Anda di halaman 1dari 9

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Secara etimologis, kata filsafat memiliki arti yang sepadan dengan kata falsafah dalam
bahasa Arab atau kata Philosphy dalam bahasa Inggris, atau kata Philoshopie dalam bahasa Prancis
dan Belanda, atau Philoshophier dalam bahasa Jerman. Semua kata tersbut berasal dari kata Latin
Philosophia sebuah kata benda yang merupakan hasil dari kegiatan Philoshopien sebagai kata
kerjanya.

Kata philosphia sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni Philein (mencintai) atau Philia
(persahabatan, atau tertarik kepada) dan Sophos (kebijaksanaan, ketrampilan, pengalaman praktis,
dan intelgensi). Kata yang hampir sama dengan Philien atau Philia dan Sophos tersebut juga
dijumpai dalam bahasa Latin, yaitu : Philos (teman atau sahabat) dan Sophia (kebijaksanaan).
Filsafat sering dipahami sebagai sebuah falsafah atau sebuah pandangan mendalam tentang
pertanyaan dalam kehidupan yang dijalani manusia. Dalam pemahaman yang demikian, filsafat
ditangkap sebagai sesuatu yang abstrak1

Filsafat hukum sangat menentukan substansi dan kualitas pembentukan produk hukum,
yaitu bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai
kepastian hukum (rechtssicherheit) serta kemanfaatan yang mampu diaplikasikan
(zweckmassigkeit). 2Berbagai pergulatan pemikiran yang terus menerus dalam filsafat hukum,
menimbulkan banyak aliran dalam filsafat hukum. Antar aliran-aliran atau mazhab filsafat hukum
tersebut terjadi dialektika yang membahas asal usul terciptanya hukum. Apabila pada masa lalu,
filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi
demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para
ahli hukum. Karena memang aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut sangat
diperlukan dalam menjelaskan nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai dasar-dasar filsafatnya.

1
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, “Pengantar ke Filsafat Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.
31.
2
Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, “Pokok-pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum
Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.154

1
Aliran-aliran (mazhab) dalam filsafat hukum tersebut diantaranya, Mazhab Hukum Alam
yang berlaku secara universal dan bersifat abadi-alamiah karena sumbernya dari Tuhan langsung,
dipelopori diantaranya oleh Plato, Aristoteles, Thomas Aquino, dan Immanuel Kant. Mazhab
Positivisme Hukum yang menyebut bahwa antara hukum dan moral merupakan dua hal yang
berbeda karenanya harus dipisahkan, dipelopori oleh John Austin. Mazhab sejarah yang terkenal
dengan paradigmanya bahwa hukum itu tidaklah dibuat melainkan berkembang bersama-sama
dengan masyarakat, dipelopori oleh Friederich Carl von Savigny. Mazhab Pragmatic Legal
Realism yang menyatakan bahwa akal atau pikiran merupakan sumber utama hukum, dipelopori
oleh Roscoe Pound. Dan Mazhab Utilitarinisme yang menyatakan bahwa hukum dibuat untuk
sebesar-besarnya kemanfaatan bagi masyarakat, dan meniadakan penderitaan-penderitaan,
dipelopori oleh salah satunya Jeremy Bentham

Terkait dengan banyaknya Mazhab atau Aliran tersebut, maka disini penulis hanya akan
mengambil Mazhan Positivisme Hukum beserta teorinya dalam menelusuri pengaruhnya terhadap
implementasi hukum sebagai instrumen untuk mencapai keadilan. Mazhab Positivisme Hukum
dengan teorinya memandang hukum hanya sebagai perintah yang berdaulat, sehingga akan tercipta
kepastian hukum. Penulis mengambil pandangan-pandangan dari Mazhan Positivisme Hukum
karena menurut penulis Mazhab atau Aliran ini lebih dikenal dari Mazhab yang lain. Untuk itu,
disini penulis akan mencoba untuk menguraikan pandangan-pandangan dari Mazhab Positivisme
tersebut, berkaitan dengan implementasi dalam suatu sistem hukum.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat kita temukan beberapa rumusan masalah,
yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana pemikiran para ahli dari Mazhab Positivisme Hukum ?


