Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu Negara Hukum dan HAM kini berkembang menjadi masalah yang sangat penting
dalam percaturan politik internasional. Universalitas HAM menimbulkan kecenderungan
terjadinya interna-sionalisasi HAM, sehingga batas yurisdiksi HAM domestik suatu Negara
kadangkala menjadi kabur. Persepsi yang beranekaragam tentang HAM muncul dimana-mana,
terutama negara-negara Barat. Hal ini terjadi sebagai akibat dari meningkatnya kepedulian
internasional terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM, dan secara praktis mempengaruhi pola
hubungan dan kerjasama dengan Negara berkembang.

Oleh sebagian besar Negara Barat, HAM dianggap bersifat universal, karena dipandang
sebagai dasar dari kebebasan, keadilan dan kedamaian. Oleh karena itu perlin-dungan dan
promosinya menjadi tanggung jawab utama pemerintah bersama anggota masyarakat. Karena
sifatnya yang universal, maka apabila terjadi pelanggaran HAM di suatu tempat/yurisdiksi
tertentu dianggap menjadi masalah dan kompetensi masyarakat internasional. Masyarakat
internasional sebagian besar kini tidak lagi melihat HAM sebagai produk kelompok budaya
tertentu. Prediket universalitas HAM itu menunjukan netralitas pengaruh pandangan atau budaya
tertentu. HAM juga makin dilihat secara menyeluruh dalam segala aspeknya, sebagai hak-hak
individu dan hak kolektif, tidak semata-mata hak politik dan sipil, tetapi juga sosial, ekonomi
dan budaya. Pergeseran cara pandang ini merupakan pergeseran besar dan menjauh dari konsepsi
dan implementasi HAM negara Barat.

Dengan semakin berkembang-nya konsep HAM sampai pada implementasinya membuat


persoalan yang berhubungan dengan pemajuan, penghormatan dan penegakan HAM dalam
Negara hukum menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji dan dianalisis oleh setiap warga
Negara pada umumnya. Oleh karena itu setiap siswa SMA/MA dan SMK di sekolah pun
diharapkan sadar akan hal tersebut dan serta dapat berperan serta dalam pemajuan,
penghormatan dan pene-gakan HAM dalam Negara hukum. Kepada para guru khususnya guru
PKn perlu diberikan materi tentang negara hukum dan HAM agar dapat membelajarkan negara
hukum dan HAM pada siswa SMA/MA dan SMK. Dalam tulisan akan dikaji dan dianalisis
tentang Negara hukum dan beberapa konsep HAM baik dari pengertian dan hakekat, sejarah,
teori, instrumen hukum dan peradilan internasional HAM serta membangun kesadaran HAM
dalam praktek masyarakat modern. Demikian pula pandangan Negara-negara dan masyarakat
inter-nasional melalui organisasi dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap

B. Rumusan Masalah
BAB II

PEMBAHASAN

A. NEGARA HUKUM DI INDONESIA


Negara hukum atau biasa yang disebut dengan istilah rechtsstaat atau the rule of law
merupakan negara yang dalam menjalankan suatu tindakan, semua berdasarkan pada aturan atau
sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada seseorang yang melakukan tindakan melanggar
aturan, maka ia berhak untuk mendapatkan suatu hukuman karena dianggap melanggar hukum.
Frans Magnis Suseno menyatakan negara hukum didasarkan pada suatu keinginan bahwa
kekuasaan negara harus harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Hukum menjadi
landasan dari segenap tindakan negara dan hukum itu sendiri harus baik serta adil. Baik karena
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dari hukum, dan adil karena maksud dasar
segenap hukum adalah keadilan. Negara hukum sendiri berdiri di atas hukum yang menjamin
keadilan bagi seluruh warga negara.
Indonesia merupakan negara hukum tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana Indonesia
menggabungkan beberapa system hukum di dalam konstitusinya. Pasal 1 ayat 3 ini mempunyai
makna bahwasannya Indonesia adalah negara hukum yang pelaksanaan ketatanegaraanya
dilaksanakan berdasarkan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Negara hukum sendiri berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan bagi seluruh warga negara. Untuk Indonesia, negara hukum
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari
segala sumber hukum, yang dimaksud adalah Hukum di Indonesia harus dilandasi dengan
semangat menegakkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan
sebagaimana yang terkandung dalam Pancasila. Adapun produk turunan undang-undang dapat
berupa Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, Instruksi Presiden, Peraturan Daerah, Peraturan
Gubernur, dan berbagai peraturan lainnya. Pilus M.H Jon mengatakan bahwa Indonesia itu
berkaitan erat dengan hukum pancasila, yaitu :
1. Adanya keserasian antara pemerintah dengan rakya berdasarkan asas kerukunan
2. Hubungan fungsional yang professional antara kekuasaan Negara
3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sasaran
terakhir
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Dalam Pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat didasarkan kepada suatu Undang-Undang Dasar. Dari pernyataan tersebut
Indonesia adalah negara demokrasi konstitusional. Menurut konsep negara demokrasi
konstitusional, kekuasaan penyelenggaran negara dibatasi oleh konstitusi. Setiap Negara
memiliki konstitusi, salah satunya Negara Indonesia memiliki satu dokumen yang memuat
kesepakatan yang dirumuskan para pendiri negara, yang memuat apa yang menjadi tujuan negara
yang dibentuk, dasar pemikiran di atas mana negara didirikan, cabang-cabang kekuasaan negara
yang dibentuk, bagaimana hubungan lembaga-lembaga negara itu satu sama lain serta hubungan
negara dengan rakyatnya. UUD 1945 itu merupakan konstitusi tertulis yang merupakan hukum
tertinggi di Indonesia.
Konsep hukum bersumber pada Pancasila adalah hukum yang bersumber pada Pancasila
yang dikemukakan diatas adalah suatu konsep yang bersifat abstrak. Konsep itu perlu
diverifikasi atau dikonkretkan supaya bisa dioperasionalkan dalam kehidupan politik maupun
kehidupan kemasyarakatan. Aturan hukum yang akan ditetapkan dalam pasal-pasal UUD 1945
haruslah merupakan refleksi dari Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) bangsa
Indonesia.Berdasarkan rumusan dalam Pembukaan UUD 1945, terkandung hakikat dan tujuan
dari konsep negara hukum, yaitu pembatasan kekuasaan melalui aturan yang ditetapkan dalam
UUD 1945, pembatasan kekuasaan dengan melindungi hak asasi manusia, pembatasan
kekuasaan melalui sistem demokrasi (negara yang berkedaulatan rakyat akan melahirkan sistem
demokrasi).
Ada 13 prinsip Negara hukum Indonesia menurut Jimly Asshiddiqie yang merupakan
pilar-pilar utama yang menjaga berdiri tegaknya suatu Negara modern sehingga dapat disebut
Negara hukum, yaitu:
1. Supremasi Hukum
2. Persamaan di dalam hukum
3. Azas Legalitas
4. Pembagian Kekuasaan
5. Organ-organ Eksekutif Independen
6. Peradilan bekas dan tidak memihak
7. Peradilan Tata Usaha Negara
8. Perlindungan Hak Asasi Manusia
9. Peradilan Tata Negara
10. Bersifat Demokratis
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara
12. Transparasi dan kontrososial
13. Berketuhanan Yang Maha Esa.

