FAKULTAS HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN
Meskipun Hukum Acara terdiri dari Hukum Acara Perdata, Hukum Acara
Pidana dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, akan tetapi yang
menjadi pokok pembicaraan utama dalam mata kuliah ini hanyalah
implementasi dan aplikasi yang berhubungan dengan Hukum Acara
Perdata
Atas dasar itu maka hanya terfokus membicarakan perihal hak dan
pengajuan tuntutan hak dalam bidang perdata.
Permasalahan akan timbul apabila terjadi gangguan terhadap hak yang
tidak dapat diselesaikan dengan baik-baik oleh mereka yang terlibat. Dalam
keadaan demikian maka akan timbul dua kemungkinan yaitu :
a. Pihak yang merasa haknya di ganggu oleh pihak lain berusaha dengan
kekerasan dan kekuatan dan kekuatan sendiri memaksa pihak lain yang
dianggap menganggu haknya untuk menyerahkan atau menuruti
kemauan pihak yang merasa dirugikan, sehingga dalam hal demikian
terjadi perbuatan menghakimi sendiri.
b. Pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain mengajukan tuntutan
hak melalui pengadilan yang berwenang, untuk itu pihak tersebut harus
mengajukannya menurut ketentuan Perundang-undangan yang
berlaku, yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.
Karena Hukum Acara Perdata pada dasarnya juga baru merupakan ketentuan-
ketentuan yang bersifat umum tentang bagaimana tuntutan hak itu diajukan ke
Pengadilan yang berwenang, maka diperlukan pengetahuan dan ketrampilan
untuk mempraktekkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata
tersebut. Misalnya Pasal 118 HIR sebagai ketentuan Hukum Acara Perdata
menentukan : “tuntutan sipil yang mula-mula harus di adili oleh
Pengadilan Negeri, dimasukkan dengan surat permintaan yang
ditanda tanggani oleh orang yang menggugat atau wakilnya ……. Dan
seterusnya” memerlukan implementasi dan aplikasi tentang :
Apa yang dimaksudkan dengan tuntutan sipil itu;
Bagaimana bentuk surat permintaannya;
Apasaja yang harus dimuat dalam surat permintaan, dan lain-lainnya.
Contoh masalah tersebut diatas yang menjadi bahan pokok pembahasan dalam
mata kuliah Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum. Sebab dalam praktek,
meskipun seseorang itu mengerti dan memahami benar tentang hukum
pembuktian misalnya, akan tetapi belum tentu orang tersebut dapat
menerapkannya didalam suatu kasus yang benar-benar dihadapinya.
Pasal 164 HIR menentukan bahwa yang disebut bukti itu ialah :
1. Bukti surat;
2. Bukti saksi;
3. Bukti sangka;
4. Bukti pengakuan;
5. Bukti sumpah.
Akan tetapi didalam praktek untuk mengajukan bukti surat misalnya, masih
harus dipenuhi proses dan prosedur sampai surat tersebut benar-benar bisa
menjadi alat bukti dalam suatu perkara. Dengan tidak dipenuhinya proses dan
prosedur dalam mengajukan suatu surat sebagai alat bukti, maka besar
kemungkinan surat yang sebenarnya dapat menjadi kunci pintu kemenangan
dalam suatu perkara, tidak dapat dinilai oleh Hakim, yang berakibat dia akan
menjadi kalah karena tidak berhasil membuktikan kebenaran dalil yang
dikemukakan dengan surat bukti yang dimilikinya.
Dari beberapa hal contoh uraian tersebut diatas dapat diketahui bahwa ruang
lingkup Pendidikan Dan Latihan Kemahiran Hukum isinya adalah implementasi
dan aplikasi dari ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata yang sebagian
besar termuat dalam HIR/RIB dan ketentuan-ketentuan Hukum Acara Peradilan
Tata Usaha Negara yang bersumber kepada Undan-undang No.5 Tahun 1986.
BAB II
TENTANG TUNTUTAN HAK/GUGATAN/PERMOHONAN
Namun demikian juga tidak semua kepentingan dapat dijadikan dasar untuk
mengajukan tuntutan hak, misalnya : A berhutang kepada B, setelah jangka
waktu yang ditetapkan untuk membayar terlampaui, A tidak mau membayar
Hutangnya, kemudian C sebagai kakak dari B merasa bertanggung jawab
membela B sebagai adiknya, dengan tanpa mendapat kuasa dari B mengugat A
untuk melunasi hutangnya kepada B.
