Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap
kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa
persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan perundang-
undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum,
Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai macam
makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara mana pun sering timbul berbagai masalah, terkait
penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum
tentu baik apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling
pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya
mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu
masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara
dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan
dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan
dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan
perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.
Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum
positif sudah pasti adil. Dengan menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang
objektif. Keadilan di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang
KEADILAN MASYARAKAT
Di mana ada masyarakat di situ ada hukum ”ubi societas ibi ius”. Pernyataan ini tidak hanya
bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan keberadaan masyarakat, tetapi juga
menunjukkan bahwa hukum ada sebagai instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.
Karena itu, orientasi dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan
diwujudkan adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak
dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan hukum tidak
semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini telah dikembangkan oleh Satjipto
Pernyataan ini juga berarti bahwa hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum,
melainkan untuk manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan
dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat ahlihukum, melainkan
Pandangan bahwa keadilan yang objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga
kelemahan mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada ruang
dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam perumusan
norma.
Apalagi jika hukum dipahami sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai
kepentingan masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi yang
lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya. Kedua, aturan hukum
Keterbatasan ini lahir karena keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-
peristiwa yang akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan
hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi keadilan yang
dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum tentu relevan dengan perkembangan
Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga
mengalami perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan perikehidupan
masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis dengan menyatakan bahwa keadilan
bersifat subjektif.
Subjektivitas dalam hal ini tidak berarti berbedabeda antara satu manusia dan manusia yang lain,
melainkan berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama halnya
dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh nurani dan akal pikiran
manusia. Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan tersebut mengakibatkan hukum berjarak
dengan masyarakatnya.
Objektivitas keadilan hukum bisa jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat.
Karena itu, dalam penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat. Ini tidak berarti
keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum tertulis tetap diperlukan sebagai
masyarakat. Pada saat hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum
telah kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru merusak
POSTMODERNISME
Tuntutan akan reformasi hukum menjadi penting setelahIndonesia memasuki era globalisasi saat
globalisasimerupakan proses yang memakan waktu sangat lama sejalan dengan perjalanansejarah
manusia itu sendiri. Sehingga menurut Esmi Warassih, globalisasimerupakan suatu proses
bersifat normatif saja, karena hukum obyeknya adalah manusia baik dalamkedudukannya
sebagianmanusia pribadi (individu) ataupun sebagai mahluk sosial,yaitu menjadi anggota suatu
masyarakat. Karena hukum mengandung nilai, ideatau cita yang abstrak, yang memuat nilai moral
keadilan dan kebenaran yangharus diwujudkan dalam kenyataan. Perwujudan ide yang abstrak ke
dalamkenyataan inilah sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum. Meskipun disisi lain
Indonesia belum dapat melepaskan diri darikesulitan dalam skala global sebagai akibat belum
Kiranya kita perlu mensikapi secara kritis dan waspada terhadap perubahan hukum dengan label
globalisasi yang dilontarkan olehnegara-negara maju, karena tidak menutup kemungkinan akan
berubah misinyabukan lagi untuk memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat secara
mendorong negara-negara di dunia ini untuk menjadi bagianyang baik bahkan yang terbaik di
dalamnya, dengan tujuan untuk mencapaikesejahteraan bersama. Untuk mencapai hal tersebut,
saja, karena hukum obyeknya adalah manusia baik dalamkedudukannya sebagianmanusia pribadi
(individu) ataupun sebagai mahluk sosial,yaitu menjadi anggota suatu masyarakat. Karena hukum
mengandung nilai, ideatau cita yang abstrak, yang memuat nilai moral keadilan dan kebenaran
yangharus diwujudkan dalam kenyataan. Perwujudan ide yang abstrak ke dalamkenyataan inilah
sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum. Permasalahan yang paling mendasar dalam
sejarah perkembangan hukum selamaorde baru adalah dominasi paradigma kekuasaan, yang
Sementara disisi lain Indonesia juga tengah dihadapkan kepada masalah transformasi
menuju sosok baru yang lebih mapan. Dapat pula diartikansebagai suatu proses perubahan secara
bertahap atau suatut tahap akhir dari suatuperubahan. Perubahan yang kita kehendaki bukanlah
sekedar dialektikapergeseran kelas dalam masyarakat produksi melainkan juga harus dilihat
darisudut perkembangan nilai, terutama nilai-nilai budaya dan agama dalammasyarakat menuju
masyarakat yang demikratis dengan tatanan ekonomi yangmapan serta birokrasi modern.
Sebagai bagian dari proses globalisasi, maka mau tidak mau Indonesia harusmelakukan perubahan
dan reformasi terhadap tatanan hukumnya agar tidakmenghambat. Dalam proses penataan hukum
secara bertahap yangsudah dimulai sejak era pasca kolonial itu selain harus
memperhatikancita hukum dan politik hukum nasional serta karakteristik lokal. Karena
inimerupakan ide awal para pendiri bangsa untuk mentransformasikan hukumkolonial menjadi
hukum nasional yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa.Selain itu dalam dalam
Karena ternyata budaya hukum masyarakatIndonesia masih belum banyak berubah. Padahal
budaya hukum merupakan mesin penggerak untuk dapat menggerakan masyarakat berperilaku
sesuai aturan hukum. Sehinggaproses perubahan hukum menuju masyarakat global akan menemui
Dengan menyadari kelemahan penataan hukum masa lalu, maka dalamrangka reformasi dan
perubahan hukum langkah penting yang harus dilakukanadalah mengembalikan atau memulihkan
perlindungan dankeadilan bagi masyarakat. Reformasi hukum harus dapat menjadikan hukum
jaman. Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan bertahapsampai kepada
kondisi sistem hukum negara yang mendominasi dan cenderung mengabaikan keberadaan sistem
hukum adat menjadi dasar pentingnya pemahaman pluralisme hukum. “Keadilan tidak hanya
dicapai melalui sistem hukum negara yang sifatnya sentralistis,” tegasnya.Sehinggga persoalan-
persolan yang terjadi sekarang ini dapat lebih mudah terselasaikan dengan menggunakan hukum