Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saipul Jamil pada tanggal 3 September 2011 mengalami musibah kecelakaan lalu lintas
pada ruas jalan Tol Cipularang KM 96.400 yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Purwakarta, Jawa Barat, di mana dalam musibah kecelakaan lalu lintas tersebut Isterinya yang
bernama Virginia Anggraini meninggal dunia. Hal ini, menimbulkan luka batin dan penderitaan
mental baginya .

Pada tanggal 5 April 2012, Kejaksaan Negeri Purwakarta justru mendakwa Saipul jamil
melalui Surat Dakwaannya Nomor REG PDM– 90/PRWAK/04/2012, yang pada intinya
Pemohon didakwa dengan Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025)

Kemudian saipul jamil beserta kuasa hukumnya mengajukan permohonan dengan surat
permohonan bertanggal 28 Mei 2012, yang diterima oleh kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
(Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 4 Juni 2012, berdasarkan Akta Penerimaan Berkas
Permohonan Nomor 201/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
dengan Nomor 57/PUU-X/2012 pada tanggal 11 Juni 2012, yang telah diperbaiki dan diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5 Juli 2012, yang pada pokoknya menguraikan hal yang
diatur dalam Pasal 24C ayat (1a) Perubahan Ketiga UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi, menyatakan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

Adapun Undang-Undang yang hendak dimohonkan oleh pihak pemohon (saipul jamil)
berupa pengujian atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5025) in casu Pasal 310. Oleh karenanya Mahkamah
Konstitusi berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara a quo.

Dan sesuai dengan surat putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 57/PUU-
X/2012 Hakim yang mengadili kasus permohonan banding yang diajukan oleh saipul jamil menolak
permohonan banding tersebut karena alas an yang diajukan pemohon (Saipul Jamil) tidak Berdasarkan
Hukum .

B. Rumusan Masalah
1. Aliran dan paradigma apa yang digunakan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
permohonan banding dalam kasus Saipul Jamil?
2. Hal-hal apa saja yang menjadikan dasar putusan Hakim Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan banding Saipul Jamil ?
3. Pada Paradigma manakah posisi penulis dalam menganggapi kasus ini ?
BAB II

PEMBAHASAN

1. Aliran dan paradigma yang digunakan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus
permohonan peninjauan kembali dalam kasus Saipul Jamil .

Paradigma yang digunakan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus permohonan


peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) in casu Pasal 310 dalam kasus Saipul Jamil
adalah paradigma positivisme dan aliran yang digunakan adalah Legal Postivisme. Hukum
dimaknai sebagai law as what it is written in the book, yakni kaidah-kaidah positif yang berlaku
umum in abstracto di suatu waktu / tempat tertentu. Bisa dikatakan, aliran ini memahami atau
memaknai hukum sebagai Ius Constitutum, yaitu ‘hukum yang ada dan berlaku’. Bagi aliran ini,
hukum terbit sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi.
Dalam hal ini, hukum utamanya terwujud sebagai perintah-perintah eksplisit yang secara positif
telah terumus jelas guna menjamin kepastiannya, seperti misalnya peraturan perundang-undangan
yang berlaku secara nasional di suatu Negara. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa operasi aliran-
aliran tersebut didasarkan utamanya pada norma positif legeslatif dari ranah normatif positif. 1

Jadi, dalam aliran Legal Positivism hukum dipandang sebagai perundang-undangan yang
tertulis. Hukum dipahami secara seragam atau bebas konteks. Siapa saja yang berbuat salah dapat
dipidana, tidak memandang siapa yang melakukan hal tersebut, entah dia kaya, miskin, tua, muda
semua dapat dipidana jika memang terbukti bersalah dan diputus oleh pengadilan (asas equality
before the law). Hal ini dimaksudkan supaya penegak hukum dapat memandang suatu hal atau
perkara secara sempurna dan jelas. Selama unsur-unsur yang ada dalam perbuatan tersebut

1
H. McCoubrey dan N.D. White, Textbook on Jurisprudence, London : Blackstone Press Limited, 1993.
memenuhi unsure yang ada maka dapat dipidana. Aliran Legal positivism ini termasuk ke dalam
ranah normatif-positif (norma positif legislatif).

