Anda di halaman 1dari 6

Sociological Jurisprudence dan hukum positif

Aliran Sociological Jurisprudence berkembang di Amerika, pada intinya aliran ini hendak
mengatakan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. Kata “sesuai” diartikan sebagai hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang
hidup di dalam masyarakat. Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang abik
haruslah hukum yang sesuai dengan yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara
tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran
Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Dengan rasio demikian, sosiologi
hukum merupakan cabang sosiologi yang mempelajari hukum sebagai gejala sosial, sedangkan
Sociological Jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya. Sosiologi hukum sebagai
cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan dan sejauh mana
gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum di samping juga diselidiki
juga pengaruh sebaliknya, yaitu pengaruh hukum terhadap masyarakat. Dari 2 (dua) hal tersebut
di atas (sociological jurisprudence dan sosiologi hukum) dapat dibedakan cara pendekatannya.
Sociological jurisprudence, cara pendekatannya bertolak dari hukum kepada masyarakat, sedang
sosiologi hukum cara pendekatannya bertolak dari masyarakat kepada hukum.

Tokoh utama aliran Sociological Jurisprudence, Roscoe Pound menganggap bahwa hukum
sebagai alat rekayasa sosial dan alat control masyarakat (Law as a tool of social engineering and
social controle) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar secara optimal dapat
memenuhi kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat. Keadilan adalah lambang
usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota
masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan yang ideal itu diperlukan kekuatan paksa
yang dilakukan oleh penguasa negara. Pendapat/pandangan dari Roscoe Pound ini banyak
persamaannya dengan aliran Interessen Jurisprudence. Primat logika dalam hukum digantikan
dengan primat “pengkajian dan penilaian terhadap kehidupan manusia (Lebens forschung und
Lebens bewertung), atau secara konkritnya lebih memikirkan keseimbangan kepentingan-
kepentingan (balancing of interest, private as well as public interest).

Roscoe Pound juga berpendapat bahwa living law merupakan synthese dari these positivisme
hukum dan antithese mazhab sejarah. Maksudnya, kedua liran tersebut ada kebenarannya. Hanya
hukum yang sanggup menghadapi ujian akal agar dapat hidup terus. Yang menjadi unsur-unsur
kekal dalam hukum itu hanyalah pernyataan-pernyataan akal yang terdiri dari atas pengalaman
dan diuji oleh pengalaman. Pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal diuji oleh pengalaman.
Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan sendiri di dalam sistem hukum. Hukum adalah
pengalaman yang diatur dan dikembangkan oleh akal, yang diumumkan dengan wibawa oleh
badan-badan yang membuat undang-undang atau mensahkan undang-undang dalam masyarakat
yang berorganisasi politik dibantu oleh kekuasaan masyarakat itu. Tokoh lain aliran Sociological
Jurisprudence adalah Eugen Ehrlich (1862-1922), ia beranggapan bahwa hukum tunduk pada
ketentuan-ketentuan sosial tertentu. Hukum tidak mungkin efektif, oleh karena ketertiban dalam
masyarakat didasarkan pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penerapannya
secara resmi oleh Negara.

Positivisme hukum (Aliran Hukum Positif) memandang perlu secara tegas memisahkan antara
hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan
das sollen). Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak yaitu: a. Aliran Hukum Positif
Analistis (Analytical Jurisprudence) : John Austin (1790-1859) Hukum adalah perintah dari
penguasa Negara. Hakikat hukum sendiri, menururt Austin, terletak pada unsure “perintah” itu.
Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Dalam bukunya The
Province of Jurisprudence Determined, Austin menyatakan, “A law is a command which obliges
a person or persons… law and other commands are said to proceed from superiors, and to bind or
oblige inferiors”.

Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa yang diperbolehkan.
Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia memberlakukan hukum dengan
cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku orang lain kea rah yang diinginkannya.
Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya
(Lyons, 1983:7-8). Austin pertama-tama membedakan hukum dalam dua jenis :

1) Hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine laws).