Orang atau pihak yang merasa mempunyai hak akan tetapi haknya tersebut
belum memperoleh kepastian atau hak tersebut diganggu oleh pihak lain,
sudah barang tentu orang atau pihak tadi merasa tidak tenang dan tidak
tentram. Karena itu wajar bila pihak tersebut berusaha untuk memperoleh
kepastian dan perlindungan mengenai haknya tersebut.
Tarta cara untuk mengajukan tuntutan hak dibedakan antara tuntutan hak yaitu
yang mengandung sengketa dan tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa, keduanya diajukan kapada pengadilan yang berwenang. Apabila
tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa diajukan dalam bentuk surat
permohonan yang diajukan ke Pengadilan, misalnya permohohan pengesahan
pengangkatan anak, pengesahan kelahiran yang pencatatannya terlambat
diajukan.
Peradilan untuk tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa dilakukan oleh
Peradilan Volunter (Voluntaire Jurisdictie). Sedangkan tuntutan hak yang
mengandung sengketa, seperti tuntutan pembayaran ganti rugi karena
wanprestasi atau anrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum) diajukan
dengan suatu surat gugatan.
Peradilan terhadap tuntutan hak yang mengandung sengketa dilakukan oleh
peradilan contetieus (contentieuse jurisdictie). Apabila tuntutan hak itu
diajukan sendiri oleh orang yang berkepentingan maka hal tersebut pada
dasarnya dapat diajukan secara lisan ataupun tertulis kecuali kalau ditentukan
lain. Sedangkan tuntutan hak itu diajukan dengan menggunakan seorang
kuasa, maka harus didasarkan suatu surat kuasa yang diberikan oleh pemberi
kuasa.
Pemberi kuasa tersebut dapat dilakukan secara lisan atau secara tertulis. Untuk
kuasa yang diberikan secara lisan, harus dilakukan didalam sidang dan dicatat
dalam berita acara persidangan. Sedangkan pemberian kuasa secara tertulis
dapat diberikan akta kuasa dibawah tangan dan dapat dengan akte otentik.
Akta dibawah tangan ialah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum
yang berwenang untuk itu, seperti Notaris, pejabat Pamong Praja dengan
kedudukan terendah Camat, Hakim dan lain-lainnya.
Dalam pemberian kuasa secara tertulis dibedakan antara orang yang pandai
menulis dan orang yang tidak pandai menulis, bagi orang yang pandai menulis
dalam memberikan kuasa secara tertulis dapat dilakukan dengan akte
onderhand (akte dibawah tangan), akan tetapi bagi yang tidak pandai menulis
pemberian kuasa tersebut harus dilakukan dengan akte yang otentik.
Surat kuasa itu sah dan mempunyai kekuatan hukum kalau di tanda tangani
oleh pemberi kuasa atau diberi cap jempol, serta diberi materai yang cukup
yaitu materai Rp.6.000,-. Sedangkan adanya tanda tangan dari penerima kuasa
didalam surat kuasa adalah tidak mutlak.
Pasal 120 HIR, tuntutan hak yang diajukan secara lisan kepada Ketua
Pengadilan Negeri dan Ketua itu mencatat tuntutan atau menyuruh
mencatatnya. Dalam praktek tuntutan hak yang diajukan secara lisan tersebut
pelaksanaannya dilimpahkan kepada seorang Hakim atau kepada Panitera
untuk atas nama ketua mencatat tuntutan hak secara lisan tersebut.
Untuk tuntutan hak yang mengandung sengketa harus dibuat dalam rangkap
sejumlah Majelis Hakim ditambah jumlah tergugat/terlawan ditambah 1 (satu)
untuk arsip penggugat. Jadi kalau tergugat/terlawannya sebanyak 5 orang,
maka gugatan atau perlawanan tersebut harus dibuat rangkap 3 ditambah 5
ditambah 1 menjadi 9.
Tentang kuasa untuk mengajukan tuntutan hak yang diberikan oleh suatu
badan hukum, maka tentu saja badan hukum tersebut diwakili oleh
pengurusnya yang menurut angaran dasarnya diberi wewenang bertindak
mewakili badan hukum tersebut, karena badan hukum itu sendiri tidak mungkin
membubuhkan tanda tangannya didalam surat kuasa. Dengan ketentuan
pengurus yang mewakili badan hukum tersebut harus tegas menyebutkan
dalam hal itu bertindak untuk dan atas nama badan hukum yang diwakilinya.