Ciri yang lain dari paradigma positivism ialah tujuan invetigasinya eksplanasi, yakni prediksi
dan control terhadap fenomena, criteria progress, prediksi dan control yang semakin baik. Sifat dan
makna kandungan pengetahuannya hipotesa yang telah diverifikasi dan diterima sebagai fakta atau
hukum. Akumulasi pengetahuannya, akresi (tumbuh bertahap), setiap fakta (termasuk yang
mungkin) adalah building block bag ‘bangunan pengetahuan’ yang terus tumbuh, generalisasi dan
hubungan sebab-akibat untuk prediksi dan control. Kriteria kualitasnya, betandas pada ontology
realism validitas internal (isomorphism antara temuan dengaan kenyataan), validitas eksternal
(generalizability), reliability (dalam arti stabilitas), dan objektivitas (penganut/pemegang pada
posisi netral dan berjarak terhadap yang di-observasilon-investigasi).

Dalam Amar putusan perkara permohonan peninjauan yang diajukan oleh Saipul Jamil Hakim
menyatakan menolak dengan alasan Bahwa alasan pemohon (Saipul Jamil) ini dinilai Tidak
berdasarkan hukum berdasarkan semua bukti yang telah diajukan pemohon (Saipul Jamil) .

Di dalam hukum dikenal suatu asas yang berbunyi Sumum ius suma iniuria (keadilan yang
tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi). Maksudnya, hukum itu seperti pedang bermata dua,
dari sisi pelaku apabila pelaku dibebaskan maka hal tersebut merupakan hukum yang tertinggi
baginya, sebaliknya dari sisi korban pembebasan pelaku tadi menjadi ketidakadilan baginya,
karena itu, keadilan bagi pelaku belum tentu merupakan keadilan bagi korban kejahatan. 2

Tugas penegak hukum (Hakim) adalah menjembatani antara keadilan pelaku dan keadilan
bagi korban. Keseimbangan keadilan antara pelaku dan korban, akan menjadi titik temu sebagai
keadilan yang sesungguhnya dengan catatan semuanya itu melalui proses yang benar dan tanpa
adanya rekayasa, sebab rekayasa yang salah serta prosedur yang tidak benar juga merupakan
ketidakadilan. 3
2
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, Cet ke2, Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006, hal.24
3
Darji Darmodiharjo, dan ShidartaPokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
2.Hal-hal mendasari putusan Hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan
peninjauan kembali yang diajukan oleh Saipul Jamil .
Bahwa pokok permohonan yang diajukan Pemohon (Saipul Jamil) adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 310 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025, selanjutnya disebut UU 22/2009) terhadap
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);

Pemohon (Saipul jamil) memberikan alasan – alas dalam permohonannya yang pada
pokoknya sebagai berikut:

1. Bahwa pada tanggal 3 September 2011 mengalami musibah kecelakaan lalu lintas pada
ruas Jalan Tol Cipularang KM 96.400 yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri
Purwakarta, Jawa Barat, dimana dalam musibah kecelakaan lalu lintas tersebut istri Pemohon yang
bernama Virginia Anggraini meninggal dunia;

2. Bahwa pada tanggal 5 April 2012, Kejaksaan Negeri Purwakarta mendakwa Pemohon
melalui Surat Dakwaannya Nomor REG: PDM– 90/PRWAK/04/2012, yang pada intinya Pemohon
didakwa dengan Pasal 310 UU 22/2009;

