1. Pendahuluan.
Ada suatu kesalah-pahaman yang besar, dan dalam kesalah-pahaman tersebut
orang menyamakan kekurangan pada kecermatan atau presisi dengan ketidak-
ilmiahan. Pandangan ini tampaknya dapat ditelusuri balik pada kriteria falsifikasi
Karl Popper yang terkenal. Berdasarkan kriteria falsifikasi itu maka suatu teori
meteorologikal yang tidak lebih jauh menjangkau ketimbang ramalan-ramalan
dengan kemungkinan salah 50 % untuk tiga hari ke depan adalah tidak dapat
dibantah (direfutasi) dan dengan demikian tidak ilmiah. Hal tidak dapat dibantah
menurut Popper adalah bukan ciri dari kelayakan dari teori itu, melainkan ciri dari
ketidak-ilmiahan.1 Barendrecht telah mengolah pikiran ini untuk hukum dan telah
mengkritik pemakaian kaidah-kaidah terbuka (open normen) dalam hukum
perdata, karena, jika diserang, tiap penerapan dapat dibenarkan dengan kaidah-
kaidah terbuka yang bersangkutan. Wrongful Birth-arrest mewujudkan sebuah
ilustrasi yang hidup dari dalil ini, yang di dalamnya menurut Stolker telah
diberikan sembilan jawaban tanpa seorang yuris pun yang kompeten yang mampu
dengan kepastian menetapkan yang mana dari jawaban-jawaban itu yang tepat.2
Dalam disertasinya, maka Barendrecht juga memperjuangkan kaidah-kaidah yang
tajam, kaidah-kaidah yang memiliki jangkauan penerapan yang lebih persis. Jika
hakim berkeyakinan bahwa penerapan tidak dapat diterima untuk kejadian-
kejadian tertentu yang terletak dalam jangkauan dari aturan itu, maka aturan-
aturan tersebut, setidaknya untuk kejadian-kejadian itu, telah terfalsifikasi.3
Kaidah-kaidah terbuka memang tidak sangat persis. Namun ihwalnya, pertama-
tama, pertanyaan apakah kekurangan pada presisi dapat disamakan dengan
ketidak-ilmiahan. Jarak antara matahari dan bumi adalah 149,6 juta kilometer. Itu
adalah suatu penentuan jarak yang cukup persis, jika anda tidak melihat satu
kilometer itu sebagai lebih atau kurang. Tetapi pernyataan itu tidak sangat persis.
Jauh lebih persis dalam hal itu adalah standar kiloan di Sèvres (Paris) yang
menurut definisinya beratnya satu kilo. Tetapi di sini masalahnya adalah bahwa
perbedaan dalam berat antara standar kilo dan kopi-kopinya adalah sebagai akibat
dari pengotoran berjumlah lebih dari lima puluh mikrogram. Itu adalah perbedaan
yang tidak akan dipermasalahkan oleh petani sayuran, tetapi menjadi masalah
bagi ilmuwan nano. Setiap disiplin ilmiah harus berupaya mencapai standar-
standar yang sepersis mungkin, tetapi derajat dari presisi yang dituntut adalah
tergantung pada tujuan yang mau dicapai orang dan objek yang dipelajari orang.
Untuk hukum masih ada satu masalah lain yang turut bermain. Penafsiran dan
penerapan aturan-aturan hukum, juga yang paling persis, menurut beberapa
1
K.R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1972) 78-92.
2
Bandingkan C.J.J.M. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!” (Ya, anda semua memang terdidik), pidato
pada perayaan dies natalis ke 428 Universitas Leiden, tanggal 7 Februari 2003, NJB (Nederlands
Juristen Blad) (2003): 766-778, pada 768.
3
J.M. Barendrecht, Recht als model van rechtvaardigheid (Hukum sebagai model keadilan) (Deventer,
Kluwer, 1992).
1
2
teoretisi hukum menuntut suatu putusan nilai (waardeoordeel). Hukum apa yang
berlaku “adalah”, karena alasan itu tidak dapat dipandang terlepas dari pandangan
apa, yang menurut mereka yang mempelajari hukum atau yang menerapkan
hukum, hukum itu “seharusnya”. Pencampuradukan antara “is” (yang ada) dan
“ought” (yang seyogianya) ini adalah apa yang bagi beberapa teoretisi hukum
menjadi alasan untuk meragukan kadar keilmiahan atau keilmuan dari ilmu
hukum itu. Yang lain menganggap percampur-adukan ini akibat dari suatu
ketidak-sempurnaan metodologi yuridik, yang dapat diatasi dengan mempelajari
hukum dengan menggunakan metode-metode dari ilmu-ilmu empirik.
Dalam makalah ini saya akan mempertahankan dalil bahwa hukum itu tidak dapat
dipelajari secara bebas-nilai dan bahwa pencampuran “is” dan “ought” adalah
bukan alasan untuk tidak memberikan predikat ilmu pada ilmu hukum. Dalil ini
menentukan pertanyaan-pertanyaan yang dalam makalah tentang karakter dari
ilmu hukum ini akan saya ajukan. Jenis gejala apa hukum itu? Bagaimana gejala
ini seharusnya dipelajari? Dan pengetahuan apa yang diberikan olehnya?
Pada penjawaban terhadap masalah ini, akan dilakukan pembatasan berikut ini.
Ke dalam pengertian ilmu hukum (rechtswetenschap atau rechtsgeleerdheid) tidak
hanya termasuk disiplin-disiplin bagian yang memaparkan, mensistematisasi dan
mengomentari hukum positif dari berbagai bidang hukum, melainkan juga
disiplin-disiplin ilmiah yang lebih empirikal seperti sosiologi hukum, ekonomi
hukum dan psikologi hukum. Diskusi mutakhir tentang keilmiahan dari ilmu
hukum mempunyai kaitan dengan penelitian dari kelompok pertama, artinya, pada
penelitian yang dilakukan para yuris terhadap keberlakuan dan makna dari hukum
positif – misalnya pada pertanyaan apakah tuntutan dalam Wrongful Birth-arrest
menurut hukum yang berlaku harus dipenuhi. Dalam kontribusi ini saya akan
secara tegas membatasi diri pada jenis penelitian ilmiah ilmu hukum ini, artinya,
pada bagian dari ilmu hukum yang mempelajari hukum dengan terfokus pada
penetapan apa hukumnya yang berlaku dalam suatu kejadian tertentu.
