Anda di halaman 1dari 13

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 1

Nama Mahasiswa : Achmad Syahruji

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 031186775

Kode/Nama Mata Kuliah : HKUM4210/Hukum Lingkungan

Kode/Nama UPBJJ : 48/Palangka Raya

Masa Ujian : 2022/23.1 (2022.2)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS TERBUKA
Soal 1 :
Pembuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3) dapat dijerat pidana dengan
sanksi denda mencapai Rp 3 miliar. Sementara itu, produsen limbah B3 yang tidak mengolah
limbahnya kembali dapat didenda minimal Rp 1 miliar dan maksimal Rp 3 miliar. Sebelumnya,
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya akan memproses hukum
terhadap perusahaan yang terbukti membuang limbah bahan beracun dan berbahaya (B3)
bekas produksi minyak goreng. Gundukan tanah diduga limbah bahan beracun dan berbahaya
(B3) ditemukan di sejumlah titik di kawasan Marunda sejak beberapa bulan terakhir. Limbah itu
diduga berjenis spent bleaching earth (SBE) dari industri minyak sawit yang berfungsi
menjernihkan cairan minyak goreng. sumber:
https://megapolitan.kompas.com/read/2019/01/09/17062161/perusahaan-yang-buang-
imbahb3-di-marunda-terancam-denda-rp-3-miliar.
Berdasarkan kasus di atas :
a. Jelaskan apa yang dimaksud prinsip pencemar membayar?
b. Dalam kasus tersebut apakah pelaku / penanggungjawab usaha dapat dikenakan kewajiban
pencemar membayar? Berikan dasar hukumnya!
c. Analisislah kaitan antara prinsip pencemar membayar dengan pertanggungjawaban mutlak
dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009!

Jawaban :

a. Jelaskan apa yang dimaksud prinsip pencemar membayar?

Definisi Polluter Pays Principle


Berdasarkan definisi dari OECD, 2001 yang dimaksud dengan polluter pays
principle itu sendiri merupakan sebuah prinsip yang mengharuskan bagi pencemar untuk
menanggung sejumlah biaya atas tindakan yang dilakukan untuk dapat mengurangi polusi
sesuai dengan tingkat kerusakan yang telah ditimbulkan pada masyarakat atau bahkan
yang melebihi tingkat atau standar polusi yang dapat diterima.
Sedangkan definisi dari Siswanto, 2005 mengenai polluter pays principle dapat
dikatan bahwa bagi setiap orang yang dalam rangka melakukan kegiatannya dapat
berpotensi menyebabkan dampak penting terhadap lingkungan, maka diharuskan memikul
biaya pencegahan (preventive) atau biaya penanggulangan (restorative).
Polluter pays principle ini pada dasarnya berkaitan erat dengan lingkungan. Pada
awal tahun 1972, polluter pays principle ini mulai dianut oleh negara-negara yang
merupakan anggota dari OECD (The Organisation for Economic Co-operation and
Development). Setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun mengenai the
polluter pays principle, maka menghasilkan sebuah rekomendasi OECD Council pada 26
Mei 1972 mengenai Guiding Principles Concerning the international economics aspects of
environmental policies yang telah diterima oleh pemerintah dari masing-masing negara
anggota, yaitu berupa penerapan antara lain the polluter pays principle dan juga
rekomendasi mengenai penyesuaian dari norma-norma yang bersangkutan atau berkaitan,
yaitu yang memiliki pengaruh ekonomi internasional dan juga lalu lintas perdagangan.
Jadi, pada awal tahun 1972 pollutan pays principle ini mulai dianut oleh negara-negara
yang merupakan anggota dari OECD yang pada intinya menyebutkan bahwa seorang
pencemar harus membayarkan sejumlah biaya pencegahan dan juga penanggulangan
pencemaran yang telah ditimbulkannya.
Secara sederhana, pengertian dari polluter pays principle atau yang juga dikenal
dengan sebutan prinsip pencemar membayar dapat diartikan bahwa setiap pelaku
kegiatan atau pelaku usaha yang menimbulkan pencemaran, maka harus membayarkan
biaya atas dampak pencemaran yang ditimbulkannya.
Polluter pays principle atau prinsip pencemar membayar ini pada dasarnya lebih
menekankan pada segi ekonomi dibandingkan segi hukum, karena prinsip ini mengatur
mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai dari kerusakan lingkungan serta
pembebanan sebagai upaya untuk memulihkan lingkungan yang rusak (Rangkuti, h.244).
Berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan oleh pencemar, biaya yang digunakan
untuk mencegah dan mengendalikan polusi tersebut harus tercermin pada harga barang
dan juga jasa yang dapat menyebabkan pencemaran selama proses produksi atau proses
konsumsinya (OECD, 2008).
Tujuan utama dari prinsip ini, yaitu untuk dapat menginternalisasi biaya lingkungan.
Sebagai salah satu prinsip yang merupakan pangkal atas tolak kebijakan lingkungan,
prinsip ini bermakna bahwa sejatinya pencemar harus bertanggung jawab untuk dapat
menghilangkan atau meniadakan pencemaran yang telah ditimbulkannya (Syarif dan
Wibisana, 2000).
Polluter pays principle ini dapat juga diterapkan melalui berbagai macam cara,
mulai dari standar proses dan produk yang telah ditetapkan sebelumnya, hingga dengan
cara menarik pungutan. Salah satu instrumen yang dapat digunakan adalah dengan
mengenakan atau membebankan pajak pada pencemar yang dimana jumlah besarannya
setara dengan nilai kerusakan yang ditimbulkannya.
(sumber : https://www.pajakku.com/read/60ffa07a8f25dc113f232815/Apa-Itu-Polluter-Pays-
Principle?)

