Anda di halaman 1dari 20

SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

I. Pengertian

Dengan bangkitnya sains modern, muncullah di antara para ahli hukum suatu

kebulatan tekad yang jelas tentang kemungkinan menerapkan "metode ilmiah"

untuk mempelajari hukum dan filsafat hukum. Di bawah pengaruh positivist

sosiologi Comtian, di sana mengembangkan yurisprudensi sosiologis memiliki

pandangan pemahaman tentang peran hukum dalam masyarakat dan penerapan

ilmu-ilmu sosial untuk mempelajari hukum dalam tindakan dan render hukum

lebih efektif sebagai instrumen kontrol sosial untuk tujuan yang hukum dirancang

untuk mencapai dalam waktu dan tempat dimana peradaban itu berada.

Sociological Jurisprudence pertama kali dikemukakan oleh Roscoe Pound,

Eugen Ehrlich, Benjamin Cardozo, Kontorowics, Gurvitch dan lain-lain. Aliran

ini berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak mengatakan bahwa

hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-

nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Sebagai pemimpin sekolah sosiologi yang diakui di Amerika selama lebih

dari setengah abad, Roscoe Pound telah mengabdikan usahanya untuk pekerjaan

ini. Melalui studi hukumnya yang luas, kunjungan ke sejarah hukum, penguasaan
1
dan penerapan filosofi ke hukum, dan penelitiannya ke dalam kasus hukum untuk

tujuan memahami bagaimana hukum benar-benar berfungsi, Dean Pound telah

membuat langkah luar biasa menuju pencapaian tujuan ini. Selain upaya ini,

Pound telah menyumbangkan "teori kepentingan" yang ia yakini sebagai

instrumen paling efektif yang dirancang untuk pengembangan ilmiah dan

penerapan hukum.

Yurisprudensi sosiologis bukan, tegasnya, filsafat hukum. Sebaliknya, itu

adalah metode yang mencoba untuk menggunakan berbagai ilmu sosial untuk

mempelajari peran hukum sebagai kekuatan hidup dalam masyarakat dan

berusaha untuk mengendalikan kekuatan ini untuk perbaikan sosial. Ia telah

mengalami evolusi melalui tahap positivis mekanis, tahap biologis dan psikologis,

dan sekarang memasuki tahap penyatuan. Sikapnya pada dasarnya fungsional.

Hukum adalah instrumen kontrol sosial, yang didukung oleh otoritas negara, dan

tujuan yang diarahkan dan metode untuk mencapai tujuan ini dapat diperbesar

dan ditingkatkan melalui upaya yang disengaja secara sadar. Sanksi hukum

terletak pada tujuan sosial di mana hukum dirancang untuk melayani. Ahli hukum

sosiologis tidak memiliki preferensi untuk jenis ajaran tertentu tetapi hanya untuk

itu yang akan melakukan pekerjaan yang paling efektif. Dalam filsafat ia

umumnya seorang pragmatis. Dia tertarik pada sifat hukum tetapi hanya dengan

mengacu pada penggunaannya sebagai alat untuk melayani masyarakat, dan

2
pemeriksaannya ke dalam hukum selalu terkait dengan beberapa masalah spesifik

pekerjaan sehari-hari dari tatanan hukum.

Dinyatakan lebih ringkas:

“Para ahli hukum sosiologis mengusulkan untuk mempelajari

hukum dalam tindakan atas dasar hipotesis bahwa hukum dalam

tindakan mengandung beberapa hubungan yang signifikan dengan

hukum dalam buku-buku, dan untuk kemudian melanjutkan untuk

memastikan dalam hal apa hipotesis tersebut atau tidak dibuktikan dan

memerlukan kualifikasi.”

