Anda di halaman 1dari 22

1

KONSEP ILMU
(B. Arief Sidh ar ta)

1. Konsep Ilmu dalam Filsafat Ilmu dewasa ini.


Filsafat Ilmu sebagai suat u disiplin kefilsafat an yang mandiri menurut Herman
Koningsfeld1 baru hadir pada tahun 1920-an. Sebelumnya, pemikiran kefilsafat an t ent ang
ilmu dapat dikat akan lebih merupakan produk sampingan pengembanan Epist emologi.
Perhat ian terhadap refleksi kefilsafatan terhadap ilmu dalam pengembanan Epist emologi,
t erut ama dipicu oleh perbedaan pendapat ant ara John Stuart Mill dan William Whewell.
Tampaknya, kehadiran dan pengembanan Filsafat Ilmu sebagai disiplin kefilsafatan yang
mandiri dalam lingkungan pengembanan Epistemologi, disebabkan oleh perkembangan
ilmu, khususnya Ilmu-ilmu Alam, yang sangat cepat dan dampaknya yang besar terhadap
kehidupan manusia. Perubahan-perubahan kemasyarakat an yang fundamental dan meluas
sert a cepat, yang berkait an erat dengan perkembangan ilmu dan t eknologi dalam berbagai
bidang, telah memunculkan berbagai masalah dan krisis kemasyarakat an dan menyebabkan
sejumlah ilmuwan dan filsuf memberikan perhat ian khusus pada ilmu dari sisi kefilsafat an.
Perhat ian khusus unt uk melakukan refleksi mendasar t erhadap ilmu dan dampak kema-
syarakat annya ini memunculkan Filsafat Ilmu sebagai disiplin kefilsafat an mandiri dengan
t oko h-t okoh dan aliran-alirannya. Tiap aliran memunculkan Ajaran Ilmu
(wetenschapsleer), yakni t eori yang memuat rumusan tent ang syarat-syarat yang harus
dipenuhi sebuah t eori atau kegiatan intelekt ual unt uk dapat dikualifikasi sebagai ilmu atau
bersifat ilmiah. Dalam tulisan ini hanya akan dipaparkan dalam garis besar beberapa aliran
pent ing yang dewasa ini berpengaruh.

a. Positivisme Logikal
Po sitivisme Lo gikal adalah aliran filsafat yang dikembangkan o leh kelompo k
ilmuwan dan filsuf yang menamakan diri Der Wiener Kreis. Pada t ahun 1922 Mo rit z
Schlick, seo rang sarjana Fisika, diangkat menjadi gurubesar Filsafat Ilmu-ilmu Induktif di
Wina. At as inisiat ifnya, pada t ahun 1925 terbentuk kelompok diskusi di Wina yang
beranggot akan sejumlah ilmuwan dan filsuf, yang kemudian dikenal sebagai Der Wiener
Kreis. Di ant aranya yang t erkenal di samping Schlick adalah: logikus Rudo lf Carnap,
mat ematikus Philipp Frank, histo rikus Vikt or Kraft , filsuf Herbert Feigl dan Friedrich
Waismann. Kelompok ini secara t erat ur bertemu dan bertukar pikiran tentang makna ilmu
dan kemungkinan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan kemasyarakat an yang lebih
baik. Berdasarkan kesamaan wawasan kefilsafatan yang dit umbuhkan dalam pert e-
muan-pert emuan it u, Rudo lf Carnap, mat ematikus Hans Hahn dan sosiolog Ot to Neurat h
merumuskan dan menerbitkan sebuah risalah berjudul "WISSENSCHAFTLICHE
WELTAUFFASSUNG. Der Wiener Kreis." (Pandangan ilmiah t entang dunia. Lingkaran
Wina)
Aliran ini berkeyakinan bahwa hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan
yang sah, dan bahwa penget ahuan ilmiah itu harus bersifat empirikal. Artinya, hanya
pengetahuan empirik, dengan kat a lain, hanya kenyataan yang dapat diobservasi

1 H. Kon in gsveld, Het Verschijnsel Wetenschap, Boom, Meppel, 1984.

1
2

pancaindera yang dapat menjadi objek ilmu. Pengetahuan t entang hal lainnya tidak
objekt if, dan karena it u t idak dapat diuji kepastian kebenarannya. Sebagai sarana penguji
kebenaran penget ahuan ilmiah, mereka mengajukan asas verifikasi. Berdasarkan asas ini,
putusan ilmiah adalah benar hanya jika put usan itu dapat diverifikasi secara empirikal,
yakni dapat diuji pada kenyataan yang dapat diobservasi. Met ode unt uk mempero leh
pengetahuan ilmiah adalah met ode empirik yang pada int inya adalah induksi. Met ode
induksi adalah cara memperoleh penget ahuan dengan jalan bert olak dari (sejumlah) dat a
t erberi khusus lewat generalisasi sampai pada putusan atau dalil umum. Jadi berdasarkan
fakt a yang tero bservasi menarik kesimpulan umum dan kemudian dengan menggunakan
bahasa yang secara logikal konsist en mengkonstruksi t eo ri ilmiah berkenaan dengan objek
yang dit eliti. Produknya yang berupa t eori ilmiah sekaligus juga merupakan hipot esis yang
dapat diuji kembali dengan kenyat aan. Dengan cara demikian maka produk kegiat an ilmiah
itu menjadi t erbuka bagi pengujian secara objekt if o leh siapa pun. Dengan sendirinya,
t ent ang kebenaran, aliran Posit ivisme Logikal ini menganut Teori Korespo ndensi yang
menyatakan bahwa kebenaran adalah kesesuaian ant ara put usan atau pro posisi dan dunia
kenyat aan yang diungkapkan dalam propo sisi t ersebut . Jadi, putusan atau t eo ri ilmiah
adalah benar jika persis mencerminkan dunia kenyat aan sebagaimana adanya.

b. Rasionalisme Kritikal
To koh terpent ing aliran Rasio nalisme Krit ikal adalah Karl Raimund Po pper.
Bukunya yang terkenal adalah THE LOGIC OF SCIENTIFIC DISCOVERY yang terbit
pada t ahun 1959, dan merupakan t erjemahan dari LOGIK DER FORSCHUNG (Logika
penelit ian) yang t erbit pada tahun 1934. Garis besar po kok pikiran pandangan aliran ini
t ent ang ilmu adalah sebagai berikut.
Pengetahuan ilmiah harus objektif dan t eoret ikal, dan pada analisis t erakhir
merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Dengan demikian, aliran ini juga
menganut Teori Korespo ndensi tent ang kebenaran. Namun, bagi aliran ini, put usan ilmiah
yang sesuai dengan kenyat aan yang teramat i hanya menghasilkan pengetahuan yang
mungkin benar (pro babel), dan karena it u hanya dipandang benar sampai dibuktikan
sebaliknya. Terkait pada pandangan ini, aliran ini meno lak met ode induksi sebagai met ode
ilmiah unt uk memperoleh pengetahuan, karena kesimpulan umum yang dihasilkan induksi
pada dasarnya bert umpu pada premis-premis part ikular sehingga kesimpulannya lebih luas
ketimbang premis-premis yang mendukungnya.
Met ode ilmiah yang tepat menurut aliran ini adalah met ode deduksi, yakni
berdasarkan dalil umum menarik kesimpulan berupa putusan khusus (proposisi part ikular).
Putusan ilmiah harus merupakan penggambaran fakta yang tero bservasi, t et api
sesungguhnya orang hanya dapat sampai pada put usan ilmiah it u, jika sebelumnya orang
sudah merumuskan hipot esis umum, yang kemudian diuji dengan fakta t erobservasi yang
ko nkret . Jadi, seorang ilmuwan dalam menjalankan kegiatan ilmiahnya tidak memulai
dengan secara indukt if mengumpulkan dan menata fakta ko nkret yang dihasilkan dengan
observasi, melainkan memulai kegiat annya dengan menet apkan hipot esisnya untuk
kemudian secara dedukt if diuji dengan fakt a yang dihasilkan lewat observasi, agar dengan
cara demikian t erbentuk sebuah teori ilmiah yang obyekt if. Hipot esis it u berfungsi seperti
lampu pencari (searchlight) yang disorot kan pada fakta yang dapat dio bservasi.

2
3

Pembentukan hipot esis itu pada umumnya berakar dalam pandangan intersubjekt if para
ilmuwan bidang yang bersangkutan, namun mengandung juga sudut pandang pribadi
penelit i pembentuk hipot esis itu. Sebab, pada pelaksanaan penelitian, hipot esis it u akan
disoro tkan pada apa yang bagi peneliti merupakan aspek-aspek yang relevan dari
kenyat aan yang menjadi sasaran penelit ian. Sesudah melakukan pengujian dengan
memerankan hipo tesis sebagai lampu pencari, ilmuwan dapat sampai pada put usan ilmiah
yang dapat dipandang sebagai pro babel benar, sampai kenyat aan membuktikan bahwa
ihwalnya t idaklah demikian.
Terkait pada peno lakan t erhadap met ode induksi, juga asas verifikasi sebagai
kriteria penguji kebenaran dipandang tidak memadai untuk membenarkan suat u t eo ri
ilmiah. Sebab, putusan-put usan yang t erbentuk melalui induksi pada dasarnya t idak dapat
mengklaim kebenaran yang past i. Sebab, tidak mungkin semua dat a konkret yang
diperlukan untuk menggeneralisasi dijadikan o bjek penelit ian empirik, sehingga kesimpulan
yang t erbentuk melalui generalisasi t idak akan pernah pasti benar, paling jauh hanya sangat
mungkin benar (probabel). Sehubungan dengan it u, sebagai gant inya, maka aliran
Rasionalisme Krit ikal mengajukan asas f alsifikasi sebagai krit eria penguji untuk
mengontrol put usan-putusan ilmiah. Proses falsikasi ini dilakukan dengan jalan
menyo rot kan kembali “searchlight” hipot esis unt uk mencari fakta yang menyangkal hipo-
t esis t ersebut . Misalnya, berdasarkan pengamat an di seluruh Eropa, Amerika dan Asia
dirumuskan hipot esis yang berbunyi "semua angsa putih". Hipot esis ini harus dipandang
benar selama belum dit emukan angsa yang tidak put ih. Kemudian di Australia ditemukan
angsa hitam. Dengan penemuan angsa hitam it u, maka hipo tesis "semua angsa put ih" harus
dit olak (dinyatakan salah) at au disempurnakan jika masih memungkinkan, misalnya dengan
merumuskan hipot esis yang berbunyi "angsa itu ada yang putih dan ada yang hitam".
Berdasarkan fakt a yang t erobservasi, putusan yang ini pun adalah benar untuk sement ara.
Jika sebuah hipot esis mampu bert ahan terhadap falsifikasi, maka hipot esis tersebut dapat
dipandang mampu memberikan penget ahuan yang dapat diterima. Penemuan fakt a yang
mendukung hipotesis berart i mengkoroborasi (menguatkan) hipot esis t ersebut . Selama
belum t erfalsifikasi, art inya selama belum ditemukan fakt a yang menyangkal hipot esis yang
bersangkutan, maka pengetahuan yang dihasilkannya harus dipandang sebagai benar untuk
sementara. Dalam pandangan aliran ini, put usan-putusan ilmiah it u selalu berkenaan
dengan gejala alam.
Berdasarkan jalan pikiran yang dipaparkan di at as, maka menurut aliran
Rasionalisme Krit ikal, putusan ilmiah harus memenuhi syarat -syarat berikut :
(1) putusan ilmiah harus dapat diuji secara empirikal.
(2) t eori ilmiah harus t ersusun secara logikal-ko nsisten.
(3) putusan (pro posisi) ilmiah harus sebanyak mungkin dapat difalsifikasi, artinya
rumusannya secara prinsip harus memungkinkan unt uk difalsifikasi. Jika putusan
ilmiah it u mampu bert ahan terhadap usaha-usaha falsifikasi, maka dapat dikat akan
bahwa t elah t erbent uk putusan ilmiah obyektif yang benar unt uk sementara wakt u.