4
Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel”, NJB (2003), 771.
5
G. De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?” (Bagaimana
kita membuat ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang bernilai penuh?), NJB (2004): 58-66.
6
Lihat antara lain M. Barendrecht, “Methoden van rechtswetenschap: komen we verder?” (metode-
metode ilmu hukum: apakah kita sudah lebih maju?), NJB (2004): 1419-1428; R.A.J. van Gestel dan
J.B.M. Vranken, “Rechtswetenschappelijke artikelen. Naar criteria voor methodologische
verantwoording” (Artikel-artikel ilmiah bidang hukum. Mencari kriteria untuk pertanggungjawaban
2
3
3
4
4
5
tentang ilmu jika objek dari penelitian bukan sesuatu yang terberi (fakta, data)
yang terhadapnya dilakukan pernyataan-pernyataan pendapat, melainkan sesuatu
yang berkaitan dengan pandangan-pandangan dari peneliti? Sifat-sifat khas dari
zat cair atau zat gas, demikian para peneliti yang bersikap lebih empirikal,
bukankah juga tidak ditentukan oleh pendapat peneliti tentang hal itu, melainkan
oleh sifat-sifat khas dari objek itu sendiri?
Kini kita dapat mengatakan sesuatu terhadap gambaran dari ilmuwan yang
melakukan pengamatan (observasi) secara netral dan objektif, untuk kemudian
menguji ketahanan teori-teori yang disusun dengan bertumpu di atasnya, dengan
ketidak berpihakan yang sama.15 Teori-teori ilmiah adalah bukan “rangkuman”
dari observasi-observasi tak terbilang, sebagaimana yang dengan riang
dikemukakan oleh De Geest16, melainkan meletakkan suatu hubungan di antara
berbagai gejala berdasarkan suatu cara pandang tertentu terhadap kenyataan.
Orang tidak mengobservasi keajegan-keajegan, melainkan mengkonstruksi
keajegan-keajegan ini atas dasar asumsi-asumsi tentang sifat dari kenyataan, tanpa
dapat sepenuhnya menyustifikasi asumsi-asumsi tersebut. Revolusi keilmuan pada
permulaan abad ketujuh belas tidak secara primer dikendalikan oleh penemuan
gejala-gejala baru, melainkan oleh suatu cara pandang baru terhadap alam.17 Itu
menghasilkan metode-metode penelitian yang lain dan observasi-observasi lain
yang kemudian akan membenarkan lagi cara pandang terhadap dunia ini. Jika
ilmu alam modern ditandai oleh suatu gambaran dunia mekanistik dengan hukum-
hukum yang dituangkan dalam bentuk matematikal, yang diturunkan dari fakta-
fakta yang diciptakan melalui jalan eksperimental, orang mencari dalam zaman
kuno dan abad pertengahan sifat esensial dari objek-objek (benda-benda) untuk
menjelaskan “gerak alamiah” dari benda-benda tersebut, misalnya gerak jatuh:
15
Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”, 769, mensketsakan gambaran klasik dari penelitian dalam
ilmu-ilmu alam, yang berkenaan dengannya penelitian dilaksanakan tanpa tergantung pada pribadi
dari penelitinya.
16
Menurut De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 59,
teori-teori ilmiah merangkum ribuan pengamatan-pengamatan dalam formula-formula sederhana.
17
F.R. van Lunteren, “Van Aristoteles tot Galilei: naar een nieuwe bewegingensleer” (Dari Aristoteles
ke Galilei: menuju suatu ajaran gerak yang baru), dalam Doorbraken in de natuurkunde (Terobosan-
terobosan dalam ilmu alam), red. M. Keestra (Amsterdam: Uitgeverij Nieuwezijds, 2001), 27-54,
pada 29.
18
Van Lunteren, “Van Aristoteles tot Galilei: naar een nieuwe bewegingsleer”, 29.
5
6
19
K.R. Popper, Conjecture and Refutations (London: Routledge and Keagen, 2002, 59 dsl.; T.S. Kuhn,
The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Univ. Of Chicago Press, 1996), 15-16.
20
Popper, The Logic of Scientific Discovery, 94-95: “For we can utter no scientific statement that does
not go beyond what can be known with certainty ‘on the basis of immediate experience’ (…) Every
description uses universal names (or symbols, or ideas); every statement has the character of a
theory, of a hypothesis. The statement, ‘Here is a glass of water’ cannot be verified by any
observational experience. The reason is that the universals which appear in it cannot be correlated
with any specific sense-experience.”
21
Popper, The Logic of Scientific Discovery, 43 dan 95 dst.
22
Bagi mereka yang secara teknikal tertarik saya berikan formula itu, yang saya sendiri menerimanya
hanya untuk memberikan pengetahuan: ΔpΔq≥h/2П, di mana Δp adalah hal tidak dapat
ditentukannya tempat dan Δq adalah hal tidak dapat ditentukannya impuls, dan h adalah konstanta
dari Planck. Formula tersebut memuat bahwa jika salah satu dari dua nilai itu ditentukan secara lebih
persis, maka hal tidak berketentuan dari yang lain menjadi sekian cepat lebih besar: lihat lebih lanjut
M. Franssen, “Bohr en de quantummechanica” dalam Doorbraken in de natuurkunde, red. M.
Keestra (Amsterdam: Uitgeverij Nieuwezijds, 2001), 185-213.
6
7
7
8
“In the case of legal rules, the criteria of relevance and closeness of
resemblance depend on many complex factors running through the legal
system and on the aims and purpose which may be attributed to the rule. To
characterize these would be to characterize whatever is specific or peculiar in
legal reasoning.”27
27
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University Press, 1994), 127.
8
9
keadaan tertentu, seperti dalam kejadian anjing penuntun orang buta, dapat saling
bertabrakan. Apa yang dalam kejadian ini yang menjadi maksud “yang
sebenarnya” dari tukang daging itu? Barang siapa untuk penjawaban terhadap
pertanyaan tersebut menganggap bahwa yang menentukan hanya apa yang secara
faktual tukang daging itu pikirkan, inginkan atau menyatakan pada saat ia
menempatkan papan kecil itu, ia keliru memahami bahwa alasan untuk
menginginkan hal ini mempunyai kaitan dengan preferensi-preferensi lainnya.