Pound telah membandingkan yurisprudensi sosiologis dengan mazhab

pemikiran hukum lain dan mencatat karakteristik penganut aliran sosiologis

berikut ini: mereka mengejar studi perbandingan fenomena hukum sebagai

fenomena sosial dan mengkritiknya sehubungan dengan hubungan mereka

dengan masyarakat. Secara khusus mereka (1) mempertimbangkan kerja hukum

daripada konten abstraknya; (2) menganggap hukum sebagai institusi sosial yang

dapat ditingkatkan oleh upaya manusia dan berusaha untuk menemukan dan

mempengaruhi peningkatan tersebut; (3) meletakkan tekanan pada ujung-ujung

hukum sosial daripada sanksi; (4) mendesak bahwa aturan hukum digunakan

sebagai panduan untuk hasil yang diinginkan secara sosial daripada cetakan yang

tidak fleksibel; dan (5) pandangan filosofis mereka beragam, biasanya positivis

atau beberapa cabang dari sekolah sosial-filosofis.

3
Menurut Roscoe Pound, hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga

kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial,

dan adalah tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka dengan

mana kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal. Pound juga

menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action),

yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini

dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif, maupun

hukum ajektif. Ajaran tersebut menonjolkan masalah apakah hukum yang

ditetapkan sesuai dengan pola-pola perikelakuan.

Pound memahami hukum dalam tiga pengertian, sebagai: (1) "bentuk

kontrol sosial yang sangat khusus dalam masyarakat yang terorganisir secara

politik" yang diperoleh melalui penerapan kekuatan masyarakat itu; (2) badan

panduan otoritatif untuk keputusan; dan (3) proses peradilan dan administrasi, di

mana panduan untuk keputusan dikembangkan dan diterapkan oleh teknik

otoritatif, dalam terang cita-cita otoritatif yang diterima. Namun, definisi hukum

berubah sesuai keadaan sosial, dan tidak ada jawaban akhir atas pertanyaan

tentang sifat hukum secara konkrit. Hukum adalah mekanisme sosial, sarana

untuk memajukan masyarakat. "Hukum adalah pengalaman yang diorganisir dan

dikembangkan oleh akal, yang secara otoritatif diresmikan oleh badan pembuat

undang-undang atau hukum-mendeklarasikan masyarakat yang diatur secara

politik dan didukung oleh kekuatan masyarakat itu."

4
Akhir dari hukum adalah keadilan, tetapi apakah keadilan itu? Kita tidak

dapat menjawab pertanyaan ini secara mutlak, tetapi kita harus berusaha

menjawab - kita tidak dapat mengabaikannya. Keadilan bukan "kebajikan

individu" juga bukan "hubungan ideal di antara manusia"; melainkan hanya

"Penyesuaian hubungan dan pengaturan perilaku seperti itu akan membuat

barang-barang eksistensi berputar sejauh mungkin dengan sedikit gesekan dan

pemborosan."

Hukum bukanlah kehendak penguasa, melainkan hukum itu merupakan

kebiasaan. Hukum itu tidak dibuat tetapi tumbuh dan berkembang bersama

masyarakat, pertumbuhan hukum itu pada hakikatnya tidak terasa dan merupakan

suatu proses yang organis, oleh karena itu kebiasaan (custom) merupakan sumber

hukum terpenting dalam hukum dan dapat mengalahkan undang-undang. Secara

realistis hukum itu bersumber dari kenyataan hukum (facts of law), hukum itu

hidup dalam masyarakat (living law).

Menurut Lilirasjidi, Sociological Yurisprudence menggunakan pendekatan

hukum kemasyarakatan, sementara sosiologi hukum menggunakan pendekatan

dari masyarakat ke hukum. Menurut Sociological Yurisprudence hukum yang

baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam msyarakat.

Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat (living law). Aliran ini timbul sebagai akibat dari proses

dialektika antara (tesis) positivisme hukum dan (antitesis) mazhab sejarah.

5
Istilah sociological dalam Sociological Jurisprudence menurut Paton (1951),

kurang tepat, dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih senang menggunakan

istilah “metode fungsional”. Oleh karena itu, ada pula yang menyebut

Sociological Jurisprudence ini dengan Functional Anthropological. Dengan

menggunakan istilah ”metode fungsional” seperti diungkapkan diatas, Paton

ingin menghindari kerancuan antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi

hukum (the sociology of law).

Harus dibedakan antara sosiologi hukum dengan sociological jurisprudence.

