Anda di halaman 1dari 42

Bahan Perkuliahan PKn

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

A. Makna dan Prinsip Negara Hukum

ARISTOTELES, merumuskan Negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas


hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warganegara yang baik.
Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles ialah peraturan yang mencerminkan keadilan
bagi pergaulan antar warga negaranya. maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah
manusia melainkan “pikiran yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan
keseimbangan saja.
Idealitas negara berdasarkan hukum ini pada dataran implementasi memiliki
karakteristik yang beragam, sesuai dengan muatan lokal, falsafah bangsa, ideologi negara,
dan latar belakang historis masing-masing negara. Oleh karena itu, secara historis dan praktis,
konsep negara hukum muncul dalam berbagai model seperti negara hukum menurut Qur’an
dan Sunnah atau nomokrasi Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang
dinamakan rechtsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo-Saxon (rule of law), konsep
socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
❖ Ditinjau dari sudut sejarah, pengertian Negara hukum berbeda-beda diantaranya :
1. Nomokrasi Islam
Dalam konteks hukum tata negara, Istilah Nomokrasi (nomocracy: Inggris) berasal
dari bahasa latin “nomos” yang berarti norma dan “cratos” yang berarti kekuasaan, yang jika
digabungkan berarti faktor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan adalah norma atau
hukum, karena itu istilah ini sangat erat dengan gagasan kedaulatan hukum sebagai
kekuasaan tertinggi. Jika istilah ini dikaitkan dengan Islam sebagai suatu komunitas baik
agama maupun negara, maka makna yang muncul adalah kedaulatan hukum Islam sebagai
penguasa tertinggi, atau yang lebih dikenal dengan supremasi Syari‟ah. Nomokrasi islam
adalah konsep negara yang bersumberkan pada Al-Quran , As-Sunnah Dan Ra’yu
Nomokrasi.

1
Muhammad Tahir Azhary, dengan mengambil inspirasi dari sistem hukum Islam,
mengajukan pandangan bahwa ciri-ciri nomokrasi atau Negara Hukum yang baik itu
mengandung 9 (sembilan) prinsip, yaitu:
a. Prinsip kekuasaaan sebagai amanah.
b. Prinsip musyawarah.
c. Prinsip keadilan.
d. Prinsip persamaan.
e. Prinsip pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia.
f. Prinsip peradilan bebas.
g. Prinsip perdamaian.
h. Prinsip kesejahteraan.
i. Prinsip ketaatan rakyat.
Dengan demikian berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum dengan konsep
nomokrasi Islam di atas, maka nomokrasi Islam adalah genus yang tepat untuk istilah bagi
negara yang tunduk dan taat pada aturan hukum Islam-syariah.
Nomokrasi Islam memiliki atau ditandai oleh prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam
al-Qur’an dan dicontohkan dalam sunnah. Diantara prinsip-prinsip itu, maka prinsip
musyawarah, keadilan dan persamaan merupakan persamaan yang menonjol dalam
nomokrasi Islam. Sedangkan teokrasi adalah suatu miskonsepsi atau kegagalan pemahaman
(vervostandnis) terhadap konsep negara dari sudut hukum Islam. Karena baik secara teoritis
maupun sepanjang praktik sejarah Islam, teokrasi tidak dikenal dan tidak pula pernah
diterapkan dalam Islam.
2. Negara Hukum Eropa Kontinental
Negara Hukum Eropa Kontinental ini dipelopori oleh Immanuel Kant. Tujuan Negara
hukum menurut Kant adalah menjamin kedudukan hukum dari individu-individu dalam
masyarakat. Konsep Negara hukum ini dikenal dengan yaitu ;
a) Negara hukum liberal, karena Kant dipegaruhi oleh faham liberal yang menentang kekuasaan
absolute raja pada waktu itu.
b) Negara hukum dalam arti sempit, karena pemerintah hanya bertugas dan mempertahankan
hukum dengan maksud menjamin serta melinungi kaum “Boujuis” (tuan tanah) artinya hanya
ditujukan pada kelompok tertentu saja.
c) Nechtwakerstaat ( Negara penjaga malam ), karena Negara hanya berfungsi menjamin dan
menjaga keamanan dalam arti sempit( kaum Borjuis).
2
❖ Menurut Kant, untuk dapat disebut sebagai Negara hukum harus memiliki dua unsure pokok,
yaitu :
• adanya perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia
• adanya pemisahan kekuasaan
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata model Negara hukum ini belum
memuaskan dan belum dapai mencapai tujuan, kalau hanya dengan 2 unsur tersebut tidaklah
cukup. Maka Negara hukum sebagai paham liberal berubah ke faham Negara kemakmuran (
Welfarestaat atau Social Service State ) yang dipelopori oleh “FJ STAHL”.
❖ Menurut Stahl, seuatu Negara hukum harus memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
1) adanya perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia
2) adanya pemisahan kekuasaan
3) pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum
4) adanya peradilan administrasi

3. Negara Hukum Anglo Saxon (Rule Of Law)


Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi mengenal
atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau pemerintahan oleh
hukum atau government of judiciary.
❖ Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :
1 Supremacy Of Law
Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi tertinggi,
kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk pada kekuasaan, bila
hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat membatalkan hukum, dengan kata lain
hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk
melindungi kepentingan rakyat.
2 Equality Before The Law
Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum adalah sama
(sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan
rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang diatur pedomannya satu, yaitu undang-
undang. Bila tidak ada persamaan hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan
merasa kebal hukum. Pada prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi
backing yang salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.
3 Human Rights
3
Human rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :
a. the rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk melakukan sesuatu
yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang lain.
b. The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk
mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan juga harus
bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan orang lain.
c. The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini harus dibatasi
jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.
Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo saxon
adalah keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”.
Perbedaannya adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang
berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili pada peradilan
yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat peradilan administrasi yang
berdiri sendiri.
Selanjutnya, konsep Rule Of Law dikembangkan dari ahli hukum (juris) Asia
Tenggara & Asia Pasifik yang berpendapat bahwa suatu Rule Of Law harus mempunyai
syarat-syarat :
1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu harus menentukan
pula cara / prosedur untuk perlindungan atas hak-hak yang dijamin.
2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
3. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
4. Pemilihan umum yang bebas.
5. Kebebasan untuk berserikat / berognanisasi dan beroposisi.
6. Pendidikan civic / politik.

4. Konsep Socialist Legality


Socialist legality adalah suatu konsep yang dianut di negara-negara komunis/sosialis
untuk mengimbangi konsep rule of law . Hukum diletakkan di bawah sosialisme. Hukum
digunakan sebagai alat untuk mencapai sosialisme. Hak perseorangan dapat disalurkan
kepada prinsip-prinsip sosialisme, meskipun hak tersebut patut mendapat perlindungan.
(pendapat Jaroszinky yang dikutip Oemar Seno Aji ).

4
5. Konsep Negara Hukum Pancasila
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas
Indonesia. Karena pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka
Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara hukum pancasila.

KONSEPSI NEGARA HUKUM DI INDONESIA


Apabila kita meneliti UUD 1945 (sebelum amademen) di indonesia , kita akan
menemukan unsur-unsur negara hukum tersebut di dalamnya, yaitu sebagai berikut; pertama,
prinsip kedaulatan rakyat (pasal 1 ayat 2), kedua, pemerintahan berdasarkan konstitusi
(penjelasan UUD 1945), ketiga, jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (pasal 27, 28, 29,
31), keempat, pembagian kekuasaan (pasal 2, 4, 16, 19), kelima, pengawasan peradilan (pasal
24), keenam, partisipasi warga negara (pasal 28), ketujuh, sistem perekonomian (pasal 33).
Eksistensi Indonesia sebagai negara hukum secara tegas disebutkan dalam Penjelasan
UUD 1945 (setelah amandemen) yaitu pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa :
“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat)”.
Karena digunakan istilah rechtsstaat dalam pasal 1 ayat 3 Amandemen perubahan
UUD NRI 1945 beserta penjelasannya yang dilakukan indonesia pada tahun 1999 – 2002,
maka timbul pertanyaan rechtsstaat atau Negara Hukum yang bagaimanakah yang di anut
oleh Indonesia?.
Oemar Seno Adji berpendapat bahwa Negara Hukum Indonesia memiliki ciri khas
Indonesia. Karena pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka
Negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara hukum pancasila. Salah satu ciri
pokok dalam Negara hukum pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of religion
atau kebebasan. Tetapi, kebebasan beragama di Negara pancasila selalu dalam konotasi yang
positif, artinya tiada tempat bagi atheisme atau propaganda anti agama di bumi Indonesia.
Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom
of religion baik dalam arti positif maupun dalam arti negatif. Sementara itu di Unisoviet dan
Negara komunis lainnya “Freedom of Religion” memberikan pula jaminan konstitusional
terhadap propaganda anti agama. Selain itu,
Seno Adji mengemukakan pula ciri Negara Hukum Indonesia lainya yaitu tidak
adanya pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara. Menurutnya agama dan
negara berada dalam hubungan yang harmonis. hal demikian sangat berbeda dengan di
Amerika serikat yang menganut doktrin pemisahan agama dan gereja secara ketat.

