Anda di halaman 1dari 7

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA

UJIAN AKHIR SEMESTER (UAS) TA 2020/2021

MATA UJI : TEORI HUKUM


Smt/Klas : I/ Angkatan 31
Hari/Tgl. : Sabtu, 12 Desember 2020
Waktu : -
Dosen : Dr.Wibowo Murti Samadi, SH. MS
Mahasiswa : Dhani Tri Sukoco

“HUKUM YANG BERKEADILAN”

Keadilan menjadi dasar ketertiban sosial karena di dalam keadilan terdapat perlindungan terhadap

kepentingan individu dan masyarakat sekaligus. Namun, kaum positivis berpandangan bahwa

persoalan hukum dan keadilan sudah selesai ketika hukum dalam arti peraturan perundang-

undangan atau putusan hakim telah selesai dibuat. Keadilan bukan bagian dari persoalan hukum,

melainkan persoalan pembuatan hukum.

Esensi dalam penegakan hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri mempunyai berbagai macam

makna, tergantung dari perspektifnya. Di negara mana pun sering timbul berbagai masalah, terkait

penegakan keadilan di ranah hukum. Konsep keadilan yang sudah mapan di suatu negara belum

tentu baik apabila diterapkan untuk negara lain. Meskipun demikian, dimungkinkan adanya saling

pengaruh mempengaruhi atau bersifat integrasi antara pemikiran satu dengan yang lainnya

mengenai makna keadilan, terutama yang mempunyai sifat universal. Pada tataran filosofis, tentu

masing-masing negara mempunyai akar pemikiran tersendiri, tergantung dari norma dasar negara

dan kehidupan sosial-budaya bangsanya. Untuk mengurai lebih lanjut mengenai makna keadilan

dari sudut pandang filsafat, sarana yang tepat digunakan adalah hermeneutik. Penelusuran keadilan
dalam perspektif hermeneutik dalam rangka penegakan hukum seyogyanya dibingkai juga dengan

perspektif ilmu hukum, agar diperoleh titik temu dan lebih mudah dalam pengimplementasiannya.

Hukum adalah bentuk objektif dari keadilan yang semula bersifat subjektif. Karena itu, hukum

positif sudah pasti adil. Dengan menegakkan hukum positif berarti menegakkan keadilan yang

objektif. Keadilan di luar hukum positif dan putusan pengadilan adalah keadilan subjektif yang

bertentangan dengan karakter keilmuan hukum.

KEADILAN MASYARAKAT

Di mana ada masyarakat di situ ada hukum ”ubi societas ibi ius”. Pernyataan ini tidak hanya

bermakna bahwa keberadaan hukum bersamaan dengan keberadaan masyarakat, tetapi juga

menunjukkan bahwa hukum ada sebagai instrumen untuk membentuk kehidupan bermasyarakat.

Karena itu, orientasi dari hukum adalah masyarakat itu sendiri. Keadilan yang hendak dicapai dan

diwujudkan adalah keadilan masyarakat. Karena hukum adalah instrumen sosial, hukum tidak

dibuat untuk hukum itu sendiri. Ini mengandung konsekuensi bahwa penegakan hukum tidak

semata-mata ditujukan agar aturan hukum terlaksana. Dalil ini telah dikembangkan oleh Satjipto

Rahardjo sebagai salah satu karakter hukum progresif.

Pernyataan ini juga berarti bahwa hukum tidak dibuat untuk para yuris dan aparat penegak hukum,

melainkan untuk manusia dan masyarakat. Karena itu, yang semestinya menjadi ukuran keadilan

dalam penegakan hukum juga bukan aturan hukum tertulis dan pendapat ahlihukum, melainkan

kesesuaiannya dengan nilai kemanusiaan dan pendapat umum masyarakat.

Pandangan bahwa keadilan yang objektif ada di dalam aturan hukum tertulis mengandung tiga

kelemahan mendasar. Pertama, pembentukan aturan hukum tertulis tidak selalu berada pada ruang

dan waktu ideal yang memungkinkan keadilan menjadi pertimbangan utama dalam perumusan
norma.

Apalagi jika hukum dipahami sebagai produk politik, artinya produk dari kontestasi berbagai

kepentingan masyarakat di mana kelompok yang memiliki kekuatan lebih memiliki potensi yang

lebih besar untuk memengaruhi hukum demi melindungi kepentingannya. Kedua, aturan hukum

tertulis memiliki keterbatasan dalam menjangkau berbagai variasi kasus.

