Negara hukum adalah sebuah konsep yang bersifat umum dan dapat
dihubungkan dengan berbagai predikat lainnya. Secara sederhana, negara hukum
berarti negara yang menegakkan supremasi (kekuasaan tertinggi) hukum dalam
pelaksanaan pemerintahannya, bukan supremasi kekuasaan.
Dalam negara hukum, penguasa tidak bisa berbuat menurut kehendak dan
kemauannya saja, karena segala tindak-tanduk dan kebijaksanaan politiknya
dibatasi oleh peraturan perundang-undangan.
Menurut Aristoteles, negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan salah satu
syarat tercapainya kebahagiaan hidup, namun sebagian daripada keadilan itu perlu
diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang
baik dan taat hokum. Aristoteles juga mengutarakan pendapatnya tentang
peraturan, ia berpendapat bahwa peraturan yang mencerminkan keadilan bagi
warga negaranya merealisasikan pikiran adillah yang memerintah negara,
penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa dalam mulk siyasi ada dua macam bentuk
Negara hukum yaitu : 1) siyasah diniyah atau disebut juga nomokrasi islam dan 2)
siyasah „aqliyah atau disebut juga nomokrasi sekuler. Ciri pokok yang
membedakan kedua macam nomokrasi itu ialah pelaksanaan hukum Islam
(syari‟ah) alam kehidupan Negara dan hukum sebagai hasil pemikiran manusia.
Dalam Nomokrasi Islam, baik syari‟ah atau maupun hukum yang didasarkan pada
rasio manusia, kedua-duanya berfungsi dan berperan dalam Negara. Sebaliknya,
dalam nomokrasi sekuler manusia hanya menggunakan hukum semata-mata
1
Prof. Drs. C. S. T. Kansil, S. H., Christine, S. T. Kansil, S. H., M. H., Hukum Tata Negara Republik
Indonesia (Jakarta : PT RENIKA CIPTA, 2008) hal. 84-85
sebagai hasil pemikiran mereka. Konsep Ibnu Khaldun yang terakhir ini, memiliki
banyak persamaan dengan konsep Negara hukum menurut pemikiran Barat.2
2
Prof. Dr. H. Muhammad Tahir Azhary, S. H., Negara Hukum, (Jakarta : Prenada Media, 2004)
hal. 85
3
Ibid, hal. 85
4
Op.Cit, hal. 86
Predikat teokrasi lebih tepat dikaitkan dengan misalnya Negara yang dipimpin
oleh Paus pada abad pertengahan dan Kota Vatikan sebagai suatu “lembaga
kekuasaan rohani” Dalam Islam hal itu tidak ada. Bahkan hidup sebagai pendeta
yang tidak kawin juga bukan ajaran Islam. Islam tidak mengenal hierarki (pangkat
kedudukan) kependetaan seperti misalnya dalam agama katholik. Sebaliknya,
ajaran Islam sangat mengutamakan persamaan diantara para pemeluknya.
Karena itu tidak mungkin sekelompok ahli agama dapat mengklaim diri mereka
sebagai “wakil Tuhan” sehingga mereka berkuasa dalam satu Negara, dalam
hubungan ini, tepat benar pandangan Louis Gardet sebagaimana dikutip H.M.
Rasjidi bahwa konsep Negara dalam hukum Islam adalah suatu Negara yang
penguasa-penguasanya adalah orang-orang biasa yaitu tidak merupakan lembaga
kekuasaan rohani, dengan satu cirri yang sangat menonjol adalah “egalitaire”
yang berarti persamaan hak antar penduduk, baik yang biasa maupun yang alim
mengetahui agama. Baik yang beragama Islam maupun yang bukan Islam.
Karena itu, predikat Negara dalam Islam yang paling tepat dalah nomokrasi Islam
artinya kekuasaan yang didasarkan kepada hukum-hukum yang berasal dari Allah.
Majid Khadduri mengutip rumusan nomokrasi dari The Oxford Dictionary
sebagai berikut : “ Nomokrasi adalah suatu system pemrintahan yang didasarkan
pada suatu kode hukum: rule of law dalam suatu masyarakat.” Apabila rumusan
Khadduri itu digunakan sebagai titik tolak, maka dapat disimpulkan Nomokrasi
Islam menurut Majid Khadduri ialah suatu system pemerintahan yang didasarkan
pada asas-asas dan kaidah-kaidah hukum Islam (Syari‟ah).5
5
Ibid, hal. 87