KUALIFIKASI
Pengertian Kualifikasi
Kualifikasi adalah tindakan yang praktis selalu diterapkan. Hal ini kiranya merupakan
hal yang memang seharusnya dilakukan, karena untuk menata sekumpulan fakta yang
dihadapi, mendefinisikannya dan menempatkannya ke dalam suatu kategori hukum tertentu.
Di dalam hukum internasional,kualifikasi merupakan sebuah proses berfikir yang logis guna
menempatkan konsepsi asas-asas dan kaidah-kaidah hukum ke dalam sistem hukum yang
berlaku. Di dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi lebih penting lagi, karena di sini
kita diharuskan memilih salah satu sistem hukum tertentu.
1
Dengan demikian, proses kualifikasi di dalam HPI mencakup langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam suatu perkara ke dalam kategori yang ada;
2. Kualifikasi sekumpulan fakta itu ke dalam kaidah-kaidah atau ketentuan tertentu
yang seharusnya berlaku (lex causae).
Teori Kualifikasi
Menurut Sudargo Gautama secara garis besar terdapat tiga macam teori kualifiakasi,
yaitu:
1. Kualifikasi menurut Lex Fori
Menurut teori yang ditokohi franz Khan (Jerman) dan Bartin (Perancis) ini,
kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil pihak hakim yang mengadili
perkara yang bersangkutan (lex fori), pengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI
harus dikualifikasikan menurut sistem hukum negara sang hakim sendiri. Para
penganut teori Lex Fori umumnya sependapat, bahwa terhadap beberapa kualifikasi
yang disebut bahwa ini dikecualikan dari kualifikasi yang disebut di bawah ini
dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu:
a. Kewarganegaraan
b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
c. Suatu kontrak yang ada pilhan hukumnya
d. Konvensi-konvensi internasional (bila negara yang bersangkutan turut serta
dalam hal tersebut)
e. Perbuatan melawan hokum
f. Pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah-mahkamah internasional.
Sisi positif teori ini adalah kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal hakim,
perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Akan tetapi juga memiliki
kelemahan, di mana dapat menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan
menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang
seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan ukuran yang tidak sama sekali
dikenaloleh sistem hukum asing tersebut.
2
Contoh Kasus:
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap
belum dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci
celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur
oleh hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan
menurut hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus
diatur menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap
syah, tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex
fori, sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.
II. Perkara Apt Vs Apt (1947)
- Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah
menikah dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan
mempunyai domisili di Argentina);
- Pengadilan Inggris harus menentukan apakah cara perkawinan ini merupakan syarat
formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini merupakan syarat formil, maka perkawinan
yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah
sah. Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu
dianggap tidak sah.
- Pengadilan Inggris mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka
perkawinan ini dianggap sah.
Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari titik-titik
taut yang menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris titik-titik taut ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah
menurut hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu
meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan
3
pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat
terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya)
4
3. Kualifikasi Otonom
Kualifiaksi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum
untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi
yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu,
artinya dalam HPI seharusnya ada. Teori ini memang ideal sekali, tetapi di dalam
praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena :
a. Menemukan dan menetapkan pengertian hukum yang dapat dianggap
sebagai pengertian yang berlaku umum adalah pekerjaan yang sulit
dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak mungkin. Dalam
penerapannya, susah untuk bersifat general.
b. Hakim yang akan menggunakan kualifiaksi yang demikian ini haruslah
mengenal semua sistem hukum di dunia, agar ia dapat menemukan
konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
Dalam hal ini dapat dikualifikasikan dalam teori bertahap atau primer dan sekunder.
Contoh Kasus :
- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris,
tanpa dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku
(tempat tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang
merupakan benda bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables)
menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili
Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss
terhadap benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah
Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut)
5
BAB 2
KETERTIBAN UMUM
Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi Hukum
nasional sang Hakim.
Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.
Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai ultimum remedium karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as
a sword sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).
6
Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :
I. Konsep Romawi:
Lembaga Ketertiban Umum selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum sang
Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);
III. Konsep Anglo Saxon atau yang disebut Public Policy maksudnya adalah bahwa Hakim
pengadilan berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila
pihak Executif mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka
Yudikatif tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan
dari Negara tersebut.
7
Contoh: Princess Palay Olga Cases:
- Princess Palay Olga (PPO) adalah puteri keturunan bangsa Rusia yang lari ke Inggris ketika
terjadi revolusi di Rusia, dan menetap di Rusia;
- Beberapa tahun kemudian ia melihat ada lukisannya dan keluarganya pada keluarga WN
Inggris, ternyata mereka telah membeli lukisan tersebut pada Pemerintah Rusia;
- Ia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris bahwa lukisan tersebut dijual tanpa
pemberian ganti rugi;
- Menurut hukum Inggris tidak boleh ada pencabutan hak milik tanpa ada ganti rugi, Namun
Hakim Inggris menyatakan tidak kompeten / berwenang mengadili perkara ini;
- Bahwa pencabutan hak milik tanpa ganti rugi yang dilakukan RUSIA tidak melanggar
ketertiban umum, bila Negara yang melakukan perbuatan tersebut adalah Negara yang
diakui secara resmi oleh Inggris sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat (Act of State
doctrine);
- Pada saat itu Inggris sudah mengakui RUSSIA sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
8
II. Ketertiban Umum International / Extern
Kaedah-kaedah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara pada
umumnya, kepentingan rakyat secara umum. Kaedah -kaedah yang membatasi kekuatan extra
territorial dari kaedah
asing.
Pembatasan/ Relatifitas ketertiban Umum
I. Faktor Waktu : - De Ferrari Case
Ketertiban umum di suatu waktu berbeda dengan ketertiban umum di waktu lainnya.
Contoh: perceraian -> disuatu Negara yang dahulu tidak diperbo-
lehkan, sekarang menjdi bisa(pisahranjang perceraian)
Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum,
tergantung pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan
termasuk ketertiban umum atau tidak.
BAB 3
PENYELUNDUPAN HUKUM
Penyelundupan hukum adalah kaidah-kaidah hukum asing yang terkadang
dikesemaping kan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan atau
tujuan tertentu. Ketertiban hukum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan erat,
keduanya bertujuan agar hukum nasional dipakai dengan mengesampingkan hukum asing.
Hukum asing dianggap tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.
Keduanya hendap mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah kaidah hukum asing.
Perbedaan antara Ketertiban hukum dan Penyelundupan Hukum adalah
9
Ketertiban hukum : suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku
Penyelundupan hukum : hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu
peristiwa tertentu saja ,karena pada saat ini untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah
melakukan suatu tindakan yang bersifdat menghindarkan pemakaian hukum nasinal tersebut.
Jadi hukum asing yang dikesampingkan karena penyelundupan hukum akan mengakibatkan
bahwa untuk hal hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Hanya dalam
hal hal khusus kaidah asing tidak dipergunakan karena hal ini telah dimungkinkan oleh
suatu cara yang tidak dibenarkan.
Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.
10
Percreaian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal cerai,
hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan anggota jemaat
protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay tidur bias diubah
menjadi perceraian;
Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan
tempat tidur;
- pergi ke Negara Baltik, Eslandia naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.
Kasus Mr. I. Tj.
- Mr. I Tj. Pengacara WNI (Islam) menikah dengan Ny. JMR (WN Belanda) masuk
Islam
- Ny. JMR ke labuan Bilik batu mengucapkan ikrar murtad di depan Raad Agama
Kerapatan Besar negeri Panei, Raad Agama memutuskan jika sudah murtad tunggu 3
x suci, jika masih murtad talak jatuh pada tanggal nikahnya.
- Ternyata JMR menikah lagi di Surabaya dengan WN Belanda.
- Alasan murtad dapat dijadikan alasan perceraian, penyeludupan hukum yang
dilakukan JMR berhasil.
Sifat penyeludupan Hukum
Menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya atas hubungan non hukum tertentu
diperlakukan hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan. Tujuan
penyeludupan hukum adalah untuk dapat mmenghindarkan suatu akibat hukum yang tidak
dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki. VESTERS
DUBINK merupakan Penyeludupan hukum yang terjadi apabila seorang berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi melawan jjiwa dan
tujuannya, secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk
menghindarkan berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.
11
Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:
o setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
o Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum
o mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.
BAB 4
PILIHAN HUKUM
Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk menentukan
hukum yang akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya
- penemu Pilihan Hukum DUMOULIN (Perancis).
BAB 5
HAK HAK YANG TELAH DIPEROLEH
Istilah hak-hak yang diperoleh sering disebut dengan right and obligations created
abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan
kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori.
Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah Vested rights ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh
mana perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya
kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.