Keinginan atau maksud kita, dikatakan secara lain, adalah bukan satu fakta
tunggal, melainkan suatu gugus (cluster) preferensi-preferensi yang saling
berkaitan. Tentunya kita dapat memutuskan untuk hanya memberikan perhatian
pada maksud tunggal yang dalam kaitan dengan larangan itu ada dalam pikiran
tukang daging itu, tetapi bahwa kita pada penafsiran atas larangan itu harus
membatasi diri pada hal itu, tidak timbul dari aturan itu sendiri dan tidak
menghasilkan “maksud sebenarnya” (werkelijk bedoeling) dari tukang daging itu,
melainkan hanya penetapan dari satu tujuan (doeleind) yang terisolasi. Dengan
demikian, hal penentuan tujuan dari suatu aturan adalah suatu proses yang
majemuk. Ia tidak membatasi diri pada penetapan sepersis mungkin apa yang bagi
penyusun pada satu momen historikal tertentu ada dalam pikirannya (ada di depan
matanya), melainkan membawa maksud dari momen itu ke dalam kaitan dengan
tujuan-tujuan, keinginan-keinginan dan pertimbangan-pertimbangan yang lain
dari penyusun tersebut.28
Hanya saja contoh ini masih menyangkut satu larangan tunggal oleh satu orang.
Dalam hukum kita berurusan dengan suatu kompleks sistem aturan-aturan yang
berkenaan dengannya terlibat berbagai aktor. Jika kita, masih tetap dalam
pendekatan dari De Geest, menetapkan makna dari sebuah pengaturan perundang-
undangan dengan menelusuri maksud yang dimiliki pembentuk undang-undang,
maka kita harus tidak hanya memberikan perhatian pada tujuan dari pengaturan
itu sejauh hal itu tampak dari dokumen-dokumen parlementer, melainkan kita
juga harus sekaligus memberikan perhatian pada berbagai undang-undang yang
lain, pada pengaturan yang lebih tinggi (seperti pedoman-pedoman Eropa,
Europese richtlijnen) dan nilai-nilai seperti kepastian hukum, persamaan hukum
dan konsistensi.29 Jika kata-kata membawa pada suatu akibat hukum yang
bertentangan dengan suatu asas hukum yang fundamental, misalnya asas
persamaan, maka hakim akan harus menyesuaikan30 jangkauan penerapan dari
pengaturan itu dalam cahaya dari asas tersebut – dan dengan itu maknanya31 juga.
Pembentuk undang-undang, demikian dapat kita andaikan, di samping itu
28
Bandingkan tentang tujuan beragam dalam perundang-undangan, P.C. Westerman, “The Emergence
of New Types of Norms”, dalam Legislation in Context: Essays in Legisprudence, ed. Luc J.
Wintgens (Aldershot: Ashgate Publishing, 2007), 117-133.
29
Bdk. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”
30
Bdk. Larangan undang-undang berkontradiksi dari L. Fuller: The Morality of Law, ed. Rev. (New
Haven: Yale University Press, 1964), 76.
31
L. Wittgenstein, Philosophical Investigations, terjemahan G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell
Publishing, 1953), par 43, yang di dalamnya ia menyatakan bahwa makna dari sebuah perkataan
adalah pemakaiannya di dalam bahasa itu. Pikiran (pendapat) yang sama dikemukakan Scholten
dengan pernyataan pendapatnya bahwa hukum adalah sebuah sistem terbuka: sebuah sistem kaidah-
kaidah yang menghendaki penerapan dan yang tergantung juga pada penerapan itu, P. Scholten, C.
Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht. Algemeen Deel (Zwolle:
W.E.J. Tjeenk Willink, 1974), 76.
9
10
32
Bdk. Wittgenstein, Philosophical Investigation, par 38, 109, 110 dan 194, tentang keterpukauan akal
kita oleh sarana-sarana dari bahasa.
33
Itu tampaknya setidak-tidaknya pandangan yang naïf dari De Geest. Bahwa juga dalam ilmu-ilmu
alam hubungan antara objek dan pengamatan adalah lebih kompleks ketimbang apa yang dianggap
oleh De Geest, lihat par.3.
34
Bdk. Stolker, “Ja, gelééd zijn jullie wel!”, 770. Dalam makna yang dapat dibandingkan J.B.M.
Vranken, Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht. Algemeen Deel
(2) (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1995), 69.
10
11
35
Bdk. J.H. Nieuwenhuis, Drie beginselen van contractenrecht (Tiga asas hukum kontrak) (diss.
Leiden) (Deventer, Kluwer, 1979), 63-78.
36
R. Alexy, “Zum Begriff des Rechtsprinzips” (menuju pengertian asas-asas hukum), Rechtstheorie
(1979), 79: “(…) Normen, die gebieten, dass etwas in einem relativ auf rechtlichen und tatsächlichen
Möglichkeiten möglichst hohen Masse realisiert wird.” (Kaidah-kaidah, yang memerintahkan, bahwa
dalam suatu kemungkinan-kemungkinan yuridik dan faktual yang relatif diwujudkan setinggi
mungkin)
37
Bdk. M.C.B. Burkens, Algemene leerstukken van grondrechten naar Nederlands constitutioneel
recht (Ajaran umum tentang hak-hak dasar menurut hukum konstitusional Belanda) (Zwolle: W.E.J.
Tjeenk Willink, 1989), 55 dan 149.
38
Sebuah contoh pada bidang hukum tata negara diberikan oleh asas “rule of law”. Dalam asas ini
ditampilkan dalam kepentingan yang kita kaitkan pada hubungan-hubungan yuridik yang stabil
antara warga masyarakat dan negara. Bdk. D.J. Galigan, Discretionary Powers. A study of Official
Discretion (Oxford: Oxford University Press, 1990), 90.
11
12
yang di dalamnya diberikan bobot yang lebih berat pada suatu asas atau nilai lain
ketimbang hak asasi ini.
