Anda di halaman 1dari 21

UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI

FAKULTAS HUKUM

Mata Kuliah : PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEMAHIRAN HUKUM (PLKH)


Prodi : Ilmu Hukum
Dosen : Yudi Yusnandi, S.H., M.H.
Kelas : Pagi

Bahan Ajar Mata Kuliah PLKH (Teori)

BAB I
PENDAHULUAN

1. MAKNA DAN TUJUAN

 PLKH pelajaran untuk penguasaan dan penerapan ketentuan hukum melalui


badan-badan peradilan.
 Hukum sebagai suatu norma bermasyarakat adalah petunjuk, perintah dan
larangan bagi semua warga Negara dan tidak dapat berjalan secara
otomatis tetapi perlu dilaksanakan yang kalau perlu juga dengan paksaan,
agar supaya ketentraman dan ketertiban didalam masyarakat dan Negara
dapat berjalan dengan baik.
 bagaimana melakukan tindakan apabila terjadi pelanggaran terhadap
hukum material, maka dibuatlah peraturan atau ketentuan yang sifatnya
formal. Hukum formal inilah yang dinamakan Hukum Acara, yaitu peraturan
atau ketentuan-ketentuan yang dibuat untuk menegakkan hukum material
melalui badan-badan peradilan.
 yang tujuannya adalah untuk menjadi dasar dan pedoman dalam
menegakkan Hukum Perdata Material apabila terjadi pelanggaran
terhadapnya. Hukum Acara Perdata tersebut menjadi dasar dan pedoman
bagi mereka yang hak-haknya diganggu, untuk mengajukan tuntutan hak
melalui badan-badan peradilan.

2.  RUANG LINGKUP PENDIDIKAN DAN LATIHAN KEMAHIRAN


HUKUM

 Meskipun Hukum Acara terdiri dari Hukum Acara Perdata, Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi yang
menjadi pokok pembicaraan utama dalam mata kuliah ini hanyalah
implementasi dan aplikasi yang berhubungan dengan Hukum Acara
Perdata
 Atas dasar itu maka hanya terfokus membicarakan perihal hak dan
pengajuan tuntutan hak dalam bidang perdata.
 Permasalahan akan timbul apabila terjadi gangguan terhadap hak yang
tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik oleh mereka yang terlibat. Dalam
keadaan demikian maka akan timbul dua kemungkinan yaitu :
a. Pihak yang merasa haknya di ganggu oleh pihak lain berusaha dengan
kekerasan dan kekuatan dan kekuatan sendiri memaksa pihak lain yang
dianggap menganggu haknya untuk menyerahkan atau menuruti
kemauan pihak yang merasa dirugikan, sehingga dalam hal demikian
terjadi perbuatan menghakimi sendiri.
b. Pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain mengajukan tuntutan
hak melalui pengadilan yang berwenang, untuk itu pihak tersebut harus
mengajukannya menurut ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku, yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.

Karena Hukum Acara Perdata pada dasarnya juga baru merupakan ketentuan-
ketentuan yang bersifat umum tentang bagaimana tuntutan hak itu diajukan ke
Pengadilan yang berwenang, maka diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
untuk mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata
tersebut. Misalnya Pasal 118 HIR sebagai ketentuan Hukum Acara Perdata
menentukan : “tuntutan sipil yang mula-mula harus di adili oleh
Pengadilan Negeri, dimasukkan dengan surat permintaan yang
ditanda tanggani oleh orang yang menggugat atau wakilnya ……. Dan
seterusnya” memerlukan implementasi dan aplikasi tentang :
 Apa yang dimaksudkan dengan tuntutan sipil itu;
 Bagaimana bentuk surat permintaannya;
 Apasaja yang harus dimuat dalam surat permintaan, dan lain-lainnya.

Contoh masalah tersebut diatas yang menjadi bahan pokok pembahasan dalam
mata kuliah Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum. Sebab dalam praktek,
meskipun seseorang itu mengerti dan memahami benar tentang hukum
pembuktian misalnya, akan tetapi belum tentu orang tersebut dapat
menerapkannya didalam suatu kasus yang benar-benar dihadapinya.

Pasal 164 HIR menentukan bahwa yang disebut bukti itu ialah :
1. Bukti surat;
2. Bukti saksi;
3. Bukti sangka;
4. Bukti pengakuan;
5. Bukti sumpah.

Akan tetapi didalam praktek untuk mengajukan bukti surat misalnya, masih
harus dipenuhi proses dan prosedur sampai surat tersebut benar-benar bisa
menjadi alat bukti dalam suatu perkara. Dengan tidak dipenuhinya proses dan
prosedur dalam mengajukan suatu surat sebagai alat bukti, maka besar
kemungkinan surat yang sebenarnya dapat menjadi kunci pintu kemenangan
dalam suatu perkara, tidak dapat dinilai oleh Hakim, yang berakibat dia akan
menjadi kalah karena tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil yang
dikemukakan dengan surat bukti yang dimilikinya.

Dari beberapa hal contoh uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa ruang
lingkup Pendidikan Dan Latihan Kemahiran Hukum isinya adalah implementasi
dan aplikasi dari ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata yang sebagian
besar termuat dalam HIR/RIB dan ketentuan-ketentuan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara yang bersumber kepada Undan-undang No.5 Tahun 1986.
BAB II
TENTANG TUNTUTAN HAK/GUGATAN/PERMOHONAN

1.  MACAM-MACAM TUNTUTAN HAK

Tuntutan hak adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memperoleh


perlindungan hak, yang diberikan oleh pengadilan guna mencegah
eigenrichting atau main Hakim sendiri.

Orang yang mengajukan tuntutan hak itu berkepentingan untuk memperoleh


perlindungan hukum, sehingga dia mengajukan tuntutannya melalui
pengadilan.

Namun demikian juga tidak semua kepentingan dapat dijadikan dasar untuk
mengajukan tuntutan hak, misalnya : A berhutang kepada B, setelah jangka
waktu yang ditetapkan untuk membayar terlampaui, A tidak mau membayar
Hutangnya, kemudian C sebagai kakak dari B merasa bertanggung jawab
membela B sebagai adiknya, dengan tanpa mendapat kuasa dari B mengugat A
untuk melunasi hutangnya kepada B.

