Anda di halaman 1dari 9

LEMBAR JAWABAN

UJIAN TENGAH SEMESTER

Nama : ANGEL
NIM : 2202190001
MATA KULIAH / GROUP : SOSIOLOGI HUKUM / A
DOSEN : Prof. Dr. John Pieris, SH., MS.

1. Berikut mazhabh hukum dalam studi sosiologi hukum:


a) Mazhab Formalisme (Austin, Kelsen)
Sebagian dari ahli filsafat hukum yang disebut kaum positivis, menyatakan bahwa
hukum dan moral merupakan dua bidang yang terpisah dan harus dipisahkan.
Tokoh-tokoh aliran ini antara lain adalah John Austin dan Hans Kelsen. John Austin
mengatakan bahwa hukum merupakan perintah dari mereka yang memegang
kekuasaan tertinggi (pemegang kedaulatan). Perintah ini adalah untuk makhluk
yang berpikir dan oleh makhluk yang berpikir. Hukum ini tidak didasarkan pada
nilai baik atau buruk tetapi harus berdasarkan kekuasaan penguasa. Austin
menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup.
Oleh karena itulah ajarannya bernama Analytical Jurisprudence. Austin membagi
hukum atas hukum Tuhan dan hukum yang dibuat manusia. Hukum yang dibuat
manusia dibedakan atas hukum yang sebenarnya dan hukum yang tidak sebenarnya.
Hukum yang sebenarnya dibuat oleh penguasa dan individu-individu yang
mengandung unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. Hukum yang tidak
sebenarnya dibuat oleh perkumpulan atau badan-badan tertentu. Hans Kelsen
terkenal dengan teori murni tentang hukum (Pure Theory of Law), artinya hukum
berdiri sendiri terlepas dari aspek-aspek kemasyarakatan yang lain. Kelsen
bermaksud untuk menunjukkan bagaimana hukum yang sebenarnya tanpa
memberikan penilaian apakah hukum itu adil atau kurang adil. Sistem hukum
menurutnya adalah stufenbau atau suatu susunan yang hierarkhis dari kaidah atau
peraturan-peraturan. Di puncak stufenbau terdapat grundnorm yang merupakan
kaidah dasar dari ketertiban tata hukum nasional. Sah nya suatu kaidah hukum
dikembalikan pada kaidah hukum yang lebih tinggi dan akhirnya pada kaidah dasar.
b) Mazhab Kebudayaan dan Sejarah (Von Savigny, Maine)
Aliran sejarah dan kebudayaan bertolak belakang dengan pemikiran aliran
formalistis. Menurut aliran sejarah dan kebudayaan, hukum tidak bisa lepas dari
unsur-unsur kemasyarakatan, sebab ia merupakan bagian dari sistem sosial yang
lebih luas. Hukum hanya dapat dimengerti dengan menelaah kerangka sejarah
dan kebudayaan dimana hukum tersebut timbul. Tokoh yang termasuk kedalam
aliran ini adalah Friedrich Karl Von Savigny dan Sir Henry Maine. Menurut
Von Savigny hukum merupakan perujudan dari kesadaran hukum masyarakat
(volksgeist). Semua hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan, bukan
dari pembentuk undang-undang. Karena itu, penting untuk diteliti tentang
hubungan hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem nilainilainya. Sir
Henry Maine terkenal dengan teorinya tentang perkembangan hukum dari status
ke kontrak yang sejalan dengan perkembangan masyarakat yang sederhana
kemasyarakat modern yang kompleks. Pada masyarakat yang modern dan
kompleks, hubungan-hubungan didasarkan pada sistem hak dan kewajiban yang
didasarkan pada kontrak yang dibuat dan dilakukan secara sukarela oleh para
pihak.

