Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HUKUM ACARA
PERDATA
“Proses Pemeriksaan Gugatan Di Pengadilan”

Dosen Pengampu:

Kadek Januarsa Adi Sudharma S.H., M.H.

Oleh:

Ngurah Rama Surya 82022086

Ni Putu Yuni Antari 82022086

Dewa Ayu Susanti Dewi 82022093

Komang Febriana 82022099

Kadek Dwi Juliartawan 82022267

ILMU HUKUM SORE

UNIVERSITAS PENDIDIKAN NASIONAL

i
2022

ii
ABSTRAK

Hukum acara perdata mengatur bagaimana tata cara memperolah hak dan kepastian
hukum manakala tidak terjadi sengketa melalui pengajuan permohonan ke pengadilan, harus
adanya aturan main yang dipakai dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Dengan
adanya suatu pelangaran terhadap ketentuan hukum perdata materiil maka seseorang atau subyek
hukum yang merasa dirugikan oleh pihak lain maka oleh peraturan perundang-undangan diberi
hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri. Bilamana ada suatu pelanggaran terhadap
ketentuan hukum perdata materiil sebagaimana disebutkan di atas maka seseorang atau subyek
hukum diberi hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri agar hak atau kepentingannya
tersebut dapat terlindungi.dan dengan diajukannya gugatan ke pengadilan negeri maka akan
ditindak lanjuti dengan proses pemeriksaan perkara perdata tersebut yang secara keseluruhan
proses penyelesaian perkara perdata di pengadilan negeri dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap,
yaitu : tahap pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Begitu juga proses
penyelesaian tersebut ketika dilakukannya akan munculah masalah- masalah yang timbul, dan
dimana pemanggilan terhadap para pihak dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan
menggunakan surat panggilan sidang (relaas), ataupun bagaimana dari tindakan mediasi.

Kata Kunci : Hukum Acara Perdata, Dasar Hukum, Proses Penyelesaian Perkara Perdata

ABSTRACT

Civil procedural law regulates how to obtain legal rights and certainty when there is no dispute
through submitting an application to the court, there must be rules of the game used in the
examination of civil cases in court. With a violation of the provisions of material civil law, a
person or legal subject who feels aggrieved by another party is given the right by legislation to
file a lawsuit to the district court. If there is a violation of the provisions of material civil law as
mentioned above, a person or legal subject is given the right to file a lawsuit to the district court
so that his rights or interests can be protected. The overall process of settling civil cases in
district courts can be grouped into 3 stages, namely: the preliminary stage, the determination
stage, and the implementation stage. Likewise, when the settlement process is carried out,
problems will arise, and where the summons to the parties is carried out by the bailiff or
substitute bailiff using a summons (relaas), or how from mediation.

Keywords: Civil Procedure Law, Legal Basis, Civil Case Settlement Process

iii
DAFTAR ISI

JUDUL..................................................................................................................................i

ABSTRAK............................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

KATA PENGANTAR..........................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Tahapan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata.......................................4


2.2 Masalah dan Akibat yang Dapat Timbul di Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Perdata......................................................................................................................12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan...............................................................................................................15
3.2 Saran.........................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atas limpahan rahmat dan karunianya
kami dapat menyelesaikan Ujian Akhir Semester dengan makalah yang berjudul “Proses
Pemeriksaan Gugatan Di Pengadilan”. Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat
dalam rangka menambah pengetahuan juga wawasan menyangkut penataan kekuasaan
kehakiman.

Kami juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya Kadek Januarsa Adi Sudharma
S.H., M.H. Selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Perdata yang sudah memberikan
kepercayaan kepada kami untuk menyelesaikan tugas presentasi pada semester ini. Kami pun
menyadari bahwa di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah
yang akan kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa saran yang membangun.

Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang khususnya bagi para
pembaca. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang kurang
berkenan.

