Anda di halaman 1dari 162

HUKUM ADAT

D. SHAHREIZA SH., MH.

PENGANTAR MATA KULIAH HUKUM ADAT


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA
 HUKUM

 ADAT ISTIADAT / KEARIFAN LOKAL

 HUKUM ADAT

 AZAS – AZAS HUKUM ADAT


HUKUM

Dewi Themis sebagai simbol hukum dan keadilan

“Ubi Societas Ibi Ius” yang diartikan, “Di mana ada masyarakat maka di situ
ada hukum.” Bisa dibilang hukum sangat diperlukan untuk mengatur kehidupan
manusia. -Marcus Tullius Cicero-
“Fiat Justitia Ruat Caelum”, artinya “Hendaklah keadilan ditegakkan,
walaupun langit akan runtuh”. -Lucius Calpurnius Piso Caesoninus- (43 SM).
Hukum itu bersifat dinamis, dalam arti hukum berevolusi dengan mengikuti
perkembangan zaman, bukan sebaliknya.

Terhadap semua peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya


dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan dengan memperhatikan dan memperhitungkan
efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat,
baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis; serta harus berlandaskan
kepada azas kepastian hukum, keadilan hukum dan kemanfaatan hukum.

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah
bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Unsur filosofis diartikan sebagai pertimbangan atau alasan yang


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan
serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan
UUD 1945.

2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis adalah pertimbangan atau alasan yang menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam
berbagai aspek, serta menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.

Unsur/alasan sosiologis dibentuknya peraturan perundang-undangan adalah


menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dalam berbagai aspek.

3. Landasan Yuridis
Pengertian landasan yuridis adalah pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan
hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan
yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin
kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Unsur yuridis adalah menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan
substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk peraturan perundang-
undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain peraturan yang
sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari undang-undang sehingga daya berlakunya
lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya
memang sama sekali belum ada. Kemudian unsur yuridis menggambarkan
bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,
yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan
rasa keadilan masyarakat.

Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis dimuat dalam pokok pikiran pada
konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.

Adapun unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut menjadi pertimbangan


dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan
dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.

INDONESIA adalah Negara Hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat
(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.

Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan,


kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa
berdasarkan landasan hukum.
Secara historis, konsep negara penegakan hukum muncul dalam berbagai
model, antara lain negara hukum menurut agama Islam, negara hukum menurut
konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut
konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara
hukum Pancasila.
Negara hukum yang dimaksud adalah sebuah negara yang dengan tegas mene-
gakkan supremasi hukum untuk kebenaran, keadilan dan tidak ada kekuasaan
yang tidak dipertanggung jawabkan (akuntabel), baik dalam penyelenggaraan
negara maupun kehidupan berbangsa dan bernegara.

Plato dan Aristoteles menafsirkan Negara Hukum adalah negara yang diperin-
tah oleh negara yang adil.
Dalam filsafatnya, keduanya menyinggung angan-angan (cita-cita) manusia
yang berkorespondensi dengan dunia yang mutlak yang disebut:
 Cita-cita untuk mengejar kebenaran (idée der warhead)

 Cita-cita untuk mengejar kesusilaan (idée der zodelijkheid)

 Cita-cita manusia untuk mengejar keindahan (idee der schonheid)

 Cita-cita untuk mengejar keadilan (idée der gorechtigheid)

Plato dan Aristoteles menganut paham filsafat idealisme.

Menurut Aristoteles, keadilan dapat berupa komunikatif (menjalankan keadi-


lan) dan distribusi (memberikan keadilan).

Menurut Plato yang kemudian dilanjutkan oleh Aristoteles, bahwa hukum


yang diharapkan adalah hukum yang adil dan dapat memberikan kesejahteraan
bagi masyarakat, hukum yang bukan merupakan paksaan dari penguasa
melainkan sesuai dengan kehendak warga Negara, dan untuk mengatur hukum
itu dibutuhkan konstitusi yang memuat aturan-aturan dalam hidup bernegara.
Pengertian negara hukum secara sederhana adalah negara yang penyelenggaraan
kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.

Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan


kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk menjalankan keterti-
ban hukum. Pancasila dan UUD 1945 lah yang menjadi orientasi pembangunan
hukum yang mengarah kepada cita-cita negara hukum, yang sesuai dengan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip negara demokrasi yang konstitusional.

Negara yang berdasarkan hukum dimaksud dikembangkan dan dipakai


bukanlah rechtsstaat absolute (negara berdasarkan hukum yang absolut),
melainkan rechtsstaat democratic (negara berdasarkan hukum yang
demokratis).

Oleh karena itu konsekuensinya adalah setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat
negara dan penduduk di sebuah negara harus berdasarkan dan sesuai dengan
hukum yang dipakai negara tersebut. Ketentuan ini sekaligus diartikan untuk
mencegah supaya tidak terjadi kesewanang-wenangan dan arogansi kekuasaan
baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.
Satjipto Rahardjo, 2003 “hukum itu diciptakan bukan semata-mata untuk
mengatur, akan tetapi lebih dari itu, untuk mencapai tujuan luhur yakni
keadilan, kebahagian dan kesejahteraan”.

Secara umum, setiap negara yang yang menganut paham yang berda-
sarkan hukum selalu bertumpu, dan mengindahkan prinsip-prinsip
supremasi hukum (supremasi of law), persamaan dimata hukum (equality
before of law), dan penegakan hukum yang tidak bertentangan dengan
hukum (due process of law). Prinsip ini sangat erat kaitannya dalam hal
pencapaian tujuan negara hukum yang demi menegakkan kebenaran dan
keadilan.

Negara yang menganut dan berdasarkan hukum pada dasarnya bertujuan


supaya mampu melindungi segenap komponen bangsa dan memberikan
kebenaran dan kepastian bagi seluruh masyarakat pencari keadilan
karena hukum tertinggi adalah kesejahteraan bagi rakyatnya (salus populy
suprema lex).

Kendatipun demikian tujuan hukum untuk kesejahteraan masyarakat hanya akan


tercapai, apabila struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum dan kondisi
sosio kultural masing -masing memberikan andil yang positif dan efektif.

Pentingnya hukum dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat dimaksudkan


supaya mampu menjaga perdamaian dan keamanan agar terhindar dari konflik
sesama anggota masyarakat.

Menurut Thomas Hobbes “homo homini lupus”, artinya tanpa hukum manusia
yang satu bagaikan serigala bagi manusia lainnya. Namun, kalau kita melihat
realita yang ada, dewasa ini tujuan negara hukum yang sudah diadopsi ke dalam
UUD 1945 pasal 1 (3), sangat jauh dari yang kita harapkan.

Hukum disinyalir benar-benar ada dalam titik ketidak berdayaan melawan


keangkuhan sosial dan dominasi politik.

Akibatnya hukum hanya dianggap sebagai alat kepentingan terlebih sebagai alat
kekuasaan. Perilaku publik juga sangat tidak merefleksikan nilai-nilai hukum itu
secara tepat yang kemudian berimbas kepada kejahatan yang hari ke hari
semakin meningkat.
Tidak salah jika dasar negara kita sekarang ini bukan berdasarkan hukum
(rechtsstaat) melainkan berdasarkan kekuasaan (machsstaat). Hanya orang-
orang yang berkuasa yang saat ini yang mempunyai kekuatan penuh di
Indonesia.

Kondisi ini semakin di perparah dengan banyaknya kejadian-kejadian yang me-


libatkan aparat penegak hukum seperti tindakan arogan dan perilaku-perilaku
yang mencerminkan kewibawaan seorang pengayom.

Hukum juga disinyalir tajam ke bawah dan kemudian tumpul ke atas, yang pada
akhirnya orang-orang yang berkuasa sesuka hatinya saja untuk membeli dan
mempermainkan hukum itu sendiri.

Kejadian-kejadian ini bisa saja kita cegah dan perbaiki, jika negara Indonesia
benar benar mampu mengindahkan prinsip-prinsip supremasi hukum dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penegakan hukum yang memprioritaskan prisnsip equality before the law


(persamaan dimata hukum) juga sangat mutlak diperlukan guna mengantisipasi
terjadinya penyelewengan kekuasaan yang berujung tindakan arogan penguasa.

Menurut Aristoteles, negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin


keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada
keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi
warga negara yang baik. Dalam negara yang memerintah bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya
hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.

Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa


Kontinental, banyak dipengaruhi oleh sejarah perkembangan Eropa saat mulai
sistem itu dikembangkan yaitu “absolutisme raja”. Negara harus menjadi
negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong
perkembangan pada zaman baru. Negara harus menentukan secermat-cermatnya
jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana)
kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau
memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih
jauh dari seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum,
bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja
tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan.
Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada negara,
melainkan hanya cara-cara dan untuk mewujudkannya.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas,
yaitu sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut


yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).

Kepastian Hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-


undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas
dan logis, maka tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir
sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma
yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat
berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma. Menurut Hans
Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan
aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum. Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian;
pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang
boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Sifat umum
dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian hukum.

Keadilan Hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti
dengan penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang
memperoleh bagian yang sama. Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara
harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi
yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai
jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat
keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap
orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Dalam
pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan
bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai
keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban”. Namun harus juga
diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan
membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi
terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu,
perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif.
Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib
untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural,
misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan penegakan hukum
acara perdata (prosedural). Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence
M. Wantu mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka
hukum (equality before the law).”

Kemanfaatan Hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian
hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan,
seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya,
dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah
melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan
hukuman kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati
dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman mati itulah yang
dijatuhkan. Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan
untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling
tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir
di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk
mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang
disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya
hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah
untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun
jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku,
hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat
hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak
hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan
pada hukum dan aturan itu sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan
karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan
penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan
keresahan masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita
cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang
aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa: keadilan memang
salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti
kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat
dengan pengorbanan harus proporsional.

Dalam ilmu hukum terdapat asas yang menganggap semua orang tanpa
terkecuali mengetahui hukum yang dikenal sebagai Asas Fictie Hukum
atau Fiksi Hukum. Fiksi Hukum adalah asas yang menganggap semua
orang tahu hukum (presumptio iures de iure) tanpa terkecuali. Dalam
bahasa Latin dikenal pula adagium ignorantia jurist non excusat, ketidaktahuan
hukum tidak bisa dimaafkan. Seseorang tidak bisa mengelak dari jeratan hukum
dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan
perundang-undangan tertentu.

Yang menjadi pertanyaan, kapan seseorang dianggap telah mengetahui adanya


suatu hukum dan peraturan perundang-undangan?

Berlakunya asas Fiksi Hukum adalah ketika syarat-syarat mutlak penerbitan


peraturan perundang-undangan tersebut telah dipenuhi, sebagai contoh untuk
berlakunya Undang-Undang (UU) adalah ketika diundangkan dalam Lembaran
Negara (LN) oleh Menteri / Sekretaris Negara. Tanggal mulai berlakunya suatu
UU adalah berdasarkan tanggal yang ditentukan dalam UU itu sendiri. Jika
tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam UU, maka UU itu mulai berlaku
30 hari sesudah diundangkan dalam LN untuk Jawa dan Madura, dan untuk
daerah daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dalam LN.
Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka setiap masyarakat sudah dianggap
mengetahui peraturan atau undang-undang tersebut.

Fiksi Hukum diatur lebih lanjut dalam Putusan MA No. 645K/Sip/1970


dan Putusan MK No. 001/PUU-V/2007 keduanya memuat prinsip yang
sama yaitu “ketidaktahuan seseorang akan undang-undang tidak dapat
dijadikan alasan pemaaf” serta Putusan MA No. 77 K/Kr/1961 yang
menegaskan “tiap-tiap orang dianggap mengetahui undang-undang setelah
undang-undang itu diundangkan dalam lembaran negara”.

Beberapa ilustrasi yang berkaitan dengan asas Fiksi Hukum dalam kehidupan
sehari-hari adalah sebagai berikut:
1. Seorang pengendara motor diberhentikan dan dikenakan sanksi oleh
polisi di tengah perjalanan menuju kantornya karena tidak menyalakan
lampu utama pada siang hari. Pengendara tersebut mengaku tidak
mengetahui adanya peraturan yang mewajibkan menyalakan lampu utama
pada siang hari. Dengan mendasari pada Fiksi Hukum, tentu saja
pengendara motor tersebut tetap dikenakan sanksi karena tidak
menyalakan lampu utama pada siang hari yaitu pidana kurungan paling
lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) berdasarkan Pasal 293 ayat (2) Undang-Undang No.
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ).
2. Kasus pencemaran nama baik melalui media sosial dengan memberikan
komentar “Comment” pada unggahan seseorang yang mengandung unsur
pencemaran nama baik dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling
lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah) berdasarkan Pasal 27 ayat 3 Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE).
3. Dll,

Melalui penjelasan diatas, ada baiknya bagi setiap masyarakat untuk


mengetahui peraturan-peraturan dasar yang berlaku dan berkaitan secara
langsung dalam kehidupan sehari-hari guna mencegah terjadinya suatu
pelanggaran terhadap peraturan karena ketidaktahuan. Perkembangan teknologi
dapat digunakan dan dimanfaatkan untuk memperluas pengetahuan terhadap
hukum. Sebagai contoh dalam laman resmi sejumlah instansi pembuat peraturan
telah menyajikan peraturan-peraturan terbaru sehingga dapat diakses lebih cepat
dan lebih jelas oleh masyarakat.
ADAT / ISTIADAT

Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang heterogen, yang masing-


masingnya memiliki tradisi, budaya, serta kebiasaan yang berbeda di setiap
daerahnya. Tak heran jika negara tercinta kita ini memiliki beragam adat
istiadat.
Adat yang berbeda tersebut mencakup norma dan nilai yang mesti dijunjung
tinggi masyarakatnya dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai yang dimaksud,
misalnya, sosial, agama, budaya, dan lain sebagainya.

Adat/Istiadat adalah kebiasaan suatu masyarakat yang bersifat ajeg


(dilakukan secara terus menerus), dipertahankan oleh para
pendukungnya. Kebiasaan merupakan cerminan suatu bangsa (volkgeist)
sebagai jelmaan jiwa bangsa itu sendiri yang secara terus menerus
berkembang secara evolusi dari abad ke abad. Perkembangannya itu ada
yang cepat dan ada yang lambat. Didalamnya terdapat nilai-nilai yang
menjadi dasarnya yang menjadi pedoman bagi mereka untuk merubah,
memperbaharui, atau menghilangkan sesuatu bagian dari kebiasaan yang
dianggap tidak fungsional lagi.

Menurut KBBI, adat istiadat ialah tata kelakuan yang turun-temurun dan kekal
dari generasi satu ke generasi lainnya sebagai warisan, sehingga integrasinya
kuat terkait dengan pola perilaku masyarakat.

Adapun secara etimologi, kata adat berasal dari bahasa Arab, adah, yang berarti
kebiasaan atau cara. Jadi, dapat diartikan bahwa adat ialah perbuatan yang
berulang sehingga menjadi kebiasaan yang mesti dipatuhi masyarakat pada
suatu lingkungan.

Pengertian Adat Istiadat Menurut Para Ahli (terminologi)

Raden Soepomo
Adat istiadat diartikan sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis atau
hukum adat. Di badan hukum negara, hukum ini berlaku sebagai konvensi dan
hidup pun menjadi peraturan dengan kebiasaan pada kehidupan di desa dan
kota.

Jalaludi Tunsam
Menurut Jalaludi Tunsam, adat istiadat yang berasal dari kata adah artinya cara
atau kebiasaan, istilah ini juga merujuk pada suatu gagasan yang di dalamnya
terkandung nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, dan hukum suatu daerah.
Terdapat pula sanksi tertulis maupun tak tertulis jika hukum adat tersebut tidak
dipatuhi.

Notopura Harjito
Harjito menyebut bahwa hukum adat ialah hukum yang tidak tertulis. Bagi
masyarakat, adat isitiadat ini merupakan pedoman hidup untuk mencapai
kesejahteraan dan keadilan.

Soekanto
Ikatan kuat dan pengaruh dalam masyarakat dimiliki oleh adat istiadat. Adapun
ikatan ini bergantung dan mendukung kebiasaan dalam masyarakat.

Prof. Kusumadi Pudjosewojo


Mengatakan bahwa adat adalah tingkah laku yang oleh masyarakat diadatkan.
Adat ini ada yang tebal dan ada yang tipis dan senantiasa menebal dan menipis.
Aturan-aturan tingkah laku didalam masyarakat ini adalah aturan adat dan
bukan merupakan aturan hukum.

Dengan demikian, adat istiadat pada dasarnya adalah perilaku budaya atau
aturan yang telah diusahakan untuk diterapkan dalam suatu lingkungan
masyarakat. Disebut dengan nama demikian karena suatu aturan yang
berlaku dengan pasti dan mantap, mencakup berbagai konsekuensi yang
mengatur perbuatan atau tindakan manusia dalam kehidupan sosialnya.

Unsur-Unsur Adat Istiadat


 Adanya tingkah laku seseorang
 Dilakukan terus menerus
 Adanya dimensi waktu
 Diikuti oleh orang lain
Adapun beberapa unsur lain seperti yang diungkapkan Koentjaraningrat yang
membagi adat istiadat menjadi 4 (empat) bagian khusus, yakni sebagai
berikut:
1. Norma-norma. Nilai budaya terkait peranan seseorang dalam lingkungan
dan kehidupannya merupakan arti dari sistem norma. Setiap orang punya
peran dalam nilai dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Nilai-nilai budaya. Diartikan sebagai pandangan bersama yang
diwujudkan dalam kebiasaan secara turun-temurun. Di Tanah Air, ciri
khas kerja sama antar masyarakat adalah gotong royong.
3. Hukum. Tentunya, kita cukup tahu tentang hukum. Dalam kehidupan
bermasyarakat, sistem hukum cukup jelas karena merupakan seperangkat
aturan yang dapat dilihat secara nyata. Adapun sistem ini telah diterapkan
dalam kehidupan masyarakat sejak dulu demi menciptakan suasana yang
tertib.
4. Aturan Khusus. Ini merupakan aturan yang mengatur aktivitas dengan
sangat terbatas dan jelas dalam ruang lingkup kehidupan bermasyarakat.

Kearifan Lokal: Pengertian, Ciri-Ciri, Fungsi, Hingga Jenisnya

Setiap negara di dunia itu memiliki keunikannya tersendiri, termasuk juga


negara Indonesia. Negara kita begitu unik, saking uniknya kalau ada nominasi
untuk negara yang paling unik, maka Indonesia pasti masuk sebagai salah satu
nominasinya, bahkan, mungkin keluar sebagai juaranya. Ada lebih dari 300
(tiga ratus) kelompok etnik di Indonesia. Keunikan Indonesia sendiri berasal
dari adat istiadat, tradisi, dan kearifan lokal yang ada di Indonesia. Bukan hanya
satu, setiap daerah bahkan memiliki kearifan lokalnya masing-masing.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, sama seperti kebanyakan adat, tradisi,
dan budaya, kearifan lokal yang ada di berbagai daerah semakin banyak yang
tergerus zaman. Alih-alih mempertahankan kearifan lokal yang sudah turun-
temurun dari nenek moyang, banyak anak muda yang menggantinya dengan
pandangan-pandangan dari luar yang justru belum tentu ada benarnya atau
bahkan hanya akan merusak kearifan lokal yang sudah ada.

Makna kearifan lokal atau pengertian dari kearifan lokal, pada dasarnya,
suatu hal yang sudah ada di suatu wilayah sejak lama dan dilanjutkan dari
generasi ke generasi. Pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah
tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal. Pandangan
hidup ini biasanya adalah pandangan hidup yang sudah berurat dan
berakar menjadi kepercayaan orang-orang di wilayah tersebut selama
puluhan bahkan ratusan tahun.

Untuk mempertahankan kearifan lokal tersebut, para orang tua dari generasi
sebelumnya, dan lebih tua akan mewariskannya kepada anak-anak mereka dan
begitu seterusnya. Mengingat kearifan lokal adalah pemikiran yang sudah lama
dan berusia puluhan tahun, maka kearifan lokal yang ada pada suatu daerah jadi
begitu melekat dan sulit untuk dipisahkan dari masyarakat yang hidup di
wilayah tersebut. Mirisnya, meski banyak orang tua tetap berusaha mewariskan
kearifan lokal dan pandangan hidup yang mereka dapatkan dari nenek moyang,
tetapi banyak anak muda justru menganggap kearifan lokal dan pandangan
hidup tradisional yang sudah turun-temurun dari nenek moyang adalah
pandangan dan pemikiran kuno yang sudah tidak lagi relevan dengan zaman
modern saat ini. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, segala sesuatu yang termasuk
pandangan hidup yang masih tradisional tidak selamanya buruk dan tidak
selamanya juga merupakan pandangan yang salah. Bahkan, bisa berlaku
sebaliknya, karena kearifan lokal yang dipertahankanlah yang membuat suatu
masyarakat jadi begitu unik dan berbeda dari masyarakat yang tinggal di
wilayah lain.
Dengan mempelajari dan memahami tentang kearifan lokal, maka tatanan
sosial dan alam sekitar agar tetap lestari dan terjaga. Selain itu, kearifan
lokal juga merupakan bentuk kekayaan budaya yang harus digenggam
teguh, terutama oleh generasi muda untuk melawan arus globalisasi.
Dengan begitu karakteristik dari masyarakat daerah setempat tidak akan
pernah luntur. Apalagi, kearifan lokal berasal dari nenek moyang kita,
yang jelas lebih mengerti segala sesuatunya terutama yang berkaitan
dengan wilayah tersebut. Selain itu, ada kebijaksanaan dan juga hal baik
dalam kearifan lokal tersebut, tetapi terkadang sulit dimengerti oleh anak
muda dari generasi sekarang. Sebaliknya, pandangan yang terlalu modern
memiliki potensi yang lebih merusak terutama merusak kearifan lokal
yang sudah ada. Bahkan, tak menutup kemungkinan akan merusak
kebudayaan yang sudah ada, juga merusak alam sekitar.

Berikut adalah beberapa contoh seputar Adat Istiadat / Kearifan Lokal, antara
lain daerah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Papua.

Adat Istiadat Jawa

Di Jawa, masyarakatnya identik dengan sikap memegang teguh adat istiadat


dari warisan nenek moyang mereka. Masyarakat Jawa pun punya berbagai
tradisi dan adat, mulai dari pernikahan, kehamilan, sampai kematian, mereka
masih melestarikannya.

Berikut beberapa contoh adat istiadat asal Jawa untuk diketahui:

1. Sekaten
Sekaten adalah upacara yang diselenggarakan untuk memperingati Maulid Nabi
Muhammad SAW. Dalam setiap tahun, upacara ini dilakukan di Alun-Alun
Utara Kraton Yogyakarta dan dihadiri oleh ribuan warga, bahkan wisatawan. Di
sana, Keraton akan melakukan iring-iringan atau pawai gunungan hasil bumi
masyarakat sekitar yang diarak oleh abdi dalem serta prajurit Kraton.

2. Pernikahan
Kita tahu bahwa bagi masyarakat Jawa, pernikahan memang dianggap sangat
sakral dengan adatnya yang cukup rumit. Saat ini, banyak masyarakat yang
telah meninggalkan tradisi ini untuk berbagai alasan.

Pada malam sebelum akad, pengantin perlu melakukan midodareni dan siraman.
Tak hanya itu, ada pula adat serah-serahan, yakni ketika calon pengantin pria
memberi pengantin wanitanya barang-barang. Setelah prosesi akad, ada pula
tradisi balangan suruh atau melempar daun sirih, panggih atau pertemuan dua
mempelai, dan dhahar klimah atau saling menyuap, serta sungkeman.

Adat Istiadat Sumatera

Sebagai salah satu pulau terbesar di Indonesia, Sumatera juga menyimpan


berbagai adat istiadat yang masih sangat dijunjung oleh masyarakatnya.
Sumatera terdiri dari beberapa Provinsi yang memiliki beragam tradisi,
misalnya Sumatera Utara dengan adat istiadat yang berbeda dari Provinsi Aceh,
dan berbeda pula dengan Provinsi Sumatera Selatan.

Berikut beberapa contoh adat istiadat Sumatera:

1. Mangongkal Holi (Sumatera Utara)


Masyarakat Batak hingga saat ini masih melestarikan adat Mangongkal Holi.
Tradisi ini sendiri ialah suatu upacara untuk menggali kuburan lama dan
kemudian mengambil tulang-belulang mayat untuk dipindahkan ke kuburan
baru. Masyarakat Batak percaya bahwa orang yang telah meninggal bukan
berarti benar-benar tiada. Diyakini, mereka melangkah pada suatu proses yang
lebih sempurna, yakni alam abadi. Bahkan, para arwah juga diyakini bisa
berkumpul dengan anggota keluarga lain yang telah meninggal. Adat istiadat
Mangongkal Holi dilakukan secara turun-temurun, dan terkadang disertai
pembuatan Tugu Marga.

2. Nganggung (Bangka Belitung)


Adat istiadat asal Provinsi Bangka Belitung ini dilaksanakan demi
memperingati hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Isra’ Mi’raj, sampai
menyambut tamu penting. Warga masyarakat dalam adat ini harus membawa
dulang berisi makanan ke masjid. Sebelum menyantapnya, isi dulang didoakan
terlebih dahulu oleh tokoh agama setempat.

Adat Istiadat Kalimantan

Tak hanya pulau Jawa dan Sumatera, Kalimantan yang menyimpan berbagai
kekayaan budaya tentunya juga memiliki adat istiadat tersendiri yang masih
dilestarikan oleh masyarakatnya. Terdiri dari beberapa provinsi memungkinkan
Kalimantan untuk memiliki berbagai tradisi dan adat istiadat. Tak hanya berupa
upacara adat, kekayaan budaya ini juga mencakup bahasa, pakaian adat,
makanan khas, tarian, musik, dan sebagainya.

Berikut ialah beberapa contoh adat istiadat asal Kalimantan:

1. Maccera Tasi
Tradisi yang satu ini masih dipertahankan oleh masyarakat Kalimantan hingga
kini. Berupa upacara, tradisi Maccera Tasi melibatkan prosesi penyembelihan
hewan kurban, seperti kerbau, kambing, atau ayam di laut. Adapun darah dari
hewan-hewan tersebut dibuang ke laut agar menjadi simbol pemberian darah
untuk kehidupan laut. Adat istiadat ini dilakukan bertujuan untuk mendapatkan
hasil laut yang melimpah.

2. Mandi Tian Mandaring


Untuk memperingati 7 bulan kehamilan seseorang, dilakukan upacara Mandi
Tian Mandaring ini. Tradisi yang menyerupai Mitoni bagi masyarakat Jawa ini
memerlukan pagar mayang yang dibuat dari batang tebu yang diikat. Di dalam
pagar, ditempatkan air mayang, air bunga, keramas asam kamal, dan
sebagainya.

Adat Istiadat Sulawesi

Sulawesi adalah salah satu pulau Indonesia yang mencakup berbagai suku. Tak
heran, di dalamnya terdapat bermacam adat, kebudayaan, sampai tradisi yang
dipatuhi masyarakatnya. Di antaranya, terdapat beberapa tradisi terkait agama
Islam.

Berikut contoh adat istiadat Sulawesi:

1. Mappalili
Tradisi berupa upacara adat yang disebut Mappalili ini biasanya
diselenggarakan untuk mengawali musim tanam padi. Dipimpin oleh pendeta
Bugis kuno yang disebut sebagai Bissu, ritual ini dilakukan dengan
berkumpulnya Puang Matoa di rumah arajang, tempat penyimpanan bajak
sawah pusaka. Bissu Puang Matoa yang mengenakan kemeja bergaris
dipadukan dengan sarung putih polos di sana pun akan memimpin acara.

2. Adat Kehamilan
Tentunya, masa kehamilan seseorang sangat memerlukan perhatian khusus,
terlebih bagi masyarakat Bugis. Saat awal kehamilan sampai masuk bulan
keempat disebut masyarakat sekitar sebagai angngerang. Di masa ini, keluarga
kedua belah pihak mesti memenuhi keinginan calon ibu, terutama bila berupa
makanan. Usai memasuki 7 bulan, perlu diadakan upacara anynyapu battang di
mana kedua keluarga menyiapkan bermacam makanan dengan makna simbol-
simbol tertentu. Adapun dalam upacara ini, calon ibu dan ayah bakal
dimandikan dan berpakaian adat lalu bersanding. Mereka pun akan dikerumuni
oleh keluarganya dan memilih makanan tertentu.

Adat Istiadat Bali

Tak hanya masyarakat Indonesia, Bali sudah dikenal secara luas, bahkan hampir
secara universal. Pulau yang juga dijuluki sebagai Pulau Dewata ini masih
kental akan tradisi meski sudah dikunjungi bermacam-macam orang.
Masyarakatnya konsisten melestarikan adat mereka secara turun-temurun. Di
Bali, bahkan kekayaan adat istiadat dan budayanya jadi salah satu daya tarik
bagi wisatawan dalam maupun luar negeri untuk menyaksikannya secara
langsung.
Secara geografis, Bali memanglah kecil. Meski begitu, kekayaan budaya yang
dimilikinya tak pernah kalah dengan daerah lain yang ada di Indonesia. Sebagai
pulau idaman banyak orang, Bali pun punya tradisi yang sangat terkenal sampai
ke berbagai penjuru dunia. Misalnya, tradisi ngaben alias bakar mayat yang
selalu ramai oleh pengunjung.

Berikut beberapa contoh adat istiadat Bali yang perlu diketahui:

1. Ngaben
Seperti yang kita tahu, ngaben merupakan upacara bakar jenazah yang telah
menjadi warisan leluhur dan telah dilakukan masyarakat Bali sejak ratusan
tahun silam. Masyarakat Bali yang beragama Hindu percaya, roh leluhur akan
menjadi suci dan beristirahat dengan tenang dengan membakar jenazah. Secara
finansial, upacara ini memerlukan biaya yang relatif besar. Sebab, melibatkan
banyak orang dan perlu adanya panggung pembakaran. Karena itulah, bagi
masyarakat yang kurang mampu, biasanya menunggu beberapa waktu untuk
bias melaksanakan ngaben bersamaan. Dengan begitu, biaya upacara ini akan
terasa lebih ringan karena digabung antara beberapa keluarga.

2. Omed-Omedan
Tradisi Omed-Omedan terbilang cukup unik. Warga bali mengadakan upacara
Omed-Omedan, yakni para pemuda-pemudi berusia 18-30 tahun akan
berhadapan, setelah merayakan Nyepi. Dalam upacara ini, mereka akan diguyur
air, bertarung, lalu saling berciuman untuk mengakhirinya. Sudah ada sejak
puluhan tahun lalu, tradisi ini masih dilestarikan hingga sekarang.

Adat Istiadat Papua

Wilayah paling timur Indonesia ini menyimpan ragam budaya yang sangat
menarik untuk dilewatkan. Sangat terkenal akan suku Dani yang punya adat
istiadat cukup unik, hal ini justru bisa menambah keunikan budaya di Indonesia.

Berikut beberapa contoh adat istiadat Papua yang perlu diketahui:

1. Pesta Batu Bakar


Salah satu perayaan yang dilakukan oleh suku Dani ialah pesta batu bakar. Pesta
ini dilakukan untuk merayakan pernikahan, kelahiran, sampai kemenangan atas
perang. Dalam pesta batu bakar, masyarakat akan memasak berbagai jenis
makanan, mulai dari umbi-umbian, sampai babi untuk dikonsumsi bersama-
sama. Adapun, bahan makanan tersebut akan dimasukkan ke dalam lubang
berisi batu dan dedaunan. Nantinya, makanan akan dibagikan ke semua
penduduk desa. Saat memulai prosesnya, suku Dani akan menyalakan api
dengan menggosok batu hingga timbul percikan api;cara tradisional.

2. Tradisi Mumi
Sebagai contoh terakhir, ada pula tradisi mumi yang dilakukan seperti namanya:
mengawetkan mayat. Hal ini menjadi kebiasaan Suku Dani. Yang berbeda ialah
bahwa mereka tak membalut mayat, tetapi menjemurnya untuk kemudian
disimpan di dalam gua. disimpan di dalam gua. Salah satu mumi tertua dari
tradisi ini berusia sekitar 300 tahun, yang diletakkan di rumah dan kadang
dikeluarkan saat wisatawan tertarik untuk melihatnya.

Ciri-Ciri Kearifan Lokal

Setelah membahas soal pengertian mengenai kearifan lokal dan mengetahui


bahwa kearifan lokal adalah pandangan hidup suatu masyarakat di wilayah
tertentu mengenai lingkungan alam tempat mereka tinggal, sekarang kita akan
membahas tentang ciri-ciri dari kearifan lokal. Berikut penjelasan lengkapnya!

1. Bertahan dari Gempuran Budaya Asing


Setiap negara, daerah, atau wilayah memiliki adat budayanya masing-masing.
Berbeda dengan negara kita yang masih mempertahankan budaya dan adat
istiadat, kebanyakan orang-orang dari negara asing di luar sana sudah
melupakan adat dan istiadat nenek moyang mereka. Mereka lebih suka dengan
kehidupan bebas yang dianggap modern tanpa terikat dengan petuah-petuah
apalagi adat lama yang dianggap ketinggalan zaman. Tidak hanya itu, seiring
berjalannya waktu, budaya asing juga mulai merambah ke berbagai wilayah di
Indonesia. Sebaliknya, Indonesia memiliki banyak kearifan lokal yang juga
mengandung nilai-nilai budaya yang sangat kuat. Mengingat usia dari nilai-nilai
budaya ini sudah mencapai puluhan atau ratusan tahun, nilai-nilai budaya pada
kearifan lokal ini sangat dipercaya oleh masyarakat setempat. Kepercayaan
yang kuat inilah yang membuat budaya asing tidak bisa dengan mudah masuk
dan mempengaruhi masyarakat. Dengan begitu, karakteristik masyarakat dari
suatu daerah akan tetap terjaga dengan baik.

2. Memiliki Kemampuan Mengakomodasi Budaya yang Berasal dari Luar


Menghindari budaya asing yang masuk ke Indonesia bukan hal yang mudah
untuk dilakukan. Apalagi, di era globalisasi seperti sekarang, dimana segalanya
bisa terhubung dengan mudah dan cepat. Budaya atau tren dari luar biasanya
menyebar cepat melalui YouTube, televisi, dan media sosial. Karena
keberadaan teknologi inilah yang membuat budaya asing bisa dengan mudah
memasuki Indonesia. Namun disisi lain berbeda dengan budaya luar, kearifan
lokal memiliki fleksibilitas yang cukup tinggi, sehingga bisa diakomodir dengan
mudah tanpa harus merusak kepercayaan kearifan lokal yang sudah ada
sebelumnya. Alhasil kalaupun ada budaya asing yang masuk, budaya asing ini
hanya akan jadi tren sesaat dan bukannya menggantikan budaya warisan nenek
moyang yang sudah ada. Apalagi sampai merusak kepercayaan yang sudah
berusia puluhan hingga ratusan tahun.

3. Mampu Mengintegrasikan Budaya Asing ke Dalam Budaya Asli di Indonesia


Ciri kearifan lokal lainnya adalah kearifan lokal memiliki kemampuan bukan
hanya untuk mengakomodasi, tetapi juga mengintegrasikan budaya asing yang
masuk dan memadukannya dengan budaya yang sudah ada dengan baik.
Salah satu video Wonderful Indonesia yang sempat viral beberapa bulan yang
lalu misalnya. Video tersebut pada dasarnya berisi tentang berbagai kebudayaan
tradisional Indonesia. Namun, kemudian dicampur dengan beberapa hal
bernuansa modern dan asing seperti musim EDM. Hasilnya? Video itu terlihat
sangat indah dan disukai banyak orang, baik itu orang asing maupun lokal.
Contoh lainnya adalah pembangunan sebuah gedung di Indonesia. Tidak jarang
arsiteknya memadukan budaya lokal dengan mencontek desain bangunan
tradisional di Indonesia, kemudian memadukannya dengan arsitektur modern.
Masjid Raya Sumatera Barat yang ada di jantung kota Padang misalnya,
bangunannya meniru arsitektur khas Minangkabau, sedangkan atap masjid
justru dibuat seperti rumah Gadang yang menjadi rumah tradisional dari
Provinsi Sumatera Barat. Meskipun begitu, tetap terlihat lebih modern.

4. Mampu Mengendalikan Budaya Asing yang Masuk


Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, budaya asing bukanlah sesuatu yang
bisa ditolak dengan mudah. Namun disisi lain, kearifan lokal yang menjadi adat
dan budaya asli juga mengakar begitu kuat, sehingga akan sulit untuk
menghilangkannya dari masyarakat. Alih-alih hilang dan digantikan oleh
budaya asing, kepercayaan terhadap kearifan lokal yang lebih kuat, sehingga
membuat kita justru mampu mengendalikan budaya asing yang masuk. Bukan
hanya itu, kita juga bisa dengan mudah menyaring budaya asing yang masuk.
Dengan kata lain, kita menentukan mana budaya asing yang bisa diterima di
Indonesia, dan mana budaya asing yang memiliki nilai buruk.

5. Memberi Arah pada Perkembangan Budaya di Masyarakat


Kearifan lokal yang sudah dipercaya oleh masyarakat sejak lama mau tidak mau
juga akan mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana
tidak, kearifan lokal yang sudah berusia puluhan tahun pada akhirnya akan
menjadi kepercayaan atau pedoman yang dianut oleh masyarakat setempat.
Alhasil, ketika terjadi sesuatu pun, masyarakat akan menjadikan kearifan lokal
sebagai patokan sebelum mengambil sikap atau tindakan tertentu. Kebiasaan ini
juga membuat masyarakat di wilayah tertentu dapat mengembangkan budaya
yang sudah ada menjadi lebih terarah dari sebelumnya. Dengan kata lain,
kearifan lokal memiliki ciri berupa dapat memberikan arah bagi masyarakat
setempat.

Fungsi dari Kearifan Lokal bagi Masyarakat

Kearifan lokal yang ada mungkin memiliki sifat yang sangat tradisional, tetapi
keberadaan kearifan lokal sangatlah penting bagi masyarakat setempat. Hal ini
dikarenakan, kearifan lokal bukan hanya bisa dijadikan pedoman dalam
bertindak maupun bersikap, tetapi juga memiliki fungsi tertentu. Berikut fungsi
dari kearifan lokal bagi masyarakat!

1. Konservasi Pelestarian Sumber Daya Alam yang Ada


Kearifan lokal memiliki cakupan yang cukup luas. Bukan hanya adat istiadat,
kearifan lokal juga merupakan pandangan hidup masyarakat mengenai sumber
daya alam yang ada di wilayah mereka. Kearifan lokal yang ada membuat
masyarakat lebih sadar mengenai pentingnya sumber daya alam yang ada
disekitar mereka. Alih-alih merusak, kearifan lokal justru membantu untuk
mendorong masyarakat di wilayah tertentu untuk melakukan konservasi agar
alam tempat mereka tinggal tetap terjaga dan tidak mengalami kerusakan.
Misalnya, nelayan Aceh yang memiliki hari-hari yang pantang dipakai untuk
melaut, seperti hari Jumat atau hari raya Idul Fitri. Selain dua hari tersebut, ada
beberapa hari lainnya yang juga ditetapkan sebagai hari terlarang untuk melaut.
Hal ini dilakukan agar ikan memiliki kesempatan untuk berkembang biak
dengan maksimal. Selain itu, masyarakat yang bekerja sebagai nelayan juga
dilarang untuk menangkap ikan dengan pukat harimau atau bom yang dapat
merusak terumbu karang dan mengganggu ekosistem di lautan.

2. Menjadi Petuah, Kepercayaan, dan Pantangan


Orang-orang tua kita di masa lalu, tentu ingin yang terbaik untuk kehidupan
anak cucunya kelak. Sayangnya, mereka tidak bisa hidup selamanya untuk
menjaga agar anak cucunya tetap menjalani kehidupan yang baik. Sebagai
gantinya, nenek moyang kita mewariskan berbagai kearifan lokal. Dengan
kearifan lokal yang melekat pada masyarakat, maka bukan hanya merupakan
pandangan hidup yang bisa menjadi lebih baik. Lebih dari itu, kearifan lokal
juga mencakup nasihat atau petuah, pantangan yang tidak boleh dilanggar, juga
kepercayaan yang dipelihara dengan baik. Petuah dan nasihat lama ini
diwariskan tentu saja untuk menjaga agar kehidupan setiap generasi di wilayah
tertentu dapat berjalan baik.

3. Menjadi Ciri Utama Sebuah Masyarakat


Kearifan lokal yang ada juga mencakup adat dan istiadat. Meski seringkali
dianggap kuno, tetapi adat dan istiadat inilah yang justru membuat sebuah
daerah jadi unik dan berbeda dari daerah lainnya di Indonesia. Dengan adanya
kearifan lokal, maka masyarakat akan menganggap seperangkat tradisi sebagai
hal yang sudah seharusnya dilakukan, karena mereka sudah terbiasa dengan
adat istiadat dan budaya tersebut. Selain itu, masyarakat setempat juga sudah
menganggap bahwa kearifan lokal merupakan hal yang memang harus
dilakukan di wilayah tersebut. Namun, beda ceritanya dengan para turis, dan
pelancong yang berkunjung ke suatu wilayah identik dengan kearifan lokalnya.
Kearifan lokal yang tercermin dalam adat istiadat dan budaya ini jelas tidak bisa
ditemukan di wilayah lain, karena itulah yang membuat turis merasa terkesan
dengan wilayah tersebut. Lihat saja Bali, bukan hanya punya alam yang cantik,
Bali juga memelihara adat dan budaya yang diwariskan oleh para nenek
moyang kepada mereka. Alhasil, warisan budaya inilah yang membuat Bali
terasa berbeda, terasa lebih istimewa, terasa lebih berkesan dibandingkan
dengan tempat-tempat lain yang ada di dunia.

Jenis-Jenis Kearifan Lokal


Kearifan lokal bukan hanya memiliki ciri dan fungsi saja, tetapi kearifan lokal
juga terdiri dari 2 (dua) kategori, yaitu kearifan lokal yang berwujud nyata
atau dikenal dengan istilah tangible, dan juga kearifan lokal tidak
berwujud atau yang biasa disebut intangible.