Bobot dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan dan asas-asas adalah, dengan kata
lain, ditentukan secara relatif dan kontekstual. Ditentukan secara relatif, karena
bobot dari asas-asas adalah tidak absolut, melainkan mereka hanya yang satu
terhadap yang lain mempunyai lebih banyak atau lebih sedikit bobot. Dan
ditetapkan secara kontekstual, karena bobot lebih dari asas yang satu berkenaan
dengan asas yang lain hanya dipunyainya dalam cahaya dari kejadian tertentu.39
Kesimpulannya adalah bahwa perundang-undangan disusun dengan terarah pada
pengkaidahan kejadian-kejadian tertentu dengan jalan menimbang-nimbang
kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya yang satu terhadap yang
lainnya. Jika kita sudah mau berbicara tentang apa yang mau dicapai atau yang
mau dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan aturan tersebut, maka kita
akan sampai paling dekat ke situ dengan jalan menelusuri kejadian-kejadian apa
yang paling jelas (eviden) termasuk ke dalam wilayah jangkauan dari ketentuan
yang bersangkutan.40 Itu adalah kejadian-kejadian yang tidak hanya yang tanpa
kesulitan dapat disubsumsi ke bawah ketentuan yang bersangkutan (kejadian yang
secara harafiah termasuk ke dalam pengaturan terkait), melainkan yang juga
penerapan pengaturan itu sesuai dengan pertimbangan kepentingan-kepentingan
yang dipandang melandasi aturan tersebut (“ruh” dari pengaturan itu).41
Berdasarkan berbagai titik pandang – seperti pemakaian kata-kata, latar belakang
sejarah undang-undang, sistemnya – hal dapat diterapkannya ketentuan terkait
untuk kejadian-kejadian selanjutnya tanpa keraguan dapat dipastikan.
Jadi, walaupun penentuan makna dari aturan-aturan perundang-undangan dalam
kejadian-kejadian yang sudah jelas adalah bukan penimbangan kepentingan-
kepentingan yang mandiri yang diharapkan misalnya dari hakim, pada aturan itu
sendiri memang terdapat penimbangan kepentingan-kepentingan sebagai
landasannya. Penimbangan itu bertumpu pada putusan politik hukum dari
pembentuk undang-undang yang bagi suatu jenis (tipe) kejadian tertentu untuk
mengutamakan suatu kepentingan tertentu. Dengan menerapkan aturan itu dalam
kejadian-kejadian yang jelas, maka hakim menyesuaikan diri pada penimbangan
kepentingan ini. Karena dalam kejadian-kejadian yang sudah jelas (clear cases
atau plain cases) penerapan aturan itu secara rasional tidak dapat diragukan dan
“semua hidung”, demikian dikatakan, menunjuk pada arah yang sama, maka dapat
tampak kepada kita bahwa di sini telah dilakukan bukan putusan normatif,
melainkan yang terjadi adalah sebuah putusan faktual. Namun ada kejadian-
kejadian yang jelas yang tidak lebih bebas-nilai ketimbang dalam kejadian-
kejadian sulit (hard cases); yang terjadi hanyalah bahwa terdapat alasan (yuridik)
yang baik untuk menyimpang dari penimbangan kepentingan politik hukum yang
diletakkan di dalam aturan itu.42
39
Lihat tentang pentingnya “konteks” untuk hukum M.A. Loth dan A.M.P. Gakeer, Meesterlijk recht,
(Den Haag: Boom, 2002).
40
Kasus-kasus mudah atau kasus-kasus paradigmatik (plain or paradigm cases), lihat Hart, The
Concept of Law, 126-129. Lihat lebih lanjut noot 27.
41
Bdk. Contoh dari Hart tentang mobil di dalam taman: kejadian ini termasuk ke dalam ketentuan
larangan “No vehicle in the park”, baik secara harafiah maupun menurut “ruh”-nya: Hart, The
Concept of Law, 126.
42
Pembedaan antara kejadian-kejadian yang sederhana (yang jelas, clear cases) dan kejadian-kejadian
yang sulit, dan terkait padanya antara bentuk-bentuk penemuan hukum yang heteronom dan yang
12
13
“The plain case, where the general terms seem to need no interpretation and
where the recognition of instances seems unproblematic or ‘automatic’, are
only the familiar ones, constantly recurring in similar contexts, where there
is general agreement in judgments as to the applicability of the classifying
terms.”44
(lebih) otonom, menawarkan menurut pendapat saya sebuah penjelasan yang baik untuk gejala
bahwa hukum itu kadang-kadang tampak seperti sebuah “fakta”, dan kadang-kadang sebagai sebuah
gejala yang tergantung pada asumsi-asumsi normatif kita (hukum sebagai nalar praktikal). Bdk. J.
Hage (2008), <http://ssrn.com/abstract=1443278>.
43
G.J. Wiarda, Drie typen van rechtsvinding (Deventer: W.E.J. Tjeenk Willink, 1999), 20.
44
Hart, The Concept of Law, 126.
45
Bdk. Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 43: “For a large class of cases – though not for
all – in which we imply the word ‘meaning’ it can be defined thus: the meaning of a word is its use in
the language.”
46
Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 219. Bdk. D. Bloor, Wittgenstein, Rules and
Intitutions (London, New York: Routledge, 1997), 20: “The real sources of constraint preventing our
going anywhere and everywhere, as we move from case to case, are the local circumstances
impinging upon us: our instincts, our biological nature, our sense experience, our interactions with
other people, our immediate purposes, our training, our anticipation of and response to sanctions,
and so on through the gamut of causes, starting with the psychological and ending with the
sociological.”
47
Untuk suatu pembahasan panjang lebar tentang arti dari bahasa dan makna, lihat C.E. Smith, “Het
woord als grenswachter: functies van taalkundige interpretatie voor de rechtsvinding.” (Perkataan
13
14
bahwa kita tahu bagaimana kita seharusnya menerapkan aturan itu dalam
kejadian-kejadian yang mungkin terjadi di kemudian hari, artinya, kita
mengetahui kejadian-kejadian yang mana yang secara standar termasuk ke
bawahnya. Itu menjelaskan mengapa penerapan sebuah aturan hukum dalam
kejadian-kejadian eksemplaris dari seorang hakim tidak dituntut putusan hukum
yang otonom (autonoom rechtsoordeel):
“The life of the law consists to a very large extent in the guidance both of
officials and private individuals by determinate rules which, unlike the
application of variable standards, do not require from them a fresh
judgment from case to case.”48
sebagai penjaga perbatasan: fungsi dari interpretasi kebahasaan untuk penemuan hukum), RM
Themis (2009): 61-71.
48
Hart, The Concept of law, 135.
49
Dalam arti yang dapat dibandingkan, A. Marmor, “No Easy Cases?”, Canadian Journal of Law and
Jurisprudence 3 (1990): 61-79; B. Bix, Law, Language, and Legal Determinacy (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 63-76.