c) Aliran Utilitarianisme dan Sociological Jurisprudence (Bentham. Jhering,


Ehrlich serta Pound)
Penganut aliran ini berpendapat bahwa hukum haruslah memberi manfaat
kepada manusia. Ahli aliran ini adalah Jeremy Bentham dan Rudolp Von
Ihering. Bentham menyatakan bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak
kebahagiaan dan mengurangi penderitaan. Ukuran baik buruknya suatu
perbuatan tergantung pada apakah perbuatan tersebut dapat mendatangkan
kebahagiaan atau tidak. Setiap kejahatan harus disertai dengan hukuman yang
sesuai dengan kejahatan tersebut dan hendaknya penderitaan yang dijatuhkan
tidak lebih dari keperluan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Ajaran ini
disebut Hedonistic Utilitarianism. Von Ihering menyatakan bahwa hukum
merupakan alat bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Hukum berfungsi
sebagai alat untuk mengendalikan individu agar tujuannya sesuai dengan tujuan
masyarakat dan sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial. ajaran ini
disebut Social Utilitarianism.
d) Aliran Sociological Jurisprudence (Ehrlich dan Pound) dan Legal Realism
(Holmes, Llewellyn, Frank)
Aliran ini melihat efektivitas suatu hukum yang terletak pada kesesuaian antara
peraturan yang dibuat dengan perilaku sosial masyarakat. Ahli yang
berpengaruh dalam aliran ini adalah Eugen Erlich dan Roscue Pound. Erlich
dianggap sebagai pelopor aliran Sociological Jurisprudence ini. Inti ajarannya
adalah pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law)
atau kaidah-kaidah sosial lainnya. Dia menyatakan bahwa hukum positif hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
(culture patterns). Mengenai pusat perkembangan hukum bukan trletk pada
badan-badan legislatif atau keputusan-keputusan lembaga yudikatf tetapi
terletak didalam masyarakat itu sendiri. Selanjutnya, ajaran Pound menonjolkan
tentang apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perilaku
masyarakat atau tidak. Dia sangat menganjurkan untuk mempelajari hukum
sebagai suatu proses (law in action) yang dibedakan dari hukum yang tertulis
(law in the books).

e) Aliran Realisme
Aliran realisme hukum ini diprakarsai oleh Karl Llewellyn, Jerome Frank dan
Justice Oliver Wendell Holmes, ketiganya orang Amerika. Mereka menyatakan
bahwa dalam proses peradilan hakim-hakim tidak hanya menemukan hukum
tetapi juga membentuk hukum. Keputusan-keputusan pengadilan dan doktrin
hukum selalu dapat dikembangkan untuk menunjang perkembangan atau hasil-
hasil proses hukum. Suatu keputusan pengadilan biasanya dibuat atas dasar
konsepsi-konsepsi hakim yang bersangkutan tentang keadilan, dan kemudian
dirasionalisasikan dalam suatu pendapat tertulis.
2. “The Morality of Law” ia menjelaskan bahwa ada delapan asas yang harus dipenuhi
oleh hukum. Apabila delapan asas tersebut tidak terpenuh, maka hukum yang hadir
akan gagal untuk kemudian dapat disebut sebagai hukum, atau dapat dikatakan bahwa
dalam hukum harus ada kepastian hukum.

Dari penjelasan Lon Fuller, dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum yang ia
kemukakan memiliki pengertian dan tujuan yang sama seperti yang dikemukakan oleh
Sudikno Mertokusumo. Bahwa kepastian hukum adalah jaminan agar hukum yang ada
dapat berjalan dengan semestinya.