2. Bagaimana pengaruh dari pemikiran para ahli pendukung Mazhab Positivisme Hukum
terhadap implementasi hukum di Indonesia ?
3. Apa kelebihan dan kelemahan dari Mazhab Positivisme Hukum terhadap implementasi
hukum ?

2
BAB II

Pembahasan

2.1 Pemikiran para ahli dari Mazhab Positivisme Hukum


Positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat (teori) hukum, yang beranggapan, bahwa
teori hukum itu hanya bersangkutpaut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas
apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitasnya
hukum dalam masyarakat.3

Ada dua tokoh yang paling dikenal sebagai pendukung Mazhab Positivisme Hukum, yaitu
John Austin dan Hans Kelsen. Menurut Austin, hukum merupakan perintah dari penguasa; hukum
dipandang sebagai perintah dari orang yang memegang kekuasaan tertinggi (kedaulatan); hukum
merupakan perintah yang dibebanken kepada makhluk yang perpikir; perintah itu diberikan oleh
makhluk yang berpikir yang memegang keuasaan. Hukum juga merupakan logika yang bersifat
tertutup dan tetap. Masih menurut Austin, hukum positif harus memenuhi beberapa unsure, yaitu
unsur perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan. Di luar itu semua bukanlah hukum, melainkan
moral positif (positive morality).4

Kemudian menurut Kelsen, hukum itu harus dibersihkan dari unsur-unsur yang bukan
hukum. Hukum harus dibersihkan dari moral. Hukum merupakan bidang “harus” (sollen), suatu
keharusan, misalnya jika hal ini terjadi maka seharusnya hal itu terjadi pula, nyatalah ini
merupakan realita yang prinsip dan bersifat normatif. Artinya, jika hal ini terjadi belum tentu hal
itu terjadi juga, tetapi seharusnya hal itu terjadi. Prinsip ini jika diterapkan dalam sistem hukum
adalah bila terjadi suatu pelanggaran hukum, seharusnya perbuatan itu disusul dengan hukuman,
walaupun dalam kenyataannya tidak selalu begitu, sebab sanksi yang diterapkan pada seseorang
yang melanggar hukum itu tergantung dari penentuan instansi-instansi negara, sedangkan norma
dipandang sebagai imperatif bagi negara kemudian menjadi kewajiban individu.5

3
Achmad Roestandi, Responsi Filsafat Hukum,Armico, Bandung, 1984. hlm. 67
4
Sri Wahyuni, 2012, “Pengaruh Positivisme Dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan Pembangunan Hukum
Indonesia”, Jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 12
5
Agus Santoso, “Hukum, Moral, & Keadilan” , Prenada Media, Jakarta, 2015, hlm.56

3
Selain itu, Hans Kelsen juga mengetengahkan bahwa sistem hukum itu merupakan hierarki
dari hukum, yaitu suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi,
dan yang paling tinggi adalah norma dasar (grundorm) yang merupakan suatu keharusan dalam
bidang hukum. Dasar berlakunya hukum adalah norma dasar, tetapi agar norma dasar itu dapat
berlaku dalam situasi yang konkret, hars ada syarat tertentu yang dipenuhi, yakni bahwa hukum
itu efektif, oleh karenanya efektivitas itu merupakan syarat mutlak (conditiosine quanon) bagi
berlakunya hukum.6 Dengan demikian menurut Kelsen hukum adalah:

1. Suatu sistem norma murni yang harus dipisahkan dari unsur-unsur lain yang bukan
hukum;
2. Hukum sebagai keharusan (sollenkategori); hukum sebagai sistem peringkat yang
sistematis menurut keharusan tertentu.7

Positivisme hukum berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan
undang-undang, karena hanya dengan itulah ketentuan hukum itu dapat diverifikasi. Adapun yang
di luar undang-undang tidak dapat dimasukkan sebagai hukum karena hal itu berada di luar hukum.
Hukum harus dipisahkan dengan moral, walaupun kalangan positivis mengakui bahwa fokus
mengenai norma hukum sangat berkaitan dengan disiplin moral, teologi, sosiolgi dan politik yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum.Moral hanya dapat diterima dalam sistem hukum
apabila diakui dan disahkan oleh otoritas yang berkuasa dengan memberlakukannya sebagai
hukum.