5
Di sisi lain Padmo Wahyono melihat Negara Hukum Pancasila berdasarkan atas asas
kekeluargaan yang tercantum dalam UUD 1945. Yang diutamakan di dalam asas
kekeluargaan adalah rakyat banyak namun harkat dan martabat manusia tetap dihargai. hal
demikian itu direfleksikan oleh pasal 33 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa yang terpenting
itu adalah kemakmuran masyarakat, bukan kemakmuran perseorangan. Akan tetapi,
perseorangan itu berupaya sejauh tidak mengenai hajat hidup orang banyak.
Negara Hukum Pancasila dapat dipahami melalui penelaahan pengertian Negara dan
pengertian hukum dilihat dari sudut asas kekeluargaan. Dalam hubungan ini Padmo Wahyono
mengemukakan bahwa hukum adalah suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan
kehidupan Negara atau ketertiban dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial.
Berpijak pada dua pendapat pakar hukum di atas disimpulkan bahwa dalam
penyelesaian UUD 1945 digunakan istilah rechtsstaat, akan tetapi konsep rechtsstaat yang
dianut oleh Negara Indonesia bukan konsep Negara hukum Barat Eropa continental dan
bukan pula konsep rule of law dari Anglo Saxon melainkan konsep Negara Hukum Pancasila
sendiri yang bercirikan :
(1) hubungan erat antara agama dan negara
(2) Bertumpu pada KeTuhanan Yang Maha Esa
(3) Kebebasan beragama dalam arti positif
(4) Ateisme tidak dibenarkan dan komunisme dilarang dan
(5) Asas kekeluargaan dan kerukunan.
Adapun yang menjadi unsur pokok Negara Hukum RI adalah : Pancasila, MPR,
Sistem konstitusi, persamaan dan Peradilan bebas.

SUPREMASI HUKUM DALAM KONSEP NEGARA HUKUM “PANCASILA” DI


INDONESIA
Berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum tentu saja tidak
akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk menciptakan sebuah
negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum tertinggi disebut konstitusi. Ini
merupakan dasar yang bersifat universal yang berlaku pada tiap-tiap negara.
Dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan mengenai supremasi hukum
terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum konstitusional,
yaitu suatu negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara negara: pemerintah dan
segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah terhadap rakyatnya harus

6
berdasarkan atas hukum-hukum yang berlaku yang ditentukan oleh rakyat / wakilnya di
dalam badan perwakilan rakyat. Sesuai prinsip kedaulatan rakyat yang ada, di dalam
negara demokrasi hukum dibuat untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara,
melindungi mereka dari tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib
sosial dan kepastian hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai
sesuai koridor hukum/konstitusional.
UUD NRI 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa dipakai
untuk mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan diwujudkan. Kalau dilihat
dengan seksama UUD NRI 1945 mejelaskan bahwa :
“Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas
kekuasaan belaka”
ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Founding father yang
membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana negara
hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara hukum ini, sekaligus
dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti yang bisa dipergunakan secara
tepat di dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita bangsa. Formula UUD 1945 tersebut
mengandung pengertian dasar bahwa di dalam negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia
ini sebenarnya diakui adanya dua faktor yang terkait dalam mewujudkan negara
hukum, yaitu satu factor hukum dan yang kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak
bisa ditegakkan inkonkreto dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa
adanya kekuasaan dan dimanesfestasikan di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian dua
factor hukum dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan
relnya serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan bahkan
lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. sebaliknya kekuasaan sama sekali tidak boleh
meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan tanpa mengindahkan
hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi kekuasaan pada hakekatnya
adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan hukum dan kenegaraan sesuai norma-
norma dasar atau grundnorm yang dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan kemudian
dielaborasi lebih lanjut secara betul dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.
Kemudian dimana letak kaitan pancasila sebagai ideology dengan supremasi hukum ?
Supremasi hukum baru dapat ditegakkan apabila para penyeleggara negara
berperilaku democrat, egaliter dan manusiawi yang dijiwai oleh nilai-nilai ideology
pancasila, artinya letak persoalan pokoknya belum tegaknya supremasi hukum bukan pada
7
konsepsi negara hukumnya, bukan konsepsi dasar ideology negara pancasila yang tidak bisa
memenuhi tantangan jaman, tetapi terletak pada praktek penyelenggara negara di semua
bidang yang telah meninggalkan unsur-unsur ditanamkan oleh UUD 1945, yaitu semangat
penyelenggara negara. Terutama butir 4 dari pokok-pokok pikiran yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945 yang mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan
lain-lain penyeleggara negara untuk budi pekerti kemanusiaan yang luhur dengan
memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur, yang digali berdasarkan nilai-nilai
ketuhan yang Maha Esa (moral religius), nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab
(harkat dan martabat manusia dan hak -hak azasi manusia), nilai-nilai persatuan dan
kesatuan, nilai-nilai kerakyatan dan prinsip musyawarah mufakat, prinsip perwakilan, dan
nilai-nilai keadilan kebenaran untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.

PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP NEGARA HUKUM PANCASILA


DIINDONESIA
Globalisasi yang menunjuk pada terciptanya satu kesatuan dunia yang bersifat tanpa
batas di antara negara/ non borderless telah mempengaruhi hampir seluruh kehidupan
manusia. Salah satu di antaranya adalah bidang hukum. Pengaruh globalisasi dalam bidang
hukum ini salah satunya dapat dilihat sejak pemerintah Indonesia melakukan ratifikasi
terhadap Agremeent Establishing The World Trade Organization (WTO). Ratifikasi terhadap
WTO Agreement ini menimbulkan adanya sebuah konsekuensi hukum bahwa Indonesia
harus mengharmonisasikan seluruh hukum nasional yang terkait dengan ketentuan-ketentuan
dalam WTO.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bidang-bidang hukum yang harus
diharmonisasikan dengan kaidah-kaidah WTO adalah bidang hukum perdagangan, investasi
atau penanaman modal serta bidang hukum hak atas kekayaan intelektual. Hal ini sesuai
dengan lampiran WTO Agreement sebagaimana terdapat di dalam General Agremeent on
Tarif and Trade (GATT), Agreement on Trade Related Investment Measures (TRIMs) dan
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) sebagai
perjanjian yang wajib ditaati oleh setiap negara anggota WTO. Upaya pengharmonisasian
hukum sebagaimana dimaksud pada tataran selanjutnya telah melahirkan berbagai produk
hukum yang dapat dikatakan kurang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia (volkgeist).
Pandangan ini dapat dipahami mengingat di satu sisi Indonesia merupakan sebuah negara

8
yang lahir di atas paham komunal sementara kaidah-kaidah dalam WTO merupakan kaidah
yang berasal dari corak kehidupan liberal negara maju.
Berbagai produk hukum yang lahir sebagai konsekuensi ratifikasi WTO Agreement
tersebut telah menimbulkan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat Indonesia
terutama di bidang ekonomi. Sebagai contoh; pasca ratifikasi WTO Agreement kemudian
pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa produk peraturan perundang-undangan terutama
di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bidang penanaman modal serta bidang
perdagangan internasional yang dinilai masih belum sesuai dengan kondisi dan jiwa bangsa
Indonesia. Dapat dikatakan bahwa berbagai produk hukum di bidang ekonomi ini bersifat
liberal bahkan beberapa kalangan menyebutnya sebagai produk hukum yang bercorak
kapitalis. Kondisi demikian tentunya memerlukan perhatian bagi seluruh komponen bangsa
Indonesia terutama pemerintah agar jangan sampai perkembangan hukum yang demikian
dapat menimbulkan timbulnya penjajahan model baru yang barang tentu akan merugikan
masyarakat kecil sebagaimana dapat dilihat saat ini. Dengan perkataan lain, globalisasi yang
telah memberikan pengaruh besar terhadap tatanan hukum di Indonesia haruslah dijaga agar
jangan sampai menimbulkan kerugian bagi bangsa Indonesia itu sendiri.
Apabila pembahasan mengenai pengaruh globalisasai sebagaimana tersebut di atas
kemudian dikaitkan dengan pengkajian Prof. Sardjipto Rahardjo maka dapat dikatakan bahwa
kondisi hukum dalam negara Indonesia saat ini menunjukkan adanya suatu kondisi
kedaulatan politik yang lebih dominan. Dikatakan demikian oleh karena berbagai produk
hukum yang lahir pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik
yang dalam hal ini sangat erat dengan bidang ekonomi. Dalam era globalisasi yang ditandai
dengan tingginya tingkat perdagangan dunia dan penanaman modal seperti saat ini, seolah
telah menjadi rahasia umum mengenai masuknya berbagai pengaruh bisnis ke dalam
pembuatan produk- produk hukum dengan menggunakan ‘globalisasi’ sebagai suatu
pembenaran mutlak. Kondisi demikian semestinya tidak perlu atau setidaknya dapat
diminimalisasi apabila para pemegang kewenangan pembentuk hukum di negeri ini
memahami bentuk tatanan hukum nasional yang baik.
Tatanan politik hukum nasional yang baik menurut Prof. Sardjipto Raharjo adalah
suatu tatanan politik hukum yang mampu mengakomodir ketiga tatanan/order. Ketiga order
sebagaimana dimaksud adalah
a. transedental order, adalah suatu order atau tatanan yang bersumber pada hukum yang
berasal dari Tuhan termasuk hukum agama dan hukum alam. Menurut transedental order ini,
9
kedaulatan hukum tidak lagi perlu dipermasalahkan oleh karena kedaulatan hukum berada di
tangan Tuhan.
b. sociological order adalah kedaulatan hukum seharusnya dipegang atau berada di tangan
rakyat. Hukum dipandang sebagai the living law atau hukum yang hidup bersama dengan
kehidupan masyarakat sehingga kedaulatan hukum berada di tangan rakyat.
c. political order. hukum dipandang sebagai produk politik. Oleh karena hukum merupakan
produk politik maka yang terjadi kemudian adalah adanya supremasi politik terhadap hukum.
Apabila dikaitkan dengan negara Indonesia sebagai negara hukum maka hal demikian
seharusnya tidak perlu terjadi mengingat Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya
hukum menjadi supremasi tertinggi yang mampu mengatur segala aspek kehidupan manusia
tak terkecuali bidang politik.
Pengaruh globalisasi dalam tatanan hukum nasional Indonesia yang sedemikian besar
tentu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Melainkan hal yang demikian perlu diimbangi dengan
adanya keinginan kuat dari segenap bangsa Indonesia dalam rangka pembangunan hukum
nasional yang lebih baik. Hal demikian semakin dapat dipahami mengingat globalisasi
merupakan suatu gejala yang tidak dapat ditolak ataupun dihindari oleh negara mana pun
yang tidak ingin terkucil dalam percaturan internasional.
Menghadapi kondisi yang demikian, Yang terpenting saat ini adalah bagaimana
bangsa Indonesia mampu terus memperbaiki diri terutama berkaitan dengan pembangunan
hukum nasional agar mampu menjadi hukum nasional yang ideal sebagaimana menurut Prof.
Sartjipto Raharjo adalah suatu tatanan hukum yang di dalamnya mencakup transedental
order, sociological order serta political order. Dengan demikian, apabila pembangunan
hukum nasional telah di arahkan kepada pembangunan hukum yang ideal maka hukum dapat
menjadi instrumen dalam rangka mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana
tercantum di dalam Pembukaan alinea IV Undang-Undang Dasar 1945. Namun demikian,
political will dari pemerintah merupakan modal utama bagi terwujudnya pembangunan
hukum nasional serta kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara,
sebagaimana yang termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu;
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban
dunia”.

