Anda di halaman 1dari 3

Nama : Melisa Ratna Sari

NPM : 1812011018
Mata Kuliah : Hukum Lingkungan
Dosen : Prof. Dr. Muhammad Akib, SH., M.Hum.
: Agung Budi Prastyo, S.H., M.H.

Tugas 4

Soal :

Buatlah tulisan tentang pendapat anda terkait dengan perubahan Pasal 88 UUPLH tahun 2009
yang diubah oleh UU Ciptaker tentang Penerapan Tanggung Gugat Mutlak (Strict
Liability) dalam Hukum Lingkungan"

Jawaban :

Saat ini manusia tentunya tidak terlepas dengan adanya Lingkungan Hidup. Dari
lingkungan hidup inilah didalam nya sangat berkaitan erat dengan hajat orang banyak. Melihat
isi Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 didalamnya membahas tentang setiap orang
berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Karena lingkungan hidup yang baik dan
sehat itu sangat dibutuhkan oleh semua manusia demi keberlangsungan kehidupan yang
sejahtera. Namun ironisnya, permasalahan lingkungan hidup seringkali disebabkan oleh
manusia itu sendiri. Tak jarang di jumpai orang-orang yang merusak lingkungan tanpa
disadarinya karena beranggapan tidak mempangaruhi kehidupan sehari-harinya secara
langsung.

Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebagai bentuk upaya melindungi lingkungan hidup
masyarakat dan komitmennya untuk melaksanakan perjanjian-perjanjian internasional di bidang
lingkungan. Salah satu langkah terpenting dalam perlindungan lingkungan hidup yang diatur dalam UU
PLH adalah perencanaan pembangunan lingkungan. Hal ini dilakukan agar setiap kegiatan, baik pribadi
maupun usaha, yang akan berdampak pada lingkungan dapat direncanakan, diawasi, dan dikendalikan
sehingga dampaknya tidak merugikan lingkungan secara signifikan, atau bahkan menyebabkan
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.

Perencanaan dan pelaksaan penggunaan lingkungan juga sangat penting untuk dilakukan guna
diterapkannya penegakan hukum ketika terjadinya pelanggaran. Meskipun hanya sekedar peraturan
yang ditetapkan, dan dilakukan berbagai perencanaan. Menyebabkan, apabila terjadi pelanggaran maka
pihak yang melanggar tidak mendapat ganjaran apapun dikarenakan penegakan hukum yang tidak
maksimal. Hal tersebut membuat beberapa pihak berfikir untuk ikut serta melakukan pelanggaran
dikarenakan mereka melihat peluang akan minimnya konsekuensi yang akan mereka dapatkan.
Kemudian Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja yang mana salah satu pasal nya membahas tentang isu dampak lingkungan hidup dari
keberadaan UU tersebut. Meskipun UU Cipta Kerja tersebut mendapatkan sejumlah protes penolakan
yang dilakukan oleh kaum buruh di sejumlah daerah, tetapi UU ini masih terus berjalan. Salah satu
pasal dari UU Cipta Kerja tercantum di dalam Pasal 88 tentang pengelolaan limbah. Terdapat beberapa
point dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(PPLH) yang diubah, dihapus dan ditetapkan pengaturan baru terkait perizinan usaha.

Salah satu pasal yang direvisi di UU Cipta Kerja adalah Pasal 88 UU Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal Pertanggungjawaban Mutlak.

Pasal 88 UU PPLH berbunyi :


“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”

Frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” sebagaimana tertuang didalam Pasal 88 UU PPLH di
atas berarti bahwa pihak yang memenuhi unsur-unsur pasal diatas dapat diminta
pertanggungjawabannya tanpa perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi. Yang perlu ditunjukkan dalam hal ini bahwa kerugian yang dialami oleh penggugat memiliki
korelasi langsung bahwa hal itu disebabkan oleh perbuatan tergugat. Prinsip strict liability diberlakukan
karena seringkali akses informasi dalam kasus pelanggaran norma lingkungan tidak simetris. Korban
kerusakan lingkungan hidup atau penggugat memiliki akses terhadap informasi yang lebih terbatas
dibandingkan dengan tergugat yang biasanya adalah pelaku usaha berskala besar dengan akses terhadap
informasi yang lebih mudah. Dengan demikian, penggugat pastinya mengalami kesulitan dalam
memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam rangka pembuktian. Oleh karena itu, selama
terdapat kausalitas antara tindakan tergugat dan kerugian yang dialami penggugat, hal tersebut sudah
cukup menjadi dasar untuk meminta ganti rugi.

Kemudian dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan
dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.”
Dengan dihapusnya frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” yang sebelumnya telah tertuang
didalam Pasal 88 UU PPLH dihapuskan. Dengan dihapuskannya frasa tersebut, yang dimaksud dengan
“bertanggung jawab mutlak” tidak jauh berbeda dengan pertanggungjawaban kesalahan. Oleh karena
itu pihak yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan kerugian itu memang mutlak
bertanggung jawab, namun tetap di perlukan adanya permbuktian atas adanya unsur kesalahan dari
tindakan yang dilakukan tergugat. Dan pada dasarnya di Indonesia sendiri penerapan pada dasar
hukumnya telah memberikan pengaturan-pengaturan yang memungkinkan di terapkannya konsep
srtict liabillity ini tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa dikarenakan beberapa alasan yang telah
dikemukakan dalam praktiknya penerapan strict liability tidaklah mudah.

Anda mungkin juga menyukai