HUKUM ADAT
“Ubi Societas Ibi Ius” yang diartikan, “Di mana ada masyarakat maka di situ
ada hukum.” Bisa dibilang hukum sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan
manusia. -Marcus Tullius Cicero-
“Fiat Justitia Ruat Caelum”, artinya “Hendaklah keadilan ditegakkan,
walaupun langit akan runtuh”. -Lucius Calpurnius Piso Caesoninus- (43 SM).
Hukum itu bersifat dinamis, dalam arti hukum berevolusi dengan mengikuti
perkembangan zaman, bukan sebaliknya.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
3. Landasan Yuridis
Pengertian landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Unsur yuridis adalah menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang
sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya
lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada. Kemudian unsur yuridis menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.
Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
INDONESIA adalah Negara Hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Plato dan Aristoteles menafsirkan Negara Hukum adalah negara yang diperin-
tah oleh negara yang adil.
Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung angan-angan (cita-cita) manusia
yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak yang disebut:
Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idée der warhead)
Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat
negara dan penduduk di sebuah negara harus berdasarkan dan sesuai dengan
hukum yang dipakai negara tersebut. Ketentuan ini sekaligus diartikan untuk
mencegah supaya tidak terjadi kesewanang-wenangan dan arogansi kekuasaan
baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.
Satjipto Rahardjo, 2003 “hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk
mengatur, akan tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan luhur yakni
keadilan, kebahagian dan kesejahteraan”.
Secara umum, setiap negara yang yang menganut paham yang berda-
sarkan hukum selalu bertumpu, dan mengindahkan prinsip-prinsip
supremasi hukum (supremasi of law), persamaan dimata hukum (equality
before of law), dan penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan
hukum (due process of law). Prinsip ini sangat erat kaitannya dalam hal
pencapaian tujuan negara hukum yang demi menegakkan kebenaran dan
keadilan.
Menurut Thomas Hobbes “homo homini lupus”, artinya tanpa hukum manusia
yang satu bagaikan serigala bagi manusia lainnya. Namun, kalau kita melihat
realita yang ada, dewasa ini tujuan negara hukum yang sudah diadopsi ke dalam
UUD 1945 pasal 1 (3), sangat jauh dari yang kita harapkan.
Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai alat kepentingan terlebih sebagai alat
kekuasaan. Perilaku publik juga sangat tidak merefleksikan nilai-nilai hukum itu
secara tepat yang kemudian berimbas kepada kejahatan yang hari ke hari
semakin meningkat.
Tidak salah jika dasar negara kita sekarang ini bukan berdasarkan hukum
(rechtsstaat) melainkan berdasarkan kekuasaan (machsstaat). Hanya orang-
orang yang berkuasa yang saat ini yang mempunyai kekuatan penuh di
Indonesia.
Hukum juga disinyalir tajam ke bawah dan kemudian tumpul ke atas, yang pada
akhirnya orang-orang yang berkuasa sesuka hatinya saja untuk membeli dan
mempermainkan hukum itu sendiri.
Kejadian-kejadian ini bisa saja kita cegah dan perbaiki, jika negara Indonesia
benar benar mampu mengindahkan prinsip-prinsip supremasi hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keadilan Hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti
dengan penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang
memperoleh bagian yang sama. Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara
harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi
yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai
jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap
orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Dalam
pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban”. Namun harus juga
diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan
membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi
terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu,
perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif.
Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib
untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural,
misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan penegakan hukum
acara perdata (prosedural). Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence
M. Wantu mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka
hukum (equality before the law).”
Kemanfaatan Hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian
hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan,
seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya,
dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah
melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan
hukuman kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati
dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman mati itulah yang
dijatuhkan. Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan
untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling
tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir
di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk
mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang
disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya
hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah
untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun
jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku,
hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat
hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak
hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan
pada hukum dan aturan itu sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan
karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan
penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan
keresahan masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita
cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang
aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa: keadilan memang
salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti
kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat
dengan pengorbanan harus proporsional.
Dalam ilmu hukum terdapat asas yang menganggap semua orang tanpa
terkecuali mengetahui hukum yang dikenal sebagai Asas Fictie Hukum
atau Fiksi Hukum. Fiksi Hukum adalah asas yang menganggap semua
orang tahu hukum (presumptio iures de iure) tanpa terkecuali. Dalam
bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan
hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum
dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan
perundang-undangan tertentu.
Beberapa ilustrasi yang berkaitan dengan asas Fiksi Hukum dalam kehidupan
sehari-hari adalah sebagai berikut:
1. Seorang pengendara motor diberhentikan dan dikenakan sanksi oleh
polisi di tengah perjalanan menuju kantornya karena tidak menyalakan
lampu utama pada siang hari. Pengendara tersebut mengaku tidak
mengetahui adanya peraturan yang mewajibkan menyalakan lampu utama
pada siang hari. Dengan mendasari pada Fiksi Hukum, tentu saja
pengendara motor tersebut tetap dikenakan sanksi karena tidak
menyalakan lampu utama pada siang hari yaitu pidana kurungan paling
lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) berdasarkan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
2. Kasus pencemaran nama baik melalui media sosial dengan memberikan
komentar “Comment” pada unggahan seseorang yang mengandung unsur
pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah) berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
3. Dll,
Menurut KBBI, adat istiadat ialah tata kelakuan yang turun-temurun dan kekal
dari generasi satu ke generasi lainnya sebagai warisan, sehingga integrasinya
kuat terkait dengan pola perilaku masyarakat.
Adapun secara etimologi, kata adat berasal dari bahasa Arab, adah, yang berarti
kebiasaan atau cara. Jadi, dapat diartikan bahwa adat ialah perbuatan yang
berulang sehingga menjadi kebiasaan yang mesti dipatuhi masyarakat pada
suatu lingkungan.
Raden Soepomo
Adat istiadat diartikan sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis atau
hukum adat. Di badan hukum negara, hukum ini berlaku sebagai konvensi dan
hidup pun menjadi peraturan dengan kebiasaan pada kehidupan di desa dan
kota.
Jalaludi Tunsam
Menurut Jalaludi Tunsam, adat istiadat yang berasal dari kata adah artinya cara
atau kebiasaan, istilah ini juga merujuk pada suatu gagasan yang di dalamnya
terkandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, dan hukum suatu daerah.
Terdapat pula sanksi tertulis maupun tak tertulis jika hukum adat tersebut tidak
dipatuhi.
Notopura Harjito
Harjito menyebut bahwa hukum adat ialah hukum yang tidak tertulis. Bagi
masyarakat, adat isitiadat ini merupakan pedoman hidup untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan.
Soekanto
Ikatan kuat dan pengaruh dalam masyarakat dimiliki oleh adat istiadat. Adapun
ikatan ini bergantung dan mendukung kebiasaan dalam masyarakat.
Dengan demikian, adat istiadat pada dasarnya adalah perilaku budaya atau
aturan yang telah diusahakan untuk diterapkan dalam suatu lingkungan
masyarakat. Disebut dengan nama demikian karena suatu aturan yang
berlaku dengan pasti dan mantap, mencakup berbagai konsekuensi yang
mengatur perbuatan atau tindakan manusia dalam kehidupan sosialnya.
Makna kearifan lokal atau pengertian dari kearifan lokal, pada dasarnya,
suatu hal yang sudah ada di suatu wilayah sejak lama dan dilanjutkan dari
generasi ke generasi. Pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah
tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal. Pandangan
hidup ini biasanya adalah pandangan hidup yang sudah berurat dan
berakar menjadi kepercayaan orang-orang di wilayah tersebut selama
puluhan bahkan ratusan tahun.
Untuk mempertahankan kearifan lokal tersebut, para orang tua dari generasi
sebelumnya, dan lebih tua akan mewariskannya kepada anak-anak mereka dan
begitu seterusnya. Mengingat kearifan lokal adalah pemikiran yang sudah lama
dan berusia puluhan tahun, maka kearifan lokal yang ada pada suatu daerah jadi
begitu melekat dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di
wilayah tersebut. Mirisnya, meski banyak orang tua tetap berusaha mewariskan
kearifan lokal dan pandangan hidup yang mereka dapatkan dari nenek moyang,
tetapi banyak anak muda justru menganggap kearifan lokal dan pandangan
hidup tradisional yang sudah turun-temurun dari nenek moyang adalah
pandangan dan pemikiran kuno yang sudah tidak lagi relevan dengan zaman
modern saat ini. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, segala sesuatu yang termasuk
pandangan hidup yang masih tradisional tidak selamanya buruk dan tidak
selamanya juga merupakan pandangan yang salah. Bahkan, bisa berlaku
sebaliknya, karena kearifan lokal yang dipertahankanlah yang membuat suatu
masyarakat jadi begitu unik dan berbeda dari masyarakat yang tinggal di
wilayah lain.
Dengan mempelajari dan memahami tentang kearifan lokal, maka tatanan
sosial dan alam sekitar agar tetap lestari dan terjaga. Selain itu, kearifan
lokal juga merupakan bentuk kekayaan budaya yang harus digenggam
teguh, terutama oleh generasi muda untuk melawan arus globalisasi.
Dengan begitu karakteristik dari masyarakat daerah setempat tidak akan
pernah luntur. Apalagi, kearifan lokal berasal dari nenek moyang kita,
yang jelas lebih mengerti segala sesuatunya terutama yang berkaitan
dengan wilayah tersebut. Selain itu, ada kebijaksanaan dan juga hal baik
dalam kearifan lokal tersebut, tetapi terkadang sulit dimengerti oleh anak
muda dari generasi sekarang. Sebaliknya, pandangan yang terlalu modern
memiliki potensi yang lebih merusak terutama merusak kearifan lokal
yang sudah ada. Bahkan, tak menutup kemungkinan akan merusak
kebudayaan yang sudah ada, juga merusak alam sekitar.
Berikut adalah beberapa contoh seputar Adat Istiadat / Kearifan Lokal, antara
lain daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Papua.
1. Sekaten
Sekaten adalah upacara yang diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW. Dalam setiap tahun, upacara ini dilakukan di Alun-Alun
Utara Kraton Yogyakarta dan dihadiri oleh ribuan warga, bahkan wisatawan. Di
sana, Keraton akan melakukan iring-iringan atau pawai gunungan hasil bumi
masyarakat sekitar yang diarak oleh abdi dalem serta prajurit Kraton.
2. Pernikahan
Kita tahu bahwa bagi masyarakat Jawa, pernikahan memang dianggap sangat
sakral dengan adatnya yang cukup rumit. Saat ini, banyak masyarakat yang
telah meninggalkan tradisi ini untuk berbagai alasan.
Pada malam sebelum akad, pengantin perlu melakukan midodareni dan siraman.
Tak hanya itu, ada pula adat serah-serahan, yakni ketika calon pengantin pria
memberi pengantin wanitanya barang-barang. Setelah prosesi akad, ada pula
tradisi balangan suruh atau melempar daun sirih, panggih atau pertemuan dua
mempelai, dan dhahar klimah atau saling menyuap, serta sungkeman.
Tak hanya pulau Jawa dan Sumatera, Kalimantan yang menyimpan berbagai
kekayaan budaya tentunya juga memiliki adat istiadat tersendiri yang masih
dilestarikan oleh masyarakatnya. Terdiri dari beberapa provinsi memungkinkan
Kalimantan untuk memiliki berbagai tradisi dan adat istiadat. Tak hanya berupa
upacara adat, kekayaan budaya ini juga mencakup bahasa, pakaian adat,
makanan khas, tarian, musik, dan sebagainya.