B. KONSEP DAN CIRI NEGARA HUKUM


Istilah Negara Hukum meru-pakan terjemahan langsung dari rechsstaat, istilah ini popular di
Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran tentang itu telah ada sejak lama. Sedangkan istilah
The Rule of Law mulai popular dengan terbitnya sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun
1885 dengan judul Introduction to the study of the constitution. Dari latar belakang dan sistem
hukum yang menopangnya, terdapat perbedaan antara keduanya. Pada dasarnya kedua konsep itu
mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama, yaitu pengakuan dan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia. Meskipun dengan sasaran yang sama, keduanya tetap berjalan dengan
sistem sendiri yaitu sistem hukum sendiri.
Konsep rechsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang abso-lutisme sehingga sifatnya
revolu-sioner. Sebaliknya konsep The Rule of Law berkembang secara evolusioner. Hal ini
tampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kreteria The Rule of Law. Konsep rechtsstaat
bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil law yang mempunyai karakteristik
administrative. Sedang-kan konsep The Rule of Law bertumpu atas sistem hukum yang disebut
common law memiliki karakteristik judicial.
Oleh karena itu menurut Friedman antara pengertian Negara Hukum atau rechtsstaat dan
Rule of Law sebenarnya saling mengisi. Berda-sarkan bentuknya sebenarnya Rule of law adalah
kekuasaan publik yang diatur secara legal. Oleh karena itu setiap organisasi atau persekutuan
hidup dalam masya-rakat termasuk negara mendasarkan pada Rule of law. Atas dasar pengertian
tersebut maka terdapat keinginan yang sangat besar untuk melakukan pembatasan terhadap
kekuasaan secara yuridis normatif. Dalam hubungan inilah maka kedudukan konstitusi menjadi
sangat penting bagi kehidupan masyarakat. Konstitusi dalam hubungan ini dijadikan sebagai
perwujudan hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh Negara dan pejabat-pejabat pemerintah
sesuai dengan prinsip government by law, not by man (pemerintah berdasarkan hukum, bukan
berdasar-kan manusia atau penguasa).

Ciri- ciri Negara Hukum


Negara hukum (rechtsstaat) memiliki ciri-ciri antara lain:
1. Adanya Undang-Undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang
hu-bungan antara penguasa dan rakyat.
2. Adanya pembagian kekuasaan Negara.
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat.
Ciri-ciri di atas menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan per-
samaan. Adanya Undang-Undang Dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas
kebe-basan dan persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk meng-hindari penumpukan
kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung pada penyalahgunaan kekuasaan yang
berarti pemerkosaan terhadap kebe-basan dan persamaan.
Sedangkan Menurut A.V. Dicey The Rule of Law memiliki tiga unsur antara lain sebagai
berikut:
1. Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekua-saan yang tertinggi di
dalam Negara adalah hukum (kedaulatan hukum).
2. Persamaan dalam kedudukan hukum bagi setiap orang.
3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak asasi manusia dan jika hak-hak asasi
manusia itu diletakkan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak asasi
manusia itu harus dilindungi.

Persamaan yang terdapat pada kedua-duanya adalah bahwa baik Rule of Law maupun
rechtsstaat pada hakekatnya sama-sama hendak melindungi individu terhadap pemerintah yang
sewenang-wenang dan memungkinkan untuk menikmati hak-hak sipil dan politik sebagai
manusia. Paham Negara Hukum pun tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan sebab pada
akhirnya hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan
bahwa hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Negara hukum menurut Wirjono Prodjodikoro Negara Hukum adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi
tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu
perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia men-jadi warganegara yang baik.
Demikian pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya. Dalam hal ini Indonesia
pernah mengadakan simposium mengenai Negara Hukum pada tahun 1966 di Jakarta yang
menghasilakan keputusan bahwa sifat Negara Hukum itu adalah dimana alat perlengkapan
Negara hanya dapat bertindak menurut dan terikat kepada aturan-aturan yang telah ditentukan
lebih dahulu oleh alat-alat perlengkapan negara yang ditugaskan untuk mengadakan aturan-
aturan dalam negara.