Denpasar, 23 April 2022

Penyusun

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum acara perdata adalah hukum perdata formil, yang pada dasarnya berfungsi
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil melalui pengadilan apabila
terjadi pelanggaran terhadap hukum perdata materiil atau terjadi sengketa. Bahkan
hukum acara perdata juga mengatur bagaimana tata cara memperolah hak dan kepastian
hukum manakala tidak terjadi sengketa melalui pengajuan permohonan ke pengadilan.
Namun demikian, secara umum hukum acara perdata mengatur proses penyelesaia
perkara perdata melalui hakim di pengadilan dalam hal penyusunan gugatan, pengajuan
gugatan, pemeriksaan gugatan, putusan pengadilan sampai dengan eksekusi atau
pelaksanaan putusan pengadilan.
Yang dimana hal ini harus ada aturan main yaitu Hukum Acara yang dipakai
dasar hukum dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Berangkat dari Hukum
Acara Perdata yang berlaku dalam hukum positif di Indonesia (ius constitutum)
sumbernya sangat pluralistik dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU Darurat No. 1 Tahun 1951 berturut-turut. Selain
disebutkan menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 dapat
disebutkan sumber-sumber lainnya yaitu : Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman,
Undang-Undang Peradilan Umum, Undang-Undang Mahkamah Agung, Peraturan
Mahkamah Agung, Surat Edaran Mahkamah Agung, Yurisprudensi M.A., adat istiadat
kebiasaan hakim, perjanjian internasional tentang kerjasama peradilan, Undang-Undang
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 beserta peraturan pelaksana dan sumber-sumber hukum
lainnya.
Dengan adanya suatu pelangaran terhadap ketentuan hukum perdata materiil
maka seseorang atau subyek hukum yang merasa dirugikan oleh pihak lain maka oleh
peraturan perundang-undangan diberi hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri. Bilamana ada suatu pelanggaran terhadap ketentuan hukum perdata materiil
sebagaimana disebutkan di atas maka seseorang atau subyek hukum diberi hak untuk

1
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri agar hak atau kepentingannya tersebut dapat
terlindungi. Tujuan seseorang atau subyek hukum menggugat ke pengadilan negeri
adalah agar supaya pengadilan negeri tersebut menyelesaikan sengketa yang diajukan
kepadanya dengan seadil-adilnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Dengan diajukannya gugatan ke pengadilan negeri maka akan ditindak lanjuti dengan
proses pemeriksaan perkara perdata tersebut. Secara keseluruhan proses penyelesaian
perkara perdata di pengadilan negeri dapat dikelompokkan menjadi 3 tahap, yaitu : tahap
pendahuluan, tahap penentuan, dan tahap pelaksanaan. Yang dimana dari ketiga tahapan
tersebut merupakan satu kesatuan proses penyelesaian perkara perdata, dimana tahap satu
dan tahap yang lainnya saling berkaitan.
Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau
pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian
sekaligus sampai kepada putusannya. Sedang dalam tahap pelaksanaan diadakan
pelaksanaan dari pada putusan. Dalam proses dijalannyan tahapan-tahapan tersebut, akan
ada beberapa tindakan-tindakan seperti pendaftaran perkara bagi untuk dilakukan
pencatatan dalam daftar perkara, pembayaran setelah dilakukannya pendaftaran, setelah
perkara didaftar, perkara tersebut oleh panitera diserahkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri untuk didistribusikan kepada hakim- hakim yang akan memeriksa perkara
tersebut. Kemudian hakim yang ditunjuk membuat surat penetapan untuk menentukan
hari sidang, dan memerintahkan agar para pihak dipanggil untuk menghadap sidang pada
hari yang telah ditentukan. Dan ketika dilakukannya pemanggilan terhadap pihak terkait
munculah masalah- masalah yang timbul, dan dimana pemanggilan terhadap para pihak
dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan menggunakan surat panggilan
sidang (relaas).
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Tahapan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata Tersebut?
1.2.2 Bagaimanakah Masalah-Masalah dan Akibat yang Timbul dari Permasalahan
Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata?
1.3 Tujuan Pembahasaan
1.3.1 Untuk Mengetahui Bagaimana Tahapan Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Perdata Tersebut.

2
1.3.2 Untuk Mengetahui Bagaimana Cara Menghadapi Masalah-masalah Yang Akan
Timbul Dari Proses Penyelesaian Perkara Perdata Tersebut.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tahapan Dalam Proses Penyelesaian Perkara Perdata


Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan yaitu tahap pendahuluan, tahap
penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju
kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan
peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedangkan dalam tahap
pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan.
2.1.1 Pendaftaran Surat Gugatan Dan Pemanggilan
Sesuai dengan asas hakim bersifat menunggu,pada dasarnya inisiatif
pengajuan tuntutan dilakukan oleh penggugat. Tindakan pertama yang harus
dilakukan penggugat sebelum beracara di pengadilan yaitu penggugat terlebih
dahulu mendaftarkan gugatannya di kepaniteraan pengadilan negeri sesuai dengan
kompetensi relatif pengadilan negeri yang terkait diajukannya gugatan tersebut.
Dalam proses ini tentunya akan dikenakan biaya sesuai asas “beracara dikenakan
biaya”.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal 145 RBg/pasal 121 ayat 1 HIR,
pendaftaran tersebut ditindaklanjuti dengan suatu penetapan Ketua Pengadilan
Negeri yang menunjuk susunan Majelis Hakim pemeriksa perkara tersebut. Ketua
majelis hakim menentukan hari dan tanggal persidangan, serta memerintahkan
pemanggilan kedua belah pihak yang berperkara untuk hadir dipersidangan yang
telah ditetapkan, disertai saksi-saksi yang mereka kehendaki untuk diperiksa dan
dengan membawa segala surat keterangan yang akan dipergunakan.
Proses pemanggilan para pihak berkisar 2 minggu atau 4 minggu bahkan
bisa lebih setelah proses pendaftaran dilakukan.hal ini bergantung pada letak dan
wilayah para pihak yang dipanggil oleh pengadilan. Pemanggilan dilakukan oleh
juru sita dengan menyerahkan surat panggilan (exploit, berita acara panggilan),
dan khusus untuk tergugat disertai salinan surat gugatan. Apabila yang dipanggil
bertempat tinggal diluar wilayah hukum pengadilan negeri yang memeriksa

4
perkara yang bersangkutan, panggilan akan dilakukan melalui Ketua Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal dari orang yang di
panggil tersebut.
2.1.2 Putusan Karena Ketidakhadiran Pihak
Dalam tataran praktik, ada kalanya para pihak yang dipanggil tidak serta
merta datang untuk menuaikan panggilan dari yang memeriksa perkara tersebut.
Bisa saja yang tidak hadir itu dari pihak penggugat sendiri maupun pihak
tergugat. Dalam hal ini,hukum acara perdata telah mengatur bagaimana jika
pihak-pihak tersebut tidak hadir.
(1) Pihak Penggugat Tidak Hadir pada Sidang Pertama
Sesuai ketentuan yang terdapat dalam Pasal 148RBg/124 HIR memuat
ketentuan : “bila penggugat yang telah dipanggil dengan sepatutnya tidak
datang menghadap dan juga tidak menyuruh orang mewakilinya,maka
gugatannya dinyatakan gugur dan penggugat dihukum untuk membayar
biayanya, dengan tidak mengurangi haknya untuk mengajukan gugatan lagi
setelah melunasi biaya tersebut”.
Namun berdasarkan pasal 150 RBg/pasal 126 HIR, dimana masih
diberikan kelonggaran bagi hakim untuk tidak menjatuhkan putusan pada
persidangan pertama, dan untuk memerintahkan juru sita untuk memanggil
penggugat sekali lagi untuk hadir dan juga memanggil pihak yang
sebelumnya telah hadir (tergugat) untuk menghadap lagi pada hari
persidangan berikutnya yang telah ditetapkan. Setelah penggugat dipanggil
kedua kalinya, dan ternyata pengugat tidak hadir juga pada persidangan
kedua, hakim akan menjatuhkan putusan mengugurkan gugatan penggugat
dan menghukum pengugat untuk membayar biaya perkara.
Dalam putusan yang menggugurkan gugatan penggugat ,pokok
perkaranya tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim, karena memang
pemeriksaan perkara sesungguhnya belum dilakukan. Sebagai catatan perlu
diperhatikan, bahwa apabila penggugat hadir dalam persidangan pertama
namun tidak hadir dalam persidangan-persidangan berikutnya, maka
perkaranya akan diperiksa dan diputus secara contradictoir, yaitu

5
memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah dalil-
dalil penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan
bantahan tergugat.

(2) Pihak Tergugat Tidak Hadir Pada Sidang Pertama


Berdasarkan dalam pasal 149 RBg/pasal 125 HIR ditentukan: “Bila
pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun sudah
dipanggil dengan sepatutnya,dan juga tidak mengirimkan wakilnya,maka
gugatan dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila ternyata
menurut pengadilan negeri itu,gugatannya tidak mempunyai dasar hukum
atau tidak beralasan”. Dalam hal gugatan dikabulkan ,maka keputusan
pengadilan negeri itu atas perintah ketua pengadilan negeri diberitahukan
kepada pihak tergugat yang tidak hadir dengan sekaligus diingatkan tentang
haknya untuk mengajukan perlawanan dalam waktu serta dengan cara seperti
ditentukan dalam pasal 153 RBg/ pasal 129 HIR kepada pengadilan negeri
yang sama.
Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg tergugat/para tergugat yang dihukum
dengan verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada
tergugat/para tergugat.Apabila pemberitahuan itu tidak disampaikan kepada
tergugat maka perlawanan dapat diajukan sampai hari ke 8 (delapan) setelah
teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu,atau apabila tergugat tidak
menghadap untuk ditegur perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke
8 sesudah putusan verstek itu dijalankan.
Pada dasarnya,setiap putusan verstek tidak selalu berarti gugatan
penggugat dikabulkan.Pada dasarnya gugatan penggugat dikabulkan,kecuali
dalam dua hal yaitu:
a) Gugatan tidak mempunyai dasar hukum. Dalam hal ini, putusan
pengadilan menyatakan gugatan tidak diterima (niet onvankelijke
verklaard)

