Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM ACARA PERDATA TENTANG EKSEPSI, GUGATAN

REKONPENSI, PIHAK KETIGA, DALUARSA


Dosen : H. Artaji, S.H., MH.


SANCOYO PINANDITO 110110100366
EKO PRATAMA 110111090005

EKSEPSI
Ekspsi dalam konteks hukum acara perdata bermakna tangkisan atau bantahan (Objection). Bisa juga
berarti pembelaan (Plea) yang diajukan tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun tangkisan
atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat
formalitas gugatan yaitu :
Jika gugatan yang diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan
tidak sah yang karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), dengan demikian keberatan yang
diajukan dalam bentuk eksepsi tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok
perkara (Verweer ten principale).

Cara mengajukan Eksepsi
Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal 133, Pasal 134, dan Pasal 136
HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan kapan eksepsi disampaikan dalam proses
pemeriksaan berdasarkan pasal pasal tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan
eksespsi, dikaitkan dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.

Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio Declinatoir)
Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, dalam kedua pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa :
Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan
berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain tergugat berhak mengajukannya sejak
proses dimulai sampai sebelum putusan dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan
kasasi. Selanjutnya berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut dalam hal hakim tidak
berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan tangkisan tentang
ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan dirinya tidak berwenang. Yang dimaksud
dalam pasal ini adalah Hakim secara ex officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili
perkara yang diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya atau
termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut mesti dilakukan secara ex-
officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi tentang itu.

Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)
Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2) dan pasal 133 HIR
bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal sebagai berikut :
Bahwa pengajuan eksepsi kometensi relatif dapat diajukan secara lisan hal tersebut diatur dalam pasal
133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak dan mengenyampingkannya, dan hakim harus
menerima dan mencatatnya dalam berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana
mestinya. Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara tulisan (in
writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR. Menurut Pasal 121 HIR, tergugat
pada hari sidang yangditentukan diberi hak mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR
menyatakan dalam surat jawaban terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang
menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN yang bersangkutan.
Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat jawaban, berarti oengajuannya bersama-sama dan
merupakan bagian yang tidak terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.

Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili secara absolut dan relatif,
namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin
hukum. dan sebenarnya keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara
tersirat dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut :
Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang hal hakim tidak
berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing, tetapi harus dibicarakan dan
diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.
Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi mengenai kompetensi
yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv. Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh
para praktisi hukum yang pada pokoknya menggariskan :
semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama sama dengan jawaban
pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan bersamaan maka hilang hak tergugat untuk
mengajukan eksepsi.
Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan tertulis, sepanjang eksepsi
disampaikan sekaligus bersama dengan bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut
terdiri dari beberapa jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara
sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara sekaligus bersama jawban
pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136 HIR dan 114 Rv.

Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan diputus bersama-sama pokok
perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan
diputus bersama-sama dengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan
mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan dalam putusan akhir. Dan
jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif, yaitu dengan amar putusan : mengabulkan
eksepsi tergugat dan menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard).
Dan bila eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan pokok
perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan yang terjadi secara tuntas
antara penggugat dan tergugat.

Jenis Eksepsi
Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian besar diantaranya bersumber
dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu. Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan
dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi
syarat, bertitik tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya.

Eksepsi Prosesual (Processuele Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan.
Apabila gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan tidak sah, dengan
demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvantkelijke verklaard). Secara garis besar
eksepsi prosesual dapat dibagi kepada dua bagian :
Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan dapat diklasifikasikan, eksepsi
karena pengadilan tidak berwenang secara absolut dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang
secara relatif. Dan untuk eksepsi kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118
HIR dan Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan kewenangan
relatif PN berdasarkan patokan : (actor sequitor forumrer), (actor sequitor forumrer dengan hak opsi),
(actor sequitor forumrer tanpa hak opsi), tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae
dengan hak opsi, dan domisili pilihan.

Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar eksepsi kompetensi. Eksepsi ini
terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang paling sering ditemukan dalam praktek antara lain :

Eksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan berbagai bentuk eksepsi, antara lain
karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara
dipengadilan harus menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123 HIR.
Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil sebagaimana yang telah ditentukan
oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun 1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober
1994). Dan eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat kuasa
yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun 2007 tentang perseroan
yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar peradilan adalah direksi.

Eksepsi Error in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila gugatan mengandung cacat
error in persona yang disebut juga exceptio in person. Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa
sebagai berikut :
Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang mengemukakan bahwa penggugat
tidak memiliki persona standi in judicio didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh
karenanya tidak mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang
mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan
exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni orang yang mengajukan gugatan bukan
orang yang mempunyai kedudukan hukum untuk menggugat atas nama yayasan.
Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA no 601 K/Sip/1975, tentang
seorang pengurus yayasan yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang
berkaitan dengan yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat,
karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.
Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini adalah apabila orang yang ditarik
sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada
orang yang harus diikut sertakan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan
dapat diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.

Ekseptio Res Judicata atau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van gewijsde zaak, kasus perkara
yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada
pengadilan, dan terhadapnya telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh
kekuatan hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru untuk
memperkarakannya kembali.

Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat gugatan tidak terang isinya atau
disebut juga formulasi gugatan tidak jelas, padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil
gugatan harus terang dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktek dikenal beberapa bentuk eksepsi
gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu antara lain :
Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi tidak menjelaskan dsar hukum
(rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi
tidak dijelaskan dasar fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil
gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu (eenduideljke en bepaalde
conclusie).
Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi mengenai tanah terdapat
beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak
disebutnya batas batas objek sengketa, luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak
disebutnya letak tanah yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang
dikuasainya tergugat.
Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami hal ini perlu mengambil
contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum gugatan meminta : 1) menetapkan hak penggugat atas
tanah sengketa, 2) menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah
terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat ingin ditetapkan sebagai
pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang
dihentikan tergugat. MA berpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus
dinyatakan tidak dapat diterima.
Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan petitum harus saling
mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan
menjadi kabur. Sehubungan dengan hal itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai
penyelesaian sengketa yang didalilkan. Mesti terbina singkronisasi dan konsistensi antara posita dengan
petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat diminta dalam petitum. Sesuatu
yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.
Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun ada yang berpendapat
wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus spesifik dari perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Alasannya, seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran
utang tepat pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan demikian,
terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan hukum. akan tetapi jika diteliti
lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara keduanya, antara lain :
Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata timbul dari persetujuan
(aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata, 1) harus ada lebih dahulu perjanjian para
pihak, 2) salah satu perjanjian menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise
must be kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi prestasi
tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara Perbuatan Melawan Hukum (PMH)
menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar
hukum pidana atau perdata maupun keduanya.
Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut dalam wanprestasi pada
prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan lalai atau in mora stelling (interpellatio)
kecuali jika dalam perjanjian telah mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH
tidak diperlukan somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hak untuk
menuntut ganti rugi.
Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH Perdata, mengatur jangka waktu
perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN
1243 KUH Perdata mengatur tentang jenis dan julah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari :
kerigian yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian dipenuhi dan ganti
rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata sebagai dasar hukum PMH tidak
menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat
dituntut : a) ganti rugi nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi
pemulihan kepada keadaan semula atau restoration to original condition (herstel in de oorspronkelijk
toestand, hestel in de vorige toestand).
Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi dengan PMH ditinjau dari
sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan
1) mencampur adukan wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil
PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3) atau tidak tepat jika
gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi secara objektif ialah PMH, akan tetapi
dimungkinkan menggabungkan atau mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat
harus tegas pemisahannya.

Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin terdapat beberapa macam eksepsi
hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya
sama dengan eksepsi prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut :
Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan penggugat tidak dapat diperiksa
karena prematur dalam arti gugatan mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu
untuk menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat penundaan
pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya gugatan disebabkan adanya faktor yang
menangguhkan.
Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside) gugatan karena masalah
yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang
digugat bersumber dari perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya
permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi, dikompensasi, dan sebagainya. Atau
apa yang digugat telah dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR. Bentuk exceptio peremtoria (peremtoria
exceptie) antara lain terdiri dari :
Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata daluarsa atau lewat waktu
(expiration) selain menjadi dasar hukum untuk memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum
untuk membebaskan (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu. Dan
mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan diperiksanya dan diputus bersama
dengan pokok perkara dalam bentuk putusan akhir.
Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan tergugat (tertagih), bahwa uang
yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat
kaitannya denan kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang disebut dalam
perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu membuktikan eksepsinyapun ditolak.
Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu keberatan mengenai penipuan
yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu
daya dalam perbuatan perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal 1328
KUH Perdata.
Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan pengguagat yang bersumber dari
perjanjian yang mengandung paksaan (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat
dengan ketentuan pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.
Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam gugatan yang bersumber pada
perjanjian timbal balik, masing masing pihak dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi
secara timbal balik. Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa yang
menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Exceptio Domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat terhadap gugatan, yang berisi
bantahan yang menyatakan objek barang yang digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain
atau milik tergugat.
Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa sengketa yang digugat oleh
penggugat, sama dengan perkara yang sedang diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-
judice yang berarti gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung atau
sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan.


GUGATAN REKONVENSI
Selain membela diri dan membantah dalil-dalil yang di ajukan penggugat, seorang tergugat juga berhak
mengajukan gugatan balik atau gugatan rekonvensi. Bentuk gugatan rekonvensi hampir sama dengan
bentuk gugatan asal, hanya saja terdapat perubahan dalam identitas. Jika dalam konvensi disebut
sebagai tergugat maka dalam rekonvensi menjadi penggugat demikian sebaliknya.
Syarat-syarat mengajukan gugatan rekonvensi :
1. Gugatan rekonvensi di ajukan selambat-lambatnya bersama-sama dengan jawaban pertama dari
tergugat konvensi.
2. Gugatan rekonvensi tidak dapat diajukan dalam tingkat banding maupun kasasi jika pada
pemeriksaan tingkat pertama (pengadilan negeri) tidak diajukan gugatan rekonvensi.
3. Gugatan rekonvensi tidak dapat di ajukan jika terdapat perbedaan kualitas subyek hukum.
Misalnya penggugat konvensi bertindak sebagai direktur perusahaan, maka gugatan rekonvensi tidak
dapat diajukan kepada penggugat konvensi tersebut secara pribadi, melainkan kepada perusahaan yang
diwakilinya.
4. Gugatan rekonvensi harus meliputi jenis perkara yang menjadi kekuasaan dalam pengadilan
konvensi.
5. Meski antara gugatan rekonvensi dan gugatan konvensi tidak harus memiliki hubungan yang
saling ketergantungan, akan tetapi kedua gugatan tersebut harus mengenai satu rangkaian yang
berkaitan langsung.
Rekonvensi adalah gugatan balasan yang diajukan oleh Tergugat asli (penggugat dalam rekonvensi) yang
digugat adalah Penggugat asli (Tergugat dalam rekonvensi) dalam sengketa yang sedang berjalan antara
mereka.
Gugat rekonvensi diatur dalam pasal 132a dan 132b HIR yang disisipkan dalam HIR dengan Stb. 1927-
300 yang diambil alih dalam pasal 244-247 B. Rv. sedangkan dalam R.Bg tentang rekonvensi ini diatur
dalam pasal 157 dan 158. dalam hukum Acara Perdata, gugat rekonvensi ini dikenal dengan gugat
balik berhubung Tergugat juga melakukan wanprestasi pada Tergugat. Tergugat baru dapat melakukan
gugat rekonvensi apabila secara kebetulan berkaitan dengan hokum kebendaan yang sedang diperiksa
dalam sidang Pengadilan, gugat rekonvensi tidak boleh dilaksanakan terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan hukum perorangan atau yang menyangkut dengan status orang. Jadi tidak semua gugatan
Penggugat dibalas dengan gugat rekonvensi. Tuhuan gugat rekonvensi ini adalah untuk mengimbangi
gugatan Penggugat, agar sama-sama dapat diperiksa sekaligus.

Di samping itu, tujuan daripada gugat rekonvensi ini adalah:
a) Menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan untuk diperiksa dalam persidangan sekaligus,
b) Mempermudah prosedur pemeriksaan,
c) Menghindarkan putusan yang saling bertentangan satu sama lain,
d) Menetralisir tuntutan konvensi,
e) Memudahkan acara pembuktian dan menghemat biaya.
Dengan dimungkinkannya pihak Tergugat mengajukan gugat rekonvensi kepada Penggugat, maka
Tergugat tidak perlu mengajukan gugat baru, gugatan rekonvensi ini cukup diajukan bersama-sama
dengan jawaban terhadap gugatan.
Penggugat. Jadi dalam gugatan itu ada gugatan yang saling berlawanan yaitu gugatan konvensi (gugat
asal) dan gugatan rekonvensi (gugat balik).

Dalam gugatan konvensi Penggugatnya adalah Penggugat asal, dan Tergugatnya adalah Tergugat asal,
sedangkan dalam gugat rekonvensi Penggugatnya adalah Tergugat atau salah seorang dari Tergugat asal
yang disebut Penggugat dalam rekonvensi.
Beberapa syarat gugat rekonvensi diajukan di muka persidangan Pengadilan Agama, yakni:
a) Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban pertama oleh Tergugat baik
tertulis maupun dengan lisan. Namun menurut Wiryono Projodikoro, gugatan rekonvensi masih dapat
diajukan dalam acara jawab menjawab dan sebelum acara pembuktian.
b) Tidak dapat diajukan dalam tingkat banding, bila dalam tingkat pertama tidak diajukan.
c) Penyusunan gugatan rekonvensi sama dengan gugatan konvensi.
Menurut ketentuan Pasal 132 (a) HIR dan Pasal 157 R.Bg dalam setiap gugatan, tergugat dapat
mengajukan rekonvensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu:
a) Penggugat dalam Kualitas yang Berbeda
Rekonvensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa
hukum), sedangkan rekonvensinya ditujukan kepada diri pribadi penggugat (pribadi kuasa hukum
tersebut).
b) Pengadilan yang Memeriksa Konvensi tidak Berwenang memeriksa Gugatan rekonvensi gugatan
rekonvensi tidak diperbolehkan terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang Pengadilan Agama,
seperti suami menceraikan isteri, isteri mengajukan rekonvensi, mau cerai dengan syarat suami
membayar hutangnya kepada orang tua isteri tersebut. Masalah sengketa utang-piutang bukan
kewenangan Pengadilan Agama

PIHAK KETIGA
Jika dalam perkara yang sedang berlangsung, ada pihak ketiga yang merasa memiliki kepentingan
terhadap perkara tersebut, maka dia dapat melibatkan dirinya atau dilibatkan oleh slah satu pihak dalam
perkara tersebut. Inilah yang biasa disebut dengan Intervensi. Dalam melakukan intervensi, pihak ketiga
dapat melakukannya sebagai Penggugat Intervensi atau Tergugat Intervensi. Pengikut sertaan pihak
ketiga dalam proses berperkara ini biasanya dalam bentuk Voeging, Intervensi/Tussenkomst, dan
Vrijwaring. Ketiganya ini tidak diatur di dalam HIR maupun RBG, namun aturannya terdapat di dalam Rv.
Dan beberapa yurisprudensi.

1. Voeging (menyertai)
Pasal 279 Rv berbunyi Barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang
berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan. Di
dalam Voeging pihak yang ikut serta akan menyertakan diri kepada salah satu pihak, apakah itu pihak
tergugat ataupun pihak penggugat. Namun dalam praktik biasanya menyertakan diri untuk bergabung
dengan pihak tergugat disebabkan adanya kepentingan yang sama dengan pihak tergugat sehingga ikut
campur untuk mempertahankan kepentingannya itu. Prosesnya di pengadilan jika ada pihak yang
mengajukan Voeging maka hakim akan memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak yang
sedang bersengketa untuk memberikan tanggapan, kemudian akan diputuskan oleh hakim dalam
putusan sela jika permohonan Voeging tersebut dikabulkan.
Contoh dari voeging misalnya : A menggugat B untuk pembayaran suatu utang. C mendengar hal itu lalu
terperanjat dan mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah hutang, akan tetapi adalah modal untuk
usaha dagang bersama antara A, B dan C, oleh karena itu C mencampuri gugatan dan memihak untuk
menggabungkan diri kepada B.

2. Intervensi / Tussenkomst
Yurisprudensi MA No. 731 K/Sip/1975, menyatakan Intervensi (i.c. tussenkomst) adalah fihak ke-3 yang
tadinya berdiri di luar acara sengketa ini, kemudian masuk dalam proses untuk membela
kepentingannya sendiri. Dalam hal ini, pihak Intervensi merasa kepentingannya atau barang miliknya
sedang disengketakan antara penggugat maupun tergugat sehingga dia masuk untuk mengintervensi.
Dalam prosesnya hakim akan memutuskan dalam putusan sela apakah akan menerima intervensi
tersebut atau tidak, jika menerima maka akan ada dua perkara yang akan diproses bersama-sama, yakni
gugatan asal dan gugatan intervensi.
Contonya misal : dalam jual beli rumah dan tanah. A menggugat B karena B telah menjual rumah dan
tanah kepadanya, akan tetapi tidak mau menyerahkan rumah dan tanah yang telah ia jual kepada A.
Mendengar tentang danya gugatan itu, C yang juga merasa telah membeli rumah dan tanah itu dari B,
datang di persidangan, lalu dengan lisan atau tertulis mengemukakan kehendaknya untuk mencampuri
perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Apabila intervensi dikabulkan maka perdebatan menjadi
perdebatan segitiga.


3. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin)
Pasal 70 Rv berbunyi jika seorang tergugat berpendapat ada alasan untuk memanggil seseorang untuk
menanggungnya dan pemanggilan tidak dilakukan sebelum hari sidang pemeriksaan perkaranya, maka
ia pada hari yang ditentukan untuk mengadakan bantahan harus mengajukan kesimpulan disertai
alasan-alasan untuk itu sebelum bantahan dilakukan. Di dalam kesimpulan itu boleh dimasukkan
tangkisan tentang ketidakwenangan hakim, menyimpang dari apa yang ditentukan dalam pasal 114 dan
bila ini tidak terjadi dianggap tidak diajukan, kecuali bila hakim tidak berwenang berdasarkan pokok
perselisihan. Bila penggugat berpendapat ada alasan-alasan untuk memanggil seseorang untuk
menanggungnya, maka ia harus mengajukan permohonan untuk itu dengan kesimpulan yang disertai
alasan-alasan pada hari ia harus mengajukan jawaban balik (replik). Jika permohonan dikabulkan, maka
hakim akan memberikan waktu yang cukup berdasarkan jarak ke tempat tinggal si penanggung dan
menentuka hari untuk memeriksa perkara pokoknya maupun perkara penanggung. (rv. 99.) Putusan
yang mengabulkan permohonan penanggung tidak perlu diberitahukan kepada penanggung. Hal itu
dimasukkan dalam gugatan dan diserahkan tindakan-tindakannya yang harus disampaikan kepada
penggugat dan penanggung. Bila permohonan ditolak, pada putusan ituhakim menentukan hari pada
waktu mana diadakan panggilan setelah perkara itu dimasukkan kembali dalam daftar giliran sidang.
Secara sederhana ada pihak ketiga yang ditarik untuk bertanggung jawab, biasanya oleh tergugat agar
terlepas dari tuntutan pihak penggugat.
Contohnya misal: A selaku penggugat telah membeli sebuah TV dari B selaku tergugat. Ternyata TV
tersebut punya cacat tersembunyi. B padamulanya tidak mengetahui adanya cacat tersebut, sebab iya 3
bulan lalu baru saja membeli TV tersebut dari C yang telah memberikan jaminan bahwa TV tersebut
baru dan tidak cacat. Oleh karna B digugat oleh A untuk ganti rugi karena adanya cacat itu, B menarik C
untuk menanggung atau menjamin B.
















DALUARSA
Daluarsa adalah semacam upaya hukum sehingga tentang adanya daluarsa harus dikemukakan oleh
pihak lawan dalam jawabannya (eksepsi). Apabila hal tersebut tidak dikemukakan, maka daluarsa tidak
berlaku secara otomatis, dengan kata lain hakim harus tinggal diam, dan iya tidak diperkenankan untuk
karena jabatannyamengatakan bahwapersoalan tersebut atau hak untuk menggugat telah kedaluarsa.
Dalam medan perdata, daluwarsa, terjadi jika lawan kita bisa menggugah hakim untuk melihat bahwa
tuduhan kita sebenarnya aneh walaupun kita berhak menuntutnya. Dalam bahasa hukumnya, hakim
diminta untuk menerapkan bukti "persangkaan" sebagai indikator daluwarsa. Berikut dua contoh untuk
daluwarsa perdata:

1. Seseorang yang telah menggadaikan barang pakaian emas, yang setelah pemegang gadainya
meninggal, tidak memenuhi panggilan berulang kali dari ahli waris untuk menghadiri pembagian harta
warisan dan selama tujuh tahun diam saja, dianggap telah melepaskan haknya untuk menebus barang
yang telah digadaikannya (Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 147 K/Sip/1955 tanggal 19-7-1955)

2. Para Penggugat-Terbanding yang telah selama 30 tahun lebih membiarkan tanah-tanah sengketa
dikuasai oleh almarhum Ny. Ratiem dan kemudian oleh anak-anaknya, hak mereka sebagai ahli waris
yang lain dari almarhum Atma untuk menuntut tanah tersebut telah sangat lewat waktu
(rechtsverwerking) (Putusan Mahkamah Agung No. 408 K/Sip/1973 tanggal 9-12-1975)

Menurut Pasal 1967 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), segala tuntutan hukum,
baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan
lewatnya waktu 30 tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah
mempertunjukkan suatu atas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang
didasarkan kepada iktikadnya yang buruk.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan penangguhan daluwarsa, yaitu
sebagai berikut:
1. Daluwarsa berlaku terhadap siapa saja, kecuali terhadap mereka yang dikecualikan oleh undang-
undang (Pasal 1986 KUH Perdata).
2. Daluwarsa tidak dapat mulai berlaku atau berlangsung terhadap anak-anak yang belum dewasa dan
orang-orang yang ada di bawah pengampuan, kecuali dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang
(Pasal 1987 KUH Perdata).
3. Daluwarsa tidak dapat terjadi di antara suami istri (Pasal 1988 KUH Perdata).
4. Daluwarsa tidak berlaku terhadap seorang istri selama ia berada dalam status perkawinan (Pasal 1989
KUH Perdata):
bila tuntutan istri tidak dapat diteruskan, kecuali setelah ia memilih akan menerima persatuan
atau akan melepaskannya;
bila suami, karena menjual barang milik pribadi istri tanpa persetujuannya, harus menanggung
penjualan itu, dan tuntutan istri harus ditujukan kepada suami.

5.Daluwarsa tidak berjalan:
terhadap piutang yang bersyarat, selama syarat ini tidak dipenuhi (Pasal 1990 ayat [1] KUHPerdata);
dalam hal suatu perkara untuk menanggung suatu penjualan, selama belum ada putusan untuk
menyerahkan barang yang bersangkutan kepada orang lain (Pasal 1990 ayat [2] KUHPerdata);
terhadap suatu piutang yang baru dapat ditagih pada hari yang telah ditentukan, selama hari itu belum
tiba (Pasal 1990 ayat [3] KUHPerdata);
terhadap seorang ahli waris yang telah menerima suatu warisan dengan hak istimewa untuk membuat
pendaftaran harta peninggalan, tidak dapat dikenakan daluwarsa mengenai piutang-piutangnya
terhadap harta peninggalan (Pasal 1991 ayat [1] KUH Perdata);

6.Daluwarsa berlaku terhadap suatu warisan yang tak terurus, meskipun tidak ada pengampu warisan
itu (Pasal 1991 ayat [2] KUH Perdata);
7.Daluwarsa itu berlaku selama ahli waris masih mengadakan perundingan mengenai warisannya (Pasal
1992 KUH Perdata).














SUMBER
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum Edisi 2007 yang dikeluarkan oleh
Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI 2007
Sutantio, Retnowulan, S.H., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung: Mandar Maju,
2005

Anda mungkin juga menyukai