Lon Fuller pun menjelaskan kedelapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yaitu
sebagai berikut:
1. Sistem yang dibuat oleh pihak berwenang dan berwibawa haruslah terdiri dari
peraturan yang tidak berdasarkan pada putusan sesaat balaka untuk hal-hal
tertentu.
2. Peraturan yang ditetapkan oleh pihak berwenang dan berwibawa harus diumumkan
kepada publik.
3. Peraturan yang ditetapkan tidak berlaku surut, karena dapat merusak integritas
suatu sistem.
4. Peraturan tersebut dibuat dalam sebuah rumusan yang dapat dimengerti oleh
masyarakat umum.
5. Peraturan satu dan lainnya tidak boleh ada yang saling bertentangan.
6. Suatu peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh menuntut suatu tindakan yang
kiranya melebihi apa yang dapat dilakukan.
7. Peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh terlalu sering diubah-ubah.
8. Peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, harus memiliki kesesuaian antara
peraturan serta dalam hal pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari kedelapan asas yang dikemukakan oleh Lon Fuller, dapat disimpulkan bahwa harus ada
kepastian di antara peraturan serta pelaksaan hukum tersebut, dengan begitu hukum positif
dapat dijalankan apabila telah memasuki ke ranah perilaku, aksi, serta faktor yang dapat
memengaruhi bagaimana hukum itu berjalan.
3. a) Donald Black menegaskan bahwa, sosiologi hukum yang murni, tidak mempelajari
manusia dalam pengertian biasa, tetapi mempelajari hukum sebagai suatu sistem
perilaku. Dimengerti secara ilmiah sebagai suatu realitas sosial dalam kebenarannya
sendiri, hukum tidak lebih manusiawi ketimbang suatu struktur molekul. Hukum tidak
mempunyai tujuan yang tepat sesuai dengan sifatnya.
Di dalam bukunya, Donald Black memberikan pengertian sebagai aspek variable dari
realitas, yang mencakupi setiap kelakuan, yang hidup atau tidak, apakah bersifat
molekul-molekul, organisme-organisme, planet-planet, ataupun kepribadian-
kepribadian.
Donald Black memperkenalkan konsepnya yang sangat terkenal, bahwa kehidupan
sosial terdiri atas beberapa aspek variable, mencakup -> TEORI DISKRIMINASI. Ada
5 aspek variabel.

b) Anarkis sosial menganjurkan pengubahan milik pribadi saat ini menjadi milik sosial
atau commons, sambil tetap menghormati milik perseorangan. Istilah ini digunakan
untuk menggambarkan orang-orang yang—kontra terhadap individualisme anarkis—
menempatkan penekanan terhadap aspek komunitarian dan kooperatif dari teori
anarkis; sambil juga menentang bentuk otoritarian dari komunitarianisme yang
berkaitan dengan pikiran kelompok dan kesesuaian kolektif, dan malah mendukung
rekonsiliasi antara individualitas dan sosialitas.