2) Hukum yang dibuat oleh manusia, dibedakan dalam :

a) Hukum yang sebenarnya (hukum positif), meliputi :

(1) Hukum yang dibuat oleh penguasa.

(2) Hukum yang dibuat oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya.

b) Hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang dibuat oleh penguasa, sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi olehraga. Hukum
yang sebenarnya memiliki empat unsur yaitu :

• Perintah (command)

• Sanksi (sanction)

• Kewajiban (duty)

• Kedaulatan (sovereignty)

b. Aliran Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973) Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan
dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.
Pemikiran inilah yang dikenal dengan teori hukum murni (Reine Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi,
hukum adalah suatu sollenskagorie (kategori keharusan/ideal), bukan seins-kategori (kategori
factual). Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai
mahluk rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu
seharusnya” (what the law ought to be), tetapi “apa hukumnya” (what the lawis). Dengan
demikian, walaupun itu sollenskagorie, yang dipakai adalah hukum positif (ius constitutum),
bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).

Pada dasarnya pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen
mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama seklai tidak
mengetahui karya Austin (Friedmann, 1990:169). Walaupun demikian, asal-usul filosofis antara
pemikiran Kelsen dan Austin berbeda. Kelsen mendasarkan pemikirannya pada Neokantianisme,
sedangkan Austin pada Utilitarianisme.

Kelsen dimasukkan sebagai kaum Neokantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang
pemisahan antara bentdan isi. Bagi Kelsen, hukum berurusan dengan bentuk (forma), bukan isi
(materia). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum. Suatu hukum dengan demikian
dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.

Di sisi lain, Kelsen pun mengakui bahwa hukum posistif itu pada kenyataannya dapat saja
menjadi tidak efektif lagi. Ini biasanya terjadi karena kepentingan masyarakat yang diatur sudah
tidak ada, dan biasanya dalam keadaan demikian, penguasa pun tidak akan memaksakan
penerapannya. Dalam hukum pidana, misalnya, keadaan yang dilukiskan Kelsen seperti itu
dikenal dengan istilah dekriminalisasi dan depenalisasi, sehingga suatu ketentuan dalam hukum
positif menjadi tidak mempunyai daya berlaku lagi, terutama secara sosiologis.

Kelsen, selain dikenal sebagai pencetus Teori Hukum Murni, juga dianggap berjasa
mengembangkan Teori Jenjang (Stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl
(1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma
berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang
lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya,
semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkret norma tersebut. Norma yang paling tinggi,
yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama grundnorm (norma dasar)
atau Upsprungnorm. Teori Jenjang dari Kelsen ini kemudian dikembangkan lagi oleh muridnya
bernama Hans Nawiasky. Berbeda dengan Kelsen, Nawiasky mengkhususkan pembahasannya
pada norma hukum saja. Sebagai penganut aliran hukum positif, hukum di sini pun diartikan
identik dengan perundang-undangan (peraturan yang dikeluarkan oleh penguasa). Teori dari
Naswiasky disebut die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsodnung. Karya penting Hans
Kelsen antara lain berjudul The Pure Theory of Law dan General Theory of and State. Ajaran
yang dikemukakan oleh Kelsen acapkali disebut Mazhab Wina.

Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen
dan Nawiasky tersebut. Hal ini tampak jelas dalam Ketetapan MPRS RI No. XX/MPRS/1966
tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan RI. Ketetapan MPRS tersebut diperkuat lagi dengan Ketetapan MPR RI No.
V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk yang berupa Ketetapan-Ketetapan MPRS RI
dan Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub
dalam Pasal 3 Ketetapan MPR RI No. V/MPR/1973.

