Anda di halaman 1dari 27

1

KARAKTER NORMATIF ILMU HUKUM:


hukum sebagai penilaian.
Oleh: Carel Smith

1. Pendahuluan.
Ada suatu kesalah-pahaman yang besar, dan dalam kesalah-pahaman tersebut
orang menyamakan kekurangan pada kecermatan atau presisi dengan ketidak-
ilmiahan. Pandangan ini tampaknya dapat ditelusuri balik pada kriteria falsifikasi
Karl Popper yang terkenal. Berdasarkan kriteria falsifikasi itu maka suatu teori
meteorologikal yang tidak lebih jauh menjangkau ketimbang ramalan-ramalan
dengan kemungkinan salah 50 % untuk tiga hari ke depan adalah tidak dapat
dibantah (direfutasi) dan dengan demikian tidak ilmiah. Hal tidak dapat dibantah
menurut Popper adalah bukan ciri dari kelayakan dari teori itu, melainkan ciri dari
ketidak-ilmiahan.1 Barendrecht telah mengolah pikiran ini untuk hukum dan telah
mengkritik pemakaian kaidah-kaidah terbuka (open normen) dalam hukum
perdata, karena, jika diserang, tiap penerapan dapat dibenarkan dengan kaidah-
kaidah terbuka yang bersangkutan. Wrongful Birth-arrest mewujudkan sebuah
ilustrasi yang hidup dari dalil ini, yang di dalamnya menurut Stolker telah
diberikan sembilan jawaban tanpa seorang yuris pun yang kompeten yang mampu
dengan kepastian menetapkan yang mana dari jawaban-jawaban itu yang tepat.2
Dalam disertasinya, maka Barendrecht juga memperjuangkan kaidah-kaidah yang
tajam, kaidah-kaidah yang memiliki jangkauan penerapan yang lebih persis. Jika
hakim berkeyakinan bahwa penerapan tidak dapat diterima untuk kejadian-
kejadian tertentu yang terletak dalam jangkauan dari aturan itu, maka aturan-
aturan tersebut, setidaknya untuk kejadian-kejadian itu, telah terfalsifikasi.3
Kaidah-kaidah terbuka memang tidak sangat persis. Namun ihwalnya, pertama-
tama, pertanyaan apakah kekurangan pada presisi dapat disamakan dengan
ketidak-ilmiahan. Jarak antara matahari dan bumi adalah 149,6 juta kilometer. Itu
adalah suatu penentuan jarak yang cukup persis, jika anda tidak melihat satu
kilometer itu sebagai lebih atau kurang. Tetapi pernyataan itu tidak sangat persis.
Jauh lebih persis dalam hal itu adalah standar kiloan di Sèvres (Paris) yang
menurut definisinya beratnya satu kilo. Tetapi di sini masalahnya adalah bahwa
perbedaan dalam berat antara standar kilo dan kopi-kopinya adalah sebagai akibat
dari pengotoran berjumlah lebih dari lima puluh mikrogram. Itu adalah perbedaan
yang tidak akan dipermasalahkan oleh petani sayuran, tetapi menjadi masalah
bagi ilmuwan nano. Setiap disiplin ilmiah harus berupaya mencapai standar-
standar yang sepersis mungkin, tetapi derajat dari presisi yang dituntut adalah
tergantung pada tujuan yang mau dicapai orang dan objek yang dipelajari orang.
Untuk hukum masih ada satu masalah lain yang turut bermain. Penafsiran dan
penerapan aturan-aturan hukum, juga yang paling persis, menurut beberapa

1
K.R. Popper, The Logic of Scientific Discovery (London: Hutchinson, 1972) 78-92.
2
Bandingkan C.J.J.M. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!” (Ya, anda semua memang terdidik), pidato
pada perayaan dies natalis ke 428 Universitas Leiden, tanggal 7 Februari 2003, NJB (Nederlands
Juristen Blad) (2003): 766-778, pada 768.
3
J.M. Barendrecht, Recht als model van rechtvaardigheid (Hukum sebagai model keadilan) (Deventer,
Kluwer, 1992).

1
2

teoretisi hukum menuntut suatu putusan nilai (waardeoordeel). Hukum apa yang
berlaku “adalah”, karena alasan itu tidak dapat dipandang terlepas dari pandangan
apa, yang menurut mereka yang mempelajari hukum atau yang menerapkan
hukum, hukum itu “seharusnya”. Pencampuradukan antara “is” (yang ada) dan
“ought” (yang seyogianya) ini adalah apa yang bagi beberapa teoretisi hukum
menjadi alasan untuk meragukan kadar keilmiahan atau keilmuan dari ilmu
hukum itu. Yang lain menganggap percampur-adukan ini akibat dari suatu
ketidak-sempurnaan metodologi yuridik, yang dapat diatasi dengan mempelajari
hukum dengan menggunakan metode-metode dari ilmu-ilmu empirik.
Dalam makalah ini saya akan mempertahankan dalil bahwa hukum itu tidak dapat
dipelajari secara bebas-nilai dan bahwa pencampuran “is” dan “ought” adalah
bukan alasan untuk tidak memberikan predikat ilmu pada ilmu hukum. Dalil ini
menentukan pertanyaan-pertanyaan yang dalam makalah tentang karakter dari
ilmu hukum ini akan saya ajukan. Jenis gejala apa hukum itu? Bagaimana gejala
ini seharusnya dipelajari? Dan pengetahuan apa yang diberikan olehnya?
Pada penjawaban terhadap masalah ini, akan dilakukan pembatasan berikut ini.
Ke dalam pengertian ilmu hukum (rechtswetenschap atau rechtsgeleerdheid) tidak
hanya termasuk disiplin-disiplin bagian yang memaparkan, mensistematisasi dan
mengomentari hukum positif dari berbagai bidang hukum, melainkan juga
disiplin-disiplin ilmiah yang lebih empirikal seperti sosiologi hukum, ekonomi
hukum dan psikologi hukum. Diskusi mutakhir tentang keilmiahan dari ilmu
hukum mempunyai kaitan dengan penelitian dari kelompok pertama, artinya, pada
penelitian yang dilakukan para yuris terhadap keberlakuan dan makna dari hukum
positif – misalnya pada pertanyaan apakah tuntutan dalam Wrongful Birth-arrest
menurut hukum yang berlaku harus dipenuhi. Dalam kontribusi ini saya akan
secara tegas membatasi diri pada jenis penelitian ilmiah ilmu hukum ini, artinya,
pada bagian dari ilmu hukum yang mempelajari hukum dengan terfokus pada
penetapan apa hukumnya yang berlaku dalam suatu kejadian tertentu.

2. Pemisahan antara ‘is’ dan ‘ought’.


Stolker, orang yang memulai diskusi tentang metode dewasa ini dengan pidato
diesnya tahun 2003, memandang karakter normatif dari ilmu hukum sebagai sebab
utama untuk kerapuhan (kwetsbaarheid) dari ilmu hukum sebagai ilmu.4 Dengan
itu ia memelopori pada perdebatan itu. Walaupun tidak ada seorang pun yang
melangkah sejauh seperti yang dilakukan oleh ekonom hukum (pakar hukum
ekonomi) De Geest, yang baginya hal pencampuradukan “is” dan “ought” adalah
suatu dosa ilmiah yang besar dan dengan dosa itu ilmu hukum masih berkiprah
dalam zaman skolastik5, banyak penulis menggaris-bawahi pledoi dari Stolker
untuk belajar dari ilmu-ilmu lain agar dapat menjadi lebih ilmiah. Yang terakhir
itu telah menjadi upaya untuk merenungkan metode-metode dari suatu penelitian
ilmiah ilmu hukum (rechtswetenschappelijk onderzoek).6

4
Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel”, NJB (2003), 771.
5
G. De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?” (Bagaimana
kita membuat ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang bernilai penuh?), NJB (2004): 58-66.
6
Lihat antara lain M. Barendrecht, “Methoden van rechtswetenschap: komen we verder?” (metode-
metode ilmu hukum: apakah kita sudah lebih maju?), NJB (2004): 1419-1428; R.A.J. van Gestel dan
J.B.M. Vranken, “Rechtswetenschappelijke artikelen. Naar criteria voor methodologische
verantwoording” (Artikel-artikel ilmiah bidang hukum. Mencari kriteria untuk pertanggungjawaban

2
3

Walaupun sesungguhnya kebanyakan penulis sepakat bahwa ilmu hukum itu


bersifat normatif, namun tidak setiap orang mempunyai pemahaman yang sama
tentang artinya. Barendrecht dan lain-lain (2004) membuat pembedaan antara
kegiatan mengumpulkan bahan-bahan terberi (empiri) dan tindakan menyatakan
putusan tentang hukum yang diinginkan (evaluasi). Van Gestel dan Vranken
(2007) tampaknya sependapat dengan hal ini. Mereka mengatakan bahwa, justru
karena hukum itu mempunyai suatu karakter normatif, maka banyak peneliti
terdorong untuk menunjuk suatu situasi yang ada dalam peristilahan normatif dan
karena alasan itu cenderung untuk menyusun ‘ontwerpende probleemstelling’
(perumusan permasalahan yang merancang). Jadi, menurut penulis-penulis yang
disebutkan tadi, adalah mungkin untuk dalam asasnya membuat pembedaan antara
penetapan tidak normatif tentang hukum yang berlaku (konstatasi hukum yang
berlaku) dan penentuan normatif tentang hukum yang optimal (hukum yang
seharusnya berlaku). Bahwa hukum adalah suatu “ilmu normatif”, tampaknya bagi
mereka berarti bahwa hukum mempunyai kaidah-kaidah (kemasyarakatan)
sebagai objek penelitiannya, yang terhadapnya kemudian dapat diberikan
pernyataan-pernyataan baik empirikal maupun normatif. Masalah yang
sebenarnya dari penelitian ilmu hukum (“kerapuhan” yang dimaksud oleh
Stolker), dalam optik ini adalah terutama akibat dari tidak cukup atau kurangnya
pembedaan antara berbagai jenis (tipe) pertanyaan. Pencampuran dari “is” dan
“ought” oleh mereka dijelaskan sebagai akibat dari belum dimilikinya suatu
metodologi yuridik yang canggih, alasan untuk sekali lagi menelaahnya secara
seksama. Hanya saja De Geest melangkah lebih jauh dan menyatakan, tanpa
mendukung hal ini secara empirik, bahwa baik para ilmuwan hukum maupun para
hakim melakukan dosa menciptakan “kamuflase”, dengan mengemas pernyataan-
pernyataan tentang hukum yang optimal sebagai pemaparan hukum yang berlaku
(sebagai hal yang ada, sebagai “is”, sebagai deskripsi).7
Suatu pendekatan yang secara hakiki berbeda adalah yang dimiliki oleh penulis-
penulis yang berpendapat bahwa juga ketentuan dari hukum yang berlaku
menyandang karakter normatif.8 Saya akan menunjuk mereka dengan nama

metodologikal), NJB (2007): 1448-1461; H. Tijssen, De juridische dissertatie onder de loep. De


verantwoording van methodologische keuzes in juridische dissertatie (Disertasi hukum dalam
telaahan kritikal. Pertanggungjawaban atas pilihan metodologikal dalam disertasi hukum) (Den
Haag: Boom Juridische Uitgevers, 2009).
7
De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 65: “Para hakim
membuat aturan-aturan hukum, tetapi mereka menginginkan agar hal ini selalu dikamuflase.
Kebanyakan mereka mencoba menemukan sebuah pasal undang-undang yang di dalamnya mereka
dapat dikatakan telah ‘membaca’ aturan baru mereka. Namun kadang-kadang tidak berhasil
menemukan pasal undang-undang yang tepat untuk itu. Dengan pasal ‘yang tepat’ saya
memaksudkan sebuah pasal yang memungkinkan anda untuk menyesatkan publik anda.” Perbedaan
antara putusan-putusan yang memprovokasi dari De Geest dan titik berdiri dari penulis-penulis lain
untuk selebihnya adalah lebih kecil ketimbang tampaknya. Jika hanya sedikit saja pada semua ilmu
perbedaan antara putusan-putusan deskriptif di dalam penelitian mereka diperhitungkan secara strikt,
maka pencampuran ‘is’ dan ‘ought’ dalam ilmu hukum yang mencolok itu hampir tidak dijelaskan
sebagai akibat dari ketidak-tahuan. Ihwalnya lebih tampak bahwa para yuris mempunyai kepentingan
untuk menegasi (menolak) pembedaan itu. Dan itu berarti tinggal satu langkah lagi ke dalil dari De
Geest.
8
A.l. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”, 769; H. Franken, “Rechtsgeleerdheid in de rij der
wetenschappen” (Ilmu hukum dalam jajaran ilmu-ilmu), NJB (2004): 1400-1408, pada 1402; P.
Westerman en M. Wissink, “Rechtsgeleerdheid als rechtswetenschap” (Hukum yang dipelajari
sebagai ilmu hukum), NJB (2008): 503-507, pada 504.

