Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

KUALIFIKASI

Pengertian Kualifikasi
Kualifikasi adalah tindakan yang praktis selalu diterapkan. Hal ini kiranya merupakan
hal yang memang seharusnya dilakukan, karena untuk menata sekumpulan fakta yang
dihadapi, mendefinisikannya dan menempatkannya ke dalam suatu kategori hukum tertentu.
Di dalam hukum internasional,kualifikasi merupakan sebuah proses berfikir yang logis guna
menempatkan konsepsi asas-asas dan kaidah-kaidah hukum ke dalam sistem hukum yang
berlaku. Di dalam Hukum Perdata Internasional, kualifikasi lebih penting lagi, karena di sini
kita diharuskan memilih salah satu sistem hukum tertentu.

Macam-Macam kualifikasi di dalam HPI


Seperti halnya hukum perdata internasional lainnya, di dalam Hukum Perdata
Internasional juga diperlukan kualifikasi. Fakta-fakta harus berada di bawah kategori hukum
tertentu (subsumption of facts under categories of laws). Fakta-fakta diklasifikasikan, di
masukkan dan di kategorikan ke dalam kelas-kelas pengerian hukum yang ada,dengan kata
lain fakta-fakta di karakteristikkan.Didalam Hukum Perdata Internasional,kaidah hukum pun
perlu di kualifikasi- kan (classification of law).
Dari uraian di atas, maka di dalam HPI dikenal dua macam kualifikasi, yaitu:
1. Kualifikasi fakta (classification of facts). Kulifikasi fakta adalah kualifikasi
yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwa hukum untuk
ditetapkan menjadi satu atau lebih peristiwa hukum, berdasarkan kategori
hukum dan kaidah-kaidah hukum dan sistem hukum yang dianggap seharusnya
berlaku.
2. Kualifikasi hukum ( classification of law). Kualifikasi hukum adalah
penggolongan pembagian seluruh kaidah hukum ke dalam pengelolaan atau
pembidangan kategori hukum tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.

1
Dengan demikian, proses kualifikasi di dalam HPI mencakup langkah-langkah sebagai
berikut :
1. Kualifikasi sekumpulan fakta dalam suatu perkara ke dalam kategori yang ada;
2. Kualifikasi sekumpulan fakta itu ke dalam kaidah-kaidah atau ketentuan tertentu
yang seharusnya berlaku (lex causae).

Teori Kualifikasi
Menurut Sudargo Gautama secara garis besar terdapat tiga macam teori kualifiakasi,
yaitu:
1. Kualifikasi menurut Lex Fori
Menurut teori yang ditokohi franz Khan (Jerman) dan Bartin (Perancis) ini,
kualifikasi harus dilakukan menurut hukum materiil pihak hakim yang mengadili
perkara yang bersangkutan (lex fori), pengertian hukum yang ditemukan kaidah HPI
harus dikualifikasikan menurut sistem hukum negara sang hakim sendiri. Para
penganut teori Lex Fori umumnya sependapat, bahwa terhadap beberapa kualifikasi
yang disebut bahwa ini dikecualikan dari kualifikasi yang disebut di bawah ini
dikecualikan dari kualifikasi Lex Fori, yaitu:
a. Kewarganegaraan
b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak
c. Suatu kontrak yang ada pilhan hukumnya
d. Konvensi-konvensi internasional (bila negara yang bersangkutan turut serta
dalam hal tersebut)
e. Perbuatan melawan hokum
f. Pengertian-pengertian yang digunakan mahkamah-mahkamah internasional.

Sisi positif teori ini adalah kaidah-kaidah hukum lex fori paling dikenal hakim,
perkara yang ada relatif lebih mudah diselesaikan. Akan tetapi juga memiliki
kelemahan, di mana dapat menimbulkan ketidakadilan, karena kualifikasi dijalankan
menurut ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang
seharusnya diberlakukan atau bahkan dengan ukuran yang tidak sama sekali
dikenaloleh sistem hukum asing tersebut.

2
Contoh Kasus:
I. Perkara Ogden Vs Ogden (1908)
- Suami (domisili di Perancis) menikahi istrinya (berdomicile di Inggris)
di Inggris;
- Perkawinan ini dibatalkan di Perancis, karena di Perancis suami masih dianggap
belum dewasa dan tidak mendapat izin orang tuanya.
- Menurut HPI Inggris syarat-syarat formil suatu perkawinan diatur oleh lex loci
celebrationis dan syarat-syarat materiil oleh lexdomicilie;
- Dalam hukum Inggris: izin orang tua dianggap unsure formil (formality) yang diatur
oleh hukum tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrationis), sedangkan
menurut hukum Perancis: izin orang tua dianggap sebagai unsure materiil yang harus
diatur menurut hukum pribadi personil yang bersangkutan;
- Jika izin dikualifikasikan menurut lex fori (hkm Inggris), maka perkawinan dianggap
syah, tetapi jika dikualifikasi menurut hukum Perancis, maka perkawinan itu batal.
- Menurut Pengadilan Tinggi (Court of Appeal) harus dilakukan kualifikasi menurut lex
fori, sehingga perkawinan seperti itu dianggap sah.
II. Perkara Apt Vs Apt (1947)
- Ny. Apt (WN Jerman, bertempat tinggal dan mempunyai domisili di Inggris) telah
menikah dengan perantaraan (by proxy) dengan Tn. Apt (WN Jerman tinggal dan
mempunyai domisili di Argentina);
- Pengadilan Inggris harus menentukan apakah cara perkawinan ini merupakan syarat
formil ataukah syarat materiil. Jika cara ini merupakan syarat formil, maka perkawinan
yang dilangsungkan di Argentina harus berlangsung menurut hukum Argentina adalah
sah. Namun jika cara itu dianggap sebagai syarat materiil, maka perkawinan itu
dianggap tidak sah.
- Pengadilan Inggris mengnggap cara perkawinan ini sebagai syarat formil, maka
perkawinan ini dianggap sah.
Jika telah ditetapkan perkawinan itu sah, maka hakim akan mencari titik-titik
taut yang menentukan hukum yang harus berlaku.
Dalam hukum Inggris titik-titik taut ini ditentukan pula oleh lex fori:
a). Jika perkawinan (di Argentina), maka Hkm Pdt Inggris akan memeriksa apakah
menurut hukum Argentina, syarat-syarat formilnya dipenuhi atau tidak;
b). Jika mengenai warisan, maka akan ditentukan dimana domicile Pewaris pada waktu
meninggal, dan dimana lex situs (letak) barang-barang tak bergerak yang ditinggalkan
3
pewaris;
c). Jika mengenai perjanjian, maka akan ditentukan dimana lex loci contractus (tempat
terjadinya) atau lex loci solutionis (tempat dilaksanakannya)