10
Tujuan-tujuan ini diupayakan perwujudannya melalui pembangunan yang dilakukan
secara bertahap dan berkesinambungan dalam program jangka pendek, menengah, dan
panjang..
Berdasarkan hal tersebut seyogyanya cocok dengan pandangan Prof. Dr. Satjipto
Raharjo (lihat Satjipto Rahardjo, 2006: 53) mengenai keresahannya terhadap negara hukum
Indonesia dengan suatu harapan bahwa hukum hendaknya membuat rakyat bahagia, tidak
menyulitkan serta tidak menyakitkan. Di atas segalanya dari perdebatan tentang negara hukum,
menurut Prof. Satjipto kita perlu menegaskan suatu cara pandang bahwa negara hukum itu
adalah untuk kesejahteraan dan kebahagiaan bangsa Indonesia, bukan sebaliknya. Hukum tidak
boleh menjadikan kehidupan lebih sulit. Inilah yang sebaiknya menjadi ukuran penampilan dan
keberhasilan (standard of performance and result) negara hukum Indonesia.

PRINSIP POKOK NEGARA HUKUM


Dua belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini
merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut
sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara
Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti
Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu:
Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum
modern
1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa
semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif
supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang
sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang
tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum
dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian
terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik
yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya
lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem
pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala
pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