3
4

‘hermeneutici’, mengingat mereka oleh para kolega yang lebih empirikal


dikategorisasi di bawah nama tersebut.9 Apa yang mempersatukan mereka,
bukanlah suatu ajaran metode yang sama (gemeenschappelijke methodeleer),
melainkan kritik terhadap klaim bahwa model dari ilmu-ilmu empirikal berlaku
untuk semua ilmu.10 Pandangan bahwa undang-undang mempunyai satu makna
yang oleh para yuris dapat “ditetapkan” (vastgesteld)11, oleh mereka ditolak,
betapa pun tampaknya hal ini masuk akal pada pandangan pertama. Mereka
membantah bahwa orang dapat berbicara tentang satu makna yang tepat atau
benar dari teks-teks (undang-undang). Bagi mereka terdapat suatu kebenaran
dalam pernyataan bahwa terdapat sekian banyak Kitab Injil sebanyak pembaca
Kitab Injil, juga walaupun di sini terdapat unsur berlebihan (melebih-lebihkan)
dalam gagasan bahwa tiap pembaca membaca dengan caranya yang sepenuhnya
tersendiri, terlepas dari tradisi yang pernah mengajarinya membaca.12 Makna yang
tepat dari suatu teks bagi mereka adalah bukan ciri khas dari teks itu, melainkan
hasil atau resultat dari kesepakatan dalam suatu komunitas para pembaca tentang
bagaimana caranya teks itu harus dibaca.13 Akibatnya teks-teks itu mempunyai
berbagai makna “yang tepat” yang berbeda-beda, tergantung pada standar-standar
yang diikuti oleh “interpretive communities” pada interpretasi dan penerapan teks-
teks yang demikian itu.
Khususnya penarikan kesimpulan ini – bahwa teks-teks itu tidak memiliki satu
makna yang tepat atau yang benar – yang sebagai suatu benang merah menengarai
diskusi metode pada tahun-tahun terakhir. Jika makna dari teks-teks yuridikal
terbentuk di bawah pengaruh faktor-faktor seperti tradisi, Vorverständnis (pra-
pemahaman) dan ideologi, maka hal itu menurut beberapa orang disebabkan oleh
pencampur-adukan “is” ( makna dari teks itu) dan “ought” (pandangan-pandangan
normatif dari para pembaca).14 Namun apakah sesungguhnya kita dapat berbicara
9
A.l. oleh De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwassen wetenschap?” dan J.A.I.
de Wendt, “De methoden der rechtswetenschap vanuit kritisch rationeel perspectief, een kritiek
tegenover de ‘heersende leer’ zoals verwoord door Stolker?” (Metode-metode ilmu hukum dari
sudut perspektif rasional kritikal, sebuah kritik terhadap ‘ajaran berpengaruh’ sebagaimana
diungkapkan oleh Stolker?), Themis 3 (2007): 95-107. Bahwa penulis-penulis yang disebut oleh
mereka dapat diklasifikasi sebagai ‘hermeneutici’, dengan demikian tidak berarti bahwa mereka
semua terinspirasi oleh hermeneutik kefilsafatan dari a.l. Gadamer. Namun persis seperti Monsieur
Jourdain sudah empat puluh tahun berbicara banyak tentang prosa tanpa mengetahui apa itu adanya,
maka adalah mungkin untuk mempunyai suatu titik berdiri (pendirian) yang kemudian ternyata
dicerminkan oleh suatu aliran kefilsafatan.
10
Bdk. H-G. Gadamer, Wahrheit und Methode, Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik,
(Tübingen: Mohr, 1975), yang mengesampingkan upaya untuk mencapai suatu ajaran metode yang
universal untuk keperluan interpretasi.
11
Bdk. De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 59: yang,
seluruhnya dalam peristilahan dari ilmu-ilmu empirikal, berbicara tentang suatu ‘pengamatan’ dari
gejala-gejala yuridikal sebagai aturan-aturan perundang-undangan dan yurisprudensi dengan tujuan
menemukan makna persis dari teks-teks undang-undang.
12
Bdk. J.L. Borges, Zeven avonden, terjemahan B. van der Pol (Amsterdam. De Bezige Bij, 1983):
Pantheist Irlandia Eriugna pernah mengatakan bahwa Kitab Suci mempunyai sejumlah makna yang
tidak terbatas dan ia membandingkan (mempersamakan) rambut dengan jambul dari seekor burung
merak. Berabad-abad sejak itu kata seorang kabbalist Spanyol bahwa Tuhan telah membuat Kitab
Suci untuk setiap orang dari orang-orang Israel dan akibatnya terdapat sekian banyak Kitab Injil
sebanyak pembaca Kitab Injil.
13
Bdk. S. Fish, Is There a Text in The Classroom? The Authority of Interpretive Communities
(Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1980.
14
A.l. De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”

4
5

tentang ilmu jika objek dari penelitian bukan sesuatu yang terberi (fakta, data)
yang terhadapnya dilakukan pernyataan-pernyataan pendapat, melainkan sesuatu
yang berkaitan dengan pandangan-pandangan dari peneliti? Sifat-sifat khas dari
zat cair atau zat gas, demikian para peneliti yang bersikap lebih empirikal,
bukankah juga tidak ditentukan oleh pendapat peneliti tentang hal itu, melainkan
oleh sifat-sifat khas dari objek itu sendiri?
Kini kita dapat mengatakan sesuatu terhadap gambaran dari ilmuwan yang
melakukan pengamatan (observasi) secara netral dan objektif, untuk kemudian
menguji ketahanan teori-teori yang disusun dengan bertumpu di atasnya, dengan
ketidak berpihakan yang sama.15 Teori-teori ilmiah adalah bukan “rangkuman”
dari observasi-observasi tak terbilang, sebagaimana yang dengan riang
dikemukakan oleh De Geest16, melainkan meletakkan suatu hubungan di antara
berbagai gejala berdasarkan suatu cara pandang tertentu terhadap kenyataan.
Orang tidak mengobservasi keajegan-keajegan, melainkan mengkonstruksi
keajegan-keajegan ini atas dasar asumsi-asumsi tentang sifat dari kenyataan, tanpa
dapat sepenuhnya menyustifikasi asumsi-asumsi tersebut. Revolusi keilmuan pada
permulaan abad ketujuh belas tidak secara primer dikendalikan oleh penemuan
gejala-gejala baru, melainkan oleh suatu cara pandang baru terhadap alam.17 Itu
menghasilkan metode-metode penelitian yang lain dan observasi-observasi lain
yang kemudian akan membenarkan lagi cara pandang terhadap dunia ini. Jika
ilmu alam modern ditandai oleh suatu gambaran dunia mekanistik dengan hukum-
hukum yang dituangkan dalam bentuk matematikal, yang diturunkan dari fakta-
fakta yang diciptakan melalui jalan eksperimental, orang mencari dalam zaman
kuno dan abad pertengahan sifat esensial dari objek-objek (benda-benda) untuk
menjelaskan “gerak alamiah” dari benda-benda tersebut, misalnya gerak jatuh:

“Dalam suatu dunia yang lebih banyak memperlihatkan persamaan dengan


suatu mahluk berjiwa dan hidup ketimbang dengan suatu mesin dan di mana
terdapat suatu pembedaan yang strikt antara dunia khaotik dan domein
surgawi yang abadi, maka tidaklah dapat diterima bahwa kejadian-kejadian
alamiah dikuasai oleh hukum-hukum matematikal yang sederhana. Dalam
suatu dunia yang demikian itu maka ihwalnya adalah juga tidak mungkin
bahwa orang dengan jalan menciptakan situasi-situasi tidak alamiah yang
dibuat-buat (seperti yang kebanyakan terjadi dalam eksperimen-eksperimen)
dapat memperoleh informasi tentang sifat alamiah dari benda-benda.”18

Jadi, hal melakukan observasi-observasi mengandaikan suatu titik pandang


tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah tertentu yang mau diteliti orang
dan dengan ekspektasi-ekspektasi (harapan-harapan) tentang observasi-observasi

15
Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”, 769, mensketsakan gambaran klasik dari penelitian dalam
ilmu-ilmu alam, yang berkenaan dengannya penelitian dilaksanakan tanpa tergantung pada pribadi
dari penelitinya.
16
Menurut De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 59,
teori-teori ilmiah merangkum ribuan pengamatan-pengamatan dalam formula-formula sederhana.
17
F.R. van Lunteren, “Van Aristoteles tot Galilei: naar een nieuwe bewegingensleer” (Dari Aristoteles
ke Galilei: menuju suatu ajaran gerak yang baru), dalam Doorbraken in de natuurkunde (Terobosan-
terobosan dalam ilmu alam), red. M. Keestra (Amsterdam: Uitgeverij Nieuwezijds, 2001), 27-54,
pada 29.
18
Van Lunteren, “Van Aristoteles tot Galilei: naar een nieuwe bewegingsleer”, 29.

5
6

yang akan dilakukan orang.19 Masalah-masalah dan ekspektasi-ekspektasi ini


adalah berkaitan dengan keyakinan-keyakinan teoritikal dan metodologikal yang
kurang lebih eksplisit, yang mengarahkan seleksi dan evaluasi dari pengamatan-
pengamatan. Juga relasi antara teori dan observasi adalah lebih kompleks
ketimbang yang dibayangkan oleh De Geest. Pernyataan pengamatan yang
sederhana memuat sejumlah asumsi-asumsi yang jauh lebih di atas pengamatan-
pengamatan khusus.20 Lagi pula teori-teori itu tidak diverifikasi atau difalsifikasi
dengan pengamatan-pengamatan, melainkan dengan pernyataan-pernyataan
tentang pengamatan-pengamatan, yang menggaris-bawahi pentingnya analisis
bahasa, logika dan matematikal untuk ilmu-ilmu empirik.21
Jangkauan dari catatan-catatan pinggir ini adalah bukan bahwa dari sini
disimpulkan, karena ternyata juga di dalam ilmu alam pengamatan-pengamatan
sudah bermuatan teori, dan dengan demikian tergantung pada kerangka referensi
dari pengamat, bahwa ilmu hukum itu secara hakiki tidak berbeda dari ilmu-ilmu
empirik. Saya berpendapat bahwa perbedaan-perbedaan itu adalah sangat besar.
Adalah menyesatkan jika untuk pandangan-pandangan kefilsafatan bahwa peneliti
ikut menentukan objek penelitiannya, mencari pembenaran pada misalnya
mekanika kuantum, tetapi perbandingan-perbandingan yang demikian itu adalah
lebih banyak mengungkapkan kegenitan dan kedangkalan saja. Berdasarkan relasi
ketidakpastian dari Heisenberg – dengan mengukur kecepatan dari elektron, maka
lokasi dari elektron itu tidak ditentukan secara persis, dan sebaliknya (vice versa)
– sungguh-sungguh mengakibatkan bahwa, setidaknya untuk kejadian ini,
pengamatan itu mempengaruhi objek penelitian. Tetapi relasi ketidakpastian
tersebut selanjutnya memang membiarkan diri untuk dikemas dalam suatu
formula yang sangat persis dan ia adalah hasil dari pengamatan-pengamatan yang
pada dirinya sendiri sama sekali tidak tak-berketentuan atau tak-pasti.22
Jangkauannya adalah bahwa metode-metode penelitian dari ilmu-ilmu alam begitu
saja adalah baik tidak tanpa-masalah dan juga bahwa untuk pelandasan dari dalil
bahwa ilmu hukum harus mengarahkan diri pada metode-metode dari ilmu-ilmu
alam, dibutuhkan lebih banyak lagi ketimbang persamaan-persamaan
terminologikal dalam metodologi penelitian. Jika dalam mekanika kuantum
pengertian “pengamatan” sudah mempunyai arti yang berbeda ketimbang dalam
ilmu alam klasik, maka hal itu tidak perlu mengherankan kita bahwa ini di dalam
ilmu hukum, yang di dalamnya kita tidak terutama berurusan dengan “brute facts

19
K.R. Popper, Conjecture and Refutations (London: Routledge and Keagen, 2002, 59 dsl.; T.S. Kuhn,
The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: Univ. Of Chicago Press, 1996), 15-16.
20
Popper, The Logic of Scientific Discovery, 94-95: “For we can utter no scientific statement that does
not go beyond what can be known with certainty ‘on the basis of immediate experience’ (…) Every
description uses universal names (or symbols, or ideas); every statement has the character of a
theory, of a hypothesis. The statement, ‘Here is a glass of water’ cannot be verified by any
observational experience. The reason is that the universals which appear in it cannot be correlated
with any specific sense-experience.”
21
Popper, The Logic of Scientific Discovery, 43 dan 95 dst.
22
Bagi mereka yang secara teknikal tertarik saya berikan formula itu, yang saya sendiri menerimanya
hanya untuk memberikan pengetahuan: ΔpΔq≥h/2П, di mana Δp adalah hal tidak dapat
ditentukannya tempat dan Δq adalah hal tidak dapat ditentukannya impuls, dan h adalah konstanta
dari Planck. Formula tersebut memuat bahwa jika salah satu dari dua nilai itu ditentukan secara lebih
persis, maka hal tidak berketentuan dari yang lain menjadi sekian cepat lebih besar: lihat lebih lanjut
M. Franssen, “Bohr en de quantummechanica” dalam Doorbraken in de natuurkunde, red. M.
Keestra (Amsterdam: Uitgeverij Nieuwezijds, 2001), 185-213.

6
7

of nature”, melainkan terutama berurusan dengan fakta-fakta institusional, dapat


mempunyai arti yang berbeda.23 Hal penelaahan tentang gas-gas (“brute facts of
nature”), tentang sebuah elektron (sebuah gejala tidak tertentu pada tataran
kuantum) atau tentang hak milik (sebuah fakta institusional) menuntut, dengan
kata lain, metode-metode penelitian tersendiri yang khas.24 Untuk mengetahui apa
yang menjadi metode-metode khasnya dari penelitian yuridik, maka kita karena
itu harus menetapkan dengan lebih banyak presisi apa jenis gejala-gejala yang
dipelajari oleh ilmu hukum dan apa yang menjadi pertanyaan-pertanyaan intinya.

