Anda di halaman 1dari 5

Penerapan Polluter Pays Principle Terhadap Kebijakan Kantong Plastik

Berbayar
Oleh
Muhammad Ilham Bakhti

Polluter Pays Principle (pencemar membayar) adalah suatu prinsip dimana beban yang
timbul akibat pencemaran dibebankan kepada pihak yang mendapatkan keuntungan akibat
proses dari pencemaran tersebut1. Biaya tersebut bisa disebut sebagai biaya eksternal yang
tidak dimasukan ke dalam biaya akhir suatu produksi.2 Polluter Pays Principle (PPP)
merupakan upaya untuk menjadikan biaya eksternal tersebut menjadi bagian dari perhitungan
biaya (internal) dari suatu produksi. Oleh karena itu PPP menjadi prinsip inti dari hukum
lingkungan3. Internalisasi biaya tersebut telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun
2017 Pasal 18 ayat 1 “Internalisasi biaya lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 huruf d dilaksanakan dengan memasukan biaya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya suatu Usaha dan/atau Kegiatan”.4
Para akademisi telah merekomendasikan Azas pencemar membayar (PPP) untuk
diadopsi kepada Economic Coorporation and Development (OECD) semenjak tahun 1970.5
Pada akhirnya PPP diadopsi kedalam Europe Union in The single European Act of 1987.6 Oleh
negara-negara lain prinsip ini diterapkan melalui regulasi langsung yang menimbulkan adanya
insentif ekonomi, dimana pencemar dibebankan biaya yang diakibatkan oleh aktivitasnya. 7
Pada akhirnya regulasi menciptakan sebuah tanggung jawab lingkungan kepada pihak yang
melakukan pencemaran.8Regulasi tersebut dapat berupa pajak, insentif, dan disisentif.
PPP dapat diaplikasikan dengan berbagai cara. PPP dapat diterapkan sebelum atau
sesudah terjadinya kejadian pencemaran yang diamana pada akhirnya PPP digunakan sebagai
upaya pencegahan pencemaran.9 Kompensasi terhadap korban akibat pencemaran merupakan
fokus dari PPP.10 Oleh karenanya mekanisme PPP didasarkan kepada terciptanya
keseimbangan.11 Keseimbangan tersebut terwujud akibat adanya kompensasi yang diberikan
oleh pencemar kepada korban dari pencemaran tersebut sehingga pemberian kompensasi

1
Stefan Ambec dan Lars Ehlers, “On The Polluter Pay Principle”, Researchgate, (Maret 2010), hlm .
2.
2
Jane Holder dan Maria Lee, Enviromental Protection Law, Ed. 2, (New York: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 36.
3
Ibid.
4
Indonesia,Peraturan Pemerintah Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, PP No 46 Tahun 2017, LN
No 228 Tahun 2017, TLN No. 6134, Pasal 18 ayat (1).
5
Barbara Luppi, Francesco Parisi, dan Shurti Rajagopalan, “Rise And Fall Polluter Pay Principle”,
International Review of Law and Economics 32, (2012) hlm 136.
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Jane Holder dan Maria Lee, Enviromental Protection Law, Ed. 2, (New York: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 37.
10
Barbara Luppi, Francesco Parisi, dan Shurti Rajagopalan, Op. Cit., hlm 136.
11
Stefan Ambec dan Lars Ehlers, “On The Polluter Pay Principle”, Researchgate, (Maret 2010), hlm.
2.
menjadi tujuan utama dari PPP.12 oleh karena itu terjadi pergeseran rezim dari PPP yang lebih
mengutamakan adanya tanggung jawab oleh pencemar kepada PPP yang menginginkan terjadi
insentif keuangan.13
Dalam Hukum Indonesia penerapan PPP tertuang dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal
43 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(UUPPLH) yang mengatur mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup. Pasal 1 angka 33
UUPPLH mendefinisikan instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat kebijakan
ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau setiap orang ke arah
pelestarian fungsi lingkungan hidup.14 Pengaturan mengenai instrumen ekonomi ini diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No 46 Tahun 2017 Tentang Instrumen Ekonomi
Lingkungan Hidup.
Instrumen ekonomi dalam Pasal 42 ayat (2) terdiri atas (a) perencanaan pembangunan
dan kegiatan ekonomi; (b) pendanaan lingkungan hidup; dan insentif dan/atau disinsentif.15
Insentif diartikan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau non
moneter kepada Setiap Orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar
melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumber daya alam dan kualitas
fungsi lingkungan hidup.16disinsentif adalah pengenaan beban atau ancaman secara moneter
dan/atau non moneter kepada Setiap Orang maupun Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumber daya alam dan
kualitas fungsi lingkungan hidup.17
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan
menyiapkan kebijakan kantong plastik berbayar setelah mengklaim berhasil 55% mereduksi
sampah jenis ini pada uji cobanya tahun lalu.18 KLHK sebenarnya sudah pernah menguji coba
kebijakan plastik berbayar pada tahun 2016. Tapi setelah berjalan beberapa bulan, uji coba
tersebut dihentikan karena menuai banyak kontroversi. Saat itu setiap pembelanjaan di pasar
modern dengan menggunakan kantong plastik kena biaya Rp 200 per kantong.19 Kebijakan ini
diambil oleh pemerintah terkait jumlah sampah plastik di Indonesia yang sudah
mengkhawatirkan. Data KLHK menunjukan, sampai tahun 2017 ada sekitar 12,7 ton sampah
plastik di laut. Penyumbang terbesar sampah tersebut adalah kantong plastik.20
Kebijakan kantong berbayar ini merupakan penerapan dari PPP dimana pemerintah
membebankan biaya kepada konsumen (pencemar). Adanya pro dan kontra terhadap kebijakan
ini merupakan akibat dari sulitnya untuk menentukan siapa itu pencemar dan dalam PPP masih

