Anda di halaman 1dari 20

Nama : Hanna Tasya Zahrani

NPM : 110110170005

Mata Kuliah : Filsafat Hukum

Dosen : Miranda Risang Ayu Palar, S.H., LL.M., Ph.D.

SESI KHUSUS ( METODE DISKUSI INDUKSI, DIALEKTIKA DAN FALSIFIKASI )

1. HANNA TASYA ZAHRANI ( 110110170005 )

2. DELFA VIOLINA ( 110110170030 )

Soal:

Enam Mazhab Teori Hukum

A. METODE INDUKSI
1) Mazhab Hukum Alam - Abadi
Aliran Hukum Alam dikenalkan dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh
filsuf Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Grotius. Aliran Hukum alam ini
pada hakikatnya memiliki konsep bahwa hukum berlaku universal, abadi, dan
bersifat umum. Menurut Aristoteles Hukum alam adalah hukum yang berlaku
selalu dan di mana-mana, sesuai dengan aturan alam, serta memiliki
perbedaan dengan hukum positif yang di mana hukum positif yang
seluruhnya tergantung pada ketentuan manusia. Hukum Alam sendiri
sebenarnya bukan merupakan jenis hukum, tetapi itu merupakan penamaan
seragam untuk banyak ide yang dikelompokan dalam satu nama, yaitu
hukum alam. Ini berarti dalam hukum alam sendiri terdapat beberapa teori
hukum yang memiliki persamaan dan perbedaan.Dalam teori hukum alam
terdapat ke khasan yaitu tidak dipisahkannya secara tegas antara hukum dan
moral.1 Penganut aliran ini memandang hukum dan moral sebagai
pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal kehidupan
manusia dan hubungan sesama manusia. Menurut Aristoteles sendiri sumber
hukum alam terdiri dari tiga yaitu hukum alam yang bersumber dari Tuhan,
Hukum alam yang bersumber dari rasio manusia, dan hukum alam yang
bersumber dari panca indera manusia. Maka dari itu menurut kami mazhab
hukum ala mini memiliki maksud dan tujuan untuk mengembangkan dan
membangkitkan kembali orang untuk berfilsafat hukum dalam mencari
keadilan, mengembangkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
telah diberikan secara langsung oleh Tuhan

2) Mazhab Hukum Formal – Kepastian Hukum


Mazhab hukum formal ini biasanya disebut juga sebagai mazhab
positivism. Dalam hal ini John Austin memberikan definisi hukum sebagai
perintah yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memiliki kedaulatan.
Unsur penting dari mazhab hukum formal ini ialah hukum memiliki sifat yang
logis, tetap, dan tertutup, terdapat perintah, sanski, kewajiban, serta
kedaulatan. Hans Kelsen juga menjadi pelopor dari adanya mazhab ini. 2 Di
mana menurut Hans Kelsen hukum tidak boleh dicampuri dengan anasir-
anasir non hukum seperti politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan serta
etika, bahkan membahas keadilan pun bukan dalam ranah hukum melainkan
dalam ranah ilmu politik. Mazhab ini juga mengartikan hukum sebagai
perintah atau alat untuk terciptanya kepastian hukum. Menurut mazhab ini
pun keadilan dan kepastian tidak dapat disatukan, karena Ketika keadilan
diutamakan maka tidak jarang kepastian hukum dilanggar, begitu pula
sebaliknya. Namun, apabila hukum positif nyata-nyata bertentangan dengan
keadilan, maka penegak hukum harus berani untuk menerobosnya, demi
tegaknya hukum dan keadilan. Hukum positif yang tidak berkeadilan hanya
1
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ketiga, Kanisiur, Yogyakarta, 1995, Hlm. 56
2
Friedman, W. Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teoir-Teori, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1993 Hlm. 45
sekumpulan kalimat yang tidak bermakna dan hanya alat penguasa untuk
mengekang rakyatnya. Maka dari itu menurut kami dalam mazhab
positivisme hukum memandang hukum sebagai saran untuk menciptakan
kepastian hukum, maka harus dipisahkan dari nilai baik atau buruk, serta nilai
adil atau tidak adil, hal ini berbeda dengan hukum alam yang memandang
hukum sebagai instrument keadilan yang tidak lepas dari moral dan etika.