3. Objek penelitian: gejala atau konstruksi?


Bahkan jika kita berpegang teguh secara kaku pada titik tolak bahwa makna dari
hukum yang berlaku ditetapkan dengan membuka apa yang menjadi maksud dari
pembentuk undang-undang, sebagaimana dikemukakan oleh De Geest25, maka hal
ini tidak membawa pada suatu pemaparan bebas-nilai tentang hukum yang
berlaku. Hal ini tidak hanya bahwa ia adalah hal yang menyulitkan untuk
menemukan maksud yang persis dari pembentuk undang-undang, tetapi juga
bahwa kita tidak dapat berbicara tentang satu maksud dari undang-undang. Tiap
undang-undang adalah resultante dari banyak maksud atau tujuan bersama-sama
dan pembentuk undang-undang paling jauh menyadari secara parsial tentang
kemungkinan perbarengan maksud-maksud tersebut. Hal menetapkan “maksud”
lebih banyak memiliki karakter dari suatu konstruksi ketimbang dari suatu
pengamatan.
Saya berikan sebuah contoh sehari-hari tentang seseorang yang dengan bantuan
satu aturan tunggal yang sederhana bermaksud mengatur perilaku orang lain26.
Seorang tukang daging memasang pada kaca jendelanya sebuah papan-tulis kecil
dengan teks “Anjing dilarang masuk” (“Dilarang membawa masuk anjing”). Apa
arti dari larangan ini? Bahwa tidak seorang pun pelanggan dengan seekor anjing,
diikat atau tidak, yang boleh memasuki tokonya, demikian De Geest akan
menjawab. Kiranya kita semua pada umumnya akan setuju dengan pendapatnya
itu. Tetapi apakah larangan ini juga berlaku untuk seorang pelanggan dengan
seekor musang kecil (fretje) di atas pundaknya? Dan bagi seorang pelanggan
dengan seekor anjing penuntun orang buta? Jika kita mencoba memecahkan
pertanyaan-pertanyaan ini dengan cara De Geest, maka kita harus
mempertanyakan apakah tukang daging itu dengan larangan tersebut juga
memaksudkan bahwa baik fretjes, maupun anjing penuntun orang buta tidak boleh
dibawa memasuki tokonya. Jika kemudian kita bertanya kepada tukang daging itu
maka akan tampak bahwa ia sama sekali tidak terpikir pada pelanggan-pelanggan
23
Lihat untuk pembedaan di antara kedua jenis fakta-fakta itu, J.R. Searl, The Constructive of Social
Reality (London: Penguin Books, 2001), 185-213.
24
Bdk. Gadamer membedakan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu rohani (Natur- und Geistes-
wissenschaften) dan dengan itu perbedaan dalam metodologi yang terkait pada masing-masing.
25
Bdk. De Geest, “Hoe maken we van de rechtswetenschap een volwaardige wetenschap?”, 59: “Para
ilmuwan hukum menggunakan suatu arsenal metode-metode untuk menemukan makna yang
sebenarnya (…) dari dokumen … Para ilmuwan hukum menambahkan konteks pada teks itu dan
dengan begitu dapat sampai lebih dekat pada kebenaran. Dan kebenaran empiriknya di sini: apa yang
sesungguhnya menjadi maksud pembentuk undang-undang atau hakim.
26
Untuk pembahasan yang lebih luas tentang pengaturan dengan bersaranakan aturan-aturan. Lihat
C.E. Smith, Regels van rechtsvinding (Aturan-aturan tentang penemuan hukum) (Den Haag: Boom
Juridische uitgeverij, 2007), 94-98.

7
8

dengan fretjes, tetapi bahwa ia, mengingat kini menyadari kemungkinan


terjadinya hal itu, maka ia juga ingin menempatkan kategori ini ke dalam wilayah
kerjanya larangan itu. Berkenaan dengan anjing penuntun orang buta masalahnya
adalah lebih rumit lagi. Juga tentang kejadian ini ia tidak pernah
membayangkannya, demikian katanya, dan sekarang setelah ia memikirkannya ia
tidak tahu pasti apakah ia akan menolak pelanggan (yang buta) yang membawa
anjing penuntun orang buta untuk memasuki tokonya. Di satu pihak dalam kaitan
dengan masalah kesehatan ia tidak menginginkan ada anjing di dalam tokonya, di
lain pihak ia khawatir bahwa jika ia menolak mengizinkan masuk pada pelanggan
yang demikian maka para pelanggan akan menganggapnya tidak layak dan bahwa
mereka akan menyebabkan menurunnya “omzet” toko (pelanggannya akan
berkurang).
Jika kita hendak menetapkan “makna yang benar” dari aturan ini dengan
menelusuri apa yang menjadi “maksud yang sesungguhnya” dari tukang daging
itu, maka dalam contoh ini sekurang-kurangnya muncul dua masalah. Pertama-
tama, adalah tidak jelas apakah maksud “yang sesungguhnya” itu dibatasi hanya
pada kejadian-kejadian yang pada saat penempatan papan kecil tersebut yang
benar-benar muncul dalam pikiran dari tukang daging itu. Tetapi “kejadian-
kejadian yang terbayang atau muncul dalam pikiran tukang daging itu”
sesungguhnya adalah suatu ungkapan yang menyesatkan. Tukang daging itu
mempunyai tujuan tertentu dalam pikirannya dan untuk itu ia mengambil sebagai
titik tolaknya tipe atau jenis kejadian yang di dalam praktik ihwalnya akan
berputar di sekitarnya. Namun dengan demikian dapat diyustifikasi pertanyaan,
mengapa, dalam kaitan dengan tujuan dari larangan itu, hewan yang dapat
dibandingkan (disamakan) dengan anjing-anjing juga tidak dipandang termasuk ke
dalam wilayah larangan tersebut. Juga jika tukang daging itu secara faktual tidak
pernah berpikir tentang “een fret” (musang), hal itu belum berarti bahwa juga “een
fret” tidak harus diperhitungkan termasuk ke dalam apa yang ada dalam pikiran
tukang daging itu ketika ia membuat aturan itu. Hal menetapkan persamaan-
persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara kejadian-kejadian dengan demikian
adalah juga karakteristik (bersifat khas) untuk hukum, walaupun bahwa hal ini
tidak dapat “diamati” secara sederhana; penetapan mereka dilakukan berdasarkan
berbagai faktor yang saling berkaitan, sebagaimana Hart dengan penuh perasaan
telah melakukan understatement menulis:

“In the case of legal rules, the criteria of relevance and closeness of
resemblance depend on many complex factors running through the legal
system and on the aims and purpose which may be attributed to the rule. To
characterize these would be to characterize whatever is specific or peculiar in
legal reasoning.”27

Masalah yang kedua berkaitan dengan berimpitannya (perbarengan) maksud-


maksud. Tukang daging itu tidak hanya tidak menginginkan ada anjing masuk ke
dalam tokonya berkaitan dengan kesehatan, melainkan ia juga menginginkan
adanya cukup banyak pelanggan. Hingga derajat tertentu kedua tujuan itu saling
berkaitan (tanpa kesehatan yang baik tidak ada pelanggan), tetapi dalam keadaan-

27
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford: Oxford University Press, 1994), 127.

8
9

keadaan tertentu, seperti dalam kejadian anjing penuntun orang buta, dapat saling
bertabrakan. Apa yang dalam kejadian ini yang menjadi maksud “yang
sebenarnya” dari tukang daging itu? Barang siapa untuk penjawaban terhadap
pertanyaan tersebut menganggap bahwa yang menentukan hanya apa yang secara
faktual tukang daging itu pikirkan, inginkan atau menyatakan pada saat ia
menempatkan papan kecil itu, ia keliru memahami bahwa alasan untuk
menginginkan hal ini mempunyai kaitan dengan preferensi-preferensi lainnya.
Keinginan atau maksud kita, dikatakan secara lain, adalah bukan satu fakta
tunggal, melainkan suatu gugus (cluster) preferensi-preferensi yang saling
berkaitan. Tentunya kita dapat memutuskan untuk hanya memberikan perhatian
pada maksud tunggal yang dalam kaitan dengan larangan itu ada dalam pikiran
tukang daging itu, tetapi bahwa kita pada penafsiran atas larangan itu harus
membatasi diri pada hal itu, tidak timbul dari aturan itu sendiri dan tidak
menghasilkan “maksud sebenarnya” (werkelijk bedoeling) dari tukang daging itu,
melainkan hanya penetapan dari satu tujuan (doeleind) yang terisolasi. Dengan
demikian, hal penentuan tujuan dari suatu aturan adalah suatu proses yang
majemuk. Ia tidak membatasi diri pada penetapan sepersis mungkin apa yang bagi
penyusun pada satu momen historikal tertentu ada dalam pikirannya (ada di depan
matanya), melainkan membawa maksud dari momen itu ke dalam kaitan dengan
tujuan-tujuan, keinginan-keinginan dan pertimbangan-pertimbangan yang lain
dari penyusun tersebut.28
Hanya saja contoh ini masih menyangkut satu larangan tunggal oleh satu orang.
Dalam hukum kita berurusan dengan suatu kompleks sistem aturan-aturan yang
berkenaan dengannya terlibat berbagai aktor. Jika kita, masih tetap dalam
pendekatan dari De Geest, menetapkan makna dari sebuah pengaturan perundang-
undangan dengan menelusuri maksud yang dimiliki pembentuk undang-undang,
maka kita harus tidak hanya memberikan perhatian pada tujuan dari pengaturan
itu sejauh hal itu tampak dari dokumen-dokumen parlementer, melainkan kita
juga harus sekaligus memberikan perhatian pada berbagai undang-undang yang
lain, pada pengaturan yang lebih tinggi (seperti pedoman-pedoman Eropa,
Europese richtlijnen) dan nilai-nilai seperti kepastian hukum, persamaan hukum
dan konsistensi.29 Jika kata-kata membawa pada suatu akibat hukum yang
bertentangan dengan suatu asas hukum yang fundamental, misalnya asas
persamaan, maka hakim akan harus menyesuaikan30 jangkauan penerapan dari
pengaturan itu dalam cahaya dari asas tersebut – dan dengan itu maknanya31 juga.
Pembentuk undang-undang, demikian dapat kita andaikan, di samping itu

28
Bandingkan tentang tujuan beragam dalam perundang-undangan, P.C. Westerman, “The Emergence
of New Types of Norms”, dalam Legislation in Context: Essays in Legisprudence, ed. Luc J.
Wintgens (Aldershot: Ashgate Publishing, 2007), 117-133.
29
Bdk. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”
30
Bdk. Larangan undang-undang berkontradiksi dari L. Fuller: The Morality of Law, ed. Rev. (New
Haven: Yale University Press, 1964), 76.
31
L. Wittgenstein, Philosophical Investigations, terjemahan G.E.M. Anscombe (Oxford: Blackwell
Publishing, 1953), par 43, yang di dalamnya ia menyatakan bahwa makna dari sebuah perkataan
adalah pemakaiannya di dalam bahasa itu. Pikiran (pendapat) yang sama dikemukakan Scholten
dengan pernyataan pendapatnya bahwa hukum adalah sebuah sistem terbuka: sebuah sistem kaidah-
kaidah yang menghendaki penerapan dan yang tergantung juga pada penerapan itu, P. Scholten, C.
Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht. Algemeen Deel (Zwolle:
W.E.J. Tjeenk Willink, 1974), 76.

9
10

menginginkan tidak hanya bahwa pengaturan (regeling) terkait diterapkan sesuai


dengan tujuannya, melainkan juga ingin memenuhi pedoman-pedoman Eropa
yang terhadapnya ia dianggap telah menyetujuinya. Dengan demikian, tidak
hanya harus memperhitungkan maksud dari pembentuk undang-undang,
melainkan juga maksud dari Komisi Eropa. Pada akhirnya pembentuk undang-
undang menyatakan maksudnya dalam kata-kata dan dengan itu memberikan
wibawa pada makna yang diberikan oleh para yustisiabel dan pengemban
kekuasaan pada pemakaian kata-kata tersebut. Dengan itu juga resepsi aturan oleh
masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) adalah bagian dari maksud yang dapat
ditautkan pada aturan tersebut.
Tampaknya De Geest telah membiarkan dirinya tersesatkan oleh pemakaian kata-
kata.32 Kata-kata seperti “maksud dari pembentuk undang-undang” atau “tujuan
dari pengaturan” tampak seperti menunjuk pada suatu gejala tertentu. Dan gejala-
gejala itu dapat “diamati”. Dari sini terdapat satu langkah kecil untuk menuntut
kepada yuris bahwa ia menetapkan “maksud sebenarnya” dari pembentuk undang-
undang dengan cara yang objektif.33 Tetapi jika “maksud” tersebut sudah dapat
disebut sebuah gejala, maka hal itu adalah dari suatu tatanan yang berbeda sekali
ketimbang objek-objek fisikal yang ada – ia adalah sesuatu yang disebabkan oleh
pembentuk undang-undang atau pengaturan itu dengan mengkombinasikan
berbagai faktor dengan bantuan titik-titik pandang dan kriteria yang berkenaan
dengan pengaturan undang-undang harus dipandang sebagai meta-standard. Juga
jika kita mengikuti De Geest dan menganggap maksud “sesungguhnya” dari
pembentuk undang-undang menentukan untuk makna “yang sebenarnya” dari
aturan itu, maka hal menetapkan maksud tersebut menuntut suatu penimbangan
terhadap berbagai faktor – ia menuntut, dengan kata lain, penilaian (waardering).

