Anda di halaman 1dari 4

Ruang Lingkup Filsafat Hukum.

Berkaitan dengan ajaran tentang filsafat, maka ruang


lingkup filsafat hukum tidak lepas dari ruang lingkup filsafat itu sendiri, sehingga ruang
lingkup filsafat hukum termasuk juga ke dalam hal sebagai berikut :

Antologi hukum, yaitu ilmu yang mempelajari tentang hakekat hukum dan konsep-konsep
fundamental dalam hukum. Misalnya tentang hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan
kekuasaan, dan hubungan hukum dengan moral lainnya.

Epistemologi hukum, yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum. Merefleksikan sejauh mana
pengetahuan tentang hakekat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat
hukum. Filsafat hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan ilmu tersebut serta ukuran-
ukuran apakah yang harus digunakan agar suatu hal dapat disebut hukum ?

Aksiologis hukum, yaitu ilmu yang mempelajari tentang isi dari nilai-nilai yang termuat
dalam hukum. Misalnya persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, dan lain-lain.

Ideologi hukum, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tujuan hukum yang menyangkut cita
manusia. Merefleksikan wawasan manusia dan masyarakat yang melandasi dan melegitimasi
kaidah hukum, pranata hukum, sistem hukum, dan bagian-bagian dari sistem hukum.

Teologi hukum, yaitu ilmu yang menentukan isi dan tujuan hukum.

Keilmuan hukum, yaitu ilmu meta teori bagi hukum.

Logika hukum, yaitu ilmu tentang berfikir benar atau kebenaran berfikir. Merefleksikan
aturan-aturan berfikir yuridis dan argumentasi yuridis, bangunan logika serta struktur sistem
hukum.

Sumber : Abi Asmana, Pengertian Filsafat Hukum serta Ruang Lingkup dan Manfaat
Filsafat Hukum,https://legalstudies71.blogspot.com/2018/09/pengertian-filsafat-hukum-serta-
ruang.html , Diakses pada tanggal 26 November 2021, Pukul 17.59 WIB

1. Hubungan Hukum dan Kekuasaan

Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum adalah kekuasaan itu
sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang termashur Uber Verfassungswessen,
“konstitusi sesuatu negara bukanlah undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan
“secarik kertas”, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu
negara”13 Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan. Dari sudut
kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam konstitusi suatu negara merupakan
deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan
kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum yang
termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan deskripsi struktur kekuasaan
ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
Struktur kekuasaan menurut UUD 1945 menempatkan MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di bawah MPR adalah
kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat),
DPA (Dewan Pertimbangan Agung), MA (Mahkamah Agung) dan BPK (Badan Pemeriksa
Keuangan). UUD 1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan daerah. Di
samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga tertinggi negara
dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, hubungan kekuasaan di antara lembaga-
lembaga tinggi negara, dan hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah. Hakekat hukum
dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona tak lain daripada “kekuatan yang
terorgansasi”, dimana hukum adalah “seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”,
kekerasan fisik atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari kekerasan
yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.

Artinya, hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang terpisah, tapi ada hubungan yang
erat di antara keduanya. Hubungan itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan
resiprokal (timbal balik). Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan dalam
konteks ini. Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum bukan hanya
menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi alat kekuasaan, dengan kata lain,
kekuasaan memiliki supremasi terhadap hukum. Oleh karena itu, definisi hukum yang
dikemukakan oleh para ahli menempatkan hukum berada di bawah kontrol kekuasaan.
Pendapat ahli hukum yang menggambarkan pandangan supremasi kekuasaan terhadap hukum
dikemukakan oleh Thrasimachus yang mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa
yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan pula
oleh Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum bersandar pada penaklukan yang
lemah oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat
untuk mempertahankan kekuasaannya.17 Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak
untuk melindungi kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan
kelompok elit. Hukum adalah alat kaum kapitaslis untuk melindungi kepentingannya dalam
melakukan kegiatan bisnis, dan alat penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Hukum
berpihak kepada pihak yang berkuasa dan kaum kapitalis. Kedua, kekuasaan tunduk kepada
hukum. Artinya, kekuasaan berada di bawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi
kekuasaan. Dalam pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum merupakan
konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep itu dirumuskan dalam
terminologi supremasi hukum (supreme of law). Supremasi hukum berarti bahwa hukum
merupakan kaidah tertinggi untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hukum sebagai kaidah tertinggi muncul dalam konsep norma dasar negara (staats
fundamental norm) atau grund norm menurut pemikiran Hans Kelsen. Di samping itu,
supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan kekuasaan untuk menjalankan kehidupan
ketatanegaraan dan roda pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum. Tanpa
landasan hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas. Pada prinsipnya supremasi hukum tidak
lain dari rule of law, sehingga dalam suatu negara hukum harus terdapat supremasi hukum.
Menegakkan supremasi hukum tentunya harus ada rule of law (Loebby loqman, Kompas 23-
9-1999). Rule of law adalah suatu konsep yang dipergunakan supaya negara dan
pemerintahnya, termasuk warga negara tidak melakukan tindakan kecuali berdasarkan
hukum. Timothy O’hogan dalam The End of Law dan A.V. Dicey dalam Law and the
Constitution menyebutkan prinsip-prinsip utama negara hukum dalam kaitan tegaknya
supremasi hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi pemerintahan berdasarkan hukum dan
menghindarkan kekuasaan yang sewenang-wenang, prinsip persamaan di depan hukum
(equality before the law), perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan yang
bebas dan independen. Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan
kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat dominatif di mana
yang satu dominan atau menjadi faktor determinan terhadap yang lain, tapi hubungan
pengaruh mempengaruhi yang bersifat fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut
fungsi-fungsi tertentu dan dapat dijalankan di antara keduanya. Dengan demikian, kekuasaan
memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai fungsi terhadap
kekuasaan.