1. Kearifan Lokal Berwujud Nyata atau Tangible


Sesuai dengan namanya, kearifan lokal berwujud nyata adalah kearifan lokal
yang bisa kita lihat dan sentuh wujudnya. Kearifan lokal dalam bentuk nyata
atau tangible ini bisa dilihat dalam berbagai bentuk, baik itu dalam bentuk
tekstual seperti tata cara, aturan, atau sistem nilai. Bentuk selanjutnya
adalah arsitektural seperti berbagai jenis rumah adat yang ada di setiap
daerah di Indonesia. Misalnya rumah Gadang di Sumatera Barat, rumah Joglo
dari Jawa Tengah, atau rumah Panggung dari Jambi. Bentuk kearifan lokal
berwujud nyata lainnya adalah cagar budaya seperti patung, berbagai alat
seni tradisional, senjata tradisional yang diwariskan turun temurun dari
generasi ke generasi lainnya, hingga tekstil tradisional seperti kain batik dari
Pulau Jawa, dan kain tenun dari Pulau Sumba.

2. Kearifan Lokal yang Tidak Berwujud atau Intangible


Kebalikan dari kearifan lokal berwujud yang nyata dan bisa dilihat serta
dirasakan, kearifan lokal tidak berwujud atau intangible ini tidak bisa dilihat
wujudnya secara nyata. Namun, walaupun tidak terlihat, kearifan lokal jenis ini
bisa didengar karena disampaikan secara verbal dari orang tua ke anak, dan
generasi selanjutnya. Bentuk kearifan lokal tidak berwujud antara lain
adalah nasihat, nyanyian, pantun, atau cerita yang mengandung pelajaran
hidup bagi generasi selanjutnya yang bertujuan agar para generasi muda
di wilayah tersebut tidak melakukan tindakan buruk yang dapat
merugikan diri sendiri, masyarakat, serta alam sekitar yang menjadi
rumah serta sumber penghidupan mereka. Contohnya adalah kepercayaan
asal Papua yang dikenal dengan nama Te Aro Neweak Lako. Kepercayaan ini
merupakan bentuk kearifan lokal yang tidak berwujud atau intangible, dimana
masyarakat mempercayai bahwa alam merupakan bagian dari diri mereka.
Karena alam adalah bagian dari diri sendiri, maka alam harus dijaga dengan
hati-hati. Termasuk tidak menebang pohon seenaknya yang dapat membuat
hutan gundul dan menyebabkan terjadinya berbagai bencana yang merugikan.
Alam tentu saja boleh dimanfaatkan, tetapi tidak boleh dieksploitasi secara
berlebihan. Dengan kepercayaan ini, tidak heran jika alam di Bumi Papua masih
sangat terjaga.
HUKUM ADAT

Banyak sekali pengertian yang membawa istilah “hukum adat”. Apa itu hukum
adat?

Kebiasaan yang dilakukan secara berulang menciptakan adat istiadat.


Lalu, kebiasaan tersebut pun diturunkan dari generasi ke generasi. Usai
munculnya adat istiadat, maka akan hadir hukum adat yang berkembang
di tradisi masyarakat. Dan mempunyai sanksi. Hukum ini cukup berbeda
dari hukum tertulis yang ada dalam hukum negara.

Bagi Van Vollenhoven, seorang antropolog Belanda, hukum adat merupakan


keseluruhan aturan yang mengikat cara masyarakat bertingkah laku. Aturan ini
berlaku pada daerah tertentu, lengkap dengan sanksi yang sesuai.

Sementara itu, Ter Haar menyebut bahwa hukum adat ialah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam adanya keputusan adat.

Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum kebiasaan, yang
berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat atau
dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.

Hukum Adat sendiri juga diakui pula oleh negara sebagai bentuk hukum sah.
Dimana, setelah negara Indonesia merdeka, hukum adat menjadi salah satu dari
beberapa aturan yang dibuat dan terdapat di dalam UUD 1945.

Seperti halnya yang tertulis dalam pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945, yang
menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara mengakui serta menghormati
kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan juga prinsip NKRI atau
Negara Kesatuan Republik Indonesia, seperti halnya yang diatur di dalam
undang-undang.

Hukum ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu hukum tertua jika
dibandingkan dengan sistem hukum lain yang ada di negara Indonesia karena
telah dilakukan secara turun temurun oleh masyarakatnya.

Sejarah Hukum Adat

Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan


masyarakat hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan.

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof. Dr. Cristian
Snouck Hurgronje dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers” (orang-orang
Aceh) dan “Het Gayo Land” (Tanah Gayo) Tahun 1893, yang kemudian diikuti
oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het
Adat Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah
Kolonial Belanda pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi
dalam peraturan perundang-undangan Belanda.

Berawal dari penyamaran yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje dimana ia


memeluk Islam dengan nama Abdul Ghaffar/Affan Ghaffar untuk memasuki,
memahami dan mengetahui cara berpikir atau pola pikir masyarakat Aceh yang
mayoritas memeluk agama Islam. Hal tersebut ia lakukan dikarenakan selama
+-300 tahun lamanya Belanda menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di
Indonesia, hanya Aceh-lah yang belum tersentuh sama sekali dengan kekuasaan
Belanda. Belanda tidak mampu menguasai Aceh karena Belanda tidak
menguasai hukum dan budaya masyarakat Aceh. Atas usaha yang dilakukan
Hurgronje tersebut akhirnya Belanda mampu menguasai Hukum Tata Negara
Aceh dan menguasai pola pikir masyarakat Aceh dan akhirnya menguasai Aceh
dari tahun 1917-1919 hingga kemerdekaaan RI 17 Agustus 1945.

Peraturan adat istiadat kita ini, pada hakekatnya sudah terdapat pada zaman
kuno, zaman Pra-Hindu. Adat istiadat yang hidup dalam masyarakat Pra-Hindu
tersebut menurut ahli-ahli; hukum adat adalah merupakan adat-adat Melayu
Polinesia. Kemudian datang kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen yang
masing-masing mempengaruhi kultur asli tersebut yang sejak lama menguasai
tata kehidupan masyarakat Indonesia sebagai suatu hukum adat. Sehingga
Hukum Adat yang kini hidup pada rakyat itu adalah hasil akulturasi antara
peraturan-peraturan adat-istiadat zaman Pra-Hindu dengan peraturan-peraturan
hidup yang dibawa oleh kultur Hindu, kultur Islam dan kultur Kristen.

Setelah terjadi akulturasi itu, maka hukum adat atau hukum pribumi atau
“Inlandsrecht” menurut Van Vollenhoven terdiri dari:
“Inlandsrecht”
(Hukum Adat atau Hukum Pribumi)

Yang Tidak Ditulis Yang Ditulis


(jus non scriptum) (jus Scriptum)

Hukum Asli Penduduk Ketentuan Hukum Agama


Bukti-bukti bahwa dulu sebelum bangsa Asing masuk ke Indonesia sudah ada
hukum adat, adalah sebagai berikut:
1. Tahun 1000, pada zaman Hindu, Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur
dengan kitabnya yang disebut Civacasana.
2. Tahun 1331-1364, Gajah Mada Patih Majapahit, membuat kitab yang
disebut Kitab Gajah Mada.
3. Tahun 1413-1430, Kanaka Patih Majapahit, membuat kitab Adigama.
4. Tahun 1350, di Bali ditemukan kitab hukum Kutaramanava.

Disamping kitab-kitab hukum kuno tersebut yang mengatur kehidupan di


lingkungan istana, ada juga kitab-kitab yang mengatur kehidupan masyarakat
sebagai berikut:
1. Di Tapanuli Ruhut Parsaoran di Habatohan (kehidupan sosial di tanah
Batak), Patik Dohot Uhum ni Halak Batak (Undang-Undang dan
ketentuan-ketentuan Batak).
2. Di Jambi Undang-Undang Jambi
3. Di Palembang Undang-Undang Simbur Cahaya (Undang-Undang tentang
tanah di dataran tinggi daerah Palembang).
4. Di Minangkabau Undang-Undang nan dua puluh (Undang-Undang
tentang hukum adat delik di Minangkabau)
5. Di Sulawesi Selatan Amana Gapa (peraturan tentang pelayaran dan
pengangkatan laut bagi orang-orang wajo)
6. Di Bali Awig-awig (peraturan Subak dan desa) dan Agama desa
(peraturan desa) yang ditulis didalam daun lontar.

Sebelum datang VOC belum ada penelitian tentang hukum adat, dan semasa
VOC karena ada kepentingan atas Negara jajahannya (menggunakan politik
opportunity), maka Heren 17 (pejabat di Negeri Belanda yang mengurus
Negara-negara jajahan Belanda) mengeluarkan perintah kepada Jenderal yang
memimpin daerah jajahannya masing-masing untuk menerapkan hukum
Belanda di Negara jajahan (Indonesia) tepatnya yaitu pada tanggal 1 Maret
1621 yang baru dilaksanakan pada tahun 1625 yaitu pada pemerintahan De
Carventer yang sebelumnya mengadakan penelitian dulu dan akhirnya sampai
pada suatu kesimpulan bahwa di Indonesia masih ada hukum adat yang hidup.
Oleh karena itu, Carventer memberikan tambahan bahwa hukum itu disesuaikan
sehingga perlu 4 kodifikasi hukum adat yaitu:
1. Tahun 1750, untuk keperluan Lanrad (pengadilan) di Serang dengan kitab
hukum “MOGHARRAR” yang mengatur khusus pidana adat (menurut
Van Vollenhoven kitab tersebut berasal dari hukum adat).
2. Tahun 1759, Van Clost Wijck mengeluarkan kitab yaitu
“COMPEDIUM” (pegangan/ikhtisar) yang terkenal dengan Compedium
Van Clost Wijck mengenai Undang-Undang Bumi Putera di lingkungan
kerator Bone dan Goa.
3. COMPENDIUM FREIZER tentang Peraturan Hukum Islam mengenai
nikah, talak, dan warisan.
4. HASSELAER, beliau berhasil mengumpulkan buku-buku hukum untuk
para hakim di Cirebon yang terkenal dengan PAPAKEM CIREBON.

Pencatatan hukum adat oleh orang luar negeri diantaranya:


1. Robert Padtbrugge (1679), ia seorang gubernur Ternate yang
mengeluarkan peraturan tentang adat istiadat Minahasa.
2. Francois Valetijn (1666-1727) yang menerbitkan suatu ensiklopedia
tentang kesulitan-kesulitan hukum bagi masyarakat.

Periodesasi hukum adat pada masa penjajahan Belanda terbagi dalam:


1. Jaman Daendels (1808-1811) Beranggapan bahwa memang ada hukum
yang hidup dalam masyarakat adat tetapi derajatnya lebih rendah dari
hukum eropa, jadi tidak akan mempengaruhi apa-apa sehingga hukum
eropa tidak akan mengalami perubahan karenanya.
2. Jaman Raffles (1811-1816) Pada zaman ini Gubernur Jenderal dari
Inggris membentuk komisi MACKENZIE atau suatu panitia yang
tugasnya mengkaji/meneliti peraturan-peraturan yang ada di masyarakat,
untuk mengadakan perubahan-perubahan yang pasti dalam membentuk
pemerintahan yang dipimpinnya. Setelah terkumpul hasil penelitian
komisi ini yaitu pada tanggal 11 Pebruari 1814 dibuat peraturan yaitu
regulation for the more effectual Administration of justice in the
provincial court of Java yang isinya:
a. Residen menjabat sekaligus sebagai Kepala Hakim
b. Susunan pengadilan terdiri dari Residen’s court, Bupati’s court dan
Division court
c. Ada juga Circuit of court atau pengadilan keliling
d. Yang berlaku adalah native law dan unchain costum untuk Bupati’s
court dan untuk Residen (orang Inggris) memakai hukum Inggris.
3. Zaman Komisi Jenderal (1816-1819) Pada zaman ini tidak ada perubahan
dalam perkembangan hukum adat dan tidak merusak tatanan yang sudah
ada.
4. Zaman Van der Capellen (1824) Pada zaman ini tidak ada perhatian
hukum adat bahkan merusak tatanan yang sudah ada.
5. Zaman Du Bush Pada zaman ini sudah ada sedikit perhatian pada hukum
adat, yang utama dalam hukum adat ialah hukum Indonesia asli.
6. Zaman Van den Bosch Pada zaman ini dikatakan bahwa hukum waris itu
dilakukan menurut hukum Islam serta hak atas tanah adalah campuran
antara peraturan Bramein dan Islam.
7. Zaman Chr. Baud. Pada zaman ini sudah banyak perhatian pada hukum
adat misalnya tentang melindungi hak-hak ulayat.

Pada tahun 1918 putera-putera Indonesia membuat disertasi mengenai hukum


adat di Balai Perguruan Tinggi di Belanda, antara lain:
1. Kusumaatmadja tahun 1922 yang menulis tentang wakaf
2. Soebroto tahun 1925 yang menulis tentang sawah vervavding (gadai
sawah)
3. Endabumi tahun 1925 yang menulis tentang Bataks grondenrecht
(hukum tanah suku Batak).
4. Soepomo tahun 1927 yang menulsi tentang Vorstenlands
grondenrecht (hak tanah di kerajaan-kerajaan).

Adapun penyelidikan tentang hukum adat di Indonesia dilakukan oleh:


1. Djojdioeno/ Tirtawinata yang menulis tentang Hukum Adat privat Jawa
Tengah.
2. Soepomo yang menulis tentang Hukum Adat Jawa Barat
3. Hazairin yang membuat disertasinya tentang “Redjang”

CATATAN. Hukum adat menjadi masalah politik hukum pada saat pemerintah
Hindia Belanda akan memberlakukan hukum eropa atau hukum yang berlaku di
Belanda menjadi hukum positif di Hindia Belanda (Indonesia) melalui asas
konkordansi. Mengenai hukum adat timbulah masalah bagi pemerintah kolonial,
sampai dimana hukum ini dapat digunakan bagi tujuan-tujuan Belanda serta
kepentingan-kepentingan ekonominya, dan sampai dimana hukum adat itu dapat
dimasukkan dalam rangka politik Belanda. Kepentingan atau kehendak bangsa
Indonesia tidak masuk perhitungan pemerintah kolonial. Apabila diikuti secara
kronologis usaha-usaha baik pemerintah Belanda di negerinya sendiri maupun
pemerintah kolonial yang ada di Indonesia ini, maka secara ringkasnya undang-
undang yang bertujuan menetapkan nasib ataupun kedudukan hukum adat
seterusnya didalam sistem perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai
berikut:
1. Mr. Wichers, Presiden Mahkamah Agung, ditugaskan untuk menyelidiki
apakah hukum adat privat itu tidak dapat diganti dengan hukum
kodifikasi Barat. Rencana kodifikasi Wichers gagal
2. Sekitar tahun 1870, Van der Putte, Menteri Jajahan Belanda,
mengusulkan penggunaan hukum tanah Eropa bagi penduduk desa di
Indonesia untuk kepentingan agraris pengusaha Belanda. Usaha inipun
gagal.
3. Pada tahun 1900, Cremer, Menteri Jajahan, menghendaki diadakan
kodifikasi local untuk sebagian hukum adat dengan mendahulukan
daerah-daerah yang penduduknya telah memeluk agama Kristen. Usaha
ini belum terlaksana.
4. Kabinet Kuyper pada tahun 1904 mengusulkan suatu rencana undang-
undang untuk menggantikan hukum adat dengan hukum Eropa.
Pemerintah Belanda menghendaki supaya seluruh penduduk asli tunduk
pada unifikasi hukum secara Barat. Usaha ini gagal, sebab Parlemen
Belanda menerima suatu amandemen yakni amandemen Van Idsinga.
5. Pada tahun 1914 Pemerintah Belanda dengan tidak menghiraukan
amandemen Idsinga, mengumumkan rencana KUH Perdata bagi seluruh
golongan penduduk di Indonesia. Ditentang oleh Van Vollenhoven dan
usaha ini gagal.
6. Pada tahun 1923 Mr. Cowan, Direktur Departemen Justitie di Jakarta
membuat rencana baru KUH Perdata dalam tahun 1920, yang diumumkan
Pemerintah Belanda sebagai rencana unifikasi dalam tahun 1923. Usaha
ini gagal karena kritikan Van Vollenhoven. Pengganti Cowan, yaitu Mr
Rutgers memberitahu bahwa meneruskan pelaksanaan kitab undang-
undang kesatuan itu tidak mungkin.
Dan pada tahun 1927 Pemerintahan Hindia Belanda mengubah haluannya,
menolak penyatuan hukum (unifikasi). Sejak tahu 1927 itu politik Pemerintah
Hindia Belanda terhadap hukum adat mulai berganti haluan, yaitu dari
“unifikasi” beralih ke “kodifikasi”.

Istilah Hukum Adat (Adat Recht)

a. Di dalam perundang-undangan:
i. Dalam A.B. (Algemenee Bepalingen van Wetgeving) =
Ketentuan-Ketentuan Umum Perundang-undangan) pada Pasal
11 digunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen
en Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
ii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 Ayat (3)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen
en Gebruiken” (Peraturan-peraturan Agama, Lembaga-lembaga
Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
iii. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 78 Ayat (2)
menggunakan istilah “Godsdienstige Wetten en Oude
Herkomsten” (Peraturan-peraturan Agama dan Naluri-naluri)
iv. Dalam I.S. (Indische Staatsregelling = Peraturan Hukum Negara
Belanda – semacam UUD bagi Pemerintahan Hindia Belanda)
Pasal 128 Ayat (4) menggunakan istilah “Instelingen Des
Volks” (Lembaga-lembaga Rakyat)
v. Dalam I.S. Pasal 131 Ayat (2) sub b. berbunyi “Met Hunne
Godsdientige Wetten en Gewoonten Samenhangende Rechts-
Regelen” (Aturan-aturan Hukum Yang Berhubungan dengan
Agama-agama dan Kebiasaaan-kebiasaan Mereka)
vi. Staadblad 1929 No.221 jo. No.487 yang sudah menggunakan
istilah “Adatrecht”
b. Di kalangan para ilmuwan:
Sebelum perundang-undangan menggunakan istilah “Adatrecht” di
kalangan para ilmuwan menggunakan berbagai istilah atau
terminologi:
i. Nederburgh – Wet en Adat
ii. Joynboll – Handleiding Tot de Kennis van de Mohammedaanse
Wet
iii. Het Personenrecht Voor de Inlanders op Java en Madura
(Hukum Pribadi untuk Golongan Bumiputera di Jawa dan
Madura).
c. Di kalangan masyarakat: Lazim menggunakan berbagai istilah sesuai
dengan Bahasa daerahnya masing-masing.
i. Masyarakat Jawa dan Madura menggunakan istilah ‘Adat’ saja.
ii. Masyarakat Ngadhu di Flores menggunakan istilah ‘Adha’ dan
‘Gua’. Adha adalah istilah untuk hukum adat atau kebiasaan
yang bersifat keduniawian dan mempunyai ancaman sanksi yang
bersifat jasmani, sedangkan Gua adalah istilah yang ditujukan
kepada kebiasaan yang bersifat kerohanian dengan sanksi dari
leluhur.
iii. Masyarakat Gayo menggunakan istilah ‘Eudeut’.
iv. Masyarakat Minangkabau menggunakan istilah ‘Lembaga
Adat/Adat Lembaga’.
v. Masyarakat Maluku dan Minahasa menggunakan istilah ‘Adat
Kebiasaan’.
vi. Masyarakat Batak dan Karo memakai kata ‘Basa’ (bicara)

Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya


hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk
diberlakukan juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda
(Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang
berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Asas Konkordansi yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (“IS”)
untuk orang Eropa sudah berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda
menduduki Indonesia. Contoh perundang-undangan yang diberlakukan atas asas
konkordansi adalah Burgerlijke Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata) dan Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang).
Pengantar Hukum Indonesia (hal. 8) menjelaskan bahwa Asas Konkordansi
yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling (“IS”) untuk orang Eropa
sudah berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda menduduki Indonesia.
Sejarah Asas Konkordansi dimulai ketika di negeri Belanda pada tanggal 1
Oktober 1838 terbentuk perundang-undangan baru, maka dalam 1839 di negeri
Belanda oleh Raja diangkat sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. Scholten van
Oud Haarlem untuk menyesuaikan kodifikasi (pembukuan hukum dalam suatu
himpunan undang-undang dalam materi yang sama) Belanda itu sehingga cocok
buat “Hindia Belanda” atau Indonesia saat itu. Panitia itu merencanakan:
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie = Peraturan tentang Organisasi
Peradilan;
b. Algemene Bepalingen voor de Wetgeving = Ketentuan-ketentuan umum
mengenai perundang-undangan
c. Burgerlijke Wetboek = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
d. Wetboek van Koophandel = Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
e. dan beberapa ketentuan mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan
lantaran “faillissement” dan dalam keadaan nyata tidak mampu (“staat
van kennelijk onvermogen”), seperti juga pada “surseance” pembayaran.

Setelah panitia tersebut dibubarkan, di Hindia Belanda Mr. H. L. Wichers,


Presiden Hooggerechtshof mendapat perintah untuk membantu Gubernur
Jenderal dalam hal memperlakukan kitab-kitab hukum yang baru itu dan dalam
hal merencanakan pasal-pasal yang masih belum ada. Rencana Mr. Wichers itu
dikuatkan oleh Gubernur Jenderal:
a. Reglement op de Strafvordering bagi raa van Justitie di Jawa dan
Hooggerechtshof Hindia Belanda;
b. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering untuk pengadilan-
pengadilan tersebut;
c. Reglement op de uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging
en de Strafvordering bagi yang disebut pengadilan-pengadilan
Bumiputera (Indlands Reglement);
d. Ketentuan-ketentuan istimewa untuk menjamin supaya perundang-
undangan yang baru dengan teratur berlaku di daerah-daerah luar Jawa
dan Madura;
e. Ketentuan-ketentuan tentang mulai berlakunya dan peralihan kepada
perundang-undangan baru.

Semua peraturan tersebut di atas berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal


tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad No. 57 mulai berlaku pada tanggal 1 Mei
1848. Namun, Reglement op de Rechterlijke Organisatie yang semula akan
berlaku untuk seluruh Hindia Belanda ternyata tidak mungkin, maka pada
tanggal tersebut dinyatakan hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan
keadaan yang waktu itu terdapat di daerah-daerah luar Jawa dan Madura tetap
dilangsungkan.

Menurut informasi dari jurnal Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-


undangan Peninggalan Kolonial Belanda yang dapat di akses dari laman Badan
Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), secara garis besar sistem hukum yang
berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut:
a. Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa:
i. Burgerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel yang berlaku
di negeri Belanda (sesuai asas konkordansi)
ii. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op
de Strafvordering
b. Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi adalah hukum adat
dalam bentuk tidak tertulis. Berlakunya hukum adat tidak mutlak,
dan jika diperlukan, dapat diatur dalam peraturan khusus
(ordonansi).
c. Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing, Tionghoa dan
yang dipersamakan (Jepang):
i. Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka.
ii. Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
Bahwa Asas Konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya
hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan
juga kepada Golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa
itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia
diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di
negeri Belanda.

Dasar Berlakunya Hukum Adat di Indonesia

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya tanggal 17 Agustus


1945, ada banyak peraturan hukum yang menjadi dasar berlakunya hukum adat,
yakni sebagai berikut:

1. UUD NRI 1945 UUD NRI Tahun 1945


Konstitusi kita yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengakui adanya hukum adat. Kita dapat melihat dalam Pasal 18B ayat
(2) yang berbunyi s.b: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

2. Ketetapan MPRS No.II/MPRS/1960


MPRS juga mengeluarkan ketetapan yang mengakui hukum adat. Dapat dilihat
dalam lampiran A Paragraf 402 Ketetapan MPRS/No.II/MPRS/1960:
a. Azas-azas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan
negara dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat
perkembangan masyarakat adil dan Makmur.
b. Di dalam usaha ke arah homogenitas dalam bidang hukum supaya
diperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia.
c. Dalam penyempurnaan undang-undang hukum perkawinan dan hukum
waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat dan lainnya.

3. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria


Undang-undang yang biasa disebut UUPA ini juga mengakui adanya hukum
adat. Pasal yang mengaturnya adalah pasal 3 sampai pasal 5 UUPA.
Misalnya: Pasal 3 UUPA: Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal
1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

4. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah


Dalam PP ini, hukum adat juga tetap diakui. Dapat terlihat dalam beberapa
pasal dan penjelasannya. Misalnya: Pasal 24 ayat (2) PP No.24/1997:
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan
berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan
selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon
pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan syarat:
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh
yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh
kesaksian kesaksian orang yang dapat dipercaya.
b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh
masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun
pihak lainnya.

5. UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan


Undang-undang kehutanan juga mengakui akan adanya hukum adat.
Dapat dilihat dari: Pasal 4 ayat (3) UU No.41 Tahun 1999
Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum
adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional.
6. UU No.22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi
Kita dapat melihatnya dari pasal berikut: Pasal 33 ayat (3) UU No.22 Tahun
2001:
a. Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada:
tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana
dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah
milik masyarakat adat;
b. lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya;
c. bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara;
d. bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan
sekitarnya, kecuali dengan izin dari instansi Pemerintah, persetujuan
masyarakat, dan perseorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.

7. UU No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan


Pengaturan tentang perikanan ini juga mengakui adanya hukum adat.
Hal tersebut dapat kita lihat dari pasal: Pasal 6 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2004:
Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan
pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan
lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

8. UU No.48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman


UU Kekuasaan kehakiman juga mengakui adanya hukum adat, yakni hukum
yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal tersebut dalam dilihat dalam pasal:
Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.

Pengertian Hukum Adat Menurut Pakar Hukum

1. Prof. Mr. B. Terhaar Bzn (murid)


Menurut Prof. Mr. B. Ter Haar Bzn, hukum adat merupakan keseluruhan
peraturan yang menjelma ke dalam keputusan yang diambil oleh kepala adat
serta berlaku spontan terhadap masyarakat di dalamnya. Beliau melalui teori
“Keputusan” yang terkenalnya juga menyatakan bahwa dalam melihat apakah
sebuah adat istiadat yang ada merupakan sebuah hukum adat, maka terlebih
dahulu perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap pihak
yang melanggar peraturan yang ada.

2. Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven (guru)


Definisi hukum adat menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven adalah
keseluruhan aturan tingkah laku sebuah masyarakat yang berlaku serta memiliki
sanksi dan juga belum dikodifikasikan.

3. Dr. Sukanto, S.H.


Selanjutnya, definisi hukum adat menurut Dr. Sukanto, S.H. adalah sebuah
kompleks adat yang pada umumnya tidak ditulis atau dikitabkan, tidak
dikodifikasikan serta memiliki sifat memaksa. Hukum ini juga memiliki sanksi
oleh sebab itu ada pula akibat hukumnya.

4. Sukardi
Sukardi dalam bukunya Sistem Hukum Indonesia juga menjelaskan, hukum
adat adalah keseluruhan kaidah maupun norma baik yang dibuat secara tertulis
ataupun tidak tertulis dan berasal dari kebiasaan masyarakat Indonesia atau adat
istiadat yang di dalamnya digunakan untuk mengatur tingkah laku kehidupan
masyarakatnya, sanksi juga akan dikenakan pada pihak yang melanggarnya.
5. Mawardi Muzamil dan Anis Mashdurohatun
Selanjutnya, mantan Guru Besar Hukum Adat Universitas Airlangga, Mawardi
Muzamil dan Anis Mashdurohatun melalui bukunya yang berjudul
Perbandingan Sistem Hukum juga menjelaskan definisi hukum adat sebagai
sebuah sistem hukum yang ada dan telah lama berlaku di Indonesia.

6. Mohammad Koesnoe
Mohammad Koesnoe juga mengatakan awal mula adanya hukum adat sendiri di
Indonesia tidak diketahui secara pasti. Namun, jika dibandingkan dengan
bentuk hukum lainnya, seperti hukum Barat dan juga hukum Islam, hukum yang
satu ini merupakan bentuk hukum tertua berdasarkan usianya. Dimana, sebelum
tahun 1927 sendiri hukum adat telah ada dan berkembang di tengah masyarakat
Indonesia. Hingga setelah tahun 1927, hukum adat akhirnya dipelajari serta
diperhatikan secara seksama sebagai pelaksanaan politik hukum pemerintah
Belanda, setelah teori resepsi yang ada dikukuhkan pada pasal 134 ayat 2 I.S.
1925.

7. Mr. J.H.P. Bellefroid


Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
diundangkan oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

8. Prof. M.M. Djojodigoeno, S.H.


Hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan.

9. Prof. Dr. Hazairin Hukum adat adalah endapan kesusilaan dalam


masyarakat yaitu kaidahkaidah kesusialaan yang kebenarannya telah mendapat
pengakuan umum dalam masyarakat itu.

10. Soeroyo Wignyodipuro, S.H. Hukum adat adalah suatu ompleks norma-
norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang
serta meliputi peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-
hari dalam masyarakat, sebagaian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan
dihormati oleh rakyat karena mempunyai akibat hukum (sanksi).

11. Prof. Dr. Soepomo, S.H. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis didalam
peraturan tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
CATATAN. Dari berbagai pengertian adat istiadat yang dikemukakan para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adat merupakan peraturan atau
norma tak tertulis yang pembuatannya berfungsi untuk mengatur tingkah laku
masyarakat. Dalam hukum adat terdapat sanksi; dan hukum ini bahkan diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 18B ayat (2).
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia,
yang diatur dalam undang-undang.”
Dengan kata lain, negara pun mengakui adanya hukum adat sebagai sistem
hukum Indonesia. Hukum Adat secara umum sendiri merupakan sebuah hukum
kebiasaan yang berarti hukum tersebut di dalamnya memiliki aturan yang dibuat
atau dirumuskan berdasarkan tingkah laku masyarakat yang tumbuh dan juga
berkembang sehingga menjadi sebuah hukum tidak tertulis yang ditaati oleh
masyarakat setempat.

Dari batasan-batasan yang dikemukakan di atas, maka terlihat Unsur-Unsur


Daripada Hukum Adat sebagai berikut:
1. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh
masyarakat.
2. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
3. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sakral
4. Adanya keputusan kepala adat
5. Adanya sanksi/ akibat hukum
6. Tidak tertulis (kodifikasi)
7. Ditaati dalam masyarakat
Terdapat 4 (empat) Macam Sifat Hukum Adat, yaitu:
1. Komunal, hukum adat memiliki sifat kebersamaan yang kuat.
2. Magis-religius, memiliki pandangan hidup dan cara berpikir yang
memadukan kepercayaan, seperti kesaktian dan ghaib.
3. Pikiran konkret, hukum adat memperhatikan hubungan hukum
nyata.
4. Visual, hukum adat disebabkan oleh suatu ikatan dalam
masyarakat. Misalnya, tata cara upacara pernikahan yang berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Sumber Hukum Adat

1. Sumber Pengenal
Pertama, sumber pengenal yang menurut B Ter Haar merupakan keputusan
penguasa adat. Namun, pernyataan ini sendiri dibantah oleh Mohammad
Koesnoe. Dimana, menurut beliau sumber pengenal pada hukum adat sendiri
adalah apa yang sebenarnya terlaksana masyarakat setempat di dalam pergaulan
hukum, baik perilaku atau tingkah laku yang hanya sekali dilakukan maupun
berulang kali.

2. Sumber Isi
Kedua, sumber isi. Sumber hukum adat yang satu ini merupakan kesadaran
hukum yang ada dan hidup di tengah masyarakat adat setempat.

3. Sumber Pengikat
Ketiga, sumber pengikat yang merupakan rasa malu yang timbul akibat
berfungsinya sistem nilai yang ada di dalam masyarakat adat yang bersangkutan
maupun berbagai upaya lainnya yang pada akhirnya terkena pada orang yang
bersangkutan jika tidak mematuhi atau melanggar aturan dan hukum adat yang
berlaku.

Dengan kata lain Hukum Adat Dapat Bersumber dari beberapa hal berikut
ini:
1. Adat-istiadat atau kebiasaan yang merupakan tradisi rakyat
2. Kebudayaan tradisionil rakyat
3. Ugeran/ Kaidah dari kebudayaan Indonesia asli
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat
5. Pepatah adat
6. Yurisprudensi adat
7. Dokumen-dokumen yang hidup pada waktu itu, yang memuat ketentuan-
ketentuan hukum yang hidup.
8. Kitab-kitab hukum yang pernah dikeluarkan oelh Raja-Raja.
9. Doktrin tentang hukum adat
10.Hasil-hasil penelitian tentang hukum adat
11.Nilai-nilai yang tumbuh dan berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan pula bahwa kekuatan mengikat yang
ada pada hukum adat adalah kesadaran hukum yang dimiliki oleh anggota
masyarakat adat yang bersangkutan.

Perbandingan Antara Adat Dengan Hukum Adat

Perbedaan antara adat dengan hukum adat dapat dilihat dari pendapat para ahli,
sebagai berikut:
1. Terhaar; Suatu adat akan menjadi hukum adat, apabila ada keputusan dari
kepala adat dan apabila tidak ada keputusan maka itu tetap merupakan
tingkah laku/ adat.
2. Van Vollen Hoven: Suatu kebiasaan/adat akan menjadi hukum adat,
apabila kebiasaan itu diberi sanksi.
3. Van Dijk: Perbedaan antara hukum adat dengan adat terletak pada sumber
dan bentuknya. Hukum Adat bersumber dari alat-alat perlengkapan
masyarakat dan tidak tertulis dan ada juga yang tertulis, sedangkan adat
bersumber dari masyarakat sendiri dan tidak tertulis.
4. L. Pospisil: Untuk membedakan antara adat dengan hukum adat maka
harus dilihat dari atribut-atribut hukumnya yaitu:
a. Atribut authority, yaitu adanya keputusan dari penguasa
masyarakat dan mereka yang berpengaruh dalam masyarakat.
b. Intention of Universal Application: Bahwa putusan-putusan kepala
adat mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku
juga dikemudian hari terhadap suatu peristiwa yang sama.
c. Obligation (rumusan hak dan kewajiban): Yaitu dan rumusan hak-
hak dan kewajiban dari kedua belah pihak yang masih hidup. Dan
apabila salah satu pihak sudah meninggal dunia misal nenek
moyangnya, maka hanyalah putusan yang merumuskan menangani
kewajiban saja yang bersifat keagamaan.
5. Adanya sanksi/imbalan: Putusan dari pihak yang berkuasa harus
dikuatkan dengan sanksi/ imbalan yang berupa sanksi jasmani maupun
sanksi rohani berupa rasa takut, rasa malu, rasa benci dan sebagainya.
6. Adat/kebiasaan mencakup aspek yang sangat luas sedangkan hukum adat
hanyalah sebagian kecil yang telah diputuskan untuk menjadi hukum
adat.
7. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang dianggap sakral/suci sedangkan
adat tidak mempunyai nilai/ biasa.

5 (lima) Corak Hukum Adat Indonesia

1. Tradisional

Hukum adat sudah turun temurun sejak dahulu kala, dari nenek leluhur sampai
anak cucu. Eksistensinya tetap dipertahankan sampai sekarang.

2. Relegius – Magis

Berdasarkan kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia, setiap masyarakat


yang ada dikelilingi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara. Hal ini dilakukan
agar masyarakat tersebut tetap hidup dengan aman tentram bahagia dan
berbagai hal lainnya. Selain itu, tidak ada pula hal yang membatasi antara dunia
lahir dengan dunia gaib serta tidak ada pula pemisah antara berbagai macam
lapangan kehidupan, seperti halnya kehidupan manusia, alam, arwah nenek
moyang serta kehidupan makhluk lainnya. Adanya pemujaan yang dilakukan
terhadap arwah khususnya kepada nenek moyang dilakukan sebagai pelindung
adat istiadat yang perlu dilakukan demi kebahagiaan masyarakat di dalamnya.
Di dalam setiap kegiatan maupun perbuatan bersama, seperti halnya membuka
lahan tanah pertanian, menanam, membangun rumah serta berbagai peristiwa
penting lainnya juga harus mengadakan upacara religius dengan tujuan untuk
mendapat berkah serta dalam prosesnya tidak ada halangan dan dapat berjalan
dengan baik. Relegiues Magis sendiri juga memiliki beberapa makna lain,
seperti halnya sebagai berikut:
 Memiliki sifat kesatuan batin
 Terdapat kesatuan antara dunia lahir dengan dunia gaib
 Terdapat hubungan dengan arwah nenek moyang serta makhluk halus
lainnya
 Mempercayai kehadiran kekuatan gaib
 Melakukan pemujaan terhadap arwah nenek moyang
 Dalam memulai setiap kegiatan harus selalu melakukan upacara relegius
 Mempercayai kehadiran roh halus, hantu yang ada di alam semesta
 Mempercayai adanya kekuatan sakti
 Terdapat beberapa pantangan

3. Komunal atau kemasyarakatan atau kebersamaan

Corak berikutnya adalah komunal atau kemasyarakatan yang memiliki arti


bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam bentuk kelompok atau sebuah
satu kesatuan yang utuh. Seorang individu tidak dapat hidup sendiri dan
membutuhkan individu lainnya dikarenakan manusia merupakan makhluk hidup
yang dimana akan selalu hidup bermasyarakat. Oleh sebab itu, kepentingan
bersama harus terlebih dahulu diutamakan dibandingkan dengan kepentingan
pribadi. Komunal atau kemasyarakatan sendiri juga memiliki beberapa makna
lain, seperti halnya sebagai berikut:
 Manusia di dalam kemasyarakatan memiliki sifat terikat dan tidak
terbebaskan dari segala perbuatannya
 Setiap orang di masyarakat memiliki hak dan juga kewajiban yang sesuai
dengan kedudukannya
 Hak subjektif yang ada memiliki fungsi sosial
 Kepentingan masyarakat bersama harus terlebih dahulu diutamakan
dibandingkan dengan kepentingan pribadi
 Memiliki sifat gotong royong
 Nilai kesopan santunan serta kesabaran
 Berprasangka baik
 Memiliki rasa saling menghormati satu sama lain

4. Demokrasi
Memiliki arti bahwa segala sesuatu harus diselesaikan dengan menjunjung
tinggi nilai kebersamaan dan kepentingan bersama masyarakat harus terlebih
dahulu diutamakan dibandingkan dengan kepentingan pribadi yang sesuai
dengan asas permusyawaratan dan perwakilan pada sistem pemerintahan.
Seperti contohnya sendiri adalah melakukan musyawarah di Balai Desa dan
setiap tindakan atau pilihan yang diambil pamong desa adalah berdasarkan hasil
musyawarah yang telah dilakukan tersebut oleh masyarakat.

5. Kontan

Corak kelima ini merupakan dimana pemindahan maupun peralihan hak dan
juga kewajiban harus dilakukan di saat yang sama dan dilakukan secara
serentak dengan maksud untuk menjaga keseimbangan yang ada di dalam
pergaulan di tengah masyarakat.

6. Konkrit dan Visual

Corak ini memiliki arti terdapat tanda yang terlihat yaitu setiap perbuatan
maupun keinginan pada setiap sebuah hubungan hukum tertentu harus
dinyatakan dengan benda atau bentuk wujud maupun nyata. Hal ini juga berarti
bahwa tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semua hal yang dilakukan
harus memiliki tindakan nyata dengan begitu tidak ada kecurigaan yang muncul
antara satu sama lain.

7. Terbuka dan Sederhana

Terbuka artinya menerima masuknya unsur-unsur asing sepanjang tidak


bertentangan dengan jiwa dan semangat hukum adat tersebut. Sederhana artinya
bersahaja, tidak bertele-tele, mudah dalam administrasi dan pelaksanaannya,
serta saling percaya.

8. Tidak dikodifikasi

Hukum adat tidak “dibukukan” (tidak dibuat jadi satu buku), tidak tertulis
seperti layaknya kitab Undang-Undang (misalnya KUHPer). Hal ini membuat
hukum adat mudah diubah. Namun ada juga yang tertulis, tapi tidak mengikat
semua kalangan, hanya untuk orang tertentu saja. Misalnya, hanya untuk
keluarga orang-orang kerajaan atau bangsawan. Adapun yang tertulis, namun
tidak secara sistematis.
9. Dapat berubah dan menyesuaikan diri

Hukum adat juga dapat disesuaikan dengan kesesuaian. Misalnya dahulu harta
hanya diberikan kepada laki-laki saja, dan perempuan hanya diberikan atas rasa
kasihan (iba). Namun hal ini berubah karena saat ini sudah ada persamaan hak
antara laki-laki dan perempuan. Jika dahulu tidak boleh menikah (kawin)
semarga, maka sekarang sudah bisa.

10. Musyawarah dan Mufakat

Dalam hukum adat hal ini bertujuan untuk menyelesaikan beberapa konflik.
Sangat jarang ditemukan ada kasus yang sampai ke meja pengadilan atau jalur
litigasi. Hal ini pula yang menjadikan ciri khas bangsa kita, Indonesia. Murah
berteman, murah senyum dan suka berdamai.

Bentuk Hukum Adat

Hukum yang satu ini sendiri memiliki perbedaan dengan berbagai sistem hukum
yang berlaku dan berkembang di Indonesia, dimana hukum adat sendiri
merupakan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang seiring
perkembangan masyarakat yang ada di dalamnya. Beberapa hukum adat yang
ada juga sempat diupayakan agar menjadi hukum perundang-undangan dan hal
ini juga berarti berusaha mengubah hukum tidak tertulis ini menjadi hukum
tertulis. Seperti salah satu contohnya, Undang-undang Pokok Agraria pada
tahun 1950. Namun, setelah diubah menjadi bentuk tertulis, hukum adat
tersebut memiliki bentuk yang berbeda dari hukum adat sebelumnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hukum Adat

Dalam perkembangan hukum adat, terdapat beberapa faktor yang bersifat


tradisional yang bisa mempengaruhi perkembangannya, sebagai berikut:

1. Magis dan animisme


Faktor pengaruh perkembangan yang pertama adalah magis dan animisme. Di
alam pikiran, magis serta animisme pada dasarnya dirasakan oleh setiap bangsa
yang ada di seluruh belahan dunia. Di Indonesia sendiri faktor magis dan juga
animisme memiliki pengaruh yang cukup besar. Dimana, hal ini sendiri dapat
dilihat melalui berbagai upacara adat yang memiliki sumber dari kekuasaan dan
juga kekuataan gaib.
 Kepercayaan pada makhluk halus, roh, serta hantu yang memenuhi seluruh
alam semesta serta berbagai gejala alam, serta seluruh benda yang ada di
alam semesta memiliki nyata.
 Kepercayaan pada kekuatan sakti serta adanya roh yang baik maupun yang
jahat.
 Terdapat beberapa orang tertentu yang dapat melakukan kontak atau
berhubungan dengan dunia gaib maupun sakti tersebut.
 Rasa takut terkait hukuman maupun pembalasan dari berbagai kekuatan
gaib. Dimana, hal ini sendiri dapat dilihat melalui kebiasaan pengadaan
seserahan, atau sesajen di beberapa tempat yang dianggap oleh masyarakat
setempat sebagai tempat keramat.
Animisme sendiri adalah kepercayaan mengenai segala hal yang ada di alam
semesta memiliki nyawa. Animisme sendiri terbagi menjadi dua macam,
sebagai berikut.
 Fetisisme, yang merupakan pemujaan terhadap jiwa yang ada di alam
semesta, yang dipercaya memiliki kemampuan yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan manusia, seperti halnya matahari, samudra, halilintar,
gua, taufan, tanah, pohon besar, dan masih banyak lagi.
 Spiritisme, yang merupakan pemujaan terhadap roh leluhur maupun roh
lainnya yang dianggap baik maupun yang dianggap jahat.