3) Mazhab Hukum Budaya dan Sejarah - Masyarakat


Menurut mazhab ini mentakan bahwa hukum dibuat, melainkan
tumbuh dan berkembang bersama dengan masyarakat. Maksudnya ialah
hukum timbul dengan sendirinya di tengah masyarakat, sehingga hukum
merupakan cerimanan dari jiwa bangsa, sehinggal jiwa suatu bangsa dapat
dilihat dari hukum yang dianut oleh bangsa tersebut. Menurut Friedrich Carl
Von Savigny semua hukum berasal dari adat dan kepercayaan dan bukan
berasal dari pembentukn undang-undang. Isi hukum yang bersumber dari
pada jiwa rakyat itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke
masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu
masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah
laku semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks dimana
kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli
hukumnya. Hal ini pun sejalan dengan pemikiran Maine yang menyatakan
bahwa hukum benar tidak dibuat, melainkan lahir dengan sendirinya ditengah
kehidupan masyarakat, kehidupan masyarakat pun juga ada dua macamnya,
yang statis dan progresif (dinamis). Masyarakat progresif adalah masyarakat
yang mampu mengembangkan hukum melalui tiga cara, yaitu fiksi, ekuitas
dan peraturan perundang-undangan. Selaras dengan pernyataan tersebut
hukum pada dasarnya akan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan
yang terjadi di dalam masyarakat dan juga hukum akan saling berbeda satu
dengan yang lain dikarenakan perbedaan kebudayaan yang ada di dalam
masyarakat.3

3
Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007, Hlm. 87
4) Mazhab Hukum Sosiologi – Masyarakat

Aliran ini dipelopori oleh Eugen Ehrlich yang kemudian dipopulerkan di


Amerika Serikat oleh Roscoe Pound sebagai salah satu aliran modern
menyatakan bahwa hukum yang baik merupakan hukum yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dalam arti lain, hukum hanya dapat
dipahami dalam fungsinya di masyarakat, karena latar belakang aturan-
aturan formal yang dianggap sebagai hukum tersebut merupakan norma-
norma sosial aktual yang mengatur semua aspek kemasyarakatan. Dalam
pandangan keduanya, hukum harus dilihat sebagai suatu Lembaga
kemasyarakatan yang memiliki fungsi memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial
dan menganggap bahwa hukum dikaji bukan untuk tujuan hukum itu sendiri,
tetapi dikaji untuk menjelaskan masyarakat ( tatanan sosial ). 4 Dalam hal
struktur sosial masyarakat menjadi hal penentu dalam pembentukan hukum
karena dikut membentuk hukum dengan turut serta memberikan makna
sosial kedalamnya. Hubungan keduanya dapat terbentuk dan berjalan
bergantung pada struktur sosial masyarakatnya. 5 Maka, menurut kami
mazhab hukum sosiologi merupakan aliran hukum yang mengajarkan bahwa
hukum yang baik merupakan aturan yang memang sesuai dengan nilai dan
norma yang diajarkan dan hidup dimasyarakat karena hal tersebut sejatinya
dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat didalamnya.

5) Mazhab Hukum Realis - Keadilan


Tokoh-tokoh realisme antara lain adalah Oliver Wendell Holmes, Kael
Llewellyn, Jerome Frank dan John Chipman Gray. Menurut mereka beberapa
hal yang terpenting dalam pemikiran hukum realisme merupakan konsepsi
hukum yang terus berubah, sebagai alat untuk tujuan-tujuan sosial, sehingga

4
FX. Adji Samekto, Justice Not for All: Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam Perspektif Studi
Hukum Kritis, cetakan kesatu, Yogyakarta: Genta Press, 2008, hlm.29
5
Suteki, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta: 2013, hlm. 34-35, dalam
Muhammad Junaidi, “Semangat Pembaharuan Dan Penegakan Hukum Indonesia Dalam Perspektif
Sociological Jurisprudence”, Jurnal Pembaharuan Hukum, Vol.3 No. 1 Januari - April 2016, hlm. 51
tiap bagian harus diuji tujuan dan akibatnya. Realisme memiliki konsep
bahwa masyarakat yang berubah lebih cepat daripada hukum. Pemisahan
sementara antara hukum yang ada dan yang seharusnya ada untuk tujuan
studi pendapat mengenai nilai harus selalu ada agar penyelidikan ada
sasarannya, yakni perubahan masyarakat yang cepat dan lebih efektif
menanggapi problema-problema yang ada. Kemudian, realisme tidak percaya
pada ketentuan-ketentuan dan konsepsi hukum sepanjang ketentuan dan
konsepsi hukum tersebut menggambarkan apa yang sebetulnya dilakukan
oleh pengadilan dan orang-orang. Realisme menekankan pada evolusi tiap
bagian dari hukum dengan mengingat akibatnya. 6 Menurut salah satu tokoh
yang bernama John Chipman Gray, banyak pengaruh dari kepribadian,
prasangka dan faktor-faktor lain yang tidak logis atas pembentukan hukum
dari putusan pengadilan.7Maka, menurut kamu mazhab hukum realis dapat
dikatakan sebagai aliran hukum yang memandang bahwa masyarakat yang
dinamis bahkan tidak sedikit pula dinamika terjadi di pengadilan dan hukum
tidak dapat mengikuti kecepatan perkembangan masyarakat sehingga hukum
perlu dilakukan pemisahan, yakni hukum semetara dengan hukum yang ada
dan yang seharusnya ada, agak setiap tujuan sosial dan problema
masyarakat selalu diakomodir oleh pembuat hukum.

