Anda di halaman 1dari 17

MODUL PENGANTAR ILMU HUKUM

(LAW 101)

MODUL 13
PENYIMPANGAN TERHADAP KAIDAH HUKUM

DISUSUN OLEH
NIN YASMINE LISASIH S.H., M.H.

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 17
PENYIMPANGAN TERHADAP KAIDAH HUKUM

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Penyimpangan Terhadap Kaedah
Hukum, Asas-asas Hukum.
2. Mampu menjelaskan Penyimpangan Terhadap Kaedah Hukum yaitu
pengecualian dan penyelewengan

B. Uraian dan Contoh

Kaidah hukum merupakan ketentuan atau pedoman tentang apa


yang seyogianya atau sepantasnya dilakukan. Namun, pada hakikatnya
dalam pergaulan hidup, tidak selamanya sesuai dengan harapan tersebut.
Ada perikelakuan atau sikap tindak menyimpang dari patokan atau
pedoman, yakni mengubah batas-batas patokan atau pedoman yang sudah
ada.

Penyimpangan terhadap kaidah hukum pada umumnya dikenakan


tindakan hukum berupa sanksi (ancaman hukuman). Penyimpangan yang
demikian itu disebut dengan penyelewengan (delikten), yaitu
penyimpangan terhadap kaidah hukum tanpa adanya dasar yang sah.
Sebagai contoh di dalam lapangan hukum perdata seperti perbuatan
melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam Pasal 1365 KUH Perdata,
yang berbunyi:
"Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 17
Perbuatan melanggar hukum menurut R. Wirjono Prodjodikoro,
adalah perbuatan yang memperkosa suatu hak hukum orang lain, atau yang
bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, atau bertentangan
dengan kesusilaan (geode zaden) atau dengan suatu kepantasan dalam
masyarakat perihal memperhatikan kepentingan orang lain.1

Di lapangan hukum pidana disebut delik, atau peristiwa pidana


atau perbuatan pidana (strafbaarfeit). Menurut Moeljatno, perbuatan
pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.2

Dalam lapangan hukum tata negara disebut pelampauan


kewenangan (exes de pouvoir). Adapun di dalam lapangan hukum
administrasi negara disebut dengan penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir atau misbruik van recht). Pengertian
detournement de pouvoir, yaitu perbuatan yang dilakukan untuk mencapai
suatu tujuan publik lain dari tujuan publik yang dimaksud oleh peraturan
yang menjadi dasar perbuatan itu.3

Contoh, suatu sikap yang tidak seharusnya diberikan oleh


administrasi negara misalnya dalam hal administrasi menolak untuk
memberikan bantuannya, sebelum pemohon memenuhi syarat-syarat
tertentu yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan yang harus
diutamakan. Di dalam norma hukum dikenal juga penyimpangan yang
tidak dikenakan ancaman sanksi, yang disebut dengan pengecualian
(dispensasi), yaitu perbuatan yang menyebabkan suatu peraturan
perundang-undangan menjadi tidak berlaku bagi suatu hal istimewa.

1
R. Wirjono Prodjodikoro, 1993, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur, hlm. 14
2
Moeljatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 54
3
Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Citra Aditya
Bakti, hlm. 133.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 17
Secara riil dispensasi/ pengecualian tersebut tetap merupakan suatu
perbuatan yang tercela, namun demikian secara hukum tidak dapat
dipersalahkan, karena dipenuhinya dasar yang sah membenarkan untuk
meniadakan pidana terhadap pelaku tersebut. Menurut Purnadi
Purbacaraka, Soerjono Soekanto, bahwa pengecualian atau dispensasi
sebagai penyimpangan dari patokan atau pedoman dengan dasar yang sah.4

Penyimpangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua


kelompok. Pertama, rechtvaardigingsgronden, atau alasan pembenar, yaitu
alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga
perbuatan itu dibenarkan, dengan kata lain disebut alasan pembenar.
Termasuk perbuatan ini adalah noodtoestand (keadaan darurat Pasal 48
KUHP), noodweer (pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat (1)), pelaksanaan
undangundang (wettelijk voorshrift) Pasal 50 KUHP, dan perintah jabatan
(ambtelijk bevel) Pasal 51 ayat (1) KUHP. Keadaan darurat
(noodtoestand), yaitu bila kepentingan hukum seseorang berada dalam
keadaan bahaya, untuk mengelakkan bahaya itu, terpaksa melanggar
kepentingan hukum orang lain. Noodtoestand dapat terjadi karena adanya
pilihan di antara kepentingan hukum (rechtsbelangen) maupun kewajiban
hukum (rechtsplichten), seperti dalam bentuk:
1. Terdapat pertentangan antara dua kepentingan hukum atau hak
(conflict van rechtsplichten). Contoh: Sebuah perahu layar tenggelam
di laut. Dua orang penumpang terapung berpegang pada sebuah sekoci,
yang hanya muat untuk satu orang saja. Untuk menyelamatkan dirinya
salah seorang terpaksa mendorong yang lain, sehingga mati tenggelam
2. Terdapat pertentangan antara kepentingan hukum dengan kewajiban
hukum (conflict van rechtsbelang en rechtsplicht). Contoh: Si Ahmad
dipanggil sebagai saksi (kewajiban hukum). Pada hari yang sama si
Ahmad kesehatannya mendadak terganggu (kepentingan hukum),
sehingga tidak dapat hadir pada sidang di pengadilan. Untuk menjaga
kesehatannya si Ahmad terpaksa melanggar kewajiban hukum.

4
Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto, Op. cit., hlm. 82.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 17
3. Terdapat pertentangan antara kewajiban hukum dengan kewajiban
hukum (conflict van rechtsbelangen). Contoh: Anwar dipanggil
sebagai saksi di Pengadilan Negeri Sungai Penuh. Pada hari dan jam
yang sama Anwar juga dipanggil sebagai saksi di Pengadilan Agama
Sungai Penuh. Anwar hanya mungkin memenuhi salah satu panggilan
pengadilan, yaitu Pengadilan Negeri Sungai Penuh atau Pengadilan
Agama Sungai Penuh.

Pembelaan terpaksa (noodweer) adalah alasan untuk dibebaskan


dari hukuman karena melakukan pembelaan diri, kehormatan, atau barang
secara terpaksa terhadap serangan yang mendadak dan melanggar hukum.
Pembelaan terpaksa (noodweer) ini telah diatur dalam Pasal 49 ayat (1)
KUHP. Syarat untuk terjadinya pembelaan terpaksa menurut Bambang
Poernomo, harus dipenuhi sifat-sifat yang berupa:
1. Harus ada serangan
a. yang timbul mendadak (ogenblikkelijk),
b. yang mengancam secara langsung (onmiddelijk dreigend),
c. yang bersifat melawan hukum (wederrechtelik zijn).
2. Ada pembelaan
a. sifatnya harus terpaksa (noodzakelijk),
b. dorongan yang dilakukan harus seimbang (geboden),
c. kepentingan yang dibela hanya tubuh manusia, kesusilaan, dan
benda (lijf, eer baarheid en goed).5

Contoh: Si A mendekati B dengan memegang sebatang kayu


untuk memukul B dengan kayu tersebut. Kemudian B membela diri
dengan mengambil sebatang kayu juga, dan kemudian menyerang si A,
sehingga si A kena pukulan dari B dan akibatnya si A terjatuh.
Berdasarkan contoh di atas, apakah B dapat dikatakan bersalah melakukan
tindak pidana penganiayaan (mishandeling) terhadap A? Terhadap
perbuatan B tidak bersifat melanggar hukum, karena si B melakukan

5
Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 197.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 17
pembelaan diri terhadap serangan si A, sehingga serangan (pembelaan)
oleh B terhadap A adalah halal dan memenuhi unsur yang terdapat dalam
Pasal 49 ayat (1) KUHP. Pelaksanaan undang-undang (wettelijk voorshrift)
diatur dalam Pasal 50 KUHP.

Di dalam pasal tersebut dijelaskan, bahwa apa yang diperintahkan


oleh sesuatu atau wewenang yang diberikan oleh undangundang untuk
melakukan sesuatu hal tidak dapat dianggap suatu tindak pidana.
Perbuatan yang dilakukan tidak merupakan tindak pidana dan karenanya
tidak ada dasar untuk mengenakan pidana terhadapnya. Jadi, apa yang
telah diharuskan oleh undang-undang tidak mungkin untuk diancam
pidana dengan undang-undang lain.

Contoh: Seorang pegawai polisi tidak melakukan tindak pidana dari


Pasal 333 KUHP, yaitu merampas kemerdekaan orang lain, apabila ia
dalam menyelidiki suatu perkara pidana menangkap seorang tersangka.
Melaksanakan perintah jabatan (ambtelijk bevel) dari kekuasaan yang
berwenang untuk memerintahkan tidak dapat dipidana (Pasal 51 KUHP).
Menghilangkan jiwa orang lain dilarang oleh undang-undang dan diancam
dengan pidana. Namun demikian, jika ada seorang prajurit dalam suatu
operasi militer atas perintah komandannya menembak mati seseorang, ia
tidak dapat dipidana sebab menaati perintah atasannya.