4. Hubungan antara makna dan pemakaian.


Tidak hanya hal menetapkan makna dari pengaturan perundang-undangan
menuntut penilaian, juga penyusunan aturan tersebut adalah hasil pertimbangan
(menimbang-nimbang). Pembentuk undang-undang pada penyusunan undang-
undang akan memperhitungkan undang-undang dan pengaturan lain untuk
mencegah terjadinya konflik di antara aturan-aturan itu. Untuk alasan ini orang
memandang konsistensi dan koherensi sebagai suatu nilai-hukum (rechtswaarde)
yang fundamental. Di samping itu orang menganggap tiga tujuan berikut ini
fundamental untuk hukum: suatu penataan terhadap kehidupan kemasyarakatan
yang adalah baik berkeadilan maupun fungsional (bertujuan, berhasil guna,
doelmatig) dan yang menawarkan kepastian hukum.34 Dipandang demikian,
sebuah perundang-undangan yang baik adalah hasil dari suatu penimbangan
(kegiatan menimbang-nimbang) antara berbagai nilai yang berkaitan dengan
tujuan-tujuan ini. Pasal-pasal 3:33 – 3:35 BW, yang mengatur cara-cara

32
Bdk. Wittgenstein, Philosophical Investigation, par 38, 109, 110 dan 194, tentang keterpukauan akal
kita oleh sarana-sarana dari bahasa.
33
Itu tampaknya setidak-tidaknya pandangan yang naïf dari De Geest. Bahwa juga dalam ilmu-ilmu
alam hubungan antara objek dan pengamatan adalah lebih kompleks ketimbang apa yang dianggap
oleh De Geest, lihat par.3.
34
Bdk. Stolker, “Ja, gelééd zijn jullie wel!”, 770. Dalam makna yang dapat dibandingkan J.B.M.
Vranken, Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht. Algemeen Deel
(2) (Zwolle: W.E.J. Tjeenk Willink, 1995), 69.

10
11

terbentuknya perbuatan hukum (rechtshandeling), adalah hasil dari


mempertimbangkan antara asas normatif kemauan bebas (asas otonomi) dan
tuntutan yang muncul dari pergaulan kemasyarakatan dan ekonomi terhadapnya
(asas kepercayaan, vertrouwensbeginsel). Asas dari kemauan bebas tidak
diragukan lagi menjadi bagian dari gagasan kita tentang keadilan (sebaliknya, jika
tidak memperhitungkan kemauan bebas, pasti akan dipandang sebagai tidak adil)
dan asas kepercayaan mempunyai hubungan erat dengan tuntutan pergaulan
kemasyarakatan dan ekonomi yang diajukan terhadap proses terbentuknya suatu
perbuatan hukum dan dengan demikian dengan tuntutan dari kebertujuanan
(kehasilgunaan, doelmatigheid).35
Baik asas kemauan bebas maupun asas kepercayaan adalah apa yang oleh Robert
Alexy disebut Optimierungsgeboten (perintah optimalisasi), kaidah-kaidah yang
menghendaki perwujudan sepenuh mungkin.36 Yang menjadi masalah adalah
bahwa perintah optimalisasi (optimaliseringsgebod) yang satu dalam kejadian-
kejadian tertentu dapat berbenturan dengan perintah optimalisasi yang lain, dan
bahwa orang untuk kejadian-kejadian tersebut harus menentukan (memutuskan)
kepada asas yang mana harus diberikan prioritas. Kita menyelesaikan masalah ini
berdasarkan suatu penimbangan kepentingan-kepentingan (dengan jalan
menimbang-nimbang kepentingan-kepentingan, belangenafweging): di belakang
asas-asas itu ada tersembunyi kepentingan-kepentingan yang berdasarkannya
asas-asas tersebut memperoleh bobot relatif mereka dalam berbagai jenis atau tipe
kejadian.37 Demikianlah daya membatasi dari asas kepercayaan antara lain
menemukan landasannya dalam tuntutan-tuntutan pergaulan, artinya dalam
kepentingan yang kita berikan dalam pergaulan ekonomi pada perlindungan
terhadap kesan yang ditimbulkan.38
Aturan-aturan dari pasal 3:33–35 Burgerlijk Wetboek (BW) adalah hasil dari
putusan (politik hukum) bahwa di bawah keadaan-keadaan yang diuraikan dalam
aturan-aturan itu – dan dengan demikian dalam suatu jenis kejadian tertentu – asas
kepercayaan seyogianya dipandang lebih berat ketimbang asas otonomi. Sejauh
kita sudah dapat berbicara tentang suatu hierarkhi nilai-nilai atau asas-asas in
abstracto, maka hal itu adalah akibat dari suatu kesepakatan tentang asas yang
mana atau nilai yang mana yang seharusnya diutamakan jika asas atau nilai itu
berbenturan dengan yang lain. “Keabsolutan” dari larangan penyiksaan misalnya,
disebabkan oleh status pada keadaan bahwa masyarakat hukum kita dalam
keadaan dewasa ini sesungguhnya tidak dapat dibayangkan tidak adanya situasi

35
Bdk. J.H. Nieuwenhuis, Drie beginselen van contractenrecht (Tiga asas hukum kontrak) (diss.
Leiden) (Deventer, Kluwer, 1979), 63-78.
36
R. Alexy, “Zum Begriff des Rechtsprinzips” (menuju pengertian asas-asas hukum), Rechtstheorie
(1979), 79: “(…) Normen, die gebieten, dass etwas in einem relativ auf rechtlichen und tatsächlichen
Möglichkeiten möglichst hohen Masse realisiert wird.” (Kaidah-kaidah, yang memerintahkan, bahwa
dalam suatu kemungkinan-kemungkinan yuridik dan faktual yang relatif diwujudkan setinggi
mungkin)
37
Bdk. M.C.B. Burkens, Algemene leerstukken van grondrechten naar Nederlands constitutioneel
recht (Ajaran umum tentang hak-hak dasar menurut hukum konstitusional Belanda) (Zwolle: W.E.J.
Tjeenk Willink, 1989), 55 dan 149.
38
Sebuah contoh pada bidang hukum tata negara diberikan oleh asas “rule of law”. Dalam asas ini
ditampilkan dalam kepentingan yang kita kaitkan pada hubungan-hubungan yuridik yang stabil
antara warga masyarakat dan negara. Bdk. D.J. Galigan, Discretionary Powers. A study of Official
Discretion (Oxford: Oxford University Press, 1990), 90.

11
12

yang di dalamnya diberikan bobot yang lebih berat pada suatu asas atau nilai lain
ketimbang hak asasi ini.
Bobot dari nilai-nilai, kepentingan-kepentingan dan asas-asas adalah, dengan kata
lain, ditentukan secara relatif dan kontekstual. Ditentukan secara relatif, karena
bobot dari asas-asas adalah tidak absolut, melainkan mereka hanya yang satu
terhadap yang lain mempunyai lebih banyak atau lebih sedikit bobot. Dan
ditetapkan secara kontekstual, karena bobot lebih dari asas yang satu berkenaan
dengan asas yang lain hanya dipunyainya dalam cahaya dari kejadian tertentu.39
Kesimpulannya adalah bahwa perundang-undangan disusun dengan terarah pada
pengkaidahan kejadian-kejadian tertentu dengan jalan menimbang-nimbang
kepentingan-kepentingan yang bermain di dalamnya yang satu terhadap yang
lainnya. Jika kita sudah mau berbicara tentang apa yang mau dicapai atau yang
mau dimaksud oleh pembentuk undang-undang dengan aturan tersebut, maka kita
akan sampai paling dekat ke situ dengan jalan menelusuri kejadian-kejadian apa
yang paling jelas (eviden) termasuk ke dalam wilayah jangkauan dari ketentuan
yang bersangkutan.40 Itu adalah kejadian-kejadian yang tidak hanya yang tanpa
kesulitan dapat disubsumsi ke bawah ketentuan yang bersangkutan (kejadian yang
secara harafiah termasuk ke dalam pengaturan terkait), melainkan yang juga
penerapan pengaturan itu sesuai dengan pertimbangan kepentingan-kepentingan
yang dipandang melandasi aturan tersebut (“ruh” dari pengaturan itu).41
Berdasarkan berbagai titik pandang – seperti pemakaian kata-kata, latar belakang
sejarah undang-undang, sistemnya – hal dapat diterapkannya ketentuan terkait
untuk kejadian-kejadian selanjutnya tanpa keraguan dapat dipastikan.
Jadi, walaupun penentuan makna dari aturan-aturan perundang-undangan dalam
kejadian-kejadian yang sudah jelas adalah bukan penimbangan kepentingan-
kepentingan yang mandiri yang diharapkan misalnya dari hakim, pada aturan itu
sendiri memang terdapat penimbangan kepentingan-kepentingan sebagai
landasannya. Penimbangan itu bertumpu pada putusan politik hukum dari
pembentuk undang-undang yang bagi suatu jenis (tipe) kejadian tertentu untuk
mengutamakan suatu kepentingan tertentu. Dengan menerapkan aturan itu dalam
kejadian-kejadian yang jelas, maka hakim menyesuaikan diri pada penimbangan
kepentingan ini. Karena dalam kejadian-kejadian yang sudah jelas (clear cases
atau plain cases) penerapan aturan itu secara rasional tidak dapat diragukan dan
“semua hidung”, demikian dikatakan, menunjuk pada arah yang sama, maka dapat
tampak kepada kita bahwa di sini telah dilakukan bukan putusan normatif,
melainkan yang terjadi adalah sebuah putusan faktual. Namun ada kejadian-
kejadian yang jelas yang tidak lebih bebas-nilai ketimbang dalam kejadian-
kejadian sulit (hard cases); yang terjadi hanyalah bahwa terdapat alasan (yuridik)
yang baik untuk menyimpang dari penimbangan kepentingan politik hukum yang
diletakkan di dalam aturan itu.42
39
Lihat tentang pentingnya “konteks” untuk hukum M.A. Loth dan A.M.P. Gakeer, Meesterlijk recht,
(Den Haag: Boom, 2002).
40
Kasus-kasus mudah atau kasus-kasus paradigmatik (plain or paradigm cases), lihat Hart, The
Concept of Law, 126-129. Lihat lebih lanjut noot 27.
41
Bdk. Contoh dari Hart tentang mobil di dalam taman: kejadian ini termasuk ke dalam ketentuan
larangan “No vehicle in the park”, baik secara harafiah maupun menurut “ruh”-nya: Hart, The
Concept of Law, 126.
42
Pembedaan antara kejadian-kejadian yang sederhana (yang jelas, clear cases) dan kejadian-kejadian
yang sulit, dan terkait padanya antara bentuk-bentuk penemuan hukum yang heteronom dan yang

12
13

5. Karakter normatif ilmu hukum.


Keberadaan plain cases tampaknya bertentangan dengan pandangan bahwa hal
menetapkan makna dari hukum ditentukan oleh berbagai faktor yang ditimbang-
timbang yang satu terhadap yang lainnya – dan dengan demikian oleh penilaian.
Tentang hampir semua ketentuan perundang-undangan, kata Wiarda, orang dapat
membayangkan situasi-situasi yang di dalamnya penerapan secara harafiah dapat
membawa pada suatu hasil yang tidak dapat diterima (onaanvaardbaar). Tetapi
kejadian-kejadian demikian adalah pengecualian-pengecualian; dalam kejadian-
kejadian normal apa yang berkaitan dengan penemuan hukum hanya suatu
peranan terbatas yang sepenuhnya bersifat heteronom yang diemban hakim, satu
peranan “yang untuknya kualifikasi ‘bouche de la loi’ dapat tetap berada pada
tempatnya”.43 Juga Hart sampai pada suatu kesimpulan yang sama. Ia mengaitkan
keberadaan dari apa yang disebut Wiarda penemuan hukum heteronom pada
keberadaan dari kejadian-kejadian yang sederhana:

“The plain case, where the general terms seem to need no interpretation and
where the recognition of instances seems unproblematic or ‘automatic’, are
only the familiar ones, constantly recurring in similar contexts, where there
is general agreement in judgments as to the applicability of the classifying
terms.”44

Pendekatan dari Hart adalah pendekatan dari filsafat tindakan bahasa


(taalhandelingsfilosofie) dan untuk hukum mengoperasionalisasikan salah satu
pikiran inti dari aliran filsafat itu: pikiran (gagasan) bahwa makna dari sebuah
perkataan adalah pemakaiannya dalam bahasa.45 Kita oleh pendidikan dan
pelatihan telah belajar bagaimana kita harus memakai kata-kata tertentu dalam
suatu konteks tertentu dan proses sosialisasi ini biasanya adalah sedemikian
rigorius, sehingga kita tanpa keraguan sedikit pun memakai kata-kata itu dalam
kejadian-kejadian baru – kita menerapkan mereka tanpa ragu-ragu.46
Dalam pendekatan dari Wiarda dan Hart, aturan-aturan mewujudkan kejadian-
kejadian eksemplaris.47 ”Mengenali makna dari suatu aturan” mau mengatakan

