Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TAHAPAN-TAHAPAN PADA PROSES


PERSIDANGAN PERKARA PERDATA PADA
PERADILAN TINGKAT PERTAMA

Disusun Oleh :

Charly A Samori
(2020021014355)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI CENDERAWASIH
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia saling berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat untuk


memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa
interaksi dalam kehidupan bermasyarakat tidak terlepas dari adanya
kesalahan dan kejahatan yang dampaknya dapat mengganggu kepentingan
dan hak-hak orang lain. Semua aktivitas kegiatan manusia dalam segala
aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya
kejahatan. Kejahatan akan selalu hadir dalam kehidupan ataupun
lingkungan sekitar kita, sehingga diperlukan upaya dalam menanganinya.
Artinya kehidupan tidak selalu berjalan sebagaimana yang diharapkan,
karena sebagai individu setiap manusia tetap mempunyai perbedaan-
perbedaan yang dapat menimbulkan suatu permasalahan yang disebut
sengketa atau konflik. Tentu saja, orang yang merasa dirugikan orang lain
dan ingin mendapatkan kembali haknya, dan harus berupaya melalui
prosedur yang berlaku yaitu menggugat melalui pengadilan.

Indonesia merupakan negara hukum, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menurut
Jimly Asshiddiqie dalam negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara
hukum, hukum merupakan panglima dalam negara tersebut. Istilah yang
sering dipakai untuk mendeskripsikan prinsip negara hukum adalah ‘the
rule of law, not of man’ yang artinya adalah hukum merupakan pengatur
dari semua dinamika yang terjadi dalam sebuah negara.

Sengketa perdata adalah perkara perdata dimana paling sedikit ada dua
pihak, yaitu penggugat dan tergugat. Jika di dalam masyarakat terjadi
sengketa yang tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah, maka
pihak yang dirugikan haknya dapat mengajukan gugatan. Pihak ini disebut
penggugat. Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang menyelesaikan
sengketa tersebut.
1.2 Tujuan
1. Untuk memperoleh pengetahuan atau penemuan baru.
2. Sebagai pengembangan pengetahuan suatu bidang keilmuan yang sudah
ada.
3. Melatih penulis agar mampu menyusun tulisan ilmiah yang benar.
4. untuk memberi sumbangan pemikiran baik berupa konsep teoritis maupun
praktis.
5. Untuk memenuhi ujian akhir semester Mata Kuliah Hukum Acara Perdata.

BAB II
PEMBAHASAN

Hukum Perdata merupakan sekumpulan aturan yang memuat ketentuan


bagaimana seseorang bertingkah laku baik di keluarga maupun di
masyarakat sekitar. Orang yang merasa bahwa haknya dilanggar dapat
mengajukan gugatan perdata terhadap orang/pihak yang dianggap
melanggar hak seseorang atau beberapa orang tersebut.
Adapun penanganan gugatan perdata yang diajukan terhadap Pemerintah
ini tunduk pada hukum acara perdata. Secara umum hukum acara perdata
mengatur proses penyelesaian perkara perdata melalui hakim di pengadilan
mulai dari penyusunan gugatan, pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara,
putusan pengadilan sampai dengan eksekusi atau pelaksanaan putusan
pengadilan.
Dalam pengambilan Putusan, seorang Majelis Hakim sebelumnya harus
melalui proses dan tahapan pemeriksaan persidangan, tanpa melalui proses
tersebut, Majelis Hakim tidak akan dapat mengambil keputusan. Melalui
proses ini pula, semua pihak baik Penggugat maupun Tergugat (dapat
diwakilkan oleh Penasihat Hukum/Pengacara/Advokat yang bekerja di
kantor hukum sebagai kuasa hukumnya) diberi kesempatan yang sama
untuk mengajukan segala sesuatunya dan mengemukakan pendapatnya,
serta menilai hasil pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-
masing. Proses persidangan ini merupakan salah satu aspek hukum formil
yang harus dilakukan oleh Hakim untuk dapat memberikan Putusan dalam
perkara/kasus perdata. Pada garis besar, proses persidangan perdata pada
peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri terdiri dari beberapa
tahapan sebagai berikut :