6
b) Gugatan tidak beralasan. Dalam hal ini,putusan pengadilan berupa
menolak gugatan penggugat.

Selanjutnya perlu diperhatikan juga jika pada sidang pertama tergugat


hadir dan pada perisdangan-persidangan berikutnya tidak hadir,pemeriksaan
dan putusannya akan dilakukan secara contradictoir.Pada prinsipnya adanya
lembaga verstek itu adalah untuk merealisir asas audit et alteram partem yaitu
dimana kepentingan kedua belah pihak harus diperhatikan.Kegunaan akan
adanya sistem verstek dalam hukum acara adalah juga untuk mendorong para
pihak yang berperkara untuk dapat mentaati tata tertib dalam
beracara,sehingga dalam proses pemeriksaan penyelesaian perkara terhindar
dari hal-hal yang tidak diinginkan sepertinya adanya itikad buruk dari pihak
tergugat untuk dapat menghambat proses penyelesaian perkara dengan tidak
hadir saat digugat oleh penggugat.

(3) Perlawanan Terhadap Putusan Verstek


Dalam putusan verstek apabila gugatan dikabulkan, maka putusannya
harus diberitahukan kepada tergugat serta dijelaskan bahwa tergugat berhak
untuk mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek itu kepada
hakim yang memeriksa perkara itu juga, jadi bukan upaya banding terhadap
putusan verstek. Dengan demikian, tujuan verzet memberi kesempatan yang
lumrah dan wajar kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas
kelalaianny menghadiri persidangan di waktu yang lalu."
Hal di atas sebagaimana tercantum dalam Pasal 125 ayat (3) jo Pasal
129 HIR atau Pasal 83 Rv dan Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 RBg.
Perlawanan in dapat diajukan dalam waktu 14 hari sesudah pemberitahuan
putusan verstek kepada tergugat. Apabila pemberitahuan itu tidak
disampaikan kepada tergugat, maka perlawanan dapat diajukan sampai hari
kedelapan setelah teguran untuk melaksanakan putusan verstek itu, atau
apabila tergugat tidak datang menghadap untuk ditegur perlawanan tergugat
dapat diajukan sampai hari kedelapan sesudah putusan verstek itu dijalankan
(Ps 129 ayat (2) HIR dan 153 ayat (2) Rbg.

7
Selain ketidakhadiran tergugat yang akan diputuskan secara verstek,
adakalanya juga terkadang setelah gugatan penggugat didaftarkan di
pengadilan ternyata setelah dipanggil secara patut oleh juru sita, maka justru
Penggugat yang tidak hadir ke pengadilan dan tidak pula mengirimkan
wakilnya. Dalam konteks ini, maka di sini Pasal 126 HIR (Pasal 150 Rv)
mash memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi. Selanjutnya, jika
pada saat panggilan kedua penggugat belum juga muncul ke pengadilan
sedangkan tergugat hair, maka untuk kepentingan tergugat haruslah
dijatuhkan putusan. Di mana dalam hal in gugatan penggugat dinyatakan
gugur serta dihukum untuk membayar biaya perkara. Dalam hal untuk
memutuskan gugur gugatan penggugat, isi gugatan tidak perlu diperiksa lagi,
namun kepada penggugat masih diberi kesempatan untuk mengajukan
kembali gugatannya dengan membayar biaya perkara yang baru.
2.1.3 Upaya Perdamaian
Dalam sebuah sengketa atau perkara antara dua pihak dan beberapa pihak
dapat diupayakan agar diantara mereka terjadi perdamaian, penyelesaian sengketa
melalui perdamaian ini jauh lebih efektif, perdamaian bisa dilakukan di luar
pengadilan atau juga dalam sidang pengadilan itu sendiri, kalau diluar pengadilan
kita mengenal adanya ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam berbagai
bentuk seperti : Mediasi dengan bantuan seorang Fasilitator, atau bisa juga dengan
cara konsiliasi melalui seorang konsiliator dll. Hukum Acara menghendaki
adanya perdamaian hal ini terlihat pada pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBG yang
berbunyi :
1. Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang,
maka Pengadilan Negeri dengan pertolongan Ketua mencoba akan
memperdamaikan mereka.
2. Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai maka pada waktu
bersidang diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua
belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat
mana akan berkekuatan hukum dan akan dijalankan sebagai putusan
yang biasa.