Jawaban :

b. Dalam kasus tersebut apakah pelaku / penanggungjawab usaha dapat dikenakan kewajiban
pencemar membayar? Berikan dasar hukumnya!

Ya benar hal tersebut diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32


Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Adapun
berdasarkan Pasal 103 UU Nomor 32 Tahun 2009, diatur bahwa setiap orang yang
menghasilkan limbah B3 harus mengelola limbah yang dihasilkannya.
Secara sederhana, pengertian dari polluter pays principle atau yang juga
dikenal dengan sebutan prinsip pencemar membayar dapat diartikan bahwa setiap
pelaku kegiatan atau pelaku usaha yang menimbulkan pencemaran, maka harus
membayarkan biaya atas dampak pencemaran yang ditimbulkannya.
Polluter pays principle atau prinsip pencemar membayar ini pada dasarnya
lebih menekankan pada segi ekonomi dibandingkan segi hukum, karena prinsip ini
mengatur mengenai kebijaksanaan atas penghitungan nilai dari kerusakan lingkungan
serta pembebanan sebagai upaya untuk memulihkan lingkungan yang rusak (Rangkuti,
h.244).
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya akan
memproses hukum terhadap perusahaan yang terbukti membuang limbah bahan beracun
dan berbahaya (B3) bekas produksi minyak goreng. Anies mengungkapkan, saat ini Dinas
Lingkungan Hidup masih melakukan pengawasan. Jika terbukti, maka dipastikan
perusahaan yang bertanggung jawab akan diproses hukum.
c. Analisislah kaitan antara prinsip pencemar membayar dengan pertanggungjawaban mutlak
dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009!

Jawaban :

Menurut Fredrik J. Pinakunary dalam tulisannya di hukumonline berjudul Penerapan


Tanggung Jawab Pidana Mutlak Pada Perkara Pencemaran Lingkungan,konsep strict
liability atau tanggung jawab mutlak ini berbeda dengan sistem tanggung jawab pidana
umum yang mengharuskan adanya kesengajaan atau kealpaan. Dalam sistem tanggung
jawab pidana mutlak hanya dibutuhkan pengetahuan dan perbuatan dari terdakwa. Artinya,
dalam melakukan perbuatan tersebut, apabila si terdakwa mengetahui atau menyadari
tentang potensi kerugian bagi pihak lain, maka kedaan ini cukup untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana. Jadi, tidak diperlukan adanya unsur sengaja atau alpa dari
terdakwa, namun semata-mata perbuatan yang telah mengakibatkan pencemaran (Frances
Russell & Christine Locke, “English Law and Language, Cassed, 1992).

Konsep strict liability pertama kali diintrodusir dalam hukum Indonesia antara lain
melalui UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yang selanjutnya
diubah dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (“UUPPLH”). Dalam Pasal 88 UU PPLH ini disebutkan secara tegas mengenai
konsep strict liability:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.”