2. Faktor agama
Faktor pengaruh perkembangan yang kedua adalah faktor agama. Dengan
masuknya berbagai agama ke dalam Indonesia ternyata juga memiliki pengaruh
terhadap perkembangan hukum yang satu ini, sebagai berikut.

Agama Hindu
Agama Hindu sendiri pertama kali dibawa masuk ke Indonesia oleh orang
Indonesia pada abad ke 8 dan pengaruh dari agama Hindu sendiri paling dapat
terlihat di Bali. Dimana, berbagai hukum agama Hindu sendiri memberikan
pengaruh terhadap bidang pemerintahan Raja serta pembagian masyarakat ke
dalam beberapa kasta.

Agama Islam
Agama Islam sendiri dibawa oleh pedagang yang berasal dari Timur Tengah
pada abad ke 14 dan juga awal abad ke 15. Pengaruh dari agama Islam sendiri
dapat dilihat melalui hukum perkawinan yang membahas mengenai cara
melangsungkan serta memutuskan sebuah perkawinan. Pengaruh dari hukum
perkawinan agama Islam ini sendiri juga dapat dilihat melalui hukum adat yang
ada di beberapa daerah Indonesia seperti halnya Jawa dan juga Madura. Di
daerah Aceh juga pengaruh dari agama Islam sangatlah kuat. Namun, pengaruh
ini sendiri berbeda-beda tergantung daerahnya, seperti halnya di beberapa
daerah walaupun sudah diberlakukannya hukum perkawinan Islam, tetap
melakukan upacara perkawinan berdasarkan hukum adat. Seperti contohnya di
Lampung, Tapanuli.

Agama Kristen
Agama Kristen sendiri pertama kali masuk ke dalam Indonesia dibawa oleh
para pedagang Barat. Dimana, aturan hukum agama Kristen sendiri memiliki
pengaruh yang cukup besar di Indonesia terhadap pengaruh hukum keluarga dan
juga hukum perkawinan. Selain itu, agama kristen juga memiliki pengaruh yang
besar pada bidang sosial. Secara khusus dapat dilihat pada dampaknya di bidang
pendidikan dan juga kesehatan, dengan adanya pendirian berbagai lembaga
pendidikan dan rumah sakit.

3. Faktor Kekuasaan yang lebih tinggi


Faktor pengaruh perkembangan yang ketiga adalah kekuasaan yang lebih tinggi.
Yang dimaksud sendiri adalah adanya kekuasaan raja, kepala Kuria, Nagari, dan
berbagai hal lainnya.

4. Adanya kekuasaan asing


Faktor pengaruh perkembangan yang keempat adalah adanya kekuasaan asing.
Salah satunya adalah kekuasaan penjajahan Belanda yang membawa pemikiran
individualisme ke dalam Indonesia. Dimana, hal ini sendiri bertentangan dengan
alam pikiran adat yang menjunjung tinggi nilai kebersamaan.

Teori Receptio In Complexu

Teori ini dikemukakan oleh Mr. LCW Van Der Berg. Menurut teori Reception
in Complexu: Kalau suatu masyarakat itu memeluk agama tertentu maka
hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang
dipeluknya. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari pada hukum agama
yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap sebagai pengecualian.

Terhadap teori ini hampir semua sarjana memberikan tanggapan dan kritikan,
antara lain:

-Snouck Hurgronje menentang dengan keras terhadap teori ini, dengan


mengatakan bahwa tidak semua Hukum Agama diterima dalam hukum adat.
Hukum agama hanya memberikan pengaruh pada kehidupan manusia yang
sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup
batin, bagian-bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan dan hukum
waris.
-Terhaar berpendapat: Membantah pendapat Snouck Hurgronje, menurut
Terhaar hukum waris bukan berasal dari hukum agama, tapi merupakan hukum
adat yang asli tidak dipengaruhi oleh hukum Islam, sedangkan hukum waris
disesuaikan dengan struktur dan susunan masyarakat. Contoh di masyarakat
Minangkabau dalam hal waris adat yang bertolak belakang dengan hukum
agama Islam.

-Van Vollen Hoven menyatakan bahwa Teori Reception in Complexu ini


sebenarnya bertentangan dengan kenyataan dalam masyarakat, karena hukum
adat terdiri atas hukum asli (Melayu Polenesia) dengan ditambah dari
ketentuan-ketentuan dari hukum Agama. Memang diakui sulit mengdiskripsikan
bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum agama hal ini
disebabkan: 1. Bidang-bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat
bervariasi dan tidak sama terhadap suatu masyarakat. 2. Tebal dan tipisnya
bidang yang dipengaruhi hukum agama juga bervariasi. 3. Hukum adat ini
bersifat lokal. 4. Dalam suatu masyarakat terdiri atas warga-warga masyarakat
yang agamanya berlainan. Contoh masyarakat Sangihe Talaud (Sulawesi) yang
masyarakatnya mayoritas beragama Kristen, ada kebiasaan hidup bersama
(kumpul kebo) tanpa adanya ikatan perkawinan.

Lingkungan Hukum Adat

Van Vollenhoven mengadakan analisa terhadap ciri-ciri khusus yang berlaku di


setiap lingkungan hukum adat. Ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap
sistem-sistem hukum adat yang terdapat pada masyarakat-masyarakat di daerah-
daerah yang semula diidentifikasikan sebagi tempat-tempat yang secara
hipotesis diberi nama lingkungan hukum adat, sehingga menghasilkan
lingkungan-lingkungan sebagai berikut:
1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat Aceh, Singkel, Simeulue)
2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak a. Tanah Gayo (Gayo Lueus) b. Tanah Als
c. Tanah Batak (Tapanuli) 1. Tapanuli Utara a. Pakpak- Batak (Barus) b.
Karo-Batak c. Simalungun-Batak d. Toba-Batak (Samosir, Balige,
Laguboti, Sumban Julu) 2. Tapanuli Selatan a. Padanglawas (Tano
Sapanjang) b. Angkola c. Mandaiiling (Sayurmatinggi)
3. Nias (Nias Saelatan)
4. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluh Kota,
Daerah Kampar, Kerinci)
5. Mentawai (Orang Pagai)
6. Sumatera Selatan a. Bengkulu (Rejang) b. Lampung (Abung, Peminggir,
Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulangbawang) c. Palembang (Anak-
Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo) d. Enggano
7. Daerah Melayu (Lingga Riau, Indragiri, Pantai Timur Sumatera, orang-
orang Banjar)
8. Bangka dan Belitung
9. Kalimantan (Daya, Bagian Barat Kalimantan, Kapuas Hulu, Kalimantan
Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Daya Kenya, Daya Klematan, Daya
Landan dan Tayan, Daya-Lawangan, Lepo-Alim, Lepo-Timei, Long glatt,
Daya-maanyan-Patai, Daya Maanyan- Siung, Daya-Ngaju, Daya-Ot0-
Danum, Daya-Penyabung Punan).
10.Minahasa (Manado)
11.Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)
12.Daerah/Tanah Toraja (Sulawesi bagian tengah, Toraja, orang Toraja
berbahasa Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To
Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai).
13.Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar,
Makasar, Selayar,Muna).
14.Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Pulau Sula)
15.Maluku-ambon (Ambon, Banda, orang Uliaser, Saparua, Buru, Seram,
Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar)
16.Irian
17.Kepulauan Timor (Kelompok Timor-Timur, bagian tengah Timor, Mollo,
Sumba, bagian tengah Sumba, Sumba Timur, Kodi Flores, Ngada, Roti.
Savu Bima)
18.Bali dan Lombok (Bali, Tanganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem,
Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa)
19.Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura (Jawa bagian
tengah, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura)
20.Daerah Kerajaan (Solo, Yogyakarta)
21.Jawa Barat (Parahianagan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten.

Terhadap masing-masing lingkungan hukum adat tersebut C. Van Vollenhoven


melakukan analisa deskriptif, dengan sistematika yang tersusun, sebagai
berikut:
1. Tempat menemukan hukum adat lingkungan hukum adat masing-masing.
2. Ruang lingkup lingkungan hukum adat yang bersangkutan
3. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
4. Tentang pribadi
5. Pemerintahan, peradilan dan pengaturan
6. Hukum adat masyarakat:
a) Hukum kekeluargaan adat
b) Hukum perkawinan adat
c) Hukum waris adat
d) Hukum tanah adat
e) Hukum hutang piutang adat
f) Hukum delik adat
g) Sistem sanksi
h) Perkembangan hukum adat

Pembidangan Hukum Adat

Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi, yang


berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat, apabila
dibandingkan dengan hukum Barat. Pembidangan tersebut biasanya dapat
ditemukan pada buku-buku standar, dimana sistematika buku-buku tersebut
merupakan suatu petunjuk untuk mengetahui pembidangan mana yang dianut
oleh penulisnya.

Van Vollen Hoven berpendapat bahwa pembidangan hukum adat adalah


sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat
2. Tentang Pribadi
3. Pemerintahan dan Peradilan
4. Hukum Keluarga
5. Hukum Perkawinan
6. Hukum Waris
7. Hukum Tanah
8. Hukum Hutang piutang
9. Hukum Delik Adat
10.Sistem sanksi.

Soepomo Menyajikan pembidangnya sebagai berikut:


1. Hukum Keluarga
2. Hukum Perkawinan
3. Hukum Waris
4. Hukum Tanah
5. Hukum Hutang/Piutang
6. Hukum Pelanggaran

Ter Harr didalam bukunya “Beginselen en stelsel van het Adat-recht”,


mengemukakan pembidangnya sebagai berikut:
1. Tata Masyarakat
2. Hak-Hak Atas Tanah
3. Transaksi-Transaksi Tanah
4. Transaksi-Transaksi dimana Tanah Tersangkut
5. Hukum Hutang/Piutang
6. Lembaga/ Yayasan
7. Hukum Pribadi
8. Hukum Keluarga
9. Hukum perkawinan.
10.Hukum Delik Adat
11.Pengaruh Lampau Waktu

Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut


di atas, cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini.

Surojo Wignjodipuro, misalnya, menyajikan pembidangan, sebagai berikut:


1. Tata susunan rakyat Indonesia
2. Hukum perseorangan
3. Hukum kekeluargaan
4. Hukum perkawinan
5. Hukum harta perkawinan
6. Hukum (adat) waris
7. Hukum tanah
8. Hukum hutang piutang
9. Hukum (adat) delik

Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas, adalah dari Iman
Sudiyat didalam bukunya yang berjudul “Hukum Adat, Sketsa Asa” (1978),
yang mengajukan pembidangan, sebagai berikut:
1. Hukum Tanah
2. Transaksi tanah
3. Transaksi yang bersangkutan dengan tanah
4. Hukum perutangan
5. Status badan pribadi
6. Hukum kekerabatan
7. Hukum perkawinan
8. Hukum waris
9. Hukum delik adat.

Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

Selo Soemardjan menekankan pada faktor perbedaan “culture” dari setiap suku
bangsa, yang menjadi titik tolak adanya suatu masyarakat majemuk. Konsepsi
tersebut di atas, kemudian diperhalus dan diperluas dengan mengambil kriteria
cirri-ciri struktur sosial dan kebudayaan, sehingga menimbulkan klasifikasi tiga
bentuk masyarakat sebagai berikut:
1. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, yang ciri-
ciri utamanya adalah:
a. Hubungan dalam keluarga dan dalam masyarakat setempat amat
kuat.
b. Organisasi sosial pada pokoknya didasarkan atas adat-istiadat yang
terbentuk menurut tradisi.
c. Kepercayaan kuat pada kekuatan-kekuatan gaib yang
mempengaruhi kehidupan manusia, akan tetapi tidak dapat
dikuasai olehnya.
d. Tidak ada lembaga-lembaga khusus untuk memberi pendidikan
dalam bidang teknologi; keterampilan diwariskan oleh orang tua
kepada anak sambil berpraktek dengan sedikit teori dan
pengalaman, dan tidak dari hasil pemikiran atau eksperimen.
e. Tingkat buta huruf tinggi.
f. Hukum yang berlaku tidak ditulis, tidak kompleks dan pokok-
pokoknya diketahui dan dimengerti oleh semua anggota dewasa
dari masyarakat.
g. Ekonominya sebagaian besar meliputi produksi untuk keperluan
keluarga sendiri atau buat pesanan kecil setempat, sedang uang
sebagai alat penukar dan alat pengukur harga berperan terbatas.
h. Kegiatan ekonomi dan sosial yang memerlukan kerja sama orang
banyak dilakukan secara tradisional dengan gotong royong tanpa
hubungan kerja antara buruh dengan majikan
2. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan madya, yang ciri-ciri
utamanya:
a. Hubungan dalam keluarga tetap kuat, tetapi hubungan dalam
masyarakat setempat sudah mengendor dan menunjukkan gejala-
gejala hubungan atas dasar perhitungan ekonomi.
b. Adat-istiadat masih dihormati, tetapi sikap masyarakat mulai
terbuka buat pengaruh dari luar.
c. Dengan timbulnya rasionalitas dalam cara berfikir orang maka
kepercayaan pada kekuatan-kekuatan gaib baru timbul apabila
orang sudah kehabisan akal untuk menanggulangi sesuatu masalah.
d. Didalam masyarakat timbul lembaga-lembaga pendidikan formal
kirakira sampai tingkat sekolah lanjutan pertama, tetapi masih
jarang sekali adanya lembaga pendidikan keterampilan atau
kejuruan.
e. Tingkat buta huruf bergerak menurun
f. Hukum tertulis mulai mendampingi hukum tidak tertulis.
g. Ekonomi masyarakat memberi kesempatan lebih banyak kepada
produksi buat pasaran, halmana mulai menimbulkan deferensiasi
dalam struktur masyarakat; dengan sendirinya peranan uang
meningkat.
h. Gotong royong tradisional tinggal buat keperluan sosial di
kalangan keluarga besar dan tetangga, tetapi gotong-royang buat
keperluan umum dan buat kegiatan ekonomis dilakukan atas dasar
upah uang.
3. Masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern atau
modern, yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a. Hubungan antara manusia didasarkan terutama atas kepentingan-
kepentingan pribadi.
b. Hubungan dengan masyarakat-masyarakat lain dilakukan secara
terbuka dalam suasana saling pengaruh-mempengaruhi, kecuali
dalam penjagaan rahasia penemuan baru dalam industri.
c. Kepercayaan kuat pada manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai sarana untuk senantiasa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
d. Masyarakat tergolong-golong menurut bermacam-macam profesi
serta keahlian yang masing-masing dapat dipelajari dan
ditingkatkan dalam lembaga-lembaga pendidikan keterampilan dan
kejuruan.
e. Tingkat pendidikan formal adalah tinggi dan merata
f. Hukum yang berlaku pada pokoknya hukum tertulis yang amat
kompleks adanya.
g. Ekonomi hampir seluruhnya merupakan ekonomi pasar yang
didasarkan atas penggunaan uang dan alat-alat pembayaran lain.

Persekutuan Hukum Adat atau Masyarakat Hukum Adat


(Rechtgemeenschaap)

Soeroyo Wignjodipuro memberikan pengertian persekutuan adat adalah


Merupakan kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan
kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri baik kekayaan
materiil maupun imateriil.

Djaren Saragih mengatakan: Persekutuan hukum adalah: Sekelompok orang-


orang sebagai satu kesatuan dalam susunan yang teratur yang bersifat abadi dan
memiliki pimpinan serta kekayaan baik berwujud maupun tidak berwujud dan
mendiami alam hidup diatas wilayah tertentu.

Van Vollenhoven mengartikan persekutuan hukum sebagai suatu masyarakat


hukum yang menunjukkan pengertian-pengertian kesatuan-kesatuan manusia
yang mempunyai:
1. Tata susunan yang teratur
2. Daerah yang tetap
3. Penguasa-penguasa atau pengurus
4. Harta kekayaan
Dengan demikian definisi Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang
yang hidup secara turun-temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur
dan/atau kesamaan tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas
budaya, hukum adat yang masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan
lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial, budaya, dan hukum. Identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat harus
memenuhi persyaratan yaitu memiliki komunitas tertentu yang hidup
berkelompok dalam suatu ikatan karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial;
mendiami suatu wilayah adat dengan batas tertentu secara turun-temurun;
memiliki pranata atau perangkat hukum dan ditaati kelompoknya sebagai
pedoman dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat; dan/atau mempunyai
Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat Hukum Adat.

Unsur-Unsur Masyarakat Hukum Adat

Antara lain sebagai berikut:


1. Ada komunitas manusia yang merasa bersatu, terikat oleh perasaan
kebersamaan karena kesamaan keturunan (geneologis), dan/atau wilayah
(territorial);
2. Mendiami wilayah tertentu, dengan batas-batas tertentu menurut
konsepsi mereka;
3. Memiliki kekayaan sendiri, baik kekayaan materiil maupun immaterial;
4. Dipimpin oleh seseorang atau beberapa orang sebagai perwakilan
kelompok yang memiliki kewibawaan dan kekuasaan yang sah dan
didukung oleh kelompoknya;
5. Memiliki tata nilai sebagai pedoman dalam kehidupan sosial mereka;
6. Tidak ada keinginan dari anggota kelompok tersebut untuk memisahkan
diri.

Beberapa contoh persekutuan hukum adalah:

Famili di Minangkabau:
 Tata susunan yang tetap yang disebut rumah Jurai
 Pengurus sendiri yaitu yang diketuai oleh Penghulu Andiko, sedangkan
Jurai dikepalai oleh seorang Tungganai atau Mamak kepala waris.
 Harta pusaka sendiri

Terbentuknya Persekutuan Hukum dilihat dari 3 (tiga) Asas atau macam,


yaitu:
1. Persekutuan Hukum Geneologis. Yaitu yang berlandaskan kepada
pertalian darah, keturunan. Persekutuan Hukum Geneologis dibagi tiga
macam:
a. Pertalian darah menurut garis Bapak (Patrilineal) seperti Batak,
Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis Ibu (Matrilineal) seperti
Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis Bapak dan Ibu (Unilateral) seperti di
Pulau Jawa, Aceh, Dayak.

2. Persekutuan Hukum Territorial. Yaitu berdasarkan pada daerah tertentu


atau wilayah. Ada tiga macam persekutuan territorial yaitu:
a. Persekutuan Desa Yaitu orang-orang yang terikat dalam satu desa
b. Persekutuan Daerah Dimana didalamnya terdapat beberapa desa
yang masing-masing mempunyai tata susunan sendiri.
c. Perserikatan. Yaitu apabila beberapa persekutuan hukum yang
berdekatan mengadakan kesepakatan untuk memelihara
kepentingan bersama, seperti saluran air, pengairan, membentuk
pengurus bersama. Misalnya: Perserikatan huta-huta di Batak.

3. Persekutuan Hukum Geneologis dan Territorial. Yaitu gabungan antara


persekutuan geneologis dan territorial, misalnya di Sumba, Seram. Buru,
Minangkabau dan Renjang.

Setiap persekutuan hukum dipimpin oleh kepala persekutuan yang


bertugas, antara lain:
a. Tindakan-tindakan mengenai tanah, seperti mengatur penggunaan
tanah, menjual, gadai, perjanjian-perjanjian mengenai tanah, agar
sesuai dengan hukum adat.
b. Penyelenggaraan hukum yaitu pengawasan dan pembinaan hukum.
c. Sebagai hakim perdamaian desa.
d. Memelihara keseimbangan lahir dan batin
e. Campur tangan dalam bidang perkawinan
f. Menjalankan tugasnya pemerintahannya secara demokrasi dan
kekeluargaan
g. dan lain-lain

Pada dasarnya orang luar tidak diperkenankan masuk dalam persekutuan,


terkecuali dalam hal berikut, yaitu:
a. Atas izin atau persetujuan kepala persekutuan
b. Masuknya sebagai hamba
c. Karena pertalian perkawinan
d. Karena pengambilan anak
Istilah adat dalam persekutuan:

 Negeri = Persekutuan daerah (Tapanuli)


 Kuria = Persekutuan daerah (Tapanuli Selatan)
 Huta = Persekutuan kampong
 Nagari (Minangkabau) dikepalai oleh seorang yang disebut “Penghulu
Andiko” laki-laki tertua, bagian dari Nagari disebut Jurai yang diketuai
oleh mamak kepala adat atau Tungganai
 Urusan Pamongpraja disebut Manti
 Urusan Polisi disebut Dubalang, Urusan Agama disebut Malim.

Di Sumatera Selatan:
 Persekutuan daerah disebut Marga, yang dikepalai oleh “Pasirah” dengan
gelar depati/ Pangeran.
 Marga terdiri dari dusun-dusun yang dikepalai oleh Proati, Kria, Mangku
dan dibantu “Panggawa”.

Daerah Banten:
 Persekutuan terdiri atas beberapa ampian
 Kepala Kampung disebut Kokolot/ Tua-tua
 Desa dikepali oleh kepala desa yang disebut Jaro.

Suasana masyarakat desa yang damai, tentram dan penuh rasa kebersamaan
mengalami perubahan yang mengganggu ketentraman dan kedamaian.
Perubahan tersebut dapat dilihat dari zamannya, sebagai berikut:

1. Zaman Kerajaan: - Kerajaan dan familinya menguasai desa - Penggantian


kepala desa oleh keluarga kerajaan - Tanah diambil oleh keluarga Raja -
Pemungutan pajak yang tinggi - Batas-batas desa sudah tidak
diperhatikan - Wajib menyerahkan tenaga kerja untuk kepentingan
kerajaan.
2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda: - Penggantian tata administrasi
desa - Persekutuan menjadi lenyap - Kewajiban membayar pajak yang
tinggi - Kewajiban menyerahkan tenaga kerja - Melakukan politik hukum
dengan berbagai peraturan.
3. Zaman Republik: - Pengaruh Modernisasi masyarakat
Hak Ulayat dan Tanah Ulayat

Hak Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban masyarakat


hukum Adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
ulayatnya, sebagai “lebensraum” para warganya untuk mengambil
manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah yang ada dalam wilayah
tersebut.

Adapun objek hak ulayat ini adalah semua tanah yang terdapat dalam
lingkungan masyarakat hukum Adat yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi subjeknya adalah semua anggota masyarakat hukum Adat yang
bersangkutan. Orang dari luar masyarakat hukum Adat tersebut boleh
memanfaatkan tanah yang berada dalam wilayah ulayat itu dengan seizin dari
penguasa Adat setempat.

Hak Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak
ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hukum adat sendiri
adalah serangkaian aturan yang mengikat pada suatu masyarakat yang tidak
tertulis, dan bersumber dari kebiasaan yang tumbuh dan berkembang pada suatu
masyarakat tertentu yang kemudian diterima menjadi hukum secara turun
temurun. Hak tanah ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang
merupakan lingkungan warganya. Posisinya kewenangan ini
memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,
termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya.
Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah
dan batiniah turun temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Maka dari itu, konsepsi hak tanah ulayat menurut hukum tanah adat mencakup
nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang penguasaan tanah
secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak
tanah ulayat bukan hak orang-seorang. Sehingga dapat dikatakan hak tanah
ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota
masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan.

Pada masyarakat hukum Adat di wilayah negara Indonesia terdapat bermacam-


macam hak ulayat, yang masing-masing wilayah hukum Adat berbeda
namanya. Adapun nama-nama hak ulayat tersebut sebagai berikut: Ambon
mengenal “Hak Pertuanan”, Kalimantan “Panyampeto”, Jawa “Wewengkon”,
Bali “Prabumian”, Lombok “Tanah Paer”, dan Minangkabau “Ulayat”, dan
lainnya.
Hak ulayat pada masyarakat hukum Adat mempunyai kekuatan hukum ke
dalam dan keluar.

a. Kekuatan hukum hak ulayat yang berlaku ke dalam, yakni dimana


masyarakat hukum adat setempat terikat oleh aturan-aturan dari penguasa
adat. Tanah dalam masyarakat ulayat dipergunakan untuk kesejahtraan
bersama anggota masyarakat hukum Adat yang bersangkutan.
Masyarakat dapat menggunakan tanah untuk kepentingan pribadi atas izin
penguasa dan mereka diwajibkan untuk memberikan suatu pembayaran
dalam jumlah tertentu. Dengan demikian dalam hak ulayat di samping
hak bersama juga terdapat pula hak perseorangan.
Hubungan antara hak ulayat dengan hak perorangan dalam konsep hukum
adat adalah sebagai berikut.
1) Semakin banyak usaha seseorang atas tanah, makin erat hubungan
dengan tanah dan makin kuat haknya. Jika tanah tidak diusahakan
(diterlantarkan), maka haknya akan hilang.
2) Semakin kuat hak perorangan, hak ulayat melemah, sebaliknya
semakin melemah hak perorangan, semakin kuat hak ulayat. Yang demikian
ini menurut Imam Sudiyat dikenal dengan istilah “mulur mungkret”.

b. Kekuatan hukum hak ulayat berlaku keluar adalah bahwa hak ulayat
dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa masyarakat hukum adat
yang bersangkutan. Masyarakat dari luar wilayah hukum adat dilarang
masuk di lingkungan tanah wilayah hukum adat tersebut tanpa izin
penguasa adat. Boleh masuk dengan syarat membayar apa yang disebut
“pengisi adat”. Jika orang luar masuk tanpa izin dianggap melakukan
tindak pidana yang akan dikenakan sanksi pidana sesuai dengan hukum
Adat yang berlaku pada wilayah adat tersebut.

Tujuan dan Manfaat Mempelajari Hukum Adat


Hukum adat adalah satu satu cabang ilmu hukum yang patut dipelajari.
Mempelajari hukum adat memberikan manfaat yang tidak sedikit. Dengan
mempelajari hukum adat, kita dapat memahami pedoman dan pengaturan apa
yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk mengatur kehidupan bersama
mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui hukum adat dapat membantu kita
pula untuk menentukan hukum nasional seperti apa yang akan dibentuk.

1. Hukum Adat sebagai bentuk budaya hukum Indonesia


Hukum adat sebagai bentuk budaya hukum adat dapat kita lihat pada
keberagaman aturan adat yang ada di Indonesia. Keberagaman aturan adat atau
hukum tersebut disusun secara independen oleh masing-masing fungsionaris
hukum adat yang sifatnya dalam satu kawasan tertentu. Kenapa sifatnya
kedaerahan? Karena masyarakat yang hidup dalam suatu daerah memiliki
hubungan yang erat satu sama lainnya. Hubungan itu muncul dari kekerabatan
dalam keluarga, maupun kekerabatan dalam satu bahasa. Budaya hukum asli
Indonesia tentunya memiliki kekhasan tersendiri yang membedakan dengan
negara lain. Dengan banyaknya suku bangsa di Indonesia, kekhasan itu dibagi
lagi dalam beberapa bentuk hukum adat. Van Vallen Hoven telah membagi
hukum adat di Indonesia menjadi 19 bentuk. Ke 19 pembagian ini memilik
kekhasannya masing-masing. Hukum adat sebagai bentuk budaya hukum
Indonesia lahir dari bentuk yang sangat sederhana sampai ke bentuk yang
komplek sehingga bisa dipakai sebagai alternatif dalam penyelesaian masalah
hukum dalam hukum positif di Indonesia. Hukum adat lahir secara sederhana
melalui kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus oleh suatu
masyarakat hukum adat, dan itu diberlakukan seterusnya terhadap suatu
peristiwa atau permasalahan yang sama. Artinya jika terjadi pelanggaran hukum
setelahnya dengan permasalahan yang sama, maka untuk penjatuhan
hukumannya sudah ada dan itu merupakan hasil kesepakatan bersama. Hukum
adat Indonesia yang menganut sistem kekeluargaan atau musyawarah mufakat
lebih cocok terhadap masalah sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut.
Permasalahan sosial yang terjadi tersebut dapat diselesaikan dengan hukuman
yang tepat sehingga pelaku dapat dengan lapang dada menerima hukuman yang
dijatuhkan. Walaupun sifatnya kekeluargaan, namun terhadap sanksi yang
diberikan lebih efektif dan menimbulkan efek jera bagi pelakunya karena
hukumannya tidak melulu seperti kurungan tapi juga berkaitan dengan sanksi
kesusilaan yang dapat lebih membuat jera karena bisa membuat aib dan
mencoreng nama baik keluarganya. Kekhasan dan fleksibelnya hukum adat
Indonesia merupakan warisan yang sangat berharga dalam melengkapi hukum
positif yang ada di Indonesia sehingga dapat dikatakan sebagai budaya hukum
Indonesia.

2. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Nasional


Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam Pembangunan Nasional sangat
penting sekali, khususnya dalam pembangunan hukum Nasional, karena kita
mengenal adanya sebuah adagium bahwa hukum itu berjalan lamban atau
tertatih-tatih dibandingkan dengan perkembangan masyarakat. Hukum yang
berjalan lamban dan tertatih-tatih ini kita ibaratkan sebagai hukum positif di
Indonesia. Untuk membuat sebuah produk hukum diperlukan banyak analisis-
analisis dalam naskah akademik. Naskah akademik ini tentunya perlu penelitian
yang mendalam agar peraturan yang nantinya dibuat tidak merugikan suatu
pihak dan hanya menguntungkan suatu pihak. Sebuah negara yang memiliki
wilayah yang luas dan keberagaman yang kompleks, tidak mudah membuat
aturan dalam waktu yang singkat. Perlu analisa, diskusi dan perdebatan agar
dilahirkannya suatu hukum positif yang sifatnya memberi keadilan. Hukum adat
hadir untuk itu, dalam pembangunan nasional hukum adat secara langsung
memberikan dampak yang luar biasa, karena masing-masing masyarakat hukum
adat sudah memiliki aturannya sendiri dan itu ditaati oleh masyarakatnya, maka
masing-masing hukum adat itu dapat diibarat sebagai lidi yang disatukan
menjadi sebuah sapu lidi yang diikat dengan bhineka tunggal ika. Maksudnya
disini adalah hukum-hukum yang sifatnya kedaerahan itu ikut berperan dalam
membangun tatanan hukum di Indonesia, dimulai dari mengisi kekosongan
hukum positif hingga menjadi alternatif bagi pencari keadilan yang ingin
menyelesaikan permasalasahannya tidak dihadapan peradilan resmi.

3. Hukum Adat sebagai Sarana Pengendalian Sosial.


Jelas sekali bahwa hukum adat bermanfaat sebagai sarana pengendalian sosial,
karena hukum adat merupakan hukum adat yang langsung bersinggungan
dengan masyarakat terkecil, mulai dari keluarga, kerabat, dan masyarakat lain
yang tergabung dalam masyarakat hukum adat. Hukum adat secara langsung
dapat mengontrol perbuatan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Dengan
demikian pengendalian sosial dalam hukum adat lebih memiliki efek
dibandingan pengendalian sosial yang dilakukan oleh aparat negara. Mengapa
demikian? Karena aparat negara yang bertugas sebagai pengendali sosial
cakupan kerjanya lebih luas sehingga tidak bisa secara langsung mengendalikan
kehidupan bermasyarakat, berbeda dengan hukum adat yang cakupannya lebih
sempit sehingga bisa saling mengatur antar masyarakat hukum adatnya.

KESIMPULAN. Adat Istiadat yang didalamnya terdapat nilai-nilai Kearifan


Lokal (local wisdom) memang mungkin saja kadang terdengar begitu kuno.
Namun tanpa sadar, kearifan lokal dalam bentuk tidak nyata seperti petuah,
pantun, maupun cerita lah yang selama ini menjaga kita untuk tetap berada
dalam jalan yang benar. Sedangkan kearifan lokal berbentuk nyata seperti batik,
kerajinan tangan, arsitektur dan lain sebagainya, membuat kita jadi begitu
berbeda dari wilayah lainnya. Aneka bentuk kearifan lokal ini tanpa sadar bukan
hanya menjadi kepercayaan yang harus dipegang teguh, tetapi juga menjadi
identitas sebuah wilayah. Tanpa identitas ini, sebuah wilayah tidak dapat
dikenali, dan diingat oleh orang luar.

Sedangkan Hukum Adat, yang merupakan salah satu bentuk hukum tidak
tertulis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, walaupun hukum yang satu ini
tidak secara resmi tertulis, namun kadang kala memiliki sifat memaksa kepada
masyarakat yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan, masyarakat adat yang
ada di dalamnya juga memiliki keyakinan akan hukum tersebut sehingga patuh
untuk menaatinya dan percaya akan menerima sanksi jika hukum tersebut tidak
dijalankan dan dilanggar. Adat yang memiliki sanksi disebut dengan hukum
adat. Sedangkan yang tidak memiliki sanksi adalah kebiasaan. Defisini hukum
adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungan satu
sama lain. Baik kebiasaan maupun kesusilaan dalam bermasyarakat.
Sebelumnya, peraturan adat ini menggunakan istilah Peraturan Keagamaan
dalam undang-undang. Pada masa Hindia Belanda, hukum adat yang berlaku
tidak tunduk kepada KUH Perdata dan hukum kebiasaan. Fungsinya untuk
mengatur masyarakat adat agar mendapatkan hidup yang damai. Jika ada yang
melanggar hukum adat maka dikenakan sanksi adat, seperti halnya pemberian
sanksi kepada pelanggar hukum kedaulatan di Indonesia. Berdasarkan Hukum
Adat, Sanksi adat bisa berupa memberikan persembahan, ritual, atau membayar
denda adat, hingga dikucilkan bahkan diusir dari komunitas warga atau
marganya. Sehingga hukum adat merupakan sesuatu peraturan atau hukum yang
diberikan mengikat. Hukum adat berlaku bagi orang-orang yang lahir sebagai
bagian dari suatu adat tersebut. Sehingga antara satu adat dengan yang lain
mungkin akan memiliki peraturan atau sanksi yang berbeda. Ketika seseorang
memasuki sebuah wilayah yang masih berpegang pada hukum adat, maka
seseorang asing tersebut tetap harus mengikuti peraturan yang ada di hukum
adat tersebut (dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung). Namun, jika
seseorang tersebut sudah keluar dari wilayah tersebut, maka hukum adat
tersebut sudah tidak berlaku. Sumber hukum adat adalah peraturan-peraturan
tidak tertulis yang terus tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat serta
dipertahankan. Sebenarnya nilai-nilai dan sifat hukum adat sudah terkandung
dalam butir-butir Pancasila. Contohnya, gotong-royong, musyawarah mufakat,
dan keadilan. Meski tak tertulis dan tidak ada cara khusus, hukum adat tetap
berlaku, dilaksanakan oleh masyarakat dengan sukarela dikarenakan memang
miliknya hingga sampai saat ini.

Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun-
temurun dalam bentuk kesatuan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan
tempat tinggal di wilayah geografis tertentu, identitas budaya, hukum adat yang
masih ditaati, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan
hukum.
Identifikasi terhadap Masyarakat Hukum Adat harus memenuhi persyaratan
yaitu memiliki komunitas tertentu yang hidup berkelompok dalam suatu ikatan
karena kesamaan keturunan dan/atau teritorial; mendiami suatu wilayah adat
dengan batas tertentu secara turun-temurun; memiliki pranata atau perangkat
hukum dan ditaati kelompoknya sebagai pedoman dalam kehidupan Masyarakat
Hukum Adat; dan/atau mempunyai Lembaga Adat yang diakui oleh Masyarakat
Hukum Adat.

Dengan mempelajari hukum adat akan memberikan manfaat yang tidak sedikit.
Secara garis besarnya dengan mempelajari hukum adat, kita dapat memahami
pedoman dan pengaturan apa yang menjadi landasan suatu masyarakat untuk
mengatur kehidupan bersama mereka. Pada gilirannya, dengan mengetahui
hukum adat dapat membantu kita pula untuk menentukan hukum nasional
seperti apa yang akan dibentuk.

Hal tersebut diatas dapat dilihat dalam Pembentukan Undang-Undang tentang


Masyarakat Adat yang saat ini masih dalam tahap Rancangan Undang-Undang
(RUU) dan sedang menunggu pengesahan dari Pemerintah Republik Indonesia.
_Lihat RUU Masyarakat Adat.
AZAS –AZAS HUKUM ADAT

I. HUKUM PERORANGAN

II. HUKUM KEKELUARGAAN

III. HUKUM PERKAWINAN

IV. HUKUM HARTA PERKAWINAN

V. HUKUM ADAT WARIS

VI. HUKUM TANAH

VII. HUKUM HUTANG PIUTANG

VIII. HUKUM ADAT DELIK


I. HUKUM PERORANGAN

SUBJEKTUM YURIS / SUBJEK HUKUM

Istilah subjek hukum berasal dari bahasa Belanda, dari kata rechtsubject yang
berarti pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia baik warga negara
maupun orang asing dengan tidak memandang agama atau kebudayaannya
adalah subyek hukum. Manusia sebagai pembawa hak (subyek), mempunyai
hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan hukum, seperti melakukan
perjanjian, melangsungkan perkawinan, membuat wasiat, dan lain-lain. Oleh
karena itu, manusia oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban
sebagai subyek hukum. Secara sederhana, subjek hukum adalah segala
sesuatu yang menyandang hak dan kewajiban. Adapun yang termasuk
sebagai subjek hukum adalah manusia (naturlijk person) dan badan hukum
(recht person).

Pengertian Subjek Hukum Menurut Para Ahli

1. Utrecht mengartikan subjek hukum adalah suatu pendukung hak, yaitu


manusia atau badan yang menurut hukum berkuasa menjadi pendukung
hak.
2. Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa subjek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.
3. Subekti yang menyatakan bahwa subjek hukum adakah pembawa hak
atau subjek dalam hukum, yaitu orang.
4. R. Soeroso mengatakan subjek hukum adalah:
a. sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk
bertindak dalam hukum;
b. sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa
bertindak menjadi pendukung hak (rechtbevoegd heid);
c. segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan
kewajiban.
5. Purbacaraka dan Soekanto menerangkan bahwa subjek hukum adalah
pihak-pihak yang berhubungan dengan sistem hukum. Adapun sifat-sifat
subjek hukum meliputi hal-hal yang antara lainnya:
a. mandiri karena mempunyai kemampuan penuh untuk bersikap
tindak;
b. terlindung karena (dianggap) tidak mampu bersikap tindak;
c. perantara yang walaupun berkemampuan penuh sikap tindaknya
dibatasi, sebatas kepentingan pihak yang ditengahi (diantarai).

Lebih lanjut, Purbacaraka dan Soekanto menerangkan bahwa hakikat subjek


hukum ini dibedakan antara:
a. pribadi kodrati/natuurlijk persoon yaitu manusia tanpa terkecuali;
b. pribadi hukum/rechtpersoon yaitu:
o Suatu keutuhan harta kekayaan, misalnya wakaf dan Yayasan
o Suatu bentuk susunan relasi, misalnya koperasi, perseroan terbatas
di bidang Hukum Perdata dan Negara serta bagiannya di bidang
Hukum Tantra/Negara;
c. tokoh atau status: dalam konteks ini, status dapat digunakan dalam
berbagai bidang hukum, misalnya suami-istri dalam hukum keluarga atau
pewaris-ahli waris dalam hukum waris.

1. Manusia sebagai Subjek Hukum (naturlijk persoon)

Manusia sebagai subjek hukum sejak saat dia dilahirkan dan berakhir pada saat
ia meninggal dunia, bahkan seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya
dapat dianggap sebagai pembawa hak (dianggap telah lahir), apabila
kepentingannya memerlukannya (untuk menjadi ahli waris).
Hal ini telah disebutkan dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata), yang berbunyi:
“Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah
dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Mati sewaktu
melahirkannya, dianggaplah ia tidak pernah telah ada”.
Manusia sebagai subyek hukum mempunyai kewenangan untuk melakukan
tindakan hukum apabila manusia itu telah dewasa serta sehat
rohaninya/jiwanya, dan tidak ditaruh di bawah pengampuan. Dengan demikian,
manusia yang wenang hukum belum tentu cakap hukum karena manusia dewasa
memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum, tetapi dalam keadaan tertentu
ia tidak cakap melakukan tindakan hukum. Oleh karena itu, seorang manusia
dianggap cakap hukum harus memenuhi 2 (dua) kriteria, yaitu:
a) dewasa, sehat rohani/jiwanya,
b) tidak di bawah pengampuan.
Ada beberapa golongan manusia yang oleh hukum telah dinyatakan tidak
cakap untuk melakukan sendiri perbuatan hukum dan harus diwakili oleh
orang lain (orang tua/wali), yaitu:
a. manusia yang masih di bawah umur (belum dewasa)
b. manusia yang tidak sehat pikirannya (gila), pemabuk, pemboros,
yakni mereka yang ditaruh di bawah curatele (pengampuan)
c. seorang perempuan dalam perkawinan (wanita kawin) yang
tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata)

Dewasa
Secara luas, kata dewasa juga digunakan untuk menggambarkan kondisi
seseorang dengan pemikiran yang sudah matang.

Penggunaan oleh masyarakat tersebut sejalan dengan pengertian dewasa


menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dewasa diartikan sebagai:
a. sampai umur; akil balig (bukan kanak-kanak atau remaja lagi;
b. telah mencapai kematangan kelamin;
c. matang (tentang pikiran, pandangan, dan sebagainya).