1. Maccera Tasi
Tradisi yang satu ini masih dipertahankan oleh masyarakat Kalimantan hingga
kini. Berupa upacara, tradisi Maccera Tasi melibatkan prosesi penyembelihan
hewan kurban, seperti kerbau, kambing, atau ayam di laut. Adapun darah dari
hewan-hewan tersebut dibuang ke laut agar menjadi simbol pemberian darah
untuk kehidupan laut. Adat istiadat ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
hasil laut yang melimpah.
Sulawesi adalah salah satu pulau Indonesia yang mencakup berbagai suku. Tak
heran, di dalamnya terdapat bermacam adat, kebudayaan, sampai tradisi yang
dipatuhi masyarakatnya. Di antaranya, terdapat beberapa tradisi terkait agama
Islam.
1. Mappalili
Tradisi berupa upacara adat yang disebut Mappalili ini biasanya
diselenggarakan untuk mengawali musim tanam padi. Dipimpin oleh pendeta
Bugis kuno yang disebut sebagai Bissu, ritual ini dilakukan dengan
berkumpulnya Puang Matoa di rumah arajang, tempat penyimpanan bajak
sawah pusaka. Bissu Puang Matoa yang mengenakan kemeja bergaris
dipadukan dengan sarung putih polos di sana pun akan memimpin acara.
2. Adat Kehamilan
Tentunya, masa kehamilan seseorang sangat memerlukan perhatian khusus,
terlebih bagi masyarakat Bugis. Saat awal kehamilan sampai masuk bulan
keempat disebut masyarakat sekitar sebagai angngerang. Di masa ini, keluarga
kedua belah pihak mesti memenuhi keinginan calon ibu, terutama bila berupa
makanan. Usai memasuki 7 bulan, perlu diadakan upacara anynyapu battang di
mana kedua keluarga menyiapkan bermacam makanan dengan makna simbol-
simbol tertentu. Adapun dalam upacara ini, calon ibu dan ayah bakal
dimandikan dan berpakaian adat lalu bersanding. Mereka pun akan dikerumuni
oleh keluarganya dan memilih makanan tertentu.
Tak hanya masyarakat Indonesia, Bali sudah dikenal secara luas, bahkan hampir
secara universal. Pulau yang juga dijuluki sebagai Pulau Dewata ini masih
kental akan tradisi meski sudah dikunjungi bermacam-macam orang.
Masyarakatnya konsisten melestarikan adat mereka secara turun-temurun. Di
Bali, bahkan kekayaan adat istiadat dan budayanya jadi salah satu daya tarik
bagi wisatawan dalam maupun luar negeri untuk menyaksikannya secara
langsung.
Secara geografis, Bali memanglah kecil. Meski begitu, kekayaan budaya yang
dimilikinya tak pernah kalah dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Sebagai
pulau idaman banyak orang, Bali pun punya tradisi yang sangat terkenal sampai
ke berbagai penjuru dunia. Misalnya, tradisi ngaben alias bakar mayat yang
selalu ramai oleh pengunjung.
1. Ngaben
Seperti yang kita tahu, ngaben merupakan upacara bakar jenazah yang telah
menjadi warisan leluhur dan telah dilakukan masyarakat Bali sejak ratusan
tahun silam. Masyarakat Bali yang beragama Hindu percaya, roh leluhur akan
menjadi suci dan beristirahat dengan tenang dengan membakar jenazah. Secara
finansial, upacara ini memerlukan biaya yang relatif besar. Sebab, melibatkan
banyak orang dan perlu adanya panggung pembakaran. Karena itulah, bagi
masyarakat yang kurang mampu, biasanya menunggu beberapa waktu untuk
bias melaksanakan ngaben bersamaan. Dengan begitu, biaya upacara ini akan
terasa lebih ringan karena digabung antara beberapa keluarga.
2. Omed-Omedan
Tradisi Omed-Omedan terbilang cukup unik. Warga bali mengadakan upacara
Omed-Omedan, yakni para pemuda-pemudi berusia 18-30 tahun akan
berhadapan, setelah merayakan Nyepi. Dalam upacara ini, mereka akan diguyur
air, bertarung, lalu saling berciuman untuk mengakhirinya. Sudah ada sejak
puluhan tahun lalu, tradisi ini masih dilestarikan hingga sekarang.
Wilayah paling timur Indonesia ini menyimpan ragam budaya yang sangat
menarik untuk dilewatkan. Sangat terkenal akan suku Dani yang punya adat
istiadat cukup unik, hal ini justru bisa menambah keunikan budaya di Indonesia.
2. Tradisi Mumi
Sebagai contoh terakhir, ada pula tradisi mumi yang dilakukan seperti namanya:
mengawetkan mayat. Hal ini menjadi kebiasaan Suku Dani. Yang berbeda ialah
bahwa mereka tak membalut mayat, tetapi menjemurnya untuk kemudian
disimpan di dalam gua. disimpan di dalam gua. Salah satu mumi tertua dari
tradisi ini berusia sekitar 300 tahun, yang diletakkan di rumah dan kadang
dikeluarkan saat wisatawan tertarik untuk melihatnya.
Kearifan lokal yang ada mungkin memiliki sifat yang sangat tradisional, tetapi
keberadaan kearifan lokal sangatlah penting bagi masyarakat setempat. Hal ini
dikarenakan, kearifan lokal bukan hanya bisa dijadikan pedoman dalam
bertindak maupun bersikap, tetapi juga memiliki fungsi tertentu. Berikut fungsi
dari kearifan lokal bagi masyarakat!
Banyak sekali pengertian yang membawa istilah “hukum adat”. Apa itu hukum
adat?
Sementara itu, Ter Haar menyebut bahwa hukum adat ialah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam adanya keputusan adat.
Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan, yang
berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau
dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.
Hukum Adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah.
Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari
beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.
Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang
menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI atau
Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya yang diatur di dalam
undang-undang.
Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika
dibandingkan dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena
telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof. Dr. Cristian
Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (orang-orang
Aceh) dan “Het Gayo Land” (Tanah Gayo) Tahun 1893, yang kemudian diikuti
oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het
Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah
Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi
dalam peraturan perundang-undangan Belanda.
Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman
kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu
tersebut menurut ahli-ahli; hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu
Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang
masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai
tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga
Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara
peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan
hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.
Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau
“Inlandsrecht” menurut Van Vollenhoven terdiri dari:
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)
Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa
VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus
Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang
memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum
Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret
1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De
Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan
sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu:
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab
hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusus pidana adat (menurut
Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu
“COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium
Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan
kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk
para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.
CATATAN. Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah
Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di
Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas
konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah kolonial,
sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta
kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat
dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa
Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah kolonial. Apabila diikuti secara
kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun
pemerintah kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnya undang-
undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat
seterusnya didalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai
berikut:
1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki
apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda,
mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di
Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun
gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan
kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan
daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha
ini belum terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen
Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan
amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta
membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha
ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr
Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-
undang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan pada tahun 1927 Pemerintahan Hindia Belanda mengubah haluannya,
menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu politik Pemerintah
Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari
“unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.
a. Di dalam perundang-undangan:
i. Dalam A.B. (Algemenee Bepalingen van Wetgeving) =
Ketentuan-Ketentuan Umum Perundang-undangan) pada Pasal
11 digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen
en Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
ii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 Ayat (3)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen
en Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
iii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 78 Ayat (2)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten” (Peraturan-peraturan Agama dan Naluri-naluri)
iv. Dalam I.S. (Indische Staatsregelling = Peraturan Hukum Negara
Belanda – semacam UUD bagi Pemerintahan Hindia Belanda)
Pasal 128 Ayat (4) menggunakan istilah “Instelingen Des
Volks” (Lembaga-lembaga Rakyat)
v. Dalam I.S. Pasal 131 Ayat (2) sub b. berbunyi “Met Hunne
Godsdientige Wetten en Gewoonten Samenhangende Rechts-
Regelen” (Aturan-aturan Hukum Yang Berhubungan dengan
Agama-agama dan Kebiasaaan-kebiasaan Mereka)
vi. Staadblad 1929 No.221 jo. No.487 yang sudah menggunakan
istilah “Adatrecht”
b. Di kalangan para ilmuwan:
Sebelum perundang-undangan menggunakan istilah “Adatrecht” di
kalangan para ilmuwan menggunakan berbagai istilah atau
terminologi:
i. Nederburgh – Wet en Adat
ii. Joynboll – Handleiding Tot de Kennis van de Mohammedaanse
Wet
iii. Het Personenrecht Voor de Inlanders op Java en Madura
(Hukum Pribadi untuk Golongan Bumiputera di Jawa dan
Madura).
c. Di kalangan masyarakat: Lazim menggunakan berbagai istilah sesuai
dengan Bahasa daerahnya masing-masing.
i. Masyarakat Jawa dan Madura menggunakan istilah ‘Adat’ saja.
ii. Masyarakat Ngadhu di Flores menggunakan istilah ‘Adha’ dan
‘Gua’. Adha adalah istilah untuk hukum adat atau kebiasaan
yang bersifat keduniawian dan mempunyai ancaman sanksi yang
bersifat jasmani, sedangkan Gua adalah istilah yang ditujukan
kepada kebiasaan yang bersifat kerohanian dengan sanksi dari
leluhur.
iii. Masyarakat Gayo menggunakan istilah ‘Eudeut’.
iv. Masyarakat Minangkabau menggunakan istilah ‘Lembaga
Adat/Adat Lembaga’.
v. Masyarakat Maluku dan Minahasa menggunakan istilah ‘Adat
Kebiasaan’.
vi. Masyarakat Batak dan Karo memakai kata ‘Basa’ (bicara)
4. Sukardi
Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan, hukum
adat adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat secara tertulis
ataupun tidak tertulis dan berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia atau adat
istiadat yang di dalamnya digunakan untuk mengatur tingkah laku kehidupan
masyarakatnya, sanksi juga akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.
5. Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun
Selanjutnya, mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas Airlangga, Mawardi
Muzamil dan Anis Mashdurohatun melalui bukunya yang berjudul
Perbandingan Sistem Hukum juga menjelaskan definisi hukum adat sebagai
sebuah sistem hukum yang ada dan telah lama berlaku di Indonesia.
6. Mohammad Koesnoe
Mohammad Koesnoe juga mengatakan awal mula adanya hukum adat sendiri di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun, jika dibandingkan dengan
bentuk hukum lainnya, seperti hukum Barat dan juga hukum Islam, hukum yang
satu ini merupakan bentuk hukum tertua berdasarkan usianya. Dimana, sebelum
tahun 1927 sendiri hukum adat telah ada dan berkembang di tengah masyarakat
Indonesia. Hingga setelah tahun 1927, hukum adat akhirnya dipelajari serta
diperhatikan secara seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah
Belanda, setelah teori resepsi yang ada dikukuhkan pada pasal 134 ayat 2 I.S.
1925.
10. Soeroyo Wignyodipuro, S.H. Hukum adat adalah suatu ompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-
hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan
dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).
11. Prof. Dr. Soepomo, S.H. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
CATATAN. Dari berbagai pengertian adat istiadat yang dikemukakan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan peraturan atau
norma tak tertulis yang pembuatannya berfungsi untuk mengatur tingkah laku
masyarakat. Dalam hukum adat terdapat sanksi; dan hukum ini bahkan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18B ayat (2).
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan kata lain, negara pun mengakui adanya hukum adat sebagai sistem
hukum Indonesia. Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum
kebiasaan yang berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat
atau dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.
1. Sumber Pengenal
Pertama, sumber pengenal yang menurut B Ter Haar merupakan keputusan
penguasa adat. Namun, pernyataan ini sendiri dibantah oleh Mohammad
Koesnoe. Dimana, menurut beliau sumber pengenal pada hukum adat sendiri
adalah apa yang sebenarnya terlaksana masyarakat setempat di dalam pergaulan
hukum, baik perilaku atau tingkah laku yang hanya sekali dilakukan maupun
berulang kali.