3. Bahwa Pasal 310 UU 22/2009 tidak memberikan penjelasan secara khusus mengenai frasa
“kelalaiannya” dan “orang lain” sehingga tidak memberikan kepastian hukum, terdapat potensi
ketidakadilan terhadap diri Pemohon yang bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang a quo sehingga merugikan Pemohon in casu
melanggar Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945;

4. Bahwa Pasal 310 UU 22/2009 sepanjang frasa “kelalaiannya” dan “orang lain” sudah diatur
dalam Pasal 359 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang pada intinya mengatur

Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cet, VI Mei 2006, hal. 154
tentang kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Bahwa dalam Pasal 310 UU
22/2009 juga mengatur rumusan perbuatan dan akibat yang sama tetapi ancaman hukumannya
lebih berat yaitu 6 (enam) tahun penjara, sehingga dapat dikatakan Pasal 310 UU 22/2009
merupakan aturan yang lebih khusus (lex specialis) dari Pasal 359 KUHP sebagai aturan yang
lebih umum (lex generalis);

5. Bahwa kalaulah ada aturan yang lebih khusus (lex specialis) in casu Pasal 310 UU 22/2009,
menurut hemat Pemohon haruslah ada kondisi yang lebih khusus lagi dalam hal yang bagaimana
frasa “kelalaiannya” tersebut didefinisikan dalam Pasal 310 UU 22/2009. Oleh karenanya
Pemohon dalam permohonannya memohon agar frasa “kelalaiannya” didefinisikan lebih khusus
lagi, misalnya, yang dimaksud dengan “kelalaiannya” adalah “dalam hal keadaan seseorang yang
mengkonsumsi zat-zat adiktif, minuman beralkohol, narkotika (baik berupa tanaman maupun
bukan tanaman) yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya kesadaran dan melakukan
aktivitas-aktivitas yang tidak wajar dalam berkendara”;

6. Bahwa sebagai akibat tidak adanya penafsiran dalam Pasal 310 UU 22/2009, sepanjang frasa
“kelalaiannya” dan “orang lain” maka pasal tersebut dapat menimbulkan kerugian ketidakpastian
hukum dan dapat melanggar hak konstitusional Pemohon.

7. Bahwa Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan,


“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan definisi tersebut, menurut Pemohon, suami istri
merupakan suatu kesatuan hukum yang didasarkan pada ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita.

Oleh Karena itu Hakim Mahkamah Konstitusi Bdalam menanggapi permohonan yang
diajukan oleh pemohon (Saipul Jamil) Menimbang bahwa Pemohon didakwa dengan Pasal 310
UU 22/2009 oleh Kejaksaan Negeri Purwakarta karena kecelakaan lalu lintas pada ruas Jalan Tol
Cipularang KM. 96.400 yang berada di wilayah hukum Pengadilan Negeri Purwakarta, Jawa
Barat, yang dalam kecelakaan lalu lintas tersebut istri Pemohon yang bernama Virginia
Anggraini meninggal dunia. Menurut Pemohon, frasa “kelalaiannya” dalam Pasal 310 UU
22/2009 dapat mengakibatkan penafsiran hukum yang luas yang dilakukan oleh Majelis Hakim,
Jaksa Penuntut Umum, dan para saksi ahli secara subjektif. Hal demikian menurut Pemohon
dapat merugikan Pemohon, karena tidak ada kepastian hukum mengenai pengertian frasa
“kelalaiannya” karena tidak didefinisikan secara pasti dalam keadaan seperti apa dan bagaimana
perbuatan “lalai” tersebut, misalnya akibat mengkonsumsi zat adiktif, minuman beralkohol, atau
narkotika, Pemohon mengalami keadaan tertentu yang menyebabkan tidak sepenuhnya dapat
mengemudikan kendaraan dengan baik. Pemohon juga mengajukan permohonan agar frasa
“orang lain” diberi penafsiran “tidak termasuk suami atau istri atau anggota keluarga yang sama-
sama menjadi korban dalam suatu peristiwa kecelakaan lalu lintas”;

