NPM : 110110170005
Soal:
A. METODE INDUKSI
1) Mazhab Hukum Alam - Abadi
Aliran Hukum Alam dikenalkan dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh
filsuf Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Grotius. Aliran Hukum alam ini
pada hakikatnya memiliki konsep bahwa hukum berlaku universal, abadi, dan
bersifat umum. Menurut Aristoteles Hukum alam adalah hukum yang berlaku
selalu dan di mana-mana, sesuai dengan aturan alam, serta memiliki
perbedaan dengan hukum positif yang di mana hukum positif yang
seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Hukum Alam sendiri
sebenarnya bukan merupakan jenis hukum, tetapi itu merupakan penamaan
seragam untuk banyak ide yang dikelompokan dalam satu nama, yaitu
hukum alam. Ini berarti dalam hukum alam sendiri terdapat beberapa teori
hukum yang memiliki persamaan dan perbedaan.Dalam teori hukum alam
terdapat ke khasan yaitu tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan
moral.1 Penganut aliran ini memandang hukum dan moral sebagai
pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal kehidupan
manusia dan hubungan sesama manusia. Menurut Aristoteles sendiri sumber
hukum alam terdiri dari tiga yaitu hukum alam yang bersumber dari Tuhan,
Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia, dan hukum alam yang
bersumber dari panca indera manusia. Maka dari itu menurut kami mazhab
hukum ala mini memiliki maksud dan tujuan untuk mengembangkan dan
membangkitkan kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam mencari
keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
telah diberikan secara langsung oleh Tuhan
3
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, Hlm. 87
4) Mazhab Hukum Sosiologi – Masyarakat
4
FX. Adji Samekto, Justice Not for All: Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi
Hukum Kritis, cetakan kesatu, Yogyakarta: Genta Press, 2008, hlm.29
5
Suteki, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta: 2013, hlm. 34-35, dalam
Muhammad Junaidi, “Semangat Pembaharuan Dan Penegakan Hukum Indonesia Dalam Perspektif
Sociological Jurisprudence”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.3 No. 1 Januari - April 2016, hlm. 51
tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme memiliki konsep
bahwa masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum. Pemisahan
sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan
studi pendapat mengenai nilai harus selalu ada agar penyelidikan ada
sasarannya, yakni perubahan masyarakat yang cepat dan lebih efektif
menanggapi problema-problema yang ada. Kemudian, realisme tidak percaya
pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang ketentuan dan
konsepsi hukum tersebut menggambarkan apa yang sebetulnya dilakukan
oleh pengadilan dan orang-orang. Realisme menekankan pada evolusi tiap
bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya. 6 Menurut salah satu tokoh
yang bernama John Chipman Gray, banyak pengaruh dari kepribadian,
prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis atas pembentukan hukum
dari putusan pengadilan.7Maka, menurut kamu mazhab hukum realis dapat
dikatakan sebagai aliran hukum yang memandang bahwa masyarakat yang
dinamis bahkan tidak sedikit pula dinamika terjadi di pengadilan dan hukum
tidak dapat mengikuti kecepatan perkembangan masyarakat sehingga hukum
perlu dilakukan pemisahan, yakni hukum semetara dengan hukum yang ada
dan yang seharusnya ada, agak setiap tujuan sosial dan problema
masyarakat selalu diakomodir oleh pembuat hukum.
Beberapa ahli yang menjadi penggerak dari aliran ini seperti Suncan
Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Kelman, David Trubeck, Horowitz dan
sebagainya. Menurut aliran ini, hukum bersifat tidak ada batas sehingga
antara hukum dengan moral dan politik, sesungguhnya tidak ada sekat
pemisah, ketiganya saling berkaitan erat.8 Ahli terdepan aliran ini merupakan
6
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (telaah kritis atas teori-teori hukum), Cetakan I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hlm.191-192
7
Ibid, hlm. 188
8
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005,
hlm.86
Roberto M. Unger yang mencoba mengaitkan dua paradigma konsensus.