Menggunakan definisi KBBI tersebut, selain berkaitan dengan kematangan


pikiran, dewasa juga diartikan sebagai fase pertumbuhan manusia setelah
remaja dan mencapai kematangan kelamin. Artinya, sebagai fase pertumbuhan,
umumnya menjadi dewasa tidak dapat dihindari. Dalam konteks kematangan
pikiran, pertumbuhan fisik, dan pencapaian kematangan kelamin tidak serta
merta membuat seseorang matang matang pikiran.
Ukuran dewasanya seorang manusia itu berbeda-beda kriterianya
menurut hukum/undang-undang yang mengaturnya, misalnya:
a) Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), bahwa dewasanya seorang
pria adalah setelah ia berumur 18 tahun, dan dewasanya untuk seorang
wanita adalah setelah ia berumur 15 tahun (pasal 29 KUH Perdata),
dalam hal untuk dapat kawin, kecuali atas izin Presiden RI.
b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bahwa
dewasanya seorang pria adalah setelah ia berumur 19 tahun, dan
dewasanya seorang wanita adalah setelah ia berumur 16 tahun (pasal 7
ayat (1)). Revisi menjadi masing-masing berumur 19 tahun bagi laki-laki
dan perempuan.
c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPid), bahwa dewasanya
seorang pria dan wanita apabila ia telah berumur 16 tahun (Pasal 45).
d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR dan DPD, bahwa dewasanya warga negara (pria dan
wanita) setelah ia berumur 17 tahun atau sudah Kawin (pasal 19)
e) Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia dikatakan bahwa dewasanya seseorang apabila ia
telah berumur 21 tahun (Pasal 5 ayat (2) huruf a)
f) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa yang
belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun, dan tidak kawin sebelumnya (Pasal 330).
g) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan batas umur anak yang
mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan (Pasal 98 ayat (1)).
h) Surat Keputusan Dirjen Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster)
No. Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13-7-1977 membagi pengertian dewasa
menjadi: 1) dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk
dapat ikut Pemilu; 2) dewasa seksual, misalnya adalah batas umur 18
tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang
Perkawinan yang baru; 3) dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur
tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam
hukum.
i) Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA-RI) Nomor
07 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan,
dan Hasil Rapat Kamar Perdata Mahkamah Agung RI tanggal 14-16
Maret Tahun 2011 disepakati bahwa batas usia dewasa adalah 18 tahun.
j) Surat Edaran Menteri Agraria dan tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 4/SE/I/2015 tentang Batasan Usia Dewasa dalam
Rangka Pelayanan Pertanahan menetapkan bahwa usia dewasa yang
dapat melakukan perbuatan hukum dalam rangka pelayanan pertanahan
adalah paling kurang 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
k) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
menyatakan anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.
l) Pasal 39 dan 40 Undang-Undang tentang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris yang mengatur bahwa syarat menjadi pengadap juga
saksi adalah 18 tahun (Pasal 47 ayat (1)).
m) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden mendefinisikan Pemilih adalah Warga
Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau
sudah/pernah kawin (Pasal 7).
n) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyatakan
Warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila
telah berumur 17 tahun atau sudah/ pernah kawin (Pasal 14 ayat (1)).
o) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan, menyatakan Penduduk Warga Negara Indonesia adalah
Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17
tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki e-KTP (Pasal
63).
p) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak dalam Pasal 1 angka 3, angka 4 dan angka 5 diatur: anak yang
berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun,
tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana;
anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum
berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau
kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana; anak yang
menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun
yang dapat memberikan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
q) Dll…
Jika kita mengamati putusan-putusan hakim terdapat ketidakseragaman
penerapan batas usia dewasa meski untuk perkara-perkara serupa. Lantas
kategori dewasa manakah yang digunakan?
Dalam sistem hukum jika terjadi gesekan di antara norma hukum maka asas
hukum digunakan untuk memecah kebuntuan. Dalam konteks konflik antar-
peraturan perundang-undangan, asas-asas yang relevan untuk digunakan adalah:
 lex superior derogat legi inferior (aturan yang lebih tinggi mengalahkan
aturan yang lebih rendah);
 lex specialis derogat legi generalis (aturan yang lebih spesifik
mengalahkan aturan yang lebih umum);
 lex posterior derogat legi priori (aturan yang lebih baru mengalahkan
aturan yang lama).

Berkaitan dengan batas usia dewasa, ketentuan dalam KUHPerdata dipandang


sebagai ketentuan umum, sehingga untuk bidang keperdataan yang khusus
digunakan undang-undang yang lebih spesifik. Asas lex specialis derogat legi
generalis diberlakukan dalam konteks itu, syaratnya peraturan yang
bersinggungan haruslah sederajat. Meskipun keberadaan asas hukum dapat
memecahkan kebuntuaan, tetap dibutuhkan harmonisasi. Penggunaan asas
hukum amat bergantung pada penegak hukum maupun pemangku kebijakan.
Hal lain adalah mempertimbangkan batas usia yang sudah ada apakah sudah
sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang tujuannya adalah untuk memberi
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan hukum itu sendiri.

2. Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum (Rechts Persoon)

Selain manusia pribadi sebagai subyek hukum, terdapat juga badan hukum.
Badan hukum (recht persoon) adalah perkumpulan-perkumpulan yang dapat
menanggung hak dan kewajiban yang bukan manusia. Badan hukum sebagai
pembawa hak dan kewajiban yang tidak berjiwa dapat sebagai pembawa hak
manusia, seperti dapat melakukan persetujuan, memiliki kekayaan yang sama
sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya.
Untuk keikutsertaannya dalam pergaulan hukum maka suatu badan hukum
harus mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum, yaitu:
a) memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan anggota-anggotanya;
b) hak/kewajiban badan hukum terpisah dari hak/kewajiban anggota
Badan hukum adalah suatu perkumpulan manusia pribadi mungkin juga sebagai
kumpulan dari badan hukum yang pengaturannya sesuai dengan hukum yang
berlaku, seperti:
a. Perseroan Terbatas (PT) telah diatur dalam Buku 1 bagian ketiga Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
b. Koperasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992.
c. Yayasan, pengaturannya sesuai kebiasaan yang dibuat aktanya di Notaris
d. Bank Pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang mengatur
pendiriannya
e. Organisasi partai politik diatur dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Tentang Partai Politik
f. Pemerintah Daerah, dan Kecamatan diatur dengan Undang-Undang
Nomor 34 Tahun 2004 Negara Republik Indonesia diatur dengan
Undang-Undang Dasar 1945

Badan hukum ini kalau dilihat dari bentuknya, menurut CST. Kansil terdiri atas:
a. Badan hukum publik, yaitu negara, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten, Desa dan sebagainya
b. Badan hukum perdata, yang dapat dibagi lagi dalam:
i. badan hukum perdata Eropa, seperti perseroan terbatas, yayasan,
lembaga, koperasi, gereja;
ii. badan hukum Indonesia, seperti gereja Indonesia, Masjid, Wakaf,
Koperasi Indonesia dan sebagainya.

Badan hukum publik (public recht persoon) adalah badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum publik yang menyangkut kepentingan publik (orang
banyak) atau negara pada umumnya. Badan hukum ini merupakan badan-badan
hukum negara yang mempunyai kekuasaan wilayah atau lembaga yang dibentuk
oleh yang berkuasa, berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan
eksekutif, pemerintah, atau badan pengurus yang diberi tugas untuk itu.
Badan hukum privat/perdata atau sipil adalah badan hukum yang diberikan
berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan pribadi di
dalam badan hukum itu. Badan hukum itu merupakan badan hukum swasta
yang didirikan oleh pribadi orang untuk tujuan tertentu, yakni mencari
keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, politik budaya, kesenian,
olah raga, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah.
Dasar pembenar bahwa badan hukum sebagai subyek hukum, mempunyai hak
dan kewajiban tercermin dari teori-teori dasar yuridis badan hukum yang
terkenal, yaitu:
a. Teori Fiksi (F.C. Von Savigny, C.W. Opzoomer, dan Houwing)
b. Teori kekayaan tujuan (A. Brinz dan Ejj Vander Heyden)
c. Teori organ atau teori peralatan atau kenyataan (Otto von Gierke)
d. Teori milik kolektif atau popriette collectief (W.L.P.A. Molengraaf dan
Marcel Planiol)
e. Teori Duguit
f. Teori Eggens

Menurut teori fiksi, bahwa badan hukum dianggap buatan negara, sebenarnya
badan hukum itu tidak ada, hanya orang menghidupkan bayangannya untuk
menerangkan sesuatu dan terjadi karena manusia yang membuat berdasarkan
hukum.

Teori kekayaan tujuan menyatakan bahwa kekayaan badan hukum itu bukan
kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat pada tujuannya. Tiap hak tidak
ditentukan oleh suatu subyek, tetapi ditentukan oleh suatu tujuan. Dalam teori
ini, A. Brinz hanya dapat menerangkan dasar yuridis dari yayasan.

Teori organ/teori peralatan atau kenyataan menyatakan bahwa badan hukum


adalah sesuatu yang sungguh-sungguh ada di dalam pergaulan yang
mewujudkan kehendaknya dengan perantaraan alat (organ) yang ada padanya
(pengurusnya).

Menurut teori milik kolektif, bahwa badan hukum ialah harta yang tidak dapat
dibagi-bagi dari anggota secara bersama-sama. Hak atau kewajiban badan
hukum pada hakikatnya dalam hak atau kewajiban para anggota bersama-sama,
karena badan hukum hanya konstruksi yuridis, jadi pada hakikatnya abstrak.
Selanjutnya Duguit menyatakan, bahwa sesuai dengan ajarannya tentang fungsi
sosial, dalam teori ini Duguit tidak mengakui adanya badan hukum sebagai
subyek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilaksanakan.
Manusia sajalah yang sebagai subyek hukum, lain dari manusia tidak ada
subyek hukum. Sedangkan teori Eggens menyatakan bahwa badan hukum
adalah suatu hulpfiguur, karena adanya diperlukan dan dibolehkan hukum, demi
untuk menjalankan hak-hak dengan sewajarnya (behoorlijk)
SUBJEKTUM YURIS / SUBJEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Hukum adat mengenal 2 (dua) subyek hukum yaitu:

1. Manusia Sebagai Subyektum Yuris.

Pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui mempunyai wewenang
hukum yang sama, yang oleh Djojodigoeno memakai istilah “kecakapan
berhak”, tetapi dalam kenyataannya di beberapa daerah terdapat pengecualian-
pengecualian, seperti:
o Minangkabau orang perempuan tidak berhak menjadi Penghulu
Andiko atau Mamak kepala waris.
o Daerah-daerah Jawa Tengah tahun 1934-1938 di dalam beberapa
desa yang berhak menjadi kepala desa hanyalah anak laki-laki.

Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan
hukum (Djojodigoeno menggunakan istilah “kecakapan bertindak”). Menurut
hukum adat cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang-orang
seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Ukuran
dewasa dalam hukum adat bukanlah umur tetapi kenyataan-kenyataan
tertentu.

Kapan seorang- orang dianggap dewasa? Kriteria (ukuran) dewasa dalam


hukum adat adalah berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata
Barat.

Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-


kenyataan ciri- ciri tertentu (Profesor Soepomo dalam “Adatprivaatrecht
van West-Java” halaman 31).

Ciri- ciri yang bagaimanakah yang menentukan seseorang sudah dewasa atau
belum? Menurut Profesor Soepomo dalam bukunya tersebut di atas, seseorang
sudah dianggap dewasa dalam hukum adat, apabila ia antara lain sudah:
o Kuwat gawe (dapat/ mampu bekerja sendiri).
o Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan
kemasyarakatan serta mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya
itu.
o Cakap mengurus harta bendanya serta lain keperluan sendiri.
o Tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan
orang tuanya
Menurut hukum adat pengertian tentang “dewasa” baru mulai setelah
tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang
tua. Jadi bukan asal sudah kawin saja. Perlu dijelaskan di sini, bahwa yang
dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua
itu adalah cukup misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri
dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang
tuanya yang berdiri sendiri atau pun yang dipisahkan dari bagian yang ditempati
orang tuanya jadi tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar
pekarangan rumah orang tuanya.

Menurut Profesor Djojodiguno dalam bukunya “Asas- Asas Hukum


Adat”, hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang- orang
yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap
melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam
kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Pada umumnya menurut hukum adat Jawa seseorang cakap penuh


melakukan perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri dan berkeluarga
sendiri (sudah “mentas” atau “mencar” (Jawa). Tetapi sebaliknya tidak dapat
dikatakan, bahwa seseorang yang belum sampai keadaan yang demikian itu,
tentu sama sekali belum cakap melakukan perbuatan hukum. Misalnya dalam
menghadap hakim di muka pengadilan untuk perkara perdata. Bila berhubungan
dengan usianya harus dianggap tidak cakap sepenuhnya, maka ia harus diwakili
orang tuanya atau walinya, tetapi bila perkara yang sedang diadili itu ia
dianggap telah cukup cakap untuk memperhitungkan dan memelihara
kepentingannya sendiri, boleh ia menghadap sendiri, terlepas daripada sudah
dewasa atau belum.
Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi), Jakarta dalam keputusannya
tertanggal 16 Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita untuk
dapat dianggap “cakap menyatakan kehendaknya sendiri (“mondigheid”)
sebagai berikut:
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai istri (“geslachts rijp- heid”)
c. Cakap untuk melakukan perbuatan- perbuatan sendiri.

Keputusan Raad van Justitie tersebut di atas menunjukkan adanya


pemakaian dua macam kriteria yang tergabung menjadi satu, yakni
Kriteria Barat yaitu (dilihat dari) umur dan Kriteria Adat yaitu (dilihat
dari) kenyataan ciri- ciri tertentu. Umur 15 tahun diambil dari pasal 29 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata serta cakap untuk melakukan perbuatan-
perbuatan sendiri diambil dari Kriteria Adat. Keputusan Raad van Justitie ini
sudah barang tentu mempunyai pengaruh terhadap perkembangan Hukum Adat,
khususnya dalam bidang penetapan kriteria dewasa. Hal ini jelas sekali terlihat
dalam gejala yang nampak/terlihat pada penetapan kriteria untuk dewasa atau
cakap hukum dalam perkembangan Hukum Adat menuju Hukum Nasional,
yaitu bahwa kriteria umur, di samping status sudah kawin, lambat laun menjadi
biasa dipakai menggantikan kriteria kenyataan ciri-ciri tertentu. Sebagai bukti
terhadap mulai ditinggalkannya kriteria ciri-ciri tertentu serta mulai dipakainya
kriteria umur kiranya dapat disebut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 3
September 1958 Reg. No. 316/K/Sip/1958 dalam mengadili tingkat kasasi
perkara gugatan seorang anak kepada bapaknya yang sementara itu sudah
bercerai dari ibunya, minta pembayaran biaya penghidupan dan pendidikan.
Dalam konsiderans keputusan tersebut telah berumur 20 tahun, ia dipandang
sudah dewasa, sehingga tuntutannya akan pembayaran biaya penghidupan dan
pendidikan tidaklah beralasan dan dengan demikian tuntutan itu harus
dinyatakan tidak dapat diterima.

2. Badan Hukum Sebagai Subyektum Yuris.

Badan Hukum sebagai Subjek Hukum dikenal ada 2 (dua) macam, yaitu:

a. Badan Hukum Publik.

Badan hukum publik adalah persekutuan/masyarakat hukum adat, seperti dusun,


desa, nagari, family, marga dan lain sebagainya), sebagai perkumpulan-
perkumpulan yang memiliki organisasi yang tegas dan rapi. Mapalus,
(Minahasa), jula- jula (Minangkabau), mohakka (Salayar), subak (Bali) dan lain
sebagainya. Masyarakat hukum adat merupakan satu kesatuan penguasa yang
mempunyai kekayaan tersendiri berupa benda-benda materiil maupun benda
immaterial yang diurus oleh pengurus yang dipimpin oleh Kepala Adat.

Badan hukum publik merupakan subjek hukum yang bertujuan untuk:


a. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan bersama dalam setiap kegiatan-
kegiatan bersama.
b. Adanya tujuan-tujuan idiil yang ingin dicapai secara bersama.

Dengan demikian badan hukum publik mempunyai:


a. Pemimpin/ Pengurus
b. Harta kekayaan sendiri
c. Wilayah tertentu

b. Badan Hukum Privat.


Di muka telah dijelaskan, bahwa dalam hukum adat sebagai badan-badan
hukum yang dapat pula bertindak sebagai subyek hukum adalah wakaf, yayasan
dan juga koperasi.

Wakaf

Wakaf (bahasa Arab: ‫وقف‬, [ˈwɑqf]; plural bahasa Arab: ‫أوقاف‬, awqāf; bahasa
Turki: vakıf, bahasa Urdu: ‫ ))وقف‬adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang
melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu, sesuai dengan kepentingannya, guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum sesuai Syariah. Dalam kenyataannya kita dapat
mewakafkan tanah atau barang untuk tiap maksud asalkan tidak bertentangan
atau dilarang oleh agama. Ada pendapat yang mengkaitkan perbuatan hukum
yang menimbulkan wakaf itu dengan tujuan-tujuan ataupun maksud-maksud
religious.

Wakaf adalah Yaitu suatu lembaga/badan yang bertugas untuk mengurus harta
kekayaan yang oleh pemiliknya diserahkan kepada masyarakat untuk digunakan
bagi kepentingan umum masyarakat, yang biasanya digunakan untuk keperluan
yang ada hubungannya dengan bidang keagamaan.

Dalam adat ada 2 (dua) macam pengertian wakaf antara lain:


a. Mencadangkan suatu pekarangan atau sebidang tanah untuk masjid atau
langgar; bahkan jika perlu disertai dengan tanah pertanian yang berada
disekelilingnya guna memberi kesempatan kepada para pejabat
masjid/langgar untuk memungut hasilnya guna mengongkosi
penghidupannya beserta keluarganya dan juga di sertai dengan buku-buku
keagamaan untuk dipakai di masjid/langar itu;
b. Menentukan sebagian dari harta-benda yang dimiliki sebagai benda yang
tidak dapat dijual-belikan demi kepentingan keturunannya yang berhak
memungut penghasilannya.

Lembaga hukum wakaf ini berasal dari hukum Islam (Syariah Islam). Oleh
karena itu pelaksanaanya juga terikat oleh syarat-syarat yang ditetapkan oleh
hukum Islam seperti berikut:
a. Yang membuat wakaf harus mempunya hak penuh (menurut hukum adat)
atas apa yang diinginkan akan diwakafkan
b. Benda yang diwakafkan harus ditunjuk dengan terang akan maksud serta
tujuannnya yang tidak bertentangan atau dilarang agama, harus di
jelaskan
c. Mereka yang memberikan wakaf harus disebut dengan terang
d. Maksudnya harus tetap (terus menerus dan tidak berubah), dalam hal
peruntukannya
e. Yang menerima wakaf harus menerima (Kabul)
Benda-benda yang dapat diwakafkan terdiri dari:
a. tanah kosong untuk pemekaman umum, mesjid, surau atau tempat ibadah
lainnya.
b. Rumah atau suatu bangunan tertentu berikut tanahnya yang akan
diperuntukkan bagi kantor agama, mesjid, surau, madrasah, pondok
pesantren, sekolah keagamaan lainnya, asrama dan rumah pertemuan
keagamaan lainnya.

Di dalam perjalanannya mereka yang mewakafkan dapat menunjuk seseorang


untuk mengurus harta benda yang diwakafkan itu. Apabila orang yang
dikuasakan ini tidak ada, maka kepala masjid/langgar melakukan pekerjaan itu
atas jabatannya. Semua tindakan-tindakan yang wajib dilakukan untuk
mencapai tujuan wakaf, termasuk pula pelaksanaannya adalah tugas dari pada
penguasa wakaf.

Yayasan

Masyarakat membutuhkan juga suatu badan hukum yang tidak terikat oleh
syarat-syarat hukum Islam. Badan hukum yang demikian ini adalah Yayasan
dan koperasi. Yayasan merupakan badan hukum yang melakukan kegiatan
dalam bidang sosial. Yayasan dibentuk dengan akta pembentukan. Akhir-akhir
ini dijumpai pula Yayasan-Yayasan di kalangan masyarakat yang bergerak
dibidang kematian, bidang pemeliharaan anak yatim piatu dan lain sebagainya.

Yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan
bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan
persyaratan formal yang ditentukan dalam undang-undang.

Di Indonesia, yayasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004


tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan.

Koperasi

Koperasi adalah perkumpulan di mana ke luar-masuknya anggota diizinkan


secara leluasa. Tujuan koperasi adalah meningkatkan kesejahteraan para
anggotanya secara gotong royong dan lazimnya bergerak di bidang
perekonomian. Koperasi didirikan berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam Undang-Undang No. 79 tahun 1958 jo. Undang-Undang No. 14
tahun 1965 jo. Undang-Undang No. 12 tahun 1967 adalah suatu badan hukum.
Dan pada pasal 2 Undang-Undang No. 12 tahun 1967 tersebut ditegaskan
bahwa Landasan-Landasan Koperasi adalah sebagai berikut:
 Landasan idil adalah Pancasila
 Landasan struktural adalah Undang-Undang Dasar 1945
 Landasan gerak adalah pasal 33 ayat (1) UUD 1945 “perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”.
 Landasan mental adalah setiakawan dan kesadaran pribadi

Pengertian lain koperasi merupakan suatu badan usaha yang beranggotakan


orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan (UU No. 25/ 1992) Koperasi berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945 serta berdasar atas asas kekeluargaan.

CATATAN. Dalam hukum adat di samping manusia juga dikenal badan hukum
sebagai subyek hukum. Hal ini ditetapkan dalam Lembaran Negara
(“Staatsblad”) tahun 1927 nomor 91 pasal 1 (periksa juga pasal 3). Jawa
Tengah mengakui juga sebagai badan hukum, perkumpulan-perkumpulan yang
mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas dan rapi. Di pulau Bali
didapati pula badan-badan hukum adat seperti sekaha subak, sekaha banjar yang
berarti perserikatan subak, perserikatan banjar. Dalam masyarakat adat rupa-
rupanya diakui juga sebagai subyektum yuris pada budak dan hamba sahaya
setelah perbudakan dan perhambaan ini dilarang oleh pemerintah kolonial,
maka masalah budak dan hamba sebagai subyektum yuris ini dengan sendirinya
lenyap pula dalam masyarakat sehari-hari. (Van Vollenhoven “Het Adatrecht
van Nederland- Indie” jilid II halaman 545). Badan-badan hukum yang ada
ialah antara lain desa, suku, nagari, wakaf, yayasan dan juga koperasi. Ternyata
hukum perorangan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menganut dua
sumber hukum yaitu hukum adat Indonesia dan hukum yang berasal dari
Belanda. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum perorangan di Indonesia.
Oleh karena itu perlu adanya usaha untuk lebih menggali sumber-sumber
hukum yang ada di Indonesia demi terbentuknya suatu hukum Nasional
Indonesia.
II. HUKUM KEKELUARGAAN

KETURUNAN (GENEALOGIS)

Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara


orang yang seorang dan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah, jadi yang tunggal leluhur, adalah keturunan yang seorang dari
yang lain. (Prof. Djojodigoeno, “Azas Hukum Adat”). Individu sebagai
keturunan (anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tertentu yang berhubungan dengan kedudukannya dalam keluarga yang
bersangkutan, misalnya boleh ikut menggunakan nama keluarga, boleh ikut
menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga, wajib saling
pelihara/memelihara dan saling bantu/membantu, dan saling mewakili dan
melakukan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.
Dalam keturunan setiap kelahiran merupakan tingkatan atau derajat, misalnya
sorang anak merupakan keturunan tingkat I dari bapaknya, cucu merupakan
keturunan tingkat II dari kakeknya. Tingkatan atau derajat demikian biasanya
dipergunakan untuk kerabat-kerabat raja, untuk menggambarkan dekat atau
jauhnya hubungan keluarga dengan raja yang bersangkutan.

Keturunan dapat dibedakan beberapa macam, yaitu:


1. Lurus. Yaitu apabila seseorang merupakan keturunan langsung dari atas
kebawah atau sebaliknya, misalnya antara bapak dan anak sampai cucu,
sebaliknya dari anak, bapak dan kakek disebut lurus ke atas.
2. Menyimpang atau bercabang. Yaitu apabila kedua orang atau lebih ada
ketunggalan leluhur, misal bersaudara bapak atau ibu atau sekakek.

Hukum adat mengenal jenis sistem keturunan yang dibagi menjadi 3 (tiga)
kelompok (Soerojo Wignyodipoero: 1994: 109), yaitu:
1. Patrilineal. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak. Dalam
sistem ini kedudukan anak laki- laki lebih utama dibandingkan anak
perempuan. Bila suatu keluarga tidak memiliki anak laki- laki maka
keluarga tersebut harus melakukan pengangkatan anak (adopsi). Pada
sistem kekerabatan ini berlaku adat perkawinan jujur seteleh terjadi
perkawinan, si istri harus mengikuti suami dan menjadi anggota kerabat
suami, termasuklah anak – anak yang dilahirkan dari perkawinannya.
Sistem kekerabatan patrilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Gayo,
Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara, Irian.
2. Matrilineal. Sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu. Dalam
sistem ini kedudukan anak perempuan lebih unggul dibandingkan anak
laki-laki. Dalam sistem ini umumnya berlaku perkawinan semenda.
Perkawinan semenda yaitu setelah perkawinan terjadi, si suami yang
mengikuti si istri, namun suami tetap menjadi anggota kerabat asal dan
tidak masuk ke dalam kerabat istri, sedangkan anak-anak dari hasil
perkawinan harus mengikuti anggota kerabat ibunya. Sistem kekerabatan
materilineal ini biasanya diikuti pada masyarakat Minang kabau,
Enggano, Timor.
3. Bilateral/Parental. Sistem keturunan yang ditarik dari garis dua sisi
(bapak/ibu) atau disebut Ouderelijk. Dimana kedudukan anak laki-laki
maupun perempuan tidak dibedakan atau dianggap sama dan setara.
Dalam sistem kekerabatan ini berlaku perkawinan bebas, dalam arti:
kedudukan suami/istri sederajat dan seimbang. Sistem kekerabatan ini
diikuti oleh masyarakat Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan lain-lain.
Lazimnya untuk kepentingan keturunannya dibuat “silsilah” / “bagan”, dimana
digambarkan dengan jelas garis-garis keturunan dari seseorang dari suami/ isteri
baik yang lurus ke atas maupun yang lurus ke bawah, ataupun yang
menyimpang.

Dalam hubungan kekeluargaan hal tersebut di atas merupakan faktor


yang sangat penting dalam hal:

1. Masalah perkawinan, yaitu untuk meyakinkan apakah ada hubungan


kekeluargaan yang merupakan larangan untuk jadi suami istri
2. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian
harta peninggalan.

HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUANYA

Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam masyarakat adat dan
bagi orang tuanya anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, di pandang pula
sebagai wadah dimana semua harapan orang tuanya kelak dikemudian hari
wajib di tumpahkan, di pandang pula sebagai pelindung orang tuanya kelak bila
orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.

Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan
ibu) akan menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
a. larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu
b. saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah
c. Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak
perempuannya apabila pada upacara akad nikah yang dilakukan secara
Islam.

Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di


masyarakat Jawa kewajiban orangtua kepada anaknya sampai dengan anak
tersebut dewasa dan hidup mandiri. Pada sistem Parental tanggung jawab tidak
hanya dibebankan kepada bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung
kepada anak-anaknya.

Dalam masyarakat adat didapati banyak upacara-upacara adat yang sifatnya


religio-magis yang penyelenggaraannya terjadi secara berurut-urutan mengikuti
pertumbuhan fisik anak tersebut. Hal tersebut dilakukan bertujuan melindungi
anak beserta ibu yang mengandungnya dari segala bahaya, gangguan-gangguan
serta harapan agar sang anak menjelma menjadi seseorang yang memenuhi
harapan orang tuanya.
Anak kandung memiliki kedudukan yang penting dalam somah (keluarga),
yaitu:
1. sebagai penerus generasi
2. sebagai pusat harapan orang tuanya dikemudian hari
3. sebagai pelindung orang tua kemudian hari dan lain sebagainya, apabila
orang tuanya sudah tidak mampu baik secara fisik ataupun orang tuanya
tidak mampu bekerja lagi.

Oleh karena itu maka sejak anak itu masih dalam kandungan hingga ia
dilahirkan, kemudian dalam pertumbuhan selanjutnya, dalam masyarakat adat
diadakan banyak upacara-upacara adat yang sifatnya religious-magis serta
penyelenggaraannya berurut-urutan mengikuti perkembangan fisik anak yang
kesemuanya itu bertujuan melindungi anak beserta ibunya dari segala macam
bahaya dan gangguan-gangguan serta kelak anak dilahirkan, agar anak tersebut
menjadi seorang anak dapat memenuhi harapan orang tuanya.

Ujud upacara setiap daerah berbeda satu dengan daerah yang lainnya. Misalnya
upacara-upacara daerah Priangan, masyarakat adat Priangan mengadakan
upacara adat sebagai berikut:
a. anak masih dalam kandungan: bulan ke 3, 5, bulan ke 7 dan ke 9, pada
bulan ke 7 disebut “Tingkep”.
b. Pada saat lahir: penanaman “bali” atau kalau tidak ditanam diadakan
upacara penganyutan ke laut.
c. Pada saat “tali ari” diputus, diadakan sesajen dan juga pada saat
pemberian nama.
d. Setelah anak berumur 40 hari, upacara cukur yang diteruskan pada saat
anak menginjakkan kakinya untuk pertama kalinya di bumi/disentuhkan
pada tanah.

Anak yang lahir dapat terjadi dalam hal berikut:


a. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Pasal 42 UU No. 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan (UUP). “Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
b. Anak yang lahir di luar perkawinan
c. Anak yang lahir karena hubungan perzinaan
d. Anak yang dilahirkan setelah perceraian.

Dalam masyarakat Indonesia banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan
di luar perkawinan yang sah. Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan
dengan wanita yang melahirkan maupun dengan pria yang bersangkutan dengan
anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai pandangan yang sama. Di
Mentawai, Timor-Timor, Minahasa, dan Ambon, misalnya wanita yang
melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa
seperti kejadian normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan
yang sah. Akan tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib
mencela keras si ibu yang tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka
semula lazimnya dibuang dari persekutuannya (artinya tidak diakui lagi sebagai
warga persekutuan), kadang-kadang malah dibunuh atau seperti halnya di
daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada raja sebagai budak
(Bushar Muhammad, 2006; hal;7). Tindakan-tindakan tersebut dilakukan karena
takut melihat adanya kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta
upacara-upacara dan selamatan-selamatan yang diperlukan.
Untuk mencegah nasib buruk antara si ibu dengan anaknya, terdapat suatu
tindakan adat dimana masyarakat adat akan memaksa pria yang bersangkutan
untuk kawin dengan wanita yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut
diwajibkan melangsungkan perkawinan dengan wanita yang karena
perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria tersebut. Di
Sumatera Selatan tindakan tersebut dilakukan oleh Rapat Marga. Demikian pula
di Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud tidak mau mengawini
wanita yang telah melahirkan anak tersebut, akan di jatuhi hukuman. Selain
melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut
dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan
dilakukan dengan maksud agar anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang
sah, sehingga anak itu menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak
dijumpai di desa- desa di Jawa (disebut nikah tambelan) dan di tanah suku
Bugis disebut pattongkog sirik. Anak yang di lahirkan diluar perkawinan
tersebut di jawa di sebut anak haram jadah, di Astra, lampung di sebut anak
kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan
apabila dengan pembayaran ataupun sumbangan adat. Hubungan antara anak
dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang melahirkan, seperti di
Minahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang
melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah
hendak menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus
memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak
dengan si ibu tidak tinggal satu rumah) (Imam sudiyat; 2007; hal ;92). Di daerah
lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut hukum adat adalah anak yang tidak
berbapak.

Di dalam hukum adat pada dasarnya setiap anak yang dilahirkan di dalam ikatan
perkawinan adalah anak sah meskipun kelahirannya disebabkan laki-laki lain.

Anak yang dilahirkan karena hubungan perzinahan adalah anak yang dilahirkan
dari suatu hubungan antara seorang wanita dengan pria yang bukan suaminya.
Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak anak yang dilahirkan
istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-alasan yang
dapat diterima, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya
karena telah melakukan zinah.

Anak yang dilahirkan setelah perceraian, menurut adat mempunyai bapak bekas
suami wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-
batas waktu mengandung.

Banyak pula di jumpai dimana seorang laki-laki yang memelihara selir


disamping dia mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir
tersebut mempunyai kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak
sama dengan anak-anak dari isteri yang sah. Anak-anak yang dilahirkan dari
istri yang sah akan mendapatkan haknya lebih banyak.

HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA / KERABAT

Hukum adat mengatur tentang hubungan anak dengan keluarga yang


sangat dipengaruhi oleh keadaan sosial dalam masyarakat yang
bersangkutan, yaitu persekutuan yang susunannya berlandaskan tiga
macam garis keturunan (keturunan ibu, keturunan bapak, dan keturunan
ibu bapak).

Di lingkungan masyarakat adat patrilineal anak tidak hanya hormat kepada


ayah maupun ibunya, tetapi anak juga hormat kepada kerabat garis keturunan
ayah. Jadi hubungan anak dengan kerabat ayahnya jauh lebih erat dan lebih
penting dibandingkan dengan kerabat dari ibu. Dalam persekutuan patrilineal
dimana kerabat ayah tingkat derajatnya lebih tinggi dibandingkan kerabat ibu,
tetapi sama sekali tidak melupakan kerabat dari Ibu. Seperti di Tapanuli pada
suku Batak dimana sistem kekerabatannya patrilineal keluarga pihak Ibu
khususnya bagi pemudanya, pertama-tama diakui sebagai satu keluarga dari
lingkungan mana mereka terutama harus mencari bakal istrinya. Dimana
persekutuan keluarga ibunya merupakan apa yang disebut “hula-hula”,
sedangkan keluarga bapak merupakan “boru-nya”. Jadi hubungan keluarga
bapak dan keluarga ibu di daerah ini adalah keluarga yang bakal memberikan
calon suami (boru) dan keluarga yang bakal memberikan istri (hula-hula).

Lain halnya dalam masyarakat adat matrilineal hubungan antara anak


dengan keluarga dari pihak ibu adalah jauh lebih erat dan jauh dianggap lebih
penting dari pada hubungan antara anak dengan keluarga pihak dari bapak.
Tetapi hal tersebut juga tidak melupakan kerabat dari pihak bapak, seperti di
Minangkabau keluarga pihak bapak yang disebut “bako kaki” dalam upacara-
upacara selalu hadir, bahkan kadang-kadang pihak bapak ini memberi bantuan
dalam memelihara anak. Di lingkungan matrilineal misalnya di Minangkabau
yang terutama wajib dihormati anak kemenakan selain ayah dan ibunya adalah
semua mamak saudara lelaki ibu, terutama yang berkedudukan mamak kepala
waris.

Dalam masyarakat bilateral/parental hubungan anak dengan kerabat bapak


maupun ibunya adalah sama. Masyarakat dengan sistem kekerabatan ini maka
masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajiban memelihara
semuanya berintensitas sama terhadap kedua belah pihak baik kerabat ayah
maupun kerabat ibu.
Bagi anak yang lahir di luar kawin meskipun didalam masyarakat dianggap
rendah tetapi kedudukannya tetap dianggap oleh persekutuan kekerabatannya,
misalnya di Jawa tidak ada pembedaan anak luar kawin dengan ayahnya, maka
berlaku pula terhadap kekerabatannya. Sedangkan ada daerah lain seperti rejang
yang menganggap anak luar kawin itu dianggap rendah sehingga anak luar
kawin tidak mempunyai hubungan dengan kekerabatannya.

MEMELIHARA ANAK YATIM – PIATU

Dalam masyarakat patrilineal jika bapaknya yang meninggal dunia, ibunya


meneruskan memelihara anaknya dalam lingkungan keluarga bapaknya. Jika
janda itu ingin pulang ke lingkungan keluarganya sediri ataupun ingin kawin
lagi maka ia dapat meninggalkan lingkungan keluarga almarhum suaminya,
tetapi anak-anaknya tetap tinggal dalam kekuasaan keluarga almarhum
suaminya.

Anak yatim piatu dalam masyarakat matrilineal jika bapaknya yang


meninggal dunia maka si Ibu anak tersebut yang meneruskan kekuasaan
terhadap anak-anaknya, yang masih belum dewasa. Jika ibunya yang meninggal
dunia, maka anak-anak dimaksud tetap berada pada kerabat ibunya serta terus
dipelihara keluarga ibunya. Sedangkan hubungan antara bapak dengan anak-
anaknya dapat terus dijaga oleh bapaknya.

Dalam masyarakat bilateral/parental apabila salah satu dari bapak atau


ibunya meninggal dunia maka yang mengasuh dan meneruskan tanggung jawab
dari anak-anaknya adalah bapak atau ibu yang masih hidup. Jika yang
meninggal keduanya, baik bapak atau ibu sudah tidak ada lagi sedangkan anak
tersebut belum dewasa, maka salah satu dari pihak orang tua yang masih hidup
(kakek-nenek) lah yang memelihara anak-anak tersebut lebih lanjut. Apabila
kakek-nenek sudah meninggal maka yang memelihara anak-anak tersebut
adalah salah satu dari keluarga pihak bapak atau pihak ibu yang terdekat, yang
dianggap keadaannya memungkinkan untuk keperluan itu. Kemudian anak-anak
yang sudah besar pada umumnya akan dibebaskan untuk memilih sendiri ingin
selanjutnya dipelihara oleh siapa.

MENGANGKAT ANAK (ADOPSI)

Mengangkat anak (adopsi) adalah suatu perbuatan pengambilan anak


orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara
orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu
hubungan kekeluargaan yang sama seperti yang ada diantara orangtua
dengan anak kandung sendiri. Perbuatan mengangkat anak demikian ini
adalah merupakan gejala yang umum di masyarakat kita.

Dilihat dari sudut anak yang diangkat maka dapat dicatat adanya pengangkatan-
pengangkatan anak seperti berikut:
a. Mengangkat anak bukan warga keluarga
b. Mengangkat anak dari kalangan keluarga
c. Mengangkat anak dari keponakan-keponakan

Keturunan dalam masyarakat adat sangat diperlukan karena untuk meneruskan


kekerabatanya. Jadi apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak, maka
dapat dilakukan pengangkatan anak. Pengangkatan anak tidak hanya dilakukan
apabila dalam keluarga tersebut tidak mempunyai keturunan, tetapi keluarga
tersebut tidak mempunyai anak laki-laki untuk meneruskan kekerabatannya
seperti pada masyarakat Bali.

Kedudukan anak angkat dapat di bedakan antara anak angkat sebagai penerus
keturunan (Lampung; tegak tegi), anak angkat karena perkawinan atau untuk
penghormatan. Di lampung anak orang lain yang diangkat menjadi tegak tegi
biasanya diambil dari anak yang masih bertali kerabat dengan bapak angkatnya
(Hilman Hadikusuma: 2003, Hal.209).

Di Bali adopsi anak karena perkawinan dilakukan apabila tidak mempunyai


anak laki-laki untuk dijadikan penerus keturunan, dimana anak angkat tersebut
di kawinkan dengan anak wanita bapak angkatnya yang disebut nyentane dan
anak angkat itu menjadi sentane tarikan yang mempunyai hak dan kewajiban
dengan anak kandung. Dalam perkawinan tersebut tidak mengakibatkan anak
tersebut menjadi pewaris dari bapak angkatnya, melainkan hanya mendapatkan
kedudukan dalam kewargaan adat dalam kesatuan kekerabatan bapak
angkatnya. Anak angkat yang dilakukan sebagai penghormatan adalah
pengangkatan anak atau pengangkatan saudara (Lampung; adat mewari) tertentu
sebagai tanda penghargaan, misalnya mengangkat pejabat pemerintahan sebagai
saudara angkat. Pengangkatan tersebut tidak menimbulkan akibat hukum waris
dari si ayah kepada anak angkatnya, kecuali ada perjanjian tambahan ketika
upacara adat dihadapan pemuka ada dilaksanakan.

III. HUKUM PERKAWINAN

PERKAWINAN

Perkawinan/Pernikahan adalah merupakan upacara pengikatan janji


nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud
meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan
norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut
tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau
aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama
tertentu. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat
dokumen tertulis dengan mencatatkan pernikahan tersebut dan ditanda-tangani
oleh kedua mempelai. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara
yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang
berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga.
Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin,
dan setelah upacaranya selesai barulah kemudian mereka dinamakan suami dan
istri yang sah dalam ikatan perkawinan tersebut.

Definisi Perkawinan Menurut Peraturan Perundang-Undangan

 UUP No.1 Tahun 1974: (Pasal 1): “Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. (Pasal 2): (1) “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”. (2) “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
 UU No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas UUP No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan (Pasal 7 dan Pasal 65 A)
 PP RI No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
 KepMenHanKam/pangab No.KEP/01/I/1980 Tentang Peraturan
Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Anggota ABRI
 Petunjuk Teknis No.Pol.:JUKNIS/01/III/1981 Tentang Perkawinan,
Perceraian dan Rujuk Bagi Anggota Polri
 PP RI No.10 tahun 1983 Tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi
PNS
 PP RI N0.45 tahun 1990 Tentang Perubahan Atas PP No.10 tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS
 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (bagi yang beragama Islam).

Definisi Perkawinan Dalam Hukum Adat

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai,
tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga
mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penting bagi mereka yang masih hidup saja, akan tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang
sepenuhnya mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur
kedua belah pihak.
Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai
akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, misalnya
dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasah sanak” (hubungan
anak-anak, bujang gadis) dan “rasah tuha” (hubungan antara keluarga dari para
calon suami-istri). Menurut hukum adat lokal perkawinan bukan hanya
merupakan perbuatan sosial, kultur, magis-religius tetapi juga perbuatan hukum.
Disebut juga sebagai perbuatan sosial karena perkawinan itu merupakan produk
sosial. Perbuatan sosial artinya secara sosiologis perkawinan mengikat semua
unsur dalam kehidupan sosial, baik individu-individu maupun masyarakat,
bahkan masyarakat itu sendiri. Disebut perbuatan magis-religius karena dalam
perkawinan melibatkan roh-roh leluhur dan agama.

Definisi perkawinan Menurut Hukum Adat Yang Dikemukakan oleh Para


Ahli:

1. Hazairin. Menurut Hazairin perkawinan merupakan rentetan


perbuatan-perbuatan magis, yang bertujuan untuk menjamin
ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan.
2. A. Van Gennep. Perkawinan sebagai suatu rites de passage (upacara
peralihan status kedua mempelai). Peralihan terdiri dari tiga tahap:
• Rites de separation (upacara perpisahan dari status
semula)
• Rites de merge (upacara perjalanan ke status yang baru)
• Rites de aggregation (upacara penerimaan dalam status yang
baru)
3. Djojodigoeno. Perkawinan merupakan suatu paguyuban atau somah
(jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu hubungan perikatan
atas dasar perjanjian. Hubungan suami-istri sebegitu eratnya sebagai
suatu ketunggalan.

