jujur dan adil. Tapi kalian dan seluruh penyelenggara
pemilu mengajarkan orang untuk menghina kejujuran itu. Ini pemilu yang
primitif, sistem pemilu di negara yang tak berkembang, negeri yang jauh
dari kemajuan teknologi. Di negeri lain, orang sudah memilih dengan
sistem elektronik, dan penyelenggaraan pemilu ditangani lembaga
statistik sejenis Biro Pusat Statistik. Ini pemilu boros dan rumit, ada KPU,
ada Bawaslu, ada DKPP. TPS dijaga banyak orang masih perlu saksi-saksi,
ada lembaga pemantau. Semua ini karena kejujuran itu tak ada, atau
kejujuran itu sudah sejak awal dipastikan tidak ada untuk semua orang,
termasuk kaum pendeta. Itu kan menghina?"
Eh, saya terbangun. Saya sudah berusaha membalik bantal, konon
dengan cara itu saya bisa tidur pulas lagi dan melanjutkan mimpi. Tapi tak
bisa. Saya penasaran, apakah saya jadi mencoblos dalam mimpi itu atau
tidak?
Dalam terjaga, saya teringat ucapan almarhum Guru Nabe saya, "Pendeta
tak perlu mencoblos." Alasannya? Guru dengan bijak menjawab, "Ini
jawaban yang gampang supaya tak berdebat, pendeta tak lagi berurusan
dengan duniawi. Yang benar adalah soal nama dan kejujuran yang
disangsikan dengan mencelupkan jari ke tinta. Apalagi tinta itu bukan
barang suci bagi pendeta karena sudah dipakai banyak orang."
Untunglah pendeta Hindu tak sampai dua ribu di negeri ini, apalah artinya
ke-golput-an mereka. Dan kalaupun mimpi saya bersambung, saya tahu
apa ending-nya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 6 April 2014)
Tapi, apa arti murah bagi masyarakat pedesaan takkala tempe dan tahu
menghilang, pete sulit didapat, harga bawang melambung, sementara
tebu yang mereka tanam dibeli dengan harga murah oleh pabrik? Tak ada
artinya kata itu. Murah dan mahalnya sebuah barang bukan karena nilai
rupiahnya, tetapi kemampuan untuk memiliki barang itu. Pasti
kebanyakan orang desa yang profesinya terhormat seperti petani, nelayan
dan buruh, belum juga paham apalagi menikmati kemurahan mobil yang
akan diluncurkan pemerintah. Andai kata pun satu dua mampu
membelinya mungkin sembari menggadaikan ladangnya apakah mobil
murah itu didesain untuk orang desa? Apakah jalanan di pedesaan yang
kebanyakan amburadul cocok dilindas mobil ramah lingkungan itu? Bahan
bakarnya saja nonsubsidi ini teori yang pasti tak sesuai kenyataan
betapa sulitnya mencari di pedesaan.
Alhasil, mobil murah hanya menimbulkan kelas-kelas baru yang berada
dalam posisi tanggung. Pemiliknya dikecam oleh pengguna mobil
nonmurah karena dianggap ikut memacetkan jalan di kota besar,
sementara di desa menjadi penambah gengsi baru meski mobil tak bisa
optimal dipakai.
Gubernur Jakarta Joko Widodo adalah satu-satunya pejabat yang tak
setuju mobil murah ini. Ia sudah menyurati Wakil Presiden Budiono untuk
mengingatkan bahwa ada kebijakan yang dilanggar oleh peraturan
menteri tentang mobil murah. Mungkin Budiono juga tak setuju, tapi
karena beliau pejabat yang biasa-biasa saja, pasti diam. Mana berani
dengan presiden. Tinggallah Jokowi yang posisinya terjepit, di satu sisi
mengemban tugas mencairkan kemacetan Jakarta, di lain pihak akan
menerima kiriman banjir mobil murah. Jokowi yang polos dan apa adanya
ini, barangkali tak sempat berpikir bahwa inilah salah satu cara untuk
menjegal pencapresannya. Lawannya bisa berseru: Lihat tuh, Jakarta
tambah macet, apa prestasimu Jokowi? Urus dulu Jakarta. Ternyata mobil
murah itu soal politik.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 22 September 2013)
riang sambil bernyanyi-ria. Apa sulitnya polisi melacak Bunda Putri lalu
memeriksanya. Atau, Bunda Putri dipanggil jaksa untuk tampil di
pengadilan sebagai saksi, agar kasusnya jelas. Apakah Luthfi yang
berbohong 1.000 atau 2.000 persen, atau Bunda Putri yang mengaku-aku
kenal sama SBY di depan Luthfi. Bisa terjadi begini: Bunda Putri memang
kenal baik dengan SBY, tapi SBY tak kenal Bunda Putri. Itu soal biasa. Tapi
bagaimana bisa saling mempengaruhi kalau tidak kenal-mengenal di
antara kedua selebritas itu, Bunda dan SBY.
Kita suka menggantung masalah. Yang kecil dibesar-besarkan, setelah
besar meledak sulit dipadamkan. Ini memunculkan berbagai tuduhan tak
sedap, dari tuduhan yang keras tapi sopan sampai tudingan enteng tapi
misuh-misuh. Apalagi kasusnya langsung menyodok kepala negara yang
begitu sibuk mengurusi negeri ini, sampai jarang ada di Ibu Kota.
Ricuh Bunda Putri ini mestinya cepat selesai, baik secara hukum maupun
secara politik. Masyarakat berhak tahu siapa sejatinya Bunda Putri dan
apa perannya. Jangan-jangan dia mengaku kenal baik dengan SBY hanya
untuk membohongi Luthfi dan Menteri Pertanian--sebagai korbannya.
Atau, memang ada korban di tempat lain yang ditutup-tutupi.
Mengurusi satu bunda saja repot, padahal banyak bunda bermasalah.
Misalnya Bunda Ratu Atut, yang kebetulan menjabat Gubernur Banten.
Sang Ratu kebetulan punya adik yang sudah ditahan KPK. Ratu pun
kebetulan pula telanjur mendirikan dinasti di Banten. Urusan ini pasti lebih
rumit ketimbang Bunda Putri, karena kebetulan rakyat Banten pun jauh
dari sejahtera. Kebetulan-kebetulan ini mengagetkan orang. (La, kok baru
sekarang kaget?)
Akankah kita tak bisa menyelesaikan kasus-kasus yang dilakukan para
bunda ini dengan cepat? Kalau kita kalah dengan bunda-bunda itu, Ibu
Pertiwi (ini bukan nama orang) bisa berduka. Dan cucu kita akan
mencemooh: kalian lelaki, lelaki itu pemberani.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 Oktober 2013)
kasihan melihat para luak di dalam sel, tapi kok lebih segar daripada luak
liar di kebun. Saya pikir, luak liar kesulitan cari makan di luar musim kopi
(Mei sampai Agustus). Andaikan luak bisa bicara....
Kembali ke monyet. Saya setuju empat ribu persen (ulangi: 4.000 persen)
topeng monyet diberangus dari Jakarta. Tapi, apakah harus sampai ke
pelosok desa? Di Srono, Banyuwangi, ada pentas rutin ledhek munyuk
(nama asli topeng monyet) dan jadi tontonan menarik anak-anak desa.
Kalau saya ke Pura Blambangan, cucu-cucu saya minta ikut, bukan
bersembahyang tapi menonton ledhek munyuk itu. Indonesia luas,
janganlah kebijakan pusat harus diikuti daerah. Jakarta daerah khusus.
Jokowi patut diacungi jempol, di saat orang serius memikirkan bagaimana
menjadi capres, ia justru memikirkan monyet.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 3 November 2013)
jatuh, saya selalu berkata: saya prihatin dan usut tuntas sesuai hukum."
Saya menyela lagi: "Itu kan sikap yang bagus, Romo, pemimpin yang
segera tanggap." Romo tertawa: "Tetapi kerusuhan bukannya berkurang,
malah bertambah. Rupanya, perintah saya untuk mengusut sesuai hukum
tidak dijalankan di lapangan. Imbauan saya untuk berdamai tidak
didengar. Pernyataan keprihatinan saya malah dijadikan bahan guyonan.
Toleransi semakin tipis di masyarakat, tapi Bupati salah mencerna.
Dikiranya perintah dan imbauan yang saya keluarkan sudah dilaksanakan
dengan sebaiknya."
"Kalau begitu bupatinya kurang informasi. Pantas saja ada yang
melaporkan keadaan sebenarnya lewat surat," kata saya. Romo
tersenyum: "Tapi, sebelum Bupati memberi penghargaan, saya sudah
menulis surat penolakan. Saya malu dong kalau menerima penghargaan
untuk pemimpin yang berjasa dalam hal toleransi, tapi dalam kenyataan
toleransi semakin mundur. Di padepokan ini, banyak kaca untuk becermin.
Saya memang tak pantas menerimanya. Pemimpin yang pantas
menerima penghargaan itu hanya pemimpin yang betul-betul bergerak ke
lapangan dan bertindak untuk menghentikan kerusuhan atau perselisihan.
Bukan pemimpin yang hanya memberi perintah dan mengimbau atau
memberi pernyataan prihatin, sementara aksi lanjutannya tidak ada. Itu
pemimpin yang hanya berwacana."
Romo luar biasa, saya membatin. Padahal tokoh-tokoh formal dan
nonformal di negeri ini sangat senang menerima penghargaan, entah itu
di bidang akademis, status sosial mendadak berdarah biru, ataupun
penghargaan karena seolah-olah suatu prestasi. Penghargaan itu pun
dipamerkan di televisi, misalnya, sang tokoh muncul sebagai bintang
iklan. Ya, kalau tak ada dana membuat iklan layanan masyarakat, iklan
jamu pun oke juga.
"Memangnya ada pemimpin yang gemar penghargaan?" tanya Romo tibatiba. Saya jadi kaget dan minta supaya pertanyaan itu diperjelas. Romo
memperjelas: "Maksud saya, apakah ada orang sejenis saya atau yang
jabatannya lebih tinggi, misalnya, bupati atau gubernur atau presiden
yang mendapat penghargaan toleransi padahal masyarakatnya tetap
rusuh?"
Saya merenung sesaat, lalu menjawab: "Romo, saya sulit menjawab, nanti
saya dituduh bermata dangkal."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 26 Mei 2013)
Geng Motor
Pandita Mpu Jaya Prema
Geng motor itu, sekedar kenakalan remaja ataukah sudah merupakan
kelompok kriminal yang harus segera diatasi? Dulu anak-anak muda yang
suka balapan liar ini hanyalah menyalurkan rasa frustasinya. Frustasi
karena tak mendapatkan kasih sayang di rumah karena sudah tipisnya
komunikasi antara anak dan orang tua. Frustasi dengan keadaan saat ini,
di sekeliling mereka sudah terjadi berbagai ketidak-normalan. Juga
masalah kurangnya sarana untuk menyalurkan kreatifitas yang positif,
misalnya, lapangan atau alun-alun kota yang berubah menjadi mal.
Lapangan basket dan volly lebih sulit dicari dibandingkan supermarket.
Sekarang geng motor sudah naik kelas. Bukan lagi masalah kenakalan
tetapi sudah menjadi pelaku kriminal. Di Pekanbaru anggota geng motor
melakukan perampokan plus perkosaan, melempar kantor polisi, dan
berbagai kejahatan lain. Di Makasar geng motor melakukan penganiayaan
kepada jurnalis. Di Jakarta geng motor menabrak orang di jalanan, dan
mereka cuek begitu saja. Hampir di seluruh kota, baik ibukota provinsi
maupun ibukota kabupaten, geng motor itu ada dengan berbagai nama
yang aneh-aneh. Secara berkelompok mereka bisa saja menjarah
minimarket bahkan memalak pedagang kecil di jalanan. Kalau saja
mereka sempat menghimpun diri secara nasional, apalagi membentuk
Partai Geng Motor, jangan-jangan bisa menang dalam pemilihan umum.
Polisi mengaku kewalahan karena personil yang terbatas. Itu saya ketahui
ketika malam-malam ikut nongkrong di arena balapan liar ini, di jalanan
mulus yang lurus panjang di komplek pemerintahan Provinsi Bali di
Denpasar. Dengan personil yang terbatas polisi hanya bisa mengawasi
beberapa jam saja. Begitu polisi kabur, aksi kebut-kebutan dimulai.
Pesertanya setiap malam bertambah.
Adakah pengaruh dari mudahnya memiliki sepeda motor? Barangkali
begitu. Membeli motor dengan cicilan hanya satu juta rupiah ditambah
kartu identitas, motor bekas tetapi lumayan bisa lari kencang, sudah bisa
diambil dari dealer. Lalu, kalau cicilan tak dibayar sampai dua bulan,
motor diambil kembali. Ini artinya para geng motor itu hanya menyewa
motor untuk ugal-ugalan.
Prilaku ugal-ugalan itu terasa juga di jalanan umum meski tak begitu
brutal jika anggota kelompoknya tidak banyak. Namun tetap saja
memprihatinkan. Mestinya ada upaya lebih serius untuk menangani
kenakalan yang menjurus pada aksi kriminalitas ini. Pemberian surat izin
mengemudi yang terlalu mudah bahkan sudah mengabaikan faktor umur
banyak anggota geng motor yang masih di sekolah menengah pertama
yang mestinya belum cukup umur dapat SIM. Razia polisi di jalanan yang
cukup berakhir dengan aksi damai. Pemerintah yang begitu
memanjakan pemilik motor dengan pajak yang ringan, bahkan hampir
saja melakukan langkah blunder dengan memberi harga spesial untuk
kantor pos di kota kecamatan, ongkos jalannya Rp 20 ribu atau dua kali
lipat kalau naik ojek. Belum lagi makan dan minum. Paling yang bisa
dibawa pulang Rp 120 ribu. Ini untuk sebulan. Sehari jadi Rp 4.000. "Untuk
beli minyak saja kurang, padahal menanggung malu disindir tetangga,
katanya sudah jadi pegawai yang digaji bulanan," kata tetangga saya,
terkekeh.
Tiba-tiba dia punya usul bagus: "Mestinya pemerintah memberi bantuan
dengan voucher pulsa, jadi tak repot mengambilnya. Terima uang tanpa
kerja, kesannya beda." Lo, memangnya orang miskin punya handphone?
"Semua orang di desa punya HP, orang miskin apalagi kaya."
Saya jadi ingat sebuah koran di Bali, Jumat lalu, memberitakan: 1.008
calon penerima BLSM di Kota Denpasar belum terverifikasi. Apakah
mereka malu disebut "orang miskin" atau pendataan yang salah, tak
disebutkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 23 Juni 2013)
dijual sekian. Ada yang menahan barang dulu, sibuk mengkalkulasi harga
pokok produksi jika harga minyak naik. Eh, ternyata hitung-hitungan itu
pun berlarut-larut. Harga minyak tetap baru wacana. Banyak orang tak
habis pikir, kalau memang pemerintah masih mengkaji ini-itu, ya, kaji
saja, jangan dilempar ke masyarakat. Ketidakpastian membuat bingung
para pedagang dan produsen kecil.
Dengan situasi yang serba wacana ini, siapa yang diuntungkan? Yang jelas
pengusaha printing digital--sebuah teknik baru membuat spanduk dengan
murah, hanya Rp 20 ribu per meter persegi dan bisa kurang kalau
membuat banyak. Lihatlah, spanduk Partai Keadilan Sejahtera yang
menolak kenaikan harga minyak bertebaran sampai di kota kecamatan.
Beberapa hari belakangan ini, muncul "spanduk pesaing" yang setuju
kenaikan harga minyak. Perang spanduk membuat untung pengusaha
printing.
Yang juga untung adalah rumah produksi yang membuat iklan layanan
masyarakat yang intinya setuju subsidi minyak dikurangi untuk dialihkan
ke rakyat miskin. Kementerian Perumahan Rakyat membuat iklan yang
menyasar keluarga miskin yang rumahnya tak layak. Kementerian
Pendidikan menyasar keluarga miskin yang anaknya nyaris berhenti
sekolah. Semua kementerian berlomba membuat iklan, bersuara bahwa
subsidi minyak harus dialihkan ke orang miskin. Di atas segala-galanya,
televisi kecipratan rezeki mendapat biaya penayangan iklan. Berapa miliar
rupiah habis untuk kampanye sia-sia ini?
Masalah juga muncul dari ketidakpastian ini. Ada pendapat nilai rupiah
yang jatuh terhadap dolar itu akibat tak lekasnya pemerintah
memutuskan harga minyak. Jika ini benar, ketidaktegasan pemerintah
berdampak "sistemik" terhadap ekonomi nasional.
Kenapa pemerintah galau memutuskan harga minyak? Padahal DPR sudah
sejak tahun lalu memberi kebebasan--lewat undang-undang--kepada
eksekutif untuk menentukan harga minyak. Justru masalah ini
dikembalikan lagi ke DPR bersamaan dengan pembahasan APBN
Perubahan. Tentu menjadi kesempatan emas bagi partai politik untuk
menggoyang kegalauan pemerintah, sekaligus jadi arena kampanye awal
menjelang Pemilu 2014. Rakyat pun mulai diprovokasi. Yang tadinya
tenang menghadapi harga baru, bisa jadi berbalik. Sungguh harga yang
mahal untuk sebuah penantian yang lama ditunggu ini.
(Diambil dari Koran Tempo 16 Juni 2013)
depan? Ini yang perlu ditelaah, kenapa dua muka itu bisa muncul.
PKS sudah sering menusuk barisan koalisi, dari depan maupun dari
belakang. Pimpinan mereka belajar dari pengalaman, penusukan itu tak
mendapat ganjaran karena mereka tahu pimpinan koalisi sayang kepada
mereka, juga takut karena membawa agama yang bersih dan suci, selain
memang pimpinan koalisi tidak berani tegas. Ini membuat PKS semakin
berani bermuka dua, apalagi menjelang Pemilu 2014, dan apalagi dalam
keadaan tersudut karena kasus impor daging sapi.
Koalisi-lah yang seharusnya dievaluasi, terutama pasca-Pemilu 2014.
Apakah harus berbentuk seperti sekarang, jatah-jatahan menteri--yang
artinya jatah-jatahan menggerogoti uang negara untuk partai. Siapa tahu
ada sistem, koalisi hanya di parlemen, sementara di kabinet isinya
profesional. Bukankah mengurusi satu muka saja sulit, apalagi dua muka.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 9 Juni 2013)
Siklus perbaikan ini akan jauh lebih bagus karena pada hari Nyepi tak ada
arus mudik, sehingga pada Lebaran yang dimeriahkan mudik, jalan sudah
mulus. Tentu tidak ada yang waswas seperti sekarang. Dan tentu tidak
ada perbaikan yang sembrono, asal tambal-sulam. Yang paling penting,
Menteri PU tak salah terus menepati janji. Suatu kali bilang perbaikan
selesai sebelum Ramadan, lalu diralat menjadi pertengahan Ramadan.
Yang mengagetkan, disebut-sebut jalan Pantura-ingat, ini akronim dari
Pantai Utara--yang membentang sepanjang 1.300 km dari Anyer ke
Banyuwangi itu memang dibuat dengan perencanaan tak matang, pola
perbaikannya pun tidak matang pula. Dengan ketidakmatangan itu, jalan
yang sudah kelihatan mulus hanya bertahan kurang dari enam bulan.
Artinya, jalan yang diperbaiki setiap Ramadan itu sesungguhnya sudah
rusak jauh sebelum Ramadan yang akan datang. Hanya karena tak ada
kepentingan memanjakan pemudik, jalan itu dibiarkan rusak.
Di mana ketidakmatangan itu? Menteri PU Djoko Kirmanto menyebutkan,
jalan ini seharusnya dibuat dengan konstruksi beton, sehingga mampu
bertahan 10 tahun. Dengan konstruksi sekarang, beban terberat untuk
jalan itu hanya mobil di bawah 10 ton. Nah, yang melewati sekarang mobil
yang beratnya dua kali lipat. "Wajar jalan itu cepat rusak," kata Menteri
PU.
Kalau kita tanya kenapa tidak dirancang saja jalan berkonstruksi beton
sehingga jika ada perbaikan maka cukup menunggu 10 Ramadan,
jawabannya pasti soal anggaran, dari mana duit, lebih penting mana
membuat rel kereta api ganda atau memperbaiki pelabuhan, sehingga
barang tak harus diangkut truk gede. Wacananya bisa sepuluh tahun
lebih. Tapi kalau bertanya ke Menteri PU begini: "Jalan itu hanya mampu
menampung truk seberat 10 ton, kenapa tak dilarang saja truk yang
muatannya lebih dari 10 ton, kenapa tak memfungsikan kembali jembatan
timbang seperti dulu?" Saya kira Menteri akan tertawa sambil menjawab:
"Saya kan hanya membuat jalan. Urusan truk, tanya Menteri
Perhubungan." Menteri kita memang pintar-pintar.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 21 Juli 2013)
iklan jamu pun malah menuai kritik karena tak pas-maklum aktor
dadakan.
Ada
ketidakadilan,
memang.
Undang-Undang
Penyiaran
tidak
mengantisipasi penggunaan (dan penyalahgunaan) siaran televisi untuk
ambisi politik pemiliknya. Orang tahu, televisi menggunakan frekuensi
publik yang semestinya dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tapi tak
ada langkah yang mengatur frekuensi itu. Nah, dalam ketimpangan ini,
ayo para tokoh yang ngebet ingin jadi presiden, segeralah deklarasi-soal
berapa jumlah suara yang diraih pada pemilu legislatif nanti tak usah
dipikirkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 7 Juli 2013)
dia akan maju dan Jokowi dijadikan cawapres. Kalau kurang-kurang sedikit
dan PDIP harus berkoalisi, dia lihat lawannya. Kalau cuma yang itu-itu
saja, Mega akan berani tampil dan menggandeng cawapres dari partai
'penggenap suara'. Jokowi jadi tim sukses andalan. Kalau suara PDIP
kurang banyak, ya, apa mau dikata. Jokowi jadi cawapres mendampingi
capres dari Gerindra sesuai dengan kesepakatan Batutulis. Ada
pendapat?"
Saya tahu Romo menantang. "Saya tak punya pendapat, kecuali kasihan
pada Jokowi." Romo menyahut: "Kalau begitu, tulis Jokowi saja, tokoh ini
unik. Semakin hari semakin kelihatan ada ambisi di saat pernyataan tanpa
ambisi. Ia pura-pura tak mikir, entah jika itu strategi. Atau menulis tokoh
lain lagi?"
