Anda di halaman 1dari 16

HUKUM DAN KEADILAN:

ISU BAGIAN HULU DAN HILIR

Titon Slamet Kurnia


Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana
Korespondensi: titonslamet@gmail.com

Abstrak

Hubungan antara hukum dan keadilan seperti aliran sungai yang mengalir dari hulu ke
hilir. Sesuai analogi ini, keadilan adalah isu inheren dalam pembentukan undang-undang
(isu bagian hulu) dan ajudikasi (isu bagian hilir). Konsisten dengan ini, penulis meyakini
bahwa undang-undang dan ajudikasi harus adil karena presumsi bahwa keadilan adalah
nilai internal hukum. Kita harus mewaspadai posisi bebas-nilai positivis karena mengarah
pada pemikiran yang bersifat reduksionis tentang hukum. Untuk menanggapi isu tersebut
penulis mendukung pendapat yang mengklaim bahwa kita tidak dapat memisahkan hukum
dan keadilan. Kita mengacu hanya pada hukum hanya karena hukum tersebut adil.

Kata-kata Kunci: Hukum; Keadilan; Isu Bagian Hulu dan Hilir.

Abstract

The relationship between law and justice is analogous to a river. Like a river stream, justice
flows from the upstream to the downstream in the legal discourse. According to this analogy,
justice is inherent issue in the rule-making (the upstream issue) and adjudication (the
downstream issue). Consistent with this statement the author believes that legislation and
adjudication should be just because the presumption that justice is the internal value of
the law. We should be aware that a value-free standpoint proposed by the positivist would
lead us to a reductionist thinking about law. In order to address this issue, the author
therefore argues for the unity thesis that claims that we cannot separate law and justice.
We invoke only to the law because a conviction that the law is just.

Key Words: Law; Justice; Upstream and Downstream Issues.

17
18 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

PENDAHULUAN merumuskan undang-undang yang adil.


Hal ini adalah isu bagian hulu, bagian
Undang-undang tidak sama dengan awal, dalam diskusi tentang hubungan
hukum. Filsafat hukum membedakan antara hukum dan keadilan.
secara ontologis konsep hukum (dalam
bahasa Latin disebut ius) dan undang- Legal reasoning merupakan segi
undang (dalam bahasa Latin disebut praktis dari ilmu hukum. Legal
lex). Undang-undang hanya salah satu reasoning adalah aktivitas untuk
sumber hukum dengan pengertian menjustifikasi putusan atau tindakan
sebagai starting point dari hukum dalam yang diambil atas suatu isu hukum
menentukan perintah dan larangan yang supaya tidak terjadi kesewenang-
otoritatif kepada subjek hukum. Karena wenangan mengenai putusan atau
pengaruh ajaran legal positivism maka tindakan yang diambil. 2 Aktivitas
perbedaan tersebut dalam melakukan legal reasoning tidak dapat
perkembangannya terdisorientasi dan diisolir dari konsep keadilan kecuali
dianggap tidak penting lagi sehingga secara presumtif diyakini bahwa
tesis yang lebih dominan yaitu “Hukum keadilan telah inheren dalam undang-
adalah Undang-undang.” Positivis undang. Dalam situasi demikian, setiap
menjustifikasi pendiriannya dengan legal reasoning secara otomatis adil jika
argumen bahwa kekuasaan negara undang-undangnya sendiri adil secara
memvalidasi undang-undang. 1 Oleh inheren. Ketidakmampuan pembentuk
karena itu hukum kemudian menjadi undang-undang untuk menghasilkan
identik dengan kekuasaan. undang-undang yang adil harus
dikompensasi dengan penerapannya
Tulisan ini tetap mempertahankan pada kasus-kasus individual-konkret
perbedaan antara konsep hukum dan melalui legal reasoning yang
konsep undang-undang sebagai isu yang menampung muatan keadilan. Hal ini
relevan dalam mendiskusikan adalah isu bagian hilir dalam diskusi
hubungan antara hukum dan keadilan. tentang hubungan antara hukum dan
Tulisan ini akan mendiskusikan keadilan.
hubungan antara hukum dan keadilan
dengan menggunakan analogi aliran Tesis penulis sebagai dasar dalam
sungai, bagian hulu (upstream) dan pembahasan terhadap kedua isu
bagian hilir (downstream). Sebagai salah tersebut adalah undang-undang dan
satu sumbernya, undang-undang harus legal reasoning merupakan elemen
mengandung ciri kodrati hukum, yaitu esensial hukum sehingga keduanya
keadilan. Oleh karena itu tugas harus mengandung kualitas keadilan
pembentuk undang-undang adalah sebagai nilai internalnya. Sistematika

1
Pendapat Gustav Radbruch dalam Heather Leawoods, ‘Gustav Radbruch: An Extraordinary
Legal Philosopher’ (2000) 2 Washington University Journal of Law and Policy 489, 497-498.
2
Bandingkan Altman: “Legal reasoning proceeds on the assumption that authoritative decisions
that make up the law are not arbitrary: there are reasons for the decisions.” Andrew Altman,
Arguing About Law (Wadsworth Publishing Co. 2001) 289.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 19