Keterbatasan ini lahir karena keterbatasan pembentuk hukum dalam memperkirakan peristiwa-

peristiwa yang akan diatur dengan hukum yang dibuat. Keterbatasan juga melekat pada aturan

hukum tertulis karena keharusan rumusannya yang umum dan abstrak. Substansi keadilan yang

dipercaya bersifat objektif dalam aturan hukum tertulis belum tentu relevan dengan perkembangan

peristiwa yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh pembentuk hukum.

Ketiga, keadilan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Pemikiran, apalagi ”rasa” keadilan, juga

mengalami perkembangan dan bahkan pergeseran seiring perkembangan nilai dan perikehidupan

masyarakat. Ini sesungguhnya juga diakui oleh kaum positivis dengan menyatakan bahwa keadilan

bersifat subjektif.

Subjektivitas dalam hal ini tidak berarti berbedabeda antara satu manusia dan manusia yang lain,

melainkan berkembang sesuai zamannya. Keadilan objektif masyarakat tetap ada sama halnya

dengan adanya nilai bersama (common value) yang dapat ditangkap oleh nurani dan akal pikiran

manusia. Dalam penegakan hukum, ketiga kelemahan tersebut mengakibatkan hukum berjarak

dengan masyarakatnya.

Objektivitas keadilan hukum bisa jadi berseberangan dengan objektivitas keadilan masyarakat.

Karena itu, dalam penegakannya hukum harus dinilai dengan keadilan masyarakat. Ini tidak berarti

keberadaan aturan hukum tertulis tidak diperlukan lagi. Hukum tertulis tetap diperlukan sebagai

pedoman perilaku masyarakat dan pedoman para penegak hukum.


Namun, hukum tertulis tidak boleh dimutlakkan bahkan ketika berseberangan dengan keadilan

masyarakat. Pada saat hukum ditegakkan dengan menabrak keadilan masyarakat, saat itu hukum

telah kehilangan hakikatnya sebagai instrumen keberadaan masyarakat. Hukum justru merusak

keadilan dan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.

HUKUM YANG BERKEADILAN DI ERA GLOBLISASI DALAM PARADIGMA

POSTMODERNISME

Tuntutan akan reformasi hukum menjadi penting setelahIndonesia memasuki era globalisasi saat

ini, karena pembangunan hukumnyadihadapkan pada tekanan-tekanan arus globalisasi

perdagangan bebas yangmerambah ke semua bidang kehidupan. Berdasarkan telaah historis,

globalisasimerupakan proses yang memakan waktu sangat lama sejalan dengan perjalanansejarah

manusia itu sendiri. Sehingga menurut Esmi Warassih, globalisasimerupakan suatu proses

kebudayaan.9Permasalahan hukumnya tidak hanya terbatas pada ketentuan-ketentuanyang

bersifat normatif saja, karena hukum obyeknya adalah manusia baik dalamkedudukannya

sebagianmanusia pribadi (individu) ataupun sebagai mahluk sosial,yaitu menjadi anggota suatu

masyarakat. Karena hukum mengandung nilai, ideatau cita yang abstrak, yang memuat nilai moral

keadilan dan kebenaran yangharus diwujudkan dalam kenyataan. Perwujudan ide yang abstrak ke

dalamkenyataan inilah sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum. Meskipun disisi lain

globalisasi merupakantuntutan pemenuhan kebutuhan ekonomi.Setelah sekian lama merdeka,

Indonesia belum dapat melepaskan diri darikesulitan dalam skala global sebagai akibat belum

terkonsentrasikannya pola-polapembangunan yang mensejahterakan rakyat.

Kiranya kita perlu mensikapi secara kritis dan waspada terhadap perubahan hukum dengan label

globalisasi yang dilontarkan olehnegara-negara maju, karena tidak menutup kemungkinan akan
berubah misinyabukan lagi untuk memenuhi dan melindungi kepentingan masyarakat secara

bersama-samadan proporsional, tetapi menjadi alat untuk mengawasi terhadap kemajuan

dankebebasan negara berkembang. Padahal dengan adanya globalisasi danperdagangan bebas

mendorong negara-negara di dunia ini untuk menjadi bagianyang baik bahkan yang terbaik di

dalamnya, dengan tujuan untuk mencapaikesejahteraan bersama. Untuk mencapai hal tersebut,

dibutuhkan perangkat hukumyang mampu memenuhi kebutuhan dan melindungi kepentingan

masyarakatIndonesia di era gobal ini.