11
2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui
secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini,
segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui
sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus
dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat
kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan
kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat
tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak
termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing
atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan
kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan
bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala
bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas
peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan
tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan
administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi
harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif
demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban.
Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam
menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip
‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan
menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas
dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang
sah.
4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan
prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal.
Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan
untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton:
12
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan
selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang
yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling
mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan
dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara
vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu
organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.
5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan
Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk
meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20,
kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai
‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM),
Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya
melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi
independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa
Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya
tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di
pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan
independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri,
lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut
sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang independent
dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga
biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di
antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum.
Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga,
baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses
pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan
13
eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam
menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya
kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses
pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan
penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang
hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-
undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang
menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak
memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap
perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi
tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan
dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat
administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena
dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para
pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus
ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada
jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para
pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan
tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip
‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara
(verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak
tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika
pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu
dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan
berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika
keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri
ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang
dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep
negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum,
14
tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-
undang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang
bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democracy).
9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum
bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi
manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan
penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting
suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan
demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau
makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting
dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak
asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang
ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat
disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.
10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan
keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan
keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan
dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah
masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh
ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa
secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak
dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa,
melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya,
negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’,
melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan
perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya
15
demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin
penyelenggaraannya berdasar atas hukum.
11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare
Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu
sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun
yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang
dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah
dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara
Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara
Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak
menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’
yang tetap didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan
penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme
kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat
secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran.
Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen
tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah,
prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena
perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi.
Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian,
kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan
kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan
kebenaran.
13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan
diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern
mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan.
16
Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian
kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-
Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus
dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak
asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas
dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para
subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan
semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila
Mochtar Kusumaatmadja[1] mengemukakan makna terdalam dari Negara
berdasarkan atas hukum adalah: “...kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama
di hadapan hukum”. Konsep negara hukum tentu saja sekaligus memadukan paham
kedaulatan rakyat dengan kedaulatan hukum sebagai satu kesatuan. Untuk menelusuri
konsep tentang negara hukum pada dasarnya dapat dijelaskan melalui dua aliran pemikiran,
yaitu konsep rechtsstaat dan the rule of law. Untuk memahami hal itu, dapat ditelusuri
sejarah perkembangan dua konsep yang berpengaruh tersebut. Konsep “rechtssaat” berasal
dari Jerman dan konsep “the rule of law” berasal dari Inggris. Istilah rechtsstaat mulai
populer di Eropa sejak abad XIX, meskipun pemikiran tentang itu sudah lama ada,
sedangkan istilah “the rule of law” mulai populer dengan terbitnya sebuah buku dari Albert
Venn Dicey tahun 1855 dengan judul Introduction to the Studi of the Law of the
Constitution.
Konsep rechtsstaat[2] lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, sehingga
sifatnya revolusioner. Sebaliknya, konsep the rule of law berkembang secara evolusioner.
Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechtsstaat dan kriteria the rule of law. Konsep
rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum kontinental yang disebut “civil law” atau “modern
Roman law”, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem hukum yang disebut
“common Law” atau “Anglo Saxon”.
Rechtsstaat dan the rule of law dengan tumpuannya masing-masing
mengutamakan segi yang berbeda. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid
yang kemudian menjadi rechtmatigheid, sedangkan the rule of law mengutamakan equality
before The law[3] Akibat adanya perbedaan titik berat dalam pengoperasian tersebut, muncullah
unsur-unsur yang berbeda antara konsep rechtsstaat dan konsep the rule of law. Adapun
17
perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. unsur-unsur rechtsstaat :
a. adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).
b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin perlindungan HAM,
c. pemerintahan berdasarkan peraturan,
d. adanya peradilan administrasi; dan
2. unsur-unsur the rule of law
a. adanya supremasi aturan hukum,
b. adanya kesamaan kedudukan di depan hukum, dan
c. adanya jaminan perlindungan HAM.
Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maupun the rule of law tersebut nampak adanya
persamaan dan perbedaan antara kedua konsep tersebut. Baik rechtsstaat maupun the rule of law
selalu dikaitkan dengan konsep perlindungan hukum, sebab konsep-konsep tersebut tidak lepas
dari gagasan untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan
demikian keduanya sama-sama memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak
kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yang
sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya harus diadakan pemisahan atau
pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di
dalam negara, pelanggaran dapat dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan.
Di samping itu, perbedaan antara konsep rechtsstaat dan the rule of law nampak pada
pelembagaan dunia peradilannya, Rechtsstaat dan the rule of law menawarkan lingkungan
peradilan yang berbeda meskipun pada intinya kedua konsep tersebut menginginkan adanya
perlindungan bagi hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada
konsep rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan
peradilan yang berdiri sendiri, sedangkan pada konsep the rule of law tidak terdapat peradilan
administrasi sebagai lingkungan yang berdiri sendiri. Hal ini disebabkan dalam konsep the rule of
law semua orang dianggap sama kedudukannya di depan hukum, sehingga bagi warga negara
maupun pemerintah harus disediakan peradilan yang sama.
Selanjutnya Philipus M. Hadjon[4] menjelaskan: “Konsep Rechtsstaat bertumpu pada
sistem hukum kontinental yang disebut “Civil Law” atau “Modern Roman Law”, sedangkan konsep
“The Rule of Law“ bertumpu pada sistem hukum yang disebut “Common Law”. Karakteristik Civil
Law adalah “administratif“, sedangkan karakteristik Common Law adalah “judicial “. Pembentukan
hukum Civil law dilakukan melalui undang-undang dan kodifikasi sedangkan Common law melalui
Preseden (Judge made law).
18
Meskipun konsep Rechtsstaat dan Rule Of Law setelah Perang Dunia Kedua juga sangat
peduli terhadap kesejahteraan sosial, namun filosofi liberalistik individual dan kapitalistiknya tetap
menonjol, karena itu tidak disenangi oleh negara-negara yang menganut paham sosialis-komunis.
Negara-negara berpaham sosialis-komunis lalu mengembangkan konsep Socialist Legality, ialah
Negara Hukum berwawasan sosialis-komunis untuk mewujudkan masyarakat sosialis tanpa kelas
dan anti Hak Asasi Manusia. Konsekuensinya tidak ada tempat istimewa bagi individu untuk
memiliki Hak Kekayaan Intelektual, semuanya harus diserahkan menjadi milik Negara.
Berkenaan dengan negara hukum ini, Daniel S. Lev[5] berpendapat bahwa negara hukum adalah
suatu negara yang disandarkan pada pembagian kekuasaan yang bertujuan untuk memperlemah
elit-elit politik. Pembagian kekuasaan berdasarkan ide negara hukum menjadi suatu hal yang sah
(legitimate).
Dalam konsep “Negara Hukum”, eksistensi peraturan perundang-undangan
merupakan salah satu unsur fundamental bagi penyelenggaraan pemerintahan negara
berdasarkan atas hukum. Hal itu tercermin dari konsep Friedrich Julius Stahl[6] dan Zippelius[7]
Menurut F.J. Stahl unsur-unsur utama negara hukum adalah:
1. pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. pemisahan kekuasaan negara berdasarkan prinsip trias politika;
3. penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur); dan
4. peradilan administrasi negara.
Sementara itu, Menurut Zippelius unsur-unsur negara hukum terdiri atas:
1. pemerintahan menurut hukum (rechtsmatigheid van bestuur);
2. jaminan terhadap hak-hak asasi;
3. pembagian kekuasaan; dan
4. pengawasan justisial terhadap pemerintah.
Dari unsur-unsur tersebut di atas nampak adanya perbedaan, jika Stahl menempatkan
“penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur)” pada
elemen yang ketiga dari konsep negara hukum, sebaliknya Zippelius menempatkannya pada unsur
pertama dengan pengertian yang agak luas, ialah “penyelenggaraan pemerintahan menurut
hukum (rechtsmatigheid van bestuur)”. Di sini nampak bahwa F.J. Stahl masih sangat kental
terpengaruh konsepsi dari aliran legisme, yang mana aliran tersebut menyatakan tidak ada hukum
di luar undang-undang. Oleh karena itu, salah satu unsur utama negara hukum menurut F.J. Stahl
adalah penyelenggaraan pemerintahan menurut undang-undang (wetmatigheid van bestuur).
Negara Hukum Berdasarkan Pancasila
Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 18
19
Agustus 1945 dan pidato Iwa Koesoema Soemantri (anggota PPKI), menunjukkan bahwa UUD
1945 memang bersifat sementara. Adapun pidato tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno: Saya beri kesempatan untuk membuat pemandangan umum, yang singkat. Cekak
aos hanya mengenai pokok-pokok saja dan tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-
Undang Dasar yang kita buat sekarang ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara. Kalau boleh
saya memakai perkataan ini: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah
bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan
sempurna.
2. Iwa Koesoema Soemantri: Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang saya usulkan,
yaitu tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan
Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih perlu diadakan.
Dari pidato di atas nampak bahwa Undang-Undang Dasar 1945 itu adalah konstitusi
revolusi yang bersifat sementara dan kelak akan disusun konstitusi baru yang lebih lengkap, jika
suasana telah memungkinkan. Pernyataan ketua PPKI tentang sifat sementara dari UUD 1945 ini,
sejalan dengan aturan tambahan UUD 1945 naskah asli yang menyatakan:
1. Dalam Enam Bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia
mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini.
2. Dalam Enam Bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang
untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.
Dari ketentuan dua ayat Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut dapat ditarik penafsiran
bahwa UUD 1945 dimaksudkan hanya berlaku untuk masa dua kali enam bulan atau setahun saja,
terhitung mulai berakhirnya perang Asia Timur Raya pada tanggal 15 Agustus 1945. UUD 1945
sebagai konstitusi revolusi sering pula disebut dengan Undang-Undang Dasar kilat. Oleh karena itu
dapat dimengerti apabila rumusan UUD 1945 sangat singkat bila dibandingkan dengan konstitusi
negara lain seperti , Malaysia, Philipina, India, Pakistan maupun Iran. Bahkan hal-hal yang
berkaitan dengan penyelenggaraan negara dibuat sesederhana mungkin agar dapat segera
digunakan dalam penyelenggaraan negara.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun secara singkat itu, dalam Pembukaan
maupun Batang Tubuh (pasal-pasalnya), tidak ada satu kalimat atau perkataan yang secara
eksplisit menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tetapi pengertian yang sedemikian
di dapat pada alinea ke 4 (empat) Pembukaan UUD 1945: “Maka disusunlah Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Indonesia”, Jadi Republik
Indonesia adalah negara hukum yang berkonstitusi yang dituliskan. [8]
20
Memang apabila ditelusuri dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ternyata pada saat proses perumusan UUD 1945 tidak diwarnai
dengan perdebatan yang mendalam tentang faham negara hukum. Walaupun dalam proses
perumusan UUD 1945 di BPUPKI tidak ada perdebatan secara eksplisit tentang negara hukum,
namun hal ini tidak berarti bahwa secara konseptual Indonesia adalah bukan negara hukum,
karena adanya konstitusi merupakan konsekuensi dari penerimaan konsep negara hukum.
Menurut Moh. Mahfud[9] pada saat pendiri negara (founding fathers) berdebat untuk menyusun
sebuah konstitusi, berarti mereka secara sadar telah memilih konsep negara hukum untuk negara
yang akan didirikan. Konstitusi berfungsi membatasi secara hukum, oleh karena itu penggunaan
kekuasaan pemerintah tidak boleh melanggar hak asasi manusia dan tidak boleh melampaui batas
kewenangan yang diberikan dalam konstitusi tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut Yusril Ihza Mahendra[10] menyatakan: “Meskipun UUD
1945 merupakan naskah konstitusi yang singkat, negara yang hendak dijelmakannya secara
normatif memenuhi syarat-syarat sebuah negara hukum“. Di samping itu, dalam sidang
BPUPKI[11] dapat ditemukan pendapat yang menginginkan agar negara Indonesia yang akan
didirikan itu merupakan negara kesejahteraan, negara yang berkedaulatan rakyat, negara yang
hendak mewujudkan keadilan, negara yang menjamin kesejahteraan rakyat, negara yang
menjamin kebebasan rakyat untuk berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal
tersebut antara lain dikemukakan oleh M. Yamin, Soekarno dan Hatta.
M. Yamin[12] antara lain menyatakan : “…bahwa negara yang akan dibentuk itu
hanya semata-mata untuk seluruh rakyat, untuk kepentingan seluruh bangsa yang akan berdiri
kuat di dalam negara yang menjadi kepunyaannya”. Selanjutnya ia menambahkan : “
Kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan tujuan negara Indonesia merdeka ialah pada
ringkasnya keadilan masyarakat atau keadilan sosial[13]. Dalam kesempatan yang sama Soekarno
mengatakan : “Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan, kurang pakaian, menciptakan
dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu Adil, Maka oleh karena itu
jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat Indonesia, marilah kita
terima prinsip hal sociale rechtsvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, tetapi pun di
atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang
sebaik-baiknya.”[14]
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa negara yang diinginkan oleh
bangsa Indonesia ialah negara yang menjamin kesejahteraan rakyat, yang menjamin keadilan dan
hak asasi manusia. Negara yang demikian itu tiada lain ialah negara hukum. Apabila dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 sebelum perubahan tidak dikemukakan pernyataan
21
yang eksplisit tentang negara hukum, ternyata tidak demikian halnya dalam Penjelasan UUD 1945
naskah asli. Dalam Penjelasan Bagian Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara, pada Pokok
Pikiran yang pertama di tegaskan : “Indonesia ialah Negara yang berdasar atas Hukum
(rechtsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Perlu diingat bahwa
penjelasan UUD 1945 tidak pernah dibahas dalam BPUPKI, bahkan naskah tersebut baru muncul
kemudian menyertai naskah UUD 1945 setelah diumumkan dalam Berita Negara pada tahun
1946.
Mohamad Fajrul Falakh[15] berpendapat, bahwa pemuatan pernyataan Indonesia
sebagai sebuah negara hukum dalam Penjelasan UUD 1945 menunjukkan kesadaran post-factum,
setelah terjadi kekalahan fasisme Jerman di bawah Adolf Hitler dan fasisme Jepang di bawah
Tenno Heika dalam Perang Dunia II. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa kedua rezim fasis ini
dirujuk dengan rasa kagum dan percaya diri oleh Soepomo di dalam pidatonya di depan BPUPKI,
dan keduanya merupakan negara kekuasaan (machtstaat). Maka dapat dimengerti apabila
Penjelasan UUD 1945 hanya menerangkan negara hukum dengan cara melawankan antara
rechtsstaat, sistem konstitusi, dan tidak bersifat absolutisme di satu sisi dengan machtsstaat di sisi
yang lain. Hanya saja pernyataan Indonesia adalah negara hukum dalam penjelasan UUD 1945 ini
pun tidak ada elaborasi lain mengenai prinsip-prinsip negara hukum, sehingga sangat sulit untuk
menelusuri orientasi konsepsinya di antara berbagai konsepsi negara hukum yang ada. Berkait
dengan orientasi konsepsi negara hukum ini, menurut Soetandyo Wignjosoebroto,[16] ide
rechtsstaat atau yang di negeri-negeri bertradisi common law disebut the rule of law mula
pertama di perkenalkan dalam ketatanegaraan Hindia-Belanda melalui Regeringsreglement (RR)
tahun 1854. Ide itu digariskan dalam RR melalui tiga pasalnya, yaitu Pasal 79, 88, 89. Pasal 79 RR
menyiratkan asas Trias Politika yang menghendaki diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan
hakim yang bebas, yang berarti menyiratkan asas pembagian kekuasaan. Pasal 88 memerintahkan
dilaksanakannya asas legalitas dalam setiap proses pemidanaan, sedangkan Pasal 89 melarang
pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya. Sebagai negara
yang telah dijajah sekian lama oleh Belanda, hukum Indonesia dapat dikelompokkan dalam
keluarga Romawi – Jerman. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh beberapa pakar antara
lain oleh Rene David dan John E.C. Brierley, Muhamad. Yamin dan Djoko Soetono. Rene David dan
John E.C. Brierley, menyatakan “To a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to
The Romano-Germanic family”. [17]
Sedangkan Ashary,[18] menyatakan, karena besarnya pengaruh ide rechtsstaat
terhadap konsep negara hukum yang khas Indonesia, maka banyak kepustakaan Indonesia yang
menyebutkan bahwa istilah negara hukum merupakan terjemahan langsung dari rechtsstaat. Hal
22
ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin dan Djoko Soetono.
Muhammad Yamin[19] menyatakan “Republik Indonesia ialah suatu negara hukum (rechtsstaat,
government of law) tempat keadilan yang tertulis berlaku, bukanlah negara polisi atau negara
militer, tempat polisi dan prajurit memegang pemerintah dan keadilan, bukanlah pula negara
kekuasaan (machtsstaat) tempat tenaga senjata dan kekuatan badan melakukan sewenang-
wenang”. Sedangkan Djoko Soetono[20] menyatakan: “Negara hukum yang demokratis
sesungguhnya istilah ini adalah salah, sebab kalau dikatakan democratische rechtsstaat, yang
penting dan primair adalah rechtsstaat”.
Untuk itu, dalam memahami negara hukum Republik Indonesia hendaklah disadari
bahwa ide rechtsstaat mempunyai pengaruh yang cukup besar dan di sisi lain ada kecenderungan
nasional untuk merumuskan suatu konsep negara hukum yang khas Indonesia. Ide khas tersebut
terlontar dalam gagasan yang disebut dengan negara hukum Pancasila atau negara hukum
berdasarkan Pancasila. Untuk merumuskan konsep negara hukum yang khas Indonesia, pertama-
tama hendaklah dipahami secara jelas, bahwa ide dasar Negara Hukum Indonesia diilhami oleh
ide dasar rechtsstaat. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum
Republik Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara
hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam konsep
rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law. Bertolak dari beberapa pendapat tersebut di atas
dan juga adanya Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, maka wajar apabila ada pendapat
bahwa orientasi negara hukum Indonesia adalah tradisi hukum Eropa Continental.
Namun apabila di kaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan
orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa Continental ternyata
tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan UUD 1945 alinea I (satu) yang
menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan” menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi
masalah kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja bangsa Indonesia
bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang paling depan dalam menentang
dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus ditentang dan dihapuskan agar
semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di
samping itu dalam Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat
tentang hak asasi manusia antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945
23
setelah perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27, 28,
29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab XA tentang Hak
Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I dan Pasal 28J.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya
konsepsi negara hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan rule of law.
Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep “negara
hukum” Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep rechtsstaat maupun
konsep the rule of law, karena latar belakang yang menopang kedua konsep tersebut berbeda
dengan latar belakang negara Republik Indonesia, walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah
“negara hukum” berkat pengaruh konsep rechtsstaat maupun pengaruh konsep the rule of law.
Sejalan dengan hal tersebut, Hadjon[21], menyatakan bahwa negara hukum Indonesia agak
berbeda dengan rechtsstaat atau the rule of law. Rechtsstaat mengedepankan wetmatigheid,
yang kemudian menjadi rechtsmatigheid, sedangkan The rule of law mengutamakan prinsip
equality before the law. Adapun negara hukum Indonesia, menghendaki adanya keserasian
hubungan antara pemerintah dan rakyat yang mengedepankan asas kerukunan. Dari prinsip ini
terlihat pula adanya elemen lain dari negara hukum Pancasila yakni terjalinnya hubungan
fungsional yang proporsional antar kekuasaan negara, penyelesaian sengketa secara musyawarah,
dan peradilan merupakan sarana terakhir. Sejauh menyangkut HAM, yang ditekankan bukan
hanya hak atau kewajiban, melainkan juga jalinan yang seimbang antara keduanya.
Sebenarnya di Indonesia, baru pada tahun 1966 istilah the rule of law mulai populer
untuk mengartikan negara hukum, hal ini diungkapkan oleh Ashary[22] sebagai berikut: “Selain
istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law yang diartikan sama dengan
negara hukum". Pendapat tersebut antara lain dikemukakan oleh Sunaryati Hartono dan Sudargo
Gautama.
Sunaryati Hartono[23] mengemukakan: “Oleh sebab itu, agar supaya tercipta suatu negara hukum
yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat yang bersangkutan, penegakan the rule of law itu
harus diartikan dalam artinya yang materiil. Sudargo Gautama[24] menyatakan: “dan jika kita
berbuat demikian, maka pertama-tama kita melihat bahwa dalam suatu negara hukum, terdapat
pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. Negara tidak maha kuasa, tidak bertindak
sewenang-wenang. Tindakan-tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum. Inilah apa
yang oleh ahli hukum Inggris dikenal sebagai rule of law.
Dari berbagai macam pendapat tersebut, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of
law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya merupakan
sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan suatu topik diskusi
24
internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan
demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam perkembangan konsep the rule of law dan dalam
perkembangan konsep rechtsstaat untuk mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua
konsep tersebut, lebih-lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap
hak-hak dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-
rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan The
European Convention of Human Rights.
Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara hukum
Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara konsep negara hukum
tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat dengan tradisi hukum Anglo Saxon
yang terkenal dengan the rule of law. Bahkan lebih dari itu Rene David & John E.C. Brierley[25],
menyatakan: “To a certain extent Indonesia, colonised by The Dutch, belongs to the Romano-
Germanic family. Here, however, Romano-Germanic concepts combine with Muslim and
customary law (adat law) in such a way that it is appropriate to consider that the system is mixed
also”. Hal ini sejalan dengan pemikiran Yusril Ihza Mahendra[26] yang antara lain berpendapat
bahwa kebijakan pemerintah Indonesia dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional, atau
dalam semua hukum yang diciptakan, menjadikan empat hal sebagai sumber hukum, yaitu hukum
adat, hukum Islam, hukum eks kolonial yang sudah diterima oleh masyarakat dan konvensi-
konvensi internasional yang berlaku. Hal ini sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan
hukum yakni mentransformasikan nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di tengah-tengah
masyarakatnya. Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja
tidak mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan kesadaran
hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang diangkat, yang
direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah hukum nasional yang baru.
Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak secara
eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain halnya dalam Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari
bagian Mukadimah dan juga dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Adapun isi Mukadimah Konstitusi RIS adalah sebagai berikut:

MUKADIMAH
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
25
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia
dengan selamat sentosa mengantarkan Rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan
Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Dengan berkat dan rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur.
Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam Negara yang berbentuk
republik kesatuan, berdasarkan pengakuan ke Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan,
kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, untuk mewujudkan kebahagiaan, kesejahteraan,
perdamaian dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia merdeka yang
berdaulat sempurna.
Kemudian rumusan negara hukum ini dipertegas lagi di dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang
menyatakan: Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang
demokratis dan berbentuk kesatuan.
Dalam UUD 1945 setelah diadakan perubahan, konsepsi negara hukum yang
awalnya berada dalam Penjelasan UUD 1945, dimasukkan ke dalam Pasal 1 ayat (3) dengan
perumusan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dengan demikian jelas bahwa baik
konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 maupun UUD 1945 yang telah diubah, ketiganya merumuskan
secara harfiah dan tegas bahwa Indonesia adalah negara hukum, yang mana hal ini berbeda
dengan UUD 1945 naskah asli.
Meskipun pernyataan tentang sistem negara hukum yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945 setelah perubahan tersebut hanya diuraikan secara singkat dan tidak ada tambahan
penjelasan, namun makna dan implikasinya sangat luas dan jelas. Agar dapat lebih dimengerti,
hendaknya dibaca pula isi Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan: “Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Dari dua pasal tersebut dapat ditegaskan
bahwa Negara Indonesia menganut prinsip demokrasi konstitusional (Constitutional
Democracy)”[27] yang pada pokoknya tidak lain adalah dari prinsip negara demokrasi yang
berdasar atas hukum sebagai sisi lain dari mata uang yang sama dengan prinsip negara hukum
yang demokratis (democratische rechtsstaat) yang sama-sama dianut dalam UUD 1945. Berkaitan
dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie[28] menyatakan bahwa prinsip kedaulatan rakyat
(democratie) dan kedaulatan hukum (nomocratie) hendaklah diselenggarakan secara beriringan
sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itu, Undang-Undang Dasar 1945. menganut
pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis
(democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah negara demokrasi yang berdasar atas hukum
(constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Kedaulatan rakyat (democratie) di Indonesia itu diselenggarakan secara langsung dan
26
melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang
kekuasaan yang tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; Presiden dan Wakil Presiden; dan Kekuasaan
Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Dalam menentukan
kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan-ketentuan hukum berupa Undang-
Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi legislasi), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan
(fungsi kontrol) terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu disalurkan
melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-daerah provinsi dan kabupaten/kota,
pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Penyaluran kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan melalui pemilihan
umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan memilih presiden dan wakil presiden,
gubernur dan bupati/walikota. Di samping itu, kedaulatan rakyat dapat disalurkan setiap waktu
melalui pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan pers, hak atas
kebebasan informasi, dan hak atas kebebasan berorganisasi dan berserikat serta hak-hak asasi
lainnya yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar. Namun, prinsip kedaulatan rakyat yang
bersifat langsung itu hendaklah dilakukan melalui saluran-saluran yang sah sesuai dengan
prosedur demokrasi (procedural democracy). Sudah seharusnya lembaga perwakilan rakyat dan
lembaga perwakilan daerah diberdayakan fungsinya dan pelembagaannya, sehingga dapat
memperkuat sistem demokrasi yang berdasar atas hukum (demokrasi konstitusional) dan prinsip
negara hukum yang demokratis tersebut.
Bersamaan dengan itu, negara Indonesia juga disebut sebagai negara hukum (rechtsstaat), bukan
negara kekuasaan (matchtsstaat), dan pemerintahan berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar), bukan absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). Sebagai konsekwensi dari Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 perubahan, ada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara
yaitu supremasi hukum, kesetaraan dihadapan hukum, dan penegakan hukum dengan cara-cara
yang tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian dalam Negara Hukum Indonesia di
dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan
konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem
konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan hak asasi manusia dalam
Undang-Undang Dasar, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang
termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Dalam paham negara
27
hukum yang demikian itu, pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya
sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomocracy) dan doktrin “the rule of law, and not of man”.
Dalam kerangka “the rule of law” itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai
kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan
(equality before The law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan
praktek (due process of law).
Namun demikian, harus ada pula jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan
ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, karena prinsip supremasi hukum dan kedaulatan
hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari kedaulatan rakyat. Oleh sebab itu, prinsip negara
hukum hendaklah dibangun dan dikembangkan menurut prinsip-prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat (democratische rechtsstaat). Hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan
dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Prinsip negara
hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar. Puncak kekuasaan hukum itu diletakkan pada konstitusi yang pada
hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi.
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bahwa semua warga negara, tanpa
melihat kedudukannya, mengerti bahwa substansi dari negara hukum adalah dianutnya paham
supremasi hukum yang dalam bahasa populernya disebut sebagai the Rule of Law. Berkait dengan
democratische rechtsstaat ini pendapat dari Padmo Wahjono (dalam Hendro Nurtjahjo,2004:83-
84) sangat menarik untuk dikemukakan. Ia menyatakan, bahwa dalam perkembangan teori
kenegaraan, pada pengertian reachtsstaat sering dikaitkan dengan pengertian demokratis.
Sehingga merupakan sesuatu yang ideal dalam bernegara, ialah pola “Negara Hukum yang
Demokratis” ( Democratische rechtsstaat). Rumusan itu pernah dipakai dalam Konstitusi RIS dan
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, yang mana rumusan tersebut lazim didunia barat
dalam suatu sistem Parlementer. Adapun inti perumusan ini, ialah bahwa Hukum yang berlaku
dalam suatu Negara Hukum, haruslah yang terumus secara demokratis, yaitu yang memang
dikehendaki oleh rakyat. Dalam sejarah kenegaraan menunjukkan, bahwa apabila kekuasaan
tertinggi semata-mata berada pada rakyat tanpa ada suatu pembatasan, memungkinkan
timbulnya absolute democratie, yang tidak berbeda sifatnya dengan kekuasaan tidak terbatas
pada satu orang (diktatur), maupun pada sekelompok orang (diktatur proletariaat). Menurut
Padmo Wahjono, rumusan mengenai hal ini dapat dipahami dalam kalimat terakhir alenia ke
empat pembukaan UUD 1945 yang menyatakan : “….yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
28
hikmat kebijaksanaan dalam persmusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Selanjutnya ia menyatakan, bahwa sila-sila dari
Pancasila membatasi kemungkinan timbulnya demokrasi yang absolute, dan jaminan itu lebih
tegas dari pada rumusan: “Negara Hukum yang Demokratis“ ataupun sebaliknya ”Negara
Demokrasi yang dibatasi oleh pola negara Hukum”, karena pandangan bernegara tidak nampak
dalam rumusan tersebut.
Di Indonesia, prinsip rechtsstaat atau negara hukum yang memberlakukan prinsip rule
of law dan mengarah pada suatu welfare staat, diterima dengan penyesuaian tertentu, yang mana
prinsip negara hukum sebagai penjaga malam atau nachtwakerstaat tidak bisa diterima oleh
bangsa Indonesia.
Terkait dengan kedua konsep di atas, maka konsep “Negara Hukum Pancasila”
hakikatnya memiliki elemen yang terkandung dalam konsep Rechtsstaat dan Rule of Law.
Perbedaan prinsipiilnya terletak pada landasan filosofi kenegaraan, bahwa Negara Hukum
Pancasila berbasis pada filsafat Pancasila[29] bukan pada filsafat liberalistik. Pancasila sebagai
ideologi nasional memberikan ketentuan dasar sebagai landasan sistem hukum Indonesia,
termasuk landasan negara hukum. Kenyataan tersebut secara utuh dapat dipahami pada
Pembukaan, Batang Tubuh maupun penjelasan UUD 1945 (sebelum perubahan) maupun
Pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 sesudah dilakukan perubahan UUD 1945.
Sebelum UUD 1945 diubah, penjelasannya memuat tentang Negara Hukum RI khususnya
berkaitan Sistem Pemerintahan Negara RI sebagai berikut
1. Indonesia negara berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
(Machtsstaat).
2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme,
(kekuasaan yang tidak terbatas).
3. Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.
4. Presiden ialah penyelenggara Pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis
5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
6. Menteri Negara ialah pembantu Presiden; Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada
Dewan Perwakilan Rakyat.
7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.
Berkait dengan sistem pemerintahan, Mohammad Noor Syam menyatakan, bahwa:
“sistem pemerintahan negara ini mencerminkan tatanan negara hukum dan tatanan Demokrasi
Pancasila, dan dilaksanakan oleh kelembagaan negara”: Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
29
1945 setelah perubahan, disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Selanjutnya, dengan negara hukum ini, Mohammad Noor Syam[30] menyatakan bahwa negara
sebagai rumah tangga bangsa, lebih-lebih dengan predikat negara hukum, mengemban kewajiban
untuk menegakkan hukum demi keadilan bagi setiap manusia warganegara dan penduduk;
bahkan juga demi kemerdekaan manusia. Prinsip keadilan dan kemerdekaan ini diajarkan para
pemikir filsafat hukum, yang antara lain menyatakan: “The ideal of moral good is represented by
an ideal human being; The ideal of justice is represented by an ideal social order”. Pada bagian
lain dikemukakan: “Universally valid elements of the idea of the law area justice and legal
certainty”[31]
Keadilan sebagai cita hukum hanya dapat ditegakkan oleh dan di dalam negara; karena negara
mempunyai kewenangan atas nama seluruh rakyat, warga negara. Negara yang dapat
menegakkan hukum hanyalah negara hukum (Rechtsstaat), demikian dikemukakan Friedmann[32]
“The law must realize justice and the state must be a rechstsstaat”.
Pada hakikatnya tegaknya hukum dan keadilan ini ialah wujud kesejahteraan manusia
(warga masyarakat) lahir dan batin, sosial dan moral. Kesejahteraan rakyat lahir batin, terutama
terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; yaitu sandang, pangan, papan, rasakeamanan dan
keadilan, serta kebebasan beragama/kepercayaan. Cita-cita keadilan sosial ini dilaksanakan
(diupayakan) berdasarkan UUD dan hukum perundangan yang berlaku dan ditegakkan secara
melembaga berdasarkan UUD 1945.
Negara RI sebagai negara hukum, mengakui bahwa kewajiban untuk menjamin dan mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat bukanlah tanggungjawab lembaga hukum semata-mata,
melainkan tanggungjawab kelembagaan dan kepemimpinan atas nama kedaulatan rakyat. Hal itu
merupakan tanggung jawab semua warga negara; artinya oleh dan untuk rakyat Indonesia sebagai
manusia Indonesia, sebagaimana ditetapkan oleh filsafat negara Pancasila dan UUD 1945. Wujud
tanggung jawab rakyat warga negara menegakkan keadilan itu ialah kualitas kesadaran hukum
masyarakat yang nampak dalam tertib sosial atau disiplin nasional.
Adapun menurut Hadjon[33], elemen-elemen penting negara hukum Indonesia yang
berdasarkan Pancasila adalah sebagai berikut
1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan;
2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara;
3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir
jika musyawarah gagal; dan
4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, hendaknya upaya perlindungan hukum bagi masyarakat
30
diarahkan pada:
1. upaya mencegah terjadinya sengketa atau mengurangi terjadinya sengketa sehingga sarana
perlindungan hukum yang preventif perlu lebih diutamakan dari pada perlindungan hukum yang
represif,
2. upaya menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat secara musyawarah dan penuh
kekeluargaan, dan
3. penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir dan bukan forum
konfrontasi sehingga dalam peradilan tercermin suasana damai dan tenteram melalui hukum
acaranya.
Pengertian Negara Hukum dalam konteks Negara Hukum Indonesia [34] menurut
penulis dapat dilihat dari sudut pandang asas religiusitas, asas kolektifitas dan asas pengayoman.
Asas religiusitas nampak bahwa negara Indonesia terbentuk bukan karena “perjanjian
bermasyarakat”dari status “naturalis”ke status “civil” dengan perlindungan terhadap “civil right”,
melainkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dengan keinginan luhur untuk
berkehidupan kebangsaan yang bebas. Konstruksi tersebut merupakan cerminan luhur asas
kolektifitas yang melahirkan kesepakatan satu tujuan (gesamtakt) untuk berkehidupan
kebangsaan yang bebas dalam arti “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur” dan
pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun tujuan hukum
berdasarkan cita hukum Pancasila adalah untuk memberikan pengayoman kepada manusia, yaitu
melindungi manusia secara pasif (negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang, dan
secara aktif (positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi yang
memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar sehingga secara adil tiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk mengembangkan seluruh potensi
kemanusiaannya secara utuh[35]. Dalam rumusan tersebut termasuk juga tujuan untuk
memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang
luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adapun pelaksanaan pengayoman dilakukan dengan usaha mewujudkan:
1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
2. Kedamaian yang berketentraman
3. Keadilan (distributif, komutatif, vindikatif, protektif)
Terhadap cara pandang berdasarkan asas kolektifitas tersebut, Mohammad Tahir
Azhary[36] menambahkan “asas kerukunan”, sehingga berdasarkan kedua asas dimaksud “Bangsa
dan Negara Indonesia merupakan satu persatuan dan kesatuan dengan semangat kekeluargaan
dan kerukunan hidup”.
31
Apabila Moctar Kusumaatmadja mengambil titik pangkal pemahaman negara hukum Pancasila
berdasarkan “asas pengayoman” yang dikandung UUD 1945, dan ditambahkan dengan “asas
kerukunan”oleh Mohammad Tahir Azhary, lain halnya dengan Omar Seno Adji[37], yang
mengangkatnya dari sudut Pancasila sebagai sumber hukum. Berdasarkan fungsi Pancasila sebagai
sumber hukum tersebut maka negara hukum Indonesia dapat dinamakan “Negara Hukum
Pancasila”.
Selain itu layak pula dikemukakan pendapat Soejadi[38], tentang Pancasila Sebagai
Sumber Tertib Hukum Indonesia, antara lain: Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila
ditransformasikan dalam cita hukum serta asas-asas hukum, yang selanjutnya dirumuskan dalam
konsep Hukum Nasional Indonesia. Dengan demikian dapat diperoleh pemahaman bahwa Hukum
Nasional Indonesia mengandung corak, tidak menganut positivisme hukum, menolak faham
legisme dan sekuleristik, mewujudkan nilai keadilan, dan melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Dari pengertian mengenai unsur-unsur negara hukum yang telah dikemukakan di atas,
apabila dihubungkan dengan negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,
maka dapat ditemukan unsur-unsur negara hukum, yaitu:

