Anda di halaman 1dari 8

RESUME

Disusun untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah PLKH-2 (Litigasi Perdata)

Dosen:

Viator Harlen Sinaga, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Renaldo Vitiamawan 205150028

Fakultas Hukum
Universitas Tarumanagara
Jakarta
2019
Manusia pada dasarnya membutuhkan orang lain untuk melakukan sesuatu. Hal ini
karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan dari
orang lain. Dengan begitu maka akan terjadi suatu interaksi atau hubungan antar satu individu
dengan individu lainnya agar dapat memenuhi suatu kebutuhan. Hubungan yang terjadi antar
individu dengan individu tidak selalu berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang
diharapkan, terkadang didalamnya terdapat suatu masalah. Dimana masalah yang ada tersebut
ada yang dapat diselesaikan dengan baik atau secara damai, namun ada juga masalah yang
tidak dapat diselesaikan dengan baik. Bila masalah tidak dapat diselesaikan dengan baik,
maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum atau pengadilan. Jalur hukum atau pengadilan
itu sendiri merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan individu yang terlibat masalah
apabila masalah itu tidak dapat terselesaikan secara baik atau damai.

Hubungan antar individu dengan individu lain biasanya melalui suatu perikatan
maupun perjanjian. Dimana sebagai akibatnya muncul hak dan kewajiban bagi para pihak
yang harus dipenuhi atau dilakukan. Permasalahan ada apabila salah satu pihak tidak
melakukan sesuai dengan apa yang diperjanjikan, dalam hukum hal ini dikenal dengan
wanprestasi atau cidera janji. Permasalahan yang terdapat dalam hukum perdata meliputi
adanya kelalaian atau cidera janji atau wanprestasi dan perbuatan melawan hukum.

Pihak-pihak yang ada di dalamnya, seperti penggugat, tergugat, serta turut tergugat.
Penggugat merupakan orang atau suatu badan tertentu yang mengajukan gugatan ke
pengadilan atas suatu perkara. Tergugat merupakan orang atau suatu badan tertentu yang
kepadanya gugatan tersebut ditujukan kepadanya atas suatu permasalahan. Turut Tergugat
merupakan orang atau suatu badan tertentu yang dianggap atau dirasa ikut serta membantu
pihak tergugat atas suatu masalah yang terjadi.

Urutan dalam persidangan yaitu:

1. Persidangan Pertama;
2. Persidangan untuk Perdamaian dengan Mediasi;
3. Jawaban Tergugat;
4. Replik;
5. Duplik;
6. Pembuktian;
7. Kesimpulan;
8. Putusan.

Permasalahan yang terjadi antara para pihak dapat diajukan oleh salah satu pihak yang
terlibat dalam suatu hubungan tertentu ke pengadilan dengan mengajukan suatu gugatan.
Gugatan diajukan oleh salah satu pihak dengan tujuan agar masalah yang terjadi dapat
diselesaikan. Walaupun suatu gugatan telah diajukan ke pengadilan oleh salah satu pihak
yang akan disebut sebagai Penggugat, pada dasarnya pengadilan akan tetap mendahulukan
masalah diselesaikan secara kekeluargaan atau secara damai. Ketika seorang mengajukan
gugatan ke pengadilan, maka pengadilan akan memproses gugatan tersebut hingga pada
menentukan jadwal persidangan. Persidangan pertama, pengadilan diwajibkan untuk
menyarankan atau melakukan upaya damai bagi para pihak yang bermasalah. Ketika upaya
perdamaian tidak berhasil, maka proses gugatan akan lanjut menuju ke proses pengadilan
yang berikutnya yaitu pembacaan gugatan, kemudian akan dilanjuti dengan jawaban tergugat,
penyampaian replik, penyampaian duplik, pembuktian, kesimpulan dan pada akhirnya ialah
putusan sesuai dengan urutan persidangan.