"Tidak, Romo," cepat saya jawab. "Kolomnya sudah habis, ini saya lagi
menulis."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Desember 2013)
Jokowi akan lebih banyak blusukan ke Nusantara, untuk melihat apa yang
dirasakan
rakyatnya,
dibanding
berpidato
ke
mancanegara.
Pertanyaannya tentu: apakah Jokowi akan memakai pesawat supermewah
itu? Bagaimana pesawat itu mendarat di bandara kecil? Kapan Jokowi
akan tidur nyenyak dalam pesawat kalau penerbangan paling lama tiga
jam? Lalu, kapan olahraga dalam pesawat untuk mencari keringat agar
bisa mandi di pancuran? Yang paling bingung, saya membayangkan
apakah baju Jokowi yang seharga Rp 70 ribu dan dibeli di Pasar Klewer itu
tidak terbanting oleh kemewahan pesawat?
Andai Boeing 737-800 BBJ-2 belum jadi, saya setuju pesawat ini ditunda
sampai rakyat miskin berkurang dan anak-anak belajar di gedung yang
kokoh. Syukur kalau tak jadi dibeli. Ini membuat nyaman presiden
mendatang, juga enak untuk Pak SBY yang capek membeli pesawat tapi
tak sempat menggunakan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 15 Desember 2013)
orang dewasa yang sudah kawin, begitulah pengertian yang selama ini
ada.
"Kondom itu setara benda sakral yang harus disembunyikan dari orang
yang belum berhak memakainya," begitu ceramah pemuka agama di
tahun 1970-an, saat saya menjadi "wartawan KB". Kata sakral mengacu
pada penggunaannya yang terbatas dan dijual secara "sembunyi". Tidak
ada warung menjual kondom, barang itu hanya ada di apotek dan toko
obat. Itu pun berada di sudut-sudut, atau lemarinya beda dengan obat
batuk. Ini bukan pengamatan kedaluwarsa, bulan-bulan lalu masih seperti
itu. Entah sejak ada Pekan Kondom Nasional, ketika kondom dibagikan
seperti permen.
Kenapa kondom disebut setara benda sakral? Selain risi diperbincangkan,
benda itu dipakai di tempat yang sakral. Perkawinan adalah sakral, bukan
dijadikan hobi. "Pertemuan" sang istri dan suami juga sakral. Dalam
agama Hindu (ini bukan ceramah agama), "pertemuan lingga dan yoni" itu
harus di tempat yang semestinya dan bahkan ada hari-hari yang pantang
untuk "pertemuan" itu. Tidak bisa diumbar di pojok alun-alun pada
kegelapan malam. Karena dari "pertemuan" itu akan direproduksi anak
yang suputra (putra utama) dari keluarga sukhinah.
Perzinaan sanksinya berat--kalau ketahuan. Apalagi sampai punya anak di
luar nikah, jelas hasil perzinaan yang tak bisa ditutupi. Aib ditanggung
keluarga. Karena itu, orang-orang "tersesat" yang berbuat zina pastilah
sekuat tenaga menutupi hasil "sesatnya" dengan berbagai cara. Dan,
astaga, kini ada barang murah bahkan gratis untuk menghindari itu, yakni
kondom.
Kesakralan hubungan suami-istri, moral yang mengedepankan hidup
harmoni dalam keluarga, bahaya seks bebas dan seks sebelum kawin dari
sudut agama maupun sanksi sosial, semestinya digencarkan lebih dulu
dan terus-menerus, sebelum sampai pada kampanye kondom untuk alat
kesehatan mencegah AIDS. Saya sangat maklum, jumlah penderita AIDS
semakin bertambah dan kondom bisa mencegah hal itu. Tapi kalau
manusia Indonesia tetap dalam "kekolotannya" dan memandang seks
sebelum nikah dan seks bebas adalah sebuah aib dunia-akhirat, kondom
akan kembali pada fungsinya yang mulia: hanya untuk orang dewasa
sebagai alat kontrasepsi Keluarga Berencana.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 Desember 2013)
Tentu ada yang sudah menang dalam "pertempuran duniawi" ini. Mereka
hidup dengan kemewahan, naik mobil di lajur busway karena yakin, jika
ada polisi menindaknya, dia sanggup menyelesaikan dengan damai.
Tampil di televisi menyebut-nyebut sebagai wakil rakyat yang sudah
menerima mandat dari rakyat, entah rakyat yang mana. Memberikan
hadiah mobil miliaran rupiah kepada anak remajanya yang berulang
tahun, padahal kerjanya setiap hari hanya menjual-belikan perkara. Lalu,
banyak juga yang tiba-tiba memasang iklan atau "terduga iklan", siap
menjadi calon presiden. Puih, apakah mereka tak punya cermin di
rumahnya?
Tapi, saya tak ingin menghujat, karena mereka yang kalah dan menang
dalam "pertempuran duniawi" di Ibu Kota pada pulang hari ini. Orangorang menyebut tradisi ini sebagai mudik, kata yang ingin saya hindari,
karena ada yang menyebut itu berawal dari "udik", sebutan yang masih
dianggap mengejek seperti halnya kampungan atau ndeso. Saya rindu
suatu saat kata-kata seperti udik, kampungan, ndeso bukan untuk
merendahkan. Itu artinya, saya rindu pemimpin negeri ini mau
membangun desa dan kampung, bukan hanya membangun kota. Siapa
tahu, kalau kampung orang-orang udik ini dibangun, tidak lagi ada tradisi
mudik semeriah hari ini. Sampai saat ini ketimpangan pembangunan di
kota dan desa ibarat bumi dan langit. Ketertinggalan di pedesaan dengan
warganya yang hidup miskin hanya dijadikan proyek menjelang pemilihan
umum.
Doa saya untuk para sahabat yang pulang ke kampung naik sepeda
motor. Jangan lupa menghidupkan lampu motor di siang hari sesuai
dengan aturan, meski kita tak paham apa gunanya lampu itu di saat
terang-benderang dalam keadaan macet pula, selain menyilaukan dan
memboroskan aki. Doa saya untuk yang menggunakan kendaraan pribadi,
meski sejatinya itu mobil sewaan. Doa saya pun ikhlas untuk yang pulang
naik pesawat, jet pribadi atau bukan, semoga uang yang dibagikan di
kampung tak membuat kalian tinggi hati karena sesungguhnya itu uang
mereka yang kalian rampok lewat ngemplang pajak atau utak-atik
anggaran.
Pada saatnya kita semuanya akan pulang dalam keabadian, pulang yang
sesungguhnya pulang, dan di sana kita ditanya: apa amal Anda di dunia?
Kita tak tahu kapan waktu pulang itu, tak pernah ada sidang di
Kementerian Agama. Karenanya, mari beramal yang baik mulai saat ini,
siapa tahu sebentar lagi kita dipaksa pulang. Selamat Lebaran, maaf lahirbatin.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 4 Agustus 2013)
mencalonkan diri. Apakah orang mundur tiba-tiba bisa maju? Susno Duadji
divonis penjara 3 tahun lebih di tingkat kasasi--pengadilan paling tinggi.
Kok bisa dicalonkan? Mantan narapidana, yang secara moral mestinya
tobat, enak sekali ingin menjadi wakil rakyat dan mau mengurusi rakyat.
Logika berpikirnya aneh dan menghina kecerdasan rakyat dengan
gayanya yang bodoh itu--padahal mereka semestinya memberi teladan.
"Kalau begitu, mereka dan partai yang mencalonkan harus dihukum," kata
Romo. Saya setuju. Tapi bagaimana caranya menghukum, karena
keajaiban itu merata di semua partai? "Harus ada lembaga swasta yang
mencari tahu siapa-siapa saja orang yang tak pantas dipilih. Lalu dibuat
daftar orang yang bisa dipilih tanpa memandang partai mana yang
mencalonkannya," usul Romo.
Saya setuju, tapi tetap saja ruwet. Ibarat komputer, negeri ini memang
harus diinstal ulang. Namun mari kita tidak mencemooh negeri tercinta:
I.N.D.O.N.E.S.I.A.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 28 April 2013)
lomba menulis surat ala Kartini. Padahal Kartini dengan kebayanya itu
adalah gadis Jawa yang terbelenggu oleh adat dan harus dipingit begitu
menginjak remaja pada umur kurang dari 13 tahun. Kartini menulis surat
karena hanya itu cara dia melampiaskan gejolak hatinya. Untung ayahnya
bupati, sehingga ia punya banyak teman. Artinya, Kartini orang yang
cerdas. Ia berjuang mendobrak kungkungan adat. Ia berjuang melawan
"kebaya".
Perlawanan terhadap tradisi adat yang mengurung kaum perempuan
inilah yang semestinya ditonjolkan dalam memperingati Hari Kartini.
Bukan berkebaya atau menyanyikan "ibu kita Kartini, harum namanya". Di
sekeliling kita masih banyak wanita yang dipoligami, bahkan ada lelaki
yang sampai punya delapan istri--dan uniknya jadi selebritas. Pun masih
marak perdagangan wanita, termasuk wanita yang dijadikan obyek
gratifikasi oleh mereka yang seharusnya bermartabat. Kenapa ormas
perempuan tak ada yang bersuara soal ini?
Kartini barangkali menangis saat ini kalau dia masih ada. Perempuan di
negeri ini masih menjadi "penggenap" dan "pemanis". Kuota perempuan
harus ada 30 persen di daftar calon legislatif, tak peduli bagaimana partai
mendapatkan angka itu. Kabinet harus punya menteri yang mengurusi
peranan wanita, tak peduli apa yang diurusnya sudah benar atau tidak.
Karena hanya "penggenap" dan dalam beberapa hal hanya "pemanis",
yang menentukan siapa jadi "penggenap" dan "pemanis" itu kebanyakan
laki-laki. Lelaki memang tetap hebat.
Emansipasi yang diperjuangkan Kartini lebih bermutu daripada itu karena
menempatkan wanita sejajar dengan lelaki. Sayang, Kartini lahir di zaman
kolonial, dalam situasi yang sulit segalanya. Ia tak bisa menghimpun
jaringan lebih luas. Ia melejit sendiri dan hanya bisa membuat sekolah
untuk kaum wanita dalam skala kecil. Akhirnya, zaman pula yang
"membunuh" Kartini dengan segala idenya. Ia justru takluk oleh adat yang
kolot itu, ia dipoligami. Ia dikalahkan oleh "kebaya".
Penerus Kartini sekarang tentu punya kesempatan lebih untuk berjuang
menegakkan emansipasi. Perjuangan itu bisa diteriakkan dengan lantang
lewat berbagai kemajuan komunikasi. Kartini hanya bisa menulis surat
pakai tangan untuk memperjuangkan idenya, karena di era dia belum ada
e-mail, Facebook, maupun Twitter. Masak, Kartini sekarang hanya
ngerumpi lewat media komunikasi yang canggih itu?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 21 April 2013)
pemberani; (2) kasta kedua dalam masyarakat Hindu. Tak ada penjelasan
lainnya.
Mengacu ke kamus, tak ada celah apa pun untuk membantah ke-kesatriaan para prajurit Kopassus yang menyerbu dan menewaskan empat
tahanan titipan polisi itu. Mereka prajurit, mereka gagah dan berani. Ya
sudah, klop. Lalu mereka jujur mengakui perbuatannya ketika ditanya tim
investigasi. Dan mereka siap bertanggung jawab jika pengadilan--militer
atau sipil saya tak peduli--menjatuhkan hukuman.
Cuma, saya jadi sulit tidur. Kalimat "berjiwa kesatria, jujur, serta
bertanggung jawab" melayang-layang di depan mata saya. Penyandang
kesatria kok menyerbu dengan paksa di malam hari, menodongkan
senjata, lalu menembakkannya dalam jarak dekat, dan kabur. Yang mana
jiwa kesatria itu? Dalam benak saya, seorang kesatria tak akan main
keroyok, ia berani berduel satu lawan satu. Kalau lawan tak pakai senjata,
seorang kesatria harus menghadapinya juga tanpa senjata. Penyerbu ke
Lapas Cebongan itu sama sekali tidak berjiwa kesatria, begitu bisikan hati
saya. Apalagi jujur dan bertanggung jawab. Kalau jujur, begitu selesai
"melampiaskan dendam", mereka melapor ke atasannya, bukan mengakui
perbuatan setelah ditanya. Maklumlah, latar belakang saya penonton
wayang kulit epos Mahabharata, di mana kesatria Pandawa dan Kurawa
selalu berduel tanpa main keroyok. Bahkan, di malam hari, pertempuran
dihentikan. Tapi saya tak menyesal mendapat pendidikan moral lewat
"sesuluh" Mahabharata.
Yang saya khawatirkan, bangsa ini mengalami pergeseran moral dalam
menyikapi masalah kekerasan. Saya setuju premanisme diberantas.
Bukankah itu sudah diperintahkan Presiden kepada Kapolri? Masak, saya
tak setuju. Tetapi haruskah memberantas itu dengan cara-cara kekerasan,
main dor? Hukum haruslah menjadi payung dalam pemberantasan itu.
Dengan permohonan maaf sebesar-besarnya, saya harus katakan, yang
menjadi preman itu kebanyakan saudara kita dari Indonesia timur. Apakah
ini bawaan etnis tertentu? Saya yakin bukan itu, tetapi kemiskinan dan
pengangguranlah yang jadi biangnya. Artinya, pemerintah harus sadar
bahwa Indonesia timur selama ini tak mendapat perhatian selayaknya.
Pemerintah lupa membangun di sana. Kalau kesejahteraan ada di sana,
mereka pasti akan menjadi kesatria - baik menurut kamus maupun
"menurut" Mahabharata.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 7 April 2013)
mengantarnya pulang.
Saya juga pulang kampung. Lalu, apa yang saya saksikan di desa, selama
enam bulan, dalam usia 15 tahun itu? Penyiksaan dan pembunuhan,
untuk sebuah slogan: "Tumpas PKI sampai ke akar-akarnya". Suami kakak
sepupu saya termasuk yang kena "tumpas", kesalahannya ikut membuat
panggung ketika pelantikan Pemuda Rakyat. Setelah sekolah dibuka, satu
pelajar putra "kena garis", satu pelajar putri "hanya diperkosa", dua guru
"dinaikkan truk"--begitu istilah pop saat itu.
Tragedi ini yang terus ada di memori saya. Meski kejadiannya jauh setelah
30 September, tetap saja tanggal hari ini membuat saya tak bisa
melupakan sejarah hitam itu. Saya tetap berkabung, sambil berharap,
barangkali ada yang "menyesali" peristiwa itu, meminta maaf, dan
berseru, "Mari jadikan pelajaran pahit bangsa ini."
(Dari Koran Tempo 30 September 2012)
Barangkali saja gaya kesatria seperti ini akan mengubah wujud Jakarta,
ibu kota akan jadi kemayu dan tidak grasa-grusu seperti sekarang.
Fauzi Bowo alias Foke nama populernya, ternyata pula seorang kesatria
yang bijak, begitu pemungutan suara berakhir. Pada saat orang-orang
sekelilingnya masih berperan sebagai bhuto cakil dan membuat
pernyataan seperti: ah ini kan hasil quick count, hasil KPU bisa beda
atau belum ada yang menang dan kalah, tunggu keputusan resmi KPU,
Foke sudah memberi ucapan selamat kepada Jokowi. Hanya seorang
kesatria sejati yang bersedia mengaku kalah kepada kesatria yang
kebetulan saat itu unggul. Jagat kesatria adalah pertarungan kehormatan
yang melibatkan seluruh rakyat. Ucapan selamat Foke kepada Jokowi,
bukan saja menentramkan rakyatnya, tetapi yang lebih penting adalah
menyatukan kembali perbedaan yang telah muncul selama pertarungan.
Masyarakat jadi terdidik dan makin cerdas. Foke akan dikenang sebagai
tokoh berjiwa kesatria yang melindungi warganya.
Sejatinya masyarakat Jakarta itu memang warga yang cerdas lagi-lagi
contoh yang menggembirakan jika ditularkan ke daerah lain, untuk
Indonesia yang lebih baik. Gempuran bertubi-tubi ditujukan kepada
Jokowi, dari yang seperti ada benarnya lalu yang benar-benar ngawur
sampai pada yang benar-benar tidak benar. Di dunia maya nyaris setiap
detik bermunculan dosa-dosa Jokowi yang diumbar oleh akun anonim
boleh disebut akunnya pada bhuto. Ternyata ini bumerang, satu
kejelekan Jokowi diumbar, ribuan simpati bertambah.
Pelajaran penting lain, tidak lakunya isu SARA, terutama dibawa-bawanya
masalah agama dan etnis untuk mencari pemimpin yang warganya
majemuk. Jakarta mencari gubernur untuk mengurusi masalah
kemacetan, banjir, ketimpangan sosial, bukan untuk memimpin ritual
keagamaan, jadi apa perlunya seiman atau tidak?
Pemilihan gubernur Jakarta ini pasti akan menginspirasi Pemilu Presiden
2014. Isu harus dikemas dengan baik, fitnah akan menjadi bumerang,
figur lebih penting dari dukungan partai. Masalahnya, adakah kesatria
muda yang dimunculkan oleh partai hanya partai yang bisa
mencalonkan -- karena yang digadang saat ini jauh dari kesatria sejati,
dan itu pun sudah sepuh pula.
(Dari Koran Tempo Minggu 23 September 2012)
CDulu identitas itu hanya berupa kartu. Yang harus dimiliki oleh orang
dewasa tentu saja identitas kependudukan yang disebut Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Di situ tercantum nama, jenis kelamin, tanggal lahir,
alamat, status perkawinan, golongan darah, agama, foto diri dan tanda
tangan. Semua ini penting, bahkan supaya identitas itu tidak mudah
digandakan, mulai muncul kode NIK nomor induk kependudukan.
KTP tidak satu-satunya identitas. Ada Pasfor, Surat Izin Mengemudi, kartu
kredit, kartu asuransi, kartu pers, kartu anggota partai dan banyak lagi
kalau mau disebut. Identitas yang dimasukkan ke kartu itu disesuaikan
dengan kebutuhan. Kartu kredit tentu tak ada golongan darah. Kolom
agama? Hanya ada di KTP dan itu pun khas Indonesia. KTP di negeri
seberang,konon yang ada kolomagamanya bisa dihitung dengan jari.
Untuk apa kolom agama itu? Jika ada orang terkapar di jalanan dan
membutuhkan bantuan, apakah dilihat dulu KTP-nya, agamanya apa? Jika
Islam dibawa ke RS Islam, jika Kristen dibawa ke RS Kristen, jika Hindu
cukup ke Puskesmas tak ada rumah sakit Hindu di Indonesia. Ternyata
tidak begitu.
Seorang pejabat di Kementrian Dalam Negeri menyebutkan, kolom agama
di KTP itu penting untuk pendataan berapa jumlah pemeluk agama di
Indonesia. Urusan pribadi dengan Tuhan ini harus diketahui oleh manusia,
karena orang-orang beragama itu mendapat pembinaan di Kementrian
Agama. Semua agama yang terdaftar punya Bimas bimbingan
masyarakat. Jadi, umat beragama wajib dibimbing oleh pemerintah.
Kalau KTP tak diisikolom agama, bagaimana menentukan pendirian rumah
ibadah, kan harus berdasarkan jumlah pemeluk agama? Itu kata Pak
Pejabat tadi. Oya, benar, pendirian rumah ibadah harus mematuhi jumlah
pemeluk agama di wilayah tersebut dan itu dibuktikan lewat KTP. Ini
berlaku di Indonesia minus Bali, karena di pulau dewata ini masjid, gereja
dan vihara sedang giat dibangun di setiap kota kecamatan, tak peduli
pemeluk agama tersebut hanya sepuluh atau dua puluh orang. Ya,kalau
tak ada rumah ibadah, kasihan mereka menempuh jarak 30-an km untuk
bersembahyang.Semakin banyak rumah Tuhan tentu semakin damai.
Tapi perlukah pula identitas agama terus-menerus ditonjolkan dalam soalsoal yang remeh? Misalnya, di Bali sekarang ini mendadak
bertebaranwarung muslim. Di setiap pelosok dari kota sampai ke desa
ada label warung muslim itu. Maksudnya memberi informasi yang benar
kepada pelanggannya bahwa di warung itu tidak menjual makanan
haram, seperti babi. Tadinya, identitas yang digunakan adalah halal,
rupanya kurang jelas dipahami pelanggan. Bahkan sebelum tulisan halal
yang mencolok, identitasnya cukup warung Madura, pecel lele
Banyuwangi, soto Lamongan. Identitas itu menghilang atau mengecil,
yang mencolok kini warung muslim. Tak ada warung Hindu, misalnya.
setengah pejam.
Dalam tradisi spiritual, hubungan antara guru dan murid tak bisa bertatap
frontal. Jika guru memberi petuah yang bisa saja sejenis pidato, sisya
(murid) mendengarkan dengan tekun dan kepala merunduk. Ya, seperti
orang mengantuk atau setengah tidur. Pantang bagi murid untuk menatap
guru pada saat seperti itu, dikira memelototi guru. Bahkan, dalam
dialog keseharian pun, murid hanya menatap wajah guru saat murid
berbicara.
Seorang guru spiritual--mungkin patut dicontoh oleh pemimpin nonspiritual--jika dalam memberi wejangan, baik yang terbatas maupun
berpidato di depan umum (istilahnya memberi dharma wacana), melihat
ada peserta yang mengantuk apalagi tidur, dia tak akan menegur. Ia
melakukan manuver intonasi, misalnya, suaranya tiba-tiba menggelegar
bak memprovokasi atau sedih seperti menangis, tentu tergantung konteks
wejangan. Atau materi wejangan dibelokkan ke hal-hal yang humor,
sehingga orang tertawa, yang tidur pun bangun ikut terbahak. Jika semua
manuver itu tak mempan membunuh kantuk hadirin, ya, pidatonya tak
bermutu. Mungkin pidato itu umum saja, misalnya, Saya prihatin dengan
kasus ini, saya sudah perintahkan. disertai gerak tangan ke samping,
ke depan, dan sebagainya. Guru tahu diri dan wejangan segera diakhiri.
Berpidato di depan anak-anak jauh lebih sulit. Anak mengantuk dan tidur
justru lebih memudahkan berpidato. Yang sering terjadi, anak itu
bercanda, mengobrol dengan temannya, saling melempar barang kecil,
seperti permen dan bola kertas. Tegurlah anak-anak itu dengan teknik
penyampaian pidato, entah menyelipkan cerita, lagu, atau celetukan khas
anak-anak. Menegur anak yang tidur bukan saja tak dianjurkan, tapi justru
harus dicari tahu kenapa dia capek sampai tertidur. Mungkin belum
sarapan atau menunggu acara yang molor.