A. Pemanggilan Para Pihak

Sebelum suatu perkara diperiksa dan diputus melalui proses persidangan,


akan diawali dengan tahapan pemanggilan yaitu penyampaian secara resmi
kepada pihak-pihak yang berperkara. Menurut ketentuan pasal 338 dan pasal
390 ayat (1) HIR, yang berfungsi melakukan panggilan adalah juru sita atas
perintah Majelis Hakim. Surat Panggilan untuk hadir di depan siding
pengadilan pada waktu yang telah ditentukan lazim dikenal dengan relas
panggilan atau berita acara panggilan. Berdasarkan Pasal 121 ayat (1) HIR
dan Pasal 1 Rv, surat panggilan /relas panggilan berisi :

1. Nama yang dipanggil


2. Hari, jam dan tempat siding
3. Membawa saksi-saksi yang diperlukan
4. Membawa segala surat-surat yang hendak digunakan
5. Penegasan, dapat menjawab gugatan dengan surat.

B. Pemeriksaan Para Pihak

Pada tahap ini, para pihak yang telah mendapat relaas panggilan sidang,
hadir di persidangan. Selanjutnya, majelis hakim akan memeriksa Surat
Kuasa Khusus para pihak. Surat Kuasa Khusus merupakan syarat formal
sehingga bilamana tidak sah, maka berdampak segala proses pemeriksaan
tidak sah atas dasar pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung
oleh Surat Kuasa Khusus yang memenuhi syarat. Hal utama yang perlu
digaris bawahi mengenai Surat Kuasa Khusus adalah penerima kuasa akan
secara langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa dan bertindak
untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Surat Kuasa
Khusus merupakan syarat formal sehingga bilamana Surat Kuasa Khusus
tidak sahmaka berdampak segala proses pemeriksaan tidak sah.

C. Tahap Mediasi

Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, Penggugat dan
Tergugat telah hadir, maka Majelis Hakim sebelum melanjutkan
pemeriksaan, wajib untuk mengusahakan upaya perdamaian dengan
Mediasi, yaitu suatu cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan
untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
Mediator adalah pihak netral yang membantu Para Pihak yang berperkara
dalam perundingan untuk mencari penyelesaian secara mufakat. Mediator
dapat merupakan seorang Hakim Pengadilan (yang bukan memeriksa
perkara) dan dapat juga merupakan seseorang dari pihak lain yang sudah
memiliki sertifikat sebagai Mediator.
Kewajiban Mediasi ini diatur secara umum dalam Pasal 130 HIR dan secara
khusus diatur secara lengkap dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Republik Indonesia No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan. Kesempatan Mediasi diberikan oleh Majelis Hakim selama 40
hari, dan apabila masih belum cukup dapat diperpanjang selama 14 hari.
Pada kesempatan tersebut Para Pihak akan mengajukan apa yang menjadi
tuntutannya secara berimbang untuk mendapatkan titik temu dalam
penyelesaian sengketa secara win-win solution. Apabila dalam proses ini
telah tercapai kesepakatan, maka dapat dituangkan dalam suatu akta
perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan diketahui oleh
Mediator. Akta kesepakatan ini disampaikan kepada Majelis Hakim untuk
mendapatkan Putusan Perdamaian. Akan tetapi sebaliknya, jika dalam
jangka waktu tersebut tidak tercapai perdamaian dan kesepakatan, maka
Mediator akan membuat laporan kepada Majelis Hakim yang menyatakan
Mediasi telah gagal dilakukan.