pembahasan tulisan ini terdiri dari dua with the system, or authoritative issuance,
bagian. Bagian pertama akan and that of social efficacy ... Common to
menjelaskan isu bagian hulu dalam all of the variations is the notion that what
hubungan antara hukum dan keadilan, law is depends solely on what has been
yaitu konsep ontologis undang-undang issued and/or is efficacious. Correctness
yang adil. Dengan pengertian lain secara of content—however achieved—counts for
konseptual fokus pembahasan ini nothing.” 3 Sementara kebalikannya,
adalah tentang legislasi. Bagian kedua konsep hukum yang non-positivistik:
akan menjelaskan isu bagian hilir, yaitu
defend the connection thesis, which says
legal reasoning yang bermuatan keadilan that the concept of law is to be defined
dalam situasi kegagalan pembentuk such that moral elements are included.
undang-undang untuk menghasilkan No serious non-positivist is thereby
excluding from the concept of law either
undang-undang yang adil, sesuai cita the element of authoritative issuance or
hukumnya. Fokus pembahasan ini the element of social efficacy. Rather,
adalah tentang ajudikasi. Pada bagian what distinguishes the non-positivist from
the positivist is the view that the concept
ini penulis akan merujuk pandangan of law is to be defined such that,
sarjana berpengaruh yaitu Radbruch. alongside these fact-oriented properties,
moral elements are also included.4
PEMBAHASAN
Konsep hukum yang positivistik
Isu Bagian Hulu: Keadilan Sebagai
sering pula disebut dengan istilah
Jiwa Undang-Undang
separation thesis karena membedakan
Pembahasan tentang keadilan hukum yang ada (hukum positif) dengan
sebagai landasan normativitas undang- hukum yang seharusnya atau yang ideal
undang bertolak dari konsep hukum (law as it is dengan law as it ought to be).
tertentu. Yang dimaksud dengan konsep Konsep hukum yang non-positivistik
hukum di sini adalah hakikat atau sebaliknya, disebut dengan istilah unity
esensi hukum sebagaimana diyakini thesis.
atau dipegang oleh seseorang sebagai
Perdebatan antar kedua pendirian
praktisi hukum. Untuk lebih
tersebut sudah bersifat klasik dalam
memudahkan dalam pemahaman,
studi jurisprudence.5 Atas isu tersebut
penulis menggunakan pendekatan
penulis memilih posisi ketidakniscayaan
dikotomis tentang hakikat hukum,
separation thesis (pandangan value free
dengan mengacu pada Robert Alexy,
terhadap hukum). Fuller misalnya
yaitu konsep yang positivistik dan
mengingatkan: “The respect we owe to
konsep yang non-positivistik. Tentang
human laws must surely be something
konsep hukum yang positivistik Alexy
different from the respect we accord to the
menyatakan: “there are only two defining
law of gravitation.” 6 Luis Recaséns
elements: that of issuance in accordance

3
Robert Alexy, The Argument from Injustice: A Reply to Legal Positivism (Oxford University Press
2004) 3-4.
4
Ibid., 4.
20 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

Siches, filsuf hukum Amerika Latin, justice as from its mother, as it were, so
menyatakan: “Every idea of ought-to-be, there has been justice prior to law).”10
of normativity, is based on judgment, that
Bentuk moderat pendirian non-
is, on an appreciation of values.”7
positivistik adalah inclusive legal
Pendirian non-positivistik juga positivism. Menurut Waluchow:
nampak dalam diri Radbruch: “Law is a
creation of man, and like any human A distinguishing feature of inclusive
positivism is its claim that standards of
creation it can be understood only by its political morality, that is, the morality we
idea... a view of human creations that is use to evaluate, justify, and critize social
blind to purposes, that is, to values, is institutions and their activities and
products, e.g. laws, can and do in various
impossible.” 8 Pengertian tersebut ways figure in attempts to determine the
dipertahankan oleh Radbruch dengan existence, content, and meaning of valid
tesis bahwa hukum adalah fenomena laws. Political morality, on this theory, is
included within the possible grounds for
budaya, fakta yang terkait dengan nilai, establishing the existence and content of
sehingga hukum mengandung secara valid, positive laws, that is, laws enacted
inheren cita hukum (the idea of law): or developed by human beings in
legislatures, courts of law, or customary
“Law is a cultural phenomenon, that is, a practice.11
fact related to value. The concept of law
can be determined only as something Pendekatan ini, tidak seperti pendekatan
given, the meaning of which is to realize legal positivism pada umumnya (yaitu
the idea of law. Law may be unjust yang memisahkan secara tegas antara
(summum jus – summa injuria); but it is hukum dan moral atau separation
law only because its meaning is to be thesis), menerima kemungkinan peran
just.”9 Hukum dapat tidak adil adalah moralitas sebagai standar evaluasi dan
pernyataan deskriptif/faktual; akan kritisisme hukum positif (undang-
tetapi, baru disebut hukum hanya jika undang), termasuk menentukan materi
adil adalah pernyataan normatifnya. muatannya yang ideal.
Oleh karena itu Radbruch lantas
Pendirian penulis dikatagorikan
memposisikan keadilan a priori terhadap
sebagai inclusive legal positivism karena
hukum lewat maxim-nya: “est autem jus
tetap memperlakukan hukum positif
a justitia, sicut a matre sua, ergo prius fuit
yaitu undang-undang (aspek formal)
justitia quam jus (but law issues from

5
Misalnya perdebatan H.L.A. Hart, ‘Positivism and the Separation of Law and Morals’ (1958) 71
Harvard Law Review 593 dan Lon L. Fuller,’Positivism and Fidelity to Law—A Reply to Professor
Hart’ (1958) 71 Harvard Law Review 630.
6
Lon L. Fuller, Ibid., 632.
7
Edgar Bodenheimer, Jurisprudence: The Philosophy and Method of the Law (Harvard University
Press 1970) 39.
8
Kurt Wilk, The Legal Philosophy of Lask, Radbruch and Dabin (Harvard University Press 1950)
51-52.
9
Ibid., 52.
10
Ibid., 73.
11
W.J. Waluchow, Inclusive Legal Positivism (Oxford University Press 1994) 2-3.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 21