6) Mazhab Hukum Kritis - Keadilan

Beberapa ahli yang menjadi penggerak dari aliran ini seperti Suncan
Kennedy, Karl Klare, Peter Gabel, Kelman, David Trubeck, Horowitz dan
sebagainya. Menurut aliran ini, hukum bersifat tidak ada batas sehingga
antara hukum dengan moral dan politik, sesungguhnya tidak ada sekat
pemisah, ketiganya saling berkaitan erat.8 Ahli terdepan aliran ini merupakan

6
W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (telaah kritis atas teori-teori hukum), Cetakan I,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, hlm.191-192
7
Ibid, hlm. 188
8
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005,
hlm.86
Roberto M. Unger yang mencoba mengaitkan dua paradigma konsensus.
Menurutnya, teori pemisahan hukum dan politik sangat tidak realistis. Karena,
hukum bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah, tetapi direkonstruksi
secara sosial.9 Menurut kami, mazhab hukum kritis merupakan analisis kritis
terhadap hukum dilihat melalui sudut pandang doktrin hukum dan
mengaitkannya dengan realitas kemudian mengungkapkan kritiknya atas
kedua kaitan tersebut, memang pada dasarnya kelahiran mazhab hukum
kritis ini mengedepankan analisis hukum yang tidak hanya mengacu pada
doktrin hukum, tetapi juga melihat banyaknya faktor eksternal seperti ideologi,
bahasa, nilai, norma, konteks politik, proses pembentukan, dan aplikasi
hukum yang secara singkatnya apa latar belakang dari terbentuknya suatu
doktrin tersebut dan dalam menganalisis suatu hukum, aliran ini mengacu
pada kepustakaan fenomenologi, post-struktualisme, dekonstruksi, dan
linguistik agar dapat lebih mudah memahami relasi eksternal dengan doktrin
dimaksud.

B. METODE DIALEKTIKA DAN FALSIFIKASI

9
Dalam bahasa lain, Unger merumuskan bahwa segala revisi terhadap bentuk dan
penggunaan hukum akan menyingkapkan perubahan-perubahan pada pengaturan dasar masyarakat
dan pada konsepsi- konsepsi yang dipunyai manusia tentang dirinya sendiri. Pada saat yang sama,
apapun yang bisa kita pelajari tentang perubahan-perubahan ini akan membantu kita menafsirkan
ulang tatanan hukum. Robert M. Unger, Teori Hukum Kritis, Terjemahan oleh Dariyatno dan Derta Sri
Widowati, Cetakan Ke-2, Bandung: Nusamedia, 2008, hlm. 253
MAZHAB HUKUM FORMAL (TEORI POSITIVISME) DAN MAZHAB
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE

Hanna Tasya: ( Mazhab Hukum Sosiologis )

Dalam hal ini saya ( Hanna Tasya ) percaya dan yakin bahwa mazhab
hukum sosiologi merupakan mazhab yang paling cocok dengan saya, karena
menurut saya dapat dipahami betu bahwa tujuan dari negara yang akan dicapai
sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 yakni memelihara ketertiban umum serta
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat, hal ini mendorong Negara Indonesia
untuk melakukan Pembangunan Nasional yang dilaksanakan secara maksimal,
mengikuti nilai-nilai yang termaktub dalam Pancasila sebagai dasar, tujuan dan
pedoman yang salah satunya melalui pembangunan di bidang ekonomi.