Definisi Perkawinan Menurut Hukum Agama.

• Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, terdiri dari:


Buku I Hukum Perkawinan
Buku II Hukum Kewarisan
Buku III Hukum Perwakafan
• Kristen
• Hindu
• Budha, dll…
Perkawinan Dalam Pelbagai Sifat Kekeluargaan.
Perkawinan dalam hukum adat sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan yang dikategorikan sebagai Corak Perkawinan Adat:

a. Perkawinan Dalam Kekeluargaan Patrilineal:


 Corak perkawinan adalah “perkawinan jujur”.
 Pemberian jujur dari pihak laki-laki melambangkan diputuskan
hubungan keluarga si istri dengan orang tuanya dan kerabatnya.
 Isteri masuk dalam keluarga suami berikut anak-anaknya.
 Apabila suami meninggal, maka isteri tetap tinggal dirumah
suaminya dengan saudara muda dari almarhum seolah-olah seorang
isteri itu diwarisi oleh adik almarhum.
Suku yang menganut sistem kekerabatan patrilineal di Indonesia adalah
adalah suku Batak, suku Rejang dan suku Gayo.

b. Perkawinan Dalam Kekeluargaan Matrilineal:


 Dalam upacara perkawinan mempelai laki-laki dijemput.
 Suami berdiam dirumah isterinya, tetapi suaminya tetap dapat
keluarganya sendiri.
 Anak-anak masuk dalam klan isterinya dan si ayah tidak
mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya.
Daerah yang menganut sistem kekerabatan matrilineal adalah Sumatera
Barat (Suku Minangkabau).

c. Perkawinan Dalam Kekeluargaan Parental:


 Setelah kawin keduanya menjadi satu keluarga, baik keluarga
suami maupun keluarga isteri. Dengan demikian dalam susunan
keluarga parental suami dan isteri masing-masing mempunyai dua
keluarga yaitu keluarga suami dan keluarga isteri.
Suku yang menganut sistem kekerabatan parental adalah suku Dayak
Kanayat.

SISTEM PERKAWINAN

Dikenal adanya 3 (tiga) Sistem Perkawinan Adat di Indonesia:

1. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Tetapi sekarang di daerah
ini pun sistem ini kian lenyap dengan sendirinya dikarenakan hubungan antar
satu daerah itu dengan daerah lainnya menjadi lebih mudah, erat dan meluas.
Sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja dan tidak sesuai
dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu.

2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah dengan
suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu
dan berputarnya zaman, sistem tersebut mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.

3. Sistem Eleutherogami
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut. Larangan-larangan
yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang berhubungan dengan
ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan), seperti kawin dengan
ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara kandung, saudara bapak
atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-iparan), seperti kawin
dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri.

Adapun Bentuk-Bentuk Perkawinan yang lazim umumnya dikenal dalam


masyarakat di Indonesia antara lain, sebagai berikut:
a. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur adalah perkawinan dengan pemberian (pembayaran)
uang (barang). Pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat hukum
adat yang mempertahankan keturunan garis bapak. Yakni perkawinan
yang terdapat dalam masyarakat adat Gayo (unjuk), Batak (boli, tuhor,
parunjuk, pangoli), Nias (beuli niha), Lampung (segreh, seroh, dawadat),
Bali, Timor (belis, welie). Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh pihak kerabat
(marga, suku) calon suami kepada pihak kerabat calon istri sebagai tanda
pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat
persekutuan hukum bapaknya, pindah dan masuk ke dalam persekutuan hukum
suaminya, melanjutkan keturunan suami dan harta kekayaan yang di
bawa si istri semuanya dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan oleh pihak istri.
Pengertian jujur disini maksudnya bermakna religius magis, jadi
pemberian sinamot bukan bermakna pembelian anak perempuan akan
tetapi tetap terpeliharanya keseimbangan antara kedua belah pihak.

b. Perkawinan Semenda
Perkawinan semenda pada umumnya berlaku di lingkungan masyarakat
adat matrilinial, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak
ibu. Perkawinan ini merupakan kebalikan dari perkawinan jujur. Dalam
perkawinan semenda, calon mempelai pria dan kerabatnya tidak
melakukan pemberian uang jujur kepada pihak wanita, tetapi sebaliknya
dari pihak wanita kepada pihak pria. Setelah perkawinan terjadi, maka
suami berada di bawah kekuasaan istri dan kedudukan hukumnya
bergantung pada bentuk perkawinan semenda yang berlaku.
Adapun bentuk perkawinan semenda yakni ada 6 (enam) jenis yaitu:
 Semanda raja-raja, artinya suami dan istri berkedudukan sama.
 Semanda lepas, artinya suami mengikuti tempat kediaman istri
(matrilokal).
 Semanda bebas, artinya suami tetap pada kerabat orang tuanya.
 Semanda nunggu, artinya suami dan istri berkediaman di pihak
kerabat istri selama menunggu adik ipar (istri) sampai dapat
mandiri.
 Semanda ngangkit, artinya suami mengambil istri untuk dijadikan
penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak
mempunyai keturunan anak wanita.
 Semanda anak daging, artinya suami tidak menetap di tempat si
istri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi lagi seperti
burung yang hinggap sementara, maka disebut juga semanda
burung.

c. Perkawinan Bebas (mandiri)


Bentuk perkawinan bebas ini pada umumnya berlaku pada lingkungan
masyarakat adat yang bersifat parental. Bentuk perkawinan ini tidak
mengatur secara tegas dimana suami istri harus tinggal, hal ini
bergantung pada keinginan masing-masing pihak. Bentuk perkawinan seperti
ini biasanya dapat ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh,
Kalimantan, dan kalangan masyarakat modern lainnya. Hal ini
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana kedudukan
dan hak suami/istri berimbang, dimana suami adalah kepala keluarga dan
istri adalah ibu rumah tangga. Setelah perkawinan suami dan istri pisah
dari orang tua dan keluarga masing-masing. Orang tua kedua pihak hanya
memberi bekal (saku) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua
mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagaI harta bawaan ke
dalam perkawinan. Sebelum perkawinan orang tua hanya memberi
nasihat, petunjuk memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi
kehidupan rumah tangga anaknya yang sudah menikah.

d. Perkawinan Campuran.
Perkawinan ini adalah perkawinan yang terjadi di antara suami dan isteri
yang berbeda suku bangsa, adat budaya dan atau berbeda agama yang
dianut. Pada dasarnya hukum adat tidak membenarkan terjadinya
perkawinan campuran, namun dalam perkembangannya hukum adat
memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah ini sehingga
perkawinan campuran dapat dilaksanakan. Menurut hukum adat Batak
dan Lampung, apabila akan diselenggarakan perkawinan campuran, maka
pihak yang berasal dari luar suku harus diangkat dan dimasukkan terlebih
ahulu sebagai warga adat tersebut. Dalam perbedaan agama, calon
suami/istri harus bersedia mengalah dan masuk ke dalam agama
uami/istrinya. Terhadap nikah berbeda agama hal ini tidak diakui lagi,
Lihat Pasal 66 UUP No.1 ’74. Sedangkan menurut UUP No.1 ’74,
Perkawinan Campuran ini adalah perkawinan antara salah satu mempelai
yang berkewarganegaraan yang berbeda. Lihat Pasal 57 s/d 62 UUP No.1
‘74.

e. Perkawinan Lari
Perkawinan lari terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat yang terjadi
dalam masyarakat adat Batak (mangaluwa), Lampung (sebambungan,
metudau, nakat, cakak lakei), Bali (ngerorod, merangkat), Bugis
(silariang), Maluku. Sebenarnya perkawinan lari bukanlah bentuk
perkawinan melainkan merupakan sistem pelamaran. Sistem perkawinan
lari dapat dibedakan antara perkawinan lari bersama dan perkawinan lari
paksaan. Perkawinan lari bersama adalah perbuatan berlarian untuk
melaksanakan perkawinan atas persetujuan si gadis. Cara melakukan
berlarian tersebut ialah bujang gadis sepakat melakukan kawin lari pada
waktu yang sudah ditentukan melakukan lari bersama atau si gadis secara
diam-diam diambil kerabat pihak bujang dari tempat kediamannya, atau
si gadis datang sendiri ke tempat kediaman pihak bujang. Segala sesuatunya
berjalan menurut tata tertib adat berlarian.

f. Perkawinan Ngebalau (ganti tikar)


Merupakan kelanjutan perkawinan jujur dan tidak perlu adanya
pembayaran jujur namun peristiwa yang terjadi pada perkawinan kedua
karena suami yang pertama meninggal, sehingga dikawinkan saudara
laki- laki dari suaminya. Di Tapanuli perkawinan mengganti ini disebut dengan
pareakhon, di Palembang dengan ganti tikar, dan dijawa disebut dengan
medun ranjang.
Di dalam masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami
apabila suami wafat, di mana istri kawin lagi dengan saudara suami atau
terjadi perkawinan ganti istri apabila istri wafat, di mana suami kawin
lagi dengan saudara istri. Tapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan
sebagaimana dalam masyarakat patrilinial ataupun masyarakat
matrilinial. Perkawinan ini merupakan perkawinan yang sah menurut
hukum adat karena dilaksanakan sesuai ketentuan adat dengan mengikuti
ketentuan hukum agama dari pihak yang melaksanakan perkawinan,
tetapi perkawinan ngebalau (ganti tikar) ini merupakan perkawinan yang
tidak sah menurut UUP karena hanya memenuhi ketentuan Pasal 2
ayat (1) UUP. Anak yang lahir dari perkawinan ngebalau (ganti
tikar) merupakan anak sah menurut hukum adat, tetapi bila ditinjau dari
UUP, anak yang lahir dari perkawinan ngebalau (ganti tikar)
merupakan anak luar kawin menurut ketentuan Undang-Undang
Perkawinan.
g. Perkawinan Siri
Perkawinan/nikah siri didefinisikan sebagai bentuk pernikahan yang
dilakukan hanya berdasarkan aturan agama dan atau adat istiadat.
Pernikahan ini tidak diumumkan kepada khalayak umum dan tidak
tercatat resmi di KUA atau Kantor Catatan Sipil.

h. Perkawinan Monogami
Perkawinan monogami adalah perkawinan antara seorang pria dan
seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan
ajaran agama serta Undang-Undang perkawinan.

i. Perkawinan Poligami
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.
Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada
lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang
bersangkutan). Hal ini berlawanan dengan praktik monogami yang hanya
memiliki satu suami atau istri.
Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu:
• Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang
pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang
bersamaan.
• Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang
wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang
bersamaan.
• Pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage) yaitu
kombinasi poligini dan poliandri.
Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, tetapi poligini
merupakan bentuk yang paling umum terjadi.

CATATAN. Arti perkawinan bagi hukum adat adalah penting karena tidak saja
menyangkut hubungan antara kedua mempelai, akan tetapi juga menyangkut
hubungan antara kedua belah pihak mempelai seperti saudara-saudara atau
keluarga kedua mempelai. Menurut M. M. Djojodigoeno hubungan suami istri
setelah perkawinan bukan saja merupakan suatu hubungan perikatan yang
berdasarkan perjanjian atau kontrak akan tetapi juga merupakan suatu
paguyuban. Sedangkan hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum
adat yang mengatur bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara
perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat
perkawinan di berbagai daerah di Indonesia berbeda-beda. Hal ini dikarenakan
sifat kemasyarakatan, adat-istiadat, agama dan kepercayaan masyarakat yang
berbeda-beda. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, selain adat
perkawinan itu juga sudah mengalami pergeseran dan juga telah terjadi
perkawinan campuran antar suku, adat istiadat.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdiri dari XIV bab dan 67 pasal
mengatur tentang dasar-dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan
kewajiban suami dan istri, harta benda dalam perkawinan, putusnya
perkawinan, kedudukan anak, perwalian dan ketentuan yang lainnya. Namun di
dalam undang-undang tersebut tidak diatur bentuk-bentuk perkawinan, cara
peminangan, upacara-upacara perkawinan yang semuanya ini masih berada
dalam lingkup hukum adat. Hal-hal yang tidak terdapat dalam undang-undang
perkawinan yang berkaitan dengan perkawinan ini masih tetap dan boleh
diberlakukan di Indonesia asal tidak menyimpang dari makna perkawinan itu
sendiri.

PERTUNANGAN

Pertunangan adalah suatu fase sebelum perkawinan, dimana pihak laki-


laki telah mengadakan prosesi lamaran kepada pihak keluarga perempuan
dan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak untuk
mengadakan perkawinan. Pertunangan baru mengikat apabila pihak laki-laki
telah memberikan kepada pihak perempuan tanda pengikat yang kelihatan
(Jawa: peningset atau panjer). Pertunangan juga bisa diartikan sebagai suatu
persetujuan antara pihak keluarga laki-laki dengan keluarga pihak wanita
sebelum dilangsungkan suatu perkawinan dan ditandai dengan:
 Adanya lamaran/meminang yang biasanya dilakukan oleh utusan pihak
laki-laki.
 Adanya tanda pengikat yang kelihatan, seperti peningset (Jawa),
payangcang (Sunda), biasanya dengan pertukaran cincin.

Alasan-Alasan Dilakukannya Pertunangan:


 Ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki dapat berlangsung dalam
waktu dekat.
 Untuk membatasi pergaulan pihak yang telah diikat pertunangan.
 Memberi kesempatan bagi kedua belah pihak untuk saling mengenal.

Akibat dari pertunangan adalah kedua belah pihak telah terikat untuk
melangsungkan perkawinan. Tetapi, walaupun sudah terikat dalam pertunangan
bukan berarti kedua mempelai harus melaksanakan perkawinan, tetap
dimungkinkan terjadi pembatalan pertunangan. Pembatalan pertunangan ini
dapat dilakukan:
 Oleh kehendak kedua belah pihak, ataupun oleh salah satu pihak.
 Jika dilakukan pihak yang menerima tanda tunangan: Mengembalikan
tanda tunangan sejumlah atau berlipat dari yang terima. Jika dilakukan
pihak yang memberi tanda tunangan dan/atau kesepakatan bersama dari
kedua belah pihak: Tanda tunangan tidak dikembalikan/hangus.
Dalam hukum adat Indonesia, pertunangan diatur dalam hukum adat
masing-masing daerah. Pertunangan dilakukan orang tua kedua belah
pihak sendiri atau dengan seorang utusan duta atau orang yang mewakili
keluarga pihak laki-laki. Sedangkan di dalam Hukum Islam tidak mengenal
pertunangan tersebut.

PERKAWINAN TANPA LAMARAN DAN TANPA PERTUNANGAN

Ada beberapa Corak perkawinan yang tidak didahulu oleh lamaran dan
pertunangan. Corak perkawinan yang demikian ini kebanyakan terdapat pada
persekutuan yang bersifat patrilineal, namun tidak menutup kemungkinan
terjadi juga pada persekutuan matrilineal dan parental. Alasan terjadinya
perkawinan corak ini pada umumnya adalah untuk membebaskan diri
dari berbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dengan lamaran dan
pertunangan, seperti misalnya memberi paningset, memberi hadiah
barang dan lain sebagainya atau untuk menghindari turut campur, bahkan
tantangan dari pihak orang tua dan keluarga.

Daerah-daerah yang mengenal perkawinan tanpa pertunangan diantaranya:

1. Lampung. Bakal suami istri bersama-sama melarikan diri dengan


memberi “peninggalan” yaitu meninggalkan surat atau suatu barang,
bahkan kadang-kadang sejumlah uang di rumah calon istri. Pelarian
bersama ini selaku pendahuluan dari perkawinan mereka, oleh
karenanya perkawinan ini dapat dinamakan “kawin lari”, namun Ter
Haar menyebutnya dengan “wegloophuwelijk” atau “vluchthuwelijk”.
2. Sulawesi Selatan. Tiap perkawinan antara pemuda dan pemudi yang
didahului oleh pelarian mereka bersama di daerah disebut “kawin
rangkat”, sebab peristiwa ini senantiasa menimbulkan tantangan-
tantangan pada keluarga pihak perempuan, bahkan hukum adat memberi
hak kepada pihak perempuan untuk membunuh laki-laki yang benar-
benar melakukan penculikan.

PERKAWINAN ANAK – ANAK

Dalam tradisi nusantara, kawin gantung adalah kondisi dimana


pernikahan dilangsungkan saat pasangan masih sangat muda untuk tujuan
tertentu seperti menjamin ikatan perjodohan atau menghindarkan
perzinahan. Di beberapa daerah, Kerinci, Rote dan suku Toraja, adat tidak
melarang perkawinan antara orang yang masih anak-anak ini. Terkecuali Bali
yang melarangnya, apabila hal ini terjadi maka perbuatan tersebut dapat dijatuhi
hukuman. Dalam hal ini lazimnya si anak yang dikawinkan boleh hidup
bersama antara kedua belah mempelai sebagai suami istri ditangguhkan sampai
mereka sudah mencapai umur yang pantas. Perkawinan seperti ini biasa disebut
“kawin-gantung”, di Jawa disebut “gantung-nikah”.

PENGARUH AGAMA ISLAM & KRISTEN TERHADAP PERKAWINAN


ADAT

Dalam perkembangan jaman proses pengaruh ini jalan terus dan akhirnya
ternyata didapat kesimpulan bahwa:
a. Bagi yang beragama Islam, nikah menurut Syariah itu menjadi satu
bagian dari perkawinan adat keseluruhannya.
b. Bagi yang beragama Kristen, hanya unsur-unsur dalam perkawinan adat
yang betul-betul secara positif dapat digabungkan dengan agama Kristen
saja yang masih dapat diturut.

ACARA PERNIKAHAN
ACARA NIKAH
Acara/Upacara pernikahan adalah upacara adat yang diselenggarakan
dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan. Pernikahan sebagai
peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan dikenang
sehingga perlu ada upacaranya. Di Indonesia upacara pernikahan dilakukan
dengan dua cara, tradisional dan modern. Adakalanya pengantin menggunakan
kedua cara tersebut, biasanya dalam dua upacara terpisah.

Upacara tradisional.
Upacara pernikahan secara tradisional dilakukan menurut aturan-aturan adat
setempat. Indonesia memiliki banyak sekali suku yang masing-masing memiliki
tradisi upacara pernikahan sendiri. Dalam suatu pernikahan campuran,
pengantin biasanya memilih salah satu adat, atau adakalanya pula kedua adat itu
dipergunakan dalam acara yang terpisah.

Upacara modern.
Upacara pernikahan modern dilakukan dengan mengikuti aturan-aturan dari luar
negeri. Biasanya gaya yang dipakai adalah gaya Eropa. Pernikahan yang
dilakukan dengan aturan Islam mungkin dapat juga dimasukkan ke dalam
kategori upacara pernikahan modern.

Maskawin (mahar).
Sebelum acara pernikahan dilangsungkan pihak yang melamar biasanya
menyerahkan sejumlah maskawin yang bentuk dan besarnya sudah disetujui
terlebih dahulu. Maskawin dapat berbentuk uang dalam jumlah tertentu,
perhiasan, perlengkapan shalat (biasanya dalam pernikahan Islam), atau
gabungan dari semuanya.

Ijab-Kabul (Islam) / Pemberkatan serta Pengucapan Janji Pernikahan (Kristen)

Pencatatan perkawinan.
Dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, dilakukan
oleh Petugas Pembantu Pencatat Nikah Talak dan Rujuk (P3NTR), sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1946 tentang Pencatatan
Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama setempat (KUA daerah
dimana perkawinan dilaksanakan). Lihat lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Republik Indonesia No.9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pencatatan
perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat
perkawinan pada Kantor Catatan Sipil, sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

UPACARA – UPACARA PERKAWINAN ADAT

Upacara perkawinan yang berakar daripada adat-istiadat serta kepercayaan yang


sejak dahulu kala. Prosesi ini lazimnya dilakukan pada hari-hari sebelum
pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Upacara
perkawinan ini berbeda satu dengan lainnya diikuti dengan adat dan kebiasaan
di masing-masing tempat atau daerah. Indonesia adalah negara yang begitu kaya
akan budaya dan tradisi, termasuk dalam ritual pernikahan berbagai adat dan
tradisi pernikahan khas suku-suku di Indonesia. Setidaknya ada 45 tradisi
pernikahan unik dari seluruh penjuru Indonesia.

Tradisi dan Adat Pernikahan Unik dari Penjuru Indonesia


Indonesia adalah negara yang begitu kaya akan budaya dan tradisi, termasuk
dalam ritual pernikahan. Mengenal lebih dekat berbagai adat dan tradisi
pernikahan khas suku-suku di Indonesia, berikut 45 tradisi pernikahan unik dari
seluruh penjuru Indonesia:
1. Minang: lamaran dari mempelai perempuan. Berbeda dengan proses
lamaran pada umumnya, dalam adat Minangkabau, pihak mempelai
perempuan yang meminang laki-laki! Calon pengantin perempuan
Minang mengunjungi keluarga calon pengantin laki-laki, lalu keluarga
kedua pihak bertukar buah tangan sebagai simbol pengikat kedua
mempelai.
2. Ogan: Pengadangan. Suku yang mendiami dataran tinggi Sumatra Selatan
ini memiliki tradisi pernikahan yang unik. Pada pernikahan rakyat Ogan,
sang pengantin laki-laki akan diberi rintangan dan dihalangi untuk
bertemu dengan pengantin perempuan menggunakan selendang panjang.
Agar dapat bertemu dengan calon istrinya, ia harus membawakan benda-
benda yang diminta oleh penjaga sang pengantin perempuan.
3. Betawi: Palang pintu. Dalam pernikahan Betawi, pengantin laki-laki
datang ke rumah pengantin perempuan membawa sekelompok orang.
Rombongan mempelai laki-laki pun akan berusaha memasuki rumah
mempelai perempuan. Uniknya untuk memasuki rumah tersebut,
rombongan pengantin laki-laki akan berbalas pantun dengan keluarga
pengantin perempuan yang ada di dalam rumah.
4. Osing: kawin colong. Para pasangan dari suku Osing di Banyuwangi
yang belum mendapat restu dari orangtua, oleh adat diperbolehkan
melakukan yang disebut Kawin Colong. Artinya, sang calon pengantin
laki-laki menculik calon pengantin perempuan selama 24 jam. Lalu, ia
akan memilih seorang Colok, yaitu orang kepercayaan atau tetua yang
dihormati untuk bernegosiasi dengan keluarga calon pengantin
perempuan sampai pernikahan mereka diizinkan.
5. Sasak: Kawin Culik. Calon pengantin laki-laki dari suku Sasak harus
menculik calon istrinya sebelum menikah. Meskipun aksi penculikan ini
telah disetujui oleh pihak keluarga perempuan, sang calon pengantin laki-
laki tidak boleh tertangkap atau membuat keributan saat melakukan
penculikan. Jika penculikan gagal, pengantin laki-laki akan dikenai
denda.
6. Gunung Kidul: Kromojati. Sejak tahun 2007, para calon pengantin pria di
Desa Bohol, Gunung Kidul diwajibkan menanamkan setidaknya 5 bibit
pohon jati. Uniknya, aturan ini ditetapkan bukan sekedar sebagai mahar
tapi juga untuk mewujudkan kelestarian lingkungan. Inilah artian
pernikahan ramah lingkungan yang sesungguhnya.
7. Suku tidung: Larangan ke toilet. Suku tidung memiliki tradisi yang sangat
tidak biasa, yaitu calon pengantin harus menahan buang air selama 72
jam atau 3 hari! Mungkin hal ini terlihat sulit bagi masyarakat lain,
namun bagi suku yang banyak bermukim di Kalimantan Utara ini, syarat
ini tidak sulit dilakukan demi harapan mendapatkan kehidupan
pernikahan yang harmonis.
8. Jawa Tengah: Adol Dawet. Dalam adat prosesi pernikahan Jawa Tengah,
orang tua pengantin perempuan akan berjualan dawet dan menerima
bayaran berupa pecahan genting dari pembeli-pembelinya. Tradisi unik
ini menjadi contoh bagi calon pasangan untuk saling membantu dalam
membangun dan menghidupi rumah tangga.
9. Cirebon: Pugpugan. Pasangan pengantin dari wilayah Jawa Barat,
terutama Cirebon, biasanya akan melakukan ritual pugpugan setelah
seremoni pernikahan mereka. Pugpugan sendiri merupakan lipatan ilalang
atau daun kelapa tua, yang kemudian akan ditaburkan di kepala kedua
mempelai oleh orang tua pengantin wanita. Ritual ini menggambarkan
harapan kedua orang tua untuk rumah tangga yang penuh kesetiaan dan
rukun hingga tua kelak.
10.Cilacap, Banyumas dan Purwokerto: Begalan. Di Cilacap, Banyumas dan
Purwokerto, terdapat pula tradisi memberi petuah bagi calon pengantin.
Uniknya, di ketiga daerah ini hal ini disampaikan melalui tarian dan
penampilan komedi. Sekelompok penari akan menari sambil membawa
alat-alat rumah, nasihat dan doa pun kemudian dihantarkan dengan cara
yang humoris dan penuh canda.
11.Batak: Sinamot. Di kultur suku Batak, ada sebuah prosesi bernama
Sinamot yang merupakan perundingan mas kawin oleh kedua belah pihak
keluarga. Jumlah mahar atau mas kawin yang akan diberikan biasanya
ditentukan berdasarkan tingkat edukasi, karier, atau status sosial keluarga
gadis tersebut. Semakin tinggi tingkatannya, semakin besar pula jumlah
mas kawin. Namun hal ini tidak dilihat sebagai materialisme semata,
melainkan harapan bagi pasangan ini untuk menghindari perceraian
setelah menikah dengan jumlah mas kawin yang mahal.
12.Aceh: Mayam. Setiap adat memang memiliki cara-cara unik untuk
menentukan mas kawin. Masyarakat di Aceh menggunakan satuan
ukurnya sendiri yaitu mayam. Di Aceh, mas kawin yang berupa emas
akan ditimbang dan dihitung dalam mayam. Satu mayam setara dengan
3,37 gram emas.
13.Yogyakarta: Nyantri. Pada tradisi yang berasal dari Kraton Yogyakarta
ini, pengantin laki-laki harus bermalam di daerah kediaman calon
pengantin perempuan. Umumnya, sang calon pengantin laki-laki
dititipkan ke rumah saudara atau tetangga pengantin perempuan.
Meskipun begitu, ia tidak boleh bertemu dengan calon istrinya hingga
hari pernikahan tiba.
14.Kaili: Nanggeni Balanja. Bagi masyarakat Kaili yang umumnya
bermukim di Sulawesi Tengah, pengantin laki-laki tidak hanya memberi
uang pada pengantin perempuan. Pihak laki-laki juga memberi sejumlah
barang-barang keperluan sehari-hari sebagai tanda penghargaan,
tanggung jawab dan penghormatan bagi calon istrinya.
15.Banjarmasin: Bausung. Dalam proses arak-arakan pengantin di
Banjarmasin, kedua mempelai duduk di bahu sepasang penari. Tentunya,
arak-arakan meriah ini dilengkapi dengan tari-tarian dan musik khas
Banjarmasin.
16.Melinting: Sabaian. Pengantin asal Melinting, Lampung, harus melewati
proses Sabaian, yaitu ritual bermaaf-maafan antara kedua belah pihak
keluarga. Lalu, kedua pengantin pun diberi gelar Adok untuk laki-laki
dan Inai untuk perempuan.
17.Madura: Nyedek Temo. Para calon pengantin di Madura memiliki cara
khusus untuk menentukan tanggal pernikahan mereka. Pada acara
Nyedek Temo, kedua keluarga bertemu lalu pasangan calon pengantin
menyediakan hal-hal simbolik untuk menetapkan tanggal pernikahan
mereka. Misalnya, jika mereka menginginkan pernikahan mereka
dilaksakan segera, maka mereka harus menyediakan pisang susu dan
sirih.
18.Toraja: Urrampan Kapa'. Rupanya rakyat Toraja telah mengenal bentuk
perjanjian pra-nikah sejak zaman nenek moyang. Hal ini disebut
Urrampan Kapa' yang merupakan acara di mana dua keluarga calon
pengantin duduk bersama untuk mendiskusikan aturan pernikahan dan
hukuman yang akan diberikan jika sang istri atau suami melanggar
ketentuan komitmen pernikahan mereka kelak.
19.Bali: tradisi jual beli. Pada pernikahan adat Bali, pengantin perempuan
membawa bakul yang nantinya akan dibeli oleh pengantin laki-laki.
Tradisi ini merupakan suatu simbol bahwa dalam kehidupan rumah
tangga, sang suami-istri harus saling melengkapi.
20.Ambon: Maso Minta. Suku Ambon di Maluku juga memiliki suatu tradisi
pra-nikah yang disebut Maso Minta atau Masuk Minta. Calon pengantin
pria akan menyatakan niatnya menikahi calon pengantin wanita. Keluarga
kedua pihak akan bertemu setelah sebelumnya keluarga pihak perempuan
menerima sebuah "surat bertamu". Pada pertemuan ini, kedua keluarga
diwakili seorang juru bicara yang akan mendiskusikan niat kedua calon
mempelai untuk menikah, termasuk mendiskusikan tanggal pernikahan.
21.Aru: Lagu Rora. Masyarakat suku Aru terkenal dengan tradisi merayakan
suatu upacara adat dengan nyanyi-nyanyian. Dalam sebuah acara
pernikahan, lagu yang dinyanyikan disebut lagu Rora. Dalam lagu Rora,
terdapat syair-syair yang menyatakan rasa syukur pada sang pencipta dan
leluhur atas keberhasilan mereka.
22.Jambi: Berusik sirih bergurau pinang. Tradisi ini merupakan bagian dari
masa awal perkenalan sang calon pasangan. Setelah memutuskan untuk
menikah, sang calon pengantin pria berkunjung ke rumah kekasihnya
untuk menyampaikan rasa cinta kasih. Agar pernyataan ini tersampaikan
dengan bahasa yang halus dan indah, seringkali pantun atau seloko
dilantunkan.
23.Jambi: Bebalai. Pengantin suku Rimba di Jambi tidak perlu memikirkan
pernikahannya sendiri. Setelah proses lamaran yang disebut beindok
semang, orang Rimba akan beramai-ramai membuat bangunan atau balai
yang akan menjadi tempat berlangsungnya pernikahan.
24.Mandailing: Horja Haroan Boru. Akhir pesta pernikahan Mandailing
adalah simbol perginya kedua pengantin dari kediaman orang tuanya.
Sebelum meninggalkan rumah masa kecilnya, pengantin perempuan yang
disebut boru na ni oli akan menari tor-tor sebagai tanda perpisahan.
25.Minahasa: Upacara Bunga Putih. Sebagai simbol kasih sayang dan
penghormatan, pengantin laki-laki memberi bunga tangan berwarna putih
bagi pengantin perempuan. Namun, bunga yang diberikan harus
berjumlah 9 tangkai, dengan 9 buah yang mekar dan 9 bunga yang
kuncup. Karena angka 9 dianggap sebagai angka keberuntungan.
26.Biak: Wafer. Pemberkatan pernikahan suku Biak dilakukan oleh kepala
adat dan disebut dengan wafer. Upacara ini dimulai dengan pemberian
cerutu atau sebatang rokok yang akan dihisap oleh kedua mempelai. Lalu,
mereka akan saling menyuapi panganan ubi atau talas bakar. Kemudian,
pernikahan pun akan dinyatakan sah.
27.Jawa: Pingitan. Dalam budaya pernikahan Jawa, dikenal adat pingitan di
mana calon pengantin perempuan tidak boleh meninggalkan rumah
menjelang hari pernikahannya. Selain untuk menghalangi kedua calon
pengantin untuk bertemu, momen ini juga menjadi kesempatan bagi
pengantin perempuan untuk merawat diri sebelum acara pernikahan.
Dulu, proses pingitan dapat berlangsung selama 1 hingga 2 bulan.
28.Sumbawa: Basai. Bagi masyarakat Sumbawa, hari pernikahan adalah hari
di mana kedua mempelai menjadi sepasang raja dan ratu. Dalam upacara
ini, terdapat pula prosesi Barupa yang berarti para tamu memberikan
kedua mempelai uang-uang logam dan membacakan puisi serta petuah-
petuah pada kedua mempelai.
29.Suku Dani: Maweh. Masyarakat suku Dani kerap mengadakan
pernikahan massal yang bernama Maweh. Hal ini terjadi tiap empat
hingga enam tahun sekali. Para pengantin dikumpulkan dan calon
pengantin perempuan dijaga dengan ketat dan dirias secara bersama-sama
oleh masyarakat setempat.
30.NTT: Tokencai. Pada akad pernikahan di Nusa Tenggara Timur,
mempelai perempuan tidak hadir sampai ia dijemput oleh mempelai pria.
Sang mempelai wanita akan disembunyikan di kamar bersama seorang
perias pengantin. Sebelum dapat menjemput sang calon istri, calon
pengantin laki-laki harus berbalas pantun dan menyanggupi syarat yang
ditetapkan oleh sang perias pengantin.
31.Minang: Malam Bainai. Ternyata tradisi pesta lajang juga ada di
Indonesia, tepatnya dalam tradisi Minang. Pengantin wanita Minang
merayakan malam terakhirnya sebagai gadis lajang bersama kerabat dan
sahabat wanita terdekatnya. Dalam selebrasi yang disebut Malam Bainai
ini, sang calon pengantin akan diberi pulasan kuku dari tanaman inai yang
telah ditumbuk dan memberikan rona kemerahan pada jemarinya.
32.Dayak Iban: Melah Pinang. Pernikahan adat Dayak Iban disebut dengan
Melah Pinang yang umumnya dilakukan dengan berpindah dari rumah ke
rumah. Apabila rumah tempat pernikahan tersebut berlangsung terletak di
pinggiran sungai, maka sang pengantin laki-laki akan menjemput
pengantin perempuan dengan iring-iringan perahu, musik dan tarian.
33.Nias: Fanu'a bawi. Hewan babi rupanya memiliki arti penting dalam
peradaban suku Nias, maka sebelum hari pernikahan calon pengantin
laki-laki harus mempersiapkan sejumlah ekor babi. Pada tahapan yang
bernama Fanu'a Bawi ini, calon pengantin perempuan akan memilih babi
terbaik dari kumpulan yang telah disiapkan oleh pasangannya. Babi yang
lolos seleksi hanya babi yang memiliki berat lebih dari 100 kilo, tanpa
cacat, memiliki ekor panjang dan warna bulu yang rata.
34.Biak: Ararem. Satu lagi tradisi yang unik dari pernikahan suku Biak,
yaitu Ararem atau tradisi arak-arakan calon mempelai laki-laki. Keluarga
mempelai laki-laki ini akan membawa piring-piring adat, guci, dan
berbagai hal lainnya, termasuk bendera Indonesia.
35.Sunda: Meuleum Harupat. Pada prosesi pernikahan tradisional Sunda,
seorang pengantin pria akan memegang 7 batang lidi, yang kemudian
disulut dengan api oleh sang istri. Pengantin pria itu lalu akan
mencelupkan lidi yang terbakar tersebut ke dalam kendi berisi air untuk
memadamkan apinya, tak lupa ia pun akan mematahkan dan membuang
lidi tersebut. Ritual ini menjadi simbol kemarahan yang berapi-api pun
dapat dipadamkan dengan keteduhan dan kelembutan sang istri.
36.Lampung: Ngurukken Majeu (Ngekuruk). Dalam pernikahan adat
Lampung, calon pengantin perempuan akan menaiki kereta kuda yang
bernama rato atau dengan tandu menuju rumah mempelai laki-laki. Lalu
pengantin pria akan memegang tombak dan berjalan bersama sang calon
istri di belakangnya.
37.Papua: Bakar Batu. Masyarakat Papua dari berbagai suku memiliki
kesamaan tradisi yaitu Bakar Batu yang merupakan cara mengucapkan
syukur atas berkat yang melimpah. Sesuai dengan namanya, acara ini
mencakup pembakaran batu yang telah disusun dari batu berukuran besar
hingga kecil yang ditutupi dengan kayu.
38.Banjar: Badudus. Dalam acara pernikahan khas Banjar, terdapat ritual
siraman pengantin yang disebut Badudus atau Bapapai. Pada proses ini
pengantin akan dimandikan oleh lima atau tujuh wanita lanjut usia,
biasanya kerabat terdekatnya, dengan bermacam-macam bunga, air jeruk,
dan air kelapa. Tak hanya untuk calon pengantin, wanita yang sedang
mengandung pun melakukan ritual ini di bulan ketujuh kehamilan mereka
sebagai bentuk penolak bala dan permohonan untuk persalinan yang
lancar.
39.Bugis: Mappasikarawa. Dalam adat suku Bugis, setelah
dilangsungkannya akad nikah atau upacara pernikahan, dan kedua
mempelai dinyatakan sah menjadi suami istri, sang mempelai pria akan
diantar ke kamar istrinya. Lalu kedua pasangan ini akan saling
menyentuh atau bersalaman sebagai symbol interaksi fisik pertama
mereka sebagai pasangan suami istri. Proses ini disebut Mappasikarawa
dan konon dapat menentukan kebahagiaan pernikahan pasangan ini di
masa depan.
40.Bajo: Mas kawin kain putih. Memang banyak suku di Indonesia yang
mewajibkan mas kawin bernilai tinggi, namun lain halnya bagi
masyarakat Bajo. Dalam tradisi Bajo, pengantin laki-laki cukup memberi
sehelai kain putih bagi calon istrinya. Tentunya, sebagai suku yang
dikenal dekat dengan kehidupan laut, pengantin laki-laki diantar kepada
pengantin perempuan dengan arak-arakan perahu.
41.Riau: Berinai. Sebagai tanda seorang pengantin perempuan telah sah
menikah, ia akan diberi inai. Ini adalah campuran dari tumbukan daun
inai dan asam jawa yang ditumbuk. Proses ini biasanya dilakukan di
malam hari. Konon, warna inai akan lebih merah jika dikenakan di
malam hari.
42.Melayu Pontianak: Bebedakan. Calon pengantin Melayu yang tinggal di
Pontianak memiliki tradisi perawatan diri khusus yang disebut
Bebedakan. Selama 40 hari menjelang hari pernikahannya, calon
pengantin perempuan akan mengenakan bedak khusus dan dilarang untuk
meninggalkan rumah.
43.Palembang: Menyenggung. Di Palembang, calon pengantin pria
mengutus orang kepercayaannya ke kediaman calon perempuan untuk
mendiskusikan tanggal lamaran. Hal ini ditujukan untuk menunjukkan
keseriusan sang calon suami akan pernikahan ini. Tentunya, ia juga harus
membawa buah tangan yaitu tenong dan kain songket, serta beberapa
makanan tradisional.
44.Buton: Bakena Kao. Dalam tradisi Buton, keluarga pengantin akan
membagi-bagikan uang kepada para perempuan yang belum menikah.
Uang ini disebut dengan Bakena Kao. Konon, wanita lajang tersebut akan
segera menyusul menikah jika membelanjakan uang tersebut untuk
membeli benda-benda atau makanan yang manis.
45.Belitung: Berebut Lawang. Ternyata pantun memang merupakan bagian
penting bagi budaya Indonesia, karena di Belitung pun pantun menjadi
bagian penting dalam sebuah momen pernikahan, sama halnya dengan
pernikahan masyarakat Betawi atau Minang. Namun, dalam adat
Belitung, proses berbalas pantun pengantin laki-laki yang disebut Berebut
Lawang ini akan melalui 3 pos. Pos terakhir tentunya adalah kediaman
sang calon pengantin perempuan yang harus dapat ia lewati.

PERCERAIAN & AKIBAT –AKIBAT PERCERAIAN

Perceraian adalah berakhirnya suatu pernikahan. Perceraian merupakan


terputusnya hubungan antara suami istri, disebabkan oleh kegagalan
suami atau istri dalam menjalankan obligasi peran masing-masing.
Perceraian dipahami sebagai akhir dari ketidakstabilan perkawinan
antara suami istri yang kemudian hidup terpisah dan diakui secara sah
berdasarkan hukum yang berlaku.
Jenis Perceraian

 Cerai hidup - Perceraian dikarenakan suatu putusan pengadilan yang


sudah berkekuatan hukum tetap.
 Cerai mati - Perceraian yang diakibatkan salah satu pasangan telah
meninggal dunia.

Penyebab Perceraian

Terdapat beberapa faktor utama yang biasa menjadi penyebab perceraian, yakni
faktor ketidakharmonisan, tidak ada tanggung jawab, faktor ekonomi, faktor
moral. Selain beberapa faktor tersebut ada faktor-faktor lainnya yang
menyebabkan terjadinya perceraian seperti cemburu, krisis, poligami tidak
sehat, dipenjara, kawin paksa, penganiayaan (kekerasan dalam rumah tangga),
dan cacat biologis, seringkali juga muncul sebagai penyebab perceraian.

Dalam hukum positif Indonesia, perceraian hanya dapat diperbolehkan jika


disebabkan oleh sebab-sebab seperti yang disebutkan dibawah ini:

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung:
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga

Perceraian Menurut Agama

Islam. Islam membimbing umatnya agar tidak memecah-belah persaudaraan di


antara sesama muslim. Pernikahan adalah salah satu sunnah Rasulullah S.A.W.
yang akanlah kita mendapat pahala jika melakukannya. Perceraian sendiri
adalah suatu hal yang halal untuk dilakukan. Namun halnya, jikalau sepasang
suami-istri melakukan perceraian, alkisah mengatakan bahwa 'Arsy terguncang
sebegitu dahsyatnya. Oleh karena hal tersebut, Allah membenci perceraian,
meski telah dikatakan bahwa hal ini adalah halal.
Kristen/Katolik. Salah satu agama yang tidak memperbolehkan adanya
perceraian oleh pasangan-pasangan di dalam umatnya adalah Kristen Katolik
Roma. Gereja Kristen Katolik Roma menanggapi masalah perceraian sebagai
berikut: Perceraian atau perpisahan tetap/selamanya dalam suatu ikatan
pernikahan, memang tidak diperbolehkan dalam ajaran Kristen, karena itu ada
tertulis dalam Alkitab (Matius 19:9; Markus 10:9). Karena Injil merupakan
dasar kehidupan umat Kristen, maka tidak ada alasan apapun untuk
mengadakan perceraian. Selain itu juga terdapat pengajaran lain di Alkitab
mengenai hal ini, misalnya pada 1 Korintus 7.