Hukum bukanlah cermin dari keadilan dan etika, karenanya hukum harus dilepaskan dari
etika. Hukum harus lepas dari nilai-nilai “baik atau buruk”, “benar atau salah”, atau “adil atau
tidak adil”. Tidak penting, apakah hukum itu adil atau tidak, yang penting “perintah yang
berdaulat”, maka itu-lah hukum yang sesungguhnya dan semua orang diminta untuk mentaatinya.
Hukum juga bukan berasal dari jiwa masyarakat, namun hukum berasal dari perintah yang
berdaulat. Karenanya, hukum eksis karena perintah penguasa yang berdaulat. Hukum yang valid

6
Ibid, hlm. 57
7
Sri Wahyuni, Op.cit., hlm. 13

4
adalah hukum yang bersumber dari perintah penguasa. Hukum mengikat karena ada unsur
“perintah” yang dapat dipaksakan kepada subjek yang dituju oleh hukum.8

Jadi secara sederhana positivisme hukum menganut dua prinsip dasar, yakni: Pertama,
hanya undang-undang yang disebut hukum, di luar undang-undang tidak ada hukum. Kedua,
negara atau otoritas merupakan satu-satunya sumber hukum. Implikasi dari dua prinsip ini adalah
bahwa setiap undang-undang yang telah ditetapkan oleh otoritas yang sah harus dianggap hukum
yang harus dipatuhi, apapun isi dari hukum tersebut. Konsekuensinya, hukum akan menjadi alat
legitimasi dari pemegang kekuasaan dalam menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya.9

2.2 Pengaruh dari pemikiran para ahli pendukung Mazhab Positivisme Hukum terhadap
implementasi hukum di Indonesia

Hukum positif Indonesia juga mengadopsi konsep dari para pemikir Mazhab Positivisme
Hukum yang telah dijabarkan di atas sehingga hukum positif Indonesia juga merupakan peraturan
tertulis, disahkan oleh kekuasaan yang berdaulat, dan terpisah dari nilai-nilai moral. Hukum
Indonesia atau apa yang disebut sebagai hukum positif Indonesia adalah hukum yang berlaku
secara sah di Indonesia saat; hukum yang telah dibuat dan disahkan oleh badan yang berwenang
untuk diberlakukan di Indonesia. Istlah hukum positif ini, merupakan bukti konkret dari konsep
positivisme dalam hukum Indonesia.10

Positivisme telah melahirkan hukum dalam sketsa matematika, menyelesaikan hukum


yang terjadi dalam masyarakat berdasar apa yang tertulis dalam teks undang-undang, mengkristal
di posisi binernya suatu teks lalu pembaca harus memahami dikeadaan itu dan tidak dibolehkan
untuk berpikir lain. Sementara para hakim memutus perkara dengan teks tersebut atas persoalan
hukum yang dihadapi. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, hakim memutus perkara

8
Syofyan Hadi, 2017, “Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam Dan Mazhab
Positivisme Hukum”, Jurnal Universitas 17 Agustus Surabaya, Surabaya, hlm. 95
9
Johni Najwan, “Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum”, Jurnal Universitas Jambi, Jambi, hlm.
26-27.
10
Umar Said S, “Pengantar Hukum Indonesia: Sejarah dan Dasar-dasar Tata Hukum serta Politik Hukum
Indonesia”, Setara Press, Malang, 2009, hlm. 2.

5
mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber utamanya. Kelompok-kelompok hakim yang
berpikir demikian dapat diolongkan sebagai suatu aliran konservatif.11

Di Indonesia jika kita lihat lembaga pengadilan dimulai dari tingkat pertama di wilayah
Kabupaten hingga tingkat banding (wilayah propinsi) dan kasasi di tingkat pusat (Mahkamah
Agung). Sistem pengadilan yang bersifat hierarkhi ini juga merupakan salah satu contoh dari
penerapan teori-teori dalam Mazhab Positivisme ajaran Hans Kelsen.