sebagai starting point. Sementara command theory of law yang


keadilan atau moralitas (aspek dipertahankan oleh Bentham dan Austin
substantif) berfungsi sebagai kriteria dengan tesisnya: “law as the command
evaluatifnya. Argumen ini didasari of a sovereign backed by a sanction.”14
pemikiran, dengan cakupan lebih luas Segala hal yang tidak bermoral dapat
yaitu hukum pada umumnya, bahwa di mengikat sebagai hukum sepanjang
samping memerlukan the force of law, secara formal telah memenuhi kriteria
juga pada saat yang sama the grounds validitas, misalnya dibentuk oleh badan
of law tidak terelakkan untuk atau pejabat negara yang berwenang
menjustifikasi keberlakuan hukum yang (kasus Nuremberg Race Laws).
pelanggaran kepadanya melegitimasi
Undang-undang harus adil.
State coercion (dalam hal ini the force of
Validitasnya tidak cukup hanya
law).12
bergantung pada kekuasaan negara
Implikasi dari konsep hukum yang dalam pengundangannya serta dalam
non-positivistik adalah tesis bahwa penegakannya. Tanpa elemen keadilan
undang-undang harus adil. Alasan maka undang-undang sangat sulit
penolakan penulis terhadap konsep dibedakan dari ‘premanisme’ (gunman’s
hukum yang positivistik adalah karena threat). Tanpa keadilan maka undang-
pendiriannya yang bebas nilai atau undang tidak layak menyandang
secara moral netral, melakukan predikat sebagai hukum. Inoue
pemisahan antara hukum (materi mengemukakan konsep hukum yang
muatannya) dengan nilai atau moral. dinamakannya dengan ‘the concept of
Sebagai contoh pernyataan Kelsen law as a project for justice’ dalam
berikut ini: “Any content whatsoever can menjelaskan tuntutan mengapa
be legal.” 13 Pendirian value free undang-undang harus adil:
berpotensi menimbulkan dampak
Normative statements are distinguished
negatif, terlebih menempatkan from imperatives by involving not just a
kekuasaan sebagai the ultimate answer demand for obedience but a claim that
atas pertanyaan tentang validitas dan there are reasons that justify their
demand. As a normative system law
kekuatan mengikat dari hukum kepada involves a claim to reason-based
subjek hukum. Misalnya pendirian the justifiability. The differentia specifica that

12
W.J. Waluchow, Ibid., 9. Perbedaan antara the force of law dan the grounds of law dikemukakan
oleh Dworkin. Grounds of law adalah “circumstances in which particular propositions of law
should be taken to be sound or true.” Ibid., 9. Force of law adalah “the relative power of any true
proposition of law to justify coercion in different sorts of exceptional circumstances.” Ibid., 12.
Waluchow menjelaskan posisi Dworkin tentang hubungan antara the grounds of law dan the
force of law sebagai berikut: jika the grounds of law nampak asing secara moral maka implikasinya
adalah kesulitan menemukan, bahkan non-eksistensi, the force of law, yaitu the law’s power to
justify coercion atas pelanggaran. Contoh: undang-undang dengan dasar supremasi rasial.
Undang-undang demikian tidak dapat dipaksakan keberlakuannya karena secara moral tidak
dapat dibenarkan. Ibid.
13
Edgar Bodenheimer, Op.Cit., 176-177.
14
Hilaire Mc Coubrey & Nigel D. White, Textbook on Jurisprudence (Blackstone Press Ltd. 1996)
13-24.
22 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

distinguishes law from other species of Kontribusi di sini juga mengandung


norms is that the justificatory reasons it
claims to have are reasons based on
pengertian kontribusi positif bahwa
justice as a distinct value, distinct from undnag-undang harus membahagiakan
love, spiritual salvation and the like. Law manusia dan harus memajukan upaya
claims that it is in accordance with justice.
This justice-claim inheres in the concept
produktif manusia; bukan sebaliknya,
of law. The gunman’s threat is not only memberikan nestapa kepada manusia
unjust. Being a pure imperative, it does tanpa justifikasi yang jelas dan masuk
not even need to claim to be just.15 akal. Lebih lanjut Bodenheimer
Pertanyaannya adalah: Apakah mengemukakan proyeksi bagi pemikiran
kriteria bagi undang-undang yang tentang undang-undang yang adil
adil? Jawaban atas pertanyaan ini sebagai berikut:
dikemukakan oleh Bodenheimer: “From A social order striving to be just must also
the point of view of justice, we are deeply grant to men certain other basic rights
which may be regarded as aspects of
interested in the fairness and
freedom in a larger sense. Among these
reasonableness of these rules, principles, may be counted the right to life, the right
and standards, their effects upon human to the security of the person, and the right
to own property, together with the
beings, and their worth as measured in
necessary legal implementation of these
terms of their contribution to human rights ... Thus the legal order must provide
happines and productive human effort.”16 redress for invasions of the integrity of
the person, must restore wrongfully taken
Ada tiga pengertian keadilan dalam
property to its owners, and compensate
pendapat Bodenheimer tersebut. men for other loses which they have
Pertama, fairness dan reasonableness suffered through unlawful acts. Without
corrective justice, i.e., the defense of the
undang-undang yang ditujukan pada
system of rights and duties established
rules, principles, and standards yang by distributive justice, the latter would be
tertuang dalam ketentuan- ineffective.17
ketentuannya. Fairness menyangkut
Dalam kriteria Dworkin, undang-
soal-soal prosedural atau cara,
undang yang adil seharusnya ‘take rights
sementara reasonableness menyangkut
seriously’. Taking rights seriously
soal-soal substantif atau materi
menurut Dworkin adalah sebuah
muatannya. Kedua, akibat yang
starting point yang sangat fundamental
ditimbulkan kepada umat manusia.
sebagai tuntutan kepada pemerintah
Akibat di sini mengacu pada tuntutan
untuk memberikan equal respect and
yang bersifat positif berkenaan dengan
concern kepada warganya. Dworkin
integritas atau keutuhan manusia (tidak
boleh melanggar secara terang-terangan menyatakan pemikirannya tersebut:
integritas atau keutuhan manusia). Anyone who professes to take rights
Ketiga, kontribusinya pada kebahagiaan seriously, and who praises our
manusia dan upaya produktif manusia. Government for respecting them, must