Untuk tuntutan hak yang berbentuk gugatan, selain harus memuat identitas
pihak penggugat, juga harus memuat identitas dari pihak tergugat atau para
tergugat yang pada pokoknya juga sama dengan penyebutan identitas untuk
pemohon atau penggugat.
Selain itu gugatan atau permohonan adalah bagian yang berisi tentang
kejadian-kejadian atau peristiwa yang menjadi sebab atau dasar diajukannya
gugatan atau permohonan beserta ketentuan-ketentuan hukum yang menjadi
landasannya. Jadi didalam Posita (dasar-dasar Alasan-alasan gugatan), atau
Potitum (hal2 apa saja yg harus diputuskan oleh seorang hakim), dari suatu
gugatan atau permohonan dimuat hal-hal yang terdiri dari :
a. Tentang kejadian-kejadian, perbuatan-perbuatan, peristiwa-peristiwa
dan fakta-fakta yang berhubungan dengan gugatan atau permohonan.
b. Ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berkaitan
dengan kejadian, perbuatan, peristiwa dan atau fakta tersebut.
Bagian ketiga dari suatu gugatan atau permohonan adalah yang disebut
Petitum, dalam bagian ini penggugat atau pemohon mengemukakan secara
rinci apa yang diminta untuk dinyatakan atau ditetapkan oleh Pengadilan,
sesuai dengan dalil-dalil yang telah dikemukakan didalam Posita atau
Fundamentum Petendi gugatan atau permohonan itu.
Tentang pemberian kuasa diatur didalam Buku Ketiga Bab XVI KUH. Perdata
(Kitab Undang-undang Hukum Perdata) atau B.W (Burgerlijk Wetboek),
karena Buku Ketiga KUH.Perdata adalah mengatur tentang perikatan, maka
pemberi kuasa tersebut termasuk suatu jenis perikatan.
Dari kedua pasal dalam KUH.Perdata itu dapat diketahui bahwa kuasa terjadi
karena adanya suatu persetujuan antara pemberi dan penerima kuasa untuk
menyelenggarakan suatu urusan, yang memberi kuasa tersebut harus
dinyatakan secara tegas oleh pemberi kuasa, sedangkan untuk penerimanya
dapat dilakukan secara diam-diam yang disimpulkan dari perbuatan penerima
kuasa.
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut juga dapat diketahui bahwa pemberi kuasa
itu dapat dilakukan dengan akte otentik maupun dengan akte onderhand dan
bias juga secara lisan.
Untuk ketentuan hak yang diajukan oleh kuasa ke Pengadilan, maka surat
kuasa khususnya harus dilampirkan didalam surat ketentuan hak tersebut.
Surat kuasa yang dimaksud disini adalah surat kuasa khusus yang dibuat dan di
tanda tangani atau diberi cap ibu jari oleh pemberi kuasa, dengan maksud
untuk membuktikan perbuatan persetujuan pemberian kuasa.
Tanda tangan atau cap ibu jari pemberi kuasa didalam suatu surat kuasa
adalah mutlak untuk sahnya suatu surat kuasa, sedangkan tanda tangan dari
penerima kuasa adalah tidak mutlak, pemberian kuasa secara lisan
pembuktiannya dilakukan dengan suatu berita acara yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang.
Pemberian kuasa oleh seseorang kepada orang lain dpat dilakukan secara lisan
dapat juga secara tertulis, bentuk pemberian kuasa secara lisan dituangkan
dalam berita acara yang sah yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk
itu, sedangkan secara tertulis dilakukan dalam bentuk Surat Kuasa Khusus,
yang didalamnya berisi perihal sebagai berikut :
a. Judul surat kuasa;
b. Identitas pemberi dan penerima kuasa;
c. Ikrar atau pernyataan pemberian kuasa oleh pemberi kuasa kepada
penerima kuasa;
d. Urusan atau permasalahan yang dikuasakan;
e. Pemilihan domisili pemberi kuasa untuk urusan yang dikuasakan;
f. Waktu dan tempat pemberian kuasa;
g. Tanda tangan pemberi dan penerima kuasa;
h. Materai
ad. h. Materai
Karena surat kuasa dimaksudkan untuk bukti adanya suatu perbuatan hukum
persetujuan pemberi kuasa, maka ketentuan menurut Undang-undang tentang
Bea materai, supaya dapat diterima sebagai alat bukti maka surat kuasa
tersebut harus bermaterai cukup.