2. Sumber Isi
Kedua, sumber isi. Sumber hukum adat yang satu ini merupakan kesadaran
hukum yang ada dan hidup di tengah masyarakat adat setempat.
3. Sumber Pengikat
Ketiga, sumber pengikat yang merupakan rasa malu yang timbul akibat
berfungsinya sistem nilai yang ada di dalam masyarakat adat yang bersangkutan
maupun berbagai upaya lainnya yang pada akhirnya terkena pada orang yang
bersangkutan jika tidak mematuhi atau melanggar aturan dan hukum adat yang
berlaku.
Dengan kata lain Hukum Adat Dapat Bersumber dari beberapa hal berikut
ini:
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10.Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat
11.Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa kekuatan mengikat yang
ada pada hukum adat adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh anggota
masyarakat adat yang bersangkutan.
Perbedaan antara adat dengan hukum adat dapat dilihat dari pendapat para ahli,
sebagai berikut:
1. Terhaar; Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari
kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan
tingkah laku/ adat.
2. Van Vollen Hoven: Suatu kebiasaan/adat akan menjadi hukum adat,
apabila kebiasaan itu diberi sanksi.
3. Van Dijk: Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber
dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan
masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat
bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
4. L. Pospisil: Untuk membedakan antara adat dengan hukum adat maka
harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu:
a. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa
masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
b. Intention of Universal Application: Bahwa putusan-putusan kepala
adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku
juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.
c. Obligation (rumusan hak dan kewajiban): Yaitu dan rumusan hak-
hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan
apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia misal nenek
moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan menangani
kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
5. Adanya sanksi/imbalan: Putusan dari pihak yang berkuasa harus
dikuatkan dengan sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun
sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya.
6. Adat/kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat
hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum
adat.
7. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan
adat tidak mempunyai nilai/ biasa.
1. Tradisional
Hukum adat sudah turun temurun sejak dahulu kala, dari nenek leluhur sampai
anak cucu. Eksistensinya tetap dipertahankan sampai sekarang.
2. Relegius – Magis
4. Demokrasi
Memiliki arti bahwa segala sesuatu harus diselesaikan dengan menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dan kepentingan bersama masyarakat harus terlebih
dahulu diutamakan dibandingkan dengan kepentingan pribadi yang sesuai
dengan asas permusyawaratan dan perwakilan pada sistem pemerintahan.
Seperti contohnya sendiri adalah melakukan musyawarah di Balai Desa dan
setiap tindakan atau pilihan yang diambil pamong desa adalah berdasarkan hasil
musyawarah yang telah dilakukan tersebut oleh masyarakat.
5. Kontan
Corak kelima ini merupakan dimana pemindahan maupun peralihan hak dan
juga kewajiban harus dilakukan di saat yang sama dan dilakukan secara
serentak dengan maksud untuk menjaga keseimbangan yang ada di dalam
pergaulan di tengah masyarakat.
Corak ini memiliki arti terdapat tanda yang terlihat yaitu setiap perbuatan
maupun keinginan pada setiap sebuah hubungan hukum tertentu harus
dinyatakan dengan benda atau bentuk wujud maupun nyata. Hal ini juga berarti
bahwa tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semua hal yang dilakukan
harus memiliki tindakan nyata dengan begitu tidak ada kecurigaan yang muncul
antara satu sama lain.
8. Tidak dikodifikasi
Hukum adat tidak “dibukukan” (tidak dibuat jadi satu buku), tidak tertulis
seperti layaknya kitab Undang-Undang (misalnya KUHPer). Hal ini membuat
hukum adat mudah diubah. Namun ada juga yang tertulis, tapi tidak mengikat
semua kalangan, hanya untuk orang tertentu saja. Misalnya, hanya untuk
keluarga orang-orang kerajaan atau bangsawan. Adapun yang tertulis, namun
tidak secara sistematis.
9. Dapat berubah dan menyesuaikan diri
Hukum adat juga dapat disesuaikan dengan kesesuaian. Misalnya dahulu harta
hanya diberikan kepada laki-laki saja, dan perempuan hanya diberikan atas rasa
kasihan (iba). Namun hal ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan. Jika dahulu tidak boleh menikah (kawin)
semarga, maka sekarang sudah bisa.
Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik.
Sangat jarang ditemukan ada kasus yang sampai ke meja pengadilan atau jalur
litigasi. Hal ini pula yang menjadikan ciri khas bangsa kita, Indonesia. Murah
berteman, murah senyum dan suka berdamai.
Hukum yang satu ini sendiri memiliki perbedaan dengan berbagai sistem hukum
yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dimana hukum adat sendiri
merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang seiring
perkembangan masyarakat yang ada di dalamnya. Beberapa hukum adat yang
ada juga sempat diupayakan agar menjadi hukum perundang-undangan dan hal
ini juga berarti berusaha mengubah hukum tidak tertulis ini menjadi hukum
tertulis. Seperti salah satu contohnya, Undang-undang Pokok Agraria pada
tahun 1950. Namun, setelah diubah menjadi bentuk tertulis, hukum adat
tersebut memiliki bentuk yang berbeda dari hukum adat sebelumnya.
2. Faktor agama
Faktor pengaruh perkembangan yang kedua adalah faktor agama. Dengan
masuknya berbagai agama ke dalam Indonesia ternyata juga memiliki pengaruh
terhadap perkembangan hukum yang satu ini, sebagai berikut.
Agama Hindu
Agama Hindu sendiri pertama kali dibawa masuk ke Indonesia oleh orang
Indonesia pada abad ke 8 dan pengaruh dari agama Hindu sendiri paling dapat
terlihat di Bali. Dimana, berbagai hukum agama Hindu sendiri memberikan
pengaruh terhadap bidang pemerintahan Raja serta pembagian masyarakat ke
dalam beberapa kasta.
Agama Islam
Agama Islam sendiri dibawa oleh pedagang yang berasal dari Timur Tengah
pada abad ke 14 dan juga awal abad ke 15. Pengaruh dari agama Islam sendiri
dapat dilihat melalui hukum perkawinan yang membahas mengenai cara
melangsungkan serta memutuskan sebuah perkawinan. Pengaruh dari hukum
perkawinan agama Islam ini sendiri juga dapat dilihat melalui hukum adat yang
ada di beberapa daerah Indonesia seperti halnya Jawa dan juga Madura. Di
daerah Aceh juga pengaruh dari agama Islam sangatlah kuat. Namun, pengaruh
ini sendiri berbeda-beda tergantung daerahnya, seperti halnya di beberapa
daerah walaupun sudah diberlakukannya hukum perkawinan Islam, tetap
melakukan upacara perkawinan berdasarkan hukum adat. Seperti contohnya di
Lampung, Tapanuli.
Agama Kristen
Agama Kristen sendiri pertama kali masuk ke dalam Indonesia dibawa oleh
para pedagang Barat. Dimana, aturan hukum agama Kristen sendiri memiliki
pengaruh yang cukup besar di Indonesia terhadap pengaruh hukum keluarga dan
juga hukum perkawinan. Selain itu, agama kristen juga memiliki pengaruh yang
besar pada bidang sosial. Secara khusus dapat dilihat pada dampaknya di bidang
pendidikan dan juga kesehatan, dengan adanya pendirian berbagai lembaga
pendidikan dan rumah sakit.
Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception
in Complexu: Kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka
hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama
yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.
Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan,
antara lain:
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman
Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978),
yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut:
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.
Selo Soemardjan menekankan pada faktor perbedaan “culture” dari setiap suku
bangsa, yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi
tersebut di atas, kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria
cirri-ciri struktur sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga
bentuk masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciri-
ciri utamanya adalah:
a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat
kuat.
b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat-istiadat yang
terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang
mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dapat
dikuasai olehnya.
d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan
dalam bidang teknologi; keterampilan diwariskan oleh orang tua
kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan
pengalaman, dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen.
e. Tingkat buta huruf tinggi.
f. Hukum yang berlaku tidak ditulis, tidak kompleks dan pokok-
pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa
dari masyarakat.
g. Ekonominya sebagaian besar meliputi produksi untuk keperluan
keluarga sendiri atau buat pesanan kecil setempat, sedang uang
sebagai alat penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang
banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa
hubungan kerja antara buruh dengan majikan
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri
utamanya:
a. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam
masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-
gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat-istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai
terbuka buat pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir orang maka
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila
orang sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sesuatu masalah.
d. Didalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal
kirakira sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, tetapi masih
jarang sekali adanya lembaga pendidikan keterampilan atau
kejuruan.
e. Tingkat buta huruf bergerak menurun
f. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
g. Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada
produksi buat pasaran, halmana mulai menimbulkan deferensiasi
dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan uang
meningkat.
h. Gotong royong tradisional tinggal buat keperluan sosial di
kalangan keluarga besar dan tetangga, tetapi gotong-royang buat
keperluan umum dan buat kegiatan ekonomis dilakukan atas dasar
upah uang.
3. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern atau
modern, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hubungan antara manusia didasarkan terutama atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
b. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling pengaruh-mempengaruhi, kecuali
dalam penjagaan rahasia penemuan baru dalam industri.
c. Kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi
serta keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan
ditingkatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dan
kejuruan.
e. Tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata
f. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat
kompleks adanya.
g. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.
Famili di Minangkabau:
Tata susunan yang tetap yang disebut rumah Jurai
Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan
Jurai dikepalai oleh seorang Tungganai atau Mamak kepala waris.
Harta pusaka sendiri
Di Sumatera Selatan:
Persekutuan daerah disebut Marga, yang dikepalai oleh “Pasirah” dengan
gelar depati/ Pangeran.
Marga terdiri dari dusun-dusun yang dikepalai oleh Proati, Kria, Mangku
dan dibantu “Panggawa”.
Daerah Banten:
Persekutuan terdiri atas beberapa ampian
Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua
Desa dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro.
Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan penuh rasa kebersamaan
mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman dan kedamaian.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari zamannya, sebagai berikut:
Adapun objek hak ulayat ini adalah semua tanah yang terdapat dalam
lingkungan masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi subjeknya adalah semua anggota masyarakat hukum Adat yang
bersangkutan. Orang dari luar masyarakat hukum Adat tersebut boleh
memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat itu dengan seizin dari
penguasa Adat setempat.
Hak Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hukum adat sendiri
adalah serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat yang tidak
tertulis, dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu
masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun
temurun. Hak tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya. Posisinya kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Maka dari itu, konsepsi hak tanah ulayat menurut hukum tanah adat mencakup
nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak
tanah ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak tanah
ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan.
b. Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Masyarakat dari luar wilayah hukum adat dilarang
masuk di lingkungan tanah wilayah hukum adat tersebut tanpa izin
penguasa adat. Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut
“pengisi adat”. Jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan
tindak pidana yang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan hukum
Adat yang berlaku pada wilayah adat tersebut.
Sedangkan Hukum Adat, yang merupakan salah satu bentuk hukum tidak
tertulis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, walaupun hukum yang satu ini
tidak secara resmi tertulis, namun kadang kala memiliki sifat memaksa kepada
masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat yang
ada di dalamnya juga memiliki keyakinan akan hukum tersebut sehingga patuh
untuk menaatinya dan percaya akan menerima sanksi jika hukum tersebut tidak
dijalankan dan dilanggar. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum
adat. Sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Defisini hukum
adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu
sama lain. Baik kebiasaan maupun kesusilaan dalam bermasyarakat.