1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan kerukunan;


2. adanya pengakuan mengenai adanya keseimbangan terhadap jaminan hak-hak serta kewajiban
asasi manusia dan warga negara;
3. adanya pembagian kekuasaan;
4. dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah harus selalu berdasar atas hukum
yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis;
5. adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya bersifat merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan lainnya;
6. penyelesaian sengketa diusahakan secara musyawarah dan peradilan merupakan jalan terakhir
jika musyawarah gagal;
7. terjaminnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; sandang, pangan, papan, rasa keamanan,
keadilan serta kebebasan beragama/ kepercayaan.
8. penyelenggaraan prinsip kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum secara beriringan.

HUBUNGAN NEGARA HUKUM DAN HAM


Gambaran ini mengukuhkan negara hukum sebagai welfare state, karena sebenarnya
mustahil mewujudkan cita-cita Rule Of Law sementara posisi dan peran negara sangat

32
minimal dan lemah. Atas dasar inilah negara diberikan keluasan dan kemerdekaan bertindak
atas dasar inisiatif parlemen.
Dalam gagasan welfare state ternyata negara memiliki kewenangan yang relatif lebih besar,
dibandingkan dengan format negara yang bersifat negara hukum formal saja. Selain itu, dalam
welfare state yang terpenting adalah negara semakin otonomuntuk mengatur dan mengarahkan
fungsi dan peran negara bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Sejalan dengan kemunculan ide
demokrasi konstitusional yang tak terpisahkan dengan konsep negara hukum, baik rechtsstaat
maupun Rule of Law, pada prinsipnya memiliki kesamaan yang fundamental serta saling mengisi.
Dalam prinsip negara ini unsur penting pengakuan adanya pembatatasan kekuasaan yang dilakukan
secara konstitisional. Oleh karena itu, terlepas dari adanya pemikiran dan praktek konsep negara
hukum yang berbeda, konsep negara hukum dan Rule of Law adalah suatu realitas dari cita-cita
sebuah bangsa termasuk negara Indonesia. Negara hukum materil (demokrasi abad XX)
mengamanatkan peran bahwa peran negara tidak hanya sebatas penjaga malam, tetapi negara juga
harus ikut bertanggung jawab dan ikut campur dalam menciptakan kesejahteraan rakyat.
A.V. Dicey menguraikan tentang negara hukum (The Rule of Law) lewat pengalaman de Tocqueville,
seorang Perancis yang mengamati konstitusi Inggris, yang kemudian dipaparkan melalui tiga makna,
yakni: pertama, Supremasi dan superioritas hukum reguler (Supremacy of Law) yang mutlak yang
bertentangan dengan pengaruh kekuasaan sewenang-wenang, dan mencabut hak prerogatif atau
bahkan kekuasaan bertindak yang besar di pihak pemerintah karena munculnya kesewenang-
wenangan tersebut.
Kedua, The Rule of Law juga berarti kesetaraan di depan hukum, atau ketundukan setara semua
kelompok masyarakat kepada hukum umum negara yang dijalankan oleh mahkamah umum
(Equality Before The Law). Ketiga, seseorang dapat dihukum karena melanggar hukum, namun ia
tidak dapat dihukum karena alasan lain (Due Procces of Law) atau dengan kata lain, dalam negara
hukum pasti berlaku asas legalitas.
Para Sarjana Eropa Kontinental—yang diwakili oleh Julius Stahl—menuliskan prinsip negara hukum
(Rechtsstaat) dengan mengimplementasikan:
1. Perlindungan hak asasi manusia;
2. Pembagian kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
International Comission of Jurists pada konfrensinya di Bangkok (1965) juga menekankan prinsip-
prinsip negara hukum yang seharusnya dianut oleh sebuah negara hukum, yaitu:
1. Perlindungan konstitusional, artinya, selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula
33
menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;
2. Badan-badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
3. Pemilihan umum yang bebas;
4. Kebebasan menyatakan pendapat;
5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi; dan
6. Pendidikan kewarganegaraan.
Jimly Ashshiddiqie menuliskan kembali prinsip-prinsip negara hukum dengan menggabungkan
pendapat dari sarjana-sarjana Anglo-Saxon dengan sarjana-sarjana Eropa Kontinental. Menurutnya
dalam negara hukum pada arti yang sebenarnya, harus memuat dua belas prinsip, yakni:
1. Supremasi Hukum (Suprermacy of Law).
Dalam perspektif supremasi hukum, pada hakekatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya
bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi, The Rule of Law and
not of man.
2. Persamaan dalam hukum (Equality before the Law).
Setiap orang berkedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Sikap diskrimatif dilarang,
kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang disebut affirmative action, yakni
tindakan yang mendorong dan mempercepat kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar
kemajuan, sehingga mencapai perkembangan yang lebih maju dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang telah lebih maju.
3. Asas Legalitas (Due Process of Law).
Segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis. Setiap perbuatan administrasi harus didasarkan atas aturan atau rules and procedurs
(regels). Namun, disamping prinsip ini ada asas frijsermessen yang memungkinkan para pejabat
administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri beleid-regels atau policy rules yang
berlaku secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh
peraturan yang sah.
4. Pembatasan kekuasaan.
Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara dengan cara menerapkan prinsip
pembagian secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Kekuasaan harus selalu
dibatasi dengan cara memisahkan kekuasaan ke cabang-cabang yang bersifat checks and balances
dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi serta mengendalikan satu sama lain.
Dapat juga dilakukan pembatasan dengan cara membagikan kekuasaan negara secara vertikal,
dengan begitu kekuasaan negara tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi yang bisa menimbulkan
kesewenang-wenangan. Akhirnya falsafah power tends to corrupt, and absolut power corrupts
34
absolutly bisa dihindari.
5. Organ-organ eksekutif independen.
Independensi lembaga atau organ-organ dianggap penting untuk menjamin demokrasi, karena
fungsinya dapat disalahgunakan oleh pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Misalnya,
tentara harus independen agar fungsinya sebagai pemegang senjata tidak disalahgunakan untuk
menumpas aspirasi pro-demokrasi.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary).
Dalam menjalankan tugas yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik
karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin
keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan
putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif
ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Namun demikian, hakim harus tetap terbuka
dalam pemeriksaan perkara dan menghayati nilai-nilai keadilan dalam menjatuhkan putusan.
7. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam setiap negara hukum, harus terbuka kesempatan bagi setiap warga negara untuk menggugat
keputusan pejabat administrasi negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara
(administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan administrasi negara ini juga
menjadi penjamin bagi rakyat agar tidak di zalimi oleh negara melalui keputusan pejabat
administrasi negara.
8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court).
Pentingnya Constitutional Court adalah dalam upaya untuk memperkuat sistem checks and balances
antara cabang-cabang kekuasaan yang sengaja dipisahkan untuk menjamin demokrasi.
9. Perlindungan hak asasi manusia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia dimasyarakatkan secara luas dalam rangka
mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang
penting suatu negara hukum yang demokratis.
10. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat).
Negara hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam
setiap negara demokratis harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum. Jadi negara
hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah negara hukum yang absolut (absolute
rechtsstaat) melainkan negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (Welfare Rechtsstaat).
Sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam pembukaan UUD 1945, tujuan
bernegara Indonesia dalam rangka melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
35
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Negara hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara
Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak terjebak pada rule-
driven, melainkan mission driven, tetapi mission driven yang didasarkan atas aturan.
12. Transparansi dan kontrol sosial.
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan
penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme
kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara
langsung.
Singkatnya, negara berdasarkan hukum (negara hukum) secara esensi bermakna hukum adalah
“supreme” dan kewajiban bagi setiap penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk dan
patuh pada hukum (subject to the law), tidak ada kekuasaan diatas hukum (above the law).
Semuanya ada di bawah hukum (under the law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan
yang sewenang-wenang (arbitrary power) atau penyalahgunaan kekuasaan (missuse of power).
Hukum dan prinsip-prinsipnya harus menjadi panglima dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. .
Negara Hukum adalah negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya
didasarkan atas hukum. Di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lain dalam
melaksanakan tindakan apa pun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum (Mustafa Kamal Pasha, 2003)
• Negara berdasar atas hukum menempatkan hukum sebagai hal yang tertinggi
(supreme) sehingga ada istilah supremasi hukum. Supremasi hukum harus tidak boleh
mengabaikan tiga ide dasar hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian
(Achmad Ali,2002). Apabila Negara berdasar atas hukum, pemerintahan Negara itu
juga harus berdasar atas suatu konstitusi atau undang-undang dasar sebagai landasan
penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi dalam negara hukum adalah konstitusi
yang bercirikan gagasan kostitusionalisme yaitu adanya pembatasan atas kekuasaan
dan jaminan hak dasar warga negara.
• ➢ Unsur-unsur Negara Hukum
• a. Hak asasi manusia dihargai sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai
manusia

36
• b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
• c. Pemerintahan dijalankan berdasarkan peraturan perundang-undangan
• d. Adanya peradilan administrasi dalam perselisihan antara rakyat dengan
pemerintahannya

• ➢ Ciri-ciri Negara Hukum


• a. Kekuasaan dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku
• b. Kegiatan negara berada dibawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif
• c. Berdasarkan sebuah undang-undang yang menjamin HAM
• d. Menuntut pembagian kekuasaan