12
Barbara Luppi, Francesco Parisi, dan Shurti Rajagopalan, Op.Cit., hlm. 136.
13
Ibid.
14
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU NO 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 1 angka 33.
15
Ibid, Pasal 42 ayat (2) .
16
Indonesia,Peraturan Pemerintah Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, PP No 46 Tahun 2017, LN
No 228 Tahun 2017, TLN No. 6134,, Pasal 1 angka 3.
17
Ibid, Pasal 1 angka 4.
18
Regi Yanuar Widhia Dinnata, “KLHK Siapkan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar”,
http://kabar24.bisnis.com/read/20170617/15/663689/klhk-siapkan-kebijakan-kantong-plastik-berbayar, diunduh
24 Juli 2018.
19
Abdul Basih, dan Agus Triyono, “Kena Cukai, Kantong Plastik Kembali berbayar”
https://nasional.kontan.co.id/news/kena-cukai-kantong-plastik-akan-kembali-berbayar, diunduh 24 Juli 2018.
20
Ibid.
terdapat ambiguitas terhadap asas keadilan (apakah adil pencemar membayar).21 Penetapan
pencemar yang harus memikul biaya dalam kebijakan ini patut untuk dikaji kembali supaya
tidak menimbulkan ada permasalahan. Penetapan konsumen sebagai pencemar dan timbulnya
tanggung jawab dari pencemar untuk memberikan kompensasi atas pencemarannya merupakan
solusi praktis dan mudah. Akan tetapi konsumen tidak mungkin mendapatkan kantong plastik
jika tidak ada pasokan dari pemasoknya dalam hal ini industri retail atau industri kantong
plastik. Mereka pun ikut andil dari proses pencemaran ini. Berdasarkan PPP mereka juga
memiliki tanggung jawab untuk memberikan kompensasi terhadap pencemaran.
Kompensasi sebagaimana telah dijelaskan di paragraf sebelumnya merupakan upaya
untuk menimbulkan keseimbangan kembali akibat adanya kondisi buruk yang ditimbulkan
oleh pencemar. Permasalahan selanjutnya adalah seberapa besar kompesasi yang harus dibayar
oleh pencemar. Besaran kompensasi tersebut sebesar biaya yang diperlukan untuk
mengembalikan kembali lingkungan yang sudah tercemar sehingga timbul kesimbangan.22
Keseimbangan dalam hal ini diartikan pihak yang mencemar dan pihak yang terkena dampak
pencemaran tidak boleh ada yang rugi. Oleh karena itu pencemar harus membayar biaya sosial
yang timbul akibat pencemaran yang ditimbulkan.
Pada kebijakan kantong plastik berbayar tahun 2016 pemerintah menetapkan biaya
sebesar Rp. 200 per kantong plastik.23 Biaya tersebut pun dianggap belum dianggap terlalu
besar sehingga tidak sebanding dengan limbah yang dihasilkan.24 Setiap daerah menetapkan
harga yang berbeda dimana pemerintah DKI Jakarta mengusulkan Rp. 5000 per kantong.25
Memang pada dasarnya tidak mudah untuk menetukan kompensasi yang harus dibayar oleh
pencemar. Pemerintah harus menggunakan cost benefit analysis (CBA) untuk menghitung
biaya-biaya sosial yang timbul dan benefit yang diharapkan dari diterapkannya kebijakan ini.
Sayangnya pemerintah hanya berpatokan kepada seberapa besar perunan penggunaan
kantong plastik ini di beberapa gerai di Indonesia.26 Pemerintah tidak memberitahukan
seberapa besar kontribusi dari kompensasi tersebut mampu untuk memulihkan pencemarah
oleh limbah plastik yang telah dilakukan. Hal ini sangat penting karna berdasarkan PPP adanya
insentif ekonomi yang dikeluarkan oleh pencemar harus digunakan untuk memulihkan keadaan
tercemar atau pihak yang dicemari sehingga tercipta keseimbangan. Terlebih kebijakan
dijadikan sebagai alat untuk memindahkan pendapatan dari industri plastik ke industri yang
lainnya bukan sebagai instrumen untuk menjaga kelestarian lingkungan.27
Upaya pemerintah untuk mengurangi pemakaian kantong plastik adalah kebijakan yang
patut untuk diapresiasi. Akan tetapi upaya tersebut harus berbasis kepada semangat untuk
21
Jane Holder dan Maria Lee, Enviromental Protection Law, Ed. 2, (New York: Cambridge University
Press, 2007), hlm. 36.
22
Stefan Ambec dan Lars Ehlers, “On The Polluter Pay Principle”, Researchgate, (Maret 2010), hlm.
2.
23
GIDKP, “Kantong Plastik Berbayar” http://dietkantongplastik.info/2016/10/26/kantong-plastik-
berbayar/, diunduh 24 Juli 2018.
24
Ibid.
25
Ibid.
26
Isal Mawardi, “Inilah Alasan Mengapa Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Perlu Diterapkan Lagi
di Indonesia, http://jabar.tribunnews.com/2017/09/01/inilah-alasan-mengapa-kebijakan-kantong-plastik-
berbayar-perlu-diterapkan-lagi-di-indonesia, diunduh 24 Juli 2018.
27
Gentur Putro Jati, “Pemerintah Lanjutkan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar,
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170205161626-92-191424/pemerintah-lanjutkan-kebijakan-kantong-
plastik-berbayar, diunduh 24 Juli 2018.
menjaga lingkungan dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Penerapan PPP dalam
kebijakan kantong plastik berbayar tahun 2016 menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat
seharusnya pemerintah harus belajar banyak dan apabila ingin diterapakan kembali harus
berdasarkan kajian yang lengkap sehingga kebijakan tersebut tepat pada pokok permasalahan.
Kebijakan ini dinilai masih belum dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat akan
bahayanya limbah plastik. Oleh karena itu pemerintah harus menghadirkan kebijakan lainnya
dan tidak hanya mengandalkan kebijakan kantong plastik berbayar ini saja. Pada dasarnya
adanya PPP menyadarkan pencemar bahwa ada konsekuensi biaya yang muncul akibat
perbuatannya yang mencemari lingkungan. Dengan dipaksanya pencemar membayar
menimbulkan kesadaran dan kehatian-hatian pencemar supaya tidak mencemari lingkungan.
Oleh karena itu kebijakan ini harus ditujukan untuk mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih
aktif menjaga dan melestarikan lingkungan.