Dari urutan persidangan yang ada, yang merupakan hal penting bagi pihak yang
memiliki masalah atau pihak yang berperkara adalah suatu putusan. Dengan adanya putusan
maka akan menjadi jawaban dari permasalahan yang ada, sehingga masalah dapat
terselesaikan. Dalam putusan dikenal dengan sebutan “amar” atau “dictum”. Amar
merupakan inti dari putusan ditempatkan sesudah kata “mengadili” atau “memutuskan”.
Amar putusan dalam pengadilan mungkin dapat berupa:

1. Gugatan tidak dapat diterima.


Gugatan yang tidak dapat diterima, apabila dalil-dalil gugatan (posita) itu tidak sesuai
dengan hal yang digugat (petitum) sehingga tidak ada keserasian antara keduanya.
Dimaa seharusnya antara posita dan petitum yang merupakan dasar dari gugatan itu
haruslah sejalan. Sehingga gugatan tidak dapat diterima, berkaitan dengan masalah
formalitas dalam mengajukan gugatan atau syarat-syarat pemeriksaan yang belum
terpenuhi.
2. Menolak gugatan penggugat.
Gugatan penggugat ditolak, bila penggugat tidak mengajukan fakta-fakta yang
membenarkan tuntutannya kepada tergugat. Sehingga gugatan tersebut tidak sesuai
antara posita dengan petitumnya dan dapat dikatakan bahwa gugatan tidak beralasan.
Pada Pasal 163 HIR menyatakan bahwa siapa yang mengajukan suatu hak, maka yang
bersangkutanlah yang harus membuktikannya. Maka dari itu penggugat yang telah
mengajukan gugatan perlu membuktikan kebenaran atas dalil-dalil yang
disampaikannya tersebut.
3. Mengabulkan gugatan penggugat.
Gugatan dikabulkan karena fakta hukum yang diberikan penggugat sesuai dengan
petitum atau fakta dalam posita itu mendukung petitum. Sehingga antara keduanya itu
serasi atau sinkron, dengan kata lain adalah bahwa penggugat berhasil membuktikan
apa yang menjadi dalil-dalil gugatannya yang didukung dengan alat bukti.

Amar putusan haruslah berkaitan dengan peristiwa hukum, yang akan menjadi dasar
bahwa gugatan itu tidak dapat diterima atau gugatan dikabulkan atau gugatan ditolak. Dengan
dikaitkan dengan peristiwa hukum, maka gugatan dapat didasarkan pada 2 (dua) hal yaitu
apakah suatu perkara merupakan tindakan yang mengakibatkan cidera janji atau wanprestasi
terhadap suatu perjanjian ataukah perbuatan melawan hukum. Amar putusan dapat berisi
sebagai berikut:
1. Amar dalam konpensi pada bagian eksepsi yang menyatakan “menerima eksepsi
tergugat”, menyangkut kapasitas.
2. Amar dalam konpensi pada pokok perkara, yang menyatakan “gugatan tidak dapat
diterima”, karena gugatan tidak jelas atau obscuur libel, posita tidak selaras dengan
petitum.
3. Amar dalam konpensi pada pokok perkara, yang menyatakan “gugatannya dikabulkan
sebagian”.
4. Amar dalam konpensi pada pokok perkara, yang menyatakan “gugatan dikabulkan
seluruhnya”.
5. Amar dalam konpensi yang menyatakan “gugatannya ditolah seluruhnya”.
6. Amar dalam rekonpensi yang menyatakan “gugatan dikabulkan sebagian”.
7. Amar dalam rekonpensi yang menyatakan “gugatan tidak dapat terima”.