Sekarang timbul pertanyaan apakah Indonesia dengan UUD 1945 nya telah memenuhi
syarat sebagai Negara Hukum? Untuk menjawabnya kita harus lihat ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam UUD1945 mulai dari pembukaan sampai pasal-pasal UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 memuat dalam alinea pertama kata “peri keadilan”, dalam alinea
kedua istilah adil, serta dalam alinea keempat perkataan-perkataan keadilan social dan
kemanusiaan yang adil..Semua kata tersebut berindikasi kepada pengertian Negara Hukum,
karena bukankah salah satu tujuan hukum adalah untuk mencapai keadilan. Seterusnya jika kita
perhatikan alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan, “…maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia”.
Adapun pasal-pasal UUD1945 yang menunjukan ciri-ciri dari Negara Hukum antara lain
terdapat dalam pasal-pasal: Pasal 1 ayat 3, pasal 4 ayat 1, pasal 9 ayat 1, dan pasal 27 ayat 1

Dari uraian di atas terlihat jelas bahwa Negara Indonesia merupakan Negara Hukum dan
ditambah lagi dengan adanya pasal-pasal yang mengatur tentang hak asasi manusia yakni pasal
28 A sampai pasal 28 J. Dan apabila kita cermati lebih dalam masih banyak ketentuan-ketentuan
dalam UUD 1945 yang menunjukan bahwa Negara Indonesia Negara Hukum.

C. HAKIKAT HAM
Hakikat Ham merupakan suatu hak dasar dan hak pokok yang telah melekat pada diri
manusia sejak manusia itu diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Ada beberapa ciri pokok hakikat HAM yang berdasarkan dengan beberapa rumusan
HAM di atas, yaitu sebagai berikut.
1. HAM tidak perlu diberikan, diminta, dibeli, atau diwarisi. HAM ialah merupakan bagian
dari manusia dengan cara otomatis.
2. HAM berlaku untuk semua orang tanpa melihat jenis kelaminnya, rasnya, agamanya,
etnis dan politiknya, maupun asal – usul sosial dan juga bangsa.
3. HAM tidak boleh dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk membatasi atau
melanggar hak orang lain. Orang – Orang harus tetap mempunyai HAM walaupun suatu
negara membuat hukum yang tidak melindungi atau melanggar HAM. Oleh karena itu,
apabila HAM di langgar oleh seseorang atau lembaga negara atau sejenisnya maka akan
di kenai hukuman.

D. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM


Berbeda dengan Inggris dan Perancis yang mengawali sejarah perkembangan dan
peijuangan hak asasi manusianya dengan menampilkan sosok pertentangan kepentingan antara
kaum bangsawan dan rajanya yang lebih banyak mewakili kepentingan lapisan atas atau
golongan tertentu saja. Peijuangan hak-hak asasi manusia Indonesia mencerminkan bentuk
pertentangan kepentingan yang lebih besar, dapat dikatakan teijadi sejak masuk dan bercokolnya
bangsa asing di Indonesia dalam jangka waktu yang lama. Sehingga timbul berbagai perlawanan
dari rakyat untuk mengusir penjajah. Dengan demikian sifat perjuangan dalam mewujudkan
tegaknya HAM di Indonesia itu tidak bisa dilihat sebagai pertentangan yang hanya mewakili
kepentingan suatu golongan tertentu saja, melainkan menyangkut kepentingan bangsa Indonesia
secara utuh. Hal ini tidak berarti bahwa sebelum bangsa Indonesia mengalami masa penjajahan
bangsa asing, tidak pernah mengalami gejolak berupa timbulnya penindasan manusia atas
manusia. Pertentangan kepentingan manusia dengan segala atributnya (sebagai raja, penguasa,
bangsawan, pembesar dan seterusnya) akan selalu ada dan timbul tenggelam sejalan dengan
perkembangan peradaban manusia. Hanya saja di bumi Nusantara warna
pertentanganpertentangan yang ada tidak begitu menonjol dalam panggung sejarah, bahkan
sebalilmya dalam catatan sejarah yang ada berupa kejayaan bangsa Indonesia Ketika berhasil
dipersatukan di bawah panji-panji kebesaran Sriwijaya pada abad VII hingga pertengahan abad
IX, dan kerajaan Majapahit sekitar abad XII hingga permulaan abad XVI.
Diskursus tentang HAM memasuki babakan baru, pada saat Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan rancangan UUD pada
tahun 1945, dalam pembahasan-pembahasan tentang sebuah konstitusi bagi negara yang akan
segera merdeka, silang selisih tentang perumusan HAM sesungguhnya telah muncul. Di sana
terjadi perbedaan antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dan Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin di pihak lain. Pihak yang pertama meriblak dimasukkannya HAM terutama
yang bersifat individual ke dalam UUD karena menunit mereka Indonesia hams dibangun
sebagai negara kekeluargaan. Sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat
masalah-masalah HAM secara eksplisit.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD 1945 sebagai
UUD Negara Republik Indonesia. Dengan demikian terwujudlah perangkat hukum yang di
dalamnya memuat hak-hak dasar manusia Indonesia serta kewajibankewajiban yang bersifat
dasar pula. Seperti yang tertuang dalam Pembukaan, pernyataan mengenai hak-hak asasi
manusia tidak mendahulukan hak-hak asasi individu, melainkan pengakuan atas hak yang
bersifat umum, yaitu hak bangsa. Hal ini seirama dengan latar belakang peijuangan hak-hak asasi
manusia Indonesia, yang bersifat kebangsaan dan bukan bersifat individu." Sedangkan istilah
atau perkataan hak asasi manusia itu sendiri sebenarnya tidak dijumpai dalam UUD 1945 baik
dalam pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasannya. Istilah yang dapat ditemukan adalah
pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga negara, dan hak-hak Dewan
Perwakilan Ral^at. Bam setelah UUD mengalami perubahan atau amandemen kedua, istilah hak
asasi manusian dicantumkan secara tegas. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia pernah
mengalami perubahan konstitusi dari UUD 1945 menjadi konstitusi RIS (1949), yang di
dalamnya memuat ketentuan hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam Pasal 7 sampai
dengan 33. Sedangkan setelah konstitusi RIS berubah menjadi UUDS C1950), ketentuan
mengenai hak-hak asasi manusia dimuat dalam Pasal 7 sampai dengan 34. Kedua konstitusi yang
disebut terakhir dirancang oleh Soepomo yang muatan hak asasinya banyak mencontoh Piagam
Hak Asasi yang dihasilkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu The Universal Dec laration
ofhuman Rights tahun 1948 yang berisikan 30 Pasal.
Dengan Dekrit Presiden RI tanggal 5 juli 1959, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku lagi
dan UUDS 1950 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti ketentuanketentuan yang mengatur
hak-hak asasi manusia Indonesia yang berlaku adalah sebagaimana yang tercantum dalam UUD
1945- Pemahaman atas hak-hak asasi manusia antara tahun 1959 hingga tahun 1965 menjadi
amat terbatas karena pelaksanaan UUD 1945 dikaitkan dengan paham NASAKOM yang
membuang paham yang berbau Barat. Dalam masa Orde Lama ini banyak terjadi
penyimpanganpenyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang suasananya diliputi penuh
pertentangan antara golongan politik dan puncaknya terjadi pemberontakan G-30- S/PKI tahun
1965. Hal ini mendorong lahirnya Orde Baru tahun 1966 sebagai koreksi terhadap Orde Lama.
Dalam awal masa Orde Baru pernah diusahakan untuk menelaah kembali masalah HAM, yang
melahirkan sebuah rancangan Ketetapan MPRS, yaitu berupa rancangan Pimpinan MPRS RI No.
A3/I/Ad Hoc B/MPRS/1966, yang terdiri dari Mukadimah dan 31 Pasal tentang HAM. Namun
rancangan ini tidak berhasil disepakati menjadi suatu ketetapan.
Kemudian di dalam pidato kenegaraan Presiden RI pada pertengahan bulan Agustus 1990,
dinyatakan bahwa rujukan Indonesia mengenai HAM adalah sila kedua Pancasila "Kemanusiaan
Yang Adil dan Beradab" dalam kesatuan dengan silasila Pancasila lainnya. Secara historis
pernyataan Presiden mengenai HAM tersebut amat penting, karena sejak saat itu secara
ideologis, politis dan konseptual HAM dipahami sebagai suatu implementasi dari sila-sila
Pancasila yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Meskipun
demikian, secara Ideologis, politis dan konseptual, sila kedua tersebut agak diabaikan sebagai
sila yang mengatur HAM, karena konsep HAM dianggap berasal dari paham individualisme dan
liberalisme yang secara ideologis tidak diterima.
Perkembangan selanjutnya adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM) berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 1993 tanggal 7 Juni 1993.
Pembentukan KOMNAS HAM tersebut pada saat bangsa Indonesia sedang giat melaksanakan
pembangunan, menunjukkan keterkaitan yang erat antara penegakkan HAM di satu pihak dan
penegakkan hukum di pihak lainnya. Hal ini senada dengan deklarasi PBB tahun 1986, yang
menyatakan HAM merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Keikutsertaan rakyat dalam
pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keselunihan hak asasi atas pembangunan
itu sendiri. Hal tersebut menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional dan nasional
untuk menempatkan HAM sebagai fokus pembangunan.
Guna lebih memantapkan perhatian atas perkembangan HAM di Indonesia, oleh berbagai
kalangan masyarakat (organisasi maupun lembaga), telah diusulkan agar dapat diterbitkannya
suatu KetetapanMPR yang memuat piagam hak-hak asasi Manusia atau Ketetapan MPR tentang
GBHN yang di dalamnya memuat operasionalisasi daripada hak-hak dan kewajiban-kewajiban
asasi manusia Indonesia yang ada dalam UUD 1945.
Akhirnya ketetapan MPR RI yang diharapkan memuat secara adanya HAM itu dapat
diwujudkan dalam masa Orde Reformasi, yaitu selama Sidang Istimewa MPR yang berlangsung
dari tanggal 10 sampai dengan 13 November 1988. Dalam rapat paripurna ke-4 tanggal 13
November 1988, telah diputuskan lahirnya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1988 tentang Hak
Asasi Manusia. Kemudian Ketetapan MPRtersebut menjadi salah satu acuan dasar bagi lahirnya
UUNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang disahkan pada tanggal 23 September
1999. Undang-Undang ini kemudian diikuti lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan dan ditetapkan menjadi UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Sebagai bagian dari HAM, sebelumnya telah pula lahir UU No. 9 Tahun 1998 tentang
'Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum yang disahkan dan diundangkan di
Jakarta pada tanggal 26 oktober 1998, serta dimuat dalam LNRI Tahun 1999 No. 165.
Di samping itu, Indonesia telah meratifikasi pula beberapa konvensi internasional yang
mengatur HAM, antara lain:
1. Deklarasi tentang Perlindungan dan Penyiksaan, melalui UU No. 5 Tahun 1998.
2. Konvensi mengenai Hak Politik Wanita 1979, melalui UU No. 68 Tahun 1958.
3. Konvensi Pe.nghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap wanita, melalui UU No. 7
Tahun 1984.
4. Konvensi Perlindungan Hak-Hak Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
5. Konvensi tentang Ketenagakerjaan, melalui UU No. 25 Tahun 1997, yang
pelaksanaannya ditangguhkan sementara.
6. Konvensi tentang Penghapusan Bentuk Diskriminasi Ras Tahun 1999, melalui UU No.
29 Tahun 1999.
E. HAM DI INDONESIA YANG BERKAITAN DENGAN IMPLEMENTASI HAM
Istilah hak-hak manusia dalam beberapa Bahasa asing dikenal dengan sebutan sebagai
berikut: droit de I’home (perancis) yang berarti hak manusia, human right (Inggris) atau mensen
rechten (Belanda), yang dalam bahasa Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-
hak manusia.
