Anda di halaman 1dari 9

JAWABAN(TERGUGAT)

Perihal jawaban tergugat,gugat- menggugat dan eksepsi merupakan persoalan-persoalan yang


akan dibahas secara bersama dan sekaligus, oleh karena ketiga persoalan tersebut erat sekali
hubungannya satu dengan yang lainnya dan pada umumnya dijadikan pula secara bersama-sama
dalam jawaban tergugat1.

Jawaban tergugat diajukan setelah usaha perdamaian yang dilakukan oleh hakim tidak berhasil.
H.I.R. Sesungguhnya menghendaki jawaban tergugat diajukan secara lisan, karena memang pada
waktu itu H.I.R dimaksudkan oleh pemerintah colonial Belanda untuk orang-orang “Bumiputra”
yang dianggapnya masih bodoh. Kini H.I.R berlaku untuk untuk seluruh golongan penduduk di
dalam daerah Republik Indonesia bagi pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi.

Mengenai Jawaban tergugat, jawaban tergugat dapat terdiri dari 2 macam, yakni2 :

a. Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara yang disebut tangkisan atau
eksepsi.
b. Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara (verweer ten principale)

Mengenai apakah ada persyaratan mengenai cara mengajukan jawaban, Meskipun H.I.R tidak
menyebutkan,akan tetapi sudah selayaknya kalau jawaban tergugat itu disertai dengan alasan-
alasan, karena dengan demikian akan lebih jelaslah duduknya perkara. Tidaklah cukup kalau
tergugat hanya sekedar menyangkal gugatan saja, tetapi harus diberi alasan apa sebabnya ia
menyangkal. Sangkalan yang tidak cukup berasalan dapat dikesampingkan oleh hakim;
demikianah putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April 1938. Pasal 113 Rv mensyaratkan agar
bantahan tergugat itu disertai alasan-alasan (“ met redenen omkleed ” )

1
Retnowulan dan Iskandar,Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek (Bandung : Mandar Maju),2009,hlm.37
2
Ibid.hlm.38
Tentang pendapat apakah jawaban tergugat itu harus disatukan atau boleh dipisah-pisah ada 3
pendapat, yaitu3 :

a. Jawaban tergugat harus diberikan sekaligus dengan akibat gugurnya jawaban atau
sangkalan apabila tidak diajukan sekaligus(eventual maxime). Pendapat ini menghendaki
adanya konsentrasi daripada bantahan. Pasal 114 ayat 1 Rv menghendaki konsentrasi
daripada bantahan.
b. Jawaban diberikan dalam kelompok-kelompok. Prinsip ini menghambat jalannya
pemeriksaan, sehingga oleh karena itu terdesak oleh prinsip Eventualmaxime.
c. Demi kepentingan kedua pihak yang berperkara, maka sepanjang pemeriksaan boleh
diajukan jawaban- jawaban, akan tetapi hakim dapat mengesampingkan demi lancarnya
jalan pemeriksaan.

Kalau tergugat diberi kebebasan untuk mengajukan jawabannya sekehendaknya, hal ini akan
merugikan pihak penggugat, karena jawabannya dapat berlarut-larut. Maka untuk memudahkan
serta mempercepat jalannya pemeriksaan sudah selayaknyalah kalau jawaban tergugat, baik yang
berupa pengakuan maupun bantahan, termasuk tangkisan dan sangkalan tentang pokok perkara,
tidak dipisah-pisahkan, tetapi disatukan dalam satu jawaban ( concentravie van verweer )
sedemikian sehingga tidak merugikan pihak tergugat.

Pasal 136 H.I.R( Pasal 162 Rbg) menghendaki konsentrasi jawaban. Akan tetapi penyatuan
jawaban ini hanyalah menyangkut tangkisan (eksepsi), yang bukan berhubungan dengan tidak
berkuasanya hakim dan sangkalan (verweer ten principale).

Tentang sangkalan yang langsung mengenai pokok perkara pada pasal 316 H.I.R, Pasal 162 Rbg
tidak mengharuskan untuk diajukan pada permulaan sidang, maka oleh karena itu dapat diajukan
selama proses berjalan. Bahkan sangkalan mengenai pokok perkara yang belum diajukan padas
Pengadilan Negeri dapat diajukan pada tingkat banding asal saja tidak bertentangan dengan
sangkalan yang diajukan pada tingkat pertama.

Bantahan (verweer) pada hakekatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. Dan bantahan
tergugat ini dapat terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan sangkalan.

3
Sudikno, mertokusumo,Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta),2009, hlm.123
EKSEPSI

Pada umunya, yang diartikan dengan eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak
tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak langsung mengenai pokok perkara, yang berisi
tuntutan batalnya gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan (verweer len
participale) adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara4.

Mengenai tangkisan atau eksepsi, H.I.R hanya mengenal satu macam eksepsi, ialah eksepsi
perihal tidak berkuasanya hakim. H.I.R hanya mengatur eksepsi tentang tidak berkuasanya
hakim untuk memeriksa gugatan ( Pasal 125 ayat (2), 133-136 H.I.R, 149 ayat (2), 160-162 Rbg)
Sebagaimana di atas telah dikemukakan, eksepsi ini terdiri dari 2 macam, ialah eksepsi yang
menyangkut kekuasaan absolut dan eksepsi yang menyangkut kekuasaaan relative. Kedua
macam eskepsi ini termasuk eksepsi yang menyangkut acara, dalam hukum perdata disebut
eksepsi prosesuil (procesueel)5.

Eksepsi mengenai kekuasaan relative adalah eksepsi yang menyatakan, bahwa pengadilan negeri
tertentu adalah tidak berkuasa mengadili perkara tertentu, misalnya oleh karena perkara tersebut
bukan merupakan wewenang pengadilan negeri di Bandung, akan tetapi merupakan wewenang
pengadilan negeri di Cianjur. Eksepsi ini diatur dalam pasal 152 ayat (2),133, dan 136 H.I.R.

Eksepsi semacam tersebut diatas tidak diperkenankan untuk diajukan pada setiap waktu,
melainkan harus diajukan pada permulaan sidang, yaitu sebelum tergugat menjawab pokok
perkara secara lisan atau tertulis. Apabila terlambat diajukan, maka eksepsi tersebut tidak akan
diterima oleh pengadilan, dan pengajuannya sia sia saja.

Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, diatur dalam Pasal 134 H.I.R. Eskepsi mengenai
kekuasaan absolut ialah eskepsi yang menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang
untuk mengadili perkara tertentu, dikarenakan persoalan yang menjadi dasar gugat tidak
termasuk kewenangan pengadilan negeri, akan tetapi merupakan wewenang badan peradilan
yang lain.

4
Ibid.hlm.124
5
Retnowulan dan Iskandar,Opcit.hlm.38-39
Eksepsi mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara
berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya, artinya tanpa diminta oleh pihak
penggugat, untuk memecahkan soal berkuasa tidaknya beliau memeriksa persoalamn tersebut
dengan tidak usah menunggu diajukannya keberatan dari pihak yang berperkara.

Faure membagi eksepsi menjadi2, yaitu eksepsi prosesuil dan juga eksepsi materiil6.

Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan.
Pernyataan tidak diterimanya gugatan. Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan in
limine litis, berdasarkan alasan-alasan diluar pokok perkara. Hanya dalam hal ketidak wenangan
hakim, atau batalnya gugatan,hakim bukannya menyatakan tidak diterimanya gugatan,
melainkan menyatakan dirinya tidak wenang atau menyatakan gugatan batal. Termasuk eksepsi
prosesuil adakah tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi declinatoir) seperti eksepsi
tentang tidak berkuasanya hakim, serta eksepsi bahwa pihak penggugat tidak mempunyai
kedudukan sebagai penggugat (eksepsi disqualificatoir).

Eksepsi Materiil merupakan bantahan lainnya yang didasarkan atas ketentuan hukum materiil.

Eksepsi yang berdasarkan hukum materiil ada 2 macam, yaitu7 :

a. Eksepsi Dilatoir

Eksepsi dilatoir dalam eksepsi yang menyatakan, bahwa gugatan penggugat belum dapat
dikabulkan, misalnya oleh karena penggugat telah memberikan penundaan pembayaran

b. Eksepsi Peremptoir

Eksepsi Peremptoir adalah eksepsi yang menghalangi dikabul-kabulkannya gugatan, misalnya


oleh karena gugatan telah diajukan lampau waktu, dengan lain perkataan telah kadaluarsa, atau
bahwa hutang yag menjadia dasar gugatan telah dihapuskan.

Menurut pasal 136 H.I.R, eksepsi lainnya , kecuali yang menyangkut kekuasaan hakim,secara
absolut dan relative tersebut diatas, harus dibahas dan diputuskan bersama-sama dengan pokok

6
Sudikno,Opcit.hlm.124
7
Retnowulan dan Iskandar. Opcit.hlm.39
perkara. Maksud dari ketentuan Pasal 136 H.I.R itu ialah untuk menghindarkan kelambatan yang
tidak perlu, atau dibuat-buat, agar proses berjalan cepat dan lancar.

Jawaban tergugat yang mengenai pokok perkara hendaknya dibuat dengan Jelas,Pendek, dan
berisi, dibuat dengan langsung menjawab pokok persoalan yang mengemukakan alasan-salan
yang berdasar. Membuat jawaban yang panjang dan lebar dan tidak berisi berarti membuang
waktu dan tenaga dengan percuma.

Perihal gugat menggugat, gugat balasan,gugat balik, atau gugat dalam rekonpensi, diatur dalam
pasal 132a dan pasal 132b H.I.R. Kedua pasal tersebut memberi kemungkinan bagi tergugat atau
para tergugat, apabila ia atau mereka mengkehendaki dalam semua perkara untuk mengajukan
gugat abalasan atau gugat balik terhjadap penggugat.

Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawaban baik itu merupakan jawaban lisan
ataupun tertulis. Dalam Praktek gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan
pemeriksaan bukti, artinya belum mulai pula dengan pendengaran para saksi. Pengajuan gugat
balasan merupakan suatu hak istimewa yang diberikan oleh Hukum Acara Perdara kepada
tergugat untuk mengajukan suatu kehendak untuk menggugat dari pihak tergugat kepada pihak
penggugat secara bersama-sama dengan gugat asal8.

Pada azasnya, gugat balasan dapat diajukan dalam setiap perkara pengecualiannya adalah dalam
4 hal yang disebut dalam pasal 132a H.I.R., ialah9 :

a. Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat, sedang gugat balasan itu mengenai
dirinya sendiri dan sebaliknya;
b. Jika pengadilan negri, kepada siapa gugat asal itu di masukkan, tidak berhak, oleh karena
berhubung dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan
c. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimasukkan gugat balasan, maka dalam
tingkat banding tidak boleh memajukan gugat balasan.

Sehubungan dengan gugat balasan ini, permohonan pemeriksaan banding kepda pengadilan
tinggi dapat diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan terhadap putusan pengadilan negri

8
Ibid.hlm.42
9
Ibid.hlm.43
yang telah memutus perkara itu, baik untuk putusan dalam konpensi maupun dalam
rekopensi atau putusan rekopensi saja.

Pada umumnya, baik gugat asal maupun gugat balasan pada umumnya diselesaikan secara
sekaligus dengan satu putusan. Pertimbangan hukumnya memuat dua hal, yaitu pertimbangan
hukum dalam konpensi dan pertimbangan hukum rekopensi.
REKOVENSI

Seorang tergugat yang digugat oleh penggugat ada kemungkinannya mempunyai hubungan
hukum lain fengan penggugat, dimana penggugat berhutang kepada tergugat dan belum
dilunasi. Dalam gugatan kedua ini, yang terpisah dari gugatan pertama, tergugat
berkedudukan sebagai penggugat, sedangkan penggugat berkedudukan sebagai tergugat.
Akan tetapi, dalam acara gugatan antara penggugat dan tergugat, gugat konvensi, tergugat
dapat dapat menggugat kembali pihak penggugat, yang tidak merupakan acara yang terpisah
dari gugatan yang pertama. Gugatan dari pihak tergugat ini disebut gugat balik atau gugat
rekovensi. Penggugat dalam gugatan pertama atau gugatan konvensi, disebut sebagai
penggugat dalam konvensi/tergugat dalam rekovensi, sedang tergugat disebut sebagai
tergugat dalam konvensi/penggugat dalam rekovensi.10

Dapat disimpulkan bahwa gugat rekovensi adalah gugatan yang diajukan tergugat terhadap
penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan dianatara mereka.

Gugat balasan diajukan bersama-sama dengan jawaban, baik itu berupa jawaban lisan atau
tertulis,dalam praktik gugat balasan dapat diajukan selama belum dimulai dengan
pemeriksaan bukti, artinya belum sampai pada pendengaran keterangan saksi. Sedang tujuan
diperbolehkan mengajukan gugatan balasan atas gugatan penggugat adalah11 :

a. Bertujuan menggabungkan dua tuntutan yang berhubungan


b. Mempermudah prosedur
c. Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan antar satu dengan yang
lainnya
d. Menetralisir tuntutan konvensi
e. Acara pembuktian dapat disederhanakan
f. Menghemat biaya

Kesempatan mengajukan gugatan rekovensi ini diberikan oleh pasal 132a dan 132b H.I.R
( Ps. 157,158 Rbg) yang dialihkan dari Rv dan disisipkan pada tahun 1927 ( S 1927 no.300).

10
Sudikno,Opcit.hlm.126
11
Rai Mantili dan Anita Afriana, Buku Ajar Hukum Acara Perdata ( Bandung : Kalam Media),2015,hlm.28
Menurut ketentuan Pasal 132a H.I.R dan Pasal 157 Rbg dalam setiap gugatan, tergugat dapat
mengajukan rekovensi terhadap penggugat, kecuali dalam tiga hal, yaitu12 :

a. Penggugat dalam kualitas berbeda

Rekovensi tidak boleh diajukan apabila penggugat bertindak dalam suatu kualitas (sebagai kuasa
hukum), sedangkan rekovensinya ditunjukkan kepada diri sendiri pribadi penggugat (pribadi
kuasa hukum tersebut)

b. Pengadilan yang memeriksa konvensi tidak berwenang memeriksa gugatan rekovensi

Gugatan rekovensi tidak diperbolehka terhadap perkara yang tidak menjadi wewenang
pengadilan as agama, seperti suami menceraikan istri, istri mengajukan rekovensi, mau cerai
dengan syarat suami membayar hutangnya kepasda orang tua istri tersebut, dan masalah sengketa
hutang piutang bukan kewenangan pengadilan agama.

c. Perkara mengenai pelaksanaan putusan

Gugatan rekovensi tidak boleh dilakukan dalam gal pelaksanaan putusan hakim. Seperti hakim
memerintahkan tergugat untuk melaksanakan putusan, yaitu menyerahkan satu unit mobil
kepada penggugat kemudian tergugat mengajukan rekovemnsi supaya penggugat membayar
hutangnya yang dijamin dengan mobil tersebut kepada pihak ketiga, rekovensi seperti ini
haruslah ditolak.

Gugat rekovensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat, baik tertulis maupun
lisan ( Ps. 132b(1) H.I.R, 158 (1) Rbg). Inibtidak berarti bahwa gugat rekovensi itu harus
diajukan pada hari sidang pertama. Dalam fuplik pu rekovensi itu masih dapat diajukan. Baru
kalau jawaban antara penggugat dan tergugat selesai da telah dimulai dengan pembuktian
tergugat tidak diperbolehkan lagi mengajukan gugat rekovensi. Sedangkan kalau dalam
pemeriksaan dalam tingkat banding tidak dibolehkan mengajukan tuntutan rekovensi ( Ps.132a
ayat (2) H.I.R, 157 ayat (2) Rbg).

Kedua gugatan itu diselesaikan sekaligus dan diputus dalam suatu putusan (Ps. 132b (3) H.I.R ,
158 (3) Rbg). Akan tetapi hakim dapat memisahkan kedua gugatan itu, kalai ia berpendapat

12
Ibid.hlm.28
bahawa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dulu. Sekalipun terpisah kedua perkara itu
diperiksa oleh Hakim yang sama, yaitu yang memisahkannya13.

Pasal 132b (4) H.I.R (Ps. 158 (4) Rbg) mengatur tentang hal banding apabila kedua perkara,
konvensi dan rekovensi,diselesaikan bersama-sama dalam satu putusan. Banding diperbolehkan
bila jumlah dari nilai tuntutan konvensi ditambah dengan nilai tuntutan rekovensi melebihi
jumlah nilai setinggi-tingginya yang boleh diputuskan oleh Pengadilan Negeri sebagai hakim
tertinggi. Menurut Pasal 6 uu 20/1947, maka batas nilai gugat tersebut ialah Rp.100.00. Namun,
apabila kedua perkara ini dipisahkan, yang berlaku ialah peraturan biasa tentang banding
( Ps.132b(5) H.I.R, 158(5) Rbg). Batas nilai banding itu sekarang tidak mempunyai arti lagi.

13
Sudikno,Opcit.hlm.128

Anda mungkin juga menyukai