Jadi, jika lain kali Anda sedang berpidato dan ada hadirin yang
mengantuk, koreksi dulu cara berpidato Anda. Atau orang yang (kita kira)
mengantuk itu ternyata menyimak penuh khidmat pidato Anda, dengan
budaya dan tradisi lokalnya. Kenapa harus ditegur?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 September 2012)
berkumpul dan melahirkan ikrar pada saat itu karena ada "musuh
bersama", lalu muncul "semangat yang sama". Musuh itu penjajah,
semangat itu mendirikan negara bangsa. Bisakah kita saat ini menjadikan
koruptor sebagai "musuh bersama" dan pemerintah yang bersih sebagai
"cita-cita yang sama"? Ini yang sulit. Banyak dari kita yang ikut kaya dari
mengurusi koruptor, dan kita pun punya "semangat" yang berbeda-beda.
Agaknya, kita perlu menyelenggarakan "kongres pemuda" lagi, seperti
pada 1928. Pemuda Batak, pemuda Bali, pemuda Bugis, pemuda Madura,
pemuda keturunan Cina dan Arab, semua pemuda tanpa kecuali, berikrar,
"Mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia." Minimal, kita
apresiasi apa yang dilakukan di kampus UGM hari ini, semangat Sumpah
Pemuda itu "dihidupkan" kembali.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 28 Oktober 2012)
belakang, tersangka koruptor tak baca, lagi pula baju yang bersih itu
malah jadi modis di tubuh Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Wa Ode,
dan lainnya.
"Kenapa tak sekalian hukum mati saja?" teman saya ngotot. Saya jawab,
mati itu bukan hukuman. Bahkan orang mati dibebaskan dari tuntutan apa
pun. Mati itu hak prerogatif Tuhan. Ada ajaran agama menyebutkan bahwa
mati itu menyenangkan karena bebas dari hukuman duniawi. Karena itu,
mati sering disebut "dipanggil Tuhan". Betapa enaknya dipanggil Tuhan,
jauh lebih enak daripada dipanggil KPK. Jadi jelas, saya tak setuju
hukuman mati bukan soal koruptor, melainkan soal mengambil alih
wewenang Tuhan itu.
"Tapi negara kita mencantumkan hukuman mati," kata teman saya. Saya
mengangguk, "Ini kan pendapat pribadi, aturan negara, ya saya juga
tunduk, yang jelas saya bukan pembela koruptor."
(Diambil dari Koran Tempo 7 Oktober 2012)
Ulama lain dari Front Pembela Islam berkata: "Lady Gaga belum datang
saja sudah datang musibah, jatuhnya pesawat Sukhoi yang menimpa
banyak korban. Bagaimana kalau dia benar-benar datang?"
Saya terkesiap. Dada ini terasa makin sesak. Musibah Sukhoi membuat
saya ikut sedih, di antara korbannya ada teman saya. Juga karena
jatuhnya pesawat itu di Gunung Salak, gunung yang menyimpan banyak
hikayat masa lalu, dan di salah satu lerengnya umat Hindu membangun
pura, melengkapi candi peninggalan kerajaan Pajajaran. Apa iya Sukhoi
supercanggih itu jatuh sebagai "kutukan" akan datangnya seorang wanita
centil bernama pop Lady Gaga?
Lumayan ada suara lain, datang dari Ketua PBNU Said Aqil. Beliau berkata
(dan lalu menulis di akun Twitter-nya): "Meskipun datang sejuta Lady Gaga
maupun sejuta Irsyad Manji, keimanan warga NU tidak akan goyah dan
berkurang."
Ini lebih masuk akal, soal iman tak segampang itu dipengaruhi oleh Lady
Gaga, yang hanya seorang diri, belum sejuta. Sependapat, Kiai. Tetapi
kenapa suara yang beda ini tak mendapatkan panggung segemuruh
penghujat Gaga?
Masyarakat--yang normal--tidak semudah itu imannya runtuh hanya
karena menonton Lady Gaga selama dua jam atau lebih sedikit. Kalau
aksinya disebut erotis dan gayanya menjurus porno--muncul lagi kata
yang saya benci ini--bukankah pentas dangdut di kota-kota kecamatan di
seluruh pelosok negeri ini juga penuh dengan erotisme? Dangdutan di
kota-kota kecil itu adalah "pentas mini" dari Lady Gaga. Kenapa itu tak
diriuhkan? Bukankah melibatkan lebih banyak masyarakat, karena
karcisnya murah, bahkan orang bisa menonton gratis dengan menerobos
pagar? Penonton Lady Gaga itu lebih terseleksi karena mahalnya harga
tiket.
Maaf, saya bukan pengagum Lady Gaga. Kalau misalkan saya diberi tiket
gratis, belum tentu saya memilih Gaga jika di sekitar itu ada wayang atau
ketoprak. Saya orang kolot, kuno, selera kampungan. Yang hendak saya
bela dari heboh Lady Gaga ini adalah kepolisian tidak memberikan izin
pertunjukan hanya karena ada ormas yang mengancam akan
membubarkan pertunjukan itu dengan alasan iman dan moral--termasuk
membawa-bawa nama setan yang sampai saat ini belum pernah saya
temui. Saya cemas, kalau "tradisi" ini berlanjut dan polisi pasrah
bongkokan kepada ancaman seperti itu, apa yang akan kita tonton nanti-termasuk apa yang kita diskusikan--harus dimintakan persetujuan dulu
kepada ormas itu, sebelum minta izin ke kantor polisi. Ini harus dilawan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 20 Mei 2012)
dalam diskusi? Saya belum membaca buku Mandji. Dari kutipan beberapa
media, saya pun banyak tak sepaham dengan dia. Tapi apa hak saya
membungkam dia, wong dia saja tak pernah membungkam saya?
Tapi, nyatanya, ketakutan itu sudah meluas, bahkan merasuk ke pimpinan
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Seperti diumumkan, FPI bertekad
menggagalkan konser Lady Gaga yang akan digelar 3 Juni mendatang. FPI
mengancam, kalau konser itu tetap digelar, mereka tak menjamin
keamanan jika kerusuhan terjadi. Kalimat ini harus dibaca: merekalah
yang bikin rusuh, bagaimana perusuh membikin aman.
Pimpinan MUI lalu berhitung. Kerusuhan bisa sejak di bandara, di jalanjalan, atau di stadion tempat konser. Ketua MUI Bidang Seni dan Budaya,
Cholil Ridwan, lalu berkesimpulan pembatalan Lady Gaga akan
menguntungkan karena meniadakan pengeluaran negara akibat
kerusuhan. Inilah logika pemikiran takut.
Saya kira SBY pun takut kepada "polisi lain" itu. Karenanya, saya berani
bilang, prestasi SBY selama dua periode memerintah akan dinodai oleh
kasus ini. Memprihatinkan.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 13 Mei 2012)
Parlemen sekarang luar biasa kuat. Tentu saja ini barang ideal karena
demokrasi pada intinya adalah suara rakyat untuk kesejahteraan rakyat.
Hanya parlemen yang bisa mengatasnamakan rakyat. Cuma, yang jadi
masalah, antara ideal dan kenyataan jauh panggang dari api. Rakyat
sedang menderita karena berbagai bencana, anggota DPR terus
memperbaiki fasilitas ruang kerjanya. Rakyat ingin kemerosotan akhlak
diperangi, anggota DPR menebar video porno. Rakyat sedang bergulat
dengan kesulitan ekonomi, anggota DPR berfoya-foya ke luar negeri.
Penyakit ini sudah akut, tak mempan dikritik lewat media. Media
menggonggong, parlemen berlalu. Adakah cara lebih manjur mengawasi
lembaga pengawasan ini? Adik-adik kita yang tergabung dalam
Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman memberi satu contoh untuk
mengawasi parlemen. Mereka mengorbankan waktu kuliahnya untuk
membuntuti dengan sembunyi anggota parlemen yang sedang melakukan
studi banding ke Jerman. Tim buser PPI Jerman lalu menemukan
anggota DPR bersama keluarganya pelesir ke Kaufhaus des Westens
(KaDeWe), pusat belanja termewah di Berlin Barat. Juga berbelanja ke
Lafayette, salah satu galeri ternama di Berlin.
Sesungguhnya, apa yang hendak dibandingkan oleh anggota DPR itu ke
Jerman? Acara yang disusunnya masuk akal. Agenda utamanya
berkunjung ke pabrik tank Leopard, maklum mereka anggota Komisi
Pertahanan. Padahal mereka belum tahu benar seluk-beluk pabrik Pindad
di Bandung atau PAL di Surabaya, yang juga memproduksi senjata.
Agenda kedua, menggelar acara ramah-tamah dengan staf KBRI. Ini harus
dimaklumi juga karena mereka membidangi luar negeri. Bahwa kunjungan
itu ada hasilnya, jangan terlalu percaya. Sama seperti kunjungan anggota
DPR ke Yunani untuk belajar soal etika, hasilnya adalah etika anggota
parlemen semakin amburadul.
Etika itu termasuk cara berpikir dan berperilaku. Ketika banyak orang
menyoroti kenapa anggota DPR yang melakukan studi banding ke luar
negeri mengajak keluarga, ada jawaban: Kenapa dipersoalkan? Pejabat
pemerintah juga biasa begitu. Jadi, kalau ditanya, kenapa korupsi?
Jawabannya: Lho, yang lain juga korupsi. Kenapa memperkosa
penumpang? Sopir angkot menjawab: Meniru teman, kok.
Kalau anggota parlemen sudah berpikir dan berperilaku seperti ini,
memang cara adik-adik kita di PPI Jerman patut dicontoh dan
dikembangkan. Mari kita awasi terus lembaga yang seharusnya
mengawasi pemerintah ini. Kita kuntit ke mana saja mereka pergi, apa
saja yang diperbuatnya. Tentu kemudian kita catat nama-nama mereka
untuk saatnya nanti kita pampang sebagai orang yang tak layak jadi
orang terhormat
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 April 2012)
sendiri isunya.
Saya siap dijebak dalam pengalihan isu ini dengan bersedia
mengomentari Satgas Pornografi. Komentar saya, selain satgas ini
mengada-ada, dia membangunkan macan tidur, padahal UU Pornografi itu
juga bukan "macan". Reaksi yang terjadi bukan hanya satgasnya yang
ditolak, UU Pornografi yang sudah sah itu pun hendak diuji lagi ke
Mahkamah Konstitusi. Sampai saat ini tak tuntas dialog yang terjadi
empat tahun lalu, apa kriteria porno itu. Bisakah kepornoan diseragamkan
untuk berbagai budaya, atau bisakah otak ngeres di-zona-tunggal-kan?
Telanjang di depan umum dinyatakan porno, itu oke. Lukisan telanjang di
depan umum, belum tentu, bergantung pada lukisan itu menyimbolkan
apa. Simbol penghayatan Tuhan dalam keyakinan Hindu yang disebut
Acintya, apakah juga porno karena telanjang?
Kata "tetek" dan "puting" jorok diucapkan di depan umum, apalagi
didengar anak-anak. Apakah perlu kata "tetek-bengek" dan "puting
beliung" dihapus dari kamus supaya negeri ini tidak porno?
Saya khawatir Satgas Porno hanya mengurusi hal-hal kecil, sementara
masalah bangsa begitu besar. Presiden dan menterinya harus bekerja
keras mengurusi hal-hal yang besar itu, rok mini biarlah diurus pedagang
Tanah Abang.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 18 Maret 2012)
berbusana, meski tak ada imbauan atau aturan tertulis. Dulu, Bob Sadino
pernah ditolak menemui anggota DPR karena dia hanya memakai celana
pendek butut, meski dia berkukuh itu adalah "pakaian dinas"-nya. Ada
norma dan kesantunan umum bagaimana kita bertingkah laku.
Etika dan kesantunan ini seharusnya melekat pada seseorang "yang
terhormat" seperti anggota DPR. Ini juga sikap yang mencerminkan
kedewasaan seseorang yang dipilih sebagai wakil rakyat. Karena itu sudah
melekat, imbauan tak diperlukan, seperti imbauan agar anggota DPR
selalu gosok gigi setiap hari. Lebih aneh lagi kalau larangan itu
diberlakukan, karena selama ini ada wakil rakyat yang memakai rok mini
saat bersidang. Sepertinya dia tidak bisa menempatkan diri di mana
bertugas. Dia lupa menanggalkan predikatnya sebagai artis. Dia terus
bersolek karena masih menganggap dirinya selebritas dengan modal
kecantikan. Dia lupa bahwa di gedung rakyat itu soal cantik adalah nomor
sekian, yang utama adalah kecerdasan dalam memperjuangkan nasib
rakyat.
Jika mau meningkatkan citra parlemen, kesantunan dan kesederhanaan
harus diletakkan paling atas. Ini warisan leluhur yang kini berantakan.
Santun, bukan hanya tecermin dalam busana, tapi dalam perilaku dan
tata bicara. Lihat sekarang anggota DPR dalam rapat dengar pendapat
dengan pemerintah. Gaya mereka otoriter, maunya menginterogasi
melulu, berlagak paling tahu, dan menunjukkan dirinya lebih berkuasa.
Bahasa tubuh mereka, dari gerak tangan sampai tatapan mata, jauh dari
santun karena mereka adalah tuan rumah. Mereka lupa membuang
kebiasaan sebagai pengacara, jaksa, atau polisi.
Masalah kesederhanaan, banyak contoh yang buruk. Baju para wakil
rakyat yang mahal-mahal itu, memang bisa dimaklumi, karena mereka
bergaji besar dan mampu membeli. Baju batik yang dikenakan anggota
DPR tentu tak sekelas batik di Pasar Klewer. Namun, untuk apa ke gedung
parlemen mengendarai mobil mewah? Untuk apa pula memakai jam
tangan yang harganya ratusan juta? Jam tangan mahal itu, misalnya,
kalau ditaruh di lemari rumah, tak akan punya pengaruh dalam hal
kinerja. Setiap anggota DPR pasti punya telepon seluler, dan semurahmurahnya ponsel pasti ada penunjuk waktu. Di mobil, di lobi, dan di setiap
ruangan tergantung pula jam dinding. Jam tangan tak diperlukan kalau
kita membiasakan diri melirik jam di dinding atau mengambil ponsel di
saku. Ini semua aksesori, yang tak berhubungan dengan kecerdasan otak.
Selama anggota parlemen masih memuja kemewahan, memuja
penampilan, meninggikan ego, menggemari aksesori, selama itu citra
parlemen tak akan membaik. Apalagi ditambah dengan korupsi lantaran
memuja kemewahan. Jika ingin citra naik, berubahlah. Perubahan itu pun
harus dilakukan diam-diam dengan tulus, bukan dengan gembar-gembor
mengundang wartawan seperti melarang rok mini itu.
"Terima gadai HP". Dari staf lurah itu, saya tahu, tak ada orang yang
kelaparan di desa, asalkan dia mau bekerja apa saja. Istilahnya,
serabutan. Kalau mengurangi makan dari tiga kali sehari menjadi dua kali,
misalnya, itu hal biasa. Jatah makan yang dihilangkan diganti dengan
membeli pulsa. Penggunaan pulsa terbanyak untuk SMS. Mereka
suka ngerumpi? "Tidak juga, mereka menebak-nebak undian lewat SMS,
ada juga yang memasang nomor togel (toto gelap). Yang remaja dan
anak-anak baru ngerumpi," kata staf lurah itu.
Tapi, dari mana ceritanya mereka berpredikat "orang miskin"? Itu karena
kriteria dari "atas", tak punya lahan pertanian dan tak punya pekerjaan
tetap. Mereka setiap hari bekerja, namun tak punya pekerjaan tetap. Hari
ini jadi tukang bangunan, esoknya berburu burung, esoknya ngojek,
tergantung situasi. Adapun predikat "orang miskin" sama sekali tak
membuat malu, termasuk ambil jatah "raskin" (beras untuk orang miskin),
meskipun jika mutu berasnya jelek dikasih ke ayam peliharaannya. Malah
orang bermobil pun bisa mendapat "surat miskin", karena dengan surat
itu, berobat, termasuk rawat inap, di rumah sakit bisa gratis.
Orang-orang miskin itu tahu bagaimana pejabat di kota menghamburkan
uang dan "orang kota" korupsi miliaran rupiah. Mereka menonton televisi,
paling tidak di balai desa, dan mereka selalu merasa diperlakukan tidak
adil. Karena itu, urusan BLT mereka sebut hak dan harus naik. Saya kira
ada yang salah dalam hal ini, tapi saya malas menuliskannya sekarang.
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo 4 Maret 2012)
mewabah sekarang ini. Kadang lupa kalau negeri ini masih punya
presiden--begitu banyak masalah kok seperti tak ada yang mengurus.
Juga lupa apakah sebelum ini Ibu Megawati, Bapak Jusuf Kalla, Prabowo,
Wiranto, sudah pernah jadi presiden atau belum? Atau hanya jadi calon
presiden, lalu kalah? Saya lupa, apakah Ical Bakrie dan Hatta Rajasa
masih ketua umum partai? Yang saya ingat, tokoh-tokoh itu tetap
digadang-gadang untuk bertarung dalam pemilu dua tahun lagi. Yang
menggadangnya adalah pebisnis survei.
Romo yang mulia. Saya sebut pebisnis survei karena, kalau namanya tak
dimasukkan dalam pertanyaan, bagaimana responden memilihnya? Saya
mungkin salah, karena mudah dibantah: bukankah sebelumnya
masyarakat yang disuruh memasukkan namanya? Ya, betul. Tapi kalau
diberi catatan "jangan pilih nama-nama itu karena sudah kedaluwarsa",
misalnya, kan juga tak apa-apa. Ya, saya pasti salah lagi, karena itu
menyimpang dari metode survei yang harus "apa adanya". Oke, saya
mengaku salah. Karena itu, saya tak berminat membuat lembaga survei.
Romo yang mulia, bukankah partai saat ini lagi dijauhi oleh masyarakat?
Bukankah partai telah gagal total membangun negeri ini, apalagi
mensejahterakan rakyat? Partai Demokrat terjun bebas karena gonjangganjing di dalam. Partai lain yang mencoba mencari untung dari gonjangganjing itu ternyata tak dilirik. Artinya, semua partai sami mawon, tak ada
satu pun partai yang diuntungkan oleh jebloknya Demokrat. Bahkan,
semakin bernafsu partai lain memanfaatkan gonjang-ganjing Demokrat,
semakin kentara pula bahwa partai itu juga tak beres. Seperti
para lawyer yang berkumpul setiap minggu. Semakin mereka berdebat
membela kliennya plus memojokkan lawannya, semakin telanjang mereka
membuka aib tentang profesi kepengacaraannya.
Di saat partai tak lagi diminati masyarakat, bagaimana mungkin pucuk
pimpinan partai itu dipilih oleh masyarakat untuk bertanding dalam
Pemilu 2014? Secara akademis tentu tak aneh, karena yang berhak
menjadi presiden di negeri ini adalah orang partai atau orang bukan partai
tetapi dicalonkan oleh partai, meskipun akhirnya rakyat pula yang
memilih--suka atau benci kepada partai. Ini susahnya jadi rakyat.
Celakanya, masyarakat lupa akan "jasa-jasa" yang pernah dihasilkan oleh
tokoh-tokoh yang digadang-gadang untuk bertarung dalam Pemilu 2014
itu. Misalnya, ada yang "berjasa" dalam bidang keamanan dengan
menangkap sejumlah aktivis, ada yang "berjasa" mengeluarkan lumpur di
perut bumi Sidoarjo, ada yang "berjasa" karena memang tak berbuat apaapa. Sudah tahu ingatan masyarakat itu pendek, metode survei tak juga
memberi alternatif, selain kepopuleran tokoh.
Itu sebabnya saya tak paham, Romo. Apakah ada kemajuan di negeri ini
setelah reformasi yang dibanggakan itu, selain kita mudah lupa dan pintar
berdusta?
(Tulisan Putu Setia di rubrik Cari Angin Koran Tempo Minggu 26 Februari
2012)
Bima
pun
mengeluarkan
surat
penghentian
Apakah kisah sukses ini akan ditiru? Misalnya, di Bali, masyarakat sudah
enam tahun menolak proyek listrik geotermal di Bedugul. Proyek ini
membabat hutan lindung, menghancurkan sumber resapan air, dan
berada di kawasan suci umat Hindu. Tiga sumur sudah dibor, lalu proyek
mangkrak karena masyarakat ngotot menolak. Ketika Jero Wacik menjadi
Menteri ESDM, ia bertekad melanjutkan proyek itu, dan masyarakat pun
heboh kembali. Apa iya orang Bali harus memblokade dulu Bandara
Ngurah Rai barang sehari-dua hari agar pemerintah resmi menutup
proyek listrik panas bumi itu?
Dua kisah sukses itu seharusnya tak ditiru--jika negeri ini ingin disebut
negeri yang santun dan beradab. Unjuk rasa memang hak setiap warga,
tapi ada pembatasan di mana unjuk rasa itu bisa dilakukan. Sudah ada
undang-undang tentang ini (UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum), yang intinya
menyatakan hak berunjuk rasa itu tidak mengorbankan hak orang lain
yang lebih besar.
Siapa pun mendukung buruh menuntut haknya memperbaiki nasib.
Apalagi nilai tuntutannya masih bisa dieja dengan ribuan rupiah, bukan
miliaran rupiah seperti "tuntutan" para wakilnya di Senayan. Tapi, ketika
jalan tol yang menjadi akses jutaan orang diblokade, dukungan berubah
menjadi kecaman. Sebab, di jalan itu terjebak orang-orang dengan nasib
yang juga tak lebih baik daripada buruh Bekasi itu. Ada sopir truk yang
harus mengeluarkan denda--atau upahnya dipotong--karena terlambat
membawa bahan kebutuhan pokok ke pasar induk Jakarta, ada anak kecil
yang menangis kelaparan dan bayi yang kehabisan susu, ada orang sakit
yang meninggal karena tak mendapat pertolongan. Ribuan orang memaki
karena hak mereka dirampas. Mereka tak bisa berbuat apa-apa, pun tak
bisa minta tolong dan tak punya akses ke mana minta tolong. Mereka
tidak seperti Menteri Linda Gumelar, yang segera ditolong oleh helikopter
kepolisian dari keterjebakan itu.
Setelah kantor Bupati Bima dibakar, ribuan orang kini susah, berbagai
arsip dan dokumen terbakar, rakyat kecil yang mengurus soal tanah,
kependudukan, serta berbagai akta jadi kelimpungan. Banyak kesusahan
yang datang dari kesuksesan menutup izin pertambangan itu.