Menimbang bahwa Pasal 310 UU 22/2009 merupakan pasal yang berlaku bagi setiap
warga negara Indonesia (WNI), dengan demikian pasal a quo justru memberikan jaminan dan
perlindungan bagi siapapun yang menjadi korban kelalaian seseorang, termasuk suami, istri,
anak, ataupun anggota keluarga. Dalam hal ini yang dimaksud dengan orang lain adalah orang
yang bukan dirinya sendiri. Adapun mengenai konsep bahwa istri, suami, atau anggota keluarga
yang lain adalah satu kesatuan keluarga yang bukan orang lain berdasarkan Pasal 1

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah tidak relevan untuk
dipertentangkan dengan pasal a quo;

Menimbang bahwa terkait dengan hak konstitusional yang dirujuk dari Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945, menurut Mahkamah, ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 tersebut tidak
melarang negara melalui undang-undang menjatuhkan pidana terhadap orang yang nyata-nyata
lalai. Dengan demikian adanya ancaman pidana terhadap orang yang lalai sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 310 UU 22/2009 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945;

Sehingga Hakim Mahkamah Konstitusi Berkonklusi ;

1. Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;


2. Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan
3. Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hokum
3. Posisi penulis dalam menanggapi kasus ini

Penulis dalam Menanggapi masalah ini menggunakan Paradigma Postpositivisme dimana


melihat hukum sebagai law as it is made by the judge in the court of law. Dengan kata lain, hukum
dimengerti sebagai judge-made law. Paradigma ini juga memaknai hukum sebagai ius
Constitutum, yaitu ‘hukum yang ada dan berlaku’ sama seperti paradigm positivism, khususnya
aliran legal positivism. Namun, bedanya paradigma postpositivisme ini tidak bebas konteks, Jadi,
dalam memutus perkara seorang Hakim selain berdasar pada peraturan perundang-undangan yang
ada juga bercampur dengan sikap batinnya (moral di satu sisi dan hukum di sisi yang lain). Dalam
arti, hakim melakukan diskresinya sebagai seorang hakim pada peraturan tersebut, namun dengan
masih tetap terpaku pada undang-undang yang ada. Ketika Hakim akan memutus, hakim mencoba
memasukkan hal-hal yang meringankan terdakwa, seperti terdakwa mengaku dan menyesali
perbuatan yang dilakukannya

Dapat diketahui bahwa ontology dari paradigma postpostivisme ialah realism kritis. Hukum
menurut kelompok aliran ini merupakan realitas eksternal yang bersifat objektif dan real, serta
yang hanya dapat dipahami secara tidak sempurna. Epistimologi paradigm ini sebenarnya
merupakan modifikasi sehingga masih belum terlalu jauh beringsut dari epistimologi paradigma
postpositivisme seperti disebutkan di atas yang adalah dualis dan objektivitas itu. Namun dalam
kasus kelompok aliran ini, objektivitas utamanya eksternal objektivitas menjadi criteria penentu
sebuah hukum, sedangkan dualism antara hukum dan manusia semakin surut perannya.4

Fakta hukum bagi kelompok aliran ini adalah bukan hipotesa yang telah diverifikasi,
melainkan hipotesa yang tidak lagi dapat difalsifikasi. Baru kemudian, setelah digeneralisasi, fakta
hukum ini menjadi bagian dari pengetahuan hukum. Oleh karena setiap fakta hukum dapat
diibaratkan layaknya building block bagi bangunan pengetahuan hukum, maka seiring dengan

4
Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, SH, Citra Aditya Bakti, Cet II, 1999, Hal. 178
semakin terkumpulnya fakta hukum, pengetahuan hukum pun selanjutnya tumbuh secara bertahap
(akresi)

Oleh karena itu, seharusnya hakim dalam kasus permohonan peninjauan kembali yang
dilakukan oleh Saipul Jamil ini memutus perkara berdasar paradigma postpositivisme, yakni
melihat keseluruhan kasus tanpa mengabaikan seluruh fakta yang ada. Dengan paradigma
postpositivisme, hakim dapat memutus perkara tidak sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Karena disini hakim memiliki diskresi sebagai seorang hakim dengan tidak hanya melihat hukum
sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi hukum tertulis yang sudah
diberlakukan di masyarakat .