Sosiologi hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh timbal

balik antara hukum dan masyarakat, titik tolaknya adalah pendekatan dari

masyarakat ke hukum, sedangkan sociological jurisprudence adalah cabang

filsafat hukum yang merupakan suatu teori hukum yang mempelajari pengaruh

hukum terhadap masyarakat, dengan pendekatan dari hukum kemasyarakat.

Keduanya sama-sama merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat (living

law).

Menurut Lily Rasjidi (1990), perbedaan antara Sociological Jurisprudence

dengan sosiologi hukum adalah sebagai berikut

1) Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam filsafat hukum,

sedangkan sosiologi hukum adalah caabang dari sosiologi

2) Walaupun objek yang dipelajari oleh keduanya adalah tentang pengaruh

timbal balik antara hukum dan masyarakat, namun pendekatannya

6
berbeda. Sociological Jurisprudence menggunakan pendekatan hukum

ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih pendekatan dari

masyarakat ke hukum.

Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah bahwa sosiologi

hukum berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan sosial sebagai

suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi

(secara umum) dan ilmu politik. Titik berat penyelidikan sosiologi hukum terletak

pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan

Sociological Jurisprudence (seperti yang dikemukakan Pound) menitikberatkan

pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.

Sociological Jurisprudence itu merupakan suatu madzab/aliran dalam

filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan

masyarakat, sedangkan Sosiologi Hukum adalah cabang sosiologi mempelajari

hukum sebagai gejala sosial yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada

hukum dan dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat

mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki juga pengaruh sebaliknya, yaitu

pengaruh hukum terhadap masyarakat.

Menurut Roscoe Pound, tugas sociological jurisprudence menentukan

bahwa sumber hukum mencakup: usage (adat istiadat); religion (agama); moral;

Philosophical ideas (ide-ide filosofis); adjucation (ajudikasi); scientific

discussion (diskusi ilmiah); legislation (legislasi). Arti penting mengenali

7
sumber-sumber hukum itu untuk membantu yuris dalam mencatat dan

menganalisis fakta-fakta sosial berkenaan dengan penguasaan merumuskan atau

memformulasi, menafsirkan dan menerapkan aturan-aturan hukum.

Titik berat aliran sociological jurisprudence terletak pada kenyataan sosial

yang dapat menjadi kenyataan hukum (fakta hukum). Fakta-fakta hukum yang

mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikan dan pernyataan

kemauan. Aliran hukum ini melihat masyarakat dari pendekatan hukumnya yang

salah satu rinciannya meliputi fungsi dari hukum terhadap masyarakat. Fungsi

hukum adalah sebagai kerangka ideologis perubahan struktur dan kultur

masyarakat.

Aliran hukum ini menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat. Aliran

ini berbeda dari sosiologi hukum yang merupakan cabang sosiologi yang

melakukan pendekatan masyarakat ke hukum. Menurut aliran ini hukum yang

baik haruslah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Jadi ada dua

hukum yaitu hukum positif yang kemudian menjadi hukum yang baik atau tidak

baik dan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law/Das lebendiges

Recht) yang bukan merupakan hukum positif. Ada perbedaan antara hukum

positif dan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat itu. Hukum

positif adalah peraturan perundang-undangan sebagai entsheidungsnormen atau

norma-norma keputusan, sementara itu, hukum yang hidup adalah kenyataan

sosial sebagai Rechtsnormen (norma hukum).

8
II. Penganut Sociological Jurisprudence

 Eugen Ehrlich (1862-1922)

Eugen Ehrlich dapat dianggap sebagai pelopor aliran Sociological

Jurisprudence, khususnya di Eropa. Ia adalah seorang ahli hukum dari

Austria dan tokoh pertama yang meninjau hukum dari sudut sosiologi.

Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) di lain pihak.

Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang

efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam

masyarakat tadi. Disini jelas bahwa Ehrlich berbeda pendapat dengan

pengatnut Positivisme Hukum.

Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya, bahwa titik pusat

perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan

hakim, atau ilmu hukum, tetapi pada masyarakat itu sendiri. Dengan

demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan.

Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh Friedmann, dalam karyanya,

Ehrlich pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai

sumber dan bentuk hukum pada masyarakat modern.