Jika begitu, "duo sukses" ini harus dianggap sebagai kerugian besar. Tak
layak dicontoh, bahkan harus dicegah dengan berbagai cara, termasuk
memperbaiki undang-undang tentang unjuk rasa, buat lebih memerinci di
mana saja unjuk rasa tak boleh dilakukan. Para tokoh bangsa harus
bersatu menyatakan bahwa cara-cara itu salah, jangan malah
menyanjung. Yang jelas, pemerintah wajib belajar dari kasus ini, jangan
lamban mengambil keputusan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
ganti pola."
Sudahlah, barangkali ini memang tabiat orang kita. Dari dulu sudah ada
pemeo di kalangan sepak bola: penonton lebih pinter dibanding pelatih
dan pemain. Dari sini muncul pula istilah: berkomentar jauh lebih mudah
daripada melaksanakan. Kemudian peribahasa menampungnya dengan
kalimat "lidah memang tak bertulang".
Yang jadi persoalan, gaya komentator bola seperti itu sekarang merambat
ke berbagai bidang. Orang-orang yang muncul di televisi dan media
massa, yang diistilahkan sebagai narasumber, meniru "kesombongan"
komentator bola. Mereka mengadu kevokalan, bukan argumentasi.
Keselebritasannya
lebih
diutamakan
ketimbang
wawasan
dan
integritasnya.
Contoh kecil, pimpinan KPK menjelaskan bagaimana Neneng Sri Wahyuni
ditangkap di rumahnya di Pejaten. Saat bersamaan, seorang
"komentator" ngotot Neneng menyerahkan diri sambil ngeledek dengan
menyebut pimpinan KPK sedang mementaskan ludruk. Lo, yang turun ke
lapangan siapa?
Pidato SBY di depan pendiri Partai Demokrat dikomentari berhari-hari.
Padahal itu urusan intern partai yang tak ada pentingnya bagi rakyat.
Anas Urbaningrum terus-menerus "diomongin" kenapa belum mundur,
kenapa belum diperiksa, sementara di lain pihak KPK harus diperkuat dan
dipercaya. Kalau begitu, serahkan pada KPK dong, kenapa ribut?
Negeri kita sekarang dibisingkan oleh suara komentator. Sungguh tak
sehat karena perbincangan berputar di masalah kekuasaan, tak berurusan
dengan perut rakyat. Yang dibutuhkan rakyat sederhana, misalnya
bagaimana di tanah yang subur ini bisa dihasilkan buah yang ranum, lalu
bisa dijual di pasar. Aneh, negeri gemah ripah loh jinawi ini ternyata
dipenuhi buah dari negara jiran. Kok tak ada komentator buah?
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 24 Juni 2012)
mau mengeluh. Saya masih bangga dengan bangsa ini, saya tak tega
bangsa
ini
jadi
jelek.
Tapi
apa
yang
masih
bisa
saya
banggakan, wong kenyataannya memang jelek."
Aku terkesima. Puting-beliung dari mana yang menerbangkan
keponakanku ini, kok tiba-tiba ada di depanku? Tahun lalu, ketika ayahnya
meninggal dunia, selama tiga bulan ia bersedih-sedih di akun Facebooknya.
"Bulu tangkis, yang pernah mengharumkan bangsa, kini hancur. Tim Piala
Thomas dan Piala Uber kalah sebelum semifinal. Tak ada juara dunia lagi,
padahal dulu selalu all-Indonesian final. Sepak bola, ya ampun, kalah
melulu. Apa dong yang kita banggakan?"
Aku mengusap rambutnya, sambil mengkhayal sejenak, kalau ada kamera
di depanku, jangan-jangan ada yang mengira ini shooting sinetron. Dia
melanjutkan.
"Apa dong yang masih baik di negeri ini? Negara paling korup, tapi
koruptornya dibela terus. Negeri yang jadi pasar narkoba, tapi terpidana
narkoba dapat grasi. Bangsa yang suka diadu, menjelek-jelekkan sesama
anak bangsa. Yang dipuja orang asing, Lady Gaga, Inter Milan.
Memangnya Agnes Monica kalah aksi? Bangsa yang tidak bebas
melaksanakan ritual. Masjid dirusak, gereja disegel, tapi yang diteriakkan
Tuhan Maha Besar."
"Sudahlah, cukup. Cukup," aku sampai memegang mulutnya, ocehannya
sudah sensitif. "Kamu jangan terlalu pesimistis, apalagi sampai mengolokolok bangsa sendiri. Itu sama saja artinya kau telah mewujudkan tanah
airmu untuk menjadi bangsa yang gagal. Tetaplah bangga."
Kata-kataku itu, kalau tak salah, sepertinya ditulis sahabatku Tulus
Wijanarko di akun Facebooknya. Ah, biarlah aku pinjam agar dia bisa
tenang. Benar, dia agak tenang dan berkata:"Bagaimana saya bisa
berbangga kalau faktanya jelek, korupsi semakin menggila, polisi semakin
takut pada ormas...."
"Ini masalah pilihan," kataku memotong. "Kau tetap mau mengolok-olok
bangsamu sendiri, atau kau mau menebarkan semangat optimisme di
tengah keterpurukan ini? Betul korupsi itu merajalela, sudah berapa
gubernur yang dipidana. Malah mau bertambah lagi kalau saja tidak
dibela oleh seorang mantan menteri. Tapi bukankah ada Dahlan Iskan,
menteri yang tak mau terima gaji, dan makan siang dari bungkusan
istrinya? Sepak bola kita hancur. Tapi tidakkah kau lihat lapangan di
Denpasar, Probolinggo, Tuban dipenuhi anak-anak bermain bola? Tidakkah
kau baca berita pemuda Kristen di Ambon sibuk menyukseskan MTQ?
Tidak pernahkah kau lihat umat muslim di Bali ikut mengatur lalu lintas
ketika ada pawai ogoh-ogoh menjelang Nyepi? Tim SAR kita luar biasa di
mengkhayal.
Saya mau pamerkan mobil canggih itu ke teman-teman di Jakarta, agar
dia tahu, mobil listrik ini bisa diproduksi di Bali--meskipun di bawah lisensi
PT Sarimas Ahmadi Pratama, milik Dasep Ahmadi yang sudah direstui
Menteri Dahlan Iskan. Saya berangkat dari Denpasar pagi hari dengan
baterai penuh yang bisa menempuh perjalanan 120 km. Sekadar
diketahui, saya begadang semalaman, takut ada pencuri. Maklum, rumah
gelap, semua peralatan yang memakai listrik dimatikan. Seluruh daya
diarahkan untuk men-charge baterai mobil ini.
Denpasar-Gilimanuk aman. Masuk ke kapal pun aman. Tatkala antre
keluar, awak kapal membentak saya, "Cepat hidupkan mobil." Saya pun
membalas, "Sudah hidup, tahu! Ini mobil listrik, gak pakai bunyi." Keluar
dari geladak, injak gas dalam-dalam, greeng (eh, maaf, salah tulis,
enggak pakai bunyi) ssstt..., mobil melesat mulus.
Beberapa kilometer lewat Ketapang, mobil mogok. Ingat kata Menteri
Dahlan, itu bukan mogok, baterainya habis. Saya pusing mencari toko
atau rumah yang daya listriknya 2.200 kWh, kebanyakan hanya 1.300
kWh. Untung ada pabrik penyosohan beras yang memakai genset. Di sana
saya menumpang "nyetrum" baterai mobil. Perlu waktu lima jam agar
baterai penuh, sampai-sampai ada tengkulak yang mengira sayalah
pemilik penyosohan beras itu.
Saya berhitung, dari sini dengan jarak 120 km baru sampai Pasir Putih, ya,
kalau persis di obyek wisatanya. Kalau di hutan? Jika pun ada tempat
menumpang nyetrum baterai,nunggu lagi lima jam. Berapa hari DenpasarSurabaya ditempuh, dan kapan sampai Jakarta?
"Harusnya bawa baterai cadangan, paling tidak tiga," seperti ada bisikan.
Masuk akal, sehingga ketika malam saat tidur, semua baterai di-charge.
Tapi, adakah hotel yang menyediakan daya listrik besar untuk hal itu di
kota kecil?
"Anda terlalu cepat punya mobil listrik, mestinya sepuluh tahun lagi baru
beli," ini tulisan di Twitter. Saya balas, "Lo, menterinya saja tak sabaran,
kok. Saya kan hanya ikut-ikutan." Lalu ada bisikan lagi yang menyalahkan
saya, "Kok, Anda percaya dengan program instan seperti ini? Semua
pekerjaan ada tahapannya, ada komponen pendukung, ada infrastruktur,
yang instan itu hanya mi."
Saya merenung, "Kalau program ini berhasil dan sepuluh tahun lagi baru
saya punya mobil listrik, di mana dikebut? Sekarang saja jalanan sudah
macet, apalagi setelah ada mobil listrik." Tapi saya tak mau memikirkan
itu lagi, khayalan saya sudahi. Mengkhayal, kok, yang ruwet.
tidak normal. Kata dia, kalau enam pasangan itu semuanya diangkat
sebagai gubernur dan wakil gubernur, uang untuk membayar gaji mereka
tak banyak. Mereka sudah kaya, terbukti ongkos kampanyenya begitu
besar, yang tak mungkin akan kembali dengan pendapatan gaji yang
normal. Mereka sebenarnya tak mencari gaji dengan jabatan gubernur,
melainkan mencari gengsi.
Lagi pula--ini masih pendapat Mama--dengan punya enam gubernur dan
enam wakil gubernur, warga Jakarta akan menikmati masa kejayaannya
dan segera mengalami kesejahteraan yang luar biasa. Tak akan ada lagi
daerah kumuh, tak ada fakir miskin dan gelandangan, tak ada wilayah
yang kebanjiran, tak ada jalan yang macet, serta tak ada perampokan,
prostitusi, dan perjudian. Pemerkosaan, apalagi di angkutan kota, itu jadi
dongeng masa lalu.
Gubernur Fauzi Bowo meneruskan program lamanya mempercantik
Jakarta sebagai kota paling modern di dunia. Gubernur Hendardji
mempersolek wilayah yang kumuh, akan sulit mencari orang yang tidur di
rumah kardus. Gubernur Joko Widodo membangun rumah susun dan
menertibkan pedagang kaki lima, tak mungkin lagi ditemukan orang
berjualan di trotoar. Gubernur Hidayat Nur Wahid, wah ini dia, menjadikan
Jakarta kota religius, semua orang taat beragama, yang muslim silakan ke
masjid, yang Kristen kebaktian di gereja, tak ada menggunakan trotoar
untuk kebaktian. Gubernur Alex Noerdin membuat Jakarta bebas macet,
bahkan jika perlu jalanan dibikin lengang seperti di pedalaman Sumatera
Selatan. Sehari setelah dilantik, Gubernur Alex membebaskan warga dari
biaya rumah sakit, tak lagi membayar uang sekolah, jangan-jangan rakyat
juga digaji. "Kenapa gubernur dipilih? Supaya adil, ditetapkan saja seperti
di Yogyakarta, dan untuk Jakarta sekalian ditetapkan enam pasangan itu,"
kata Mama.
Saya memotong, takut Mama nyerocos terus, "Ma, kok Faisal Basri
dilewatkan?" Mama tertawa, "Eh, lupa, habis iklannya jarang ada di TV."
Segera Mama nyerocos, "Gubernur Faisal akan mengajak semua pegawai
dan pengusaha bekerja dengan jujur dan tidak korupsi. Kalau tak ada
dana, saweran seperti membangun gedung KPK itu. Nah, klop, Jakarta
gemerlap, warganya sejahtera, jalannya lengang, aman tenteram tak ada
penjahat karena semua warganya religius."
Saya seperti terhipnotis, membayangkan suara azan beradu keras di
waktu subuh, bagaikan simfoni menyongsong alam surgawi di Jakarta
yang religius ini. Tapi, bagaimana kalau semua janji calon gubernur itu tak
terbukti? "Gantung mereka di Monas, jangan pelihara penipu busuk,
biarkan dia jadi hantu," ceplos Mama. Indri, sang cucu yang sedari tadi
diam, ikut nyeletuk, "Wah, bisa-bisa kita dipimpin Gubernur Hantu, nih."
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 8 Juli 2012)
dalam keseharian.
Mendukung saweran sama sekali tanpa maksud menyalahkan dan
membenarkan sesuatu. Tak terlintas, saweran ini saya jadikan simbol
perang kepada Komisi Hukum DPR yang menjegal anggaran gedung baru
KPK. Saya berpikir positif, anggota DPR sudah bekerja dengan baik.
Disebutkan, Komisi Hukum punya 14 mitra kerja, yang semuanya minta
gedung baru. DPR harus memilih, siapa yang diberi, siapa yang ditunda,
siapa yang ditolak. Kekuasaan DPR yang luar biasa itu kebetulan menunda
anggaran KPK. Tak ada yang salah kan? Yang salah adalah ketika kita
menciptakan kekuasaan parlemen begitu besar, kita memilih orang-orang
yang tidak pandai bersyukur dengan rejeki yang sudah didapatkan
dengan halal. Kesalahan ini kemudian bisa bercabang banyak, mungkin
sistem pemilihan yang salah, atau asal-muasal sumber anggota parlemen
itu yang tak pas.
Tapi apa perlu saling menyalahkan? Lebih baik saling memperbaiki.
Sambil memperbaiki itu, bobrok utama negara ini, yakni korupsi, harus
diperangi dengan melibatkan sebanyak-banyaknya orang. Kita buat
simbol perlawanan yang sederhana: saweran untuk gedung yang jadi
ujung tombak pemberantasan korupsi itu. Setuju?
(Dimuat Koran Tempo Minggu 1 Juli 2012)
Januari 2012)
gres soal renovasi ruang rapat Badan Anggaran senilai Rp 20 miliaran itu.
Setelah media massa jail mempermasalahkan hal ini, dan setelah
Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat takut berdusta, lalu
membeberkan apa adanya, para wakil rakyat ramai-ramai bilang tidak
tahu.
Apakah itu dusta atau bukan? Kalau anggota parlemen tak pernah
mengeluhkan soal ruang rapatnya yang sekarang, bagaimana mungkin
ada rencana merenovasi? Kalau Badan Urusan Rumah Tangga DPR tak
menyetujui renovasi dan Badan Anggaran tak menyetujui anggarannya,
bagaimana mungkin Sekjen DPR melaksanakan proyek itu? Situasi
transparan seperti ini memang menyulitkan untuk berdusta. Misalnya
bilang, "Wah, saya baru tahu setelah kursi dari Jerman itu dipasang." Ini
artinya anggota DPR tak tahu rumahnya sendiri. Lalu bagaimana ia tahu
rumah rakyat di Flores, Sampit, Bima, dan lainnya?
Biar adil, jangan cuma menyebut polisi dan politikus. Mari sebut eksekutif,
misalnya, menteri. Wah, kalau dusta para menteri ditulis, perlu berlembarlembar halaman. Bagaimana kalau cari satu contoh kecil saja--dan
sepele--yakni mobil Menteri Muhaimin yang mendadak mogok dan
menyebabkan tabrakan beruntun di Malang. Sudah jelas gambarnya
terpampang di media massa betapa hancurnya beberapa mobil akibat
tabrakan beruntun itu, Muhaimin tetap bilang, "Enggak ada, tuh,
tabrakan. Aku lancar-lancar saja."
Apakah perlu Presiden mengeluarkan instruksi mengakhiri dusta? Janganjangan malah ini menambah dusta baru.
istri, berlari kecil. Ia berjalan, berpidato, dan ngobrol dengan sikap biasa
saja. Pejabat kita, waduh, penuh basa-basi feodalisme. Berjalan
menghitung langkah, pidato memakai teks, pantas saja Dahlan gerah
ketika tahu ada Direksi BUMN yang punya "staf khusus membuat pidato".
Damai itu ada di dalam hati, kita ciptakan kedamaian dalam diri kita
sebelum mengajak orang lain berdamai, apalagi menginginkan dunia yang
damai. Kata menyejukkan ini terdengar di sela-sela lagu Kristiani pada
sebuah misa Natal entah di mana, karena saya mendengarnya lewat
radio.
Ingin merasakan Indonesia yang damai seperti dulu, ritual kebaktian Natal
tidak dijaga polisi. Tulisan ini ada di Facebook, diposting oleh seorang
budayawan, yang agak relevan disebut seorang Muslim.
Tetapi, kenapa damai yang indah itu begitu mahal, kenapa ritual
keagamaan harus dijaga polisi? Ini pertanyaan batin saya yang
jawabannya melebar ke mana-mana.
Setelah Amrozi meledakkan bom pertama di Bali, Oktober 2002, ada ide
agar persembahyangan umat Hindu di pura yang besar, dijaga oleh
aparat keamanan. Ide ini datang dari aparat keamanan sendiri, tentu
dengan niat baik untuk antisipasi. Namun, ide itu ditentang. Alasan yang
masuk akal adalah berbagai analisa bahwa sasaran teroris di Indonesia
sesungguhnya untuk menyatakan perang terhadap Amerika Serikat.
Bukan perang terhadap orang Bali, apalagi memerangi umat Hindu.
Tapi, masyarakat Bali penganut Hindu punya alasan lain, yang boleh
diperdebatkan apakah masuk akal atau kurang masuk akal. Yakni, mereka
percaya Tuhan tidak tidur. Karena Tuhan tidak tidur, apalagi saat diberikan
persembahan, tak mungkin Tuhan membiarkan ada bom meledak. Segala
niat jahat yang mendomplengi ritual kedamaian itu pastilah dicegah oleh
Tuhan.
yang bertugas, biarlah hanya mengurus lalu lintas di jalanan. Tapi, saya
tak menggunakan alasan seperti tadi: sasaran teroris adalah Amerika atau
Tuhan pasti mencegah karena Beliau tidak tidur. Alasan saya hanya satu:
kalau itu sampai terjadi sembahyang dijaga polisi akan menjadi trauma
berkepanjangan bahwa bumi ini sangat tidak damai. Rasa takut kita
tumbuh, bahkan dipupuk dengan teror ketakutan tanpa akhir, sehingga
jika pada suatu saat kita bersembahyang tidak melihat ada polisi yang
menjaga, sembahyang kita menjadi tidak khusuk. Bagaimana
menciptakan damai dalam diri kalau batin kita bertanya-tanya: ada bom
apa tidak ya?
Seribu Banser Ansor siap mengamankan malam Natal. Puluhan ribu polisi
siap menjaga gereja. Pecalang aparat keamanan milik adat di Bali juga
diminta menjaga sejumlah gereja di Bali. Adakah ini menimbulkan rasa
aman untuk mereka yang menjalankan ritual Natal? Saya tak tahu karena
saya tidak merayakan Natal. Namun seorang sahabat Kristiani
mengatakan, ia justru merasakan ini sebagai menebar ketakutan,
seolah-olah misa Natal itu sesuatu yang sangat berbahaya. Yang lebih
parah lagi seolah-olah ada sekelompok orang yang tidak merayakan Natal
ingin mengacaukan misa Natal.
Natal tanpa dijaga polisi, bukan saja untuk menghindari kesan umat
Kristiani punya musuh besar di Nusantara ini, tetapi memang kita ingin
Indonesia yang damai -- seperti dulu.
membuat girang Romo Sugeng begitulah lelaki ini saya panggil dengan
akrab. Romo yang usianya sudah kepala tujuh tetapi masih berani makan
tongseng kambing ini, bukan partisan partai. Ia petani, tapi lahan
pertaniannya disewakan untuk perkebunan teh. Ia kerap saya temui di
warung tongseng Bang Jarot yang terkenal di Desa Kemuning itu, desa
terdekat sebelum menanjak menuju Candi Ceto di Gunung Lawu,
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Lo, belum ke sana. Sampeyan nggak ngerti politik, sih. Posisi JK itu
sekarang, baru pada mencairkan kembali semangat untuk bertanding
yang tadinya sempat loyo. Dengan cerainya JK pada SBY, partai lain
menaruh harapan untuk disambangi JK. Sebaliknya, JK pun bersemangat
untuk mendatangi. Kalau JK berhasil membangun kekuatan, kan yang
memilih jadi bersemangat karena hasilnya tidak pasti. Seni dalam memilih
itu adalah jika kita tak bisa memastikan hasil akhirnya. Ketidak-pastian
ini, seperti dialami para petaruh, memunculkan kegairahan.
Romo, ini saya tak setuju, memilih pemimpin kok coba-coba, taruhannya
bangsa Romo, kata saya memotong.
Lagi-lagi sampeyan tak tahu politik para pemilih, kata Romo agak keras.
Sampeyan kemarin bilang, di Bali ada pelawak yang hanya cengangascengenges di panggung bisa meraih kursi di Senayan, mengalahkan para
politikus karatan. Itu artinya, pemilih bosan dikibuli para politikus selama
ini. Nah, apa bedanya dengan bangsa? Puluhan tahun dipimpin militer,
berpuluh tahun dipimpin orang Jawa, berbilang tahun dipimpin birokrat
tulen, hasilnya begini-begini saja. Coba pilih yang lain, jangan-jangan
lebih bagus. Pergilah sampeyan ke Sulawesi, Kalimantan, Papua, Flores,
pemikiran seperti ini berkembang.
Saya merasa lebih baik diam, sehingga Romo nyerocos lagi: Kelemahan
JK, jika ia tak berhasil memimpin koalisi, lalu tetap hanya jadi orang nomor
dua, maka tamatlah dia. Siapa pun orang pertamanya, kemungkinan
koalisi itu menang melawan SBY sangat tipis.
Politisi yang kalah pada Pemilu 9 April, plus para tokoh yang nafsu besar
berkuasa tapi tidak punya partai, berkumpul di rumah Ibu Megawati. Salah
satu kesepakatannya, Pemilu 9 April lalu adalah Pemilu terburuk
sepanjang era reformasi. Kesimpulan itu diiyakan juga oleh mantan wakil
Presiden Hamzah Haz.
Pemilu yang lalu membuat capek banyak orang. Calon legislator capek
bukan main, bahkan ada yang nekad ingin istirahat selamanya, misalnya,
gantung diri. Petugas Pemilu, dari panitia pemungutan suara sampai
anggota komisi pemilihan umum, pasti capek juga. Pimpinan partai lebih
capek lagi, mondar-mandir menawarkan koalisi.
Saya yang mujur tidak menjadi calon legislator, juga capek. Mata capek
melihat tabulasi suara di televisi yang tak beranjak naik. Kuping capek
mendengar politisi yang saling tuduh lewat radio. Jadi, saya sepakat soal
capek itu.
kader PDI P dan Golkar. Bahkan di Bali, gubernurnya ikut kampanye PDI P.