Hubungan antara ketertiban Umum dengan hubungan hak-hak yang diperoleh :
1. Hukum asing yang seharusnya berlaku menjadi tidak berlaku
2. Hukum asing dikesampingkan
3. Penggunaan yang terlalu sering akan menyebabkan pergaulan internasional
menjadi terhambat (karena penggunaan hokum sendiri)
4. Asas ketertiban umum menyangkut berbagai hal ; tidak hanya menyangkut
soal milik dan status
5. Asas ketertiban umum bertitik tolak pada paham, bukan kepentingan nasional
6. Diadakan demi kepastian hokum dalam masyarakat sendiri
7. Ketertiban umum sama sekali menyampingkan kwalifikasi
8. Orang lebih condong memperlakukan asas ketertiban umum, jika soalnya
menyangkut kepentingan sendiri
9. Ketertiban umum sering merupakan penyampingan dari hak-hak yang
diperoleh
14
Contoh kasus :
Seorang arab yang beragama Islam dan berada di negara Arab mempunyai dua istri
yang dikawinkan secara sah, kemudian dengan disertai kedua istrinya, ia pergi ke Perancis .
disana ia mendapatkan dua anak dari kedua istrinya. Bagaimana status dari anak dan istri-
istrinya. Kaidah yang berlaku dalam negara tersebut adalah nasionalitas , karena hukum
Arablah yangberlaku. Menurut hukum perdata arab diperbolehkan berpoligami sampai 4
isteri. Tetapi diperancis berlaku asas Monogami yang dianggap sebagai bidang ketertiban
hukum internasional. Konsekuensi pemakaian prinsip ketertiban hukum ialah kaidah kaidah
Perancis tentang monogami yang harus diberlakukan. Jika demikian perkainan kedua
dianggap tidak sah dengan segala akibatnya dan dianggap keterlaluan. Hal ini karena
perkawinan berlangsung di Arab pada suatu waktu yang perkawinan itu dianggap sah.
Maka sekarang ini sebagai kekecualian dari kekecualian oleh pelaksanaan hukum
diperancis, perkawinan kedia itu pun akan diagap sah juga dengan akibat anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan kedua itu sah dan dapat dimasukan dalam daftar Kantor catatan
sipil. Ini adalah pengakuan dari prinsip Hak hak yang diperoleh.
BAB 6
PERSOALAN PENDAHULUAN
Persoalan Pendahuluan (incidental question) dalam HPI adalah suatu persoalan /
masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum putusan
terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.
15
Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan pendahuluan
(incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:
- Main issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang bedasarkan
kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
- Dalam perkara yang sama harus terdapat subsidiary issue yang mengandung unsure asing,
yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui
penggunaan kaedah HPI lain secara independent;
- Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae dari
main issue yang digunakan
Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question
dapat memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak
terlalu strict /kaku. Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus Pewarisan
atas benda bergerak adalah sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia
berkedudukan tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara
asing membuat terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk anak
sahnya, padahal lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan
apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah. Dengan tidak dipenuhi kriterianya,
maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan menggunakan methode penyelesaian dalam
incidental question.
Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:
1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui
penerapan kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga
untuk menjawab persoalan pendahuluan. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok
ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae
yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.
16
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah
pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya
terlebih dahulu. Dengan mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim akan melakukan
kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang relevan khusus untuk
menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.
Contoh-contoh Kasus
Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan
alas hak sebagai pasangan yang masih hidup dari suami istri yang telah menikah dengan
sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum
New York. Gugatan sang anak inilah menjadi masalah pokok (main question) dalam kasus
ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka
harus memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan
hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah
incidental question yang harus diputuskan sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.
Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya batal
demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan
keabsahannya perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain,
karena itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum tempat peresmian
perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang
dianggap sah berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah pula
berdasarkan hukum Negara;
18
Proses Pemeriksaan Perkara
Langkah berpikir dan pertimbangan hakim New york:
a. Hakim NY pertama menunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
lex loci celebrationis untuk menentukan keabsahan pperkawinan Sam & Fannie May karena
hukum intern NY sendiri tidak jelas mengenai hal itu;
b. Perkawinan Sam dan Fannie Mayadalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan
perkawinan itu diakui sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie
May (incidental question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam & Fanie dianggap sah, maka berdasarkan hukum NY (hukum
main question) dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan yang
masih hidup untuk menguasai dan mengurus kekayan dari pasangan yang telah meninggal
terlebjh dahulu;
e. Sam may berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam
kedudukannya sebagai suami yang sah.
Jadi dalam perkara ini hakim NY telah melakukan Repartition, dengan menundukkan
persoalan pendahuluannya (sah/tdknya perkawinan) pada sistim hukum yang berbeda (hukum
Rhode island) dari sistim hukum yang digunakan untuk menjawab masalah pokoknya
(hukum NY).
Fakta hukum:
- Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum wanita untuk menikah kembali tunduk pada hukum
19
tempat domisili wanita itu;
- Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidaknya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana perceraian dilaksanakan;
- Kaidah HPI Infggris lain: sah tidaknya suatu perkawinan harus ditetapkan hukum dari
tempat perkawinan dilaksanakan;
- Kaidah Hukum intern Brazil: perceraian atas sebuah perkawinan yg dilakukan di Brazil,
yang dilakukan di luar negeri, tidak memilikimkekuatan berlaku di Brazil;
DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti pemecahan atau pemilahan.
Pembahasan mengenai Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan
kemungkinan yang mirip dengan situasi incidental question meski tidak sepenuhnya sama.
Defecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang
mungkin terbit di dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada system-sistem hukum
yang berbeda.
20
Sebagai contoh:
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan di
Singapura. Jika perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia, secara
umum orang mengatakan bahwa perkara tunduk pada system hukum dari tempat pembuatan
testament. Akan tetapi jika memilah-milah perkara ini dalam sub-subpersoalan, misalnya
subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat
testament
kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan memilah dan memilih inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi
pertanyaan dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan seperti
itu.
Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH)
yang dilakukan di NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New
York.
Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH
(masalah substansi), maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti, namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas jumlah
tertentu atau tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan
diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai lex fori.
HPI Traditional (eropa) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah
hubungan hukum seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting
approach), namun dalam keadaan tertentu DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai
kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang
berbeda;
- para pihak sepakat untuk memecah sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu dan
menundukkan masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki kaitan
nyata yang lebih besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan
pilihan hukum para pihak / berdasar kaidah HPI.
Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI
menetapkan aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah
hubungan/peristiwa hukum (rule selecting approach), menganggap DEPECAGE sebagai
sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus dilakukan atas dasar analisis kasus
perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu kasus harus tunduk
pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk kasus lain
yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.
BAB 7
ASAS TIMBAL BALIK
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan pencerminan dari asas persamaan hak,
persamaan penilaian, dan persamaan perlakuan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan mengesampingkan berlakunya hukum
asing yang menurut norma HPI si hakim sendiri seharusnya dipergunakan. Di
kesampingkannya hukum asing tersebut, adalah akibat sikap Negara asing yang
mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang seharusnya dipergunakan.
22
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh dilakukan karena hal tersebut
merupakan keharusan. Asas ini boleh dilakukan kalau sikap Negara asing tersebut sangat
merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang hakim dapat bersifat melanggar
hukum maupun tidak melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua macam, yaitu timbal balik formal dan
material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing di suatu Negara sendiri mendapat
perlakuan yang sama dengan warganegara sendiri apabila di Negara orang asing tersebut,
warga Negara sendiri diperlakukan sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan yang
menentukan hak-hak yang diberikan kepada orang asing dalam suatu Negara, sama dengan
hak-hak yang diperoleh warganegaranya Negara yang bersangkutan. Ini merupakan tindak
lanjut dari kebijaksanaan suatu Negara yang berupa national treatment.
BAB 8
PENYESUAIAN
Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu pengertian hukum asing ke dalam
pengertian hukum//terminology hukum sendiri. Penyesuaian itu meliputi (transposition,
substitution, adaptation, dan berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer) dari hubungan-hubungan hukum,
perbuatan-perbuatan hukum atau pernyataan kehendak menurut suatu sistem hukum tertentu
ke dalam pengertian-pengertian hukum lain.
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri (intern) digantikan dengan pengertian
hukum asing yang sama nilainya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan mengkombinasikan pengertian-
pengertian hukum yang saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan suatu ketentuan atau peraturan.
BAB 9
PEMAKAIAN HUKUM ASING
23
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya hukum asing yang tertulis
(perundang-undangan) saja, melainkan juga hukum tidak tertulis, yaitu hukum (kebiasaan,
yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para ahli hukum) dari Negara yang bersangkutan.
24
DAFTAR PUSTAKA
25