Perceraian Menurut Hukum Adat

Terkait dengan makna perkawinan menurut hukum adat, dapat dipahami


bahwa perceraian yang meskipun dibolehkan, tetapi perlu dihindarkan menurut
hukum adat, karena perceraian dapat memutuskan perkawinan yang seharusnya
dipertahankan oleh suami dan isteri.

Dampak Perceraian

Dampak perceraian yang dilakukan oleh pasangan suami-istri, baik yang sudah
mempunyai anak maupun yang belum:

a. Dampak Terhadap Suami atau Istri


Akibat perceraian adalah suami-istri hidup sendiri-sendiri, suami atau
istri dapat bebas menikah lagi dengan orang lain. Perceraian membawa
konsekuensi yuridis yang berhubungan dengan status suami, istri dan
anak serta terhadap harta kekayaannya. Dengan adanya perceraian akan
menghilangkan harapan untuk mempunyai keturunan yang dapat
dipertanggungjawabkan perkembangan masa depannya. Perceraian
mengakibatkan kesepian dalam hidup, karena kehilangan pasangan hidup,
karena setiap orang tentunya mempunyai cita-cita supaya mendapatkan
pasangan hidup yang abadi. Jika pasangan yang diharapkan itu hilang
akan menimbulkan kegoncangan, seakan-akan hidup tidak bermanfaat lagi,
karena tiada tempat untuk mencurahkan dan mengadu masalah-masalah
untuk dipecahkan bersama. Jika kesepian ini tidak segera diatasi aakan
menimbulkan tekanan batin, merasa rendah diri, dan merasa tidak
mempunyai harga diri lagi.

b. Dampak Terhadap Anak


Perceraian dipandang dari segi kepentingan anak yaitu keluarga bagi
anak- anaknya merupakan tempat perlindungan yang aman, karena ada ibu dan
bapak, mendapat kasih sayang, perhatian, pengharapan, dan Iain-Iain.
Jika dalam suatu keluarga yang aman ini terjadi perceraian, anak-anak akan
kehilangan tempat kehidupan yang aman, yang dapat berakibat
menghambat pertumbuhan hidupnya baik secara langsung maupun tidak
langsung. Akibat lain telah adanya kegoncangan jiwa yang besar, yang
langsung dirasakan oleh anak-anaknya meskipun anak-anak ini dijamin
kehidupannya dengan pelayanan yang baik oleh kerabat-kerabat terpilih.
Akan tetapi, kasih sayang ibunya sendiri dan bapaknya sendiri akan
berbeda dan gantinya tidak akan memberikan kepuasan kepadanya.

c. Dampak Terhadap Harta Kekayaan


Apabila terjadi perceraian maka perikatan menjadi putus, dan kemudian
dapat diadakan pembagian kekayaan perikatan tersebut. Jika ada
perjanjian perkawinan pembagian ini harus dilakukan menurut perjanjian
tersebut. Dalam suatu perceraian dapat berakibat terhadap harta kekayaan
yaitu harta bawaan dan harta perolehan serta harta bersama. Untuk harta
bawaan dan harta perolehan tidak menimbulkan masalah, karena harta
tersebut tetap dikuasai dan adalah hak masing-masing pihak. Apabila terjadi
penyatuan harta karena perjanjian, penyelesaiannya juga disesuaikan
dengan ketentuan perjanjian dan kepatutan.

IV. HUKUM HARTA PERKAWINAN


FUNGSI HARTA PERKAWINAN

Dalam perkawinan untuk hidup bersama diperlukan suatu kekayaan


duniawi yang dapat dipergunakan oleh suami-istri untuk membiayai
ongkos kehidupan mereka sehari-harinya, beserta anak-anaknya.
Kekayaan duniawi inilah yang disebut dengan “harta perkawinan”, “benda
perkawinan”, “harta keluarga” ataupun “harta benda keluarga”. Harta
perkawinan ini pada umumnya diperuntukkan bagi keperluan somah,
yaitu suami-istri dan anak-anaknya untuk membiayai kebutuhan hidupnya
sehari-hari.

Harta perkawinan atau harta keluarga adalah semua harta yang dikuasai
suami istri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta
kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari
harta warisan, harta hibah, harta penghasilan sendiri, harta pencaharian
hasil bersama suami istri dan barang-barang hadiah (Prof. H.Hilman
Hadikusuma). Semua hal tersebut dipengaruhi oleh prinsip kekerabatan
yang dianut setempat dan bentuk perkawinan yang berlaku terhadap
suami istri yang bersangkutan.

Istilah harta perkawinan di Indonesia berbeda-beda. Untuk daerah Jawa disebut


“Gono gini”, di daerah Minangkabau disebut “Harta saurang”, di daerah
kalimantan selatan disebut “Harta perpantangan”, dsb...
PEMISAHAN HARTA PERKAWINAN

Harta Perkawinan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)


adalah mulai saat dimulainya perkawinan/sejak perkawinan berlangsung, demi
hukum maka berlakulah persatuan bulat antara kekayaan suami dan istri.
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
harta secara bulat antara kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai hal itu
dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain” (Pasal 119 KUH
Perdata). Oleh sebab itu perkawinan membawa suatu konsekuensi terhadap
harta dari masing-masing laki-laki dan perempuan dan menjadi kesatuan
yang disebut harta perkawinan, kecuali para pihak menentukan lain dengan
cara membuat suatu Perjanjian Perkawinan yang memisahkan harta kekayaan
mereka. (UUP No. 1 Tahun 1974 Pasal 29, Kompilasi Hukum Islam BAB VII
Tentang Perjanjian Perkawinan, Pasal 45 – 52 & KUHPerdata (BW) Pasal 119
– 125 & Pasal 155 – 167).

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (lihat


Pasal 35, 36 & 37), Harta perkawinan dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok
yaitu:
a. Harta bersama, adalah harta yang diperoleh selama perkawinan.
b. Harta bawaan, adalah harta yang dibawa oleh suami atau istri ke dalam
perkawinan.
c. Harta perolehan, adalah harta yang diperoleh masing-masing suami istri
sebagai hadiah atau warisan.

Demikian juga dalam KHI (Pasal 85 – Pasal 97), disebut bahwa harta
perkawinan dapat dibagi atas:
1. Harta bawaan suami, yaitu harta yang dibawa suami sejak sebelum
perkawinan;
2. Harta bawaan istri, yaitu harta yang dibawanya sejak sebelum
perkawinan;
3. Harta bersama suami istri, yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan yang menjadi harta bersama suami istri;
4. Harta hasil dari hadiah, hibah, waris, dan shadaqah suami, yaitu harta
yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan;
5. Harta hasil hadiah, hibah, waris, dan shadaqah istri, yaitu harta yang
diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

Menurut Soerojo Wignjodipuro bahwa harta perkawinan dipisahkan menjadi 4


golongan yaitu:
a. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri secara warisan atau
penghibahan dari kerabat (familie) masing-masing yang dibawa ke dalam
perkawinan.
b. Barang-barang yang diperoleh suami atau istri untuk diri sendiri serta atas
jasa sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Barang-barang yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan istri
sebagai harta milik bersama.
d. Barang-barang yang dihadiahkan kepada suami atau istri bersama pada
waktu pernikahan.

Menurut Prof. Djojodiguno dan Tirtawinata dalam buku Adat Privaatrecth van
Middle Java dikatakan bahwa masyarakat Jawa tengah mengadakan pemisahan
harta perkawinan ke dalam 2 golongan yaitu:
a. Barang asal atau barang yang dibawa masuk ke dalam perkawinan.
b. Barang milik bersama atau barang perkawinan.

Menurut Bushar Muhammad, syarat adanya harta bersama berdasarkan


hukum adat diantaranya:
a. Adanya hidup bersama, hidup berkeluarga.
b. Adanya kesamaan derajad antara suami istri baik dalam arti ekonomis
maupun keturunan.
c. Tidak ada pengaruh hukum islam.
d. Adanya hubungan baik antara suami dan istri dan antara keluarga kedua
belah pihak satu sama lain.

CATATAN. Dengan catatan jika satu syarat di atas tidak terpenuhi maka tidak
ada harta bersama tersebut.

KEDUDUKAN HARTA PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT


ADAT

Kedudukan harta perkawinan umumnya dipengaruhi oleh susunan masyarakat


adat dan bentuk perkawinannya, misalnya dalam sistem masyarakat Partilineal,
Matrilineal dan Parental.

Harta perkawinan dalam masyarakat Patrilineal terhadap semua harta (harta


bersama, bawaan, pusaka) penguasaan dan pengaturan untuk kehidupan
keluarga dipegang oleh suami dan dibantu oleh istri. Tidak ada pemisahan
kekuasaan atas harta bersama dan harta bawaan dalam kehidupan keluarga. Hal
tersebut sebagai konsekuensi perkawinan jujur, dimana istri mengikuti tempat
tinggal suami.

Harta perkawinan dalam masyarakat Matrilineal terdapat pemisahan kekuasaan


atas harta perkawinan yaitu: Harta pusaka milik bersama dipegang oleh nenek
kepala waris, suami istri hanya punya hak menikmati harta bersama, dan
terhadap harta bawaan dibawah penguasaan masing-masing.

Harta perkawinan dalam masyarakat Parental harta bersama biasanya dikuasai


bersama oleh suami atau istri untuk kepentingan bersama, sedangkan terhadap
harta bawaan dikuasai oleh suami dan istri masing-masing, kecuali dalam
perkawinan magih kaya (jawa) dan kawin nyalindung kagelung (Pasundan).

1. Perjanjian Pranikah
Salah satu cara yang bisa digunakan untuk menghindari terjadinya konflik harta
dalam sebuah perkawinan adalah dengan membuat sebuah perjanjian pranikah.
Perjanjian tersebut dibuat dengan maksud untuk mencegah dan mengantisipasi
apabila terjadi permasalahan di kemudian hari yang berhubungan dengan harta
terutama jika terjadi perceraian.
Di dalam perjanjian pranikah umumnya terangkum hal-hal seperti berikut ini:
• Utang-piutang yang sebelumnya dibawa suami atau istri sebelum
melakukan pernikahan.
• Jumlah harta bawaan atau harta warisan yang dimiliki oleh masing-
masing.
• Pemisahan harta yang sudah diperoleh masing-masing pihak pada masa
perkawinan. Hal ini dimaksudkan supaya suami dan istri bisa memiliki
kewenangan secara penuh atas harta yang dimiliki.
• Hal lainnya seperti masalah aset dan bisnis supaya bisa diselesaikan
dengan baik.

2. Prenuptial Agreement
Prenuptial agreement atau biasa disebut sebagai Prenup adalah cara lainnya
yang bisa digunakan untuk mencegah konflik harta dalam perkawinan. Sedikit
berbeda dengan Perjanjian Pranikah, prenuptial agreement ini berisikan
masalah pembagian harta antara suami dengan istri sebelum melakukan
pernikahan, sekaligus menjelaskan apa saja yang menjadi tanggung jawab
antara kedua belah pasangan. Di dalamnya juga bisa berisikan tentang harta
bawaan sehingga setiap pihak bisa membedakan dengan mudah mana harta dari
calon pasangannya masing-masing. Prenuptial agreement ini dibuat dalam
sebuah akta otentik yang dibuat langsung dihadapan notaris untuk mendapatkan
sebuah kekuatan hukum yang sah dan legal.

V. HUKUM ADAT WARIS


Di Indonesia, hukum waris terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu Hukum Waris Islam,
Hukum Waris Perdata dan Hukum Waris Adat

Hukum Waris Islam

Dalam Pasal 171 ayat a KHI dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Hukum
Kewarisan adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa- siapa yang berhak menjadi
ahli waris dan berapa bagiannya masing- masing”.

Pembagian warisan dalam Hukum Islam dibagi berdasarkan bagian


masing-masing ahli waris yang sudah ditetapkan besarannya. Namun
warisan dalam hukum waris Islam dapat dibagi berdasarkan wasiat
kepada orang lain atau suatu lembaga dengan ketentuan pemberian wasiat
paling banyak sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujuinya.

Besaran Bagian Ahli Waris berdasarkan Hukum Islam menurut Pasal 176-185
KHI adalah:
a. Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila
dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,
dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka
bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan.
b. Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.
c. Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau
lebih. Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia
mendapat sepertiga bagian.
d. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau
duda bila bersama-sama dengan ayah.
e. Duda mendapat separuh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat
bagian.
f. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan
anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat
seperdelapan bagian.
g. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka
saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat
seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka
bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
h. Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia
mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia
mendapat separuh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-
sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau
lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila
saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki
kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua
berbanding satu dengan saudara perempuan.

Hukum Waris Perdata

Waris menurut perdata adalah hukum waris berupa perangkat ketentuan


hukum yang mengatur akibat-akibat hukum umumnya di bidang hukum
harta kekayaan karena kematian seseorang yaitu pengalihan harta yang
ditinggalkan si pewaris beserta akibat-akibat pengasingan tersebut bagi
para penerimanya, baik dalam hubungan antar mereka maupun antar
mereka dengan pihak ketiga.

Dalam hukum perdata waris dibagi dalam beberapa golongan. Golongan


ahli waris dapat dibedakan atas 4 (empat) golongan ahli waris, yaitu:
a. Golongan I: Dalam golongan ini, suami atau istri dan atau anak keturunan
pewaris yang berhak menerima warisan. Dalam bagan di atas yang
mendapatkan warisan adalah istri/suami dan ketiga anaknya. Masing-
masing mendapat ¼ bagian.
b. Golongan II: Golongan ini adalah mereka yang mendapatkan warisan bila
pewaris belum mempunyai suami atau istri, dan anak. Dengan demikian
yang berhak adalah kedua orangtua, saudara, dan atau keturunan saudara
pewaris. Dalam contoh bagan di atas yang mendapat warisan adalah ayah,
ibu, dan kedua saudara kandung pewaris. Masing-masing mendapat ¼
bagian. Pada prinsipnya bagian orangtua tidak boleh kurang dari ¼
bagian.
c. Golongan III: Dalam golongan ini pewaris tidak mempunyai saudara
kandung sehingga yang mendapatkan waris adalah keluarga dalam garis
lurus ke atas, baik dari garis ibu maupun ayah. Contoh bagan di atas yang
mendapat warisan adalah kakek atau nenek baik dari ayah dan ibu.
Pembagiannya dipecah menjadi ½ bagian untuk garis ayah dan ½ bagian
untuk garis ibu.
d. Golongan IV: Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah
keluarga sedarah dalam garis atas yang masih hidup. Mereka ini
mendapat ½ bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis yang lain dan
derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapatkan ½ bagian sisanya.

PENGERTIAN HUKUM ADAT WARIS

Hukum waris adat merupakan hukum lokal suatu daerah ataupun suku
tertentu yang berlaku, diyakini dan dijalankan oleh masyarakat-
masyarakat daerah tersebut. Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas
dari pengaruh susunan masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum
waris adat tetap dipatuhi dan dilakukan oleh masyarakat adatnya terlepas
dari Hukum waris adat tersebut telah ditetapkan secara tertulis maupun
tidak tertulis.

Berdasarkan hukum waris adat dikenal beberapa macam sistem pewaris yang
didasarkan pada sistem keturunannya (pewaris berasal dari keturunan bapak
atau ibu ataupun keduanya), antara lain sebagai berikut:
a. Sistem individual: setiap ahli waris mendapatkan bagiannya masing-
masing.
b. Sistem kolektif: ahli waris menerima harta warisan tetapi tidak dapat
dibagi-bagikan penguasaan ataupun kepemilikannya. Setiap ahli waris
hanya mendapatkan hak untuk menggunakan ataupun mendapatkan hasil
dari harta tersebut.
c. Sistem mayorat: harta warisan diturunkan kepada anak tertua sebagai
pengganti ayah dan ibunya.

Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-
waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata
atau juga menurut hukum waris Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat
waris, maka ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat
menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah dan bermufakat
dengan para waris lainnya.

CATATAN. Pada intinya pembagian warisan berdasarkan Hukum Waris Adat


sangat beragam tergantung ketentuan suatu Adat tersebut dengan tetap
memperhatikan prinsip keadilan antara para ahli waris.

Pengertian mengenai hukum adat waris lainnya dapat dilihat dalam:

a. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, Hukum Waris adalah hukum


yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan
pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa besar bagian masing-masing.
b. Hukum Adat Waris adalah hukum yang membuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, baik itu tentang harta warisan,
pewaris dan ahli waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli warisnya. Di
dalamnya meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta
kekayaan, baik yang materiil maupun yang immaterial yang manakah dari
seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta yang
sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.
c. Hukum Adat Waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta-benda dan barang-
barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu
angkatan manusia (generatie) kepada turunannya. Prof. Soepomo dalam
bukunya “Bab-Bab Tentang Hukum Adat”, hal. 67.
d. Hukum Adat Waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang
bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan
selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan
immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Ter Haar
dalam bukunya yang berjudul “Beginselen en stelsel van het adat recht”,
hal. 197.
e. Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya “Hukum Warisan Di
Indonesia”, hal. 8.

Hal penting dalam masalah warisan ini mencakup 4 (empat) unsur


esensilia (mutlak) sebagai berikut:
1. Adanya Pewaris. Pewaris merupakan orang yang meneruskan harta
peninggalan atau orang yang mempunyai harta warisan.
2. Ahli Waris. Ahli waris merupakan istilah untuk menunjukkan orang yang
mendapatkan harta warisan atau orang yang berhak atas harta warisan
yang diberikan si pewaris kepadanya.
3. Harta Warisan. Harta warisan merupakan harta kekayaan “in concreto”
dari seorang pewaris yang telah meninggal dunia baik harta yang telah
dibagi atau masih dalam keadaan tidak terbagi-bagi.
4. Penerusan dan Pengoperan Harta Warisan. Penerusan atau pengoperan
harta warisan adalah merupakan suatu penerusan harta warisan tersebut
yang akan dioperkan atau diberikan kepada si ahli warisnya baik sebelum
dia meninggal maupun sudah meninggal.

SIFAT HUKUM ADAT WARIS

Adapun sifat Hukum Waris Adat dibandingkan dengan sifat hukum waris
lainnya sebagai berikut:
1. Harta warisan dalam sistem hukum adat tidak merupakan kesatuan yang
dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat
terbagi tetapi menurut jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris.
2. Dalam hukum adat juga tidak mengenal asas legitieme portie atau bagian
mutlak, sebagaimana yang diatur dalam hukum waris barat dan Islam.
3. Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk
sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan segera dibagikan.

Di dalam hukum adat juga dikenal beberapa prinsip (asas umum)


diantaranya adalah:
a. Jika pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan
dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli waris
adalah pertama anak laki-laki atau perempuan dan keturunan mereka.
kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka warisan itu
jatuh kepada ayah, nenek dan seterusnya keatas.
b. Hukum adat tidak selalu harta peninggalan seseorang itu langsung
dibagikan diantara para ahli waris, tetapi menjadi kesatuan yang dimana
pembagiannya ditangguhkan dan adakalanya tidak dibagi karena harta
tersebut tidak tetap.
c. Hukum adat mengenal prinsip penggantian tempat (plaats vervuling),
artinya seorang anak adalah sebagai ahli waris dan ayahnya, maka tempat
dari anak itu digantikan oleh anak-anak dari yang meninggal dunia tadi
(cucu dari si peninggal harta).
d. Dikenal adanya lembaga pengangkatan anak (adopsi), dimana hak dan
kedudukannya bisa seperti anak sendiri dan merupakan salah satu solusi
untuk meneruskan keturunan didalam suatu keluarga meneruskan harta
warisan dari orang tua dan sebagai pelengkap dan suatu ke bagian untuk
orang tua.

Secara garis besar, dalam hukum pewarisan adat terdapat harta warisan,
yang dimana harta warisan ini merupakan suatu sifat bawaan yang
terkandung dalam hukum adat, dan harta warisan tersebut dapat ditinjau
dari macamnya, yaitu:
1. Harta Pusaka. Harta pusaka ini merupakan harta yang mempunyai nilai
magis religis yang lazimnya tidak dapat dibagi-bagi. Proses pewarisannya
hanya dilingkungan keluarga saja yang dibagi secara turun temurun.
2. Harta Bawaan. Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan
didapat karena jerih payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan
merupakan pemberian karena hubungan cinta kasih, balas jasa atau
karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat berupa benda tetap maupun
barang bergerak.
3. Harta Bersama. Merupakan harta yang diperoleh suami istri dalam masa
perkawinan.

SISTEM KEWARISAN ADAT

Hukum warisan berdasarkan adat banyak dipengaruhi oleh struktur


kemasyarakatan dan kekerabatan yang telah kita kenal selama ini, yakni sistem
kekeluargaan atau kekerabatan patrilineal (garis keturunan bapak), sistem
matrilineal (berdasarkan garis keturunan ibu) dan sistem bilateral/parental
(berdasarkan garis keturunan kedua orang tua).

Di Indonesia khususnya akan kita temukan 3 (tiga) sistem kewarisan


dalam hukum adat, seperti berikut:
a. Sistem Kewarisan Individual. Ciri Sistem Kewarisan Individual, ialah
bahwa harta peninggalan itu terbagi-bagi pemilikannya kepada para
waris, sebagaimana berlaku menurut KUH Perdata (Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata) dan Hukum Islam, begitu pula berlaku di
lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa, yang
parental, atau juga pada keluarga-keluarga Lampung yang patrilineal.
Pada umumnya sistem ini cenderung berlaku di kalangan masyarakat
keluarga mandiri, yang tidak terikat kuat dengan hubungan kekerabatan.
Pada belakangan ini di kalangan masyarakat adat yang modern, di mana
kekuasaan penghulu- penghulu adat sudah lemah, dan tidak ada lagi milik
bersama, sistem ini banyak berlaku. Kebaikan sistem individual ini
adalah dengan adanya pembagian, maka pribadi-pribadi waris
mempunyai hak milik yang bebas atas bagian yang telah diterimanya.
Para waris bebas menentukan kehendaknya atas harta warisan yang
menjadi bagiannya, ia bebas untuk mentransaksikan hak warisannya itu
kepada orang lain. Kelemahannya, ialah bukan saja pecahnya harta
warisan, tetapi juga putusnya hubungan kekerabatan antara keluarga
waris yang satu dan yang lainnya. Hal mana berarti, lemahnya asas hidup
kebersamaan dan tolong-menolong antara keluarga yang satu dan
keluarga yang lain yang seketurunan.
b. Sistem Kewarisan Kolektif. Ciri sistem kewarisan kolektif, ialah bahwa
harta peninggalan itu diwarisi/dikuasai oleh sekelompok waris dalam
keadaan tidak terbagi-bagi, yang seolah-olah merupakan suatu badan
hukum keluarga kerabat (badan hukum adat). Harta peninggalan itu di
sebut hartou menyayanak di Lampung, dalam bentuk bidang tanah kebun
atau sawah, atau rumah bersama (di Minangkabau-Gedung).
c. Sistem Kewarisan Mayorat. Ciri sistem kewarisan mayorat, adalah bahwa
harta peninggalan orang tua atau harta peninggalan leluhur kerabat tetap
utuh tidak dibagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak
tertua laki-laki (mayorat laki-laki) di lingkungan masyarakat patrilineal
Lampung dan juga Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan
(mayorat wanita) di lingkungan masyarakat matrilineal semendo di
Sumatera Selatan dan Lampung. Kelemahan dan kebaikan sistem
kewarisan mayorat, adalah terletak pada kepemimpinan anak tertua dalam
kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat, dalam
mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan semua
anggota keluarga yang ditinggalkan. Hal ini disebabkan, karena anak
tertua bukanlah sebagai pemilik harta peninggalan secara perseorangan,
tetapi sebagai pemegang mandat orang tua yang dibatasi oleh
musyawarah keluarga, dibatasi oleh kewajiban mengurus orang tua yang
dibatasi oleh musyawarah keluarga lain, dan berdasarkan atas tolong-
menolong oleh bersama untuk Bersama.

HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DIBAGI – BAGI

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi berdasarkan atas alasannya


dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi,
misalnya barang-barang milik suatu kerabat atau family.
b. Karena kedudukan hukumya terikat kepada suatu tempat/jabatan tertentu
contoh/misalnya barang-barang keramat keraton Kasepuhan Cirebon
seluruhnya tetap jatuh pada ahli waris yang menjadi Sultan Sepuh serta
barang-barang itu tetap disimpan di Keraton Kesepuhan tersebut.
c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang
bersangkutan, seperti tanah kasikepan di daerah Cirebon.
d. Karena pembagiannya untuk sementara ditunda, seperti banyak di jumpai
di Jawa, misalnya apabila terdapat anak-anak yang ditinggalkan masih
belum dewasa maka demi kepentingan janda beserta anak-anaknya
supaya tetap mendapat nafkah untuk hidup dan terhadap harta
peninggalan tersebut tidak dibagi-bagi. Dan tiap tuntutan untuk membagi-
bagi dari ahli waris yang menurut hakim akan mengakibatkan
terlantarnya janda beserta anak-anak tersebut selalu akan ditolak oleh
hakim.
e. Karena hanya diwaris oleh seorang saja (sistem kewarisan mayorat),
sehingga tidak perlu dibagi-bagi.
f. Karena sifatnya yang memang tidak memberi kemungkinan untuk tidak
memiliki barang itu bersama-sama dengan ahli warisnya lainnya. Sebagai
contoh daripada harta peninggalan semacam ini dapat disebut:
i. Harta-Pusaka di Minangkabau. Pengertiannya disini adalah
harta/barang tersebut hanya dapat dipakai saja (genggam bauntuiq)
oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak boleh
dimiliki oleh mereka itu masing-masing. Oleh para anggota
keluarga tersebut hanya memiliki hak pakai saja, maka
meninggalnya seseorang anggota tidak mempunyai akibat
sedikitpun terhadap hubungan hukum antara para anggota keluarga
dimaksud yang masih hidup dengan harta pusakan yang
bersangkutan. Tetapi wafatnya seorang anggota malahan
menambah harta pusaka keluarga yang bersangkutan dengan
barang-barang yang diperoleh orang yang wafat itu (harta
pencarian), setelah dikurangi dengan pembayaran hutang-hutang si
orang yang wafat tersebut. Dengan demikian, maka harta pusaka
itu mempunyai tingkatan sesuai dengan tingkatan-tingkatan
keluarga, artinya sebagai berikut:
 Harta Pusaka Tinggi dikuasai keluarga yang lebih besar atau
kerabat (Ter Haar menyebut familie) yang dipimpin oleh
seorang “penghulu andiko”.
 Harta Pusaka Rendah, dikuasai oleh keluarga yang lebih
kecil, terdiri atas isteri dan anak-anaknya atau suami dengan
saudara-saudaranya sekandung beserta keturunan saudaranya
yang sekandung.
ii. Tanah-Dati (kerabat) di semenanjung Hitu (Ambon). Seperti
halnya harta pusaka di Minangkabau maka tanah dati ini yang
menguasai tanah itu lenyap (habis karena tidak ada keturunannya
lagi), maka terhadap tanah itu jatuh ke tangan dati yang
mempunyai hubungan kekeluargaan terdekat.
HIBAH WASIAT
Hibah adalah pemberian suatu barang dari seseorang (pemberi hibah)
kepada orang lain dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik
kembali. Pemberian barang ini dilakukan pada saat pemberi hibah masih
hidup.

Perjanjian hibah bisa dilakukan secara lisan atau tertulis (Pasal 1687
KUHPerdata), kecuali untuk tanah dan bangunan harus dibuat secara tertulis
menggunakan Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT (Pasal 37 Ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah). Barang yang
dijadikan objek hibah bisa dalam bentuk barang bergerak (kendaraan bermotor,
perhiasan, uang), bisa juga dalam bentuk barang tidak bergerak (tanah dan
bangunan).

Wasiat (testament) adalah salah satu cara pewarisan. Menurut Pasal 875
KUHPerdata, wasiat adalah akta yang memuat pernyataan seseorang
tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia
dan yang olehnya dapat dicabut kembali (pada saat pemberi wasiat masih
hidup). Pemberian wasiat diberikan pada saat pemberi wasiat masih
hidup, tetapi pelaksanaannya dilakukan pada saat pemberi wasiat telah
meninggal dunia.

Pasal 874 KUHPerdata menyatakan bahwa segala harta peninggalan seseorang


yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-
undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.
Ketetapan yang sah tersebut ialah surat wasiat. Artinya, jika ada surat wasiat
yang sah, surat wasiat harus dijalankan oleh para ahli waris. Sebaliknya, apabila
tidak ada surat wasiat, semua harta peninggalan pewaris adalah milik ahli waris.

Ada 2 (dua) jenis wasiat, yaitu:

1. Wasiat Pengangkatan Waris (erfstelling)


Pemberi wasiat memberikan harta kekayaannya dalam bentuk bagian
(seluruhnya, setengah, sepertiga). Pemberi wasiat tidak menyebutkan secara
spesifik benda atau barang apa yang diberikannya kepada penerima wasiat.
(Pasal 954 KUHPerdata)

2. Hibah Wasiat (legaat)


Pemberi wasiat memberikan beberapa barang-barangnya secara spesifik dari
suatu jenis tertentu kepada pihak tertentu. (Pasal 957 KUHPerdata).
Hukum perdata tidak menentukan apakah surat wasiat harus dibuat di bawah
tangan atau akta otentik. Meski keduanya diperkenankan, pada praktiknya surat
wasiat biasa dibuat dalam bentuk akta otentik oleh Notaris. Hal ini penting agar
surat wasiat yang dibuat terdaftar pada Daftar Pusat Wasiat di Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia (KEMENKUMHAM) RI dan diakui
keberadaannya pada saat Surat Keterangan Waris dibuat.

Istilah Wasiat Hibah Wasiat dalam Adat:


 Wekasan; Jawa
 Umanat; Minangkabau
 Penunuesan; Aceh
 Ngendeskan; Batak

Banyak orang yang menganggap hibah wasiat dan wasiat adalah dua hal yang
sama, padahal keduanya berbeda. Hibah wasiat adalah bagian dari wasiat.
Dalam hibah wasiat, Pemberi Hibah Wasiat menjelaskan secara spesifik
barang apa saja yang akan diwasiatkan. Hibah wasiat ini dapat ditarik
kembali/dibatalkan pada saat pemberi masih hidup. Hibah wasiat dibuat
pada saat Pemberi Hibah Wasiat masih hidup, tetapi pelaksanaannya
dilakukan pada saat Pemberi Hibah Wasiat telah meninggal dunia. Hibah-
Wasiat dapat meliputi hanya sebagian dari harta kekayaan yang akan
ditinggalkan saja atau keseluruhan dari harta kekayaan.

Hibah-wasiat ini sepeti juga pewaris atau penghibaan menurut Prof. Soepomo
mempunyai 2 (dua) corak s.b:
a. Mereka yang menerima barang-barang harta itu adalah ahli waris, yaitu
isteri dan anak-anak. Oleh sebab itu pewaris atau hibah-wasiat hanya
merupakan perpindahan harta benda di dalam ahli waris.
b. Orang tua yang mewariskan itu bebas di dalam menetapkan/menentukan
terhadap (apa saja) barang-barang manakah yang akan diterima kepada
anak A dan barang-barang mana kepada anak B atau kepada Isteri
meskipun terkait oleh peraturan, bahwa setiap anak harus mendapat
bagian yang layak, dengan tidak melenyapkan hak waris suatu anak.

Pewarisan atau hibah-wasiat ini mempunyai fungsi lain, yaitu “mengadakan


koreksi di mana perlu, terhadap hukum waris abinstato menurut peraturan-
peraturan tradisional atau agama yang dianggap tidak memuaskan lagi oleh
peninggal warisan”. Hibah-wasiat menurut Keputusan Mahkamah Agung RI
tanggal 23 Agustus 1960, Reg. No. 225 K/Sip./1960, tidak boleh merugikan ahli
waris dari si penghibah.

HARTA KEKAYAAN KELUARGA YANG MERUPAKAN HARTA


PENINGGALAN

Antara lain:
1. barang-barang kerabat ataupun barang-barang family
2. Barang-barang pusaka yang keramat
3. barang-barang somah atau barang-barang keluarga
4. barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat desa
5. barang-barang dengan wujud tertentu

CATATAN. Terhadap harta peninggalan tersebut diatas harus mendahulukan


kepentingan terhadap hutang-piutang, biaya mengubur mayat (jenazah). Di
Bali=upacara ngaben, dsb. sebelum dibagi.

PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN

Pembagian harta peninggalan yang dijalankan atas dasar keturunan biasanya


terjadi dengan penuh pengetahuan, bahwa semua anak (laki dan perempuan)
pada dasarnya mempunyai hak yang sama atas harta peninggalan orangtuanya.
Apabila ternyata tidak tercapai kesepakatan (mufakat) maka hakim adat/hakim
pengadilan perdamaian desa atau hakim pengadilan negeri berwenang atas
permohonan para ahli waris untuk menetapkan cara pembagiannya serta
memimpin sendiri pelaksanaan pembagiannya. Apabila keputusan hakim ini
masih belum dapat memuaskan semua pihak, bahkan ada beberapa pihak yang
secara terang-terangan menyatakan tidak dapat menerima keputusan itu maka
harta peninggalan itu dijual secara umum (lelang) dan dibagi rata. Tetapi
tindakan ini terpaksa mengundang turut campur instansi yang biasanya dalam
penyelenggaraan pembagian warisan demikian ini justru harus dicegah turut
campurnya. Jikalau didalam pembagian harta tersebut terjadi pengoperan
sebidang tanah, maka pelaksanaan pengoperannya wajib dilakukan dengan
bantuan kepala desa, satu dan lain supaya menjadi terang dan sah.

PARA AHLI WARIS

Ahli waris adalah orang yang berhak mendapatkan bagian dari harta warisan
yang ditinggalkan pewaris. Seseorang bisa dinyatakan sebagai ahli waris setelah
ditunjuk secara resmi berdasarkan hukum yang digunakan dalam pembagian
harta warisan, baik melalui hukum Islam, hukum perdata, dan hukum adat.

Pembagian waris terhadap hal-hal berikut:

 Anak yang lahir di luar perkawinan

Kedudukan anak luar kawin di dalam hukum adat dengan sistem


patrilineal dan matrilineal pada dasarnya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya saja. Oleh karena itu anak luar kawin hanya akan
memperoleh warisan dari ibunya maupun keluarga ibunya saja. Anak
tersebut tidak berhak atas warisan dari bapaknya karena tidak mempunyai
hubungan perdata dengan bapaknya. Pada masyarakat adat yang
menggunakan sistem kekeluargaan yang bersifat Parental mengakui
adanya anak luar kawin yang dipersamakan dengan anak sah dengan
syarat tertentu seperti melalui pengakuan anak ataupun sikap dan
kelakuan yang ditunjukan oleh anak tersebut kepada ayah biologisnya.
Dengan adanya pengakuan terhadap anak luar kawin dan apabila sikap
dan kelakuan anak tersebut dianggap baik maka anak tersebut dapat
mewarisi dari ayah biologisnya. Namun, pembagian warisan ini hanya
berdasarkan pada asas parimirma dengan dasar welas asih dan kerelaan.
Sehingga anak luar kawin dan keluarga dari ibu anak luar kawin tersebut
tidak memiliki hak menuntut terhadap harta warisan dari bapak
biologisnya. Dasar hukum adat terhadap pemberian warisan untuk anak
luar kawin tidak ada, besarnya pembagian hanya berdasarkan kerelaan
sebesar apa dan barang apa yang akan diberikan oleh keluarga bapak
biologisnya atau berupa wasiat yang dapat berisi apa saja yang akan
diberikan oleh bapak biologisnya. Dari beberapa keputusan Yurispudensi
Mahkamah Agung tentang hak dan kedudukan anak luar kawin menurut
hukum adat dapat dikatakan bahwa anak luar kawin kedudukannya
dipersamakan dengan anak sah dan berhak atas mewaris harta warisan
dari orang tuanya dengan jumlah pembagian yang sama. Apabila anak
luar kawin tidak bersama dengan anak sah maka anak luar kawin tersebut
dapat mewaris seluruh harta warisan orang tuanya dan adapula keputusan
yang mengatakan bahwa anak luar kawin berhak atas harta warisan dari
ayah biologisnya namun hanya sebatas harta gonogininya saja tanpa
mewaris harta pusaka (barang asal) yang ditinggalkan oleh ayah
biologisnya. Yurispudensi ini dapat digunakan selama pihak-pihak yang
bersengketa tidak merasa dirugikan, namun apabila pihak-pihak yang
bersengketa merasa dirugikan maka hakim dapat menggunakan jalan
musyawarah dan kembali kepada pengaturan hukum adat yang berlaku di
daerah tersebut.

 Anak angkat

Dalam hukum waris adat, anak angkat menerima hak-hak dan kewajiban
sebagai ahli waris layaknya anak kandung baik materiil maupun
immaterial. Mengenai hal ini dalam hukum adat tidak ada keseragaman.
DR. R. Wiijono Prodjodikoro SH, dalam bukunya "Hukum Warisan di
Indonesia", menjelaskan bahwa: dalam lingkungan hukum adat sudah
pernah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Purworejo, tgl. 6-10-1937,
bahwa seorang anak angkat menurut hukum adat, tetap berhak atas harta
warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya sendiri. Anak angkat
menerima "air dari dua sumber", demikian Djojo Tirto, Jawa Tengah,
(Prof. Mr. DR. Supomo, dalam Majalah Hukum no. 4 dan 5th. 1953)').
Betapapun anak angkat itu berhak mewaris dari orang tua angkatnya,
namun ia tidak boleh melebihi anak kandung, sebagai mana keputusan
Mahkamah Agung tanggal 18 Maret 1959 No.37 K/Sip/1959 yang
menyatakan bahwa anak angkat hanya diperbolehkan mewaris harta
gonogini (harta pencaharian) dan orang tua angkatnya, sedang terhadap
barang asal tidak berhak mewaris. Kecuali jika harta gono-gini tidak
mencukupi sebagaimana dinyatakan dalam keputusan Kamar ke III Raad
van Justitie tangga) 25 Mei 1939 (T.151 hal. 193) bahwa anak angkat
dapat meminta bagian dari barang asal orang tua angkatnya hingga
jumlah yang menurut keadaan dianggap adil.

 Anak tiri

Kedudukan anak tiri terhadap harta kekayaan orang tua tiri jika ada
saudara tiri atau ahli waris lainnya menurut hukum adat Jawa di
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, bahwasanya kedudukan anak
tiri terhadap harta benda gono-gini orang tua tiri jika tidak ada saudara tiri
atau ahli waris lainnya adalah berhak mendapatkan harta gonogini orang
tua tirinya karena Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 263 K/Sip/1959
Tanggal 9-9-1959 yang menyatakan “Menurut hukum Adat di Jawa
Tengah, seorang janda berhak untuk membagi-bagikan harta keluarga
antara semua anak, asal saja setiap anak memperoleh bagian yang pantas”
sebagai dasarnya namun kemungkinan lainnya anak tiri berhak
mendapatkan harta benda orang tua tirinya bisa saja terjadi tergantung
pemikiran dan keyakinan masing-masing keluarga hal ini bisa didasarkan
pada asas keadilan, musyawarah dan mufakat atau dengan cara hibah
wasiat. Dalam hukum adat waris Jawa dalam hal pembagian waris harta
orang tua tiri jika tidak ada saudara tiri atau ahli waris lain menurut
hukum adat Jawa di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, maka
harta warisan tsb selain berpindah kepada suami atau istri yang
ditinggalkan dapat juga diberikan kepada anak tiri. Pemberian tersebut
antara lain dilandasi oleh perasaan sayang kepada anak tersebut sehingga
dianggap sebagai anak sendiri karena sudah membesarkan sejak kecil
sampai ia dewasa. Pada masyarakat adat Jawa, pembagian harta warisan
atau harta peninggalan dilakukan dengan menggunakan dasar
musyawarah mufakat dan kerukunan bersama ahli warisnya dengan sikap
seadil-adilnya. Sedangkan menurut hukum adat, anak tiri bukan
merupakan ahli waris terhadap harta asal orang tua tirinya. Dalam
hal terjadi sengketa atau rebutan harta warisan, biasanya diselesaikan
melalui jalur musyawarah mufakat, antar keluarga. Namun demikian
apabila tidak ditemui jalan keluar biasanya melibatkan mediasi melalui
pihak ketiga seperti tokoh masyarakat, yaitu tokoh adat, tokoh yang
dituakan, ulama, pemuka agama dan lain sebagainya. Apabila buntu, baru
diselesaikan melalui jalur pengadilan.

 Janda

Tentang kedudukan janda didalam hukum adat terhadap harta


peninggalan, bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai orang asing
tidak berhak mewaris. (Iman Sudiyat, 1981). Hal ini terjadi, apabila yang
dijadikan syarat untuk mewaris adalah tali kekeluargaan berdasarkan atas
persamaan darah atau keturunan. Tetapi ada kenyataan, bahwa dalam
suatu perkawinan itu, hubungan lahir maupun bathin antara suami dengan
istrinya itu sedemikian eratnya, bahkan jauh melebihi hubungan antara
suami dengan saudara kandungnya sendiri. Oleh sebab itu di dalam
rumusan kewarisan hak-hak janda harus diperhatikan, antara lain:
i. Janda berhak atas jaminan nafkah seumur hidupnya, dari hasil
barang gono-gini maupun dari hasil barang asal suami.
ii. Janda berhak menguasai harta peninggalan suaminya, untuk
menarik penghasilan dari barang-barang itu, terlebih jika
mempunyai anak, harta itu tetap merupakan kesatuan di bawah
asuhan janda dan tidak dibagi-bagi.
iii. Janda berhak menahan barang-barang asal suaminya, selama
barang itu diperlukan olehnya, untuk keperluan nafkahnya.
iv. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar bagian anak,
di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan anak,
misalnya janda hamil atau anak meminta sebagian untuk modal
usaha.
Patut diperhatikan bahwa harus ada dua syarat, agar janda mendapatkan
kedudukan sebagai ahli waris:
i. Janda harus telah lama hidup bersama dan mengikuti suka duka
dalam keluarga.
ii. Janda, sesudah suami meninggal tidak menunjukkan sikap atau
cenderung memutuskan hubungan dengan keluarga suami, juga
tidak menikah lagi dengan laki-laki lain. (Bushar Muhammad,
1991).