4. Dasar pemikiran Comte diperoleh secara inspiratif dari Saint Simon Charles Lyell, dan
Charles Darwin. Selain dari itu, pemikiran Herbert Spencer mengenai hukum
perkembangan juga mempengaruhi pemikirannya. Kata rasional bagi Comte terkait
dengan masalah yang bersifat empirik dan positif yakni pengetahuan riil yang diperoleh
melalui observasi (pengalaman indrawi), eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-
induktif diperoleh hukum yang sifatnya umum sampai kepada suatu teori. Karena itulah
maka bagi positiviseme, tuntutan utama adalah pengetahuan faktual yang dialami oleh
subjek, sehingga kata rasional bagi Comte menunjuk peran utama dan penting rasio
untuk mengolah fakta menjadi pengalaman. Berdasarkan atas pemikiran yang demikian
itu, maka sebagai konsekuensinya metode yang dipakai adalah "Induktif-verifikatif.
Popper mempunyai pandangan yang berbeda dengan Comte mengenai kata rasional ini.
Bagi Popper, kata rasional identik dengan kata intelektual yang ada kaitannya dengan
laku observapi, eksperimentasi, dan komparasi dalam langkah-lanpkah ilmiah, namun
meletakkan kata ini dalam arti mengagungkan akal di atas pengamatan dan percobaan
sehingga pengertiannya menjadi meletakkan tidak bertentangan dengan irrasionalisme,
melainkan dipertentangkan dengan empirisme. Karena itu dalam arti luas,
Rasionalisme dimaksudkan mencakup di dalamnya intelektualisme dan Empirisme,
dengan catatan Empirisme di sini bukan untuk meeneguhkan suatu teori, melainkan
dalam rangka mengadakan refutasi atau falsifikasi pada suatu teori.Pemikiran Popper
mendasarkan diri pada Rasionalisme kritis dan Empirisme-kritis yang dalam bentuk
metodologinya disebut "Deduktif-Falsifikatif dengan realisasi metodologinya Tentang
Problem-Solving Metode yang demikian itu mengisyaratkan perhatian Popper akan
pentingnya problem sebagai esensi substansial pengetahuan manusia, karena menurut
pemikirannya, ilmu dimulai oleh problem dan diakhiri pula dengan problem.
Keberadaan (existence) sebagai masalah sentral bagi perolehan pengetahuan, mendapat
bentuk khusus bagi Positivisme yakni sebagai suatu yang jelas dan pasti sesuai dengan
makna yang terkandung di dalam kata "positif”. Kata nyata (riil) dalam kaitannya
dengan positif bagi suatu objek pengetahuan, menunjuk kepada hal yang dapat
dijangkau atau tidak dapat dijangkau oleh akal. Adapun yang dapat dijangkau oleh akal
dapat dijadikan sebagai objek ilmiah, sedangkan sebaliknya yang tidak dapat dijangkau
oleh akal, maka tidak dapat dijadikan sebagai objek ilmiah Kebenaran bagi Positivisme
selalu bersifat riil dan pragmatik artinya nyata dan dikaitkan dengan kemanfaatan
nantinya berujung kepada penataan atau penertiban (Koento Wibisono, 1996, 38)
Selanjutnya Comte beranggapan bahwa pengetahuan yang demikian itu tidak
bersumber dari aturas misalnya bersumber dari kitab suci, atau penalaran metafisik
(sumber tidak langsung).
Menurut pemikiran Popper kebenaran sebagai masalah pokok pengetahuan mami
adalah bukan murni karena itu kewajiban manusia adalah mendekatinya dengan cara
tertentu. Kata cara tertentu menunjuk kepada ajaran Popper mengenai kebenaran dan
sumber diperolehnya. Bagi Popper, ini merupakan tangkapan manusia terhadap objek
melalui rasio dan pengalamannya, namun selalu bersifat tentatif Artinya kebenaran
selalu bersifat sementara yakni harus dihadapkan kepada suatu pengujian yang ketat
dan gawat (crucial-test) dengan cara pengujian "trial and error" (proses penyisihan
terhadap kesalahan atau kekeliruan) sehingga kebenaran selalu dibuktikan melalui jalur
konjektur dan refutasi dengan tetap konsisten berdiri di atas landasan pemikiran
Rasionalisme-kritis dan Empirisme-kritis.
Pandangan Popper mengenai kebenaran yang demikian itu bukan berarti