Dua ketetapan yang disebutkan terakhir memperkuat keberlakuan Ketetapan MPRS RI No.
XX/MPRS/1966, sekalipun dengan catatan “perlu diempurnakan”. Sayangnya, penyempurnaan
yang diamanatkan oleh dua ketetapan tersebut sampai sekarang belum optimal, sekalipun sudah
diberlakukan Ketetapan MPR RI No. III/MPRS/2000. Beberapa ahli hukum, seperti A. Hamid S.
Attamimi, telah mencoba memberikan bebrapa catatan untuk menyempurnakan Ketetapan
MPRS RI No. XX/MPRS/1966.

3. Utilitarianisme Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakan kemanfaatkan


sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).
Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, tergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.

Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin
tercapai (dan pasti tidak mungkin), diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak
mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut (the greatest happiness for greatest
number of people).

Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukan kedalam Positivisme Hukum, mengingat faham
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban
masyarakat, di samping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang
yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga,
bukanpencerminan dari rasio semata. Pendukung Utilitarianisme yang paling penting adalah :

a. Jeremy Bentham (1748-1832) Bentham berpendapat bahwa alam memberikan kebahagian


dan kesusahan. Manusia selalu berusaha memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi
kesusahannya. Kebaikan adalah kebahagian, dan kejahatan adalah kesusahan. Ada
keterkaitan yang erat antara kebaikan dan kejahatan dengan kebaikan dan kesusahan. Tugas
hukum adalah memlihara kebaikan dan mencegah kejahatan. Tegasnya, memelihara
kegunaan.

Pandangan Bentham sebenarnya beranjak dari perhatiannya yang besar terhadap individu. Ia
menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan individu-
individu, bukan langsung ke masyarakat secara keseluruhan. Walaupun demikian, Bentham tidak
menyangkal bahwa di samping kepentingan individu, kepentingan masyarakat pun perlu
diperhatikan. Agar tidak terjadi bentrokan, kepentingan individu dalam mengejar kebahagiaan
sebesar-besarnya itu perlu dibatasi. Jika tidak, akan terjadi apa yang disebut homo homini lupus
(manusia menjadi serigala bagi manusia lain).
Untuk menyeimbangkan antar kepentingan (individu dan masyarakat), Bentham menyarankan
agar ada “simpati” dari tiap-tiap individu. Walaupun demikian, titik berat perhatian harus tetap
pada individu itu, karena apabila setiap individu telah memperoleh kebahagiaannya, dengan
sendirinya kebahagiaan (kesejahteraan) masyarakat akan dapat diwujudkan secara simultan.

b. Jhon Stuar Mill (1806-1873) Ia menyatakan bahwa tujuan manusia adalah kebahagiaan.
Manusia berusaha memperoleh kebahagiaan itu melalui hal-hal yang membangkitkan
nafsunya. Jadi yang ingin dicapai oleh manusia bukan benda atau sesuatu hal tertentu,
melainkan kebahagiaan yang dapat ditimbulkannya.

c. Rudolf von Jhering (1818-1892) Baginya tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan-kepentingan. Dalam mendefinisikan “kepentingan” ia mengikuti Bentham,
dengan melukiskannya sebagai pengejaran kesenangan dan menghindari penderitaan.

Saat ini Hukum di Indonesia berada pada landasan filsafat positivisme yang merupakan
kepanjangan tangan dari ajaran Cartesian-Newtonian. Sesungguhnya positivisme hukum
merupakan aliran pemikiran yang memperoleh pengaruh kuat dari ajaran positivisme (pada
umumnya). Oleh karenanya, pemahaman ajaran positivisme hukum merupakan norma positif
dalam sistem peraturan perundang-undangan.