Penjelasan pasal ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan “bertanggung jawab
mutlak” atau strict liability yaitu berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak
penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan dalam pasal ini dijelaskan
merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada
umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Namun, dalam kenyataannya, penerapan konsep ini di Indonesia memang tidak


mudah. Sebagaimana diberitakan hukumonline, Hakim Agung pada Mahkamah Agung
Takdir Rakhmadi mengatakan antara lain bahwa selama ini belum ada kasus yang dibawa
penggugat ke pengadilan untuk menuntut strict liability. Oleh karena itu, masih menurut
Takdir, konsep strict liability belum pernah diterapkan di Indonesia karena memang belum
ada perkaranya di pengadilan. Di sisi lain, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Center
for Environmental Law (ICEL) Prayekti Murharjanti mengatakan, sebenarnya ada beberapa
kasus kerusakan lingkungan di mana konsep strict liability dapat diterapkan.
Konsep strict liability ini juga dapat diterapkan untuk kasus perlindungan konsumen,
sebagaimana diatur secara implisit dalam Pasal 19 UU No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Namun, konsep ini juga belum pernah diterapkan oleh pengadilan
Indonesia terkait dengan kasus perlindungan konsumen. Hal ini disampaikan oleh Yusuf
Shofie, pengajar tetap dari Universitas Yarsi yang juga memiliki pengalaman bekerja di
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (“YLKI”) . Lebih lanjut simak artikel Yusuf Shofie:
Pengadilan Indonesia Belum Terbiasa dengan Strict Liability.

Jadi, pada dasarnya hukum di Indonesia telah memberikan pengaturan-pengaturan


yang memungkinkan diterapkannya konsep strict liability ini. Namun, tidak dapat dipungkiri
karena berbagai alasan yang telah dikemukakan di atas, dalam praktiknya penerapan strict
liability tidaklah mudah.

Konsep Strict Liability Belum Pernah Terpakai


Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) perusahaan dalam kerusakan
lingkungan di Indonesia belum pernah terlaksana. Padahal konsep ini sangat baik untuk
menjaga keberlangsungan hidup masyarakat yang menjadi korban.

Menurut Prayekti Murharjanti, peneliti hukum lingkungan dari Indonesia Center for
Environmental Law (ICEL), sebenarnya ada beberapa kasus kerusakan lingkungan dimana
konsep strict liability dapat diterapkan. Ia merujuk pada penelitian yang dilakukan ICEL dan
Van Vollenhoven Institute mengenai kasus sengketa lingkungan. Dari tahun 1989–2009
terdapat puluhan kasus sengketa lingkungan di Indonesia.

“Dari penelitian ini, beberapa kasus sebenarnya bisa dipakai konsep ini. Nyatanya
tidak diterapkan,” katanya pada hukumonline. Meski demikian, Prayekti enggan
menunjukkan kasus mana yang dimaksud. Strict liability sudah diatur dalam UU No 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selanjutnya, konsep ini diatur pula
dalam Pasal 88 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.

Pasal 88
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,
menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius
terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu
pembuktian unsur kesalahan.

Penjelasan Pasal 88
Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak” atau strict liability adalah unsur
kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan
melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak
lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu.

Yang dimaksud dengan “sampai batas waktu tertentu” adalah jika menurut penetapan
peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau
kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.

Selama ini, kebanyakan kasus sengketa lingkungan diselesaikan melalui mekanisme


luar pengadilan. Menurutnya, hakim juga tidak bisa aktif mendorong masyarakat untuk maju
ke pengadilan melakukan gugatan. “Itu peran civil society dan lembaga masyarakat,”
tegasnya.

(sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/konsep-strict-liability-belum-pernah-
terpakai-lt4d4cfdf858312?page=1)
Soal 2 :
Proyek reklamasi Teluk Benoa, Bali, batal dilaksanakan oleh PT Tirta Wahana Bali
Internasional (TWBI). Izin lokasi reklamasi yang dipegang perusahaan tersebut dianggap
telah kedaluarsa sejak 26 Agustus lalu. Selain itu, analisis mengenai dampak lingkungan
(Amdal) proyek reklamasi Teluk Benoa juga dinilai tidak layak karena aspek sosio kultural
yaitu adanya penolakan dari masyarakat.
Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI), gerakan yang lantang
menolak reklamasi di Pulau Dewata itu, menyatakan hal ini merupakan kemenangan rakyat
Bali dalam perjuangan menolak reklamasi Teluk Benoa sejak lima tahuin lalu. Mereka
berharap kemenangan ini dapat menjadi pemantik bagi masyarakat untuk terus mengkritisi
pembangunan yang dinilai tidak adil. Selain menjadi pembelajaran bagi pengusaha yang
ingin berinvestasi agar memperhatikan lingkungan dan kepentingan masyarakat.
Sumber : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180828082316-20-
325397/reklamasi-teluk-benoadisetop-berkat-penolakan-warga-bali/
Berdasarkan kasus di atas
a. Jelaskanlah apa yang dimaksud asas partisipatif dalam pengelolan dan perlindungan
lingkungan hidup!
b. Jelaskan kapan dan bagaimana partsipasi masyarakat dalam yang berkaitan dengan
AMDAL?
Jelaskan dengan dasar hukumnya

a. Jelaskanlah apa yang dimaksud asas partisipatif dalam pengelolan dan perlindungan
lingkungan hidup!