15
Tatsuo Inoue, The Rule of Law as the Law of Legislation dalam Luc J. Wintgens ed., Legislation
in Context: Essays in Legisprudence (Ashgate 2007) 65.
16
Edgar Bodenheimer, Op.Cit., 177.
17
Ibid., 205.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 23

have some sense of what that point is. expressed as a conclusion that law and
He must accept, at the minimum, one or its administration in the Third Reich to a
both of two important ideas. The first is considerable extent contravened the
the vague but powerful idea of human Kantian categorical imperative and
dignity. This idea is associated with Kant, principle of right. It will be recalled that
but defended by philosophers of different these respectively argue that any maxim
schools, supposes that there are ways of for particular should be capable of being
treating a man that are consistent with used as a general maxim and that
recognising him as a full member of the humanity should always be respected as
human community, and holds that such an end in itself and not treated as a
treatment is profoundly unjust. The means to some other end.19
second is the more familiar idea of
political equality. This supposes that the
Contoh lebih eksplisit adalah judicial
weaker members of a political community
are entitled to the same concern and opinion Lord Cross of Chelsea dalam
respect of their government as the more kasus Oppenheimer v. Cattermole (1976)
powerful members have secured for
themselves, so that if some men have yang diajukan ke hadapan the House of
freedom of decision whatever the effect Lords. Dalam kasus tersebut Lord Cross
on the general good, then all men must of Chelsea menyatakan: “... legislation
have the same freedom.18
which takes away without compensation
from a section of the citizen body single
Pemikiran tersebut menurut hemat
out on racial grounds all their property ...
penulis berlaku pula sebagai asas
and ... deprives them of their citizenship
substantif dalam legislasi. Proses
... constitutes so grave an infringement of
legislasi yang konsisten dengan asas
their human rights that the courts of this
tersebut akan menghasilkan undang-
country ought to recognise it as a law at
undang yang adil ala Dworkin.
all.”20
Isu-isu mengenai ketidakadilan
Dalam rangka keadilan, undang-
undang-undang lazimnya diangkat
undang dituntut harus mampu
dengan bertolak dari kegagalan
menjembatani nilai-nilai individu dan
pembentuk undang-undang dalam
sekaligus nilai-nilai komunitas (konsep
merealisasikan gagasan equality dan
keadilan sebagai common good). Hal ini
freedom. Salah satu contoh adalah
sangat penting karena individu selalu
Undang-undang Nazi yang sering
hidup bersama-sama dengan
dijadikan sebagai rujukan untuk
sesamanya, dan sampai kapanpun tidak
menunjukkan undang-undang yang
mungkin hidup secara terisolir.
materi muatannya tidak adil.
Menjembatani nilai-nilai tersebut sangat
McCoubrey & White berkomentar:
penting agar tidak ada yang saling
Nazi law to a very significant extent not dikorbankan kepentingannya. Dalam
only failed to respect, but was precisely konteks ini Bodenheimer memajukan
calculated to deny, their status as tesis:”Justice requires some
participating members of a human
society. This might be differently accomodation and synthesis between

18
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously (Harvard University Press 1978) 198-199.
19
Hilaire McCoubrey & Nigel D. White, Op.Cit., 286.
20
Ibid., 283.
24 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

individual and community values.” Tesis untuk berwatak dan bersikap “self-
ini bertolak dari pemikiran bahwa:”the interest by self-restriction in the interest
notions of liberty, equality and of others, to respect the dignity of fellow
fundamental rights are not entirely men, and to devise proper rules for
sufficient to explain and determine the coexistence and cooperation on the
idea of justice.” Sehingga Bodenheimer various levels of group life, including the
kemudian sampai pada satu formulasi international community.”23
yaitu: “Justice demands that freedom,
Pokok pikiran dari diskusi di atas
equality, and other basic rights be
adalah tentang hakikat keadilan sebagai
accorded and secured to human beings
konsepsi ideal yang seyogianya
to the greatest extent consistent with the
diakomodasi oleh pembentuk undang-
common good.”21
undang ketika tengah membentuk suatu
Konsepsi keadilan sebagai common undang-undang. Merealisasikan ideal-
good ini nampak dalam karya Edmond ideal tersebut agar menjadi ketentuan-
Cahn berjudul The Sense of Injustice. ketentuan undang-undang yang bersifat
Cahn memberikan perhatian serius pada dan berlaku umum bukan hal yang
tuntutan kepada sistem hukum dalam mudah karena prosesnya yang politis.
rangka to responds to new moral Oleh karena itu, meskipun hasil
convictions and new social needs. akhirnya tidak mampu ideal, namun
Kegagalan memberikan respons tersebut karena isu ini berada di bagian hulu,
adalah praktik injustice: “Thus, the maka masih terbuka kemungkinan
positive law may become unjust not only untuk melakukan koreksi. Ajudikasi
by breaking its promise of regularity and adalah benteng terakhir keadilan, yang
consistency, but also by violating its fungsinya dalam rangka keadilan, salah
commitment to be sensitive to new satunya adalah mengkoreksi produk
demands of the social ad economic life.”22 undang-undang yang tidak adil melalui
Dalam pada itu, yang menjadi kesulitan legal reasoning yang harus bermuatan
adalah mendefinisikan konsep common keadilan. Oleh karena itu penulis sampai
good yang objektif pengertiannya. pada satu pemikiran bahwa memutus
Gagasan yang dijadikan sebagai acuan menurut undang-undang dengan
atau rujukan guna mendefinisikan memutus menurut hukum tidak selalu
konsep common good adalah civilization identik maknanya. Dalam memutus
atau peradaban dan peranan manusia menurut hukum hakim harus
dalam memberikan kontribusi sebesar- memberikan legal reasoning yang adil,
besarnya dalam rangka pembangunan termasuk mengesampingkan undang-
sebuah peradaban. Dalam pengertian undang yang tidak adil. Oleh karena itu,
demikian maka hal itu hanya mungkin legal reasoning yang adil bukan
terjadi manakala manusia diajarkan merupakan penerapan mekanis undang-
21
Edgar Bodenheimer, Op.Cit., 206-207.
22
Ibid., 144.
23
Ibid., 208-209.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 25