D. Tahap Pembacaan Gugatan ( termasuk Jawaban, Duplik dan Replik )

Apabila Majelis Hakim telah mendapatkan pernyataan Mediasi gagal dari


Mediator, maka pemeriksaan perkara akan dilanjutkan ke tahap ke-2 yaitu
pembacaan surat Gugatan. Kesempatan pertama diberikan kepada pihak
Penggugat untuk membacakan surat Gugatannya. Pihak Penggugat pada
tahap ini juga diberikan kesempatan untuk memperbaiki surat Gugatannya
apabila terdapat kesalahan-kesalahan, sepanjang tidak merubah pokok
Gugatan, bahkan lebih dari itu pihak Penggugat dapat mencabut
Gugatannya. Kedua kesempatan tersebut diberikan sebelum Tergugat
mengajukan Jawabannya. Setelah pembacaan surat Gugatan, maka secara
berimbang kesempatan kedua diberikan kepada pihak Tergugat atau
kuasanya untuk membacakan Jawabannya. Jawaban yang dibacakan tersebut
dapat berisikan hanya bantahan terhadap dalil-dalil Gugatan itu saja, atau
dapat juga berisikan bantahan dalam Eksepsi dan dalam pokok perkara.
Bahkan lebih dari itu, dalam Jawaban dapat berisi dalam rekonpensi (apabila
pihak Tergugat ingin menggugat balik pihak Penggugat dalam perkara
tersebut). Kegiatan jawab-menjawab ini akan berlanjut sampai dengan Replik
dari pihak Penggugat dan Duplik dari pihak Tergugat. Replik adalah
jawaban balasan atas jawaban tergugat dalam perkara perdata. Replik harus
disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas jawaban tergugat sedangkan
Duplik adalah jawaban tergugat atas replik yang diajukan penggugat. Duplik
diajukan tergugat untuk meneguhkan jawabannya yang lazimnya berisi
penolakan terhadap gugatan dan replik penggugat. Pasal 142 Rv
memberikan hak kepada tergugat untuk menyampaikan jawaban atas replik
penggugat.

Kemudian dengan berlangsungnya acara jawab-menjawab ini sampai kepada


duplik, akan menjadi jelas apa sebenarnya yang menjadi pokok perkara
antara pihak Penggugat dan Tergugat. Apabila Jawaban Tergugat terdapat
Eksepsi mengenai kompetensi pengadilan, yaitu pengadilan yang mengadili
perkara tersebut tidak berwenang memeriksa perkara yang bersangkutan,
maka sesuai dengan ketentuan Pasal 136 HIR atau Pasal 162 Rbg Majelis
Hakim akan menjatuhkan Putusan Sela terhadap Eksepsi tersebut. Putusan
Sela dapat berupa mengabulkan Eksepsi dengan konsekuensi perkara
dihentikan pemeriksaannya, dan dapat pula Eksepsi tersebut ditolak dengan
konsekuensi pemeriksaan perkara akan dilanjutkan dengan tahap
berikutnya. Dalam tahap ke-2 ini sudah dapat kita lihat, bahwa semua pihak
diberi kesempatan yang sama dalam mengemukakan sesuatu untuk
mempertahankan dan membantah suatu Gugatan terhadapnya. Kesempatan
yang sama juga akan kita lihat ketika nanti dalam tahap Pembuktian.

E. Tahap Pembuktian

Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata adalah untuk mencari dan


mewujudkan kebenaran formil, artinya meskipun para pihak mengajukan
bukti palsu, namun fakta yang demikian harus diterima oleh hakim untuk
melindungi dan mempertahankan hak perorangan atau hak perdata pihak
yang bersangkutan. Pembuktian dapat berupa tertulis seperti dokumen,
surat-surat dan sebagainya, dan dapat juga menghadirkan saksi/ahli. Tahap
Pembuktian adalah tahapan yang cukup penting dalam semua proses
pemeriksaan perkara, karena dari tahap ini nantinya yang akan menentukan
apakah dalil Penggugat atau bantahan Tergugat yang akan terbukti. Dari
alat-alat bukti yang diajukan Para Pihak, Majelis Hakim dapat menilai
peristiwa hukum apa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat
sehingga terjadi perkara. Dari peristiwa hukum yang terbukti tersebut
nantinya Majelis Hakim akan mempertimbangkan hukum apa yang akan
diterapkan dalam perkara dan memutuskan siapa yang menang dan kalah
dalam perkara tersebut. Untuk membuktikan suatu peristiwa yang
diperkarakan, Hukum Acara Perdata sudah menentukan alat-alat bukti yang
dapat diajukan oleh Para Pihak di persidangan, yaitu disebutkan di dalam
Pasal 164 HIR atau Pasal 284 Rbg yaitu, surat, saksi, persangkaan,
pengakuan, dan sumpah.

F. Tahap Kesimpulan

Pengajuan Kesimpulan oleh Para Pihak setelah selesai acara Pembuktian


tidak diatur dalam HIR maupun dalam Rbg, akan tetapi mengajukan
Kesimpulan ini timbul dalam praktek persidangan. Dengan demikian,
sebenarnya jika ada pihak yang tidak mengajukan Kesimpulan, merupakan
hal yang diperbolehkan. Bahkan terkadang, Para Pihak menyatakan secara
tegas untuk tidak mengajukan Kesimpulan, akan tetapi memohon
kebijaksanaan Hakim untuk memutus dengan seadil-adilnya. Sebenarnya,
kesempatan pengajuan Kesimpulan sangat perlu dilaksanakan oleh kuasa
hukum Para Pihak, dikarenakan melalui Kesimpulan inilah seorang kuasa
hukum akan menganalisis dalil-dalil Gugatannya atau dalil-dalil Jawabannya
melalui Pembuktian yang didapatkan selama persidangan. Dari analisis yang
dilakukan itu akan mendapatkan suatu Kesimpulan apakah dalil Gugatan
terbukti atau tidak, dan kuasa Penggugat memohon kepada Majelis Hakim
agar gugatan dikabulkan. Sebaliknya kuasa Tergugat memohon kepada
Majes Hakim agar gugatan Penggugat ditolak. Bagi Majelis Hakim yang akan
memutuskan perkara, Kesimpulan sangat membantu dalam merumuskan
pertimbangan hukumnya. Majelis Hakim akan menilai analisis hukum
Kesimpulan yang dibuat oleh kuasa hukum Para Pihak, dan akan dijadikan
bahan pertimbangan dalam Putusan, apabila analisis tersebut cukup rasional
dan beralasan hukum.

G. Tahap Putusan

Setelah melalui beberapa proses dan tahapan persidangan, maka sampailah


pada proses dan tahapan terakhir, yaitu pembacaan Putusan. Agar putusan
yang dijatuhkan tidak mengandung cacat, maka putusan harus memenuhi
unsur sebagai berikut :

1. Memuat dasar alasan yang jelas dan rinci


2. Wajib mengadili seluruh bagian gugatan
3. Tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan
4. Diucapkan di muka umum.

Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan
bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa
antara Para Pihak. Selanjutnya dikatakan, bahwa suatu putusan Hakim
terdiri dari 4 bagian, yaitu Kepala Putusan, Identitas Para Pihak,
Pertimbangan, dan Amar.

Setiap Putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas


Putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala Putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada Putusan.
Selain kepala Putusan pada halaman pertama dari Putusan, juga
dicantumkan Identitas Para Pihak, yaitu pihak Penggugat dan pihak
Tergugat secara lengkap sesuai dengan surat Gugatan dari Penggugat.
Selanjutnya di dalam putusan perkara perdata memuat pertimbangan.
Pertimbangan ini dibagi menjadi dua yaitu, Pertimbangan tentang duduknya
perkara dan Pertimbangan tentang hukumnya. Dalam rumusan Putusan
sering dibuat dengan huruf kapital dengan judul “TENTANG DUDUKNYA
PERKARA dan TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM“. Didalam
Pertimbangan tentang duduknya perkara memuat isi surat Gugatan
Penggugat, isi surat Jawaban Tergugat yang ditulis secara lengkap, alat-alat
bukti yang diperiksa di persidangan, baik alat bukti dari pihak Penggugat
maupun alat bukti dari pihak Tergugat. Jika terdapat saksi yang diperiksa,
maka nama saksi dan seluruh keterangan saksi tersebut dicantumkan dalam
Pertimbangan ini, sedangkan Pertimbangan hukum suatu putusan perkara
perdata adalah merupakan pekerjaan ilmiah dari seorang Hakim, karena
melalui Pertimbangan hukum inilah Hakim akan menerapkan hukum
kedalam peristiwa konkrit dengan menggunakan logika hukum. Biasanya
Pertimbangan hukum ini diuraikan secara sistematis, dimulai dengan
mempertimbangkan dalil-dalil Gugatan yang sudah terbukti kebenarannya
karena sudah diakui oleh Tergugat atau setidak-tidaknya tidak dibantah oleh
Tergugat. Setelah merumuskan hal yang telah terbukti tersebut, lalu akan
dirumuskan pokok perkara berdasarkan bantahan Tergugat. Pokok perkara
akan dianalisis melalui bukti-bukti yang diajukan oleh Para pihak. Pertama
akan diuji dengan bukti surat atau akta otentik/dibawah tangan yang diakui
kebenarannya. Bukti Surat tersebut juga akan dikonfrontir dengan
keterangan saksi-saksi yang sudah didengar keterangannya. Dengan cara
demikian, maka Hakim akan mendapatkan Kesimpulan dalam pokok
perkara, mana yang benar diantara dalil Penggugat atau dalilnya Tergugat.
Bila yang benar menurut Pertimbangan hukum adalah dalil Penggugat, maka
Gugatan akan dikabulkan, dan pihak Penggugat adalah pihak yang menang
perkara. Sebaliknya berdasarkan Pertimbangan hukum putusan dalil-dalil
Gugatan Pengugat tidak terbukti, dan justru dalil Jawaban Tergugat yang
terbukti, maka Gugatan akan ditolak, sehingga pihak Tergugat yang menang
dalam perkara tersebut. Jadi, bila ditinjau dari menang kalahnya Para Pihak,
maka Putusan perkara perdata dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu Gugatan
dikabulkan dan Gugatan ditolak, selain kedua Putusan tersebut, terdapat 1
jenis Putusan lain, yaitu karena kurang sempurnanya Gugatan dikarenakan
tidak memenuhi formalitasnya suatu gugatan yaitu Putusan Gugatan tidak
dapat diterima. Setelah Putusan diucapkan oleh Hakim, maka kepada Para
Pihak diberitahukan akan haknya untuk mengajukan upaya hukum jika
tidak menerima Putusan tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Secara umum hukum acara perdata mengatur proses penyelesaian perkara
perdata melalui hakim di pengadilan mulai dari penyusunan gugatan,
pengajuan gugatan, pemeriksaan perkara, putusan pengadilan sampai dengan
eksekusi atau pelaksanaan putusan pengadilan. Tahapan proses persidangan
perdata pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu tahap Pemanggilan Para Pihak, tahap Pemeriksaan
Para Pihak, tahap Mediasi, tahap Pembacaan Gugatan ( termasuk Jawaban,
Replik, dan Duplik ), tahap Pembuktian, tahap Kesimpulan, dan tahap Putusan.

Daftar Pustaka

https://www.surialaw.com/news/proses-dan-tahapan-persidangan-
perkara-perdata

http://eprints.ums.ac.id/37555/3/04.%20BAB%20I.pdf

https://setjen.kemenkeu.go.id/api/Medias/991e1c61-c410-4960-a656-
6148c583bb75

Anda mungkin juga menyukai