mengisyaratkan bahwa dirinya tergolong penganut Relativisme, karena menurut
pemikirannya Relativisme sama sekali tidak mengakui kebenaran sebagai milik dan
tangkapan manusia terhadap suatu objek. Popper mengakui bahwa manusia mampu
menangkap dan menyimpan kebenaran sebagaimana yang diinginkannya serta
menggunakannya, namun bagi manusia, kebenairan selalu bersifat sementara karena
harus selalu terbuka untuk dihadapkan dengan pengujian. Ada sesuatu yang ada dalam
pemikiran Popper, dimana pada saat para filsuf dan ilmuwan kontemporer beramai-
ramai mencampakkan metafisika, justru ia mengakui kebenaran metafisik, dan
dikatakannya bahwa kalimat ungkapan ungkapan metafisik mengandung makna
(meaningful). Pernyataan tersebut diungkapkan dengan menunjukkan bukti-bukti
sejarah bahwa metafisika mampu memandu dan memberi aspirasi ke dunia kefilsafatan
dan keilmuan selama berabad-abad Positivisme Comte dan Neo-Positivisme tetap
bersitegang mempertahankan pandangannya bahwa metafisika sebagai omong kosong
(non sense) karena kalimat-kalimat atau ungkapan-ungkapan yang dikemukakanya
tidak faktual dan tidak dapat diterima oleh akal, dan karena itu maka tidak bermakna
(meaningless). Metafisika di dalam hukum tiga tahap Comte menempati tahap kedua
untuk sampai kepada tahap positif, maka bagi Comte untuk mengklarifikasi suatu
pernyataan itu bermakna atau tidak (meaningful dan meaningless), ia melakukan
verifikasi untuk sampai kepada kebenaran yang dimaksud (Bertens, K., 1981: 171).
Berbeda dengan pandangan tersebut, Popper berpendapat bahwa yang menentukan
kebenaran itu bukan perlakuan verifikasi melainkan melalui proses falsifikasi dimana
data-data yang telah diobservasi, dicksperimentasi, dikomparasi dan di generalisasi-
induktif berhenti sampai di situ karena telah dianggap benar dan baku (positif),
melainkan harus dihadapkan dengan pengujian baru. Pendapat Popper yang demikian
itu karena ia bertumpu di atas anggapan dasarnya bahwa suatu teori, hukum ilmiah atau
hipotesis tidak dapat diteguhkan (diverifikasikan) secara posif, melainkan dapat
disangkal (difalsifikasikan) (Alfons Taryadi, 1989 27) Pandangan tersebut
mengisyaratkan demikian besar dan mendasar perbedaan pemikiran Conte dengan
Popper (Positivisme dan Falsifikamanisme) yang pada gilirannya menyentuh persoalan
pokok dunia keilmuan yakni demarkasi antara yang ilmiah dan tidak diab (pseudo-c
Bagi Comite garis demarkasi tersebut adalah veriviable, sodangkan bags Pupper adalah
falsifiable dan sebagai konsekwenainya Comse menggunakan metode ilmiah Induktif-
Verivikatif, sedangkan Popper menggunakan motode ilmiah Deduktif Falsifikatif.
Sebagai konsekwensi lanjut Comte menggunakan pola operasional metodologisnya
dalam bentuk observasi, eksperimentasi, komparasi, dan generalisasi-induktif,
sedangkan Popper menggunakan tentatif Problem Solving dengan rumusan
simboliknya P1 (Problem 1, TS (Tentatif-Solution), EE (Error-Elimination), dan P2
(Problem 2), yakni langkah-langkah perumusan problem, sebagai penolakan teori lama,
usul penyelesaian, perumusan hukum, usaha refutasi, sampai kepada hipotesis, teori,
hukum ilmiah (walaupun masih selalu bersifat tentatif), dan ujung muaranya timbul
problem baru. Oleh karena landasan epistemologis dan metodologisnya berbeda, maka
pandangan kedua tokoh besar inipun berbeda mengenai sosialitas, historisitas dan
aplikasi-metodologisnya. Comte berpendapat bahwa perkembangan dan kemajuan
besifat "naturalistik-linier-eksklusif" artinya semuanya berjalan secara alami, bergerak
ke depan (sebagaimana spiral), dan sifatnya tertutup. Pandangan yang demikian
merupakan representasi dari hukum tiga tahap yang dikemukakannya (tahap theologis,
metafisis, dan positif).