Meskipun dalam contoh tersebut tidak dapat disangkal C mempunyai


kepetingan untuk membela B, akan tetapi kepentinganya tersebut kurang
cukup menjadi dasar timbulnya hak untuk mengajukan tuntutan hak ke
pengadilan dan sudah barang tentu tuntutan hak yang demikian tidak dapat
diterima oleh pengadilan.

Jadi tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan


tuntunan haknya ke pengadilan. Untuk mencegah agar supaya orang tidak
sembarangan dalam mengajukan tuntutan haknya ke pengadilan, yang pasti
akan menyulitkan kepada pengadilan, maka hanya kepentingan yang cukup dan
layak serta mempunyai dasar hukum saja yang dapat diterima sebagai dasar
untuk mengajukan tuntutan hak.

Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan hukum


yang cukup, adalah merupakan syarat utama untuk dapat diterimanya
tuntutan hak itu oleh hak pengadilan untuk diperiksa. Namun tidak
berarti semua tuntutan hak yang ada kepentingan hukumnya pasti dapat
diterima, sebab untuk itu masih tergantung kepada pembuktian. Baru
apabila hak tuntutan hak itu dapat terbukti berdasarkan alat bukti yang sah
maka tuntutan hak itu dapat di kabulkan. Tuntutan hak sebagaimana yang di
kemukakan di atas yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum dari
pengadilan, dapat dibedakan mejadi dua macam yaitu:
a. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, seperti pengesahan
kelahiran, pengesahan kematian, pengesahan pengangkatan anak dan
lain-lainnya. Voluntaire
b. Tuntutan hak yang mengandung sengketa, misalnya tuntutan untuk
membayar hutang, tuntutan untuk membagi harta warisan dan lain-
lainnya. contetieus

2.  TUJUAN MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK

Orang atau pihak yang merasa mempunyai hak akan tetapi haknya tersebut
belum memperoleh kepastian atau hak tersebut diganggu oleh pihak lain,
sudah barang tentu orang atau pihak tadi merasa tidak tenang dan tidak
tentram. Karena itu wajar bila pihak tersebut berusaha untuk memperoleh
kepastian dan perlindungan mengenai haknya tersebut.

Tuntutan hak itu adalah tindakan yang tujuannya untuk memperoleh


perlindungan hukum atas haknya, yang diberikan oleh penguasa yang
dalam hal ini adalah pengadilan, tidakan seperti ini ialah tindakan sewenang-
wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga
menimbulkan kerugian. Contoh Pasal 666 ayat (3) KUH Perdata yang
mengatakan “Adalah akan-akar pohon tetangganya tumbuh dalam tanah
pekarangannya maka berhaklah dia memotongnya sendiri, jika tetangga satu
kali di tegur menolak untuk memotongnya, dan asal ia sendiri tidak menginjak
pekarangan sitetangga” menurut pasal diatas seolah-olah main Hakim sendiri
itu dibenarkan, dimana orang boleh melakukan sendiri pemotongan akar-akar
dan dahan-dahan tanaman orang lain tanpa persetujuan pemiliknya. Namun
sebenarnya menurut pasal tersebut main hakin sendiri tetap dilarang, sebab
pasal tersebut mensyaratkan adanya teguran terlebih dahulu dan baru kalau
terguran tidak dihiraiukan boleh dilakukan tindakan. Jadi pada Pasal 666 ayat
(3) KUH Perdata setidaknya yang bersangkutan telah memberitahukan terlebih
dahulu.

3.  TATA CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK

Tarta cara untuk mengajukan tuntutan hak dibedakan antara tuntutan hak yaitu
yang mengandung sengketa dan tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa, keduanya diajukan kapada pengadilan yang berwenang. Apabila
tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa diajukan dalam bentuk surat
permohonan yang diajukan ke Pengadilan, misalnya permohohan pengesahan
pengangkatan anak, pengesahan kelahiran yang pencatatannya terlambat
diajukan.

Peradilan untuk tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa dilakukan oleh
Peradilan Volunter (Voluntaire Jurisdictie). Sedangkan tuntutan hak yang
mengandung sengketa, seperti tuntutan pembayaran ganti rugi karena
wanprestasi atau anrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum) diajukan
dengan suatu surat gugatan.
Peradilan terhadap tuntutan hak yang mengandung sengketa dilakukan oleh
peradilan contetieus (contentieuse jurisdictie). Apabila tuntutan hak itu
diajukan sendiri oleh orang yang berkepentingan maka hal tersebut pada
dasarnya dapat diajukan secara lisan ataupun tertulis kecuali kalau ditentukan
lain. Sedangkan tuntutan hak itu diajukan dengan menggunakan seorang
kuasa, maka harus didasarkan suatu surat kuasa yang diberikan oleh pemberi
kuasa.

Pemberian kuasa menurut Pasal 1792 KUH Perdata adalah suatu


persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain,
yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Pemberi kuasa tersebut dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Untuk
kuasa yang diberikan secara lisan, harus dilakukan didalam sidang dan dicatat
dalam berita acara persidangan. Sedangkan pemberian kuasa secara tertulis
dapat diberikan akta kuasa dibawah tangan dan dapat dengan akte otentik. 

Akta dibawah tangan ialah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu, seperti Notaris, pejabat Pamong Praja dengan
kedudukan terendah Camat, Hakim dan lain-lainnya.

Dalam pemberian kuasa secara tertulis dibedakan antara orang yang pandai
menulis dan orang yang tidak pandai menulis, bagi orang yang pandai menulis
dalam memberikan kuasa secara tertulis dapat dilakukan dengan akte
onderhand (akte dibawah tangan), akan tetapi bagi yang tidak pandai menulis
pemberian kuasa tersebut harus dilakukan dengan akte yang otentik.

Surat kuasa itu sah dan mempunyai kekuatan hukum kalau di tanda tangani
oleh pemberi kuasa atau diberi cap jempol, serta diberi materai yang cukup
yaitu materai Rp.6.000,-. Sedangkan adanya tanda tangan dari penerima kuasa
didalam surat kuasa adalah tidak mutlak.

Bagi seorang penerima kuasa dalam mengajukan tuntutannya ke Pengadilan


baik untuk tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa atau yang
mengandung sengketa harus dilampiri dengan surat kuasa asli, apabila tidak
terlampir tidak sah dan tidak dapat diterima di Pengadilan.