Hal tersebut telah jelas dapat menjawab bagaimana cara suatu negara
dapat mewujudkan cita-cita atau tujuannya, yakni denganmenerapkan mazhab
hukum sosiologis. Dapat kita lihat bahwa mazhab ini menekankan pada hukum
wajib menampung kebutuhan-kebutuhan hukum dan sosial bagi rakyat yang
berkembang kearah modernisasi dan hukum harus sesuai dengan nilai dan
norma yang diajarkan dan hidup dimasyarakat yang sedang berkembang pula.
Sesuai dengan pendapat pelopor Mazhab Hukum Sosiologis, bahwa dasar ia
meletakan pendekatan sosiologis terhadap segal aproblema atau permasalahn
hukum karena hukum hanya dapat dipahami dan dirasakan fungsinya hanya
oleh dan di masyarakat. Aliran ini pada dasarnya dipengaruhi dua ahli hukum,
yakni:

a. Eugen Ehlich
Mengacu pada hasil karyanya yang berjudul “ Fundamental Principle of the
Sociology of Law”, ia menyatakan bahwa hukum positif hanya akan efektif
apabila selaras dengan hukum yang ada atau hidup didalam masyarakat atau
biasa disebut pola kebudayaan ( culture pattern). Ia menyatakan bahwa pusat
perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legisatif,
keputusan-keputusan badan yudikatif, atau ilmu hukum, akantetapi letak di
dalam masyarakat itu sendiri. Tata tertib dalam masyarakat didasarkan pada
peraturan yang dipaksakan oleh negara.
b. Roscoe Pund
Menurutnya hukum harus dilihat dari sudut pandang bagaimana suatu
Lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
-kebutuhan sosial, dan adalah tugas dari ilmu hukum untuk mengembangkan
kerangka tersebut agar kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Maka, dapat diambil kesimpulan bahwa tata tertib yang didasarkan pada
peraturan yang dipaksakan oleh negara merupakan pusat perkembangan dari
hukum. Namun, pusat perkembangan tersebut pula perlu adanya kontrol agar
perkembangan hukum yang dilahirkan dapat memenuhi kebutuhan sosial
masyarakat. Atas hal tersebut, hukum yang dilahirkan akan efektif apabila
selaras dengan hukum yang hidup dimasyarakat karena sesuai dengan apa yang
dibutuhkan di dalam masyarakat itu sendiri.

Delfa Violina: ( Mazhab Hukum Formal )

Indonesia merupakan negara hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1


ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ke-
IV, hal ini berarti dalam segala tindakan atau kebijakan negara yang dilakukan
oleh Pemerintah wajib berdasarkan aturan yang telah ada. Salah satu yang
melatar belakangi negara hukum ialah aliran positivism. Aliran positivisme dalam
kaidah hukum disebut sebagai legisme, yaitu suatu paham(isme) bahwa
kehidupan bernegara bangsa mestilah semata-semata berdasarkan hukum
undang-undang. Dalam aliran positivisme terdapat tiga landasan yang menjadi
unsur penting dalam aliran ini, yaitu: 10

1. Hukum adalah perintah manusia yang memisahkan hukum dengan moral;


2. Penelitian dilakukan terhadap hukum dipisahkan dari unsur-unsur di luar
hukum seperti sejarah, sosiologis dan politik;

10
Riyanto, Filsafat Ilmu, Integrasi Interkoneksi Press, Yogyakarta, 2011, Hlm. 56
3. Sistem hukum adalah sistem logis tertutup di mana keputusan yang benar
dapat dideduksi dari aturan hukum yang telah ditentukan dengan maksud
logis semata.

Positivisme muncul abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte,


dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul the course of
positive philosophy (1830-1842). Positivisme berakar pada empirisme.
Positivisme adalah: bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid,
dan fakta-fakta sejarah yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subyek
di belakang fakta, menolak segala penggunaan metode diluar yang digunakan
untuk menelaah fakta.

Latar belakang mengapa aliran positivism ini muncul antara lain akibat
Reaksi terhadap kepercayaan akan apa yang disebut sebagai kemajuan
(progres) abad ke-19; Ketidakpuasan terhadap dominasi positivisme, terutama
terhadap latar belakangnya yang naturalistik dan deterministic; dan Timbul reaksi
terhadap pengertian mengenai perkembangan yang telah menjadi mitos yang
mencakup segala-galanya. Aliran positivism ini dipengaruhi oleh dua ahli hukum
yaitu Jhon Austin yang mengemukakan mengenai Command Theory, dan Hans
Kelsen yang mengemukakan teori konvensi sosial. 11

1. Teori hukum Jhon Austin (1790-1859)


Dalam aliran positivism juga terdapat ajaran hukum positif yakni analytical
jurisprudence (ajaran hukum analitis). Menurut ajaran ini hukum adalah
perintah penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur perintah.
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup.
Hukum positif inipun memiliki 4 unsur yaitu terdapat perintah, kewajiban,
sanksi, dan kedaulatan. Dalam teori ini pun lebih menekankan kepada aturan