2. Kualifikasi menurut Lex Cause


Teori semula dikemukakan Despagnet kemudian diperjuangkan lebih lanjut
oleh Martin Wolff dan G.C. Cheshire.Teori ini beranggapan bahwa kualifikasi harus
dilakukan sesuai dengan sistem serta ukuran dari keseluruhan hukumu yang bersangkut
an dengan perkara. Tindakan kualifikasi dimaksudkan untuk menentukan kaidah-kaidah
HPI mana dari lex fori yang erat kaitannya dengan hukum asing yang seharusnya
berlaku. Penentuan ini dilakukan berdasarkan sistem hukum asing yang bersangkutan.
Setelah lembaga hukum tersebut ditetapkan, abrulah ditetapkan kaidah-kaidah hukum
diantara kaidah lex fori yang harus digunakan untuk menyelesaikan suatu perkara.
Contoh Kasus :
I. Perkara Anton Vs Bartolo (1891)
- Ny. Anton dan suaminya pada permulaan perkawinan berdomisili di Malta, kemudian
pindah ke Aljazair (jajahan Perancis) dan membeli sebidang tanah;
- Sesudah suaminya meninggal, Ny. Anton menggugat bagian hasil tanah tersebut
sebagai harta warisan;
- Jika hukum Malta yang berlaku, maka gugatan akan dikabulkan, tetapi jika hukum
Perancis yang berlaku akan ditolak. Yang jadi persolan adalah apakah perkara ini
perkara warisan ataukah masalah harta perkawinan;
- Baik hukum Perancis maupun Malta berlaku kaedah-kaedah HPI, dimana mengenai
warisan benda tak bergerak tunduk pada lex situs (letak benda), dan mengenai harta
perkawinan berlaku lex domicilii.
- persoalannya apakah perkara ini akan dikualifikasi sebagai perkara warisan atau
perkara perkawinan. Gugatan hak waris tidak dikenal hukum Perancis, jika dianggap
soal waris, maka yang berlaku hukum Perancis. Sedangkan jika dianggap sebagai
masalah perkawinan berlaku hukum Malta
- Pengadilan Aljazair menggolongkannya menurut hukum Malta, yang menggolongkan
hak janda bagian hasil tanah sebagai kaedah harta perkawinan, sehingga gugatan Ny.
Anton dikabulkan.

4
3. Kualifikasi Otonom
Kualifiaksi otonom pada dasarnya menggunakan metode perbandingan hukum
untuk membangun suatu sistem kualifikasi yang berlaku secara universal. Kualifikasi
yang dilakukan secara otonom ini terlepas dari salah satu sistem hukum tertentu,
artinya dalam HPI seharusnya ada. Teori ini memang ideal sekali, tetapi di dalam
praktek hal tersebut sukar dilaksanakan, karena :
a. Menemukan dan menetapkan pengertian hukum yang dapat dianggap
sebagai pengertian yang berlaku umum adalah pekerjaan yang sulit
dilaksanakan, bila tidak mau dikatakan sebagai tidak mungkin. Dalam
penerapannya, susah untuk bersifat general.
b. Hakim yang akan menggunakan kualifiaksi yang demikian ini haruslah
mengenal semua sistem hukum di dunia, agar ia dapat menemukan
konsep-konsep yang memang diakui di seluruh dunia.
Dalam hal ini dapat dikualifikasikan dalam teori bertahap atau primer dan sekunder.

Contoh Kasus :
- Menurut HPI Swiss, warisan diatur menurut hukum tempat tinggal terakhir Pewaris,
tanpa dibedakan barang bergerak atau tidak bergerak;
- Jika kualifikasi tingkat pertama, dapat ditentukan hukum Inggris yang berlaku
(tempat tinggal terakhir Pewaris), maka harus ditentukan benda-benda apa yang
merupakan benda bergerak (movables) dan benda tidak bergerak (immovables)
menurut hukum Inggris (kualifikasi tingkat kedua);
- Hkum Inggris, jika tak ada wasiat, benda movables berlaku hukum dari lex dimicili
Pewaris, terhadap benda immovables berlaku lex rei situs; (letak benda immovables);
- Jika lex domicile Pewaris adalah hukum Swiss, maka akan berlaku hukum Swiss
terhadap benda movables (Renvoi). Dan jika lex situs dari benda immovables adalah
Jerman, maka hukum Jermanlah yang harus berlaku (penunjukan lebih lanjut)

5
BAB 2
KETERTIBAN UMUM

Ketertiban Umum : lembaga dalam HPI yang memungkinkan sang Hakim untuk
mengenyampingkan hukum asing yang seharusnya diberlakukan sesuai dengan apa yang
diatur dalam ketentuan HPI, karena dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi Hukum
nasional sang Hakim.

Sebagai contoh:
I. Perbudakan :
Bagi orang-orang asing yang berasal dari Negara yang mengakui perbudakan (spt. Afrika),
jika timbul perselisihan diantara mereka (hubungan budak-majikan), meski menurut HPI
Indonesia ic Pasal 16 AB menentukan hukum personil WNA itu yg harus diterapkan, maka
Hakim (Indonesia) tidak akan menggunakannya / mengenyampingkan, karena hal itu
(perbudakan) dianggap bertentangan dengan sendi-sendi azasi sistim hukum Indonesia.

II. Perkawinan di Jerman pada zaman HITLER


Pada zaman Nazi berkuasa di Jerman (Hitler) ada UU tahun 1931 yang melarang perkawinan
antara apa yang disebut bangsa Aria dengan bukan Aria. Larangan nikah berdasarkan ras
dianggap oleh banyak Negara tidak dapat diperlakukan, karena melanggar ketertiban umum;

III. Perceraian 2 WN RRC


UU Perkawinan 1950 RRC pasal 17 memungkinkan perceraian berdasarkan persetujuan
bersama. HPI Indonesia (psl 16 AB prinsip nasionalitas) berlaku hukum RRC, namun
dikesampingkan karena bertentangan dengan ketertiban umum.