Sebelumnya, peraturan adat ini menggunakan istilah Peraturan Keagamaan
dalam undang-undang. Pada masa Hindia Belanda, hukum adat yang berlaku
tidak tunduk kepada KUH Perdata dan hukum kebiasaan. Fungsinya untuk
mengatur masyarakat adat agar mendapatkan hidup yang damai. Jika ada yang
melanggar hukum adat maka dikenakan sanksi adat, seperti halnya pemberian
sanksi kepada pelanggar hukum kedaulatan di Indonesia. Berdasarkan Hukum
Adat, Sanksi adat bisa berupa memberikan persembahan, ritual, atau membayar
denda adat, hingga dikucilkan bahkan diusir dari komunitas warga atau
marganya. Sehingga hukum adat merupakan sesuatu peraturan atau hukum yang
diberikan mengikat. Hukum adat berlaku bagi orang-orang yang lahir sebagai
bagian dari suatu adat tersebut. Sehingga antara satu adat dengan yang lain
mungkin akan memiliki peraturan atau sanksi yang berbeda. Ketika seseorang
memasuki sebuah wilayah yang masih berpegang pada hukum adat, maka
seseorang asing tersebut tetap harus mengikuti peraturan yang ada di hukum
adat tersebut (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung). Namun, jika
seseorang tersebut sudah keluar dari wilayah tersebut, maka hukum adat
tersebut sudah tidak berlaku. Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan
tidak tertulis yang terus tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat serta
dipertahankan. Sebenarnya nilai-nilai dan sifat hukum adat sudah terkandung
dalam butir-butir Pancasila. Contohnya, gotong-royong, musyawarah mufakat,
dan keadilan. Meski tak tertulis dan tidak ada cara khusus, hukum adat tetap
berlaku, dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela dikarenakan memang
miliknya hingga sampai saat ini.
Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-
temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang
masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
hukum.
Identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi persyaratan
yaitu memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu ikatan
karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial; mendiami suatu wilayah adat
dengan batas tertentu secara turun-temurun; memiliki pranata atau perangkat
hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat
Hukum Adat; dan/atau mempunyai Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat
Hukum Adat.
Dengan mempelajari hukum adat akan memberikan manfaat yang tidak sedikit.
Secara garis besarnya dengan mempelajari hukum adat, kita dapat memahami
pedoman dan pengaturan apa yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk
mengatur kehidupan bersama mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui
hukum adat dapat membantu kita pula untuk menentukan hukum nasional
seperti apa yang akan dibentuk.
I. HUKUM PERORANGAN
Istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda, dari kata rechtsubject yang
berarti pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia baik warga negara
maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya
adalah subyek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subyek), mempunyai
hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum, seperti melakukan
perjanjian, melangsungkan perkawinan, membuat wasiat, dan lain-lain. Oleh
karena itu, manusia oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban
sebagai subyek hukum. Secara sederhana, subjek hukum adalah segala
sesuatu yang menyandang hak dan kewajiban. Adapun yang termasuk
sebagai subjek hukum adalah manusia (naturlijk person) dan badan hukum
(recht person).
Manusia sebagai subjek hukum sejak saat dia dilahirkan dan berakhir pada saat
ia meninggal dunia, bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya
dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir), apabila
kepentingannya memerlukannya (untuk menjadi ahli waris).
Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), yang berbunyi:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
melahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”.
Manusia sebagai subyek hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan
tindakan hukum apabila manusia itu telah dewasa serta sehat
rohaninya/jiwanya, dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Dengan demikian,
manusia yang wenang hukum belum tentu cakap hukum karena manusia dewasa
memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum, tetapi dalam keadaan tertentu
ia tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, seorang manusia
dianggap cakap hukum harus memenuhi 2 (dua) kriteria, yaitu:
a) dewasa, sehat rohani/jiwanya,
b) tidak di bawah pengampuan.
Ada beberapa golongan manusia yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum dan harus diwakili oleh
orang lain (orang tua/wali), yaitu:
a. manusia yang masih di bawah umur (belum dewasa)
b. manusia yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk, pemboros,
yakni mereka yang ditaruh di bawah curatele (pengampuan)
c. seorang perempuan dalam perkawinan (wanita kawin) yang
tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata)
Dewasa
Secara luas, kata dewasa juga digunakan untuk menggambarkan kondisi
seseorang dengan pemikiran yang sudah matang.
Selain manusia pribadi sebagai subyek hukum, terdapat juga badan hukum.
Badan hukum (recht persoon) adalah perkumpulan-perkumpulan yang dapat
menanggung hak dan kewajiban yang bukan manusia. Badan hukum sebagai
pembawa hak dan kewajiban yang tidak berjiwa dapat sebagai pembawa hak
manusia, seperti dapat melakukan persetujuan, memiliki kekayaan yang sama
sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.
Untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum maka suatu badan hukum
harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu:
a) memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya;
b) hak/kewajiban badan hukum terpisah dari hak/kewajiban anggota
Badan hukum adalah suatu perkumpulan manusia pribadi mungkin juga sebagai
kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai dengan hukum yang
berlaku, seperti:
a. Perseroan Terbatas (PT) telah diatur dalam Buku 1 bagian ketiga Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
b. Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.
c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktanya di Notaris
d. Bank Pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang mengatur
pendiriannya
e. Organisasi partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik
f. Pemerintah Daerah, dan Kecamatan diatur dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 Negara Republik Indonesia diatur dengan
Undang-Undang Dasar 1945
Badan hukum ini kalau dilihat dari bentuknya, menurut CST. Kansil terdiri atas:
a. Badan hukum publik, yaitu negara, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten, Desa dan sebagainya
b. Badan hukum perdata, yang dapat dibagi lagi dalam:
i. badan hukum perdata Eropa, seperti perseroan terbatas, yayasan,
lembaga, koperasi, gereja;
ii. badan hukum Indonesia, seperti gereja Indonesia, Masjid, Wakaf,
Koperasi Indonesia dan sebagainya.
Badan hukum publik (public recht persoon) adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum publik yang menyangkut kepentingan publik (orang
banyak) atau negara pada umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan
hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau lembaga yang dibentuk
oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan
eksekutif, pemerintah, atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu.
Badan hukum privat/perdata atau sipil adalah badan hukum yang diberikan
berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi di
dalam badan hukum itu. Badan hukum itu merupakan badan hukum swasta
yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari
keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik budaya, kesenian,
olah raga, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah.
Dasar pembenar bahwa badan hukum sebagai subyek hukum, mempunyai hak
dan kewajiban tercermin dari teori-teori dasar yuridis badan hukum yang
terkenal, yaitu:
a. Teori Fiksi (F.C. Von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwing)
b. Teori kekayaan tujuan (A. Brinz dan Ejj Vander Heyden)
c. Teori organ atau teori peralatan atau kenyataan (Otto von Gierke)
d. Teori milik kolektif atau popriette collectief (W.L.P.A. Molengraaf dan
Marcel Planiol)
e. Teori Duguit
f. Teori Eggens
Menurut teori fiksi, bahwa badan hukum dianggap buatan negara, sebenarnya
badan hukum itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan
hukum.
Teori kekayaan tujuan menyatakan bahwa kekayaan badan hukum itu bukan
kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya. Tiap hak tidak
ditentukan oleh suatu subyek, tetapi ditentukan oleh suatu tujuan. Dalam teori
ini, A. Brinz hanya dapat menerangkan dasar yuridis dari yayasan.
Menurut teori milik kolektif, bahwa badan hukum ialah harta yang tidak dapat
dibagi-bagi dari anggota secara bersama-sama. Hak atau kewajiban badan
hukum pada hakikatnya dalam hak atau kewajiban para anggota bersama-sama,
karena badan hukum hanya konstruksi yuridis, jadi pada hakikatnya abstrak.
Selanjutnya Duguit menyatakan, bahwa sesuai dengan ajarannya tentang fungsi
sosial, dalam teori ini Duguit tidak mengakui adanya badan hukum sebagai
subyek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilaksanakan.
Manusia sajalah yang sebagai subyek hukum, lain dari manusia tidak ada
subyek hukum. Sedangkan teori Eggens menyatakan bahwa badan hukum
adalah suatu hulpfiguur, karena adanya diperlukan dan dibolehkan hukum, demi
untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya (behoorlijk)
SUBJEKTUM YURIS / SUBJEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT
Pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang
hukum yang sama, yang oleh Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan
berhak”, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat pengecualian-
pengecualian, seperti:
o Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi Penghulu
Andiko atau Mamak kepala waris.
o Daerah-daerah Jawa Tengah tahun 1934-1938 di dalam beberapa
desa yang berhak menjadi kepala desa hanyalah anak laki-laki.
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan
hukum (Djojodigoeno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut
hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang
seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Ukuran
dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan
tertentu.
Ciri- ciri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau
belum? Menurut Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang
sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah:
o Kuwat gawe (dapat/ mampu bekerja sendiri).
o Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya
itu.
o Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
o Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan
orang tuanya
Menurut hukum adat pengertian tentang “dewasa” baru mulai setelah
tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang
tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja. Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang
dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua
itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri
dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang
tuanya yang berdiri sendiri atau pun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati
orang tuanya jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar
pekarangan rumah orang tuanya.
Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu:
Wakaf
Wakaf (bahasa Arab: وقف, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: أوقاف, awqāf; bahasa
Turki: vakıf, bahasa Urdu: ))وقفadalah perbuatan hukum wakif (pihak yang
melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu, sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum sesuai Syariah. Dalam kenyataannya kita dapat
mewakafkan tanah atau barang untuk tiap maksud asalkan tidak bertentangan
atau dilarang oleh agama. Ada pendapat yang mengkaitkan perbuatan hukum
yang menimbulkan wakaf itu dengan tujuan-tujuan ataupun maksud-maksud
religious.
Wakaf adalah Yaitu suatu lembaga/badan yang bertugas untuk mengurus harta
kekayaan yang oleh pemiliknya diserahkan kepada masyarakat untuk digunakan
bagi kepentingan umum masyarakat, yang biasanya digunakan untuk keperluan
yang ada hubungannya dengan bidang keagamaan.
Lembaga hukum wakaf ini berasal dari hukum Islam (Syariah Islam). Oleh
karena itu pelaksanaanya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh
hukum Islam seperti berikut:
a. Yang membuat wakaf harus mempunya hak penuh (menurut hukum adat)
atas apa yang diinginkan akan diwakafkan
b. Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang akan maksud serta
tujuannnya yang tidak bertentangan atau dilarang agama, harus di
jelaskan
c. Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang
d. Maksudnya harus tetap (terus menerus dan tidak berubah), dalam hal
peruntukannya
e. Yang menerima wakaf harus menerima (Kabul)
Benda-benda yang dapat diwakafkan terdiri dari:
a. tanah kosong untuk pemekaman umum, mesjid, surau atau tempat ibadah
lainnya.
b. Rumah atau suatu bangunan tertentu berikut tanahnya yang akan
diperuntukkan bagi kantor agama, mesjid, surau, madrasah, pondok
pesantren, sekolah keagamaan lainnya, asrama dan rumah pertemuan
keagamaan lainnya.
Yayasan
Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh
syarat-syarat hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah Yayasan
dan koperasi. Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan
dalam bidang sosial. Yayasan dibentuk dengan akta pembentukan. Akhir-akhir
ini dijumpai pula Yayasan-Yayasan di kalangan masyarakat yang bergerak
dibidang kematian, bidang pemeliharaan anak yatim piatu dan lain sebagainya.
Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan
bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan
persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang.