Contoh: Seorang prajurit polisi diperintahkan oleh seorang Kapten


polisi untuk menangkap seorang yang melakukan pencurian. Prajurit itu
sebenarnya melakukan perampasan kemerdekaan orang itu, tetapi karena
penangkapan itu berdasarkan perintah yang sah, ia tidak dapat dipidana.
Seorang jaksa yang memerintahkan regu penembak untuk menembak
terpidana yang telah disetujui oleh Presiden pelaksanaan pidana mati.

Kedua, schuldopheffingsgronden atau alasan pemaaf, yaitu alasan


yang menghilangkan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 17
terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan tindak
pidana, tetapi dia tidak dipidana. Karena tidak ada unsur kesalahan.
Perbuatan yang termasuk schuldopheffingsgronden (alasan pemaaf) seperti
ontoerekenings vatbaar heid (ketidakmampuan bertanggung jawab) Pasal
44 KUHP, overmacht (daya paksa) Pasal 48 KUHP, dan noodweer exces
(pembelaan yang melampaui batas) Pasal 49 ayat (2) KUHP.

Ketidakmampuan bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal


44 ayat (1) KUHP adalah dasar penghapusan pidana. Alasan penghapusan
pidana karena jiwa atau akal dalam pertumbuhannya tidak sempurna
karena cacat atau gangguan penyakit, seperti gila. Apabila seseorang
mempunyai penyakit tersebut, perbuatannya tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, sehingga dihapuskan kesalahannya,
dan karena itu kepadanya tidak dipidana.

Overmacht (daya paksa) yang disebut dalam Pasal 48 KUHP


memberikan dasar tentang tidak dipidananya suatu perbuatan karena
didorong oleh keadaan memaksa. Menurut Memori van Toelichting
(Risalah Penjelasan KUHP), bahwa daya paksa ialah suatu kekuatan dan
suatu paksaan yang tidak dapat dilawan. Contoh, seorang bernama A yang
ditodong oleh penjahat dengan pistol, dipaksa mengambil barang milik B.
Dalam contoh tersebut si A yang mengambil barang milik B itu tidak
dapat dipidana, dengan perbuatan mengambil barang milik B karena si A
melakukan hal tersebut dalam keadaan sedemikian rupa tidak ada pilihan
lain.

Pembelaan yang melampaui batas (noodweer exces) diatur dalam


Pasal 49 ayat (2) KUHP. Noodweer exces maksudnya pembelaan yang
melampaui batas. Pembelaan yang melampaui batas itu sebenarnya
perbuatan yang dilarang, namun demikian karena perbuatan tersebut
berupa akibat suatu guncangan rasa yang disebabkan oleh serangan,

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 17
misalnya naik darah, maka perbuatannya dapat dimaafkan oleh
undangundang.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa baik dalam


hal pembenaran maupun pemaaf, para pelaku yang melanggar hukum
sama-sama tidak dihukum, karena terdapat dasar penghapusan hukuman.
Dengan demikian, kedua hal ini disebut juga dasar penghapusan hukuman
(strafuitluitingsgroden). Dilihat keterangan di atas, dapat digambarkan
jenis penyimpangan terhadap norma/kaidah hukum pada Gambar berikut.

C. Asas-asas Hukum

Mengingat bahwa asas berguna untuk menentukan suatu maksud


dan tujuan dibentuknya suatu peraturan hukum, maka perlu ditegaskan
pula bahwa urgensi asas dalam undang-undang untuk memperjelas
maksud serta tujuan diberlakukannya suatu peraturan dalam undang-

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 17
undang. Bellefroid dikutip dari Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya “Asas
Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana”, terkait dengan
asas hukum umum, menyatakan sebagai berikut : 8 Asas hukum umum itu
merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.