Lembaga ketertiban umum ini harus seirit dan seselektif mungkin, dipergunakan jika
diperlukan sekali sebagai ultimum remedium karena jika terlalu banyak digunakan akan
dicap sebagai bangsa yang munafik, hanya mementingkan hukum sendiri (As a Shield not as
a sword sebagai perisai/pelindung, bukan sebagai pedang).

6
Ada 3 Konsep Ketertiban Umum di dunia, yaitu :

I. Konsep Romawi:
Lembaga Ketertiban Umum selalu digunakan setiap kali bertentangan dengan hukum sang
Hakim, bukan dengan pengecualiannya. (As a sword not as ashield);

II. Konsep Jerman


Lembaga ketertiban umum dipergunakan sebagai pengecualian, sebagai rem darurat as a
shield. Yang penting adalah bahwa Ketertiban Umum di Jerman sangat berkaitan erat
dengan keadaan dalam negeri (Inlandsbezithungen).

Contoh: Bremen Tobako Case


- Pemerintah RI baru merdeka menasionalisasikan perkebunan tembakau di Deli yang
dimiliki oleh orang Belanda;
- Tembakau itu lalu diexport ke Jerman, untuk dilelang di pasaran BREMEN;
- Pemilik lama perkebunan tembakau Deli tersebut mengajukan tuntutan/gugatan ke
Pengadilan Negeri Bremen Jerman, dengan tntutan:
a. Ganti rugi atas nasionalisasi;
b. nasionalisasi tersebut tidak sah, karena melanggar ke-tertiban umum Jerman
- Putusan :
a. Syarat-syarat Ganti rugi adalah :
- prompt : Sudah dibayar;
- Effective : uangnya ada;
- Adequate : jumlahnya memadai.

b. Nasionalisasi RI tidak bertentangan dengan Ketertiban


Umum Jerman, karena tidak memenuhi syarat Inlandsbezit
hungen (kepentingan masyarakat dalam negeri Jerman).

III. Konsep Anglo Saxon atau yang disebut Public Policy maksudnya adalah bahwa Hakim
pengadilan berpatokan pada sikap Executif mengenai pelaksanaan ketertiban umum. Bila
pihak Executif mengakui suatu Negara sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, maka
Yudikatif tidak berwenang untuk mengadili perkara-perkara yang berkaitan dengan tindakan
dari Negara tersebut.
7
Contoh: Princess Palay Olga Cases:
- Princess Palay Olga (PPO) adalah puteri keturunan bangsa Rusia yang lari ke Inggris ketika
terjadi revolusi di Rusia, dan menetap di Rusia;
- Beberapa tahun kemudian ia melihat ada lukisannya dan keluarganya pada keluarga WN
Inggris, ternyata mereka telah membeli lukisan tersebut pada Pemerintah Rusia;
- Ia lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Inggris bahwa lukisan tersebut dijual tanpa
pemberian ganti rugi;
- Menurut hukum Inggris tidak boleh ada pencabutan hak milik tanpa ada ganti rugi, Namun
Hakim Inggris menyatakan tidak kompeten / berwenang mengadili perkara ini;
- Bahwa pencabutan hak milik tanpa ganti rugi yang dilakukan RUSIA tidak melanggar
ketertiban umum, bila Negara yang melakukan perbuatan tersebut adalah Negara yang
diakui secara resmi oleh Inggris sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat (Act of State
doctrine);
- Pada saat itu Inggris sudah mengakui RUSSIA sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.

Macam-macan Ketertiban Umum:

I.Ketertiban Umum Nasional / Intern


Kaedah-kaedah yang membatasi kebebasan dari perorangan (lebih luas dari ketertiban
umum Internasional);
Misalnya : kaedah hukum perdata mengenai batas umur atau dera
jat kekeluargaan berkaitan dengan perkawinan.
- Seorang WN mesir (Islam) di Perancis dan dianggap sudah dewasa berdasarkan hukum
nasionalnya, meskipun menurut hukum Perancis dewasa itu 21 tahun.
- Hkm Perdata Perancis mengenai kedewasaan hanya termasuk ketertiban umum intern
tidak bersifat ketertiban umum internasional, sehingga tidak cukup kuat untuk berlaku
internasional;
- Sebaliknya seorang lelaki Mesir beragama Islam tidak akan dapat diperkenankan untuk
menikah dengan seorang isteri kedua di Perancis, walaupun hukum nasionalnya
membolehkan. Ini karena hukum Perancis melarang poligami dan dianggap termasuk bidang
ketertiban international.

8
II. Ketertiban Umum International / Extern
Kaedah-kaedah yang bermaksud untuk melindungi kesejahteraan negara pada
umumnya, kepentingan rakyat secara umum. Kaedah -kaedah yang membatasi kekuatan extra
territorial dari kaedah
asing.
Pembatasan/ Relatifitas ketertiban Umum
I. Faktor Waktu : - De Ferrari Case
Ketertiban umum di suatu waktu berbeda dengan ketertiban umum di waktu lainnya.
Contoh: perceraian -> disuatu Negara yang dahulu tidak diperbo-
lehkan, sekarang menjdi bisa(pisahranjang perceraian)

II. Faktor Tempat :


Ketertiban umum disauatu tempat tidak sama dengan ketertiban umum di tempat lainnya.
Contoh: Poligami di Indonesaia dibolehkan, di Perancis dilarang

III. Faktor kepentingan masyarakat / Intensitas / Inlandsbezi


Ketertiban umum yang dikaitkan dengan kepentingan suatu Negara dan mempunyai
hubungan erat dengan peristiwa-peristiwa politik, contoh :perkara : BREMEN Tobako Case

Keterkaitan
- tidak dapat ditentukan secara apriori apa yang termasuk ketertiban umum,
tergantung pada factor-faktor diatas. Sang hakimlah yang menentukan apakah suatu tindakan
termasuk ketertiban umum atau tidak.