(lebih) otonom, menawarkan menurut pendapat saya sebuah penjelasan yang baik untuk gejala
bahwa hukum itu kadang-kadang tampak seperti sebuah “fakta”, dan kadang-kadang sebagai sebuah
gejala yang tergantung pada asumsi-asumsi normatif kita (hukum sebagai nalar praktikal). Bdk. J.
Hage (2008), <http://ssrn.com/abstract=1443278>.
43
G.J. Wiarda, Drie typen van rechtsvinding (Deventer: W.E.J. Tjeenk Willink, 1999), 20.
44
Hart, The Concept of Law, 126.
45
Bdk. Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 43: “For a large class of cases – though not for
all – in which we imply the word ‘meaning’ it can be defined thus: the meaning of a word is its use in
the language.”
46
Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 219. Bdk. D. Bloor, Wittgenstein, Rules and
Intitutions (London, New York: Routledge, 1997), 20: “The real sources of constraint preventing our
going anywhere and everywhere, as we move from case to case, are the local circumstances
impinging upon us: our instincts, our biological nature, our sense experience, our interactions with
other people, our immediate purposes, our training, our anticipation of and response to sanctions,
and so on through the gamut of causes, starting with the psychological and ending with the
sociological.”
47
Untuk suatu pembahasan panjang lebar tentang arti dari bahasa dan makna, lihat C.E. Smith, “Het
woord als grenswachter: functies van taalkundige interpretatie voor de rechtsvinding.” (Perkataan

13
14

bahwa kita tahu bagaimana kita seharusnya menerapkan aturan itu dalam
kejadian-kejadian yang mungkin terjadi di kemudian hari, artinya, kita
mengetahui kejadian-kejadian yang mana yang secara standar termasuk ke
bawahnya. Itu menjelaskan mengapa penerapan sebuah aturan hukum dalam
kejadian-kejadian eksemplaris dari seorang hakim tidak dituntut putusan hukum
yang otonom (autonoom rechtsoordeel):

“The life of the law consists to a very large extent in the guidance both of
officials and private individuals by determinate rules which, unlike the
application of variable standards, do not require from them a fresh
judgment from case to case.”48

Keberadaan dari kejadian-kejadian di-rumah-kebun-dan-dapur (kejadian sehari-


hari), dari kejadian-kejadian yang berkenaan dengannya kita dengan sekilas
pandang segera dapat melihat bahwa kejadian-kejadian tersebut berada dalam
wilayah jangkauan penerapan suatu aturan – dan dengan itu keberadaan dari
aturan-aturan yang adalah “jelas” sejauh mereka untuk penerapan dalam kejadian-
kejadian ini tidak memerlukan penafsiran – membenarkan bahwa hukum memiliki
suatu inti tentang makna yang berkenaan dengannya “officials and private
individuals” bersepakat.49 Dengan mengikuti Wittgenstein orang akan dapat
mengatakan bahwa putusan-putusan yang demikian itu memenuhi peranan logikal
khusus dalam sistem pernyataan-pernyataan pendapat (klaim-klaim) yang dapat
orang lakukan di dalam hukum.50 Itu adalah keputusan-keputusan yang berkenaan
dengannya orang tidak dapat membantah keabsahannya tanpa melepaskan sistem
itu sendiri dari engselnya. Jika kita membantah keabsahan dari penerapan-
penerapan standar aturan-aturan dari misalnya kontrak, perkawinan atau
pencurian, maka bukan hanya pengaturan-pengaturan spesifik ini yang
dipertaruhkan, melainkan juga sekaligus suatu gugus standar-standar yang
mewujudkan keberadaan dan bekerjanya pengaturan-pengaturan ini. Kita tidak
terutama menerima keberlakuan dari proposisi-proposisi yang terpisah-pisah,
melainkan suatu keseluruhan sistem, yang di dalamnya penarikan-penarikan
kesimpulan dan premis-premis saling mendukung yang satu terhadap yang
lainnya.51 Putusan-putusan kita dalam kejadian-kejadian yang jelas, demikian
Hart, mewujudkan standar-standar untuk penerapan hukum:

sebagai penjaga perbatasan: fungsi dari interpretasi kebahasaan untuk penemuan hukum), RM
Themis (2009): 61-71.
48
Hart, The Concept of law, 135.
49
Dalam arti yang dapat dibandingkan, A. Marmor, “No Easy Cases?”, Canadian Journal of Law and
Jurisprudence 3 (1990): 61-79; B. Bix, Law, Language, and Legal Determinacy (Oxford: Oxford
University Press, 1993), 63-76.
50
L. Wittgenstein, On Certainty (G.E.M. Anscombe & G.H. von Wright, ed.), diterj. oleh D. Paul dan
G.E.M. Anscombe, (New York: Harper Torchbook, 1969), par. 136, berbicara tentang proposisi-
proposisi “common sense” dari G.E.M. Moore (misalnya: “Saya tahu bahwa ini adalah tanganku”):
“When Moore says he knows such and such, he is really enumerating a lot of empirical propositions
which we affirm without special testing; propositions, that is, which have a peculiar logical role in
the system of our empirical propositions.”
51
Wittgenstein, On Cercainty, par. 142. Bdk. juga par 225: “What I hold fast to is not one proposition
but a nest of propositions.” Dan par. 144 tentang proses belajar pada anak-anak: “Bit by bit there
forms a system of what is believed, and in that system some things stand unshakably fast and some

14
15

“At any given moment judges, even those of a supreme court, are parts of a
system the rules of which are determinate enough at the centre to supply
standards of correct judicial decision. These are regarded by the courts as
something which they are not free to disregard in the exercise of the authority
to make those decisions which cannot be challenged within the system.”52

Bahwa ketepatan dari sebuah putusan dalam suatu kejadian yang jelas secara
rasional tidak dapat diragukan, sesungguhnya tidak berarti bahwa putusan itu
tidak normatif. Dengan tiap putusan kita membenarkan lagi kaidah itu dan kita
tidak hanya mengungkapkan bahwa kejadian tersebut berada di bawah aturan itu
(“is”), melainkan juga bahwa hal ini seharusnya demikian (“ought”). Putusan
hukum (rechtsoordeel) itu adalah selalu lebih ketimbang suatu pernyataan
deskriptif atau, dalam kata-kata dari suatu generasi lain, lebih ketimbang logika
saja.53
Dalam sisi ini, antara para hakim dan para ilmuwan hukum tidak terdapat
perbedaan. Juga pengkajian yang paling “netral” atau “objektif” terhadap hukum
yang berlaku mengandaikan suatu titik pandang normatif. Apakah kita sekarang
memaparkan pemetaan perluasan terakhir dari kewenangan penyidikan pada
kejahatan terorganisasi, membandingkan hukum wissel dari Belanda dengan
hukum wissel dari Moldavia atau dampak devolutif dari naik banding, dalam
semua kejadian itu maka peneliti akan harus menetapkan dengan cara bagaimana
para partisipan pada praktik hukum bergaul dengan aturan-aturan. Ia tidak dapat
melakukan hal itu dengan hanya semata-mata mempelajari dari luar perilaku dari
para partisipan, melainkan juga akan harus melihat dari sudut perspektif mereka
terhadap pengaturan-pengaturan itu.54 Ia akan harus menelusuri dengan cara
bagaimana mereka memahami aturan-aturan itu dan menempatkan pengaturan-
pengaturan yang bersangkutan dalam cahaya tujuan-tujuan kemasyarakatan yang
dimaksudkan (dikehendaki) dan titik-titik tolak dari tatanan hukum.55 Orang yang
tidak melakukan hal itu, orang yang menempatkan diri di luar tatanan normatif itu
yang di dalamnya aturan-aturan itu tercantum dan hanya mengambil suatu
perspektif eksternal yang ekstrim, melewatkan suatu dimensi hukum yang
fundamental. Itu adalah inti kritik Hart terhadap teori-perintah dari Austin.56
Hukum itu bukan hanya sekedar suatu tatanan-paksa (dwangorde, coercive-order)
yang memaksakan perilaku para yustisiabel (dan pengemban kekuasaan) yang
konform-kaidah dengan bantuan sanksi-sanksi, tetapi ia juga adalah suatu tatanan

are more or less liable to shift. What stands fast does so, not because it is intrinsically obvious or
convincing, it is rather held fast by what lies around.”
52
Hart, The Concept of Law, 145.
53
O.W. Holmes, “The Path of the Law”, Harvard Law Review 10 (1896): 457-478.
54
Bdk. C. Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: BasicBooks, 1973) tentang “thick
description”, bab 1.
55
Masih terlepas dari persoalan bahwa pada penelitian itu didahului dengan suatu pengajuan
pertanyaan tertentu, suatu problematika yang mempunyai hubungan dengan suatu kepentingan,
interesse, atau ideal tertentu.
56
Bdk. a.l. P.M.S. Hacker, “Hart’s Philosophy of Law” dalam Law, Morality and Society. Essays in
Honour of H.L.A. Hart, ed. P.M.S. Hacker & J. Raz )Oxford: Clarendon Press, 1977), 1-26; J.
Lenoble, “Narative coherence and limits of the hermeneutical paradigm”, dalam Law, Interpretation
and Reality. Essays in Epistemology, Hermeneutics and Jurisprudence, ed. P. Nerhot (Dordrecht:
Kluwer, 1990), 127-169.

15
16

normatif yang dengannya pengenaan sanksi-sanksi dapat diyustifikasi.57 Baru jika


kita sudah melihat aturan-aturan itu juga sekaligus sebagai pemberi alasan untuk
perilaku terkait, dan jadi sebagai ungkapan dari titik-titik tolak normatif, beberapa
penerapan dari aturan-aturan dapat dinilai sebagai tidak bermasalah (sebagai
kejadian yang jelas, clear case) dan yang lainnya sebagai kejadian-kejadian
bermasalah (sebagai hard case) dan akan menjadi mungkin untuk menetapkan apa
yang seharusnya menjadi inti dari suatu pengaturan, apa yang menjadi batas-
batasnya dari suatu kewenangan, dan seterusnya.58
Sama seperti hakim, juga ilmuwan hukum mengucapkan putusan tentang apa
hukum yang berlaku dalam suatu kejadian tertentu, suatu penilaian, yang
diperoleh berdasarkan suatu penimbangan atas berbagai bahan terberi. Berbeda
dari hakim, ilmuwan hukum dapat mengambil suatu distansi kritikal berkenaan
dengan kaidah-kaidah yang ada, yang pada umumnya jika hal itu dilakukan oleh
hakim akan tidak dapat diterima. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa hakim juga
tidak dapat memiliki kritik yang serius terhadap suatu pengaturan tertentu, juga
meskipun ia menerapkannya karena ia menerima asas-asas dari tatanan hukum
yang ke dalamnya pengaturan tersebut merupakan bagiannya. Tetapi bagi
keduanya berlaku bahwa kritik tersebut mengandaikan suatu pendirian normatif
yang eksplisit.
Selain dari itu, praktik penelitian ilmiah bidang ilmu hukum (klasik) tidak pernah
menganggap terlalu penting perbedaan pendapat dari para teoritici hukum tentang
cara-cara yang khas dari penelitian ilmiah ilmu hukum. Pada pengkajian ilmiah
terhadap hukum kedua titik pandang, yang internal dan yang eksternal, secara
tepat dikombinasikan (diakomodasikan) dan masalah-masalah yang lebih
teoritikal dan yang lebih praktikal tidak dapat dipisahkan secara tajam (strikt)
yang satu dari yang lainnya.

6. Aturan, hukum dan timbangan


Bahwa hukum itu berkelindan dengan moral, politik dan ideal-ideal, tidaklah
berarti bahwa hukum dapat disamakan dengan semuanya itu. Untuk hanya
membatasi diri pada moral: identifikasi hukum dan moral justru mewujudkan,
secara cukup paradoksal, suatu bahaya untuk keadilan. Dalam “Rechtspraak en
topiek” (Peradilan dan topik) Leijten menunjuk pada penafsiran yang tidak jarang
tidak masuk akal yang diberikan oleh hakim-hakim Jerman pada perundang-
undangan yang berasal dari periode sebelum era nasional sosialistik (Nazi),
sebagaimana pada perundang-undangan yang dipandang pada dirinya sendiri tidak
masuk akal dari masa permulaan dari era tersebut.59 Demikianlah sejumlah
57
Bdk. Hart, The Concept of Law, khususnya bab VI dan VII.
58
Dalam makna yang sama, walaupun dalam kata-kata yang kita tidak akan begitu cepat memilihnya.,
P. Scholten, De structuur der rechtswetenschappen. Mededeelingen der Koninklijke Nederlandsche
Akademie van Wetenschappen. Afd. Letterkunde (Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers
Maatschappij, 1945), 8: “Ilmu tentang hukum positif hanya dapat diemban oleh orang yang
berpartisipasi dalam hukum poisitif yang dipelajari, demikian saya katakan. Sebab ilmu itu juga
menguasai penanganan bahan terberi, jadi penerapan hukum, dan hanya orang yang merasa
mengemban tanggung jawab untuk penerapan itu yang di sini boleh mengucapkan putusan
(memberikan pendapat atau penilaian). Dengan itu muncul kembali unsur keterikatan pada sejarah
dan rakyat dalam ilmu, yang menutup pintu bagi karakter logikal yang murni.”
59
J.C.M. Leijten, “Rechtspraak en topiek”, dalam Theorie en praktijk van de rechtsvinding, red. W.
van Gerven & J.C.M. Leijten (Zwolle/Antwerpen: W.E.J. Tjeenk Willink, 1977), 25-82. Leijten