undang (kecuali undang-undangnya sangat penting dalam rangka


sendiri telah adil secara inheren). fungsionalitas badan yudisial dan
hakim, terutama hakikat fungsi hakim
Isu Bagian Hilir: Legal Reasoning
dan makna atau hakikat hukum di
Bermuatan Keadilan
dalamnya.
Makna atau hakikat hukum dalam
Thomas menyatakan: “a basic
fungsi hakim adalah isu teoretis sangat
understanding of legal theory is essential
penting dalam rangka ajudikasi. Isu ini
for the complete performance of the
merupakan salah satu bidang kajian
judicial function ... To fulfil their judicial
filsafat hukum (dalam hal ini metateori
function, and to be able to assess whether
interpretasi), maupun teori hukum yang
they are fulfilling that function, judges
lebih konkret (dalam hal ini teori
must explore, examine and know the
interpretasi itu sendiri). Dipengaruhi
theoretical framework for their judicial
oleh aliran atau tradisi filsafat hukum
thinking.”26 Pernyataan ini sangat tepat
tertentu atas makna atau hakikat
sasaran manakala diyakini bahwa
hukum, metateori interpretasi yang ada
ajudikasi dan interpretasi adalah
telah lazim dikatagorikan menjadi teori
aktivitas intelektual yang sophisticated.
formalisme, teori realisme dan teori
Thomas menjelaskan hal ini dengan cara
normativisme.
melakukan perbandingan antara fungsi
Teori-teori tersebut pada hakikatnya hakim dengan plumber: “Plumbers may
merupakan bentuk penerapan aliran plumb for a lifetime without perplexing
filsafat hukum tertentu ke dalam themselves as to what their trade is all
ajudikasi sehingga konsekuensinya lebih about. But the administration of justice in
dikenal dengan predikat teori ajudikasi, accordance with the law is far removed
yaitu: “theories of how judges do or from plumbing. A judge cannot simply
should decide cases.” 24 Atau lebih judge as a plumber may plumb.”27
tepatnya tentang: “how should a judge
Formalisme, realisme dan
decide what law governs the case before
normativisme pada hakikatnya adalah
her?”25 Dalam arti demikian maka yang
teori tentang makna atau hakikat
menjadi fokus teori-teori tersebut adalah
hukum dalam ajudikasi, yang
judicial reasoning sebagai spesies dari
mengandung dimensi penerapan atas
legal reasoning. Teori-teori tersebut

24
Brian Leiter, ‘Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?’ (2010) 16 Legal Theory
111, 111.
25
Robert Justin Lipkin, ‘Conventionalism, Pragmatism and Constitutional Revolutions’ (1988) 21
UC Davis Law Review 645, 651.
26
E.W. Thomas, The Judicial Process: Realism, Pragmatism, Practical Reasoning and Principles,
(Cambridge University Press 2005) 1. Bdgk. dengan Aharon Barak, The Judge in a Democracy
(Princeton University Press 2006) 116-117. Barak mengklaim aspek aksiologis teori adalah “to
understand the law and the role of the judge.” Oleh karena itu Barak menyimpulkan: “Judges
need theories of law, and theories of law need judges.” Pendapat Barak menunjukkan bahwa
filsafat hukum dan teori hukum adalah praktikal (untuk menunjang kepentingan praktik
hukum).
27
E.W. Thomas, Ibid.
26 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

studi filsafat hukum, yang bertujuan moral judgments.” 29 Hal ini berbeda
menghasilkan postulat-postulat dengan bentuk argumen yang
mengenai makna atau hakikat hukum digunakan positivis yaitu argumen
sebagai pendirian, world view, bagi deskriptif dan netral secara moral.
hakim ketika melakukan ajudikasi, Marmor mengatakan:
tentang bagaimana hakim memutus
I will argue that legal positivism is best
atau seyogianya memutus kasus dalam understood as a descriptive, morally
lingkup tugas yudisialnya. Segi filosofis neutral, theory about the nature of law,
dari ajudikasi ini nampak dari pendapat along the lines suggested by H.L.A. Hart.
By “descriptive” I mean that such an
D’Amato: “the way judges decide a case account does not purport to justify or
is informed by their own conceptions of legitimize any aspect of its subject matter.
what the law is—not just what a statute By “morally neutral,” I mean that the
theory need not take a stance on any
might say, or a previous case might have particular moral or political issues, nor is
held, but what the law is in the sense of it committed to any moral or political
how they should interpret those statutes evaluations.30
or cases.”28 Aliran atau tradisi filsafat
Esensi khas legal reasoning menurut
hukum tertentu membentuk dan
perspektif teori normativisme adalah
menentukan makna atau hakikat
lebih dari sekadar penerapan mekanis
hukum tertentu, dan yang pada analisis
undang-undang (formalisme) serta lebih
akhir menentukan hakim tentang
dari memutus dengan pertimbangan
bagaimana mengembannya ketika
social demands(realisme). Teori
memeriksa, mengadili dan memutuskan
normativisme memiliki aspirasi kuat
kasus.
terhadap legal reasoning supaya
Sesuai dengan konsep hukum yang mempresentasikan argumen-argumen
menjadi pendirian penulis maka justifikasi lebih fundamental dan
selanjutnya penulis akan menjelaskan substantif. Singer menyatakan: “We
teori legal reasoning yang bertolak dari have trouble finishing the ‘because
konsep hukum non-positivistik, yaitu clause’; reasons run out.” 31 Teori
teori normativisme (dalam bentuk lebih normativisme memiliki tujuan menjawab
moderat disebut inclusive legal pertanyaan “why” yang acapkali
positivism). Bentuk argumen yang lazim diabaikan atau dipandang skeptis dalam
digunakan oleh normativis dalam legal situasi argumentatif. Singer
reasoning adalah argumen normatif, menyatakan:
yaitu “the realm of judgments that reflect
moral evaluations, or evaluations like

