TUGAS 1
UNIVERSITAS TERBUKA
Soal 1 :
Pembuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dapat dijerat pidana dengan
sanksi denda mencapai Rp 3 miliar. Sementara itu, produsen limbah B3 yang tidak mengolah
limbahnya kembali dapat didenda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 3 miliar. Sebelumnya,
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya akan memproses hukum
terhadap perusahaan yang terbukti membuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3)
bekas produksi minyak goreng. Gundukan tanah diduga limbah bahan beracun dan berbahaya
(B3) ditemukan di sejumlah titik di kawasan Marunda sejak beberapa bulan terakhir. Limbah itu
diduga berjenis spent bleaching earth (SBE) dari industri minyak sawit yang berfungsi
menjernihkan cairan minyak goreng. sumber:
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/01/09/17062161/perusahaan-yang-buang-
imbahb3-di-marunda-terancam-denda-rp-3-miliar.
Berdasarkan kasus di atas :
a. Jelaskan apa yang dimaksud prinsip pencemar membayar?
b. Dalam kasus tersebut apakah pelaku / penanggungjawab usaha dapat dikenakan kewajiban
pencemar membayar? Berikan dasar hukumnya!
c. Analisislah kaitan antara prinsip pencemar membayar dengan pertanggungjawaban mutlak
dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009!
Jawaban :
Jawaban :
b. Dalam kasus tersebut apakah pelaku / penanggungjawab usaha dapat dikenakan kewajiban
pencemar membayar? Berikan dasar hukumnya!
Jawaban :
Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara lain
melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang selanjutnya
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai
konsep strict liability:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”
Penjelasan pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab
mutlak” atau strict liability yaitu berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam pasal ini dijelaskan
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Prayekti Murharjanti, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Center for
Environmental Law (ICEL), sebenarnya ada beberapa kasus kerusakan lingkungan dimana
konsep strict liability dapat diterapkan. Ia merujuk pada penelitian yang dilakukan ICEL dan
Van Vollenhoven Institute mengenai kasus sengketa lingkungan. Dari tahun 1989–2009
terdapat puluhan kasus sengketa lingkungan di Indonesia.
“Dari penelitian ini, beberapa kasus sebenarnya bisa dipakai konsep ini. Nyatanya
tidak diterapkan,” katanya pada hukumonline. Meski demikian, Prayekti enggan
menunjukkan kasus mana yang dimaksud. Strict liability sudah diatur dalam UU No 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, konsep ini diatur pula
dalam Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.
Penjelasan Pasal 88
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan
melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.
Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan
peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
(sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/konsep-strict-liability-belum-pernah-
terpakai-lt4d4cfdf858312?page=1)
Soal 2 :
Proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, batal dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali
Internasional (TWBI). Izin lokasi reklamasi yang dipegang perusahaan tersebut dianggap
telah kedaluarsa sejak 26 Agustus lalu. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan
(Amdal) proyek reklamasi Teluk Benoa juga dinilai tidak layak karena aspek sosio kultural
yaitu adanya penolakan dari masyarakat.
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), gerakan yang lantang
menolak reklamasi di Pulau Dewata itu, menyatakan hal ini merupakan kemenangan rakyat
Bali dalam perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa sejak lima tahuin lalu. Mereka
berharap kemenangan ini dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi
pembangunan yang dinilai tidak adil. Selain menjadi pembelajaran bagi pengusaha yang
ingin berinvestasi agar memperhatikan lingkungan dan kepentingan masyarakat.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180828082316-20-
325397/reklamasi-teluk-benoadisetop-berkat-penolakan-warga-bali/
Berdasarkan kasus di atas
a. Jelaskanlah apa yang dimaksud asas partisipatif dalam pengelolan dan perlindungan
lingkungan hidup!
b. Jelaskan kapan dan bagaimana partsipasi masyarakat dalam yang berkaitan dengan
AMDAL?
Jelaskan dengan dasar hukumnya
a. Jelaskanlah apa yang dimaksud asas partisipatif dalam pengelolan dan perlindungan
lingkungan hidup!
Jawaban :
”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.
Dalam konteks historis, Hak Atas Lingkungan digolongkan sebagai Hak Asasi
Manusia Generasi Ketiga. Dimana hak atas lingkungan hidup bukanlah hak yang berdiri
sendiri melainkan terdapat hak-hak turunan (derivatif) yang akan menentukan sejauh
mana kualitas hak atas lingkungan dapat terpenuhi. Terdapat dua aspek yang
membentuk hak atas lingkungan, yakni aspek prosedural dan aspek substantif. Aspek
subtantif disini diartikan sebagai hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar hidup
yang layak dan hak untuk sehat, hak untuk mendapatkan keadilan intra dan anter
generasi. Sedangkan hak-hak prosedural dimaksud, adalah elemen penunjang dalam
rangka pemenuhan atas hak substansif, yakni hak atas informasi, hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak untuk mendapatkan akses
keadilan.
Saat ini, hak-hak prosedural dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan telah
diatur dalam Konvensi Aarhus (Convention Access to Information, Participation and
Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters). Pasal 1 Konvensi
Aarhus menyatakan : “In order to contribute to the protection of the right of every person
of present and future generations to live in an environment adequate to his or her health
and well-being, each Party shall guarantee the rights of access to information, public
participation in decision-making, and access to justice in environmental matters in
accordance with the provisions of this Convention.” Ketentuan Pasal 1 Konvensi Aarhus
secara explisit meminta kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak atas akses
informasi, peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap
keadilan dalam permasalahan terkait lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan hak
atas lingkungan hidup oleh negara.
Peran serta masyarakat atau yang juga dikenal dengan istilah partisipasi publik
adalah elemen penting dari pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sah
secara demokratis. Peran serta masyarakat merupakan salah satu bentuk saluran yang
diberikan kepada masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk secara aktif
menuntut pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik. Saat ini, pengakuan
terhadap proses peran serta masyarakat dapat dilihat pada setiap level kebijakan, baik
secara internasional, regional, nasional dan lokal.
(sumber : https://pslh.ugm.ac.id/peran-serta-masyarakat-dalam-pengelolaan-lingkungan-
hidup/)
b. Jelaskan kapan dan bagaimana partsipasi masyarakat dalam yang berkaitan dengan
AMDAL?
Jelaskan dengan dasar hukumnya
Jawaban :
Agar tujuan ini dapat tercapai, maka setiap penangung jawab rencana usaha
dan/atau kegiatan (pemrakarsa) sebelum melakukan penyusunan dokumen Kerangka
Acuan (KA) wajib mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan kepada masyarakat
antara lain mengenai deskripsi kegiatan (deskripsi rinci rencana kegiatan, lokasi proyek),
dampak lingkungan hidup potensial mungkin terjadi sebagai akibat rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut.
Tujuan keempat adalah terkait dengan proses izin lingkungan baik melalui
mekanisme penilaian Amdal maupun melalui mekanisme pemeriksaan UKL-UPL. Saran,
pendapat dan tanggapan (SPT) masyarakat yang disampaikan pada tahap proses
permohonan izin akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam proses
penerbitan izin lingkungan Tujuan AMDAL secara umum adalah menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak
negatifnya menjadi serendah mungkin.
Ada tiga pihak yang berkepentingan dengan AMDAL yaitu Pemrakarsa, Aparatur
Pemerintah, dan Masyarakat. Pemrakarsa, yaitu orang atau badan yang mengajukan
yang bertanggung jawab atas suatu rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
Dipandang dari sudut pemrakarsa, pada dasarnya perlu dibedakan antara proses
pengambilan keputusan intern dan ekstern. Dalam proses pengambilan keputusan
intern pemrakarsa menghadapi pertanyaan apakah dia akan memprakarsai suatu
rencana kegiatan dan melaksanakannya. Proses pengambilan keputusan ekstern
dihadapi oleh pemrakarsa apabila rencana kegiatannya diajukan kepada instansi yang
bertanggungjawab untuk memperoleh persetujuan. Dalam proses ini pemrakarsa harus
menyadari mengenai rencana yang diajukan itu. Apabila instansi yang
bertangggungjawab juga bertindak sebagai pemrakarsa, maka proses pengambilan
keputusan tersebut harus dipisahkan secara intern organisasi instansi yang
bersangkutan.
(sumber : https://journal.unimma.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1886/1100)