BAB 3
PENYELUNDUPAN HUKUM
Penyelundupan hukum adalah kaidah-kaidah hukum asing yang terkadang
dikesemaping kan menggunakan hukum nasional atau sebaliknya untuk keuntungan atau
tujuan tertentu. Ketertiban hukum dan penyelundupan hukum mempunyai hubungan erat,
keduanya bertujuan agar hukum nasional dipakai dengan mengesampingkan hukum asing.
Hukum asing dianggap tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.
Keduanya hendap mempertahankan hukum nasional terhadap kaidah kaidah hukum asing.
Perbedaan antara Ketertiban hukum dan Penyelundupan Hukum adalah
9
Ketertiban hukum : suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku
Penyelundupan hukum : hukum nasional tetap berlaku dan dianggap tepat pada suatu
peristiwa tertentu saja ,karena pada saat ini untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah
melakukan suatu tindakan yang bersifdat menghindarkan pemakaian hukum nasinal tersebut.
Jadi hukum asing yang dikesampingkan karena penyelundupan hukum akan mengakibatkan
bahwa untuk hal hal lainnya akan selalu boleh dipergunakan hukum asing itu. Hanya dalam
hal hal khusus kaidah asing tidak dipergunakan karena hal ini telah dimungkinkan oleh
suatu cara yang tidak dibenarkan.
Contoh kasus:
Gretna Green
Sebuah desa di Scotlandia dekat dengan England yang menjadi tempat perlindungan bagi
orang-orang Inggris yang hendak menikah tanpa persetujuan dari orang tua mereka.

Perkawinan orang-orang Indonesia di Penang atau Singapur


- larangan menikah karena adanya ketentuan larangan kawin sebelum lewat 300 hari bagi
perempuan menurut BW, disiasati dengan melakukan perkawinan di Penang atau Singapur;
- kalau sekarang banyak digunakan oleh pasangan yang berbeda agama.

Contoh-contoh penyeludupan hukum:


Perkawinan untuk memperoleh kewarganegaraan;
Wanita asing yang menikah dengan pria Indonesia, berdasarkan Psal 7, 8 UU
Kewarganegaraan tahun 1958, memperoleh kewarganegaraan Indonesia)

Perkawinan untuk menghindari pengusiran


Wanita-wanita asing yang secara tergesa-gesa menikah dengan pria Belanda pada masa
perang, dengan maksud menghindarkan pengusiran oleh jawatan Imigrasi)

Perkawinan untuk dapat bekerja;


wanita asing yang menikah dengan pria WNI untuk dapat bekerja menghindarkan ijin kerja
khusus WNA berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan (UU No.3 tahun 1958)

10
Percreaian:
Kasus Cerai kawin di ZEVENBURGEN
Bagi WN Italia dan Austria yang tidak bias bercerai (karena hukumnya tidak mengenal cerai,
hanya sepakat pisah) pergi ke Honggaria naturalisasi jadi WN Honggaria dan anggota jemaat
protestan di gereja Zevenburgen, maka keputusan pisah meja & tempay tidur bias diubah
menjadi perceraian;

Naturalisasi di Eslandia:
- Van A WN Belanda menikah di Indonesia dengan WN Belanda;
- bercerai menurut BW (KUHPerdata) belum cukup alasan, maka hanya pisah meja dan
tempat tidur;
- pergi ke Negara Baltik, Eslandia naturalisasi ke Eslandia dan mengajukan perceraian;
- Van A menikah lagi dengan wanita lain dilangsungkan di Scotlandia.
Kasus Mr. I. Tj.

- Mr. I Tj. Pengacara WNI (Islam) menikah dengan Ny. JMR (WN Belanda) masuk
Islam
- Ny. JMR ke labuan Bilik batu mengucapkan ikrar murtad di depan Raad Agama
Kerapatan Besar negeri Panei, Raad Agama memutuskan jika sudah murtad tunggu 3
x suci, jika masih murtad talak jatuh pada tanggal nikahnya.
- Ternyata JMR menikah lagi di Surabaya dengan WN Belanda.
- Alasan murtad dapat dijadikan alasan perceraian, penyeludupan hukum yang
dilakukan JMR berhasil.
Sifat penyeludupan Hukum
Menggunakan HPI untuk tujuan tertentu, supaya atas hubungan non hukum tertentu
diperlakukan hukum yang lain dari pada apa yang seharusnya akan dipergunakan. Tujuan
penyeludupan hukum adalah untuk dapat mmenghindarkan suatu akibat hukum yang tidak
dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki. VESTERS
DUBINK merupakan Penyeludupan hukum yang terjadi apabila seorang berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang dipergunakan dalam undang-undang, tetapi melawan jjiwa dan
tujuannya, secara muslihat melakukan perbuatan-perbuatan yang dimaksudkan untuk
menghindarkan berlakunya kaedah-kaedah hukum tertulis / tidak tertulis.

11
Akibat-akibat Penyeludupan Hukum:
o setiap penyeludupan hukum mengakibatkan batalnya perbuatan bersangkutan.
o Ungkapan yang terkenal: fraus omnia corrumpt, artinya penyeludupan hukum
o mengakibatkan bahwa perbuatan hukum itu dalam kkeseluruhannya tidak berlaku.
Prinsip ini dianut oleh Perancis.
Contoh kasus : peristiwa putrid De Bauffrement.

BAB 4
PILIHAN HUKUM
Pilihan Hukum merupakan kebebasan yang diberikan kepada para pihak untuk menentukan
hukum yang akan berlaku bagi konntrak yang dibuatnya
- penemu Pilihan Hukum DUMOULIN (Perancis).