Ajaran positivisme hukum ini kehadirannya dimulai pada abad 18 dan menjadi semakin kuat
seiring dengan kemajuan negara modern yang ditandai dengan adanya perkembangan ilmu dan
teknologi yang sangat pesat. Kelahiran negara moderen tersebut sebagai suatu organisasi
teritorial yang berdaulat, disini terkait dengan adanya latar belakang perubahan sosial tersebut,
dan akan lebih jelas lagi dalam bidang perekonomian. Oleh sebab itu gabungan kemajuan
teknologi, industrialisasi dan kapitalisme yang bergerak begitu cepatnya. Kehadiran negara yang
menyediakan struktur yang tersentralisasi dan didukung oleh hukum modern, maka kebutuhan
industrialisasi yang lapar akan lahan menejemen sentral menjadi teratasi. Kemudian, munculah
jargon yang terkenalnya pada abad 19 yaitu “Liberalisasi”, kemudian hukum secara pelan-pelan
berubah menjadi hukum yang liberal. Di negara modern, ajaran positivisme hukum dan paham
liberal meskipun dapat dibedakan, namun pada dasarnya memiliki keterkaitan yang tidak dapat
dipisahkan.

Dampak dari perkembangan paham tersebut terhadap Indonesia, dengan pengaruh ajaran
positivisme hukum tersebut, munculah kekakuan kekakuan hukum yang dianggap bahwa hukum
di Indonesia itu tidak mampu menciptakan keadilan, sumber dari dominasi paradigma
positivisme dan saintifikasi hukum modern. Kita mengenal doktrin-doktrin hukum yang diilhami
oleh ajaran positivisme seperti:”equality before the law atau justice for all” (semua sama di
depan hukum), menjadikan doktrin tersebut yang secara teori bagus, akan tetapi tidak di dalam
faktanya, hukum hanya tajam ke bawah dan hukum tumpul ke atas, karena hukum tidaklah
netral. Bekerjanya hukum sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan lain. Karakter utama
hukum modern adalah sifatnya rasional. Rasionalitas ditandai dengan sifat peraturan yang
prosedural. Prosedural dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan
keadilan, menjaga hak asasi manusia, bahkan akhirnya prosedur menjadi lebih penting daripada
bicara keadilan yang menjadi substansi hukum itu sendiri.

Dalam prakteknya, penggunaan pardigma positivisme dalam hukum modern ternyata


menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar sesuai dengan hati nurani. Pencarian
itu terhalang oleh tembok-tembok prosedural yang diciptakan oleh hukum sendiri. Jadi yang
mucul dipermukaan adalah keadilan formal/ prosedural yang belum mewakili atau memenuhi
hati nurani.4 Lili Rasjidi, mengatakan bahwa pada kenyataanya pendekatan aliran hukum positif
tidak sepenuhnya menyelesaikan masalah. Penyelesaian masalah yang berorientasi kepada
peraturan perundang-undangan atau hukum positif hanya akan menyentuh gejela permasalahan,
namun belum menyentuh pada akar permasalahannya.

Tidak selamanya hukum positif yang ada di Indonesia dapat dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum dalam memberikan rasa adil bagi semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana. Pada
kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan keluarga inti polisi seringkali dibenturkan dengan
dua hal yang menjadi dilema yaitu antara melanjutkan penyidikan perkara hingga ke pengadilan
atau tidak melanjutkan penyidikan perkara dikarenakan pertimbangan faktor psikologis
tersangka dan kondisi perasaan keluarga inti. Penyidik hanya mengenal dua hal terkait
penuntasan sebuah perkara pidana yaitu P21 dan SP3, jikalau penyidik memilih untuk tidak
melanjutkan penyidikan karena faktor psikologis tersangka dan kondisi perasaan keluarga inti
maka tentunya perkara harus di hentikan akan tetapi sebaliknya syarat menghentikan sebuah
perkara pidana sudah jelas diatur dalam KUHAP, tidak didapat suatu alasan menghentikan
penyidikan bilamana tidak termasuk ke dalam syarat yang telah ditetapkan sehingga perlu
rumusan ADR sebagai bentuk penuntasan perkara pidana dalam teknis penyidikan untuk
mengakomodir kepentingan ini.

Anda mungkin juga menyukai