c. Teori Paradigma Thomas Kuhn.

3
4

Thomas Kuhn adalah seo rang sejarahwan dan sosio lo g ilmu. Karya ut amanya
adalah THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTIONS yang t erbit pada t ahun
1962. Edisi kedua buku t ersebut yang terbit t ahun 1970 dilengkapi dengan Postscript yang
memuat mo difikasi pandangannya serta t anggapan t erhadap kritik. Berbeda dari Popper
yang mendekat i pengert ian ilmu secara int ernal, Kuhn mendekati ilmu secara ekst ernal
sebagai penulis sejarah dan so siolog. Dalam buku tersebut di at as, Kuhn mengemukakan
pandangan tent ang ilmu yang berputar sekit ar lima ist ilah atau konsep kunci, yakni
paradigma, revolusi ilmiah, pra-paradigmatik, ilmu no rmal dan anomali.
Kuhn membedakan adanya dua t ahap at au perio de dalam set iap ilmu, yakni periode
pra-paradigmat ik dan periode ilmu normal (normal science). Pada periode pra-
paradigmatik, pengumpulan fakta at au kegiatan penelitian dalam bidang t ertent u
berlangsung dengan cara yang hampir dapat dikat akan t anpa mengacu pada perencanaan
at au kerangka teoretikal yang diterima umum, atau unt uk meminjam kata-kata David
Oldroyd, "f acts are gathered, almost randomly, without ref erence to any accepted plan or
theoretical structure."2 Pada tahap pra-paradigmatik ini, terdapat sejumlah aliran pikiran
yang saling bersaing, t et api t idak ada satu pun aliran yang mempero leh penerimaan secara
umum. Namun, perlahan-lahan, salah satu sist em teoret ikal mulai memperoleh penerimaan
secara umum, dan dengan it u paradigma pert ama sebuah disiplin t erbent uk. Dengan
t erbentuknya paradigma it u, kegiatan ilmiah dalam sebuah disiplin memasuki periode ilmu
no rmal at au sain no rmal (normal science).
Yang dimaksud Kuhn "ilmu normal" adalah kegiat an penelit ian yang secara t eguh
berdasarkan sat u at au lebih pencapaian ilmiah (scientific achievements) di masa lalu, yakni
pencapaian-pencapaian yang o leh komunitas at au masyarakat ilmiah bidang t ertent u pada
suat u masa dinyat akan sebagai pemberi landasan untuk prakt ek selanjut nya. Selanjutnya ia
mengemukakan bahwa ilmu no rmal memiliki dua ciri esensial, yakni :
(1) pencapaian ilmiah it u cukup baru sehingga mampu menarik para pemraktek ilmu
dari berbagai cara lain dalam menjalankan kegiatan ilmiah; maksudnya, dihadapkan
pada berbagai alternat if cara menjalankan kegiat an ilmiah, sebagian besar pemraktek
ilmu cenderung memilih unt uk mengacu pada pencapaian it u dalam menjalakan
kegiatan ilmiah mereka.
(2) pencapaian itu cukup terbuka sehingga masih terdapat berbagai masalah yang
memerlukan penyelesaian o leh pemraktek ilmu dengan mengacu pada
pencapaian-pencapaian itu.

Kuhn menunjuk dua ciri esensial yang disebut di atas sebagai paradigma. Kuhn
t idak memberikan definisi yang formal dan eksak tent ang istilah "paradigma" itu, meskipun
sesungguhnya ist ilah itu merupakan ist ilah-kunci dalam pandangannya t entang ilmu.
Namun, dari berbagai penggunaannya yang tersebar dalam pada berbagai t empat dalam
bukunya itu, yang menurut Margaret Masterman tidak kurang dari dua puluh sat u3, dapat
disimpulkan bahwa ist ilah "paradigma" yang dimaksud oleh Kuhn mencakup hal berikut
ini:

2 David Oldroyd, THE ARCH OF KNOWLEDGE, 1986: 320.


3 Disebut oleh Kuhn sen diri dalam Postscr ipt pada bukun ya, 1970: 181.

4
5

* model yang berdasarkannya muncul sejumlah t radisi penelit ian ilmiah t ertent u yang
t erpadu (koheren).
* pencapaian (hasil-hasil) ilmiah yang diakui secara universal yang unt uk suat u masa
t ertent u menawarkan model, masalah dan so lusi kepada komunit as pemraktek.
* hampir merupakan pandangan dunia, yakni cara memandang dunia melalui kacamat a
yang disediakan o leh cabang ilmu t ertent u.
* t erdiri at as sejumlah t eori dan teknik khusus yang sesuai bagi pemecahan
masalah-masalah penelitian dalam wilayah penelit ian t ertent u.
* perpaduan t eo ri dan metode yang bersama-sama mewujudkan sesuatu yang
mendekat i suat u pandangan dunia.
* mat riks disipliner, yakni keseluruhan konst elasi sejumlah keyakinan, generalisasi
simbolik, model, nilai, komitmen, t eknik, dan eksemplar yang dianut dan memper-
sat ukan para anggo ta komunit as ilmiah t ertent u.
* eksemplar, yakni penyelesaian (solusi) t eka-teki atau masalah ilmiah yang digunakan
sebagai model at au co nt oh, dan yang dapat menggantikan at uran eksplisit sebagai
landasan untuk solusi teka-t eki lainnya dari ilmu normal; eksemplar ini dihasilkan
oleh penelit ian yang sukses yang kemudian digunakan o leh para pemrakt ek sebagai
model.
Jadi, dengan penggunaan ist ilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjuk pada
sejumlah conto h praktek ilmiah akt ual yang dit erima at au diakui dalam lingkungan
ko munit as ilmiah, menyajikan mo del-model yang berdasarkannya lahir t radisi penelit ian
ilmiah yang terpadu (koheren). Co nt oh praktek ilmiah itu mencakup dalil, teori, penerapan
dan inst rument asi. Dengan demikian, para ilmuwan yang penelit iannya didasarkan pada
paradigma yang sama, pada dasarnya t erikat pada at uran dan st andar yang sama dalam
mengemban ilmunya. Ket erikat an pada at uran dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya
ilmu normal. Jadi, secara umum dapat dikat akan bahwa paradigma it u adalah cara pandang
at au kerangka berpikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diint erpret asi dan dipahami.
Paradigma menet apkan krit eria unt uk memilih masalah yang dapat diasumsikan
mempunyai solusi. Hanya masalah yang memenuhi krit eria yang diderivasi dari paradigma
saja yang dapat disebut masalah ilmiah, yang layak digarap oleh ilmuwan. Dengan
demikian, maka paradigma menjadi sumber ket erpaduan bagi t radisi penelit ian yang
no rmal. Aturan penelit ian diderivasi dari paradigma. Namun, menurut Kuhn, t anpa adanya
at uran ini, paradigma saja sudah cukup untuk membimbing penelit ian. Jadi, ilmu normal
sebenarnya tidak t erlalu memerlukan at uran at au met ode yang standar (yang disepakati
oleh komunit as ilmiah). Tanpa aturan dan meto de yang baku, ilmu no rmal dapat berjalan.
Ini berart i bahwa tiap ilmuwan dapat mencipt akan at uran dan meto de penelitian dan
pengkajian sendiri sesuai dengan keperluannya, sepanjang at uran dan met ode ini diderivasi
dari paradigma yang berlaku. Tet api, jika paradigmanya belum mapan, maka perangkat
at uran akan diperlukan at au menjadi penting.
Ilmu normal bekerja berdasarkan paradigma yang dianut at au yang berlaku. Karena
itu, pada dasarnya penelit ian normal t idak dimaksudkan untuk pembaharuan besar,
melainkan hanya untuk mengart ikulasi paradigma it u.4 Kegiat an ilmiah ilmu normal hanya