8
3. Terhadap putusan yang demikian itu tidak dapat dimohonkan banding.

Ketentuan ini mewajibkan majelis hakim sebelum memeriksa perkara


perdata harus berusaha untuk mendamaikan kedua belah pihak yang sedang
bersengketa. Peranan hakim dalam menyelesaikan perkara tersebut secara damai
sangat penting. Putusan perdamaian mempunyai arti yang sangat baik bagi
masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi orang yang mencari keadilan
(justitiabelen). Apabila perdamaian tidak dapat tercapai, maka proses
pemeriksaan dilanjutkan dengan tahap jawab menjawab, pembuktian, kesimpulan
dan putusan pengadilan.

Ketentuan pasal 154 RBg/pasal 130 HIR oleh banyak kalangan dianggap
tidak cukup efektif untuk tercapainya perdamaian antara para pihak. Untuk
mengefektifkannya, Mahkamah Agung memodifikasi ke arah yang lebih bersifat
memaksa (compulsory). Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan SEMA No.1
tahun 2002, yang dalam perkembangannya diganti dengan PERMA No.2 tahun
2003, dan selanjutnya diganti lagi dengan PERMA No.1 tahun 2008.Dengan
demikian setiap hakim, mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi. Apabila mediasi berhasil, dibuatkan akta
perdamaian yang menjadi substansi dari putusan perdamaian. Namun apabila
mediasi gagal akan dilanjutkan ke tahap pemeriksaan selanjutnya.

2.1.4 Jawaban Dan Eksepsi


Dalam sistem hukum acara perdata sebagaimana ketentuan yang terapat
dalam pasal 121 ayat 2 HIR dan pasal 145 ayat 2 RBg hanya menentukan bahwa
tergugat hanya dapat menjawab baik secara tertulis maupun secara lisan. Dengan
demikian pada dasarnya tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat
memberikan jawaban. Namum jawaban ini sangat penting bagi tergugat, karena
apabila tergugat tidak memberi jawaban, tergugat harus menyadari ia harus
memikul akibat dari sikapnya. Dalam jawabanlah tergugat dapat mengemukakan
argumentasi yang menguntungkan posisinya. Jawaban tergugat dapat dilakukan
secara lisan maupun tertulis. Jawaban tergugat terdiri dari 2 macam ,yaitu:

9
(1) Jawaban yang tidak langsung mengenai pokok perkara, disebut eksepsi
atau tangkisan. Sasaran eksepsi adalah tidak diterimanya gugatan
penggugat. Ada bermacam-macam eksepsi yang dapat dikelompokkan
menjadi dua macam, yaitu eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil.
a) Eksepsi prosesuil, adalah yang mendasarkan diri pada hukum
acara perdata. Misalnya eksepsi yang menyangkut kompetensi
absolut, eksepsi yang menyangkut kompetensi relatif dan
lainnya.
b) Eksepsi Materiil adalah yang didasarkan pada hukum perdata
materiil. Misalnya eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat
sudah lewat waktu, eksepsi yang menyatakan gugatan penggugat
belum waktunya untuk diajukan dan sebagainya.
(2) Jawaban yang langsung mengenai pokok perkara, jawaban tergugat yang
langsung menegenai pokok perkara dapat berupa: pengakuan, bantahan
atau referte. Pengakuan berarti mengakui dan membenarkan isi gugatan
penggugat. Pengakuan ini dapat meliputi keseluruhan isi gugatan atau
hanya terhadap bagian atau bagian-bagian tertentu dari gugatan.
Sedangkan bantahan berarti menyangkal atau membantah isi gugatan
penggugat. Bantahan tergugat harus disertai dengan alasan-
alasannya.Sementara referte berarti tergugat menyerahkan segala
sesuatunya kepada hakim.
2.1.5 Gugatan Rekonvensi
Gugatan rekovensi atau gugatan balik atau gugatan balasan diatur dalam
pasal 157 dan 158 RBg,pasal 132 a dan 132 b HIR.
 Pasal 157 RBg menentukan:
1. Tergugat berwenang untuk mengajukan gugatan balik dalam segala
hal, kecuali:
a. Bila penggugat dalam konvensi bertindak dalm suatu
kedudukan,sedangkan gugatan balik mengenai diri pribadinya dan
sebaliknya.