Bukankah dari pemerintah itu sumber daftar pemilih tetap yang
amburadul? Maka, kader partai biru meradang, sedang kader partai
merah dan partai kuning, tenang-tenang saja.
Eh, setelah Pemilu, terjadi keajaiban. Yang memprotes daftar pemilih tetap
justru sebaliknya. Artinya, protes dan tidak memprotes, hujat dan tidak
menghujat, tergantung siapa yang kalah dan siapa yang menang. Partai
menang sudah nasibnya jadi tersangka dan partai kalah tak perlu malu
untuk jadi penuntut.
Pemilu yang buruk, memang disepakati. Tetapi, buruk rupa Pemilu jangan
cermin bangsa dibelah. Sistemlah yang membuat Pemilu jadi rumit,
bertele-tele, dan amat mahal. Sistem lahir karena tuntutan undangundang. Contoh kecil, pemilih harus terdaftar. Padahal kalau mau
gampang, pemilih tinggal menyodorkan kartu tanda penduduk. Bukankah
dengan KTP ber NIK (nomor induk kependudukan) yang oleh orang desa
disebut KTP Nasional tidak memungkinkan (teorinya) ada seorang
memiliki dua KTP? Kalau pun ada maklum masih ada desa yang tak
punya komputer online dan banyak orang kota yang nakal bukankah ada
tinta Pemilu yang mencegah orang memilih dua kali? Tinggal
pengawasan.
Yang gampang itu dipersulit oleh undang-undang. Ini hanya satu contoh,
banyak contoh lain. Lalu siapa yang membuat undang-undang itu? Ya,
wakil rakyat yang ditentukan oleh partai. Jadi, kalau Pemilu ini buruk, yang
sesungguhnya buruk itu adalah orang-orang partai di Senayan.
Iklan
Putu Setia
Ini bukan iklan politik. Juga bukan iklan caleg-calegan. Ini hanya cerita
seorang teman yang gemar sekali mengomentari iklan, tetapi sangat
terpengaruh oleh iklan. Bayangkan saja, ia sudah demikian sehat lahir
batin, masih saja minum suplemen untuk keperkasaan laki-laki. Apanya
lagi yang perlu diperkasa?
Kalau saya tak minum obat kuat itu, kasihan kan produsennya pasang
iklan mahal-mahal, katanya. Artinya, teman saya ini setuju, iklan itu
perlu untuk menjual produk. Namun, katanya lagi, kalau usahanya itu
sudah monopoli, tak ada saingan sama sekali, ya, untuk apa beriklan? Itu
buang-buang duit dan rentan korupsi, apalagi jika itu perusahaan negara.
Contohnya Pertamina, ngapain mengiklankan jual premium? Memangnya
kalau tak beriklan, pemilik sepeda motor dan mobil akan membeli
premium di kantor telepon?
Teman saya ini mencatat, hampir semua departemen membuat iklan tak
bermutu, pesan yang disampaikan tak sebanding dengan biaya yang
milyaran rupiah. Menteri Kesehatan buat iklan untuk hidup sehat, Menteri
Olahraga buat iklan untuk berolahraga. Masyarakat kok dianggap bodoh.
Mending uang itu langsung dibagikan ke rakyat saja. Yang mereka jual itu
sesungguhnya bukan produk, tetapi tampang pengiklan.
Lihat di Depok, walikota pasang iklan lewat baliho untuk mengajak rakyat
makan pakai tangan kanan. Ini dikaitkan dengan jati diri bangsa. La,
senorak itu pesan yang disampaikan, membawa-bawa jati diri bangsa.
Memangnya tak ada yang lebih penting dari itu? kata teman saya.
Iklan politik dan iklan caleg (ini sudah populer, maksudnya iklan yang
dibuat para calon legislatif) juga menyebalkan di mata teman saya ini.
Partai besar membuat iklan yang menyalahkan pemerintah. Janjinya
begitu, faktanya begini. Padahal mereka menyembunyikan fakta penting,
yakni pemimpin partai itu sudah pernah memimpin bangsa ini, tetapi
Ah, Anda terlalu jauh, skandal itu kan ulah oknum, kata saya. Tapi ini
yang melekat di hati rakyat sekarang. Pada saat rakyat sudah
berkesimpulan anggota dewan itu brengsek, meski tidak semua,
seharusnya cara beriklan itu lain. Begitu pula pada saat pejabat tak bisa
memberi contoh baik pada rakyat, jangan beriklan sok menggurui. Pilih
makanan yang sehat, cuci tangan pakai sabun, itu kan seolah rakyat
bodoh. Masalahnya, apa rakyat punya makanan dan bisa membeli sabun?
Ini kan pesan-pesan gombal.
Wah, saya tak berani mendebat lagi, takut kata yang keluar lebih jorok
dari gombal. Lama saya tak ketemu dia, sampai saatnya saya perlu
banget dan mengontak handphone-nya. Tak ada jawaban. Berkali-kali
saya memutar nomor 0818xxx xxx, tak ada jawaban, padahal ini kartu
yang jangkauannya paling luas dan tarifnya konon paling murah. Eh, tibatiba dia nongol dan langsung saya semprot: Saya telepon Anda, kok tak
dijawab? Dia tenang saja: Gara-gara iklan. Kartu yang saya pakai dulu,
sekarang dipakai para monyet, ya, saya ganti, memangnya saya juga
monyet?
Putu Setia
Sebagai penekun, seharusnya saya tak perlu tahu angka berapa yang
dipilih para sahabat meditasi. Tapi, dasar saya suka iseng, dalam sekali
lirikan saya bisa menebak angka yang dipilih oleh teman duduk saya.
Misalnya, dengan melihat berapa batang dupa (atau hio) yang dia bakar,
berapa kali dia melafalkan doa dari bahasa tubuhnya. Bermeditasi
dengan iseng melirik kiri kanan seperti ini tentu tak dianjurkan, tapi saya
kan memang bandel?
Saya menduga, banyak peserta yang memilih angka 6. Lalu saya main
tebak: O, itu pasti karena angka 6 adalah milik alam semesta, yang
memenuhi jagat raya. Dalam ritual Hindu, angka 4 ada di utara, angka 5
di timur, angka 7 di barat, angka 8 di tengah, dan angka 9 ada di selatan.
La, angka 6 kok dilewatkan? Itu artinya angka yang maha sakti
memenuhi seluruh penjuru angin.
Tadinya saya pikir beliau senang, karena saya teringat makna angka 666
dari kepercayaan yang lain. Saya membayangkan, Pak Ical akan maju
terus bisnis dan kariernya. Lagi pula sebagai penggemar tenis, dapat
point 6 berarti memenangkan pertandingan. Ternyata, menurut beliau, itu
angka setan. Ih, ngeri juga.
Apakah yang menggambar wajah Pak Ical dengan angka itu, tahu seluk
beluk angka dari berbagai kepercayaan? Saya meragukannya. Mereka, tim
desain Tempo itu, anak-anak muda yang lurus, tak pernah saya jumpai
pegang buku primbon, apalagi memelototi Ramalan Romo Gayeng
untuk memasang togel. Saya kira, mereka hanya tak sempat ke Tanah
Abang makan sop kambing, lalu kesal dan menulis angka 666. Maklum,
langganannya Bang Kumis 999. Eh, somasi pun datang, tapi bukan dari
Tanah Abang.
Dua remaja wanita lagi berbisik di atas bus kota yang terseok karena
macet. Jadi, kau putus sama dia? tanya yang satu. Yang ditanya
menjawab:
Aku
lagi
bingung,
orangnya
pendiam.
Wajahnya
yang ndeso awalnya justru jadi daya tarikku. Tapi, aku bingung,
bagaimana kalau kalau dia itu psikopat.
Psikopat, kata seorang ahli, adalah orang yang senang melanggar aturan.
Puas kalau orang lain sengsara. Tak pernah menyesal meskipun
perbuatannya sangat terkutuk. Jadi, begitu jauhkah beda antara pengidap
psikopat dengan orang yang saleh dan taat beragama, seperti para
pendeta, misalnya? Tidak juga. Karena, menurut seorang ahli yang lain,
pengidap psikopat itu juga kerap memamerkan pribadi yang santun, tutur
kata indah, menyenangkan sebagai kawan, dan rajin sembahyang.
Kalau begitu, psikopat gentayangan di sekitar kita. Perlu vaksin agar kita
yang normal sudah pasti pula kaum psikopat merasa dirinya normal
tidak kejangkitan virus psikopat. Cobalah dibuka ingatan kita, betapa virus
psikopat ini sudah jauh menyebar. Setiap pelaku teror tertangkap, pasti
masyarakat sekitarnya berkomentar: tak menduga, ya, orangnya baik
kok, kalem, taat sembahyang. Apakah ini pertanda penggemar STMJ
sembahyang taat maksiat jalan-- makin banyak?. Amrozi yang senyumnya
manis itu, adakah pengidap psikopat juga, karena ia membunuh ratusan
orang tanpa pernah menyesal?
Padahal partai itu akan menjadi partai besar. Namanya saja Partai Besar,
tentu aneh kalau tetap kecil. Nama partai itu sudah ibu pikirkan matang-
matang dan masyarakat pasti akan mendukungnya. Sekarang ini di manamana orang berteriak Tuhan Maha Besar, itu artinya harus diayomi oleh
Partai Besar. Wong cilik pasti ingin menjadi besar, dan orang-orang besar
tak akan mau menjadi orang kecil. Nah, partai ibu akan didukungnya,
kata istri saya nyerocos. Belum lagi masalah-masalah kecil yang ada di
negeri ini selalu dibesar-besarkan, bukankah itu pertanda partai ibu akan
laku?
Saya sudah capek menasehati kalau istri saya itu sebenarnya lagi sakit.
Ya, seperti orang-orang besar yang mendirikan partai itu, sejatinya
mereka itu orang sakit. Mereka harusnya istrirahat setelah menjadi kaya
dari sebuah rezim. Mendirikan partai kentara sekali hanya untuk
memuaskan nafsu berkuasa, bukan itikad luhur untuk melayani
masyarakat. Uang dihambur-hamburkan untuk itu, padahal begitu banyak
orang papa di sekitar kita.
Bersyukurlah Bu, Partai Besar tidak lolos. Sudah ada 34 partai yang lolos,
dan itu terlalu banyak. Rakyat sudah antipati pada partai. Mendengar
partai yang dibayangkan anggota dewan, lalu mendengar sejumlah kata:
korupsi, suap, main perempuan. Citra partai sudah hancur, kata saya
menenangkan.
Partai-partai baru sulit laku, kata saya lagi. Masyarakat telah terpola
dengan tiga partai, PDI mewakili kaum nasionalis, Golkar mewakili
kekaryaan dan PPP mewakili Islam. Ini karena sejarah yang panjang. Kalau
ditambah dua lagi, yaitu PKS dan Partai Demokrat, ya, semestinya sudah
cukup lima partai. Partai baru seperti Hanura, Gerinda, dan lainnya, itu
kan Golkar dalam bentuk lain. Partai Pelopor, PNI Marhaenis, Banteng
Kemerdekaan, dan sejenisnya, itu kan dianggap sempalannya PDI. Begitu
pula partai yang berbasis Islam, ada banyak karena sempal-menyempal.
Kalau induknya masih ada kenapa harus bergabung ke sempalannya?
Coba saja lihat nanti, partai-partai baru itu hanya dapat suara nol koma
nol nol persen.
Tapi kan tetap dapat suara, potong istri saya. Waktu pemilihan
Gubernur Bali ada kandidat yang mengumpulkan partai yang perolehan
suaranya nol koma nol persen itu, partai kecil dapat uang lumayan karena
menjadi penggenap agar jumlah suaranya 15 persen.
Istri saya langsung menelepon anaknya. Komang, apa betul Partai Besar
yang ibu dirikan sudah didaftarkan ke KPU? Kok tidak lolos? Kan semua
keluarga Ibu di Kalimantan, Sulawesi, Sumatra dan Jawa sepakat
membentuk cabang?
Putu Setia
Belum sempat saya menerka apakah ini perempuan sinting atau hanya
sekedar stress, dia sudah bicara lagi: Apa sekarang Bapak
masih membela-belain mahasiswa? Lihat itu ulahnya, dengan semangat
merusak pagar, dengan sorak gembira memblokir jalan, dengan enteng
membakar mobil. Apa yang membedakan mereka dengan preman yang
mabuk? Padahal tujuannya bagus untuk kepentingan rakyat, tapi ulahnya
mengganggu rakyat.
Dia tak memberi waktu saya bertanya. Sudah tahu mahasiswa brutal, eh,
masih dibela-belain. Kalau ada mahasiswa yang kepalanya robek di rumah
sakit, dikunjungi tokoh-tokoh penting. Polisi yang kepalanya robek, siapa
yang mengunjungi? Polisi kan manusia juga.
Aksi brutal mahasiswa itu dibiayai oleh orang-orang penting. Terima gaji
sebagai komisaris perusahaan negara, bukannya membantu pemerintah,
eh, malah menyerang pemerintah. Maunya apa? Menggulingkan
pemerintah dan mau kedudukan? Kalau tujuannya seperti itu, bergabung
ke partai dong, atau bikin partai sendiri jika tak laku di partai yang ada,
rebut kedudukan dan ganti pemerintahan lewat pemilu. Jangan malah
mahasiswa disuruh merusak.
Maaf, saya mau olahraga, kalau saya tak diberi waktu bicara, saya
berjalan sekarang, kata saya mengancam.
membela
mahasiswa.
Jadikan
Ibu, sekali lagi jangan bilang sontoloyo. Menurut kamus, kata itu bernada
memaki, tak enak didengar, kata saya.
Memang sonto loyo. Suami saya Sontonugroho, kami sudah lima tahun
menikah tak punya anak, dia memang loyo. Perempuan itu tiba-tiba
berlari kecil, dan saya pun berjalan kaki mengitari lapangan sambil
tersenyum.
Taman kota Denpasar memang tempat romantis untuk olahraga, tak akan
ada unjuk rasa brutal di sini. Di Bali, kalau ada aksi demo, masyarakat
adat langsung mengawasi. Begitu ada aksi yang mengganggu ketertiban,
masyarakat adatlah yang menertibkannya.
Tokoh Muda
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Sebuah karikatur di tabloid istana menyindir Wiranto dan Megawati
sebagai kakek dan nenek. Imajinasi yang mau digiring adalah mereka itu
sudah tua. Dalam bahasa anak muda, Kalian sudah uzur, istirahat
sajalah, jangan ngurus macam-macam.
Pramono Anung, tokoh setia di samping Megawati, protes keras. Pengelola
tabloid yang menyuarakan kubu Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono ini,
cepat minta maaf. Jadi, tidak sampai menjadi bola salju yang bisa
ditendang ke mana-mana.
Zaman sudah berubah. Di masa lalu, partai besar punya koran. Andaikata
era ini semua partai besar punya koran (yang pasti tidak akan laku secara
bisnis), Pramono tak perlu protes. Kubu Megawati akan membalas
karikatur itu dengan menggambarkan Susilo Bambang Yudhoyono juga
seorang kakek, bahkan mungkin dengan dramatisasi, kakek yang ragu
berjalan sehingga langkahnya tersendat, kakek yang ber-poco-poco.
Untunglah ini tak terjadi dan orang sudah melupakan karikatur kakek dan
nenek itu. Namun, yang tak boleh dilupakan, sejatinya semua tokoh itu
sudah berstatus kakek dan nenek. Katakanlah dengan istilah keren,
kakek bangsa dan nenek bangsa. Sederet nama bisa ditambahkan di
jajaran ini, misalnya, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Hamzah Haz, dan
banyak lagi.
Kalau mereka tidak mau istirahat, rakyat yang mengistirahatkannya
dengan segala hormat. Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Barat, menjadi
contoh paling akhir. Kurang apa lagi pengalaman kakek kita yang satu
Alternatif
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Seorang mantan aktifis kampus mengeluh. Ia heran, begitu banyaknya
partai politik, sampai kini, tak satu pun partai yang meminta dia untuk
menjadi calon anggota legislatif. Padahal ia sudah mau dicalonkan di
mana saja, apakah itu untuk kabupaten, di tingkat provinsi, apalagi di
pusat. Dia bertanya: Apa salah saya?
Saya menjawab dengan serius, karena keluhannya memang serius. Ada
lima kesalahanmu, kata saya.
Pertama, kamu lelaki. Coba kalau lahir perempuan, bisa mendapatkan
tawaran. Partai-partai politik sedang mencari calon legislatif perempuan
untuk memenuhi kouta 30 persen. Kalau kouta itu tak dipenuhi, daftar
calon akan dikembalikan Komisi Pemilihan Umum. Begitulah enaknya
perempuan Indonesia saat ini. Meski begitu, tetap saja sulit mencari
perempuan yang mau dicadikan calon di daerah karena mereka tahu akan
dikibuli. Hanya sebatas calon, hanya penggenap kuota, bukan untuk
disiapkan menjadi wakil rakyat.
Kesalahan kedua, orangtuamu bukan pemilik partai. Puan Maharani, anak
Megawati, langsung bisa jadi calon dengan nomor urut satu. Edi Baskoro,
anak Susilo Bambang Yudhoyono, juga begitu. Pemimpin partai di daerah
akhirnya mengikuti apa yang terjadi di pusat: anak, istri, mantu, besan
dicalonkan. Apakah ini nepotisme tentu jawabannya sudah tersedia:
mereka kader partai, hak setiap orang untuk dicalonkan jangan dihambat.
Kesalahan ketiga, kamu tidak mendeklarasikan dirimu alias tidak
meminta, tapi menunggu tawaran. Ini bukan zamannya lagi. Kamu salah
memahami ajaran Soeharto di masa lalu. Soeharto dan para tokoh di era
itu selalu berkata tidak mengejar jabatan, tidak punya ambisi menjabat,
jabatan adalah amanah dan seterusnya. Lalu ada kata penutup: Kalau
rakyat menghendaki, saya tak berani menolaknya. Kenyataannya, suara
rakyat direkayasa oleh para pembantunya, ah, ini cerita lama. Sekarang,
siasat itu sudah jadi gombal. Yang laku saat ini adalah deklarasikan dirimu
bahwa kamu mampu menjadi pemimpin alternatif dan sanggup
mensejahtrakan masyarakat, meski pun sama gombalnya. Buat iklan di
televisi, buat baliho, sebarkan pamflet, sebutkan hanya kamu yang bisa
mengatasi keadaan yang terpuruk ini.
Cuma, kamu harus mencari orang yang pinter menyusun kata-kata
slogan. Cari juga pemantau yang suka keluyuran ke daerah-daerah,
tempat rakyat yang akan memberikan suara itu bermukim. Ini penting,
karena rakyat sudah kritis, agar iklanmu tidak ditertawakan. Misalnya,
iklanmu berbunyi: Saya, Sutowo, Ketua Himpunan Peternak Bebek se
Indonesia Apa memang kamu pernah memelihara bebek? Rakyat yang
mengikuti kiprahmu, akan tertawa nyengir.
Juga, jangan membuat iklan terlalu puitis, rakyat bingung apa maunya,
dan akhirnya mencari-cari kata yang akan dijadikan tertawaan. Misalnya,
kalau masyarakat mengizinkan, saya akan membawa harapan. Kamu
tahu kan, setiap iklan itu muncul, orang mengejek di depan layar kaca:
Memangnya siapa yang akan kasi izin?
Hindari polemik soal usia. Megawati, Wiranto, Sutiyoso, Abdurahman
Wahid, Amien Rais, Sultan, dan sederet tokoh lain, masih lebih muda
dibandingkan ketika Ronald Reagan terpilih menjadi presiden Amerika.
Lebih baik kamu sebutkan bahwa bapak dan ibu itu sudah diberi
kesempatan oleh rakyat memimpin dan ternyata tidak berhasil. Kalau
kamu lebih berani, sebut saja mereka gagal. Jadi memang perlu pemimpin
alternatif.
Wah, saya tak sejauh itu berpikir, kata anak muda ini. Saya langsung
memotong: Itu kesalahanmu nomor empat: penakut. Dan nomor limanya
bermodal dengkul.
Angka
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
Ada angka sial, ada angka mujur, bagi yang percaya. Kalau punya mobil
baru, orang berani membayar mahal untuk nomor polisi yang angkanya
diyakini membuat mujur. Setidak-tidaknya menolak angka sial.
Secara nasional, angka sial itu 13. Banyak nomor rumah, bahkan nomor
lantai gedung tinggi, memakai angka 12-A untuk mengganti angka 13.
Tapi di Bali, angka sial itu bukan 13, melainkan 12. Sering ada ungkapan:
"celaka dua belas". Dari mana asal-usulnya? Seperti halnya angka 13,
kesialan angka 12 tak punya sejarah pasti. Ada yang menduga diambil
dari permainan sepak bola, ada istilah "dua belas pas"--hukuman
tendangan penalti dengan jarak 12 langkah dari garis gawang.
Angka mujur? Orang Cina yang percaya Taoisme menyebutnya angka 8.
Beberapa keyakinan lain menyebut angka 9, tentu dengan kelipatannya
(99 dan seterusnya) atau setelah dijumlah menjadi 9 (misalnya 18).
Dalam keyakinan Hindu, 9 itu angka tertinggi, karena itu Tahun Baru Saka,
karena teman anggota DPR itu sedang ditahan dengan status koruptor.
Ketika rumah Anas Urbaningrum mau disegel massa antikorupsi, Anas kan
semestinya keluar, lalu mengajak massa: 'Ayo kita ke KPK, periksa saya,
pertemukan saya dengan Nazaruddin, siapa yang benar dan siapa
yang ngaco.'"
"Ada kegelapan yang menutupi sinar baik," kata Romo lagi. "Sinar baik itu
katakanlah tekad memberantas korupsi. Dari Presiden, Menteri, wakil
rakyat, hingga mahasiswa semuanya bertekad memberantas korupsi.
Tapi, begitu koleganya jadi koruptor, mereka langsung membela.
Sebenarnya mereka itu betul-betul antikorupsi atau tidak?"
"Sekarang semua orang bilang antikorupsi. Koruptor dimiskinkan, buatkan
'kebun koruptor', usut skandal Century, seret pengemplang pajak, tangkap
Angelina, tangkap Muhaimin, eh, malah Nazaruddin didukung. Ini kan
terbalik."
"Romo," saya menyela, "Nazaruddin didukung maksudnya supaya terus
bercerita siapa saja yang menilap uang negara." Romo langsung pula
menyela, "Ya, tapi kan ada gilirannya. Selesaikan kasus satu per satu.