Daftar Referensi
Ambec, Stefan dan Lars Ehlers. “On The Polluter Pay Principle”. Researchgate. (Maret 2010).
Hlm. 1-23.
Basih, Abdul, dan Agus Triyono. “Kena Cukai, Kantong Plastik Kembali berbayar”
https://nasional.kontan.co.id/news/kena-cukai-kantong-plastik-akan-kembali-
berbayar. diunduh 24 Juli 2018.
Dinnata, Regi Yanuar Widhia. “KLHK Siapkan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar”.
http://kabar24.bisnis.com/read/20170617/15/663689/klhk-siapkan-kebijakan-kantong-
plastik-berbayar. diunduh 24 Juli 2018.
GIDKP. “Kantong Plastik Berbayar” http://dietkantongplastik.info/2016/10/26/kantong-
plastik-berbayar/. diunduh 24 Juli 2018.
Glazyrina, Irina, Vasiliy Glazyrin, Sergey Vinnichenko. ”The Polluter Pays Principle and
Potential Conflicts In Society”. Ecological Economics 59 (2006). Hlm. 324-330.
Hickok, Harold. Introduction To Enviromental Law. Ed. 1. (New York: Delmar Publishers.
1996).
Holder, Jane dan Maria Lee. Enviromental Protection Law. Ed. 2. (New York: Cambridge
University Press. 2007).
Indonesia. Peraturan Pemerintah Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. PP No 46 Tahun
2017. LN No 228 Tahun 2017. TLN No. 6134.
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU NO 32
Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.
Jati, Gentur Putro, “Pemerintah Lanjutkan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar”.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170205161626-92-191424/pemerintah-
lanjutkan-kebijakan-kantong-plastik-berbayar. diunduh 24 Juli 2018.
Luppi, Barbara, Francesco Parisi, dan Shurti Rajagopalan. “Rise And Fall Polluter Pay
Principle”. International Review of Law and Economics 32. (2012). Hlm. 135-144.
Mawardi, Isal. “Inilah Alasan Mengapa Kebijakan Kantong Plastik Berbayar Perlu
Diterapkan Lagi di Indonesia”. http://jabar.tribunnews.com/2017/09/01/inilah-alasan-
mengapa-kebijakan-kantong-plastik-berbayar-perlu-diterapkan-lagi-di-indonesia.
diunduh 24 Juli 2018.

Anda mungkin juga menyukai