Anda di halaman 1dari 9

Eksepsi Peradilan Agama

Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan atau bantahan (objection). Bisa
juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun,
tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut
syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan terhadap pokok perkara
(verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum acara perdata adalah eksepsi mengenai
kewenangan mengadili. Eksepsi kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak
berwenang mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi menjadi:

1) Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)

Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat) lingkungan peradilan (Peradilan
Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus
(Arbitrase, Pengadilan Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu.[8]

Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam Pasal 134 Herziene Inlandsch
Reglement (“HIR”) dan Pasal 132 Reglement op de Rechsvordering (“Rv”). Eksepsi kewenangan absolut
dapat diajukan oleh tergugat setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi
kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan berlangsung
sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan di persidangan tingkat pertama
(Pengadilan Negeri).[9]

2) Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)

Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan dalam satu lingkungan
peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR.

Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi kewenangan relatif harus
disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap
materi pokok perkara.[10]

Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk tulisan. Pasal 133 HIR
memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang
menolak dan tidak mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan
tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang. Selain secara lisan, eksepsi
kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv
jo Pasal 121 HIR.[11]

Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan dengan pengajuan jawaban
setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok
perkara. Namun, jika eksepsi menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus
sebelum maupun bersamaan dengan pokok perkara.[12]
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136
HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan
berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksespsi, dikaitkan
dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.[13]

Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir) Pengajuan Eksepsi
kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa : Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses
pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak
mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada
tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut “
dalam hal hakim tidak berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan
tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang.”
Yang dimaksud dalam pasal ini adalah Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang
mengadili perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya
atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara
ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.[14]

Cara pengajuan eksepsi kompetensi relative (Relative Competentie) bentuk dan saat pengajuan eksepsi
kompetensi relative diatur dalam pasal 125(2) dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut.
[15]

Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif,
namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin
hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara
tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut : Perlawanan yang hendak
dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan
dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok
perkara. Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai
kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan
pedoman oleh para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan: Semua eksepsi kecuali eksepsi
kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban pertama terhadap pokok
perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.[16]

Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi
disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut
terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara
sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban
pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.

Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok
perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan
diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan
mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir dan
jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan eksepsi
tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila
eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok perkara
sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas antara
penggugat dan tergugat.[17]

a. Jenis Eksepsi

Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber
dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan
dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi
syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie)
yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila gugatan yang diajukan mengandung
cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat
diterima (Niet Onvantkelijke verklaard).

Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :Eksepsi tidak berwenang mengadili
yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang
secara absolut dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi
kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan Pasal 99 Rv. Berdasarkan
ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan relatif PN berdasarkan patokan : (actor
sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi),
tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan domisili pilihan.[18]

Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini
terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :
Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain
karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara
dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR.
Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan
oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober
1994). Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa
yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan yang
dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.[19]

Eksepsi Error in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat
error in persona yang disebut juga exceptio in person. Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa
sebagai berikut :

Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat
tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh
karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang
mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan
exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan
orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.

Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang
seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang
berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat, karena
yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.[20]

Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada
orang yang harus diikut sertakan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan
dapat diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.[21]

Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara
yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada
pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh
kekuatan hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk
memperkarakannya kembali.[22]

Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau
disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil
gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi
gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :

Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dsar hukum
(rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi
tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil
gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde
conclusie). Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah
terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak
disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak
disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang
dikuasainya tergugat.

Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil
contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973.

Petitum gugatan meminta :

1. menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa,

2. menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah terebut. Namun hak
apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang
jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan
tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak
dapat diterima.[23]

Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling
mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan
menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai
penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan
petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. Sesuatu
yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.

Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat
wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran
utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian,
terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti lebih
lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :

Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan
(aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata,

1. harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak,

2. salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be
kept,

3. wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi tepat waktu,
tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal
1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana
atau perdata maupun keduanya.[24]

Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada
prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali
jika dalam perjanjian telah mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan perbuatan
melawan hukum tidak diperlukan somasi, kapan saja terjadi Perbuatan melawan hukum pihak yang
dirugikan langsung mendapat hak untuk menuntut ganti rugi.

Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu
perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 dan 1243
KUH Perdata mengatur tentang jenis dan julah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari : kerigian
yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti rugi
bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum perbuatan melawan
hukum tidak menyebutkan bentuk ganti ruginya juga tidak menyebutkan rincian ganti rugi dengan
demikian dapat dituntut :

a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil;


b) kerugian immateril berupa ganti rugi pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to
original condition (herstel in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).[25]

Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan Perbuatan melawan
hukum ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam merumuskan dalil
gugatan tidak dibenarkan

1) mencampur adukan wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum dalam gugatan,

2) dianggap keliru merumuskan dalil perbuatan melawan hukum dalam gugatan jika terjadi in
konkreto secara realistis adalah wanprestasi atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa
hukum yang terjadi secara objektif ialah perbuatan melawan hukum, akan tetapi dimungkinkan
menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas
pemisahannya.[26]

Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi
hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya
sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut :

1. Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak dapat
diperiksa karena prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas
waktu untuk menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan
pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang
menangguhkan.[27]

2. Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside) gugatan karena
masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa yang digugat telah tersingkir umpanya hal
yang digugat bersumber dari perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya
permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa
yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria
exceptie) antara lain terdiri dari :

3. Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu
(expiration) selain menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum
untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan
mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama
dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.[28]

4. Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa
uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat
kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam
perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun ditolak.
[29]
5. Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan mengenai
penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan
tipu daya dalam perbuatan perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal
1328 KUH Perdata.

6. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber
dari perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat
dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.[30]

7. Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber
pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi
prestasi secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa
yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

8. Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang
berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang
lain atau milik tergugat.

9. Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh
penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice
yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau sedang
berjalan pemeriksaannya dipengadilan. (boy).[31]

Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:

a. Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang
mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab pokok perkara.

b. Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa PN tidak berwenang
untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus
diminta oleh tergugat)

c. Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134) jika benar maka gugatan
penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada
pengadilan yang berwenang.

d. Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan bahwa gugatan diajukan
prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat
menggugat kembali setelah tiba saatnya.

e. Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau oleh hakim gugatan
tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan gugatan lagi.
f. Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai kedudukan yang dimaksud
dalam gugatan.

g. Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang sekarang seluruhnya sama
dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama
(nebis in idem).[32]

BAB III

PENUTUP

Simpulan :

Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan adalah sebagai berikut:

Kekuasaan mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat dua tingkat pengadilan, yaitu
pengadilan agama pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat
banding.

Kekuasaan relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan
peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama
dalam lingkungan Peradilan Agama. Seperti misal, antara Pengadilan Agama Bandung dengan Pengadilan
Agama Bogor.

Kewenangan absolute adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa
kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu
orang-orang yang beragama Islam.

Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang :

a. Perkawinan

b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam

c. Wakaf dan sedekah.

Eksepsi adalah suatu tangkisan atau bantahan pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi
gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan
kepada hal yang menyangkut syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan
terhadap pokok perkara.

Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat, selama proses pemeriksaan
berlangsung. Sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan dipersidangan
tingkat pertama (peradilan negeri). Sedangkan eksepsi kewenagan relatif pengajuannya harus
disampaikan pada siding pertama dan bersamaan pada saat mengajukan jawaban pertama terhadap
materi pokok (perkara) apabila tidak terpenuhi syarat tersebut mengakibatkan hak tergugat untuk
mengajukan eksepsi menjadi gugur. Eksepsi kewenangan relative ini dapat berupa lisan dan tulisan.

wardahcheche.blogspot.com › eksep...

Hasil web

EKSEPSI PENGADILAN AGAMA - Dunia Makalah

Anda mungkin juga menyukai