28
Anthony D’Amato, Analytic Jurisprudence Anthology (Anderson Publishing Co. 1995) 1. Pendapat
senada dikemukakan oleh MacCormick: “theories about the nature of law can be tested out in
terms of their implications in relation to legal reasoning.” Neil MacCormick, Legal Reasoning and
Legal Theory, (Clarendon Press 1978) 229.
29
Andrei Marmor, Law in the Age of Pluralism (Oxford University Press, 2007) 126.
30
Ibid., 125.
31
Joseph William Singer, ‘Normative Methods for Lawyer’ (2009) 56 UCLA Law Review 899, 903.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 27

When asked to defend our views, we can


Dalam arti demikian maka tujuan akhir
come up with reasons, but we know that
our arguments can always be met with argumen normatif dari teori
the question “why?” and we are acutely
aware that, at some point, we will have normativisme adalah kemanusiaan:
nothing else to say. What is the
foundation of assertions of justice, At base, the fundamental premise of all
morality, right, and fairness? Why is a normative method is humanity. Human
claim of justice anything more than a dignity is where we start, and defensible
personal opinion? Is it possible to reason human relationships are our goal ...
about justice?32 Although our respective goals can be
phrased in different ways, a good
candidate is the creation of a free and
Dalam diskursus yuridis, argumen democratic society that treats each person
fundamental dan substantif sangat with equal concern and respect.35
penting khususnya ketika menghadapi
Normativisme berbeda dengan
hard cases: “What can be said to the
formalisme menyangkut isu hubungan
losing party to a lawsuit that is not just a
antara hukum dengan moral: “although
transparent attempt to dupe her into
we do separate law and morals, we do
accepting a painful loss?”33
not separate them entirely.” 36
Normativisme juga berbeda dengan
Singer mengemukakan tentang
realisme, walau sama-sama bertolak
makna strategis argumen normatif
dari tesis indeterminate legal rules.
sebagai berikut:
Normativisme lebih berorientasi pada
Normative arguments express evaluative nilai (morality, justice, fairness); namun
judgments about why certain values realisme kebalikannya, lebih berorientasi
outweigh other values in particular pada fakta (wealth maximization,
contexts. The goal is to show respect for
all persons affected by the dispute. efficiency, cost-benefit).37 Normativisme
Although there may not be a unique, lahir sebagai kritik terhadap formalisme
mechanically derivable right answer, the maupun realisme. Formalisme dikritik
decisionmaker is still obligated to come
up with her best formulation of the right karena pendirian bebas nilainya. 38
answer that treats the loser with equal Sementara realisme dikritik karena
concern and respect.34 kecenderungan matematis 39 dan
pragmatismenya40.

32
Ibid.
33
Ibid., 910.
34
Ibid., 981.
35
Ibid., 982.
36
Ibid., 914.
37
Ibid., 913-921.
38
Singer mengemukakan kritiknya: “Many legal rules are indeterminate without reference to
considerations of morality and justice.” Ibid., 914.
39
Singer mengemukakan kritiknya sebagai berikut: “Most human values cannot be expressed
adequately in numerical (especially dollar) amounts.” Ibid., 919. Lalu, “Indeed, when a question
involves interpretation of human values, mathematics is ordinarily an irrational way to think about
the matter.” Ibid., 921.
40
Singer mengemukakan kritiknya: “Cost-benefit analysis suffers from the limitations of all
utilitarian reasoning; it fails to respect the separateness of persons because it assumes that the
gains of some can fully offset the loses of others.” Ibid., 928.
28 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

Bentuk preskripsi paling kuat atas Perang Dunia II dan pasca Perang Dunia
isu hubungan antara keadilan dan II).44
undang-undang dalam praksis legal
Sebagai survivor dari pemerintahan
reasoning adalah penerapannya seperti
Nazi-Jerman selama 12 tahun,
formula hukum kodrat St. Augustine
Radbruch menyatakan rasa tidak
“lex iniusta non est lex”. Formula ini
puasnya atas pendirian legal positivism
menurut Ratnapala mengandung
sebagai berikut:
pengertian: “at some point on the moral
scale an enactment may be seen as so Legal positivism, with its principle that ‘a
immoral or unjust that it loses its authority law is a law,’ has in fact rendered the
German legal profession defenseless
as law.”Argumen ini dipopulerkan oleh against statutes that are arbitrary and
Radbruch dalam memberikan judgment criminal. Legal positivism is, moreover, in
terhadap keberlakuan undang-undang and of itself wholly incapable of justifying
or explaining the validity of statutes. The
Nazi di Jerman.41 Pandangan Radbruch positivist believes he [she] has proved the
dimaksud adalah tulisannya berjudul validity of a statute simply by showing
“Five Minutes of Legal Philosophy” (salah that it had sufficient power behind it to
prevail. But although compulsion may be
satu tulisan dalam Philosophy of Law based on power, obligation and validity
dengan editor Joel Feinberg & Hyman never are. Obligation and validity must
Gross, 1991) serta “Statutory Non-Law be based, rather, on a value that inheres
and Suprastatutory Law” (hasil in the statute.45