Menurutnya, teori pemisahan hukum dan politik sangat tidak realistis. Karena,
hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi direkonstruksi
secara sosial.9 Menurut kami, mazhab hukum kritis merupakan analisis kritis
terhadap hukum dilihat melalui sudut pandang doktrin hukum dan
mengaitkannya dengan realitas kemudian mengungkapkan kritiknya atas
kedua kaitan tersebut, memang pada dasarnya kelahiran mazhab hukum
kritis ini mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya mengacu pada
doktrin hukum, tetapi juga melihat banyaknya faktor eksternal seperti ideologi,
bahasa, nilai, norma, konteks politik, proses pembentukan, dan aplikasi
hukum yang secara singkatnya apa latar belakang dari terbentuknya suatu
doktrin tersebut dan dalam menganalisis suatu hukum, aliran ini mengacu
pada kepustakaan fenomenologi, post-struktualisme, dekonstruksi, dan
linguistik agar dapat lebih mudah memahami relasi eksternal dengan doktrin
dimaksud.
9
Dalam bahasa lain, Unger merumuskan bahwa segala revisi terhadap bentuk dan
penggunaan hukum akan menyingkapkan perubahan-perubahan pada pengaturan dasar masyarakat
dan pada konsepsi- konsepsi yang dipunyai manusia tentang dirinya sendiri. Pada saat yang sama,
apapun yang bisa kita pelajari tentang perubahan-perubahan ini akan membantu kita menafsirkan
ulang tatanan hukum. Robert M. Unger, Teori Hukum Kritis, Terjemahan oleh Dariyatno dan Derta Sri
Widowati, Cetakan Ke-2, Bandung: Nusamedia, 2008, hlm. 253
MAZHAB HUKUM FORMAL (TEORI POSITIVISME) DAN MAZHAB
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Dalam hal ini saya ( Hanna Tasya ) percaya dan yakin bahwa mazhab
hukum sosiologi merupakan mazhab yang paling cocok dengan saya, karena
menurut saya dapat dipahami betu bahwa tujuan dari negara yang akan dicapai
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yakni memelihara ketertiban umum serta
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, hal ini mendorong Negara Indonesia
untuk melakukan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan secara maksimal,
mengikuti nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila sebagai dasar, tujuan dan
pedoman yang salah satunya melalui pembangunan di bidang ekonomi.
Hal tersebut telah jelas dapat menjawab bagaimana cara suatu negara
dapat mewujudkan cita-cita atau tujuannya, yakni denganmenerapkan mazhab
hukum sosiologis. Dapat kita lihat bahwa mazhab ini menekankan pada hukum
wajib menampung kebutuhan-kebutuhan hukum dan sosial bagi rakyat yang
berkembang kearah modernisasi dan hukum harus sesuai dengan nilai dan
norma yang diajarkan dan hidup dimasyarakat yang sedang berkembang pula.
Sesuai dengan pendapat pelopor Mazhab Hukum Sosiologis, bahwa dasar ia
meletakan pendekatan sosiologis terhadap segal aproblema atau permasalahn
hukum karena hukum hanya dapat dipahami dan dirasakan fungsinya hanya
oleh dan di masyarakat. Aliran ini pada dasarnya dipengaruhi dua ahli hukum,
yakni:
a. Eugen Ehlich
Mengacu pada hasil karyanya yang berjudul “ Fundamental Principle of the
Sociology of Law”, ia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif
apabila selaras dengan hukum yang ada atau hidup didalam masyarakat atau
biasa disebut pola kebudayaan ( culture pattern). Ia menyatakan bahwa pusat
perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legisatif,
keputusan-keputusan badan yudikatif, atau ilmu hukum, akantetapi letak di
dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada
peraturan yang dipaksakan oleh negara.
b. Roscoe Pund
Menurutnya hukum harus dilihat dari sudut pandang bagaimana suatu
Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan
kerangka tersebut agar kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.
Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa tata tertib yang didasarkan pada
peraturan yang dipaksakan oleh negara merupakan pusat perkembangan dari
hukum. Namun, pusat perkembangan tersebut pula perlu adanya kontrol agar
perkembangan hukum yang dilahirkan dapat memenuhi kebutuhan sosial
masyarakat. Atas hal tersebut, hukum yang dilahirkan akan efektif apabila
selaras dengan hukum yang hidup dimasyarakat karena sesuai dengan apa yang
dibutuhkan di dalam masyarakat itu sendiri.
10
Riyanto, Filsafat Ilmu, Integrasi Interkoneksi Press, Yogyakarta, 2011, Hlm. 56
3. Sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar
dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud
logis semata.