Pasal 120 HIR, tuntutan hak yang diajukan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua itu mencatat tuntutan atau menyuruh
mencatatnya. Dalam praktek tuntutan hak yang diajukan secara lisan tersebut
pelaksanaannya dilimpahkan kepada seorang Hakim atau kepada Panitera
untuk atas nama ketua mencatat tuntutan hak secara lisan tersebut.

Sedangkan tuntutan hak yang dilakukan secara tertulis, diajukan sebagaimana


ketentuan yang termuat dalam Pasal 118 HIR, yaitu diajukan dengan suatu
surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya, menurut
Pasal 123 HIR kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya
terletak tempat diam orang yang digugat, atau jika tidak ketahuan tempat
diamnya maka tempat sebetulnya ia tinggal.

Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa yang diajukan ke Pengadilan


Negeri, setelah dibayar uang muka biaya perkaranya, oleh Panitera dicatat
didalam buku register untuk itu dengan diberi nomor perkara yang diberi kode
( Pdt.P ) Sehingga perkara tersebut selengkapnya menjadi bernomor, contoh :
No …/Pdt.P/199./PN … untuk pembayaran uang muka biaya perkara,
pemohon memperoleh bukti tanda terima pembayaran, permohonan itu sendiri
harus dibuat paling sedikit rangkap 2 (dua) dimana 1 Ex untuk pengadilan dan
1 Ex untuk arsip pemohon.

Setelah pengugat membayar uang muka biaya perkaranya, Panitera mencatat


dalam buku register untuk itu dan member nomor perkara dengan ( Pdt.G)
atau (Pdt.Plw) sehingga nomor perkara itu selengkapnya menjadi
No…./Pdt.G/199./PN …. Atau No…./Pdt.Plw/199./PN …..

Untuk tuntutan hak yang mengandung sengketa harus dibuat dalam rangkap
sejumlah Majelis Hakim ditambah jumlah tergugat/terlawan ditambah 1 (satu)
untuk arsip penggugat. Jadi kalau tergugat/terlawannya sebanyak 5 orang,
maka gugatan atau perlawanan tersebut harus dibuat rangkap 3 ditambah 5
ditambah 1 menjadi 9.

Tentang kuasa untuk mengajukan tuntutan hak yang diberikan oleh suatu
badan hukum, maka tentu saja badan hukum tersebut diwakili oleh
pengurusnya yang menurut angaran dasarnya diberi wewenang bertindak
mewakili badan hukum tersebut, karena badan hukum itu sendiri tidak mungkin
membubuhkan tanda tangannya didalam surat kuasa. Dengan ketentuan
pengurus yang mewakili badan hukum tersebut harus tegas menyebutkan
dalam hal itu bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang diwakilinya.

4.  ISI PERMOHONAN DAN ISI GUGATAN

Baik pemohoan atau gugatan yang diajukan ke Pengadilan harus memuat


identitas jelas dari pemohon atau pengugat yang antara lain terdiri dari, nama
lengkap, umur, pekerjaan dan alamatnya. Sedangkan kalau permohonan atau
gugatan tersebut diajukan oleh kuasanya, maka didalam surat permohonan
atau surat gugatan juga harus dimuat identitas si kuasa yang juga terdiri dari
nama lengkap, umur, pekerjaan serta alamatnya serta waktu pemberian kuasa.

Untuk tuntutan hak yang berbentuk gugatan, selain harus memuat identitas
pihak penggugat, juga harus memuat identitas dari pihak tergugat atau para
tergugat yang pada pokoknya juga sama dengan penyebutan identitas untuk
pemohon atau penggugat.
Selain itu gugatan atau permohonan adalah bagian yang berisi tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa yang menjadi sebab atau dasar diajukannya
gugatan atau permohonan beserta ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi
landasannya. Jadi didalam Posita (dasar-dasar Alasan-alasan gugatan), atau
Potitum (hal2 apa saja yg harus diputuskan oleh seorang hakim), dari suatu
gugatan atau permohonan dimuat hal-hal yang terdiri dari :
a. Tentang kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan, peristiwa-peristiwa
dan fakta-fakta yang berhubungan dengan gugatan atau permohonan.
b. Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berkaitan
dengan kejadian, perbuatan, peristiwa dan atau fakta tersebut.

Posita (dasar-dasar/ Alasan-alasan gugatan) atau Fundamentum Petendi


dari suatu gugatan atau permohonan, memuat dalil-dalil yang bersifat
kenyataan dan dalil-dalil yang bersifat Yuridis, menjadi dasar dari apa yang
diminta didalam gugatan atau permohonan tersebut, yang dinamakan Petitum
(hal2 apa saja yg harus diputuskan oleh seorang hakim).

Bagian ketiga dari suatu gugatan atau permohonan adalah yang disebut
Petitum, dalam bagian ini penggugat atau pemohon mengemukakan secara
rinci apa yang diminta untuk dinyatakan atau ditetapkan oleh Pengadilan,
sesuai dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan didalam Posita atau
Fundamentum Petendi gugatan atau permohonan itu.

Mengenai Petitum, terutama Petitum dari suatu gugatan dapat dibedakan


menjadi Petitum yang bersifat Profesional dan Petitum yang bersifat
Prinsipal, sedangkan Petitum yang bersifat Prinsipal dibedakan lagi menjadi
Petitum utama (Primair) dan Petitum penganti (subsidair). Didalam Petitum
suatu gugatan agau permohonan dikemukakan apa yang sebenarnya diminta
oleh penggugat atau pemohon. Petitum tersebut dapat bersifat Deklaratoir,
constitutive maupun Condemnatoir. Petitum Deklaratoir adalah petitum
yang memohon agar suatu keadaan hukum diterangkan atau ditegaskan oleh
pengadilan atau Hakim.
BAB III
TENTANG PEMBERIAN KUASA

1.  PENGERTIAN PEMBERI KUASA DAN SURAT KUASA

Tentang pemberian kuasa diatur didalam Buku Ketiga Bab XVI KUH. Perdata
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata) atau B.W (Burgerlijk Wetboek),
karena Buku Ketiga KUH.Perdata adalah mengatur tentang perikatan, maka
pemberi kuasa tersebut termasuk suatu jenis perikatan.

Menurut Pasal 1792 KUH.Perdata, pemberian kausa adalah suatu persetujuan


dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang
menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

Pasal 1973 KUH.Perdata menentukan bahwa kuasa dapat diberikan dan


diterima dalam suatu akte umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan
dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan.