Koperasi
CATATAN. Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum
sebagai subyek hukum. Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara
(“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3). Jawa
Tengah mengakui juga sebagai badan hukum, perkumpulan-perkumpulan yang
mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi. Di pulau Bali
didapati pula badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang
berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa-
rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba sahaya
setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah kolonial,
maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya
lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari. (Van Vollenhoven “Het Adatrecht
van Nederland- Indie” jilid II halaman 545). Badan-badan hukum yang ada
ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf, yayasan dan juga koperasi. Ternyata
hukum perorangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut dua
sumber hukum yaitu hukum adat Indonesia dan hukum yang berasal dari
Belanda. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum perorangan di Indonesia.
Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk lebih menggali sumber-sumber
hukum yang ada di Indonesia demi terbentuknya suatu hukum Nasional
Indonesia.
II. HUKUM KEKELUARGAAN
KETURUNAN (GENEALOGIS)
Hukum adat mengenal jenis sistem keturunan yang dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok (Soerojo Wignyodipoero: 1994: 109), yaitu:
1. Patrilineal. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dalam
sistem ini kedudukan anak laki- laki lebih utama dibandingkan anak
perempuan. Bila suatu keluarga tidak memiliki anak laki- laki maka
keluarga tersebut harus melakukan pengangkatan anak (adopsi). Pada
sistem kekerabatan ini berlaku adat perkawinan jujur seteleh terjadi
perkawinan, si istri harus mengikuti suami dan menjadi anggota kerabat
suami, termasuklah anak – anak yang dilahirkan dari perkawinannya.
Sistem kekerabatan patrilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Gayo,
Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian.
2. Matrilineal. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu. Dalam
sistem ini kedudukan anak perempuan lebih unggul dibandingkan anak
laki-laki. Dalam sistem ini umumnya berlaku perkawinan semenda.
Perkawinan semenda yaitu setelah perkawinan terjadi, si suami yang
mengikuti si istri, namun suami tetap menjadi anggota kerabat asal dan
tidak masuk ke dalam kerabat istri, sedangkan anak-anak dari hasil
perkawinan harus mengikuti anggota kerabat ibunya. Sistem kekerabatan
materilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Minang kabau,
Enggano, Timor.
3. Bilateral/Parental. Sistem keturunan yang ditarik dari garis dua sisi
(bapak/ibu) atau disebut Ouderelijk. Dimana kedudukan anak laki-laki
maupun perempuan tidak dibedakan atau dianggap sama dan setara.
Dalam sistem kekerabatan ini berlaku perkawinan bebas, dalam arti:
kedudukan suami/istri sederajat dan seimbang. Sistem kekerabatan ini
diikuti oleh masyarakat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan lain-lain.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” / “bagan”, dimana
digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri
baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang
menyimpang.
Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam masyarakat adat dan
bagi orang tuanya anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, di pandang pula
sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak dikemudian hari
wajib di tumpahkan, di pandang pula sebagai pelindung orang tuanya kelak bila
orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.
Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan
ibu) akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
a. larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu
b. saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah
c. Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak
perempuannya apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara
Islam.
Oleh karena itu maka sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia
dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat
diadakan banyak upacara-upacara adat yang sifatnya religious-magis serta
penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang
kesemuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala macam
bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut
menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.
Ujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya
upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan
upacara adat sebagai berikut:
a. anak masih dalam kandungan: bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, pada
bulan ke 7 disebut “Tingkep”.
b. Pada saat lahir: penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan
upacara penganyutan ke laut.
c. Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan juga pada saat
pemberian nama.
d. Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan pada saat
anak menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumi/disentuhkan
pada tanah.
Dalam masyarakat Indonesia banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah. Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan
dengan wanita yang melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan
anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Di
Mentawai, Timor-Timor, Minahasa, dan Ambon, misalnya wanita yang
melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa
seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan
yang sah. Akan tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib
mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka
semula lazimnya dibuang dari persekutuannya (artinya tidak diakui lagi sebagai
warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di
daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak
(Bushar Muhammad, 2006; hal;7). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan karena
takut melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta
upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan.
Untuk mencegah nasib buruk antara si ibu dengan anaknya, terdapat suatu
tindakan adat dimana masyarakat adat akan memaksa pria yang bersangkutan
untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut
diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena
perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria tersebut. Di
Sumatera Selatan tindakan tersebut dilakukan oleh Rapat Marga. Demikian pula
di Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud tidak mau mengawini
wanita yang telah melahirkan anak tersebut, akan di jatuhi hukuman. Selain
melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut
dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan
dilakukan dengan maksud agar anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang
sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak
dijumpai di desa- desa di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku
Bugis disebut pattongkog sirik. Anak yang di lahirkan diluar perkawinan
tersebut di jawa di sebut anak haram jadah, di Astra, lampung di sebut anak
kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan
apabila dengan pembayaran ataupun sumbangan adat. Hubungan antara anak
dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan, seperti di
Minahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang
melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah
hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus
memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak
dengan si ibu tidak tinggal satu rumah) (Imam sudiyat; 2007; hal ;92). Di daerah
lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat adalah anak yang tidak
berbapak.
Di dalam hukum adat pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan di dalam ikatan
perkawinan adalah anak sah meskipun kelahirannya disebabkan laki-laki lain.
Anak yang dilahirkan karena hubungan perzinahan adalah anak yang dilahirkan
dari suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria yang bukan suaminya.
Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak anak yang dilahirkan
istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya
karena telah melakukan zinah.
Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut adat mempunyai bapak bekas
suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-
batas waktu mengandung.
Dilihat dari sudut anak yang diangkat maka dapat dicatat adanya pengangkatan-
pengangkatan anak seperti berikut:
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
c. Mengangkat anak dari keponakan-keponakan
Kedudukan anak angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus
keturunan (Lampung; tegak tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk
penghormatan. Di lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi
biasanya diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya
(Hilman Hadikusuma: 2003, Hal.209).
PERKAWINAN
UUP No.1 Tahun 1974: (Pasal 1): “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 2): (1) “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”. (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
UU No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UUP No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (Pasal 7 dan Pasal 65 A)
PP RI No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
KepMenHanKam/pangab No.KEP/01/I/1980 Tentang Peraturan
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Anggota ABRI
Petunjuk Teknis No.Pol.:JUKNIS/01/III/1981 Tentang Perkawinan,
Perceraian dan Rujuk Bagi Anggota Polri
PP RI No.10 tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
PNS
PP RI N0.45 tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No.10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (bagi yang beragama Islam).
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai,
tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga
mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, akan tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur
kedua belah pihak.
Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, misalnya
dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasah sanak” (hubungan
anak-anak, bujang gadis) dan “rasah tuha” (hubungan antara keluarga dari para
calon suami-istri). Menurut hukum adat lokal perkawinan bukan hanya
merupakan perbuatan sosial, kultur, magis-religius tetapi juga perbuatan hukum.
Disebut juga sebagai perbuatan sosial karena perkawinan itu merupakan produk
sosial. Perbuatan sosial artinya secara sosiologis perkawinan mengikat semua
unsur dalam kehidupan sosial, baik individu-individu maupun masyarakat,
bahkan masyarakat itu sendiri. Disebut perbuatan magis-religius karena dalam
perkawinan melibatkan roh-roh leluhur dan agama.
SISTEM PERKAWINAN
1. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang di daerah
ini pun sistem ini kian lenyap dengan sendirinya dikarenakan hubungan antar
satu daerah itu dengan daerah lainnya menjadi lebih mudah, erat dan meluas.
Sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja dan tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan
suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu
dan berputarnya zaman, sistem tersebut mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.
3. Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan
yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan
ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan
ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak
atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin
dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri.
b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat
adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak
ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam
perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, tetapi sebaliknya
dari pihak wanita kepada pihak pria. Setelah perkawinan terjadi, maka
suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya
bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku.
Adapun bentuk perkawinan semenda yakni ada 6 (enam) jenis yaitu:
Semanda raja-raja, artinya suami dan istri berkedudukan sama.
Semanda lepas, artinya suami mengikuti tempat kediaman istri
(matrilokal).
Semanda bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya.
Semanda nunggu, artinya suami dan istri berkediaman di pihak
kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai dapat
mandiri.
Semanda ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan
penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak
mempunyai keturunan anak wanita.
Semanda anak daging, artinya suami tidak menetap di tempat si
istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti
burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda
burung.
d. Perkawinan Campuran.
Perkawinan ini adalah perkawinan yang terjadi di antara suami dan isteri
yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang
dianut. Pada dasarnya hukum adat tidak membenarkan terjadinya
perkawinan campuran, namun dalam perkembangannya hukum adat
memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga
perkawinan campuran dapat dilaksanakan. Menurut hukum adat Batak
dan Lampung, apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran, maka
pihak yang berasal dari luar suku harus diangkat dan dimasukkan terlebih
ahulu sebagai warga adat tersebut. Dalam perbedaan agama, calon
suami/istri harus bersedia mengalah dan masuk ke dalam agama
uami/istrinya. Terhadap nikah berbeda agama hal ini tidak diakui lagi,
Lihat Pasal 66 UUP No.1 ’74. Sedangkan menurut UUP No.1 ’74,
Perkawinan Campuran ini adalah perkawinan antara salah satu mempelai
yang berkewarganegaraan yang berbeda. Lihat Pasal 57 s/d 62 UUP No.1
‘74.
e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi
dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan,
metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis
(silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk
perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan
lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari
paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk
melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan
berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada
waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara
diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau
si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya
berjalan menurut tata tertib adat berlarian.
h. Perkawinan Monogami
Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan
ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.
i. Perkawinan Poligami
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada
lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang
bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya
memiliki satu suami atau istri.
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu:
• Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang
pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang
bersamaan.
• Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang
wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan.
• Pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage) yaitu
kombinasi poligini dan poliandri.
Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, tetapi poligini
merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
CATATAN. Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja
menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut
hubungan antara kedua belah pihak mempelai seperti saudara-saudara atau
keluarga kedua mempelai. Menurut M. M. Djojodigoeno hubungan suami istri
setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang
berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu
paguyuban. Sedangkan hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum
adat yang mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara
perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat
perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang
berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat
perkawinan itu juga sudah mengalami pergeseran dan juga telah terjadi
perkawinan campuran antar suku, adat istiadat.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal
mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan
kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya
perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di
dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara
peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada
dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang
perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh
diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu
sendiri.
PERTUNANGAN
Akibat dari pertunangan adalah kedua belah pihak telah terikat untuk
melangsungkan perkawinan. Tetapi, walaupun sudah terikat dalam pertunangan
bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan perkawinan, tetap
dimungkinkan terjadi pembatalan pertunangan. Pembatalan pertunangan ini
dapat dilakukan:
Oleh kehendak kedua belah pihak, ataupun oleh salah satu pihak.
Jika dilakukan pihak yang menerima tanda tunangan: Mengembalikan
tanda tunangan sejumlah atau berlipat dari yang terima. Jika dilakukan
pihak yang memberi tanda tunangan dan/atau kesepakatan bersama dari
kedua belah pihak: Tanda tunangan tidak dikembalikan/hangus.
Dalam hukum adat Indonesia, pertunangan diatur dalam hukum adat
masing-masing daerah. Pertunangan dilakukan orang tua kedua belah
pihak sendiri atau dengan seorang utusan duta atau orang yang mewakili
keluarga pihak laki-laki. Sedangkan di dalam Hukum Islam tidak mengenal
pertunangan tersebut.