Selanjutnya Ehrlich beranggapan bahwa hukum tunduk pada

kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Hukum sendiri tidak akan mungkin

9
efektif, oleh karena ketertiban dalam masyarakat didasarkan pada

pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapaanya

secara resmi oleh negara. Bagi Ehrlich, tertib sosial didasarkan pada

fakta diterimanya hukum yang didasarkan pada aturan dan norma sosial

yang tercermin dalam sistem hukum. Secara konsekuen Ehrlich

beranggapan bahwa mereka yang berperan sebagai pihak yang

mengembangkan sistem hukum harus mempunyai hubungan yang erat

denga nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan.

Kesadaran itu harus ada pada setiap anggota profesi hukum yang

bertugas mengembangkan hukum yang hidup dan menentukan ruang

lingkup hukum positif dalam hubungannya dengan hukum yang hidup.

Sampai di sini terlihat bahwa pendapat Ehrlich mirip dengan von

Savigny. Hanya saja, Ehrlich lebih senang menggunakan istilah

kenyataan sosial daripada istilah volksgeist sebagaimana yang

digunakan Savigny. Kenyataan-kenyataan sosial yang anormatif itu

dapat menjadi normatif, sebagai kenyataan hukum (facts of law) atau

hukum yang hidup (living law), melalui empat cara. Huijbers (1988)

menyebut empat cara (jalan) itu:

1) Kebiasaan (Uebung);

2) Kekuasaan efektif;

3) Milik efektif; dan

4) Pernyataan Kehendak Pribadi.

10
 Roscoe Pound (1870-1964)

Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk

memperbarui (merekayasa) masyarakat (law as a tool of social

engineering). Untuk dapat memenuhi peranannya sebagai alat tersebut,

Pound lalu membuat penggolongan atau kepentingan-kepentingan yang

harus dilindungi oleh hukum sebagai berikut:

a. Kepentingan umum (public interest):

1. Kepentingan negara sebagai badan hukum;

2. Kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.

b. Kepentingan masyarakat (social interest):

1. Kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;

2. Perlindungan lembaga-lembaga sosial;

3. Pencegahan kemerosotan akhlak;

4. Pencegahan pelanggaran hak;

5. Kesejahteraan sosial.

c. Kepentingan pribadi (private interest):

1. Kepentingan individu;

2. Kepentingan keluarga;

3. Kepentingan hak milik.

11
Dari kalsifikasi tersebut, dapat ditarik dua hal. Pertama, Pound

mengikuti garis pemikiran yang berasal dari von Jhering dan Bhentam,

yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan

sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial. Memang,

penggolongan kepentingan tersebut sebenarnya melanjutkan apa yang

telah dilakukan oleh von Jhering. Karena itu, dilihat dari hal tersebut,

Pound sebenarnya dapat pula digolongkan sebagai penganut

Utilitarianisme sebagai penerus Jhering dan Bentham.

Kedua, klasifikasi tersebut membantu menjelaskan premis-premis

hukum, sehingga membuat pembentuk undang-undang, hakim,

pengacara, dan pengajar hukum menyadari akan prinsip-prinsip dan

nilai-nilai yang terkait dalam tiap-tiap persoalan khusus. Dengan

perkataan lain, klasifikasi itu membantu menghubungkan antara prinsip

(hukum) dan praktiknya.

III. Kelebihan dan Kekurangan Sociological

Jurisprudence

Hukum itu sendiri lebih dari sekadar aturan. Ini adalah pengetahuan dan

pengalaman di mana proses hukum dijalankan. Ini tidak hanya mencakup aturan,

12
prinsip, konsep, dan standar tetapi juga doktrin dan mode pemikiran profesional,

keterampilan, dan seni.