Jawaban :

Yang dimaksud dengan “asas partisipatif” adalah bahwa setiap anggota


masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan
pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat terkait erat
dengan hak atas lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah
dilindungi dalam Konstitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Setelah amandemen, ketentuannya dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) yang
menegaskan:

”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.

Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan, bahwa hak atas lingkungan merupakan


hak subyektif yang dimiliki oleh setiap orang. Adapun realisasi hak atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat sesungguhanya merupakan upaya mewujudkan pemenuhan
hak-hak asasi lainnya, khususnya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar
kehidupan yang layak, hak kesehatan, dan hak-hak lainnya yang dalam pemenuhannya
sangat terkait dengan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Siti Sundari
Rangkuti juga menyatakan, bahwa pemaknaan secara yuridis terhadap hak atas
lingkungan yang baik dan sehat harus diwujudkan melalui pembentukan berbagai
saluran hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi masyarakat di bidang
lingkungan hidup. Bentuk-bentuk perlindungan tersebut, antara lain yaitu hak mengambil
bagian dalam prosedur hukum administrasi, seperti hak berperan serta (inspraak, public
hearing) atau hak banding (beroep) terhadap penetapan administrasi (tata usaha
negara).

Secara internasional pengakuan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan


terkait lingkungan juga telah diakui sebagai salah satu prinsip utama tata kelola
lingkungan dalam Deklarasi Rio 1992. Dimana Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan,
bahwa masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga
negara yang peduli di tingkat yang relevan. Deklarasi rio juga menetapkan, bahwa
negara diminta untuk memastikan masing-masing individu memiliki akses yang tepat ke
informasi mengenai lingkungan yang dimiliki oleh otoritas publik, termasuk informasi
tentang bahan berbahaya dan kegiatan di komunitas mereka, dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, negara harus
memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dengan
menyediakan informasi dengan sebaik baiknya.

Dalam konteks historis, Hak Atas Lingkungan digolongkan sebagai Hak Asasi
Manusia Generasi Ketiga. Dimana hak atas lingkungan hidup bukanlah hak yang berdiri
sendiri melainkan terdapat hak-hak turunan (derivatif) yang akan menentukan sejauh
mana kualitas hak atas lingkungan dapat terpenuhi. Terdapat dua aspek yang
membentuk hak atas lingkungan, yakni aspek prosedural dan aspek substantif. Aspek
subtantif disini diartikan sebagai hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar hidup
yang layak dan hak untuk sehat, hak untuk mendapatkan keadilan intra dan anter
generasi. Sedangkan hak-hak prosedural dimaksud, adalah elemen penunjang dalam
rangka pemenuhan atas hak substansif, yakni hak atas informasi, hak untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak untuk mendapatkan akses
keadilan.
Saat ini, hak-hak prosedural dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan telah
diatur dalam Konvensi Aarhus (Convention Access to Information, Participation and
Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters). Pasal 1 Konvensi
Aarhus menyatakan : “In order to contribute to the protection of the right of every person
of present and future generations to live in an environment adequate to his or her health
and well-being, each Party shall guarantee the rights of access to information, public
participation in decision-making, and access to justice in environmental matters in
accordance with the provisions of this Convention.” Ketentuan Pasal 1 Konvensi Aarhus
secara explisit meminta kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak atas akses
informasi, peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap
keadilan dalam permasalahan terkait lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan hak
atas lingkungan hidup oleh negara.

Dengan demikian, upaya pemenuhan akses peran serta kepada masyarakat


dalam pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu prasyarat dalam pemenuhan
terhadap hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah
diamanatkan dalam UUD RI Tahun 1945.

Peran Serta Masyarakat

Peran serta masyarakat atau yang juga dikenal dengan istilah partisipasi publik
adalah elemen penting dari pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sah
secara demokratis. Peran serta masyarakat merupakan salah satu bentuk saluran yang
diberikan kepada masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk secara aktif
menuntut pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik. Saat ini, pengakuan
terhadap proses peran serta masyarakat dapat dilihat pada setiap level kebijakan, baik
secara internasional, regional, nasional dan lokal.