Batasan Penggunaan Pilihan Hukum

a. Tidak bertentangan dengan ketertiban umum


Bahwa hukum yang digunakan oleh para pihak itu tidak bertentangan dengan asas-asas /
sendi hukum sang hakim dan salah satu pihak
b. Tidak boleh menjelma menjadi pilihan hukum:
Penyeludupan hukum- tindakan para pihak untuk menentukan sendiri hukum yang berlaku
baginya dengan itikad yang buruk;
c. Hanya boleh mengenai bidang kontrak
Titik pertalian yang objektif, digeser oleh pilihan hukum
Pergeseran titik pertalian objektif, contoh:
- kewarganegaraan (Wanita Asing X Pria WNI )
- domisili ( di Negara-negara yang menganut system domisili, perpindahan domisili tersebut
akan dapat menggeser titik ppertalian yang objektif, yaitu hukum dari negaranya, Contoh
Inggris ke USA)
- pilihan hukum dapat berubah menjadi penyeludupan hukum apabila menggeser titik
12
pertalian objektif (domisili, keWNan, lex rei sitae, lex loci contractus);
- pilihan hukum dapat berubah menjadi penyeludupan hkum apabila hal tersebut dilakukan
terhadap sistim hukum yang ada hubungannya dengan kontrak (ada / tidaknya hubungan
dengan isi kontrak,dilihat dari ada / tidak red connection dengan isi kontrak).
d. Harus ada red connection dengan isi kontrak;
e. Red Connection dengan perbuatan hukum;
f. Khusus di Indonesia --- untuk kontrak kkerja yang dilakukan di Indonesia harus dipakai
hukum Indonesia (merupakan kebijakan ekonomi nasional);
g. Berdasarkan perkembangannya, pilihan hukum tidak diperkenankan terhadap ketentuan-
ketentuan yang sudah diatur oleh Pemerintah Ybs. Contoh: PP No. 16/1997 mengenai
Waralaba, tidak diperkenankan menggunakan sistim hukum selain hukum Indonesia.

Macam-macam Pilihan Hukum


a. Pilihan hukum secara tegas
secara jelas dicantumkan dalam kontrak;
pengecualian pilihan hukum di Negara-negara bagian (AS)
Clausula penyelamatan suatu kontrak
Contoh: AXB apabila isi/clausula dan pasal didalam kontrak bertentangan dengan hukum B,
maka hukum yang digunakan adalah hukum B
b. Pilihan hukum secara diam-diam
Dilihat dari:
Isi Kontrak dalam klausulanya ditentukan adanya kewajiban bagi para pihak yang
menunjukan pada sistim hukum tertentu;
Tindakan-tindakan para pihak yang menunjukan kearah suatu sistim hukum tertentu
Contoh: - pengiriman barang menggunakan jasa pengangkut New
York
- klausul-klausula dalam pasal mirip dengan klausula dalam sistim hukum New York jadi
dianggap para pihak menundukan diri pada sistim hukum New york.
c. Pilihan hukum yang dianggap
Dugaan-dugaan fiktif dari sang Hakim dimana hakim menganggap para pihak telah memilih
satu sistim hukum tertentu.
d. Pilihan hukum secara hipotetis
Berdasarkan dugaan-dugaan dari sang Hakim
Lebih buruk dari (butir C) karena disini para pihak tidak bermaksud / tidak ada maksud /
13
keinginan untuk memilih suatu hukum.
Pilihan Hukum alternative asas favorable, sepanjang disepakati oleh para pihak;
Pilihan Hukum Selektif dilakukan terhadap pilihan hukum suatu Negara yang memiliki
kompleksitas sistim hukum.
Contoh: Indonesia ; hukum perdata barat, hukum Adat hukum Islam.

BAB 5
HAK HAK YANG TELAH DIPEROLEH
Istilah hak-hak yang diperoleh sering disebut dengan right and obligations created
abroad atau hak dan kewajiban hukum yang terbit berdasarkan hukum asing. Yang menjadi
persoalan dalam HPI, apakah hak dan kewajiban hukum yang dimiliki seseorang berdasarkan
kaedah-kaedah dari suatu sistim hukum asing tertentu harus diakui atau tidak oleh lex fori.
Menurut Prof. SUDARGO GAUTAMA:
Dalam HPI masalah Vested rights ini dikemukakan untuk memasalahkan sejauh
mana perubahan-perubahan yang terjadi terhadap fakta-fakta akan mempengaruhi berlakunya
kaedah-kaedah hukum yang semula digunakan.
Hubungan antara ketertiban Umum dengan hubungan hak-hak yang diperoleh :
1. Hukum asing yang seharusnya berlaku menjadi tidak berlaku
2. Hukum asing dikesampingkan
3. Penggunaan yang terlalu sering akan menyebabkan pergaulan internasional
menjadi terhambat (karena penggunaan hokum sendiri)
4. Asas ketertiban umum menyangkut berbagai hal ; tidak hanya menyangkut
soal milik dan status
5. Asas ketertiban umum bertitik tolak pada paham, bukan kepentingan nasional
6. Diadakan demi kepastian hokum dalam masyarakat sendiri
7. Ketertiban umum sama sekali menyampingkan kwalifikasi
8. Orang lebih condong memperlakukan asas ketertiban umum, jika soalnya
menyangkut kepentingan sendiri
9. Ketertiban umum sering merupakan penyampingan dari hak-hak yang
diperoleh

14
Contoh kasus :
Seorang arab yang beragama Islam dan berada di negara Arab mempunyai dua istri
yang dikawinkan secara sah, kemudian dengan disertai kedua istrinya, ia pergi ke Perancis .
disana ia mendapatkan dua anak dari kedua istrinya. Bagaimana status dari anak dan istri-
istrinya. Kaidah yang berlaku dalam negara tersebut adalah nasionalitas , karena hukum
Arablah yangberlaku. Menurut hukum perdata arab diperbolehkan berpoligami sampai 4
isteri. Tetapi diperancis berlaku asas Monogami yang dianggap sebagai bidang ketertiban
hukum internasional. Konsekuensi pemakaian prinsip ketertiban hukum ialah kaidah kaidah
Perancis tentang monogami yang harus diberlakukan. Jika demikian perkainan kedua
dianggap tidak sah dengan segala akibatnya dan dianggap keterlaluan. Hal ini karena
perkawinan berlangsung di Arab pada suatu waktu yang perkawinan itu dianggap sah.
Maka sekarang ini sebagai kekecualian dari kekecualian oleh pelaksanaan hukum
diperancis, perkawinan kedia itu pun akan diagap sah juga dengan akibat anak-anak yang
dilahirkan dari perkawinan kedua itu sah dan dapat dimasukan dalam daftar Kantor catatan
sipil. Ini adalah pengakuan dari prinsip Hak hak yang diperoleh.