Demikian pula menurut van Eikema Hommes yang menyatakan


bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum
yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Asas hukum umum itu
kedudukannya abstrak dan bukan merupakan suatu norma-norma hukum
yang konkret, dalam artian norma-norma hukum konkret yang telah atau
pernah terjadi dalam pergaulan masyarakat. Pada asas hukum yang
sifatnya abstrak, mengandung nilai-nilai atau kaidah-kaidah hukum yang
dapat diterapkan terhadap norma-norma hukum konkret tertentu. Lebih
lanjut, terkait dengan asas hukum, Dewa Gede Atmadja dalam Jurnalnya
berjudul “Asas-Asas Hukum dalam Sistem Hukum” mengutip pendapat
dari Paul Scholten, yaitu sebagai berikut6
Asas-asas hukum itu “tendensi-tendensi yang disyaratkan kepada hukum
oleh paham kesusilaan kita”. Dipahami asas-asas hukum itu sebagai
pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem
hukum, masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-
undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-
ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai
penjabarannya.

Eksistensi dari asas-asas hukum itu sendiri, yakni ada pada


peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Adapun
implementasi serta implikasi dari asas-asas hukum itu tercermin dalam
penegakan hukum itu sendiri. Oleh sebab itu, pendapat Paul Scholten di
atas yang menyinggung soal paham kesusilaan, merupakan nilai-nilai yang
dipegang dan terus dipertahankan oleh masyarakat.
6
Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana,
Jakarta:Erlangga, hlm. 19.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 17
Lebih lanjut, Sudikno Mertokusumo dikutip dari Dewa Gede
Atmadja kemudian menyimpulkan terkait dengan asas hukum umum itu,
yakni sebagai berikut : 7
Bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum
konkret, melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan
latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat dalam dan di
belakang sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundangundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif
dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan
konkret tersebut. Ditegaskan lagi, bahwa asas hukum bukanlah kaedah
hukum yang konkret, melainkan latar belakang peraturan yang konkret dan
bersifat umum atau abstrak.

Oleh karena asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan


hukum konkret, maka kedudukan asas hukum atau prinsip hukum ini
kedudukannya berbeda dengan peraturan hukum konkret. Kita ambil
contoh asas legalitas dalam hukum pidana, kedudukannya sebagai dasar
peraturan pidana itu diberlakukan. Atas dasar adanya asas di dalam suatu
peraturan perundang-undangan, maka peraturan yang konkret itu dapat
memiliki arah dan tujuan saat diberlakukan

D. Jenis Asas-Asas Hukum Pidana

1. Asas Legalitas
Asas legalitas ini bersifat fundamental dalam hukum pidana,
khususnya KUHP. Terkait dengan diberlakukannya suatu aturan
pidana, maka asas legalitas dalam KUHP berperan sebagai tolak ukur
untuk menentukan suatu perbuatan menjadi tindak pidana. Adapun

7
Ibid

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 17
cara menentukan perbuatan menjadi tindak pidana yaitu melalui
peraturan hukum konkret, misal pasal-pasal yang ada dalam KUHP
yang menentukan suatu perbuatan yang dilarang dan dikenai sanksi.
Sementara, peran asas legalitas yang menjadi tolak ukur tersebut
memiliki maksud dan tujuan. Menurut Lamintang dan C. Djisman
Samosir merumuskan dengan terminologi sebagai, tiada suatu
perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana
menurut undang-undang yang telah diadakan lebih dulu.8
Apabila diikuti prinsip yang dianut KUHP yang sekarang
berlaku, maka dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 1 (1) KUHP
yang menyatakan : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan.” Ketentuan pasal 1 (1) KUHP di atas
mengandung pengertian, bahwa ketentuan pidana dalam undang-
undang hanya dapat diberlakukan terhadap suatu tindak pidana yang
terjadinya sesudah ketentuan pidana dalam undang-undang itu
diberlakukan.9
Dengan demikian, pasal 1 (1) KUHP mengatur tentang
berlakunya aturan pidana terhadap perbuatan atau tindak pidana yang
telah diatur di dalam undang-undang. Asas legalitas dalam pasal 1 (1)
KUHP merupakan dasar dari berlakunya aturan pidana terhadap
perbuatan yang diatur dalam undang-undang. Sehingga, dapat
dipahami bahwa asas legalitas pasal 1 (1) KUHP berlaku untuk waktu
kedepan, yakni berlaku sesudah aturan pidana diberlakukan, dan tidak
berlaku surut atau berlaku sebelum aturan pidana itu diberlakukan.
Moh Khasan dalam tulisannya, memberikan sedikit gambaran terkait
problematika yang dihadapi oleh asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP, yaitu sebagai berikut :10

8
Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 59.
9
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Op.cit, hlm
45.
10
Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam,
Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 6, Nomor 1, April 2017, hlm.
23.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 17
Asas legalitas sering dilihat sebagai ketentuan yang secara
absolut dianggap benar sehingga secara formil pasti telah mewakili
rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu maka ketentuan-ketentuan
dalam undang-undang harus ditegakkan bagaimanapun caranya dan
mesti diperlakukan sebagai representasi dari nilai-nilai keadilan.
Konsekuensi dari pola pikir dan paradigma seperti ini tentu saja adalah
persepsi yang berlebihan dengan menganggap bahwa hukum adalah
undang-undang dan undang-undang sama dengan hukum. Paradigma
formalistik dalam melihat hukum ini telah berakibat semakin sulitnya
menemukan keadilan sejati. Yang ada adalah keadilan yang formal,
sempit dan kaku, yakni keadilan yang tidak mewakili semua hak dan
kepentingan, baik hak korban, pelaku, negara, dan masyarakat. Oleh
karena itu, asas legalitas yang telah dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHP, yang mendasarkan seseorang telah dianggap melakukan tindak
pidana ialah berdasarkan peraturan perundang- undangan, yang
dipandang sebagai paradigma formalistik oleh sebagian besar
masyarakat

2. Asas Teritorial
Guna menentukan tempat berlakunya peraturan pidana, maka
hal mendasar yang harus dijadikan sebagai landasan ialah menentukan
batas-batas teritorial berlakunya hukum pidana. Adapun menentukan
batas-batas teritorial tersebut, ditentukan melalui asas hukum yang
menjadi landasan berlakunya peraturan hukum konkret. Menurut Dr.
Tongat, SH., M.Hum, asas teritorial terdapat dalam rumusan pasal 2
KUHP yang menyatakan : “Aturan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana
di dalam (wilayah/teritorial) Indonesia.”
Titik berat asas teritorial ini adalah pada tempat atau teritorial
atau wilayah terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini menitikberatkan
pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah atau teritorial negara,
dengan mengesampingkan siapa yang melakukannya. Dengan rumusan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 17
setiap orang, maka mengandung pengertian siapa saja, baik warga
negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing.14 Asas teritorial
merupakan wilayah berlakunya hukum pidana, di dalam pasal 2 KUHP,
menyatakan setiap orang, berarti siapa saja yang melakukan perbuatan
pidana dapat dijatuhi sanksi pidana. Sehingga, KUHP dapat berlaku
bagi siapa saja yang melakukan perbuatan pidana di dalam wilayah
negara Indonesia.

3. Asas Perlindungan
Tujuan dengan adanya asas perlindungan ini, yakni sebagai
perlindungan hukum guna menciptakan keadilan serta kepastian
hukum melalui peraturan pidana, khususnya KUHP. Menurut Tongat
dalam bukunya terkait dengan asas perlindungan dalam KUHP, yaitu
sebagai berikut : 11
Asas ini sering juga disebut dengan asas nasional pasif. Asas
ini memuat prinsip bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku
terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara
Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau bukan
warga negara Indonesia yang dilakukan di luar Indonesia.
Tempat terjadinya tindak pidana yang dimaksud dalam asas
perlindungan/asas nasional pasif ini, yakni locus delicti terjadi di luar
wilayah Indonesia. Diterapkannya asas perlindungan/asas nasional
pasif ini hanya terbatas pada perbuatan-perbuatan yang sungguh-
sungguh melanggar kepentingan nasional yang sangat penting yaitu
kepentingan hukum negara. Kepentingan hukum nasional yang
dipandang membutuhkan perlindungan adalah perbuatan yang diatur
dalam tiga pasal, yaitu Pasal 4 ke-1, ke-2, ke-3, pasal 7 dan pasal 8
KUHP yaitu kepentingan nasional yang berupa :12
a. Terjaminnya keamanan Negara dan terjaminnya keselamatan serta
martabat kepala Negara dan wakilnya;

11
Ibid, hlm. 71.
12
Ibid, hlm. 72

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 17
b. Terjaminnya kepercayaan terhadap mata uang, materai-materai dan
merk-merk yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia;
c. Terjaminnya kepercayaan terhadap surat-surat atau
sertifikatsertifikat hutang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia;
d. Terjaminnya para pegawai Indonesia tidak melakukan kejahatan di
luar negeri;
e. Terjaminnya keadaan, bahwa nahkoda dan atau
penumpangpenumpang perahu Indonesia tidak melakukan kejahatan
atau pelanggaran pelayaran di luar Indonesia. Dengan demikian,
asas perlindungan atau biasa disebut asas nasional pasif ini,
merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan
nasional/kepentingan negara Indonesia yang diatur dengan
ketentuan-ketentuan pidana