11
Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aguste Comte.,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982, Hlm. 89
berdasarkan pada perintah penguasa-penguasa, di mana pemikiran ini
diterima dan dikembangkan oleh Rudolf Von Ihering dan George Jellinek. 12
2. Teori Hukum Murni oleh Kelsen
Dalam teori ini terdapat pemisahan ilmu hukum dari unsur ideologi dan
keadilan. Kelsen melihat dalam keadilan sebuah ide yang tidak rasional, dan
teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak bisamenjawab pertanyaan
tentang apa yang membentuk keadilan karena pertanyaan ini sama sekali
tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan
legalitas. Dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah tatanan
(hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya. Teori hukum muri
mengkosentrasikan diri pada hukum semata-mata, dan berusaha
membebaskan ilmu pengetahuan dari campurtangan ilmu-ilmu pengatahuan
asing, seperti Psikologi, dan Etika.

Sistem hukum Indonesia telah mendapat pengaruh dari teori positivisme


hukum, suatu faham yang dipengaruhi legisme. Teori positivisme hukum ini
berdampak pada aspek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,
sebagai wujud negara hukum, bahwa seluruh apa ratur penyelengara negara
dari tingkat pusat sampai daerah, dari pejabat tinggi hingga pejabat terendah dan
seluruh warga negaranya semua berpegang dan mendasarkan pada hukum
(undang-undang). Mulai dari peraturan perundangan yang tertinggi sampai pada
peraturan pelaksanaan yang terendah dan konkrit, hingga seperti juklak dan
juknis, merupakan landasan yuridis-normatif. Lebih lanjut, pada dasarnya
terdapat beberapa kelebihan dari aliran positivism ini, antara lain:

1. Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga kadar dari
faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham tersebut;
2. Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka akan menghasilkan
suatu pengetahuan yang mana manusia akan mempu menjelaskan realitas

12
Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Cet. 1. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1991, Hlm. 29
kehidupan tidak secara spekulatif, arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa
jadi mutlak, teratur dan valid;
3. Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang akan didorong
untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak hanya terbatas
menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa depannya;
4. Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor fisik dan
teknologi;
5. Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik pada
epistemology ataupun keyakinan ontologik yang dipergunakan sebagai dasar
pemikirannya.

Maka dari itu terdapat teori atau aliran lain yang banyak dibicarakan
sebagai bentuk yang bertolak belakang dengan ketentuan aliran positivisme,
antara lain ialah teori sociological jurisprudence. Di mana maksud dari teori ini
ialah perkembangan hukum harus memperhatikan faktor-faktor sosiologi atau
aliran ini menyiratkan bahwa hukum harus berjalan seiring dengan perubahan
masyarakat. Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, maka terlihat teori
sociological jurisprudence tidak memberikan kriteria yang jelas yang
membedakan norma hukum dari norma sosial ataupun norma lainnnya, padahal
seperti yang diketahui bahwa keduanya tidak dapat dipertukarkan. Sesuatu yang
merupakan fakta historis dan sosial, tidak mengurangi perlunya pengujian yang
jelas. Lebih lanjut dalam teori ini juga lebih menempatkan hukum adat di atas
hukum positif. Dalam negara modern, hampir seluruh masyarakat menuntut
untuk menggunakan hukum positif dalam keberlangsungan sehari-hari
mengingat hukum positif itu sudah dibentuk oleh pemerintah dan memperhatikan
kepentingan masyarakat banyak. Kekurangan terakhir dari aliran ini ialah Ehrlich
menolak mengikuti logika perbedaan yang ia sendiri adakan norma-norma
hukum negara yang khas dan norma-norma hukum dinama negara hanya
memberi sanksi pada fakta-fakta sosial. Konsekwensinya adalah adat kebiasaan
berkurang sebelum perbuatan udang-undang secara terperinci, terutama
undang-undang yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat mempengaruhi
kebiasaan dalam masya-rakat sama banyaknya dengan pengaruh dirinya
sendiri.

Hanna Tasya : ( Mazhab Hukum Sosiologis )

Apabila merujuk pada mazhab yang dipilih oleh Delfa Violina yakni
mazhab hukum formal yang mana hukum merupakan perintah yang memegang
kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan, maka akan bertentangan
dengan perwujudan tujuan negara mengacu pada kekuasaan negara berkaitan
dengan otoritas negara sebagai suatu badan dimana pada dasarnya wewenang
tersebut diberikan oleh masyarakat guna mengatur kehidupannya secara tertib
dan damai. Yang berarti seharusnya dalam hal ini masyarakat memiliki
kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengelola kepentingan individu dan
kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat
berjalan lancar.