Pasal 1793 ayat (2) KUH.Perdata menentukan bahwa penerimaan suatu


kuasa dapat juga terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan
kuasa itu oleh penerimanya.

Dari kedua pasal dalam KUH.Perdata itu dapat diketahui bahwa kuasa terjadi
karena adanya suatu persetujuan antara pemberi dan penerima kuasa untuk
menyelenggarakan suatu urusan, yang memberi kuasa tersebut harus
dinyatakan secara tegas oleh pemberi kuasa, sedangkan untuk penerimanya
dapat dilakukan secara diam-diam yang disimpulkan dari perbuatan penerima
kuasa.

Dari ketentuan pasal-pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa pemberi kuasa
itu dapat dilakukan dengan akte otentik maupun dengan akte onderhand dan
bias juga secara lisan.

Selanjutnya Pasal 1795 KUH.Perdata mengatakan bahwa pemberi kuasa dapat


dilakukan secara khusus mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih,
dan dapat secara umum yaitu meliputi segala kepentingan dari si pemberi
kuasa.

Pasal 1797 KUH.Perdata menentukan bahwa penerima kuasa tidak


diperbolehkan melakukan suatu apapun yang melampaui kuasanya, kekuasaan
yang diberikan untuk menyelesaikan suatu urusan dengan jalan perdamaian,
sekali-kali tidak mengandung kekuasaan untuk menyerahkan perkaranya
kepada keputusan Wasit (Hakim).
Pasal 1799 KUH.Perdata mengatakan bahawa, si pemberi kuasa dapat
menggugat secara langsung orang dengan si kuasa telah bertindak dalam
kedudukannya, dan menuntut dari padanya pemenuhan persetujuannya. Kuasa
untuk mengajukan tuntutann hak ke Pengadilan Negeri, baik itu tuntutan hak
yang tidak mengandung sengketa maupun yang mengandung sengketa harus
berupa kuasa khusus, yaitu kuasa yang diberikan oleh pemberi kuasa secara
khusus mewakili urusannya tentang suatu hal di pengadilan. Hal tersebut
sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 1797 KUH.Perdata dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA R.I)

Untuk ketentuan hak yang diajukan oleh kuasa ke Pengadilan, maka surat
kuasa khususnya harus dilampirkan didalam surat ketentuan hak tersebut.
Surat kuasa yang dimaksud disini adalah surat kuasa khusus yang dibuat dan di
tanda tangani atau diberi cap ibu jari oleh pemberi kuasa, dengan maksud
untuk membuktikan perbuatan persetujuan pemberian kuasa.

Tanda tangan atau cap ibu jari pemberi kuasa didalam suatu surat kuasa
adalah mutlak untuk sahnya suatu surat kuasa, sedangkan tanda tangan dari
penerima kuasa adalah tidak mutlak, pemberian kuasa secara lisan
pembuktiannya dilakukan dengan suatu berita acara yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang.

2.  BENTUK DAN ISI SURAT KUASA

Pemberian kuasa oleh seseorang kepada orang lain dpat dilakukan secara lisan
dapat juga secara tertulis, bentuk pemberian kuasa secara lisan dituangkan
dalam berita acara yang sah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk
itu, sedangkan secara tertulis dilakukan dalam bentuk Surat Kuasa Khusus,
yang didalamnya berisi perihal sebagai berikut :
a. Judul surat kuasa;
b. Identitas pemberi dan penerima kuasa;
c. Ikrar atau pernyataan pemberian kuasa oleh pemberi kuasa kepada
penerima kuasa;
d. Urusan atau permasalahan yang dikuasakan;
e. Pemilihan domisili pemberi kuasa untuk urusan yang dikuasakan;
f. Waktu dan tempat pemberian kuasa;
g. Tanda tangan pemberi dan penerima kuasa;
h. Materai

ad. a : Judul Surat Kuasa.


Dalam surat kuasa untuk mengajukan tuntutan hak ke pengadilan judulnya
adalah “Surat Kuasa Khusus” yang berarti surat kuasa tersebut hanyalah
khusus untuk mengajukan tuntutan hak ke Pengadilan tertentu, baik untuk
tuntutan hak yang berupa permohonan maupun yang berupa gugatan.
ad. b : Identitas penerima dan pemberi kuasa.
Didalam surat kuasa harus disebutkan secara jelas identitas dari penerima dan
pemberi kuasa yang terdiri dari nama lengkap, umur, pekerjaan dan alamatnya.
Bagi pemberi kuasa yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum,
didalam surat kuasa harus disebutkan secara tegas kedudukannya sebagai
kuasa dari badan hukum itu yang berarti harus menyebut identitas dari badan
Hukum yang dimiliki.

ad. c. Ikrar pemberi kuasa.


Pemberi kuasa didalam surat kuasa harus secara tegas menyatakan maksudnya
memberikan kuasa kepada penerima kuasa, sebab justru pemberian kuasa baru
terjadi kalau ada pernyataan kehendak tersebut.

ad. d. Urusan atau permasalahan yang dikuasakan.


Urusan atau permasalahan yang dikuasakan harus secara tegas dicantumkan
didalam surat kuasa, dengan maksud agar penerima kuasa mengetahui secara
tepat yang harus dan boleh dilakukannya, disamping itu pencantuman urusan
dan permasalahan didalam surat kuasa adalah agar masing-masing pihak
menegetahui batas wewenangnya.

ad. e. Pemilihan domisili.


Didalam surat kuasa harus disebutkan domisili yang dipilih untuk urusan yang
dikuasakan, dengan maksud agar dalam hubungannya dengan pihak ketiga
dapat diketahui domisilinya.

ad. f. Waktu dan tempat pemberian kuasa.


Terutama waktu pemberian kuasa harus disebutkan didalam surat kuasa,
tujuannya untuk bisa mengetahui tindakan yang harus dilakukan oleh penerima
kuasa dilakukan sebelum atau sesudah pemberian kuasa.

ad. g. Tanda tangan pemberi kuasa dan penerima kuasa.


Tanda tangan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah termasuk cap jempol
pemberi kuasa. Tanpa adanya tanda tangan dari pemberi kuasa maka surat
kuasa itu tidak sah.

ad. h. Materai
Karena surat kuasa dimaksudkan untuk bukti adanya suatu perbuatan hukum
persetujuan pemberi kuasa, maka ketentuan menurut Undang-undang tentang
Bea materai, supaya dapat diterima sebagai alat bukti maka surat kuasa
tersebut harus bermaterai cukup.

Sebagai suatu perjanjian maka surat kuasa akan berakhir atau menjadi hapus
karena beberapa sebab sebagaimana disebut didalam Undang-undang, yaitu
Pasal 1813-1819 KUH. Perdata.
Menurut ketentuan tersebut diatas surat kuasa berakhir karena :
a. Ditariknya kembali (dicabut) pemberian kuasa itu oleh pemberi kuasa.
b. Meninggalnya pemberi kuasa.
c. Ditaruhnya pemberi kuasa dibawah pengampuan.
d. Pailitnya pemberi atau penerima kuasa.
e. Perkawinan perempuan yang memberikan kuasa dengan penerima
kuasa.

3.  MACAM-MACAM SURAT KUASA

Menurut Pasal 1795 KUH. Perdata, kuasa atau surat kuasa dapat diberikan
secara umum untuk semua urusan dari pemberi kuasa dan dapat pula diberikan
secara khusus untuk urusan-urusan tertentu saja. Oleh karena pemberian
kuasa adalah termasuk dalam perikatan yang timbul karena persetujuan atau
kesepakatan, maka pemberi kuasa tersebut merupakan perikatan terbuka.
Artinya pemberian kuasa itu dapat dilakukan dengan menyimpang dari
ketentuan Undang-undang tentang berakhirnya kuasa.

Peyimpangan tentang berakhirnya pemberian kuasa ini sebagaimana termuat


dalam Pasal 1813 KUH. Perdata, apabila dikehendaki oleh pihak harus
dicantumkan secara tegas didalam surat kuasa. Dengan demikian maka surat
kuasa itu tidak menjadi gugur atau hapus karena alasan-alasan yang termuat
didalam Pasal 1813 KUH. Perdata tersebut. Surat kuasa tersebut dinamakan
surat kuasa mutlak.

Sesuai dengan uraian tersebut diatas, maka surat kuasa ditinjau dari isinya
dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :

a. Surat Kuasa Umum;


Adalah pemberian kuasa secara umum tentang segala urusan dari pemberi
kuasa kepada penerima kuasa, menurut ketentuan Pasal 1796 ayat (1) KUH.
Perdata, pemberian kuasa yang durumuskan dalam kata-kata umum, hanya
meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Untuk perbuatan memindah
tangankan benda-benda atau untuk meletakkan hipotik diatasnya, atau untuk
membuat suatu perdamaian maupun suatu perbuatan yang lain yang hanya
dapat dilakukan seorang pemilik, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan
kata-kata yang tegas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1796 ayat (2)
KUH. Perdata.

Dari ketentuan Pasal 1796 ayat 1 dan 2 KUH. Perdata tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa Surat Kuasa Umum itu hanya berlaku untuk masalah
pengurusan atau pengelolaan barang-barang milik pemberi kuasa saja.
Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang berupa
transaksi pemindah tanganan barang-barang atau pembebanan hipotik atas
barang-barang itu, melakukan perdamaian atau perbuatan-perbuatan lain yang
hanya dapat dilakukan oleh pemilik, penerima kuasa hanya dapat
melakukannya apabila hal-hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Surat
Kuasa.

b. Surat Kuasa Khusus;


Adalah surat kuasa yang berisi pemberian kuasa tentang urusan-urusan
tertentu dari pemberi kuasa pada penerima kuasa, didalam surat kuasa khusus
disebutkan secara tegas hal-hal atau urusan-urusan yang dapat dilakukan oleh
penerima kuasa untuk kepentingan pemberi kuasa. Karena itu didalam surat
kuasa khusus untuk mengajukan gugatan atau permohonan kepada Pengadilan
harus secara tegas disebutkan perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan
yang dapat dan boleh dilakukan penerima kuasa.

c.  Surat Kuasa Mutlak;


Adalah surat kuasa yang diberikan dengan menyimpang dari ketentuan tentang
gugurnya pemberian kuasa yang ditentukan dalam Undang-undang. Kuasa
Mutlak biasanya dibuat karena pemberian kuasa tersebut berhubungan dengan
adanya suatu perjanjian antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa tentang
suatu yang dilaksanakannya belum dapat dilakukan secara tuntas karena ada
persyaratan perundang-undangan yang belum dapat dipenuhi, misalnya
perjanjian jual beli tanah.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomer 10 tahun 1960, transaksi jual beli


tanah harus dilakukan dengan akte yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akte
Tanah (PPAT). Sedangkan PPAT hanya boleh membuat akte jual beli tanah,
bagi tanah-tanah yang telah dibukukan atau bersertipikat. Karena tanah yang
menjadi obyek jual beli masih berupa tanah dengan bukti Petok D, maka
biasanya transaksinya dilakukan dengan akte ikatan jual beli yang disertai
dengan suatu surat kuasa mutlak dari pihak penjual kepada pihak pembeli.

Tujuan dari pemberian kuasa mutlak adalah untuk menjaga apabila sewaktu-
waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, maka pihak
pembeli dapat melakukan tindakan Hukum untuk menuntaskan jual beli
tersebut atas dasar Kuasa Mutlak yang dipegangnya. Jadi dengan surat kuasa
Mutlak tersebut pihak pembeli dapat mengurus pendaftaran (Konfersi) tanah
yang telah dibelinya untuk memperoleh sertipikat.

Dengan dibuatnya akte ikatan jual beli dan dilakukan pembayarannya secara
penuh, sebenarnya jual beli tersebut secara material sudah selesai, akan tetapi
secara formal belum selesai, sebab belum dapat dilakukan pembuatan Akte Jual
Beli oleh PPAT.
BAB IV
PEMERIKSAAN DISIDANG PENGADILAN

1.        PANGGILAN TERHADAP PARA PIHAK.

Apabila Pengadilan Negeri menerima pengajuan tuntutan hak, baik berupa


gugatan maupun berupa permohonan dan proses administratifnya telah
diselesaikan di Kepaniteraan, maka Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Hakim
atau Majelis Hakim yang ditugaskan memeriksa permohonan atau gugatan
tersebut didalam persidangan, dengan membuat suatu Penentapan
Penunjukkan Hakim (Majelis Hakim).

