1. yang lazimnya dipahami sebagai sources of law ada 2 (dua) macam, yaitu
custom dan statute.
2. sources of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau
the reason for the validity of law.
3. sources of law juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis,
seperti norma moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para
ahli.
Nilai dan norma agama dapat pula dikatakan menjadi sumber yang
penting bagi terbentuknya nilai dan norma etika dalam kehidupan
bermasyarakat, sementara nilai-nilai dan norma etika itu menjadi sumber
bagi proses terbentuknya norma hukum yang dikukuhkan atau dipositifkan
oleh kekuasaan negara. Ketiga jenis nilai dan
norma itu pada pokoknya sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian
dan sekaligus system referensi mengenai perilaku ideal dalam setiap tatanan
sosial (social order). Ketiganya harus dapat saling mengisi satu sama lain
secara sinergis.
(i) al-Quran,
(ii) al-Sunnah, dan
(iii) ijtihad atau inovasi (innovation) dan invensi (invention).
(iv) al-Hadits,
(v) ijma, dan
(vi) qiyas.
Hal yang dianggap sebagai adillat al-ahkam itu ada 4 (empat), yaitu al-
Quran, al-Sunnah, Ijma, dan Qiyas. Baik al-Quran maupun al-Sunnah sama-sama
dapat disebut sebagai adillat al-ahkam dan sekaligus mashadir al-ahkam. Oleh
karena itu, mashadir al-ahkam (sumber hukum) dapat dipahami dalam arti
sumber hukum materiel dalam konteks ilmu hukum kontemporer, sedangkan
adillat al-ahkman (dalil hukum) dapat disebandingkan dengan pengertian sumber
hukum formil.
Pengertian sumber hukum yang demikian itu, jelas sangat berbeda dari
pengertian sumber hukum yang terkait dengan pengertian yang biasa dipakai
dalam ilmu hukum tata negara ataupun ilmu hukum kontemporer pada umumnya.
Dalam hukum tata negara Indonesia, yang disebut sebagai sumber hukum itu
misalnya adalah
Sumber hukum formil yang lain dari Hukum Tata Negara adalah traktat atau
perjanjian, sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi hukum
ketatanegaraan yang hidup bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya,
sekalipun ia termasuk dalam bidang Hukum Internasional. Bentuk traktat (treaty)
tersebut tidak selalu tertulis karena kemungkinan terjadi bahwa perjanjian hanya
diadakan dengan pertukaran nota atau surat-surat belaka. Dalam kamus Hukum
Internasional, tidak dibedakan antara traktat dan perjanjian. Traktat atau
perjanjian adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih. Apabila
perjanjian itu diadakan oleh dua negara, ia disebut perjanjian bilateral.
Sedangkan, apabila diadakan oleh banyak negara, ia disebut perjanjian
multilateral.
2) Jika para pihak telah memperoleh kata sepakat, maka substansi pokok yang
dihasilkan dari perundingan itu diparaf sebagai tanda persetujuan sementara.
Dikatakan sementara, karena naskah itu masih memerlukan persetujuan lebih
lanjut dari lembaga perwakilan rakyat atau parlemen masing-masing
negara;
4) keputusan yang sudah disetujui dan ditandatangani oleh para pihak kemudian
diumumkan. Lazimnya pengumuman itu dilakukan dalam suatu
upacara dengan saling menukarkan piagam perjanjian.
Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 sendiri tidak membedakan antara
istilah perjanjian dan traktat. Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut istilah
perjanjian dengan negara lain. Dalam kepustakaan, wewenang yang timbul dalam
hubungan dengan negara lain ini disebut sebagai kekuasaan diplomatik
(diplomatic power) atau hubungan luar negeri (foreign Affairs). Dalam praktek
di masa pemerintahan Presiden Soekarno, Pasal 11 UUD 1945 pernah diartikan
mencakup pengertian perjanian internasional yang penting dan yang kurang
penting. Hal itu, misalnya tercermin dalam Surat Presiden kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong tanggal 22 Agustus 1960 No.2826 /HK/ 1960
yang membedakan dua macam perjanjian internasional, yaitu:
(i) perjanjian internasional yang memuat materi yang penting (treaty);
(ii) perjanjian internasional yang mengandung materi yang kurang penting
(agreement).