Apabila terjadi paksaan oleh negara dalam konteks negatif antara salah
satu kekuasaan maka terjadilah ketidakseimbangan kekuasaan negara dan
masyarakat, yang melahirkan pola hubungan dominatif dan eksploitatif dimana
salah satu kekuasaan tidak terkontrol dan terjadilah kesewenang-wenangan dan
menghasilkan sistem hukum yang berwatak represif. Hal ini menimbulkan
ketidak percayaan masyarakat terhadap kinerja hukum dan para ahlinya, hal ini
justru akan berdampak pada praktik pelaksanaan hukum yang diskriminatif
terhadap golongan minoritas. Merujuk pada pendapat Alant Hunt bahwa hukum
terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di luar
hukum, kutipan ini menjelaskan bahwa hukum tidak terletak di dalam ruang
hampa yang hanya dapat disetir oleh para ahli yang memiliki wewenang atas
dirinya. Kemudian, dapat diingat lagi bahwa hukum merupakan salah satu faktor
dalam penentu sistem soial, baik yang menentukan maupun yang ditentukan.
Hal tersebut akan terus bergerak mengikuti kondisi masyarakat yang dinamis.
Merespon bahwa yang telah dipaparkan Delfa Violina berkaitan
bantahannya atas mazhab hukum sosiologis, menurut saya atas permasalahan
tersebut dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat, bahwa nilai-nilai yang
hidup dimasyarakat dimaksud sangat berkaitan erat dengan perasaan keadilan
masyarakat. Perasaan keadilan masyarakat itu sendiri selanjutnya dapat diteliti
lebih lanjut oleh peneliti hukum karena setiap situasi dan problema-problema
dimasyarakat sangat berbeda dan kompleks.

UJIAN AKHIR SEMESTER

Dalam mewujudkan tujuan negara yang akan dicapai sesuai dengan


Pembukaan UUD 1945 yakni memelihara ketertiban umum serta
menyelenggarakan kesejahteraan rakyat. Untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat dimaksud, Indonesia melaksanakan pembangunan yang salah satunya di
sektor perekonomian nasional sesuai dengan isi Pasal 33 ayat ( 4 ) UUD 1945 (
Amandemen ke 4 ) yang pada intinya perekonomian nasional dilaksanakan atas
dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional. 13 Tidak lupa, Indonesia sebagai
negara hukum mengacu pada isi Pasal 1 ayat ( 3 ) UUD 1945 ( Amandemen ke
4 ) wajib mewujudkannya sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.
Atas hal tersebut, demi dapat terwujudnya kesejahteraan dan ketertiban
masyarakat wajib adanya pranata ekonomi. Pranata ekonomi secara singkat
merupakan aturan yang mengatur segala kegiatan produksi, distribusi,
konsumsi barang dan jasa sehingga dapat terwujudnya kesejahteraan dan
ketertiban masyarakat. Pemerintah sebagai pihak yang memiliki fungsi
pengaturan dimana memiliki tanggungjawab atas hukum yang dibuat menjadi
social engineering didalam masyarakat.14 Yang berarti, pembuatan regulasi

Lihat Pasal 33 Ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
13

Ahmad Ali, Menguak tabir hukum ( suatu kajian filosifis dan sosiologis ), Jakarta: Gunung
14

Agung, 2002, hlm. 92


yang dilakukan media pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang dapat
mempengaruhi perubahan sosial di masyarakat karena memberikan pedoman
agar dapat terwujudnya cita-cita bangsa melalui regulasi yang dibentuk. 15
Perkembangan teknologi informasi saat ini mendorong cita-cita bangsa
untuk mengikuti perkembangan masyarakat yang dinamis, salah satunya pada
kegiatan perekonomian. Kita semua tahu pentingnya sistem keuangan yang
berfungsi sebagai lembaga penghubung keuangan dengan lembaga transmisi
yang dapat menghubungkan pihak yang kekurangan dana dengan pihak yang
kelebihan dana, memperlancar transaksi ekonomi, serta memenuhi kebutuhan
manusia pada umumnya.16 Lembaga keuangan sendiri terbagi menjadi dua
kategori, yakni lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non-bank. 17
Lembaga keuangan bank dan non-bank mempunyai peran yang sama, yakni
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat.
Namun yang menjadi perbedaan antara keduanya adalah dana yang diterima.
Bagi lembaga keuangan bank, dapat menerima dana secara langsung yang
sumbernya dari simpanan berupa giro, deposito dan tabungan, dan dana secara
tidak langsung melalui pinjaman/kredit. Untuk lembaga keuangan bukan bank,
hanya dapat menghimpun dana secara tidak langsung dari masyarakat. Peran
keduanya sangat penting bagi kegiatan perekonomian negara agar
penghimpunan dan penyaluran dana masyarakat dapat dilakukan secara efektif
dan efisien kearah peningkatan taraf hidup masyarakat. 18
Meski kegiatan lembaga keuangan sangat penting bagi perekonomian
negara, terdapat beberapa kekurangan yang telah berlangsung dimasayarakat
yang mana lembaga keuangan konvensional selama ini dianggap cukup rumit,
kurang efisien terutama bagi pihak yang membutuhkan uang dengan cepat dan
menghabiskan waktu yang cukup lama. Atas perkembangan teknologi informasi
15
Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Yogyakarta: Genta Press 2007,
hlm. 104-105
16
Insukindro dalam Hermasyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Group, 2005, hlm. 1-2.
17
Supianto, Hukum Jaminan Fidusia: Prinsip Publisitas Pada Jaminan Fidusia, Yogyakarta:
Garudhawaca, 2015, hlm.10
18
Jaman Wiwoho, “Peran Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
dalam Memberikan Distribusi Keadilan Bagi Masyarakat”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Vol. 43 No.1 ,
Januari 2014, hlm.88
dimaksud, maka muncullah inovasi yakni Teknologi Finansial atau Financial
Technology,19 yang merupakan peningkatan layanan jasa perbankan. Bank
Indonesia membagi layanan fintech menjadi beberapa sektor yakni Sistem
pembayaran, Pendukung pasar, Manajemen investasi dan manajemen risiko,
Pinjaman, Pembiayaan, dan penyediaan modal serta Jasa finansial lainnya. 20
Perkembangan fintech di Indonesia dapat dinilai cukup dinamis, terutama pada
kegiatan pinjam meminjam uang atau biasa dikenal dengan Fintech Peer-to-
Peer (P2P) Lending karena dianggap dapat menjadi solusi dari masyarakat
yang kesulitan mendapatkan dana dengan cepat namun tetap efektif serta
transparan.21
Fintech P2P lending adalah salah satu layanan pada perusahaan fintech
yang mempertemukan langsung pemilik dana ( investor ) dengan peminjam
dana ( borrower ), dalam pelaksanaannya perusahaan fintech P2P Lending
membuat platform online yang menyediakan fasilitas untuk investor memberikan
pinjaman kepada borrower sebagai kreditur dengan pengembalian ( return )
lebih tinggi. Keuntungan yang didapat oleh peminjam dana yakni pengajuan
kredit tanpa agunan, syarat serta prosesnya lebih cepat dibandingkan dengan
lembaga keuangan konvensional, seperti bank. 22 Pelaksanaan layanan ini telah
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016
Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
( selanjutnya disebut POJK No.77/OJK.01/2016 ). Perkembangan fintech P2P
lending konvensional diikuti pula dengan kehadiran fintech P2P lending syariah.
Pesatnya inovasi dalam kegiatan perekonomian di Indonesia juga tidak selalu
berjalan mulus, perkembangan fintech P2P lending syariah di Indonesia
merupakan salah satu kegiatan perekonomian yang belum diatur oleh hukum
sehingga tidak ada kepastian hukum didalamnya.