Latar belakang mengapa aliran positivism ini muncul antara lain akibat
Reaksi terhadap kepercayaan akan apa yang disebut sebagai kemajuan
(progres) abad ke-19; Ketidakpuasan terhadap dominasi positivisme, terutama
terhadap latar belakangnya yang naturalistik dan deterministic; dan Timbul reaksi
terhadap pengertian mengenai perkembangan yang telah menjadi mitos yang
mencakup segala-galanya. Aliran positivism ini dipengaruhi oleh dua ahli hukum
yaitu Jhon Austin yang mengemukakan mengenai Command Theory, dan Hans
Kelsen yang mengemukakan teori konvensi sosial. 11
11
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aguste Comte.,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982, Hlm. 89
berdasarkan pada perintah penguasa-penguasa, di mana pemikiran ini
diterima dan dikembangkan oleh Rudolf Von Ihering dan George Jellinek. 12
2. Teori Hukum Murni oleh Kelsen
Dalam teori ini terdapat pemisahan ilmu hukum dari unsur ideologi dan
keadilan. Kelsen melihat dalam keadilan sebuah ide yang tidak rasional, dan
teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak bisamenjawab pertanyaan
tentang apa yang membentuk keadilan karena pertanyaan ini sama sekali
tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan
legalitas. Dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah tatanan
(hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya. Teori hukum muri
mengkosentrasikan diri pada hukum semata-mata, dan berusaha
membebaskan ilmu pengetahuan dari campurtangan ilmu-ilmu pengatahuan
asing, seperti Psikologi, dan Etika.
1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut;
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan
suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas
12
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Cet. 1. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991, Hlm. 29
kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa
jadi mutlak, teratur dan valid;
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya;
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi;
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar
pemikirannya.
Maka dari itu terdapat teori atau aliran lain yang banyak dibicarakan
sebagai bentuk yang bertolak belakang dengan ketentuan aliran positivisme,
antara lain ialah teori sociological jurisprudence. Di mana maksud dari teori ini
ialah perkembangan hukum harus memperhatikan faktor-faktor sosiologi atau
aliran ini menyiratkan bahwa hukum harus berjalan seiring dengan perubahan
masyarakat. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, maka terlihat teori
sociological jurisprudence tidak memberikan kriteria yang jelas yang
membedakan norma hukum dari norma sosial ataupun norma lainnnya, padahal
seperti yang diketahui bahwa keduanya tidak dapat dipertukarkan. Sesuatu yang
merupakan fakta historis dan sosial, tidak mengurangi perlunya pengujian yang
jelas. Lebih lanjut dalam teori ini juga lebih menempatkan hukum adat di atas
hukum positif. Dalam negara modern, hampir seluruh masyarakat menuntut
untuk menggunakan hukum positif dalam keberlangsungan sehari-hari
mengingat hukum positif itu sudah dibentuk oleh pemerintah dan memperhatikan
kepentingan masyarakat banyak. Kekurangan terakhir dari aliran ini ialah Ehrlich
menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan norma-norma
hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama negara hanya
memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Konsekwensinya adalah adat kebiasaan
berkurang sebelum perbuatan udang-undang secara terperinci, terutama
undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi
kebiasaan dalam masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya
sendiri.
Apabila merujuk pada mazhab yang dipilih oleh Delfa Violina yakni
mazhab hukum formal yang mana hukum merupakan perintah yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, maka akan bertentangan
dengan perwujudan tujuan negara mengacu pada kekuasaan negara berkaitan
dengan otoritas negara sebagai suatu badan dimana pada dasarnya wewenang
tersebut diberikan oleh masyarakat guna mengatur kehidupannya secara tertib
dan damai. Yang berarti seharusnya dalam hal ini masyarakat memiliki
kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengelola kepentingan individu dan
kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat
berjalan lancar.
Apabila terjadi paksaan oleh negara dalam konteks negatif antara salah
satu kekuasaan maka terjadilah ketidakseimbangan kekuasaan negara dan
masyarakat, yang melahirkan pola hubungan dominatif dan eksploitatif dimana
salah satu kekuasaan tidak terkontrol dan terjadilah kesewenang-wenangan dan
menghasilkan sistem hukum yang berwatak represif. Hal ini menimbulkan
ketidak percayaan masyarakat terhadap kinerja hukum dan para ahlinya, hal ini
justru akan berdampak pada praktik pelaksanaan hukum yang diskriminatif
terhadap golongan minoritas. Merujuk pada pendapat Alant Hunt bahwa hukum
terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar
hukum, kutipan ini menjelaskan bahwa hukum tidak terletak di dalam ruang
hampa yang hanya dapat disetir oleh para ahli yang memiliki wewenang atas
dirinya. Kemudian, dapat diingat lagi bahwa hukum merupakan salah satu faktor
dalam penentu sistem soial, baik yang menentukan maupun yang ditentukan.