Menurut ketentuan Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2000, pengesahan perjanjian
internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Kemudian, berdasarkan pada ketentuan Pasal 11 UU No. 24 Tahun 2000
tersebut, pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk
materi seperti yang dimaksud di atas, cukup dilakukan dengan keputusan
presiden.
C. Konvensi Ketatanegaraan
1. Hakikat Konvensi Ketatanegaraan
Menurut pendapat Albert Venn Dicey (1835-1922) dalam bukunya
“Introduction to the Study of the Law of the Constitution”, kita harus
membedakan antara (i) the law of the constitution, dan (ii) the conventions of the
constitution, yang keduanya sama-sama sebagai dua maxim yang penting dalam
ilmu hukum tata negara.Termasuk ke dalam pengertian the laws of the
constitution itu adalah segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku mengikat, yang dapat dipaksakan dan diakui berlakunya oleh badan-
badan peradilan (which are enforced or recognized by the court), yaitu
(a) statutes, atau undang-undang,
(b) norma-norma yang berasal dari custom atau adat kebiasaan, tradisi atau
prinsip-prinsip yang diciptakan oleh hakim (judgemade maxims) yang biasa
dikenal sebagai common laws. Sedangkan, norma-norma hukum lain selain hal
tersebut di atas, dikategorikan oleh A.V. Dicey sebagai the conventions of the
constitution atau konvensi ketatanegaraan.
Banyak perubahan yang terjadi dalam rangka pelaksanaan undang-
undang dasar tanpa mengubah secara mutlak bunyi teks hukum ketentuan yang
mengatur suatu pemerintahan, melainkan terjadi begitu saja melalui kebiasaan
dan konvensi (rules of custom and convention). K.C. Wheare bahkan
menguraikan lebih lanjut mengenai perubahan-perubahan konstitusi yang dapat
terjadi melalui (i) perubahan hukum dalam arti yang strict, yaitu perubahan
melalui amandemen formal;(ii) perubahan melalui penafsiran yudisial atas
teks konstitusi, yaitu melalui proses peradilan tata negara (constitutional
adjudication); dan (iii) perubahan melalui kebiasaan dan konvensi.
2. Pengakuan Hakim terhadap Konvensi (Judicial Recognition)
Seperti dikemukakan di atas, para hakim tidak terikat atau tidak ada
keharusan bagi pengadilan untuk menerapkan konvensi dalam memutus sesuatu
perkara. Sebab, pada pokoknya, konvensi itu sendiri tidak dapat dipersamakan
atau bukanlah hukum (law) dalam arti yang sebenarnya. Kemudian yang dapat
juga dipastikan ialah bahwa konvensi itu tidak dapat ditegakkan oleh pengadilan
dan pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan sanksi oleh hakim.
Meskipun demikian, tentu tidak berarti bahwa pengadilan tidak mengakui
sama sekali keberadaan konvensi sebagai sumber hukum. Setiap konvensi tetap
dapat dijadikan pegangan yang dipercaya bagi hakim sebagai alat bantu untuk
menafsirkan peraturan tertulis yang berlaku. Konvensi diakui eksistensinya,
tetapi jika ada peraturan perundang-undangan tertulis, dan terdapat
pertentangan antara konvensi dimaksud dengan peraturan perundang-undangan,
maka pengadilan harus menerapkan peraturan perundang-undangan tertulis
diatas konvensi. Oleh karena itu, konvensi tidak dapat diterapkan secara mandiri,
atau bahkan sering dikatakan bahwa konvensi itu memang tidak dapat ditegakkan
atau diterapkan oleh pengadilan.
3. Fungsi Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) merupakan aturan
politik (rules of political behaviour) yang penting untuk kelancaran bekerjanya
konstitusi. Pentingnya konvensi ini, tidak saja berlaku di Inggris, tetapi juga di
semua negara yang mengenal undang-undang dasar tertulis. Dalam praktik,
konvensi ketatanegaraan dikembangkan untuk keperluan mengatur kewenangan
diskresi yang bersifat terbuka. Jika kewenangan yang bersifat terbuka tidak
diatur, kebijakan kenegaraan (state policy) akan ditetapkan berdasarkan
discretionary power yang sangat mungkin tidak terkendali. Hal demikian tentu
akan rawan terhadap penyalahgunaan semata-mata untuk kepentingan
kekuasaan itu sendiri.