Abraham Samad benar, harus ada prioritas. Yang tak benar dari Samad
adalah dia mengecam Busyro terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya
tiap jam mengobral janji. Sami mawon."
"Mari kita mengusir Kala Rawu, meruwat diri dengan bertanya kepada diri
sendiri: kita ini sebenarnya korup atau tidak?" kata Romo. Saya mau
menanggapi, tapi Romo duluanbicara, "Sudah, ya, sebentar lagi Barca
melawan Real Madrid. Ini lebih menarik daripadangomongin koruptor
membela koruptor."
Putu Setia
Ketika Arjuna membentangkan panah membidik seekor burung, Krishna
bertanya: Burung apa yang kau bidik? Arjuna menjawab tegas: Burung
tekukur, Guru. Krishna tersenyum: Itu bukan tekukur. Itu burung gagak.
Arjuna tak melepaskan anak panahnya: Ya, benar, benar Guru, itu burung
gagak. Lagi-lagi Krishna tersenyum: Bukan gagak Arjuna, kau salah.
Ternyata itu burung sempati. Arjuna lalu batal memanah dan minta maaf.
Betul, itu burung sempati, katanya.
Apakah satria Pandawa ini tak tahu jenis burung? Tak bisa membedakan
tekukur yang bersuara indah dengan gagak yang menakutkan, apalagi
burung sempati yang dikenal sebagai burung suci. Persoalan tidak di
sana. Arjuna sangat takut kepada Krishna. Ia kehilangan integritas diri dan
bahkan tak memiliki apapun yang semestinya ia miliki, jika sedang berada
di samping guru spiritualnya.
Apakah Anas Urbaningrum, tokoh muda yang santun, kehilangan
integritas dan kecerdasannya, ketika ia berhasil merebut jabatan Ketua
Umum Partai Demokrat? Terlalu awal untuk menilai, meski pun saya
cemas hal itu akan terjadi melihat sinyal yang keluar. Ia, misalnya, berani
menantang siapa pun pesaingnya dengan cara-cara yang bermartabat,
tetapi begitu menyangkut nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan
keluarga, Anas bagaikan Arjuna, tak bisa membedakan mana tekukur dan
mana gagak.
SBY bagi Anas adalah belahan pikiran, lihat pernyataan Anas: Garis SBY
adalah garis saya. Ketika ada aspirasi yang tak jelas sumbernya, yang
menyebut kemungkinan Ani Yudhoyono dijadikan calon presiden oleh
Partai Demokrat pada Pemilu 2014, Anas berkata: Saya tidak ingin
menutup kemungkinan itu. Padahal SBY sendiri pernah bilang tak
menyiapkan istrinya untuk menggantikannya.
Begitu pula niat Anas yang menggebu menjadikan Ibas sebagai Sekjen
Partai. Kesannya, lebih mencari muka kepada SBY. Semua orang tahu,
Ibas belum punya jam terbang cukup untuk menjadi Sekjen.
Orang berharap Anas membangun kepemimpinan baru di negeri yang
langka pemimpin berkualitas ini. Ketenangannya, wajahnya yang
menyejukkan, kecerdasan yang dimiliki, dan pengalaman memimpin
ormas mahasiswa terbesar di tanah air, membuat orang tidak cemas
menatap Indonesia ke depan. Anas layak dijadikan ikon untuk alih
generasi kepemimpinan. Karena itu jika ia bisa bebas dari jebakan takut
pada bayang-bayang SBY, harapan bertumpu pada Anas otomatis citra
Partai Demokrat juga terangkat. SBY tentu masih layak dijadikan panutan,
tempat meminta pendapat dan arahan, namun tak berarti Anas
memposisikan diri sebagai boneka, seperti Arjuna yang jadi boneka
Krishna, tekukur disebut gagak, mengangguk.
Arjuna pun sejatinya bukan orang bego -- itulah kenapa kitab
Mahabharata dijadikan hikayat suci. Arjuna sadar, guru spiritualnya
adalah Awatara penjelmaan Tuhan yang turun ke bumi pada situasi
tertentu, sebuah keyakinan dalam Hindu. Krishna adalah Tuhan itu sendiri,
Tuhan yang kekuasaannya maha, yang menciptakan langit dan bumi
dengan segala isinya. Dengar kata Arjuna pada Krishna: Guru adalah
Tuhan itu sendiri, yang memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Jika Guru
berkehendak tekukur menjadi gagak, menjadilah dia gagak, tak ada
kekuatan lain yang menghalangi.
Dan kita tahu, SBY bukanlah Awatara. Beliau manusia biasa, punya
kelebihan dan pasti juga memiliki kelemahan. Anas harus memilahnya,
kelebihan mana yang layak diteruskan dan kelemahan mana yang harus
berani dilawan. Ini urusan bangsa yang besar, bukan sekadar urusan
burung tekukur dan burung gagak.
Ketika
penyiar
televisi
berkata:
Kami
segera
kembali
melaporkan ricuh musik dangdut di Probolinggo aku
menekan remote. Tak ada gambar apapun lagi di layar kaca.
Negeri ini semakin kacau, rusuh, menyebalkan. Tapi anehnya
aku tak pernah berhenti memikirkannya, aku mengeluh.
Istriku tak bereaksi. Sudah tujuh berita ditayangkan, semua
tentang kejelekan. Mahasiswa Makasar membakar ruang
kuliahnya, perang suku di Papua, banjir di Lumajang, bonek
Persebaya bentrok, anggota DPR terdakwa korupsi, polisi pamong
praja dilempari pedagang, teroris ditembak mati. Masih berlanjut
ricuh pentas musik dangdut, waduh, negeri yang bobrok, aku
semakin keras mengeluh, supaya istri mau peduli.
Benar, istriku mengambil remote. Wajah negeri tergantung
di remote ini, suaranya pelan. Lalu ia pencet tombol. Itu
mahasiswa menciptakan protipe mobil hemat bahan bakar. Ia
pencet lagi tombol: Wah, pentas Nyai Ontosoroh yang
mengagumkan dari Sita RSD, lebih bagus dari Happy Salma yang
lalu. Lagi pindah tombol: Anak yang cerdas beradu dalam kuis.
Pindah tombol lagi: Ha..ha Parto masih lucu di Opera Van
Java.
Indonesia
begitu
damai,
kata
istriku
sambil
melemparkan remote ke dadaku, pas di layar ada langgam
keroncong dari TVRI musik yang mungkin sudah lima tahun tak
kudengar, dari stasiun yang kukira sudah bubar.
Putu Setia
Romo lalu menyebut sejumlah nama. Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo,
Maruar Sirait, Aburizal Bakrie dan banyak lagi. Semuanya tidak saya
kenal Romo, saya kan rakyat kecil, mana kenal tokoh besar itu, jawab
saya. Dengan nada kecewa, Romo berkata: Kamu kurang bergaul,
padahal saya ingin membicarakan Sri Mulyani dalam kasus Bank Century.
Sri Mulyani mengambil keputusan itu dengan cepat, kata Romo. Kalau
sekarang ada yang mencela pengambilan keputusan itu, kata Romo, itu
sangat tak adil. Karena pencelanya berbicara saat kondisi aman tentram.
Pengambilan keputusan cepat saatemergency sering disebut judi yang
dibenarkan. Andaikata Sri Mulyani memutuskan membiarkan rumah itu
terbakar, lalu api merembet ke mana-mana, bayangkan celaan macam
apa pula yang diterimanya?
Tapi nyatanya api tak merembet, Romo, saya memotong. Kamu ikutan
tolol, jawab Romo. Kamu berbicara dalam konteks situasi sekarang yang
aman.
Saya diam, takut kena semprot. Kemudian, Romo bicara lagi, jika aliran
biaya menyemprot rumah itu dipersoalkan, nah, itu bagus, jangan Sri
Mulyani yang dihujat. Kan tak mungkin Ibu Sri turun langsung memeriksa,
berapa aliran uang untuk beli air, beli selang dan sebagainya. Kalau di situ
ada korupsi, ya, tindak di situ. Juga jangan sok pahlawan kesorean, selalu
bilang:
uang
rakyat
raib.
Uang
ini
memang
diperuntukkanemergency semacam itu untuk para anggotanya yang
kemudian akan dikembalikan lagi. Ya, kalau disebut uang Negara atau
uang rakyat, itu perdebatan para kusir delman, memangnya ada
organisasi silat menerbitkan uang? Semua uang, ya, dikeluarkan Negara,
tapi ada hak milik yang melekat pada orang atau paguyuban.
Putu Setia
Saya makin tak paham: Kamu ini sebenarnya mengharap Obama datang
atau tidak? Teman saya menjawab: Mengharap Obama datang sehingga
saya bisa melakukan aksi unjuk rasa menolak kedatangannya. Tak takut
dengan pengamanan yang super ketat itu? Ya, aksinya agak jauhlah, asal
pandai memanfaatkan situasi, misalnya, adu dorong sedikit dengan polisi,
pasti diliput televisi. Televisi kita kan senang dengan liputan begini.
Saya mulai paham, dan tak berani lagi bertanya. Ini masalah sensitif.
Mungkin kawan saya tergolong mardem makelar demo. Namun, ada
yang saya renungkan dari ucapan teman ini, yaitu alasan Obama
menunda kedatangannya ke Indonesia karena kasus remeh-temeh -untuk ukuran Indonesia.
Tak pernah sekali pun saya minta pendapat kepada orang lain untuk
menulis. Kalau ingin menulis, ya, menulis saja. Kecuali kali ini, ketika saya
ingin menulis tentang Ruhut Poltak Sitompul.
Saya menemui Romo Imam hanya untuk hal yang tak lazim: apakah saya
etis mengomentari pendapat Ruhut Sitompul sekitar masa jabatan
presiden. Tak saya duga, Romo Imam melarang. Masa jabatan presiden
adalah soal yang sudah selesai. Kenapa pernyataan itu ditanggapi dengan
ramai? tanya Romo.
Bukan itu yang mau saya tulis, kata saya. Kenapa Ruhut melontarkan
gagasan seperti itu, apa cuaca ektrim ikut mempengaruhi pola pikir para
politisi? Siapa tahu ada pengaruhnya, banjir terjadi di bulan Agustus,
padahal hujan di bulan Juni saja membuat Sapardi menulis puisi.
Romo tertawa: Itu terlalu jauh. Politisi sekarang ini bukan lagi profesi,
politisi bukan sebuah minat yang dipelihara dengan ketekunan mengasah
diri, politisi juga bukan pengabdian, ah, yang terakhir ini sudah taik
kucing. Seorang pemain sinetron yang punya uang bisa menjadi anggota
dewan, seorang anak bupati bisa menjadi bupati dengan memanfaatkan
uang dari bapaknya yang masih menjabat. Masalahnya adalah uang,
karena pemilihan apapun sekarang ini semuanya ditentukan oleh uang.
Nah, setelah jabatan diperoleh, orang-orang itu kembali kepada habitat
aslinya, yang doyan ngomong jorok kembali ngomong jorok, yang doyan
kawin kembali selingkuh. Tentu saja itu sebagai selingan dari pekerjaan
utamanya, yaitu korupsi. Ya, korupsi dengan berbagai cara, termasuk
membuat anggaran yang tak masuk akal seperti dana aspirasi, dana desa,
rumah aspirasi dan segudang kebusukan lainnya.
Saya pikir Romo terlalu melebar. Romo, yang tadi menarik, tetapi saya
tak berminat. Yang saya maksudkan, kenapa orang seperti Ruhut bicara
soal masa jabatan presiden? kata saya.
Banyak teori soal itu, dari teori paling dangkal sampai paling dalam,
jawab Romo. Yang paling dangkal, Ruhut disuruh bicara seperti itu untuk
tes, apa reaksi masyarakat. Siapa tahu masyarakat mendukungnya. Kalau
masyarakat mendukung artinya terjadi ketidak-pedulian di masyarakat
atau rakyat sudah masa bodoh, mau tiga periode atau sepuluh periode
nggak usah dipikir. Bangsa ini jadi bangsa bekicot, tak pernah maju. Teori
yang lebih dalam, Ruhut disuruh bicara ngawur, ya, semacam tokoh
antagonis dalam sinetron, agar ada kesempatan untuk menaikkan pamor
dan citra sang pemain utama, sang pahlawan. Kalau Ruhut tak bicara
ngawur, kapan Presiden SBY punya kesempatan menjelaskan ketidaksetujuannya dengan jabatan presiden diperpanjang sampai mengutip
sejarawan Inggris John Dalberg-Acton segala? Jadi SBY dapat point dari
cara Ruhut yang ngaco itu.
Itulah masalahnya, kenapa saya mau menulis Ruhut. SBY bukan dapat
point, justru kehilangan point. Kalau saya menjadi SBY, saya sangat
terhina dipuji dengan cara vulgar ala Ruhut itu. Rendah hati, jujur,
membela rakyat, dan entah apalagi, diucapkan dengan cara seorang ibu
memuji anaknya di forum arisan, sungguh tak bisa saya bayangkan keluar
dari mulut seorang politisi yang menjadi ketua partai besar. SBY kan
bukan anak kecil, beliau kan sangat terpandang?
Saya menyerah dan menjawab dengan pelan. Baik Romo, saya akan
menulis tentang Poltak saja.
televisi. Lama-lama bukan lagi selingan, karena saya mulai muak dengan
ocehan itu, apalagi dengan penyiar yang mirip provokator, bukan
melaksanakan fungsi sebagai penggali berita.
Orang desa itu tidaklah ndeso amat. Ada yang saudagar sapi. Ada yang
makelar mobil bekas. Ada yang propfesinya ini bermunculan di pedesaan
menerima gadaian telepon seluler. Mereka berurusan dengan bank,
minimal punya tabungan jauh sebelum Presiden SBY mencanangkan
gerakan Mari Menabung. Suara mereka tak mungkin masuk televisi,
karena sudah dianggap terwakili oleh segelintir orang di kota yang
teriak-teriak di jalanan. Benar atau salah pendapat mereka, tentu tak
sempat diuji, apalagi kebenaran sudah dimonopoli oleh beberapa
politikus.
Salah atau benarkah Ibu Sri? Gampang sekali, lihat saja setelah 2008 itu,
ada krisis atau tidak? Tak ada krisis, jadi tindakannya benar, kok repot
sekali, kata juragan sapi. Bahwa ada aliran uang yang menetes ke sana
atau ke sini, itu bukan urusan Ibu Sri, silakan diproses sesuai hukum.
Masak Ibu Sri harus nongkrongi kasir bank?
Tentang uang 6,7 trilyun itu apakah membuat negara rugi? Ini uang hasil
iuran bank yang memang dipergunakan untuk kestabilan. Memang sudah
keluar uangnya, tapi kan bisa kembali kalau nanti Bank Muatiara yang jadi
siluman Century, sudah baik dan bisa dijual. Nyatanya Bank Mutiara jalan
bagus, saya baru menabung di sana, kantornya di Denpasar malah makin
besar di daerah elite, kata makelar mobil bekas. Tapi ia buru-buru
menambahkan, aliran dana yang tak beres kalau nyatanya ada tetap
diusut dan diproses.
buang duit 2,5 milyar, anggaran yang dipakai Pansus. Lo, kok begitu?
Semua fraksi bilang, hasil Pansus Century perlu ditindak-lanjuti ke jalur
hukum. Kalau hasilnya begitu, ngapain pakai hak angket, dari dulu saja
serahkan ke aparat hukum, kata rentenir telepon seluler.
Jadi apa dong hasil kerja Pansus? Kata mereka, anggota Pansus hanya
berupaya menaikkan citra partai. Partai Golkar paling ge-er, seolah
berhasil menjadikan panas 32 tahun dihapuskan oleh hujan dua bulan,
padahal rakyat belum tentu mudah lupa. Partai lainnya yang kalah
Pemilu lalu mengklaim mengungkap kebenaran sejati, seolah partai
lainnya menutupi kebenaran. Padahal kebenaran tak bisa dimonopoli.
Kebenaran berkaitan dengan siapa pemberi informasi yang dianggap
benar itu. Apakah kalangan perbankan dan pengusaha didengar oleh
Pansus untuk menentukan kebenaran itu?
Lalu, kerja Pansus ibarat apa? Membuat lawar capung, kata mereka.
Wah, ini kiasan khas Bali, lawar itu masakan yang bumbunya banyak
sekali, padahal bahan pokoknya hanya capung, serangga kecil. Jadi,
masalah kecil yang bumbunya riuh, pakai nyanyi-nyanyi segala tatkala
puluhan buruh teh di Jawa Barat tertimbun lumpur. Amit-amit.
Nuriah.
Kalau Sutan tidak minta maaf, pendukung Gus Dur yang resah di daerahdaerah, terutama Pemuda Ansor, akan melaporkan Sutan ke polisi. Ketua
DPR Marzuli Alie yang juga politisi Demokrat, setuju jika Sutan dilaporkan
ke polisi. Saya yang tak ada urusan dengan kasus ini, juga setuju.
Berharap polisi memprosesnya dan hasil penyidikan dibawa ke kejaksaan.
Lalu kejaksaan meneruskan ke pengadilan, dan hakim yang memutuskan.
Ini lebih fair dan mendidik meski sedikit bertele-tele di zaman yang
keblablasan ini. Jika tidak, pengadilan opini selalu menjadi panglima
jika ada kasus seperti ini.
Coba diurai permasalahannya. Bathoegana bertengkar dengan Adhi
Masardi dalam suatu acara yang diliput televisi. Saya sebut bertengkar
karena debat yang disiarkan oleh televisi harus bertengkar. Kalau penuh
sopan santun seperti debat di Amerika, kurang seksi diliput. Adhi
Masardi menyebut pemerintahan SBY tidak bersih, dan gelar Kesatria
dari Inggris ada kaitannya dengan bisnis minyak. Sutan Bathoegana
berang dengan menyebut semua pemerintahan tidak bersih, termasuk
pemerintahan Gus Dur tatkala Adhi Masardi menjadi juru bicara presiden.
Nah, ini imbang, semua menjagokan tokohnya, semua mengecilkan tokoh
lawan.
Tapi, saat ini opini publik bisa diarahkan tergantung siapa yang menguasai
media. Lalu yang lebih menentukan: siapa yang kini dipercaya rakyat,
meskipun kepercayaan ini juga berkat penguasaan media. Jelas Masardi di
atas angin ketimbang Bathoegana. Masardi ketua Indonesia Bangkit dan
Gerakan Indonesia Bersih. Orang bersih mana bisa korup meski saya tak
tahu apa saja kegiatan anak ini. Akan halnya Bathoegana adalah kader
Partai Demokrat yang sedang limbung dengan berbagai persoalan dan
pendukung pemerintahan SBY. Analoginya, sedan menabrak sepeda.
Betapa pun salahnya pendayung sepeda, tetap saja masyarakat
menyalahkan pengemudi mobil sedan.
Jika ranah hukum bicara, masyarakat dididik untuk melihat siapa yang
salah. Mungkin Masardi yang menghina SBY juga bersalah, meski pun
massa Demokrat tidak turun ke jalan. Jangan-jangan Bathoegana tidak
bersalah, meski pun dia sudah disalahkan massa karena diadili lewat
opini. Atau dua-duanya seri, seperti Tim Nasional lawan Laos.
Bahaya lain pengadilan opini adalah mulut bisa bebas bicara tak terjaga,
bak harimau atau batu. Anggota DPR dilaporkan memeras oleh Menteri
BUMN. Jelas rakyat memuji-muji Sang Menteri yang merakyat ini, dan
menghujat anggota dewan yang sudah dicap bobrok. Opini publik begitu.
Tapi siapa yang memeras? Tiap hari orangnya diralat. Jadi Pak Menteri
bicaranya kurang dijaga, asal menuduh. Nah, kenapa sesekali tak
diselesaikan lewat jalur hukum? Adukan ke polisi. Agar ada efek jera bagi
mereka yang tak bisa menjaga mulutnya, agar ada keadilan opini.Siapa
pun dia.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 2 Desember 2012)
Karena saya percaya hal ini, saya memohon agar Dewan Gelar membuat
terobosan baru, bagaimana caranya agar Bung Karno dan Bung Hatta bisa
memperoleh gelar pahlawan nasional. Terobosan yang saya maksudkan
adalah tidak memakai prosedur yang berbelit-belit sebagaimana sekarang
ini.
Untuk diketahui, saat ini seseorang yang akan diangkat sebagai pahlawan
nasional memerlukan perjalanan panjang dan syarat jelimet. Masyarakat
harus mengusulkan dulu ke provinsi. Gubernur dan DPRD setempat
menyetujuinya, lalu mengusulkan ke Kementerian Sosial. Usulan harus
diverifikasi berjenjang dari pemerintah daerah, provinsi, lalu dilengkapi
riset, lalu diadakan seminar, dan terakhir diskusi di antara para ahli
sejarah dan politik.
Belum tentu pula
mulus. Syafruddin
Prawiranegara, Presiden
Pemerintahan Darurat RI, bisa jadi contoh. Beliau dua kali diusulkan dan
baru diterima usulannya pada tahun 2009. Bahkan mantan Presiden
Soeharto pun sudah pernah diusulkan oleh Kabupaten Karangnyar, Jawa
Tengah, begitu pula mantan Presiden Abdurrahman Wahid sudah pernah
diusulkan oleh beberapa kabupaten di Jawa Timur. Tahun lalu, banyak
angkutan umum di Jawa Timur yang memasang stiker berbunyi: Gus Dur
Pahlawan Nasional.
Prosedur berbelit-belit seperti itu tak layak diterapkan pada Soekarno dan
Hatta. Kita tak bisa mengingkari jasa beliau. Keduanya adalah pemimpin
revolusi, orang yang merumuskan dasar negara, dan puncaknya
memproklamasikan kemerdekaan. Seleksi bertele-tele untuk menjadikan
Bung Karno dan Bung Hatta sebagai pahlawan nasional seperti
meremehkan jasa mereka.
Ganjalan politik pun sudah tak ada lagi. MPR melalu Ketetapan Nomor 1
Tahun 2003, menyebutkan tak perlu ada tindakan hukum lebih lanjut
terhadap
Ketetapan
MPRS
Nomor
13
Tahun
1967,
karena
bersifat einmalig (final)dalam kasus ini lantaran Soekarno telah
meninggal.
Jadi, apa yang ditakuti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat
Soekarto-Hatta menjadi pahlawan nasional? Mumpung masih berkuasa,
siapa tahu inilah warisan SBY yang patut dikenang. Hanya keluarga yang
berbhakti kepada leluhurnya jadi keluarga yang harmonis, hanya bangsa
yang besar yang menghargai jasa pahlawannya. Dirgahayu Republik
Indonesia.
kecil itu, alasannya semut sangat mandiri dan dalam bekerja sama
semuanya bekerja.