Sherry R. Arnstein dalam makalahnya berjudul “A Ladder of Citizen Participation”


yang terbit tahun 1969 menyatakan : “The idea of citizen participation is a little like
eating spinach: no one is against it in principle because it is good for you.” Dengan kata
lain, partisipasi masyarakat adalah suatu gagasan yang sangat baik, seperti halnya
“makan bayam” dimana seharusnya tidak akan ada yang menentang suatu gagasan
yang baik.

Lebih lanjut, Koesnadi Hardjasoemantri juga menyatakan, bahwa: “Peran serta


masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peran
serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para individu yang terkena berbagai
peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran serta kelompok
dan organisasi dalam masyarakat. Peran serta efektif dapat melampaui kemampuan
orang seorang, baik dari sudut kemampuan keuangan maupun dari sudut kemampuan
pengetahuannya, sehingga peran serta kelompok dan organisasi sangat diperlukan,
terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup.

Urgensi terkait peran serta masyarakat mungkin menjelaskan, mengapa UUPPLH


mengatur ketentuan peran serta masyarakat dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab XI
tentang Peran Masyarakat.
Koesnadi mengemukakan empat landasan perlunya peran serta masyarakat, yaitu :
1. Memberi informasi kepada pemerintah. Peran serta masyarakat terutama akan dapat
menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu yang
diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para ahli yang
dimintai pendapat oleh masyarakat. Dimana berbagai kepentingan, permasalahan,
pengetahuan dan pemahaman masyarakat dapat menjadi sebuah masukan yang
berharga dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
2. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah. Seorang
warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperanserta dalam
proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu “fait accompli”, akan
cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih besar guna menerima dan
menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut.
3. Membantu perlindungan hukum. Peran serta pada dasarnya dapat mencegah timbulnya
pengajuan gugatan oleh masyarakat. Apabila pengambilan sebuah keputusan telah
diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat
selama berlangsungnya proses pengambilan keputusan, maka akan menghilangkan
berbagai keberatan atau sumber permasalahan yang kedepannya, mungkin berpotensi
menjadi perkara di pengadilan. Selain itu, pada saat peran serta dalam proses
pengambilan keputusan, maka berbagai alternatif dapat dan memang akan dibicarakan,
setidak-tidaknya sampai suatu tingkatan tertentu. Sebaliknya, apabila sebuah perkara
sampai pada pengadilan, maka lazimnya perkara tersebut hanya terbatas atau
memusatkan pada suatu persoalan tertentu saja, sehingga tidak terbuka kesempatan
untuk memberikan saran atau alternatif pertimbangan lainnya.
4. Mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Dalam hubungan dengan peran serta
masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan dengan
sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada wakil-wakil
rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, tidak ada keharusan adanya bentuk-
bentuk dari peran serta masyarakat karena wakil-wakil rakyat itu bertindak untuk
kepentingan rakyat. Dikemukakan pula argumentasi, bahwa dalam sistem perwakilan,
peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan administratif akan
menimbulkan masalah keabsahan demokratis, karena warga masyarakat, kelompok
atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan tidaklah dipilih
atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik-kritik tersebut di atas, Gundling
mengemukakan tanggapannya, yaitu : (1) bahwa demokrasi dengan sistem perwakilan
adalah satu bentuk demokrasi, bukan satu-satunya; (2) bahwa sistem perwakilan tidak
menutup bentuk-bentuk demokrasi langsung; dan (3) bahwa bukanlah warga
masyarakat, sekelompok warga masyarakat atau organisasi yang sesungguhnya
mengambil keputusan; mereka hanya berperan serta dalam tahap-tahap persiapan
pengambilan keputusan. Monopoli Negara dan lembaga-Iembaganya untuk mengambil
keputusan tidaklah dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta
masyarakat dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-lembaganya
guna melaksanakan tugas dengan cara yang lebih layak diterima dan berhasil guna.

(sumber : https://pslh.ugm.ac.id/peran-serta-masyarakat-dalam-pengelolaan-lingkungan-
hidup/)

b. Jelaskan kapan dan bagaimana partsipasi masyarakat dalam yang berkaitan dengan
AMDAL?
Jelaskan dengan dasar hukumnya

Jawaban :

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut UUPPLH memberikan ruang gerak bagi
masyarakat untuk ikut serta berperan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup berdasarkan pada asas yang tertuang pada pasal 2 yakni asas
partisipatif dan asas keterbukaan. Asas partisipasif dimaksudkan bahwa setiap
anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan
keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baik
secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan asas keterbukaan dimaksudkan
warga masyarakat dapat membantu mengidentifikasi persoalan dampak lingkungan
hidup secara dini dan lengkap, menampung aspirasi dan kearifan pengetahuan
lokal sebagai kunci penyelesaian persoalan dampak lingkungan hidup yang
timbul.1Permen LH No. 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses
Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan menyadari bahwa peran
masyarakat dalam memberikan mas ukan kepada pemrakarsa untuk penyusunan
AMDAL sangat penting. Sesuai dengan pasal 26 ayat (3) UUPPLH, masyarakat
yang tepat sasaran untuk dilibatkan pada proses penyusunan AMDAL adalah
masyarakat yang terkena dampak; pemerhati lingkungan hidup; dan masyarakat
yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL.
Pemrakarsa maupun Komisi Penilai AMDAL diwajibkan untuk mempertimbangkan
tanggapan, saran dan masukan dari masyarakat sehingga tujuan dari keterlibatan
masyarakat sesuai Permen No. 17 Tahun 2012 dapat terwujud, yakni :
a. masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana usaha dan/atau kegiatan
yang berdampak penting bagilingkungan;
b. masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas
rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkngan;
c. masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan
rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan; dan
d. masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses
izin lingkungan.

Tujuan pertama dimaksudkan bahwa masyarakat telah mendapatkan informasi yang


memadai mengenai usulan rencana usaha dan/atau kegiatan dan dapat berkontribusi
dalam proses AMDAL.

Agar tujuan ini dapat tercapai, maka setiap penangung jawab rencana usaha
dan/atau kegiatan (pemrakarsa) sebelum melakukan penyusunan dokumen Kerangka
Acuan (KA) wajib mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan kepada masyarakat
antara lain mengenai deskripsi kegiatan (deskripsi rinci rencana kegiatan, lokasi proyek),
dampak lingkungan hidup potensial mungkin terjadi sebagai akibat rencana usaha
dan/atau kegiatan tersebut.

Tujuan kedua dimaksudkan bahwa masyarakat dapat menyampaikan saran,


pendapat dan tanggapan (SPT) secara tertulis atau melalui proses konsultasi publik
yang dilaksanakan oleh pemrakasarsa. Melalui penyampaian SPT ini, masyarakat dapat
menyampaikan umpan balik mengenai informasi mengenai kondisi lingkungan hidup
dan berbagai usaha dan/atau kegiatan di sekitar daerah rencana usaha dan/atau
kegiatan aspirasi masyarakat dan penilaiannya mengenai dampak lingkungan.

Tujuan ketiga dimaksudkan masyarakat terkena dampak melalui wakilnya yang


duduk dalam komisi penilai amdal terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait
dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.

Tujuan keempat adalah terkait dengan proses izin lingkungan baik melalui
mekanisme penilaian Amdal maupun melalui mekanisme pemeriksaan UKL-UPL. Saran,
pendapat dan tanggapan (SPT) masyarakat yang disampaikan pada tahap proses
permohonan izin akan digunakan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam proses
penerbitan izin lingkungan Tujuan AMDAL secara umum adalah menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak
negatifnya menjadi serendah mungkin.

Ada tiga pihak yang berkepentingan dengan AMDAL yaitu Pemrakarsa, Aparatur
Pemerintah, dan Masyarakat. Pemrakarsa, yaitu orang atau badan yang mengajukan
yang bertanggung jawab atas suatu rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
Dipandang dari sudut pemrakarsa, pada dasarnya perlu dibedakan antara proses
pengambilan keputusan intern dan ekstern. Dalam proses pengambilan keputusan
intern pemrakarsa menghadapi pertanyaan apakah dia akan memprakarsai suatu
rencana kegiatan dan melaksanakannya. Proses pengambilan keputusan ekstern
dihadapi oleh pemrakarsa apabila rencana kegiatannya diajukan kepada instansi yang
bertanggungjawab untuk memperoleh persetujuan. Dalam proses ini pemrakarsa harus
menyadari mengenai rencana yang diajukan itu. Apabila instansi yang
bertangggungjawab juga bertindak sebagai pemrakarsa, maka proses pengambilan
keputusan tersebut harus dipisahkan secara intern organisasi instansi yang
bersangkutan.

Aparatur Pemerintah, pihak yang berkepentingan dengan AMDAL dapat


dibedakan antara instansi yang bertanggungjawab dan instansi yang terkait. Instansi
yang bertanggungjawab merupakan instansi yang berwenang memberikan keputusan
kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat
berada pada kepala instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di
tingkat daerah berada pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 1999.

Masyarakat, Pelaksanaan suatu kegiatan menimbulkan dampak terhadap


lingkungan Bio-Geofisik dan lingkungan sosial. Dampak sosial yang ditimbulkan oleh
pelaksanaan suatu kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya peran serta
masyarakat dalam kaitannya dengan kegiatan tersebut. Karena itu masyarakat sebagai
subyek hak dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penilaian AMDAL. Selain
itu, diikutsertakannya masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat memerima
keputusan yang pada gilirannya akan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa
lingkungan.

Dalam proses penyusunan Amdal untuk usaha dan/atau kegiatan,


masyarakat terdampak sering kali tidak dilibatkan dan menganggap bahwa dokumen
Amdal hanya sebagai formalitas semata, meskipun berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan masyarakat diberikan kesempatan untuk ikut dalam
pengambilan keputusan serta ikut berperan dalam memberikan saran dan
tanggapan.
Pembangunan PT. Semen Indonesia di Rembang, mengeringnya sumur tanah
warga Miliran akibat pembangunan Fave Hotel maupun krisis air di desa kwarasan
akibat adanya usaha air minum kemasan merupakan contoh tidak dilibatkannya
masyarakat dalam proses penyusunan AMDAL sehingga masyarakat dirugikan
akibat adanya usaha dan/atau kegiatan.
Contoh lainnya adalah mega proyek lahan gambut di Kalimantan Tengah.
Kegiatan tersebut sangat prestisius dan tidakdidukung AMDAL yang memadahi.
AMDAL dilakukan setelah kegiatan berjalan sehingga pertimbangan lingkungan
menjadi sangat lemah. Hasil yang diperoleh ternyata lahan gambut yang ada masih
sangat muda dengan pH rendah, yang menyebabkan tanaman dapat tumbuh tetapi
tidak mau berbuah. Banyak serangan hama dan terjadi gagl panen. Pemda
Kalteng tidak mampu melanjutkan sehingga terjadi kegagalan baik dari aspek
ekonomi, sosial dan lingkungan.
Tiga hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia banyak kegiatan usaha
yang telah beroperasi atau melakukan kegiatan usahanya tanpa adanya AMDAL dan
berdampak negatif bagi masyarakat.Sebagian masyarakat merasa keberatan
terhadap adanya asas keterbukaan yang diberikan oleh UUPPLH. Karena mereka
menganggap masyarakat belum cukup “dewasa” untuk diberi keluluasaan
menyampaikan pendapatnya secara terbuka. Hal tersebut tentunya tidak sesuai
dengan amanat dari UUPPLH yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk ikut
berperan secara aktif. Pemerintah menilai bahwa peran masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup sebagai bagian dari perwujudan Good Governance.
Oleh karena itu perlu adanya analisis secara mendalam mengenai bentuk serta
mekanisme dalam proses penyusunan AMDAL yang melibatkan masyarakat, sehingga
AMDAL dalam perencanaan pembangunan benar-benar dilaksanakan sebagai bentuk
preventif untuk kerusakan lingkungan yang mungkin ditimbulkan akibat adanya usaha
dan/atau kegiatan.
NEPA (National Environmental Policy Act)merupakan sejarah penerapan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Indonesia akibat industrialisasi
besar-besaran yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1970. UUPPLH memberi
amanat agar setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap
lingkungan hidup wajib memiliki AMDAL. AMDAL merupakan suatu kajian mengenal
dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan
hidup yang diperlukan bagi pengambilan keputusantentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.5Kajian AMDAL disusun oleh pemrakarsa maupun pihak ketiga
yang secara kompetensi telah tersertifikasi dengan kriteria: penguasaan metodologi
penyusunan AMDAL; kemampuan melakukan pelingkupan, prakiraan dan evaluasi
dampak serta pengambilan keputusan; dan kemampuan menyusun rencana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup.Partisipasi berasal dari Bahasa latin
partisipareyang mempunyai arti dalam Bahasa Indonesia mengambil bagian atau
turut serta.
Sastrodipoetra menyatakan partisipasi sebagai keterlibatan yang bersifat
spontan yang disertai kesadaran dan tanggungawab terhadap kepentingan
kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Sedangkan Alastraire White
menyatakan partisipasi sebagai keterlibatan komunitas setempat secara aktif dalam
pengambilan keputusan atau pelaksanaannya terhadap proyek-proyek
pembangunan.
Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka ciri dari partisipasi adalah
adanya keterlibatan secara ikhlas dan aktif dalam setiap proses. Dengan
keterlibatan dalam proses penyusunan AMDAL, masyarakat dapat menentukan
masa depan pembangunan wilayah yang ditinggali dengan memberi saran,
masukan dan tanggapan kepada pemrakarsa maupun pemilik usaha.Konsep
perencanaan pembangunan yang efektif dan menyentuh dimensi-dimensi yang
dibutuhkan masyarakat.
Tanpa adanya perencanaan pembangunan yang memadahi maka
pelaksanaan pembangunan tidak memiliki arah yang jelas. Dengan demikian
kejelasan arah pembangunan sangat ditentukan dari awalnya, yakni dari adanya
penerapan konsep perencanaan pembangunan yang memadahi pula. Pembangunan di
negara demokrasi dilaksanakan dari, oleh dan untuk kepentingan rakyat. Dalam hal ini
partisipasi publik merupakan kata kunci untuk menentukan keberhasilan maupun
kegagalan suatu pembangunan dijalankan.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa adanya hubungan yang erat
antara partisipasi masyarakat dengan pembangunan berkelanjutan.
UUPPLH maupun PP No 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
mengatur agar masyarakat ikut berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup khususnya dalam proses penyusunan AMDAL dengan berbagai
bentuk antara lain:
a. Pengikutsertaan dalam penyusunan dokumen AMDAL melalui proses
pengumuman, penyampaian saran, pendapat dan tanggapan masyarakat dan
konsultasi publik serta pengikutsertaan masyarakat dalam komisi penilai AMDAL,
bagi rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL;
b. Proses pengumuman permohonan izin lingkungan, penyampaian saran,
pendapat dan tanggapan masyarakat serta pengumuman setelah izin
lingkungan diterbitkan, baik untuk rencana usaha atau/atau kegiatan yang
wajib memiliki AMDAL maupun rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib
memiliki UKL-UPL.8Sebagain besar sengekata lingkungan yang diajukan di
PTUN ialah kasus yang menimbulkan kerugian secara nyata bagi masyarakat
yang diakibatkan tidak dijalankanya aturan undang-undang yang berlaku
mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maupun izin
lingkungan, misalnya melakukan gugatan kepada Menteri Pertanian yang telah
mengeluarkan SK Menteri Pertanian mengenai pelepasan secara terbatas kapas
transgenic dengan objek sengketa bertentangan dengan UUPLH maupun PP
mengenai AMDAL yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting
terhadap lingkungan hidup maupun kasus lainnyayang menyangkut mengenai
AMDAL dan izin lingkungan.

Sebagai suatu bentuk izin, AMDAL dan izin lingkungan yang


dikeluarkan oleh pejabat negara perlu dilakukan pengawasan sebagai wujud
pengendalian serta mencegah dampak lingkungan yang akan ditimbulkan.
Pengawasan terhadap perusahaan yang telah mendapat izin juga sangat
penting dilakukan. Karena pemberian izin itu diberikan disertai dengan persyaratan,
maka harus dilakukan kontrol baik oleh instansi pemberi izin maupun oleh
pengadilan.
Lemahnya penegakan hukum menjadikan pengawasan yang dilakukan
tidak dapat mencegah terjadinya dampak lingkungan yang merugikan masyarakat.
Ada beberapa penyebab AMDAL di Indonesia tidak dapat dijalankan secara
efektif yakni
a. pelaksanaan AMDAL yang terlambat, sehingga tidak dapat lagi mempengaruhi
proses perencanaan tanpa menyebabkan penundaan pelaksanaan program atau
proyek dan menaikkan biaya proyek,
b. kurangnya pemahaman mengenai arti dan peranan AMDAL, sehingga
AMDAL dilaksanakan sekedar untuk memenuhi peraturan perundang-
undangan atau bahkan disalahgunakan untuk membenarkan suatu proyek,
c. belum cukup berkembangnya teknik AMDAL untuk menjadikan AMDAL
yang relevan dan dengan rekomendasi yang spesifik dan jelas,
d. kuranya keterampilan pada komisi AMDAL untuk memeriksa laporan
AMDAL,
e. belum adanya pemantauan yang baik untuk mengetahui apakah
rekomendasi AMDAL yang tertera dalam RKL benar-benar digunakan untuk
menyempurnakan perencanaan dan dilaksanakan dalam implementasi proyek.

Manfaat penyusunan AMDAL antara lain untuk mengidentifikasi,


memprakirakan dan mengevaluasi dampak yang mungkin terjadi terhadap
lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan yang direncanakan dan
meningkatkan dampak positif dan menangani sampai sekecil-kecilnya dampak
negatif yang terjadi dengan melaksanakan RKL-RPL secara konsekuen, agar
pembangunan berkelanjutan dapat tercapai.

(sumber : https://journal.unimma.ac.id/index.php/variajusticia/article/view/1886/1100)

Anda mungkin juga menyukai