Anda di halaman 1dari 6

EKSISTENSI HUKUM NEGARA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

A. PENDAHULUAN

Sejak hukum mengalami kodifikasi hingga menjadi suatu sistem tertulis, kajian ilmu
hukum terbagi pada bentuk-bentuk hukum yang dibuat berdasarkan kewenangan (otoritas) dan
hukum yang hidup di dalam ingatan kolektif masyarakat. Hukum yang dibentuk berdasarkan
otoritas dikenal sebagai peraturan perundang-undangan atau hukum negara. Sedangkan hukum
yang hidup dalam masyarakat adalah hukum-hukum tidak tertulis yang diturunkan secara lisan
dari satu generasi ke generasi berikutnya, dikenal sebagai hukum lokal atau adat. Sulistyowati
Irianto sebagaimana dikutip Masinambow dalam Hukum dan Kemajemukan Budaya (2003:2)
membagi sistem hukum dalam tiga komponen sebagaimana diteorikan Lawrence Friedman
(1975:49), yaitu:

Legal substance, yaitu norma-norma dan aturan-aturan yang digunakan secara institusional,
beserta pola perilaku para pelaku dalam sistem hukum;

Legal structure,yaitu lembaga-lembaga yang bertugas untuk menegakkan hukum, seperti


kepolisian, dan peradilan (hakim, jaksa, dan pengacara);

Legal culture atau “budaya hukum”, yaitu kebiasaan, pandangan, cara bertindak dan berpikir
dalam masyarakat umum yang dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan sosial menurut arah
perkembangan tertentu.

Berbeda dengan substansi hukum yang merekam aturan dan norma dalam susunan teks
sehingga menjadi hukum tertulis, pada budaya hukum rekaman norma dan aturan tersimpan
dalam ingatan yang diturunkan temurun. Sehingga pada budaya hukum penyelesaian perkara-
perkara masyarakat dilakukan oleh tetua-tetua adat melalui tuturan yang dilakukan dalam
pertemuan-pertemuan khusus dalam perkara itu. Pada konteks operasional ini lah struktur
hukum menampakkan perbedaan hukum yang hidup dalam bentuk teks dan dalam bentuk
tuturan, terutama ketika dalam suatu negara terdapat beragam budaya yang berbeda
(multikultural). Mengulas hukum yang hidup dalam kemajemukan budaya, maka muncul dua
sudut pandang berbeda. Pada satu sisi kemajemukan bisa diartikan sebagai kemajemukan
hukum, yaitu memandang secara pragmatis bahwa dalam suatu interaksi sosial sedikitnya ada
dua sistem aturan / norma yang berwujud. Sedangkan pada sisi yang lain kemajemukan budaya
diartikan sebagaimana adanya dan mengkaji bagaimana hukum berperan dan menyesuaikan diri
dalam ragam perbedaan tersebut. Jika dua sudut pandang ini dipertentangkan, maka akan
ditemukan sebuah aturan-aturan berwujud yang sifat keberlakuannya menyeluruh menggeser
norma-norma yang hidup dalam masing-masing budaya masyarakat di wilayah tersebut. Dapat
diartikan bahwa, hukum negara mengesampingkan hukum lokal yang dianut oleh budaya
masing-masing masyarakat dalam negara tersebut. Indonesia yang dikenal sebagai negara
dengan ribuan budaya, terbagi dalam etnis, agama, ras, dan golongan, merupakan contoh di
mana hukum hidup secara kompleks di sana. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan
nyata kemajemukan budaya bangsa yang dilindungi dalam satu naungan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Kemajemukan budaya yang hidup di Indonesia secara teoritis merupakan konfigurasi