Namun Mahkamah Konstitusi juga telah beberapa kali mengenyampingkan hukum positif
demi tegaknya hukum dan keadilan. Diantaranya adalah Putusan Mahkamah Konstitusi
No.41/PHPU-D-VI/2008 tentang penyelesaian sengketa hasil Pilkada Jawa Timur. Dalam
pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran yang masif,
terstruktur dan sistematis yang mempengaruhi hasil Pilkada. Atas dasar, tersebut, Mahkamah
Konstitusi memerintahkan KPUD Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara ulang
di bebeberapa daerah. Tidak ada aturan hukum yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memerintahkan KPUD Provinsi Jawa Timur untuk melakukan pemungutan suara
ulang. Namun, demi tegaknya hukum dan keadilan, Mahkamah Konstitusi mendasarkan
putusannya atas dasar prinsip hukum “tidak ada satupun orang boleh diuntungkan dengan
kejahatan yang dilakukan”. Putusan ini mengenyampingkan hukum positif demi tegaknya
keadilan. Putusan ini sampai sekarang menjadi yurisprudensi dalam penyelesaian sengketa hasil
Pilkada di Indonesia

Jadi implementasi hukum di Indonesia memang dipengaruhi oleh konsep-konsep dari


Mazhab Positivisme Hukum, terutama pada pemikiran Kelsen bahwa suatu ketentuan hukum
tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Namun terkadang hakim juga harus berani
keluar dari hukum positivistik-legalistik yang tidak berkeadilan. Hakim tidak boleh kaku dengan
hanya melihat norma-norma hukum positif, namun juga harus melihat faktor-faktor penyebab
suatu fakta hukum muncul. Dengan demikian, maka hakim akan bijak dalam menerapkan hukum
untuk mencapai keadilan.12

11
A. Sukris Armadi, 2012, “Membebaskan Positivisme Hukum Ke Ranah Hukum Progresif”, Jurnal Institut Agama
Islam Negeri Antasari, Banjarmasin. Hlm. 331
12
Syofyan Hadi, Op.Cit., hlm. 96-97

6
2.3 Kelebihan dan kelemahan dari Mazhab Positivisme Hukum terhadap implementasi hukum

Dalam aspek tertentu, positivisme hukum mendapat kritikan. Penggolongan yang dibuat
oleh Austin, yang mengkategorikan semua hukum sebagai perintah telah dikritik dari berbagai sisi.
Tokoh seperti Bryce, Dicey, dan Gray menganggap bahwa hak-hak privat, undang-undang
administratif, dan hukum-hukum deklaratori tidak dapat dikelompokkan sebagai perintah. Selain
itu, teori Austin tidak menawarkan solusi dalam menghadapi interpretasi-interpretasi yang
bertentangan dengan suatu keadaan atau preseden. Demikian pula pemisahan antara hukum dan
keadilan mendapat kecaman dari berbagai tokoh filsafat hukum13

Positivisme hukum hanya memiliki satu kelebihan, dengan banyak kelemahan.


Kelebihannya adalah adanya jaminan kepastian hukum dan masyarakat dengan mudah mengetahui
apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Negara atau pemerintah akan bertindak dengan
tegas sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga tugas hakim
relative lebih mudah, karena tidak perlu mempertimbangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran,
tetapi hanya sekedar menerapkan ketentuan undang-undang terhadap kasus konkrit. Adapun
kelemehannya adalah:

1. Hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk mempertegas dan melanggengkan
kekuasaannya. Karena itu, tidak jarang terjadi hukum yang semestinya menjamin
perlindungan bagi masyarakat, malah menindas rakyat.
2. Undang-undang bersifat kaku terhadap perkembangan zaman. Seperti diketahui,
perkembangan masyarakat itu berjalan cukup cepat dan kadang-kadang tidak dapat
diduga sebelumnya. Karena itu, undang-undang sering tidak mampu mengikuti
perkembangan yang pesat tersebut.
3. Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu mengakomodasi semua
persoalan kemasyarakatan. Karena, mustahil undang-undang mencantumkan semua
persoalan politik, budaya, ekonomi, sosial dan lain-lain.14

13
Hajar M, 2013, “Dialektika antara Aliran Hukum Alam dan Hukum Positif dan Relevansi dengan Hukum Islam”,
Jurnal Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru, hlm. 573.
14
Johni Najwan, Op.Cit., hlm. 27-28

7
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan yang sudah dijelaskan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan,
yakni sebagai berikut :

1. Secara sederhana positivisme hukum menganut dua prinsip dasar, yakni: Pertama, hanya
undang-undang yang disebut hukum, di luar undang-undang tidak ada hukum. Kedua,
negara atau otoritas merupakan satu-satunya sumber hukum.
2. Implementasi hukum di Indonesia memang dipengaruhi oleh konsep-konsep dari Mazhab
Positivisme Hukum, terutama pada pemikiran Kelsen bahwa suatu ketentuan hukum
tertentu bersumber pada ketentuan yang lebih tinggi. Namun terkadang hakim juga harus
berani keluar dari hukum positivistik-legalistik yang tidak berkeadilan. Hakim tidak boleh
kaku dengan hanya melihat norma-norma hukum positif, namun juga harus melihat faktor-
faktor penyebab suatu fakta hukum muncul. Dengan demikian, maka hakim akan bijak
dalam menerapkan hukum untuk mencapai keadilan.
3. Kelebihan dari Mazhab Positivisme Hukum adalah adanya jaminan kepastian hukum dan
masyarakat dengan mudah mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Kemudian untuk kekurangannya adalah hukum sering dijadikan alat bagi penguasa, untuk
mempertegas dan melanggengkan kekuasaannya, Undang-undang bersifat kaku terhadap
perkembangan zaman, dan Undang-undang sebagai hukum tertulis tidak mampu
mengakomodasi semua persoalan kemasyarakatan.

3.2 Saran

Sebaiknya memang dalam Implementasinya sendiri, Hukum harus dapat memberi


kepastian namunm Hukum tidak boleh kaku dan hanya bersumber kepada hukum positif. Ada
waktunya hakim juga harus menggunakan factor-faktor lain dalam memutuskan perkara. Hal ini
tentunya harus dilakukan agar menciptakan rasa keadilan.

8
DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, 2008, “Pengantar ke Filsafat Hukum”,

Kencana, Jakarta.

Darji Darmodiharjo, dan Shidarta, 2006, “Pokok-pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana

Filsafat Hukum Indonesia”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Agus Santoso, 2015, “Hukum, Moral, & Keadilan” , Prenada Media, Jakarta.

Umar Said S, 2009, “Pengantar Hukum Indonesia: Sejarah dan Dasar-dasar Tata Hukum serta

Politik Hukum Indonesia”, Setara Press, Malang.

Achmad Roestandi, 1984, “Responsi Filsafat Hukum”, Armico, Bandung.

BAHAN PENULISAN HUKUM

Johni Najwan, “Implikasi Aliran Positivisme Terhadap Pemikiran Hukum”, Jurnal Universitas

Jambi, Jambi.

Hajar M, 2013, “Dialektika antara Aliran Hukum Alam dan Hukum Positif dan Relevansi dengan

Hukum Islam”, Jurnal Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru.

A. Sukris Armadi, 2012, “Membebaskan Positivisme Hukum Ke Ranah Hukum Progresif”, Jurnal

Institut Agama Islam Negeri Antasari, Banjarmasin.

Syofyan Hadi, 2017, “Kekuatan Mengikat Hukum Dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam Dan

Mazhab Positivisme Hukum”, Jurnal Universitas 17 Agustus Surabaya, Surabaya,

Sri Wahyuni, 2012, “Pengaruh Positivisme Dalam Perkembangan Ilmu Hukum dan

Pembangunan Hukum Indonesia”, Jurnal Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 12

Anda mungkin juga menyukai