terjemahan ke dalam bahasa Inggris oleh Ketidakpuasan Radbruch terhadap


Bonnie Litschewski Paulson & Stanley pendirian legal positivism dimotivasi oleh
L. Paulson, 1993) yang merupakan praktik penyalahgunaan hukum positif
karya Pasca Perang Dunia II.42 oleh rezim Nazi-Jerman. Hal ini
Filsafat hukum Radbruch dapat berpengaruh besar terhadap pandangan
digambarkan sebagai produk pemikiran Radbruch atas ajaran filsafat hukumnya
yang dinamis dalam dua pengertian. terdahulu yang lebih bernuansa
Pertama, tidak mengikatkan diri ke positivisme, yaitu memberi
dalam salah satu mazhab filsafat hukum pengutamaan pada kepastian hukum.
tradisional, tetapi mengkombinasikan Pasca Perang Dunia II Radbruch lalu
secara dialektik; 43 di sini penulis merumuskan sintesis ajaran filsafat
berpendapat bahwa lebih tepat jika hukumnya sebagai koreksi terhadap
normativisme Radbruch masuk katagori pendiriannya terdahulu dengan cara
inclusive legal positivism. Kedua, membedakan situasi keberlakuan
Radbruch tidak anti untuk merevisi hukum, yaitu situasi biasa (ordinary
pandangan-pandangannya (sebelum times) dan situasi luar biasa

41
Suri Ratnapala, Jurisprudence (Cambridge University Press 2009) 11.
42
Heather Leawoods, Op.Cit., 496.
43
Ibid., 489.
44
Ibid., 492-500.
45
Statutory Non-Law and Suprastatutory Law, 13 dalam Ibid., 497-498.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 29

(extraordinary times). Dalam situasi There are, therefore, principles of law that
are stronger than any statute, so that a
biasa, kepastian hukum menjadi law conflicting with these principles is
keutamaan; dalam situasi luar biasa, devoid of validity. One calls these
keadilan yang harus diutamakan. principles the natural law or the law of
reason. To be sure, their details remain
Radbruch menyatakan dua formula bagi somewhat doubtful, but the work of
dua situasi tersebut berikut ini: centuries has established a solid core of
them and they have come to enjoy such a
Preference is given to the positive law, far-reaching consensus in the
duly enacted and secured by State power declarations of human and civil rights that
as it is, even when it is unjust and fails only the deliberate skeptic can still
to benefit the people, unless its conflict entertain doubts about some of them.48
with justice reaches so intolerable a level
that the statute becomes, in effect, ‘false
law’ and must therefore yield to justice Lewat dua pernyataan di atas pendirian
... Where there is not even an attempt at natural law Radbruch sebagai antitesis
justice, where equality, the core of justice,
pendirian positivisme-nya sebelum
is deliberately betrayed in the issuance
of positive law, then the statute is not Perang Dunia II telah dikonversi menjadi
merely ‘false law’, it lacks completely the tuntutan lebih konkret, yaitu HAM
very nature of law. For law, including
merupakan dasar tuntutan normativitas
positive law, cannot be otherwise defined
than as a system and an institution terhadap hukum positif.
whose very meaning is to serve justice.46
Dengan mengacu pendapat di atas,
Karena pernyataan tersebut maka wajar hakim dapat secara sah menyisihkan
jika kemudian dikatakan bahwa undang-undang jika penerapan undang-
Radbruch adalah praktisi kontemporer undang dalam kasus berdampak
ajaran St. Augustine. menimbulkan ketidakadilan. Ini berbeda
dengan pendirian Dworkin yang
Pada analisis akhir Radbruch mengemas sedemikian rupa interpretasi
percaya bahwa letak dari tuntutan hukum positif oleh hakim agar dapat
normativitas terhadap hukum positif memancarkan makna keadilan sebagai
yang sesungguhnya adalah pada HAM, moralitas hukum. Pendirian Radbruch
terutama sebagai respons terhadap para lebih spesifik keberlakuannya, yaitu
tiran yang bertindak menyalahgunakan situasi abnormal manakala undang-
kekuasaannya dalam membentuk undang secara internal terlahir tidak adil
hukum positif. Radbruch mengatakan: sehingga atas dasar itu hakim dapat
“We appeal to human rights that surpass menyatakan undang-undang demikian
all written laws, and we appeal to the tidak memiliki validitas (statutory non-
inalienable, immemorial law that denies law karena keberlakuan suprastatutory
validity to the dictates of inhuman law yaitu keadilan) supaya tidak sekadar
tyrants.” 47 Serta, pada kesempatan menjadi corong undang-undang.
berbeda: Argumen Radbruch sangat penting