budaya dan jatidiri bangsa. Secara empirik keragaman ini lah yang justru membentuk Indonesia
sebagai negara kesatuan yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun dalam keragaman selalu ada perbedaan-perbedaan yang menyimpan potensi konflik.
Jika tidak terkelola baik, maka potensi ini akan berwujud pertikaian antar etnik, agama, ras,
ataupun antar golongan yang mengancam disintegrasi bangsa. Secara antropologis, konflik
merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inheren) dari kehidupan manusia. Dalam
sebuah kehidupan bersama konflik adalah sesuatu yang tidak mungkin dihindari. Yang bisa
dilakukan adalah mengelola, mengendalikan, dan mengakomodasinya secara santun, damai, dan
bijak sehingga semakin mempererat hubungan antar budaya yang ada. Fenomena konflik selain
muncul karena adanya konflik nilai, konflik norma, dan konflik kepentingan dari kelompok-
kelompok dalam masyarakat, terkadang bisa juga bersumber dari persoalan diskriminasi
pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah. Diskriminasi ini
pernah dilakukan pemerintah Indonesia pada era pemerintahan Orde Baru dengan
mengabaikan, menggusur, bahkan mematisurikan nilai-nilai dan norma-norma hukum rakyat
(adat law), termasuk kehidupan beragama melalui dominasi dan penegakan hukum negara
(state law). Merujuk pada Teori Pragmatic Legal Realism Oliver Holmes, bahwa hukum harus
berperan sebagai alat pembaharuan masyarakat (tools of social engineering), maka apakah
praktek penegakan hukum negara sudah dapat diterima oleh masyarakat yang memiliki
keragaman budaya?

B. HUKUM NEGARA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pada awal pemerintahan era Orde Baru hingga akhir tahun 1980an, kedudukan state law
sangat dominan dan super power karena ditegakkan oleh kekuasaan dan pengaruh politik.
Seakan tidak ada hukum lain selain hukum negara. Hingga pada awal 1990an ketika beberapa
permasalahan dalam negeri Indonesia semakin kompleks, beberapa hukum lain mulai
menggejala dan “menggugat” pemberlakuan hukum negara, terutama untuk bidang-bidang
tertentu. Beberapa gejala mendasari hal tersebut, diantaranya :
a) Kebutuhan Indonesia terhadap lembaga-lembaga donor dan badan-badan internsaional,
semisal IMF dan PBB, memaksa Indonesia untuk memenuhi keinginan mereka agar lebih
mengedepankan upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat,

b) Ketakutan masyarakat-masyarakat lokal terhadap ancaman kepunahan sistem hukum dan


sistem budaya mereka telah mencapai titik kulminasi,

c) Tuntutan model pembangunan yang tersebar melalui gerakan-gerakan “akar rumput” oleh
infrastruktur politik negara, seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), dan ancaman
disintegrasi semakin menguat, di saat dukungan terhadap kekuasaan pemerintah justru semakin
melemah,

d) Arus informasi akibat perkembangan teknologi semakin pesat tak terbentung institusi negara.
Pengambilan dan pengolahan data oleh masyarakat justru jauh melebihi jangkauan aparatur
pemerintahan. Akibatnya kesadaran masyarakat akan eksistensi diri dan aturan yang melandasi
atau menekan mereka semakin meningkat.

Beberapa kelemahan hukum negara sebagai satu-satunya hukum yang harus dipatuhi,
satu per satu mulai dipersoalkan. Pertama, meski State law lebih mudah diterapkan karena
disusun secara terintegrasi dan hubungan antar produk hukumnya teratur, pada kenyataannya
penerapan state law seringkali inkonsisten, dan terkadang mengalami konflik norma atau konflik
asas norma akibat keinginan untuk mampu mengatur semua justru menjadikan kabur cakupan
materi di dalamnya, serta wewenangnya pun saling tumpang-tindih. Kedua, antara cita-cita
penegakan hukum state law jauh panggang dari api. Hukum state law hanya tegak bila tidak
bertentangan dengan keinginan tertentu. Tetapi menjadi tumpul dan mati bila yang terlibat
pelanggaran di dalamnya adalah pihak-pihak pemilik kekuasaan dan pemodal kuat. Ketiga,
tujuan keadilan yang ingin dicapai dalam state law pada kenyataannya justru bertolak belakang.
Sebagian masyarakat menganggap penegakan norma-norma state law malah semakin
memunculkan ketidakadilan. Kekuatan sosio-politik dan agama seringkali mewarnai “tarik-
menarik” perebutan peran dalam usaha pencapaian keadilan tersebut. Keempat, dalam teorinya
state law disusun secara supel dan luwes sehingga lebih bisa mengikuti perkembangan waktu
(up to date). Namun, kenyataannya beberapa produk hukum negara menjadi cepat kedaluwarsa
atau lamban dalam pelaksanaannya, seperti Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun
1999 yang baru bisa diterapkan pada Januari 2001.