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Memperhatikan kasus diatas , Keputusan Hakim Mahkamah Kosntitusi dalam menolak
pengajuan peninjauan kembali permohonan peninjauan kembali terhadap Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025) in casu
Pasal 310 yang dilakukan pemohon (Saipul Jamil) telah dipertimbngkan berdasarkan semua bukti
yang ada dalam surat permohonan yang diajukan oleh pihak Saipul Jamil .

Dalam mennggapi alasan – alasan yang diajukan oleh pihak pemohon (Saipul Jamil) hakim
secara jelas menerangkan bahwa ketentuan – ketentuan yang tertulis dalam Pasal 310 Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5025, selanjutnya disebut UU 22/2009) terhadap Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945) sudah sangat jelas dan bahkan disertai konklusi bahwa permohonan yang diajukan pemohon
tidak beralasan menurut hokum .

B. Saran
Hakim sebagai pemutus suatu perkara dalam menanggapi kasus – kasus semacam ini lebih
memperhatikan keseluruhan kasus tanpa mengabaikan seluruh fakta yang ada. Dengan paradigma
postpositivisme, hakim dapat memutus perkara tidak sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum.
Karena disini hakim memiliki diskresi sebagai seorang hakim dengan tidak hanya melihat hukum
sebagai peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi hukum tertulis yang sudah
diberlakukan di masyarakat , sehingga dalam memperikan putusan hakim hendaknya
memperimbangkan posisi terdakwa dalam tiap kasus kecelakaan yang yang memakan korban
keluarga dan menjadikan salah satu korban selamatnya sebagai terdakwa , apakah jika divonis
penjara/kurungan/denda cukup adil bagi korban yang sekaligus terdakwa ataukan dengan
memberikan putusan lain yang lebih bijak dan adil untuk korban yang sekaligus menjadi
terdakwanya .

Selain itu Pihak Polisi dalam menanggapi kasus – kasus kecelakaan semacam ini seharus juga
menggunakan paradigma Postpositivisme , sehingga sebelum meneruskan suatu perkara ke pihak
kejaksaan , pihak kepolisian harus mempertimbangkan segala sesuatunya dengan memperhatikan
keseluruhan kasus tanpa mengabaikan seluruh fakta yang ada , Apakah jika suatu kasus ini
dilanjutkan maka akan memberikan keadilan bagi si korbannya , disisi lain jika halnya kasus
semacam ini memang dilanjutkan apakah korban lain (anak – anak / Kerabat) yang ditinggalkan
terdakwa dapat terjamin hidupnya , karena hamper seluruh bagian keluarganya menjadi korban /
tersangka dalam kasus semacam ini .

DAFTAR PUSTAKA
 Surat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 57/PUU-X/2012

 H. McCoubrey dan N.D. White, Textbook on Jurisprudence, London : Blackstone Press


Limited, 1993
 Surat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 57/PUU-X/2012

 Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006

 Darmodiharjo, dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat
Hukum Indonesia), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, cetakan keenam, Mei 2006
 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, cetakan keenam belas, 2003
 Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, alih bahasa Arief sidharta, Citra Aditya bakti,
cetakan kedua, 1999

KARYA ILMIAH FILSAFAT HUKUM


“SURAT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR
57/PUU-X/2012
TENTANG PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP UNDANG-UNDANG
NOMOR 22 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN
(LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 96, TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5025) IN CASU PASAL 310

YANG DIAJUKAN OLEH SAIPUL JAMIL”

Oleh :
OKKI SAPUTRA
110.10.110.141217

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
2013

Anda mungkin juga menyukai