I. Pendahuluan.
a. Akal-budi, nurani, kesadaran, kemauan bebas dan kaidah perilaku.
Faktor yang secara fundamental membedakan manusia dari mahluk lainnya di bumi
adalah bahwa manusia sejak kelahirannya sudah dilengkapi dengan akalbudi dan hati
nurani, yang kemampuannya berkembang bersama dengan perkembangan proses
pendewasaan manusia itu. Adanya dan bekerjanya akalbudi dan nurani itu menyebabkan
manusia memiliki kemampuan untuk menyadari keberadaannya di dunia dan dengan itu
menyadari adanya berbagai hal lain termasuk sesama manusia di dalam dunia selain dirinya
sendiri, sejauh yang tertangkap oleh pancainderanya. Ia dapat menyadari perbedaan antara
dirinya dengan hal-hal lainnya itu, dan juga dapat melihat dan menyadari adanya perbedaan
dan persamaan di antara berbagai hal lain itu, dan dengan itu mampu melakukan
pengelompokan dan memisah-misahkan. Bekerjanya akalbudi, nurani dan pancaindera
dalam kaitan satu dengan lainnya, menyebabkan manusia memiliki kesadaran dan
kemampuan memahami realitas yang menyandang fungsi logikal. Bekerjanya fungsi logikal
itu menyebabkan realitas yang tertangkap dalam kesadaran manusia melalui
pancainderanya itu dapat menjadi tertata, terstruktur, bermakna dan dapat dipahami oleh
manusia yang akan mempengaruhi cara manusia itu berperilaku dalam menjalani kehidupan
di dunia; realitas yang semula tampak khaos menjadi kosmos, menjadi realitas yang
beraturan dan berstruktur.
Adanya dan bekerjanya akalbudi dan nurani tersebut menyebabkan manusia
memiliki nilai-nilai dan kemampuan untuk menilai, memahami dan membedakan
pengertian-pengertian: baik, buruk, salah, benar, adil, tidak adil, manusiawi, tidak
manusiawi, bermoral, tidak bermoral, sopan, tidak sopan, boleh, tidak boleh, layak, tidak
layak, dsb. Semuanya ini terjadi dalam kesadarannya manusia individual. Kemampuan itu
memunculkan nilai-nilai fundamental tentang keberadaan manusia dalam kesadaran
manusia, yang menghendaki perwujudan ke dalam kenyataan. Kesadaran itu dengan
sendirinya juga memunculkan kesadaran tentang apa yang boleh, harus atau tidak boleh
dilakukan oleh manusia dalam situasi tertentu. Melalui interaksi sosial yang berlangsung
lama antara manusia yang satu dengan yang lainnya dalam kehidupan bermasyarakat,
lama-lama terbentuklah perasaan yang sama tentang nilai-nilai fundamental dan keharusan
berperilaku dengan cara tertentu itu. Jika kesadaran tentang apa yang boleh, tidak boleh
atau harus dilakukan dalam situasi konkret tertentu itu kemudian dijadikan pedoman
berperilaku dalam menjalani kehidupan sehari-hari, maka keharusan atau pedoman
berperilaku itu disebut kaidah perilaku atau norma. Kaidah atau norma itu adalah
1
2
ketentuan yang menetapkan perbuatan apa yang boleh dilakukan, harus dilakukan atau
dilarang dilakukan. Dengan kata lain, kesadaran dan fungsi logikalnya itu memunculkan
kaidah-kaidah tentang cara berperilaku dalam kesadaran manusia. Kemampuan tersebut
beserta dengan nilai-nilai dan kaidah-kaidah berperilaku yang dimunculkannya
menyebabkan manusia memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri sikap terhadap
apapun dan memutuskan sendiri untuk melakukan perbuatan apapun sesuai dengan
keyakinan dan pilihannya sendiri. Namun dengan itu juga manusia itu sepenuhnya
bertanggung-jawab dan harus mempertanggung-jawabkan untuk apapun yang ia putuskan
dan ia lakukan, dan karena itu juga ia selalu dapat dimintai pertanggung-jawaban untuk
perbuatan apapun yang telah dilakukannya. Di situlah letak sumber dari martabat dan
kebermartabatan manusia itu. Karena itu martabatnya itulah, maka manusia memiliki
kebebasan untuk memilih sendiri jalan hidup apa yang akan ditempuhnya dengan segala
konsekuensinya.
b. Kaidah perilaku.
Dalam keadaan normal, secara umum dapat dikatakan bahwa kehidupan
masyarakat berlangsung secara relatif tertib (tidak terjadi situasi ”anomia” atau “bellum
omnium contra omnes”). Ketertiban dalam masyarakat itu disebabkan oleh adanya dan
bekerjanya akalbudi dan nurani manusia, berbagai nilai dan kaidah. Berdasarkan isi,
karakter dan tujuannya, kaidah-kaidah yang bekerja dalam masyarakat itu dapat kita
bedakan ke dalam pengelompokan berikut: kaidah budi nurani, kaidah moral positif,
kaidah kesopanan, kaidah agama, dan kaidah hukum.1 Semua kaidah itu, kecuali kaidah
agama, berakar atau timbul dari dalam akal-budi dan nurani manusia. Substansi dan bentuk
penampilan serta diferensiasi ke dalam jenis-jenis kelompok kaidah itu akan sangat
dipengaruhi oleh pandangan hidup dan keyakinan keagamaan yang dianut dalam
masyarakat yang berinteraksi dengan berbagai kenyataan kemasyarakatan yang riil
(misalnya: tingkat pendidikan, jumlah dan kualitas penduduk, kualitas pendidikan, kondisi
sosial-ekonomi, kehidupan politik, peradaban dan kebudayaan masyarakat).
Kaidah budi nurani adalah kaidah yang secara spontan timbul dari dalam budi
nurani manusia berupa nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental yang terjabar ke dalam
ukuran-ukuran dan patokan-patokan untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk
tentang sikap dan perilaku manusia. Kaidah budi nurani ini bertujuan untuk membuat
manusia menjadi manusia yang ideal atau sempurna, jadi timbul dari nurani demi
kesempurnaan manusia yang bersangkutan sendiri. Artinya, kaidah-kaidah ini bertujuan
agar jangan ada orang yang jahat, agar orang jangan jadi pencuri, pembunuh, dan
sebagainya. Sanksinya adalah perasaan penyesalan jika melanggar kaidah yang timbul dari
nuraninya sendiri itu. Karena itu, kaidah budi nurani bersifat otonom, yakni timbul dari
dalam diri sendiri untuk mengatur kehidupannya sendiri dan ditegakkan oleh dirinya
sendiri. Kaidah-kaidah budi-nurani itu dapat berbeda-beda dari orang ke orang, dari
kelompok komunitas ke kelompok komunitas yang lain, dan dari waktu ke waktu.2
1
Lihat W.L.G. Lemaire, HET RECHT IN INDONESIË, Hukum Indonesia, W. van Hoeve,
s’Gravenhage, Bandung, 1955: 35. Bandingkan dengan Satjipto Rahardjo, HUKUM DALAM JAGAT
KETERTIBAN, UKI Press, Jakarta, 2006.
2
W.L.G. Lemaire, HET RECHT IN INDONESIË, 1955: 36.
2
3
Kaidah moral positif adalah kaidah-kaidah yang pada suatu waktu tertentu dalam
suatu masyarakat atau komunitas tertentu dalam kenyataan sungguh-sungguh dihayati dan
dipatuhi sebagai aturan kesusilaan (moral). Yang menentukan berlakunya kaidah moral
positif itu adalah pendapat masyarakat, jadi bukan apa yang ditetapkan oleh nurani
perseorangan secara bersendiri, melainkan pendapat umum dari masyarakat tentang apa
yang menurut nurani manusia menjadi kewajiban manusia. Ini berarti bahwa kaidah moral
positif itu mempunyai kekuatan obyektif, yakni berlaku bagi setiap warga komunitas
terlepas dari keyakinan dan perasaan pribadi. Jadi, kaidah moral positif itu bersifat otonom
(dipandang dari sudut komunitas yang memunculkannya sebagai keseluruhan) tetapi
memperlihatkan ciri-ciri atau sifat-sifat heteronom (jika dipandang dari sudut warga
komunitas secara perseorangan). Kaidah moral positif terbentuk oleh budi nurani manusia
secara perseorangan, tetapi kemudian melalui proses interaksi antarmanusia mengalami
proses kristalisasi dan obyektivasi menjadi berlaku umum dan dengan itu menjadi pedoman
berperilaku bagi para warga komunitas yang memunculkannya. Kaidah-kaidah ini disebut
positif, karena kaidah moral positif itu tampak dalam perilaku para warga masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari pada suatu waktu dan di tempat tertentu, dan karena itu dapat
dipelajari secara empirik dengan menggunakan metode-metode ilmu sosial. Sebagian dari
kaidah moral positif itu ada yang disebut kode etik, yakni seperangkat kaidah moral positif
yang berlaku dalam suatu kelompok warga masyarakat yang memiliki ciri-ciri atau
kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya kode etik profesi, kode etik pemburu, kode etik
olahragawan, dsb. Kode etik dibentuk, dipatuhi dan ditegakkan oleh komunitas yang
bersangkutan sendiri, biasanya oleh organisasi komunitas terkait. Substansi dan bentuk
penampilan kelompok kaidah moral positif ini juga terikat pada tempat dan waktu, jadi
berbeda-beda dari tempat ke tempat, dari kelompok ke kelompok, dan dari waktu ke
waktu.3
Kaidah kesopanan adalah kaidah-kaidah pergaulan hidup antar-manusia yang
timbul dari kebutuhan manusia pada kesamaan bentuk dalam berperilaku serta kebutuhan
pada keramah-tamahan dan keluwesan dalam mewujudkan hubungan-hubungan
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok kaidah ini lebih diarahkan pada
bentuk-bentuk luar dari perilaku manusia, dan bertujuan untuk menghindarkan adanya
perasaan yang tersinggung. Kepatuhannya ditegakkan dengan pendapat umum. Sanksinya
adalah berupa celaan bagi orang yang dianggap tidak sopan, dan mungkin akan dijauhi
dalam pergaulan hidup. Kaidah ini bersifat heteronom, dan terikat pada tempat dan
waktu.4
Kaidah kebiasaan adalah tuntutan untuk melakukan perilaku tertentu semata-mata
karena di masa lalu setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama, orang selalu
melakukan perilaku yang sama yang dituntut itu tadi. Kebiasaan adalah perulangan
perilaku yang sama setiap kali terjadi situasi kemasyarakatan yang sama, dan karena itu
kaidah kebiasaan itu juga akan menghilang karena perulangan penyimpangan terhadap
kebiasaan yang bersangkutan (proses desuetudo).5
Kaidah agama adalah seperangkat kaidah yang oleh orang yang percaya dihayati
dan diyakini sebagai perintah-perintah dari Allah yang diwahyukan kepada manusia melalui
3
W.L.G. Lemaire, HET RECHT IN DONESIË, 1955: 35.
4
W.L.G. Lemaire, 1955: 37.
5
Loc.cit.
3
4
Nabi. Dalam intinya, kaidah agama mengatur hubungan antara manusia dan Allah, dan ada
juga yang mengatur hubungan antarmanusia. Kaidah agama ini yang diciptakan atau
ditetapkan oleh Allah, kemudian diwahyukan kepada manusia melalui Nabi, namun dapat
diterima oleh manusia karena manusia sudah dilengkapi oleh Allah dengan akalbudi dan
nurani. Jadi, akalbudi dan nurani manusia itulah yang menyebabkan manusia dapat
meyakini dan melaksanakan ajaran dan kaidah-kaidah agama dalam kehidupan sehari-
harinya. Makna kaidah-kaidah agama itu dipahami oleh manusia sejauh yang dapat
ditangkap oleh kemampuan akalbudi dan nurani tiap manusia individual yang mungkin saja
tidak sama dari orang ke orang dan dari kelompok ke kelompok; jadi, cara orang
melaksanakan kaidah-kaidah agama itu akan tergantung pada hasil interpretasi dan
pemahamannya terhadap apa yang diwahyukan oleh Allah melalui Nabi. Karena itu, tidak
mustahil pemahaman di antara para penganut agama yang sama tentang ajaran dan kaidah-
kaidah agama dari agamanya dapat berbeda-beda. Karena itu pula, maka peranan para
ulama tiap agama sangat diperlukan untuk membantu umat dalam memperoleh
pemahaman tentang apa yang diperintahkan oleh Allah. Peranan para ulama untuk
membangun, mengembangkan dan meningkatkan kualitas ahklak umatnya adalah sangat
penting. Adalah tugas utama para ulama untuk membina ahlak para umatnya, di samping
mengajarkan ajaran dan kaidah-kaidah agamanya.6
Kaidah hukum adalah seperangkat kaidah yang mengatur perilaku para warga
masyarakat, yang pada suatu waktu dan di tempat tertentu dirasakan sebagai tuntutan
keadilan demi terwujudnya ketertiban berkeadilan sehingga mampu membuka peluang bagi
setiap orang untuk mencapai kebahagiaan dalam menjalani kehidupan di dunia. Hukum itu
bertujuan untuk mewujudkan keadilan yang menjamin terlaksananya kepastian dan
prediktabilitas di dalam masyarakat. Kepatuhannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada
kemauan bebas tiap warga masyarakat, melainkan dapat dipaksakan oleh masyarakat
secara terorganisasi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum yang mengatur penegakan
hukum. Pada masa kini, bagian terbanyak dari kaidah-kaidah hukum itu ditetapkan oleh
kekuasaan yang berwenang (otoritas publik, pemerintah), yang dilaksanakan dan
ditegakkan oleh pemerintah, kalau perlu dengan menggunakan alat-alat kekuasaan negara
sesuai dengan aturan prosedural yang berlaku yang berbentuk kaidah hukum juga. Kaidah
hukum dibedakan ke dalam kaidah perilaku dan kaidah kewenangan. Kaidah perilaku
adalah adalah yang langsung mengatur perilaku manusia, yakni yang menetapkan perilaku
apa saja yang boleh dilakukan, tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan (H.L.A. Hart7
menyebutnya “primary rules”). Kaidah perilaku ini terdiri atas empat jenis, yakni perintah,
larangan, izin dan dispensasi. Kaidah perintah menetapkan perbuatan apa yang dalam
situasi tertentu harus dilakukan oleh orang tertentu. Kaidah larangan menetapkan
perbuatan apa yang dalam situasi tertentu tidak boleh dilakukan oleh orang tertentu.
Kaidah izin adalah kaidah yang menetapkan pengecualian terhadap suatu kaidah larangan
tertentu. Kaidah dispensasi adalah kaidah yang menetapkan pengecualian terhadap suatu
kaidah perintah tertentu. Kaidah kewenangan (menurut Hart: secondary rules) adalah
kaidah yang menetapkan siapa atau lembaga apa yang boleh membuat atau menetapkan
kaidah-kaidah perilaku dan bagaimana prosedurnya.
6
W.L.G. Lemaire, HET RECHT IN INDONESIË, 1955: 35.
7
H.L.A. Hart, THE CONCEPT OF LAW.
4
5
5
6
6
7
jadi perlu dikuatkan dengan undang-undang atau dengan yurisprudensi, karena masyarakat
menghendakinya atau perlu agar masyarakat dapat berfungsi dengan baik. Tentu saja ini
akan baik, jika substansi dari kaidah-kaidah terkait sudah mengalami kristalisasi sehingga
secara relatif sudah terbentuk opini yang sama di kalangan masyarakat. Di Indonesia,
secara umum, dapat dikatakan bahwa hukum sudah mengakui dan melindungi otonomi
keberadaan profesi tertentu dengan etika profesi dan kode etiknya. Beberapa di antaranya
sudah dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan, misalnya Undang-undang
tentang Praktik Kedokteran dan Undang-undang tentang Advokat. Keberadaan “hospital
by laws” yang dibentuk oleh rumah sakit yang bersangkutan misalnya dianggap dan
diperlakukan sebagai bagian dari hukum positif.
12
Soetandyo Wignjosoebroto, HUKUM DALAM MASYARAKAT, 2008: 17.
7
8
13
Yang dimaksud dengan “disiplin hukum” adalah kegiatan ilmiah untuk mempelajari hukum dengan
pendekatan internal, yakni mempelajari hukum dari dalam hukum itu sendiri sebagai partisipan dalam
hukum yang dipelajarinya itu. Disiplin hukum mencakup Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum. Disiplin ini dibedakan dari “disiplin non-hukum yang obyek telaahnya hukum”, yakni
kegiatan ilmiah yang mempelajari hukum dengan pendekatan eksternal, dari luar hukum itu sendiri
dari titik berdiri seorang pengamat (observer) mempelajari perilaku orang dalam kaitan dengan
berlakunya kaidah-kaidah hukum positif, dengan menggunakan metode-metode Ilmu Sosial. Disiplin
non-hukum ini mencakup: a.l. Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum, Sejarah
Hukum.
14
Berkenaan dengan hukum yang terbentuk secara alami ini, Soetandyo Wignjosoebroto menulis:
“Dalam kehidupan bermasyarakat yang pra-modern, ketika kehidupan masih berada pada skala dan
format lokal, homogen, sekaligus eksklusif sehingga lebih cocok disebut ‘komunitas’ (community)
daripada ‘masyarakat’ (society). Dalam hal ini, apa yang disebut ‘hukum’ umumnya tidak tertulis dan
eksis sebagai asas-asas umum, tersimpan dalam ingatan warga komunitas, dan dirawat secara turun-
temurun sebagai tradisi yang dipercaya berasal dari nenek-moyang. … Aturan tidak tertulis seperti itu
sering juga disebut ‘hukum rakyat’ dan dalam ilmu hukum disebut ‘hukum kebiasaan’ atau ‘hukum
adat’.” (HUKUM DALAM MASYARAKAT. Perkembangan dan Masalah, Malang, 2008: 3)
8
9
tidak lagi terbentuk secara alami, melainkan dibuat dengan sengaja oleh pihak yang
memiliki kekuasaan atau kewenangan untuk itu, hukum itu menjadi terbentuk secara
artifisial. Karena hukum itu terbentuk secara artifisial oleh pihak yang memegang
kekuasaan untuk itu, maka dengan sendirinya proses pembentukan hukum akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor kepentingan dan kenyataan kemasyarakatan sebagaimana
yang dipersepsi oleh pembentuk hukum itu, termasuk faktor kepentingan pribadinya, maka
tidak mustahil bahwa hukum yang berlaku yang terbentuk secara artifisial itu tidak sejalan
dengan kesadaran hukum rakyat yang terhadapnya hukum tersebut akan diberlakukan.
Artinya, dalam kenyataan dapat terjadi adanya tegangan atau diskrepansi antara hukum
positif dan kesadaran hukum rakyat.15
Ketika hukum masih terbentuk secara alami, maka tiap warga masyarakat pada
umumnya mengetahui dengan baik apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban-kewajiban
hukumnya masing-masing yang satu terhadap yang lainnya dalam berbagai situasi
kemasyarakatan. Pada tahap itu keberadaan hukum positif itu tidak atau belum
memerlukan pengolahan dan penguasan secara ilmiah pada tataran Ilmu-ilmu Positif untuk
dapat memahaminya. Karena itu, pada tahap ini tidak muncul Ilmu Hukum, karena
memang belum diperlukan oleh masyarakat. Itu sebabnya, kultur Yunani tidak melahirkan
Ilmu Hukum, melainkan hanya Filsafat Hukum. Keberadaan Filsafat Hukum yang
mengolah hukum secara ilmiah pada tataran kefilasafatan sudah dirasakan cukup memadai.
Situasi mulai berubah pada masa pertengahan Zaman Feodalisme, yakni sesudah robohnya
Kekaisaran Romawi Barat dan sesudah mulai teratasinya kekacauan Zaman Gelap yang
memunculkan Zaman Feodalisme itu di Eropa Barat.16
f. Timbulnya ilmu hukum, pendidikan tinggi hukum, dan komunitas ahli hukum
terdidik secara akademik.
Pada abad 11 dan 12 di Eropa berlangsung perubahan kemasyarakatan yang
fundamental dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan politik yang kuat yang membawa
ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, dan dengan itu pengaturan dan penataan
masyarakat yang terorganisasi secara politik dalam bentuk badan hukum publik dan
masing-masing berkembang menjadi apa yang sekarang disebut negara. Ketertiban dan
keamanan itu memungkinkan perdagangan lintas batas wilayah kekuasaan politik (batas-
batas wilayah negara), yang dalam dinamikanya memunculkan kota-kota yang masing-
masing dikelilingi benteng untuk pengamanan (fortified cities). Kota-kota ini memperoleh
otonomi dari penguasa politik setempat (raja, bangsawan) yang memunculkan lembaga
walikota atau Bürgermeister dan Dewan Kota yang semuanya dipilih oleh penduduk kota.
Pada masa ini pula terjadi separasi antara otoritas eklesia (kekuasaan gereja, keagamaan)
dan otoritas sekular, lewat proses yang cukup eksplosif.17 Demikianlah, perkembangan
kehidupan politik, sosial dan ekonomi pada masa itu memunculkan dan menghidupkan
15
Tentang pembedaan ke dalam hukum yang terbentuk secara alami dan hukum yang terbentuk secara
artifisial, lihat lebih jauh gagasan hukum progresif dalam karya-karya Satjipto Rahardjo (Hukum
dalam Jagat Ketertiban, Negara Hukum yang membahagiakan rakyatnya, Hukum dan Perilaku).
16
Lihat H.J. Berman, LAW AND REVOLUTION (1983), juga THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL
SCIENCE, Harvard Law Review, Vol. 90 No. 5, 1977.
17
H.J Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, Harvard Law Review, Vol. 90, No. 5,
1977: 898.
9
10
berbagai sistem hukum pada waktu yang bersamaan, yakni Sistem Hukum Kanonik
(Hukum Agama), Sistem Hukum Sekular yang mencakup Sistem Hukum Kerajaan, Sistem
Hukum Kota, Sistem Hukum Feodal dan Manorial, serta Sistem Hukum Dagang. Jadi,
situasi kehidupan pada masa itu memunculkan masalah berupa kebutuhan pada pengaturan
yang implimentasi dan penegakannya dilakukan oleh otoritas yang berwenang (otoritas
publik, negara) dan dengan itu kebutuhan pada jabatan-jabatan untuk melaksanakannya
yang memerlukan keahlian untuk itu (kemampuan berpikir yuridik). Kebutuhan inilah yang
memunculkan guru-guru, yakni orang-orang yang mampu dan, dengan bayaran, mau
mengajarkan pengetahuan hukum dan kemampuan berpikir yuridik. Guru-guru ini
berkumpul dan mengajar di beberapa kota berbenteng, yang kemudian ketika pengajaran
itu mulai diorganisasi melahirkan apa yang sekarang dinamakan universitas (semula
disebut studium generale). Universitas Bologna di Italia "leading" dalam bidang
pengajaran hukum18 terutama karena kepiawaian seorang magister arterium (pakar
kemahiran) dalam pengajaran hukum yang bernama Guarnerius, namun secara historikal
lebih dikenal dengan nama Irnerius19 – yang dipandang sebagai “the founder of law study”
(Franz Wieacker) – dalam mengajarkan hukum dan terutama kemampuan berpikir yuridik.
Cara pengajaran hukum di Universitas Bologna itu menjadi model pengajaran hukum pada
semua universitas di seluruh Eropa.20 Meskipun "legal materials" (bahan hukum) yang
diajarkan di universitas bukan sistem hukum yang berlaku, bukan hukum positif, melainkan
bahan Hukum Romawi yang terkompilasi pada tahun 534 dalam sejumlah buku yang
kemudian dinamakan Corpus Iuris Civilis, namun karena kemampuan berpikir yuridik
yang ditumbuhkan lewat pengajaran "legal materials" tersebut menyebabkan para
lulusannya dapat dengan cepat mampu memahami, menggunakan (menerapkan) dan
mengembangkan hukum positif yang berlaku di tempat mereka berkarya, dan karena itu
memiliki kemampuan untuk mengemban jabatan-jabatan yang memerlukan kemampuan
intelektual tersebut yang dibutuhkan masyarakat (hakim, penasihat, sekretaris, dsb.).
Dengan cepat pengajaran hukum di berbagai universitas itu melahirkan apa yang disebut
"juristenstand" (komunitas atau kelas ahli hukum terdidik secara akademik, komunitas
sarjana hukum). Bersamaan dengan hadirnya universitas di Eropa, lahirlah Ilmu Hukum
(studium civile, the scientific study of law) sebagai ilmu modern yang pertama yang
memiliki karakter internasional atau universal (Berman21). Lahirnya Ilmu Hukum itu
kemudian dipergunakan dalam penyelenggaraan hukum di berbagai negara, baik dalam
proses pembentukan hukum melalui perundang-undangan, maupun dalam menyelesaikan
masalah hukum konkret yang terjadi dalam masyarakat melalui peradilan. Dengan
demikian, sejak saat itu, hukum yang diselenggarakan dan dipelajari secara ilmiah di dalam
18
Paris “leading” untuk pengajaran Teologi (tokohnya: Peter Abelard), dan Montpellier “leading” untuk
pengajaran kedokteran (tokohnya: Constantine of Carthage).
19
H.J. Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, Harvard Law Review, Vol. 90, No.
5, 1977: 900.
20
Tentang metode pengajaran hukum di Bologna, lihat lebih jauh REFLEKSI TENTANG STRUKTUR
ILMU HUKUM, 2009: 141-145. Lihat juga Peter Mahmud Marzuki, PENGANTAR ILMU HUKUM,
2008: 21-27. H.J. Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, 1977: 903-930.
21
Dalam LAW AND REVOLUTION, H.J. Berman mengatakan: “… the legal science of the twelfth-
century jurists of western Europe was a progenitor of the modern Western sciences.” (1983: 151).
Lihat juga H.J. Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, Harvard Law review,
Vol. 90, No. 5, 1977: 930-941.
10
11
kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah hukum yang dipelajari secara rasional,
sistematik dan metodik (Van den Bergh menyebutnya “geleerd recht”22). Kemudian,
setelah terbentuknya kodifikasi napoleonik di Perancis pada tahun 1804-1810, studi dan
pengajaran hukum hanya dipusatkan pada sistem hukum positif yang berlaku di negara
yang di dalamnya universitas itu berada dan berkiprah.23 Dengan itu, di bawah pengaruh
gerakan kodifikasi hukum serta filsafat Rasionalisme Descartes dan Transendental
Kritisisme Kant, Ilmu Hukum kehilangan karakter internasionalnya dan memperoleh
karakter nasional. Sejak itu hingga sekarang maka Ilmu Hukum "tanpa embel-embel"
seolah-olah hilang, yang ada adalah Ilmu Hukum-Indonesia, Ilmu Hukum-Malaysia, Ilmu
Hukum-Amerika, Ilmu Hukum-Belanda dan seterusnya. Karena hanya terarah pada upaya
untuk meneliti dan mempelajari hukum positif yang berlaku yang ditetapkan dan
ditegakkan oleh otoritas publik yang berwenang untuk itu (pemerintah) dalam masyarakat
atau negara yang bersangkutan, maka kegiatan studi ini kemudian menyandang karakter
dogmatikal, yakni berdampak mengkaidahi perilaku yang menyebabkan dapat
terbentuknya kaidah hukum melalui (dalam wujud) yurisprudensi, serta bersifat nasional
dan memperoleh nama Dogmatika Hukum. Meskipun demikian, karakter dogmatikal dan
nasional itu tidak dengan sendirinya harus menyebabkan Ilmu Hukum atau Dogmatika
Hukum itu kehilangan karakter keilmuannya (terutama) sehubungan dengan karakter
argumentatif dan derajat kualitas kerasionalan cara-kerja dan metode yang digunakan serta
konsistensi dalam pengembanannya.
Disiplin Hukum yang di Barat biasa atau sering disebut Dogmatika Hukum
(Rechtsdogmatik, Legal Dogmatics), oleh Mochtar Kusumaatmadja dan Koesnoe disebut
Ilmu Hukum Positif; Philipus Hadjon menyebutnya Ilmu Hukum Dogmatik; Paul Scholten
serta Gustav Radbruch menyebutnya Ilmu Hukum yang sesungguhnya (de eigenlijke
rechtswetenschap, die eigentliche Rechtswissenschaft atau Legal Science proper),
sedangkan Visser 't Hooft menyebutnya juga Ilmu Hukum Praktikal (praktische
rechtswetenschap) untuk menghindari konotasi negatif dari istilah “dogmatik”. Untuk
menyederhanakan peristilahannya, sebaiknya istilah "Ilmu Hukum" hanya digunakan
sebagai nama dari Disiplin Hukum ini.
Juga timbul dan berkembangnya berbagai disiplin lain yang obyek-telaahnya
hukum, seperti Teori Hukum atau Jurisprudence (Legal Theory), Sosiologi Hukum,
Sejarah Hukum, Perbandingan Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum dan
Logika Hukum, tidaklah disebabkan oleh semata-mata kuriositas ilmiah para penstudinya,
melainkan terutama disebabkan oleh munculnya masalah kemasyarakatan yang langsung
atau tidak langsung berkaitan dengan keberadaan hukum dan pengembanan hukum, baik
secara praktikal maupun secara teoretikal. Masalah-masalah kemasyarakatan tersebut
memunculkan pertanyaan-pertanyaan khusus yang upaya penjawabannya, di bawah
pengaruh aliran filsafat tertentu, telah memunculkan dan mengembangkan disiplin-disiplin
ilmiah yang obyek-telaahnya hukum seperti yang disebutkan di atas. Timbul dan
berkembangnya Sosiologi Hukum, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan
masalah kemasyarakatan (social problems) yang ditimbulkan oleh industrialisasi sesudah
22
G.C.J.J. van den Bergh, GELEERD RECHT, EEN GESCHIEDENIS VAN DE EUROPESE
RECHTSWETENSCHAP IN VOGELVLUCHT, Kluwer, Deventer, 1980.
23
Helmut Coing, THE ORIGINAL UNITY OF EUROPEAN LEGAL SCIENCE, Law and State, Vol. 11,
1975: 90.
11
12
kodifikasi hukum di Eropa Barat dan aliran filsafat Positivisme (Hukum). Keberadaan dan
hasil-hasil berbagai disiplin hukum itu lambat atau cepat akan mempengaruhi cara dan sifat
pengembanan Ilmu Hukum, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kualitas hukum dan
kehidupan hukum di dalam masyarakat, yakni mempengaruhi kualitas pengembanan
hukum praktikal yang mencakup pembentukan hukum, penemuan hukum, dan bantuan
hukum (cf. Meuwissen24).
Perbedaan antara disiplin hukum yang satu dari yang lainnya itu terutama
berintikan perbedaan dalam tujuan sasaran kegiatan penelitian ilmiahnya, jenis pengetahuan
yang mau diperoleh, dan pertanyaan inti yang menjadi masalah utama dalam disiplin
hukum yang bersangkutan. Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan dalam obyek
formal penelaahan, sasaran penelitian, metode, perspektif dan sifat perumusan hasil-hasil
penelitian di antara berbagai disiplin hukum itu.
24
Lihat Prof. Dr D.H.M. Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan
Filsafat Hukum, Refika Aditama, 2007.
12
13
situasi-situasi yang wujud konkret persisnya tidak mungkin diantisipasi oleh pembentuk
hukum (pembentuk undang-undang), tetapi, di lain pihak harus tetap prediktabel. Dalam
tegangan antara stabilitas dan fleksibilitas itu, maka implimentasi hukum tidak dapat lain
harus selalu mewujudkan kompromi antara prediktabilitas dan keadilan (cf A. Peczenik).
Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi dan konstruksi yuridik
yang tepat dengan selalu mengacu pada cita-hukum (Meuwissen). Dalam menentukan
pilihan metode yang akan digunakan, maka faktor “judgment” (yang melibatkan
pertimbangan kebijaksanaan atau wisdom) dari pengambil putusan akan ikut berperan;
demikianlah, pada tahap akhir proses dalam pengambilan putusan, maka pengambil
putusan misalnya akan terdorong untuk mempertimbangkan “policy” dan aspek
teleologikal yang melandasi aturan hukum terkait.
Jadi, pada satu sisi, tiap aturan hukum menetapkan model perilaku bagi situasi
tertentu, dan menautkan akibat (hukum) tertentu yang seharusnya terjadi jika dilakukan
perilaku yang sesuai atau yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh model perilaku
itu. Bila orang dalam situasi tertentu itu dan semua pihak yang terkait berperilaku
sebagaimana yang dikehendaki model perilaku itu, artinya mematuhi aturan hukum itu,
maka ketertiban akan terwujud. Pada sisi lain, aturan hukum itu merumuskan tipe konflik
yang mungkin terjadi dalam masyarakat. Artinya jika ada orang yang dalam situasi tertentu
itu tidak berperilaku sebagaimana yang dikehendaki model perilaku yang dirumuskan
dalam aturan hukum, maka terciptalah situasi konflik yang mengganggu ketertiban yang
menghendaki tindakan pemulihan berupa tindakan mewujudkan akibat yang ditetapkan
dalam aturan tersebut. Demikianlah, jika ada orang yang bertindak lain ketimbang yang
dikehendaki model perilaku itu, dan kemudian akibat yang seharusnya terjadi diwujudkan
oleh pihak yang berkewajiban untuk mewujudkannya, maka ketertiban dipulihkan. Jika
yang terakhir inipun tidak terjadi, maka akibat lain (yang mungkin ditetapkan/dirumuskan
dalam aturan hukum lain yang terkait) tertentu seharusnya terjadi.
Jadi, pada dasarnya tata hukum sebagai sistem aturan-aturan hukum adalah
antisipasi terhadap kemungkinan peristiwa-peristiwa yang dapat terjadi di kemudian hari
dengan merumuskan model-model perilaku yang sekaligus merupakan tipe-tipe konflik,
karena jika terjadi perilaku yang menyimpang dari model perilaku itu dengan sendirinya
tercipta situasi konflik, dan terkait padanya tersertakan pula standarisasi pola-pola
penyelesaiannya. Demikianlah, jika di dalam masyarakat dalam kenyataan sungguh-
sungguh terjadi konflik yang sesuai dengan tipe konflik yang terkait pada model perilaku
yang tercantum dalam aturan hukum, maka penyelesaian dan pengargumentasian
putusannya mudah, yakni cukup dengan mensubsumsikan konflik itu pada aturan hukum
yang memuat model perilaku terkait untuk kemudian menarik (mengeksplisitkan)
kesimpulan yang sudah diimplikasikan di dalamnya. Untuk penyelesaian kasus-kasus
demikian, yang disebut "clear-cases" (peristiwa-peristiwa yang jelas termasuk ke dalam
wilayah penerapan sebuah aturan hukum positif), hanya diperlukan pengetahuan tentang
aturan-aturan hukum positif yang berlaku (rechtskennis) dan teknik penerapannya
(rechtstechniek). Tetapi situasinya akan menjadi fundamental berbeda, jika pengambil
putusan, misalnya hakim, dihadapkan pada kasus konkret yang termasuk "hard-cases"
(peristiwa-peristiwa yang tidak atau belum jelas kaidah atau aturan hukum yang mana
yang ke dalam wilayah penerapannya peristiwa-peristiwa tersebut termasuk) seperti kasus
Lindenbaum-Cohen, Sarong-arrest, kasus pencurian listrik, kasus Baby-M, kasus Elmer
13
14
Palmer, kasus Kedungombo, kasus tanah di Irian Jaya, kasus dr. Setiawati, kasus fiktif The
Speluncean Explorers dan The Grudge Informer gubahan Lon Fuller yang kreatif. Karena
situasi riilnya, kasus-kasus yang demikian itu tidak dapat begitu saja disubsumsikan pada
salah satu aturan hukum. Sedangkan semua putusan hukum harus selalu dapat
dipertanggung-jawabkan secara yuridis, artinya harus dapat ditempatkan ke dalam sistem
aturan-aturan hukum (tata-hukum) yang berlaku. Dengan kata lain, semua putusan hukum
selalu memerlukan argumentasi (yuridikal) untuk memungkinkannya diterima sebagai
putusan yang dari segala segi paling akseptabel.
Masalahnya adalah bahwa pembentuk undang-undang dalam kenyataan riil
dihadapkan pada berbagai kenyataan (peristiwa yang menimbulkan masalah hukum
konkret) yang jumlah jenis, variasi dan nuansanyanya adalah "sebanyak ikan di samudra
atau sebanyak bintang di langit", yang tidak mungkin semuanya diantisipasi dengan aturan
eksplisit. Meskipun demikian dalam kenyataan dapat terjadi, dan jika terjadi serta
memerlukan penyelesaian secara yuridik, maka pertanyaan yuridik yang ditimbulkannya
tetap harus memperoleh jawaban yang tepat secara yuridik, artinya harus berlandaskan
aturan hukum yang dapat ditemukan (yang sudah ada) yang dapat dipandang sebagai
hukum yang berlaku. Putusannya harus dapat ditempatkan ke dalam sistem hukum yang
berlaku (yang ada), yang memerlukan argumentasi yuridik yang secara rasional
memperlihatkan bahwa ihwalnya adalah demikian. Masalah eksistensial bagi kehidupan
bermasyarakat yang bermartabat manusiawi inilah yang menjadi landasan epistemologikal
bagi keberadaan, dan yang telah melahirkan, Ilmu Hukum.
25
Mochtar Kusumaatmadja, PENGANTAR ILMU HUKUM, 2000: 5.
26
Dalam bukunya RECHTSPHILOSOPHIE (1950: 209), Radbruch menulis: “Diese eigentliche
Rechtswissenschaft, die systematische, dogmatische Rechtswissenschaft, kann definiert werden als die
Wissenschaft vom objektiven Sinn positiver Rechtsordnungen, …” (Ilmu Hukum sesungguhnya ini, ilmu
hukum sistematikal, dogmatikal ini, dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang makna obyektif tatanan-
tananan hukum positif)
27
Paul Scholten, DE STRUCTUUR DER RECHTSWETENSCHAP, Verzamelde Geschriften I, 1949:
433.
28
Ilmu Hukum adalah kegiatan … yang obyeknya adalah pemaparan seperangkat bahan-bahan legislatif.
(dalam LAW AND LEGAL SCIENCE, 1979)
14
15
legal norms as well as about the systematic interrelations between them."29 yang pada
kesempatan lain menegaskannya sebagai "the doctrinal or analitic study of law" yang
mengemban "two tasks: the interpretation and the systematization of legal norms".30
Selanjutnya Aarnio mengemukakan bahwa sistematisasi adalah aspek teoretikal dari Ilmu
Hukum, sedangkan interpretasi adalah aspek praktikal dari Ilmu Hukum dan pertama-tama
diarahkan pada sasaran-sasaran praktikal. Harold Berman mengemukakan bahwa Ilmu
Hukum (Legal Science) itu adalah “a distinct and systematized body of knowledge, a
science, in which individual decisions, rules, and enactments were studied objectively and
were explained in terms of general principles and truths basic to the system of legal
norms.”31 Obyek-telaah Ilmu Hukum adalah tata-hukum yang berlaku, yakni sistem
konseptual aturan hukum dan putusan hukum yang bagian-bagian pentingnya dipositifkan
oleh pengemban kewenangan hukum yang sah dalam masyarakat atau negara yang di
dalamnya Ilmu Hukum diemban, jadi keseluruhan teks otoritatif bermuatan aturan-aturan
hukum yang terdiri atas produk perundangan-undangan, traktat, ketetapan birokrasi,
putusan-putusan hakim, hukum tidak tertulis, dan karya ilmuwan hukum yang berwibawa
dalam bidangnya yang disebut doktrin (cf. Bruggink).
Pengembanan Ilmu Hukum terarah pada upaya untuk menjawab pertanyaan hukum
dalam rangka menemukan dan menawarkan alternatif penyelesaian yuridik bagi masalah
kemasyarakatan tertentu (mikro maupun makro) dengan mengacu dan dalam kerangka
tata hukum positif yang berlaku. Ini berarti bahwa kegiatan pengembanan Ilmu Hukum itu
adalah kegiatan mengantisipasi dan menawarkan penyelesaian masalah hukum konkret
yang mungkin terjadi di dalam masyarakat, baik yang dihadapi individu perorangan
maupun yang dihadapi masyarakat sebagai keseluruhan.32 Sehubungan dengan yang
disebutkan terakhir, pengembanan Ilmu Hukum mutlak memerlukan pemahaman yang
mendalam tentang produk-produk Ilmu-ilmu Manusia, khususnya Ilmu-ilmu Sosial.
Dengan kata lain, pengembanan Ilmu Hukum adalah kegiatan mempersiapkan putusan
hukum yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan, yakni yang dapat ditempatkan
dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku sebagai salah satu subsistem dari sistem
kemasyarakatan (societal system) sebagai suatu keseluruhan. Untuk itu maka teks
otoritatif yang bermuatan berbagai aturan hukum yang berlaku tersebut harus dihimpun,
ditata, dipaparkan dan disistematisasi, yang mutlak mensyaratkan interpretasi terhadap
teks otoritatif itu. Untuk dapat menginterpretasi dan mensistematisasi massa bahan hukum
berupa teks otoritatif yang volumenya sangat besar dan selalu berubah itu secara tepat
sehingga dapat dipahami, dikuasai dan digunakan secara efektif-bertujuan (dapat
ditangani, hanteerbaar), maka dalam pengembanan Ilmu Hukum itu dengan sendirinya
dilakukan pembentukan pengertian-pengertian (konsep-konsep), kategori-kategori, teori-
29
Dogmatika Hukum adalah studi yang berupaya mengajukan pernyataan tentang isi dari kaidah hukum
yang sah (yakni yang mengikat) dan tentang interrelasi sistematikal di antara mereka. (dalam
LINGUISTIC PHILOSOPHY AND LEGAL THEORY, 1979: 19).
30
Studi tentang hukum secara doktrinal atau analitikal …… dua tugas: interpretasi dan sistematisasi
kaidah-kaidah hukum. (dalam PARADIGM ARTICULATION IN LEGAL RESEARCH, 1983: 210)
31
Suatu perangkat pengetahuan yang jelas batas-batasnya dan tersistematisasi, sebuah ilmu, yang di
dalamnya putusan-putusan individual, aturan-aturan, dan perundang-undangan dipelajari secara
obyektif dan dijelaskan dalam peristilahan asas-asas umum dan kebenaran-kebenaran yang mendasar
bagi sistem aturan-aturan hukum. (dalam LAW AND REVOLUTION, 1983: 120).
32
H. Ph. Visser ‘t Hooft, FILOSOFIE VAN DE RECHTSWETENSCHAP, Leiden, 1988: 28-30.
15
16
33
H. Ph. Visser ‘t Hooft, 1988: 71-79.
34
H. Ph. Visser ‘t Hooft, FILOSOFIE VAN DE RECHTSWETENSCHAP, Leiden, 1988: 7.
35
Ekspose ringkas tentang Hermeneutik dalam bahasa Indonesia: W. Poespoprodjo, INTERPRETASI,
Bandung 1987.; E, Sumaryono, HERMENEUTIK. Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta, 1993.; Jazim
Hamidi, HERMENEUTIKA HUKUM, Teori Penemuan Hukum Baru dan Interpretasi Teks, UII Press,
Yogyakarta, 2005.
16
17
mengerti dan/atau interpretasi. Hal atau kegiatan mengerti sesuatu pada intinya adalah
sama dengan kegiatan menginterpretasi. Jadi, memahami sesuatu adalah menginterpretasi
sesuatu, dan sebaliknya dengan menginterpretasi sesuatu tercapai pemahaman tentang
sesuatu itu. Hal memahami atau menginterpretasi itu adalah aspek hakiki dalam
keberadaan manusia yang membedakannya dari hewan, tanaman atau benda-benda lain.
Artinya, keberadaan manusia dan kegiatan menjalankan kehidupannya berlangsung
berlandaskan atau dipengaruhi proses dan produk pemahaman atau interpretasinya. Dalam
refleksi kefilsafatannya, Filsafat Hermeneutik memusatkan perhatiannya pada semua hal
yang memiliki makna sejauh ihwal tersebut dapat diungkapkan dalam wahana komunikasi
yang disebut bahasa dan dapat dimengerti; obyek refleksi kefilsafatannya adalah “bahasa”
yang mencakup bahasa manusia biasa (lisan dan tulisan), bahasa alam (misalnya mendung
tanda akan hujan), bahasa seni, bahasa tubuh dan jenis bahasa lainnya. Secara umum,
dalam bahasa Filsafat Hermeneutik, penampilan obyek refleksi kefilsafatan itu disebut teks
yang dapat berwujud tulisan, lukisan, perilaku, peristiwa alamiah, dsb. Pemahaman dalam
Hermeneutik tidak terbatas hanya pada tindakan intensional, melainkan juga mencakup
hal-hal yang tidak dimaksud oleh siapapun, jadi mencakup tujuan manifes dan tujuan laten.
Dalam Filsafat Hermeneutik, pada peristiwa memahami atau menginterpretasi
sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyeknya
pemahamannya sebagai tabula-rasa, jadi tidak bertolak dari titik nol. Sebab tiap orang
(subyek interpretasi atau interpretator), terlahir (artinya: terlempar, geworfen) ke dalam
suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus-menerus, yakni
tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas,
arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku, dsb., yang terbentuk dan berkembang oleh dan
dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak tergantung dari
kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah berada dalam suatu tradisi yang
sudah ada sebelum ia dilahirkan (Befindlichkeit: ia menemukan dirinya sudah ada di situ).
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, yakni proses pembentukan diri atau
proses pendidikan dalam arti luas (Bildung), tiap orang menyerap atau diresapi muatan
tradisi tersebut, dan dengan itu membentuk pra-pemahaman (Vorverständnis) terhadap
segala sesuatu, yakni prasangka berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yang
menentukan sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas, dan dengan itu juga
terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan (range of vision) yang memuat
semua hal yang tampak dari sebuah titik pandang subyektif tertentu. Pra-pemahaman dan
cakrawala pandang itu akan menentukan persepsi individual terhadap segala sesuatu yang
tertangkap dan teregistrasi dalam wilayah-pandang pengamatan individu yang
bersangkutan. Dalam dinamika proses interpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala
pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti meluas, melebar dan meningkat derajat
kedalamannya. Pergeseran ini dapat mengubah pengetahuan subyek, karena akan dapat
memunculkan hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam
cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut
lingkaran hermeneutik (hermeneutische Zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian
atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga tercapai konsumasi dengan terbentuknya
pemahaman secara lebih utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat
dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat
17
18
18
19
36
H.Ph. Visser ‘t Hooft, FILOSOFIE VAN DE RECHTSWETENSCHAP, 1988: 12-23.
37
H.Ph. Visser ‘t Hooft 1988: 15.
38
H.G. Gadamer, WAHRHEIT UND METHODE, tubingen, 1965: 207-323.
19
20
melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan
(misalnya menetapkan fakta-fakta yang relevan dan makna yuridikalnya).
Pengembanan Ilmu Hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks yuridik untuk
mendistilasi kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu dan dengan itu
menetapkan makna serta wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator)
dan teks yuridik itu terdapat jarak waktu. Teks yuridik adalah produk pembentuk hukum
untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan orang
yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang
merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan. Jadi, terbentuknya teks yuridik itu terjadi
dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan
kemasyarakatan yang dipandang memerlukan pengaturan hukum dengan mengacu cita-
hukum yang dianut atau hidup dalam masyarakat. Dalam upaya mendistilasi kaidah hukum
dari dalam teks yuridik dengan menginterpretasi teks tersebut, interpretator (ilmuwan dan
praktisi hukum) tidak dapat lain kecuali dalam kerangka pra-pemahamanan dan cakrawala
pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri, jadi terikat pada waktu yang di
dalamnya interpretasi itu dilakukan. Dengan demikian, pada tiap peristiwa interpretasi teks
yuridik terjadi proses lingkaran hermeneutik yang di dalamnya berlangsung pertemuan
antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridik) dan
cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan
pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks
yuridik itu (contoh: perkembangan interpretasi pasal 1365 KUHPerd.). Subyektivitas dari
hasil interpretasi itu akan dapat dikurangi hingga ke tingkat paling minimal, karena
pertama-tama kegiatan interpretasi itu harus selalu mengacu cita-hukum (keadilan,
kepastian hukum, prediktabilitas, kehasilgunaan), nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental
dan sistem hukum yang berlaku. Kedua, produk interpretasi selalu terbuka bagi pengkajian
rasional terhadap argumentasi yang melandasi produk interpretasi tersebut oleh forum
hukum dengan cita-hukum, nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum
sebagai kriteria pengujinya. Jadi, lewat berbagai perpaduan cakrawala dalam dialogia
rasional di dalam forum hukum (dan fora dialogia rasional publik pada umumnya) dapat
diharapkan akan dihasilkan produk interpretasi yang paling akseptabel, yakni secara
rasional dapat dipertanggung-jawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga
memiliki keberlakuan intersubyektif. Landasan kefilsafatan (dan sosiologikal) bagi
kemungkinan terbentuknya keberlakuan intersubyektif ini adalah unsur paling hakiki yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya, yakni bahwa tiap manusia memiliki akalbudi
dan nurani yang lewat proses interaksi kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari
(proses Bildung, yakni proses pendidikan dalam arti seluas-luasnya) dapat memunculkan
persamaan persepsi secara umum tentang cita-hukum dan kesadaran hukum di dalam
masyarakat yang bersangkutan. Apa yang dikemukakan di sini berlaku untuk semua bidang
hukum (perdata maupun publik).
20
21
Istilah "ilmu" menyandang dua makna, yakni sebagai produk dan sebagai proses.
Sebagai produk, ilmu adalah pengetahuan yang sudah terkaji kebenarannya dalam bidang
tertentu dan tersusun dalaam suatu sistem. Wim van Dooren39 mengemukakan bahwa
"ilmu" dapat didefinisikan sebagai: pengetahuan yang sah secara intersubyektif dalam
bidang kenyataan tertentu yang bertumpu pada satu atau lebih titik tolak dan ditata secara
sistematikal. Pada definisi ini tampil tiga aspek penting, yakni titik tolak, bangunan
sistematikal dan keberlakuan intersubyektif. Sebagai proses, istilah ilmu menunjuk pada
kegiatan akal budi manusia untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara
bertatanan (stelselmatig) atau sistematis dengan menggunakan seperangkat pengertian
yang secara khusus diciptakan untuk itu, untuk mengamati dan mengkaji gejala-gejala
(fakta-fakta, keterberian, gegevens) yang relevan pada bidang tersebut, yang hasilnya
berupa putusan-putusan yang keberlakuannya terbuka untuk dikaji oleh orang lain
berdasarkan kriteria yang sama dan sudah disepakati atau yang dilazimkan dalam
lingkungan komunitas sekeahlian dalam bidang yang bersangkutan. Dua makna ilmu yang
dikemukakan tadi menunjuk pada aspek-aspek (atau mungkin lebih tepat faset-faset) dari
pengertian ilmu. Kedua aspek tersebut tampak sekaligus dalam batasan pengertian ilmu
yang dikemukakan oleh C.A. van Peursen, yang sekaligus juga menampilkan fungsinya.
Peursen mengemukakan bahwa ilmu adalah sebuah kebijakan, sebuah strategi untuk
memperoleh pengetahuan yang dapat dipercaya tentang kenyataan, yang dijalankan orang
terhadap (berkenaan dengan) kenyataannya. Perkataan "strategi" dalam batasan pengertian
tadi menunjuk pada cara kerja metodik-sistematikal dengan bersaranakan seperangkat
lambang dalam pengolahan dan penjelasan gejala-gejala terberi, serta penataan
gejala-gejala tersebut ke dalam sebuah sistem.40 Jika sekarang kita kombinasikan dua sudut
pandang tentang makna ilmu itu, maka kita dapat merumuskan pengertian ilmu sebagai
berikut ini. Ilmu adalah upaya secara ilmiah, yakni secara rasional-logikal-sistematikal-
metodik terargumentasi untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang realitas
atau bagian tertentu dari realitas. Kegiatan itu dilakukan dengan bersaranakan konsep-
konsep atau pengertian-pengertian yang khusus dibentuk untuk itu, yakni untuk
mengamati, mengkompilasi, mengklasifikasi dan mengkaji fakta-fakta yang relevan dalam
bidang terkait. Hasil dari semua kegiatan itu kemudian ditata ke dalam sebuah sistem
sehingga dapat dipahami secara rasional.
Dengan mengkombinasikan aspek ilmu sebagai produk dan ilmu sebagai proses
seperti yang dikemukakan di atas tadi, maka yang dimaksud dengan ilmu (Wissenschaft,
wetenschap, scientific knowledge) di sini adalah kegiatan akal budi (kegiatan intelektual)
secara ilmiah, yakni secara rasional-logikal-sistematikal-metodikal terargumentasi, untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang realitas atau bagian tertentu dari
realitas, dengan bersaranakan konsep-konsep yang khusus diciptakan untuk itu, dan
menata hasil-hasilnya ke dalam sebuah sistem. Jadi, ilmu adalah kegiatan akalbudi manusia
untuk memperoleh pengetahuan dalam bidang tertentu secara bertatanan (stelselmatig)
atau sistematikal-metodologikal dengan menggunakan seperangkat pengertian yang secara
39
Wim van Dooren, VRAGENDERWIJS, Assen, 1981: 53.
40
C.A, van Peursen, WETENSCHAPPEN EN WERKELIJKHEID, Kampen, 1969: 1-3, 34-39. Lihat
juga karya Peursen lainnya: STRATEGI KEBUDAYAAN (Jakarta, 1976), DE OPBOUW VAN DE
WETENSCHAP (Amsterdam, 1984), FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN (Leiden, 1986);
FAKTA, NILAI, PERISTIWA (Jakarta, 1990).
21
22
41
Harold J. Berman, THE ORIGINS OF WESTERN LEGAL SCIENCE, Harvard Law Review, Vol. 90,
no. 5, 1977: 931. Juga dalam LAW AND REVOLUTION. The Formation of the Western Legal
Tradition, Harvard University Press, 1983: 151-159.
22
23
B. JENIS-JENIS ILMU.
Sejak dimulainya refleksi kefilsafatan dan studi matematika di Yunani 2500 tahun
yang lalu, yang kemudian melahirkan ilmu pertama pada Abad Pertengahan, hingga kini
sejarah kebudayaan dan peradaban manusia telah melahirkan berbagai ilmu untuk secara
rasional memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Proses ini masih berjalan,
khususnya dalam bentuk spesialisasi dan ilmu terapan. Sehubungan dengan banyaknya
jenis ilmu itu, terdapat berbagai cara untuk mengklasifikasi ilmu-ilmu ke dalam beberapa
kelompok dan sub-kelompok, tergantung pada patokan atau kriteria yang digunakan atau
aspek apa yang ditonjolkan.
Pertama-tama keseluruhan karya intelektual manusia untuk memperoleh
pengetahuan atau pemahaman atas realitas dapat dibagi ke dalam Filsafat dan Ilmu-ilmu
Positif. Filsafat adalah refleksi abstrak-spekulatif terhadap realitas dan pengalaman
manusia sebagai keseluruhan atau tentang eksistensi manusia; obyeknya refleksinya adalah
realitas sebagai keseluruhan. Ilmu-ilmu Positif adalah kegiatan intelektual secara ilmiah
untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas suatu bagian tertentu dari realitas
dan pengalaman manusia, dan menata hasil-hasilnya ke dalam sebuah sistem.
Berdasarkan substansinya, Ilmu-ilmu Positif dibedakan ke dalam Ilmu-ilmu Formal,
Ilmu-ilmu Empirik, dan Ilmu-ilmu Praktikal. Ilmu Formal menunjuk pada ilmu yang tidak
bertumpu pada pengalaman atau empiri. Yang dipelajari dalam kelompok ilmu ini adalah
struktur-struktur murni, yakni menganalisis aturan operasional dan struktur logikal, yang
menyajikan skema tentang hubungan saling mempengaruhi antara manusia dan dunia,
merancang jaringan-jaringan (networks) seperti sistem penalaran dan sistem penghitungan,
dan tidak mengungkapkan atau menunjuk pada kenyataan atau fakta empirikal. Ilmu
Formal lebih merupakan ilmu tentang semua dunia yang mungkin. Kebenarannya tidak
memerlukan pembuktian (verifikasi) empirik, melainkan hanya pembuktian rasional dan
konsistensi rasional. Jadi, produk kelompok ilmu ini tidak dinilai berdasarkan kebenaran,
melainkan berdasarkan validitasnya. Sistem formal yang dihasilkan adalah produk rekaan
akal budi manusia semata-mata. Karena itu, substansi kelompok ilmu ini sering dipandang
sebagai konvensi atau sistem bahasa formal. Pengetahuan yang dihasilkannya disebut
23
24
pengetahuan "a priori" yang mendahului pengalaman dan dapat digunakan untuk
mempelajari dan memperoleh pengetahuan yang cermat tentang dunia kenyataan, tentang
dunia empirik. Ilmu Formal terdiri atas Logika dan Matematika, dan kini juga Teori Sistem
termasuk ke dalamnya.42
Ilmu Empirik ditujukan untuk memperoleh pengetahuan faktual tentang kenyataan
aktual, dan karena itu bersumber pada empiri atau pengalaman. Kelompok ilmu ini
dimaksudkan untuk menyajikan pernyataan-pernyataan atau penjelasan teoritikal yang
dapat diuji secara eksperimental atau empirikal tentang proses yang terjadi dalam dunia
kenyataan. Kebenaran pengetahuan yang dihasilkannya menuntut pembuktian (verifikasi)
empirikal, di samping pembuktian rasional dan sejauh mungkin konsistensi. Dalam
kelompok ilmu ini dapat terjadi produk penelitian yang saling berlawanan tanpa
mengurangi nilai kebenarannya masing-masing; pertentangan yang demikian disebut
antinomi. Dalam kelompok ilmu ini, Logika dan Matematika berperan untuk mengontrol
validitas penalaran dan mengkaji kebenaran pernyataan-pernyataannya. Yang dimaksud
dengan kebenaran di sini adalah korespondensi antara pernyataannya dengan keterberian
(fakta) empirikal. Karena bersumber dan bertumpu pada empiri, maka pengetahuan yang
dihasilkannya disebut pengetahuan "a posteriori", yakni pengetahuan yang yang didahului
pengalaman. Ilmu-ilmu Empirik terdiri atas Ilmu-ilmu Alam (Naturwissenschaften) dan
Ilmu-ilmu Manusia (Geisteswissenschaften), dan dengan ini ditunjuk pembagian
berikutnya, yakni pembagian berdasarkan obyek bidang kajian.43
Ilmu-ilmu Alam mempelajari alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia
sebagai obyek. Kelompok ilmu ini mempelajari aspek-aspek dari kenyataan yang secara
langsung dapat ditangkap oleh pancaindera, dengan atau tanpa instrumen.44 Dalam
Ilmu-ilmu Alam, data inderawi (data empirik) itu persis sebagaimana data tersebut secara
langsung menampakkan diri dan ditangkap oleh pancaindera, dan tidak seperti pada
Ilmu-ilmu Manusia yang mempelajari data inderawi itu sejauh data tersebut menyatakan
sesuatu yang lain. Ciri lain dari kelompok ilmu ini adalah bahwa obyektivitasnya adalah
obyektivitas dari data sebagai obyek. Tentang obyek studinya, kelompok ilmu ini
mengandaikan berlakunya suatu bentuk determinisme, dalam arti bahwa aksi tertentu
niscaya menimbulkan reaksi tertentu. Karena itu, dalam kelompok ilmu ini dituntut bahwa
setiap eksperimen pada prinsipnya harus dapat diulang. Terkait pada sifat ini, adalah ciri
lainnya, yakni cara kerjanya yang analitik dan bersifat eksak. Dalam kelompok ilmu ini
digunakan metode Penjelasan (Erklären) yang diarahkan untuk menemukan hubungan
atau hukum kausalitas deterministik dalam gejala yang ditelaahnya, yakni keajegan yang
niscaya berlaku atau terjadi (wetmatigheid) dalam gejala-gejala yang tidak tunduk pada
kemauan manusia. Sehubungan dengan metode ini, gejala yang diteliti dipandang sebagai
kejadian khusus dari sebuah hukum yang umum. Dalam menerapkan metode ini, dilakukan
pengukuran eksak dengan bersaranakan matematika terhadap semua faktor yang berperan
dalam gejala yang diteliti. Untuk memperoleh hasil semurni mungkin, maka gejala yang
hendak diteliti diisolasi. Sebab, ilmu-ilmu ini berpraanggapan bahwa semua berkaitan
42
A.G.M. van Melsen, WETENSCHAP EN VERANTWOORDELIJKHEID, Aula, 1969: 68-78.
C.A. van Peursen: WETENSCHAP EN WERKELIJKHEID, Kampen, 1969: 42-72.
C.A. van Peursen, DE FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN, Leiden, 1986: 44-48.
43
C.A. van Peursen, op.cit. 1986: 48-53.
44
A.G.M. van Melsen, op.cit. 1969: 41-46.; C.A. van Peursen, op.cit. 1986: 41, 42.
24
25
dengan semua, namun tiap obyek tersendiri tidak memiliki hubungan intrinsik dengan
obyek-obyek lain.
Ilmu-ilmu Manusia, yang oleh neo-kantian Rickert disebut Ilmu-ilmu Budaya
(Kulturwissenschaften), mempelajari manusia sebagai subyek dan isi alam semesta lainnya
dalam kaitan dengan manusia sebagai subyek (Dasein). Yang dimaksud dengan "manusia
sebagai subyek" adalah manusia sebagai makhluk berhati-nurani yang memiliki nilai,
berkemauan, berperasaan, dan berakal-budi, yang karena itu mampu menentukan sikap
dan memberikan reaksi sendiri terhadap segala sesuatu, baik terhadap benda-benda dan
makhluk-makhluk lain (termasuk sesama manusia) maupun peristiwa dan aksi terhadap
dirinya. Ilmu-ilmu ini mengarahkan diri pada gejala budaya, yakni semua produk manusia
sebagai mahkluk yang bertindak secara sadar. Manusia dapat menentukan perilakunya
lewat pertimbangan (deliberasi), perundingan, perhitungan, melihat ke depan
(perencanaan). Manusia mampu memperhitungkan perilakunya sendiri dan perilaku orang
lain. Gejala budaya pada dasarnya merupakan resultante maksud-maksud yang saling
mempengaruhi, jadi semuanya itu adalah gejala makna. Untuk memahaminya diperlukan
interpretasi, sebab manifestasi dan maksud tidak selalu identik. Penjelasan terhadap gejala
yang dipelajari tidak terdapat dalam hukum kausalitas umum yang deterministik (yang
berlaku dengan keniscayaan), melainkan dalam pemahaman tentang motif, ideal yang
hidup dalam manusia, perasaan tentang hak, kasih sayang, keprihatinan. Metodenya
disebut metode Pemahaman atau "Verstehen" (Dilthey, Heidegger, Gadamer, Weber).
Ilmu-ilmu Manusia memperlihatkan ciri-ciri berikut. Pertama, interpretasi memegang
peranan penting. Kedua, gejala yang dipelajari tidak boleh diisolasi, melainkan harus
dipahami sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang lebih besar. Ketiga, keterlibatan
peneliti, dan keberlakuan intersubyektif merupakan jaminan obyektivitas produk kegiatan
ilmiahnya. Keempat, obyek yang diteliti, yakni gejala kultur, bermuatan nilai yang memiliki
obyektivitas tertentu. Nilai berlaku sebagai kaidah atau kriteria pada penataan kenyataan.
Tindakan yang menghasilkan kultur harus dipahami sebagai tindakan yang dibimbing nilai.
Nilai juga berlaku terhadap peneliti sendiri.45
Ilmu-ilmu Manusia terdiri atas Ilmu-ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Sejarah dan Ilmu-ilmu
Bahasa. Ilmu-ilmu Sosial mempelajari pola-pola gejala hubungan dan interaksi antar-
manusia yang berulang, dapat diulang, dan sebaiknya keajegan perulangan hubungan dan
interaksi tersebut dilestarikan dan ditingkatkan kualitasnya. Ilmu-ilmu Bahasa mempelajari
sarana komunikasi antar-manusia melalui lambang-lambang atau sistem perlambangan.
A.G.M. van Melsen dalam ”WETENSCHAP EN VERANTWOORDELIJK-
HEID”46 menambahkan kelompok Ilmu Sejarah sebagai kelompok ketiga ke dalam
kelompok Ilmu Empirik, di samping Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-ilmu Manusia.
Sesungguhnya lebih tepat jika kelompok Ilmu-ilmu Sejarah ini ditempatkan ke dalam
kelompok Ilmu-ilmu Manusia di samping Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu-ilmu Bahasa. Ilmu
Sejarah mempelajari sejarah manusiawi, yakni sejarah yang menyangkut kehidupan
manusia sebagai manusia atau yang secara sadar dilakukan oleh manusia. Obyek formalnya
adalah semua hal, namun dipandang dari sudut kegiatan manusiawi sebagaimana yang
berlangsung dalam dimensi waktu. Proses alam hanya akan menjadi perhatiannya sejauh
manusia dari dirinya sendiri memberikan reaksi terhadapnya. Dalam ilmu-ilmu ini, yang
45
A.G.M. van Melsen, 1969: 53-58.
46
A.G.M. van Melsen, 1969: 59.
25
26
menjadi titik pusat perhatiannya adalah hal yang unik. Keunikan ini disebabkan oleh sifat
manusia itu sendiri, yakni bahwa manusia selalu memberikan jawaban sendiri terhadap
situasi yang di dalamnya ia terlibat.
Ilmu Formal dan Ilmu Empirik sebagaimana dipaparkan di atas, termasuk ke dalam
Ilmu Teoritikal, yakni ilmu yang ditujukan untuk semata-mata memperoleh pengetahuan
ilmiah dalam suatu bidang, yakni pengetahuan yang benar atau yang dapat dipertanggung-
jawabjan secara rasional. Jadi, tujuan ilmu-ilmu teoritikal adalah untuk memperoleh dan
mengubah (termasuk menambah dan mengkoreksi) pengetahuan ilmiah. Produk ilmu-ilmu
ini dapat, dan dalam kenyataan memang, digunakan dalam masyarakat untuk memecahkan
masalah dan meningkatkan kesejahteraan, jadi digunakan di luar ilmu-ilmu itu sendiri.
Penerapan Ilmu Teoritikal yang demikian itu disebut Ilmu Teknik dan Teknologi.
Pasangan Ilmu Teoritikal adalah Ilmu Praktikal yang harus dibedakan dari praktek
penerapan Ilmu Teoritikal yang dikemukakan tadi. Ilmu Praktikal adalah ilmu yang
mempelajari aktivitas penerapan itu sendiri sebagai obyek telaahnya.47 Penerapan
kelompok ilmu ini disebut "ars" dalam bahasa Latin yang padanannya adalah keahlian
berkeilmuan atau kemahiran yang dapat dan harus dipertanggung-jawabkan secara ilmiah.
Ilmu Praktikal bertujuan untuk mengubah keadaan, atau menawarkan penyelesaian
terhadap masalah konkret. Termasuk ke dalam kelompok ilmu ini adalah Etika, Teologi,
Ilmu Teknik, Ilmu Kedokteran, Ilmu Hukum, Ilmu Manajemen, Ilmu Komunikasi,
Polemologi, dsb. Sebagai ilmu, kelompok ilmu ini tidak menyajikan kaidah moral, sama
seperti kelompok Ilmu Teoritikal. Namun bagi Ilmu Praktikal dan penerapannya berlaku
kaidah moral yang disebut moral keahlian atau etika profesi. Kelompok ilmu ini dalam
dinamika kegiatan ilmiahnya terbuka bagi berbagai pengaruh dari luar lingkungan ilmu dan
nilai-nilai manusiawi, setidak-tidaknya pengaruh tersebut lebih besar ketimbang bagi
kelompok Ilmu Teoritikal.
Kelompok Ilmu Praktikal dapat dibagi ke dalam dua jenis, yakni Ilmu Praktikal
Nomologikal dan Ilmu Praktikal Normologikal.
Ilmu Praktikal Nomologikal berusaha memperoleh pengetahuan faktual-empirikal,
yakni pengetahuan tentang hubungan ajeg yang ceteris paribus niscaya berlaku antara
dua hal atau lebih berdasarkan asas kausalitas-deterministik. Produknya dapat
diungkapkan, seperti pada ilmu-ilmu empirik, dalam rumus “Jika A (ada atau terjadi),
maka B (ada atau terjadi)” (When A is, then B “is”). Di sini proses berlakunya asas
kausalitas tidak dipengaruhi oleh kemauan manusia. Dalam Ilmu Kedokteran yang
termasuk jenis ilmu ini misalnya, jika sudah dapat dipastikan bahwa “x” menyebabkan
penyakit “y”, maka, ceteris paribus, untuk menyembuhkan orang yang mengidap penyakit
“y” harus diberi terapi yang menghilangkan atau menetralisasi “x”, dan jika “x” sudah
ditiadakan atau dinetralisasi maka penyakit “y” niscaya akan hilang.
Ilmu Praktikal Normologikal, yang disebut juga Ilmu Normatif, berusaha
menemukan hubungan antara dua hal atau lebih berdasarkan asas imputasi (menautkan
tanggungjawab atau kewajiban) untuk menetapkan apa yang seharusnya menjadi
kewajiban subyek tertentu dalam situasi konkret tertentu, sehubungan dengan terjadinya
perbuatan atau peristiwa atau keadaan tertentu, namun dalam kenyataan apa yang
seharusnya terjadi itu tidak niscaya (selalu) dengan sendirinya terjadi. Rumus logikalnya
47
C.A.. van Peursen, 1986: 61.
26
27
berbunyi: “Jika A (terjadi atau ada), maka seyogianya B (terjadi)” (When A is, B “ought”
to be, even though B perhaps actually is not).48 Di sini berlakunya proses asas kausalitas
atau asas imputatif itu dipengaruhi oleh kemauan manusia yang terkait dalam peristiwa itu.
Ilmu Praktikal Normologikal ini dapat dibedakan ke dalam Ilmu Praktikal Normologikal
yang otoritatif (Ilmu Normatif Otoritatif) dan Ilmu Praktikal Normologikal yang non-
otoritatif (Ilmu Normatif Non-otoritatif). Ilmu Normatif Otoritatif adalah ilmu praktikal
yang obyek telaahnya adalah tatanan yang secara yuridik bersifat mengkaidahi perilaku,
dan produknya juga secara yuridik dapat mempunyai dampak mengkaidahi perilaku.
Sedangkan, Ilmu Normatif Non-otoritatif adalah ilmu praktikal yang obyek telaah dan
produknya secara yuridik tidak bersifat mengkaidahi perilaki. Yang termasuk ke dalam
Ilmu Normatif Otoritatif adalah Ilmu Hukum, dan yang lainnya termasuk ke dalam Ilmu
Normatif Non-otoritatif (Etika, Pedagogi, Manajemen).
Untuk memperoleh gambaran menyeluruh terikhtisar (overzicht), tampaknya
keseluruhan ilmu-ilmu itu terlebih dahulu perlu diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar,
yakni Ilmu Teoritikal dan Ilmu Praktikal.49 Ilmu Teoritikal bertujuan untuk memperoleh
atau mengubah pengetahuan. Ilmu Praktikal bertujuan untuk mengubah keadaan. Ilmu
Teoritikal terdiri atas Ilmu Formal dan Ilmu Empirik. Ilmu Formal menghasilkan struktur
murni, seperti struktur logikal, skema, jaringan atau jejaring, sistem penghitungan. Ilmu
Empirik merupakan hasil interpretasi terhadap Ilmu Formal yang diproyeksikan pada
aspek tertentu dari dunia kenyataan. Ilmu Empirik terdiri atas Ilmu-ilmu Alam dan Ilmu-
ilmu Manusia. Ilmu-ilmu Manusia terdiri atas Ilmu-ilmu Sosial, Ilmu-ilmu Sejarah dan
Ilmu-ilmu Bahasa. Ilmu Praktikal merupakan hasil evaluasi terhadap (produk) Ilmu
Empirik dan Ilmu Formal untuk digunakan dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah
yang dihadapi manusia dalam kenyataan kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, Ilmu
Praktikal ini merupakan medan tempat berbagai ilmu bertemu dan berinteraksi
(berkonvergensi), yang produk akhirnya berupa penyelesaian masalah yang secara ilmiah
(rasional) dapat dipertanggung-jawabkan.50 Ilmu Praktikal terdiri atas Ilmu Praktikal
Nomologikal yang tunduk pada hukum kausal-deterministik, dan Ilmu Praktikal
Normologikal yang berintikan relasi imputatif dan mengacu pada asas kausalitas non-
determistik. Antara berbagai jenis ilmu itu terdapat hubungan saling memberikan dan
menerima umpan-balik.
48
Mochtar Kusumaatmadja, PENGANTAR ILMU HUKUM, 1996: 7. Hans Kelsen, THE PURE
THEORY OF LAW, University of California Press, Berkeley, 1970: 77.
49
Mochtar Buchori dalam ceramah berjudul ILMU-ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA INDONESIA
MENUJU ABAD XXI di FISIP-UNPAR (1996) mengemukakan klasifikasi yang membagi ilmu ke
dalam Ilmu-ilmu Dasar (basic sciences) dan Ilmu-ilmu Terapan. Ilmu-ilmu Dasar terdiri atas
kelompok Ilmu Kemanusiaan atau Humaniora (alpha sciences), kelompok Ilmu Pengetahuan Alam
(betha sciences), dan kelompok Ilmu-ilmu Sosial (gamma sciences). Ilmu-ilmu Terapan terdiri atas
Ilmu-ilmu Normatif yang bertumpu pada Humaniora, Ilmu-ilmu Terapan yang bertumpu pada Ilmu
Dasar Pengetahuan Alam, dan Ilmu-ilmu Terapan yang bertumpu pada Ilmu-ilmu Sosial Dasar.
50
C.A. van Peursen, WETENSCHAP EN WERKELIJKHEID, 1969: 215-218. Juga FAKTA, NILAI,
PERISTIWA. Tentang Hubungan antara Ilmu Pengtahuan dan Etika, 1990: 33-42.
27
28
ditambahkan bahwa Ilmu Hukum, seperti juga Ilmu Kedokteran, menempati kedudukan
istimewa dalam klasifikasi ilmu, bukan hanya karena mempunyai sejarah yang panjang
yang telah memapankannya dibandingkan dengan ilmu lainnya, tetapi juga karena sifatnya
sebagai Ilmu Normatif dan dampak langsungnya terhadap kehidupan manusia dan
masyarakat yang terbawa oleh sifat dan problematiknya (masalah mendesak yang inheren
dalam kehidupan sehari-hari manusia) yang telah memunculkan dan membimbing
pengembanan serta pengembangannya. Ilmu Hukum yang termasuk ke dalam kelompok
Ilmu Praktikal itu menyandang sifat khas tersendiri. Selain karena alasan yang
dikemukakan tadi, juga obyek telaahnya berkenaan dengan tuntutan berperilaku dengan
cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya tergantung pada kehendak bebas yang
bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuasaan publik. Pada masa sekarang
kedudukan Ilmu Hukum lebih khusus lagi, karena obyek telaahnya bukan hanya hukum
sebagaimana yang biasa dipahami secara tradisional. Dalam perkembangan masyarakat
pada masa kini, tugasnya sudah lebih banyak terarah pada penciptaan hukum baru yang
diperlukan untuk mengakomodasi timbulnya berbagai hubungan kemasyarakatan yang
baru. Karena itu juga, Ilmu Hukum sehubungan dengan obyek telaahnya itu harus terbuka
dan mampu mengolah produk berbagai ilmu lain tanpa berubah menjadi ilmu lain tersebut
dengan kehilangan karakter khasnya sebagai ilmu normatif.
Apa yang dipaparkan di atas tentang berbagai jenis ilmu dan kedudukan Ilmu Hukum
dalam keseluruhan ilmu-ilmu, dapat digambarkan secara skematik ke dalam Skema
Klasifikasi Ilmu-ilmu sebagai berikut ini:
28
29
Catatan:
* ILMU POSITIF: kegiatan intelektual secara rasional-sistematikal-metodologikal-terargumentasi untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang benar atas suatu bagian tertentu dari realitas dan menata
hasil-hasilnya ke dalam sebuah sistem.
* ILMU FORMAL: ilmu yang mempelajari struktur-struktur formal, skema-skema, pola-pola hubungan,
bentuk-bentuk dan jejaring-jejaring (networks): MATEMATIKA, LOGIKA, TEORI SISTEM.
* ILMU EMPIRIK: ilmu yang secara empirikal berupaya memperoleh pengetahuan faktual tentang
kenyataan aktual untuk menyajikan pernyataan dan penjelasan teoretikal tentang dunia kenyataan yang
dapat diuji secara empirikal: ASTRONOMI, FISIKA, LINGUISTIKA, SEJARAH, SOSIOLOGI, dsb.
* ILMU ALAM mempelajari alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia sebagai obyek.
* ILMU MANUSIA mempelajari manusia dan isi alam semesta dalam kaitan dengan manusia sebagai
subyek (Dasein).
* ILMU TEORETIKAL: hanya bertujuan untuk memperoleh pengetahuan yang benar dalam suatu bidang
* ILMU PRAKTIKAL: ilmu yang secara ilmiah langsung mempelajari cara menemukan dan menawarkan
penyelesaian terhadap masalah konkret: ILMU KEDOKTERAN, TEKNIK SIPIL, ILMU HUKUM, dsb.
29
30
* Nomologikal: tak tergantung kemauan manusia; berintikan relasi kausal deterministik (Jika A, maka
B.)
* Normologikal: berintikan relasi imputatif menautkan tanggungjawab pada subyek tertentu karena
perilaku seseorang. Dipengaruhi kemauan manusia. Tunduk pada asas kausalitas non-deterministik
(Jika A, seyogianya B).
51
Mochtar Kusumaatmadja, PENGANTAR ILMU HUKUM, Bandung, 2000: 6, 7.
52
Aulis Aarnio dalam OUTLINE OF A HERMENEUTIC APPROACH IN LEGAL THEORY (1983: 64)
mengatakan: “… that legal dogmatics always has been, and will continue to be, a study of meanings,
the ontology, epistemology and methods of which deserve to be assessed in fair terms.”.
30
31
53
Tentang penjelasan berbagai metode interpretasi yang dilengkapi dengan contoh-contoh konkret yang
diambil dari yurisprudensi, lihat J.A. Pontier, PENEMUAN HUKUM, Jendela Mas Pustaka, Bandung,
2008.
54
Radbruch, LEGAL PHILOSOPHY, 1950: 141. Dalam teks aslinya dikatakan: “ … aber notwendig zu
einer einzigen Deutung des Gesetzes kommen muss.” (RECHTSPHILOSOPHIE, 1950: 210).
31
32
untuk menemukan dan menetapkan satu makna tinggal tentang aturan hukum terkait.
Dalam konteks ini Koesnoe menjelaskan bahwa pada waktu melakukan interpretasi
yuridik, maka yang pertama-tama dihadapi oleh ilmuwan hukum adalah “aksara yang
tertulis dihadapannya”, untuk kemudian berupaya menemukan arti dari aksara (kata-kata
tertulis) tersebut. Selanjutnya Koesnoe mengemukakan “Dengan begitu si yuris yang
membaca itu menghadapi konsep, pengertian dari kata yang bersangkutan. Jumlah konsep
yang dijumpai itu umumnya tidak tunggal. Tidak ada kata yang mutlak tunggal arti. Dari
itu, membaca tulisan dalam tahap tersebut, adalah langkah merenung tentang makna dari
konsep yang ada itu yang paling ‘pas’. (…) Dia dituntut untuk menentukan pilihannya
dalam kerangka konsep yang dianut oleh Tata Hukumnya.”55
Tentang tahap sistematisasi hukum, Van Hoecke mengemukakan bahwa material
hukum dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori. Pertama, teks normatif (teks
otoritatif) yang mencakup perundang-undangan, traktat, asas-asas hukum umum,
yurisprudensi, perjanjian baku, dsb. Kedua, pemakaian bahasa hukum, yang di dalamnya
pengertian-pengertian dalam hukum (konsep yuridis) menempati posisi penting. Ketiga,
penerapan hukum secara konkret, terutama berkenaan dengan situasi konflik sebagaimana
yang termuat dalam putusan hukum. Keempat, sistem hukum asing bersaranakan
Perbandingan Hukum dan Sejarah Hukum.56
Mark van Hoecke mengemukakan tiga tujuan sistematisasi. Pertama,
penyeragaman (unifikasi) yang dijalankan dengan menggunakan Perbandingan Hukum
pada tataran perundang-undangan, dan pada tataran penerapan hukum menggunakan
interpretasi untuk menata putusan-putusan hukum (vonis, ketetapan). Kedua, rasionalisasi
dan penyederhanaan sistem hukum dengan mengkonstruksi aturan-aturan umum dan
pengertian-pengertian umum agar bahan hukum menjadi tertata lebih baik, lebih jelas
tatanan logikalnya dan lebih mudah ditangani dan digunakan (hanteerbaar). Ketiga, lebih
memudahkan penemuan penyelesaian masalah hukum yang belum diatur secara eksplisit.57
B. Tataran sistematisasi
Van Hoecke mengemukakan bahwa sistematisasi material hukum dapat dibedakan
ke dalam tiga tataran, yakni dua pada tataran internal dan satu pada tataran eksternal.
Pertama, tataran teknis, yakni kegiatan semata-mata menghimpun dan menata material
penelitian. Tujuannya adalah memaparkan dan mengklasifikasi aturan-aturan hukum
berdasarkan hierarkhi sumber hukum yang diterima secara umum untuk membangun
landasan legitimasi dalam menginterpretasi aturan hukum. Kedua, tataran teleologis
berupa sistematisasi berdasarkan substansi atau isi hukum. Pada tataran ini yang dilakukan
adalah pemikiran dan penataan ulang material yuridis dalam kerangka perspektif teleologis
pengertian-pengertian dan aturan-aturan. Di sini terjadi proses saling mempengaruhi secara
dialektis atau lingkaran hermeneutis antara interpretasi dan sistematisasi. Interpretasi
pertama aturan-aturan hukum menetapkan landasan penataan sistemnya, yang
berdasarkannya aturan-aturan hukum itu pada gilirannya akan diinterpretasi ulang yang
dapat menyebabkan sistem itu sendiri menjadi lebih jelas dan berkembang. Radbruch
55
H.M. Koesnoe, APA ARTI “YURIDIS”? KAJIAN URAIAN DAN PERSOALANNYA DEWASA INI,
Malang, 1995.
56
M. van Hoecke, AARD EN METHODE VAN DE RECHTSDOGMATIEK, 1984: 192.
57
M. van Hoecke, 1984: 193.
32
33
C. Metode sistematisasi
Tentang cara melakukan sistematisasi, Van Hoecke mengemukakan empat metode.
Pertama, metode Logika, yakni menggunakan asas-asas dan hukum-hukum Logika sebagai
sarana intelektual untuk membangun struktur logikal dalam massa aturan-aturan hukum
yang volumenya semakin tidak terbayangkan dan selalu berubah, sehingga keseluruhan
aturan hukum itu tetap tertata dalam suatu sistem hukum yang koheren. Asas-asas Logika
yang biasa digunakan adalah: induksi, deduksi, analogi, a kontrario, a fortiori, dsb. Kedua,
metode Tipologi, yakni menetapkan tipe normal yang digunakan sebagai pedoman dalam
penataan sejumlah kejadian. Hal ini akan diperlukan jika menghadapi material yang
majemuk dan sangat bernuansa sehingga mustahil untuk menetapkan pembagi umum
terbesar (de grootste gemene deler). Caranya adalah mengkonstruksi tipe normal yang
dapat dipandang representatif untuk keseluruhan unsur yang pada semua kejadian dalam
beberapa hal menyimpang dari tipe normal. Ketiga, metode Teleologikal, yakni
menggunakan nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang melandasi teks undang-undang sebagai
patokan untuk sistematisasi. Keempat, metode Interdisipliner atau Transdisipliner, yakni
memanfaatkan produk berbagai Ilmu Manusia lain untuk melaksanakan sistematisasi
eksternal.59
Tentang penggunaan Logika dalam mensistematisasi material hukum, J.W. Harris
mengemukakan bahwa "the rule-systematizing logic of legal science" terdiri atas empat
asas. Pertama, asas eksklusi, yakni asas yang dengannya Ilmu Hukum mengandaikan
sejumlah sumber legislatif tertentu bagi sistem hukum, dan dengan itu mengidentifikasi
sistem hukum tersebut. Kedua, asas subsumsi, yakni asas yang dengannya Ilmu Hukum
menetapkan hubungan hierarkhis di antara aturan-aturan hukum berdasarkan sumber
legislatif yang lebih tinggi dan yang lebih rendah. Ketiga, asas derogasi, yakni asas yang
digunakan untuk menolak sebuah aturan, atau bagian dari sebuah aturan, karena berkonflik
dengan aturan lain yang berasal dari sumber legislatif yang lebih tinggi. Keempat, asas
non-kontradiksi, yakni asas yang digunakan untuk menolak pemaparan sistem hukum yang
di dalamnya orang dapat mengafirmasi eksistensi sebuah kewajiban dan pada saat sama
juga non-eksistensi sebuah kewajiban yang mengkover situasi-tindakan yang sama pada
kejadian yang sama (perbuatan yang diwajibkan oleh sebuah aturan hukum justru dilarang
oleh oleh aturan hukum lain dalam waktu yang bersamaan). Empat asas tadi bukanlah asas
penerapan aturan pada fakta, melainkan menunjuk pada langkah penalaran standar yang
mewujudkan bagian integral sebuah disiplin akalbudi tertentu, dalam hal ini praktek Ilmu
Hukum. Bagi Harris, empat asas tersebut berfungsi sebagai asas penataan kognitif satuan
58
M. van Hoecke, 1984: 193.
59
M. van Hoecke, 1984: 194, 195.
33
34
semantik (principles about the cognitive arrangement of semantic entities), agar bidang
pengetahuan yang dikonstruksi dengan menggunakan asas-asas itu dapat berguna bagi
pemakai.60
E. Batas sistematisasi
Sistematisasi dan penstrukturan material hukum itu di dalam prosesnya akan
menemukan batasnya yang ditentukan oleh isi aturan hukum. Hukum yang diciptakan oleh
pembentuk hukum itu sendiri hingga derajat tertentu sudah terstrukturkan. Jadi, dalam
hukum itu sendiri sudah terdapat sistem karena bekerjanya fungsi logikal dari kesadaran
60
J.W. Harris, LAW EN LEGAL SCIENCE, 1979: 10, 11.
61
Gustav Radbruch, LEGAL PHILOSOPHY, 1950: 148, 149.; RECHTSPHILOSOPHIE, 1950: 219.
62
Aulis Aarnio, PARADIGM ARTICULATION IN LEGAL RESEARCH, 1983: 216.
M. van Hoecke, 1984: 197.
34
35
manusia dengan kesadaran hukumnya yang berakar pada akal-budi dan nurani. Karena itu,
hingga derajat tertentu, tugas Ilmu Hukum itu adalah untuk “menemukan” dan
mengungkapkan secara kritis-kreatif atau mewedarkan (maksudnya: mengeksplisitkan atau
menampilkan ke permukaan sambil menumbuh-kembangkan) sistem yang sudah ada di
dalam hukum itu sendiri. Di lain pihak, pembentuk undang-undang dalam menjalankan
fungsinya juga sering bertolak dari dan mengembangkan lebih lanjut hasil karya Ilmu
Hukum. Ini berarti bahwa ilmuwan hukum dengan hasil karya pengembanan Ilmu
Hukumnya memberikan masukan terhadap bentuk serta perkembangan sistem hukum.
Dengan demikian, batas-batas kemungkinan sistematisasi material hukum ditentukan oleh
isi hukum itu sendiri dan oleh teori-teori yang berpengaruh dan berfungsi sebagai
paradigma pada sistematisasi.63
63
Bandingkan M. van Hoecke, 1984: 195, 1966. Lihat juga Paul Scholten, STRUKTUR ILMU HUKUM.
64
Thomas S. Kuhn, THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTION, 1970: VIII.
65
Aulis Aarnio, PARADIGM IN LEGAL DOGMATICS, 1984: 26.
35
36
ilmuwan yang membimbing kegiatan ilmiahnya (misalnya dalam seleksi hipotesis); (d)
eksemplar ilmiah, yakni model solusi masalah paradigmatik.66
Diterapkan pada bidang hukum, maka paradigma dalam Ilmu Hukum akan
menentukan ruang lingkup wilayah berkiprah kegiatan ilmiahnya dan menentukan
keabsahan masalah-masalahnya, dan dengan demikian berfungsi normatif bagi
pengembanan Ilmu Hukum. Aulis Aarnio mengemukakan bahwa matriks disipliner Ilmu
Hukum itu mencakup unsur-unsur: (a) asumsi tentang pokok permasalahan dalam
interpretasi yuridis; (b) asumsi tentang doktrin sumber hukum yang sah; (c) asumsi tentang
asas dan aturan metodikal yang secara umum dianut dalam interpretasi yuridis dan
sistematisasi hukum; (d) asumsi tentang nilai dan penilaian yang menguasai interpretasi
Ilmu Hukum dan sasaran-sasarannya.67 Jika empat kelompok asumsi yang dikemukakan
Aarnio itu diisi, maka secara umum akan tampil paradigma dalam pengembanan Ilmu
Hukum dewasa ini sebagai berikut:
(a) pandangan tentang manusia sebagai makhluk rasional dan berhati-nurani:
manusia memiliki kemampuan kognitif dan intelektual untuk mempersepsi dan
menata dunia kenyataan secara rasional, serta membedakan baik dan buruk, adil
dan tidal adil;
(b) teori pembentuk hukum (pembentuk undang-undang) bertindak rasional;
(c) pendekatan positivistik tentang sumber hukum, dengan supremasi hukum
tertulis (produk perundang-undangan); teori tentang sumber hukum yang
memandang material hukum sebagai besaran yang tersusun secara hierarkhis
dengan sumber hukum tertulis menempati posisi dominan;
(d) teori tentang bagaimana teks yuridis harus diinterpretasi yang mencakup
metode-metode interpretasi dan konstruksi hukum: gramatikal, historikal,
sistematikal, teleologikal, argumentum per analogiam, argumentum a
contrario, argumentum a fortiori, penghalusan hukum;
(e) Ilmu Hukum bertugas menawarkan alternatif penyelesaian masalah konkret,
membangun koherensi logikal dan kesatuan dalam hukum melalui interpretasi
dan sistematisasi, bertumpu pada kesadaran hukum dan mengacu cita-hukum;
(f) pandangan bahwa aspek ekspresif dan aspek instrumentalistik dari hukum
berkedudukan setara;
(g) pandangan bahwa pembentukan hukum dan penemuan hukum pada dasarnya
bertujuan untuk merealisasikan cita-hukum yang berintikan positivitas,
koherensi dan keadilan;
(h) hukum bertolak dari, dengan selalu mengacu dan demi realisasi respek atas
martabat manusia dan hak asasi manusia;
(i) model berpikirnya: model berpikir problematik tersistematisasi;
(j) proses penalarannya: deduksi, induksi dan abduksi.
66
Thomas S. Kuhn 1970: 181-187.
67
Aulis Aarnio 1984: 26 dst.
36
37
37
38
Menginterpretasi teks berarti mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks itu serta sekaligus
menentukan maknanya, artinya jangkauan wilayah keberlakuan atau penerapan kaidah
hukum tersebut. Karena itu, interpretasi sesungguhnya selalu mengarah atau mengacu
pada kejadian konkret aktual maupun potensial (yang mungkin termasuk ke dalam wilayah
penerapan). Seperti pada pendekatan terhadap perilaku manusia dalam semua Ilmu-ilmu
Manusia, hal ini mengimplikasikan syarat partisipasi. Maksudnya, makna atau jangkauan
struktur sosial, perangkat aturan dan praktek hanya terbuka bagi pemahaman subyek yang
memiliki titik berdiri sendiri sebagai partisipan terhadap dan di dalam semuanya itu;
dengan kata lain, obyek telaah dalam Ilmu-ilmu Manusia pada dasarnya hanya dapat
dipahami dalam keutuhannya dari sudut titik berdiri internal. Pemahaman tentang makna
kaidah hukum hanya dapat diperoleh dengan menentukan sendiri jangkauan wilayah
keberlakuan kaidah hukum itu, dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku dan
berdasarkan diskusi dengan orang lain. Dengan demikian, interpretasi dalam bidang hukum
itu berlangsung dalam perspektif internal yang derajat subyektivitasnya dibatasi atau
dinetralisasi sejauh mungkin oleh diskursus dalam komunitas ilmuwan hukum dalam
kerangka tatanan hukum positif yang menjamin obyektivitas dalam arti akseptasi
intersubyektif komunitas para pakar bidang sekeahlian. Dengan kata lain, ketika
menginterpretasi teks otoritatif (aturan hukum) dalam konteks menjawab pertanyaan apa
kaidah hukumnya berkenaan dengan suatu kejadian, ilmuwan hukum terdorong untuk
melakukan tindakan, yakni menentukan jangkauan wilayah keberlakuan kaidah hukum itu
dari titik berdirinya sendiri dalam diskursus dengan sesama pakar atau ilmuwan hukum.
Menentukan jangkauan wilayah keberlakuan kaidah hukum itu berarti melakukan tindakan
penilaian terhadap kaidah hukum dalam konteks suatu kejadian, yang berarti mengaplikasi
kaidah hukum itu pada kenyataan (kejadian tersebut). Dalam aplikasi itu kaidah hukum
dan maknanya menjadi aktual, dan menjadi pengetahuan. Penentuan titik berdiri, dan
bertumpu padanya melakukan interpretasi sebagai suatu tindakan mengaplikasi aturan
hukum, sudah memuat suatu penilaian. Jadi, dalam Ilmu Hukum, mengetahui adalah
menilai, dan ini berarti bahwa pengetahuan tentang kaidah hukum itu terbentuk dalam dan
melalui partisipasi-yang-menilai pada makna dan klaim keberlakuan yang sudah bermuatan
nilai.
Implikasi lebih jauh adalah terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat tentang
makna kaidah hukum atau tampilnya lebih dari satu hasil interpretasi. Menetapkan apa
hukumnya yang seharusnya berlaku bagi suatu situasi berarti memilih kaidah hukum dan
maknanya yang paling tepat atau paling akseptabel dari berbagai kemungkinan kaidah
hukum yang dapat ditautkan pada situasi itu dan maknanya yang dapat didistilasi dari
perangkat aturan hukum yang terkait dalam hubungan dengan situasi kemasyarakatan yang
bersangkutan. Dalam proses pemilihan itu, ilmuwan hukum harus mengajukan alasan atau
argumen untuk secara rasional mendukung apa yang dipandangnya sebagai fakta relevan
dan kaidah hukum serta maknanya yang paling tepat atau paling akseptabel dari aturan
hukum terkait. Ini berarti bahwa kegiatan pengembanan Ilmu Hukum berintikan
argumentasi, yakni argumentasi yuridik atau penalaran hukum. Karena itu, Teori
Argumentasi menempati posisi sangat penting dalam pengembanan Ilmu Hukum, sebab
teori ini dapat memberikan sudut pendekatan yang berdasarkannya ilmuwan hukum dapat
menjelaskan dasar-dasar yang melandasi putusan (proposisi) tentang apa fakta relevannya
dan apa hukumnya itu, serta pengujian terhadapnya. Maksudnya, Teori Argumentasi dapat
38
39
menyajikan kriteria rasionalitas untuk menguji kegiatan dan produk pengembanan Ilmu
Hukum.
69
H.Ph. Visser ‘t Hooft 1988: 53.
39
40
40
41
yang berlawanan, baik dalam perdebatan pada pembentukan hukum maupun dalam proses
mempertimbangkan pandangan dan fakta yang diajukan para pihak dalam proses peradilan
dan dalam proses negosiasi.71
Dalam tiga ciri khas penalaran hukum itu secara implisit terkandung analogi, yakni
membanding-bandingkan hal-hal atau kejadian-kejadian untuk menemukan kesamaan dan
kebedaan, untuk kemudian berdasarkan temuan itu menarik kesimpulan. Pada dasarnya,
bentuk logika hukum yang paling utama adalah penalaran analogikal. Penalaran
analogikal sebagai pola dasar penalaran hukum dapat dibedakan ke dalam analogi
doktrinal dan analogi preseden. Analogi doktrinal adalah membandingkan kasus yang
dihadapi dengan kasus yang secara eksplisit diatur dalam sebuah aturan hukum.
Berdasarkan kesamaan-kesamaan dan kebedaan-kebedaan antara dua kasus tersebut
ditentukan apakah kasus yang sedang dihadapi termasuk ke dalam jangkauan wilayah
penerapan aturan hukum tersebut. Pada analogi preseden yang terjadi adalah
membandingkan fakta-fakta dari kasus yang sedang dihadapi dengan fakta-fakta dari
kasus-kasus yang sudah diputus di masa lalu untuk menemukan sebuah kasus yang sudah
diputus terdahulu yang fakta-faktanya dapat dibandingkan dengan fakta-fakta dari kasus
yang sedang dihadapi. Kemudian mendistilasi dengan menggali dan mengeksplisitkan
asasnya (kaidah hukumnya) dari kasus yang sudah diputus yang fakta-faktanya dapat
dibandingkan dengan fakta-fakta dari kasus yang sedang dihadapi. Hasil pendistilasian itu
digunakan (diterapkan) untuk menyelesaikan kasus yang sedang dihadapi.
Sesungguhnya penalaran analogikal pada dirinya tidak cukup untuk secara konklusif
memaksakan produk hukum tertentu seperti pada penarikan kesimpulan dalam deduksi
(silogisme). Sebab, pada tipe penalaran ini terdapat wilayah ketidak pastian yang cukup
luas, sedangkan kriteria untuk menseleksi kesamaan dan kebedaan tetap terbuka bagi
perdebatan. Namun, walaupun dari dirinya sendiri tidak memaksakan suatu produk hukum
tertentu, penalaran analogikal cukup memberikan landasan untuk pengambilan putusan
hukum (kesimpulan), sebab: (a) dalam tiap masyarakat, kesamaan dan kebedaan tertentu
sangat kuat dirasakan sehingga tidak dapat disangkal atau dikesampingkan; (b) doktrin
hukum tertentu sering membatasi rentang yang di dalamnya dapat ditemukan analogi yang
diizinkan pemakaiannya; (c) tiap sistem hukum menetapkan perangkat prosedur dan
metode untuk menarik analogi.
Dalam menyelesaikan masalah hukum, penalaran hukum melibatkan baik induksi, jika
penalarannya berdasarkan kasus-kasus terdahulu yang sudah diputus, maupun deduksi,
jika penalarannya bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum. Tidak jarang pula
dalam penalaran hukum digunakan penalaran yang di dalamnya terdapat unsur induksi dan
unsur deduksi, yakni abduksi (Charles S. Peirce) yang berada di antara induksi dan
deduksi. Pada abduksi yang terjadi adalah berdasarkan (beranjak dari) satu kenyataan
konkret terberi yang dipandang problematikal, disugestikan suatu aturan umum yang dapat
memberikan penjelasan tentang kejadian-kejadian khusus tertentu yang ke dalamnya
kenyataan konkret terberi tadi termasuk. Yang terjadi di sini adalah pembentukan
hipotesis. Abduksi berbeda dari deduksi yang bertolak dari aturan umum, dan berbeda dari
induksi yang bertolak dari sejumlah kejadian khusus72.
71
H.J. Berman, 1972: 202.
72
C.A. van Peursen, FILOSOFIE VAN DE WETENSCHAPPEN, 1986: 76, 107. Lihat lebih jauh
Michael Dua, CHARLES S. PEIRCE: ABDUKSI, DEDUKSI, DAN INDUKSI, 1998.
41
42
42
43
manusia sebagai hasil dari interaksi antara akalbudi, nurani dan kenyataan kemasyarakatan.
Kaidah hukum itu memuat penentuan tentang apa yang dalam situasi konkret tertentu
harus, dilarang atau boleh dilakukan orang dalam hubungan antara yang satu dengan yang
lainnya. Jadi, intinya adalah bahwa kaidah hukum bermuatan keharusan tentang perilaku
manusia, dan dengan demikian bersifat mengkaidahi. Artinya, hukum itu menurut
hakikatnya bersifat normatif.
Jadi, hukum yang menjadi obyek studi Ilmu Hukum adalah hasil karya cipta manusia
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib
berkeadilan. Tiap kaidah hukum positif adalah produk penilaian manusia terhadap perilaku
yang mengacu pada ketertiban berkeadilan tersebut, dan karena itu tiap kaidah hukum
positif adalah produk menimbang-nimbang berbagai kepentingan dengan mengacu pada
nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam masyarakat terkait. Itu sebabnya, di atas dikatakan
bahwa menurut hakikatnya, hukum itu berkarakter normatif. Hukum dan berbagai
kaidahnya adalah produk dan bagian dari kehidupan kejiwaan manusia, dan sebagai
demikian adalah suatu aspek kebudayaan sebagai produk proses membudaya. Ini berarti
bahwa tata-hukum itu bermuatan sistem-nilai. Karena itu, pemahaman secara ilmiah
terhadap hukum dan penggunaannya dalam kehidupan nyata hanya mungkin bermakna jika
dilakukan dengan mengacu pada nilai-nilai dengan perspektif titik berdiri internal
terbatas.73 Artinya, Ilmu Hukum itu tidak bebas-nilai. Itu sebabnya, Harold Berman
mengtakan bahwa sejak timbulnya pada abad 11, Ilmu Hukum itu “was much more than
an intellectual achievement – much more than a method of reasoning or a method of
organizing thought. Its criteria were moral as well as intellectual.74
Karena obyek-telaahnya adalah realitas yang sarat nilai, dan Ilmu Hukum itu sendiri
tidak bebas-nilai, maka pengembanan Ilmu Hukum juga mengemban fungsi kritikal
terhadap obyek telaahnya. Dilaksanakannya fungsi kritikal ini, dengan mengacu cita-
hukum sebagai norma-kritiknya, akan mendorong penerapan dan pengembangan hukum
yang (lebih) sesuai dengan tujuannya dalam konteks kenyataan kemasyarakatan, dan
dengan itu mendorong dilaksanakannya praksis dan politik hukum yang (lebih) adekuat
terhadap tujuan hukum dalam kerangka negara dan tujuan menegara pada umumnya.
Karena itu juga, pengembanan Ilmu Hukum berdampak dan menyandang sifat
mengkaidahi (bersifat normatif), dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses
pembentukan hukum dan penemuan hukum75. Contoh yang paling mencolok adalah
doktrin Molengraaff tentang pengertain perbuatan melanggar hukum yang dikemukakan
pada tahun 1896 padan tahun 1919 melalui arrest HR 31 Januari 1919 dalam kasus
Lindenbaum-Cohen menjadi kaidah hukum hingga sekarang. Singkatnya, Ilmu Hukum itu
menyandang karakter normatif.76
73
J.J.H. Bruggink, REFLEKSI TENTANG HUKUM, Bandung, 1996.
74
H.J. Berman, LAW AND REVOLUTION, 1983: 164.
75
H.Ph. Visser ‘t Hooft, FILOSOFIE VAN DE RECHTSWETENSCHAP, Leiden, 1988.
76
Lihat lebih jauh Carel Smith, HET NORMATIEVE KARAKTER VAN DE RECHTSWETENSCHAP:
RECHT ALS OORDEEL (Karakter normatif ilmu hukum: hukum sebagai penilaian), dalam
Rechtsfilosofie & Rechtstheori, 2009 (38): 202-225.
43
44
A. Cita-hukum Pancasila
Tatanan hukum yang beroperasi dalam suatu masyarakat pada dasarnya merupakan
pengejawantahan cita-hukum yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan ke dalam
berbagai perangkat aturan hukum positif, lembaga hukum dan proses (perilaku birokrasi
pemerintahan dan warga masyarakat). Yang dimaksud dengan cita-hukum adalah gagasan,
karsa, cipta dan pikiran berkenaan dengan hukum atau persepsi tentang makna hukum,
yang dalam intinya terdiri atas tiga unsur: keadilan, kehasil-gunaan dan kepastian hukum.
Cita-hukum itu terbentuk dalam pikiran dan sanubari manusia sebagai produk berpadunya
pandangan hidup, keyakinan keagamaan dan kenyataan kemasyarakatan yang
diproyeksikan pada proses pengkaidahan perilaku warga masyarakat yang mewujudkan
tiga unsur cita-hukum tersebut tadi. Dalam dinamika kehidupan kemasyarakatan, cita-
hukum itu akan mempengaruhi dan berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani,
norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan
hukum (pembentukan, penemuan dan penerapan hukum) dan perilaku hukum. Dirumuskan
dan dipahaminya cita-hukum akan memudahkan penjabarannya ke dalam berbagai
perangkat aturan kewenangan dan aturan perilaku, dan memudahkan terjaganya
konsistensi dalam penyelenggaraan hukum. Dengan demikian, seyogianya tata hukum itu
merupakan sebuah eksemplar ramifikasi cita-hukum ke dalam berbagai asas dan kaidah
hukum yang tertata (tersusun) dalam sebuah sistem. Sejalan dengan itu, Ilmu Hukum yang
mempelajari tatanan hukum sebagai sarana intelektual untuk memahami dan
menyelenggarakan tatanan hukum tersebut, dalam pengembanannya seyogianya pula
bertumpu dan mengacu pada cita-hukum itu.
44
45
Cita-hukum bangsa Indonesia berakar dalam Pancasila yang oleh para Bapak
Pendiri Negara Republik Indonesia ditetapkan sebagai landasan kefilsafatan dalam menata
kerangka dan struktur dasar organisasi negara sebagaimana dirumuskan dalam Undang
Undang Dasar 1945. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang
mengungkapkan pandangan bangsa Indonesia tentang hubungan antara manusia dan
Tuhan, manusia dan sesama manusia, serta manusia dan alam semesta, yang berintikan
keyakinan tentang tempat manusia individual di dalam masyarakat dan alam semesta.
Dalam dinamika kehidupan, pandangan hidup yang dianut akan memberikan koherensi dan
direksi (arah) pada pikiran dan tindakan. Cita-hukum Pancasila yang berakar dalam
pandangan hidup Pancasila dengan sendiri akan mencerminkan tujuan menegara dan nilai-
nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan, Batang Tubuh serta Penjelasan Undang
Undang Dasar 1945.
Pandangan hidup Pancasila bertolak dari keyakinan bahwa alam semesta dengan
segala isinya, termasuk manusia, yang sebagai suatu keseluruhan terjalin secara harmonis,
diciptakan oleh Tuhan. Kehadiran manusia di dunia dikodratkan dalam kebersamaan
dengan sesamanya, namun tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan
yang satu dari yang lain. Keseluruhan pribadi manusia dengan keunikannya masing-masing
mewujudkan satu kesatuan, yakni kemanusiaan. Jadi, "Kesatuan dalam Perbedaan".
sebaliknya, dalam kebersamaan (kesatuan) itu tiap manusia individual warga kesatuan itu
memperlihatkan kodrat kepribadian yang unik, yang berarti terdapatnya perbedaan di
dalam kesatuan kemanusiaan. Jadi, "Perbedaan dalam Kesatuan" 77. Kodrat kepribadian
ini tidak dapat disangkal tanpa meniadakan kodrat kemanusiaannya. Tiap manusia dan
masyarakat harus mengakui, menerima, memelihara dan melindungi kepribadian tiap
manusia warga masyarakat. Namun hal itu tidak berarti bahwa kepentingan tiap manusia
individual secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat. Sebab, terbawa oleh
kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu, tiap manusia individual hanya dapat
mewujudkan kemanusiaannya di dalam masyarakat, dalam kebersamaan dengan sesama
manusia. Jadi, dalam kehadiran dan kehidupannya, manusia itu tidak terlepas dari
ketergantungan pada kebersamaan dengan sesamanya dalam masyarakat. Kebahagiaan dan
upaya untuk mewujudkannya tidak terisolasi dari kebahagiaan masyarakat sebagai
keseluruhan. Selain itu, manusia juga tidak terlepas dari ketergantungan pada lingkungan
alam dan Tuhan. Kebersamaan dengan sesamanya serta ketergantungan pada alam dan
Tuhan adalah struktur dasar yang hakiki dari keberadaan manusia. Struktur dasar
kebersamaan dengan sesamanya dan keterikatan pada alam dan Tuhan ini dirumuskan
dalam bentuk sila-sila dari Pancasila.
Pandangan hidup Pancasila dirumuskan dalam kesatuan lima sila yang masing-masing
mengungkapkan nilai fundamental dan sekaligus menjadi lima asas operasional dalam
menjalani kehidupan, termasuk dalam penyelenggaraan kegiatan menegara dan
pengembanan hukum praktis. Kesatuan lima nilai fundamental itu bersama-sama dengan
berbagai nilai yang dijabarkan atau diderivasi berdasarkannya, mewujudkan sebuah
sistem-nilai, dan dielaborasi (diejawantahkan) ke dalam berbagai asas hukum dan kaidah
hukum yang keseluruhannya mewujudkan sebuah sistem hukum (tata-hukum). Tiap kaidah
hukum mencerminkan atau dijiwai sebuah nilai, dan tata-hukum mencerminkan atau
bermuatan sistem-nilai. Berkaitan dengan sistem-nilai ini, Mochtar Kusumaatmadja
77
Soediman Kartohadiprodjo, KUMPULAN KARANGAN, 1965: 86-96.
45
46
mengemukakan, bahwa dalam esensinya, sistem-nilai itu dapat dibedakan ke dalam nilai-
dasar (base-values) sebagai landasan dan acuan untuk mencapai atau memperjuangkan
sesuatu, dan nilai-tujuan (goal-values) sebagai sesuatu yang harus dan layak untuk
diperjuangkan atau diwujudkan. Sebagai sistem-nilai, Pancasila merupakan "base-values"
dan sekaligus juga merupakan "goal-values". Keseluruhan nilai-nilai dalam sistem-nilai
Pancasila itu dipersatukan oleh asas "Kesatuan dalam Perbedaan" dan "Perbedaan dalam
Kesatuan" yang menjiwai struktur dasar keberadaan manusia dalam kebersamaan itu. Asas
yang mempersatukan itu dalam lambang negara Republik Indonesia dirumuskan dalam
ungkapan "Bhinneka Tunggal Ika". Jadi, "Bhinneka Tunggal Ika" mengungkapkan titik
tolak cara pandang bangsa Indonesia tentang tempat manusia individual di dalam
masyarakat dan dalam alam semesta (Soediman Kartohadiprodjo). Dalam ungkapan
tersebut terkandung pengakuan serta penghormatan terhadap martabat manusia individual,
kekhasan kelompok-kelompok etnis-kedaerahan yang ada dan keyakinan keagamaan
dalam kesatuan berbangsa dan bernegara.
Dalam kerangka pandangan tentang cara keberadaan manusia yang dikemukakan
tadi, maka Cita-hukum Pancasila berintikan:
(a) Ketuhanan Yang Maha Esa;
(b) Penghormatan atas martabat manusia;
(c) Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara;
(d) Persamaan dan kelayakan;
(e) Keadilan sosial;
(f) Moral dan budi pekerti yang luhur;
(g) Partisipasi dan transparansi dalam proses pengambilan putusan publik.
B. Konsepsi hukum
Struktur keberadaan manusia (eksistensi) dalam pandangan hidup Pancasila adalah
kebersamaan dengan sesamanya di dunia. Lingkungan hidup manusia atau dunia kehidupan
konkret manusia (Lebenswelt), yakni dunia yang di dalamnya manusia menjalani
kehidupannya, mencakup alam semesta dengan segala isinya, termasuk sesama manusia
dan kulturnya yang dialaminya. Struktur keberadaan yang demikian itu menyebabkan
dengan sendirinya kehidupan manusia selalu menghadirkan hukum di dalamnya. Dengan
kata lain, keberadaan hukum itu inheren dalam keberadaan manusia, karena struktur
keberadaannya yang ada-bersama-dengan-sesamanya-di-dunia, dan manusia itu berakal-
budi serta berhati-nurani. Pemahaman akal-budi dan penghayatan hati-nurani terhadap
struktur dan kenyataan keberadaannya memunculkan penghayatan tentang apa yang adil
dan apa yang tidak adil (kesadaran hukum). Pada hakikatnya, hukum adalah produk
penilaian akal-budi yang berakar dalam hati-nurani manusia tentang keadilan berkenaan
dengan perilaku manusia dan situasi kehidupan manusia. Penghayatan tentang keadilan
memunculkan penilaian bahwa dalam situasi kemasyarakatan tertentu orang seyogianya
berperilaku dengan cara tertentu, artinya seharusnya melakukan atau tidak melakukan
perbuatan tertentu, karena hal itu adil atau memenuhi rasa keadilan. Penilaian demikian itu
disebut penilaian hukum (rechtsoordeel). Penilaian hukum ini terbentuk sebagai produk
proses pemaknaan akal-budi dan hati-nurani terhadap hasil persepsi manusia tentang
situasi kemasyarakatan tertentu dalam kerangka pandangan hidup, keyakinan keagamaan
dan keyakinan etis dengan berbagai nilainya yang dianut. Jika keseyogiaan ini atau
46
47
keharusan ini dalam kesadaran manusia mengalami transformasi lewat proses dialektik
interaksi sosial yang mengobyektifkannya menjadi pedoman dalam menetapkan keharusan
berperilaku dengan cara tertentu di masa depan dan kepatuhannya tidak sepenuhnya
diserahkan kepada keyakinan dan kemauan subyektif orang perorangan, melainkan dapat
dipaksakan oleh masyarakat (yang diwakilkan kepada kekuasaan publik) melalui prosedur
tertentu, maka keseyogiaan atau keharusan itu menjadi kaidah hukum, yang bentuknya
dapat tertulis atau tidak tertulis. Sebagai demikian, kaidah hukum menyandang kekuatan
berlaku obyektif (mengikat umum) yang mengkaidahi perilaku orang. Karena situasi
kemasyarakatan itu menjalani perkembangan, maka kaidah hukum (penilaian hukum) itu
pada dasarnya merupakan produk sejarah yang sekali terbentuk akan menjalani kehidupan
menyejarah dan menyandang sifat kemasyarakatan, yang kemudian akan mempengaruhi
perjalanan sejarah dan sifat kemasyarakatan dari masyarakat yang bersangkutan.
Kaidah hukum menetapkan bahwa jika terjadi peristiwa atau situasi tertentu, maka
subyek tertentu dalam hubungan dengan subyek yang lain tertentu atau masyarakat sebagai
keseluruhan harus berperilaku dengan cara tertentu, karena hal itu adil dan langsung
berkaitan dengan terwujudnya ketertiban dalam masyarakat yang diperlukan tiap orang
untuk dapat menjalani kehidupannya secara wajar sesuai dengan martabat dan harkatnya
sebagai manusia, tanpa harus mengandalkan kekuatan. Ini berarti bahwa kaidah hukum itu
menetapkan hubungan yang memaksa antara syarat dan apa yang seharusnya terjadi jika
syarat itu terpenuhi. Karena itu, hukum dan kaidah-kaidahnya termasuk dalam dunia "das
Sollen", dan tidak termasuk namun bersumber dan mengarah balik pada dunia "das Sein".
Hanya dalam bentuk kaidah hukum saja, hukum itu dapat menjadi obyek pengetahuan
manusia, dan dengan itu menjadi obyek ilmu, khususnya Ilmu Hukum.
Sebagai keharusan tentang cara berperilaku, hukum dan kaidah-kaidahnya
menghendaki perwujudan dan kepatuhan dalam kenyataan kemasyarakatan. Namun
realisasi dan kepatuhan dalam kenyataan kemasyarakatan hanya mungkin terjadi, dan
secara rasional hanya dapat serta layak diharapkan, jika hukum tidak bermuatan
kontradiksi dan kaidah-kaidahnya tidak saling bertentangan. Ini berarti bahwa keberadaan
hukum dan kaidah-kaidahnya tidak dapat lain kecuali mewujudkan diri sebagai suatu
kesatuan yang koheren (bersistem). Untuk itu, hukum "by necessity"78 menciptakan asas-
asas yang mencegah timbulnya kontradiksi di dalam dirinya sendiri. Hal ini hanya mungkin
terjadi, jika kesadaran hukum yang telah memunculkannya juga bersistem. Kebersisteman
dalam kesadaran dan dalam kesadaran hukum itu adalah tuntutan logikal dari hakikat dan
tujuan keberadaan hukum itu sendiri. Kebersisteman ini dimungkinkan terjadi oleh
bekerjanya fungsi logikal dalam kehidupan rokhani atau kejiwaan manusia, yang
memungkinkan manusia mempersepsi dan menata keberadaannya sendiri dan dunia
sekelilingnya sehingga menjadi dapat dimengerti, bermakna dan mengarahkan atau
mempedomani perilakunya79. Karena hukum terbentuk oleh dan di dalam sejarah serta
menjalani proses menyejarah, maka sistem hukum yang terbentuk di dalamnya itu dengan
sendirinya merupakan sistem terbuka yang menyandang sifat dinamikal.
Dalam masyarakat majemuk, implimentasi dan kepatuhan pada hukum memerlukan
pemositivan dan berbagai lembaga yang dibentuk atau terbentuk untuk itu. Keseluruhan
78
Maksudnya, terbawa oleh hakikat dan tujuan dari hukum itu sendiri, dengan sendirinya memunculkan
asas-asas itu.
79
Paul Scholten, DE STRUCTUUR VAN DE RECHTSWETENSCHAP, 1945: 12-17.
47
48
kaidah hukum positif dan asas yang melandasinya, pranata hukum, kelembagaan hukum
dan proses pembentukan kaidah hukum serta implimentasinya disebut tatanan hukum.
Subsistem tata-hukumnya (keseluruhan kaidah hukum positif serta asas-asas yang
melandasi dan mempersatukannya), walaupun termasuk dalam dunia "das Sollen", namun
berakar dan ditimbulkan secara dialektikal dari dalam serta diarahkan untuk menata
kenyataan kemasyarakatan yang berada dalam dunia "das Sein" atau dunia empiris. Karena
itu, tata-hukum itu terbentuk sebagai hasil produk interaksi dialektikal antara "das Sein"
dan "das Sollen" yang menghendaki realisasi dalam dunia "das Sein", sehingga dapat
dikatakan bahwa tata-hukum itu adalah hukum dalam dunia "das Sollen-Sein" (das Sollen
yang bertumpu dan ditimbulkan secara dialektis oleh das Sein serta terarah balik pada das
Sein tersebut, yakni untuk mengatur “das Sein”), yang menjadi obyek studi Ilmu Hukum.
Perilaku-hukum dan proses-hukum yang mengacu dan diberi bentuk oleh kaidah hukum
(adanya kaidah hukum) dari dunia "das Sollen", berlangsung dalam dunia "das Sein"
(dunia empirik), dan karena itu dapat dikatakan merupakan hukum dalam dunia "das Sein-
Sollen" yang menjadi obyek studi Ilmu-ilmu Sosial, seperti Sosiologi Hukum, Antropologi
Hukum dan Psikologi Hukum.80
Pengertian hukum sebagai obyek Ilmu Hukum menunjuk pada tatanan hukum yang
mencakup keseluruhan tata-hukum yang terdiri atas asas-asas, kaidah-kaidah dan pranata-
pranata hukum yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, serta keseluruhan
lembaga-lembaga dan proses-proses yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam
kenyataan (cf Mochtar Kusumaatmadja). Unsur tata-hukumnya tersusun secara hierarkhik
dalam suatu sistem aturan hukum karena bekerjanya asas lex superior derogat legi
inferiori, asas lex posterior derogat legi priori, asas lex specialis derogat legi generali,
dan asas non-retroaktif. Asas-asas ini, yang mengungkapkan fungsi logikal akal-budi
manusia, sesungguhnya inheren dalam hukum serta dalam pengertian dan keberadaan
tatanan hukum itu sendiri yang terbawa oleh hakikat dan tujuannya sendiri (menjamin
stabilitas dan prediktabilitas demi kepastian dan keadilan) niscaya harus mewujudkan
kesatuan bersistem.
Hukum terbentuk dan berkembang sebagai produk yang sekaligus mempengaruhi,
dan karena itu mencerminkan, dinamika proses interaksi yang berlangsung terus menerus
antara berbagai kenyataan kemasyarakatan (aspirasi manusia, keyakinan keagamaan,
sosial, ekonomi, politik, moral, kondisi kebudayaan dan peradaban dalam batas-batas
alamiah) satu dengan yang lainnya yang berkonfrontasi dengan kesadaran dan penghayatan
manusia terhadap kenyataan kemasyarakatan itu yang berakar dalam pandangan hidup
yang dianut serta kepentingan dan kebutuhan nyata manusia. Karena itu, juga terbawa oleh
hakikatnya ini, hukum dan tatanan hukumnya bersifat dinamis. Dalam masyarakat yang
teratur yang sudah terorganisasikan secara politik dalam bentuk negara, proses
pembentukan hukum itu berlangsung melalui proses politik yang menghasilkan perundang-
undangan, proses peradilan yang menghasilkan yurisprudensi, putusan birokrasi
pemerintahan yang menghasilkan ketetapan dan memunculkan preseden, perilaku hukum
warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang memuculkan hukum tidak tertulis,
dan pengembanan Ilmu Hukum (pembentukan doktrin). Corak hukum yang berlaku dalam
80
Achmad Sanusi, PENGANTAR ILMU HUKUM DAN PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA,
Bandung, 1984: 14.
48
49
suatu negara ditentukan oleh faktor kesadaran hukum yang hidup dalam masyarakat dan
faktor politik hukum.81
Hukum mengemban fungsi ekspresif, yakni mengungkapkan pandangan hidup,
nilai-nilai budaya dan keadilan. Di samping itu, hukum juga mengemban fungsi
instrumental, yakni sarana untuk menciptakan dan memelihara ketertiban, stabilitas dan
prediktabilitas, sarana untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan mewujudkan keadilan,
sarana pendidikan dan pengadaban masyarakat, sarana mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat, dan sarana untuk pembaharuan masyarakat (mendorong,
mengkanalisasi dan mengarahkan perubahan masyarakat). Dalam masyarakat pasca-
kolonial yang sedang menjalani perubahan sosial yang fundamental dan mencakup seluruh
bidang kehidupan secara simultan, maka perundang-undangan memegang peranan
dominan dalam pembangunan tata-hukum nasional serta menjalankan fungsi hukum
sebagai sarana pendidikan dan perubahan masyarakat. Yurisprudensi berperan untuk
mendukung dengan menjabarkan ketentuan perundang-undangan dakam putusan
konkretnya. Dalam kaitan ini, maka Ilmu Hukum yang adekuat sangat dibutuhkan sebagai
sarana intelektual untuk membantu proses pembentukan hukum melalui perundang-
undangan dan yurisprudensi, serta membantu penyelenggaraan hukum menjalankan fungsi
hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat.
D. Konsepsi Negara
Negara adalah masyarakat manusia yang secara menetap mendiami suatu wilayah
tertentu, yang dialami dan dihayati sebagai bagian integral dari keberadaannya, dan yang
mengorganisasikan dirinya secara politik dalam sebuah badan hukum publik sebagai
wahana untuk secara demokratik dalam semangat kebersamaan berikhtiar mewujudkan
kesejahteraan berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat itu. Karena itu, berdasarkan
pandangan hidup Pancasila, maka negara itu adalah negara kesejahteraan, yakni organisasi
81
Soediman Kartohadiprodjo, PENGANTAR TATA HUKUM DI INDONESIA, 1961: 16.
49
50
50
51
perumusan masalah hukum itu ditentukan oleh ketepatan persepsi atau pemahaman
terhadap situasi yang memunculkan masalah hukum tersebut. Untuk memperoleh
pemahaman setepat mungkin tentang situasi yang dihadapi, maka situasi tersebut harus
dianalisis ke dalam fakta-fakta relevan yang mewujudkannya. Mengkualifikasi situasi
untuk menetapkan fakta-fakta yang yuridis relevan dengan memisahkannya dari yang tidak
relevan dilakukan berdasarkan kaidah hukum yang harus ditemukan (didistilasi) dengan
menggunakan metode interpretasi atau konstruksi hukum terhadap aturan hukum atau
sejumlah aturan hukum yang relevan terhadap situasi kenyataan faktual yang dihadapi.
Sebaliknya, memilih aturan hukum dan mendistilasi kaidah hukum yang relevan harus atau
hanya dapat dibenarkan jika dilakukan dari sudut situasi kenyataan faktual yang dihadapi.
Jadi, dalam proses berpikir untuk merumuskan penyelesaian yuridis yang akan ditawarkan
itu, berlangsung proses lingkaran hermeneutikal.
Pengembanan Ilmu Hukum selalu melibatkan dua aspek, yakni kaidah hukum dan
fakta (kenyataan masyarakat), artinya, aspek normatif-preskriptif untuk menemukan
kaidah hukumnya yang menetapkan apa yang seharusnya terjadi, dan aspek empirik-
deskriptif untuk menetapkan fakta-fakta yang relevan dari kenyataan kemasyarakatan.
Dalam proses pengembanannya, kedua aspek itu berinteraksi atau harus diinteraksikan.
Putusan yang diambil untuk ditawarkan sebagai penyelesaian bagi masalah hukum yang
dihadapi itu dimaksudkan sebagai penyelesaian definitif untuk masalah tersebut yang harus
dipertanggungjawabkan secara rasional dalam arti harus tetap mampu mempertahankan
ketertiban berkeadilan dengan mempertimbangkan juga kemungkinan dampak
kemasyarakatannya. Karena itu, putusan yang dihasilkan harus dapat ditempatkan dalam
tatanan hukum yang berlaku dan ke dalam tatanan kemasyarakatan (societal system) yang
di dalamnya tatanan hukum itu merupakan salah satu subsystemnya. Yang disebut terakhir
ini adalah sistematisasi-eksternal material hukum yang menjadi "point of entry" bagi
pendekatan deskriptif-nomologis dan masukan dari Ilmu-ilmu Manusia lainnya (khususnya
Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Politik dan Sejarah), Etika dan pendekatan antisipatif
(Futurologi). Sehubungan dengan itu, dipandang dari sudut Ilmu Hukum sebagai disiplin
mandiri, maka produk Ilmu Ekonomi, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Sejarah
Hukum, Etika dan Futurologi merupakan "ingredients" yang harus diolah menjadi
"adonan" bagi dan dalam pengembanan Ilmu Hukum untuk memproduk proposisi yuridis
(hipotesis) dan teori hukum. Dengan melaksanakan fungsi sistematisasi-eksternal, maka
pengembanan Ilmu Hukum itu sudah dijalankan dengan mengacu Strategi Ilmu Sosial82
yang memungkinkan Ilmu Hukum itu menjadi hidup dan relevan terhadap dinamika
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun pengolahan akhir berbagai masukan ini
tetap hanya dapat dilakukan dengan menggunakan metode normatif yang mengacu nilai
dan kaidah. Bagaimana pun, Ilmu Hukum dalam pengembanannya selalu harus mengacu
dan berintikan rasionalitas-nilai dan rasionalitas-berkaidah tanpa mengabaikan rasionalitas-
efisiensi dan rasionalitas-kewajaran. Dapat dikatakan bahwa sesungguhnya di dalam
pengembanannya, Ilmu Hukum itu sekaligus mengakomodasikan ke dalam dirinya Sejarah
Hukum, Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Psikologi Hukum dan Teori Keadilan (cf.
Paul Scholten).
82
Nonet-Selznick, Law and Society in Transition. Towards a responsive law, 1978: 8. 9.
51
52
Metode Ilmu Hukum pada dasarnya adalah metode penelitian hukum normatif,
khususnya metode interpretasi dan konstruksi hukum, namun dalam pengembanannya,
sehubungan dengan tujuannya sendiri, secara dialektikal (akan harus mampu)
mengakomodasi produk dan cara kerja metode penelitian Ilmu-ilmu Sosial yang bersifat
empirik-deskriptif. Dengan demikian, dalam pengembanannya Ilmu Hukum itu, terbawa
oleh karakternya sebagai ilmu praktis normologikal, sesungguhnya secara metodologikal
lebih mewujudkan dialektika normologi dan nomologi.
Berdasarkan dua masalah pokok yang menjadi "aufgabe"-nya (tugasnya), Ilmu
Hukum dapat dipandang terdiri atas dua bagian besar. Bagian pertama adalah bidang studi
yang mempelajari penyelesaian masalah hukum mikro dengan mempelajari sistem hukum
yang berlaku, yang dapat disebut Teori Penemuan Hukum. Bagian kedua mempelajari
penyelesaian terhadap masalah hukum makro yang dapat disebut Teori Pembentukan
Hukum atau Teori Perundang-undangan. Dalam berkiprahnya, baik Teori Penemuan
Hukum maupun Teori Pembentukan Hukum berintikan cara berpikir tertentu yang disebut
Argumentasi Yuridis. Dengan demikian, secara paradigmatik, Ilmu Hukum terdiri atas
Teori Argumentasi Yuridik, Teori Penemuan Hukum, dan Teori Perundang-undangan.
Teori Penemuan Hukum berintikan Teori Sumber Hukum, Teori Interpretasi Dan
Konstruksi Hukum, serta Teori Klasifikasi Kaidah Hukum. Teori Perundang-undangan
terdiri atas Proses Perundang-undangan, Metode Perundang-undangan, dan Teknik
Perundang-undangan.
Ilmu Hukum dalam pengembanannya harus selalu mengacu nilai. Sebab, hukum
yang menjadi obyek studi Ilmu Hukum adalah hasil karya cipta manusia dengan tujuan
untuk memenuhi kebutuhan manusia pada kehidupan yang tertib berkeadilan. Tiap kaidah
hukum positif adalah produk penilaian manusia terhadap perilaku yang mengacu pada
ketertiban berkeadilan tersebut, dan karena itu berakar pada nilai-nilai. Hukum dan
berbagai kaidahnya adalah produk dan bagian dari kehidupan kejiwaan manusia, dan
sebagai demikian adalah aspek kebudayaan sebagai produk proses membudaya. Ini berarti
bahwa tata-hukum itu bermuatan sistem-nilai. Karena itu, pemahaman secara ilmiah
terhadap hukum dan penggunaannya dalam kehidupan nyata hanya mungkin bermakna jika
dilakukan dengan mengacu pada nilai dengan perspektif titik berdiri internal terbatas
(Bruggink). Artinya, Ilmu Hukum itu tidak bebas-nilai. Sejak timbulnya pada abad 11,
demikian Harold Berman, memang Ilmu Hukum itu “was much more than an intellectual
achievement – much more than a method of reasoning or a method of organizing
thought. Its criteria were moral as well as intellectual.83.
Karena obyek-telaahnya adalah realitas yang sarat nilai, dan Ilmu Hukum itu
sendiri tidak bebas-nilai, maka pengembanan Ilmu Hukum juga mengemban fungsi kritikal
terhadap obyek telaahnya. Dilaksanakannya fungsi kritikal ini, dengan mengacu cita-
hukum sebagai norma-kritiknya, akan mendorong penerapan dan pengembangan hukum
yang (lebih) sesuai dengan tujuannya dalam konteks kenyataan kemasyarakatan, dan
dengan itu mendorong dilaksanakannya praksis dan politik hukum yang (lebih) adekuat
terhadap tujuan hukum dalam kerangka negara dan tujuan menegara pada umumnya.
Karena itu juga, pengembanan Ilmu Hukum berdampak atau menyandang sifat
mengkaidahi (bersifat normatif), dan dengan demikian secara langsung terlibat pada proses
pembentukan hukum dan penemuan hukum.
83
Harorld Berman, LAW AND REVOLUTION, 1983: 164.
52
53
Berdasarkan uraian terdahulu, secara umum dapat dikatakan bahwa Ilmu Hukum
bertujuan untuk:
(a) memaparkan material hukum (perundang-undangan, yurisprudensi, hukum tidak
tertulis, doktrin) secara sistematikal;
(b) menunjukkan apa hukumnya tentang ihwal tertentu dengan mengacu aturan hukum
yang relevan;
(c) memberikan penjelasan historikal tentang situasi tatanan hukum yang berlaku;
(d) memberikan kritik terhadap tatanan hukum, aturan hukum positif atau putusan hukum
berdasarkan doktrin, kebijakan dan politik hukum yang sudah disepakati dengan
mengacu cita-hukum, cita-negara dan tujuan menegara;
(e) mengeliminasi kontradiksi yang tampak tampil dalam tata-hukum;
(f) merekomendasi interpretasi terhadap aturan hukum, jika aturan hukum itu kabur atau
tidak memberikan kepastian;
(g) mengusulkan amandemen terhadap perundang-undangan yang ada atau pembentukan
undang-undang baru.
X. Penutup
Sebagai kesimpulan umum dari keseluruhan uraian dalam makalah ini dapat
dikemukakan beberapa ciri khas Ilmu Hukum sebagai berikut:
(a) Ilmu Hukum adalah ilmu praktikal normologikal yang mempelajari penerapan dunia
keharusan ke dalam dunia kenyataan, yang masalah pokoknya adalah hal menentukan
apa hukumnya bagi situasi konkret tertentu;
(b) Paradigma dalam Ilmu Hukum menetapkan batas-batas wilayah berkiprah kegiatan
ilmiahnya serta menentukan keabsahan masalah dan obyek penelitiannya;
(c) Ilmu Hukum mewujudkan medan berkonvergensinya berbagai ilmu lain; dalam
berkiprahnya, Ilmu Hukum mencakup atau melibatkan Sosiologi Hukum, Antropologi
Hukum, Sejarah Hukum dan Filsafat Hukum (Teori Keadilan);
(d) Dalam obyek-telaah Ilmu Hukum terdapat dan melibatkan unsur otoritas;
(e) Pengembanan dan penerapan (ars) Ilmu Hukum berpartisipasi dalam proses
pembentukan hukum, produknya dapat menimbulkan (kaidah) hukum baru, jadi
berdampak mengkaidahi;
(f) Ilmu Hukum pada analisis terakhir berintikan Teori Argumentasi;
(g) Model berpikir dalam pengembanan Ilmu Hukum adalah Model Berpikir Problematik
Tersistematisasi.
(h) Jenis argumen yang digunakan: Deduktif, Induktif dan Abduktif.
Sehubungan dengan apa yang telah dikemukakan di atas tentang pengertian, tujuan dan
cara pengembanan Ilmu Hukum, maka, dalam rangka memelihara kelangsungan
keberadaan dan pengembangan Ilmu Hukum beserta upaya memaksimalkan
pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat, seyogianya kurikulum pendidikan tinggi
hukum tersusun atas:
(a) pendidikan kemahiran hukum lewat matakuliah: Logika, Teori Sistem, Metode
Penelitian Hukum Normatif dan Empirik, Teori Argumentasi Yuridik, Teori
53
54
Abstract
Legal Science proper, sometimes called Legal Dogmatics, is a practical science. The
scientific activities of this science comprised of compilation, interpretation,
sistematization, and evaluation of authoritative texts or legal materials such as
legislations, court decisions, administrative decisions, customary laws and other
unwritten rules. All this scientific activities, as a practical science, is meant to learn
how to seek and offer an alternative legal solution to a legal or a social problem by
deciding what the law is for the problem at hand. Legal science has a normative
character, and owes its scientific character to the shared standards of production and
evaluation of legal arguments.
.
Keywords:
Legal Science, hermeneutics, practical science, paradigm, Weltanschauung, the idea
of law, Pancasila, ratio, conscience, legal consciousness, rules of conduct, legal
rules, methods, interpretation, systematization, ends of law, legal reasoning, legal
disciplines
54
55
Daftar pustaka
1. Aarnio, Aulis, Linguistic Philosophy and Legal Science, Some Problems of Legal
Argumentation, dalam RECHTSTHEORIE, Beiheft 1 (1979), S.
17-41, Berlin.
2. Aarnio, Aulis, Paradigm Articulation in Legal Research, terdapat dalam
PHILOSOPHICAL PERSPECTIVE IN JURISPRUDENCE, Acta
Philosophica Fennica, Vol. 36, Helsinki, 1983.
3. Aarnio, Aulis, Outline of a Hermeneutic Approach in Legal Theory, dalam
PHILOSOPHICAL PERSPECTIVES IN JURISPRUDENCE, Acta
Philosophica Fennica, Vol. 36, Helsinki, 1983.
4. Aarnio, Aulis, Paradigm in Legal Dogmatics, dalam THE THEORY OF LEGAL
SCIENCE, Dordrecht, 1984.
5. Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia,
Pen. “TARSITO”, Bandung, 1984.
6. Bergh, G.C.J.J. van den , Geleerd Recht. Een geschiedenis van de Europese
rechtswetenschap in vogelvlucht, Kluwer, Deventer, 1980.
7. Berman, H.J., Legal Reasoning, INTERNATIONAL ENCYCLOPEDIA OF THE
SOCIAL SCIENCES, 1972.
8. Berman, H.J., The Origins of Western Legal Science, HARVARD LAW
REVIEW, Vol. 90, No. 5, 1977: 894- 943.
9. Berman, H.J., Law and Revolution, Harvard University Press, Cambridge, 1983.
10. Broekman, J.M., Change of Paradigm in the Law, dalam THE THEORY OF
LEGAL SCIENCE, Dordrecht, 1984.
11. Boyd-King, The History of Western Education, by William Boyd and Edmund
J. King, London, 1977.
12. Bruggink, J.J.H., Refleksi tentang Hukum, Bandung, 1996.
13. Coing, Helmut, The Original Unity of European Legal Science, LAW AND
STATE,Vol. 11, 1975: 76-93.
14. Gadamer, H.G. , Wahrheit und Methode, Tubingen, 1965.
15. Gijssels-Hoecke, Wat is Rechtsteorie?, oleh Jan Gijssels dan Mark van Hoecke,
Kluwer, Antwerpen, 1983.
16. Hadjon, P.M., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik, 1994.
17. Harris, J.W., Law and Legal Science, Clarendon Press, Oxford, 1979.
18. Hoecke, M.v., Aard en Methode van de Rechtsdogmatiek, R&R 1984.
19. Heide, J. ter , “Iudex Viator”, Probleem- of Systeemdenken of Gesystematiseerde
Probleemdenken, ARS AEQUI, 1967: 3-32.
20. Koesnoe. H. M., Kritik terhadap Ilmu Hukum, Yogyakarta, 1983.
21. Koesnoe, H.M., Dasar-dasar Ilmu Hukum, Yogyakarta,1984.
22. Koesnoe, H.M., Apa arti “yuridis”? Kajian uraian dan persoalannya dewasa ini,
Malang, 1995.
23. Koesnoe, H.M., Perbedaan Pendekatan Hukum Secara Yuridis-normatif, Ilmu-ilmu
Sosial dan Hukum Adat, Yogyakarta, 1997.
24. Kuhn, T.S., The Structure of Scientific Revolutions, 1970.
25. Meuwissen, D.H.M., Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori
Hukum, dan Filsafat hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
55
56
26. Michael Dua, Charles S. Peirce: Abduksi, Deduksi, dan Induksi, MELINTAS No.
44/1998, Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung, 1998.
27. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, 1970.
28. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, oleh Mochtar Kusumaatmadja
dan B. Arief Sidharta, Alumni, Bandung, 2000.
29. Nonet-Selznick, Law and Society in Transition, by Philippe Nonet and Philips
Selznick, New York, 1978.
30. Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.
31. Pontier, J.A. , Penemuan Hukum, Jendela Mas Pustaka, Bandung, 2008.
32. Peursen, C.A.van , Filosofie van de Wetenschappen, Tjeenk Willink, Leiden, 1986.
33. Puceiro, E.Z., Legal Dogmatics as a Scientific Paradigm, dalam THEORY OF
LEGAL SCIENCE, Dordrecht, 1984.
34. Radbruch, Gustav, Legal Philosophy, dalam THE LEGAL PHILOSOPHIES OF
LASK, RADBRUCH AND DABIN, Cambridge, 1950.
35. Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi pengembangan Ilmu Hukum,
Bandung, 1977.
36. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, 1991.
37. Satjipto Rahardjo, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, 2006.
38. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Kompas, Jakarta, 2006.
39. Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir – Catatan kritis tentang Pergulatan
manusia dan Hukum, Penerbit Kompas, Jakarta, 2007.
40. Scholten, Paul, De Structuur der Rechtswetenschap, 1945.
41. Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Pembangunan,
Jakarta, 1961.
42. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan, Jakarta, 1965.
43. Soetandyo Wignjosoebroto, HUKUM. Paradigma, Metode dan Dinamika Masalah-
nya, HuMa, Jakarta, 2002.
44. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat. Perkembangan Dan
Masalah. Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum,
Bayumedia Publishing, Malang, 2008.
45. Visser ‘t Hooft, H.Ph., Filosofie van de Rechtswetenschap, Martinus Nijhoff, Leiden,
1988.
46. Wieacker, Franz, A History of Private Law in Europe, Oxford, 1995.
56