19
Insukindro dalam Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta: Prenada
Media Group, 2005, hlm. 1-2
20
Lihat Penjelasan Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial
21
Meline Gerarita Sitompul , “Urgensi Legalitas Financial Technology (FINTECH): Peer to Peer
Lending di Indonesia”, Jurnal Yuridis Unaja, Vol.1 No.2, Desember 2018, hlm.69
22
Ibid, hlm. 70
Mengacu pada Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah, perbankan
Indonesia dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Demokrasi
Ekonomi dengan prinsip kehati-hatian.23 Fintech P2P lending syariah yang
merupakan peningkatan layanan jasa perbankan, sudah seharusnya pula dalam
melakukan kegiatan usahanya menjalankan prinsip kehati-hatian dan juga
prinsip syariah agar tetap menjaga stabilitas moneter, sistem keuangan dan
sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman dan andal. Prinsip ini merupakan
prinsip pengendalian risiko melalui penerapan peraturan perundang-undangan
di bidang perbankan syariah khususnya.
Dalam rangka mencapai tujuan negara diatas maka perkembangan
teknologi, inovasi akan kegiatan di bidang perekonomian serta hukum suatu
negara haruslah berjalan sejajar atau bahkan apabila mengacu pada pemikiran
Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. yang mengemukakan teori
pembangunan hukum dimana tujuan hukum merupakan tercapainya keadilan
masyarakat yang berbeda-beda baik isi, ukuran, masyarakat serta zamannya.
Kemudian, dalam mencapai keadilan masyarakat harus adanya kepastian
hukum didalam masyarakat, karena hukum merupakan sarana pembaharuan
masyarakat yang timbul karena adalah pembangunan yang dianggap perlu dan
dikehendaki oleh masyarakat. Maka dari itu, regulasi yang dinamis dalam arti
sejalan dengan pembaharuan masyarakat atau situasi dimana fintech P2P
lending syariah kini telah berkembang karena menjadi salah satu pilihan bagi
masyarakat untuk menjadi pelaku usaha di bidang fintech yang dilandasi
dengan prinsip syariah adalah hal yang diperlukan dimasyarakat.
Meski diikuti dengan dikeluarkannya Fatwa berkaitan dengan Fintech
Syariah guna kelancaran pelaksaan fintech syariah oleh Dewan Syariah
Nasional Majelas Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 117/DSN-MUI/II/2018
tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi berdasarkan Prinsip
Syariah, merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dapat disimpulkan kedudukan Fatwa MUI tidak memiliki
Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-
23

Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.


kekuatan hukum yang mengikat dan adanya kekosongan hukum atas masalah
dimaksud.
Berdasarkan hal diatas, pada dasarnya adanya jaminan dan kepastian
hukum yang dituangkan dalam pengaturan yang memiliki kekuatan hukum
sangat dibutuhkan dalam praktek fintech P2P lending syariah demi terciptanya
kepercayaan serta rasa aman bagi pemilik dana ( investor ) maupun peminjam
dana ( borrower ) dalam melakukan investasi. Kekosongan hukum yang terjadi
tentu bertentangan dengan prinsip kehati-hatian yang seharusnya dijalankan
agar tetap terjaganya stabilitas moneter, sistem keuangan dan sistem
pembayaran yang efisien, lancar, aman dan andal.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ahmad Ali, Menguak tabir hukum ( suatu kajian filosifis dan sosiologis ),
Jakarta: Gunung Agung, 2002.

Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Yogyakarta: Genta


Press 2007.

Friedman, W. Teori dan Filsafat Hukum Telaah Kritis atas Teoir-Teori, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

FX. Adji Samekto, Justice Not for All: Kritik Terhadap Hukum Modern Dalam
Perspektif Studi Hukum Kritis, cetakan kesatu, Yogyakarta: Genta Press, 2008.

Insukindro dalam Hermasyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Jakarta:


Prenada Media Group, 2005.

M. Unger, Teori Hukum Kritis, Terjemahan oleh Dariyatno dan Derta Sri
Widowati, Cetakan Ke-2, Bandung: Nusamedia, 2008.

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, Studi


Perbandingan Sistem Hukum Islam, Penerjemah Yudian Wahyudi Asmin, Cet. 1.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991.

Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti:
Bandung, 2005.

Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2007.


Riyanto, Filsafat Ilmu, Integrasi Interkoneksi Press, Yogyakarta, 2011.

Suteki, Desain Hukum Di Ruang Sosial,Thafa Media, Yogyakarta: 2013.

Supianto, Hukum Jaminan Fidusia: Prinsip Publisitas Pada Jaminan Fidusia,


Yogyakarta: Garudhawaca, 2015.

Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Cetakan ketiga, Kanisiur, Yogyakarta, 1995.

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum (telaah kritis atas teori-teori hukum),
Cetakan I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010.

Wibisono, Koento, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Aguste


Comte., Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1982.

Jurnal
Muhammad Junaidi, “Semangat Pembaharuan Dan Penegakan Hukum
Indonesia Dalam Perspektif Sociological Jurisprudence”, Jurnal Pembaharuan Hukum,
Vol.3 No. 1 Januari - April 2016.

Jaman Wiwoho, “Peran Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan


Bukan Bank dalam Memberikan Distribusi Keadilan Bagi Masyarakat”, Jurnal Masalah-
Masalah Hukum, Vol. 43 No.1 , Januari 2014.

Meline Gerarita Sitompul , “Urgensi Legalitas Financial Technology (FINTECH):


Peer to Peer Lending di Indonesia”, Jurnal Yuridis Unaja, Vol.1 No.2, Desember 2018.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan


Teknologi Finansial

Anda mungkin juga menyukai