Kelima, pengaturan dalam state law terkadang tidak netral dan memihak terutama
kepentingan kekuasaan status quo dan pemodal. Sehingga sering mengalami protes dan
inkonsistensi antara pengaturan dan penegakannya. Keenam, keputusan state law kadang
dianggap tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak konstekstual dengan ruang dan waktu
pelaksanannya, sehingga menjadi sulit bahkan tidak dapat dieksekusi sesuai pengaturan dalam
keputusan tersebut. Ketujuh, pola pertahanan state law oleh kekuasaan sentral yang dilakukan
secara represif, seragam termobilisasi, dan membutuhkan biaya mahal sehingga menampilkan
wajah state law yang lebih “garang” dibanding the other laws, ternyata ketika dukungan
terhadap kekuasaan itu mulai menyusut maka pertahanan state law pun menjadi rapuh. Hukum
dalam perspektif antropologi senyata bukan hanya berwujud peraturan perundang-undangan
yang diciptakan oleh pemerintah dalam satu bangunan negara, atau state law dengan berbagai
pranata-pranata hukum seperti; polisi, jaksa, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Hukum
dalam wujudnya juga dimaknai sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu
kebiasaan masyarakat (customary law), dan memiliki mekanisme pengaturan tersendiri yang
juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) dalam masyarakat. Perspektif
antropologi hukum, hukum adalah produk kebudayaan yang tidak hanya ada dalam suatu
organisasi masyarakat berbentuk negara, tetapi juga hidup dalam setiap bentuk komunitas
masyarakat. Karena itu hukum selain terwujud dalam bentuk peraturan perundang-undangan
negara, juga terwujud sebagai mekanisme-mekanisme pengendalian sosial dalam bentuk norma-
norma hukum rakyat. Keberlakuan norma-norma hukum dalam masyarakat secara metodologis
dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang, atau kelompok orang yang secara sosial
diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi kepada pelanggar hukum. Cara utama untuk dapat
memahami hukum yang berlaku dalam masyarakat ini adalah mengkaji seksama sengketa-
sengketa yang terjadi di masyarakat. Dari kajian-kajian tersebut akan terungkap latar belakang
munculnya berbagai kasus di msayarakat, cara-cara yang ditempuh untuk penyelesaiannya, dan
sanksi-sanksi yang dijatuhkan kepada pihak yang dipersalahkan. Dari hipotesa atas kajian
tersebut akan diperoleh rumusan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, prosedur yang
memungkinkan untuk ditempuh, dan nilai-nilai budaya yang mendukung proses penyelesaian
sengketa tersebut. Metode penelusuran hukum melalui pengamatan atas kasus-kasus sengketa
sebagaimana dalam antropologi hukum, umum digunakan karena hukum pada dasarnya
bukanlah semata produk individu atau sekelompok orang yang memiliki otoritas membuat
peraturan perundang-undangan (pemerintah dalam negara), atau bukan pula suatu institusi
yang terisolasi dari aspek-aspek kebudayaan yang lain. Tetapi karena hukum muncul sebagai
fakta khas yang lebih menekankan empirik, ekspresi, atau perilaku sosial masyarakat. Salah satu
ekspresi hukum yang secara nyata berlaku di masyarakat adalah proses penyelesaian sengketa.
Selain metode di atas, antropologi hukum juga memberi perhatian pada fenomena
kemajemukan hukum dalam masyarakat. Hukum dijelaskan dalam berbagai wujud bentuk
diantaranya, hukum negara (state law), hukum agama (religious law), hukum kebiasaan
(customary law), dan mekanisme-mekanisme pengatura lokal yang secara nyata berlaku dan
berungfi sebagai sarana pengendalian sosial dalam masyarakat. Metode ini menyatakan bahwa,
jika hukum diartikan sebagai instrumen kebudayaan yang berfungsi menjaga keteraturan sosial,
maka selain hukum negara (state law) juga terdapat sistem-sistem hukum lain seperti hukum
rakyat (adat law), hukum agama, dan mekanisme pengaturan tersendiri. Artinya, eksistensi state
law bukan lah satu-satunya hukum yang berlaku dalam masyarakat. Inilah yang disebut fakta
kemajemukan hukum dalam kajian antropologi hukum.