5. Wacana pembentukan kelembagaan seperti Badan Regulasi Nasional/Pusat Legislasi


Nasional sudah mulai dibicarakan sejak tahun 2018 dalam beberapa forum diskusi
ilmiah. Deputi Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Sekretariat Kabinet,
mengusulkan suatu lembaga yang khusus di bidang legislasi dengan tugas dan fungsi
dari awal hingga akhir pembentukan peraturan perundang-undangan, mulai dari
perencanaan, penyusunan, perumusan, harmonisasi, sosialisasi, sampai dengan revisi.
Dewan Perwakilan Rakyat memberikan respon yang positif terhadap gagasan tersebut,
Ketua DPR, Bambang Soesatyo menyampaikan gagasan ini merupakan ikhtiar dari
pemerintah dalam memperbaiki kelembagaan pembentuk peraturan perundang-
undangan, lembaga ini akan fokus mengurus permasalahan peraturan kedepannya. Pada
kesempatan lain, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai gagasan Badan
Regulasi Nasional ini memiliki urgensi dalam agenda reformasi regulasi di Indonesia
karena menjadi solusi pemerintah pembentukan peraturan perundang-undangan
khususnya terkait permasalahan tumpang tindih peraturan, sekaligus menyelesaikan
ego sektoral di antara lembaga negara yang menyebabkan koneksi pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak lancar. Pandangan selaras disampaikan Forum
Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), bahwa lembaga ini sangat penting
agar menjadi jembatan antara lembaga negara. Di samping itu, badan ini dapat menjadi
wadah untuk menampung aspirasi publik secara lebih luas sebelum suatu rancangan
peraturan perundang-undangan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Untuk itu, sumber
daya manusia lembaga ini haruslah orang-orang yang dapat menjadi jembatan antara
lembaga negara." Semenjak menjadi perbincangan akademik mulai tahun 2018, belum
ditemukan secara konkrit arah kebijakan pembentukan kelembagaan ini dalam berbagai
peraturan perundang-undangan. Namun, justru akhirnya gagasan Pusat Legislasi
Nasional secara tegas disampaikan oleh Presiden Joko Widodo sebagai bagian program
reformasi regulasi di Indonesia dalam debat Capres Cawapres tahun 2019, Pernyataan
ini memicu beragam respons masyarakat terkait urgensi pembentukan lembaga ini.
Akademisi yang termasuk menyetujui usulan mengenai keberadaan lembaga ini adalah
Mahfud MD, beliau menyatakan usulan ini merupakan terobosan baru untuk
membenahi aturan dan mencegah terjadinya kontradiksi antara peraturan pemerintah
pusat dan daerah, sehingga lembaga baru ini akan tepat untuk menjadi suatu wadah atau
media untuk sinkronisasi seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Organisasi masyarakat sipil lainnya juga memberikan reaksi mendukung terhadap
kebijakan ini, Setara Institute, menilai rencana pembentukan lembaga ini merupakan
peluang terbaik melakukan perbaikan regulasi khususnya terhadap produk hukum yang
diskriminatif." Respon serupa juga disampaikan oleh Komite Pemantau Pelaksanaan
Otonomi Daerah (KPPOD), menyatakan lembaga ini sangat penting untuk dapat
mengatasi ego sektoral antara lembaga atau kementerian, sehingga ke depannya
lembaga ini harus mempunyai kewenangan eksekusi yang kuat agar memiliki power
melakukan harmonisasi regulasi secara efektif. Namun, ternyata juga ditemukan juga
beberapa akademisi yang memberikan kritikan terhadap gagasan pembentukan Pusat
Legislasi Nasional ini. Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis. Kamis menilai
pembentukan lembaga ini tidak perlu dilakukan karena saat ini masih ada Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang efektif bekerja di bawah Kemenkumham,
sehingga dibandingkan membentuk lembaga baru yang berupa Pusat Legislasi Nasional
lebih baik rencana dari fungsi lembaga baru ini diberikan kepada BPHN. Selain
membuang tenaga dan anggaran, Margarito skeptis pembentukan lembaga baru belum
tentu bisa mengatasi tumpang tindih persoalan hukum dan kewenangan antar lembaga
pemerintah.

Anda mungkin juga menyukai