Saya setuju. Saya sering memakai semut untuk memberi contoh
bagaimana seharusnya manusia bekerja sama. Begitu banyak teladan dari
alam, baik benda hidup maupun mati, saya suka dengan tiga hal:
persekutuan binatang buas, persatuan sapu lidi, dan paguyuban semut.
Persekutuan binatang buas, misalnya macan, dalam mencari mangsa
awalnya berkelompok. Begitu ketemu mangsa, macan-macan ini bersatu
membunuh korbannya. Kemudian, macan itu saling berebut mendapat
jatah paling banyak. Setelah kenyang mereka pergi cerai berai, lupa pada
persekutuan.
Di dunia manusia, persekutuan ini banyak dipraktekkan dalam kasus
korupsi berjamaah istilah yang tak saya suka karena mengambil idiom
agama. Kasus cek pelayat yang dikaitkan dengan terpilihnya Miranda
Goeltom sebagai deputi Gubernur Bank Indonesia, masuk katagori ini.
Macan-macan itu setelah puas melahap cek, kini saling menyalahkan.
Kasus Gayus Tambunan juga masuk katagori ini. Tak mungkin sebagai
macan Gayus sendirian menggarong uang rakyat, tapi macan yang
lain keburu hilang dalam rimba. Selain gelap, penjaga hukum dalam rimba
terbiasa tebang pilih.
Kasus anyar, korupsi pembangunan wisma atlet Sea Games Palembang,
juga tergolong persekutuan macan. Pelaku yang ramai disebut,
membantah terlibat, bahkan tiba-tiba saling tak kenal. Lalu saling
menuduh, yang ini merekayasa itu, yang itu merekayasa ini. Sekejamkejam macan tak pernah memangsa anaknya, dan manusia yang baik
tentu melindungi anak buahnya. Maka petinggi partai pun, baik
Demokrat maupun Demokrasi Indonesia Perjuangan, pasti berusaha
meminimalkan keterlibatan kadernya.
Mari lihat persatuan sapu lidi. Setangkai lidi mudah dipatahkan, tetapi
sekumpulan lidi, sulit dipatahkan. Bersatu teguh, bercerai rapuh.
Masalahnya, sebuah sapu mudah dipakai oleh siapapun yang merasa
memiliki. Di jagat manusia, kita sudah biasa melihat berbagai aksi yang
orangnya itu-itu saja. Apalagi saat kampanye Pemilu, tinggal memberi
baju kaos plus nasi bungkus dan sangu. Kini, kita mendapatkan wakil
rakyat yang gemar mengejar bungkusan dan sangu.
Tapi, saya tak ingin memasukkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
katagori ini. Komisi ini pasti tak bisa dipinjam untuk menyapu bagian
sana tapi tidak bagian sini. Misalnya, sapu bersih penerima cek pelayat,
tapi jangan menyapu pemberinya. Sapu bersih penerima suap Wisma
Atlet, tapi jangan sampai ke petingginya.
Paguyuban semut yang ideal. Selebar apapun jalannya, mereka antre,
jandamu.
Kemajuan teknologi berimbas ke grafiti truck itu. Muncul www.wong
desa.com atauwww.dilarang nyengir.com. Lalu kombinasi, ada tulisan
besar, dibawahnya tulisan kecil, seperti yang saya temukan di rumah
makan para supir truck di Pati, Jawa Tengah. Tulisan besarnya Teroris
ingkar janji dibawahnya yang kecil www.bego.com. Baik tulisan yang
besar maupun yang kecil tak bisa saya pahami dan jangan sesekali
mengulas apa pesan tulisan itu, nikmati saja sebagai hiburan.
Saya tanya supir truck itu, apa maksud teroris ingkar janji. Dia tertawa,
ternyata yang dimaksudkan teroris itu pacar gelapnya yang mulai serong.
Kan teroris lagi ramai diberitakan, ya, pacar saya itu seperti teroris, kata
supir yang sudah punya istri dan dua anak ini. Saya kenalan dengan dia
di fesbuk (baca: facebook), makanya di bawahnya saya tulis bego com.
Saya memang bego, mudah dikibuli.
Saya kaget. Bisa fesbukan? Supir jaman sekarang. Kalau makan di
Rembang, fesbukandulu, katanya. Oya, sejak itu saya baru ngeh,
ternyata rumah makan di kawasan Lasem (Rembang) sampai Tuban sudah
dilengkapi warnet yang sewanya hanya dua ribu rupiah sejam. Para supir
dan krenet berkerumun dan terbahak-bahak di sini. Negeri ini luar biasa
majunya.
Karena bisa fesbukan, tentu para supir itu punya alamat email. Namun
mereka mengaku tak punya alamat web. Bukan kelas supir itu,
jawabnya. Tapi istilah dot com populer di kalangan mereka. Kalau ada
yang pinjam uang sama temannya, bilangnya: ngutang duit dot com.
Mereka tahu dot itu simbulnya titik, seperti yang ditulis di bak trucknya.
Luar biasa, saya betul-betul terhibur di tengah mereka.
Ironinya, luar biasa pula kalau ada anggota wakil rakyat yang tak tahu
alamat emailkantornya, atau jangan-jangan dia sendiri tak punya
alamat email, apalagi web. Saya tak mengatakan wakil rakyat itu bego
dot com, mungkin saja dia merasa urusan kecil itu harus dikerjakan
staf ahlinya. Maaf, saya tak bermaksud menyindir, dikritik terbuka saja tak
mempan, apalagi disindir.
jika sayalah suami itu: oalah, ada empat pelacur menemani saya di satu
ranjang.
Apakah hubungan suami-istri dan hakikat perkawinan semata-mata soal
seks? Apakah seks semata-mata soal nafsu? Apakah nafsu semata-mata
karena teknik mencumbu dan dicumbui? Dr Gina mengutip ajaran Islam
dalam menyebarkan idenya ini: ketaatan istri kepada suami adalah
ibadah. Saya buta soal ini, apalagi memaknai kata "taat" jika dikaitkan
dengan ibadah.
Yang saya tahu, dalam Hindu, teknik "bermain" di ranjang ada dalam kitab
Kama Sutra. "Permainan" ini sejatinya lebih pada "permainan rasa", bukan
"pertarungan nafsu". Hanya gara-gara film Hong Kong yang banyak
menerjemahkan Kama Sutra dengan konyol sehingga jadilah Kama Sutra
cabul, bahkan vulgar. Kama Sutra dipraktekkan oleh pasangan yang sah
karena perkawinan adalah sakral. Bahkan dalam Hindu ada saatnya kapan
boleh berhubungan suami-istri dan kapan tidak, karena "tujuan hubungan"
melahirkan anak yang suputra (anak saleh).
Hubungan seks saat ini sepertinya tak lagi mengikuti pakem. Para istri
harus taat kepada suami, melayani suami bak pelacur, dan suami pun
hanya menyalurkan rasa lelah dan kesal oleh pekerjaan rutinnya
menumpuk harta. Tak ada sentuhan rohani sedikit pun di atas ranjang dan
kelak lahirlah bayi-bayi instan yang nantinya mungkin menjadi koruptor,
penjarah, penyuap, atau pengemplang pajak.
dikasihani, dan diberi petunjuk ke arah yang benar. Kalau tetap nekad dan
membahayakan orang lain, baru diberi pembatasan yang sesuai dengan
hukum duniawi.
Saya kembali merenung dan kemudian spontan bertanya; Bagaimana
dengan kelompok Ahmadiyah, apakah perlu diberi petunjuk jalan? Romo
berdiri dan telunjuknya mengarah ke muka saya: Ahmadiyah bukan
sesat, mereka hanya memilih jalan yang beda, renungkan sendiri. Romo
lalu melangkah menuju perpustakaan.
Ibu, bulan dicaplok Kala Rawu, raksasa jahanam, jadi perlu diusir dengan
bunyi-bunyian keras, ha-ha-ha?."
Romo ikut tertawa. "Tradisi leluhur kita di Jawa dan Bali sudah tak
berbekas," katanya. Saya jawab, "Ya, karena itu dongeng konyol."
"Tapi Kala Rawu masih ada, banyak orang menjadikan fenomena alam itu
sebagai saat yang baik untuk membersihkan rohani, ya, semacam
ruwatan di masa lalu," kata Romo.
Saya tak merespons. "Kala itu artinya waktu," ujar Romo. "Rawu itu
malam atau gelap. Pada saat sinar menyejukkan ditutupi oleh kegelapan,
ketika itu orang semestinya meruwat diri dengan melakukan introspeksi,
apa sebenarnya yang salah. Ini harus diketahui agar kegelapan bisa diusir
dan sinar kembali muncul."
"Waduh, saya tak paham," kata saya. Romo melanjutkan, "Ya, kita ambil
contoh gampangan. Presiden SBY sudah berjanji akan menjadi orang
terdepan memberantas korupsi. Ketika rakyat berdemo di istananya
menuntut koruptor ditindak tegas, kan mestinya SBY keluar dan berseru,
'Ayo, kita sama-sama memerangi koruptor.' Jadi tak perlu ada orang bakar
diri. Ketika Menteri Hukum ingin membuat jera koruptor dengan
menghapus remisi dan bebas bersyarat, anggota DPR seharusnya
mendukung. Tapi kok malah tidak, bahkan mencecar Menteri, hanya
karena teman anggota DPR itu sedang ditahan dengan status koruptor.
Ketika rumah Anas Urbaningrum mau disegel massa antikorupsi, Anas kan
semestinya keluar, lalu mengajak massa: 'Ayo kita ke KPK, periksa saya,
pertemukan saya dengan Nazaruddin, siapa yang benar dan siapa
yang ngaco.'"
"Ada kegelapan yang menutupi sinar baik," kata Romo lagi. "Sinar baik itu
katakanlah tekad memberantas korupsi. Dari Presiden, Menteri, wakil
rakyat, hingga mahasiswa semuanya bertekad memberantas korupsi.
Tapi, begitu koleganya jadi koruptor, mereka langsung membela.
Sebenarnya mereka itu betul-betul antikorupsi atau tidak?"
"Sekarang semua orang bilang antikorupsi. Koruptor dimiskinkan, buatkan
'kebun koruptor', usut skandal Century, seret pengemplang pajak, tangkap
Angelina, tangkap Muhaimin, eh, malah Nazaruddin didukung. Ini kan
terbalik."
"Romo," saya menyela, "Nazaruddin didukung maksudnya supaya terus
bercerita siapa saja yang menilap uang negara." Romo langsung pula
menyela, "Ya, tapi kan ada gilirannya. Selesaikan kasus satu per satu.
Abraham Samad benar, harus ada prioritas. Yang tak benar dari Samad
adalah dia mengecam Busyro terlalu banyak bicara, sedangkan dirinya
tiap jam mengobral janji. Sami mawon."
"Mari kita mengusir Kala Rawu, meruwat diri dengan bertanya kepada diri
sendiri: kita ini sebenarnya korup atau tidak?" kata Romo. Saya mau
menanggapi, tapi Romo duluanbicara, "Sudah, ya, sebentar lagi Barca
melawan Real Madrid. Ini lebih menarik daripadangomongin koruptor
membela koruptor."
Sejak awal puasa saya tak bertemu Romo Imam. Rupanya, kami samasama kangen. Romo lalu mengundang saya ke padepokannya berbuka
bersama. Saya datang lebih awal, dengan maksud bersedia ikut repot di
dapur.
Ibu tak usah dibantu. Bantu saja Romo membuat surat untuk SBY, kata
Ibu Imam. Saya melihat Romo sudah siap dengan kertas dan pulpen.
Surat ditulis tangan lebih orisinil, kata Romo. Kalau surat Nazaruddin ke
SBY ditulis di komputer, kan jadi pertanyaan, siapa yang mengetik, siapa
yang mengkonsep. Kecurigaan sudah membayangi negeri ini sampai ke
sudut-sudut terkecil.
Saya duduk di sebelah Romo. Saya ingin surat ke SBY sesopan mungkin.
Saya tak ingin memaki, tak ingin saling tawar. Banyak sekali orang
memaki saat ini, meski pun bulan puasa. Tapi negeri ini tak akan bisa jadi
baik dengan memaki saja. Ada begitu banyak tawar-menawar antar
komponen politik, kasus Century ditawar lumpur Lapindo, wah, banyak
lagi. Tapi, persoalan bangsa ini tak bisa disandera oleh kasus.
Menegakkan hukum adalah tawaran yang terbaik.
Romo memperbaiki letak kertas, siap menulis. Kalau Nazaruddin saja bisa
menulis surat kepada SBY, kenapa saya tidak? Memang saya bukan
tokoh, kalau saya ditahan, tak akan mungkin dikunjungi anggota DPR ke
sel, tak akan mungkin diposisikan sebagai pahlawan.
Nazar seorang aktor, kata Romo kemudian. Dulu ia berkicau menyebut
banyak nama, memperlihatkan banyak benda, seolah-olah semua
kebenaran ada di benda itu. Lalu benda itu seolah-olah ada dalam tasnya,
dan tasnya dititipkan. Tiba-tiba bendanya dinyatakan raib. Politisi dan
pengamat yang gemar memaki pemerintah memanfaatkan keaktoran
Nazar ini. Penjemput Nazar disebut menghilangkan barang bukti, Nazar
disebut berada dalam ancaman, bahkan gelinya dipercaya kalau dua hari
tak makan karena takut diracun. Televisi membantu sepenuhnya
keaktoran Nazar. Namun, penonton jadi muak, karena sesungguhnya
Nazar bukanlah aktor hebat, ia hanya dibuat seolah-olah hebat oleh
sekelompok orang yang menggunakan Nazar sebagai peluru memaki
pemerintah.
Romo siap menggerakkan pulpennya. Yang mendorong saya menulis
surat kepada SBY adalah surat Nazar yang meminta istri dan anaknya
diberi ketenangan lahir dan batin, tidak diproses dalam kasus apapun.
Saya ingin memberi saran kepada SBY, jangan hiraukan itu. Kalau istrinya
tak bermasalah, kenapa pula diproses? Tapi kalau memang bermasalah,
kenapa tidak diproses? Jika ingin memberi ketenangan kepada keluarga,
berbuatlah jujur di dunia ini, jangan mencari kekayaan di jalan setan,
carilah uang halal.
Romo minum seteguk air. Yang menyakitkan dari surat Nazar kepada SBY
itu adalah dia menghina akal sehat seluruh bangsa. Dia bersedia dihukum
tanpa disidik, dia bersedia tak menceritakan apapun yang bisa merusak
citra Partai Demokrat, asal istrinya tenang. Seolah-olah dia punya rahasia
besar tentang Partai Demokrat tetapi tak mau bicara asal ada
imbalannya.
Pemerintah memang dalam puncak kegalauan, kata Romo melemah.
Penegak hukum salah tingkah melulu, presiden dan menterinya juga
gamang, parlemen dikuasai politisi yang penuh ambisi kekuasaan buat
kelompoknya, televisi mengejar rating dengan menampilkan orang-orang
yang pinter berdebat kusir. Tapi apakah memperbaiki keadaan itu cukup
dengan memaki? Apalagi yang memaki itu, bukan pula orang yang bersih
dari kesalahan.
Saya mengumpulkan keberanian untuk bicara: Romo, menulislah. Kita
tak punya jabatan untuk memaki, kita tak laku di televisi, takdir kita
hanya bisa menulis. Ayo menulis.
ini mengusung slogan sangat mulia: partai yang bersih. Slogan itu
kemudian dikampanyekan secara luas, termasuk di jalan-jalan. Kesannya
jadi jumawa dan takabur, seolah-olah yang lain semua kotor. Padahal soal
bersih, jujur, berakhlak dan sebagainya, menjadi penilaian orang luar,
bukan kita yang mengumbarnya.
Sekarang semuanya terjungkir, saya melanjutkan. Elit partai digugat
karena dituduh menyelewengkan uang. Ada bisnis tak wajar yang
melibatkan partai. Bersama partai koalisi juga terjadi masalah. Kalau
semua ini terbukti, lalu apanya yang bersih?
Dan kadernya membuka situs porno saat sidang paripurna, Romo Imam
memotong pembicaraan saya. Saya tertawa, tapi bernada prihatin. Itu
sebenarnya mau saya sembunyikan, saya kira Romo belum tahu. Ya, ini
tragedi, sebuah partai yang mendukung undang-undang pornografi
meskipun undang-undang itu salah menafsirkan pornografi dari sisi
budaya, ternyata kadernya membuka situs porno. Dalam sidang terhormat
pula, sidang pariporno, eh maaf, sidang paripurna.
Romo mengambil koran. Kader partai itu, Arifinto, tidak sengaja
membuka tautan email. Dan hanya hitungan detik, langsung dia hapus
gampar porno itu. Tapi Irfan, wartawan yang memotret, melihat Arifinto
memelototi sekitar semenit sebelum memilih-milih gambar. Mana yang
betul?
Saya tersenyum. Bukan karena saya wartawan lalu membela fotografer.
Anak kecil pun tahu, memotret membutuhkan waktu, mengangkat
kamera, memutar lensa supaya fokus, mencari sudut pandang, lalu
menjepret. Bahkan sebelum mengangkat kamera, sasaran harus dicari.
Mustahil Irfan menyiapkan sasaran lebih dulu seolah-olah tahu ada
anggota DPR yang akan membuka situs porno. Saya kira Irfan bukan
malaikat dan tidak dapat wangsit untuk memotret sesuatu yang membuat
aib itu. Ini masalah kejelian dan gerak cepat. Tapi, secepat-cepatnya
gerakan seorang forografer, hitungannya tidak detik.
Romo Imam menghela nafas. Sebaiknya Arifinto jujur, setiap orang punya
hari sial. Saya mengangguk dan menambahi: Dengan jujur dan niat
yang bersih, kasus ini bisa jadi pelajaran buat para wakil rakyat. Ya, siapa
tahu
nanti
ada
kode
etik,
saat
sidang
paripurna
semua handphone dimatikan, tak boleh membawa koran, tak boleh
anggota ngobrol saat orang lain bicara, apalagi yang bicara itu tamu.
Semuanya harus tertib, tak boleh seperti murid Taman Kanak-kanak.
Setuju, kata Romo. Sidang paripurna sering diliput media elektronik,
seharusnya sidang itu menjadi terhormat karena akan dijadikan contoh di
daerah. Sekarang ini rapat adat di pedesaan sering ricuh, semuanya
berebut bicara, konon itu meniru sidang paripurna parlemen. Sudah
saatnya wakil rakyat memberi teladan yang baik, bagaimana menggelar
selalu
tenang
itu
Bencana
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 17 Oktober 2010)
Belum sempurna pantat ini menyentuh kursi, Romo Imam sudah
mengajukan pertanyaan: Bagaimana bunyi sila pertama Panca Sila yang
menjadi dasar negara?
Saya tercengang. Jawaban itu tentu saja mudah. Yang sulit adalah mencari
tahu ada apa di balik pertanyaan itu. Kenapa Romo menanyakan hal itu?
saya balik bertanya.
Pertanyaan ini jauh lebih bermutu dari tes calon pegawai negeri
Kementerian Perdagangan. Apa kaitannya pegawai yang ngurusi harga
bawang merah ini dengan lagu ciptaan Presiden SBY? Kenapa tidak
sekalian ditanyakan, apa parfum yang biasa dipakai Ibu Ani Yudhoyono.
Pertanyaan konyol. Tapi pertanyaan saya serius, jawab.
Sorot mata Romo membuat saya kecut dan akhirnya saya menjawab:
Ketuhanan Yang Maha Esa. Romo tertawa senang, lalu berdiri: Benar,
dan bukan Keuangan Yang Maha Kuasa. Sekarang yang berkuasa itu uang,
kalau punya uang berbuat apa saja bisa. Ketuhanan Yang Masa Esa, bukan
Keuangan Yang Maha Kuasa. Tapi, kenapa jarang sekali ini dijadikan
dasar, padahal ini sila pertama?
Saya tak paham, untung Romo melanjutkan: Kalau benar orang Indonesia
menjadikan Ketuhanan Yang Masa Esa sebagai dasar falsafah hidup yang
pertama, kenapa setiap ada masalah tak pernah merujuk pada kekuasaan
Tuhan? Jika ada masalah yang menimbulkan korban, maka alam dijadikan
kambing hitam, istilahnya pun disebut bencana alam. Padahal alam yang
diciptakan Tuhan tak mungkin memberI bencana, alam diciptakan untuk
dinikmati sepenuhnya oleh isi alam.
Saya masih tak paham dan membiarkan Romo bicara terus. Alam itu
diciptakan dalam konsep keseimbangan. Begitu keseimbangan dirusak,
alam mencari keseimbangan baru. Kalau hutan dibabat, tanah yang tak
dilindungi pohon itu akan mencari keseimbangan baru untuk menguatkan
posisinya. Hutan yang rusak juga membuat air tanah di sana tak
nyaman, lalu air di tanah itu mencari keseimbangan baru. Dalam proses
pencarian itu, terjadi tanah longsor dan banjir bandang. Kenapa itu
disebut bencana oleh manusia?
Wah, saya tak mudah mencerna filsafat alam seperti ini. Saya masih diam.
Saya memuji orang Bali yang selalu menjaga keseimbangan alam
dengan ritual yang memuja alam. Misalnya, pohon diberi sesajen, danau
Anggito Abimanyu
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Versi panjang dari yang dimuat Koran Tempo 23 Mei 2010)
Anggito adalah Abimanyu yang sebenar-benarnya di negeri ini, sekarang.
Seperti ayah biologisnya, Raden Arjuna, Abimanyu adalah kesatria
penerus Pandawa yang kemayu, polos, tak banyak cakap, tapi cerdas.
Mungkin karena ia seniman yang ahli sastra dan karawitan alias musik, ia
bukan tukang gugat meski pun nasib buruk ditimpakan padanya. Dalam
ephos Mahabharata yang sering dijadikan sesuluh (pelajaran dan
pedoman spiritual) oleh masyarakat Nusantara, Abimanyu akhirnya gugur
Jeng Sri
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 9 Mei 2010)
Ada perubahan di Padepokan Romo Imam, entah sejak kapan. Di beranda
depan ada tulisan: I love you 90 persen full, Jeng Sri. Kata yang aneh,
istilah yang usang, juga tak lucu. Aneh kek, lucu kek, terserah. Apa tak
boleh Romo mencintai Jeng Sri? Dia orang baik yang harus dikasihi tapi
bukan dikasihani, itu jawaban Romo Imam.