Putusan yang diberikan oleh hakim memiliki beberapa tingkatan. Putusan yang
diberikan oleh hakim pada tingkat pengadilan pertama, yaitu pada Pengadilan Negeri dapat
atau diharapkan dapat memberikan suatu kepastian hukum kepada pihak yang berperkara,
khususnya pihak penggugat yang telah mengajukan gugatan. Prakteknya, dengan adanya
suatu putusan di Pengadilan Negeri, itu tidak menyelesaikan masalah atau perkara yang
terjadi diantara para pihak. Hal ini dikarenakan, akan ada pihak lain yang merasa tidak suka
atau tidak puas dengan putusan yang diberikan oleh hakim. Dalam hukum acara perdata,
ketidakpuasan atas suatu putusan pada tingkat pengadilan pertama dapat diajukan upaya
hukum atas suatu permasalahan dengan harapan adanya kemajuan dalam putusan selanjutnya
dan diharapkan dapat membuat keputusan baru ataupun menyempurnakan putusan terdahulu
agar tmemberikan kepastian hukum bagi pihak yang berperkara.

Upaya hukum adalah langkah hukum yang ditempuh subyek hukum atau pihak-pihak
untuk menyatakan keberatan atas suatu perkara, baik itu perkara yang masih berlangsung
maupun telah diputuskan pengadilan. Upaya hukum dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara
berdasarkan substansinya yaitu:

1. Perlawanan
Upaya ini diajukan oleh pihak-pihak kepada pengadilan negeri atas putusan
pengadilan atau proses hukum yang sedang berlangsung. Dapat dilakukan terhadap
putusan verstek atau perlawanan pihak atas sita eksekutorial baik itu partai verzet atau
denden verzet. Proses persidangan yang dilakukan itu sama seperti persidangan pada
gugatan yang dibahas dahulu yaitu: jawaban, replik, duplik, pembuktian, kesimpulan,
dan putusan. Terhadap putusan tersebut juga dapat diajukan upaya hukum banding,
kasasi, peninjauan kembali.
2. Pembatalan putusan pengadilan.
Upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang merasa keberatan atau menolak putusan
pengadilan. Pembatalan putusan pengadilan yang dapat dimohonkan oleh pihak yang
berkeberatan ialah jenjang banding atas putusan pengadilan tingkat pertama
(pengadilan negeri), kasasi atas putusan pengadilan tingkat banding (pengadilan
tinggi), dan peninjauan kembali atas putusan pengadilan tingkat kasasi. Dengan
batalnya suatu putusan pengadilan, didalamnya terdapat alasan-alasan dari
dibatalkannya putusan tersebut, seperti:
a. Putusan PT (Banding) Membatalkan Putusan PN (Tingkat Pertama)

Alasan banding itu didasarkan pada pertimbangan hukum hakim pengadilan


tingkat pertama dengan mengaitkan dengan asas-asas pengambilan putusan yaitu:

1. Pengadilan Negeri salah menerapkan hukum pembuktian (alasan penggugat atau


tergugat) dengan mengacu pada asas pembuktian.

2. Pengadilan tidak memuat alasan yang jelas dan rinci (alasan penggugat atau
tergugat) terhadap pertimbangan hakim yang dirasa tidak mendukung amar putusan.
3. Pengadilan tidak mendasarkan pada pertimbangan hukum yang lengkap (alasan
penggugat atau tergugat).

4. Pengadilan tidak mengadili seluruh bagian gugatan (alasan penggugat).

5. Pengadilan mengabulkan melebihi tuntutan (alasan tergugat).

Alasan-alasan banding berkaitan dengan pertimbangan hukum yang diurut dari


bagian provisi, eksepsi, pokok perkara, rekopensi, intervensi sebagaimana telah
dijelaskan pada bagian terdahulu. Sedangkan untuk isi putusan banding atau
pengadilan tinggi itu dapat berupa:
1. Permohonan banding tidak dapat diterimaa.
2. Memperbaiki putusan pengadilan negeri.
3. Menguatkan putusan pengadilan negeri.
4. Membatalkan putusan pengadilan negeri.
b. Putusan Kasasi (MA) Membatalkan Putusan PT (Banding)

Kasasi berkaitan dengan tugas Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi


terhadap judex pacti, namun harus diingat bahwa hakim kasasi dalam melakukan
tugas tersebut sesuai atau bertentangan dengan hukum atau masalah penerapan
hukum, oleh karena itu tidak memeriksa fakta perkara yang dikenal dengan judex
juris.

Judex pacti merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim, yang
diajukan oleh pemohon banding pada tingkat pengadilan tinggi untuk dapat
memeriksa fakta atas suatu putusan pada tingkat pengadilan pertama (pengadilan
negeri). Upaya ini dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa keberatan dengan apa
yang diputuskan dalam amar putusan pengadilan negeri. Sedangkan Judex juris
merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim mahkamah agung sebagai
tugasnya sebagai pengawas tertinggi dalam tingkat pengadilan, dimana pemeriksaan
ini dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa keberatan atas putusan pada tingkat
pertama atau tingkat banding dengan memeriksa permasalahan dalam menerapkan
suatu hukum atas suatu perkara yang telah diputuskan.

Dalam Pasal 30 UUMA ditentukan bahwa Mahkamah Agung dapat


membatalkan putusan judex pacti yang alasannya tidak lagi hanya persoalan
penerapan hukum. Alasan pembatalan putusan yang tingkatannya lebih rendah
apabila:

1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

2. Salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku.

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan


yang mengancam kelalaian itu dengan batal putusan yang bersangkutan.

c. Putusan Peninjauan Kembali/PK (MA) Membatalkan Putusan Kasasi (MA)

Berdasarkan Pasal 67 UUMA alasan-alasan peninjauan kembali adalah:

1. Apabila dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang
dituntut.
2. Apabila mengenai sesuatu bagian belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya.
3. Apabila dalam suatu putusan terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang
nyata.
4. Apabila putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau bukti-bukti yang
kemudian hakim pidana menyatakan palsu.
5. Apabila setelah perkara diputus ditemukan bukti-bukti yang bersifat
menentukan, yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
6. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu yang sama, atas
dasar yang sa,a atas pengadilan yang sama diberikan putusan yang
bertentangan satu sama lain.
Bila dicermati alasam-alasan peninjauan kembali diatas, dapat dikelompokkan
2 (dua), yaitu:
1. Alasan-alasan menyangkut putusan pengadilan yang didasarkan pada bukti-
bukti dalam pemeriksaan perkara yang diajukan pada tingkat pertama.
2. Alasan-alasan menyangkut putusan pengadilan yang tidak didasarkan pada
bukti-bukti dalam pemeriksaan perkara pada tingkat pertama.

Berikut merupakan urutan tata cara dan proses persidangan:

1. Sebelum Perkara Masuk


Sebelum perkara diajukan oleh salah satu pihak, maka pihak yang berperkara
akan membuat surat kuasa. Surat kuasa ini diberikan oleh Pemberi Kuasa kepada
Penerima Kuasa, dalam hal ini ialah seorang Pengacara atau Penasehat Hukum
atau Advokat untuk dapat mewakili dirinya dalam proses persidangan di
pengadilan serta untuk melakukan hal-hal yang telah dikuasakan kepada penerima
kuasa. Selain pemberian surat kuasa, maka akan ada juga pembicaraan mengenai
fee maupun honorarium. Dalam acara sebelum perkara masuk ke persidangan,
terdapat juga surat undangan perdamaian agar permasalahan dapat diselesaikan
dengan cara musyawarah atau secara kekeluargaan.
2. Persiapan Hari Sidang
Ketika upaya penyelesaian perkara tidak dapat diselesaikan secara
musywarah, maka salah satu pihak akan mengajukan gugatan ke pengadilan. Hal
yang dapat dilakukan oleh pihak yang berperkara adalah menyusun gugatan
(membuat gugatan). Didalamnya terdapat beberapa surat seperti surat
penunjukkan hakim, penetapan hasil sidang, dan surat panggilan.
3. Proses Persidangan
Proses persidangan memiliki urutan-urutan, agar persidangan dapat berjalan
dengan baik dan lancar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Para Pihak, yaitu
untuk perkara dapat diselesaikan.

Anda mungkin juga menyukai