Permasalahan hukumnya tidak hanya terbatas pada ketentuan-ketentuanyang bersifat normatif

saja, karena hukum obyeknya adalah manusia baik dalamkedudukannya sebagianmanusia pribadi

(individu) ataupun sebagai mahluk sosial,yaitu menjadi anggota suatu masyarakat. Karena hukum

mengandung nilai, ideatau cita yang abstrak, yang memuat nilai moral keadilan dan kebenaran

yangharus diwujudkan dalam kenyataan. Perwujudan ide yang abstrak ke dalamkenyataan inilah

sesungguhnya merupakan proses penegakan hukum. Permasalahan yang paling mendasar dalam

sejarah perkembangan hukum selamaorde baru adalah dominasi paradigma kekuasaan, yang

mengakibatkan hukumtidak mampu memainkan peran yang sesungguhnya sebagai alat

untukmewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

Hukum berfungsi sebagai kekuatankontrol pemerintah (government social control) yang

terlegitimasi dan sebagai tool of social engineeringuntuk suksesnya pembangunan ekonomi.

Sementara disisi lain Indonesia juga tengah dihadapkan kepada masalah transformasi

global.Budayawan Umar Kayam mengartikan transformasi sebagai suatu prosespengalihan total

menuju sosok baru yang lebih mapan. Dapat pula diartikansebagai suatu proses perubahan secara

bertahap atau suatut tahap akhir dari suatuperubahan. Perubahan yang kita kehendaki bukanlah

sekedar dialektikapergeseran kelas dalam masyarakat produksi melainkan juga harus dilihat
darisudut perkembangan nilai, terutama nilai-nilai budaya dan agama dalammasyarakat menuju

masyarakat yang demikratis dengan tatanan ekonomi yangmapan serta birokrasi modern.

Sebagai bagian dari proses globalisasi, maka mau tidak mau Indonesia harusmelakukan perubahan

dan reformasi terhadap tatanan hukumnya agar tidakmenghambat. Dalam proses penataan hukum

secara bertahap yangsudah dimulai sejak era pasca kolonial itu selain harus

memperhatikankecenderungan yang diakui internasional (global trend) juga harus

memperhatikancita hukum dan politik hukum nasional serta karakteristik lokal. Karena

inimerupakan ide awal para pendiri bangsa untuk mentransformasikan hukumkolonial menjadi

hukum nasional yang lebih sesuai dengan kepribadian bangsa.Selain itu dalam dalam

implementasinya juga harus mempertimbangkan budayahukum yang ada dalam masyarakat.

Karena ternyata budaya hukum masyarakatIndonesia masih belum banyak berubah. Padahal

budaya hukum merupakan mesin penggerak untuk dapat menggerakan masyarakat berperilaku

sesuai aturan hukum. Sehinggaproses perubahan hukum menuju masyarakat global akan menemui

banyakhambatan apabila tidak dibarengi dengan perubahan mentalitas dan budayamasyarakatnya.

Dengan menyadari kelemahan penataan hukum masa lalu, maka dalamrangka reformasi dan

perubahan hukum langkah penting yang harus dilakukanadalah mengembalikan atau memulihkan

otentisitas hukum. Era reformasi yangmerupakan era transisi menghendaki kemampuan

mengelolan perubahanberdasarkan hukum. Dalam arti hukum harus bisa memberikan

perlindungan dankeadilan bagi masyarakat. Reformasi hukum harus dapat menjadikan hukum

sebagaiinstitusi yang mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan kebutuhan dantuntutan

jaman. Perubahan mendasar dimulai dari perangkat nilai dan bertahapsampai kepada

substansi(aturan/norma), struktur, prosedur dan kulturnya. Menurut Lidwina Inge Nurtjahyo”

kondisi sistem hukum negara yang mendominasi dan cenderung mengabaikan keberadaan sistem
hukum adat menjadi dasar pentingnya pemahaman pluralisme hukum. “Keadilan tidak hanya

dicapai melalui sistem hukum negara yang sifatnya sentralistis,” tegasnya.Sehinggga persoalan-

persolan yang terjadi sekarang ini dapat lebih mudah terselasaikan dengan menggunakan hukum

yang ada di masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai