Anda di halaman 1dari 14

NEGARA HUKUM DAN HAM

Kajian Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Individu


Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan

DISUSUN OLEH:

RULI SYAH RAMADHAN


1104620041

DOSEN PENGAMPU:

Drs. Ahmad Tijari, M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
NEGARA HUKUM DAN HAM

Pemikiran negara hukum sudah ada jauh sebelum terjadi revolusi di Inggris
pada tahun 1668. Tetapi baru muncul kembali pada abad ke-17 dan mulai popular
pada abad ke-19. Negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato dan
kemudian dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Plato, penyelengaraan pemerintah
yang baik adalah diatur oleh hukum. Dan kemudian dipertegas oleh Aristoteles
dengan menyatakan bahwa negara yang baik adalah negara yang diperintahkan
dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.

Memasuki dunia modern, di Eropa Kontinental, konsep negara hukum


dikembangkan dengan menggunakan istilah Jerman yaitu “rechtsstaat” antara lain
oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain. Sedangkan
dalam tradisi Anglo-Amerika, konsep negara hukum dikembangkan dengan
sebutan “rule of law” yang dipelopori oleh A.V. Dicey. Selain itu, konsep negara
hukum juga terkait dengan istilah nomokrasi (nomocratie) yang berarti bahwa
penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.

Pengertian Negara Hukum


Menurut Ensiklopedia Indonesia, negara hukum adalah negara yang
bertujuan untuk menyelenggarakan kepentingan umum, yakni tata tertib yang
umumnya berdasarkan hukum. Adapun pengertian negara hukum menurut
beberapa ahli, yakni:
1. F. R. Bothing, mengatakan bahwa negara hukum adalah negara dimana
kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh suatu kehendak
hukum.
2. Burkens (dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi), mengatakan bahwa negara
hukum negara yang menempatkan hukum sebagai dasar kekuasaan negara
dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan
di bawah kekuasaan hukum.
3. Johan Nasution, mengatakan bahwa negara hukum adalah sebuah negara
yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum.
4. Soepomo (dalam bukunya berjudul, “Undang-Undang Dasar Sementara
Republik Indonesia”), menjelaskan bahwa negara hukum adalah istilah
untuk menjamin adanya tertib hukum dalam masyarakat yang artinya
memberi perlindungan hukum pada masyarakat. Antara hukum dan
kekuasaan ada hubungan timbal balik.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa negara hukum adalah
negara yang berdiri dengan berlandaskan hukum. Atau dapat dikatakan, negara
hukum adalah negara yang seluruh kehidupan rakyat dan pemerintahannya diatur
dengan suatu sistem hukum yang ditetapkan melalui konsensus bersama.

Hubungan Hukum dan HAM


Eksistensi konstitusi membawa pada keadaan dimana pemerintah tidak
dapat sewenang-wenang dalam menjalankan administrasi negara. Dengan adanya
konstitusi, perlindungan HAM menjadi filosofi dalam negara hukum. Artinya,
dalam sebuah negara hukum, perlindungan HAM adalah sebuah keniscayaan. HAM
kemudian semakin menemukan ruangnya dalam sistem politik hukum demokrasi.
Hal tersebut disebabkan karena HAM dan demokrasi adalah konsepsi kemanusiaan
dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di dunia. HAM
dan demokrasi dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk
mempertahankan dan mencapai harkat dan martabatnya. Pada faktanya, hingga saat
ini hanya konsepsi HAM dan demokrasi yang terbukti paling mengakui dan
menjamin harkat kemanusiaan. Perlindungan terhadap HAM dalam negara hukum
juga terwujud dalam bentuk konstitusi dan undang-undang, yang kemudian
penegakannya dilakukan melalui badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman. Kekuasaan kehakiman dalam negara hukum adalah kekuasaan yang
bebas dan merdeka.

Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas hubungan HAM dengan negara


hukum. Yakni, sebuah hubungan yang bukan hanya dalam bentuk formal,
melainkan juga hubungan tersebut dilihat secara materiel. Hubungan secara formal
terlihat dari perlindungan HAM merupakan ciri utama konsep negara hukum.
Sedangkan hubungan secara materiel, digambarkan dengan setiap tindakan
penyelenggara negara harus berpedoman pada aturan hukum sebagai asas legalitas.
Konstruksi tersebut menunjukkan bahwa pada hakikatnya, seluruh kebijakan dan
sikap maupun tindakan penguasa bertujuan untuk melindungi HAM. Kekuasaan
kehakiman yang bebas dan merdeka tanpa dipengaruhi oleh kekuasaan mana pun
juga merupakan wujud perlindungan dan penghormatan terhadap HAM dalam
negara hukum.

Ciri-Ciri Negara Hukum


Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat 13 prinsip pokok atau pilar utama yang
menjadi ciri dan karakteristik dari suatu negara hukum. Adapun prinsip-prinsip
tersebut yakni:
1. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni adanya pengakuan normatif
dan empiris akan prinsip supermasi hukum. Artinya, semua permasalahan
diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Pada hakikatnya,
pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya bukanlah manusia, tetapi
konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi.
2. Persamaan dalam hukum (equality before the law). Hal ini berkaitan
dengan adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan
pemerintahan yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empiris.
3. Asas legalitas (due process of law). Dalam setiap negara hukum,
dipersyaratkan berlakunya asas legalitas, yakni segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang
sah dan tertulis. Peraturan tertulis tersebut harus ada terlebih dahulu
daripada perbuatan atau tindakan administrasi.
4. Pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ
negara dilakukan dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan
secara vertikal dan pemisahan kekuasaan secara horisontal. Hal ini
dimaksudkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan dan
mengembangkan mekanisme check and balance antara cabang-cabang
kekuasaan
5. Organ-organ pemerintahan yang independen. Dalam rangka membatasi
kekuasaan, harus adanya pengaturan kelembagaan pemerintahan yang
bersifat independen, seperti: bank sentral, tentara, kepolisian, kejaksaan,
juga lembaga-lembaga baru seperti Komisi HAM, Komisi Pemilihan
Umum, Ombudsman, Komisi Penyiaran Indonesia, dan lain-lain.
Independensi lembaga-lembaga tersebut dianggap penting untuk menjamin
demokrasi agar tidak dapat disalahgunakan oleh pemerintah.
6. Peradilan bebas dan tidak memihak. Peradilan bebas dan tidak memihak
mutlak harus ada di dalam negara hukum. Dalam menjalankan tugas
yudisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun, baik
karena kepentingan politik (jabatan) maupun kepentingan ekonomi (uang).
Hakim hanya memihak kepada kebenaran dan keadilan.
7. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dalam setiap negara hukum,
harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat
keputusan pejabat administrasi negara. PTUN dianggap dapat menjamin
agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat
administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa.
8. Constitutional Court (Peradilan Tata Negara). Di samping adanya PTUN,
negara hukum modern mengadopsikan gagasan adanya Mahkamah
Konstitusi. Pentingnya lembaga ini adalah untuk memperkuat sistem check
and balance antara cabang-cabang kekuasaan, misalnya dengan wewenang
memutus sengketa antar lembaga negara.
9. Perlindungan HAM. Setiap manusia, sejak dilahirkan menyandang hak-
hak yang bersifat asasi. Negara tidak dibenarkan membatasi atau
mengurangi makna kebebasan dan hak-hak asasi manusia itu. Adanya
perlindungan HAM merupakan pilar penting dalam setiap negara hukum.
10. Bersifat demokratis. Dianut dan dipraktekkannya prinsip demokrasi atau
kedaulatan rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan kenegaraan, setiap peraturan perundang-undangan
yang ditetapkan dan diterapkan mencerminkan rasa keadilan yang hidup di
tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan tidak boleh
diterapkan secara sepihak.
11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare
rechtsstaat). Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan
bersama. Sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan di
dalam Pembukaan UUD 1945. Negara hukum Indonesia berfungsi sebagai
sarana untuk mewujudkan atau mencapai ke empat tujuan negara tersebut.
12. Transparasi dan kontrol sosial. Perlu adanya transparansi dan kontrol
sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan
hukum sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam
mekanisme kelembagaan dapat dilengkapi secara komplementer oleh peran
serta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung). Sistem perwakilan
di parlemen tidak dapat diandalkan sebagai saluran aspirasi rakyat, karena
perwakilan fisik belum tentu mencerminkan perwakilan gagasan (aspirasi).

Rule of Law dan Rechtsstaat


Istilah rule of law dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggris
kenamaan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pengertian bahwa
hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara,
bukan manusia atau orang. Konsep ini tumbuh dan berkembang di negara-negara
Anglo-Amerika. Sedangkan rechtsstaat diperkenalkan oleh Friendrich Julius Stahl,
seorang ahli hukum Eropa Kontinental. Konsep rechtsstaat lahir setelah tumbuhnya
paham tentang negara yang berdaulat dan berkembangnya teori perjanjian
mengenai terbentuknya negara yang diperlopori J.J. Rousseau. Oemar Seno Aji
menilai, antara rule of law dan rechtsstaat memiliki basis yang sama. Dimana
konsep rule of law merupakan pengembangan dari konsep rechtsstaat.

Teori rule of law dan rechtsstaat merupakan sebuah konsep


penyelenggaraan negara yang didasarkan atas hukum. Setiap tindakan
penyelenggara negara harus didasarkan atas hukum yang berlaku. Dalam arti,
apapun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara mesti
didasarkan atas aturan main (rule of the game) yang ditentukan dan ditetapkan
bersama.

Negara Hukum Indonesia


Konsep negara hukum di Indonesia tertuang pada UUD Tahun 1945
sebelum amandemen yang dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat (1) yang berbunyi,
“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-
Undang Dasar.” Tidak hanya itu, keinginan pendiri bangsa untuk menciptakan
negara hukum juga tercermin dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berbunyi,
“.... yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat ”. Kedaulatan rakyat sendiri memiliki makna bahwasanya
kekuasaan penuh berada di tangan rakyat (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat). Hal ini sejalan dengan konsep negara hukum guna menciptakan
pemerintahan yang bebas dari penindasan terhadap rakyat. Bahkan, menurut Jimly
Asshiddiqie, kedaulatan rakyat merupakan satu di antara konsep-konsep yang
pertama dikembangkan dalam persiapan menuju Indonesia merdeka.

Permasalahan mengenai kedaulatan rakyat sudah menjadi polemik di


kalangan intelektual pejuang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1930-an. Seperti
pada sidang pertama PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Soepomo menyatakan,
“MPR adalah suatu badan yang memegang kedaulatan rakyat, ialah suatu badan
yang paling tinggi dan tidak terbatas kekuasannya.” Dapat diartikan bahwa
kedaulatan rakyat merupakan tonggak dalam negara hukum, bahkan sebuah
lembaga yang memegang kedaulatan rakyat dikatakan sebagai lembaga yang tidak
terbatas kekuasaannya.

Kejelasan terhadap Indonesia sebagai negara hukum terjadi Pasca


Perubahan UUD Tahun 1945. Paham negara hukum sebagaimana tercantum dalam
ketentuan Pasal 1 Ayat (3) berkaitan erat dengan paham negara kesejahteraan
(welfare state) atau paham negara hukum materiel sesuai dengan bunyi alinea
keempat pembukaan dan ketentuan Pasal 34 UUD Tahun 1945. Dengan demikian,
Indonesia sebagai negara hukum memiliki ciri-ciri “rechtsstaat” yakni sebagai
berikut:
1. Adanya UUD atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang
hubungan antara penguasa dengan rakyat.
2. Adanya pemisahan kekuasaan negara, yang meliputi kekuasaan pembuatan
UU yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas dan
merdeka, dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas UU.
3. Diakui dan dilindunginya hak-hak rakyat.
Dinamika Pelaksanaan Penegakan Hukum di Indonesia
Membentuk dan mewujudkan negara hukum Indonesia merupakan
komitmen para pendiri bangsa. Komitmen tersebut tetap dipertahankan dan
dipertegas dalam amandemen UUD 1945 yang dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (3),
ketentuan perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara,
pembatasan kekuasaan, serta jaminan kemerdekaan kekuasaan peradilan yang
dilakukan oleh MA dan MK. Komitmen konstitusional tersebut tentu saja harus
diwujudkan dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, hingga saat
ini, kita masih melihat bahwa negara hukum yang telah menjadi komitmen bersama
belum sepenuhnya terwujud. Komitmen negara hukum ternyata belum diikuti
penegakan hukum yang semestinya. Bahkan hukum juga telah dilanda krisis yang
hebat berupa maraknya korupsi, konflik di daerah, dan tindakan kekerasan dalam
bentuk main hakim sendiri.

Paling tidak, terdapat dua persoalan besar yang harus diselesaikan dalam
upaya mewujudkan negara hukum.
1. Persoalan paradigmatik berupa ambiguitas orientasi atas konsepsi
negara hukum.
Untuk mewujudkan negara hukum yang berorientasi pada keadilan dan
kebenaran, harus dilakukan pergeseran orientasi paradigma terhadap
konsepsi negara hukum dari rechtsstaat menjadi rule of law. Dengan
paradigma ini, setiap upaya penegakkan hukum akan mampu melepaskan
diri dari jebakan-jebakan formalitas prosedural serta mendorong para
penegak hukum untuk kreatif dan berani menggali nilai-nilai keadilan serta
menegakkan etika dan moral di dalam masyarakat dalam setiap
penyelesaian kasus hukum.
2. Persoalan politik berupa warisan birokrasi yang korup dan rekruitmen
politik yang keliru.
Persoalan politik yang kita hadapi saat ini adalah masih kuatnya birokrasi
yang korup sebagai warisan masa lalu serta masih banyaknya aktor politik
dan birokrat lama yang kemudian menghambat upaya penegakan hukum.
Aktor-aktor politik lama yang turut membangun sistem yang korup
sekarang masih banyak yang aktif di dalam politik dan pemerintahan
dengan menggunakan baju politik baru. Bersamaan dengan itu, muncul pula
aktor-aktor politik baru yang ternyata juga korup yang mana mereka
menjadikan hal tersebut sebagai kesempatan untuk melakukan balas
dendam politik atau untuk menikmati apa yang pada masa lalu tidak dapat
dinikmati karena dominasi kekuatan politik tertentu. Pertemuan antara
pemain lama dan pemain baru yang sama-sama terindikasi korup itu
mensinergikan munculnya banyak KKN baru di bawah birokrasi dan
prosedur-prosedur yang memang masih korup.
Persoalan tersebut harus diselesaikan dengan upaya reformasi birokrasi agar
segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-pejabat yang korup.
Sedangkan untuk mengatasi kasus-kasus KKN dan pelanggaran HAM
warisan masa lalu, kiranya perlu segera diselesaikan dengan sebuah
keputusan politik yang tegas untuk memutuskan hubungan dengan kasus-
kasus peninggalan masa lalu. Ada dua cara yang dapat dipilih untuk
memutus hubungan tersebut. Pertama, melakukan amputasi atas pejabat-
pejabat birokrasi terutama birokrasi penegak hukum yang berada pada usia
dan level tertentu, melalui UU agar tindakan hukum dapat dilakukan secara
tegas dan lugas. Kedua, melakukan pemutihan dengan memberikan
pengampunan secara nasional atas para pelaku pelanggaran di masa lalu.
Dengan alasan bahwa sangat sulit melakukan penyelesaian secara tegas
berdasarkan hukum atas kasus yang begitu banyak dan rumit yang
dilakukan oleh mereka sebagai akibat adanya sistem yang memaksa ketika
itu. Maka, pilihan kebijakan yang tampaknya lebih realistis adalah
pemutihan atau pengampunan lebih dulu dengan catatan bahwa setiap
pelanggaran, setelah pemutihan dilakukan, haruslah dijatuhi hukuman berat
dengan cepat dan terbuka.
Selain itu, untuk lebih menjamin tampilnya aktor-aktor politik yang kapabel
dan kredibel, rekrutmen politik untuk lembaga perwakilan perlu dipayungi
dengan sistem pemilu yang lebih sesuai (misalnya proporsional, terbuka,
atau bahkan sistem distrik) dan mempertahankan pemilihan pejabat politik
dalam semua tingkatan dengan sistem pemilihan langsung. Sistem seperti
ini memang tidak sempurna dan tidak menjamin perbaikan total, namun ia
dapat meminimalkan kecurangan berupa politik uang, kolusi, dan nepotisme
dalam rekrutmen politik. Lalu, pembentukan zaken kabinet (kabinet ahli,
bersih, dan profesional) dengan membebaskannya dari belenggu transaksi
politik.