Sumber : Salman Luthan, 2007, Hubungan Hukum dan Kekuasaan, VOL. 14 APRIL 2007:
166 – 184, hlm 173-174.

2. HUBUNGAN HUKUM DENGAN NILAI SOSIAL BUDAYA


Apabila kita berbicara mengenai hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat
Indonesia, kita tidak bisa melepaskan diri dari suatu kenyataan bahwa masyarakat
hukum Indonesia merupakan suatu bangsa yang negaranya didasarkan atas hukum
(rechtstaat), berbentuk republik, dan sistem pemerintahannya berbentuk demokrasi.
Lili Rasyidi dan IB Wiyasa Putra (1993 : 132) mengemukakan bahwa masyarakat
hukum Indonesia ini merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang besar, yang
tersusun atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil, yang dikenal
dengan masyarakat hukum adat. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang lebih
kecil ini merupakan suatu bentuk masyarakat tradisional yang memiliki tradisi-tradisi
hukum tersendiri yang diakui otonominya. Sebagai suatu sistem masyarakat hukum,
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum ini memiliki komponen-komponen sistem
tersendiri pula, mereka memiliki struktur sosial, sistem filsafat, sistem budaya, sistem
pendidikan, sistem konsep hukum, sistem penbentukan dan sistem penerapan hukum
yang serba khas pula. Di dalam masyarakat hukum ini terdapat nilai-nilai sosial
budaya sebagai tradisi yang sudah dimiliki dan dianut oleh masyarakat Indonesia.
Pada mulanya, budaya masyarakat hukum Indonesia adalah budaya hukum tidak
tertulis (unwritten law), atau budaya hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang di
dalam masyarakat (living law). Nilai-nilai sosial dan budaya hukum ini hidup dalam
setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, sehingga secara keseluruhan
budaya hukum masyarakat Indonesia adalah nilai-nilai dan budaya hukum living law.
Akan tetapi dalam perkembangannya kemudian, masyarakat hukum Indonesia juga
terbiasa dengan nilai-nilai dan budaya hukum tertulis yang diakibatkan oleh proses
kolonialisme di Indonesia yang dibawa oleh penjajah, terutama Belanda yang
menganut budaya hukum Eropa Kontinental yang mengutamakan kodifikasi hukum.
Di dalam proses pembangunan hukum, kedua budaya hukum ini memberi pengaruh
terhadap konsep hukum Indonesia. Para penganut ajaran Sosiological jurisprudence
sebagaimana dikutip Lili Rasjidi (2001 : 133) menyatakan bahwa kelemahan-
kelemahan hukum tertulis dapat diatasi dengan mempertimbangkan secara cermat
hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat, dan bahkan para
penganut ajaran ini mengemukakan bahwa kodifikasi hukum itu harus selaras dan
mengembangkan hukum dan nilai-nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat yang
bersangkutan. Dalam konteks pembangunan hukum di Indonesia, kesulitan ini
seharusnya dapat diatasi dengan mengefektifkan sistem perwakilan, atau komunikasi
antara masyarakat dengan wakil-wakilnya, atau juga dengan senantiasa mendahului
pembentukan hukum dengan penelitian tentang pandangan, sikap dan perasaan
hukum, rasa butuh hukum, dan rasa keadilan masyarakat tentang hukum yang akan
dibentuk.
Pada saat ini negara kita baru berada di dalam proses pembangunan dan negara kita
termasuk salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai salah satu negara yang
sedang berkembang menurut Satjipto Rahardjo (1980 : 133) Indonesia harus
melampoi tahap-tahap perkembangan yang telah dilalui oleh negara-negara
berkembang. Mengutip pendapat Thomas M. Frank, Satjipto menyatakan bahwa
tahap-tahap pembangunan yang dilalui oleh negara-negara itu ada tiga, yaitu : (1)
tahap unifikasi; (2) tahap Industrialisasi; (3) tahap kesejahteraan sosial. Peranan
hukum, ahli hukum serta lembaga-lembaga hukum yang sangat penting dalam
pembangunan tersebut adalah pada saat perpindahan ke dan pensintesean dari suatu
sistem norma-norma serta nilai-nilai nasional yang baru. Peranan hukum dalam hal ini
adalah memberikan legitimasi terhadap perubahan, sehingga peristiwa yang secara
potensial dapat menimbulkan perpecahan serta perombakan yang revolosioner itu
dapat berlangsung dengan tertib dan damai.

SUMBER : Eny Kusdariny, Kajian filsafat hukum tentang :


Hukum dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat di era otonomi daerah, hlm 16

3.

Anda mungkin juga menyukai