1
b. Bila pengadilan negeri yang menangani gugatan asalnya tidak
berwenang mengadili persoalan yang menjadi inti gugatan balik
yang bersangkutan.
c. Tentang perselisihan mengenai pelaksanaan keputusan hakim.Jika
dalam tingkat pertama tidak diajukan gugatan balik ,maka hal itu
tidak dimungkinkan dalam tingkat banding
 Pasal 158 RBg menentukan:
1. Tergugat dalam gugatan asal wajib mengajukan gugatan baliknya
bersama-sama dengan jawabannya yang tertulis atau lisan.
2. Peraturan-peraturan dalam bab ini berlaku untuk gugatan balik.
3. Kedua perkara diperiksa bersama-sama dan diputus dengan satu
keputusan,ecuali bila hakim memandang perlu untuk memutus
perkara yang satu lebih dahulu dari pada yang laindengan ketentuan
bahwa gugatan asal atau gugatan balik yang belum diputus harus
diselesaikan oleh hakim yang sama.
4. Diperbolehkan pemeriksaan tingkat banding bila tuntutan dalam
gugatan asal ditambah dengan nilai gugatan balik melebihi
wewenang hakim untuk memutus dalam tingkat akhir.
5. Akan tetapi,jika kedua perkara dipisah dan diputus sendiri-
sendiri,maka harus diikuti ketentuan-ketentuan biasa mengenai
pemeriksaan banding.

Dari ketentuan pasal diatas jelas bahwa dimungkinkan dua gugatan


diperiksa secara bersamaan dalam waktu yang sama ,oleh majelis hakim yang
sama, ditempat yang sama, Majelis hakim yang sama dan diputus dalam satu
putusan pengadilan,walaupun dalam praktik pertimbangan hukum dalam konvensi
diuraikan secara terpisah dengan pertimbangan hukum dalam rekonvensi.Tetapi
dimungkinkan juga diperiksa secara terpisah dengan catatan kedua gugatan ini
harus diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim yang sama.

Adapun manfaat dari gugatan balasan atau gugat dalam rekonvensi yang
diajukan oleh pihak tergugat antara lain:

1
1. Dapat menghemat biaya perkara
2. Dapat memberi kemudahan bagi hakim untuk mengadakan pemeriksaan
3. Dapat mempercepat penyelesaian suatu perkara
4. Dapat menghindari adanya keputusan yang bertentangan karengan ditangani
oleh hakim yang sama
2.1.6 Intervensi
Intervensi adalah masuknya pihak ketiga ke dalam perkara yang sedang
berjalan, pihak yang berkepentingan tersebut melibatkan diri dalam perkara yang
sedang berjalan.Intervensi ada dua macam,yaitu:
1. Tussenkomst (Menengah)
Masuknya pihak ketiga atas kemauan sendiri kedalam perkara yang sedang
berjalan ,pihak ketiga ini tidak memihak kepada salah satu pihak tetapi ia
hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri.
2. Voeging (Menyertai)
Adalah pencampuran pihak ketiga dalam proses perkara gugatan dan
menggabungkan diri kepada salah satu pihak,apakah kepada penggugat
ataupun kepada tergugat,hal ini dilakukan membantu salah satu pihak.Pihak
ketiga yang merasa punya kepentingan terhadap suatu gugatan yang sedang
diperiksa dapat mengajukan permohonan kepada majelis hakim agar
diperkenankan menggabungkan diri kepada salah satu pihak.Dimana
permohonannya harus disertai alasan-alasannya.Diperkenankannya atau
tidak permohonan tersebut akan ditetapkan dalam putusan sela atau putusan
incidental.
2.2 Masalah dan akibat Yang dapat Timbul di Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Perdata
Ketika proses penyelesaian suatu perkara perdata, akan selalu ada masalah -
masalah yang harus di hadapi dan diselesaikan seperti Ketika hakim yang ditunjuk
membuat surat penetapan untuk menentukan hari sidang, dan memerintahkan agar para
pihak dipanggil untuk menghadap sidang pada hari yang telah ditentukan. Pemanggilan
terhadap para pihak dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti dengan menggunakan
surat panggilan sidang (relaas). Surat panggilan harus disampaikan kepada para pihak
yang bersangkutan ditempat tinggalnya atau tempat diamnya. Orang yang dipanggil harus