BAB 6
PERSOALAN PENDAHULUAN
Persoalan Pendahuluan (incidental question) dalam HPI adalah suatu persoalan /
masalah HPI dalam sebuah perkara yang harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum putusan
terhadap masalah HPI yang menjadi pokok perkara dapat ditetapkan oleh Hakim.

Prof. Cheshire dlm bukunya Private International Law:


Adakalanya dalam suatu perkara HPI, pengadilan tidak saja dihadapkan pada masalah
utama, tetapi juga suatu masalah subsider. Setelah hukum yang harus diberlakukan terhadap
masalah utama ditetapkan melalui penerapan kaedah HPI yang relevan, maka kemungkinan
ada kebutuhan untuk menentukan kaedah HPI lain untuk menjawab masalah subsider yang
berpengaruh terhadap penyelesaian masalah utama.

15
Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan pendahuluan
(incidental question), maka perlu dipenuhi tiga persyaratan:
- Main issue yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang bedasarkan
kaedah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
- Dalam perkara yang sama harus terdapat subsidiary issue yang mengandung unsure asing,
yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan diselesaikan melalui
penggunaan kaedah HPI lain secara independent;
- Kaedah HPI untuk menentukan lex causae bagi subsidiary issue akan menghasilkan
kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan seandainya lex causae dari
main issue yang digunakan

Pada dasarnya sangat jarang sebuah kasus yang berkaitan dengan incidental question
dapat memenuhi criteria, oleh karenanya dalam praktek criteria tersebut diterapkan tidak
terlalu strict /kaku. Sebagai contoh fleksibilitas penerapanmisalnya dalam kasus Pewarisan
atas benda bergerak adalah sebagai berikut:
- criteria pertama dianggap tidak terpenuhi apabila pada saat pewaris meninggal dunia, ia
berkedudukan tetap di Negara forum;
- criteria ketiga dianggap tidak terpenuhi apabila seorang pewaris yg berdomicili di Negara
asing membuat terstament yang menyatakan untuk memberikan harta warisannya untuk anak
sahnya, padahal lex fori dan hukum asing tersebut memiliki kesamaan dalam menentukan
apakah anak tersebut adalah anak yang sah atau tidak sah. Dengan tidak dipenuhi kriterianya,
maka perkara tidak perlu diselesaikan dengan menggunakan methode penyelesaian dalam
incidental question.

Cara penyelesaian
Teori HPI mengenal tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan, yaitu:

1. Absorption
Prinsipnya: melalui absorption, lex causae yang dicari dan ditetapkan melalui
penerapan kaedah HPI untuk mengatur masalah pokok (main issue) akan digunakan juga
untuk menjawab persoalan pendahuluan. Jadi setelah lex causae untuk masalah pokok
ditetapkan kaedah HPI lex fori, masalah pendahuluannya akan ditundukan pada lex causae
yang sama. Cara ini disebut cara penyelesaian berdasarkan lex causae.
16
2. Repartition
Pada dasarnya, melalui repartition, hakim harus menetapkan lex causae untuk maslah
pendahuluan secara khusus dan tidak perlu menetapkan lex causae dari masalah pokoknya
terlebih dahulu. Dengan mengabaikan lex causae dari masalah pokok, hakim akan melakukan
kualifikasi berdasarkan lex fori dan menggunakan kaedah HPInya yang relevan khusus untuk
menetapkan lex causae masalah pendahuluan. Cara ini disebut penyelesaian dengan lex fori.

3. Pendekatan Kasus demi Kasus


Penetapan lex causae untuk masalah pendahuluan atau incidental question dilakukan
dengan pendekatan kasuistis, dengan memperhatikan sifat dan hakekat perkara atau kebijakan
dan kepentingan forum yang mengadili perkara.

Prof. Cheshire, kebanyakan putusan hakim dalam kasus-kasus incidental questions


diselesaikan melalui absorption. Namun Cheshire cenderung untuk menggunakan pendekatan
kasuistis (case by case approach) dengan memperhatikan kelas, jenis perkara yang dihadapi.
Misalnya:
- perkara HPI bidang pewarisan benda-benda bergerak sebaiknya digunakan absorption;
sedangkan
- perkara dibidang perbuatan melawan hukum (tort) atau kontrak sebaiknya digunakan
repartition.

Di Belanda, pengadilan lebih banyak menggunakan repartition, MA Belanda (Hoge


Raad) menetapkan bahwa pada dasarnya masalah hukum yg berlaku dalam persoalan
pendahuluan (voorvraag) harus dijawab melalui repartition. Namun dengan pengecualian
bahwa absorption dapat digunakan apabila terdapat keterkaitan yang kuat antara masalah
pokok (hoofdraag) dengan persoalan pendahuluan (voorvraag).
Di Inggris, ada kecenderungan untuk melakukan absorption.

Contoh-contoh Kasus

1. RE MAYS ESTATE (1953)


Kasus Posisi:
- Sam dan Fannie May (Paman dan kemenakan, WNAmerika keturunan yahudi) berkediaman
17
tetap di Negara Bagian (NB) New York, Amerika serikat. Berdasarkan hukum NB New York
perkawinan antara paman keponakan dianggap batal demi hukum karena bersifat incestuous
(jinah), karenanya tahun 1913 Sam dan Fannie May menikah di NB Rhode Island
berdasarkan kaidah hukum adat Yahudi Hibrani dan diakui menurut NB itu. Dua minggu
setelah perkawinan mereka kembali ke NB New York hidup disana sebagai suami istri
selama 32 tahun dikaruniai 6 orang anak;
- Tahun1945, Fannie May meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah harta benda yang
dikuasai Sam suaminya. Kemudian salah seorang anaknya mengajukan gugatan di
Pengadilan New York untuk menentang kewenangan Sam May (ayahnya) untuk menguasai
dan mengurusi kekayaan peninggalan istrinya. Dasar gugatannya , karena perkawinan Sam
dan Fannie May did an berdasarkan hukum Rhode Island dianggap tidak sah.