 Duda
Kedudukan duda dalam hal mewaris karena putusnya perkawinan
nyeburin menurut hukum adat Bali yaitu mengenai kedudukan duda
dalam hal mewaris di kerabat asalnya dan kedudukan duda dalam hal
mewaris di kerabat istrinya. 30 (tigapuluh) responden di pilih secara
porpusive snow ball dari masyarakat adat Kelurahan Banjar Anyar dan
masyarakat adat Desa Belumbang yaitu orang-orang yang pernah
melakukan perkawinan nyeburin maupun yang sudah putus
perkawinannya. Penelitian ini merupakan penelitian sosiologis yuridis
yaitu penelitian terhadap hukum yang berlaku dalam masyarakat
khususnya mengenai kedudukan duda dalam perkawinan nyeburin
menurut hukum adat Bali mengenai hak mewarisnya. Data sekunder dan
data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian
kepustakaan dan lapangan dengan alat pengumpulan data studi dokumen,
kuesioner maupun pedoman wawancara. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa, kedudukan duda dalam perkawinan nyeburin di kerabat asalnya,
mengenai kewarisan secara hukum adat di Bali tidak berhak memperoleh
harta warisan. Hal ini disebabkan karena laki-laki yang kawin nyeburin
telah melakukan kesepakatan pada waktu terjadi perkawinan untuk
memutuskan hubungan dengan saudara dan orang tua di kerabat asalnya,
termasuk juga menyangkut hak mewarisnya. Namun apabila duda
tersebut kembali kekerabat asalnya, masih ada mendapat pemberian harta
secara kebijaksanaan keluarga karena adanya rasa kemanusiaan dan
masih merasa ada hubungan darah diantara mereka. Kedudukan duda
dalam hal mewaris di kerabat istrinya, tidak mempunyai hak sama sekali
atas harta warisan yang dimiliki istrinya, namun selama ia tetap tinggal di
kerabat istrinya berhak menikmati bagian harta bersama yang diperoleh
istrinya dan memelihara harta warisan istrinya. Terhadap harta bersama
yang diperoleh selama perkawinannya ia mendapat hak bagian yang sama
sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Bali.

BEBERAPA HAL LAIN SEKITAR HUKUM ADAT WARIS

Seputar Penghibahan. Putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 31 Maret 1939


dalam Indisch Tidjschrift van het Recht 151 halaman 183 berbunyi, bahwa
penghibahan dapat dicabut kembali atas alasan-alasan berdasar adat, sebagai
misalnya kurang hormat atau tabiat lain yang membuktikan kelalaian anak
terhadap orang tua. Kemiskinan orang tua tidak merupakan alasan untuk
mencabut penghibahan kembali; orang tua yang jatuh miskin dapat menuntut
nafkah kepada anak-anaknya. Djojodigoeno Tirtawinata menegaskan bahwa
pencabutan hibah demikian ini hanya mungkin, sekedar barang-barang yang
dihibahkan itu masih di tangan waris yang menerima hibah dimaksud. Tetapi
apabila barang-barang itu telah berpindah tangan ke orang lain (bukan waris)
maka pengoperan terakhir ini tidak dapat diganggu gugat lagi.
KESIMPULAN: Pola penyelesaian sengketa waris menurut hukum adat di
Indonesia biasanya dilakukan melalui forum keluarga dengan mengundang
keluarga besar dan salah satu dewan adat ataupun tokoh adat yang berada di
lokasi terjadinya sengketa. Hal ini dikenal dengan istilah 'pembicaraan adat',
dalam pembiacaraan adat akan disaksikan oleh keluarga besar dari pihak yang
bersengketa. Pembicaraan adat dilaksanakan bertujuan untuk menyampaikan
informasi berkaitan keputusan yang akan dilaksanakan dalam penyelesaian
sengketa waris tersebut. Informasi ini berupa: keterangan-keterangan dari pihak
yang bersengketa serta keluarga besar dari pihak yang bersengketa. Setelah
diungkapkan informasi tersebut maka dewan adat ataupun tokoh adat
melaksanakan pembuktian terhadap laporan dari masing-masing pihak serta
bukti yang telah mereka peroleh. Namun apabila usaha penyelesaian sengketa
waris secara adat ini tidak berhasil maka akan disampaikan kepada kepala desa
selaku pimpinan pemerintahan di desa yang bertugas menyelesaikan segala
perkara atau persengketaan yang terjadi di desa. Namun dalam kenyataannya,
tidak semua sengeketa waris dapat diselesaikan oleh kepala desa sehingga ada
juga beberapa sengketa waris harus dilanjutkan melalui jalur hukum. Bahwa
rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan dalam kehidupan masyarakat
menjadi salah satu faktor yang menghambat pelaksanaan kewarisan dalam
hukum adat, disamping pemaknaan terhadap nilai-nilai agama Islam juga
menjadi hal penting yang mendapat perhatian serius. Adapun mengenai juru
bagi juga tidak ada ketentuan pasti. Akan tetapi, yang dapat menjadi juru bagi
adalah sebagai berikut:
1) Orang tua yang masih hidup (janda atau duda pewaris),
2) Anak tertua lelaki atau perempuan,
3) Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur, adil, dan bijaksana,
4) Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama
yang diminta, ditunjuk atau dipilih oleh para ahli waris.
Cara Pembagian Hukum adat dalam tata cara pembagian warisan tidaklah
mengenal pembagian secara matematis. Tetapi pembagian pada masyarakat adat
selalu didasarkan atas pertimbangan wujud benda dan kebutuhan ahli waris
yang bersangkutan. Jadi meskipun dikenal adanya persamaan hak dan
keseimbangan, tidak berarti setiap ahli waris mendapatkan bagian yang sama,
dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian tertentu.
VI. HUKUM TANAH

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah
dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi
disebut dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, yaitu “Atas dasar hak menguasai dari
negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”. Dengan demikian
jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,
sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi,
yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.1 Tanah yang
dimaksud disini adalah hanya mengatur tentang haknya saja, yaitu hak atas
tanah tersebut yang sesuai dengan Undang- Undang Pokok Agraria Pasal 4 ayat
(1). Dimana hak-hak atas tanah/hak atas permukaan bumi terdiri dari beberapa
macam, yang dapat didapat dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau lebih dan
badan-badan hukum.
Bagi masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat
penting. Tanah merupakan tempat di mana warga masyarakat hukum adat
bertempat tinggal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Hubungan
antara masyarakat hukum adat dengan tanah, Ter Haar menyatakan sebagai
berikut: “Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan
menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan
berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak
untuk menikmati tanah tersebut. Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam
masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat
melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara membatasi
peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian
tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi, untuk kepentingan
masyarakat”.

Hak Ulayat

Masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak
tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak
bersama. Oleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan
memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah (wilayah
beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah
kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdiri
dari tanah di atasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan
hak pribadi atau hak peserta atas tanah.

Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan
tanah mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu
atau beberapa masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan
antara:
a. Lingkungan tanah sendiri, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan
dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum
adat tunggal (desa di Jawa), atau masyarakat hukum adat atasan (Kuria di
Angkola), atau masyarakat hukum adat bawahan (Huta di Penyabungan).
b. Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai
dan dimiliki oleh beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat,
dengan alternatifalternatif, sebagai berikut:
1. Beberapa masyarakat hukum adat tunggal, misalnya beberapa
belah di Gayo.
2. Beberapa masyarakat hukum adat atasan, misalnya luhat di
Padanglawas.
3. Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya huta-huta di
Angkola.
Sebelum berlakunya UUPA, hukum pertanahan di Indonesia bersifat dualisme
yaitu sebagai akibat politik pemerintahan Hindia Belanda, sehingga timbul
berbagai kelembagaan hak atas tanah yang bersumber pada hukum barat dan
hukum adat. Hak atas tanah yang bersumber pada hukum adat salah satunya
adalah hak ulayat. Pada masa penjajahan, sistem hukum pertanahan yang
dijalankan pemerintah, lebih berorientasi pada sistem hukum barat sehingga
pada kenyataannya kepentingan golongan bumi putera (pribumi) yang
memberlakukan hukum adat selalu dalam posisi yang lemah bahkan tidak
menjamin perlindungan dan kepastian hukum bagi hak-hak rakyat atas tanah
dan mengabaikan keberadaan masyarakat hukum adat termasuk hak ulayatnya
atas tanah. Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada
lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat
hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Oleh
Van Vollenhoven dalam Tolib setiady (2013:312), hak ulayat disebut sebagai
“beschikkingrescht”. Istilah ini dalam Bahasa Indonesia (juga dalam bahasa-
bahasa daerah) merupakan suatu pengertian baru, dikarenakan dalam bahasa
indonesia istilah yang dipergunakan itu lebih mengarah kepada pengertian
sebagai “lingkungan kekuasaan”, sedangkan “beschikkingrescht” itu lebih
mengarah kepada hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah itu
sendiri.
Adapun istilah-istilah daerah yang mengandung pengertian lingkungan
kekuasaan, wilayah kekuasaan ataupun “tanah yang merupakan wilayah
yang dikuasai masyarakat hukum adat” antara lain yaitu; Patuanan (Ambon),
Pawatasan (Kalimantan), Wewengkon (Jawa), Prabumian (Bali), Tatabuan
(Bolaang Mongondow), Limpo (Sulawesi Selatan), Nuru (Buru), Ulayat
(Minangkabau), Torluk (Angkola), Paer (Lombok), Golat (Batak), dan lain
sebagainya.
Oleh berbagai pakar hukum adat, hak ulayat diartikan dalam berbagai
perumusan, namun mempunyai berbagai persamaan pemahaman, meski istilah
yang dipergunakanya berbeda-beda, tidak selalu dalam istilah hak ulayat.
Beberapa pakar hukum adat yang mengemukakan pendapatnya tentang
hak ulayat, yakni:
1. Roestandi Ardiwilaga (2009:68), mengemukakan bahwa hak ulayat
adalah hak dari persekutuan (masyarakat) hukum adat untuk
menggunakan dengan bebas tanah tanah yang merupakan hutan belukar
dalam lingkungan wilayahnya, guna kepentingan persekutuan hukum itu
sendiri dan anggota-anggotanya; juga untuk kepentingan orang-orang di
luar persekutuan hukum itu dengan izin terlebih dahulu, dan membayar
pengakuan/recognisi.
2. Imam Sudiyat (1981:2), menamakan hak ulayat dengan sebutan hak
purba yaitu hak yang dipunyai oleh suatu suku (clan/gens/stam), sebuah
serikat desa-desa (dorpenbond) atau biasanya oleh sebuah desa saja untuk
menguasai seluruh tanah seisinya dalam lingkungan wilayahnya.
Berangkat dari pengertian tersebut, Imam sudiyat mengemukakan ciri-ciri
hak ulayat sebagai berikut: Hanya masyarakat hukum adat itu sendiri
beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah
ulayat yang merupakan bagian dari hak ulayat dalam wilayah
kekuasaanya; Orang dari luar persekutuan yang hendak menggunakan
tanah ulayat tersebut harus mendapat izin terlebih dahulu dari
persekutuan hukum yang ada; Warga persekutuan hukum dapat
mengambil manfaat dari tanah merupakan bagian dari hak ulayat untuk
kepentingan pribadi dan keluarganya; Persekutuan hukum bertanggung
jawab atas segala hal yang terjadi dalam wilayah kekuasaanya; Hak
ulayat tidak boleh dilepaskan, dipindahtangankan, diasingkan untuk
selamanya; Hak ulayat meliputi juga hak-hak yang telah digarap oleh
perseorangan.
3. Boedi Harsono (1999:185), mengartikan hak ulayat sebagai seperangkat
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah dalam wilayahnya, yang merupakan
pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang
bersangkutan sepanjang masa. Kewenangan dan kewajiban tersebut ada
yang termasuk ke dalam bidang hukum perdata, yaitu yang berhubungan
dengan hak bersama; dan ada yang termasuk ke dalam bidang hukum
publik, yaitu berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur, dan
memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaanya.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh ketiga pakar hukum adat


tersebut, dapat disimpulkan bahwa hak ulayat merupakan hak yang
spesifik dan khas, yang keberadaanya tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat hukum adat itu sendiri.

Spesifik dan khas, karena meskipun hak ulayat tersebut merupakan hak suatu
komunitas masyarakat hukum adat, tetapi tetap membuka peluang akan adanya
pihak lain di luar komunitas tersebut, untuk memanfaatkan hak ulayat tersebut
dengan berbagai persyaratan. Artinya meskipun hak ulayat itu eksklusif, tetapi
tidak mengedepankan eksklusivitasnya (Maria Sumardjono, 2007:55).
Pengakuan Hak Ulayat.

Pengakuan hak ulayat secara fundamental berasal dari:


i. Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 amandemen ke-2
ii. Pasal 3 UUPA dan Penjelasan Umum angka II nomor 3 UUPA (Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA)
iii. Pasal 1 angka 1 dan 2 Permen Agraria/Kepala BPN No.5 tahun 1999 Jo.
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Penetapan Hak
Pengelolaan dan Hak Atas Tanah
iv. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak
Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun
v. Pendaftaran Tanah dalam Pasal 1 angka (13)
vi. Keppres No.34 tahun 2003
vii. Keppres 36 tahun 2005 menyangkut upaya kepastian hukumnya.
viii. Dll…

UUPA tidak secara khusus membentuk dan mengatur dalam peraturan


perundang-undangan mengenai hak ulayat, dan membiarkan pengaturannya
tetap berlangsung secara hukum adat setempat. Mengatur hak ulayat berakibat
menghambat perkembangan alamiah hak ulayat sejalan dengan sifat hukum adat
yang dinamis, pada kenyataanya cenderung melemah. Kecenderungan
melemahnya dipercepat dengan bertambah kuatnya hak-hak individu, memulai
pengaturannya dalam bentuk hukum tertulis dan penyelenggaraan
pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tanda pembuktian hak, sehingga
penadahannya dalam bentuk hak menguasai dari negara dengan konsep
menggantikan peran kepala adat atau tetua adat dalam hubungannya dengan
tanah yang sudak dimiliki secara individual oleh para warga masyarakat hukum
adat yang besangkutan, seperti halnya tanah-tanah di daerah lainya. Hak ulayat
pun tidak didaftar. UUPA tidak memerintahkan tidak merintah pendaftarannya,
dalam Peraturan Pemerintah No.24 tahun 1997 secara sadar tidak dimasukkan
kedalam golongan objek pendaftaran tanah. Alasan teknis secara nyata tidak
mungkin terpenuhi dan tidak mungkin, karena batas-batas tanahnya tidak
mungkin dipastikan akan menimbulkan sengketa antar masyarakat hukum
berbatasan dan akan bertentangan dengan sifal alamiah dari hak ulayat tersebut.
Hak ulayat yang sudah melemah tidak akan dikembalikan menjadi kuat
kembali. Yang sudah tidak ada, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah yang
kenyataanya tidak pernah ada masyarakat hukum adat yang mempunyai hak
ulayat, tidak akan diciptakan hak ulayat baru. Hak masyarakat adat dilindungi
dalam Pasal 28I ayat (3) yang menyatakan “identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.” Berdasarkan Pasal tersebut terlihat bahwa kesatuan masyarakat
adat dengan hak tradisionalnya yang masih hidup diakui eksistensinya. Sejalan
dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, maka TAP XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia telah memberikan perlindungan yang layak bagi eksistensi hak-
hak masyarakat adat termasuk hak ulayatnya. Hal tersebut dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 tentang hak untuk mempertahankan kehidupan, Pasal 6
tentang hak untuk memperjuangkan hak-haknya secara kolektif, Pasal 8 tentang
persamaan di muka hukum, Pasal 23 tentang hak atas perlindungan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya, Pasal 32 tentang jaminan hak
miliknya untuk tidak diambil 11 sewenang-wenang. Penegasan ini menunjukkan
bahwa masyarakat adat di Indonesia diakui eksistensinya secara konstitusional.
Dukungan konstitusi ini memperkuat pemahaman dan kesadaran untuk
menghormati dan melindungi hak mereka. Selain itu, dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) juga terdapat pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat atau yang
serupa dengan itu. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA
adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-
syarat tertentu, yaitu: “eksistensi” dan mengenai pelaksananya. Pelaksanaan
tentang hak ulayat dalam UUPA diatur di dalam pasal 3 yang berbunyi sebagai
berikut: “Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa, sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan
bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang dan peraturan-
peraturan yang lebih tinggi”. Sesuai dengan apa yang diterangkan dalam
penjelasan umum (Angka H/3) disini ditegaskan pula bahwa “kepentingan
sesuatu masyarakat harus tunduk pada kepentingan nasional dan negara yang
lebih tinggi dan lebih luas". Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUPA dapat
dipahami juga bahwa hak ulayat diakui sebagai suatu hak atas tanah tersendiri,
apabila memenuhi dua persyaratan, yaitu Hak tersebut ada (eksis) dan
Pelaksanaan hak yang masih ada tersebut harus sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan. Namun demikian tidak terdapat ketentuan dan penjelasan
lebih lanjut tentang kriteria “ada” nya hak ulayat dan tentang batasan
“kepentingan nasional dan negara”.

Dalam banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat


ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat
yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat.
Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi
sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi
masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan
oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif,
aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern
dewasa ini. Sehingga dalam hukum agraria nasional hukum adat dijadikan juga
sebagai landasannya.
KEDUDUKAN TANAH DALAM HUKUM ADAT

Kedudukan Tanah Dalam Hukum Adat Sangat Penting. Ada 2 (dua) hal yang
menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting dalam hukum
adat yaitu:
a. Karena Sifatnya. Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang
meski mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap
dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang malah menjadi lebih
menguntungkan.
b. Karena Fakta. Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu:
i. merupakan tempat tinggal persekutuan
ii. memberikan penghidupan kepada persekutuan
iii. merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung
persekutuan kepada roh para leluhur persekutuan.
iv. merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal
dunia.

Hak Persektuan Atas Tanah Hubungan erat dan bersifat religio-magis


menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah dimaksud,
memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di
atas tanah itu, juga berburu terhadap bianatang-binatang yang hidup di situ.

Yang menjadi objek hak ulayat/ objek ulayat adalah:


a. tanah
b. air
c. tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar
d. binatang yang hidup liar

Persekutuan memelihara serta mempertahankan hak ulayatnya yaitu


dengan cara:
1. persekutuan berusaha meletakkan batas-batas disekeliling wilayah
kekuasaannya itu.
2. menunjuk pejabat-pejabat tertentu yang khusus bertugas menguasai
wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan.

Hak ulayat sendiri dipengaruhi juga oleh kekuasaannya kerajaan-kerajaan dan


kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Pengaruh-pengaruh ini dibedakan
menurut sifatnya ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan. Pengaruh
menguntungkan pada umumnya berwujud sebagai perlindungan ataupun
penegakkan hak ulayat suatu persekutuan terhadap tanah wilayahnya,
sedangkan pengaruh yang merugikan dijumpai dalam wujud perkosaan,
perlunakan dan pembatasan.

Hak Perseorangan Atas Tanah Harus diperhatikan bahwa hak perseorangan atas
tanah dibatasi oleh hak ulayat sebagai warga persekutuan bagi tiap individu
dalam hal:
a. mengumpulkan hasil-hasil hutan
b. memburu binatang liar
c. mengambil hasil dari pohon-pohon yang tumbuh liar
d. mengusahakan untuk diurus selanjutnya suatu kolam ikan.
Hak milik atas tanah dari seorang warga persekutuan yang membuka dan
mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah bahwa warga yang mendiami tanah
itu berhak sepenuhnya kan tetapi dengan ketentuan wajib dihormati:
a. hak ulayat desa
b. kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah
c. peraturan-peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang lain
masuk dalam tanah pertaniannya selama tanah itu tidak dipagari.

Hak usaha oleh Van Vollenhoven dinamakan hak menggarap kewajiban-


kewajiban yang harus dipenuhi oleh si pemilik hak usaha terhadap tuan tanah
yang mempunyai hak eigendom atau tanah partikelir itu dalam hal:
a. membayar cukai
b. melakukan pekerjaan untuk keperluan tuan tanah.
c. Transaksi-Transaksi Tanah

TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH

1. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak, dalam hal:


a. pendirian suatu desa
b. pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan
2. Transaksi-transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak,
dalam hal:
a. menggadai
b. jual lepas
c. jual tahunan.

TRANSAKSI-TRANSAKSI YANG MASIH ADA HUBUNGANNYA


DENGAN TANAH

Setiap subyek hukum baik sebagai pribadi kodrati maupun pribadi hukum, pada
dasarnya mempunyai suatu kewenangan untuk memindahkan haknya atas tanah
kepada fihak lainnya. Oleh sebab itu, maka didalam masyarakat hukum adat
dikenal pula proses pemindahan hak atas lingkungan tanah.

Pemindahan hak atas tanah merupakan peristiwa hukum yang menimbulkan


pemindahan hak dan kewajiban yang sifatnya tetap atau mungkin juga bersifat
sementara.

Pengertian jual beli tanah. Menurut hukum adat, maka jual beli tanah adalah
suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai.
Terang berarti, bahwa perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di
hadapan kepala adat yang berperan sebagai pejabat yang menanggung
keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut, sehingga perbuatan
tersebut diketahui oleh umum. Dengan tunai dimaksudkan bahwa perbuatan
pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh
karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar secara
kontan, atau baru dibayar sebagian (tunai yang dianggap tunai). Dalam hal
pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar
terjadinya jual beli tanah, akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang.

Isi Jual beli tanah. Transaksi jual tanah mungkin mempunyai 3 (tiga) isi (Ter
Haar):
a. Pemindahan hak atas tanah, atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa
bahwa pemindah hak tetap mempunyai hak untuk mendapatkan tanahnya
kembali setelah membayar sejumlah uang yang pernah dibayarnya: antara
lain menggadai..., menjual gade..., adil sende..., ngajual akad atau gade...;
b. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk
membeli kembali, jadi menjual lepas untuk selamanya..., adol plas turun
temurun, pati bogor..., menjual jaja...;
c. Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai dengan
perjanjian, bahwa setelah beberapa tahun panen dan tanpa tindakan
hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan..., adol oodan....”).

Bentuk-bentuk jual beli tanah. Antara lain:


a. Jual lepas. Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang
bersifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual
dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali. Menurut keputusan
Mahkamah Agung tertanggal 25 September 1958, maka keterangan jual
beli saja belum mengakibatkan pemindahan atau penyerahan hak milik.
Menurut Iman Sudiyat: “Jadi keterangan tersebut seakan-akan harus
diikuti pula semacam “levering”, sebelum hak milik tersebut berpindah”.
Pertimbangan dari Mahkamah Agung adalah, bahwa dengan surat Notaris
dan surat di bawah tangan serta yang disimpan pada Notaris yang
dimaksudkan dalam putusan judex facti, walaupun didalamnya
disebutkan bahwa fihak-fihak yang bersangkutan menerangkan menjual
belikan tanahnya, namun belum lagi dapat diterima bahwa sebenarnya
telah terjadi pemindahan atau penyerahan hak milik oleh yang dinamakan
penjual kepada yang dinamakan pembeli.” Biasanya, pada jual lepas,
maka calon pembeli akan memberikan suatu tanda pengikat yang lazim
disebut “panjer”. Akan tetapi didalam kenyataannya “panjer” tersebut
yang merupakan tanda jadi, tidak terlalu mengikat, walaupun ada
akibatnya bagi calon pembeli yang tidak jadi melaksanakan pembelian
tanah dikemudian hari (artinya “panjer” nya menjadi miliki calon
penjual).
b. Jual gadai. Jual gadai merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas
tanah kepada fihak lain (yakni pribadi kodrat) yang dilakukan secara
terang dan tunai sedemikian rupa sehingga fihak yang melakukan
pemindahan dan mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.
Denagan demikian, maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai
bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas
mengenai sifat sementara waktu tersebut. Ada kecendrungan untuk
membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, dimana yang
terakhir cenderung untuk memberikan semacam patokan pada sifat
sementara dari perpindahan hak atas tanah tersebut. Pada gadai biasa,
maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasannya
adalah satu tahun panen, atau apabila di atas tanah masih terdapat
tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini,
maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut, agarpenggadai
menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu. Untuk melindungi
kepentingan penerima gadai, maka dia dapat melakukan paling sedikit
dua tindakan, yakni: a. menganak gadaikan (“onderverpanden”) dimana
penerima gadai menggadaikan tanah tersebut kepada fihak ketiga. Dalam
hal ini terjadi dua hubungan gadai, yakni pertama antara penggadai
pertama dengan penerima gadai pertama, dan kedua antara penggadai
kedua (yang merupakan penerima gadai pertama) dengan fihak ketiga
(sebagai penerima gadai kedua). b. Memindah gadaikan
(“doorverpanden”), yakni suatu tindakan dimana penerima gadai
menggadaikan tanah kepada pihak ketiga, dan fihak ketiga tersebut
menggantikan kedudukan sebagai penerima gadai untuk selanjutnya
berhubungan langsung dengan penggadai. Dengan demikian, maka
setelah terjadi pemindahan gadai, maka hanya terdapat hubungan antara
penggadai dengan penerima gadai yang baru. Pada gadai jangka waktu,
biasanya dibedakan antara gadai jangka waktu larang tebus dengan gadai
jangka waktu wajib tebus, adalah sebagai berikut: a. Gadai jangka waktu
larang tebus terjadi apabila antara penggadai dengan penerima gadai
ditentukan, bahwa untuk jangka waktu tertentu penggadai dilarang untuk
menebus tanahnya. Dengan demikian, maka apabila jangka waktu
tersebut telah lalu, gadai ini menjadi gadai biasa. b. Gadai jangka waktu
wajib tebus, yakni gadai dimana oleh penggadai dan penerima gadai
ditentukan, bahwa setelah jangka waktu tertentu, tanah harus ditebus oleh
penggadai. Apabila tanah tersebut tidak ditebus, maka hilanglah hak
penggadai atas tanahnya, sehingga terjadi jual lepas.
c. Jual tahunan. Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang
berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tertentu kepada subyek
hukum lain, dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan
bahwa sesudah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali
dengan sendirinya tanpa melalui perilaku hukum tertentu Dalam hal ini,
terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu. Nenurut
S.A. Hakim, maka jual tahunan sebenarnya adalah sama dengan sewa
tanah yang uang sewanya telah dibayarkan terlebih dahulu. Apabila
jangka waktu yang telah ditetapkan berakhir, maka dengan sendirinya
tanah itu akan kembali kepada pemeberi sewa.
d. Jual gengsur. Pada jual gengsur ini, maka walaupun telah terjadi
pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah masih tetap
berada ditangan penjual. Artinya bekas penjual masih tetap mempunyai
hak pakai, yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual
dengan pembeli. Mengenai hal pemberian tanah, maka subyek hukum
yang melakukannya harus benar-benar menguasai dan memiliki tanah
tersebut. Dengan memberikan tanah tersebut, maka hak iliki atas tanah
akan berpindah seketika itu juga. Di Minahasa dan Sulawesi Selatan,
misalnya, tanah pertanian mungkin diberikan sebagai tanda pengangkatan
anak, atau mungkin sebagai jujur, dan seterusnya. Tanah-tanah tersebut
kadang-kadang mempunyai nama yang menunjuk pada asalnya.

Hukum Benda Lepas atau Hukum Benda Bergerak.

Menurut hukum adat, maka yang dinamakan sebagai benda lepas atau
benda bergerak adalah benda-benda diluar tanah. Ruang lingkupnya
mencakup:
1. rumah
2. tumbuh-tumbuhan
3. ternak
4. benda-benda lainnya

Pada azasnya setiap warga suatu masyarakat hukum adat tertentu, dapat
mempunyai hak milik atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternak, dan benda-
benda lainnya. Mengenai rumah berlaku azas, bahwa hak milik atas
rumah terpisah dengan hak milik atas tanah, dimana rumah tadi berada.
Azas tersebut hidup di beberapa daerah di Indonesia, kecuali rumah-
rumah batu yang anggap bersifat permanen.
Di daerah Kotabumi, dimana lebih banyak warga masyarakat yang sekaligus
memiliki rumah dan tanahnya, maka apabila ada rumah di atas tanah orang lain,
kedua belah pihak mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu, antara lain:
a. Pemilik rumah harus membayar sewa tanah
b. Apabila hendak menjual rumah, maka rumah tersebut harus ditawarkan
terlebih dahulu kepada pemilik tanah.
c. Kalau hendak menjual harus ditawarkan kepada pemilik tanah dan bila
akan diwariskan harus memberitahukan pemilik tanah.

Azas yang sama berlaku pula bagi tumbuh-tumbuhan, dimana pengertian


“numpang” dari pemilik rumah atau tumbuh-tumbuhan menunjukkan bahwa
orang tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan tanah dimana rumah atau
tumbuh-tumbuhan tersebut berada.

Mengenai hak-hak atas ternak khususnya mengeanai penjualan ternak di daerah


Lampung dibedakan antara unggas dengan ternak besar (misalnya kerbau, sapi,
dan lain-lain). Penjualan unggas tidak memerlukan syarat-syarat tertentu,
sedangkan untuk ternak besar diperlukan izin kepala kampong yang dihadiri
saksi-saksi, serta diperlukan pula surat resmi dari dinas kehewanan serta
pembayaran pajak. Perihal pemotongan hewan diperlukan aturan-aturan tertentu
khususnya terhadap ternak besar. Untuk itu harus dilakukan upacara adat
tertentu, dimana bagian-bagian tertentu dari bagian tersebut diberikan kepada
seluruh warga kampong. Kalau hewan tersebut hendak dijual, maka izin
sebagaimana dijelaskan dimuka juga berlaku.

Hukum Hak Immateril. Hukum hak immaterial yang merupakan hak mutlak,
antara lain, mencakup hak atas merek, hak oktroi (octrooi) (keistimewaan yang
dimilik VOC untuk menjalankan perdagangan di Kawasan Hindia Belanda), hak
cipta dan lain sebagainya.

Hukum hak immaterial juga terdapat didalam hukum adat yang antara
lain mencakup hak cipta, gelar dan juga kedudukan-kedudukan tertentu
didalam masyarakat. Hak cipta atas perhiasan perahu di pulau Kei, misalnya,
merupakan hak dari pribadi kodrati yang dikenal sejak dahulu kala. Demikian
pula hak cipta atas hiasan pada kain sarung di Minangkabau, yang masih
berkembang hingga dewasa ini.

Di Bali misalnya, dikenal pula gelar-gelar yang erat hubungannya dengan


sistem kasta yang berlaku. Bagi laki-laki, maka gelar tertinggi adalah Ida Bagus,
yang merupakan gelar bagi orang (kasta) Brahmana. Selanjutnya ada gelar-gelar
Cokorda, Dewa, Ngakan, Bagus, Gusti, dan seterusnya. Orang-orang (kasta)
Sudra juga memakai gelar-gelar seperti misalnya, Pande, Kbon, Pasek, dan lain-
lain. Ada kecenderungan bahwa gelar-gelar diwariskan kepada keturunan.
Keadaan di Bali tersebut sekaligus menunjukkan betapa eratnya hubungan
antara gelar dengan kedudukan seseorang didalam masyarakat yang berkasta.

Mengenai masyarakat Jawa, khususnya di daerah-daerah bekas swapraja: Orang


bangsawan Jawa adalah orang-orang yang merupakan keturunan dari salah satu
dari keempat kepala swapraja di Jawa Tengah. Orang bangsawan biasanya
mempunyai gelar-gelar di depan namanya, seperti misalnya, Raden Roro, Raden
Mas, dan sebagainya, yang diturunkan dari salah seorang kepala swapraja
kepada keturunannya secara bilateral melalui orang-orang laki-laki maupun
wanita. Supaya tidak semua keturunan sampai angkatan-angkatan tak terbilang
banyaknya mendapat gelar itu, maka ada suatu prinsip, khusus yang mempunyai
suatu efek selektif. Ada gelar-gelar yang diturunkan hanya sampai angkatan
kedua, gelar-gelar itu adalah gelar-gelar bagi bangsawan tertinggi. Kemudian
ada gelar-gelar yang diturunkan sampai angkatan ketiga, dan orang yang
mendapat gelar ini adalag orang-orang bangsawan yang lebih rendah
tingkatnya. Kemudian ada gelar-gelar yang diturunkan kepada keturunan mulai
angkatan keempat sampai angkatan ketujuh, dan orang-orang ini adalah orang-
orang terendah tingkat kebangsawanannya. Gelar-gelar di kalangan bangsawan
Jawa tersebut, hingga kini masih dipergunakan dan erat kaitannya dengan
kedudukan sosial yang bersangkutan dalam kalangan tertentu.
VII. HUKUM HUTANG PIUTANG

Hukum perjanjian utang piutang secara adat adalah hukum yang


menunjukan keseluruhan peraturan-peraturan hukum yang menguasai hak-hak
mengenai barang-barang selain daripada tanah dan perpindahan dari pada itu
dan hukum mengenai jasa keuangan sepanjang hal itu ada hubungannya dengan
masalah perjanjian menurut hukum adat. Hukum perutangan ini bukan hukum
mengenai hutang-piutang seperti yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (BW). Pengertian hak di sini pada umumnya juga dinamakan
hak milik.

Perjanjian berisikan janji-janji yang telah disepakati, yaitu berupa hak dan
kewajiban diantara para pihak yang membuatnya dalam bentuk tertulis maupun
tidak tertulis. Apabila dibuat secara tertulis, maka perjanjian tersebut akan lebih
berfungsi untuk menjamin adanya kepastian hukum.

Perjanjian adat dalam transaksi utang piutang ini dilakukan secara


sederhana dan tanpa adanya jaminan secara khusus. Berbeda halnya dalam
perjanjian secara keperdataan, dalam pelaksanaanya tidak jarang setelah jatuh
tempo debitur tidak dapat membayar hutang-hutangnya, sehingga terjadi
wanprestasi. Oleh itu kreditur melakukan sita jaminan terhadap barang-barang
milik debitur secara paksa dengan maksud untuk menguasainya sebagai
pengganti hutang-hutangnya tanpa proses hukum yang legal dan formal.
Sedangkan perjanjian utang piutang secara adat ini dilangsungkan hanya
berdasarkan pada kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di kalangan masyarakat,
yaitu dilakukan secara lisan dan hanya berdasar atas kepercayaan. Sebagai
akibatnya sering kali timbul berbagai permasalahan dalam pelaksanaan
perjanjian utang piutang ini, salah satunya adalah masalah dalam jaminan
kepastian hukum suatu perjanjian utang piutang secara adat yang tanpa adanya
bukti tertulis. Perjanjian utang piutang secara adat ini, dilangsungkan tanpa
adanya jaminan khusus berupa harta benda milik debitur. Jaminan secara khusus
diperlukan untuk lebih menjamin adanya perlindungan hukum bagi kreditur,
bahwa debitur akan mengembalikan uang pinjamannya. Dalam penanganan
masalah debitur yang wanprestasi sering kali kreditur melakukan sita jaminan
terhadap barang-barang milik debitur secara paksa sebagai pengganti hutang-
hutangnya tanpa proses hukum yang legal. Akibatnya perjanjian utang piutang
ini kurang memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.

Perjanjian utang piutang yang dibuat secara lisan atau tidak tertulis
diperbolehkan menurut undang-undang. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
yang berisi tentang syarat syahnya suatu perjanjian, tidak ada satupun syarat
yang mengharuskan bahwa perjanjian harus dilakukan secara tertulis.

Perjanjian yang dibuat secara lisan/tidak tertulis juga mengikat secara hukum
bagi para pihak yang membuatnya serta tidak menghilangkan segala hak dan
kewajiban dari para pihak yang bersepakat. Hal demikian sesuai dengan “Asas
Pacta Sunservanda”, yaitu asas yang memberlakukan bahwa Perjanjian yang
dibuat secara sah berkonsekuensi yuridis dan berlakunya sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUH-Perdata).

Perjanjian yang dibuat secara lisan tetap sah dan mengikat kedua belah pihak
apabila dilandasi dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak dan
dilaksanakan dengan itikad yang baik. Hal ini sesuai dengan asas hukum dalam
suatu perjanjian “Asas Konsensualitas”, yaitu asas yang memberlakukan bahwa
Perjanjian terjadi ketika ada kesepakatan. Hal ini dapat dilihat dari syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 ayat (1) KUH-Perdata.
Selain asas itu, sesuai juga dengan “Asas Itikad Baik”, yaitu asas yang dalam
pemberlakuannya dibedakan dalam pengertian subjektif dan objektif. Pengertian
subjektif dimaksud adalah kejujuran pihak terkait dalam melakukan perjanjian,
sedangkan pengertian objektif bahwa perjanjian tidak boleh be
rtentangan dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat (Pasal 1338
ayat (3) KUH-Perdata). Kebanyakan perjanjian yang dilakukan secara lisan
dilakukan karena adanya kepercayaan di antara kedua belah pihak.

Hal demikian sesuai juga dengan salah satu asas hukum “Asas Kepercayaan”
yaitu suatu perjanjian dilakukan atas dasar saling percaya di antara kedua belah
pihak yang bersepakat untuk saling mengikatkan dirinya. Kelemahan dari suatu
perjanjian yang dilakukan secara lisan adalah apabila debitur wanprestasi dan
menyangkal bahwa tidak pernah adanya perjanjian akan mengalami kesulitan
untuk membuktikan adanya perjanjian utang piutang dengan resiko uangnya
hilang.
Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, dalam bukunya “Berginselen en Stelsel van Het
Adatrecht” hukum perutangan ini meliputi:
1. Hak-hak atas rumah, tumbuh-tumbuhan, ternak dan benda-benda
lainnya,
2. Perbuatan kredit, tolong-menolong bersama, timbal balik, dan
tolong-menolong khusus,
3. Perkumpulan yang berdasarkan tolong-menolong,
4. Perbuatan kredit perseorangan,
5. Perbuatan yang merugikan penagih hutang,
6. Alat pengikat dan tanda-tanda yang kelihatan.

Adapun ciri-ciri pokok dari hukum perutangan ini antara lain:


1. Coraknya non individual, tetapi masih komunal, sebagai sifat yang
menonjol dalam lembaga tolong-menolong.
2. Yang ditetapkan dalam hukum perhutangan ini hanyalah garis-garis
besarnya saja, tanpa hukum pelengkap dan presumsi-presumsi
menurut UU.
3. Yang penting dalam penggolongan hukum ini ialah motivasi yang
mendorong terjadinya kontrak, karena motif ini menentukan sifat
kontrak yang bersangkutan.
4. Hukum perutangan ini bersifat riil, karena semua hubungan hukum
digambarkan dan dijelmakan secara riil. Jadi merupakan obyek harta
kekayaan yang mandiri.

HAK ATAS PERUMAHAN, TUMBUH –TUMBUHAN, TERNAK &


BARANG
Menurut hukum adat setiap orang dapat mempunyai hak-hak atas barang selain
tanah, seperti hak atas rumah, tanam-tanaman/tumbuh-tumbuhan, ternak dan
sebagainya, yang tidak terkekang oleh hak persekutuan/hak pertuanan; hak atas
barang ini biasanya disebut hak milik. Dalam prinsipnya hak milik atas rumah
dan tumbuh-tumbuhan terpisah daripada hak milik atas tanah di mana rumah
atau tumbuh-tumbuhan itu berada, artinya bahwa seseorang dapat memiliki
rumah atau/dan pohon-pohonan di atas pekarangan milik orang lain.

Terhadap prinsip ini terdapat pengecualian sebagai berikut:


a. Dalam transaksi-transaksi tentang pekarangan termasuk praktis
selalu rumah dan tumbuh-tumbuhan yang ada di situ.
b. Kadang-kadang hak milik atas tumbuh-tumbuhan membawa hak
milik atas tanahnya.
c. Hak milik atas tanah terikat oleh hak milik atas rumah tembok yang
ada disitu, satu dan lainnya karena rumah tembok itu tidak mudah
untuk dipindahkan seperti rumah yang dibuat dari batu atau kayu.

Mengenai penyerahan barang-barang selain tanah (yang diperjual belikan),


cukup dengan penyerahan biasa, yaitu dengan penyerahan barang yang dijual
dan penerimaan harganya oleh si penjual.
Dalam hukum adat dikenal pula: menggadaikan barang selain tanah (di jawa
disebut: nyekelake, yang artinya memegangkan).

Perjanjian gadai menurut BW dengan Hukum Adat:


a. Menurut BW si pemegang gadai tidak diperkenakan memakai
barang yang digadai, sedang menurut HA pemegang gadai boleh
memakai barang yang digadai.
b. Menurut BW perjanjian gadai selalu disertai pembayaran bunga
gadai, sedang dalam HA tidak selalu demikian.

Salah satu ketentuan dikehendaki perbedaan demikian, maka berarti:


 Tanah sudah pasti termasuk benda tetap;
 Ternak dan benda-benda yang mudah dipindahkan lainnya merupakan
benda bergerak;
 Rumah-rumah bambu, rumah kayu (yang dapat dipindahkan), pohon-
pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya, merupakan benda-benda yang
tidak pasti, dalam arti dapat dimasukkan pengertian benda tetap,
maupun benda bergerak tergantung pada keadaanya.