Kenapa tak 100 persen full? Yang 10 persen dipotong pajak. Jeng Sri telah
mereformasi kantor pajak, meski pun belum tuntas, malah tikusnya yang
mencuat, jawab Romo.
Saya mulai menebak: Jeng Sri itu Sri Mulyani? Romo tertawa
mengiyakan. Saya kaget: Romo, jangan bicara Sri Mulyani. Mata dan
telinga saya sudah capek. Kalau mau menggosipkan orang, yang lain
saja.
Itu karena Jeng Sri mendapat tempat terhormat di Bank Dunia. Orang
lain kan menunggu panggilan bank akhirat. Romo tertawa, kemudian:
Coba sebutkan siapa yang cocok menggantikan Jeng Sri.
Saya menolak, tapi Romo memaksa. Akhirnya saya sebutkan: Fuad
Bawasir, Aburizal Bakrie, Kwik Kian Gie, Bambang Soesatyo, Ruhut
Sitompul, Akbar Faisal, Ali Mocthar Ngabalin Romo terpingkal-pingkal,
padahal nama itu bintang televisi. Tolong cari yang lain, perintah
Romo.
Saya gelisah, rasanya mau pulang. Lalu saya jawab: Kalau gagal menjadi
Wakil Bupati Pacitan, Jupe cocok menggantikan Sri Mulyani. Atau Luna
Maya dan Nunung Srimulat.
Romo berhenti tertawa. Calon yang bagus untuk Indonesia saat ini.
Romo mendadak serius. Jeng Sri punya integritas yang tinggi, ia terdidik
di kalangan keluarga akademis, ia berakal sehat dan bahkan kini jadi
simbol dari orang-orang berakal sehat, ia menggunakan otak bukan otot
leher. Tapi, dia bekerja di tempat yang tidak tepat, berhadapan dengan
orang-orang yang sedang tidak menggunakan akal sehat. Dia memang
harus mundur karena kalau melawan, selain lawannya tidak selevel, akan
menurunkan integritas pribadinya. Nah, kalau Jupe atau Luna Maya atau
Nunung Srimulat yang jadi Menteri Keuangan, pasti cocok berhadapan
dengan mitra kerjanya di parlemen, dan pasti berani melawan. Jika perlu
saling bentak, saling teriak sampai putus otot leher dan otot-otot lainnya,
kecuali otot malu.
Saya diam, Romo lagi on. Coba pikir, Jeng Sri diundang ke DPR, di
sana dicuekin malah ditinggal pergi. Sopo sing waras? Dia bekerja matimatian untuk perbaikan Indonesia, pertumbuhan ekonomi bagus, krisis
tak terjadi, tapi mahasiswa menghujatnya di jalanan sambil membakar
ban bekas.
Saya memotong: Romo, kenapa mahasiswa sampai membakar ban
bekas? Romo menjawab: Kalau ban baru yang dibakar, tak bisa beli,
uang sakunya tak cukup. Kalau tak pakai bakar-bakaran kurang seru, tak
diliput televisi. Yang menggerakkan aksi dan yang meliput aksi, bisa jadi
satu jaringan pengusaha yang ngemplang pajak.
Romo tetap bersemangat. Ketika Jeng Sri mundur, orang yang tak
berakal sehat itu gembira, tapi kepleset ketika mencari bahan cemohan
lain dengan menyebut Jeng Sri meninggalkan kasus di tanah air. Kasus
apa? Kan hanya kasus politik dan siapa yang memainkan politik itu?
Orang yang sedang tak berakal sehat. Maaf, yang Romo sedihkan bukan
ditinggal Jeng Sri, Romo sedih negeri ini diurus oleh orang yang tak
berwawasan. Contoh paling sepele, parlemen meributkan gedung
mewahnya yang miring 0,17 derajat, lalu minta gedung baru di saat anakanak sekolah belajar di kandang bebek. Romo mau nanya, ngerti nggak
arti derajat dalam ilmu arsitektur? Kemiringan itu bukan masalah. Janganjangan wakil rakyat kita hanya tahu derajat Celcius, derajat Fahrenheit
dan Drajat Wibowo.
Gigolo in Paradise
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 2 Mei 2010)
Orang Bali dikesankan lagi resah. Penyebabnya karena ulah gigolo anak
kecil di Pantai Kuta menyebutnya orang bego gila yang selama ini
gentayangan di pantai, bisa jadi aktor populer. Wajah mereka tiap hari
muncul di layar televisi, diambil dari cuplikan filmCowboys in Paradise.
Film dokumenter ini karya Amit Virmani, seorang pelancong yang tinggal
di Singapura. Karena film berkisah tentang sisi gelap kepariwisataan di
Bali, yaitu kehidupan para gigolo, banyak tokoh yang kebakaran jenggot.
Tempat tinggal sang sutradara juga cepat menjadi penyulut terbakarnya
jenggot itu, meski para tokoh yang resah itu tak berjenggot.
Film ini sengaja ingin merusak image pariwisata Bali, kata sejumlah
orang. Ya, Virmani tentu menjelek-jelekkan Bali karena Singapura kalah
bersaing dalam menggaet turis asing yang batal ke Thailand, kata
pemilik hotel. Film ini dibuat tanpa prosedur, tak ada izinnya, kata
Gubernur Bali. Sang Sutradara bisa dihukum pidana, kami sudah minta
bantuan Interpol karena Indonesia dan Singapura tak punya perjanjian
ekstradisi, kata juru bicara kepolisian.
Pokoknya, film yang mudah diunduh di internet ini sudah menjadi running
news demikian menurut jurnalis televisi lokal. Stasiun televisi nasional
Nyepi
(Ter) Mirip
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 20 Juni 2010)
Saya tak menyangka kalau Romo Imam datang ke rumah saya. Saatnya
kita harus bersuara. Ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut, kata Romo
setelah saya persilakan duduk di ruang tamu yang sumpek.
Memalukan, kasus video mesum dibicarakan berlama-lama, katanya.
Saya kaget, orang setua Romo bicara masalah itu. Romo, sudahlah.
Semua orang mengharap kasus itu jangan dibahas lagi, tapi karena setiap
orang saling mengharap, jadinya malah makin bising. Seharusnya, jika
kita sepakat meredam kasus itu, ya, kita diam semua.
Kali ini tak bisa diam, malah harus bicara, kata Romo. Polisi membuat
riuh sesuatu yang seharusnya tidak riuh. Bahkan mereka menciptakan
Romo meninggalkan rumah saya. Tiba-tiba istri saya datang. Kamu kok
tega tidak menyapa Romo, tegur saya. Istri saya tenang saja: Saya tak
yakin itu Romo, saya menduga itu orang mirip Romo Imam.
Dana Aspirasi
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 13 Juni 2010)
Saya bertamu ke Romo Imam saat beliau asyik dengan laptopnya. Seperti
ada masalah, dia menggeser-geser mouse. Mengunduh video 13 mega
kok lama, katanya. Kupu-kupu itu mengasyikkan dan memberi gairah
hidup.
Saya heran dengan ulah orang yang saya kagumi ini. Namun, saya hatihati bereaksi: Romo, kita sudah tua, tak sepatutnya mengunduh video
mesum. Lagi pula belum tentu itu Luna Maya, kan ia sudah membantah
punya tattoo kupu-kupu.
Giliran Romo memelototi saya. Ini bukan video mesum. Ini kupu-kupu liar
di kampung lereng gunung itu. Dulu, profesor Nagasaki dari Universitas
Tsukuba memvideokannya dan Romo dikirimi hasilnya lewat internet.
Saya diam dan menyesal. Saya terserang penyakit curiga.com. Maklum,
sebelum ke padepokan ini, saya mampir di warung internet dan
menyaksikan tujuh pelajar sekolah menengah sedang membahas tattoo
kupu-kupu di tubuh Luna Maya.
Romo akan menyampaikan aspirasi ke wakil rakyat dari daerah ini,
kawasan kupu-kupu liar itu harus dilindungi sebagai taman margasatwa
mini. Dananya tak sampai lima milyar, kata Romo. Kalau seorang wakil
rakyat dapat dana aspirasi Rp 15 milyar, katakanlah kemudian ditawar
pemerintah jadi Rp 10 milyar, itu sudah cukup.
Tapi kan pemerintah menolak, Romo, saya memotong. Romo ngotot:
Ah, belum, itu baru omongan menteri keuangan yang baru. Nanti kalau
menteri ini digoyang seperti Sri Mulyani, ya, akan menyerah juga, paling
angkanya sedikit turun. Ingat, rencana itu lahir di rapat Sekretariat
Gabungan, ketua hariannya kan Ketua Umum Golkar, memangnya
dilakukan orang kaya, tapi celengan adalah simbol yang wajib ada bagi
mereka yang meyakini tradisi leluhur itu sesuatu yang sulit dijelaskan.
Itu sebabnya, celengan sebagai lambang kemakmuran dan pengendalian
diri dari nafsu berfoya, sulit digantikan dengan celengan ayam atau
gajah.
Jika demikian, polisi berlebihan menggugat Majalah Tempo, karena sampul
Tempo jelas gambar celengan, bukan celeng. Tapi saya maklum, polisi
saat ini lagi tertekan, banyak kasus di dalam tubuhnya, banyak masalah
keamanan yang dihadapi, sehingga capek. Saya mengimbau teman
wartawan, hehe, sayangi polisi, orang capek mudah tersinggung.
Ibarat kata yang mirip Ruhut Sitompul, saya sangat bangga dan sangat
cinta polisi, karena itu polisiku yang gagah berani menumpas teroris
sampai mempertaruhkan nyawanya,janganlah kebanggaanku jadi hilang
hanya karena kalian takut pada celengan.
Gerakan Perubahan
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk dimuat
Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)
Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan
sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh
Desa Kemoning. Saya mau minta restu bukan minta izin karena ingin
bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah
terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh
Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.
Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih
stock lama, komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya
beliau orang yang tulus.
Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih caloncalonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih
cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau
berubah, jawab saya. Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.
Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau
membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja
Puasa
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 29 Agustus 2010)
Romo Imam lagi santai. Istri dan anak putrinya sibuk di dapur menyiapkan
makanan buka puasa. Sebagai basa-basi baru bertamu saya memuji: Ibu
memang pinter memasak, sudah terasa sedapnya makanan.
Romo tersenyum. Nanti kita buka puasa bersama, katanya. Saya
mengangguk. Puasa penting untuk kesehatan. Tapi, ya, sudah tiga hari
Ramadhan berlalu, Romo masih kurang sreg dengan puasa ini. Masih
puasa phisik.
Saya segera mengejar apa maksudnya. Puasa yang hanya menunda
makan. Pada saat kita menahan lapar, kita berpikir itu hanya menunda
makan, karena sudah pasti kita akan makan. Istri sudah menyiapkan
makanan, bahkan makanan yang enak-enak dibandingkan hari-hari yang
bukan Ramadhan. Menunya khusus, dari minuman pembuka, makanan
penambah selera, makanan besar, makanan penutup, sampai pada
pernik-pernik cemilan.
Romo mengambil koran dan membaca judul-judul berita dengan cepat,
seperti penyiar televisi membawakan rangkuman berita sepekan. Ada
bazaar Ramadhan di berbagai kota, ada liputan buka puasa bersama
pejabat, ada selebritas yang membuat pesta buka puasa yang mewah,
ada keluarga tahanan yang membawa puluhan tusuk sate kambing ke
rumah tahanan. Semuanya untuk berbuka puasa. Dan semua yang
berbuka puasa sudah siap dengan menu khusus itu. Jadi yang mereka
pikirkan adalah bagaimana caranya makan, dari mana memulai.
Itu puasa phisik. Mulut kita berpuasa, pikiran kita tidak. Kita tak sempat
berpikir, oh, begini toh rasanya lapar, betapa memprihatinkan kaum papa
yang selalu menahan lapar tanpa jelas tahu kapan akan menghentikan
lapar. Puasa phisik tak akan melahirkan solidaritas yang sejati, semuanya
menjadi solidaritas semu., kata Romo.
Saya menyela: Tapi bukankah banyak sekali fakir miskin yang diundang
saat berbuka puasa? Bahkan orang berbondong-bondong membawa nasi
bungkus untuk didermakan pada mereka?
Romo tersenyum: Ya, itu sucinya Ramadhan. Bahkan bisa disebut
saktinya bulan Ramadhan. Setelah Ramadhan lewat, berapa orang yang
membawa nasi bungkus ke anak-anak jalanan dan para gembel yang
selalu dianggap mengotori kota ini? Ramadhan datang, warung remangremang dihancurkan, rumah pelacuran Dolly yang terbesar di Asia
Tenggara ditutup, hotel dirazia tamunya, panti pijat, karaoke dan semua
tempat hiburan malam tak boleh buka. Ramadhan lewat, negeri ini seperti
dibiarkan menjadi sarang maksiat. Itu karena pola puasa kita sebagian
besar menjadi urusan phisik, bukan rohani, bukan mengambil hikmat dari
bulan suci itu. Saya senang di Bali tak ada lokalisasi pelacur
Tapi Romo, saya langsung menyela agar pujian itu tak berlebihan.
Memang di Bali tak ada lokalisasi pelacur karena itu simbol membiarkan
perzinahan yang dilarang agama yang dipeluk mayoritas masyarakat
Bali. Tapi siapa yang berani mengatakan hotel-hotel di Bali bebas dari
kemaksiatan?
Tunggu dulu, Romo yang kini memotong saya. Justru itu penting,
memberangus simbol kemaksiatan. Bahwa kemaksiatan masih ada, itu
urusan polisi dan pemuka agama yang terus menerus memberi khotbah
yang menunjukkan bahwa itu maksiat. Jakarta dulu punya Kramat
Tunggak, lokalisasi pelacur paling terkenal, sekarang menjadi Islamic
Centre. Perubahan yang dasyat dan ini membuat citra baik. Bahwa masih
ada yang tak baik, itu yang kita perangi.
Adzan magrib bergema. Mari kita buka, kata Romo. Dan besok, Insya
Allah, kita berpuasa secara rohani agar nurani kita lebih berpihak pada
kaum papa dan perang terhadap kemaksiatan kita lakukan
berkesinambungan, ada Ramadhan atau pun tidak.
Ibu Kota
Pandita Mpu Jaya Prema
Putu Setia
(Dimuat Koran Tempo 1 Agustus 2010)
Jakarta akan lumpuh total pada tahun 2014. Begitu menurut pakar
transportasi. Belum beberapa hari, pernyataan diralat: tahun kelumpuhan
Jakarta akibat kemacetan diprediksi lebih cepat, akhir tahun depan, atau
paling tidak awal 2012. Mobil dan motor tak bisa bergerak di jalanan.
Kalau Jakarta lumpuh, bagaimana bisa berfungsi sebagai Ibu Kota sebuah
negara? Presiden tak bisa ke mana-mana. Kalau beliau pas di Cikeas, ya,
tetap saja di sana, tak bisa ke Istana Negara meskipun ada ratusan polisi
mengamankan jalan. Jalanan sudah sesak mobil, tak bisa diamankan,
dan mungkin juga polisi tak bisa keluar dari markasnya karena terjebak
macet.
Kalau presiden sedang di Istana Negara, juga akan kesepian. Tamu tak
ada yang bisa datang, menteri cukup melaporkan kerjanya lewat telepon.
Membuka seminar atau musyawarah nasional, bisa dilakukan presiden
lewat satelit, tetapi kalau melayat tokoh yang wafat, apa bisa lewat
satelit?
Pejabat selain Presiden masih bisa menyesuaikan diri. Para wakil rakyat,
misalnya, diuntungkan dengan kemacetan total ini karena ada alasan
untuk tak hadir di sidang, meski pun dia tak berada di Jakarta. Wartawan,
nah ini dia, tentu punya kiat tersendiri mencari berita, bisa lewat telepon.
Selebihnya, orang-orang yang terjebak kemacetan itu tak peduli tua
atau muda akan sibuk dengan telepon genggamnya: kutak-katik
Facebook. Kemacetan menguntungkan pengelola telepon selular,
penjualan pulsa meningkat.
Kalau Jakarta benar akan lumpuh, tak ada cara lain kecuali memindahkan
ibukota negara. Pindah kemana? Kalau memakai cara gampangan, salah
satu ibukota provinsi di Jawa bisa dijadikan alternatif. Kalau masih
ditambah alternatif, kota kabupaten seperti Malang, Solo, Purwokerto bisa
dilirik. Tapi problemanya akan sama: dihantui kemacetan.
Semua kota di Jawa secara ideal tak bisa dijadikan ibukota negara, karena
sistem transportasinya juga amburadul. Bagaimana kalau pindah ke Bali?
Lebih runyam lagi. Bali sesungguhnya menyimpan kelumpuhan total yang
sama dengan Jakarta. Akan segera meledak, sudah ada sinyalnya. Bali tak
punya transportasi umum yang memadai, bahkan di kota sama sekali tak
ada angkutan kota. Kalau ada keluarga punya empat anak yang sudah
bersekolah, keluarga itu punya enam sepeda motor, empat untuk
anaknya, dua untuk ayah dan ibunya. Aktifitas mereka berbeda, kalau tak
ada motor, mau numpang apa? Lalu sebuah mobil untuk pergi bersama,
misalnya, jika bersembahyang ke pura.
Tak satu pun kota di Bali layak jadi ibukota negara karena hantu
kemacetan sudah makin nyata. Jadi, kelemahan kita sebenarnya pada
menata kota. Maka para idealis lebih cenderung melirik kota di luar Jawa,
yang belum terlambat untuk ditata. Kota yang digadang adalah Palangka
Raya, ibukota Kalimantan Tengah.
Adalah Presiden Soekarno, yang tiba-tiba kepincut dengan Palangka
Raya. Dengan semangat nasionalisme yang tinggi, Soekarno menyebut
Palangka Raya menjadi pemersatu Nusantara. Letaknya di tengah-tengah
Sabang-Merauke dan penduduknya multi etnis. Kalimantan juga bebas
dari gempa. Ketika Soekarno meletakkan batu pertama di bundaran
penjuru angin Palangka Raya, kota ini pun dirancang dengan sistem
jaring laba-laba, layaknya kota moderen.
Masalahnya, ketika nasionalisme (konon) memudar, apakah orang Jawa
tega ibukota negara diboyong keluar, dan tidakkah melakukan
perlawanan? Maklum, ibukota negara simbol penting sebuah republik,
sama pentingnya dengan Kepala Negara, sementara kita tahu dikotomi
Jawa dan luar Jawa seperti api dalam sekam.
Kiamat
Minggu, 23 November 2009 | 00:45 WIB
Putu Setia
Sembilan dari sepuluh orang yang saya wawancarai mengatakan bahwa
kiamat itu pasti terjadi. Ini masalah keyakinan. Seorang tak mau
menjawab dan menuduh saya mengalihkan perhatian dari isu Bibit dan
Chandra, yang kini memasuki masa paling sulit bagi Presiden Yudhoyono.
Sembilan dari sepuluh orang itu juga menyebutkan bahwa kiamat menjadi
rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya. Bagaimana
kalau
terjadinya
besok?
tanya
saya.
Hampir
serempak
mereka
menjawab: Jangan Senin besok, kita ingin lihat keputusan apa yang
diambil Presiden pada kasus Bibit dan Candra. Bagaimana kalau 2011?
Seseorang menjawab: Jangan, tahun depan saya ikut pilkada. Kalau saya
jadi bupati, kan cuma setahun menjabat, tak balik modal kampanye
saya. Bagaimana kalau kiamat itu terjadi 21 Desember 2012? Ah, itu
takhayul, kata mereka serempak. Itu kan versi film yang sudah tak
dipercayai oleh para ulama kita.
Katanya yakin kiamat pasti datang. Katanya rahasia Tuhan yang bisa
terjadi kapan saja. Tapi kok mau mengatur sendiri, kapan kiamat itu tidak
boleh?
Saya tanya lagi: Apa yang Anda lakukan seandainya kiamat itu sudah
dekat? Pertanyaan ini tentu konyol. Itu berarti saya pun terjebak pada
ramalan, padahal kiamat kan rahasia Tuhan. Tapi, karena mereka mau
menjawab, ya, kita dengarkan saja.
Saya mau terbang ke berbagai tempat, ganti pesawat setiap turun di
bandara, siapa tahu pas di atas awan kiamat datang, kan saya bisa lihat
dari atas, kata seseorang. Saya mau beli HP yang bisa untuk Facebook
sebanyak-banyaknya, saya kasih teman-teman saya, agar ia segera
mengomentari status saya kalau kiamat datang, kata yang lain. Yang
satu
lagi,
lelaki
bertato,
menjawab
agak
lama:
Rasanya
ingin
berbuatlah saleh dan kebajikan, seolah-olah esok adalah hari akhir, hari
kiamat. Kematian itu, kata pemuka agama, harus kita persiapkan.
Matilah di jalan Tuhan, matilah pada saat kita sudah melaksanakan segala
amal saleh dan melaksanakan semua perintah-Nya.
Dongeng tentang kiamattermasuk filmmestinya menjadi cambuk buat
kita agar berlaku saleh dan beramal baik. Imajinasi tentang hari akhir
berkembang sesuai dengan tingkat pengetahuan. Masyarakat pedesaan di
masa lalu melukiskan datangnya kiamat dengan pertunjukan seni yang
memukau, misalnya, adegan gunung meletus, laharnya melanda umat
manusia. Orang-orang saleh disambar bidadari, diterbangkan ke atas,
sehingga tak merasakan pedihnya lahar panas seperti yang dialami
orang-orang durjana. Mereka tak melahirkan imajinasi tentang meteor
karena tak pernah baca kisah itu.
Kini, di zaman modern, kiamat divisualkan dengan benturan berbagai
benda planet yang menimbulkan gempa, tsunami, puting beliung, dan
sejenisnya. Bumi porak-poranda, tak ada bidadari karena orang modern
tak kenal Ken Subadra, Ken Sulasih, dan bidadari lainnya.
Di masa lalu, ketika tempat ibadah sedikit tapi umat religius, setiap orang
seperti diajak berlomba dalam kebajikan begitu kelar menonton drama
tentang kiamat. Orang berseru: Ya Tuhan, ampuni hamba, jauhkan
hamba dari dosa sebelum hari itu tiba. Kini, ketika rekaan datangnya
kiamat difilmkan, orang berlomba bilang: jangan percaya. Tapi filmnya
laris dan yang menonton pun tetap mengunyah popcorn. Kiamat cuma
jadi hiburan.
http://awamologi.wordpress.com/2009/11/18/kiamat-2012-danpenyesatan-media/