1
membubuhkan tanda tangan atau cap jempol sebagai bukti bahwa surat panggilan telah
betul - betul disampaikan kepada pihak yang berkepentingan.
Apabila pihak yang dipanggil tidak dapat diketemukan dirumahnya, maka surat
panggilan itu diserahkan kepada kepala desa yang bersangkutan untuk diteruskan (pasal
390 ayat 1 HIR ). Kalau pihak yang dipanggil sudah meninggal dunia, maka surat
panggilan itu disampaikan kepada ahli warisnya, jika ahli warisnya tidak diketahui
tempat tinggalnya, maka surat panggilan disampaikan kepada kepala desa ditempat
tinggal terakhir orang yang meninggal tersebut. Apabila pihak yang dipanggil tersebut
ternyata juga tidak diketahui alamat tempat tinggalnya, surat panggilan diserahkan
kepada Bupati selanjutnya surat panggilan tersebut ditempatkan pada papan
pengumuman di Pengadilan Negeri.
Apabila telah dilakukan panggilan terhadap para pihak dan ternyata tidak hadir,
maka pasal 126 HIR memberikan kemungkinan untuk sekali lagi memanggil para pihak
sebelum perkaranya diputus oleh hakim. Ketentuan ini adalah layak dan bijaksana, sebab
di dalam suatu perkara perdata kepentingan para pihak harus sama- sama diperhatikan.
Untuk memperhatikan kepentingan para pihak itu, para pihak harus dipanggil secara
patut.
Dalam pelaksanaan panggilan sidang terhadap para pihak sering kita jumpai
kejadian-kejadian seperti misalnya panggilan tidak sampai kepada pihak yang
bersangkutan, sehingga pihak yang bersangkutan tidak dapat hadir di muka persidangan
akibatnya akan menimbulkan kerugian bagi pihak tersebut. Kejadian lain yang dapat
menghambat jalannya pemanggilan para pihak adalah apabila terjadi kekeliruan dalam
pemanggilan, petugas melakukan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang, dan masih banyak lagi hal- hal lain yang dapat menghambat jalannya
pemanggilan para pihak dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Pendek kata
kehadiran para pihak dalam proses pemeriksaan perkara perdata di muka pengadilan
adalah sangat penting artinya bagi kedua belah pihak yang berperkara dimuka sidang
pengadilan, maupun bagi pihak ketiga yang ikut terganggu haknya.
Contoh lainnya seperti akibat hukum apabila dalam pemeriksaan perkara di
pengadilan negeri tidak dilakukan mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi

1
Di Pengadilan. Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri setelah para
pihak yang berperkara hadir dalam persidangan maka pertama-tama yang dilakukan oleh
hakim majelis yang memeriksa perkara adalah harus melakukan usaha perdamaian
diantara para pihak yang berperkara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR.
Dalam Usaha perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 130 HIR di atas menurut
Sudikno Mertokusumo dikatakan bahwa, “maka pada saat inilah hakim dapat berperan
secara aktif sebaghaimana dikehendaki oleh HIR”

Usaha perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130 ayat (1)
HIR adalah mutlak harus dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara (Procesverbaal).
10 Dengan demikian bahwa usaha perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan
Pasal 130 ayat (1) HIR di atas adalah sifatnya wajib, sehingga hakim majelis pengadilan
yang memeriksa perkara tersebut haruslah melakukan upaya perdamaian diantara para
pihak yang berperkara. Bilamana dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan
negeri ternyata hakim tidak mengupayakan perdamaian, maka akan berakibat hukum
bahwa pemeriksaan berikutnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan menjadi batal
demi hukum, sehingga harus di ulang. Usaha perdamaian ini dalam pemeriksaan perkara
perdata di pengadilan merupakan suatu tahapan yang mutlak harus dilaksanakan sebelum
dilakukannya pemeriksaan terhadap gugatan.

Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri usaha perdamaian ini


sekarang dilakukan cara mediasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, yang mulai
perlaku tanggal 3 Februari 2016. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2016, maka ketentuan tentang prosedur mediasi yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 01 Tahun 2008 sudah tidak berlaku lagi.
Prosedur Mediasi di Pengadilan negeri ini menjadi bagian Hukum Acara Perdata dimana
diharapkan dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam
penyelesaian sengketa. Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri dimana
pada saat para pihak baik pihak penggugat ataupun pihak tergugatnya, baik in persoon
maupun kuasa hukumnya hadir di persidangan, maka selanjutnya kewajiban bagi hakim
yang memeriksa perkara tersebut untuk mengupayakan perdamaian diantara para pihak.