Hak milik atas ternak kadang-kadang terikat oleh peraturan-peraturan khusus


tentang memotongnya dan menjualnya; tetapi dengan ikatan yang demikian ini
bukan berarti bahwa hak milik atas ternak itu tidak ada.
SUMBANG MENYUMBANG, SAMBAT SINAMBAT, TOLONG
MENOLONG

Perbuatan kredit dapat terjadi antara para warga persekutuan dengan orang luar,
secara bersama-sama atau secara perseorangan. Salah satu perbuatan kredit
yang khas Indonesia ialah tolong menolong atau gotong-royong, yang dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) macam bentuk:
a. Tolong menolong timbal balik (wederkerige hulpbetoon/reciprocal
aid), ialah perbuatan seseorang yang karena kesadarannya
memberikan sesuatu kepada orang lain untuk membalas budi, karena
ia merasa berhutang budi kepada orang lain.
b. Tolong menolong bersama (onderlinge hulpbetoon/mutual
cooperation), ialah perbuatan anggota masyarakat yang bersama-
sama melakukan sesuatu untuk kepentingan bersama. Jadi dasarnya
bukan untuk membalas budi atau ingin mendapatkan pembalasan
budi di kemudian hari, melainkan semata-mata demi bakti dan
pengabdian kepada masyarakat atau desanya.
c. Tolong menolong khusus (gespecialiseerd hulpbentoon/
specializedassistance), ialah perbuatan kerjasama antara golongan
masyarakat tertentu saja

Apabila diteliti secara mendalam, maka dapat pula digolongkan dalam


perbuatan-perbuatan yang motifnya juga tolong menolong:
a. Transaksi maro, mertelu tanah, sebab pemilik tanah memberi
bantuan dengan menyerahkan tanahnya untuk digarap kepada warga
persekutuan lain yang sangat membutuhkan dan tidak mempunyai
tanah, sedangkan dilihat dari sudut lain warga persekutuan yang
menggarap tanahnya itu memberi bantuan kepada pemilik tanah
yang ingin memungut hasil dari tanahnya tetapi tidak dapat
mengerjakan sendiri.
b. Memberi kesempatan memelihara ternaknya kepada warga
persekutuan yang tidak memiliki ternak dengan perjanjian hasil
penjualan atau kembang biak ternak akan di bagi.
c. Kerjasama yang dilakukan pada penangkapan ikan oleh pemilik
perahu beserta alat-alat penangkapan ikan dengan para nelayan, di
mana pemilik perahu (juragan) wajib menanggung ongkos
perawatan perahu beserta alat-alat penangkap ikan tersebut, juga
menanggung makannya para nelayan selama berlayar, sedangkan
para nelayan (bidak, bandega) wajib menjalankan tugas
penangkapan ikan serta perawatan perahu beserta alat-alatnya. Hasil
tangkapan ikannya dibagi antara mereka, pemilik perahu menerima
bagian yang terbanyak sedangkan para bidak menerima bagian
sesuai dengan berat ringan tugas mereka dalam penangkapan ikan
tersebut.

Perkumpulan-perkumpulan

Suatu azas lain terdapat bilamana di dalamnya orang-orang bertolong-tolong


satu sama lain, menjadi terlepas. Dengan maksud untuk pertukaran tenaga dan
barang-barang bertimbal balik, maka timbullah golongan-golongan yang
berkecenderungan akan bertindak ke luar sebagi kesatuan-kesatuan yang berdiri
sendiri. Makin lemah atau makin menjadi lemah dusun-dusun atau masyarakat-
masyarakat lain itu karena sebab-sebab dari dalam atau dari luar. Diatur dalam
suatu perkumpulan atau perhimpunan/paguyuban diantara warga masyarakat,
sehingga keluar merupakan satu kesatuan yang berdiri sendiri. Usaha
peningkatan tolong-menolong semacam ini jelas kelihatan pada masyarakat
yang ikatan kolektifitasnya makin melemah, atau makin meluas keluar batas
masyarakat yang bersangkutan.

Perkumpulan atau perhimpunan semacam ini antara lain:


a. Perkumpulan kematian
b. Sarikat (Jakarta) atau jula-jula (Minangkabau)
c. Subak (Bali)
d. Mapalus (Minahasa)
e. Koperasi.

PANJER

Alat pengikat, tanda yang kelihatan/panjer. Dalam perjanjian jual beli


kadang-kadang terjadi bahwa sebelum si penjual menyerahkan barang yang
dijual kepada si pembeli, maka si pembeli membayar sebagian dari harga yang
ditentukan sebagai panjer (uang muka/persekot).

Fungsi dari panjer ini adalah untuk mengikat kedua belah pihak, dengan akibat:
a. Si penjual harus menjual barang
b. Si pembeli harus menepati janjinya

KREDIT PERSEORANGAN

Hutang atau pinjam uang adalah merupakan perbuatan yang umum dalam
masyarakat indonesia, baik pinjaman yang memakai bunga maupun yang tidak
memakai bunga. Meskipun memungut bunga menurut agama Islam tidak
dibenarkan, tetapi dalam keyakinan banyak orang atau perkumpulan juga
banyak yang melakukan pinjaman dengan bunga. Dalam prakteknya dapat
dilihat hutang itu berwujud hutang barang, hutang makanan dan lain
sebagainya, adapula yang hutang uang dengan perjanjian mengembalikan
dengan natura/berwujud, misalnya hasil bumi, hasil peternakan dan lain
sebagainya.
bersangkutan dan tidak perlu terbatas kepada warga yang melakukan pinjaman
itu saja.

Adat kebiasaan demikian ini karena perkembangan jaman kini tidak dapat
dilihat lagi di hampir seluruh daerah, hanya di daerah pedalaman kalimantan,
Sulawesi atau Papua yang masih terasing oleh hubungan lalu lintas modern saat
ini, kiranya adat tanggung menanggung yang murni masih diketemukan.
Apabila seorang warga persekutuan sering kali memberikan pertanggungan-
pertanggungan yang berat-berat kepada persekutuannya, maka warga
sedemikian ini akhirnya dapat di buang dari persekutuannya. Dalam kehidupan
sehari-hari sering terjadi seorang yang berhutang (debitur) dengan sengaja
melakukan suatu perbuatan yang dapat merugikan orang yang berpiutang
kepadanya (kreditur).

Borg atau Jaminan Hutang


Dengan borg atau jaminan terjadi, apabila ada orang ketiga yang bersedia
menanggung pinjaman tersebut. Orang yang menanggung ini dapat di tegur
kalau si peminjam tidak dapat melunasi pinjaman.

Kempitan
Ini adalah semacam perjanjian dengan komisi yang terdapat di jawa (sekarang
kebiasaan ini kiranya sudah meluas juga ke lain-lain daerah). Dalam perjanjian
ini pemilik barang mempercayakan penjualan barangnya kepada orang lain
dengan ketentuan setelah lampau waktu tertentu, barangnya atau jumlah uang
yang telah di tetapkan sebelumnya, diberikan kepada pemilik barang.

Ngeber
Transaksi ini dijumpai di Jawa Barat serta merupakan transaksi menjualkan
barangnya orang lain dengan ketentuan:
a. Kalau tidak laku dapat dikembalikan kepada pemilik barang.
b. Kalau laku dengan harga yang lebih besar dari pada harga yang
ditetapakan pada penutupan transaksi, maka selisihnya menjadi
haknya orang yang menjualkan barang tersebut.

Ijon atau Ijoan


Perbuatan ini sering terjadi di desa-desa. Ijon ialah penjualan tanaman padi yang
masih muda. Sekarang yang di ijonkan bukan padi saja, tetapi dapat juga
jagung, ketela dan lain-lain bahkan dapat di ijonkan buah-buahan yang masih
muda. Hasil panen dalam hal ini menjadi milik yang membeli pada waktu
masih muda. Kalau yang membeli ijon ijoan itu pada saat telah masak dan
sudah tiba waktu panen, maka perbuatan itu disebut tebasan.

Ngaranan atau mangara anak


Di Minahasa dikenal adanya suatu perjanjian yang istimewa, suatu kontrak yang
isinya adalah: pihak pertama mewajibkan diri untuk memelihara pihak
keduapada waktu hidupnya dan mengatur harta bendanya setelah ia meninggal
dunia. Pihak pertama berhak menerima sebagian harta peninggalan pihak kedua,
lazimnya sebesar bagian orang anak. Kalau pihak kedua tidak kawin atau tidak
mempunyai anak, maka pihak pertama malahan menerima keseluruhan harta
peninggalannya.

Makidhang Raga
Makidhang raga yaitu meletakkan ataupun mengikatkan diri sendiri beserta
harta kekayaannya di bawah asuhan orang lain dan orang lain ini wajib
mengurus segala sesuatu setelah ia meninggal dunia, sebagai imbalannya orang
itu berhak mewarisi harta peninggalannya. Dan makidhang raga ini dijumpai di
Bali.
VIII. HUKUM PERJANJIAN

HUKUM PERJANJIAN

Hukum Perjanjian pada dasarnya mencakup hukum hutang piutang. Dengan


adanya perjanjian, maka suatu fihak berhak untuk menuntut prestasi dan alin
fihak berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi tersebut adalah mungkin
menyerahkan benda, atau melakukan suatu perbuatan, atau tidak melakukan
suatu perbuatan. Bentuk-bentuk darim perjanjian dalam masyarakt hukum adat
adalah:
1. Perjanjian kredit Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian
meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu
yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat
yang telah disepakati. Hasil penelitian lapangan di Lampung dan
Sumatera Selatan menyatakan bahwa peminjaman yang dikenakan bunga
telah lazim terjadi, apabila yang meminjam uang itu adalah orang luar,
artinya yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan fihak yang
meminjamkan uang itu. Adanya bunga atau jaminan terhadap pinjaman
uang, rupa-rupanya merupakan pengaruh dari kebiasaan-kebiasaan di
kota dari para pendatang. Demikian pila dengan pinjam-meminjam
barang, maka pinjam-meminjam tersebut merupakan suatu hal yang
sudah lazim. Pinjam-meminjam barang ini harus dikembalikan dengan
barang sejenis ataupun dengan uang yang sepadan dengan nilai barang
yang dipinjamkan
2. Perjanjian kempitan. Perjanjian kempitan merupakan suatu bentuk
perjanjian dimana sesorang menitipkan sejumlah barang kepada fihak lain
dengan janji bahwa kelak akan dikembalikan dalam bentuk uang atau
barang yang sejenis. Perjanjian kempitan ini lazim terjadi dan pada
umumnya menyangkut hasil bumi dan barang-barang dagangan. Didalam
perjanjian kempitan, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yaitu
antara lain: a. Harus ada musyawarah lebih dahulu, kepercayaan dan surat
perjanjian. b. Diadakan batas waktu pengembalian barang, dan kalu
barang tersebut tidak diambil, maka barang itu dijual atas dasar mufakat.
c. Dalam surat perjanian itu ditentukan jumlah harga pengembalian
barang tersebut d. Apabila barang yang dititipkan itu hilang, maka harus
ada penggantian dan apabila barang itu telah dijual orang yang dititipi
barang tersebut harus diberi upah untuk jerih payahnya. Dengan
demikian, dalam perjanjuan kempitan terdapat kecenderungan bahwa
barang yang dititipkan itu harus dikembalikan apabila dikehendaki oleh
pemilik barang dan adanya suatu syarat utama yaitu bahwa antara para
fihak harus saling percaya-mempercayai.
3. Perjanjian tebasan. Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual
hasil tanamannya sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi kan
dipetik hasilnya. Perjanjian tebasan ini lazim terjadi pada padi atau
tanaman buah-buahan yang sudah tua dan sedang berada di sawah
ataupun di kebun. Di daerah-daerah tertentu (misalnya beberapa daerah
Sumatera Selatan) perjanjiantebasan merupakan perjanjian yang tidak
lazim terjadi dan ada kecenderungan bahwa perikatan dalam bentuk ini
merupakan perjanjian yang dilarang.
4. Perjanjian perburuhan. Dalam hal seseorang memperkerjakan orang lain
yang bukan keluarga tanpa diberi upah berupa uang? Perihal bekerja
sebagai buruh dengan mendapat upah merupakan suatu hal yang sudah
lazim dimana-mana. Dengan demikian terdapat kecenderungan bahwa
apabila memperkerjakan orang lain harus diberi upah dan upah tersebut
haruslah berupa uang. Tetapi ada variasi lain, yaitu bahwa ada
kemungkinan seseorang bekerja tanpa diberi upah berupa uang, akan
tetapi segala biaya kehidupannya ditanggung sepenuhnya. Ter Haar
menyatakan bahwa tentang menumpang di rumah orang lain dan
mendapat makan dengan Cuma-Cuma tapi harus bekerja untuk tuan
rumah, merupakan hal yang berulang-ulang dapat diketemukan dan
sering bercampur baur dengan memberikan penumpangan kepada kepada
sanak-saudara yang miskin dengan imbangan tenaga bantuannya di
rumah dan di lading.
5. Perjanjian pemegangkan. Apakan lazim bahwa seseorang menyerahkan
suatu benda kepada orang lain sebagai jaminan atas hutangnya? Di
beberapa masyarakat, pada umumnya perjanjian pemegangkan ini cukup
lazim dilakukan dan pemilik uang berhak mempergunakan benda yang
dijaminkan itu sampai uang yang dipinjamkan itu sampai uang yang
dipinjamkan itu dikembalikan. Akan tetapi, apabila pinjaman uang
tersebut dikenakan bunga, maka pemilik uang itu hanya berkewajiban
menyimpan barang tersebut dan tidak berhak untuk memprgunakannya,
karena dia menerima bungan hutang tersebut.
6. Perjanjian pemeliharaan. Perjanjian pemeliharaan mempunyai kedudukan
yang istimewa dalam hukum harta kekayaan adat. Isi perjanjian
pemeliharaan ini adalah bahwa fihak yang satu (pemelihara) menanggung
nafkahnya fihak lain (terpelihara), lebih-lebih selama masa tuanya, pula
menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya.
Sedangkan sebagai imbalan si pemelihara mendapat sebagian dari harta
peninggalan si terpelihara, dimana kdang-kadang bagian itu sama dengan
bagian seorang anak. Perjanjian ini pada umumnya dikenal antara lain di
Minahasa dan persamannya terdapat di Bali dimana seseorang
menyerahkan dirinya bersama segala harta bendanya kepada orang lain.
Orang yang menerima penyerahan sedemikian itu wajib
menyelenggarakan pemakamannya dan pembakaran mayatnya si
penyerah, pula wajib memelihara sanak saudaranya yang ditinggalkan;
untuk itu semua maka ia berhak atas harta peninggalannya.
7. Perjanjian pertanggungan kerabat. Apakah lazim seseorang menanggung
hutang orang lain yang tidak sanggup melunasi hutang tersebut? Ter Haar
pernah menulis bahwa dalam hukum adat terdapat perjanjian dimana
seseorang menjadi penanggung hutangnya orang lain. Si penanggung
dapat ditagih bila dianggap bahwa perlunasan piutang tak mungkin lagi
diperoleh dari si peminjam sendiri. Menanggung hutang orang lain,
pertama-tama mungkin disebabkan karena adanya ikatan sekerabat,
berhadapan dengan orang luar. Kedua mungkin juga berdasarkan atas
rasa kesatuan daripada sanak saudara. Misalnya dikalangan orang-orang
Batak Karo, seorang laki-laki selalu bertindak bersama-sama atau dengan
penanggunagan anak beru sinina, yaitu sanak saudaranya semenda dan
kerabatnya sedarah yang seakan-akan mewakili golongan-golongan
mereka berdua yang bertanggung jawab. Penelitian di beberapa
masyarakat menyatakan kebenaran dari perkiraan yang diajukan oleh ter
Haar di atas. Di Sumatera Selatan perjanjian pertanggungan kerabat orang
lain juga masih lazim dilakukan. Alasan-alasannya antara lain: a.
Menyangku kehormatan suku b. Menyangkut kehormatan keluarga batih
c. Menyangkut kehormatan keluarga luas.
8. Perjanjian serikat Acapkali ada kepentingan-kepentingan tertentu yang
dipelihara oleh anggota masyarakat dalam berbagai macam kerja sama.
Kerja sama dari para anggota masyarakat untuk memenuhi kepentingan
itulah yang menimbulkan serikat, yang didalamnya muncul perikatan atau
perjanjian-perjanjian untuk memenuhi kepentingan tertentu tadi. Sebagai
contoh adalah dimana beberapa orang yang setiap bulan membayar
sejumlah uang tertentu dalam waktu yang telah ditetapkan bersama,
misalnya, dalam setiap bulan. Masing-masing mereka secara bergiliran
akan menerima keseluruhan jumlah uang yang telah dibayarkan itu dan
dapat mempergunakan uang tersebut sekaligus dan juga seluruhnya.
Kegiatan yang demikian ini di Jakarta disebut dengan serikat, di
Minangkabau disebut dengan jula-jula, di Salayar disebut dengan
mahaqha dan di Minahasa disebut mapalus. Tetapi perlu diingatkan
bahwa mapalus di Minahasa mengandung arti rangkap. Pertama- sebagai
bentuk kerjasama yang pada prinsipnya mengandung kegiatan tolong
menolong secara timbale balik, sehingga dapat digolongkan dalam bentuk
perikatan tolong menolong yang merupakan “wederkeng hulpbetoon”.
Kedua adalah bentuk kerja sama dalam kegiatan yang telah diuraikan di
muka. Bentuk kerja sama tersebut, kini telah mengalami perkembangan
dan tidak semata-mata menyangkut uang saja, akan tetapi juga berkaitan
dengan pelbagai keperluan, seperti keperluan rumah tangga, dan lain
sebagainya. Kegiatan tersebut juga sudah meluas dalam masyarakat, dan
lazim disebut arisan.
9. Perjanjian bagi hasil. Menurut ter Haar, maka transaksi ini merupakan
suatu perikatan, dimana obyek transaksi bukanlah tanah, akan tetapi
pengolahan tanah dan tanaman di atas tanah tersebut. Proses tersebut
mungkin terjadi, oleh karena pemilik tanah tidak mempunyai kesempatan
untuk mengerjakan tanahnya sendiri, akan tetapi berkeinginan untuk
menikmati hasil tanah tersebut. Maka, dia dapat mengadakan
perjanjiandengan fihak-fihak tertentu yang mampu mengerjakan tanah
tersebut, sengan mendapatkan sebagain dari hasilnya sebagai upah atas
jerih payahnya. Transaksi semacam ini dapat dijumpai hamper di seluruh
Indonesi, dengan pelbagai variasi, baik dari sudut penanamannya,
pembagian hasilnya, dan seterusnya. Di daerah Sumatera Barat
(Minangkabau), transaksi ini dikenal dengan nama “mampaduoi” atau
“babuek sawah urang”. Perjanjian bagi hasil tersebut didalam
kenyataannya dilakukan secara lisan (dihadapan kepala adat), dan
tergantung dari factor kesuburan tanah, penyediaan bibit, jenis tanaman
dan seterusnya. Apabila tanah yang akan dikerjakan akan dijadikan
sawah, sedangkan benih padi disediakan oleh pemilik tanah, maka
hasilnya dibagi dua antara pemilik tanah dengan penggarap, tanpa
memperhitungkan nilai benih serta pupuknya. Perjanjian semacam ini
disebut “mempaduoi”. Lain halnya, apabila tanah keras, ldang atau sawah
yang akan dikerjakan, ditanami dengan palawija, dimana pemilik tanah
menyediakan bibit serta pupuk. Hasilnya tetap dibagi dua, akan tetapi
dengan memperhitungkan harga bibit dan pupuk; perjanjian semacam ini
disebut “saduo bijo”. Perjanjian tersebut dapat diteruskan (atau
dihentikan) oleh ahli waris, apabila pemilik tanah penggarapn meninggal.
Di Jawa Tengah, maka perjanjian tersebut tergantung pada kualitas tanah,
macam tanaman yang akan dikerjakan, serta penawaran buruh tani. Kalau
kualitas tanah baik, misalnya, maka pemilik tanah akan memperoleh
bagian yang lebih besar. Dengan demikian, maka ketentuan-ketentuannya
adalah, sebagai berikut : a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh
bagian yang sama (“maro”) b. Pemilik tanah memperoleh 2/3 bagian
(“mertebu”) c. Pemilik tanah mendapat 1/5 bagian untuk tanaman kacang.
Khususnya di Bali Selatan, perjanjian bagi hasil penerapannya disebut
“sakap menyakap” (Koentjaraningrat 1967:60). Ketentuan-ketentuannya
adalah, sebagai berikut : a. Pemilik tanah dan penggarapnya memperoleh
bagian yang sama, yaitu masing-masing ½ (”nandu”). b. Pemilik tanah
mendapat 3/5 bagian dan penggarap 2/5 bagian (“nelon”) c. Pemilik tanah
mendapat 2/3 bagian dan penggarap 1/3 bagian (“ngapit”). d. Pemilik
tanah mendapat ¾ bagian, sedangkan penggarap ¼ bagian (“merapat”)
Mengenai perjanjian bagi hasil atau “sharecropping” ini, sebetulnya telah
diatur didalam Undang_Undang Nomor 2 tahun 1960, yang intinya
adalah: a. Penentuan bagian yang didasarkan pada kepentingan penggarap
dan kualitas tanah, dengan ketentuan penggarap memperoleh ½ bagian
atau 2/3 bagian. b. Atas dasar kualitas dan tipe tanah, perjanjian bagi hasil
berjangka waktu antara 3 sampai 5 tahun. c. Kepala Desa mengawasi
perjanjian-perjanjian bagi hasil.
10.Perjanjian ternak. Ter Haar menyatakan “Pemilik ternak menyerahkan
ternaknya kepada fihak lain untuk dipelihara dan membagi hasil ternak
atau peningkatan nilai dari hewan itu” Di Sumatera Barat
(Minangkabau) dikenal dengan nama “paduon taranak” atau “saduoan
taranak”. Mengenai hal ini, lazimnya berlaku ketentuanketentuan sebagai
berikut: 1. Jika ternak itu ternak betina, maka setelah beranak, anaknya
itu dibagi sama banyaknya antara si pemilik dan si pemelihara, atau
dipatut harga induknya, kemudian anaknya dibagi dua sama banyak, dan
kelebihan harga induknya yang dipatut itu dibagi dua pula. Kelebihan
harga induk adalah dari harga waktu penyerahan dan waktu akan
membagi. 2. Jika ternak itu ternak jantan, maka sewaktu diserahkan pada
pemelihara harus ditentukan harganya, kemudian setelah dijual laba
dibagi dua. Kalau dijual sebelum beranak maka ketentuannya adalah: -
Jika induknya dahulu dipatut harganya, maka laba dibagi dua - Jika
induknya dahulu tidak dipatut harganya, maka kepada pemelihara
diberikan sekedar uang jasa selama ia memelihara ternak tersebut,
besarnya tergantung kepada pemilik ternak, sifatnya hanya social saja. -
Kalau ternak itu mandul, maka dijual, biasanya dikeluarkan juga uang
rumput pemeliharaan, dan pemelihara mempunyai hak terdahulu jika ia
ingin membeli atau memeliharanya kembali. - Jika ternak itu mati
ditangan si pemelihara..., biasanya kedua fihak pasrah kepada kedua tkdir
tersebut. Di Daerah Lampung, maka lzimnya berlaku ketentuan-
ketentuan, sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1975 : 46) : a. Pada ternak
besar, hasilnya dibagi sama rata b. Kalau pokoknya mati, maka harus
diganti dengan hasil pertama c. Pad unggas, maka bagi hasil tergantung
pada musyawarah antara para fihak Didalam keputusannya tertanggal 23
Oktober 1954 nomor 10/1953, pengadilan negeri Tapanuli Selatan
menetapkan bahwa menurut hukum adat di Tanah Batak, tentang
pemelihraan kerbau, adalah sebagai berikut : a. Kalau seekor kerbau mati
dalam pemeliharaan, yaitu kelihatan bangkainya, tidak diganti oleh
pemelihara. b. Kalau kebau itu mati karena tidak dipelihara atau liar
ataupun hilang, yang memeliharanya harus menggantikannya sebesar
kerbau yang mati, liar atau hilang itu, atau membayar seharga kerbau
yang mati, liar atau hilang itu. In casu seekor kerbau yang mati karena
masuk lubang di padangan, dianggap mati dalam pemeliharaan. Didalam
kasasi, maka Mahkamah Agung memutuskan, bahwa bila ada kerbau
yang hilang atau mati karena masuk lubang, maka sangat sulit untuk
menentukankesalahan dari fihak pemelihara. Dengan demikian, maka
sepatutnya resiko ditanggung oleh kedua belah fihak, secara sebanding
(Keputusan Mahkamah Agung tertanggal 2 April 1958, nomor 348
K/Sip/1957).

IX. HUKUM ADAT DELIK


PENGERTIAN DELIK ADAT

Delik Adat adalah perbuatan-perbuatan yang mengandung sanksi dari


masyarakat adat karena memberikan reaksi dari masyarakat atau tidak
sesuai dengan kebiasaan dan norma yang hidup dan ada (eksis) pada
masyarakat tersebut.

Berbeda dengan delik pidana terdapat unsur tambahan yakni perbuatan itu
karena adanya hukum yang dilanggar sekalipun hukum yang dimaksud juga
mengenai norma kesopanan dan kesusilaan.

Ada beberapa macam delik adat yang dijabarkan oleh Hilman Hadikusuma:
1. Delik perbuatan yang menggangu keamanan, misalnya peristiwa
kebakaran, perampokan, pencurian, pembunuhan, penganiayaan.
2. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban masyarakat, misalnya
melakukan penghinaan, menggangu kegiatan ibadah, mengganggu
rumah penduduk, berjudi, mengganggu mayat, memakan makanan
yang diharamkan.
3. Delik perbuatan yang menggangu ketertiban pemerintahan, misalnya
mengganggu para tetua adat, kesalahan prosedur adat, berkaitan
dengan martabat para pemimpin, pencatatan kependudukan;
4. Delik melakukan perbuatan yang melanggar kesopanan dan
kesusilaan, misalnya tidak sopan, pelecehan terhadap perempuan,
melakukan perzinahan, berkaitan dengan hal yang tidak boleh
dilakukan kepada istri orang;
5. Delik yang berhubungan dengan perjanjian, misalnya mengenai
ingkar janji, merusak perjanjian, hutang piutang, tentang
menjalankan amanah dan titipan;
6. Delik yang menyangkut tanah termasuk tumbuhan dan hasil hutan,
misalnya mengenai tanah adat, pemanfaatan hutan bersama, hasil
panen.
7. Delik yang menyangkut hewan ternak dan perikanan, misalnya cara
penyembelihan hewan, cara pemeliharaan ternak dan penangkapan
hasil laut maupun sungai;

Contoh Perkara Adat dan Penyelesaiannya

1. Hukum adat pelaku hamil di luar nikah


Perbuatan zina yang menghasilkan hamil diluar nikah adalah perbuatan
yang mengandung delik adat di kabupaten Rejang Lebong. Bagi pelaku
akan diberikan hukuman berupa penyembelihan 1(satu) ekor kambing
untuk sedekah kampong disertai penyataan permintaan maaf secara
terbuka dari pelaku (punjung mentah) didepan tetua adat, keluarga, dan
seluruh masyarakat. Kemudian membayar Denda Kutei 6 Rel setara
dengan harga 1 kaleng beras untuk disimpan pada lumbung beras desa.
Lalu menyediakan sirih sesanggen berbuah (uang), dan dirajam dari
belakang tanpa dilihat pelaku dengan Lidi Kelapa Hijau 100 buah dan
gemuk manis, Asam Garam. Dan terakhir menyediakan tepung setawar
berupa beras, air, daun sergayau ditujuankan untuk mendinginkan hati
masyarakat yang telah mencibir perbuatannya. Sedangkan cuci dusun
menggunakan darah kambing yang dipercikan di desa bersama tetua adat.
2. Pelaku mungkir perjanjian (ngaranat ngampir baya). Mengenai adanya
salah seorang (satu pihak) yang mungkir janji, maka bagi yang mungkir
janji tersebut akan dikenakan hukuman Denda 4 Petis atau 8 real.
3. Hukum ada tentang peternakan dan perikanan
Pemilik ternak kerbau, sapi, kuda, kambing dalam hukum adat pada
malam hari harus dikandangkan. Jika diketahui bahwa hewan ternak itu
lepas dijalan, didusun dan telah merusak kebun lading orang lain maka
pemiliknya akan dikenai Denda 12 Ringgit untuk setiap ekor, termasuk
memberikan ganti kerugian berupa tanaman atau tumbuhan milik orang
yang telah dirusak oleh hewan ternak tersebut. Begitupun adanya delik
dimana manuba (memasang tuba) untuk mendapatkan ikan di perairan
tanpa se-izin penguasa.

Bentuk Penyelesaian Hukum Adat


Berdasarkan praktiknya tata cara penyelesaian hukum adat diadakan melalui
pertemuan yakni:
1. Pertemuan antar pribadi, keluarga atau tetangga;
2. Pertemuan dengan fasilitasi / ditengahi oleh kepala adat;
3. Pertemuan dengan fasilitasi / ditengahi oleh kepala Desa;
4. Pertemuan dengan fasilitasi melalui keorganisasian yang ada sebagai
Juru Damai.

Hukum Pidana Adat atau hukum pidana yang tidak tertulis dalam bahasa
Belanda dikenal sebagai ongeschreven strafrecht. (E Utrech 7: 1994)

Menurut Soerojo Wignjodipuro diantara bidang hukum adat, hukum pidana adat
adalah bidang hukum adat yang eksistensinya terdesak oleh keberadaan hukum
kolonial.

Beberapa sarjana kemudian memberikan pengertian mengenai hukum pidana


adat untuk dapat memberikan pemahaman lebih lanjut, yang tentunya berpijak
pada karakteristik hukum pidana pada umumnya. Van Vollenhoven mengartikan
delik adat sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan. Murid Van Vollenhoven,
Ter Haar, kemudian mengartikan suatu delik sebagai setiap gangguan segi satu
terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan dari segi satu pada barang-
barang kehidupannya materiil dan imateriil orang seorang atau dari pada orang-
orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan
sedemikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifatnya dan besar kecilnya
ditetapkan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adat reactie), karena reaksi mana
keseimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan jalan
pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang).

Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur
agama,ditakuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus,dari satu
generasi ke generasi berikutnya.

Sedangkan pengertian Hukum Pidana Adat menurut Hilman Hadikusumah


Hukum pidana adat disebut juga Hukum Adat Delik (adatdelicten recht) atau
Hukum pelangaran Adat ialah aturan-aturan hukum yang mengatur peristiwa
atau perbuatan kesalahan yang berakibat terganggunya keseimbangan
masyarakat sehingga perlu diselesaikan (dihukum) agar keseimbangan
masyarakat tidak terganggu.

I Made Widyana menjelaskan mengenai pengertian Hukum Pidana Adat yang


mengutip dari Hilman Hadikusumah adalah Hukum yang menunjukan peristiwa
dan perbuatan yang harus di selesaikan (di hukum) dikarenakan peristiwa dan
perbuatan itu menganggu keseimbangan masyarakat.Jadi berbeda dengan
hukum pidana barat yang menekankan peristiwa apa yang dapat diancam
dengan hukuman serta macam apa hukumnya,dikarenakan peristiwa itu
bertentangan dengan perundang-undangan. I Made widyana juga menjelaskan
bahwa yang dimaksud hukum pidana adat yaitu Hukum pidana adat mempunyai
sumber hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber
hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul, diikuti dan
ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang
bersangkutan. Sedangkan sumber tertulis dari Hukum Pidana Adat adalah
semua peraturan-peraturan yang dituliskan baik diatas daun lontar, kulit atau
bahan lainnya. Perbedaan mendasar antara delik adat dan hukum pidana
(strafrecht) adalah telah ditentukannya perbuatan terlarang berikut sanksinya
dalam undang-undang, sementara dalam hukum adat perbuatan yang dilarang
berikut sanksinya tidak ditentukan lebih dahulu. Jadi, bentuk perbuatan dan
sanksinya tidak statis.

Hukum pidana dalam konteks hukum pidana adat yang dipaparkan Ter Haar
menurut konsepsi hukum adat, apabila terjadi perbuatan pelanggaran terhadap
ketentuan norma adat, maka sanksi adat yang pada hakekatnya merupakan
reaksi adat, isinya bukanlah berupa siksaan atau penderitaan (leed) tetapi yang
terutama adalah untuk mengembalikan kosmisch, yang terganggu sebagai akibat
adanya pelanggaran. Seperti halnya Soepomo memberikan pengertian yang
singkat mengenai hukum pidana adat, menurutnya segala perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan ilegal dan
hukum adat mengenal pula ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum
(“rechtsherstei”)

Hukum Pidana Adat memiliki pengertian delik Adat, beberapa delik adat, sifat
hukum delik Adat, cara penyelesaian delik adat, menurut ahli yaitu: pengertian
delik adat berdasarkan penjelasan Hilman Hadikusumah yang dikutip dari Van
Vollenhoven delik adat adalah perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Walaupun
pada kenyataannya peristiwa atau perbuatan itu hanya sumbang (kesalahan)
kecil saja. Menurut Ter Haar, delik (pelanggaran) itu ialah setiap gangguan dari
suatu pihak atau dari sekelompok orang berwujud atau tidak berwujud,
berakibat menimbulkan reaksi (yang besar kecilnya menurut ketentuan adat),
suatu reaksi adat dan dikarenakan adanya reaksi itu maka keseimbangan harus
dapat dipulihkan kembali / dengan pembayaran uang atau barang.

Jadi yang dimaksud delik adat adalah peristiwa atau perbuatan


masyarakat yang mengganggu masyarakat lain sehingga menimbulkan
reaksi dari masyarakat. Peristiwa atau perbuatan yang berwujud atau
tidak berwujud adalah perbutan manusia atau perbuatan yang gaib.

Hilman Hadikusuma menjelaskan mengenai keseimbangan masyarakat desa


adalah apabila dalam masyarakat desa, masyarakat menjadi terganggu
keseimbangan dikarenakan timbulnya banyak penyakit, tidak tenteram, selalu
timbul kericuhan keluarga, maka masyarakat desa melakukan meruat desa atau
bersih desa dengan upacara adat dengan memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar keseimbangan masyarakat tidak terus menerus terganggu. Apabila
keseimbangan yang terganggu itu akibat peristiwa atau perbuatan perorangan
maka yang bersalah itu dikenakan hukum adat mengembalikan keseimbangan
masyarakat.

Sifat delik adat menurut Hilman Hadikusuma, beliau mengemukakan bahwa


aturan-aturan hukum menurut pelanggaran adat pada umumnya bersifat sebagai
berikut:
1. Tradisional magis religius. Artinya perbuatan yang tidak boleh
dilakukan dan perbuatan mana mengganggu keseimbangan
masyarakat itu bersifat turun temurun dan dikaitkan dengan
keagamaan. Peristiwa atau perbuatan pelanggaran adat itu menurut
alam pikiran yang tradisional banyak yang tidak rasional, tidak
intelektual dan tidak liberal melainkan bersifat kosmis,
menempatkan kehidupan umat manusia itu bertautan dengan alam,
tidak terlepas dari ancaman Tuhan Yang Maha Pencipta.
2. Menyeluruh dan menyatukan. Peristiwa atau perbuatan delik adat itu
bersifat menyeluruh dan menyatukan, artinya tidak memisah-misah
antara delik yang bersifat pidana atau bersifat perdata, begitupula
tidak dibedakan antara kejahatan sebagai delik hukum dan
pelanggaran sebagai delik Undang-Undang. Begitu juga tidak
dibedakan apakah delik itu merupakan perbuatan yang disengaja
(opzet) atau karena kelalaian (culpa). Kesemuanya bersifat
menyeluruh dan disatukan dalam cara menyelesaikannya sehingga
tidak juga dibedakan antara pelaku (dader), dengan yang turut
melakukan (mededader), atau yang membantu melakukan
(medeplichtiger) atau yang menghasut (uitloker). Kesemuanya
disatukan jika diantara yang satu dengan yang lainnya merupakan
rangkaian peristiwa yang bersifat mengganggu keseimbangan, dan
keseluruhannya dijadikan satu dalam penyelesainnya dihadapan
peradilan (permusyawaratan para petugas hukum adat).
3. Tidak Prae-Existente. Hukum Adat delik menurut Soepomo dalam
Hilman Hadikusuma tidak menganut sistem prae-existante regels,
tidak seperti hukum pidana barat sebagai dinyatakan dalam pasal 1
KUHP yang menganut adagium montesquieu yang berbunyi
“Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali” (tiada
suatu delik melainkan atas kekuatan aturan pidana di dalam undang-
undang yang telah ada lebih dulu dari perbuatan itu). Artinya bahwa
delik hukum pidana adat tidak menganut azas tersebut di atas.
4. Tidak menyama-ratakan. Apabila terjadi delik adat maka yang
terutama diperhatikan ialah timbulnya reaksi atau koreksi dan
terganggunya keseimbangan masyarakat, serta siapa pelaku
perbuatan delik itu dan apa latar belakangnya. Terhadap pelaku delik
hukum adat tidak menyama-ratakan, begitu pula peristiwa dan
perbuatannya.
5. Terbuka dan lentur. Aturan hukum adat delik bersifat terbuka dan
lentur (flexible) terhadap unsurunsur yang baru yang berubah, baik
yang datang dari luar ataupun karena perubahan dan perkembangan
masyarakat lingkungannya. Hukum adat tidak menolak perubahan-
perubahan itu asal tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dan
keagamaan masyarakat bersangkutan.
6. Terjadinya delik adat. Terjadinya delik adat apabila tata tertib adat
setempat dilanggar, atau dikarenakan adanya suatu pihak merasa
dirugikan, sehingga timbul reaksi dan koreksi dan keseimbangan
masyarakat menjadi terganggu. Misalnya perbuatan mencuri buah-
buahan di Aceh jika pelakunya memetik buah-buahan itu dari pohon
yang tidak dipelihara maka si pencuri dihukum membayar harganya.
Jika delik adat itu terjadi, tetapi masyarakat setempat tidak lagi
merasa terganggu keseimbangannya, sehingga tidak ada reaksi atau
koreksi terhadap si pelaku, maka perbuatan itu bukan lagi delik adat
atau delik adat yang tidak mempunyai akibat hukum. Kemudian
delik-delik adat itu berbeda antara daerah yang satu dan daerah yang
lain.
7. Delik Aduan. Apabila terjadi delik adat, yang akibatnya
mengganggu keseimbangan keluarga, maka untuk menyelesaikan
tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan harus ada
pengaduan, harus ada pemberitahuan dan permintaan untuk
diselesaikan kepada kepala adat.
8. Reaksi dan Koreksi. Tujuan adanya tindakan reaksi dan koreksi
terhadap peristiwa atau perbuatan delik adalah untuk memulihkan
kembali keseimbangan masyarakat yang terganggu. Terhadap
peristiwa atau perbuatan delik yang mengganggu keseimbangan
masyarakat adat pada umumnya dilakukan oleh para petugas adat,
sedangkan yang mengganggu pribadi atau keluarga adat
dilaksanakan oleh kepala keluarga atau kepala kerabat bersangkutan.
Begitu pula pertanggungjawaban kesalahannya dapat dikenakan
kepada pribadi pelakunya atau keluarganya atau kepala adat.
9. Pertanggungjawaban Kesalahan. Menurut hukum pidana (delik adat)
apabila terjadi peristiwa atau perbuatan delik yang dipersalahkan
bagaimana akibat perbuatan itu dan siapa yang harus dimintai
pertanggungjawaban. Sedangkan menurut hukum adat bukan saja
pribadi pelakunya dapat dimintakan pertanggungjawaban tetapi juga
keluarga atau kerabat dan/atau kepala adatnya. Jadi menurut penulis
pertanggungjawaban kesalahan hukum pidana adat ditanggung oleh
keluarga, kerabat dan/atau kepala adatnya.
10.Tempat Berlakunya. Tempat berlakunya hukum delik adat tidak
bersifat nasional tetapi terbatas pada lingkungan masyarakat adat
tertentu atau di pedesaan.

Hilman Hadikusuma juga mengemukakan beberapa delik adat, menurut


beliau mengenai macam-macam delik adat pada setiap daerah memiliki
delik adat yang berbeda-beda, adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
1. Kesalahan mengganggu keamanan, antara lain kebakaran,
perampokan, kerusuhan, pembunuhan, pertikaian, penganiayaan,
pencurian, menemukan barang.
2. Kesalahan mengganggu ketertiban, antara lain:
a. Kesalahan tata tertib masyarakat diantaranya karena
senjata, mengganggu rumah, mengganggu ibadah,
terhadap mayit dan bangkai, berjudi dan makanan
haram, penghinaan.
b. Kesalahan tata tertib pemerintah diantaranya gawe raja,
martabat, jabatan, kewargaan adat, kependudukan, adat
perlengkapan dan harta adat.
c. Kesalahanaa kesopanan dan kesusilaan, sopan santun,
bujang gadis dan wanita memegang, menangkap
wanita, sembambangan, acara perkawinan, terhadap
istri orang, berjinah atau sumbang.
d. Kesalahan dalam perjanjian, perjanjian tidak terlarang,
mungkir janji, merusak perjanjian, pinjam meminjam,
utang piutang atau gadai, amanat atau titipan.
e. Kesalahan menyangkut tanah, tanaman tumbuhan dan
hasil hutan.
f. Kesalahana menyangkut hewan ternak dan perikanan.
Diantaranya hewan ternak, penyembelihan hewan,
hasil-hasil hutan.

Petugas hukum untuk perkara adat Menurut Undang-Undang Darurat No.


1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9
Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim
perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk
juga perkara delik adat. Didalam kenyataan sekarang ini, hakim perdamaian
desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut
KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH
Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganmgap sebagai sutu
yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim
pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana.
LEMBAGA ADAT

Terhadap segala sengketa atau masalah yang bersangkutan dengan Hukum


Adat, maka mekanisme penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan melalui
Forum Lembaga Adat.

Pengertian Lembaga Adat. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri


Nomor 5 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan,
Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik yang sengaja dibentuk
maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah
masyarakat atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah
hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak
dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai
permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat
dan hukum adat yang berlaku.

Lembaga Adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan, mengarahkan,


mensinergikan program pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat demi
terwujudnya keselarasan, keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,
ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif maupun
represif, antara lain:

1. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan;


2. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di
masyarakat.

Selanjutnya Lembaga Adat juga memiliki fungsi lainnya yaitu:

1. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan


di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan
kemasyarakatan.
2. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya.
3. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang
berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan dan
keagamaan.
4. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional
pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya.
5. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat.

Lembaga Adat memiliki wewenang yang meliputi:

1. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan masyarakat


adat tersebut.
2. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk meningkatkan
kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang lebih baik.
3. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-masalah adat
dan agama untuk kepentingan desa adat.
5. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat diselesaikan
pada tingkat desa.
6. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/kota desa adat tersebut berada.

Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu:

1. Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan yang


menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
2. Memberdayakan, mengembangkan dan melestarikan adat istiadat dan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya
daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya nasional.
3. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif
antara Kedua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan Aparat
Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di Kabupaten daerah adat
tersebut.
4. Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan pembangunan
dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan
kepentingan masyarakat hukum adat setempat.
5. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat
memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama
pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang lebih
berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis.
6. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebinekaan
masyarakat adat dala rangka memperkokoh persatuan dan kesatuan
bangsa.
7. Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan antar
tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah.
8. Mengayomi adat istiadat.
9. Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak perorangan,
kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang masalah adat.
10.Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang
ditetapkan.
11.Membantu penyuratan awig-awig.
12.Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.

Terhadap penyelesaian dalam adat pemerintah telah merumuskan suatu


Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Masyarakat
Adat.

SEKIAN DAN TERIMA KASIH


=========================================================

Anda mungkin juga menyukai