Ada beberapa Corak perkawinan yang tidak didahulu oleh lamaran dan
pertunangan. Corak perkawinan yang demikian ini kebanyakan terdapat pada
persekutuan yang bersifat patrilineal, namun tidak menutup kemungkinan
terjadi juga pada persekutuan matrilineal dan parental. Alasan terjadinya
perkawinan corak ini pada umumnya adalah untuk membebaskan diri
dari berbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dengan lamaran dan
pertunangan, seperti misalnya memberi paningset, memberi hadiah
barang dan lain sebagainya atau untuk menghindari turut campur, bahkan
tantangan dari pihak orang tua dan keluarga.
Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya
ternyata didapat kesimpulan bahwa:
a. Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Syariah itu menjadi satu
bagian dari perkawinan adat keseluruhannya.
b. Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat
yang betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen
saja yang masih dapat diturut.
ACARA PERNIKAHAN
ACARA NIKAH
Acara/Upacara pernikahan adalah upacara adat yang diselenggarakan
dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai
peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang
sehingga perlu ada upacaranya. Di Indonesia upacara pernikahan dilakukan
dengan dua cara, tradisional dan modern. Adakalanya pengantin menggunakan
kedua cara tersebut, biasanya dalam dua upacara terpisah.
Upacara tradisional.
Upacara pernikahan secara tradisional dilakukan menurut aturan-aturan adat
setempat. Indonesia memiliki banyak sekali suku yang masing-masing memiliki
tradisi upacara pernikahan sendiri. Dalam suatu pernikahan campuran,
pengantin biasanya memilih salah satu adat, atau adakalanya pula kedua adat itu
dipergunakan dalam acara yang terpisah.
Upacara modern.
Upacara pernikahan modern dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan dari luar
negeri. Biasanya gaya yang dipakai adalah gaya Eropa. Pernikahan yang
dilakukan dengan aturan Islam mungkin dapat juga dimasukkan ke dalam
kategori upacara pernikahan modern.
Maskawin (mahar).
Sebelum acara pernikahan dilangsungkan pihak yang melamar biasanya
menyerahkan sejumlah maskawin yang bentuk dan besarnya sudah disetujui
terlebih dahulu. Maskawin dapat berbentuk uang dalam jumlah tertentu,
perhiasan, perlengkapan shalat (biasanya dalam pernikahan Islam), atau
gabungan dari semuanya.
Pencatatan perkawinan.
Dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan
oleh Petugas Pembantu Pencatat Nikah Talak dan Rujuk (P3NTR), sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat (KUA daerah
dimana perkawinan dilaksanakan). Lihat lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Penyebab Perceraian
Terdapat beberapa faktor utama yang biasa menjadi penyebab perceraian, yakni
faktor ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, faktor ekonomi, faktor
moral. Selain beberapa faktor tersebut ada faktor-faktor lainnya yang
menyebabkan terjadinya perceraian seperti cemburu, krisis, poligami tidak
sehat, dipenjara, kawin paksa, penganiayaan (kekerasan dalam rumah tangga),
dan cacat biologis, seringkali juga muncul sebagai penyebab perceraian.
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung:
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga
Dampak Perceraian
Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah
mempunyai anak maupun yang belum:
Harta perkawinan atau harta keluarga adalah semua harta yang dikuasai
suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari
harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian
hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah (Prof. H.Hilman
Hadikusuma). Semua hal tersebut dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan
yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap
suami istri yang bersangkutan.
Demikian juga dalam KHI (Pasal 85 – Pasal 97), disebut bahwa harta
perkawinan dapat dibagi atas:
1. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum
perkawinan;
2. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum
perkawinan;
3. Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
4. Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta
yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
5. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang
diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.
Menurut Prof. Djojodiguno dan Tirtawinata dalam buku Adat Privaatrecth van
Middle Java dikatakan bahwa masyarakat Jawa tengah mengadakan pemisahan
harta perkawinan ke dalam 2 golongan yaitu:
a. Barang asal atau barang yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.
b. Barang milik bersama atau barang perkawinan.
CATATAN. Dengan catatan jika satu syarat di atas tidak terpenuhi maka tidak
ada harta bersama tersebut.
1. Perjanjian Pranikah
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menghindari terjadinya konflik harta
dalam sebuah perkawinan adalah dengan membuat sebuah perjanjian pranikah.
Perjanjian tersebut dibuat dengan maksud untuk mencegah dan mengantisipasi
apabila terjadi permasalahan di kemudian hari yang berhubungan dengan harta
terutama jika terjadi perceraian.
Di dalam perjanjian pranikah umumnya terangkum hal-hal seperti berikut ini:
• Utang-piutang yang sebelumnya dibawa suami atau istri sebelum
melakukan pernikahan.
• Jumlah harta bawaan atau harta warisan yang dimiliki oleh masing-
masing.
• Pemisahan harta yang sudah diperoleh masing-masing pihak pada masa
perkawinan. Hal ini dimaksudkan supaya suami dan istri bisa memiliki
kewenangan secara penuh atas harta yang dimiliki.
• Hal lainnya seperti masalah aset dan bisnis supaya bisa diselesaikan
dengan baik.
2. Prenuptial Agreement
Prenuptial agreement atau biasa disebut sebagai Prenup adalah cara lainnya
yang bisa digunakan untuk mencegah konflik harta dalam perkawinan. Sedikit
berbeda dengan Perjanjian Pranikah, prenuptial agreement ini berisikan
masalah pembagian harta antara suami dengan istri sebelum melakukan
pernikahan, sekaligus menjelaskan apa saja yang menjadi tanggung jawab
antara kedua belah pasangan. Di dalamnya juga bisa berisikan tentang harta
bawaan sehingga setiap pihak bisa membedakan dengan mudah mana harta dari
calon pasangannya masing-masing. Prenuptial agreement ini dibuat dalam
sebuah akta otentik yang dibuat langsung dihadapan notaris untuk mendapatkan
sebuah kekuatan hukum yang sah dan legal.
Dalam Pasal 171 ayat a KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Hukum
Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”.
Besaran Bagian Ahli Waris berdasarkan Hukum Islam menurut Pasal 176-185
KHI adalah:
a. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,
dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
c. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.
d. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan ayah.
e. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian.
f. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
g. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
h. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-
sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau
lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila
saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan saudara perempuan.
Hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku
tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-
masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum
waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas
dari Hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun
tidak tertulis.
Berdasarkan hukum waris adat dikenal beberapa macam sistem pewaris yang
didasarkan pada sistem keturunannya (pewaris berasal dari keturunan bapak
atau ibu ataupun keduanya), antara lain sebagai berikut:
a. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagiannya masing-
masing.
b. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris
hanya mendapatkan hak untuk menggunakan ataupun mendapatkan hasil
dari harta tersebut.
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai
pengganti ayah dan ibunya.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-
waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata
atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat
waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat
dengan para waris lainnya.
Adapun sifat Hukum Waris Adat dibandingkan dengan sifat hukum waris
lainnya sebagai berikut:
1. Harta warisan dalam sistem hukum adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat
terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris.
2. Dalam hukum adat juga tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana yang diatur dalam hukum waris barat dan Islam.
3. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.
Secara garis besar, dalam hukum pewarisan adat terdapat harta warisan,
yang dimana harta warisan ini merupakan suatu sifat bawaan yang
terkandung dalam hukum adat, dan harta warisan tersebut dapat ditinjau
dari macamnya, yaitu:
1. Harta Pusaka. Harta pusaka ini merupakan harta yang mempunyai nilai
magis religis yang lazimnya tidak dapat dibagi-bagi. Proses pewarisannya
hanya dilingkungan keluarga saja yang dibagi secara turun temurun.
2. Harta Bawaan. Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan
didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan
merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau
karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat berupa benda tetap maupun
barang bergerak.
3. Harta Bersama. Merupakan harta yang diperoleh suami istri dalam masa
perkawinan.
Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis (Pasal 1687
KUHPerdata), kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis
menggunakan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT (Pasal 37 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Barang yang
dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor,
perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan
bangunan).
Wasiat (testament) adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875
KUHPerdata, wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia
dan yang olehnya dapat dicabut kembali (pada saat pemberi wasiat masih
hidup). Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih
hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat telah
meninggal dunia.
Banyak orang yang menganggap hibah wasiat dan wasiat adalah dua hal yang
sama, padahal keduanya berbeda. Hibah wasiat adalah bagian dari wasiat.
Dalam hibah wasiat, Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik
barang apa saja yang akan diwasiatkan. Hibah wasiat ini dapat ditarik
kembali/dibatalkan pada saat pemberi masih hidup. Hibah wasiat dibuat
pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya
dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia. Hibah-
Wasiat dapat meliputi hanya sebagian dari harta kekayaan yang akan
ditinggalkan saja atau keseluruhan dari harta kekayaan.
Hibah-wasiat ini sepeti juga pewaris atau penghibaan menurut Prof. Soepomo
mempunyai 2 (dua) corak s.b:
a. Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu
isteri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewaris atau hibah-wasiat hanya
merupakan perpindahan harta benda di dalam ahli waris.
b. Orang tua yang mewariskan itu bebas di dalam menetapkan/menentukan
terhadap (apa saja) barang-barang manakah yang akan diterima kepada
anak A dan barang-barang mana kepada anak B atau kepada Isteri
meskipun terkait oleh peraturan, bahwa setiap anak harus mendapat
bagian yang layak, dengan tidak melenyapkan hak waris suatu anak.
Antara lain:
1. barang-barang kerabat ataupun barang-barang family
2. Barang-barang pusaka yang keramat
3. barang-barang somah atau barang-barang keluarga
4. barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat desa
5. barang-barang dengan wujud tertentu
Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan
yang ditinggalkan pewaris. Seseorang bisa dinyatakan sebagai ahli waris setelah
ditunjuk secara resmi berdasarkan hukum yang digunakan dalam pembagian
harta warisan, baik melalui hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat.
Anak angkat
Dalam hukum waris adat, anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban
sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil maupun
immaterial. Mengenai hal ini dalam hukum adat tidak ada keseragaman.
DR. R. Wiijono Prodjodikoro SH, dalam bukunya "Hukum Warisan di
Indonesia", menjelaskan bahwa: dalam lingkungan hukum adat sudah
pernah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Purworejo, tgl. 6-10-1937,
bahwa seorang anak angkat menurut hukum adat, tetap berhak atas harta
warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri. Anak angkat
menerima "air dari dua sumber", demikian Djojo Tirto, Jawa Tengah,
(Prof. Mr. DR. Supomo, dalam Majalah Hukum no. 4 dan 5th. 1953)').
Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya,
namun ia tidak boleh melebihi anak kandung, sebagai mana keputusan
Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 No.37 K/Sip/1959 yang
menyatakan bahwa anak angkat hanya diperbolehkan mewaris harta
gonogini (harta pencaharian) dan orang tua angkatnya, sedang terhadap
barang asal tidak berhak mewaris. Kecuali jika harta gono-gini tidak
mencukupi sebagaimana dinyatakan dalam keputusan Kamar ke III Raad
van Justitie tangga) 25 Mei 1939 (T.151 hal. 193) bahwa anak angkat
dapat meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya hingga
jumlah yang menurut keadaan dianggap adil.