Sebelum tuntutan hak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, terlebih dahulu
akan diseleksi di Kepaniteraan dengan diberi kode “P” untuk tuntutan hak yang
berupa permohonan, kode “G” untuk tuntutan hak yang berupa gugatan dan
kode “Plw” untuk yang berupa perlawanan. Jadi kode-kode untuk permohonan
hak yang diajukan ke Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut :
a.      Nomor : …./Pdt.P/20…./PN….., untuk perkara permohonan,
b.      Nomor : …./Pdt.G/20…./PN….., untuk perkara gugatam,
c.       Nomor : …./Pdt.Plw/20…./PN….., untuk perlawanan,

Selanjutnya Hakim atau Majelis Hakim yang telah di tunjuk oleh Ketua
Pengadilan untuk memeriksa perkara dalam persidangan, menetapkan hari
sidang dan memerintahkan Panitera Pengganti perkara tersebut membuat surat
panggilan (relaas panggilan) untuk menghadap sidang pada hari yang telah
ditentukan. Penyampaian Relaas panggilan kepada para pihak untuk
mendatangi sidang disampaikan oleh Jurusita.

Cara untuk melakukan pemanggilan kepada para pihak, diatur didalam Pasal
388,390 dan 391 HIR. Yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :

Pasal 388 HIR menentukan :


Ayat 1 : Untuk menjalankan panggilan, pemberitahuan dan sekalian surat
jurusita yang lain, juga untuk melaksanakan perintah Hakim dan putusan
Hakim, sama-sama berhak dan diwajibkan sekalian jurusita dan pesuruh yang
bekerja pada Mejelis Pengadilan dan pegawai kuasa Umum;
Ayat 2 : Jika tidak ada orang demian itu, maka ketua Majelis Pengadilan, yang
dalam pegangannya surat jurusita itu akan dijalankan, harus menunjukkan
seorang yang patut dan boleh dipercaya untuk pekerjaan itu.

Pasal 390 HIR menentukan :


Ayat 1 : Tiap-tiap jurusita, kecuali yang tersebut dibawah ini, harus
disampaikan kepada orang bersangkutan sendiri ditempat tingalnya atau
diamnyadan jika tidak bertemu dengan orang itu disitu, kepala desanya atau
beknya, yang wajib segera memberitahukan surat jurusita itu kepada orang itu
sendiri, akan tetapi hal itu tidak perlu dinyatakan dalam Hukum.

Ayat 2 : tentang orang yang sudah mati, maka surat jurusita itu disampaikan
kepada ahli waris nya, jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan
kepada kepala desa atau bek tempat tingal yang dikemudian dari orang yang
mati itu di Indonesia, maka kepala desa atau bek itu harus berbuat
sebagaimana teratur pada ayat diatas. Jika orang mati itu termasuk golongan
orang timur asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat
kepada weekamer.

Ayat 3 : Tentang orang yang tidak diketahui tempat tinggalnya atau


diamnya dan tentang orang yang tidak dikenal, maka surat jurusita itu
disampaikan pada kepada bupati, yang dalam peganggannya terletak tempat
tinggal orang yang mendakwa dan dalam perkara pidana, yang dalam
peganggannya berkudukan Hakim yang berhak, bupati itu memaklumkan surat
jurusita itu dengan menempelkan pada pintu yang tersebar ditempat
persidangan Hakim yang berhak.

Selanjutnya Pasal 391 HIR menentukan, bahwa untuk menghitung waktu


yang ditentukan dalam reglemen ini, maka hari mulai waktu itu berlaku tidak
turut dihitung. Berdasarkan ketentuan Pasal 390 HIR maka apabila jurusita
tidak dapat bertemu dengan orang yang bersangkutan sendiri ditempat
tinggalnya atau di tempat diamnya surat jurusita harus disampaikan kepada
kepala desanya. Maksud dari ketentuan ini adalah agar supaya surat tersebut
benar-benar diterima oleh orang yang dipanggil atau orang yang bersangkutan.

Meskipun Pasal 390 HIR menentukan bahwa kepala desa atau bek wajib
menyampaikan surat jurusita tersebut pada orang yang bersangkutan sendiri,
akan tetapi apabila ternyata kepala desa atau bek itu tidak juga melakukannya,
ternyata tidak ada sanksi terhadap kelalaian tersebut. Jadi terlepas dari kepala
desa atau bek menyampaikan atau tidak surat jurusita tersebut kepada yang
bersangkutan, asal surat tersebut sudah disampaikan kepada kepala desa atau
bek, maka menurut Hukum orang itu dianggap sudah dipanggil secara patut.
Dan apabila kepala desa atau bek benar-benar tidak menyampaikan surat
jurusita kepada yang bersangkutan, ternyata hal itu tidak dapat ditutut pidana.

Demikian juga surat pemberitahuan putusan Verstek apabila jurusita tidak


dapat bertemu sendiri dengan pergugat, maka surat pemberitahuan itu juga
disampaikan melalui kepala desa atau bek, dimana kepala desa atau bek
kemungkinan lalai tidak menyampaikan kepada yang bersankutan, maka
tanggung waktu untuk mengajukan perlawanan tetap dihitung dari tanggal
pemberitahuan surat putusan kepada kepala desa atau bek.
Keadaan seperti itu tentu saja dapat merugikan kepada pihak tergugat dalam
putusan Verstek tersebut, karena kehilangan haknya untuk mengajukan
perlawanan atau Verset, sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang.
Seorang jurusita yang benar-benar menghayati tugasnya dan bener-baner
memiliki tanggung jawab serta rasa kemanusiaan yang tinggi, tentu akan
secara maksimal berusaha untuk dapat memberitahu sendiri dengan pihak yang
diberitahu atau dengan kuasanya yang sah, supaya tidak memungkinkan
terjadinya kerugian pada pihak yang bersangkutan karena kehilangan haknya
untuk mengajukan perlawanan.

Pasal 122 HIR memuat ketentuan bahwa ketika menentukan hari


persidangan, ketua hendaknya mengingat jauhnya letak tempat diam atau
tempat tingal kedua belah pihak dari tempat Pengadilan Negeri bersidang.
Waktu antara memanggil kedua belah pihak dan hari persidangan, lamanya
tidak kurang dari 3 (tiga) hari (dalamnya tidak termasuk hari libur), kecuali
dalam hal yang perlu benar perkara itu lekas diperiksa dan hal itu disebut
didalam surat perintah itu.