16
17

undang-undang dari tahun 1934 memberikan kepada para pekerja hak atas upah
selama hari-hari libur:
“Dalam perundang-undangan itu tidak diadakan pengecualian bagi para
pekerja orang Yahudi. Sejak 1939 berturut-turut muncul sejumlah putusan
dari pengadilan perburuhan (arbeidsgerechten), yang menafsirkan perundang-
undangan ini sedemikian, bahwa orang-orang Yahudi sebagai pekerja tidak
mempunyai hak atas upah yang tetap dibayar (pada hari-hari libur).
Pengadilan perburuhan (RAG) itu memotivasi putusan-putusan itu dengan
suatu “Auslegung nach der geläuterten Anschauung der Gegenwart.”
(Penafsiran berdasarkan pandangan masa kini yang murni) (…) LAG dari
Düsseldorf menghasilkannya dengan suatu rujukan pada apa yang sejak
musim gugur 1938 “unerbitterliche Einstellung des National-Sozialismus
gegen der Judentum” [sikap yang tidak dapat ditawar dari National-
Sozialismus (Nazi) terhadap orang Yahudi] untuk pengecualian itu dengan
memberikan motivering berikut: Es muss als ausgeschlossen angesehen
werden, der Gesetzgeber wollte die Juden auch heute noch von einem
Nachteil bewahren oder ihnen eine Wohltat zukommen lassen. (Hal ini harus
dipandang sebagai suatu penutupan kemungkinan bahwa pembentuk undang-
undang akan menghendaki untuk melindungi orang-orang Yahudi dari hal-hal
yang merugikan atau membiarkan mereka menerima hal-hal yang
baik/menguntungkan baginya) ”60

Leijten memandang contoh ini sebagai suatu ilustrasi ke mana pikiran-nilai


(waardedenken) di dalam peradilan dapat membawa. Bukan “Gesetz ist Gesetz”
(Undang-undang adalah undang-undang.), tetapi diterimanya suatu sistem-nilai
yang jahat adalah sebab-musabab dari kegagalan para hakim:

“Selama sistem ini tidak dicantumkan (belum tercantum) di dalam undang-


undang, maka ia diwujudkan melalui penafsiran teleologikal berdasarkan cara
pandang yang dimurnikan dari masa kini; ketika perundang-undangan yang
demikian itu ada maka para hakim menjadi kaum positivis hukum.”61

Perbedaan antara pikiran-nilai (waardedenken) dari para hakim Jerman di dalam


contoh yang dikemukakan di depan dan orientasi pada keadilan, yang berkenaan
dengannya orang juga mengarahkan diri pada nilai, terletak dalam derajat yang di
dalamnya orang menganggap dirinya terikat pada hukum sebagai suatu sistem-
nilai dari jenis tersendiri di samping keyakinan-keyakinan moral-politik yang
aktual dari masyarakat. Yang menjadi masalah adalah bukan pertama-tama bahwa
putusan-putusan hakim-hakim Jerman itu adalah tidak adil (itu juga memang
demikian), melainkan bahwa pembentukan pendapatnya yang melandasi putusan-
putusan dari jenis ini justru terjadi dengan cara-cara yang tidak tepat atau tidak

menunjuk di sini pada penelitian dari B. Rüthers, Die unbegrenzte Auslegung. Zum Wandel der
privaatrechtsordnung im Nationalsozialismus (Penafsiran tanpa batas. Menuju perubahan tatanan
hukum perdata dalam nasional-sosialisme) (Tübingen: J.C.B. Mohr (Paul Siebeck), 1968).
60
Leijten, “Rechtspraak en topiek”, 79.
61
Leijten, “Rechtspraak en topiek”, 80. Dengan demikian bukanlah positivisme hukum atau
positivisme undang-undang yang membuat para hakim Jerman tidak berdaya, seperti yang
dikemukakan Radbruch, melainkan kapitulasi kepada mores yang berkuasa (dominan), apakah ia
dicantumkan di dalam undang-undang atau tidak.

17
18

diperbolehkan. Tidak hanya para warga, tetapi juga para pengemban kekuasaan
harus berpegangan pada aturan-aturan yang dibuat oleh kekuasaan yang
berwenang untuk itu. Jika kita melanggar titik tolak ini, maka semua jenis nilai-
nilai hukum dihadapkan pada bahaya, seperti asas kejadian yang sama harus
diperlakukan sama dan asas kepastian hukum. Hukum itu dikendalikan oleh
aturan-aturan khusus tersendiri, yang terhadapnya para hakim, dan bahkan
pembentuk undang-undang, tidak dapat mengatakan apapun. Hukum mempunyai
tujuan-tujuan sendiri yang harus diperhitungkan untuk dapat berada sebagai
sistem. Pandangan-pandangan moral adalah satu faktor di sampingnya. Di
samping pandangan-pandangan moral ini, nilai-nilai seperti kepastian hukum,
persamaan hukum, kehasil-gunaan dan koherensi dalam pertimbangan memainkan
suatu peranan.62 Jika nilai-nilai ini dalam pertimbangan tidak dilibatkan, tetapi
orang berkapitulasi (menyerah) pada moral politik yang pada saat itu berpengaruh,
maka berarti suatu pertimbangan sesungguhnya di antara nilai-nilai itu – jadi
tentang keadilan – telah tidak terjadi.63
Pentingnya konsistensi dan koherensi untuk hukum, yang terhadapnya Westerman
dan Wissink secara tepat telah menunjuknya, harus dipahami dalam kaitan ini.
Hanya suatu sistem hukum yang konsisten dan saling berkaitan, tulis mereka,
dapat mencegah bahwa aturan-aturan hukum berubah menjadi dekrit-dekrit yang
hanya mengabdi kepentingan-kepentingan dari pembentuk undang-undang.64
Pentingnya itu bukan hanya bahwa lewat jalan ini kekosongan (lacune) dapat diisi
dan inkonsistensi dapat ditiadakan, melainkan bahwa koherensi itu membatasi
kesewenangan baik dari pembentuk undang-undang, pemerintah maupun hakim.
Koherensi, demikian MacCormick, adalah suatu tuntutan dari keadilan:

“Judges are to do justice according to law, not to legislate for what seems to
them an ideally just form of society (…) Every decision, however acceptable
or desirable on consequentionalist grounds, must also be warranted by the
law as it is.”65

Keterikatan hakim pada undang-undang timbul dari kedudukan yang ditempati


kekuasaan kehakiman dalam struktur ketatanegaraan kita.66 Tetapi kecuali bahwa
keterikatan hakim tersebut mempunyai tujuan untuk membatasi kekuasaan hakim
terhadap pembentuk undang-undang dan pemerintah, keterikatan itu juga
menyebabkan suatu pengekangan terhadap kekuasaan dan kesewenangan dari
kekuasaan negara yang lainnya. Bahwa hakim menurut Montesquieu adalah
“bouche de la lois”, tidak hanya menggambarkan hubungan antara hakim dan

62
Bdk. N. MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, (Oxford: Oxford University Press, 1994),
253; Asser-Vranken (1995), 69: “Menurut saya pertimbangan-pertimbangan tentang kepastian
hukum, kehasil-gunaan, dapat ditangani dan praktikabilitas dalam hukum perdata sering sama
penting, jika tidak lebih penting ketimbang postulat-postulat keadilan.”
63
Bdk. dalam kaitan ini syarat-syarat yang terhadapnya suatu tatanan hukum menurut Fuller harus
memenuhi untuk dapat berfungsi, Fuller, The Morality of Law, bab II.
64
Westerman dan Wissink, “Rechtsgeleerdheid als rechtswetenschap”, 505.
65
MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, 107.
66
Bdk. Pasal 11 Wet AB. Lihat selanjutnya tentang hubungan hakim dan pembentuk undang-undang,
kuliah perpisahan President van de Hoge Raad, S.K. Martens, De grenzen van de rechtsvormende
taak van de rechter (Batas-batas tugas pembentukan hukum dari hakim) (Den Haag: Hoge Raad der
Nederlanden, 2000).

18
19

undang-undang, melainkan juga hubungan antara pembentuk undang-undang dan


undang-undang.67 Walaupun pembentuk undang-undang berdasarkan mandat
demokratikal berwenang untuk melakukan pembentukan aturan-aturan hukum,
namun juga pembentuk undang-undang terikat pada pada aturan-aturan yang telah
dibentuknya sendiri. Keterikatan hakim pada undang-undang menjamin
keterikatan kekuasaan-kekuasaan negara yang lain pada undang-undang. Jika
hakim mengkonstatasi inkonsistensi di dalam perundang-undangan atau
berpendapat bahwa suatu penerapan tertentu bertentangan dengan standar-standar
yang lain, yang tercantum dalam undang-undang itu atau yang timbul dari standar-
standar lain itu, maka dari asas rule of law itu mengalir bahwa hakim harus
menafsirkan pengaturan terkait dalam semangat dari asas-asas itu atau di bawah
keadaan-keadaan tertentu menyatakan bahwa pengaturan ini tidak dapat
diterapkan – juga jika hal itu bertentangan dengan maksud dari pembentuk
undang-undang yang diandaikan. 68
Dengan memandang hukum, tidak sebagai suatu kumpulan aturan-aturan yang
terlepas, sebagai dekrit-dekrit dari pembentuk undang-undang, melainkan sebagai
satu kesatuan yang memperoleh makna dan rasionalitasnya dari asas-asas dan
tujuan-tujuan yang melandasinya, maka hukum menjadi suatu tatanan yang dapat
dipahami, yang terbuka bagi evaluasi internal dan kritik internal.69 Hal menyelami
perkaitan di dalam tatanan ini tampaknya bagi saya adalah tugas hakiki dari ilmu
hukum, baik untuk membimbing (mempedomani) praktik hukum, sebagaimana
dikemukakan oleh Meijers70, maupun untuk menguji substansi bagian-bagian dari
tatanan tersebut pada keadilan. Dan dengan yang terakhir ini kita kembali lagi
pada definisi hukum sebagai penimbangan rasional terhadap kepentingan-
kepentingan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan.
Hukum dan timbangan: metafora ini adalah antik, namun masih sangat hidup.
Baik putusan-putusan dari para hakim maupun aturan-aturan dari sistem hukum
itu baru dapat disebut hukum jika mereka adalah hasil dari penimbangan terhadap
kepentingan-kepentingan yang bermain dalam kejadian yang bersangkutan atau
tipe kejadian terkait. Jika kita ingin mengetahui, tidak hanya sebagai pembentuk
undang-undang, hakim atau praktisi hukum, tetapi juga sebagai ilmuwan hukum,
apakah hukum itu, maka kita akan harus melakukan lebih banyak ketimbang
hanya memetakan aturan-aturan yang diberlakukan pada suatu bidang hukum
tertentu dan menetapkan apa yang dimaksud pembentuk undang-undang dan
hakim dengan pemberlakuan pengaturan atau putusan tersebut. Hukum adalah
suatu putusan, hasil dari suatu penimbangan (upaya menimbang-nimbang) di
antara berbagai faktor, yang dalam hal itu hakim atau peneliti kadang-kadang
tidak atau nyaris merujuk pada perasaan hukumnya sendiri (penemuan hukum

67
Bdk. K.M. Schönfeld, “Montesquieu en “la bouche de la lois” (diss. Leiden) (Leiden: New Rhine
Publishers, 1979).
68
Berkenaan dengan itu kita dapat membedakan antara kemauan dari pembentuk undag-undang
faktual (sebuah konstruksi) dan pembentuk undang-undang sebagai “a supposedly ideally rational
agent” (yang juga suatu konstruksi), D.N. MacCormick dan R.S. Summuers (ed.), Interpreting
Statutes, A Comparative Study (Aldershot: Dartmouth, 1991, bab 13.
69
MacCormick, Legal Reasoning and Legal Theory, 126. Dworkin, Law’s Empire (London: Fontana
Press, 1986), 273.
70
E.M. Meijers, De taak der rechtswetenschap ten aanzien van vrije rechtspraak (oratio Leiden),
(Haarlem: H.D. Tjeenk Willink, 1910), 3.

19
20

heteronom) dan kadang-kadang merujuk lebih pada perasaan hukum sendiri


(penemuan hukum otonom).