Dengan perkataan lain, konvensi merupakan nonlegal rules yang mengatur
cara bagaimana legal rules diterapkan dalam praktik.347 Hubungan antara
hukum dan konvensi dapat dikatakan sangat penting dan mempunyai
karakteristik yang fundamental dalam sis-tem dan struktur ketatanegaraan.
Bahkan, dalam penyelenggaraan negara konstitusional di seluruh dunia, konvensi
ketatanegaraan terus tumbuh dan berkembang dalam praktik.
Meskipun pengadilan tidak dapat menerapkan atau menentukan sanksi atas
pelanggaran terhadap ketentuan konvensi ketatanegaraan, tetapi pengakuan
pengadilan terhadap adanya konvensi ketatanegaraan tersebut tetap mempunyai
arti penting bagi hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara konstitusi yang
diajukan kepadanya.
4. Beberapa Contoh Konvensi di Indonesia
Dalam pelaksanaan undang-undang dasar, banyak perubahan yang terjadi
terhadap norma yang terkandung di dalamnya tanpa melalui proses perubahan
formal, melainkan hanya terjadi begitu saja melalui kebiasaan ataupun konvensi
ketatanegaraan. Menurut Profesor Ismail Suny, perubahan yang terjadi dalam
sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945, yakni dengan dipraktikkannya
sistem pertanggungjawaban menteri sebagaimana termuat dalam Maklumat
Pemerintah tanggal 14 November 1945, merupakan salah satu contoh konvensi
ketatanegaraan yang mengubah bunyi teks UUD 1945 mengenai
pertanggungjawaban pemerintahan.
Dalam rangka konvensi ketatanegaraan itu, jelas terdapat unsur yang
menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang
kemudian diterima dan ditaati. Konvensi demikian itu dapat pula disebut sebagai
kebiasaan ketatanegaraan karena di dalamnya terkandung pengulangan-
pengulangan yang menjadi ciri pokok adanya kebiasaan. Kebiasaan-kebiasaan
itu, termasuk kebiasaan ketatanegaraan, akan berkembang menjadi hukum
kebiasaan (customary law) apabila ia diberi sanksi (legal sanction). Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa kebiasaan ketatanegaraan ialah praktik dalam
kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga ia diterima dan
ditaati dalam kegiatan penyelenggaraan negara, walaupun tidak dianggap sebagai
hukum (the laws of the Constitution).
Semua usaha tersebut di atas, menggambarkan jalan pikiran yang
terkandung dalam ketentuan Bab XVI Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) UUD
1945 memang menghendaki perubahan melalui penggantian. Dengan perkataan
lain, bagaimana bentuk perubahan itu tidak ditentukan dengan jelas. Akan
tetapi, karena sistem hukum Indonesia banyak dipengaruhi oleh tradisi Eropa
Kontinental, maka tentunya tradisi perubahan konstitusi model Eropa Barat
pulalah yang lebih dekat dengan maksud penyusun UUD 1945, yaitu
melalui metode perubahan atau penyempurnaan dalam teks.
Namun, sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, dilanjutkan
dengan Perubahan Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan
Keempat (2002), perubahan-perubahan itu dilakukan menurut tradisi Amerika
Serikat, yaitu dengan naskah lampiran (appendix). Pada saat dimulainya
penerapan metode lampiran ini pada tahun 1999, pilihan ini dapat dikatakan
sebagai penyimpangan dari maksud Pasal 37 UUD 1945, tetapi diterima dengan
baik oleh semua pihak sebagai cara yang dianggap konstitusional.
Selanjutnya, setelah metode perubahan ini dilakukan berulang-ulang, cara ini
pun berkembang menjadi kebiasaan (constitutional custom) yang baik dalam
praktik ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945. Baik keputusan
pertama untuk menerapkan metode ini maupun keputusan-keputusan selanjutnya,
setelah hal itu menjadi kebiasaan karena telah terjadi berulangulang, sama-
sama dikenal dengan sebutan yang diistilahkan oleh A.V. Dicey yaitu the
conventions of the constitution, bukan the laws of the constitution.
BAB IV
PENAFSIRAN DALAM HUKUM TATA NEGARA