Kesadaran Budaya Taat Hukum


Kesadaran hukum adalah kesadaran seseorang akan pengetahuan bahwa
suatu perilaku tertentu diatur oleh hukum. Kesadaran hukum pada titik tertentu
diharapkan mampu untuk mendorong seseorang mematuhi dan melaksanakan atau
tidak melaksanakan apa yang dilarang dan/atau apa yang diperintahkan oleh
hukum. Oleh karena itu, peningkatan kesadaran hukum merupakan salah satu
bagian penting dalam upaya untuk mewujudkan penegakan hukum. Akibat dari
rendahnya kesadaran hukum masyarakat adalah masyarakat yang tidak patuh
terhadap peraturan hukum yang berlaku. Akibat yang ditimbulkan oleh rendahnya
kesadaran hukum tersebut bisa menjadi lebih parah lagi apabila melanda aparat
penegak hukum dan pembentuk peraturan perundang-undangan.

Ketaatan hukum tidaklah lepas dari kesadaran hukum, dan kesadaran


hukum yang baik adalah ketaatan hukum, dan ketidak sadaran hukum yang baik
adalah ketidak taatan. Ketatan hukum pada hakikatnya adalah kesetiaan yang
dimiliki seseorang sebagai subyek hukum terhadap peraturan hukum yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku yang nyata. Sementara kesadaran hukum
masyarakat merupakan sesuatu yang masih bersifat abstrak yang belum diwujudkan
dalam bentuk perilaku yang nyata untuk memenuhi kehendak hukum itu sendiri.

Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan


ketaatan hukum masyarakat, di antaranya:
1. Tindakan represif (tegas). Para penegak hukum dalam melaksanakan law
enforcement harus lebih tegas dan konsekuen. Pengawasan terhadap para
penegak hukum harus lebih ditingkatkan dan diperketat. Para penegak
hukum juga tidak boleh membeda-bedakan golongan.
2. Tindakan preventif, merupakan usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran hukum atau merosotnya kesadaran hukum dengan
memperberat ancaman hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum
tertentu.
3. Tindakan persuasif, yaitu mendorong dan memacu. Kesadaran hukum erat
kaitannya dengan hukum, sedang hukum adalah produk kebudayaan.
Kebudayaan yang mencakup suatu sistem tujuan dan nilai-nilai hukum
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat.
Menanamkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai
kebudayaan.
4. Melalui pendidikan. Pendidikan tentang kesadaran hukum hendaknya
diberikan secara formal di sekolah-sekolah dan secara nonformal di luar
sekolah kepada masyarakat luas. Yang harus ditanamkan dalam pendidikan
formal maupun nonformal adalah bagaimana menjadi warga negara yang
baik, tentang apa hak dan kewajiban seorang Warga Negara Indonesia.