Anak tiri
Kedudukan anak tiri terhadap harta kekayaan orang tua tiri jika ada
saudara tiri atau ahli waris lainnya menurut hukum adat Jawa di
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, bahwasanya kedudukan anak
tiri terhadap harta benda gono-gini orang tua tiri jika tidak ada saudara tiri
atau ahli waris lainnya adalah berhak mendapatkan harta gonogini orang
tua tirinya karena Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 263 K/Sip/1959
Tanggal 9-9-1959 yang menyatakan “Menurut hukum Adat di Jawa
Tengah, seorang janda berhak untuk membagi-bagikan harta keluarga
antara semua anak, asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas”
sebagai dasarnya namun kemungkinan lainnya anak tiri berhak
mendapatkan harta benda orang tua tirinya bisa saja terjadi tergantung
pemikiran dan keyakinan masing-masing keluarga hal ini bisa didasarkan
pada asas keadilan, musyawarah dan mufakat atau dengan cara hibah
wasiat. Dalam hukum adat waris Jawa dalam hal pembagian waris harta
orang tua tiri jika tidak ada saudara tiri atau ahli waris lain menurut
hukum adat Jawa di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, maka
harta warisan tsb selain berpindah kepada suami atau istri yang
ditinggalkan dapat juga diberikan kepada anak tiri. Pemberian tersebut
antara lain dilandasi oleh perasaan sayang kepada anak tersebut sehingga
dianggap sebagai anak sendiri karena sudah membesarkan sejak kecil
sampai ia dewasa. Pada masyarakat adat Jawa, pembagian harta warisan
atau harta peninggalan dilakukan dengan menggunakan dasar
musyawarah mufakat dan kerukunan bersama ahli warisnya dengan sikap
seadil-adilnya. Sedangkan menurut hukum adat, anak tiri bukan
merupakan ahli waris terhadap harta asal orang tua tirinya. Dalam
hal terjadi sengketa atau rebutan harta warisan, biasanya diselesaikan
melalui jalur musyawarah mufakat, antar keluarga. Namun demikian
apabila tidak ditemui jalan keluar biasanya melibatkan mediasi melalui
pihak ketiga seperti tokoh masyarakat, yaitu tokoh adat, tokoh yang
dituakan, ulama, pemuka agama dan lain sebagainya. Apabila buntu, baru
diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Janda
Duda
Kedudukan duda dalam hal mewaris karena putusnya perkawinan
nyeburin menurut hukum adat Bali yaitu mengenai kedudukan duda
dalam hal mewaris di kerabat asalnya dan kedudukan duda dalam hal
mewaris di kerabat istrinya. 30 (tigapuluh) responden di pilih secara
porpusive snow ball dari masyarakat adat Kelurahan Banjar Anyar dan
masyarakat adat Desa Belumbang yaitu orang-orang yang pernah
melakukan perkawinan nyeburin maupun yang sudah putus
perkawinannya. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yuridis
yaitu penelitian terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat
khususnya mengenai kedudukan duda dalam perkawinan nyeburin
menurut hukum adat Bali mengenai hak mewarisnya. Data sekunder dan
data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian
kepustakaan dan lapangan dengan alat pengumpulan data studi dokumen,
kuesioner maupun pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, kedudukan duda dalam perkawinan nyeburin di kerabat asalnya,
mengenai kewarisan secara hukum adat di Bali tidak berhak memperoleh
harta warisan. Hal ini disebabkan karena laki-laki yang kawin nyeburin
telah melakukan kesepakatan pada waktu terjadi perkawinan untuk
memutuskan hubungan dengan saudara dan orang tua di kerabat asalnya,
termasuk juga menyangkut hak mewarisnya. Namun apabila duda
tersebut kembali kekerabat asalnya, masih ada mendapat pemberian harta
secara kebijaksanaan keluarga karena adanya rasa kemanusiaan dan
masih merasa ada hubungan darah diantara mereka. Kedudukan duda
dalam hal mewaris di kerabat istrinya, tidak mempunyai hak sama sekali
atas harta warisan yang dimiliki istrinya, namun selama ia tetap tinggal di
kerabat istrinya berhak menikmati bagian harta bersama yang diperoleh
istrinya dan memelihara harta warisan istrinya. Terhadap harta bersama
yang diperoleh selama perkawinannya ia mendapat hak bagian yang sama
sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Bali.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian
jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.1 Tanah yang
dimaksud disini adalah hanya mengatur tentang haknya saja, yaitu hak atas
tanah tersebut yang sesuai dengan Undang- Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat
(1). Dimana hak-hak atas tanah/hak atas permukaan bumi terdiri dari beberapa
macam, yang dapat didapat dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau lebih dan
badan-badan hukum.
Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat
penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat
bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah, Ter Haar menyatakan sebagai
berikut: “Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan
menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan
berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak
untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam
masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat
melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi
peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian
tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi, untuk kepentingan
masyarakat”.
Hak Ulayat
Masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak
tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak
bersama. Oleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan
memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah (wilayah
beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah
kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdiri
dari tanah di atasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan
hak pribadi atau hak peserta atas tanah.
Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan
tanah mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
atau beberapa masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan
antara:
a. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan
dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum
adat tunggal (desa di Jawa), atau masyarakat hukum adat atasan (Kuria di
Angkola), atau masyarakat hukum adat bawahan (Huta di Penyabungan).
b. Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai
dan dimiliki oleh beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat,
dengan alternatifalternatif, sebagai berikut:
1. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal, misalnya beberapa
belah di Gayo.
2. Beberapa masyarakat hukum adat atasan, misalnya luhat di
Padanglawas.
3. Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya huta-huta di
Angkola.
Sebelum berlakunya UUPA, hukum pertanahan di Indonesia bersifat dualisme
yaitu sebagai akibat politik pemerintahan Hindia Belanda, sehingga timbul
berbagai kelembagaan hak atas tanah yang bersumber pada hukum barat dan
hukum adat. Hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat salah satunya
adalah hak ulayat. Pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang
dijalankan pemerintah, lebih berorientasi pada sistem hukum barat sehingga
pada kenyataannya kepentingan golongan bumi putera (pribumi) yang
memberlakukan hukum adat selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak
menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah
dan mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk hak ulayatnya
atas tanah. Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Oleh
Van Vollenhoven dalam Tolib setiady (2013:312), hak ulayat disebut sebagai
“beschikkingrescht”. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-
bahasa daerah) merupakan suatu pengertian baru, dikarenakan dalam bahasa
indonesia istilah yang dipergunakan itu lebih mengarah kepada pengertian
sebagai “lingkungan kekuasaan”, sedangkan “beschikkingrescht” itu lebih
mengarah kepada hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah itu
sendiri.
Adapun istilah-istilah daerah yang mengandung pengertian lingkungan
kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun “tanah yang merupakan wilayah
yang dikuasai masyarakat hukum adat” antara lain yaitu; Patuanan (Ambon),
Pawatasan (Kalimantan), Wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), Tatabuan
(Bolaang Mongondow), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Ulayat
(Minangkabau), Torluk (Angkola), Paer (Lombok), Golat (Batak), dan lain
sebagainya.
Oleh berbagai pakar hukum adat, hak ulayat diartikan dalam berbagai
perumusan, namun mempunyai berbagai persamaan pemahaman, meski istilah
yang dipergunakanya berbeda-beda, tidak selalu dalam istilah hak ulayat.
Beberapa pakar hukum adat yang mengemukakan pendapatnya tentang
hak ulayat, yakni:
1. Roestandi Ardiwilaga (2009:68), mengemukakan bahwa hak ulayat
adalah hak dari persekutuan (masyarakat) hukum adat untuk
menggunakan dengan bebas tanah tanah yang merupakan hutan belukar
dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu
sendiri dan anggota-anggotanya; juga untuk kepentingan orang-orang di
luar persekutuan hukum itu dengan izin terlebih dahulu, dan membayar
pengakuan/recognisi.
2. Imam Sudiyat (1981:2), menamakan hak ulayat dengan sebutan hak
purba yaitu hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah
serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Berangkat dari pengertian tersebut, Imam sudiyat mengemukakan ciri-ciri
hak ulayat sebagai berikut: Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri
beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah
ulayat yang merupakan bagian dari hak ulayat dalam wilayah
kekuasaanya; Orang dari luar persekutuan yang hendak menggunakan
tanah ulayat tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari
persekutuan hukum yang ada; Warga persekutuan hukum dapat
mengambil manfaat dari tanah merupakan bagian dari hak ulayat untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya; Persekutuan hukum bertanggung
jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayah kekuasaanya; Hak
ulayat tidak boleh dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk
selamanya; Hak ulayat meliputi juga hak-hak yang telah digarap oleh
perseorangan.
3. Boedi Harsono (1999:185), mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya, yang merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut ada
yang termasuk ke dalam bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan
dengan hak bersama; dan ada yang termasuk ke dalam bidang hukum
publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan
memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaanya.
Spesifik dan khas, karena meskipun hak ulayat tersebut merupakan hak suatu
komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya
pihak lain di luar komunitas tersebut, untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut
dengan berbagai persyaratan. Artinya meskipun hak ulayat itu eksklusif, tetapi
tidak mengedepankan eksklusivitasnya (Maria Sumardjono, 2007:55).
Pengakuan Hak Ulayat.
Kedudukan Tanah Dalam Hukum Adat Sangat Penting. Ada 2 (dua) hal yang
menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
adat yaitu:
a. Karena Sifatnya. Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
meski mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap
dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih
menguntungkan.
b. Karena Fakta. Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu:
i. merupakan tempat tinggal persekutuan
ii. memberikan penghidupan kepada persekutuan
iii. merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan kepada roh para leluhur persekutuan.
iv. merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal
dunia.
Hak Perseorangan Atas Tanah Harus diperhatikan bahwa hak perseorangan atas
tanah dibatasi oleh hak ulayat sebagai warga persekutuan bagi tiap individu
dalam hal:
a. mengumpulkan hasil-hasil hutan
b. memburu binatang liar
c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar
d. mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
Hak milik atas tanah dari seorang warga persekutuan yang membuka dan
mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah bahwa warga yang mendiami tanah
itu berhak sepenuhnya kan tetapi dengan ketentuan wajib dihormati:
a. hak ulayat desa
b. kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah
c. peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain
masuk dalam tanah pertaniannya selama tanah itu tidak dipagari.
TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH
Setiap subyek hukum baik sebagai pribadi kodrati maupun pribadi hukum, pada
dasarnya mempunyai suatu kewenangan untuk memindahkan haknya atas tanah
kepada fihak lainnya. Oleh sebab itu, maka didalam masyarakat hukum adat
dikenal pula proses pemindahan hak atas lingkungan tanah.
Pengertian jual beli tanah. Menurut hukum adat, maka jual beli tanah adalah
suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai.
Terang berarti, bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di
hadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung
keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan
tersebut diketahui oleh umum. Dengan tunai dimaksudkan bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh
karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara
kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai yang dianggap tunai). Dalam hal
pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar
terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang.
Isi Jual beli tanah. Transaksi jual tanah mungkin mempunyai 3 (tiga) isi (Ter
Haar):
a. Pemindahan hak atas tanah, atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa
bahwa pemindah hak tetap mempunyai hak untuk mendapatkan tanahnya
kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya: antara
lain menggadai..., menjual gade..., adil sende..., ngajual akad atau gade...;
b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk
membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selamanya..., adol plas turun
temurun, pati bogor..., menjual jaja...;
c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai dengan
perjanjian, bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan
hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan..., adol oodan....”).
Menurut hukum adat, maka yang dinamakan sebagai benda lepas atau
benda bergerak adalah benda-benda diluar tanah. Ruang lingkupnya
mencakup:
1. rumah
2. tumbuh-tumbuhan
3. ternak
4. benda-benda lainnya
Pada azasnya setiap warga suatu masyarakat hukum adat tertentu, dapat
mempunyai hak milik atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternak, dan benda-
benda lainnya. Mengenai rumah berlaku azas, bahwa hak milik atas
rumah terpisah dengan hak milik atas tanah, dimana rumah tadi berada.
Azas tersebut hidup di beberapa daerah di Indonesia, kecuali rumah-
rumah batu yang anggap bersifat permanen.