Hal tersebut akan terus bergerak mengikuti kondisi masyarakat yang dinamis.
Merespon bahwa yang telah dipaparkan Delfa Violina berkaitan
bantahannya atas mazhab hukum sosiologis, menurut saya atas permasalahan
tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat, bahwa nilai-nilai yang
hidup dimasyarakat dimaksud sangat berkaitan erat dengan perasaan keadilan
masyarakat. Perasaan keadilan masyarakat itu sendiri selanjutnya dapat diteliti
lebih lanjut oleh peneliti hukum karena setiap situasi dan problema-problema
dimasyarakat sangat berbeda dan kompleks.
Lihat Pasal 33 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13
Ahmad Ali, Menguak tabir hukum ( suatu kajian filosifis dan sosiologis ), Jakarta: Gunung
14
19
Insukindro dalam Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Group, 2005, hlm. 1-2
20
Lihat Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial
21
Meline Gerarita Sitompul , “Urgensi Legalitas Financial Technology (FINTECH): Peer to Peer
Lending di Indonesia”, Jurnal Yuridis Unaja, Vol.1 No.2, Desember 2018, hlm.69
22
Ibid, hlm. 70
Mengacu pada Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah, perbankan
Indonesia dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Demokrasi
Ekonomi dengan prinsip kehati-hatian.23 Fintech P2P lending syariah yang
merupakan peningkatan layanan jasa perbankan, sudah seharusnya pula dalam
melakukan kegiatan usahanya menjalankan prinsip kehati-hatian dan juga
prinsip syariah agar tetap menjaga stabilitas moneter, sistem keuangan dan
sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman dan andal. Prinsip ini merupakan
prinsip pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan
di bidang perbankan syariah khususnya.
Dalam rangka mencapai tujuan negara diatas maka perkembangan
teknologi, inovasi akan kegiatan di bidang perekonomian serta hukum suatu
negara haruslah berjalan sejajar atau bahkan apabila mengacu pada pemikiran
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. yang mengemukakan teori
pembangunan hukum dimana tujuan hukum merupakan tercapainya keadilan
masyarakat yang berbeda-beda baik isi, ukuran, masyarakat serta zamannya.
Kemudian, dalam mencapai keadilan masyarakat harus adanya kepastian
hukum didalam masyarakat, karena hukum merupakan sarana pembaharuan
masyarakat yang timbul karena adalah pembangunan yang dianggap perlu dan
dikehendaki oleh masyarakat. Maka dari itu, regulasi yang dinamis dalam arti
sejalan dengan pembaharuan masyarakat atau situasi dimana fintech P2P
lending syariah kini telah berkembang karena menjadi salah satu pilihan bagi
masyarakat untuk menjadi pelaku usaha di bidang fintech yang dilandasi
dengan prinsip syariah adalah hal yang diperlukan dimasyarakat.
Meski diikuti dengan dikeluarkannya Fatwa berkaitan dengan Fintech
Syariah guna kelancaran pelaksaan fintech syariah oleh Dewan Syariah
Nasional Majelas Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018
tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi berdasarkan Prinsip
Syariah, merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dapat disimpulkan kedudukan Fatwa MUI tidak memiliki
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-
23
Buku
Ahmad Ali, Menguak tabir hukum ( suatu kajian filosifis dan sosiologis ),
Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Friedman, W. Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teoir-Teori, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1993.
FX. Adji Samekto, Justice Not for All: Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam
Perspektif Studi Hukum Kritis, cetakan kesatu, Yogyakarta: Genta Press, 2008.
M. Unger, Teori Hukum Kritis, Terjemahan oleh Dariyatno dan Derta Sri
Widowati, Cetakan Ke-2, Bandung: Nusamedia, 2008.
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2005.
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (telaah kritis atas teori-teori hukum),
Cetakan I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.
Jurnal
Muhammad Junaidi, “Semangat Pembaharuan Dan Penegakan Hukum
Indonesia Dalam Perspektif Sociological Jurisprudence”, Jurnal Pembaharuan Hukum,
Vol.3 No. 1 Januari - April 2016.
Peraturan Perundang-undangan