50
L. Wittgenstein, On Certainty (G.E.M. Anscombe & G.H. von Wright, ed.), diterj. oleh D. Paul dan
G.E.M. Anscombe, (New York: Harper Torchbook, 1969), par. 136, berbicara tentang proposisi-
proposisi “common sense” dari G.E.M. Moore (misalnya: “Saya tahu bahwa ini adalah tanganku”):
“When Moore says he knows such and such, he is really enumerating a lot of empirical propositions
which we affirm without special testing; propositions, that is, which have a peculiar logical role in
the system of our empirical propositions.”
51
Wittgenstein, On Cercainty, par. 142. Bdk. juga par 225: “What I hold fast to is not one proposition
but a nest of propositions.” Dan par. 144 tentang proses belajar pada anak-anak: “Bit by bit there
forms a system of what is believed, and in that system some things stand unshakably fast and some
14
15
“At any given moment judges, even those of a supreme court, are parts of a
system the rules of which are determinate enough at the centre to supply
standards of correct judicial decision. These are regarded by the courts as
something which they are not free to disregard in the exercise of the authority
to make those decisions which cannot be challenged within the system.”52
Bahwa ketepatan dari sebuah putusan dalam suatu kejadian yang jelas secara
rasional tidak dapat diragukan, sesungguhnya tidak berarti bahwa putusan itu
tidak normatif. Dengan tiap putusan kita membenarkan lagi kaidah itu dan kita
tidak hanya mengungkapkan bahwa kejadian tersebut berada di bawah aturan itu
(“is”), melainkan juga bahwa hal ini seharusnya demikian (“ought”). Putusan
hukum (rechtsoordeel) itu adalah selalu lebih ketimbang suatu pernyataan
deskriptif atau, dalam kata-kata dari suatu generasi lain, lebih ketimbang logika
saja.53
Dalam sisi ini, antara para hakim dan para ilmuwan hukum tidak terdapat
perbedaan. Juga pengkajian yang paling “netral” atau “objektif” terhadap hukum
yang berlaku mengandaikan suatu titik pandang normatif. Apakah kita sekarang
memaparkan pemetaan perluasan terakhir dari kewenangan penyidikan pada
kejahatan terorganisasi, membandingkan hukum wissel dari Belanda dengan
hukum wissel dari Moldavia atau dampak devolutif dari naik banding, dalam
semua kejadian itu maka peneliti akan harus menetapkan dengan cara bagaimana
para partisipan pada praktik hukum bergaul dengan aturan-aturan. Ia tidak dapat
melakukan hal itu dengan hanya semata-mata mempelajari dari luar perilaku dari
para partisipan, melainkan juga akan harus melihat dari sudut perspektif mereka
terhadap pengaturan-pengaturan itu.54 Ia akan harus menelusuri dengan cara
bagaimana mereka memahami aturan-aturan itu dan menempatkan pengaturan-
pengaturan yang bersangkutan dalam cahaya tujuan-tujuan kemasyarakatan yang
dimaksudkan (dikehendaki) dan titik-titik tolak dari tatanan hukum.55 Orang yang
tidak melakukan hal itu, orang yang menempatkan diri di luar tatanan normatif itu
yang di dalamnya aturan-aturan itu tercantum dan hanya mengambil suatu
perspektif eksternal yang ekstrim, melewatkan suatu dimensi hukum yang
fundamental. Itu adalah inti kritik Hart terhadap teori-perintah dari Austin.56
Hukum itu bukan hanya sekedar suatu tatanan-paksa (dwangorde, coercive-order)
yang memaksakan perilaku para yustisiabel (dan pengemban kekuasaan) yang
konform-kaidah dengan bantuan sanksi-sanksi, tetapi ia juga adalah suatu tatanan
are more or less liable to shift. What stands fast does so, not because it is intrinsically obvious or
convincing, it is rather held fast by what lies around.”
52
Hart, The Concept of Law, 145.
53
O.W. Holmes, “The Path of the Law”, Harvard Law Review 10 (1896): 457-478.
54
Bdk. C. Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: BasicBooks, 1973) tentang “thick
description”, bab 1.
55
Masih terlepas dari persoalan bahwa pada penelitian itu didahului dengan suatu pengajuan
pertanyaan tertentu, suatu problematika yang mempunyai hubungan dengan suatu kepentingan,
interesse, atau ideal tertentu.
56
Bdk. a.l. P.M.S. Hacker, “Hart’s Philosophy of Law” dalam Law, Morality and Society. Essays in
Honour of H.L.A. Hart, ed. P.M.S. Hacker & J. Raz )Oxford: Clarendon Press, 1977), 1-26; J.
Lenoble, “Narative coherence and limits of the hermeneutical paradigm”, dalam Law, Interpretation
and Reality. Essays in Epistemology, Hermeneutics and Jurisprudence, ed. P. Nerhot (Dordrecht:
Kluwer, 1990), 127-169.
15
16
16
17
undang-undang dari tahun 1934 memberikan kepada para pekerja hak atas upah
selama hari-hari libur:
“Dalam perundang-undangan itu tidak diadakan pengecualian bagi para
pekerja orang Yahudi. Sejak 1939 berturut-turut muncul sejumlah putusan
dari pengadilan perburuhan (arbeidsgerechten), yang menafsirkan perundang-
undangan ini sedemikian, bahwa orang-orang Yahudi sebagai pekerja tidak
mempunyai hak atas upah yang tetap dibayar (pada hari-hari libur).
Pengadilan perburuhan (RAG) itu memotivasi putusan-putusan itu dengan
suatu “Auslegung nach der geläuterten Anschauung der Gegenwart.”
(Penafsiran berdasarkan pandangan masa kini yang murni) (…) LAG dari
Düsseldorf menghasilkannya dengan suatu rujukan pada apa yang sejak
musim gugur 1938 “unerbitterliche Einstellung des National-Sozialismus
gegen der Judentum” [sikap yang tidak dapat ditawar dari National-
Sozialismus (Nazi) terhadap orang Yahudi] untuk pengecualian itu dengan
memberikan motivering berikut: Es muss als ausgeschlossen angesehen
werden, der Gesetzgeber wollte die Juden auch heute noch von einem
Nachteil bewahren oder ihnen eine Wohltat zukommen lassen. (Hal ini harus
dipandang sebagai suatu penutupan kemungkinan bahwa pembentuk undang-
undang akan menghendaki untuk melindungi orang-orang Yahudi dari hal-hal
yang merugikan atau membiarkan mereka menerima hal-hal yang
baik/menguntungkan baginya) ”60
menunjuk di sini pada penelitian dari B. Rüthers, Die unbegrenzte Auslegung. Zum Wandel der
privaatrechtsordnung im Nationalsozialismus (Penafsiran tanpa batas. Menuju perubahan tatanan
hukum perdata dalam nasional-sosialisme) (Tübingen: J.C.B. Mohr (Paul Siebeck), 1968).