Sebagai suatu perjanjian maka surat kuasa akan berakhir atau menjadi hapus
karena beberapa sebab sebagaimana disebut didalam Undang-undang, yaitu
Pasal 1813-1819 KUH. Perdata.
Menurut ketentuan tersebut diatas surat kuasa berakhir karena :
a. Ditariknya kembali (dicabut) pemberian kuasa itu oleh pemberi kuasa.
b. Meninggalnya pemberi kuasa.
c. Ditaruhnya pemberi kuasa dibawah pengampuan.
d. Pailitnya pemberi atau penerima kuasa.
e. Perkawinan perempuan yang memberikan kuasa dengan penerima
kuasa.
Menurut Pasal 1795 KUH. Perdata, kuasa atau surat kuasa dapat diberikan
secara umum untuk semua urusan dari pemberi kuasa dan dapat pula diberikan
secara khusus untuk urusan-urusan tertentu saja. Oleh karena pemberian
kuasa adalah termasuk dalam perikatan yang timbul karena persetujuan atau
kesepakatan, maka pemberi kuasa tersebut merupakan perikatan terbuka.
Artinya pemberian kuasa itu dapat dilakukan dengan menyimpang dari
ketentuan Undang-undang tentang berakhirnya kuasa.
Sesuai dengan uraian tersebut diatas, maka surat kuasa ditinjau dari isinya
dapat dibedakan menjadi sebagai berikut :
Dari ketentuan Pasal 1796 ayat 1 dan 2 KUH. Perdata tersebut diatas, dapat
disimpulkan bahwa Surat Kuasa Umum itu hanya berlaku untuk masalah
pengurusan atau pengelolaan barang-barang milik pemberi kuasa saja.
Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang berupa
transaksi pemindah tanganan barang-barang atau pembebanan hipotik atas
barang-barang itu, melakukan perdamaian atau perbuatan-perbuatan lain yang
hanya dapat dilakukan oleh pemilik, penerima kuasa hanya dapat
melakukannya apabila hal-hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Surat
Kuasa.
Tujuan dari pemberian kuasa mutlak adalah untuk menjaga apabila sewaktu-
waktu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, maka pihak
pembeli dapat melakukan tindakan Hukum untuk menuntaskan jual beli
tersebut atas dasar Kuasa Mutlak yang dipegangnya. Jadi dengan surat kuasa
Mutlak tersebut pihak pembeli dapat mengurus pendaftaran (Konfersi) tanah
yang telah dibelinya untuk memperoleh sertipikat.
Dengan dibuatnya akte ikatan jual beli dan dilakukan pembayarannya secara
penuh, sebenarnya jual beli tersebut secara material sudah selesai, akan tetapi
secara formal belum selesai, sebab belum dapat dilakukan pembuatan Akte Jual
Beli oleh PPAT.
BAB IV
PEMERIKSAAN DISIDANG PENGADILAN
Sebelum tuntutan hak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri, terlebih dahulu
akan diseleksi di Kepaniteraan dengan diberi kode “P” untuk tuntutan hak yang
berupa permohonan, kode “G” untuk tuntutan hak yang berupa gugatan dan
kode “Plw” untuk yang berupa perlawanan. Jadi kode-kode untuk permohonan
hak yang diajukan ke Pengadilan Negeri adalah sebagai berikut :
a. Nomor : …./Pdt.P/20…./PN….., untuk perkara permohonan,
b. Nomor : …./Pdt.G/20…./PN….., untuk perkara gugatam,
c. Nomor : …./Pdt.Plw/20…./PN….., untuk perlawanan,
Selanjutnya Hakim atau Majelis Hakim yang telah di tunjuk oleh Ketua
Pengadilan untuk memeriksa perkara dalam persidangan, menetapkan hari
sidang dan memerintahkan Panitera Pengganti perkara tersebut membuat surat
panggilan (relaas panggilan) untuk menghadap sidang pada hari yang telah
ditentukan. Penyampaian Relaas panggilan kepada para pihak untuk
mendatangi sidang disampaikan oleh Jurusita.