4 Kuhn, 1970: 35.

5
6

bert ujuan unt uk menambah lingkup dan presisi pada bidang-bidang yang t erhadapnya
paradigma dapat diaplikasikan. Karena itu, penelitian yang dijalankan oleh para pemraktek
ilmu normal dapat dikatakan sebagai "an attempt to force nature into the pref ormed and
relatively inf lexible box that the paradigm supplies".5 Jadi, ilmu normal adalah jenis
kegiat an ilmiah yang sangat rest rikt if. Keuntungannya adalah bahwa kegiat an ilmiah yang
demikian itu dapat sangat mendalam dan cermat .
Dalam kerangka ilmu normal, para ilmuwan biasanya bekerja dalam kerangka
seperangkat at uran yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam
bidang t ertent u, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diant isipasi t erlebih dahulu.
Karena it u, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu no rmal adalah sepert i kegiatan
"puzzle-solving".6 Implikasinya adalah bahwa kegagalan menghasilkan suat u solusi t erha-
dap masalah t ertent u lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat
dari masalah yang bersangkutan at au meto de yang digunakan.
Walaupun ilmu no rmal it u adalah kegiatan kumulatif (menambah penget ahuan)
dalam bidang yang bat as-bat asnya dit entukan oleh paradigma tert entu, namun dalam
perjalanan kegiat annya dapat menimbulkan hasil yang tidak diharapkan. Maksudnya,
dalam kegiatan ilmiah it u dapat t imbul penyimpangan, yang oleh Kuhn disebut anomali.
Terbawa oleh sifatnya sendiri, yakni oleh batas-batas yang dit et apkan oleh paradigma, ilmu
no rmal akan mendo rong para ilmuwan pemrakt eknya menyadari adanya ano mali, yakni hal
baru atau pertanyaan yang t idak t er-"cover" at au t erliputi oleh kerangka paradigma yang
bersangkutan, yang t idak t erantisipasi berdasarkan paradigma yang menjadi acuan kegiatan
ilmiah. Adanya ano mali ini merupakan prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya dapat
mengakibat kan perubahan paradigma.
Unt uk mengenali dan mengakui adanya ano mali, sering diperlukan wakt u yang
lama. Dan, biasanya t erjadi resist ensi terhadap ano mali itu. Jika penemuan baru dapat
menangani ano mali t ert ent u, maka akan t erjadi penyesuaian kecil pada paradigma.
Penyesuaian yang demikian itu biasanya hanya mempengaruhi sekelompok spesialis yang
bekerja dalam bidang khusus t ertent u t empat pert ama kali ditemukannya ano mali it u.
Tetapi, dari waktu ke waktu sejumlah anomali t erjadi dalam lingkungan ilmu normal
t ertent u yang mencipt akan semacam krisis, sedemikian rupa sehingga kegiatan
"puzzle-solving" biasa tidak dapat dijalankan. Hal ini dapat membawa akibat yang besar
t erhadap ko munit as ilmiah yang bersangkutan. Adanya ano mali dan krisis itu kemudian
menyebabkan sikap para ilmuwan t erhadap paradigma yang berlaku berubah, dan sesuai
dengan it u sifat penelit ian mereka juga berubah. Kesemuanya itu adalah "symptoms of a
transition f rom normal to extraordinary research".7 "Extraordinary research" ini
mencipt akan pentas bagi kemungkinan berlangsungnya suatu revo lusi ilmiah (scientif ic
revolution), suat u "gestalt-swicht" yang menimbulkan suat u paradigma baru dan
"pergulatan" berkenaan dengan aksept abilitasnya.
Jika paradigma baru itu dit erima o leh ko munitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa
paradigma t erdahulu dito lak at au dit inggalkan. Paradigma yang baru akan diterima sebagai

5 Kuhn, 1970: 24.


6 Kuhn, 1970: 35-42.
7 Kuhn, 1970: 90-91.

6
7

pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu memberikan penyelesaian terhadap
anomali yang ditemukan dan t idak t erselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki
lebih banyak presisi kuant it at if dan dapat meramalkan feno mena baru, memiliki kualitas
est et ika t ertent u, at au didukung o leh sejumlah anggot a komunit as yang berpengaruh.
Dengan dit erimanya paradigma baru berarti t erbent uk ilmu normal baru yang akan
berkembang sampai terjadi lagi revo lusi ilmiah. Demikianlah, dalam dinamika kegiatan
ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkat an anomali yang penyelesaiannya
menyimpang dari paradigma yang berlaku. Dalam perkembangannya, anomali dan
penyelesaiannya mulai dipandang sebagai eksemplar baru. Telaah t erhadap eksemplar baru
ini mempunyai dampak umpan-balik (feedback ef f ect) terhadap kerangka int erpretasi
paradigmatik. Asimilasi teori baru yang dit imbulkannya memerlukan rekonst ruksi t eo ri
sebelumnya dan evaluasi ulang t erhadap fakt a sebelumnya, dan dengan itu t erjadilah
"paradigm shif ts" (revolusi ilmiah).
Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah.
Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkut an. Beberapa masalah
dinyat akan sebagai masalah yang t ermasuk dalam disiplin lain at au dinyatakan bukan
masalah ilmiah lagi. Yang tadinya dianggap bukan masalah at au hanya masalah kecil, kini
menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menent ukan keabsahan masalah dan
keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikat akan
bahwa perubahan paradigma it u membawa transformasi dalam "the scientif ic
imagination", dan dengan itu juga terjadi "transformation of the world".

d. Hermeneutik.8
Semua ajaran-ilmu yang dikemukakan di atas mengacu pada Ilmu Alam sebagai
modelnya. Hanya dengan analogi dan berbagai adaptasi saja ajaran-ajaran ilmu it u dapat
diaplikasikan pada Ilmu-ilmu Manusia. Misalnya, Hans Albert (ERKENNTNIS UND
RECHT)) dan A.H. de Wild (DE RATIONALITEIT VAN HET RECHTERLIJK
OORDEEL) mencoba menerapkan t eori Popper dalam bidang hukum. Berbeda dari
aliran-aliran itu, Aliran Hermeneut ik secara khusus memberikan perhat ian at au lebih
t erkait pada Ilmu-ilmu Manusia.
Perkat aan hermeneutik berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kat a-kerja
"hermeneuein" yang berart i "menafsirkan" at au "mengint erpret asi" dan kata-benda
"hermeneia" yang berart i "penafsiran" at au "int erpret asi".9 Demikianlah, perkat aan
Yunani "hermeneutike techne" berart i seni atau kemahiran seo rang seniman (rhapsode)
yang mengint erpret asi puisi dan pendeta yang mengint erpret asi ungkapan-orakel dewa.
Pada permulaan, Hermeneut ik dikembangkan sebagai meto de at au seni untuk menafsirkan
dalam upaya memahami naskah (t eks) kuno. Kemudiam lewat karya Schleiermacher,
Wilhelm Dilt hy mengembangkan dan menggunakan Hermeneut ik sebagai met ode untuk
Ilmu-ilmu Manusia, khususnya Ilmu Sejarah. Dan akhirnya, lewat karya Hegel dan karya
Heidegger, Hans-Geo rg Gadamer mengembangkan Hermeneut ik sebagai landasan

8 Ekspose r ingkas tentan g Hermeneutik dalam bah asa In donesia: W. Poespopr odjo, INTERPRETASI,
Ban dung, 1987. E. Sumar yono, HERMENEUTIK. Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, 1993.
9 E. Sumar yono, HERMENEUTIK. Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, 1993: 23.

7
8

kefilsafatan Ilmu-ilmu Manusia dalam bukunya "WAHRHEIT UND METHODE" yang


t erbit pada tahun 1960. Dalam bukunya t ersebut , Gadamer menyisihkan paragraf khusus
yang memaparkan Ilmu Hukum Do gmatik at au Hermeneutika Yuridis sebagai salah sat u
eksemplar cara kerja Hermeneut ik, yakni dalam sebuah paragraf dengan judul "The
exemplary signif icance of legal hermeneutics" (Die exemplarische Bedeutung der
juristischen Hermeneutik).
Dalam karya Heidegger dan karya Gadamer (dan juga Paul Rico eur), Hermeneut ik
sebagai met ode dikembangkan menjadi Filsafat Hermeneut ik, yang berintikan
ko nsep-konsep kunci berikut: pendidikan (Bildung), tradisi (Überlief erung), prasangka
(Vorurteil), pemahaman (Verstehen), lingkaran hermeneutik (hermeneutische Zirkel),
pengalaman (Erf ahrung), sejarah pengaruh (Wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah
pengaruh (wirkungsgeschichtliches Bewusstsein), perpaduan cakrawala (Horizontver-
schmelzung).
Filsafat Hermeneutik adalah filsafat t entang hal mengerti at au memahami
(Verstehen). Yang dipermasalahkan dalam filsafat ini bukanlah bagaimana orang harus
memahami, jadi bukan ajaran seni at au ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika
orang memahami at au mengint erpretasi. Karena itu yang dibahas Gadamer dalam bukunya
WAHRHEIT UND METHODE adalah syarat -syarat kemungkinan bagi semua
pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyat aan, t ermasuk peristiwa mengert i dan
int erpret asi. Bagi Gadamer, pemahaman pada dasarnya sama dengan int erpretasi
(Auslegung), jadi memahami sesuatu adalah mengint erpret asi sesuat u, dan sebaliknya. Hal
memahami dan mengint erpret asi it u, dalam pandangan Filsafat Hermeneutik ini, adalah
aspek hakiki keberadaan manusia yang bercirikan pengajuan kemungkinan-kemungkinan,
keterikatan pada apa yang sudah ada yang tidak dapat dilampaui, dan hist orisitas yang
t idak dapat dikendalikan lewat pengobyekt ivan. Keberadaan manusia (Dasein) secara
hakiki dit andai o leh ket erbat asan dan keberhinggaan. Berkait an dengan hal ini, maka
manusia juga merupakan realit as yang menyejarah, yang dit entukan dan menent ukan
(mewarnai) sejarah. Sebagai filsafat t entang hal memahami, Filsafat Hermeneut ik berke-
naan dengan semua hal yang memiliki makna, sejauh hal t ersebut dapat diungkapkan
dalam bahasa dan dapat dimengert i. Jadi, obyek refleksinya mencakup bahasa manusia,
bahasa alam, bahasa seni, dan bahasa hal-hal pada umumnya. Dengan demikian,
pemahaman dalam Hermeneut ik tidak terbatas hanya pada tindakan intensio nal, melainkan
juga mencakup hal-hal yang t idak dimaksud atau diinginkan o leh siapa pun, mencakup
t ujuan manifes dan tujuan lat en.
Pandangan Gadamer, dari sudut t ertent u, dapat dipandang bert olak dari o nt ologi
Heidegger tent ang hal ada. Heidegger, dalam SEIN UND ZEIT (1927), berpendapat
bahwa hal memahami (Verstehen) adalah cara hakiki manusia (yang disebut nya Dasein)
berada, sikap dasar t iap keberadaan manusia. Baginya, Dasein adalah selalu "verstehende
Dasein" (pengada yang memahami). Keberadaan manusia berbeda dari keberadaan hal lain
yang bukan manusia (benda, binat ang, t anaman), yang disebutnya Vorhandensein. Ciri
khas manusia adalah keberadaannya sebagai eksistensi yang selalu berada "in der Welt sein
mit einander", yakni yang keluar dari dirinya sendiri unt uk menghadapi dan melibat kan
dirinya di atau ke dalam dunia, dan dengan itu mewujudkan dirinya di dunia. Karena it u,
Dasein atau manusia adalah sebuah kemungkinan (Moglichkeit), sebuah rancangan

8
9

(Entwurf), sebuah proyek, yang ment ransendensi dirinya. Manusia itu, selain berada pada
masa kini, juga mempunyai masa lampau dan masa depan. Bagi manusia, masa lampau it u
hadir dalam keberadaannya sebagai suat u fakt isitas (Geworfenheit, keterlemparan) yang
t idak dapat dielakkan at au dit iadakan. Keberadaannya manusia it u seo lah-olah t erlempar
(geworf en) ke dalam dunia, ke dalam suatu t radisi yang terbent uk o leh dan dalam sejarah
objekt if, yang t idak t ergantung pada kehendaknya. Sebaliknya, manusia juga mempunyai
masa depan. Dari keterikatannya pada masa lampau, manusia merancang (membuat
proyek) masa depannya, yakni menggunakan kemungkinan-kemungkinan berupa t radisi
yang sebagai produk masa lampau t ersedia baginya. Jadi, secara hakiki keberadaan
manusia it u merupakan suatu ket erarahan ke dunia yang manifestasinya berupa keterkaitan
pada dunia secara akt if. Dengan demikian, keberadaan manusia it u adalah suat u
keterbukaan (Erschlossenheit), yakni mengarah ke dunia dan ke masa depan dengan
berbagai kemungkinannya. Ket erbukaan Dasein it u t erwujud oleh t iga unsur (mo men)
ko nstitutif, yakni Bef indlichkeit (Stimmung, suasana), Rede (akal) dan Verstehen
(pemahaman).10
"Bef indlichkeit" menunjuk pada suasana yang memberikan informasi kepada
Dasein tent ang posisinya dit engah-t engah benda-benda. Pert ama-t ama t ent ang
keberadaannya, bahwa keberadaanya itu bukan hasil pilihan bebasnya (Geworf enheit),
namun yang harus diwujudkannya sebagai t ugas; dan, selain it u, tent ang berbagai ciri khas
dari yang berada (Seienden) yang memperlihat kan diri dalam dunia dari Dasein, seperti
kekhawat iran atau keprihatinan (Sorge) dan kebahagiaan. Dengan bantuan Rede sebagai
landasannya, yang di at asnya Bef indlichkeit dan Verstehen bert umpu, maka Dasein it u
memiliki kemungkinan unt uk menat a dan menyusun menurut t ingkatan, membat asi,
menst rukt urisasi. Unsur ket iga dari keterbukaan Dasein adalah Verstehen yang
mengungkapkan cara khas keberadaan manusia (Seinsart des Dasein) sebagai
kemungkinan (Seinskonnen).
Verstehen menguak kemungkinan-kemungkinan, dan karena it u memiliki sifat
sebagai sebuah rancangan (Entwurf ). Hal merancang ini memiliki landasan, suat u
pra-keterberian (Vorgegebenheit), yakni Bef indlichkeit. Keterkaitan pada Bef indlichkeit
ini menyebabkan sifat merancang Verstehen selalu harus bert olak dari situasinya sendiri,
dan dalam ko nt eks ini terbuka kemungkinan perwujudan dari yang berada. Bagi
Heiddeger, Verstehen mendahului int erpret asi. Int erpret asi merupakan pengejawantahan
at au penggarapan kemungkinan-kemungkinan yang dirancang dalam Verstehen, dan dalam
art i it u merupakan pengembangan pemahaman yang asali (Auslegung des ursprungliche
Verstehens). Dalam int erpret asi, pemahaman sesuat u sebagai sesuat u dibuat menjadi
eksplisit . Interpretasi memiliki prast rukt ur di dalam pemahaman, yakni Vorhabe (apa yang
sudah dimiliki sebelumnya), Vorsicht (apa yang sudah dilihat sebelumnya) Vorgriff (apa
yang sudah dit angkap sebelumnya). Adanya prast rukt ur ini memungkinkan, dan dengan
demikian merupakan prasyarat bagi, pemahaman dan interpretasi.11

10 H.G. Gadamer , TRUTH AND METHOD (ter jemahan), London , 1975: 235 dst. J.B.M. Vr an ken,
KRITIEK EN METHODE IN DE RECHTSVINDING, Deventer, 1978: 23-26. Lihat juga K. Ber tens,
FILSAFAT BARAT DALAM ABAD XX, Jakar ta, 1981: 227-232.
11 Op.cit 245 dst.

9
10

Dalam pandangan Filsafat Hermeneutik, proses pemahaman berlangsung dalam


suat u gerakan bolak-balik antara bagian dan keseluruhan hingga mencapai konsumasi
dengan t erbentuknya pemahaman secara utuh. Lingkaran pemahaman (circle of
understanding) ini disebut lingkaran hermeneutis. Di sini berlangsung hubungan
bo lak-balik antara bagian dan keseluruhan, yang di dalamnya bagian hanya dapat dipahami
dalam ko nt eks pemahaman t erhadap keseluruhan yang mengandaikan (mensyaratkan)
pemahaman t erhadap bagian-bagian. Demikianlah, unt uk dapat membaca dan memahami
dengan baik sebuah t eks orang harus t erlebih dahulu memahami keseluruhan t eks it u untuk
dapat menginterpretasi dengan baik t iap kalimat yang mewujudkan keseluruhan it u t adi,
namun untuk dapat memahami keseluruhan it u maka t erlebih dahulu tiap kalimat harus
diint erpret asi dengan baik. Jadi, int erpret asi t erhadap kalimat pertama t erjadi dalam
kerangka "Vorentwurf" (pra-proyeksi at au pra-rancangan) t ent ang keseluruhan.
"Vorentwurf" tent ang keseluruhan ini t erbentuk oleh tradisi yang di dalamnya interpretator
sudah ada sebelum ia membaca t eks itu. Pra-pro yeksi at au berada dalam t radisi
menyebabkan bahwa subyek sejak dari permulaan sudah memiliki keakraban t ertent u
dengan teks itu. Tanpa keakraban it u, maka makna dari t eks akan hilang. Pada wakt u
membaca t eks, t erjadi konfront asi antara "Vorentwurf" dari pembaca t eks dan t eks it u
sendiri. Dalam konfront asi it u terbuka kemungkinan unt uk membersihkan
"Vormeinungen" (pra-pendapat) at au "Vorvertändnis" (pra-pemahaman) yang ada pada
int erpret at or, yang memunculkan "Entwurf" yang baru.
Gadamer12 memandang lingkaran hermeneutis it u mengungkapkan st rukt ur-
prasangka pemahaman manusia. Manusia t idak dapat memahami sesuat u dengan
mendekat i obyek pemahamannya sebagai tabula rasa. Dalam pro ses pemahaman tidak
t erdapat t itik nol Archimedes sebagai tit ik berangkatnya. Karena it u, o rang mau t idak mau
akan bert olak dari prasangka (Vorurteil at au Vorverstandnis) yang untuk sebagian tidak
disadari. Prasangka ini berfungsi sebagai hipot esis berupa pola ekspekt asi yang di
dalamnya interpretandum (obyek yang mau dipahami at au diint erpret asi) t ampil secara
khas dalam arti sudah diwarnai o leh prasangka.
Prasangka adalah putusan (pendapat) yang diberikan sebelum semua unsur yang
menentukan suat u sit uasi dit elaah secara t unt as. Bagi subyek, prasangka merupakan suat u
keterberian (Gegebenheit) yang diperoleh subyek dari t radisi, yang ke dalamnya subyek it u
t ermasuk, melalui pendidikan at au proses belajar dalam arti luas (Bildung), kepustakaan,
pergaulan dengan penggunaan inst itusi-instit usi yang t erbent uk dalam sejarah. Adanya
prasangka itu menyebabkan t erbent uknya cakrawala pandang, yakni medan pengamatan
(range of vision) yang memuat semua hal yang t ampak dari sebuah tit ik t ertent u (vantage
point). Konsep cakrawala ini bersifat t erbuka, sebab dalam dinamika pemahaman,
cakrawala ini dapat bergeser, dan pergeseran it u akan memunculkan aspek-aspek baru dari
hal-hal yang t ertangkap dalam cakrawala pandang, yang menyebabkan juga pengetahuan
yang dihasilkannya menjadi berbeda. Perkat an "pergeseran" di sini mencakup juga penger-
t ian melebar dan meluasnya jangkauan daya pandang.

12 H.G. Gadamer , ON THE CIRCLE OF UNDERSTANDING, dalam HERMENEUTICS VERSUS


SCIENCE?, ed. Joh n M. Conn oly an d Th omas Keutner, Indiana, 1988: 68-78.

10
11

Dalam proses pemahaman, maka sesuat u yang dipahami itu akan t ertempat kan
dalam cakrawala pandang subyek, dan dengan demikian akan dipandang dalam kerangka
prasangkanya (Vorverständnis) yang (akan) mewarnai sesuatu itu. Unt uk mempero leh
pemahaman yang benar, maka subyek harus t erbuka bagi apa yang "dikat akan" o leh
sesuat u yang mau dipahaminya at au oleh o rang lain berkenaan dengan sesuat u it u, yang
juga akan “mengatakannya” dalam kerangka cakrawalanya sendiri. Dengan demikian,
dalam pro ses pemahaman it u terjadi pert emuan dua cakrawala yang dapat menyebabkan
cakrawala subyek bergeser yang menghasilkan at au mengubah penget ahuan subyek.
Perjumpaan cakrawala yang menyebabkan pergeseran cakrawala it u disebut
"Horisontverschmelzung" (perpaduan cakrawala). Dalam dinamika perpaduan cakrawala
ini, prasangka-prasangka yang tidak disadari sebelumnya dapat muncul ke permukaan
sehingga t erbuka kemungkinan unt uk mengkajinya.
Kehidupan subyek selalu berlangsung dalam t radisi. Dalam pro ses memahami teks,
t erdapat t radisi yang mencakup subyek dan t eks it u. It u adalah persat uan yang ada ant ara
pembaca dan teks. Di lain pihak t erdapat konfront asi antara pembaca dan t eks. Jadi, t eks
itu juga sesuatu yang asing bagi pembaca. Keasingan yang dimiliki teks itu bagi pembaca
harus dipahami dalam perspekt if sejarah. Dalam perspekt if itu, keasingan t ersebut
disebabkan oleh jarak wakt u yang ada ant ara saat t eks itu dibuat dan mo men saat pembaca
membacanya. Jarak waktu it u memiliki daya pro duktif, yang memungkinkan pembaca
memahami teks itu dengan lebih baik. Masalahnya berkenaan dengan hal memberikan
makna pada t eks dari masa lampau dalam sit uasi masa kini (pada saat pembaca berusaha
memahaminya). Dalam penerapan (applicatio) t erjadi pembauran horizon yang
memungkinkan persamaan ant ara pembaca dan teks diafirmasi, dan keasingan dari t eks it u
menghilang ke dalam pemahaman baru. Hasilnya adalah perpaduan at au pembauran ant ara
cakrawala pembaca dan cakrawala dari t eks it u.
Diproyeksikan pada konsep ilmu, Filsafat Hermeneut ik memunculkan but ir-but ir
sepert i yang dikemukakan oleh Bruggink dalam bukunya "RECHTSREFLECTIES"13
sebagai berikut ini :
(a) Sehubungan dengan temat ik dalam Ilmu-ilmu Manusia, maka para ilmuwannya
dalam menjalankan karya ilmiahnya t idak mungkin menempat lan diri sebagai
pengamat belaka t erhadap kenyat aan. Dalam berbagai bidang Ilmu Manusia (seni,
teologi, filsafat, antropologi, so siologi, hukum) menuntut para ilmuwan untuk
membangun t eori-t eo ri ilmiahnya sebagai part isipan pada gejala-gejala yang
dipelajarinya. Pendekat annya harus pendekat an int ernal, yakni bert olak dari t it ik
berdiri int ernal. Pendekatan eksternal yang bert olak dari tit ik berdiri ekst ernal
sebagai pengamat adalah t idak mungkin, sebab gejala-gejala yang dipelajari tidak
dapat dikembalikan pada fakt a-fakta yang harus diuji secara empirik. Namun bagi
Ilmu-ilmu Manusia, pendekat an ekst ernal ini tetap pent ing sebagai suatu momen
dalam pendekatan int ernal, khususnya untuk (dalam bahasa Hermeneutik)
menghadirkan "t eks" bagi pendekat an int ernal.
(b) Relasi-int i dalam Ilmu-ilmu Manusia bukanlah relasi subyek-o byek, melainkan relasi
subyek-subyek. Kegiat an pengembanan ilmu dalam Ilmu-ilmu Manusia lebih

13 Br uggink, 1996: 206-210.

11
12

berkenaan dengan konfront asi pandangan-pandangan dari subyek-subyek yang


masing-masing memiliki pendapat unt uk diajukan tent ang masalah-masalah yang
sama. Dalam diskursus (wacana) itu para ilmuwan, masing-masing berdasarkan lat ar
belakangnya sendiri, berusaha mencapai suatu t it ik berdiri yang sama, yang dalam
bahasa Hermeneut ik disebut "Horisontverschmelzung". Melalui jangka wakt u yang
panjang, dalam ilmu-ilmu it u t erbentuk tradisi lengkap dengan perangkat
konsep-konsep dan dan sarana peristilahannya, yang dalam bahasa Kuhn disebut
paradigma, dan di dalam kerangka it u diskursus t entang berbagai temat ik selalu
ditampung dan dio lah. Tradisi ilmiah ini diperlukan untuk pengembanan dan
pengembangan ilmu. Sebab, meskipun t iap ilmuwan memiliki wawasan subyekt if
sendiri, namun karena masing-masing berpikir dan mengemukakan pandangannya
dengan bert olak dari dan berlangsung dalam kerangka t radisi ilmiah ini, maka
terbuka kemungkinan untuk selalu mencapai suat u tit ik-berdiri yang sama. Jika
belum tercapai, diskursus di ant ara para ilmuwan tent ang berbagai masalah yang
bersangkut an masih tetap dapat berlangsung.
(c) Karena orang hanya dapat mengemban ilmu dengan bert olak dari dan dalam
kerangka t radisi ilmu it u, maka para ilmuwan tidak mungkin tanpa prasangka pada
wakt u memulai melaksanakan penelitian dan karya ilmiah. Dalam kenyat aan
terdapat sejumlah besar prasangka yang sejak dari permulaan memberikan arah pada
berbagai kegiatan ilmiah. Namun, karena ist ilah "prasangka" menyandang konotasi
at au makna negat if, kini orang lebih suka menggunakan ist ilah "pra-pemahaman"
(pra-paham) at au "Vorverständnis".
(d) Dalam kenyat aan, penelit ian dijalankan oleh pribadi-pribadi at au kelompok-
kelompok individual, masing-masing dengan pengalaman dan gagasan-gagasan
sendiri. Teori ilmiah yang akan dihasilkan t erbentuk dalam pro ses t imbal-balik
ant ara po la-pola pikir yang dipra-pahami dari t radisi ilmiah dan masukan sendiri dari
para ilmuwan sebagai kont ribusi subyektifnya. Dalam bahasa Hermeneutik, pro ses
timbal-balik ini disebut lingkaran hermeneutis.
(e) Baik dalam Ilmu-ilmu Manusia maupun dalam Ilmu-ilmu Alam, ko nsensus dalam
lingkungan para ilmuwan dipandang pent ing dalam pengembanan ilmu. Bagi Popper
misalnya, yang pemikiran dan karya-karyanya mengacu pada Ilmu-ilmu Alam,
konsensus it u pent ing karena mewujudkan sumber inspirasi unt uk merumuskan
hipot esis (lampu pencari) oleh ilmuwan individual. Juga dalam ajaran-ilmu dari
lingkungan Ilmu-ilmu Alam t erdapat pergeseran dari berpikir dalam relasi
subyek-o byek ke berpikir dalam relasi subyek-subyek (misalnya pandangan Kuhn).

E. Rekapitulasi.
Sebagai rekapitulasi berkenaan dengan survai berbagai pandangan aliran filsafat
ilmu di atas, akan dikemukakan kesimpulan umum Van Peursen t entang pandangan
aliran-aliran t ersebut. Van Peursen14 menunjukkan adanya empat but ir kesamaan pandan-
gan di ant ara aliran-aliran itu. Pert ama, kontroverse antara Rasionalisme dan Empirisisme
dalam Epistemologi mempengaruhi perkembangan pemikiran t entang konsep ilmu.

14 C.A. van Peursen , FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN, Leiden, 1986: 35-37

12
13

Rasionalisme (Descartes, Leibniz) mengajarkan bahwa sumber penget ahuan yang


menjamin kepast ian dan o byekt ivit as adalah akal budi, sedangkan Empirisisme (Locke,
Hume) mengajarkan bahwa semua penget ahuan bert umpu pada pengamat an inderawi.
Pandangan modern berpendapat bahwa akal budi dan pancaindera t erjalin dalam pro ses
pembent ukan penget ahuan. Teori (pro duk akal budi) adalah sarana yang memberikan
bent uk dan penat aan pada fakt a (pro duk pancaindera), karena itu "fakt a telanjang" sesung-
guhnya tidak ada. Kedua, pandangan mo dern melet akkan t itik berat pada keterkaitan, pada
keseluruhan, sistem, st rukt ur dan "t eks". Ketiga, pandangan modern menganut pandangan
dinamis t entang ilmu, yakni bahwa kebenaran ilmu it u t idak bebas wakt u. Keempat,
pengakuan terhadap adanya tataran yang lebih dalam, yakni rasio nalitas ilmiah bert umpu
pada lapisan yang lebih dalam yang sering kali t ersebunyi, misalnya adanya cakrawala
pengetahuan, kesadaran t ent ang arah.

2. KONSTRUKSI ILMU
Ist ilah "ilmu" menyandang dua makna, yakni sebagai produk dan sebagai proses.
Sebagai pro duk, ilmu adalah penget ahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang
t ertent u dan tersusun dalam suat u sist em. Wim van Do oren15 mengemukakan bahwa
"ilmu" dapat didefinisikan sebagai: penget ahuan yang sah secara int ersubyekt if dalam
bidang kenyat aan t ert ent u yang bert umpu pada sat u at au lebih t itik t olak dan ditata secara
sistemat ikal. Pada definisi ini tampil tiga aspek pent ing, yakni tit ik to lak, bangunan
sistemat ikal dan keberlakuan int ersubyektif. Sebagai proses, ist ilah ilmu menunjuk pada
kegiat an akal budi manusia untuk mempero leh penget ahuan dalam bidang tert entu secara
bert at anan (stelselmatig) atau sist emat ikal dengan menggunakan seperangkat pengert ian
(konzsep) yang secara khusus diciptakan untuk itu, unt uk mengamat i dan mengkaji
gejala-gejala (ket erberian, gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya
berupa put usan-putusan yang keberlakuannya t erbuka unt uk dikaji oleh orang lain
berdasarkan krit eria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam
lingkungan komunitas sekeahlian dalam bidang yang bersangkut an. Dua makna ilmu yang
dikemukakan tadi menunjuk pada aspek-aspek (atau mungkin lebih t epat faset -faset ) dari
pengert ian ilmu. Kedua aspek t ersebut t ampak sekaligus dalam batasan pengertian ilmu
yang dikemukakan o leh C.A. van Peursen, yang sekaligus juga menampilkan fungsinya.
Peursen mengemukakan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah st rategi untuk
memperoleh penget ahuan yang dapat dipercaya t entang kenyataan, yang dijalankan orang
t erhadap (berkenaan dengan) kenyat aannya. Perkat aan "strat egi" dalam batasan pengert ian
t adi menunjuk pada cara kerja metodik-sist emat ikal dengan bersaranakan seperangkat
lambang dalam pengo lahan dan penjelasan gejala-gejala t erberi, serta penat aan
gejala-gejala t ersebut ke dalam sebuah sist em.16

15 Wim van Door en , VRAGENDERWIJS, Assen , 1981: 53.


16 C.A, van Peursen, WETENSCHAPPEN EN WERKELIJKHEID, Kampen , 1969: 1-3, 34-39. Lih at
juga kar ya Peursen lainn ya: STRATEGI KEBUDAYAAN (Jakarta, 1976), DE OPBOUW VAN DE
WETENSCHAP (Amster dam, 1984), FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN (lEIDEN, 1986);
FAKTA, NILAI, PERISTIWA (Jakar ta, 1990).

13
14

Menurut Harold Berman, keberadaan ilmu harus memenuhi tiga perangkat krit eria
berikut:17
a) Kriteria Met odologikal
Dalam perist ilahan meto dologi, ilmu dalam art i mo dern dapat didefinisikan sebagai:
- seperangkat penget ahuan yang t erint egrasi
- yang di dalamnya kejadian at au gejala khusus secara sistemat is dijelaskan
- dalam perist ilahan asas-asas dan kebenaran-kebenaran umum
- pengetahuan tent ang gejala. asas dan kebenaran umum (hukum) itu dipero leh
dengan ko mbinasi:
- observasi
- hipot esis-verifikasi
- sejauh dimungkinkan: eksperimen
- met ode ilmiah penelit ian dan sistemat isasi, meskipun memiliki ciri-ciri umum
yang sama, namun t idak sama unt uk semua ilmu, melainkan harus disesuaikan
pada jenis-jenis khas kejadian atau gejala yang menjadi pokok telaah ilmu yang
bersangkut an

b) Kriteria Nilai
Ilmu dalam kegiat annya harus mengacu premis-premis nilai :
- obyektivit as ilmiah
- bebas pamrih (disinterestedness)
- skeptisisme terorganisasi
- t oleransi t erhadap kekeliruan
- keterbukaan t erhadap kebenaran ilmiah baru

c) Kriteria So siologikal
c.1. pembent ukan ko munit as ilmuwan
Unsur ini berkaitan dengan masalah t anggung jawab ko lekt if berkenaan dengan
pelaksanaan penelitian, pelatihan/pendidikan anggot a baru, berbagi pengetahuan
ilmiah (publikasi), dan o tensit as pencapaian ilmiah di dalam dan di luar disiplin
c.2. penaut an berbagai disiplin ilmiah dalam ko munit as penst udi yang lebih luas,
khususnya universitas, yang para anggo tanya mengemban kepedulian yang sama
bagi kemajuan ilmu dan pendidikan orang muda dan menganut asumsi implisit
yang sama bahwa semua cabang pengetahuan pada akhirnya bertumpu pada
landasan yang sama
c.3. st at us so sial yang menyandang hak ist imewa komunitas para ilmuwan yang
mencakup:
- kebebasan pengajaran dan penelitian
- t anggung jawab memberikan pelayanan demi ilmu it u sendiri, metodenya,
nilai-nilai dan fungsi sosialnya.

17 Har old J. Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, Harvar d Law Review, Vol. 90,
n o. 5, 1977: 931. Juga dalam LAW AND REVOLUTION. The For mation of th e Wester n Legal
Tradition, Har var d Univer sity Pr ess, 1983: 151-159.

14
15

Berdasarkan definisi dan persyarat an sosio lo gikal keberadaannya yang dikemukakan di


at as, maka dapat dikat akan bahwa ist ilah "ilmu" menunjuk pada kegiatan int elekt ual yang
memiliki strukt ur yang unsur-unsurnya t erdiri at as :
a) pra-anggapan yang berfungsi sebagai titik t olak dan asas yang membimbing (guiding
principle)
b) bangunan sist ematis yang mencakup:
- meto de
- substansi: - pengert ian-pengert ian (ko nsep-ko nsep)
- teori-teori
c) keberlakuan int ersubyekt if.
d) t anggung-jawab etis.

3. JENIS-JENIS ILMU.
Sejak dimulainya refleksi kefilsafatan dan studi matemat ika di Yunani 2500 t ahun
yang lalu, yang kemudian melahirkan ilmu pertama pada Abad Pertengahan, hingga kini
sejarah kebudayaan dan peradaban manusia t elah melahirkan berbagai ilmu untuk secara
rasional memperoleh penget ahuan t ent ang berbagai hal. Proses ini masih berjalan,
khususnya dalam bent uk spesialisasi dan ilmu t erapan. Sehubungan dengan banyaknya
jenis ilmu it u, t erdapat berbagai cara unt uk mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa
kelo mpok dan sub-kelompok, tergant ung pada pat okan at au kriteria yang digunakan atau
aspek apa yang dito njolkan.
Pert ama-t ama keseluruhan karya int elektual manusia untuk mempero leh
pengetahuan at au pemahaman atas realit as dapat dibagi ke dalam Filsafat dan Ilmu-ilmu
Po sitif. Filsafat adalah refleksi abstrak-spekulat if t erhadap realit as dan pengalaman
manusia sebagai keseluruhan atau tent ang eksistensi manusia; obyeknya refleksinya adalah
realitas sebagai keseluruhan. Ilmu-ilmu Positif adalah kegiat an int elektual secara ilmiah
untuk memperoleh penget ahuan dan pemahaman at as suatu bagian t ertent u dari realitas
dan pengalaman manusia, dan menata hasil-hasilnya ke dalam sebuah sist em. Berdasarkan
substansinya, Ilmu-ilmu Positif dibedakan ke dalam Ilmu Fo rmal, Ilmu Empirik dan Ilmu
Praktikal. Ilmu Formal menunjuk pada ilmu yang tidak bertumpu pada pengalaman atau
empiri. Yang dipelajari dalam kelo mpok ilmu ini adalah struktur murni, yakni menganalisis
at uran operasional dan st ruktur logikal, yang menyajikan skema t ent ang saling
mempengaruhi ant ara manusia dan dunia, merancang jaringan at au jejaring (networks)
sepert i sistem penalaran dan sist em penghit ungan, dan tidak mengungkapkan at au menun-
juk pada kenyat aan atau fakt a empirikal. Ilmu Formal lebih merupakan ilmu tent ang semua
dunia yang mungkin. Kebenarannya t idak memerlukan pembuktian (verifikasi) empirikal,
melainkan hanya pembukt ian rasional dan konsist ensi rasional. Jadi, produk kelompo k
ilmu ini t idak dinilai berdasarkan kebenaran, melainkan berdasarkan validitasnya. Sist em
formal yang dihasilkan adalah produk rekaan akal budi manusia semata-mata. Karena it u,
substansi kelo mpok ilmu ini sering dipandang sebagai ko nvensi at au sist em bahasa fo rmal.
Pengetahuan yang dihasilkan disebut penget ahuan "a priori" yang mendahului pengalaman
dan dapat digunakan unt uk mempelajari dan mempero leh penget ahuan yang cermat

15
16

t ent ang dunia kenyat aan. Ilmu Formal t erdiri atas Logika dan Mat ematika, dan kini juga
Teori Sist em t ermasuk ke dalamnya.18
Ilmu Empirik dit ujukan untuk mempero leh pengetahuan fakt ual tent ang kenyat aan
aktual, dan karena it u bersumber pada empiri at au pengalaman. Kelompo k ilmu ini
dimaksudkan unt uk menyajikan pernyat aan-pernyat aan atau penjelasan t eo retikal yang
dapat diuji secara eksperiment al at au empirikal tent ang pro ses yang t erjadi dalam dunia
kenyat aan. Kebenaran penget ahuan yang dihasilkan menunt ut pembukt ian (verifikasi)
empirikal, di samping pembuktian rasional dan sejauh mungkin konsist ensi. Dalam
kelo mpok ilmu ini dapat t erjadi produk penelit ian yang saling berlawanan t anpa
mengurangi nilai kebenarannya masing-masing; pertent angan yang demikian disebut
antino mi. Dalam kelompok ilmu ini, Lo gika dan Matemat ika berperan unt uk mengo ntrol
validit as penalaran dan mengkaji kebenaran pernyataan-pernyataannya. Yang dimaksud
dengan kebenaran di sini adalah ko respondensi antara pernyataannya dengan keterberian
(fakt a) empirikal. Karena bersumber dan bert umpu pada empiri, maka pengetahuan yang
dihasilkannya disebut pengetahuan "a posteriori". Ilmu Empirik terdiri at as Ilmu-ilmu
Alam (Naturwissenschaf ten) dan Ilmu-ilmu Manusia (Geisteswissenschaf ten), dan dengan
ini dit unjuk pembagian berikut nya, yakni pembagian berdasarkan o byek bidang kajian.19
Ilmu-ilmu Alam mempelajari alam semest a dengan segala isinya termasuk manusia
sebagai obyek. Kelompo k ilmu ini mempelajari aspek-aspek dari kenyat aan yang secara
langsung dapat ditangkap oleh pancaindera, dengan at au tanpa instrumen.20 Dalam
Ilmu-ilmu Alam, data inderawi (dat a empiris) itu persis sebagaimana dat a t ersebut secara
langsung menampakkan diri, dan t idak sepert i pada Ilmu-ilmu Manusia yang mempelajari
data inderawi it u sejauh dat a t ersebut menyat akan sesuatu yang lain. Ciri lain dari
kelo mpok ilmu ini adalah bahwa o byekt ivit asnya adalah o byekt ivitas dari data sebagai
obyek. Tent ang o byek st udinya, kelompok ilmu ini mengandaikan berlakunya suat u bentuk
determinisme, dalam arti bahwa aksi t ertent u niscaya menimbulkan reaksi tert entu. Karena
itu, dalam kelo mpok ilmu ini dit unt ut bahwa set iap eksperimen pada prinsipnya harus
dapat diulang. Terkait pada sifat ini, adalah ciri lainnya, yakni cara kerjanya yang analit is
dan bersifat eksak. Dalam kelo mpok ilmu ini digunakan meto de Penjelasan (Erklären)
yang diarahkan unt uk menemukan hubungan atau hukum kausalitas det erminist ik dalam
gejala yang ditelaahnya, yakni keajegan yang niscaya berlaku at au terjadi (wetmatigheid)
dalam gejala-gejala yang t idak tunduk pada kemauan manusia. Sehubungan dengan
met ode ini, gejala yang dit eliti dipandang sebagai kejadian khusus dari sebuah hukum yang
umum. Dalam menerapkan meto de ini, dilakukan pengukuran eksak dengan bersaranakan
mat ematika t erhadap semua fakt or yang berperan dalam gejala yang ditelit i. Untuk
memperoleh hasil semurni mungkin, maka gejala yang hendak ditelit i diisolasi. Sebab,
ilmu-ilmu ini berpraanggapan bahwa semua berkait an dengan semua, namun tiap o byek
t ersendiri tidak memiliki hubungan int rinsik dengan obyek-obyek lain.
18 A.G.M. van Melsen , WETENSCHAP EN VERANTWOORDELIJKHEID, Aula, 1969: 68-78.
C.A. van Peursen : WETENSCHAP EN WERKELIJKHEID, Kampen, 1969: 42-72.
C.A. van Peursen , DE FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN, Leiden , 1986: 44-48.
19 C.A. van Peursen , op.cit. 1986: 48-53.
20 A.G.M. van Melsen , op.cit. 1969: 41-46.
C.A. van Peur sen, op.cit. 1986: 41, 42.

16
17

Ilmu-ilmu Manusia, yang o leh neo-kant ian Rickert disebut Ilmu-ilmu Budaya
(Kulturwissenschaf ten), mempelajari manusia sebagai subyek dan isi alam semest a lainnya
dalam kaitan dengan manusia sebagai subyek (Dasein). Yang dimaksud dengan "manusia
sebagai subyek" adalah manusia sebagai makhluk berhat i-nurani yang memiliki nilai,
berkemauan, berperasaan, dan berakal-budi, yang karena itu mampu menent ukan sikap
dan memberikan reaksi sendiri terhadap segala sesuat u, baik t erhadap benda-benda dan
makhluk-makhluk lain (t ermasuk sesama manusia) maupun peristiwa dan aksi terhadap
dirinya. Ilmu-ilmu ini mengarahkan diri pada gejala budaya, yakni semua pro duk manusia
sebagai mahkluk yang bert indak secara sadar. Manusia dapat menentukan perilakunya
lewat pert imbangan (deliberasi), perundingan, perhit ungan, melihat ke depan
(perencanaan). Manusia mampu memperhit ungkan perilakunya sendiri dan perilaku orang
lain. Gejala budaya pada dasarnya merupakan resultant e maksud-maksud yang saling
mempengaruhi; jadi semuanya it u adalah gejala makna. Untuk memahaminya diperlukan
int erpret asi, sebab manifest asi dan maksud tidak selalu ident ik. Penjelasan t erhadap gejala
yang dipelajari t idak t erdapat dalam hukum kausalitas umum yang det erminist ik (yang
berlaku dengan keniscayaan), melainkan dalam pemahaman t entang motif, ideal yang
hidup dalam manusia, perasaan tentang hak, kasih sayang, keprihatinan. Met odenya
disebut "Verstehen" (Dilt hey, Heidegger, Gadamer, Weber). Ilmu-ilmu Manusia
memperlihatkan ciri-ciri berikut. Pertama, int erpret asi memegang peranan penting. Kedua,
gejala yang dipelajari t idak bo leh diisolasi, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari
suat u keseluruhan yang lebih besar. Ketiga, ket erlibatan penelit i, dan keberlakuan
int ersubyekt if merupakan jaminan o byekt ivitas produk kegiatan ilmiahnya. Keempat,
obyek yang ditelit i, yakni gejala kult ur, bermuat an nilai yang memiliki o byekt ivitas
t ertent u. Nilai berlaku sebagai kaidah at au kriteria pada penat aan kenyat aan. Tindakan
yang menghasilkan kult ur harus dipahami sebagai t indakan yang dibimbing nilai. Nilai juga
berlaku terhadap peneliti sendiri.21
Ilmu-ilmu Manusia t erdiri at as Ilmu-ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Sejarah dan Ilmu-ilmu
Bahasa. Ilmu-ilmu Sosial mempelajari pola-pola gejala hubungan dan int eraksi ant ar-
manusia yang berulang, dapat diulang, dan sebaiknya keajegan perulangan hubungan dan
int eraksi t ersebut dilest arikan dan ditingkat kan kualit asnya. Ilmu-ilmu Bahasa mempelajari
sarana ko munikasi ant ar-manusia melalui lambang-lambang at au sist em perlambangan.
Ilmu -ilmu Sejarah ad alah ilmu-ilmu yang memp elajari sejarah manu siawi, yakn i sejarah
yang men yan gku t kehidup an man usia sebagai manu sia atau yang secara sad ar d ilakukan
atau d ijalan kan o leh manu sia, d engan foku s pada hal-hal yang unik, yan g pad a dasarnya
tid ak beru lang.
A.G.M. van Melsen dalam "WETENSCHAP EN VERANTWOORDELIJK-
HEID" (1969: 59) menambahkan kelo mpok Ilmu Sejarah sebagai kelo mpok ketiga ke
dalam kelompo k Ilmu Empirik, di samping Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Manusia.
Sesungguhnya lebih t epat jika kelo mpok Ilmu-ilmu Sejarah ini ditempat ke dalam
kelo mpok Ilmu-ilmu Manusia di samping Ilmu-ilmu So sial dan Ilmu-ilmu Bahasa. Ilmu
Sejarah mempelajari sejarah manusiawi, yakni sejarah yang menyangkut kehidupan
manusia sebagai manusia atau yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Obyek formalnya

21 A.G.M. van Melsen , op.cit. 1969: 53-58.

17
18

adalah semua hal, namun dipandang dari sudut kegiat an manusiawi sebagaimana yang
berlangsung dalam dimensi waktu. Proses alam hanya akan menjadi perhatiannya sejauh
manusia dari dirinya sendiri memberikan reaksi terhadapnya. Dalam ilmu-ilmu ini, yang
menjadi t itik pusat perhatiannya adalah hal yang unik. Keunikan ini disebabkan oleh sifat
manusia itu sendiri, yakni bahwa manusia selalu memberikan jawaban sendiri terhadap
sit uasi yang di dalamnya ia terlibat .
Ilmu Formal dan Ilmu Empirik sebagaimana dipaparkan di at as, t ermasuk ke dalam
Ilmu Teoretikal, yakni ilmu yang dit ujukan unt uk memperoleh pengetahuan saja. Jadi,
t ujuan ilmu-ilmu teoretikal adalah untuk mengubah (t ermasuk menambah) pengetahuan.
Produk ilmu-ilmu ini dapat, dan dalam kenyataan memang, digunakan dalam masyarakat
untuk memecahkan masalah dan meningkatkan kesejaht eraan, jadi digunakan di luar
ilmu-ilmu it u sendiri. Penerapan Ilmu Teo retikal yang demikian itu disebut Teknologi.
Pasangan Ilmu Teoretikal adalah Ilmu Prakt ikal yang harus dibedakan dari praktek
penerapan Ilmu Teo retikal yang dikemukakan tadi. Ilmu Praktikal adalah ilmu yang
mempelajari akt ivit as penerapan it u sendiri sebagai obyeknya.22 Penerapan kelo mpok ilmu
ini disebut "ars" dalam bahasa Latin yang padanannya adalah keahlian berkeilmuan atau
kemahiran yang dapat dan harus dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Ilmu Prakt ikal
adalah ilmu yang bert ujuan untuk mengubah keadaan, at au menawarkan penyelesaian
t erhadap masalah konkret. Termasuk ke dalam kelompo k ilmu ini adalah Et ika, Teologi,
Ilmu Teknik, Ilmu Kedo kt eran, Ilmu Hukum, Ilmu Manajemen, Ilmu Komunikasi,
Po lemologi. Sebagai ilmu, kelompok ilmu ini tidak menyajikan kaidah mo ral, sama seperti
kelo mpok Ilmu Teoret ikal. Namun bagi Ilmu Praktikal dan penerapannya berlaku kaidah
moral yang disebut mo ral keahlian at au etika profesi. Kelompok ilmu ini dalam dinamika
kegiat an ilmiahnya terbuka bagi berbagai pengaruh dari luar lingkungan ilmu dan nilai-nilai
manusiawi, setidak-tidaknya lebih besar ketimbang bagi kelompo k Ilmu Teoretikal.
Kelompok Ilmu Prakt ikal dapat dibagi ke dalam dua jenis, yakni Ilmu Prakt ikal
Nomo lo gikal dan Ilmu Prakt ikal No rmo lo gikal. Ilmu Praktikal Nomologikal berusaha
memperoleh pengetahuan faktual-empirikal, yakni pengetahuan tent ang hubungan ajeg
yang ceteris paribus niscaya berlaku ant ara dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalit as-
deterministik. Pro duknya dapat diungkapkan, seperti pada ilmu-ilmu empirik, dalam rumus
“Jika A (ada at au terjadi), maka B (ada at au t erjadi)” (When A is, then B “is”). Dalam
Ilmu Kedokt eran yang t ermasuk jenis ilmu ini misalnya, jika sudah dapat dipastikan x
menyebabkan penyakit y, maka, ceteris paribus, unt uk menyembuhkan o rang yang
mengidap sakit y harus diberi t erapi yang menghilangkan at au menet ralisasi x. Ilmu
Praktikal Normologikal, yang disebut juga Ilmu Normatif, berusaha menemukan
hubungan ant ara dua hal at au lebih berdasarkan asas imput asi (menaut kan
t anggungjawab/kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi kewajiban
subyek tert entu dalam situasi konkret t ertent u, sehubungan dengan t erjadinya perbuatan
at au peristiwa atau keadaan tert entu, namun dalam kenyat aan apa yang seharusnya t erjadi
itu t idak niscaya (selalu) dengan sendirinya t erjadi. Rumus logikalnya berbunyi: “Jika A
(terjadi at au ada), maka seyo gianya B (t erjadi)” (When A is, B “ought” to be, even though

22 C.A.. van Peur sen, op.cit. 1986: 61.

18
19

B perhaps actually is not).23 Yang t ermasuk dalam Ilmu Prakt ikal No rmologikal adalah
Et ika, Pedago gi dan Ilmu Hukum.
Unt uk mempero leh gambaran menyeluruh t erikht isar (overzicht), tampaknya
keseluruhan ilmu-ilmu itu t erlebih dahulu perlu diklasifikasi ke dalam dua kelo mpok besar,
yakni Ilmu Teoretikal dan Ilmu Prakt ikal.24 Ilmu Teoret ikal bertujuan untuk mempero leh
at au mengubah penget ahuan. Ilmu Prakt ikal bert ujuan unt uk mengubah keadaan. Ilmu
Teoretikal t erdiri at as Ilmu Fo rmal dan Ilmu Empirik. Ilmu Fo rmal menghasilkan struktur
murni, sepert i st ruktur logikal, skema, jaringan, jejaring, sist em penghit ungan. Ilmu
Empirik merupakan hasil int erpret asi terhadap Ilmu Formal yang diproyeksikan pada
aspek tert ent u dari dunia kenyataan. Ilmu Empirik t erdiri at as Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-
ilmu Manusia, yang t erdiri at as Ilmu Sejarah, Ilmu Sosial dan Ilmu Bahasa. Ilmu Prakt ikal
merupakan hasil evaluasi t erhadap (produk) Ilmu Empirik dan Ilmu Formal untuk
digunakan menghadapi dan menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia dalam
kenyat aan kehidupan. Dengan demikian, Ilmu Prakt ikal ini merupakan medan tempat
berbagai ilmu bert emu dan berint eraksi (berko nvergensi), yang produk akhirnya berupa
penyelesaian masalah yang secara ilmiah (rasional) dapat dipertanggung-jawabkan.25 Ilmu
Praktikal t erdiri at as Ilmu Prakt ikal Nomo lo gikal yang t unduk pada hukum kausal-
deterministik, dan Ilmu Praktikal Normo lo gikal yang berint ikan relasi imputatif dan
mengacu pada asas kausalit as no n-det ermist ik. Ant ara berbagai jenis ilmu it u t erdapat
hubungan saling memberikan dan menerima umpan-balik.

4. KEDUDUKAN ILMU HUKUM.


Dari uraian dalam par. 3 di at as, untuk sement ara dapat dikatakan bahwa Ilmu
Hukum adalah ilmu dan termasuk dalam kelo mpok Ilmu Prakt ikal. Namun perlu
dit ambahkan bahwa Ilmu Hukum, sepert i juga Ilmu Kedokteran, menempat i kedudukan
ist imewa dalam klasifikasi ilmu, bukan hanya karena mempunyai sejarah yang panjang
yang memapankannya dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya, t et api juga karena sifat nya
sebagai Ilmu Normat if dan dampak langsungnya terhadap kehidupan manusia dan
masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problemat iknya (masalah mendesak yang inheren
dalam kehidupan sehari-hari manusia) yang telah memunculkan dan membimbing
pengembanan serta pengembangannya. Ilmu Hukum yang t ermasuk ke dalam kelompo k
Ilmu Prakt ikal it u menyandang sifat khas t ersendiri. Selain karena alasan yang
dikemukakan t adi, juga obyek t elaahnya berkenaan dengan t untut an berperilaku dengan

23 Mochtar Kusumaatmadja, PENGANTAR ILMU HUKUM, 1996: 7. Han s Kelsen, THE PURE
THEORY OF LAW, Un iver sity of Califor nia Pr ess, Berkeley, 1970: 77.
24 Moch tar Buch or i dalam cer amah berjudul ILMU-ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA INDONESIA
MENUJU ABAD XXI di FISIP-UNPAR (1996) mengemukakan klasifikasi yang membagi ilmu ke
dalam Ilmu-ilmu Dasar (basic sciences) dan Ilmu-ilmu Ter apan . Ilmu-ilmu Dasar ter dir i atas
kelompok Ilmu Keman usiaan atau Humaniora (alpha sciences), kelompok Ilmu Pengetah uan Alam
(betha sciences), dan kelompok Ilmu-ilmu Sosial (gamma sciences). Ilmu-ilmu Ter apan ter dir i atas
Ilmu-ilmu Nor matif yang ber tumpu pada Human iora, Ilmu-ilmu Ter apan yang ber tumpu pada Ilmu
Dasar Pen getahuan Alam, dan Ilmu-ilmu Ter apan yan g ber tumpu pada Ilmu-ilmu Sosial Dasar.
25 C.A. van Peur sen, WE TENSCHAP EN WE RKE LIJKHEID, 1969: 215-218. Juga FAKTA, NILAI,
PERISTIWA. Tentan g Hubun gan an tar a Ilmu Pen gtah uan dan Etika, 1990: 33-42.

19
20

cara t ert ent u yang kepat uhannya t idak sepenuhnya t ergant ung pada kehendak bebas yang
bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Pada masa sekarang
kedudukan Ilmu Hukum lebih khusus lagi, karena obyek t elaahnya bukan hanya hukum
sebagaimana yang biasa dipahami secara t radisional. Dalam perkembangan masyarakat
pada masa kini, t ugasnya sudah lebih banyak t erarah pada pencipt aan hukum baru yang
diperlukan unt uk mengakomodasi timbulnya berbagai hubungan kemasyarakatan yang
baru. Karena it u juga, Ilmu Hukum sehubungan dengan obyek t elaahnya itu harus t erbuka
dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain t ersebut
dengan kehilangan karakt er khasnya sebagai ilmu normat if.

Apa yang dipaparkan di at as t entang berbagai jenis ilmu dan kedudukan Ilmu Hukum
dalam keseluruhan ilmu-ilmu, dapat digambarkan secara skematik ke dalam Skema
Klasifikasi Ilmu-ilmu sebagai berikut ini:

20
21

SKEMA KLASIFIKASI ILMU-ILMU


(B. Arief Sidharta)

DISIPLIN ILMIAH: u paya secara ilmiah , yakni secara rasion al-logikal-sistematikal


(ILMU atau metodik terargu mentasi un tu k – den gan b ersaranakan ko nsep-
CABANG ILMU) konsep yang khusus dibentuk un tu k itu – mempero leh
pengetahuan
dan pemahaman tentang realitas atau bagian terten tu d ari realitas,
dan menata h asil-h asilnya ke dalam sebu ah sistem.
A. FILSAFAT (refleksi abstrak-sp eku latif atas realitas sebagai keseluru han atau tentan g
eksistensi man usia)  ob jeknya: realitas sebagai keseluruh an:
MET AFISIKA, EPISTEMOLOGI, LOGIKA, ETIKA, ESTETIKA

B. ILMU-ILMU POSITIF: (aspek realitas tertentu)


i. ILMU FORMAL: 1 . LOGIKA ILMU-ILMU TEORETIKAL
diinterp reta si 2 . MATEMATIKA mempelajari suatu asp ek tertentu
denga n fa kta 3 . TEOR I SISTEM d ari realitas secara teoretikal
empirikal
ii. ILMU EMPIRIK: 1. ILMU-ILMU ALAM bertujuan han ya un tu k memper-
a. BIOLOGI oleh p engetahu an yang benar
b. NON-BIOLOGI tentang suatu aspek dari realitas
p ro d u k n y a 2. ILMU-ILMU MANUSIA
diimp limen ta si & a. ILMU-ILMU SOSIAL
b e r k o n v e r g e n si b . ILMU-ILMU SEJAR AH un tu k
men gub ah/men ambah/meng-
ke d a la m c. ILMU-ILMU BAHASA koreksi pengetahuan ilmiah

iii. ILMU-ILMU PRAKTIKAL: terarah untuk men awarkan alternatif penyelesaian


masalah kon kret (men gub ah keadaan )
1 . NOMOLOGIKAL: a. Bio lo gi: ILMU KEDOKTERAN
(Jika A, maka B) b. Non-biologi: b.1. ILMU TEKNIK
b .2 . TEKNOLOGI
2 . NORMOLOGIKAL: a. Otoritatif : ILMU HUKUM
(Jika A, seyog ian ya B) b . Non -otoritatif: ETIKA, PEDAGOGI, MANAJEMEN,
KOMUNIKASI, dsb .
Catatan :
* ILMU POSITIF  kegiatan intelektual secar a ilmiah untuk memper oleh pengetahuan dan pemah aman
atas suatu bagian ter tentu dar i r ealitas dan men ata hasil-hasiln ya ke dalam sebuah sistem.
* ILMU FORMAL  ilmu yang mempelajar i str uktur-str uktur formal, skema-skema, pola-pola
hubungan , ben tuk-bentuk dan jejar in g-jejar in g (networks): MATEMATIKA, LOGIKA, TEORI
SISTEM.
* ILMU EMPIRIK  ilmu yang secar a empir ikal berupaya memper oleh pen getahuan faktual tentan g
kenyataan aktual un tuk menyajikan per nyataan dan pen jelasan teoretikal tentan g dunia kenyataan yan g
dapat diuji secara empirikal: ASTRONOMI, FISIKA, KIMIA, GEOLOGI, GEOGRAFI, BIOLOGI,
LINGUISTIKA, SEJARAH, EKONOMI, SOSIOLOGI, ANTROPOLOGI, PSIKOLOGI, dsb.

21
22

* ILMU PRAKTIKAL  ilmu-ilmu yan g secar a langsung mempelajar i cara menemukan dan
menawar kan penyelesaian terh adap masalah kon kr et: ILMU KEDOKTERAN, TEKNIK SIPIL, ILMU
HUKUM, PEDAGOGI, MANAJEMEN, dsb.
* Nomologikal  tak ter gantun g kemauan manusia; ber in tikan r elasi kausal deter ministik (Jika A, maka
B.)
* Normologikal  ber in tikan r elasi imputatif  men autkan tanggun gjawab pada subyek tertentu karena
per ilaku seseorang. Dipengar uh i kemauan man usia. Kausalitas n on -deter ministik (Jika A, seyogianya
B).

22

Anda mungkin juga menyukai