Menghormati Aparat dan Lembaga Penegak Hukum


Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki beberapa lembaga penegak
hukum yang menjamin penegakkan hukum di Indonesia sebagai dasar dalam hidup
berbangsa dan bernegara. Adapun lembaga-lembaga penegak hukum tersebut
yakni:
1. Kepolisian. Memiliki peranan dalam perlindungan masyarakat, penegakan
hukum, pencegahan pelanggaran hukum, serta pembinaan keamanan dan
ketertiban masyarakat.
2. Kejaksaan. Memiliki peranan dalam melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan dan tugas lain berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta mengawasi jalannya penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan pembangunan di bidang hukum.
3. Kehakiman. Memiliki peranan dalam menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, yang dilakukan oleh MA beserta badan
peradilan lain di bawahnya baik dalam lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan tata usaha negara, peradilan militer, dan
dilakukan juga oleh MK.
4. Advokat. Memiliki peranan dalam melakukan pembelaan dan penegakan
terhadap hak-hak masyarakat baik selama maupun di luar proses
pengadilan.

Menilik peranan dari lembaga penegak hukum di atas, jelaslah bahwa


masing-masing lembaga penegak hukum memiliki kewajiban untuk melaksanakan
konsensus nasional terkait dengan penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu,
kita sebagai warga negara yang baik harus menghormati dan mendukung kinerja
dari lembaga-lembaga penegak hukum di atas, dengan cara
1. menaati peraturan-peraturan hukum yang berlaku,
2. menerima dan menjalankan konsekuensi hukum jika melanggar peraturan
hukum,
3. bijak dalam menerima informasi terkait peraturan hukum yang berlalu,
4. turut serta dalam menyebarluaskan peraturan-peraturan hukum yang
berlaku untuk dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh masyarakat, serta
5. menyampaikan kritik, saran, dan apresiasi terhadap kinerja lembaga-
lembaga penegak hukum.

Kesimpulan
Setiap warga negara harus menyadari bahwa Indonesia adalah negara yang
berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaaan. Sehingga, semua yang
dilakukan di dalam berbangsa dan bernegara ini harus dilaksanakan berdasarkan
hukum dan peraturan perundang-undang yang berlaku. Jika pemerintah dan semua
warga negara sudah patuh terhadap hukum yang dianut oleh negara, maka
perwujudan sebagai negara hukum akan semakin nyata. Dan jika aturan hukum
berjalan dengan baik, maka akan tercipta kondisi yang sangat ideal bagi
perkembangan dan kemajuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. t.t. Gagasan Negara Hukum Indonesia. Dapat ditemukan di:
https://www.pn-
gunungsitoli.go.id/assets/image/files/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.p
df (diakses pada 9 Mei 2023)

Universitas Muhammadiyah Malang. t.t. BAB II Tinjauan Pustaka. Dapat


ditemukan di: https://eprints.umm.ac.id/39409/3/BAB%20II.pdf (diakses
pada 9 Mei 2023)

Pusat Pendidikan Pancasila dan Konstitusi Mahkamah Konstitusi. 2016. Modul


Pendidikan Negara Hukum dan Demokrasi. Modul Pembelajaran. Dapat
ditemukan di: https://pusdik.mkri.id/uploadedfiles/materi/Materi_2.pdf
(diakses pada 9 Mei 2023)

n.n. t.t. BAB II Tinjauan Pustaka. Dapat ditemukan di:


http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/11891/f.%20Bab
%20II.pdf?sequence=4&isAllowed=y (diakses pada 9 Mei 2023)

Auli, Renata Christha. 2022. Hubungan Hak Asasi Manusia dengan Negara
Hukum. Artikel. Dapat ditemukan di:
https://www.hukumonline.com/klinik/a/hubungan-hak-asasi-manusia-
dengan-negara-hukum-lt62de41f0efd5f/ (diakses pada 9 Mei 2023)

Hasibuan, Zulkarnain. t.t. Kesadaran Hukum dan Ketaatan Hukum Masyarakat


Dewasa Ini. Dapat ditemukan di: http://jurnal.um-
tapsel.ac.id/index.php/Justitia/article/viewFile/40/37 (diakses pada 9 Mei
2023)
Universitas Muhammadiyah Malang. t.t. BAB II Tinjauan Pustaka. dapat
ditemukan di: https://eprints.umm.ac.id/46138/3/BAB%20II.pdf (diakses
pada 9 Mei 2023)

Anda mungkin juga menyukai