Jadi menurut ketentuan Pasal 122 HIR tersebut, jarak panggilan diterima oleh
terpanggil dengan hari terpanggil harus menghadap, tidak boleh kurang dari 3
(tiga) hari kerja, yang berarti hari libur atau hari besar tidak ikut
diperhitungkan. Suatu panggilan yang sudah dilakukan secara sah tetapi tidak
dipenuhi oleh terpanggil tanpa alasan yang sah, dapat dikenakan sanksi yang
merugikan dirinya.

2.        PEMERIKSAAN PERSIDANGAN.

Persidangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara perdata, dilakukan


oleh Hakim atau Majelis Hakim didalam ruang sidang Pengadilan yang
bersangkutan. Persidangan dilakukan sesuai dengan jam, hari, tanggal dan
tempat sebagaimana ditentukan dalam surat panggilan. Hakim atau Ketua
Majelis yang memeriksa perkara membuka persidangan dan menyatakan sidang
terbuka untuk umum.

Pasal 17 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok


Kekuasaan Kehakiman menentukan :
Ayat 1 : Sidang Pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum,
kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.
Ayat 2 : Tisak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 1 mengakibatkan batalnya
putusan menurut Hukum.

Selanjutnya Pasal 18 Undang-undang tersebut menentukan bahwa semua


putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan Hukum apabila di
ucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Dari ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dapat
disimpulkan bahwa pada semua alasannya semua permeriksaan persidangan
Pengadilan harus dilakukan dalam sidang yang terbuka dan umum, dengan
sanksi apabila persidangan tidak dilakukan demikian putusannya akan batal
menurut Hukum. Kecuali untuk perkara-perkara tertentu yang menurut
Undang-undang persidangan harus dilakukan secara tertutup akan terjadi
sebaliknya yaitu putusannya akan menjadi batal demi Hukum apabila
persidangan dilakukan dengan terbuka dan untuk umum.

Perkara-perkara yang termasuk itu adalah perkara yang menyangkut kesusilaan


seperti perceraian dan lain-lain. Tetapi meskipun perkara-perkara tertentu yang
menurut Undang-undang persidangannya harus dilakukan dalam persidangan
yang dinyatakan tertutup, untuk memberikan putusannya justru harus tetap
dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Hakim sebagai pimpinan sidang Pengadilan bertanggung jawab atas lancarnya


pemeriksaan Persidangan, didalam persidangan tersebut pertama-tama Hakim
akan memeriksa dan mencocokkan identitas pada pihak satu persatu, apabila
identitas dari masing-masing pihak telah diperiksa dan ternyata sudah benar,
maka menurut Pasal 130 HIR hakim terlebih dahulu harus berusaha
memperdamaikan mereka dengan member kesempatan mereka untuk
berdamai.

Ketentuan Pasal 130 HIR tersebut adalah sebagai berikut :


Ayat 1 : Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak dating
menghadap, maka Pengadilan Negeri dengan perantaraan Ketuanya akan
memperdamaikan mereka itu.
Ayat 2 : Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu
pada waktu persidangan, dibuat sebuah akte, dengan mana kedua belah pihak
diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat (akte)
itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan Hakim biasa.
Ayat 3 : Tentang keputusan yang demikian itu tidak diizinkan orang minta
banding (apel)

Dari ketentuan Pasal 130 HIR tersebut jelas bahwa usaha Hakim untuk
memperdamaikan kedua belah pihak adalah wajib sifatnya, dan hal itu menurut
Pasal 131 HIR harus disebutkan dalam Berita Acara Sidang.

Apabila usaha memperdamaikan kedua belah pihak tidak berhasil, barulah


pemeriksaan persidangan dilanjutkan dengan membacakan gugatan penggugat
sebagaimana ketentuan Pasal 131 ayat 1 HIR. Dalam membacakan gugatan,
hakim harus menjelaskan maksud dari gugatan tersebut sampai pihak tergugat
benar-benar mengerti, kalau perlu dengan menggunakan juru bahasa,
sebagaimana diatur dalam Pasal 131 ayat 2 dan 3 HIR.
Agar supaya jalannya perkara baik dan teratur maka menurut Pasal 132 HIR.
Pada waktu memeriksa perkara hakim dapar member nasehat kepada kedua
belah pihak dan menunjukkan upaya hokum serta keterangan yang mereka
boleh pergunakan. Selanjutnya Hakim memeriksa kedua belah pihak dengan
memberikan kesempatan kepada masing-masing pihak untuk mengajukan
tangkisan (eksepsi) dan jawab menjawab (ruplik-duplik) baik secara lisan
maupun secara tertulis.

Tindakan hakim selanjutnya adalah memberi kesempatan kepada kedua belah


pihak untuk mengajukan pembuktian guna peneguhan pendirian atau dalil-
dalilnya masing-masing sampai mereka sudah tidak akan mengajukan apa-apa
lagi dan meminta putusan hakim.

3.        TANGKISAN DAN JAWAB-MENJAWAB

Tangkisan (eksepsi) adalah jawaban tergugat terhadap gugatan penggugat


yang tidak langsung mengenai pokok perkaranya. eksepsi atau tangkisan
dibedakan antara Aksepsi Prosesual dengan Aksepsi Material.

Aksepsi Prosesual :
Adalah Aksepsi tentang tidak berkuasanya Hakim untuk memeriksa perkara baik
karena kewenangan relative maupun karena kewenangan absolut dari
pengadilan. Aksepsi Prosesual yang menyangkut wewenang relative dari
pengadilan, menurut Pasal 133 HIR tidak dapat diajukan setiap saat tetapi
hanya dapat diajukan pada permulaan sidang sevelum tergugat mengajukan
jawaban tentang pokok perkara baik secara lisan maupun tertulis.

Aksepsi Prosesual yang menyangkut wewenang absolute dari Pengadilan Negeri


sebagaimana ketentuan Pasal 134 HIR dapat diajukan setiap saat selama
pemeriksaan perkara berlangsung. Bahkah Hakim wajib karena jabatannya
untuk menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara, tersebut meskipun
pihak tergugat tidak mengajukan keberatannya. Apabila Aksepsi diterima, yang
berarti pengadilan membenarkan dirinya tidak berwenang untuk memeriksa
perkara itu, maka pemeriksaan itu dihentikan meskipun penggugat tidak dapat
menerima dan mengajukan banding. Sebalimnya apabila Aksepsi ditolak yang
berarti Pengadilan Negeri menyatakan dirinya berwenang, maka pemeriksaan
perkara dilanjutkan meskipun pihak tergugat tidak dapat menerima dan
mengajukan banding.
Selain Aksepsi Prosesual juga dikenal sebagai Aksepsi Material yang terdiri
dari Aksepsi Dilatoir dan Aksepsi Peremtoir.

a.      Aksepsi Dilatoir adalah aksepsi yang mengatakan bahwa tuntutan


belum sampai waktunya untuk di ajukan, antara lain karena masih ada surat
perjanjian yang belum di penuhi disebabkan jangka waktunya belum terlewat
atau tergugat sedang berada dalam waktu pertimbangan.
b.      Aksepsi Peremtoir akdalah aksepsi yang diajukan mutlat terhadap
tuntutan gugatan, misalnya karena perkaranya sudah using (dalaluarsa), atau
yang di gugat telah diberi kebebasan utangnya, atau karena telah ada
keputusan pengadilan yang tidak dapat di gugat lagi.

Menurut Pasal 136 HIR, Aksepsi material tidak boleh dikemukakan dan
ditimbang satu-satu, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama
dengan pokok perkara. Maksut dari pasal tersebut diatas untuk menghindarkan
kelambatan yang tidak perlu atau dibuat-buat, sehingga proses berjalan cepat
dan lancer.

Apabila dikehendaki, menurut Pasal 132a dan 132b HIR, maka tergugat
atau para tergugat bersama-sama jawapannya dapat atau boleh mengajukan
gugatan balasan atau balasan gugatan balik yang dinamakan gugatan
rekonpensi. Pengajuan gugatan rekonpensi tidak usah diajukan melalui Ketua
Pengadilan, akan tetapi cukup diajukan bersama-sama dengan jawabannya saja
dan juga tidak perlu membayar uang muka biaya perkara seperti pengajuan
gugatan biasa.

Pada dasarnya gugatan rekonpensi dapat diajukan mengenai apa saja,


terkecuali tentang 3 hal sebagai berikut :
a. Jika penggugat mula-mula itu menentut karena suatu sifat, sedangkan
gugatan balik mengenai dirinya sendiri atau sebaliknya.
b. Jika Pengadilan Negeri yang memeriksa tuntutan asal si penggugat, tidak
berhak memeriksa gugatan balik berhubung dengan pokok perselisihan
itu.
c. Jika perkara itu adalah tentang perselisihan menjalankan Putusan Hakim

Rekonpensi (gugatan balik) dapat juga diajukan secara lisan di persidangan,


yang untuk gugatan balik, secara lisan itu akan dicatat didalam berita acara
sidang. Baik gugatan asal (gugatan konpensi) mapun gugatan balik (gugatan
rekonpensi) oleh hakim akan diselesaikan sekaligus dalam satu putusan.

4.        TENTANG PEMBUKTIAN

Bagaimana hakim harus membebankan pembuktian kepada para pihak, Pasal


162 HIR menentukan bahwa tentang menerima atau menolak alat bukti dalam
perkara Perdata, pengadilan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan yang
termuat didalam HIR.

Pasal 163 HIR, menentukan tentang beban pembuktian tersebut sebagai


berikut :
“barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau
menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, maka orang itu
harus membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu”
Sedangkan alat bukti yang dapat dipakai oleh para pihak dalam usaha
meneguhkan kebenaran dalil-dalilnya, adalah sebagaimana yang
ditentukandalam Pasal 164 HIR, yang terdiri dari :
1. Bukti surat
2. Bukti saksi
3. Bukti persangkaan
4. Bukti pengakuan
5. Bukti sumpah.

Didalam praktek selain kelima bukti tersebut diatas masih dikenal lagi alat bukti
yang dinamakan “pengetahuan hakim” yaitu keadaan yang diketahui sendiri
oleh hakim didalam persidangan, misalnya hakim melihat sendiri adanya
kerusakan barang-barang pada waktu hakim melakukan Plaatselijk
Onderzoak (pemeriksaan di tempat).

Mengenai hal ini Yurisprodunsi Mahkamah Agung dalam keputusannya No.


213K/Sip/1955 Tanggal 10 April 1957 sebagai berikut :
“Hakim-hakim berdasarkan Pasal 138 ayat 1 bersambung dengan Pasal 164
HIR, tidak ada keharusan mendengar penerangan seorang ahli, sedang
penglihatan hakim pada suatu tanda tangan didalam sidang boleh boleh dipakai
hakim itu sebagai pengetahuannya sendiri didalam usaha pembuktian”.

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut tampak jelas bahwa pengetahuan


Hakim merupakan alat bukti juga, akan tetapi Pengetahuan Hakim diluar sidang
tidak merupakan alat bukti.

1.    Bukti Surat


Surat dalam hal ini mempunyai pengertian baik surat otentik maupun surat
dibawah tangan. Untuk surat-surat yang diserahkan oleh pihak-pihak kepada
hakim, menurut Pasal 137 HIR, mereka boleh saling melihat sehingga kalau
perlu mereka dapat saling menyangkal surat-surat tersebut.

Dalam proses perkara Perdata, bukti tulisan merupakan bukti penting dan
utama, menurut Hukum Acara Perdata surat dibedakan menjadi 3 yaitu :
a.  Surat biasa.
Adalah surat yang dibuat tidak ddngan maksud untuk sebagai alat bukti, tetapi
dibuat untuk mencurahkan pikiran dan perasaan saja. Contoh : surat keluarga,
surat cinta, surat korespondensi dan lain-lain.

b.      Akte dibawah tangan.


Adalah surat yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan alat bukti tentang
suatu kejadian atau keadaan, akte yang dibuat sendiri tanpa dihadapan atau
oleh pejabat yang berwenang dinamakan akte dibawah tangan, sedangkan akte
yang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Berwenang tersebut disebut Akte
Otentik.

c.       Akte otentik.


Akte yang otentik sebagai alat bukti mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan
pembuktian yaitu :

1. Kekuatan pembuktian formal.


Membuktikan bagi para pihak bahwa mereka telah menerangkan apa yang di
tulis dalam akte itu.
2.      Kekuatan pembuktian Material.
Membuktikan bagi para pihak, bahwa apa yang tersebut di akte itu benar-benar
telah terjadi.
3.      Kekuatan pembuktian mengikat.
Membuktikan bagi para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tangal tersebut
dalam akte, yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum dan
menerangkan apa yang ditulis dakan akte.

Anda mungkin juga menyukai