Hak asasi manusia (HAM) pada hakekatnya merupakan hak kodrati yang secara inheren
dalam setiap diri manusia sejak lahir. Pengertian ini mengandung arti bahwa HAM merupakan
karunia Allah Yang Maha Pencipta kepada hamba-Nya mengingat HAM itu adalah karunia
Allah, maka tidak ada badan apapun yang dapat mencabut hak itu dari tangan pemiliknya.
Demikian pula tidak ada seorangpun diperkenankan untuk merampasnya, serta tidak ada
kekuasaan apapun yang boleh membelenggunya.
Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis untuk
pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. Sekalipun tidak ada
perlindungan dan jamninan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri
manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling
hakiki dalam kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia bersifat
sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan yuridis untuk diberlakukan
dalam mengatur kehidupan manusia.
Dalam perspektif sejarah hukum, setiap ada penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi
terhadap perampasan, perkosaan dan pemanipulasian HAM oleh manusia satu kepada manusia
yang Iain atau oleh penguasa kepada rakyatnya akan selalu muncul krisis kemanusiaan. Bahkan
kemudian memunculkan formula-formula atau dokumen-dokumen resmi hak-hak asasi manusia
atau sumber hukum yang memberi hak bagi rakyat. Misalnya dokumen Magna Charta di Inggris
tahun 1215yang memberikan hak-hak bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan raja.
Kemudian dokumen The Virginia Bill of Rights dan declarations of Independence yang
melahirkan kemerdekaan Amerika Serikat tahun 1776, yang berisi jaminan kebebasan individu
terhadap kekuasaan negara. Begitu pula dokumen Declarations desDroitesLUome et Du Cituyen
di Francis tahun 1789 yang berprinsip bahwa manusia pada hakekatnya adalah balk dan
karenanya harus hidup bebas dan sama kedudukannya dalam hukum. Di Rusia tahun 1918, juga
muncul suatu dokumen yang meriyebut hak-hak dasar sosial, tetapi hak-hak dasar individu tidak
disebut sama sekali. Selanjutnya dokumen Declarations of Human Rights tahun 1948 yang
dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjamin hak-hak sipil, hak-hak
sosial dan hak-hak kebebasan politik.
Secara filosofis berbagai dokumen hak-hak asasi manusia tersebut terdapat adanya
perbedaan muatan nilai dan orientasi. Di Inggris menekankan pada pembatasan kekuasaan raja,
di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan individu, di Perancis memprioritaskan
egalitarianisme persamaan kedudukan dihadapan hukum, di Rusia tidak diperkenalkan hak
individu tetapi hanya mengakui hak sosial. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa
merangkum berbagai nilai dan orientasi karena Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dibadan
dunia ini sebagai kesepakatan berbagai negara setelah mengalami revolusi Perang Dunia II, yang
menelorkan pengakuan prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan demokrasi
sebagaimana diformulasikan dalam preambule Atlantik Charter 1945. Dokumen dan kesaksian
sejarah tersebut menunjukkan bahwa setiap teijadi krisis hak asasi manusia selalu muncuj
revolusi atau gejolak sosial. Seperti halnya krisis hak asasi manusia di negara-negara komunis
tahun 1990 yang menghancurkan tembok Berlin dan penghancuran patungj patung tokoh mereka
yang sebelumnya dipuja-puja. Rangkaian kesaksian sejarah tersebut menunjukkan bahwa hak
asasi manusia merupakan konstitusi kehidupan karena hak asasi manusia merupakan prasyarat
yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia dan merupakan beka) bagi setiap insan untuk
dapat hidup sesuai fitrah kemanusiaannya.
Perjuangan dan perkembangan hak-hak asasi manusia di setiap negara mempunyai latar
belakang sejarah sendiri-sendiri sesuai dengan peijalanan hidup bangsanya, meskipun demikian
sifat dan hakikat HAM di mana-mana pada dasaraya adalah sama. Dalam konteks itulah, tulisan
berikut ini akan mengungkapkan beberapa konsepsi dan model pelaksanaan HAM, yaitu
dinegara-negara Barat yang sebagian besar menganut paham liberal kapitalis dan negara-negara
pengikut aliran komunissosialis serta konsepsi dan model HAM menurut ajaran Islam. Ketiga
sistem ini dapat dianggap mewakili berbagai konsepsi HAM yang ada, mengingat sebagian besar
dari mereka berkiblat dan mengacu salah satu dari ketiga sistem tersebut. Selain itu dikemukakan
pula tentang HAM dan implementasinya di Indonesia, dengan mengupas seputar perkembangan
dan penegakkan HAM di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai