Anda di halaman 1dari 3

NAMA : MUHAMMAD REJA HANAFI

NPM : 21.108
PRODI : HUKUM
MATA KULIAH : HUKUM ACARA PERDATA
DOSEN AMPU : HJ.FATIMAH ASYARI, SH., M.HUM

TUGAS MERANGKUM MATERI KE 13 dan 14


JAWABAN TERGUGAT (BAB IX)
A. Tata Cara Jawaban Tergugat
- Jawaban tergugat merupakan hal utama untuk melindungi kepentingan tergugat.
Menjawab gugatan tidak wajib dan jawaban gugatan bisa dilakukan secara tertulis
ataupun lisan.
- Jika diperlukan, tergugat dapat membalik gugatan penggugat dengan gugatan balasan
(gugatan rekonvensi).
- Dalam perkara perdata, kalah menangkan pihak yang digugat tergantung juga pada
kelihaian membela diri termasuk bagaimana cara menjawab gugatan dengan baik.
- Dua macam jawaban tergugat:
1. Jawaban yang tidak langsung menyentuh pokok perkara yang disebut dengan
tangkisan atau eksepsi.
2. Jawaban tergugat mengenai pokok perkara, dalam bentuk pengakuan atau
bantahan dalam pokok perkara
- Pengakuan adalah jawaban yang membenarkan isi gugatan, artinya apa yang di gugat
oleh penggugat terhadap tergugat diakui kebenarannya.
- Jawaban tergugat sampai ke tingkat banding, tergugat tetap terikat dengan
pengakuannya, artinya pengakuan tsb tidak dapat di tarik kembali.
- Bantahan adalah pernyataan yang tidak membenarkan atau tidak mengakui apa yang
digugat oleh penggugat terhadap tergugat. Jika mengajukannya harus disertai alasan-
alasan. Dalam prakteknya menyusun jawaban berupa bantahan memerlukan uraian
tentang kejadian secara terperinci sebelum di tutup dengan kesimpulan dari mohon di
tolaknya gugatan.
B. EKSEPSI
- Eksepsi adalah suatu sanggahan atau bantahan dari pihak tergugat gugatan yang
diajukan oleh penggugat yang tidak langsung menyentuh pokok perkara.
- Eksepsi Prosesuil adalah eksepsi yang menyangkut hukum acara, yang bertujuan
untuk agar tidak diterimanya atau ditolaknya gugatan oleh pengadilan di luar pokok
perkara.
- Eksepsi declinatoir, yaitu tangkisan yang bersifat mengelakan, meliputi:
1. Eksepsi yang menyangkut kompetensi absolut.
2. Eksepsi yang menyangkut kompetensi relatif hakim yang memeriksa suatu
perkara.
3. Eksepsi terhadap ne bis in idem.
4. Eksepsi terhadap perkara yang sama masih sedang di periksa oleh pengadilan
negeri yang sama.
5. Eksepsi terhadap perkara yang masih dalam tahap upaya hukum banding atau
kasasi.
- Eksepsi disqualificatoir yaitu eksepsi yang menyangkut ketidakbenaran kedudukan
atau status penggugat, meliputi: eksepsi terhadap para pihak tidak mempunyai
kualifikasi untuk betindak.
- Eksepsi terhadap kompetensi absolut, yaitu esksepsi yang menyatakan bahwa
pengadilan negeri yang sedang melakukan pemeriksaan perkara tersebut dinilai tidak
berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena persoalan yang menjadi dasar
gugatan tidak termasuk wewenang pengadilan negeri tersebut, melainkan wewenang
badan peradilan lain.
- Eksepsi terhadap kompetensi relatid yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa suatu
pengadilan negeri tertentu tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut, karena
tempat kedudukan tergugat atau obyek sengketa tidak berada dalam wilayah hukum
pengadilan negeri yang sedang memeriksa atau mengadili perkara tersebut.
- Eksepsi Kompetensi Absolut dan Eksepsi Kompetensi Relatif harus diajukan pada
awal pemeriksaan di persidangan sebelum pihak tergugat memberikan jawaban
mengenai pokok perkara di pengadilan, baik secara tertulis maupun lisan. Eksepsi ini
tidak di perkenankan untuk diajukan setiap waktu.
C. GUGATAN BALIK (GUGATAN REKONVENSI)
- Gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat
dalam gugatan konvensi dalam suatu sengketa diantara mereka. Dalam praktik,
gugatan rekonvensi hanya timbul dari gugatan yang disangkat saja oleh tergugat.
- Pada dasarnya gugatan rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban
tergugat, baik tertulis maupun lisan, selambat lambatnya sebelum pemeriksaan
tentang pembuktian.
- Pengajukan gugatan rekonvensi bersama-sama gugatan konvensi akan memberikan
keuntungan al : praktis, prosedurnya sederhana, menghemat biaya perkara,
mempermudah pemeriksaan, mempercepat penyelesaian perkara dan menghindari
putusan yang saling kontradiktif.
PEMBUKTIAN (BAB X)
- Pembuktian adalah tahap dimana para pihak diberikan kesempatan untuk
menunjukkan kebenaran terhadap fakta-fakta hukum yang menjadi pokok sengketa
dan pembuktian menjadi dasar bagi hakim dalam mengadili dan memutus perkara di
persidangan.
- Dalam acara pembuktian, para pihak mengajukan peristiwa dan fakta yang menjadi
dasar bagi gugatan penggugat atau jawaban dari tergugat. Serta hakim harus mampu
menemukan kebenaran dari peristiwa dan fakta yang bersangkutan dan untuk
menemukan kebenaran diperlukan pembuktian.
- Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau peristiwa yang
dikemukakan para pihak dalam suatu sengketa di pengadilan. Jadi pembuktian hanya
diperlukan dalam suatu sengketa atau perkara.
- Pasal 163 HIR jo 283 RBg mengatur tentang pembuktian menentukan bahwa setiap
orang yang mendalilkan bahwa ia memiliki suatu hak, atau untuk meneguhkan
haknya sendiri atau untuk membantah hak orang lain, menunjukan pada suatu
peristiwa tertentu, maka ia di wajibkan membuktikan bahwa adanya hak atau
peristiwa tersebut. Jadi pasal ini menegaskan bahwa tidak hanya peristiwa saja yang
harus dibuktikan oleh para pihak, melainkan juga terhadap suatu hak tertentu
- Hal yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah kejadian atau peristiwa dan bukan
tentang hukumnya. Sedangkan, hal yang harus dibuktikan oleh hakim terhadap suatu
peristiwa atau kejadian atau fakta adalah segi kebenarannya.
- Dalam hukum acara perdata, kebenaran yang harus dicari dan dikejar oleh hakim
adalah kebenaran formil. Berbeda dengan hukum acara pidana, dimana hakim harus
menemukan kebenaran materiil.
- Para pihak yang berperkara diwajibkan membuktikan tentang duduk perkara.
Sedangkan tentang bagaimana kedudukan hukumnya bukanlah kewajiban para pihak
untuk membuktikannya.
- Penilaian pembuktian dilakukan oleh hakim dengan penilaian terhadap kenyataan
yang bersifat judex factie.
- Ada 3 teori yang lazim digunakan dalam menentukan keterikatan hakim dan para
pihak terhadap undang undang dalam membuktikan suatu peristiwa di persidangan
yaitu :
1. Teori Pembuktian bebas: teori ini menginginkan adanya kebebasan bagi hakim
tanpa adanya ketentuan tertentu yang mengikat hakim, sehingga penilaian
pembuktian tergantung kepada seberapa dapat alat bukti yang diserahkan kepada
hakim tersebut.
2. Teori Pembuktian Negatif: Menurut teori ini harus ada ketentuan-ketentuan yang
mengikat yang bersifat negatif. Artinya ketentuan ini harus membatasi pada
larangan terhadap hakim dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan
pembuktian.
3. Teori Pembuktian postif: teori yang menekankan pada perlunya perintah terhadap
hakim, disamping ada larangan.
- Pemberian beban pembuktian dilakukan oleh hakim secara adil dan tidak berat
sebelah di antara para pihak yang bersengketa. Jika tidak seimbang akan cenderung
memunculkan ketidakadilan bagi para pihak untuk menerima beban yang terlampau
berat, sehingga bisa membawa kepada kekalahan dalam perkara.
- Pembagian beban pembuktian ini dianggap sebagai suatu persoalan yuridis, yang
dapat diperjuangkan oleh para pihak sampai ketingkat kasasi.

Anda mungkin juga menyukai