Persoalan Hukum:
a. Apakah Sam may berwenang untuk menguasai dan mengurus harta Fannie May, dengan
alas hak sebagai pasangan yang masih hidup dari suami istri yang telah menikah dengan
sah. Hal ini harus diputuskan berdasarkan lex domicile dari Sam dan fannie, yaitu hukum
New York. Gugatan sang anak inilah menjadi masalah pokok (main question) dalam kasus
ini;
b. Untuk memutus perkara ini Pengadilan New York menghadapi kenyataan bahwa mereka
harus memutuskan dahulu, apakah perkawinan Sam dan Fannie may did an berdasarkan
hukum Rhode Island dapat diterima sebagai perkawinan yang sah. Persoalan ini adalah
incidental question yang harus diputuskan sebalum hakim memutus persoalan pokoknya.

Fakta Hukum:
- Hukum New York, menganggap perkawinan paman keponakan incestuous, karenanya batal
demi hukum;
- Kaidah HPI New York tidak jelas mengenai keabsahan perkawinan dan pengakuan
keabsahannya perkawinan dua orang warga New York yang diresmikan di Negara lain,
karena itu sah tidaknya perkawinan harus ditentukan berdasarkan hukum tempat peresmian
perkawinan (lex loci celebration);
- Hukum intern Rhode Island di bidang perkawinan menganggap bahwa perkawinan yang
dianggap sah berdasarkan kaidah-kaedah agama dan tradisi tertentu, akan dianggap sah pula
berdasarkan hukum Negara;

18
Proses Pemeriksaan Perkara
Langkah berpikir dan pertimbangan hakim New york:
a. Hakim NY pertama menunjuk kea rah hukum Rhode Island sebagai
lex loci celebrationis untuk menentukan keabsahan pperkawinan Sam & Fannie May karena
hukum intern NY sendiri tidak jelas mengenai hal itu;
b. Perkawinan Sam dan Fannie Mayadalah perkawinan agama (Hibrani) yang sah dan
perkawinan itu diakui sah pula oleh lex loci celebrationis (hukum Rhode Island);
c. Berdasarkan pertimbangan itu, hakim memutuskan bahwa perkawinan Sam dan Fannie
May (incidental question) adalah perkawinan yang sah;
d. Karena perkawinan Sam & Fanie dianggap sah, maka berdasarkan hukum NY (hukum
main question) dari suatu perkawinan yang sah akan terbit kewenangan pada pasangan yang
masih hidup untuk menguasai dan mengurus kekayan dari pasangan yang telah meninggal
terlebjh dahulu;
e. Sam may berhak untuk tetap menguasai kekayaan peninggalan Fannie dalam
kedudukannya sebagai suami yang sah.
Jadi dalam perkara ini hakim NY telah melakukan Repartition, dengan menundukkan
persoalan pendahuluannya (sah/tdknya perkawinan) pada sistim hukum yang berbeda (hukum
Rhode island) dari sistim hukum yang digunakan untuk menjawab masalah pokoknya
(hukum NY).

2. Perkara Lawrence VS Lawrence (1985)


Kasus posisi:
- Sepasang suami istri menikah dan berdomisili di Brazil, pada tahun 1970 istri memperoleh
putusan cerai dari suaminya di pengadilan Negara Bagian (NB)Nevada Amerika serikat.
- Berdasarkan putusan pengadilan Nevada itu, sang istri menikah lagi dengan seorang WN
AS / Nevada, perkawinan dilangsungkan di Nevada.;
- Beberapa waktu kemudian suami mengajukan permohonan pengesahan perkawinannya
dengan si wanita itu di pengadilan Inggris.

Fakta hukum:
- Kaidah HPI Inggris: Kapasitas hukum wanita untuk menikah kembali tunduk pada hukum

19
tempat domisili wanita itu;
- Kaidah HPI Inggris lain: Sah tidaknya perceraian harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat dimana perceraian dilaksanakan;
- Kaidah HPI Infggris lain: sah tidaknya suatu perkawinan harus ditetapkan hukum dari
tempat perkawinan dilaksanakan;
- Kaidah Hukum intern Brazil: perceraian atas sebuah perkawinan yg dilakukan di Brazil,
yang dilakukan di luar negeri, tidak memilikimkekuatan berlaku di Brazil;

Proses penyelesaian perkara:


a. persoalan pendahuluannya (vorfrage) dalam perkara ini: apakah si wanita memiliki
kapasitas hukum menikah kembali;
b. persoalan pokoknya (Hauptfrage) dalam perkara ini: apakah Pengadilan Inggris harus
menguatkan perkawinankedua dari si waniita itu dengan pemohon;
c. Untuk menjawab Vorfrage, hakim Inggris berpendapat ia harus mempertimbangkan fakta
hukum bahwa:
- Berdasarkan hukum Brazil (lex domicile wanita) menganggap bahwa siwanita tidak
mempunyai kapasitas untuk menikah lagi, karena perceraian dari suami pertama tidak sah;
- Akan tetapi berdasarkan hukum Nevada (lex loci celebrationis perceraian) bahwa perceraian
Nevada itu adalah perceraian yang sah;
d. Hakim dalam putrusannya menetapkan bahwa Vorfrage dalam perkara ini tunduk pada
hukum tempat perceraian diresmikan, sehingga lex causae nya adalah hukum Nevada, yang
menganggap si wanita memiliki kapasitas hukum untuk menikah kembali;
e. Berdasarkan hal itu, hakim kemudian menguatkan perkawinan kedua yang dilakukan
secara sah berdasarkan hukum Nevada (lex causae untuk Hauptfrage). Permohonan pemohon
dikabulkan.