4. Asas Personalitas
Asas personalitas ini lebih menekankan terhadap perbuatan
seseorang (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara
Indonesia, karena sebagai asas dalam KUHP, asas ini menentukan arah
dan tujuan peraturan pidana yang konkret, yakni peraturan pidana
khususnya terkait dengan perbuatan seseorang yang melanggar KUHP
di luar wilayah Indonesia. Asas personalitas dan asas nasionalitas aktif
adalah sama, hanya berbeda istilah. Asas personalitas atau asas
nasionalitas aktif merupakan asas tentang keberlakuan hukum pidana
Indonesia, dimana ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di
luar wilayah negara Indonesia. Pasal 5 KUHP berbunyi sebagai
berikut :
“(1) Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku
bagi warga negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia : a.
Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua,
dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; b. Suatu

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 17
perbuatan terhadap suatu yang dipandang sebagai kejahatan menurut
ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu
dilakukan.
(2) Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan
pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga
negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.” Lebih lanjut terkait
dengan pasal 5 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap
Pasal Demi Pasal, (hal. 33), menjelaskan bahwa dalam pasal ini
diletakkan prinsip nationaliteit aktief atau personaliteit. Warga negara
Indonesia yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan
sebagaimana tersebut dalam sub I dari pasal ini, meskipun di luar
Indonesia, dapat dikenakan undangundang pidana Indonesia. Apabila
mereka itu berbuat peristiwa pidana lainnya yang oleh undang-undang
Indonesia dipandang sebagai kejahatan (pelanggaran tidak), hanya
dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, jika perbuatan yang
dilakukan itu oleh undang-undang di negara Asing dimana perbuatan
itu dilakukan, diancam pula dengan hukuman.13
Asas personalitas atau asas nasional aktif ini, merupakan dasar
berlakunya aturan pidana terhadap warga negara Indonesia yang
melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia.

5. Asas Universal
Sebagai negara anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), maka
negara Indonesia otomatis berpartisipasi terhadap penyelenggaraan
hukum dunia. Dengan adanya asas universal ini, maka kepentingan
yang dilindungi tidak hanya kepentingan negara Indonesia saja, tetapi
juga kepentingan hukum dunia. Asas ini sering disebut juga asas

13
Sovia Hasanah, Arti Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif dalam Hukum Pidana,
dipublikasikan pada 28 Mei 2018,
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5b07770d798f2/artiasas-personalitas-atau-asas-
nasionalitas-aktif-dalam-hukum-pidana, diakses 06 Desember 2018.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 17
penyelenggaraan hukum dunia. Berlakunya asas ini tidak saja untuk
melindungi kepentingan nasional Indonesia, tetapi juga untuk
melindungi kepentingan hukum dunia. Dengan asas ini, maka aturan
pidana dalam perundangundangan Indonesia juga berlaku baik
terhadap warga Negara Indonesia maupun warga negara asing yang
melakukan tindak pidana di luar teritorial Indonesia.
Asas ini termuat dalam ketentuan pasal 4 angka 2 dan angka 4
KUHP.18 Pasal 4 angka 2 berbunyi : “Suatu kejahatan mengenai mata
uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun
mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia”, sedangkan Pasal 4 angka 4 berbunyi : “Salah
satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai
dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan
kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j
tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479
huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan
penerbangan sipil.”

E. Latihan True or False


1. Penyimpangan terhadap kaidah hukum pada umumnya dikenakan
tindakan hukum berupa sanksi (ancaman hukuman) disebut dengan
penyelewengan
2. onrechtmatige daad diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata
3. yang dimaksud dengan noodtoestand adalah pembelaan terpaksa
4. yang dimaksud dengan noodweer adalah pembelaan terpaksa
5. yang dimaksud dengan ambtelijk bevel adalah perintah jabatan

F. Kunci Jawaban
1. T
2. F

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 17
3. F
4. F
5. T

G. DAFTAR PUSTAKA

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung:


Citra Aditya Bakti

Bambang Poernomo, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia


Indonesia

Eddy O.S. Hiariej, 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum
Pidana, Jakarta:Erlangga

Ishaq, 2016, Dasar- dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika

Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika

Moeljatno, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara

Moh Khasan, Prinsip-Prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum


Pidana Islam, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum
Nasional, Volume 6, Nomor 1, April 2017

Wirjono Prodjodikoro, 1993, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 17

Anda mungkin juga menyukai