• 2. Pengertian Hak Asasi Manusia


• Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat dan dimiliki setiap manusia
sebagi anugerah tuhan yang maha esa.kesadaran akan hak asasi manusia didasaarkan
pada pengakuan bahwa semua manusia sebagai makhluk tuhan memilki drajat dan
martabat yang sama,maka setiap manusia memiliki hak dasar yang disebut hak asai
manusia.jadi kesadaran akan adanya hak asai manusia tumbuh dari pengakuan
manusia sendiri bahwa mereka adalah sama dan sederajat.
• ❖ Macam Hak Asasi Manusia berdasarkan pengertian HAM,ciri pokok dari hakikat
HAM adalah :
• a. HAM tidak perlu diberikan ,dibeli,ataupun diwarisi.
• b. HAM berlaku bagi semua orang
• c. HAM tidak boleh dilanggar
• ❖ HAM meliputi berbagai bidang,sebagai berikut.
• a. Hak asasi pribadi (personal rights)
• b. Hak asasi politik (political rights)
• c. Hak asasi ekonomi (property rights)
• d. Hak asasi social dan kebudayaan (social and cultural rights)
• e. Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
(rights of legal equality)
• f. Hak untuk mendapat perlakuan yang sama dalam tatacara peradilan dan
perlindungan ( procedural rights)

37
• 3. Hubungan Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia
• Negara Hukum haruslah memiliki ciri atau syarat mutlak bahwa negara itu
melindungi dan menjamin Hak Asasi Manusia setiap warganya. Dengan demikian
jelas sudah keterkaitan antara Negara hukum dan Hak Asasi Manusia, dimana Negara
Hukum wajib menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia setiap warganya.
• Perumusan ciri-ciri Negara Hukum yang dilakukan oleh F.J. Stahl, yang kemudian
ditinjau ulang oleh International Commision of Jurist pada Konferensi yang
diselenggarakan di Bangkok tahun 1965, yang memberikan ciri-ciri sebagai berikut:
• Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu konstitusi
harus pula menentukan cara procedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak
yang dijamin;
• Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak;
• Pemilihan Umum yang bebas;
• Kebebasan menyatakan pendapat;
• Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;
• Pendidikan Kewarganegaraan.
• 4. Dasar Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia
• Berbagai instrumen hak asasi manusia yang dimiliki Negara Republik
Indonesia,yakni:
• 1. Undang – Undang Dasar 1945
• 2. Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
• Ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat
diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang
berlangsung dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat
paripurna ke-4 tanggal 13 November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR
RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak Asasi Manusia.
• 3. Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Adapun
hak-hak yang ada dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 199 tersebut antara lain
sebagai berikut :
• a. Hak untuk hidup (Pasal 4)
• b. Hak untuk berkeluarga (Pasal 10)
• c. Hak untuk mengembangkan diri (Pasal 11, 12, 13, 14, 15, 16)
• d. Hak untuk memperoleh keadilan (Pasal 17, 18, 19)
38
• e. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
• f. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
• g. Hak atas kesejahteraan (Pasal 36-42)
• h. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
• i. Hak wanita (Pasal 45-51)
• j. Hak anak (Pasal 52-66)
5. Pelaksanaan dan penegakan HAM di Indonesia
• Tegaknya HAM selalu mempunyai hubungan korelasional positif dengan tegaknya
negara hukum. Sehingga dengan dibentuknya KOMNAS HAM dan Pengadilan
HAM, regulasi hukum HAM dengan ditetapkannya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU
No. 26 Tahun 2000 serta dipilihnya para hakim ad hoc, akan lebih menyegarkan iklim
penegakkan hukum yang sehat. Artinya kebenaran hukum dan keadilan harus dapat
dinikmati oleh setiap warganegara secara egaliter.
• Kenyataan menunjukkan bahwa masalah HAM di indonesia selalu menjadi sorotan
tajam dan bahan perbincangan terus-menerus, baik karena konsep dasarnya yang
bersumber dari UUD 1945 maupun dalam realita praktisnya di lapangan ditengarai
penuh dengan pelanggaran-pelanggaran. Sebab-sebab pelanggaran HAM antara lain
adanya arogansi kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki seorang pejabat yang
berkuasa, yang mengakibatkan sulit mengendalikan dirinya sendiri sehingga terjadi
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain.
• 6. Permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam penegakan HAM di
Indonesia
• Berbagai permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia dalam rangka
penghormatan, pengakuan, penegakan hukum dan HAM antara lain :
• 1. Penegakan Hukum di Indonesia belum dirasakan optimal oleh masyarakat. Hal itu
antara lain, ditunjukan oleh masih rendahnya kinerja lembaga peradilan. Penegakan
hukum sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang sudah selesai tahap
penyelidikannya pada tahun 2002, 2003, dan 2004, sampai sekarang belum di tindak
lanjuti tahap penyelidikannya.
• 2. Masih ada peraturan perundang-undangan yang belum berwawasan gender dan
belum memberikan perlindungan HAM. Hal itu terjadi antara lain, karena adanya
aparat hukum, baik aparat pelaksana peraturan perundang-undangan, maupun aparat

39
penyusun peraturan perundang-undangan yang belum mempunyai pemahaman yang
cukup atas prinsip-prinsip perlindungan hak asasi manusia.
• 3. Belum membaiknya kondisi kehidupan ekonomi bangsa sebagai dampak krisis
ekonomi yang terjadi telah menyebabkan sebagian besar rakyat tidak dapat menikmati
hak-hak dasarnya baik itu hak ekonominya seperti belum terpenuhinya hak atas
pekerjaan yang layak dan juga hak atas pendidikan
• 4. Sepanjang tahun 2004 telah terjadi beberapa konflik dalam masyarakat, seperti
Aceh, Ambon, dan Papua yang tidak hanya melibatkan aparat Negara tetapi juga
dengan kelompok bersenjata yang menyebabkan tidak terpenuhinya hak untuk hidup
secara aman dan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan
• 5. Adanya aksi terorisme yang ditujukan kepada sarana public yang mnyebabkan
rasa tidak aman bagi masyarakat
• 6. Dengan adanya globalisasi, intensitas hubungan masyarakat antara satu Negara
dengan Negara lainnya manjdi makin tinggi. Dengan demikian kecenderungan
munculnya kejahatan yang bersifat transnasional menjadi makin sering terjadi.
Kejahatan-kejahatan tersebut antara lain, terkait dengan masalah narkotika, pencucian
uang dan terorisme. Salah satu permasalahan yang sering timbul adalah adanya
peredaran dokumen palsu. Yang membuat orang-orang luar bebas datang ke
Indonesia
• Beberapa masalah Hak Asasi di Indonesia yaitu:
• 1. Perlindungan Perempuan : Keadilan dan kesetaraan gender.
• UUD 1945 pasal 27 menjamin persamaan Hak perempuan dan Laki-laki ; dan Bahwa
perempuan adalah bagian dari HAM yang tercantum dalam UU No. 7/198-4 tentang
anti diskriminasi dan UU No. 39/1999 tentang HAK. Ada pun hak-hak politik
perempuan tercantum dalam UU No. 68/1958
• 2. Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan perdagangan perempuan dan Anak
• Indonesia telah memiliki rencana aksi nasional penghapusan trafficking perempuan
dan anak 2003-2007. RAN tersebut merupakan implementasi dari konvensi PBB
menentang kejahatan Terorganisir antar Negara
• 3. Perlindungan Hak Anak
• Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah legislative dan administrative untuk
lebih memperbaiki perlindungan hak-hak anak dan perempuan. Langkah-langkah
legislative tersebut antara lain dengan keluarnya UU No. 32 tahun 2002 tentang
40
perlindungan anak dan UU No. 20 tahun 2003 dengan system pendidikan nasional.
Sedangkan langkah administrative dalam menetukan rencana aksi dan penentuan
penjuru untuk pemajuan dan perlindungan HAM antara lain, melalui kepres No. 59
tahun 2002 tentang rencana aksi nasional penghapusan Bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk anak. Dan juga pembentukan komisi perlindungan anak Indonesia di bentuk
pada tahun 2003 melalui keppres No. 77 tahun 2003.
Upaya Pemerintah dalam hal penghormatan, pengakuan , dan penegakan Hukum
dan HAM
• Untuk mewujudkan dan menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia
tidaklah semudah menuliskan serta mengucapkannya. Hal ini disebabkan banyak
hambatan dan tantangan yang tidak lagi sebatas terorika, melainkan sudah menjadi
realita yang tidak dapat dihindari apalagi ditunda-tunda. Dalam penegakan HAM
melalui sistem hukum pidana yang telah berlaku di Indonesia terdapat kendala-
kendala atau hambatan yang bersifat prinsipil substansil dan klasik.
• Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan,
Dan memajukan Hak asasi manusia melalui langkah implementasi yang efektif dalam
bidang hukum, politik, social, budaya, pertahanan dan keamanan Negara, dan bidang
lainnya.
• Program pemerintah dalam penegakan Hukum dan HAM (PP Nomor 7 tahun 2005)
yaitu meliputi pemberantasan korupsi, anti terorisme, dan pembasmian
penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan
HAM harus selalu ditegakkan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.
• Partisipasi masyarakat dapat pula berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan
pemajuan hak asasi manusia. Masyarakat disini meliputi antara lain : setiap orang,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat
atau lembaga kemasyarakatan lainnya seperti Perguruan Tinggi, lembaga studi
• Partisipasi masyarakat ini dapat berupa :
• a. Pengajuan usulan mengenai perumusan dan kebajikan yang berkaitan dengan hak
asasi manusia
• b. Melakukan penelitian
• c. Melakukan pendidikan
• d. Melakukan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi maanusia.

41
• Hukum dan HAM merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. Hukum
dan HAM juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk
mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini
hanya konsepsi HAM dan hukumlah yang terbukti paling mengakui dan
menjamin harkat kemanusiaan.
• Konsepsi hukum dan HAM dapat dilacak secara teologis berupa relativitas
manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada manusia yang
dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang mutlak dan
merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia memiliki
potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin kebenaran mutlak
dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya Tuhan. Maka
semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya secara relatif.
Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang lain berarti
salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan kemanusiaan
dan ketuhanan.

42

Anda mungkin juga menyukai