46
Statutory Non-Law and Suprastatutory Law, 14-15 dalam Ibid., 500.
47
Statutory Non-Law and Suprastatutory Law, 10 dalam Ibid., 497.
48
Five Minutes of Legal Philosophy dalam Ibid., 496.
30 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

implikasinya bagi institusi dan praktik the law does not become law in virtue of
pengujian yudisial konstitusionalitas having been applied and obeyed.49

undang-undang yang di Indonesia


Duduk perkara kasus ini tentang
diemban oleh Mahkamah Konstitusi
seorang pengacara yang kehilangan
(dan terbukti bahwa di Mahkamah
kewarganegaraan Jerman-nya karena
Konstitusi Jerman pendapat Radbruch
keberlakuan Ordinance 11 sebagai
tersebut sangat berpengaruh).
peraturan pelaksanaan the Statute on
The Federal Constitutional Court Reich Citizenship. Tesis legal reasoning
Jerman dalam kasus konstitusionalitas dari the Federal Constitutional Court
penerapan undang-undang Jerman adalah undang-undang
kewarganegaraan masa pemerintahan kewarganegaraan Jerman pada masa
Nazi (BVerFGE 23 [1968]) menyatakan Nazi bukan hukum karena undang-
legal reasoning putusannya: undang ini tidak adil, bertentangan
dengan prinsip konstitutif hukum yaitu
Law and justice are not left to the keadilan, meskipun pada masa
discretion of the lawmaker. The idea that
a ‘constitutional framer can arrange berkuasanya Nazi undang-undang ini
everything as he pleases would mean efektif dengan dipatuhi dan diterapkan
reverting to a mental posture of value-free secara konsisten oleh rezim tersebut.
statutory positivism that has long since
been obsolete in legal science and
PENUTUP
practice. Precisely the period of the
National Socialist regime in Germany has
taught that lawlessness [Unrecht] can Keadilan adalah moralitas internal
issue even from the lawmaker.’ Therefore, hukum menurut konsep hukum non-
the Federal Constitutional Court has positivistik atau unity thesis. Implikasi
affirmed the possibility of revoking the
legal validity of National Socialist ‘legal’ dari pandangan ini adalah undang-
provisions when they conflict with undang maupun legal reasoning harus
fundamental principles of justice so bermuatan keadilan. Proses legislasi
evidently that the judge who elected to
apply them or to acknowledge their legal yang menghasilkan undang-undang
consequences would be administering tidak adil harus dikoreksi oleh proses
lawlessness [Unrecht] rather than law. ajudikasi dengan memberikan legal
Ordinance 11 violated these fundamental
principles. Its conflict with justice reached reasoning yang bermuatan keadilan.
such an intolerable degree that the
Ordinance must be held to be null and Berdasarkan teori normativisme,
void, that is, invalid from the outset. keadilan adalah bagian inheren dari legal
Moreover, the Ordinance did not become
reasoning. Menurut teori ini, legal
efficacious in virtue of having been
observed a number years or because reasoning bukan penerapan mekanis
some persons subject to ‘denaturalization’ undang-undang (rules-based reasoning).
had at the time come to terms or even
Dalam bentuknya yang terkuat, dengan
concurred with National Socialist
measures in particular cases. Duly argumen normatif hakim dapat
enacted lawlessness that is obviously in menyisihkan keberlakuan undang-
violation of the constituting principles of

49
Robert Alexy, Op.Cit., 6-7.
2016] HUKUM DAN KEADILAN 31

undang manakala undang-undang tidak Ratnapala, Suri, Jurisprudence


adil (bertentangan dengan prinsip (Cambridge University Press 2009).
konstitutif hukum yaitu keadilan); “lex
Thomas, E.W., The Judicial Process:
iniusta, non est lex”.
Realism, Pragmatism, Practical
Reasoning and Principles (Cambridge
University Press 2005).
DAFTAR BACAAN
Waluchow, W.J., Inclusive Legal
Buku
Positivism (Oxford University Press
Alexy, Robert, The Argument from 1994).
Injustice: A Reply to Legal Positivism
Wilk, Kurt, The Legal Philosophy of Lask,
(Oxford University Press, 2004).
Radbruch and Dabin (Harvard
Altman, Andrew, Arguing About Law University Press, 1950).
(Wadsworth Publishing Co.,
Jurnal
Belmont-California 2001).
Fuller, Lon L., ‘Positivism and Fidelity
Barak, Aharon, The Judge in a
to Law—A Reply to Professor Hart’
Democracy (Princeton University
(1958) 71 Harvard Law Review 630.
Press, New Jersey 2006).
Hart, H.L.A., ‘Positivism and the
Bodenheimer, Edgar, Jurisprudence: The
Separation of Law and Morals’ (1958)
Philosophy and Method of the Law
71 Harvard Law Review 593.
(Harvard University Press 1970).
Leawoods, Heather, ‘Gustav Radbruch:
D’Amato, Anthony, Analytic
An Extraordinary Legal Philosopher’
Jurisprudence Anthology (Anderson
(2000) 2 Washington University
Publishing Co., Cincinnati-Ohio
Journal of Law and Policy 489.
1995).
Leiter, Brian, ‘Legal Formalism and Legal
Dworkin, Ronald, Taking Rights Seriously
Realism: What is the Issue?’ (2011)
(Harvard University Press,
16 Legal Theory 111.
Cambridge-Massachusetts 1978).
Lipkin, Robert Justin, ‘Conventionalism,
Marmor, Andrei, Law in the Age of
Pragmatism and Constitutional
Pluralism (Oxford University Press
Revolutions’ (1988) 21 UC Davis Law
2007).
Review 645.
McCoubrey, Hilaire, & Nigel D. White,
Singer, Joseph William, ‘Normative
Textbook on Jurisprudence
Methods for Lawyer’ (2009) 56 UCLA
(Blackstone Press Ltd., London
Law Review 899.
1996).
32 REFLEKSI HUKUM [Vol. 10, No. 1

Bab dalam Buku

Inoue, Tatsuo, The Rule of Law as the


Law of Legislation dalam Luc J.
Wintgens ed., Legislation in Context:
Essays in Legisprudence (Ashgate,
Aldershot-Burlington 2007).

Anda mungkin juga menyukai