Anda di halaman 1dari 69

1

ETIKA PROFESI

Dr Tanudjaja, SH,CN,MH.*

literatur:

(1)Dr. Shidharta,SH,Mhum., Moralitas Profesi Hukum (suatu tawaran


kerangka berpikir), Refika Aditama, Bandung, 2006.
(2)Prof.Abdulkadir Muhammad,SH., Etika Profesi Hukum,Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001.
(3)Drs.Abdul Kadir Wahid,SH., Anang Sulistyono,SH., Etika Profesi
Hukum Dan Nuansa Tantangan Profesi Hukum Di Indonesia, Tarsito,
Bandung, 1997.
(4)I Gede A.B.Wiranata,SH,MH., Dasar-dasar Etika dan Moralitas
(Pengantar Kajian Etika Profesi Hukum), Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005.
(5)Suhrawardi K.Lubis,SH., Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta,
2002.
(6)Hadi Herdiansyah dkk, Rekaman Proses Workshop, Kode Etik
Advokat Indonesia (Langkah Menuju Penegakan), PSHK, Jakarta, 2004.
(7)Prof. Dr Liliana Tedjosaputro.,Etika Profesi dan Etika Profesi Hukum,
aneka ilmu, Semarang, 2003.
(8)As'ad Sungguh, 25 Etika Profesi, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
(9)Prof. Drs. C.S.T.Kansil, SH., Christine S.T.Kansil,SH,MH, Pokok-
Pokok Etika Profesi Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2003.
(10)Supriadi,SH,Mhum., Etika & Tanggung Jawab Profesi Hukum Di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006.
(11)Daryl Koehn., Landasan Etika Profesi. Pustaka Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta, 2000.
(12)E.Y.Kanter, SH,. Etika Profesi Hukum (Sebuah Pendekatan Sosio
Religius), Storia Grafika, Jakarta, 2001.
(13)E.Sumaryono, Etika Hukum, Kanisius, Jakarta, 2002.
(14)Prof.Ko Tjay Sing., Rahasia Pekerjaan Dokter Dan Advokat,
Gramedia Jakarta, Jakarta, 1978.

1. PENGERTIAN SERTA FUNGSI ETIKA DAN MORAL

Etika berasal dari bahasa Yunani kuno yakni Ethos adalah ta etha
artinya adat kebiasaan.
James J.Spillane SJ berpendapat bahwa etika atau ethics memperhatikan
dan mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan
keputusan moral.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia :
(1)etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk serta
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
(2)moral memiliki arti: a) ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, asusila; b)
kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,
bergairah, berdisiplin, isi hati atau keadaan perasaan.
Moral merupakan landasan dan patokan bertindak bagi setiap orang
dalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah kehidupan sosial
kemasyarakatan maupun dalam lingkungan keluarga dan yang terpenting
moral berada pada batin dan atau pikiran setiap insan sebagai fungsi
kontrol untuk penyeimbang bagi pikiran negatif yang akan direalisasikan.
Moral sebenarnya tidak dapat lepas dari pengaruh sosial budaya,
setempat yang diyakini kebenarannya. Moral selalu mengacu pada baik
buruknya manusia sebagai manusia. Hal tersebut akan lebih mudah kita
pahami manakala mendengar orang mengatakan perbuatannya tidak
bermoral. Perkataan tersebut mengandung makna bahwa perbuatan
tersebut dipandang buruk atau salah karena melanggar nilai-nilai dan
norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat.
Franz Magnis suseno membahas, ajaran tentang moral adalah ajaran-
ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan entah lisan atau tertulis, tentang
bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia
yang baik. Ajaran moral bersumberkan kepada berbagai manusia dalam
kedudukan yang berwenang, seperti para bijak, antara lain para pemuka
agama dan masyarakat, tulisan-tulisan para bijak.
Sumaryono mengklasifikasikan moralitas atas:
1.moralitas objektif
Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia sebagaimana
apa adanya. Jadi perbuatan itu mungkin baik atau buruk, mungkin
benar atau salah terlepas dari berbagai modifikasi kehendak bebas
yang dimiliki oleh setiap pelakunya. Contoh: membunuh
merupakan perbuatan tidak baik.
2.moralitas subjektif
Moralitas perbuatan yang melihat perbuatan manusia tidak
sebagaimana adanya karena dipengaruhi oleh sejumlah faktor
pelakunya, seperti emosional,latar belakang, pengetahuan, dsbnya.
3.moralitas intrinsik
Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan atas benar
atau salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya terlepas tidak
bergantung dari pengaruh hukum positif, contohnya berilah kepada
orang lain apa yang menjadi haknya. Hal tersebut pada dasarnya
sudah merupakan kewajiban. Meskipun kemudian diatur dalam
hukum positif, tidaklah memberikan akibat yang signifikan.
4.moralitas ekstrinsik
Moralitas perbuatan yang menentukan suatu perbuatan benar atau
salah, baik atau buruk berdasarkan hakikatnya bergantung dari
pengaruh hukum positif. Hukum positif dijadikan patokan dalam
menentukan kebolehan dan larangan atas suatu perbuatan.
EY. Kanter tidak hanya membahas etika pada wilayah individu akan
tetapi terdapat pendapatnya, bahwa moralitas individu mendapat ruang
gerak dalam wilayah moralitas masyarakat (publik). Moralitas publik
adalah moralitas yang terwujud dan didukung oleh wilayah publik,
artinya didukung oleh struktur kekuasaan politik, ekonomi dan ideologi.
Mutu moralitas publik banyak ditentukan oleh pelaksanaan
kepemimpinan dalam suatu negara, misalkan cara pengambilan
keputusan dibuat dengan etis ataukah tidak. Etika merefleksikan
mengapa seseorang harus mengikuti moralitas tertentu atau bagaimana
kita mengambil sikap yang bertanggung jawab ketika berhadapan dengan
berbagai moralitas.
Pengertian moral, menurut Bartens yang dikutip oleh Abdul Kadir
Muhammad menyatakan bahwa kata yang sangat dekat dengan etika
adalah moral. Kata ini berasal dari bahasa latin mos, jamaknya mores
yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etismologis kata etika sama
dengan kata moral yang mengandung pengertian adat kebiasaan.
Perbedannya dari bahasa asalnya yakni etika berasal dari bahasa
Yunani,sedangkan moral berasal dari bahasa latin.
Pemahaman persamaan antara etika dan moral dapat diartikan sebagai
suatu nilai dan norma yang berfungsi sebagai patokan dan panutan bagi
setiap person ataupun kelompok, maupun dalam sosial kemasyarakatan
dalam mengatur tingkah lakunya.
Liliana Tedjosaputro membagi moralitas kedalam dua bagian yakni:
(1)moralitas dapat bersifat intrinsik, berasal dari diri manusia itu sendiri
sehingga perbuatan manusia itu baik atau buruk terlepas atau tidak
dipengaruhi oleh peraturan hukum yang ada;
(2)moralitas yang bersifat ekstrinsik, penilaiannya didasarkan pada
peraturan hukum yang berlaku, baik yang bersifat perintah ataupun
larangan.
pelaksanaan peraturan hukum membutuhkan moral dari pelaku.
Hukum meskipun harus mengacu pada kepentingan sosial
kemasyarakatan agar tercapai suatu kepastian dan keadilan hukum,
namun produk hukum itu sendiri tidak dapat lepas dari produk politik
yang tidak dapat mengcover seluruh kehendak masyarakat, sehingga
pelaksanaan hukum dengan baik dan ikhlas sesungguhnya bergantung
pada moral setiap individu, bukan bergantung pada sifat memaksa dari
hukum. Guna memudahkan pengertian tersebut maka dapat diberikan
suatu gambaran manakala seseorang tidak melaksanakan suatu peraturan
ataupun etika maka orang tersebut merasa sebagai beban moral.
Shidharta mengemukakan, setiap manusia yang sehat secara rohani pasti
memiliki sikap moral dalam menghadapi keadaan-keadaan yang
menyertai perjalanan hidupnya. Sikap moral ini ada yang hadir begitu
saja tanpa harus disertai pergulatan atas pilihan-pilihan dilematis,namun
ada pula sikap moral yang perlu direnungkan secara mendalam sebelum
ditetapkan menjadi suatu keputusan. Sikap moral itulah yang pada
umumnya dijadikan pedoman bagi manusia ketika mengambil suatu
tindakan. Renungan terhadap moralitas tersebut merupakan pekerjaan
etika. Dengan demikian,setiap manusia siapapun dan apapun profesinya
membutuhkan perenungan-perenungan atas moralitas yang terkait
dengan profesinya. Dalam konteks inilah lalu timbul suatu cabang etika
yang disebut etika profesi.
Etika merupakan hasil perenungan dari moralitas yang dirasakan perlu
adanya etika dalam kehidupan, karena merupakan kewajiban moral untuk
mewujudkan sesuatu yang baik baik bagi diri sendiri, kelompok,
masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Pendapat Imanuel Kant, diterjemahkan oleh Lili Tjahjadi tentang
membedakan moralitas menjadi dua:
(1)moralitas hetronom, sikap dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan
bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang
berasal dari luar kehendak sipelaku sendiri, misalnya karena mau
mencapai tujuan yang diinginkan ataupun karena perasaan takut pada
penguasa yang memberi tugas kewajiban itu;
(2)moralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajiban yang ditaatinya
sebagai suatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini sebagai hal
yang baik. Didalam moralitas otonom orang mengikuti dan menerima
hukum bukan lantaran mau mencapai tujuan yang diinginkannya taupun
lantaran takut pada penguasa, melainkan itu dijadikan kewajiban sendiri
berkat nilainya yang baik. Moralitas demikian menurut Kant disebut
sebagai otonom kehendak yang merupakan prinsip tertinggi moralitas,
sebab ia berkaitan dengan kebebasan, hal yang hakiki dari tindakan
mahluk rasional atau manusia
Pendapat lain menyatakan moral berasal dari dalam relung hati yang
terdalam sehingga perbuatan baik ataupun buruk sebenarnya dirinya
sendiri sebagai penilai utama, sedangkan etika merupakan manifestasi
dari moral yang berasal dari adat kebiasaan dan sosial kemasyarakatan
yang telah berproses menjadi suatu bentuk etika sebagai pedoman
bertindak baik ranah formal maupun non formal sehingga sering
dikatakan suatu perbuatan baik bila dilaksanakan maka telah beretika
serta sebaliknya dikatakan tidak beretika.
Mengutip dari Srisumantri, bahwa Nilai-nilai etika dan moral harus
diletakkan sebagai landasan atau dasar pertimbangan dalam setiap
kegiatan di bidang keilmuan. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral
manusia, ujar Charles darwin, adalah ketika menyadari bahwa kita
seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Pikiran merupakan faktor penentu dan pemutus suatu tindakan yang akan
kita lakukan, pikiran yang baik dapat menghasilkan moral atau etika
yang baik sedangkan pikiran yang buruk akan menghasilkan tindakan
yang buruk, yang perlu dipahami bahwa segala gerakan organ tubuh
merupakan pikiran sebagai pemimpin. Pada kondisi manusia yang telah
mampu mempergunakan pikiran sebagai filter atau alat kontrol bagi
perbuatannya maka hal yang buruk dapat ditiadakan minimal dapat
ditekan.
Pendapat Alvin Tofler yang diterjemahkan Koesdyantinah memberi
gambaran betapa manusia dewasa ini dan dimasa-masa mendatang akan
mengalami indeks kesementaraan, yang mengakibatkan manusia terjebak
dalam keanekaragaman gaya hidup dan banyak kepribadian.
Menurutnya,Apabila keanekaragaman bertemu dan berpadu dengan
kesementaraan dan kebaruan, masyarakat akan meroket kesuatu krisis
adaptasi yang historis. Kita akan menciptakan lingkungan yang demikian
sementaranya asingnya dan kompleksnya sehingga mengancam jutaan
orang dengan kehancuran adaptif. Kehancuran ini adalah kejutan masa
depan.
Ajaran-ajaran moral guna meningkatkan moralitas agar manusia
menjadi baik, sedangkan etika bertugas memberikan argumentasi
rasional dan kritis guna mendukung ajaran moral. Dalam perkembangan
jaman yang makin kompleks timbullah tantangan yang dihadapi oleh
ajaran-ajaran moral makin kompleks. Indoktrinasi dalam ajaran-ajaran
moral akan sering dipertanyakan jika tidak lagi mampu memberikan
orientasi yang jelas bagi penganutnya. Kekaburan orientasi itu muncul
justru karena bertambah banyaknya ragam orientasi yang ada. Salah satu
dari keragaman itu ditandai oleh berbagai ideologi yang saling
menawarkan diri sebagai pilihan terbaik. Padahal apa yang baik menurut
satu pihak sering dianggap buruk oleh yang lainnya. Etika yang telah
disepakati oleh setiap kelompok akan menepis kehilangan orientasi
sehingga kebenaran sebenarnya bersifat relatif karena kebenaran
merupakan produk pikiran masing-masing sehingga perlu adanya
kesepakatan yang tentunya tidak dapat melepaskan diri dari kebenaran
universal.
Lilana memaparkan bahwa,dalam perkembangannya kajian etika,
terdapat banyakaliran-aliran didalamnya. Beberapa aliran penting dalam
etika adalah sebagai berikut:
1.etika naturalisme ialah aliran yang beranggapan bahwa kebahagiaan
manusia itu didapatkan dengan menurutkan panggilan natura (fitrah)
kejadian manusia sendiri;
2.etika hedonisme ialah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan susila
itu adalah perbuatan yang menimbulkan hedone (kenikmatan dan
kelezatan);
3.etika utilitarianisme ialah aliran yang menilai baik dan buruknya
perbuatan manusia itu ditinjau dari kecil dan besarnya manfaatbagi
manusia (utility=manfaat);
4.etika idealisme ialah aliran yang berpendirian bahwa perbuatan
manusia janganlah terikat pada sebab musabab lahir, tetapi haruslah
berdasarkan pada prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi;
5.etika vitalisme ialah aliran yang menilaibaik buruknya perbuatan
manusia itu sebagai ukuran ada tidak adanya daya hidup (vital) yang
maksimum mengendalikan perbuatan itu;
6.etika theologis ialah aliran yang berkeyakinan bahwa ukuran baik dan
buruknya perbuatan manusia itu dinilai dengan sesuai dan tidak
sesuainya perbuatan itu dengan perintah Tuhan (Theos=Tuhan).
Franz Magnis Suseno mengemukakan pendapat tentang, etika berfungsi
untuk membantu manusia mencari orientasi secara kritis dalam
berhadapan dengan moralitas yang membingungkan. Etika adalah
pemikiran sistematis dan yang dihasilkannya secara langsung bukan
kebaikan, melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis.
Pengertian ini perlu dicari dengan landasan pemikiran sebagai berikut:
1.kita hidup dalam masyarakat yang semakin pluralistik, juga dalam
bidang moral. Dalam keseharian kita banyak bertemu dan bergaul dengan
berbagai orang dan karakter yang serba berbeda dari suku yang beragam,
daerah asal yang bervariasi, agama berbeda, dan sebagainya. Kita ada
ditengah-tengah pandangan mengenai etika dan moral yang beraneka
ragam bahkan tidak jarang saling bertentangan sehingga kita bingung
mengikuti moralitas yang mana. Untuk menentukan pilihan itulah perlu
refleksi kritis etika.
2.Kita hidup dalam masa transformasi masyarakat yang kian lama
menuju modernisasi. Meski masih belum dijumpai batasan baku tentang
makna modernisasi, konsep ini membawa perubahan besar dalam
struktur kebutuhan dan nilai masyarakat yang akibatnya menentang
pandangan-pandangan moral tradisional.
3.Proses perubahan sosial budaya dan moral ternyata tidak jarang
digunakan berbagai pihak untuk memancing di air keruh. Adanya
pelbagai ideologi yang ditawarkan sebagai penuntun hidup, masing-
masing dengan ajarannya sendiri tentang bagaimana manusia harus
hidup. Etika dapat dijadikan tatanan untuk mengkritisi secara objektif
dan memberi penilaian agar tidak mudah terpancing, tidak naif, atau
ekstrem untuk cepat-cepat menolak hanya karena masih relatif baru dan
belum biasa.
4.Etika juga diperlukan oleh kaum agama yang disatu pihak menemukan
dasar kemantapan mereka dalam iman kepercayaan mereka, dilain pihak
sekaligus mau berpartisipasi tanpa takut-takut dan dengan tidak menutup
diri dalam semua dimensi kehidupan masyarakat yang sedang berubah
itu
Refleksi kritis etika tidak hanya untuk menentukan moralitas mana yang
dipakai karena terdapat norma yang bertentangan. Refleksi kritis etika
merupakan alat untuk memecahkan permasalahan moral, seperti
perubaham moral yang diakibatkan oleh proses transformasi menuju
modernisasi yang menentang keberadaan pandangan moral tradisional.
Etika yang berkaitan dengan etika profesi merupakan etika yang
senantiasa mengikuti perkembangan modernisasi yang tak dapat
dibendung, sehingga perlunya etika yang kritis untuk mengatasi kendala
yang ada. Tidak dapat dipungkiri penyandang profesi, pemuka
masyarakat/adat, filosof, hukum yang berfungsi sebagai salah satu faktor
penentu etika yang kritis.
Keadilan, kepastian hukum, equality before the law merupakan harapan
moral masyarakat yang masih terus diperjuangkan.
2. ETIKA CABANG DARI FILSAFAT
Filsafat dapat dimaknai sebagai pandangan hidup, tentunya
pandangan hidup yang cinta akan kebijaksanaan, disis lain filsafat dapat
diartikan sebagai ilmu yang selalu mencari hakekat yang terdalam.
Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu produk nilai atau
sistem nilai yang diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman
perilaku oleh individu, kelompok, masyarakat.
Pada prinsipnya cabang filsafat dapat dikelompokkan pada tiga
cabang filsafat yaitu:
(1) ontologi;
(2)epistemologi;
(3)aksiologi.
Ontologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang keberadaan
sesuatu. Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki tentang
asal, syarat susunan, metode, dan validitas pengetahuan. Aksiologi
merupakan cabang filsafat yang menyelidiki tentang hakikat nilai,
kriteria, dan kedudukan suatu nilai. Pada kelompok aksiologi dapat
dimasukkan cabang-cabang filsafat etika dan estetika. Dapat disimpulkan
etika merupakan cabang dari filsafat tentang hakikat nilai atau aksiologi
yang merupakan nilai berkaitan dengan sikap dan perilaku manusia atau
kelompok manusia. Etika membahas tentang nilai-nilai yang baik bagi
manusia dan nilai inilah dikenal sebagi moral.
Menurut EY.Kanter : Etika sama artinya dengan filsafat moral atau ilmu
tentang moralitas. Etika bukan sumber tambahan bagi ajaran moral
melainkan filsafat atau pemikiran rasional-kritis dan mendasar tentang
ajaran dan pandangan moral. Jadi etika bukan sebuah ajaran melainkan
sebuah ilmu.
Filosof Plato mengungkapkan filsafat tidak lain dari pengetahuan
tentang segala yang ada. Filsafat merupakan ilmu pokok dan pangkal
segala pengetahuan yang didalamnya mencakup empat persoalan sebagai
berikut:
A)apakah yang dapat kita ketahui ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh
metafisika (ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang
non fisik atau tidak terlihat).
B)apakah yang boleh kita kerjakan ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh
etika.
C)sampai dimananakah pengharapan kita ? Pertanyaan tersebut dijawab
oleh agama.
D)apakah yang dinamakan manusia ? Pertanyaan tersebut dijawab oleh
antropologi (ilmu tentang manusia).
Mengamati pemikiran plato maka makin mendukung opini bahwa etia
merupakan bagian dari filsafat hal tersebut merupakan jawaban terhadap
tujuan utama dari filsafat yang berarti cinta akan kebijaksanaan adalah
untuk kebaikan umat manusia yang bijaksana penuh dengan kedamaian.
Guna mendukung pendapat Plato dapat kita padukan dengan pendapat
Aristoteles yang dikutip dari I Gede A.B.Wiranata sebagai berikut:
Pembagian filsafat menurut Aristoteles
a. Filosofia teoritika/spekulatif
Filsafat yang bersifat objektif, yang terdiri atas:
1.fisika (mengkaji tentang dunia materiil);
2.matematika (mengkaji tentang barang menurut kuantitasnya);
3.metafisika (mengkaji tentang ada).
b. Filosofia praktika (Filsafat yang memberi petunjuk dan berbagai
pedoman mengenai tingkah laku hidup dan kesusilaan yang seharusnya
dilakukan/diperbuat), yang meliputi:
1.etika (mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup perseorangan);
2.ekonomia (mengkaji tentang kesusilaan dalam hidup kekeluargaan);
3.politika (mengkaji tentang kesusilaan dalam tantanan hidup
kenegaraan).
Filosofia produktiva (pencipta) (filsafat yang mengkaji dan membimbing
serta menuntun manusia tentang pengetahuan sehingga menjadikan
manusia produktif melalui sebuah ketrampilan yang bersifat khusus).
Aristoteles merupakan tokoh filsafat yang menempatkan etika sebagai
pembahasan utama dalam tulisannya Ethika Nichomachela dengan
pendapatnya, tata pergaulan dan penghargaan seorang manusia, yang
tidak didasarkan oleh egoisme atau kepentingan individu, akan tetapi
didasarkan kepada hal-hal yang alruistik, yaitu memperhatikan orang
lain.
Menurut Srisumantri yang dikutip dari Liliana, filsafat dalam
perkembangannya antara lain mencakup:
1.epistimologi (filsafat pengetahuan);
2.etika (filsafat moral);
3.estetika (filsafat seni);
4.metafsika;
5.filsafat politik;
6.filsafat;
7.filsafat agama;
8.filsafat pendidikan;
9.filsafat hukum;
10.filsafat sejarah;
11.filsafat matematika.
Sebagai bagian filsafat dan bahkan sebagai salah satu cabang filsafat
yang paling tua, maka etika juga dikembangkan sebagai bagian dari
kajian ilmu pengetahuan.
Filosof H.De Vos juga menyatakan etika sebagai bagian dari filsafat.
Etika dapat dibedakan menjadi, etika umum dan etika khusus. Etika
umum membahas tentang prinsip moral, pengertian dan fungsi etika,
tanggung jawab, suara hati. Etika khusus merupakan etika yang sudah
dikaitkan dengan konteks bidang tertentu, kehidupan pribadi, antar
pribadi.
Etika dapat dikaji dari berbagai aspek, akan tetapi secara garis besar
terdapat tiga aspek yang dominan dalam mempelajari etika yaitu:
1)aspek normatif
aspek normatif ialah aspek yang mengacu pada norma-
norma/standar moral yang diharapkan untuk mempengaruhi
perilaku, kebijakan, keputusan, karakter individual, dan struktur
profesional. Dengan aspek ini diharapkan perilaku dengan segala
unsur-unsurnya tetap berpijak pada norma, baik norma-norma
kehidupan bersama ataupun norma-normamoral yang diaturdalam
standar profesi bagi kaum profesi;
2)aspek konseptual
diarahkan pada penjernihan konsep-konsep/ide-ide dasar, prinsip-
prinsip, problema-problema dan tipe-tipe argumen yang
dipergunakan dalam membahas isu-isu moral dalam wadah kode
etik. Kajian konseptual ini juga untuk mempertajam pemahaman-
pemahaman kode etik dengan tetap menekankan pada kepentingan
masyarakat dan organisasi profesi itu sendiri;
3)aspek deskriptif
kajian ini berkaitan dengan pengumpulan fakta-fakta yang relevan
dan spesifikasi yang dibuat untuk memberikan gambaran tentang
fakta-fakta yang terkait dengan unsur-unsur normatif dan
konseptual. Aspek ini memberikan informasi tentang fakta-fakta
yang berkembang, baik di masyarakat maupun dalam organisasi
profesi, sehingga penanganan aspek normatif dan konseptual dapat
segera direalisasikan.
Etika merupakan cabang filsafat sebagai ilmu yang merupakan
philosopical study of morality, sehingga subyek yang melakukan etika
adalah manusia, dengan demikian etika sebagai filsafat manusia.
3. PENGERTIAN PROFESI DAN PROFESI HUKUM
Pekerjaan pada umumnya berbeda dengan profesi baik dari segi
ketrampilan maupun tanggung jawab yang diembannya. Berkaitan
dengan pekerjaan pada umumnya Cycle Kluckohn yang dikutip oleh
koentjaraningrat menyatakan: antropolog seperti Cycle Kluckohn dan
Florence Kluckohn juga menempatkan diri untuk menelaah hakikat kerja
(karya) bagi manusia. Menurut mereka ada nilai-nilai budaya yang
memandang kerja itu sekedar untuk memenuhi nafkah, namun ada pula
yang memandang kerja sebagai upaya menggapai kedudukan dan
kehormatan. Orientasi nilai budaya ketiga dari hakikat kerja adalah
bahwa bekerja merupakan upaya terus menerus untuk berkarya yakni
dengan mencapai hasil yang lebih baik dan lebih baik lagi.
Thomas Aquinas berpendapat, perwujudan kerja mempunyai empat
tujuan sebagai berikut:
1.dengan bekerja, orang dapat memenuhi apa yang menjadi
kebutuhan hidup sehari-harinya;
2.dengan adanya lapangan kerja, maka pengangguran dapat
dihapuskan/dicegah. Ini juga berarti bahwa dengan tidak adanya
pengangguran,maka kemungkinan timbulnya kejahatan dapat
dihindari pula;
3.dengan surplus hasil kerjanya, manusia juga dapat berbuat amal
bagi sesamanya;
4.dengan kerja orang dapat mengontrol atau mengendalikan gaya
hidupnya.
Profesi oleh berbagai ahli diartikan sebagai pekerjaan dengan
keahlian khusus menuntut pengetahuan tinggi, dengan berbagai pelatihan
khusus.
Menurut pendapat Brandels yang dikutip oleh A.Pattern Jr, dikutip dari
Supriadi, untuk dapat disebut sebagai profesi,pekerjaan itu sendiri harus
mencerminkan adanya dukungan yang berupa:
1.ciri-ciri pengetahuan (intellectual character);
2.diabadikan untuk kepentingan orang lain;
3.keberhasilan tersebut bukan didasarkan pada keuntungan finansial;
4.keberhasilan tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang
merupakan kode etik, serta pula bertanggung jawab dalam memajukan
dan penyebaran profesi yang bersangkutan;
5.ditentukan adanya standar kualifikasi profesi.
Profesi bukan hanya dibutuhkan oleh seseorang atau kelompok akan
tetapi menyangkut kebutuhan publik sehingga peran negara dibutuhkan
untuk mengesahkan/mengangkat seseorang menjadi penyandang profesi
agar meniadakan/meminimalkan kerugian atau tindakan yang tidak
bertanggung jawab terhadap pihak yang membutuhkan jasa profesi serta
tidak merugikan kepentingan publik. Berkaitan dengan pendapat
tersebut, maka terdapat pendapat Daryl Koehn yang dikutip dari Supriadi
mengatakan meskipun kriteria untuk menentukan siapa yang memenuhi
syarat sebagai profesional amat beragam, ada lima ciri yang kerap
disebut kaum profesional sebagai berikut:
1)mendapat izin dari negara untuk melakukan suatu tindakan tertentu;
2)menjadi anggota organisasi/pelaku-pelaku yang sama-sama,
mempunyai hak suara yang menyebarluaskan standar dan/atau cita-cita
perilaku yang saling mendisiplinkan karena melanggar standar itu;
3)memiliki pengetahuan atau kecakapan esoterik (yang hanya
diketahui dan dipahami oleh orang-orang tertentu saja) yang tidak
dimiliki oleh anggota-anggota masyarakat lain;
4)memiliki otonomi dalam melaksanakan pekerjaan mereka,dan
pekerjaan itu tidak amat dimengerti oleh masyarakat yang lebih luas;
5)secara publik dimuka umum mengucapkan janji untuk memberi
bantuan kepada mereka yang membutuhkan dan akibatnya mempunyai
tanggung jawab dan tugas khusus.
Profesi hukum memiliki ciri tersendiri dibandingkan dengan profesi
lainnya,karena profesi ini berkaitan langsung dengan pengaturan
kehidupan sosial kemasyarakatan, kemudian berpengaruh pada
kehidupan berbangsa dan bernegara. Profesi hukum secara khusus
berhubungan dengan masyarakat pencari keadilan. Profesi hukum
sebagai profesi diantara profesi lain tidak dapat lepas atau berdiri sendiri
sebagai suatu gambaran pada saat suatu perusahaan dalam proses go
public maka selain profesi hukum berperan juga profesi dibidang
ekonomi ikut andil didalamnya, sehingga interaksi antar profesi
merupakan ciri dari profesi. Perkembangan hukum dewasa ini akibat
pemikiran filosofi bahwa manusia memiliki hak dasar yang harus
dilindungi sebagai Hak Asasi Manusia yang harus dilindungi sebagai hak
hukum yang tertinggi. Adapun Hak Asasi manusia yang berlaku
universal, meliputi:
1)hak-hak asasi pribadi (personal rights), merupakan kebebasan
menyatakan pendapat, memeluk agama, beraktifitas dan sebagainya;

2)hak-hak asasi ekonomi (property rights), merupakan hak memiliki


sesuatu, memperalihkannya, seperti membeli dan menjualnya, serta
memanfaatkannya;

3)hak-hak asasi dan kebudayaan (social and cultural rights), seperti hak
untuk memilih pendidikan, mengembangkan kebudayaan, dsb.

4)hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum


dan pemerintahan;

5)hak-hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan


perlindungan (procedural rights).
Perkembangan penegakan hukum dan/ hak asasi manusia
menimbulkan profesi hukum makin berkembang bahkan pada Undang-
undang nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat jelas mengatur Advokat
sebagai oficium Nobille (profesi terhormat) serta sebagai pembela Hak
Asasi Manusia.
Sebagai suatu kriteria profesi hukum dapat ditelaah dari pertemuan
para Advokat tanggal 27 Juni 1971dalam piagam Baturaden yang
merumuskan tentang unsur-unsur untuk dapat disebut profession, yaitu:
a)harus ada ilmu (hukum) yang diolah didalamnya;
b)harus ada kebebasan, tidak boleh ada dicust verhouding (hubungan
dinas) hierarkis.
c)mengabdi kepada kepentingan umum, mencari nafkah tidak boleh
menjadi tujuan;
d)ada clienten verhouding, yaitu hubungan kepercayaan diantara Advokat
dan client;
e)ada kewajiban merahasiakan informasi dari client dan perlindungan
dengan hak merahasiakan itu oleh undang-undang;
f)ada imuniteit terhadap penuntutan tentang hak yang dilakukan dalam
tugas pembelaan;
g)ada kode etik dan peradilan kode etik (tuchtrechtspraak);
h)ada honorarium yang tidak perlu seimbang dengan hasil pekerjaan atau
banyaknya usaha atau pekerjaan yang dicurahkan (orang tidak mampu
harus ditolong tanpa biaya dan dengan usaha yang sama).
Batasa profesi yang diberikan tidak dapat dikategorikan sebagai profesi
pada umumnya. Batasan profesi yang dapat berlaku pada profesi hukum
pada umumnya ditetapkan pada tahun 1977 oleh Peradin dalam seminar
pembinaan profesi hukum sebagai berikut:
1.dasar ilmiah berupa ketrampilan untuk merumuskan sesuatu
berdasarkan teori akademi dan memerlukan sesuatu dasar pendidikan
yang baik dan diakhiri dengan suatu sistem ujian;
2.praktik sesuatu. Adanya suatu bentuk perusahaan, yang berdiri,
sehingga memungkinkan dipupuknya hubungan pribadi dalam
memecahkan kebutuhan para klien yang bersifat pribadi pula (person by
person basis) diiringi dengan sistem pembayaran honorarium;
3.fungsi penasihat. Fungsi sebagai penasihat sering-sering diiringi
dengan fungsi pelaksanaan dari pelaksana dari penasihat yang diberikan;
4.jiwa mengabdi. Adanya pandangan hidup yang bersifat objektif dalam
menghadapi persoalan, tidak mementingkan diri sendiri, tidak
mengutamakan motof-motif yang bersifat materiil;
5.adanya suatu kode yang mengedalikan sikap dari pada anggota.
Kebutuhan klien terhadap kinerja profesi sebatas keahlian dan tuntutan
profesinya tidak menyangkut pribadi penyandang profesi sehingga
terdapat batasan yang jelas tidak menyimpang dari segi profesionalisme
kinerja profesi.
4. PROFESI LUHUR
Franz Magnis Suseno membedakan profesi menjadi profesi pada
umumnya dan profesi luhur. Profesi luhur merupakan profesi yang
menekankan pada pengabdian kepada masyarakat sehingga merupakan
suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat dengan motivasi utama
bukan untuk memperoleh nafkah dari pekerjaannya.
Profesi pada umumnya terdapat dua hal yang harus ditegakkan yaitu,
menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab baik terhdap
pekerjaan maupun hasil dari pekerjaan, serta tanggung jawab terhadap
dampak pekerjaan yang dilakukan tidak sampai merusak lingkungan
hidup (berkaitan dengan prinsip kedua, hormat terhadap hak-hak orang
lain.
Terdapat pula dua kategori untuk profesi luhur yaitu, mendahulukan
orang yang dibantu, serta mengabdi pada tuntutan luhur profesi.
Pelaksanaan profesi luhur yang baik menurut Magnis Suseno harus
didukung dengan moralitas yang tinggi. Berkaitan dengan moralitas
tinggi magnis menyatakan terdapat tiga ciri :
1)berani berbuat dengan bertekad untuk brtindak sesuai dengan tuntutan
profesi;
2)sadar akan kewajibannya, dan
3)memiliki idealisme yang tinggi.
Profesi luhur tidak hanya menjadi pendapat para ahli akan tetapi telah
diterapkan dalam peraturan perundangan, seperti Undang-undang nomor:
18 tahun 2003, tentang Advokat. Catur wangsa penegak hukum seperti
Polisi,Jaksa,Hakim,Advokat.
5. ETIKA PROFESI HUKUM
Etika sebagai cabang filsafat merupakan ilmu terapan atau ilmu yang
menyangkut praktis kehidupan. Etika profesi hukum merupakan etika
yang berasal dari kenyataan empiris dalam praktek hukum sehingga tidak
dapat dikaitkan dengan prinsip-prinsip moral secara umum.
Etika profesi agar menjadi etika yang berkualitas juga harus merujuk
dari berbagai cabang ilmu hukum seperti sejarah hukum, psikologi
hukum, dan sosiologi hukum.
Etika profesi hukum temasuk kategori etika normatif yang berupaya
menindaklanjuti hal-hal yang telah digambarkan secara objektif. Etika
normatif memberikan penilaian sikap baik dan buruk, selanjutnya
penyandang profesi dapat memilihnya.
Penyandang profesi hukum dalam melaksanakan tugas profesinya
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat etis, karena eksis untuk melayani
anggota masyarakat ketika masyarakat berhadapan langsung dengan
suatu otoritas kekuasaan. Sebagai contoh seorang terdakwa
membutuhkan jasa Advokat pada saat menghadapi otoritas peradilan dan
memang Advokat oleh peraturan perundangan diberikan kewenangan
untuk melakukan hal tersebut, maka profesi hukum harus bersikap dan
berprilaku menurut kaidah hukum serta kaedah sosial. Kewenangan
inilah menyebabkan profesi hukum membutuhkan muatan moralitas yang
lebih tinggi dibandingkan profesi lain.
Sebagian ahli hukum dan/ ahli etika beranggapan profesi hukum harus
tunduk pada kaedah hukum, dengan tanpa memperhatikan kaedah sosial
selain hukum seperti adat setempat yang berkembang dan berlaku
dimasyarakat. Pandangan etis atau tidak etis tidak hanya dikalangan
profesi hukum itu sendiri karena harus berhubungan dengan masyarakat
dan masyarakat tetaplah sebagai penilai utama apakah penegak hukum
bermoral ataukah tidak. Tidak dapat dipungkiri fungsi profesi hukum
untuk melayani kepentingan masyarakat dan masyarakat memiliki hak
untuk melaporkan kepada dewan kehormatan apabila profesi hukum
dipandang melanggar etika profesi. Sesuai dengan pendapat Sidharta:
disisi lain, para penyandang profesi hukum senantiasa bersinggungan
dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut ada
yang bersifat tetap tetapi ada pula yang mengalami perubahan, mengikuti
perkembangan masyarakat pada suatu temapat dan waktu tertentu. Nilai-
nilai tetap ini adalah nilai-nilai dasar, dan yang cenderung berubah itu
adalah nilai-nilai instrumentalnya.
Karena interaksi ini, profesi hukum bukan lagi profesi yang bebas
nilai. Ia juga bukan profesi yang demikian eksklusifnya yang berdiri
diatas menara gading dan karena itu memiliki sistem nilai yang secara
ekstrem berbeda dengan nilai-nilai masyarakat pada umumnya. Profesi
hukum adalah profesi yang berintegrasi dengan masyarakat luas,
sehingga nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat juga harus
dijadikan ukuran dalam etika profesi tersebut, demikian pula sebaliknya.
UBI JUS INCERTUM,IBI JUS NULLUM ><SUMMUN IUS SUMMA
INJURIA.
Kaum legisme= asas hukum harus ditegakkan, sedangkan kaum
realisme=kepastian hukum dikejar akan melukai hukum membuat hukum
menjadi kaku karena menggeneralisir semua keadaan.
Etika profesi harus dinamis mengikuti perkembangan masyarakat sesuai
dengan dengan prinsip-prinsip moral yang berkembang dan hidup di
masyarakat, karena logika dari terbentuknya hukum karena kehendak
masyarakat guna kepentingan masyarakat. Cicero mengemukakan
dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi societas ibi ius).
Beberapa nilai moral profesi hukum yang harus mendasari
kepribadian profesional hukum sebagai berikut:
1)kejujuran. Faktor kejujuran memegang kendali yang terbesar untuk
mengarah pada profesional karena profesi mempunyai keahlian
khusus,sedangkan masyarakat (orang awam) tidak/kurang memahami
dapat dengan mudah menjadi obyek pembohongan/ penipuan;
2)bersikap apa adanya. Mempunyai pengertian menghayati dan
menunjukkan diri dengan apa adanya, berani memberi nasihat kepada
klien sesuai dengan kondisi hukum klien
3)bertanggung jawab. Dalam melaksanakan tugas profesinya dapat
membantu segala persoalan yang berkaitan dengan profesinya,
menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundangan dan kode etik.
Menuntaskan segala tanggung jawab yang diembannya hingga tuntas
atau telah ada penyelesaian dan pemberesan.
4)kemandirian moral. Mengandung pengertian melaksanakan etika yang
telah disepakati bersama oleh organisasi profesi yang dituangkan dalam
kode etik. Tidak terpengaruh oleh pendapat pihak lain, sehingga
berpegang teguh pada moral profesinya dengan analisa yuridis yang
mandiri.
5)Keberanian. Merupakan keberanian untuk bersikap dalam
melaksanakan tugasnya dengan segala resiko yang dihadapi sesuai asas
dan ketentuan hukum. Berani menolak segala bentuk korupsi kolusi
nepotisme.
6)Kesetiaan. Setia terhadap hukum dan penegakan hukum serta kode
etik. Setia tehadap profesi mulia yang diembannya, setia terhadap
moralitas yang tinggi, Setia terhadap bangsa dan negara.
6. MANFAAT ETIKA PROFESI & TANGGUNG JAWAB PROFESI
Etka profesi pada awalnya terbentuk guna kepentingan kelompok
profesi itu sendiri karena bermula dari pemasalahan-permasalahan yang
imbul, dalam perkembangannya sesuai dengan situasi dan kondisi ilmu
pengetahuan filsafat yang terkait dengan etika maka berkembang menjadi
lebih maju sesuai dengan hasil penelitian empiris yang didukung oleh
norma yang ada diperoleh suatu hipotesa dan sampailah pada hasil akhir
profesi guna kepentingan masyarakat dengan konsekuensi logis etika
profesi merefleksikan kinerjanya secara etis atas kebutuhan masyarakat.
Etika profesi merupakan bagian dari kebutuhan profesi dalam sistem
pergulatan profesi baik diantara profesi itu sendiri maupun terhadap
masyarakat.
Perkembangan masyarakat yang makin majemuk , mengglobal,
berkembang maju baik bidang ekonomi, teknologi, serta bidang yang
lain. Komunikasi antar daerah maupun negara makin cepat membuktikan
mobilitas masyarakat makin meninggi dan tidak terkendali. Seiring
dengan hal tersebut maka peran profesi makin dibutuhkan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Kualitas dari profesi harus makin meningkat
guna mengimbangi kemajuan jaman serta kuantitas dari bertambahnya
jenis kebutuhan penanganan oleh profesi akibat kemajuan dari berbagai
bidang merupakan tantangan profesi yang harus didukung perangkat
etika profesi yang memadai sebagai suatu tanggung jawab profesi.
Tanggung jawab etika profesi tidak dapat lepas dari manfaat etika
profesi. Adapun manfaat etika profesi dalam perkembangan terdiri dari:
(a)manfaat terhadap diri sendiri. Penyandang profesi memiliki
kesempatan luas untuk mengabdikan diri demi kepentingan publik.
(b)manfaat terhadap masyarakat. Masyarakat dapat memperoleh
pelayanan sesuai dengan kebutuhannya mengingat profesi memiliki
keahlian khusus yang tidak dimiliki pihak lain.
(c)Manfaat terhadap negara. Penyandang profesi dapat berperan serta
memajukan negara dengan keahlian bidang tertentu yang dimilikinya.
Segala bidang dalam aktifitas negara saling terkait, apabila segala bidang
kehidupan dapat berjalan dengan maksimal maka mekanisme
pembangunan dalam segala bidang menjadi maju yang berdampak pada
kemajuan negara.
(d)Manfaat terhadap hukum. Negara kita adalah negara hukum dan
hukum sebagai panglima yang tertinggi. Profesi pada bidangnya masing-
masing tetap hukum menjadi panutan bagi profesi sesuai pandangan
segala segi kehidupan harus berpatokan pada hukum yang berlaku.
Profesi hukum merupakan profesi yang terdepan dalam berupaya
menegakkan hukum berfungsi sebagai panutan bagi profesi selain hukum
dan masyarakat.
Emmanuel levinas menyatakan respondeo ergo sum (aku bertanggung
jawab, jadi aku ada).
Setiap orang memiliki kebebasan baik secara natural maupun secara
yuridis untuk menentukan sikap dalam kehidupan sehari-hari termasuk
memilih pekerjaan/profesi yang akan digeluti. Kebebasan tersebut
menimbulkan konsekuensi logis terhadap dampak positif maupun negatif
yang harus diterima dengan analogi segala langkah kehidupan tidak
dapat lepas dari efek positif dan efek negatif. Tanggung jawab tidaklah
dapat lepas dari akibat kebebasan memilih yang harus diterima dengan
lapang dada.
Kebebasan tidaklah dapat dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya
mengingat kebebasan dapat menyentuh hak hukum atau kebebasan orang
lain. Kebebasan harus diartikan sebagai kebebasan hukum yakni
kebebasan sesuai ketentuan hukum yang berupaya mengcover moral ,
hukum kebiasaan, dan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat.
Tanggung jawab merupakan bentuk pelaksanaan kewajibannya dan yang
tak kalah pentingnya tanggung jawab atas kesalahan yang telah
diperbuat. Tanggung jawab oleh sebagian ahli hukum diartikan sebagai
tanggung gugat. Tanggung gugat sebenarnya merupakan tanggung jawab
atas tuntutan hukum, tapi disisi lain terdapat tanggung jawab moral yang
tidak dapat digantikan oleh tanggung gugat secara hukum, bahkan moral
pertanggungjawabannya diwakilkan pada kode etik melalui Dewan
Kehormatan. Terdapat pertanggungjawaban lain yang tidak dapat
terselesaikan yaitu tanggung jawab hati nurani serta dampaknya terhadap
nama baik penyandang profesi.
7. ETIKA BERKAITAN DENGAN HUKUM
Etika merupakan bagian dari filsafat yang selalu berupaya menuju
pada kebaikan kehidupan manusia baik secara lahir maupun batin,
sedangkan hukum untuk mengatur tata kehidupan manusia baik individu,
kelompok maupun masyarakat/publik, sehingga hak orang lain tidak
berbenturan dengan hak orang lain serta adanya keseimbangan antara hak
dan kewajiban.
Paul Scholten menyatakan, bahwa baik hukum maupun moral (etika)
kedua-duanya mengatur perbuatan-perbuatan manusia sebagai manusia.
Keduanya sama, yaitu mengatur perbuatan-perbuatan kita.
Hukum dan etika memiliki nilai kemanfaatan yang sama yaitu mencita-
citakan tertib kehidupan masyarakat serta memberi jawaban atas
kebutuhan keadilan masyarakat dengan penegakan nilai-nilai kebenaran.
Etika dalam perkembangannya dikodifikasikan dalam bentuk kode etik
oleh setiap kelompok sosial bahkan didukung berlakunya oleh peraturan
perundangan sehingga kode etik itu sendiri bukanlah etika pada
umumnya tetapi menyatu dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Meskipun demikian tetap memberikan nuansa yang berbeda dari segi
sanksi yang dijatuhkan bila terjadi pelanggaran. Sanksi pelanggaran kode
etik sesuai dengan kesepakatan kelompok yang dituangkan dalam kode
etik, pada umumnya dalam bentuk sanksi administratif. Kewenangan atas
keputusan melebihi sanksi administratif merupakan kewenangan
peraturan perundangan dalam hal ini otoritasnya diserahkan kepada para
penegak hukum.
8. KODE ETIK PROFESI
Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang merupakan kesatuan
moral yang melekat pada suatu profesi sesuai kesepakatan organisasi
profesi yang disusun sesara sistematis.
Kode etik dapat dikatakan merupakan sekumpulan etika yang telah
tersusun dalam bentuk peraturan berdasarkan prinsip moral pada
umumnya yang disesuaikan dan diterima sesuai jiwa profesi guna
mendukung ketentuan hukum yang berlaku demi kepentingan profesi,
pengguna jasa profesi, masyarakat/publik, bangsa dan negara.
Pengaturan etika disusun dalam bentuk kode etik dipandang penting
mengingat jumlah penyandang profesi makin banyak sehingga
membutuhkan ketentuan baku yang mampu mengendalikan serta
mengawasi kinerja profesi. Selain makin banyaknya penyandang profesi,
juga menghindari kesalahan profesi tanpa ada pertangungjawaban
dengan mengotak-atik kelemahan etika guna mengamankan penyandang
profesi itu sendiri. Faktor lain yang mendukung dibentuknya kode etik
secara baku karena tuntutan masyarakat yang makin kompleks dan kritis
sehingga ada kepastian hukum tentang benar atau tidaknya penyandang
profesi dalam menjalankan tugasnya.
Penegakan terhadap pelaksanaan kode etik secara konsekuen
dilakukan oleh organisasi profesi sebagai pencetus lahirnya kode etik.
Keberadaan organisasi profesi dipandang penting untuk menjatuhkan
sanksi bagi pelanggar kode etik. Sanksi-sanksi diharapkan lebih efektif
karena telah dibahas diantara penyandang profesi, sehingga terdapat
beban moral bagi pelanggar yang secara psikis merasa dikucilkan dalam
pergaulan profesi bahkan akan menjadi lebih berarti manakala organisasi
profesi telah diberikan kewenangan oleh Undang-undang untuk
memberikan Ijin praktek. Kewenangan tersebut dapat mengakibatkan
pencabutan ijin praktek. Selain organisasi sebagai penegakan etika, juga
merupakan wadah bagi pengembangan profesi, sebagai tempat tukar
menukar informasi, membahas dan menyelesaikan permasalahan yang
berkaitan dengan profesi, membela hak-hak anggotanya.
Menurut E.Holloway dikutip dari Shidarta, kode etik itu memberi
petunjuk untuk hal-hal sebagai berikut:
1.hubungan antara klien dan penyandang profesi;
2.pengukuran dan standar evaluasi yang dipakai dalam profesi;
3.penelitian dan publikasi/penerbitan profesi;
4.konsultasi dan praktik pribadi;
5.tingkat kemampuan kompetensi yang umum;
6.administrasi personalia;
7.standar-standar untuk pelatihan.
Ditambahkan oleh Holloway, bahwa kode etik (standar etika) tersebut
mengandung beberapa tujuan sekaligus, yaitu untuk:
1.menjelaskan dana menetapkan tanggung jawab kepada klien, lembaga
(institution), dan masyarakat pada umumnya;
2.membantu penyandang profesi dalam menentukan apa yang harus
mereka perbuat kalau mereka menghadapi dilema-dilema etis dalam
pekerjaannya;
3.membiarkan profesi menjaga reputasi (nama baik) dan fungsi profesi
dalam masyarakat melawan kelakuan buruk dari anggota-anggota
tertentu dari profesi itu;
4.mencerminkan pengharapan moral dari komunitas masyarakat (atas
pelayanan penyandang profesi itu kepada masyarakat);
5.merupakan dasar untuk menjaga kelakuan dan integritas atas kejujuran
dari penyandang profesi itu sendiri.
Kode etik oleh Edgar Bodenheimer dapat dikelompokkan kedalam jenis
aturan yang disebut autonomic legislation. Biasanya kode etik tidak
pernah dianggap sebagai bagian dari hukum positif suatu negara, Namun
disadari atau tidak, kode etik dapat saja secara diam-diam diadopsi
menjadi salah satu jenis sumber formal hukum.
Perkembangan hukum di Indonesia terdapat beberapa Undang-
undang yang mencantumkan kode etik harus ditaati sehingga kode etik
merupakan bagian dari hukum positif yang akan menimbulkan sanksi
hukum bagi pelanggar disisi lain penegakan kode etik juga merupakan
tujuan dari hukum positif. Adapun Undang-undang tersebut antara lain:
1)pasal 17 ayat 1 huruf f Undang-Undang Nomor: 8 Tahun 1999, tentang
perlindungan konsumen, melarang pelaku usaha periklanan
memproduksi iklan yang melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku;
2)Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 2003, tentang Advokat;
3)Undang-Undang Nomor: 30 Tahun 2004, tentang jabatan Notaris, pada
pasal 85 disinggung beberapa jenis sanksi yang bisa dikaitkan dengan
pelanggaran kode etik.
9.IKATAN HUKUM DALAM HUBUNGAN HUKUM PROFESI
Selain unsur pembeda antara profesi pada umumnya dan profesi
luhur dari segi pengabdiannya, terdapat unsur lain yang membedakannya,
yaitu ikatan hukum antara penyandang profesi dengan pihak yang
dilayani. Hubungan keperdataan yang terjadi terhadap profesi pada
umunya dengan yang dilayani merupakan perikatan yang menjanjikan
suatu hasil (resultaatsverbintenis), sedangkan perikatan hukum antara
profesi luhur dengan yang dilayani adalah perikatan yang menjanjikan
usaha (inspanningsverbitenis). Profesi yang terikat dalam hubungan
hukum yang menjanjikan usaha dituntut memiliki landasan intelektual
dan standar kualifikasi serta moral yang lebih tinggi, sehingga
Penghargaan yang diberikan oleh masyarakat tentunya lebih tinggi.
Sebagai suatu gambaran dapat diamati pada hubungan antara Advokat
dan klien idealnya menggunakan perikatan model menjanjikan suatu
usaha dalam hal Advokat menjanjikan keberhasilan maka merupakan
pelanggaran terhadap kode etika. Advokat tersebut baik sadar atau tidak
sadar telah merendahkan profesi luhur yang seharusnya dijunjung tinggi.
10. PENGAWASAN SERTA PENINDAKAN ORGANISASI
PROFESI TERHADAP PENYANDANG PROFESI YANG
MELANGGAR KODE ETIK.
Organisasi merupakan kelompok dari sebagian masyarakat yang
mempunyai tujuan yang sama serta berinteraksi sosial dalam organisasi
dengan didukung oleh perangkat aturan demi kepentingan organisasi
maupun kepentingan masyarakat. Pendapat serupa juga dikemukakan
Max Weber yang dikutip oleh Miftah Thoha sebagai berikut:
organisasi atau kelompok kerja sama merupakan suatu hubungan
sosial yang dihubungkan dan dibatasi oleh aturan-aturan. Aturan-
aturan ini sejauh mungkin dapat memaksa seseorang untuk
melakukan kerja sebagai suatu fungsi yang ajek, baik dilakukan
oleh pimpinan maupun oleh pegawai-pegawai administrasinya.
Aspek dari pengertian dimaksud oleh Max Weber ialah bahwa
suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini mempunyai unsur
kekayaan sebagai berikut. Organisasi merupakan tata hubungan
sosial, dalam hal ini seorang individu melakukan proses interaksi
sesamanya didalam organisasi tersebut.
1.Organisasi mempunyai batas-batas tertentu (boundaries)
sehingga seseorang yang melakukan hubungan interaksi
dengan lainnya tidak atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi
oleh aturan-aturan tertentu;
2.Organisasi merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang
bisa membedakan suatu organisasi dengan kumpulan-
kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses
interaksi diantara orang-orang yang bekerja sama didalamnya
sehingga interaksi tersebut tidak muncul begitu saja;
3.Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan yang
berstruktur didalamnya berisi wewenang, tanggung jawab,
dan pembagian kerja untuk menjalankan sesuatu fungsi
tertentu. Istilah lain dari unsur ini ialah terdapatnya hierarki
(hierachy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa
didalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan
atau staf.
Pendapat Max Weber lebih condong kearah interaksi, struktur
organisasi, serta pentingnya aturan dalam organisasi, sedangkan
Kelompok masyarakat tidak akan membentuk suatu organisasi tanpa
adanya kehendak yang sama serta yang terpenting mempunyai tujuan
organisasi yang akan dicapai demi kepentingan bersama yang juga
merupakan kepentingan anggota juga, bahkan yang dikatakan sebagai
tujuan organisasi merupakan motivasi awal terbentuknya suatu
organisasi, sedangkan Amitai Etziomi yang dikutip oleh Miftah Thoha
mengemukakan bahwa:
organisasi sebagai pengelompokan orang-orang yang sengaja
disusun untuk mencapai tujuan tertentu. Kelompok semacam ini
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
1.mempunyai pembagian kerja, kekuasaan, dan
pertanggungan jawab yang dikomunikasikan. Pembagian ini
tidaklah dikomunikasikan. Pembagian ini tidak dilakukan
secara acak (random) melainkan sengaja dilakukan untuk
meningkatkan usaha mencapai tujuan tertentu;
2.adanya satu atau lebih pusat kekuasaan yang dapat
dipergunakan untuk mengendalikan usaha-usaha organisasi
yang telah direncanakan dan yang dapat diarahkan untuk
mencapai tujuan. Pusat kekuasaan ini juga harus dapat
dipergunakan untuk menilai kembali secara ajek pelaksanaan
organisasi, dan menyempurnakan struktur yang dianggap
perlu untuk meningkatkan efisiensi; dan
3.adanya suatu pergantian kepegawaian, misalnya seseorang
yang cara kerjanya tidak memuaskan dapat dipindahkan dan
diganti oleh orang lain. Dalam organisasi juga dapat
dilakukan usaha memadukan kembali kegiatan kepegawaian
dengan cara pemindahan atau promosi.
Pelaksanaan organisasi baik struktur maupun sistem kerja organisasi
diarahkan pada tujuan organisasi yang merupakan kehendak dari para
anggotanya, sehingga pendapat ini lebih melihat pada cita-cita sebagai
realita dari suatu organisasi. Tujuan dari organisasi sebagai suatu patokan
dasar justru dapat membaca itikad dari suatu organisasi baik terhadap
anggota organisasi, sesama organisasi, masyarakat maupun negara. Lebih
lanjut Richard scott yang dikutip oleh Miftah Thoha mengemukakan
organisasi sebagai tujuan khusus dalam hal-hal sebagai berikut:
organisasi itu sebagai suatu kolektivitas yang sengaja dibentuk
untuk mencapai suatu tujuan khusus tertentu sedikit banyak
didasarkan pada asas kelangsungan, akan lebih jelas persoalannya
bahwa organisasi itu bagaimanapun adanya, mempunyai gambaran
prospek yang jelas, dan berbeda dari sekedar khususnya tujuan atau
kelangsungan aktivitas. Perbedaan gambaran itu meliputi hal-hal
antara lain:
1.adanya batas-batas yang jelas;
2.adanya aturan-aturan yang normatif;
3.adanya jenjang otoritas;
4.adanya suatu sistem komunikasi; dan
5.adanya suatu sistem insentif yang mampu mendorong
berbagai tipe partisipasi dalam usaha bekerja sama untuk
mencapai tujuan tertentu.
Tujuan yang khusus merupakan pengendali suatu organisasi tidak
melenceng dari cita-cita organisasi sehingga diharapkan organisasi dapat
terfokus pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Peran
organisasi dengan patokan yang jelas memberikan kesempatan luas yang
terkondisi positif untuk mencapai tujuan yang dapat mengcover
kehendak masyarakat maupun kehendak anggota. Tujuan organisasi
dapat terwujud apabila didukung oleh seperangkat sistem yang
didalamnya terdapat aturan atau batasan yang jelas bagi organisasi baik
secara umum maupun khusus bagi anggotannya. Kriteria dari suatu
organisasi secara umum memiliki kesamaan dengan organisasi profesi,
akan tetapi letak perbedaan pada tujuan dari suatu organisasi terpengaruh
oleh latar belakang dari sejarah perkembangannya, karena mendapat
pengaruh dari fungsi profesi berdasarkan kondisi jaman yang tidak lain
memiliki perbedaan atas kebutuhan masyarakat atas fungsi profesi itu
sendiri.
Terbentuknya beberapa Organisasi profesi hukum menimbulkan dilema
dalam penegakan etika profesi, karena setiap organisasi profesi memiliki
Kode Etik masing-masing. Anggota dari suatu organisasi dapat pindah ke
organisasi lain apabila akan dijatuhi sanksi dari organisasinya, sehingga
penegakan etika profesi hanya sebagai wacana ataupun cita-cita dari
organisasi profesi. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Shidarta
sebagai berikut:
secara jujur harus diakui, bahwa pengembangan etika profesi
hukum di Indonesia kurang berjalan dengan baik dalam dunia
hukum kita. Banyak pelanggaran etika profesi yang tidak mendapat
penyelesaian secara tuntas, bahkan terkesan didiamkan. Lembaga
semacam Dewan atau Majelis Pertimbangan Profesi yang bertugas
menilai pelanggaran etika masih belum berwibawa dimata para
anggotanya. Kondisi demikian menyebabkan bahan kajian etika
profesi hukum di Indonesia menjadi sangat kering dan berhenti
pada ketentuan-ketentuan normatif yang abstrak. Padahal kajian ini
pasti akan lebih menarik jika dibentangkan bersama contoh kasus
nyata yang dihadapi para fungsionaris hukum kita. Munculnya
berbagai organisasi profesi sejenis dengan Kode Etiknya sendiri-
sendiri, semakin mengurangi nilai kajian ini dimata orang-orang
yang mempelajari etika profesi hukum.
Kajian terhadap efektifitas hukum ataupun etika profesi tidak dapat
dicermati dari nilai yang ada, akan tetapi harus disertai gambaran riel
yang terjadi dimasyarakat. Anggota Organisasi profesi/profesi hukum
wajib mematuhi Kode Etik layaknya mematuhi ketentuan hukum yang
berlaku. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad
bahwa:
sama halnya dengan penegakan hukum adalah penegakan Kode
Etik. Penegakan Kode Etik adalah usaha melaksanakan Kode Etik
sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak
terjadi pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan Kode
Etik yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali, karena Kode
Etik adalah bagian dari hukum positif, maka norma-norma
penegakan hukum Undang-undang juga berlaku pada penegakan
Kode Etik.
Penegakan Kode Etik serupa dengan penegakan terhadap hukum positif,
bahkan dengan ditegakkannya Kode Etik maka berarti telah menegakkan
hukum karena Kode Etik sebagai bagian dari hukum positif. Sebagai
konsekuensi penegakan Kode Etik maka organisasi profesi memiliki
perangkat Pengawas guna mengawasi keseharian profesi/profesi hukum
dalam menjalankan tugasnya, serta Dewan Kehormatan dalam
memeriksa dan mengadili profesi/profesi hukum yang melakukan
pelanggaran terhadap Kode Etik. Pendapat serupa juga dikemukakan
oleh Liliana Tedjosaputro sebagai berikut:
organisasi profesi merupakan unsur pendukung bagi suatu profesi.
organisasi profesi ini merupakan wadah untuk mengembangkan
dan memajukan profesi, tempat untuk bertukar pikiran, tukar
menukar informasi dan perlindungan dikalangan anggotanya, serta
tempat untuk menyelesaikan permasalahan profesi. Bahkan
organisasi profesi bertanggung jawab adanya penyalahgunaan
tanggung jawab profesi yang terjadi dikalangan profesi dan juga
penjatuhan sanksi akibat adanya pelanggaran profesi.
Organisasi profesi yang solid akan memberikan kewibawaan yang
tinggi bagi para anggotanya dan dimata anggota masyarakat dan
juga Pemerintah. Organisasi profesi yang solid akan memberikan
rasa nyaman dan perlindungan bagi anggotanya. Apabila ada
pelanggaran, penjatuhan sanksi yang objektif diterima dengan
lapang dada oleh anggota yang melanggar Kode Etiknya.
Penjatuhan sanksi yang objektif merupakan suatu harapan demi tegaknya
etika profesi sekaligus merupakan pelindung bagi para anggotanya dan
memiliki kewibawaan dimata masyarakat. Pengertian objektif itu sendiri
memiliki makna yang dapat diperdebatkan, mengingat yang ditegakkan
adalah etika yang merupakan sekumpulan nilai sehingga penegakannya
tidak dapat lepas dari subyek yang menilai. Sesuai pula dengan yang
dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
nilai tidak lain adalah kualitas dari sesuatu. Sesuatu yang dimaksud
disini adalah sesuatu obyek yang tertentu. Apabila kualitas tersebut
dilihat dari kondisi sebenarnya maka nilai demikian disebut nilai
objektif. Nilai objektif tersebut memang tidak dapat dipisahkan dari
subyek yang memberikan penilaian. Subyek ini dapat berupa
individu, kelompok masyarakat, suatu bangsa, atau universal. Nilai
yang diberikan oleh subyek disebut nilai subyektif dan pada
umumnya nilai memang bersifat subyektif karena subyeklah yang
memberikan keputusan tentang nilai itu. Secara teoritis kedua
macam nilai ini dapat dibedakan, tetapi dalam prakteknya sangat
sulit untuk menentukan mana nilai objektif dan subyektif.
Walaupun kriteria nilai objektif adalah dilihat dari obyeknya,
namun tetap saja yang menentukan nilai dari obyek itu adalah si
subyek, itulah sebabnya ada pendapat yang mengatakan bahwa
nilai itu senantiasa bersifat subyektif, dan semakin banyak subyek
yang memberikan nilai yang sama pada suatu obyek, maka
dikatakan semakin bernilai objektiflah obyek yang bersangkutan.
Nilai objektif dan subjektif saling bertaut sehingga sulit dipisahkan,
karenanya suatu nilai dapat menjadi objektif harus melalui proses yang
objektif pula dan dalam organisasi dapat diwujudkan dalam bentuk
penilaian anggota atas suatu obyek agar dapat bersifat objektif.
Pembahasan dari para anggota atas proses penegakan Kode Etik sangat
berpengaruh dalam menegakkan etika profesi. Pembahasan dan penilaian
bersama menimbulkan anggota organisasi dapat menerima sanksi
pelanggaran secara lapang dada karena anggota telah menyadari atas
resiko terhadap pelanggaran yang telah diperbuat.
Penegakan terhadap Kode Etik bukan saja melalui sanksi terhadap
anggotanya, akan tetapi dimulai dari sosialisasi kepada anggotanya
dalam setiap rapat organisasi mengenai tujuan pokok rumusan etika,
yang dijelaskan oleh Suhrawardi K.Lubis sebagai berikut:
namun demikian dapat diutarakan bahwa prinsip-prinsip yang
umum dirumuskan dalam suatu profesi akan berbeda-beda satu
sama lain. Hal ini dapat terjadi disebabkan perbedaan, adat-istiadat,
kebiasaan, kebudayaan dan peranan tenaga ahli profesi yang
didefinisikan dalam suatu negara dengan negara tertentu tidak
sama. Adapun yang menjadikan tujuan pokok dari rumusan etika
yang dituangkan dalam Kode Etik profesi adalah:
1.standar-standar etika menjelaskan dan menetapkan
tanggung jawab kepada klien, lembaga (institution), dan
masyarakat pada umumnya;
2.standar-standar etika membantu tenaga ahli profesi dalam
menentukan apa yang harus mereka perbuat kalau mereka
menghadapi dilema-dilema etika dalam pekerjaannya;
3.standar-standar etika membiarkan profesi menjaga reputasi
atau nama dan fungsi profesi dalam masyarakat melawan
kelakuan-kelakuan yang jahat dari anggota-anggota tertentu;
4.Standar - standar etika mencerminkan / membayangkan
pengharapan moral-moral dari komunitas. Dengan demikian,
standar-standar etika menjamin bahwa para anggota profesi
akan menaati Kitab Undang-undang etika (Kode Etik) profesi
dalam pelayanannya; dan
5.standar-standar etika merupakan dasar untuk menjaga
kelakuan dan integritas atau kejujuran dari tenaga ahli profesi.
Tujuan dari rumusan etika harus disadari oleh anggota profesi
sebagai suatu kepentingan bersama bahkan sebagai kepentingan person
profesi dalam memberikan arah serta standar dalam melaksanakan
profesinya, sehingga layaknya Kode Etik sebagai suatu Undang-undang.
Pengertian pelanggaran terhadap Kode Etik memiliki makna yang
luas, karena pelanggaran dimaksud juga merupakan pelanggaran
terhadap hukum, sedangkan pengertian pelanggaran terhadap hukum
juga merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik. Sedemikian
pentingnya Kode Etik harus ditegakkan serupa hukum positif mengingat
keberadaan Kode Etik sebagai hukum khusus yang terkait dengan
kepentingan publik. Hal serupa juga dikemukakan oleh Todung Mulya
Lubis sebagai berikut: dengan demikian, tempat Kode Etik itu adalah
dalam perangkat hukum khusus yang memang mempunyai karakteristik
khusus, akan tetapi mempunyai fungsi penting di dalam masyarakat
profesi, karena rasa hormat terhadap etika profesi inilah yang
memelihara kredibilitas profesi itu dimata masyarakat.
Kredibilitas profesi Advokat dimasyarakat bukan semata-mata demi
kepentingan Advokat, tetapi harus dikembalikan pada tujuan keberadaan
Advokat yang terdiri dari berbagai kepentingan dan hal tersebut dapat
ditelaah dari sifat pemberlakuan Kode Etik. Sesuai yang dikemukakan
oleh Oemar Seno Adji bahwa:
Kode Etik sebagai wadah peraturan-peraturan perilaku yang
disepakati bersama oleh masyarakat profesi, pada umumnya
mengandung hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi para
profesionalis. Kode Etik juga mengandung dalam falsafah hukum,
apa yang dikualifisir sebagai normatieve etiek. Sebagai normatieve
etiek, umumnya dapat dikatakan bahwa Kode Etik mengandung
ketentuan-ketentuan yang bersifat gesinnung, yaitu:
1.kewajiban pada diri sendiri;
2.kewajiban-kewajiban pada umum;
3.ketentuan-ketentuan mengenai kerekanan; dan
4.kewajiban terhadap orang ataupun profesi yang dilayani.
Luasnya cakupan Kode Etik memerlukan perhatian khusus tidak
saja terhadap penegakannya, akan tetapi juga terhadap materi, sistem
pengawasan dan penindakan. Penegakan tanpa diimbangi oleh faktor
pendukung yang lain menimbulkan kelemahan hukum yang justru dapat
dimanfaatkan demi kepentingan mengelabui Kode Etik itu sendiri.
Berkaitan dengan penegakan Kode Etik, maka Hadi Herdiansyah
dan rekan mengutip dari B.Arief Sidharta menyatakan sebagai berikut:
faktor lemahnya pelaksanaan dan penegakan Kode Etik profesi
hukum antara lain adalah:
1.banyak pengemban profesi hukum dan masyarakat pada
umumnya tidak mengetahui dan memahami secara baik dan
lengkap tentang substansi dan prosedur yang diatur dalam
Kode Etik profesi hukum;
2.dalam praktek, Kode Etik profesi hukum tidak ditegakkan
dengan menggunakan mekanisme atau prosedur dan sanksi
yang telah diatur dalam Kode Etik yang bersangkutan;
3.substansi Kode Etik, sanksi dan aturan prosedural
penegakannya belum cukup lengkap dan jelas;
4.faktor kultural yang kurang mendukung kultur
kelembagaan. Seperti sikap ewuh pakewuh, sikap melindungi
sejawat secara berlebihan, karena pemahaman dan
penghayatan yang keliru terhadap pengertian solidaritas dan
moralitas;
5.tingkat responsivitas lembaga-lembaga yang bertugas
menegakkan Kode Etik pada umumnya masih rendah;
6.Tingkat konsistensi lembaga dalam menjatuhkan sanksi
kepada pelanggar Kode Etik masih rendah; dan
7.Karakter organisasi profesi hukum yang tertutup dan
eksklusif menyebabkan sempitnya kesempatan masyarakat
untuk ikut melakukan pengawasan terhadap profesi hukum
yang menyebabkan partisipasi masyarakat menjadi rendah.
Pengawasan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Pengawas
merupakan bentuk penegakan hukum terhadap penegak hukum, hal
tersebut sebagai dasar bagi penegak hukum untuk menegakkan
supremasi hukum.
pada perkembangan dunia ilmu pengetahuan yang makin modern,
maka peran organisasi profesi makin luas demi kepentingan umum. Hal
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shidarta sebagai berikut:
organisasi profesi merupakan wadah penting untuk pembinaan
profesi. Pembinaan ini terutama ditujukan kepada manusia-manusia
yang menyandang profesi tersebut, yakni masyarakat atau
komunitas profesi. Setiap profesi selalu didukung oleh sistem nilai
yang dituangkan dalam standar kualifikasi dan kompetensi dari
penyandang profesi ini. Sistem nilai ini juga tercermin dari Kode
Etik profesi, anggaran dasar, dan anggaran rumah tangga organisasi
profesi, dan sebagainya. Sistem nilai tersebut juga hadir dalam
praktek keseharian yang dilakukan dalam hubungan antara para
penyandang profesi dengan para pengguna jasa mereka. Dengan
kata lain, sistem nilai ini mengejawantah sebagai budaya (kultur)
profesi, atau sebaliknya, penyandang profesi adalah pendukung
kebudayaan.
Peran organisasi profesi tidak hanya pengawasan dan penindakan,
akan tetapi juga dibutuhkan fungsi pembinaan bagi para anggotanya
dengan tujuan efektifitas dilaksanakannya etika profesi. Pembinaan yang
dilakukan oleh organisasi profesi diharapkan dapat meminimalkan
pelanggaran etika dalam organisasi ataupun anggota organisasi.
Organisasi profesi dapat berperan sesuai dengan yang diharapkan,
apabila sistem dalam organisai profesi tertata dengan baik sehingga
mekanisme organisasi dapat berjalan sebagaimana mestinya, bahkan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi harus tertata
dengan baik serta sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan, selanjutnya
baru dapat mengatur anggotanya.
Organisasi merupakan manajemen yang tentunya dikelola oleh
pengurus, dengan kata lain meskipun anggaran dasar, anggaran rumah
tangga maupun Kode Etik sudah sesuai dengan ketentuan yang ada tanpa
didukung oleh manajemen yang profesional maka organisasi tidak akan
mampu melakukan pembinaan, pengawasan maupun penindakan
terhadap anggotanya. Besesuaian dengan pendapat Shrode dan Voich,
yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Anang Sulistyono sebagai berikut:
apabila kita sudah mulai berbicara mengenai organisasi, maka suatu
hal yang pokok adalah bagaimana organisasi itu akan dibuat
berjalan. Proses ini tidak lain merupakan kegiatan manajemen.
Manajemen ini bisa diartikan sebagai seperangkat kegiatan atau
suatu proses untuk mengoordinasikan dan mengintegrasikan
penggunaan sumber-sumber daya dengan tujuan untuk mencapai
tujuan organisasi melalui orang-orang, teknik-teknik dan informasi
dan dijalankan dalam kerangka suatu struktur organisasi.
Pendapat tersebut menempatkan orang-orang guna mencapai tujuan
organisasi, karena suatu sistem manajemen pelaksanaannya dilakukan
oleh pengurus. Kualitas pengurus organisasi memegang peranan penting
baik dari segi keilmuan maupun dari segi moralitas serta komitmen yang
tinggi terhadap organisasi itu sendiri. Organisasi profesi memiliki
tantangan yang berat terhadap penindakan atas penyalahgunaan profesi
oleh anggota sejawat demi terwujudnya profesionalisme dalam
penerapannya. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Supriadi bahwa:
dalam kenyataannya,ditengah-tengah masyarakat sering terjadi
penyalahgunaan profesi hukum oleh anggotanya sendiri. Terjadinya
penyalahgunaan profesi hukum tersebut disebabkan adanya faktor
kepentingan. Sumaryono mengatakan bahwa penyalahgunaan dapat
terjadi karena adanya persaingan individu profesional hukum atau
tidak adanya disiplin diri. Dalam profesi hukum dapat dilihat dua
hal yang sering berkontradiksi satu sama lain, yaitu disatu sisi, cita-
cita etika yang terlalu tinggi, dan disisi lain, praktek pengembalaan
hukum yang berada jauh dibawah cita-cita tersebut. Selain itu,
penyalahgunaan profesi hukum terjadi karena desakan pihak klien
yang menginginkan perkaranya cepat selesai dan tentunya ingin
menang. Klien kadangkala tidak segan-segan menawarkan bayaran
yang menggiurkan baik kepada penasihat hukum ataupun Hakim
yang memeriksa perkara.
Tantangan organisasi profesi bukan hanya penindakan penyalahgunaan
profesi, akan tetapi dituntut mampu mengawasi kinerja profesi agar tidak
melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik profesi.
11.PERIKATAN DALAM HUBUNGAN HUKUM PROFESI.
Hubungan hukum profesi antara penyandang profesi dengan
pengguna jasa profesi dalam ranah hukum keperdataan. Hubungan
hukum terwujud setelah ada kesepakatan antara penyandang profesi
dengan klien, tentang bagaimana menyelesaikan atau menangani posisi
hukum klien sesuai ketentuan hukum yang berlaku, setelah klien merasa
penyandang profesi hukum dalam hal ini notaris atau advokat dianggap
mampu dan sesuai yang diharapkan maka terwujudlah suatu bentuk
perjanjian baik lisan maupun tertulis. Perjanjian menimbulkan perikatan
sesuai pasal 1233 Burgerlijk Wetboek yang mengatur tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang,
selanjutnya pasal 1234 BW menyatakan tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu.
Perjanjian untuk dapat menimbulkan perikatan harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian sesuai ketentuan pasal 1320 BW yang berbunyi sebagai
berikut:
1.sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya;
2.kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3.suatu hal tertentu;
4.suatu sebab yang halal.
Ketentuan pasal 1320 BW setelah terpenuhi maka berlakulah Pacta Sunt
Servanda yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Perikatan yang dilakukan antara pekerjaan pada umumnya,
penyandang profesi, penyandang profesi luhur memiliki perbedaan. Pada
Perjanjian pekerjaan pada umumnya kedua belah pihak dapat
mengajukan tuntutan prestasi baik terhadap pelaksanaan pekerjaan
maupun hasil kerja dari pihak dalam perjanjian sesuai dengan asas
kebebasan berkontrak.
Perjanjian atau hubungan hukum pada penyandang profesi dengan
pengguna profesi meskipun tetap menggunakan asas kebebasan
berkontrak akan tetapi dibatasi oleh kode etik masing-masing profesi,
mengingat asas kebebasan berkontrak tetap tidak diperkenankan untuk
melanggar ketentuan hukum. Pengguna jasa profesi tidak dapat menuntut
jaminan keberhasilan, akan tetapi penyandang profesi apabila
berkeyakinan akan keberhasilan masih dapat memberikan gambaran
tentang keberhasilan.
Hubungan hukum yang terjadi antara penyandang profesi dan pengguna
jasa dibedakan menjadi dua model perikatan (verbintenis) yang terdiri
dari, perikatan yang menjanjikan suatu hasil (resultaatsverbintenis) dan
perikatan yang menjanjikan suatu usaha (inspanningsverbintenis).
Profesi luhur menggunakan perikatan yang menjanjikan suatu usaha
sehingga dituntut memiliki landasan intelektual dan standar kualifikasi
yang lebih tinggi dan sudah sepatutnya mendapat penghargaan lebih
tinggi dari masyarakat.
Prestasi utama yang harus direalisasikan oleh penyandang profesi
berkaitan dengan kemampuan intelektual guna menyelesaikan
permasalahan hukum yang ada, sedangkan hukum sendiri bersifat
abstrak, oleh karenanya penyandang profesi merupakan profesi
kepercayaan. Bahkan terdapat ahli hukum Belanda Paul Scholten
menyatakan kegiatan menemukan hukum (rechtsvinding) adalah seni.
Beliau sangat menekankan arti penting dari seni dalam penemuan
hukum, namun seni dalam penemuan hukum tidak diartikan ketrampilan
atau teknik melainkan suatu bentuk pemberian bentuk pada gambaran-
gambaran yang kabur, yaitu membuat sesuatu (fakta konkret)
mengkristalisasi menjadi hukum. Penciptaan bentuk hukum seperti ini
merupakan seni.
Metode interpertasi : gramatikal, otentik, historis.
12.KODE ETIK ADVOKAT

Kode etik Advokat Indonesia terdiri dari:


1)PEMBUKAAN;
2)KETENTUAN UMUM;
3)KEPRIBADIAN ADVOKAT;
4)HUBUNGAN DENGAN KLIEN;
5)HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT;
6)TENTANG SEJAWAT ASING;
7)CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA;
8)KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK;
9)PELAKSANAAN KODE ETIK;
10) DEWAN KEHORMATAN (KETENTUAN UMUM);
11)PENGADUAN;
12)TATA CARA PENGADUAN;
13)PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN
KEHORMATAN CABANG/DAERAH;
14)SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH;
15)CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN;
16)SANKSI-SANKSI;
17)PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN;
18)PEMERIKSAAN TINGKAT BANDING DEWAN KEHORMATAN
PUSAT;
19)KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN;
20) KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN;
21)KODE ETIK&DEWAN KEHORMATAN;
22)ATURAN PERALIHAN;
23)PENUTUP.

1.PEMBUKAAN:

Tujuan kode etik Advokat:


1.membebankan kewajiban;------------officium nobile
2.perlindungan hukum anggota.--------officium nobile
Advokat (profesi terhormat) dilindungi:
1)Hukum;
2)undang-undang;
3)kode etik.
Advokat memiliki kebebasan sesuai kode etik dan UU RI nomor: 18
tahun 2003, tentang Advokat pasal 14 yang mengatur, Advokat bebas
mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang
menjadi tanggung jawabnya didalam sidang Pengadilan dengan tetap
berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15, Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap
berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan
(lihat penjelasannya).
Kebebasan Advokat berdasarkan:
1)kehormatan Advokat;
2)kepribadian Advokat.
Advokat (penegak hukum) berpegang teguh:
1)kemandirian;
2)kejujuran;
3)kerahasiaan;
4)keterbukaan.
Kewajiban Advokat:
1)menjaga citra dan martabat kehormatan profesi;
2)setia dan menjunjung tinggi kode etik dan sumpah profesi
3)jujur dan bertanggung jawab kepada:
a.klien; --- nasihat & penyelesaian kasus klien dengan baik.
b.Pengadilan; --- fakta yuridis & penegakan hukum
c.negara atau masyarakat;--- penegakan hukum --- kesejahteraan.
d.terutama dirinya sendiri. --- penegak hukum --- imunitas.
Advokat sebagai penegak hukum (ps 5(1) UU tentang Advokat) sejajar
dengan instansi penegak hukum lain, harus saling menghargai juga
terhadap teman sejawat.
2.KETENTUAN UMUM
Advokat --- jasa hukum ---- didalam Pengadilan;
diluar Pengadilan.(pasal 1ayat 1 dan 2).
Klien (pasal 1 (3) UU tentang Advokat):
1)orang;
2)badan hukum;
3)lembaga lain.
Teman sejawat :
1)pihak yang berpraktek sebagai Advokat;
2)teman sejawat asing (pasal 1(8) UU tentang Advokat) .
Dewan Kehormatan:
1)mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat (ps 13(1), 26(4) UU tentang
Advokat);
2)menerima dan memeriksa pengaduan (ps 26(5) UU tentang Advokat) .
Honorarium (pasal 1 (7) UU tentang Advokat) :
1)imbalan jasa;
2)pembayaran;
3)kesepakatan;
4)perjanjian.
3.KEPRIBADIAN ADVOKAT.
Advokat --- WNI harus berkepribadian:
1)bertakwa kepada Tuhan YME;
2)satria;
3)jujur mempertahankan keadilan dan kebenaran;
4)moral yang tinggi;
5)luhur dan mulia;
6)menjunjung tinggi hukum;
7)menjunjung tinggi UUD RI;
8)menjunjung tinggi kode etik Advokat serta sumpah jabatannya.
Alasan penolakan nasihat dan bantuan hukum Advokat:
1)tidak sesuai dengan keahliannya;
2)bertentangan dengan hati nurani;
Advokat dilarang menolak nasihat dan bantuan hukum dengan alasan
(pasal 18 (1) UU tentang Advokat):
1)perbedaan agama;
2)perbedaan kepercayaan;
3)perbedaan politik;
4)perbedaan kedudukan sosial.
Tujuan Advokat (bagian b menimbang UU tentang Advokat):
1)mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan;
2)memperjuangkan HAM.
Beberapa hal yang wajib diperhatikan Advokat:
1)imbalan materi bukan tujuan utama;
2)bebas dan mandiri;
3)memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat;
4)memberi bantuan hukum dan pembelaan hukum kepada teman sejawat
dalamperkara pidana;
5)tidak diperkenankan melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan
kebebasan, derajat dan martabat Advokat;
6)menjunjung tinggi sebagai profesi terhormat;
7)sopan terhadap semua pihak dengan mempertahankan hak dan
martabat Advokat;
8)apabila diangkat sebagai pejabat negara tidak diperkenankan praktek
sebagai Advokat.
4.HUBUNGAN DENGAN KLIEN
1)utamakan jalan damai;
2)memberi keterangan yang sebenarnya sesuai ketentuan hukum yang
berlaku;
3)tidak menjamin perkara pasti menang;
4)honorarium sesuai kemampuan klien;
5)tidak membebani biaya yang tidak perlu;
6)perkara cuma-cuma juga harus diperhatikan;
7)harus menolak perkara yang tidak ada dasar hukum;
8)menjaga rahasia jabatan;
9)tidak melepaskan tugas pada saat posisi tidak menguntungkan klien;
10) pengurusan kepentingan bersama dua pihak atau lebih harus
mengundurkan diri;
11)hak retensi sepanjang tidak merugikan kepentingan klien.
5.HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
1)saling menghormati, menghargai, saling mempercayai;
2)dalam sidang Pengadilan tidak menggunakan kata tidak sopan baik
lisan atau tertulis;
3)keberatan terhadap tindakan teman sejawat diajukan ke Dewan
Kehormatan tidak melalui media masa atau cara lain;
4)tidak merebut klien;
5)mengganti Advokat dengan pencabutan surat kuasa Advokat semula
serta Advokat berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi
kewajiban terhadap Advokat semula;
6)Advokat semula wajib memberi/menyerahkan semua surat dan
keterangan berkaitan dengan perkara.
6.SEJAWAT ASING
wajib tunduk pada kode etik Advokat Indonesia.
7.CARA BERTINDAKMENANGANI PERKARA
1)Surat Advokat kepada teman sejawat dapat ditunjukkan kepada Hakim,
kecuali surat dibubuhi catatan Sans Prejudice;
2)isi pembicaraan atau korespondensi upaya damai antar Advokat tidak
dipergunakan sebagai bukti di Pengadilan;
3)perkara perdata, menghubungi Hakim harus bersama-sama dengan
Advokat pihak lawan;
4)Perkara pidana, menghubungi Hakim harus bersama-sama dengan
jaksa Penuntut Umum;
5)Advokat tidak mengajari dan mempengaruhi saksi yang diajukan pihak
lawan atau oleh jaksa Penuntut Umum;
6)Advokat mengetahui seseorang menunjuk Advokat dalam penanganan
perkara maka hubungannya hanya boleh melalui advokat tersebut;
7)imunitas hukum dalam sidang pengadilan (pasal 14,15 UU tentang
Advokat)
8)Advokat wajib memberi bantuan hukum cuma-cuma (pasal 1 (9) UU
tentang Advokat);
9)Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan putusan Pengadilan
kepada klien.
8.KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
1)Advokat profesi mulia dan terhormat (officium nobile) selaku penegak
hukum sejajar Jaksa dan Hakim dilindungi hukum, undang-undang dan
kode etik;
2)dilarang memasang iklan semata-mata mencari perhatian orang serta
papan nama dengan ukuran dan bentuk yang berlebih-lebihan;
3)Kantor Advokat dan cabangnya tidak diadakan ditempat yang
merugikan kedudukan dan martabat Advokat;
4)tidak mencantumkan yang bukan Advokat sebagai Advokat dipapan
nama atau memperkenalkan sebagai Advokat;
5)tidak mengijinkan karyawan yang tidak berkualifikasi untuk mengurus
perkara atau nasihat hukum;
6)tidak mencari publisitas di media masa;
7)Advokat dapat mengundurkan diri bila timbul perbedaan cara
penanganan perkara dengan kliennya;
8)Advokat mantan hakim atau panitera tidak menangani perkara yang
diperiksa Pengadilan tempat terakhir Pengadilan selama tiga tahun.
9.PELAKSANAAN KODE ETIK
1)Advokat wajib tunduk pada kode etik;
2)pengawasan dan pelaksanaan kode etik oleh Dewan kehormatan.
Pengawasan berdasarkan uu tentang advokat oleh organisasi
Advokat dan komisi pengawas (ps 12,13).
10.DEWAN KEHORMATAN (KETENTUAN UMUM)
1)memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran kode etik melalui
tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah (tingkat pertama) dan tingkat
pusat sebagai tingkat terakhir;
2)beban biaya oleh DPC, DPP,pengadu/teradu ?
11. PENGADUAN
Pengaaduan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan merasa
dirugikan yaitu:
a)klien;
b)teman sejawat Advokat;
c) pejabat pemerintahan;
d)anggota masyarakat;
e)Dewan Pimpinan pusat/Cabang/Daerah organisasi profesi dimana
teradu menjadi anggota baik untuk kepentingan organisasi atau untuk
kepentingan umum.
12.TATA CARA PENGADUAN
1)Pengaduan secara tertulis dengan alasannya;
2)suatu tempat tidak terdapat dewan Kehormatan Cabang maka aduan
disampaikan pada cabang yang terdekat atau Dewan Kehormatan Pusat
dimana teradu menjadi anggota;
3)DPC menerima pengaduan akan diserahkan kepada DPC yang
berwenang;
4)pengaduan disampaikan Ke Dewan kehormatan Pusat maka akan
diteruskan Ke Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang.
13.PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN
KEHORMATAN CABANG/DAERAH
1)Dewan Kehormatan menerima pengaduan tertulis disertai bukti,
kemudian menyampaikan kepada teradu paling lambat 14 hari;
2)Paling lambat 21 hari teradu memberi jawaban tertulis disertai bukti
surat, bila tidak memberi jawaban maka DPC/D menyampaikan
pemberitahuan kedua dengan peringatan apabila dalam waktu 14 hari
sejak tanggal surat peringatan tidak memberi jawaban dianggap
melepaskan hak jawabnya;
3)tidak ada jawaban dapat diputus tanpa kehadiran kedua belah pihak;
4)Jawaban yang diadukan diterima maka menetapkan hari sidang dengan
panggilan secara patut (3hari);
5)pengadu dan teradu harus hadir sendiri, dapat didampingi penasehat
serta berhak mengajukan saksi dan bukti;
6)sidang pertama Dewan Kehormatan menjelaskan tata cara
pemeriksaan, upaya perdamaian untuk yang bersifat perdata selanjutnya
kedua belah pihak mengemukakan alasan pengaduan dan pembelaan
serta saurat bukti dan saksi akan diperiksa;
CATATAN: pelanggaran kode etik yang bersifat pidana apabila telah
diputus peradilan umum maka sudah pasti salah dimana efektivitas
Dewan Kehormatan.
SIDANG PERTAMA SALAH SATU PIHAK TIDAK HADIR :
1)penundaan sidang 14 hari, pengadu tidak hadir aduan gugur dan tidak
dapat mengajukan lagi untuk hal yang sama kecuali dianggap berkaitan
dengan kepentingan organisasi atau umum;
2)teradu 2 kali tidak hadir, pemeriksaan tanpa hadir teradu dan
diputuskan.
14.SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
1)Majelis Dewan Kehormatan Cabang/daerah sekurang-kurangnya tiga
orang anggota, salah satu ketu majelis (jumlah ganjil);
2)Majelis dapat terdiri dari: Dewan Kehormatan atau ditambah anggota
Majelsi Kehormatan Adhoc;
3)Majelis dipilih oleh rapat Dewan Kehormatan Cabang;
4)berita acara sidang;
5)sidang tertutup, keputusan sidang terbuka.
15. CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
1)Keputusan Dewan Kehormatan dapat berupa :
a.menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;
b.menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta
menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;
c.menolak pengaduan dari pengadu.
2)keputusan memuat pertimbangan dan pasal kode etik yang dilanggar;
3)keputusan dengan suara terbanyak dan diucapkan disidang terbuka;
4)anggota majelis kalah pengambilan suara berhak membuat catatan
keberatan;
5)keputusan ditanda tangani, berhalangan disebut dalam keputusan.
16.SANKSI/HUKUMAN
1)peringatan biasa (pelanggaran tidak berat);
2)peringatan keras (pelanggaran berat, mengulangi dan/ tidak
mengindahkan sanksi peringatan);
3)pemberhentian sementara untuk waktu tertentu (pelanggaran berat,
tidak mengindahkan dan menghormati kode etik, mengulangi peringatan
keras);
4)pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi
untuk bagian 3 dan 4 pemberhentian organisasi profesi menyampaikan ke
Mahkamah Agung untuk dicatat dalam daftar Advokat.
17.PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Paling lambata 14 hari setelah putusan diucapkan salinan putusan harus
disampaikan kepada:
1)teradu;
2)pengadu;
3)Dewan pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi; ?
4)Dewan Pimpinan Pusat;
5)instansi-instansi yang dianggap perlu, apabila keputusan telah
berkekuatan hukum tetap.
18.PEMERIKSAAN BANDING DEWAN KEHORMATAN PUSAT
1)Pengadu atau teradu tidak puas atas putusan tingkat pertama dapat
melakukan upaya hukum banding ke Dewan Kehormatan Pusat;?
2)Batas waktu banding beserta memori banding 21 hari sejak menerima
salinan keputusan;?
3) Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima memori
banding dalam waktu 14 hari mengirim kepada pihak terbanding;
4)Kontra memori paling lambat 21 hari sejak terima memori banding,
apabila tidak menyampaikan dianggap telah melepaskan haknya;
5)Selambat-lambatnya 14 hari berkas perkara diteruskan kepada Dewan
Kehormatan Pusat;
6)Upaya banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
7)Susunan Majelis Dewan Kehormatan Pusat seperti Dewan Kehormatan
Cabang/daerah;
8)Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasarkan berkas perkara yang
ada, bila dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak yang
bersangkutan atau memanggil mereka dengan biaya sendiri;
9)Dewan Kehormatan Pusat dapat memeriksa langsung dengan adanya
surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa
langsung oleh dewan Kehormatan Pusat;
10) Semua ketentuan untuk pemeriksaan tingkat pertama berlaku bagi
pemeriksaan tingkat banding.
19.KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PUSAT
1)Putusannya dapat berupa:
a. menguatkan;
b. merubah;
c. membatalkan.
2)Putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan
bersifat final dalam sidang terbuka dengan atau tanpa kehadiran para
pihak;
3)Selambat-lambatnya 14 hari setelah keputusan diucapkan, salinan
keputusan disampaikan kepada:
a. anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun
terbanding;
b. pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;
c. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah;
d. Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
e. dewan Pimpinan Pusat dan masing-masing organisasi profesi;
f. instansi-instansi yang dianggap perlu.
4)Apabila seorang Advokat telah dipecat maka Dewan Kehormatan
Pusat/Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/organisasi
profesi untuk memecat dari keanggotaan organisasi profesi.
20.KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Dewan kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah
diatur maupun yang belum diatur tentang Dewan Kehormatan dalam
kode etik ini, dengan kewajiban melaporkan kepada dewan Pimpinan
Pusat agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-
masing organisasi.
13.KODE ETIK NOTARIS
Kode Etik Notaris Ikatan Notaris Indonesia (INI) terdiri dari:
- KETENTUAN UMUM;
- RUANG LINGKUP KODE ETIK;
- KEWAJIBAN, LARANGAN DAN PENGECUALIAN;
- SANKSI;
- TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK:
a.pengawasan;
b.pemeriksaan dan penjatuhan sanksi:
-alat perlengkapan;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat pertama;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat banding;
-pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pada tingkat terakhir;
c.eksekusi atas sanksi-sanksi dalampelanggaran kode etik
- PEMECATAN SEMENTARA;
- KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT;
- KETENTUAN PENUTUP
1.KETENTUAN UMUM
a)Ikatan Notaris Indonesia (INI) merupakan satu-satunya wadah
pemersatu bagi semua dan setiap orang yang memangku dan
menjalankan tugas sebagai pejabat umum di Indonesia, merupakan
organisasi Notaris.
b)Kode Etik Notaris merupakan seluruh kaidah moral yang ditentukan
oleh perkumpulan INI (termasuk didalamnya pejabat sementara Notaris,
Notaris pengganti, Notaris pengganti khusus);
c)Disiplin organisasi : kewajiban-kewajiban terutama kewajiban
administrasi dan finansial yang telah diaturoleh perkumpulan;
d)Pengurus terdiri dari:
-pengurus pusat adalah pengurus perkumpulan pada tingkat
nasional yang mempunyai tugas, kewajiban serta kewenangan
untuk mewakili dan bertindak atas nama perkumpulan baik diluar
maupun dimuka Pengadilan;
-pengurus wilayah adalah pengurus perkumpulan pada tingkat
propinsi;
-pengurus Daerah adalah pengurus perkumpulan pada tingkat
kota/Kabupaten.
e)Dewan Kehormatan adalah alat perlengkapan perkumpulan sebagai
suatu badan atau lembaga yang mandiri dan bebas dari keberpihakan
dalam perkumpulan;
f)Dewan Kehormatan Pusat (nasional), Dewan Kehormatan Wilayah
(propinsi), Dewan Kehormatan Daerah (kota/Kabupaten) yang bertugas
untuk:
-melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan
anggota dalam menjunjung tinggi Kode Etik;
-memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran
ketentuan Kode Etik dan/atau disiplin organisasi, yang bersifat
internal atau yang tidak mempunyai kaitan dengan kepentingan
masyarakat secara langsung pada tingkat akhir final (Dewan
Kehormatan Pusat), tingkat banding (Dewan Kehormatan Wilayah),
tingkat pertama (Dewan Kehormatan Daerah);
-memberikan saran dan pendapat oleh Dewan Kehormatan Pusat
kepada majelis pengawas, Dewan Kehormatan Wilayah kepada
Majelis Pengawas Wilayah dan/atau Majelis pengawas daerah,
Dewan Kehormatan Daerah kepada Majelis Pengawas Daerah atas
dugaan pelanggaran kode etik dan jabatan Notaris;
g)Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh
anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris yang melanggar ketentuan Kode Etik
dan/atau disiplin organisasi;
h)Kewajiban adalah sikap perilaku, perbuatan atau tindakan yang harus
dilakukan anggota perkumpulan maupun orang lain yang memangku dan
menjalankan jabatan Notaris, dalam rangka menjaga dan memelihara
citra serta wibawa lembaga notarist dan menjunjung tinggi keluhuran
harkat dan martabat jabatan Notaris;
i)Larangan adalah sikap, perilaku dan perbuatan/tindakan apapun yang
tidak boleh dilakukan oleh anggota perkumpulan maupun orang lain
yang memangku dan menjalankan jabatan notaris, yang dapat
menurunkan citra serta wibawa lembaga notariat ataupun keluhuran
harkat dan martabat jabatan Notaris;
j)Sanksi adalah suatu hukuman sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa
ketaatan dan disiplin anggota perkumpulan maupun orang lain yang
memangku dan menjalankan jabatan Notaris dan menegakkan Kode Etik
dan disiplin organisasi;
k)Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan Dewan Kehormatan yang
berkekuatan hukum tetap;
l)Klien adlah setiap orang atau badan yang secara sendiri-sendiri atau
bersama-sama datang kepada Notaris untuk membuat akta, berkonsultasi
dalam rangka pembuatan akta serta minta jasa Notaris lainnya.
2.RUANG LINGKUP KODE ETIK
Kode etik notaris berlaku yang memangku dan menjalankan jabatan
Notaris maupun dalam kehidupan sehari-hari.
3.KEWAJIBAN,LARANGAN DAN PENGECUALIAN
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
wajib:
a)memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik;
b)menghormat dan menjunjung tinggi harkat dan martabat jabatan
Notaris;
c)menjaga dan membela kehormatan perkumpulan;
d)bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggung jawab
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan;
e)meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada
ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan;
f)mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan
negara;
g)memberikan jasa pembuatan akta dan jasa kenotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium;
h)menetapkan satu kantor ditempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari;
i)memasang satu buah papan nama dengan pilihan ukuran 100cmx40cm,
150cmx60cm, 200cmx80cm, dasar papan putih dengan huruf hitam;
j)hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh perkumpulan, menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan perkumpulan;
k)membayar uang iuran perkumpulan secara tertib;
l)membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia;
m) melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan perkumpulan;
n)menjalankan jabatan Notaris;
o)menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik,saling menghormati,saling
menghargai, saling membantu serta saling berusaha menjalin komunikasi
dan tali silaturahim;
p)memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak
membedakan status ekonomi dan/atau status sosialnya;
q)melakukan perbuatan-perbuatan yang secara umum disebut sebagai
kewajiban untuk ditaati dan dilaksanakan antara lain namun tidak
terbatas pada ketentuan yang tercantum dalam:
-UU Nomor30 tahun 2004 tentang jabatan Notaris;
-penjelasanPasal 19 ayat (2) uu Nomor 30 tahun 2004 tentang
jabatan Notaris;
-isi sumpah jabatan Notaris;
-Anggaran Dasardan Anggaran Rumah Tangga INI.
4.LARANGAN
Notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan Notaris
dilarang:
a)mempunyai lebih dari satu kantor;
b)memasang papan nama dan/atau tulisan Notaris/kantor Notaris diluar
lingkungan kantor;
c)melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara
bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,
menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: -
iklan;
- ucapan selamat;
- ucapan belasungkawa;
- ucapan terima kasih;
- kegiatan pemasaran;
- kegiatan sponsor.
d)Bekerja sama dengan biro jasa/orang/badan hukum;
e)menandatangani akta yang minutanya dibuat pihak lain;
f)mengirimkan minuta untuk ditandatangani klien;
g)berusaha atau berupaya klien notaris lain berpindah kepadanya;
h)memaksa klien agar membuat akta kepadanya;
i)melakukan usaha-usaha persaingan tidak sehat;
j)menetapkan honorarium lebih rendah dari penetepan perkumpulan;
k)mempekerjakan karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan;
l)menjelaskan dan atau mempersalahkan rekan notaris atau akta yang
dibuatnya. Kesalahan serius membahayakan klien notaris wajib
memberitahukan kepada rekan;
m)membentukkelompok rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan
tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi/lembaga;
n)menggunakan/mencantumkan gelar tidak sesuai dengan peraturan
perundangan;
o)melakukan pelanggaran terhadap kode etik, antara lain namun tidak
terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap:
-Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;
-penjelasan pasal 19 ayat 2 undang-undang tentang Jabatan Notaris;
-sumpah jabatan Notaris;
p)Hal-hal menurut ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran rumah
Tangga atau keputusan organisasi profesi (INI).
5.PENGECUALIAN
Beberapa hal merupakan pengecualian tidak termasuk pelanggaran,
sebagai berikut:
1)memberikan ucapan selamat, berduka cita dengan tidak mencantumkan
nama pribadi;
2)pemuatan nama dan alamat notaris dalam buku panduan nomor
telepon, Fax yang diterbitkan resmi PT.Telkom atau lembaga resmi;
3)memasang penunjuk jalan dengan ukuran tidak melebihi 20cmx50cm
dasar warna putih tulisan hitam tanpa mencantumkan nama notaris,
dipasang dgn radius max 100 meter dari kantor notaris;
6. SANKSI
Sanksi terhadap pelanggar kode etik berupa:
1)teguran;
2)peringatan;
3)schorsing (pemecatan sementara);
4)onzetting (pemecatan);
5)pemberhentian dengan tidak hormat.
Penjatuhan sanksi-sanksi disesuaikan dengan kwantitas dan kwalitas
pelanggaran.
7. TATA CARA PENEGAKAN KODE ETIK
Pengawasan dan pelaksanaan kode etik:
1)tingkat pertama oleh Pengurus Daerah INI dan Dewan Kehormatan
Daerah;
2)tingkat banding oleh Pengurus Wilayah INI dan Dewan Kehormatan
Wilayah;
3)tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat INI dan Dewan Kehormatan
Pusat.
PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN SANKSI
8. ALAT PERLENGKAPAN:
Dewan Kehormatan: alat perlengkapan perkumpulan, melakukan
pemeriksaan dan penjatuhan sanksi pelanggaran kode etik.
9. PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN SANKSI PADA
TINGKAT PERTAMA:
a)dugaan pelanggaran kode etik baik diketahui oleh dewan Kehormatan
daerah/laporan dari Pengurus Daerah ataupun pihak lain kepada Dewan
Kehormatan Daerah, selambat-lambatnya 7 hari kerja harus segera
mengadakan sidang.
b)Ternyata ada dugaan kuat pelanggaran kode etik maka dalam 7 hari
kerja Dewan Kehormatan Daerah berkewajiban memanggil anggota;
c)Dewan Kehormatan Daerah akan memutuskan setelah mendengarkan
keterangan dan pembelaan teradu disertai dengan sanksinya;
d)Keputusan melanggar atau tidak melanggar selambat-lambatnya 15
hari kerja setelah tanggal sidang dimana notaris telah didengar
keterangan dan atau pembelaannya;
e)anggota dipanggil tidak datang tanpa kabar dalam waktu 7hari kerja,
maka panggilannya akan diulang 2 kali dengan jarak waktu 7 hari kerja;
f)setelah panggilan ketiga juga tidak datang tanpa kabar dengan alasan
apapun, maka Dewan Kehormatan Daerah akan bersidang dan
menentukan putusannya;
g)sanksi pemberhentian sementara (schorsing) atau pemecatan
(onzetting) dari keanggotaan perkumpulan, Dewan Kehormatan Daerah
wajib berkonsultasi dengan Pengurus Daerahnya;
h)putusan Dewan Kehormatan Daerah wajib dikirim oleh Dewan
Kehormatan Daerah kepada anggota yang melanggar, tembusannya
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, Pengurus Pusat, dan Dewan
Kehormatan Pusat, dalam waktu 7 hari kerja setelah putusan;
i)pada tingkat Pengurus Daerah belum dibentuk Dewan Kehormatan
Daerah, maka Dewan kehormatan Wilayah berkewajiban dan berwenang
menjalankan kewajiban dan kewenangan Dewan Kehormatan Daerah
dalam rangka penegakan kode etik atau dewan Kehormatan Daerah
terdekat. Berlaku pula apabila Dewan kehormatan Daerah tidak sanggup
menyelesaikan atau memutuskan permasalahan yang dihadapi.
10. PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN SANKSI PADA
TINGKAT BANDING:
a)putusan sanksi pemecatan sementara (schorsing) atau pemecatan
(onzetting) dari keanggotaan perkumpulan dapat dimohonkan banding
dalam waktu tiga puluh hari kerja setelah tanggal penerimaan putusan;
b)permohonan naik banding dikirim tercatat atau dikirim langsung ke
Dewan Kehormatan Wilayah tembusan Dewan Kehormatan Pusat,
pengurus pusat, wilayah,daerah;
c)Dewan Kehormatan Daerah dalam waktu 7 hari mengirim berkas
kepada Dewan kehormatan Pusat;
d)setelah diterima 7 hari Dewan Kehormatan Wilayah memanggil
anggota guna melakukan pembelaan,selanjutnya putusan dalam 30 hari
kerja;
e)anggota tidak hadir tanpa pertanggungjawaban diputus 7 hari setelah
Dewan kehormatan Wilayah menerima permohonan banding;
f)Dewan Kehormatan Wilayah mengirim putusannya tembusannya
dewan Kehormatan Daerah, pengurus wilayah, pengurus daerah dan
pengurus pusat INI pusat dalam waktu 7 hari kerja setelah putusan;
g)apabila putusan Dewan Kehormatan Wilayah karena Dewan
Kehormatan Daerah belum terbentuk, maka keputusannya merupakan
tingkat banding;
11. PEMERIKSAAN DAN PENJATUHAN SANKSI PADA
TINGKAT TERAKHIR
a)putusan penjatuhan sanksi pemecatan sementara atau pemecatan dari
keanggotaan perkumpulan dapat diajukan pemeriksaan tingkat terakhir
kepada Dewan kehormatan Pusat dalam waktu 30 hari kerja setelah
penerimaan surat putusan dewan Kehormatan Wilayah;
b)permohonan dengan surat tercatat atau langsung kepada Dewan
Kehormatan Pusat dan tembusannya kepada Dewan Kehormatan
Daerah, pengurus pusat, pengurus wilayah dan pengurus daerah.
c)Dewan kehormatan Wilayah setelah menerima tembusan 7 hari
mengirim berkas kepada Dewan kehormatan Pusat;
d) setelah menerima permohonan 30 hari kerja anggota dipanggil untuk
membela diri;
h)tidak hadir tanpa pertanggungjawaban diputus 30 hari kerja setelah
Dewan Kehormatan Pusat memperoleh permohonan;
e)putusan dikirim 7 hari kerja tembusan kepada Dewan Kehormatan
Daerah, pengurus cabang, pengurus daerah dan pengurus pusat;
12. EKSEKUSI
a)putusan yang ditetapkan Dewan Kehormatan Daerah, Wilayah, Pusat
dilaksanakan pengurus Daerah;
b)pengurus daerah wajib mencatat dalam buku anggota perkumpulan atas
keputusan Dewan Kehormatan Daerah, wilayah, pusat, selanjutnya nama
notaris, kasus dan keputusan diumumkan dalam media notariat.
13.PEMECATAN SEMENTARA
anggota perkumpulan yang telah melanggar UU No. 30 Tahun 2004
tentang jabatan Notaris dengan putusan dan diputus bersalah dipidana
yang berkekuatan hukum tetap, pengurus pusat wajib memecat sementara
sebagai anggota perkumpulan disertai usul kepada konggres agar anggota
perkumpulan dipecat dari anggota perkumpulan.
14.KEWAJIBAN PENGURUS PUSAT
penjatuhan sanksi pemecatan sementara, pemecatan, pemberhentian tidak
hormat sebagai anggota perkumpulan wajib diberitahukan oleh pengurus
pusat kepada Majelis Pengawas Daerah, dan tembusannya kepada
menteri Hukum dan HAM RI.
15. KETENTUAN PENUTUP
a)anggota perkumpulan wajib menyesuaikan praktek maupun perilaku
dalam menjalankan jabatannya dengan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam peraturan dan/atau kode etik ini;
b)hanya pengurus pusat dan/atau alat perlengkapan yang lain dari
perkumpulan atau anggota yang ditunjuk yang berhak dan berwenang
untuk memberikan penerangan seperlunya kepada masyarakat tentang
kode etik notaris dan Dewan Kehormatan.

Anda mungkin juga menyukai