Di daerah Kotabumi, dimana lebih banyak warga masyarakat yang sekaligus
memiliki rumah dan tanahnya, maka apabila ada rumah di atas tanah orang lain,
kedua belah pihak mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, antara lain:
a. Pemilik rumah harus membayar sewa tanah
b. Apabila hendak menjual rumah, maka rumah tersebut harus ditawarkan
terlebih dahulu kepada pemilik tanah.
c. Kalau hendak menjual harus ditawarkan kepada pemilik tanah dan bila
akan diwariskan harus memberitahukan pemilik tanah.
Hukum Hak Immateril. Hukum hak immaterial yang merupakan hak mutlak,
antara lain, mencakup hak atas merek, hak oktroi (octrooi) (keistimewaan yang
dimilik VOC untuk menjalankan perdagangan di Kawasan Hindia Belanda), hak
cipta dan lain sebagainya.
Hukum hak immaterial juga terdapat didalam hukum adat yang antara
lain mencakup hak cipta, gelar dan juga kedudukan-kedudukan tertentu
didalam masyarakat. Hak cipta atas perhiasan perahu di pulau Kei, misalnya,
merupakan hak dari pribadi kodrati yang dikenal sejak dahulu kala. Demikian
pula hak cipta atas hiasan pada kain sarung di Minangkabau, yang masih
berkembang hingga dewasa ini.
Perjanjian berisikan janji-janji yang telah disepakati, yaitu berupa hak dan
kewajiban diantara para pihak yang membuatnya dalam bentuk tertulis maupun
tidak tertulis. Apabila dibuat secara tertulis, maka perjanjian tersebut akan lebih
berfungsi untuk menjamin adanya kepastian hukum.
Perjanjian utang piutang yang dibuat secara lisan atau tidak tertulis
diperbolehkan menurut undang-undang. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yang berisi tentang syarat syahnya suatu perjanjian, tidak ada satupun syarat
yang mengharuskan bahwa perjanjian harus dilakukan secara tertulis.
Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis juga mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya serta tidak menghilangkan segala hak dan
kewajiban dari para pihak yang bersepakat. Hal demikian sesuai dengan “Asas
Pacta Sunservanda”, yaitu asas yang memberlakukan bahwa Perjanjian yang
dibuat secara sah berkonsekuensi yuridis dan berlakunya sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata).
Perjanjian yang dibuat secara lisan tetap sah dan mengikat kedua belah pihak
apabila dilandasi dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak dan
dilaksanakan dengan itikad yang baik. Hal ini sesuai dengan asas hukum dalam
suatu perjanjian “Asas Konsensualitas”, yaitu asas yang memberlakukan bahwa
Perjanjian terjadi ketika ada kesepakatan. Hal ini dapat dilihat dari syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH-Perdata.
Selain asas itu, sesuai juga dengan “Asas Itikad Baik”, yaitu asas yang dalam
pemberlakuannya dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Pengertian
subjektif dimaksud adalah kejujuran pihak terkait dalam melakukan perjanjian,
sedangkan pengertian objektif bahwa perjanjian tidak boleh be
rtentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Pasal 1338
ayat (3) KUH-Perdata). Kebanyakan perjanjian yang dilakukan secara lisan
dilakukan karena adanya kepercayaan di antara kedua belah pihak.
Hal demikian sesuai juga dengan salah satu asas hukum “Asas Kepercayaan”
yaitu suatu perjanjian dilakukan atas dasar saling percaya di antara kedua belah
pihak yang bersepakat untuk saling mengikatkan dirinya. Kelemahan dari suatu
perjanjian yang dilakukan secara lisan adalah apabila debitur wanprestasi dan
menyangkal bahwa tidak pernah adanya perjanjian akan mengalami kesulitan
untuk membuktikan adanya perjanjian utang piutang dengan resiko uangnya
hilang.
Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, dalam bukunya “Berginselen en Stelsel van Het
Adatrecht” hukum perutangan ini meliputi:
1. Hak-hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternak dan benda-benda
lainnya,
2. Perbuatan kredit, tolong-menolong bersama, timbal balik, dan
tolong-menolong khusus,
3. Perkumpulan yang berdasarkan tolong-menolong,
4. Perbuatan kredit perseorangan,
5. Perbuatan yang merugikan penagih hutang,
6. Alat pengikat dan tanda-tanda yang kelihatan.
Perbuatan kredit dapat terjadi antara para warga persekutuan dengan orang luar,
secara bersama-sama atau secara perseorangan. Salah satu perbuatan kredit
yang khas Indonesia ialah tolong menolong atau gotong-royong, yang dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) macam bentuk:
a. Tolong menolong timbal balik (wederkerige hulpbetoon/reciprocal
aid), ialah perbuatan seseorang yang karena kesadarannya
memberikan sesuatu kepada orang lain untuk membalas budi, karena
ia merasa berhutang budi kepada orang lain.
b. Tolong menolong bersama (onderlinge hulpbetoon/mutual
cooperation), ialah perbuatan anggota masyarakat yang bersama-
sama melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Jadi dasarnya
bukan untuk membalas budi atau ingin mendapatkan pembalasan
budi di kemudian hari, melainkan semata-mata demi bakti dan
pengabdian kepada masyarakat atau desanya.
c. Tolong menolong khusus (gespecialiseerd hulpbentoon/
specializedassistance), ialah perbuatan kerjasama antara golongan
masyarakat tertentu saja
Perkumpulan-perkumpulan
PANJER
Fungsi dari panjer ini adalah untuk mengikat kedua belah pihak, dengan akibat:
a. Si penjual harus menjual barang
b. Si pembeli harus menepati janjinya
KREDIT PERSEORANGAN
Hutang atau pinjam uang adalah merupakan perbuatan yang umum dalam
masyarakat indonesia, baik pinjaman yang memakai bunga maupun yang tidak
memakai bunga. Meskipun memungut bunga menurut agama Islam tidak
dibenarkan, tetapi dalam keyakinan banyak orang atau perkumpulan juga
banyak yang melakukan pinjaman dengan bunga. Dalam prakteknya dapat
dilihat hutang itu berwujud hutang barang, hutang makanan dan lain
sebagainya, adapula yang hutang uang dengan perjanjian mengembalikan
dengan natura/berwujud, misalnya hasil bumi, hasil peternakan dan lain
sebagainya.
bersangkutan dan tidak perlu terbatas kepada warga yang melakukan pinjaman
itu saja.
Adat kebiasaan demikian ini karena perkembangan jaman kini tidak dapat
dilihat lagi di hampir seluruh daerah, hanya di daerah pedalaman kalimantan,
Sulawesi atau Papua yang masih terasing oleh hubungan lalu lintas modern saat
ini, kiranya adat tanggung menanggung yang murni masih diketemukan.
Apabila seorang warga persekutuan sering kali memberikan pertanggungan-
pertanggungan yang berat-berat kepada persekutuannya, maka warga
sedemikian ini akhirnya dapat di buang dari persekutuannya. Dalam kehidupan
sehari-hari sering terjadi seorang yang berhutang (debitur) dengan sengaja
melakukan suatu perbuatan yang dapat merugikan orang yang berpiutang
kepadanya (kreditur).
Kempitan
Ini adalah semacam perjanjian dengan komisi yang terdapat di jawa (sekarang
kebiasaan ini kiranya sudah meluas juga ke lain-lain daerah). Dalam perjanjian
ini pemilik barang mempercayakan penjualan barangnya kepada orang lain
dengan ketentuan setelah lampau waktu tertentu, barangnya atau jumlah uang
yang telah di tetapkan sebelumnya, diberikan kepada pemilik barang.
Ngeber
Transaksi ini dijumpai di Jawa Barat serta merupakan transaksi menjualkan
barangnya orang lain dengan ketentuan:
a. Kalau tidak laku dapat dikembalikan kepada pemilik barang.
b. Kalau laku dengan harga yang lebih besar dari pada harga yang
ditetapakan pada penutupan transaksi, maka selisihnya menjadi
haknya orang yang menjualkan barang tersebut.
Makidhang Raga
Makidhang raga yaitu meletakkan ataupun mengikatkan diri sendiri beserta
harta kekayaannya di bawah asuhan orang lain dan orang lain ini wajib
mengurus segala sesuatu setelah ia meninggal dunia, sebagai imbalannya orang
itu berhak mewarisi harta peninggalannya. Dan makidhang raga ini dijumpai di
Bali.
VIII. HUKUM PERJANJIAN
HUKUM PERJANJIAN
Berbeda dengan delik pidana terdapat unsur tambahan yakni perbuatan itu
karena adanya hukum yang dilanggar sekalipun hukum yang dimaksud juga
mengenai norma kesopanan dan kesusilaan.
Ada beberapa macam delik adat yang dijabarkan oleh Hilman Hadikusuma:
1. Delik perbuatan yang menggangu keamanan, misalnya peristiwa
kebakaran, perampokan, pencurian, pembunuhan, penganiayaan.
2. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban masyarakat, misalnya
melakukan penghinaan, menggangu kegiatan ibadah, mengganggu
rumah penduduk, berjudi, mengganggu mayat, memakan makanan
yang diharamkan.
3. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban pemerintahan, misalnya
mengganggu para tetua adat, kesalahan prosedur adat, berkaitan
dengan martabat para pemimpin, pencatatan kependudukan;
4. Delik melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan dan
kesusilaan, misalnya tidak sopan, pelecehan terhadap perempuan,
melakukan perzinahan, berkaitan dengan hal yang tidak boleh
dilakukan kepada istri orang;
5. Delik yang berhubungan dengan perjanjian, misalnya mengenai
ingkar janji, merusak perjanjian, hutang piutang, tentang
menjalankan amanah dan titipan;
6. Delik yang menyangkut tanah termasuk tumbuhan dan hasil hutan,
misalnya mengenai tanah adat, pemanfaatan hutan bersama, hasil
panen.
7. Delik yang menyangkut hewan ternak dan perikanan, misalnya cara
penyembelihan hewan, cara pemeliharaan ternak dan penangkapan
hasil laut maupun sungai;
Hukum Pidana Adat atau hukum pidana yang tidak tertulis dalam bahasa
Belanda dikenal sebagai ongeschreven strafrecht. (E Utrech 7: 1994)
Menurut Soerojo Wignjodipuro diantara bidang hukum adat, hukum pidana adat
adalah bidang hukum adat yang eksistensinya terdesak oleh keberadaan hukum
kolonial.
Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur
agama,ditakuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus,dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Hukum pidana dalam konteks hukum pidana adat yang dipaparkan Ter Haar
menurut konsepsi hukum adat, apabila terjadi perbuatan pelanggaran terhadap
ketentuan norma adat, maka sanksi adat yang pada hakekatnya merupakan
reaksi adat, isinya bukanlah berupa siksaan atau penderitaan (leed) tetapi yang
terutama adalah untuk mengembalikan kosmisch, yang terganggu sebagai akibat
adanya pelanggaran. Seperti halnya Soepomo memberikan pengertian yang
singkat mengenai hukum pidana adat, menurutnya segala perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ilegal dan
hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum
(“rechtsherstei”)
Hukum Pidana Adat memiliki pengertian delik Adat, beberapa delik adat, sifat
hukum delik Adat, cara penyelesaian delik adat, menurut ahli yaitu: pengertian
delik adat berdasarkan penjelasan Hilman Hadikusumah yang dikutip dari Van
Vollenhoven delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Walaupun
pada kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan)
kecil saja. Menurut Ter Haar, delik (pelanggaran) itu ialah setiap gangguan dari
suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud,
berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat),
suatu reaksi adat dan dikarenakan adanya reaksi itu maka keseimbangan harus
dapat dipulihkan kembali / dengan pembayaran uang atau barang.