7. Gramatika dari perbedaan pendapat.


Tidak diragukan kontroversi-kontroversi yuridikal telah menyebabkan beberapa
orang meragukan kadar keilmuan dari ilmu hukum. Tidak begitu saja, kasus-kasus
yang terkenal secara kemasyarakatan, seperti Wrongful Birth dan Wrongful Life-
arresten, yang telah memperkuat keraguan itu71: kita semua mempunyai pendapat
tentang pertanyaan apakah biaya pendidikan atau keberadaan dari anak itu sendiri
yang dapat dilancarkan sebagai kerugian yang harus diberikan ganti-rugi. Dalam
kakofoni (hingar bingar suara-suara) berbagai pendapat itu maka kita
mengharapkan dari para yuris sekurang-kurangnya satu pendapat yang senada
tentang apa yang secara yuridik menjadi jawaban yang tepat. Sebagai akibatnya
ternyata bahwa juga para yuris, sama seperti orang biasa (awam), saling
berjumpalitan tentang apa yang dalam kasus-kasus ini menjadi jawaban yang
tepat, tampaknya tidak dapat dihindari kesimpulan: ilmu hukum itu adalah bukan
ilmu, karena para pengembannya ternyata tidak mampu memproduksi jawaban
yuridik yang tepat.
Di sini terjadi penilaian (pemahaman) yang keliru bahwa kesesuaian pendapat di
antara para yuris adalah lebih besar ketimbang perbedaan pendapat yang
tampaknya timbul dalam suatu kasus hard case spesifik. Mungkin saja orang
berbeda pendapat tentang apa hukumnya dalam persoalan (hard case) ini, tetapi
perbedaan pendapat ini diperjuangkan dalam suatu perdebatan dengan bantuan
argumen-argumen yang oleh para partisipan dalam perdebatan itu saling
dipahami, juga jika orang memberikan bobot yang berbeda pada argumen-
argumen itu. Perdebatan-perdebatan itu justru mewujudkan bukti bahwa di antara
para yuris terdapat kesesuaian yang besar tentang titik-titik tolak dari hukum, dan
terkait padanya tentang metode-metode penelitian. Ia mengandaikan suatu
kerangka yang sama tentang asumsi-asumsi, titik-titik tolak dan cara-cara
pembuktian. Tanpa suatu kerangka bersama yang demikian itu maka tiap
perdebatan tentang akseptabilitas atau ketepatan dari pandangan-pandangan kita
menjadi tidak bermakna. Ihwalnya bahkan menjadi pertanyaan sendiri apakah
dalam kejadian tersebut kita masih dapat berbicara tentang suatu perbedaan
pendapat:

“Suppose someone were a believer and said: “I believe in a Last Judgment”,


and I said: “Well, I’m not sure. Possibly.” You would say that there is an
enormous gulf between us. If he said: “There is a German aeroplane
overhead”, and I said “Possibly, I’m not sure”, you’d say we were fairly
near.”72

Persoalannya adalah bukan bahwa yang satu mempercayai sesuatu, apa yang tidak
dipercayai oleh yang lainnya, melainkan bahwa alasan-alasan bagi yang satu

71
Seperti Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!”, yang pertanyaannya tentang keilmuan diajukan
berdasarkan alasan sembilan jawaban yang berbeda-beda dalam Wrongful birth-casus.
72
L. Wittgenstein, Lectures & Conversations on Aesthetics, Psychology and Religious Belief, ed. C.
Barrett, (Berkeley: University of California Press, 1966), 53.

20
21

untuk mempercayai Last Judgment, bagi yang lain tidak mempunyai makna.73 Itu
adalah bukan suatu perbedaan pendapat, melainkan suatu perbedaan gambaran
tentang dunia (Weltanschauung). Ihwalnya adalah melawan latar belakang dari
gambaran dunia kita yang diwarisi bahwa kita membedakan antara argumen-
argumen yang benar dan yang tidak benar, pendapat yang tepat dan yang tidak
tepat74:

“All testing, all confirmation and disconformation of a hypothesis takes place


already within a system. And this system is not a more or less arbitrary and
doubtful point of departure for all our arguments: no, it belongs to the essence
of what we can call an argument. The system is not so much the point of
departure, as the element in which the arguments have their life.”75

Sebuah debat yang bermakna baru dapat dilaksanakan dalam suatu permainan
bahasa yang memuat aturan-aturan atau “grammatica” tentang apa yang secara
bermakna dapat dikatakan tentang urusan itu. Koskenniemi untuk hukum
internasional menyatakan sebagai berikut:

“Whatever else international law might be, at least it is how international


lawyers argue, that how they argue can be explained in terms of specific
‘competence’ and that this can be articulated in a limited number of rules that
constitute the ‘grammar’ – the system of production of good legal
arguments.”76

Keberadaan dari standar-standar bersama tampak dari pemakaian standar-standar


tersebut oleh komunitas para hakim, para ilmuwan hukum dan para yuris lainnya
– sejauh keberadaan mereka adalah “a matter of fact”.77 Standar-standar ini
berfungsi sebagai kaidah-kaidah yang mengikat bagi kelompok para yuris yang
berkaitan, kaidah-kaidah yang tidak dapat disimpangi sekehendak hati.78 Mereka
yang menarik diri dari standar-standar dari interpretive community para yuris,
maka akan tidak didengar dan dari sudut yuridik berbicara omong kosong.79
Putusan-putusan dalam clear cases mengilustrasikan dalil ini. Dengan
menyatakan bahwa dalam suatu kejadian yang jelas sebuah aturan hukum yang
berlaku dapat diterapkan, kita mengakui keseluruhan nilai-nilai dan asas-asas yang
berdasarkannya aturan-aturan hukum tersebut memperoleh keberlakuan dan
makna mereka.80 Melalui jalan ini kita mengakui kewenangan dari pembentuk
undang-undang untuk menetapkan aturan-aturan dan dengan itu membenarkan
nilai-nilai yang melandasi kewibawaan (kewenangan) ini. Dan dengan memahami

73
Jika yang percaya untuk itu sudah menghendaki suatu bukti. Kepercayaan yang teguh (yang tak
tergoyangkan) “will show, not by reasoning or by appeal to ordinary grounds for belief, but rather
by regulating for in all his life”, Wittgenstein (1966), 54.
74
Wittgenstein, On Certainty, par. 94.
75
Wittgenstein, On Certainty, par. 105.
76
M. Koskenniemi, From Apology to Utopia. The Structure of International Legal Argument
(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), 568.
77
Hart, The Concept of Law, 110.
78
Idem, 145.
79
Bdk. Fish, Is there a Text in This Classroom? The Authority of Interpretive Communities.
80
Dworkin, Law’s Empire, 19, 217 dan 336.

21
22

aturan itu sesuai dengan makna standar tersebut, kita menyetujui standar-standar
untuk melakukan interpretasi yang tepat. Hakim yang memutuskan sebuah vonis
yang jelas-jelas salah, dengan misalnya menyatakan suatu masa percobaan berlaku
selama enam bulan, secara eviden telah memutuskan secara bertentangan dengan
meta-kaidah ini sebagaimana ini oleh komunitas para yuris diterapkan. Ia menolak
atau memberikan keberlakuan pada kebanyakan aturan-aturan pengakuan yang
elementer dengan jalan menolak81 atau memberikan suatu makna pada ketentuan
itu bertentangan dengan makna yang diberikan82 oleh tiap yuris yang kompeten
kepadanya. Dalam kejadian yang demikian itu sesungguhnya kita tidak dapat
berbicara tentang “hukum”. Sebuah putusan adalah “hukum” sejauh putusan itu
dapat dipandang sebagai hasil dari suatu penerapan yang tepat kompleks aturan-
aturan, asas-asas dan standar-standar; ia adalah hukum berdasarkan kompleks
kaidah-kaidah; di luarnya tidak terdapat hukum.83
Apa yang membuat hukum menjadi suatu sistem, dengan demikian adalah
kompleks perangkat standar-standar yang bersifat substansial dan sebagian besar
praktik-praktik tindakan implisit yang terletak dalam praktik-praktik tindakan dari
para penguasa, hakim dan yuris profesional lainnya.84 Kesesuaian inilah yang di
atasnya kesesuaian penilaian dalam kejadian-kejadian yang jelas bertumpu, dan
keberadaan dari perbedaan pendapat dalam hard cases. “Legal Grammar” ini kita
temukan kembali dalam apa yang oleh Vranken disebut kotak alat-alat dan kunci-
kunci (gereedschapskist)85 dari para yuris dan yang mewujudkan inti dari
matakuliah “metode dan teknik yuridik” yang dengannya kebanyakan para
mahasiswa memulai studi mereka, yang sering dijalankan secara tidak layak
(stiefmoederlijk bedeeld).
Namun justru kemahiran dari para yuris yang dipandang rendah itu yang
mewujudkan rasionalitas yang melandasi hukum itu. Para yuris dapat dalam suatu
pertentangan pendapat kadang-kadang menempati posisi yang secara diametral
saling berhadap-hadapan dan mendukung posisi ini dengan argumen yuridik,
tanpa membuatnya menjadi alasan untuk meragukan (menyangkal) keahlian atau
ekspertise dari pihak yang lainnya. Kesimpulan-kesimpulan mereka yang saling
berlawanan bertumpu pada asumsi-asumsi yang sama tentang sumber-sumber

81
Untuk hubungan-hubungan dinas yang berlaku lebih lama dari dua tahun apa yang dinamakan masa
percobaan besi (ijzeren proeftijd) dari dua bulan: Pasal 7:652 ayat 4 di bawah b BW.
82
Bahkan angka-angka adalah tidak aman di tangan para yuris. Bdk. dalam kaitan ini HR 28 April
2000, NJ 2000, 430 (Van Hese/De Schelde).
83
Suatu kategori tersendiri diwujudkan untuk kejadian yang menyangkut hakim tertinggi. Selama HR
(MA Belanda) menggunakan tipe argument yang sama, tetapi mereka menimbang berbeda
ketimbang dalam putusan terdahulu, maka HR itu tidak menyimpang dari standar yang berlaku
tentang penafsiran dan penerapan. Ihwalnya adalah berbeda jika HR dengan putusannya, demikian
dapat dikatakan, mengubah peraturan permainannya dan pada suatu tipe argumen tertentu
memberikan makna yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya. Sebagai contoh dari yang terakhir
mungkin dapat disebut apa yang dinamakan penetapan voorjaarsbeschikkingen dari HR tertanggal
21 Maret 1986 berkenaan dengan kekuasaan orang tua, ketika HR, tanpa mencakup peradilan Eropa
untuk itu berkenaan dengan pasal 8 EVRM, meletakkan beberapa titik tolak dari hukum keluarga
yang berlaku, dengan rujukan pada pasal 8 EVRM pada landasan yang rapuh (HR 21 Maret 1986, NJ
1986, 585, 586, 587 dan 588). Tetapi sama seperti pembentuk undang-undang, HR juga menetapkan
hingga derajat tertentu aturan-aturan dari permainan itu.
84
Dengan cara yang dapat dibandingkan M. Koskenniemi, The gentle Civilizer of Nations. The rise
and fall of International Law 1870-1960 (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 7.
85
Vranken, C. Asser’s handleiding tot de beoefening van het Nederlands burgerlijk recht, 75-140.

22
23

hukum, metode-metode interpretasi dan standar-standar yang sama dari kejadian-


kejadian yang dapat diperbandingkan, dan justru karena kesesuaian (kesamaan)
dalam bahasa (Wittgenstein)86, gramatika (Koskenniemi) atau aturan-aturan
sekunder (Hart)87, sehingga tentang pertentangan pendapat itu dapat
diperdebatkan.88
Karena gramatika dari berbagai bidang hukum maka para yuris dalam kejadian-
kejadian yang jelas sependapat89 dan perdebatan dalam apa yang disebut hard
cases dapat mengarahkan diri pada “politics of law”:

“ The meaning of legal language is derived from what point is being made by
it in a particular context, in regard to what claim, toward which audience.
What interests are being supported, what is opposed? This is the politics of
law for which the existence of a grammar is absolutely crucial, but which is
not exhausted by a mere grammar-use.”90

Bahwa para yuris dapat secara mendalam berbeda pendapat tentang bobot yang
harus diberikan pada salah satu asas atau pada asas yang lainnya, adalah, cukup
paradoksal, tidak lebih ketimbang suatu riak pada permukaan dari mare nostrum
(Laut Tengah) pada titik-titik tolak yang sama yang memungkinkan produksi dan
evaluasi terhadap argumen-argumen.91
Profesionalitas dari para yuris praktik dan ilmuwan hukum terdapat di dalam
kemampuan untuk meletakkan suatu perkara hukum dalam suatu kerangka dan
untuk menentukan argumen-argumen mana yang secara bermakna untuk putusan
atas perselisihan itu dapat dijalankan. Bahwa argumen-argumen itu dalam banyak
kejadian harus dipertimbangkan dan bahwa penimbangan itu pada akhirnya
ditentukan oleh the politics of law atau the political morality dari pihak yang
memutuskan92, timbul dari sifat hukum itu. Hukum adalah bukan fakta, melainkan
suatu penilaian: ia adalah hasil dari penimbangan (menimbang-nimbang) secara
rasional kepentingan-kepentingan, nilai-nilai dan tujuan-tujuan dari hukum dan
dengan demikian ungkapan dari penilaian kepentingan yang mana yang
seyogianya didahulukan (diutamakan, prevaleren). Dan itu tidak dapat dilepaskan
terikat pada gambaran dunia dan ideologi – dengan pilihan politik hukum.

86
Wittgenstein, Philosophical Investigation, par. 241: “So you are saying that human agreement
decides what is true and what is false? – It is what human beings say that is true and false, and they
agree in the language they use. That is not agreement in opinions but in form of life.”
87
Hart, The Concept of Law, bab V.
88
Untuk pengolahan dari pendekatan ini, lihat G. Molier, “De politisering van het internationale recht
in relatie tot zijn onbepaaldheid” (Politisasi dari hukum internasional dalam hubungan dengan
ketidak-berketentuannya), Vrede en Veiligheid (Perdamaian dan keamanan). Tijdschrift voor
Internationale Vraagstukken 38 (2009) (masih dalam pencetakan).
89
Hart, The Concept of Law, 145.
90
Koskenniemi, From Apology to Utopia. The Structure of International Legal Argument, 571.
91
Bdk. O.M. Fiss, “Objectivity and Interpretation”, Stanford Law Review 34 (1982): 752, di mana ia
mengemukakan bahwa objektivitas dari suatu putusan hukum tidak bertumpu pada kesesuaian
pendapat dari para hakim atau para ilmuwan hukum, melainkan pada keadaan bahwa putusan itu
sesuai dengan “the authoritative disciplining rules”.
92
Dworkin, Law’s Empire, 256-258.