60
Leijten, “Rechtspraak en topiek”, 79.
61
Leijten, “Rechtspraak en topiek”, 80. Dengan demikian bukanlah positivisme hukum atau
positivisme undang-undang yang membuat para hakim Jerman tidak berdaya, seperti yang
dikemukakan Radbruch, melainkan kapitulasi kepada mores yang berkuasa (dominan), apakah ia
dicantumkan di dalam undang-undang atau tidak.
17
18
diperbolehkan. Tidak hanya para warga, tetapi juga para pengemban kekuasaan
harus berpegangan pada aturan-aturan yang dibuat oleh kekuasaan yang
berwenang untuk itu. Jika kita melanggar titik tolak ini, maka semua jenis nilai-
nilai hukum dihadapkan pada bahaya, seperti asas kejadian yang sama harus
diperlakukan sama dan asas kepastian hukum. Hukum itu dikendalikan oleh
aturan-aturan khusus tersendiri, yang terhadapnya para hakim, dan bahkan
pembentuk undang-undang, tidak dapat mengatakan apapun. Hukum mempunyai
tujuan-tujuan sendiri yang harus diperhitungkan untuk dapat berada sebagai
sistem. Pandangan-pandangan moral adalah satu faktor di sampingnya. Di
samping pandangan-pandangan moral ini, nilai-nilai seperti kepastian hukum,
persamaan hukum, kehasil-gunaan dan koherensi dalam pertimbangan memainkan
suatu peranan.62 Jika nilai-nilai ini dalam pertimbangan tidak dilibatkan, tetapi
orang berkapitulasi (menyerah) pada moral politik yang pada saat itu berpengaruh,
maka berarti suatu pertimbangan sesungguhnya di antara nilai-nilai itu – jadi
tentang keadilan – telah tidak terjadi.63
Pentingnya konsistensi dan koherensi untuk hukum, yang terhadapnya Westerman
dan Wissink secara tepat telah menunjuknya, harus dipahami dalam kaitan ini.
Hanya suatu sistem hukum yang konsisten dan saling berkaitan, tulis mereka,
dapat mencegah bahwa aturan-aturan hukum berubah menjadi dekrit-dekrit yang
hanya mengabdi kepentingan-kepentingan dari pembentuk undang-undang.64
Pentingnya itu bukan hanya bahwa lewat jalan ini kekosongan (lacune) dapat diisi
dan inkonsistensi dapat ditiadakan, melainkan bahwa koherensi itu membatasi
kesewenangan baik dari pembentuk undang-undang, pemerintah maupun hakim.
Koherensi, demikian MacCormick, adalah suatu tuntutan dari keadilan:
“Judges are to do justice according to law, not to legislate for what seems to
them an ideally just form of society (…) Every decision, however acceptable
or desirable on consequentionalist grounds, must also be warranted by the
law as it is.”65
62
Bdk. N. MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, (Oxford: Oxford University Press, 1994),
253; Asser-Vranken (1995), 69: “Menurut saya pertimbangan-pertimbangan tentang kepastian
hukum, kehasil-gunaan, dapat ditangani dan praktikabilitas dalam hukum perdata sering sama
penting, jika tidak lebih penting ketimbang postulat-postulat keadilan.”
63
Bdk. dalam kaitan ini syarat-syarat yang terhadapnya suatu tatanan hukum menurut Fuller harus
memenuhi untuk dapat berfungsi, Fuller, The Morality of Law, bab II.
64
Westerman dan Wissink, “Rechtsgeleerdheid als rechtswetenschap”, 505.
65
MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, 107.
66
Bdk. Pasal 11 Wet AB. Lihat selanjutnya tentang hubungan hakim dan pembentuk undang-undang,
kuliah perpisahan President van de Hoge Raad, S.K. Martens, De grenzen van de rechtsvormende
taak van de rechter (Batas-batas tugas pembentukan hukum dari hakim) (Den Haag: Hoge Raad der
Nederlanden, 2000).
18
19
67
Bdk. K.M. Schönfeld, “Montesquieu en “la bouche de la lois” (diss. Leiden) (Leiden: New Rhine
Publishers, 1979).
68
Berkenaan dengan itu kita dapat membedakan antara kemauan dari pembentuk undag-undang
faktual (sebuah konstruksi) dan pembentuk undang-undang sebagai “a supposedly ideally rational
agent” (yang juga suatu konstruksi), D.N. MacCormick dan R.S. Summuers (ed.), Interpreting
Statutes, A Comparative Study (Aldershot: Dartmouth, 1991, bab 13.
69
MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, 126. Dworkin, Law’s Empire (London: Fontana
Press, 1986), 273.
70
E.M. Meijers, De taak der rechtswetenschap ten aanzien van vrije rechtspraak (oratio Leiden),
(Haarlem: H.D. Tjeenk Willink, 1910), 3.
19
20
Persoalannya adalah bukan bahwa yang satu mempercayai sesuatu, apa yang tidak
dipercayai oleh yang lainnya, melainkan bahwa alasan-alasan bagi yang satu
71
Seperti Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”, yang pertanyaannya tentang keilmuan diajukan
berdasarkan alasan sembilan jawaban yang berbeda-beda dalam Wrongful birth-casus.
72
L. Wittgenstein, Lectures & Conversations on Aesthetics, Psychology and Religious Belief, ed. C.
Barrett, (Berkeley: University of California Press, 1966), 53.
20
21
untuk mempercayai Last Judgment, bagi yang lain tidak mempunyai makna.73 Itu
adalah bukan suatu perbedaan pendapat, melainkan suatu perbedaan gambaran
tentang dunia (Weltanschauung). Ihwalnya adalah melawan latar belakang dari
gambaran dunia kita yang diwarisi bahwa kita membedakan antara argumen-
argumen yang benar dan yang tidak benar, pendapat yang tepat dan yang tidak
tepat74:
Sebuah debat yang bermakna baru dapat dilaksanakan dalam suatu permainan
bahasa yang memuat aturan-aturan atau “grammatica” tentang apa yang secara
bermakna dapat dikatakan tentang urusan itu. Koskenniemi untuk hukum
internasional menyatakan sebagai berikut:
73
Jika yang percaya untuk itu sudah menghendaki suatu bukti. Kepercayaan yang teguh (yang tak
tergoyangkan) “will show, not by reasoning or by appeal to ordinary grounds for belief, but rather
by regulating for in all his life”, Wittgenstein (1966), 54.
74
Wittgenstein, On Certainty, par. 94.
75
Wittgenstein, On Certainty, par. 105.
76
M. Koskenniemi, From Apology to Utopia. The Structure of International Legal Argument
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 568.
77
Hart, The Concept of Law, 110.
78
Idem, 145.
79
Bdk. Fish, Is there a Text in This Classroom? The Authority of Interpretive Communities.
80
Dworkin, Law’s Empire, 19, 217 dan 336.
21
22
aturan itu sesuai dengan makna standar tersebut, kita menyetujui standar-standar
untuk melakukan interpretasi yang tepat. Hakim yang memutuskan sebuah vonis
yang jelas-jelas salah, dengan misalnya menyatakan suatu masa percobaan berlaku
selama enam bulan, secara eviden telah memutuskan secara bertentangan dengan
meta-kaidah ini sebagaimana ini oleh komunitas para yuris diterapkan. Ia menolak
atau memberikan keberlakuan pada kebanyakan aturan-aturan pengakuan yang
elementer dengan jalan menolak81 atau memberikan suatu makna pada ketentuan
itu bertentangan dengan makna yang diberikan82 oleh tiap yuris yang kompeten
kepadanya. Dalam kejadian yang demikian itu sesungguhnya kita tidak dapat
berbicara tentang “hukum”. Sebuah putusan adalah “hukum” sejauh putusan itu
dapat dipandang sebagai hasil dari suatu penerapan yang tepat kompleks aturan-
aturan, asas-asas dan standar-standar; ia adalah hukum berdasarkan kompleks
kaidah-kaidah; di luarnya tidak terdapat hukum.83
Apa yang membuat hukum menjadi suatu sistem, dengan demikian adalah
kompleks perangkat standar-standar yang bersifat substansial dan sebagian besar
praktik-praktik tindakan implisit yang terletak dalam praktik-praktik tindakan dari
para penguasa, hakim dan yuris profesional lainnya.84 Kesesuaian inilah yang di
atasnya kesesuaian penilaian dalam kejadian-kejadian yang jelas bertumpu, dan
keberadaan dari perbedaan pendapat dalam hard cases. “Legal Grammar” ini kita
temukan kembali dalam apa yang oleh Vranken disebut kotak alat-alat dan kunci-
kunci (gereedschapskist)85 dari para yuris dan yang mewujudkan inti dari
matakuliah “metode dan teknik yuridik” yang dengannya kebanyakan para
mahasiswa memulai studi mereka, yang sering dijalankan secara tidak layak
(stiefmoederlijk bedeeld).
Namun justru kemahiran dari para yuris yang dipandang rendah itu yang
mewujudkan rasionalitas yang melandasi hukum itu. Para yuris dapat dalam suatu
pertentangan pendapat kadang-kadang menempati posisi yang secara diametral
saling berhadap-hadapan dan mendukung posisi ini dengan argumen yuridik,
tanpa membuatnya menjadi alasan untuk meragukan (menyangkal) keahlian atau
ekspertise dari pihak yang lainnya. Kesimpulan-kesimpulan mereka yang saling
berlawanan bertumpu pada asumsi-asumsi yang sama tentang sumber-sumber
81
Untuk hubungan-hubungan dinas yang berlaku lebih lama dari dua tahun apa yang dinamakan masa
percobaan besi (ijzeren proeftijd) dari dua bulan: Pasal 7:652 ayat 4 di bawah b BW.
82
Bahkan angka-angka adalah tidak aman di tangan para yuris. Bdk. dalam kaitan ini HR 28 April
2000, NJ 2000, 430 (Van Hese/De Schelde).
83
Suatu kategori tersendiri diwujudkan untuk kejadian yang menyangkut hakim tertinggi. Selama HR
(MA Belanda) menggunakan tipe argument yang sama, tetapi mereka menimbang berbeda
ketimbang dalam putusan terdahulu, maka HR itu tidak menyimpang dari standar yang berlaku
tentang penafsiran dan penerapan. Ihwalnya adalah berbeda jika HR dengan putusannya, demikian
dapat dikatakan, mengubah peraturan permainannya dan pada suatu tipe argumen tertentu
memberikan makna yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya. Sebagai contoh dari yang terakhir
mungkin dapat disebut apa yang dinamakan penetapan voorjaarsbeschikkingen dari HR tertanggal
21 Maret 1986 berkenaan dengan kekuasaan orang tua, ketika HR, tanpa mencakup peradilan Eropa
untuk itu berkenaan dengan pasal 8 EVRM, meletakkan beberapa titik tolak dari hukum keluarga
yang berlaku, dengan rujukan pada pasal 8 EVRM pada landasan yang rapuh (HR 21 Maret 1986, NJ
1986, 585, 586, 587 dan 588). Tetapi sama seperti pembentuk undang-undang, HR juga menetapkan
hingga derajat tertentu aturan-aturan dari permainan itu.
84
Dengan cara yang dapat dibandingkan M. Koskenniemi, The gentle Civilizer of Nations. The rise
and fall of International Law 1870-1960 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 7.
85
Vranken, C. Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht, 75-140.
22
23
“ The meaning of legal language is derived from what point is being made by
it in a particular context, in regard to what claim, toward which audience.
What interests are being supported, what is opposed? This is the politics of
law for which the existence of a grammar is absolutely crucial, but which is
not exhausted by a mere grammar-use.”90
Bahwa para yuris dapat secara mendalam berbeda pendapat tentang bobot yang
harus diberikan pada salah satu asas atau pada asas yang lainnya, adalah, cukup
paradoksal, tidak lebih ketimbang suatu riak pada permukaan dari mare nostrum
(Laut Tengah) pada titik-titik tolak yang sama yang memungkinkan produksi dan
evaluasi terhadap argumen-argumen.91
Profesionalitas dari para yuris praktik dan ilmuwan hukum terdapat di dalam
kemampuan untuk meletakkan suatu perkara hukum dalam suatu kerangka dan
untuk menentukan argumen-argumen mana yang secara bermakna untuk putusan
atas perselisihan itu dapat dijalankan. Bahwa argumen-argumen itu dalam banyak
kejadian harus dipertimbangkan dan bahwa penimbangan itu pada akhirnya
ditentukan oleh the politics of law atau the political morality dari pihak yang
memutuskan92, timbul dari sifat hukum itu. Hukum adalah bukan fakta, melainkan
suatu penilaian: ia adalah hasil dari penimbangan (menimbang-nimbang) secara
rasional kepentingan-kepentingan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari hukum dan
dengan demikian ungkapan dari penilaian kepentingan yang mana yang
seyogianya didahulukan (diutamakan, prevaleren). Dan itu tidak dapat dilepaskan
terikat pada gambaran dunia dan ideologi – dengan pilihan politik hukum.
86
Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 241: “So you are saying that human agreement
decides what is true and what is false? – It is what human beings say that is true and false, and they
agree in the language they use. That is not agreement in opinions but in form of life.”
87
Hart, The Concept of Law, bab V.
88
Untuk pengolahan dari pendekatan ini, lihat G. Molier, “De politisering van het internationale recht
in relatie tot zijn onbepaaldheid” (Politisasi dari hukum internasional dalam hubungan dengan
ketidak-berketentuannya), Vrede en Veiligheid (Perdamaian dan keamanan). Tijdschrift voor
Internationale Vraagstukken 38 (2009) (masih dalam pencetakan).
89
Hart, The Concept of Law, 145.
90
Koskenniemi, From Apology to Utopia. The Structure of International Legal Argument, 571.
91
Bdk. O.M. Fiss, “Objectivity and Interpretation”, Stanford Law Review 34 (1982): 752, di mana ia
mengemukakan bahwa objektivitas dari suatu putusan hukum tidak bertumpu pada kesesuaian
pendapat dari para hakim atau para ilmuwan hukum, melainkan pada keadaan bahwa putusan itu
sesuai dengan “the authoritative disciplining rules”.
92
Dworkin, Law’s Empire, 256-258.
23
24
24
25
acak. Fungsi dari hukum adalah fungsi dari suatu “structure of constraints”95. Ia
menawarkan suatu sistem aturan-aturan dan praktik-praktik tindakan yang saling
berkaitan untuk produksi dan evaluasi pernyataan-pernyataan yuridikal. Untuk
menyustifikasi pilihannya (dan untuk meyakinkan yang lain tentang ketepatan dari
pilihannya), maka peneliti akan harus memotivasi titik berdirinya. Di dalam
argumentasinya pilihan dari peneliti menjadi diobjektifkan: argumen-argumen itu
harus tidak hanya, subjektif, meyakinkan bagi peneliti itu sendiri, melainkan juga,
intersubjektif, bagi terutama keseluruhan kelompok para yuris dan pengemban
kewenangan yang terpanggil untuk mengambil putusan tentang persoalan terkait.
Itu adalah suatu cara lain untuk mengatakan bahwa karena “the structure of
constraints”, keberadaan dari pembentukan pendapat dan perbedaan pendapat
adalah mungkin. Demikianlah misalnya alasan-alasan untuk penerimaan atau
penolakan terhadap hak atas ganti rugi dari seorang anak cacat-berat terhadap
seorang bidan hanya dapat didukung dengan argumen-argumen yang mempunyai
kaitan dengan pranata hukum wanprestasi: kesalahan, hubungan kausal dan
kerugian.96 Disebabkan oleh yuridifikasi maka pada kejadian ini hanya tinggal
beberapa pertanyaan yang berkenaan dengannya jawabannya adalah penting untuk
pembentukan putusan: pertanyaan apakah bidan juga mempunyai kewajiban
hukum terhadap anak yang belum terlahir, bagaimana kerugian dari keberadaan
(yang cacat) dalam hubungan dengan tidak-berada harus ditetapkan (pertanyaan-
pertanyaan dogmatika hukum), atau pemenuhan tuntutan memuat depresiasi dari
kehidupan yang cacat (sebuah persoalan nilai) dan apakah pemenuhan itu
menimbulkan praktik kedokteran defensif (defensive medicine) dan tuntutan-
tuntutan dari anak-anak (yang cacat) terhadap para orang tua mereka (persoalan
konsekuensialistik). Orang yang kemudian mengemukakan bahwa pemenuhan itu
mengakibatkan praktik kedokteran defensif atau bahwa tuntutan itu bertentangan
dengan tatanan hukum pertanggung-gugatan, akan harus memperlihatkan
akseptabilitas (hal dapat diterimanya, dapat dibenarkannya) hal itu.
Argumen-argumen yang relevan dan dapat diterima sesungguhnya tidak
menentukan (mendikte) putusan seperti untuk suatu titik berdiri yang kontrair
dapat diajukan sekaligus relevan dan tidak tak dapat diterima – apa yang
sesungguhnya mewujudkan definisi dari sebuah hard case. Arsitektur yang
kompleks dari “legal grammar” menentukan apa yang dapat dikatakan,
bagaimana ini harus dipresentasikan dan nilai-nilai apa yang dipersoalkan, tetapi
hal itu tidak menentukan penimbangan antara nilai-nilai tersebut.97
9. Kesimpulan.
Kriteria keilmuan sebagaimana ini diterapkan dalam ilmu-ilmu eksperimental
(ilmu-ilmu alam) bagi saya tidak cocok untuk dipakai dalam ilmu hukum. Untuk
ilmu-ilmu eksperimental berlaku bahwa the proof of the pudding is in the eating.
Ketepatan dari teori pada akhirnya ditentukan dengan menguji prediksi-prediksi
yang dapat diderivasi dari teori itu pada hasil-hasil dari eksperimen-eksperimen
95
S. Fish, Doing What Comes Naturally. Change, Rhetoric, and Practice of Theory in Literary and
Legal Studies (Oxford: Clarendon Press, 1989), 98.
96
HR 18 Maret 2006, NJ 2006, 606 (Baby Kelly).
97
Maka dalam kejadian-kejadian yang sulit juga tidak ada jawaban-jawaban yang tepat, juga jika
orang mempunyai keyakinan internal bahwa jawaban itu adalah tepat.
25
26
98
Bdk. W.V. Quine, The Pursuit of Truth, ed. rev. (Cambridge, Mass: Harvard University Press,
1996), 20.
99
“This, in outline, is the method of all sciences which are backed by experience”, K.R. Popper, The
Poverty of Historicism (London: Routledge, 1991), 134.
26
27
Abstrak
Tentang penulis:
27