Cara untuk melakukan pemanggilan kepada para pihak, diatur didalam Pasal
388,390 dan 391 HIR. Yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
Ayat 2 : tentang orang yang sudah mati, maka surat jurusita itu disampaikan
kepada ahli waris nya, jika ahli waris itu tidak diketahui, maka disampaikan
kepada kepala desa atau bek tempat tingal yang dikemudian dari orang yang
mati itu di Indonesia, maka kepala desa atau bek itu harus berbuat
sebagaimana teratur pada ayat diatas. Jika orang mati itu termasuk golongan
orang timur asing, maka surat jurusita itu diberitahukan dengan surat tercatat
kepada weekamer.
Meskipun Pasal 390 HIR menentukan bahwa kepala desa atau bek wajib
menyampaikan surat jurusita tersebut pada orang yang bersangkutan sendiri,
akan tetapi apabila ternyata kepala desa atau bek itu tidak juga melakukannya,
ternyata tidak ada sanksi terhadap kelalaian tersebut. Jadi terlepas dari kepala
desa atau bek menyampaikan atau tidak surat jurusita tersebut kepada yang
bersangkutan, asal surat tersebut sudah disampaikan kepada kepala desa atau
bek, maka menurut Hukum orang itu dianggap sudah dipanggil secara patut.
Dan apabila kepala desa atau bek benar-benar tidak menyampaikan surat
jurusita kepada yang bersangkutan, ternyata hal itu tidak dapat ditutut pidana.
Jadi menurut ketentuan Pasal 122 HIR tersebut, jarak panggilan diterima oleh
terpanggil dengan hari terpanggil harus menghadap, tidak boleh kurang dari 3
(tiga) hari kerja, yang berarti hari libur atau hari besar tidak ikut
diperhitungkan. Suatu panggilan yang sudah dilakukan secara sah tetapi tidak
dipenuhi oleh terpanggil tanpa alasan yang sah, dapat dikenakan sanksi yang
merugikan dirinya.
Dari ketentuan Pasal 130 HIR tersebut jelas bahwa usaha Hakim untuk
memperdamaikan kedua belah pihak adalah wajib sifatnya, dan hal itu menurut
Pasal 131 HIR harus disebutkan dalam Berita Acara Sidang.
Aksepsi Prosesual :
Adalah Aksepsi tentang tidak berkuasanya Hakim untuk memeriksa perkara baik
karena kewenangan relative maupun karena kewenangan absolut dari
pengadilan. Aksepsi Prosesual yang menyangkut wewenang relative dari
pengadilan, menurut Pasal 133 HIR tidak dapat diajukan setiap saat tetapi
hanya dapat diajukan pada permulaan sidang sevelum tergugat mengajukan
jawaban tentang pokok perkara baik secara lisan maupun tertulis.
Menurut Pasal 136 HIR, Aksepsi material tidak boleh dikemukakan dan
ditimbang satu-satu, tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama
dengan pokok perkara. Maksut dari pasal tersebut diatas untuk menghindarkan
kelambatan yang tidak perlu atau dibuat-buat, sehingga proses berjalan cepat
dan lancer.
Apabila dikehendaki, menurut Pasal 132a dan 132b HIR, maka tergugat
atau para tergugat bersama-sama jawapannya dapat atau boleh mengajukan
gugatan balasan atau balasan gugatan balik yang dinamakan gugatan
rekonpensi. Pengajuan gugatan rekonpensi tidak usah diajukan melalui Ketua
Pengadilan, akan tetapi cukup diajukan bersama-sama dengan jawabannya saja
dan juga tidak perlu membayar uang muka biaya perkara seperti pengajuan
gugatan biasa.
Didalam praktek selain kelima bukti tersebut diatas masih dikenal lagi alat bukti
yang dinamakan “pengetahuan hakim” yaitu keadaan yang diketahui sendiri
oleh hakim didalam persidangan, misalnya hakim melihat sendiri adanya
kerusakan barang-barang pada waktu hakim melakukan Plaatselijk
Onderzoak (pemeriksaan di tempat).
Dalam proses perkara Perdata, bukti tulisan merupakan bukti penting dan
utama, menurut Hukum Acara Perdata surat dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. Surat biasa.
Adalah surat yang dibuat tidak ddngan maksud untuk sebagai alat bukti, tetapi
dibuat untuk mencurahkan pikiran dan perasaan saja. Contoh : surat keluarga,
surat cinta, surat korespondensi dan lain-lain.