DEPECAGE
Dalam bahasa Prancis, DEPECAGE berarti pemecahan atau pemilahan.
Pembahasan mengenai Defecage ini dalam konteks HPI sebenarnya menimbulkan
kemungkinan yang mirip dengan situasi incidental question meski tidak sepenuhnya sama.
Defecage adalah tindakan untuk menundukkan persoalan-persoalan tertentu yang
mungkin terbit di dalam sebuah peristiwa atau hubungan hukum pada system-sistem hukum
yang berbeda.
20
Sebagai contoh:
- Persoalan pewarisan yang dibuat WNI melalui pembuatan testament yang dilaksanakan di
Singapura. Jika perkara gugatan atas testament diajukan di pengadilan Indonesia, secara
umum orang mengatakan bahwa perkara tunduk pada system hukum dari tempat pembuatan
testament. Akan tetapi jika memilah-milah perkara ini dalam sub-subpersoalan, misalnya
subpersoalan tentang:
1. keabsahan formal dari testament;
2. subpersoalan tentang kemampuan hukum si pewaris untuk mewariskan kekayaan lewat
testament
kemungkinannya:
- submasalah (1) pengadilan memberlakukan hukum Singapura, sedangkan
- submasalah (2) pengadilan memberlakukan hukum Indonesia;
Tindakan memilah dan memilih inilah yang dimaksud dengan DEPECAGE. Yang menjadi
pertanyaan dalam perspektif HPUI adalah apakah orang dapat melakukan pemilahan seperti
itu.
Contoh lain:
- Gugatan ganti rugi seorang wrga NB New York atas perbuatan melawan hukum (PMH)
yang dilakukan di NB Texas oleh seorang warga Texas, dan gugatan diajukan di NB New
York.
Kemungkinannya:
- Jika permasalahan pokoknya perbuatan Tergugat dapat dikatagorikan sebagai PMH
(masalah substansi), maka yang berlaku kaedah hukum Texas sebagai lex loci delicti, namun
- Jika yang menjadi persoalan pokok apakah besarnya ganti rugi yang diminta terbatas jumlah
tertentu atau tidak (procedural), maka persoalan ini mungkin akan ditundukkan dan
diselesaikan berdasarkan hukum New York sebagai lex fori.

DICEY dan MORRIS, dalam konteks perjanjian/kontrak HPI, membedakannya:


1. Tidak semua persoalan yang timbul dari sebuah hubungan kontraktual dengan sendirinya
harus diatur berdasarkan satu hukum yang sama. Jadi sangat mungkin jika hukum yang
dipilih para pihak digunakan menyelesaikan masalah sah tidaknya kontrak (validity), masalah
bentuk kontrak mungkin ditundukan pada lex loci contractus, atau kemampuan hukum para
pihak ditundukkan pada hukum personal masing-masing;
2. Hukum-hukum yang berbeda dapat diberlakukan atas bagian-bagian sebuah kontrak,
missal: salah satu kewajiban kontraktual ditundukan pada hukum A, sedangkan kewajiban
21
kontraktual lain dari kontrak yang sama ditundukan pada hukm B.

HPI Traditional (eropa) secara teoritis bertitik tolak dari prinsip bahwa sebuah
hubungan hukum seharusnya tunduk pada satu system hukum (jurisdiction selecting
approach), namun dalam keadaan tertentu DEPECAGE dapat diperlakukan sebagai
kekecualian:
- pelaksanaan kewajiban para pihak dalam kontrak harus dilaksanakan di tempat-tempat yang
berbeda;
- para pihak sepakat untuk memecah sebuah kontrak kedalam bagian-bahian tertentu dan
menundukkan masing-masing bagian itu pada system hukum berbeda-beda, atau
- karena submasalah tertentu dari suatu hubungan hukum tertentu ternyata memiliki kaitan
nyata yang lebih besar pada sebuah system hukum yang seharusnya berlaku berdasarkan
pilihan hukum para pihak / berdasar kaidah HPI.

Dalam system Conflict of laws Amerika Serikat, pada dasarnya menaggap tugas HPI
menetapkan aturan hukum local yang mana dalam sebuah penyelesaian sebuah
hubungan/peristiwa hukum (rule selecting approach), menganggap DEPECAGE sebagai
sesuatu yang alamiah. Penyelesaian conflict of laws harus dilakukan atas dasar analisis kasus
perkasus (case-by case analysis), sehingga adalah wajar bila salah satu kasus harus tunduk
pada system hukum yang berbeda dari system hukum yang diberlakukan untuk kasus lain
yang timbul dari hubungan/peristiwa hukum yang sama.

BAB 7
ASAS TIMBAL BALIK
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan pencerminan dari asas persamaan hak,
persamaan penilaian, dan persamaan perlakuan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan mengesampingkan berlakunya hukum
asing yang menurut norma HPI si hakim sendiri seharusnya dipergunakan. Di
kesampingkannya hukum asing tersebut, adalah akibat sikap Negara asing yang
mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang seharusnya dipergunakan.

22
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh dilakukan karena hal tersebut
merupakan keharusan. Asas ini boleh dilakukan kalau sikap Negara asing tersebut sangat
merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang hakim dapat bersifat melanggar
hukum maupun tidak melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua macam, yaitu timbal balik formal dan
material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing di suatu Negara sendiri mendapat
perlakuan yang sama dengan warganegara sendiri apabila di Negara orang asing tersebut,
warga Negara sendiri diperlakukan sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan yang
menentukan hak-hak yang diberikan kepada orang asing dalam suatu Negara, sama dengan
hak-hak yang diperoleh warganegaranya Negara yang bersangkutan. Ini merupakan tindak
lanjut dari kebijaksanaan suatu Negara yang berupa national treatment.

BAB 8
PENYESUAIAN

Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu pengertian hukum asing ke dalam
pengertian hukum//terminology hukum sendiri. Penyesuaian itu meliputi (transposition,
substitution, adaptation, dan berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer) dari hubungan-hubungan hukum,
perbuatan-perbuatan hukum atau pernyataan kehendak menurut suatu sistem hukum tertentu
ke dalam pengertian-pengertian hukum lain.
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri (intern) digantikan dengan pengertian
hukum asing yang sama nilainya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan mengkombinasikan pengertian-
pengertian hukum yang saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan suatu ketentuan atau peraturan.

BAB 9
PEMAKAIAN HUKUM ASING

23
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya hukum asing yang tertulis
(perundang-undangan) saja, melainkan juga hukum tidak tertulis, yaitu hukum (kebiasaan,
yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para ahli hukum) dari Negara yang bersangkutan.

Pemakaian hukum asing pada HPI, dapat dikelompokkan sebagai berikut:


1. hukum asing dianggap sebagai hukum (regulation)
2. hukum asing dianggap sebagai fakta (regularity)
3. hukum asing dianggap sebagai bagian hukum nasional (treaty/convention).

24
DAFTAR PUSTAKA

o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina


Cipta 1976), h 130
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 134
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 141
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 142
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 211
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 212
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 173
o Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: Bina
Cipta 1976), h 208

25

Anda mungkin juga menyukai