23
24

8. Arsitektur dari putusan ilmiah bidang hukum.


Bahwa terhadap penelitian ilmiah ilmu hukum yang baik diajukan syarat-syarat
seperti kecermatan, keakuratan, adekuasi dan kemencakupan-kemenyeluruhan
(omvattendheid, comprehensiveness) sudah jelas dengan sendirinya.93 Orang yang
menulis sebuah monografi tentang sifat kepasifan (lijdelijkheid) hakim, akan harus
mengetahui ajaran tersebut dalam semua faset-fasetnya, berdasarkan suatu studi
secara seksama terhadap undang-undang, yurisprudensi dan kepustakaan. Dalam
aspek ini penelitian ilmiah bidang hukum yang baik adalah suatu persoalan
teknikal: orang harus mampu menggunakan kerangka pengertian-pengertian,
mampu membaca yurisprudensi, melakukan penelitian sumber-sumber (hukum)
secara seksama, mengetahui konteks institusional yang di dalamnya ajaran yang
bersangkutan berfungsi dan memaparkan kontroversi-kontroversi eventual (yang
mungkin terjadi) secara lugas. Sejauh mana pada syarat-syarat dari sebuah
penelitian ilmiah bidang hukum secara mendasar sudah terpenuhi, baru akan dapat
tampak setelah terjadinya kekurangan-kekurangan, seperti jika material sumber-
sumber yang relevan telah tidak dirujuk (dikonsul) atau jika pada sebuah putusan
terkait konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat diderivasi dari dalamnya.94
Dalam kejadian-kejadian yang demikian orang akan dapat membantah
kesimpulan-kesimpulannya dengan argumen-argumen yang akan digaris-bawahi
oleh yuris-yuris yang kompeten. Tetapi jika studi itu tidak memperlihatkan
kekurangan-kekurangan yang demikian, maka oleh komunitas para yuris akan
dipandang sebagai suatu bukti dari penelitian ilmu hukum bahwa ajaran itu,
dipandang secara lugas, telah menampilkannya secara tepat, juga jika penulis-
penulis akan menampilkan aksen-aksen yang lain atau telah mendekati ajaran itu
dari sudut suatu pendekatan yang lain.
Sesungguhnya tidak ada bidang hukum yang di dalamnya setidak-tidaknya
sejumlah kontroversi berpengaruh (mendominasi), misalnya kontroversi tentang
penafsiran terhadap suatu ketentuan, akibat-akibat yang tidak dikehendaki dari
suatu putusan, kehasil-gunaan dari sebuah pengaturan, jangkauan dari suatu hak
asasi atau konsistensi dari konstruksi yuridikal tertentu. Kontroversi-kontroversi
ini sebagai langkah pertama (inzet) penentuan apa hukum yang berlaku dalam
kejadian-kejadian demikian atau, diungkapkan dengan cara lain, berdasarkan
sistem aturan-aturan, putusan-putusan dan standar-standar yang ada, apa yang
seharusnya menjadi hukum. Perdebatan-perdebatan tentang hal ini telah
dijalankan dengan argumen-argumen yang dianggap sebagai relevan secara
yuridik oleh para yuris, tetapi yang dapat dinilai, dihargai atau ditimbang secara
berbeda. Kontroversi-kontroversi itu pada akhirnya diselesaikan dengan suatu
putusan nilai yang berkenaan dengannya yuris-yuris yang kompeten secara
rasional dapat berbeda pendapat.
Sembilan jawaban yang berbeda-beda dalam Wrongful Birth-arrest mengajukan
(menawarkan) sembilan wawasan tentang pilihan politik hukum yang dalam
persoalan ini dapat dilakukan. Itu tidak berarti bahwa itu adalah pilihan-pilihan
93
A.l. Stolker, “Ja, geléérd zijn jullie wel!, 772, Barendrecht e.a., “Methoden van rechtswetenschap:
komen we verder?”, 1423 dan Van Gestel dan Vranken, “Rechtswetenschappelijke artikelen. Naar
criteria voor methodologische verantwoording”, NJB (2007): 1451.
94
Bdk. A.R. Mackor, “Tegen de Methode” (Melawan metode) NJB (2007): 1462; C.E. Smith e.a.,
“Criteria van goed rechtwetenschappelijk onderzoek: de omgekeerde route” (Kriteria untuk
penelitian ilmiah bidang hukum yang baik: rute pada arah sebaliknya), NJB (2008): 685.

24
25

acak. Fungsi dari hukum adalah fungsi dari suatu “structure of constraints”95. Ia
menawarkan suatu sistem aturan-aturan dan praktik-praktik tindakan yang saling
berkaitan untuk produksi dan evaluasi pernyataan-pernyataan yuridikal. Untuk
menyustifikasi pilihannya (dan untuk meyakinkan yang lain tentang ketepatan dari
pilihannya), maka peneliti akan harus memotivasi titik berdirinya. Di dalam
argumentasinya pilihan dari peneliti menjadi diobjektifkan: argumen-argumen itu
harus tidak hanya, subjektif, meyakinkan bagi peneliti itu sendiri, melainkan juga,
intersubjektif, bagi terutama keseluruhan kelompok para yuris dan pengemban
kewenangan yang terpanggil untuk mengambil putusan tentang persoalan terkait.
Itu adalah suatu cara lain untuk mengatakan bahwa karena “the structure of
constraints”, keberadaan dari pembentukan pendapat dan perbedaan pendapat
adalah mungkin. Demikianlah misalnya alasan-alasan untuk penerimaan atau
penolakan terhadap hak atas ganti rugi dari seorang anak cacat-berat terhadap
seorang bidan hanya dapat didukung dengan argumen-argumen yang mempunyai
kaitan dengan pranata hukum wanprestasi: kesalahan, hubungan kausal dan
kerugian.96 Disebabkan oleh yuridifikasi maka pada kejadian ini hanya tinggal
beberapa pertanyaan yang berkenaan dengannya jawabannya adalah penting untuk
pembentukan putusan: pertanyaan apakah bidan juga mempunyai kewajiban
hukum terhadap anak yang belum terlahir, bagaimana kerugian dari keberadaan
(yang cacat) dalam hubungan dengan tidak-berada harus ditetapkan (pertanyaan-
pertanyaan dogmatika hukum), atau pemenuhan tuntutan memuat depresiasi dari
kehidupan yang cacat (sebuah persoalan nilai) dan apakah pemenuhan itu
menimbulkan praktik kedokteran defensif (defensive medicine) dan tuntutan-
tuntutan dari anak-anak (yang cacat) terhadap para orang tua mereka (persoalan
konsekuensialistik). Orang yang kemudian mengemukakan bahwa pemenuhan itu
mengakibatkan praktik kedokteran defensif atau bahwa tuntutan itu bertentangan
dengan tatanan hukum pertanggung-gugatan, akan harus memperlihatkan
akseptabilitas (hal dapat diterimanya, dapat dibenarkannya) hal itu.
Argumen-argumen yang relevan dan dapat diterima sesungguhnya tidak
menentukan (mendikte) putusan seperti untuk suatu titik berdiri yang kontrair
dapat diajukan sekaligus relevan dan tidak tak dapat diterima – apa yang
sesungguhnya mewujudkan definisi dari sebuah hard case. Arsitektur yang
kompleks dari “legal grammar” menentukan apa yang dapat dikatakan,
bagaimana ini harus dipresentasikan dan nilai-nilai apa yang dipersoalkan, tetapi
hal itu tidak menentukan penimbangan antara nilai-nilai tersebut.97

9. Kesimpulan.
Kriteria keilmuan sebagaimana ini diterapkan dalam ilmu-ilmu eksperimental
(ilmu-ilmu alam) bagi saya tidak cocok untuk dipakai dalam ilmu hukum. Untuk
ilmu-ilmu eksperimental berlaku bahwa the proof of the pudding is in the eating.
Ketepatan dari teori pada akhirnya ditentukan dengan menguji prediksi-prediksi
yang dapat diderivasi dari teori itu pada hasil-hasil dari eksperimen-eksperimen

95
S. Fish, Doing What Comes Naturally. Change, Rhetoric, and Practice of Theory in Literary and
Legal Studies (Oxford: Clarendon Press, 1989), 98.
96
HR 18 Maret 2006, NJ 2006, 606 (Baby Kelly).
97
Maka dalam kejadian-kejadian yang sulit juga tidak ada jawaban-jawaban yang tepat, juga jika
orang mempunyai keyakinan internal bahwa jawaban itu adalah tepat.

25
26

atau pengamatan-pengamatan (observasi) lain.98 Objektivitas dan presisi di sini


adalah mutlak. Prediksi-prediksi yang persis harus dapat diderivasi dari teori itu:
suatu prediksi yang tidak cermat, kabur atau terbuka bagi berbagai penafsiran sulit
untuk dapat diuji ketepatannya dan memberikan sedikit atau bukan pembenaran
untuk ketepatan dari teori itu.99
Dalam hukum ihwalnya adalah berbeda. Putusan-putusan tentang apa hukum
adalah bukan prediksi-prediksi, melainkan klaim-klaim tentang apa yang
seharusnya berlaku sebagai hukum. Berbagai putusan atau pandangan tentang apa
hukum yang berlaku, tidak mewujudkan bantahan-bantahan yang satu terhadap
yang lain (apa yang dalam ilmu-ilmu eksperimental ihwalnya berlaku demikian),
juga tidak jika suatu putusan dalam kaitan dengan tegangan yang ditimbulkan oleh
putusan ini dengan salah satu dari nilai-nilai inti dari hukum karena alasan itu
sudah terbantah. Pandangan-pandangan atau teori-teori tentang hukum yang
berlaku (hukum positif) dapat saja lebih atau kurang adil, lebih atau kurang
bertabrakan dengan pentingnya kepastian hukum, tanpa bahwa ia karena itu sudah
terbantah atau terfalsifikasi.
Rasionalitas atau keilmuan (keilmiahan) dari ilmu hukum menemukan
pemahkotaannya (kesuksesan, bekroning) tidak dalam suatu prediksi yang
berhasil (sukses) tentang apa hukum yang berlaku, melainkan dalam perdebatan
yang persis dan bermakna yang dapat dilaksanakan disebabkan oleh putusan-
putusan tentang hukum yang berlaku, yang berkenaan dengannya presisi itu
menunjuk pada sarana pengertian-pengertian yang telah dihaluskan untuk
kepentingan dari suatu analisis terhadap persoalan-persoalan yuridik dan
kebermaknaan berdasarkan standar-standar yang dianut bersama untuk produksi
dan evaluasi argumen-argumen.
Bahwa dalam ilmu hukum penetapan hukum yang berlaku tidak dapat dipisahkan
dari penentuan hukum yang dikehendaki, adalah bukan suatu kekurangan atau
kesalahan yang harus diatasi, melainkan muncul dari sifat hukum itu sendiri. Tiap
putusan tentang hukum yang berlaku adalah selalu normatif, juga pada objek-
objek yang berkenaan dengannya kebanyakan yuris tidak saling berbeda pendapat.
Pengetahuan tentang hukum tidak terletak dalam jawaban-jawaban yang dalam
kontroversi-kontroversi yuridikal dapat diberikan, melainkan menemukan dirinya
pada suatu tataran yang berbeda: dalam pengetahuan dari struktur rasionalitas
yang melandasi yang membuat produksi dari jawaban-jawaban ini menjadi
mungkin dan yang membuat putusan-putusan nilai yang di atasnya jawaban-
jawaban itu bertumpu menjadi tampak (tampil ke permukaan).

98
Bdk. W.V. Quine, The Pursuit of Truth, ed. rev. (Cambridge, Mass: Harvard University Press,
1996), 20.
99
“This, in outline, is the method of all sciences which are backed by experience”, K.R. Popper, The
Poverty of Historicism (London: Routledge, 1991), 134.

26
27

Abstrak

Proposisi-proposisi hukum didasarkan pada putusan atau penilaian


normatif. Interpretasi dan aplikasi ketentuan-ketentuan hukum
bertumpu pada suatu penilaian yang menentukan bobot apa yang
harus diberikan pada titik pandang atau perspektif tertentu. Dalam
aspek ini, teori hukum (ilmu hukum dalam arti luas) menyandang
suatu karakter normatif. Karakter normatifnya tidak mengeluarkan
(mengeksklusikan) teori hukum dari status sebagai suatu disiplin
ilmiah. Karakter keilmuan dari teori hukum tidak terletak dalam
kemungkinan pengujian ketepatan dari teori-teorinya. Melainkan,
teori hukum memperoleh karakter ilmiahnya pada standar-standar
produksi dan evaluasi yang dianut bersama terhadap argumentasi
yuridik: gramatika keadilan.

Tentang penulis:

Carel Smith adalah associate professor pada Departemen Meta-


yuridika, Fakultas Hukum, Universitas Leiden, Belanda. Tulisan
berjudul “Karakter normatif ilmu hukum: hukum sebagai penilaian”
ini diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta dari artikel Prof. Smith yang
aslinya berjudul “Het normatieve karakter van de rechtswetenschap:
recht als oordeel” yang dimuat dalam jurnal RECHTSFILOSOFIE &
RECHTSTHEORIE, 2009 (38) 3: 202-225.

27

Anda mungkin juga menyukai