1
Upaya perdamaian ini dilakukan oleh hakim dengan cara mediasi sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur
Mediasi Di Pengadilan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan yaitu tahap pendahuluan, tahap
penentuan, dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju
kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan
peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada putusannya. Sedangkan dalam tahap
pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan. Tahapan tersebut di mulai dari
Pendaftaran Surat Gugatan Dan Pemanggilan, putusan ketidakhadiran pihak, upaya
perdamaian, jawaban dan eksepsi, gugatan rekovensi dan Intervensi lalu Usaha
perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130 ayat (1) HIR adalah
mutlak harus dilakukan dan dicantumkan dalam berita acara (Procesverbaal). Dengan
demikian bahwa usaha perdamaian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 130
ayat (1) HIR di atas adalah sifatnya wajib, sehingga hakim majelis pengadilan yang
memeriksa perkara tersebut haruslah melakukan upaya perdamaian diantara para pihak
yang berperkara. Bilamana dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri
ternyata hakim tidak mengupayakan perdamaian, maka akan berakibat hukum bahwa
pemeriksaan berikutnya yang dilakukan oleh hakim di pengadilan menjadi batal demi
hukum, sehingga harus di ulang.
Dalam pemeriksaan perkara perdata di pengadilan negeri usaha perdamaian ini
dilakukan dengan cara mediasi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, yang mulai
perlaku tanggal 3 Februari 2016. Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung

1
Nomor 1 Tahun 2016, maka ketentuan tentang prosedur mediasi yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor Nomor 01 Tahun 2008 sudah tidak berlaku lagi.
Prosedur Mediasi di Pengadilan negeri ini menjadi bagian Hukum Acara Perdata dimana
diharapkan dapat memperkuat dan mengoptimalkan fungsi lembaga peradilan dalam
penyelesaian sengketa.
3.2 Saran
Saran yang dapat kelompok kami sampaikan dari makalah ini yaitu : (1) Dalam
proses pemanggilan sidang terhadap para pihak sering kali dijumpai kejadian – kejadian
seperti misalnya petugas melakukan panggilan tidak sesuai dengan ketentuan Undang –
Undang sehingga sering terjadi panggilan tidak sampai kepada pihak yang bersangkutan,
sehingga pihak yang bersangkutan tidak dapat hadir di muka persidangan akibatnya akan
menimbulkan kerugian bagi pihak tersebut. Kejadian lain yang dapat menghambat
jalannya pemanggilan para pihak adalah apabila terjadi kekeliruan dalam pemanggilan.
Kedepan diharapkan petugas dapat melakukan panggilan sesuai dengan ketentuan
Undang – Undang dan diharapkan juga ketelitian para petugas agar tidak ada lagi
kelalaian dalam melaksanakan tugasnya, demi keadilan bagi para pihak dan tidak
merugikan para pihak. (2) Dalam pemeriksaan perkara di pengadilan negeri tidak
dilakukan mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan, padahal dalam
proses ini diharapkan hakim dapat berperan aktif yang sesuai dengan HIR. (3) Dalam
ketentuan pasal 154 RBg/pasal 130 HIR “Perkara yang tidak menempuh prosedur Mediasi
merupakan pelanggaran terhadap ketentuan HIR dan Rbg yang mengakibatkan putusan batal
demi hukum”. Yang dianggap tidak cukup efektif untuk tercapainya perdamaian antara
para pihak. Untuk mengefektifkannya MA (Mahkamah Agung) memodifikasinya kearah
yang bersifat lebih memaksa, kemudian MA mengeluarkan SEMA No.1 tahun 2002,
yang dalam perkembangannya diganti dengan PERMA No.2 tahun 2003, dan selanjutnya
diganti lagi dengan PERMA No.1 tahun 2008. Dengan demikian setiap hakim, mediator
dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi.

1
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, Pradiptya Yoga. 2012. “Skripsi Hukum” dalam Digital Library: Studi tentang
masalah panggilan sidang terhadap para pihak dalam proses pemeriksaan
perkara perdata di pengadilan negeri Karanganyar (hlm. 2-3). Surakarta:
Universitas Sebelas Maret.

Hadrian, Endang dan Lukman Hakim. 2020. Hukum Acara Perdata Indonesia;
Permasalahan Eksekusi dan Mediasi. Yogyakarta: CV Budi Utama.

Anda mungkin juga menyukai