Kelebihan yurisprudensi sosiologis telah dirumuskan oleh Pound sebagai

berikut:

1) Sebuah studi tentang dampak sosial dari institusi hukum, aturan hukum

dan doktrin hukum, tentang hukum yang bertindak berbeda dari aturan

tertulis (Undang-Undang);

2) Studi sosiologis sebagai langkah awal yang penting dalam pembuatan

undang-undang;

3) Untuk memastikan sarana di mana aturan hukum dapat dibuat lebih

efektif dalam kondisi kehidupan yang ada, termasuk batas-batas tindakan

hukum yang efektif;

4) Upaya untuk memahami pertumbuhan hukum yang sebenarnya dengan

mempelajari metode peradilan dan cara berpikir para hakim dan

pengacara besar;

5) Untuk mempelajari sejarah hukum sosiologis dari hukum umum, untuk

mempelajari hubungan hukum masa lalu dengan institusi sosial yang ada;

6) Individualisasi penerapan aturan hukum untuk memperhitungkan

keadaan konkret dari kasus-kasus tertentu;

7) Pembentukan "Menteri Kehakiman" oleh negara-negara bagian untuk

berpartisipasi dalam program ini.

13
Menurut Pound, hukum di pandang sebagai lembaga masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Disisi lain, Friedman mengemukakan,

secara teoritis karya Ehrlich, menunjukkan adanya tiga kelemahan pokok

terhadap ajaran sociological jurisprudence yang dikembangkan Ehrlich, yang

semuanya disebabkan oleh keinginanannya meremehkan fungsi negara dalam

pembuatan undang-undang. Kelemahan itu adalah:

1) Karya tersebut tidak memberikan kriteria yang jelas membedakan norma

hukum dari norma sosial yang lain. Bahwa keduanya tidak dapat

dipertukarkan, sesuatu yang merupakan fakta historis dan sosial, tidak

mengurangi perlunya pengujian pernedaan yang jelas. Sesuai dengan itu

sosiologi hukum Ehrlich selalu hampir menjadi suatu dalam garis besar,

sosilogi umum.

2) Ehrlich meragukan posisi adat kebiasaan sebagai sumber hukum dan adat

kebiasaan sebagai satu bentuk hukum. Dalam masyarakat primitif seperti

halnya dalam hukum internasional pada zaman ketika adat istiadat

dipandang baik sebagai sumber hukum maupun sebagai bentuk hukum

yang paling penting. Di negara modern peran masyarakat mula-mula

masih penting, tetapi kemudian berangsur berkurang. Masyarakat

modern menuntut sangat banyak undang-undang yang jelas dibuat oleh

pembuat undang-undang yang sah. Undang-undang semacam itu selalu

derajat bermacam-macam, tergantung dari fakta hukum ini, tetapi

14
berlakunya sebagai hukum bersumber pada ketaatan faktual ini.

Kebingunan ini merembes ke seluruh karya Ehrlich.

3) Ehrlich menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan

norma-norma hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama

negara hanya memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Konsekwensinya

adalah adat kebiasaan berkurang sebelum perbuatan udang-undang

secara terperinci, terutama undang-undang yang dikeluarkan oleh

pemerintah pusat mempengaruhi kebiasaan dalam masya-rakat sama

banyaknya dengan pengaruh dirinya sendiri.

Secara umum Socological Jurisprudence memiliki kelebihan dan

kekurangan, diantaranya:

 Kelebihan:

1) Hukum peka terhadap masyarakat

2) Rasa keadilan masyarakat sangat dikedepankan

3) Penegakan hukum berpijak pada masyarakat

 Kekurangan:

1) Kepastian hukum dinisbikan

2) Mengandaikan tingkatan kesadaran hukum yang tinggi di dalam

masyarakat

3) Definisi hukum menjadi cair

15
IV. Contoh Kasus

Ada sebuah kasus hukum yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni seorang

nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari penjara

karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan

milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.

Kasus ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya

di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas,

Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh

PT RSA untuk menanam kakao.

Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah

kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian

memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3

buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah

pohon kakao.

Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA.

Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos,

Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu

tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri.

Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan

berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia

serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali
16
bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang.

Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi.

Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang

terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim

yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari

dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan

meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

Kasus nenek Minah sontak mencidrai rasa keadilan di tengah masyarakat,

sebab nenek Minah yang tak tau apa-apa tersebut harus berurusan dengan hukum

dan dijatuhi hukuman oleh hakim. Padahal apa yang diperbuat oleh nenek Minah

sangat tidak berbanding dengan sanksi yang diterimanya. Seharusnya perkara-

perkara kecil seperti ini tidak sampai ke pengadilan dan cukup diselesaikan

bawah, tetapi hukum berkata lain. Substansi hukum tidak lagi mencerminkan

keadilan ditengah masyarakat, hukum sudah jauh dari nilai-nilai yang hidup

ditengah masyarakat.

Menurut Aliran Sosiologis yang dipelopori Hammaker, Eugen Ehrlich dan

Max Weber Hukum merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum

adalah gejala masyarakat, karenanya perkembangan hukum (timbulnya,

berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Perkembangan hukum merupakan kaca dari perkembangan masyarakat.

17
Oleh sebab itu, menurut aliran Sosiologis, hukum bukanlah norma-norma

atau peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut tata tertib

yang ada dalam masyarakat, tetapi kebiasaan-kebiasaan orang dalam

pergaulannya dengan orang lain, yang menjelma dalam perbuatan atau

perilakunya dimasyarakat. Hammaker, yang meletakkan dasar sosiologi hukum

di Negara Belanda menyatakan, hukum itu bukan suatu himpunan norma-norma,

bukan himpunan peraturan-peraturan yang memaksa orang berkelakuan menurut

tata tertib masyarakat, tetapi suatu himpunan peraturan-peraturan yang menunjuk

‘kebiasaan’ orang dalam pergaulannya dengan orang lain di masyarakat.

Menurut Soekanto, aliran sociological jurisprudence yang dipelopori oleh

oleh Eugen Erlich, bahwa ajarannya adalah berpokok pada perbedaan antara

hukum positif (kaidah-kaidah hukum) dengan hukum yang hidup ditengah

masyarakat (living law). Sehingga hukum yang positif hanya akan efektif apabila

senyatanya selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Erlich juga

mengatakan bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada

badan-badan legislated, keputusan-keputusan badan yudikatif atau ilmu hukum,

tetapi senyatanya adalah justru terletak didalam masyarakat itu sendiri.

Kasus nenek Minah merupakan secuil kecil masalah ketidakadilan ditengah-

tengah masyarakat. Banyak substansi hukum yang ada tidak berihak kepada

kepentingan masyarakat, hukum tidak lagi mencerminkan perkembangan

masyarakat sehingga banyak masalah-masalah hukum terkini ditengah-tengah

18
masyarakat tidak bisa dijawab oleh hukum, karena hukum yang berlaku sudah

banyak yang usang seperti hukum warisan kolonial yang masih bersifat positivis.

Secara idialnya perkembangan masyarakat harus diikuti oleh perkembangan

hukum. Dari kasus nenek Minah, penggunaan pranata hukum yang tidak sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan tidak mencerminan nilai-nilai keadilan

ditengah masyarakat hanya membawa ketidakadilan ditengah-tengah masyarakat.

Ditambah lagi dengan aparat penegak hukum yang masih berpola pikir

konservatif dalam menegakkan hukum. Hukum adalah hasil ciptaan masyarakat,

tapi sekaligus ia juga menciptakan masyarakat. Sehingga konsep dalam

berhukum seyogyanya adalah sejalan dengan perkembangan masyarakatnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khawarizmi, Damang Averroes. 2011. “Sociological Jurisprudence”.

http://www.negarahukum.com/hukum/sociological-jurisprudence.html. Diakses

pada tanggal 24 November 2018

Samiun, Ali. 2016. Filsafat Hukum : “Aliran Sociological Jurisprudence”.

http://www.informasiahli.com/2016/04/filsafat-hukum-aliran-sociological-

jurisprudence.html. Diakses pada tanggal 24 November 2018

Wuamue, Ryan. 2016. “Implementasi Aliran Sociological Jurisprudence

dalam Hukum Indonesia”.

http://ryanwuamue.blogspot.com/2016/11/mplementasi-aliran-sociological.html.

Diakses pada tanggal 24 November 2018

Darmodiharjo, Darji. 1999. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama

20

Anda mungkin juga menyukai