C. HUKUM NEGARA DI TENGAH KEMAJEMUKAN BUDAYA

Meski kemajemukan hukum adalah kenyataan yang hidup di tengah masyarakat, namun
ajaran ini mendapat pertentangan ideologi sentralisme hukum (legal centralism) yang
menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai hukum tertinggi satu-satunya
yang berlaku bagi masyarakat. Ideologi ini tentu mengesampingkan sistem-sistem hukum lain
yang nyata berkembang, seperti hukum agama dan hukum adat. Basis hukum pada dasarnya
berada dalam masyarakat itu sendiri. Karenanya paradigma pembangunan hukum bercorak
sentralisme hukum sebagaimana dianut pemerintah dan lembaga legislatif melalui usaha-usaha
unifikasi hukum, justru menjadi biang fenomena konflik yang banyak muncul selama dasawarsa
terakhir. Pemerintah harusnya menyadari bahwa apa yang diterapkan tidak sesuai dengan
empiri kehidupan hukum yang majemuk dalam masyarakat Indonesia yang multikultural. Karena
itu agar tercapai suatu tatanan masyarakat yang terintegrasi secara kultural, maka paradigma
yang dianut harus diganti dengan paradigma pluralisme hukum. Dalam konteks inilah kajian
ilmu-ilmu sosial empirik, seperti Antropologi Hukum memiliki peran penting, karena :

Menjadi alat dan metode bagi pemerintah untuk mempelajari adanya sistem-sistem hukum lain
yang juga bekerja dalam masyarakat dan dirasakan kehadirannya oleh banyak pihak (law in
action);
Memberi masukan terhadap kemungkinan terjadinya benturan antara state law dengan hukum-
hukum lain dalam masyarakat;

Menelusuri dan memaparkan langkah-langkah penyelesaian sengketa (hukum) alternatif yang


terjadi pada masyarakat dengan kebudayaan tertentu, sehingga masalah terpecahkan secara
tuntas dengan menghasilkan keputusan win-win solution (seperti jamak dilakukan masyarakat
tradisional sejak lampau);

Menelaah kembali peran dan wewenang state law dalam masyarakat di pelbagai wilayah
sebagai suatu bentuk perubahan hukum yang harus diantisipasi sejak dini agar tidak
menimbulkan gejolak antara masyarakat dan pemerintah;
Menelusuri partisipasi masyarakat di bidang hukum dalam upaya memberdayakan mereka
sehingga terintegrasi dan kontekstual, serta selaras cita-cita pembangunan.

Pada akhirnya memang pemerintah mengakui keberadaan sistem hukum lain yang hidup
di tengah masyarakat Indonesia. Melalui amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 18 B ayat (2), negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sayangnya kebijakan tersebut hanya memberi pengakuan, bukan perlindungan secara
utuh terhadap sistem-sistem hukum lain selain hukum negara. Tampaknya negara melalui
pemerintah masih setengah hati untuk membina dan memperkokoh integrasi bangsa yang
multikultural melalui perwujudan hukum yang bercorak responsif. Apalagi untuk membuat
kebijakan yang mengakomodasi dan mengintegrasi nilai-nilai, prinsip-prinsip hukum, institusi,
dan tradisi hukum rakyat ke dalam sistem hukum nasional. Negara, tampaknya masih terbayangi
stigma negatif bahwa, tradisi hukum rakyat yang menguat akan menimbulkan ethnocentrism,
anggapan bahwa sukubangsa & kebudayaannya sendirilah yang terbaik dan sempurna. Sudah
saatnya negara mengabaikan ketakutan pada stigma-stigma negatif tentang kemajemukan
budaya, dan secara sungguh-sungguh mewujudkan sesanti Bhinneka Tunggal Ika dalam
komplesitas sistem negara yang berdasar atas hukum.

D. PENUTUP

Hukum tidak hanya apa yang tertulis sebagai peraturan perundang-undangan atau
Hukum Negara. Dalam konteks Antropologi Hukum, aktivitas budaya adalah hukum yang
berfungsi sebagai instrumen menjaga ketaruran sosial, sarana pengendalian sosial, dan alat
untuk melakukan rekayasa sosial. Sehingga agar terhindar dari benturan antara pemerintah dan
masyarakat dalam suatu masyarakat yang memiliki kemajemukan budaya, negara harus
mengakui dan melindungi sistem hukum lain selain hukum negara sebagai bagian sistem hukum
nasional.

Anda mungkin juga menyukai