Anda di halaman 1dari 6

Rangkuman PIH Semester 1

1. Menurut pasal 164 HIR / Pasal 284 R. Bg./Pasal 1866 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat-alat bukti yang sah dalam
hukum perdata ada 5 yaitu : surat, saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan, sumpah. (P2S3)
2. Alat bukti surat dibagi jadi 2 yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan.
3. Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan UU oleh / dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu, ditempat akta itu dibuat (notaris) / pasal 1868 KUHPerdata.
4. Akta dibawah tangan adalah kebalikan dari akta otentik yaitu tidak harus dibuat oleh notaris, bentuknya juga bebas
berdasarkan kesepakatan para pihak.
5. Suatu tulisan dibawah tangan yang diakui kebenarannya oleh orang yang dihadapkan kepadanya / secara hukum dianggap
telah dibenarkan olehnya, menimbulkan bukti lengkap seperti suatu akta otentik bagi orang-orang yang menandatanginya ,
ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka, ketentuan pasal 1871 berlaku terhadap tulisan itu. (Pasal
1875 KUHPerdata).
6. Pengakuan yang diberikan Hakim, merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap orang yang telah memberikannya, baik
sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang diberi kuasa khusus untuk itu.(Pasal 1925 KUHPerdata)
7. Timbulnya hukum diperlukan minimal 2 orang yang saling berhubungan : (Mertokusumo /1999). Hubungan menyenangkan /
tidak menyenangkan. Hukum baru ada apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan ini terjadi ketika seseorang
dalam melaksanakan kepentingannya telah merugikan orang lain.
8. Hukum baru timbul ketika terjadi konflik kepentingan atau pelanggaran kaidah hukum.
9. Sarjana yang menulis buku PIH yang dalam bukunya tidak membuat definisi hukum : L.J.Van Apeldoorn. Karena menurutnya
hukum cakupannya luas dan banyak sisinya, berupa-rupa dan berganti-ganti, sehingga jika dibuat definisi kurang memuaskan.
10. Persoalan mengenai definisi hukum adalah tidak semudah seperti yang disangka orang semula, secara logis haruslah ditemukan
genusnya yaitu pada genus mana res termasuk, kemudian sifat-sifat khusus yang membedakannya dari species lain pada genus
yang sama. Pemilihan genus akan ditentukan oleh apa yang menjadi tujuan kita. Keyakinan lama bahwa setiap res itu hanya
mempunyai satu inti sari (subtantia), telah dirubah oleh kenyataan bahwa apabila tujuan seorang penyelidik berbeda dengan
tujuan penyelidik yang lain, maka demikan pula tekanannya pada aspek yang berbeda-beda : G.W. Paton.
11. Ada pameo atau adagium yang berbunyi definitie per genus et differentiam, artinya memberi definisi itu dengan menyebutkan
genus-nya dan perbedaan-perbedaannya. (Hart,1970: 14–15).
12. 3 ciri-ciri dari hukum, yaitu : adanya perintah dan/atau larangan, perintah dan/atau larangan harus ditaati setiap orang, adanya
sanksi hukum yang tegas dan dapat dipaksakan oleh instansi yang berwenang.
13. Membuat definisi hukum harus terlebih dahulu membuat moment opname, artinya menangkap sesuatu untuk dirumuskan.
14. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, dan kepentingan manusia itu selalu berubah sesuai dengan
perkembangan jamannya.
15. Hukum meliputi beberapa unsur, yaitu (C.S.T. Kansil, 1980: 37) : Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan
masyarakat, diadakan oleh badan resmi yang berwajib, bersifat memaksa, Sanksi terhadap pelanggaran adalah tegas.
16. Hukum yang sengaja dibuat bentuknya : peraturan perundang-undangan.
17. Hukum yang timbul dari pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan oleh pihak yang berwenang : hukum adat /kebiasaan.
18. Adanya definisi-definisi hukum yang banyak jumlahnya dan beraneka ragam, disebabkan berbedanya titik berat metode
pendekatan yang digunakan untuk menentukan lahirnya hukum.
19. Ada dua cara pendekatan yang kontroversial, yaitu : Yang dipentingkan adalah norma atau aturannya (body of rules) dan Yang
dipentingkan adalah masyarakatnya.
20. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum, yang harus diselidiki lebih dahulu adalah aturan-aturannya.Kalau kita
hendak membentuk hukum, maka aturan-aturannya harus dipelajari dan diselidiki secara mendalam. Ini termasuk pendapat
normatif.
21. Kalau kita ingin mengetahui batas-batas dari hukum maka yang perlu diselidiki lebih dahulu adalah masyarakatnya, karena ini
menyangkut masalah sosial. Ini termasuk pendapat sosiologis atau realistis.
22. Hukum adalah apa yang datang dari atas atau sengaja dibuat pemerintah atau penguasa yang berwenang, sebagai norma dan
sebagai kekuasaan yang biasanya berisi perintah dan/atau larangan dan/atau perkenan. (Pendapat normatif)
23. Tokoh pendapat normatif adalah Jeremy Bentham (1748-1832), John Austin, Roscoe Pound.
24. John Austin : Hukum dibuat oleh aparatur pemerintahan negara, yaitu dibuat oleh pembentuk undang-undang dan dibuat oleh
hakim dalam proses peradilan (judge made law) (Paton, 1953 : 51).
25. Roscoe Pound : Hukum adalah alat untuk merubah atau memperbaiki masyarakat (law is a tool for social engineering).
26. Hukum adalah kehidupan masyarakat itu sendiri atau merupakan suatu proses sosial, dan merupakan perilaku yang timbul
secara spontan dari bawah dan bukan dibuat oleh pemerintah, tetapi ditentukan dalam kehidupan sosial, ia lahir dan
berkembang dalam masyarakat yang dinamis. (Pendapat sosiologis)
27. Tokoh pendapat sosiologis adalah Von Savigny yang mengajarkan bahwa hukum tidak sengaja dibuat, tetapi lahir dan tumbuh
bersama dengan masyarakat,
28. Pendapat normatif hanya benar kalau semua hukum berbentuk peraturan perundang-undangan, yang keberadaannya memang
sengaja dibuat oleh penguasa atau pemerintah. Pendapat sosiologis, hanya benar apabila semua hukum lahir dari pergaulan
hidup atau dari hasil proses sosial, yang berupa hukum kebiasaan atau hukum adat.
29. Pendapat campuran pada pokoknya mengatakan bahwa ”Hukum adalah peraturan tingkah laku, norma dan sekaligus adalah
kebiasaan dalam masyarakat”.
30. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan ada 9 arti hukum, yaitu:
31. Hukum dalam arti sebagai ilmu pengetahuan (ilmu hukum) / ilmu kaidah (normwissenschaft) : ilmu yang membahas hukum
sebagai kaidah, atau bagian dari sistem kaidah dengan dogmatik hukum dan sistematik hukum. ciri-ciri : sistematis, logis,
empiris, metodis, umum dan akumulatif.
32. Hukum dalam arti sebagai disiplin, yaitu sebagai ajaran hukum mengenai fenomena masyarakat, ajaran kenyataan atau
gejala-gejala hukum yang ada dan hidup dalam masyarakat.
33. Hukum dalam arti sebagai kaidah, yaitu sebagai peraturan hidup yang menetapkan bagaimana manusia seharusnya
bertingkah laku dalam hidup bermasyarakat, yang berisi perintah, perkenan dan larangan, yang tujuannya agar tercipta
kehidupan masyarakat yang damai.
34. Hukum dalam arti sebagai tata hukum, yaitu sebagai keseluruhan aturan hukum yang berlaku sekarang, yang positif berlaku
di suatu tempat dan pada suatu waktu. Tata hukum disebut sebagai hukum positif / sistem hukum. Sebagai contoh Tata Hukum
Indonesia adanya sejak saat Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945. Berdasarkan hal itu, dapat dikatakan bahwa
hukum dalam arti Tata Hukum Indonesia adalah keseluruhan aturan hukum dibuat atau lahir setelah Proklamasi Kemerdekaan
dan yang telah ada sebelumnya yang masih berlaku sekarang adalah merupakan bagian dari Tata Hukum Indonesia.
35. Hukum dalam arti sebagai petugas hukum, adalah memanifestasikan hukum seperti apa yang dilihatnya, yaitu petugas
penegak hukum (anggapan dari sebagian warga masyarakat yang awam hukum / the man in the street). Dalam hal ini, polisi,
jaksa dan hakim serta petugas hukum lain yang memakai seragam, juga bentuk manifestasi dari petugas (polisi), misalnya
patung polisi dan rambu-rambu lalu lintas yang ada di pinggir jalan, dianggap sebagai hukum.
36. Hukum dalam arti sebagai keputusan penguasa, yaitu merupakan keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang dibuat,
ditetapkan/ diputuskan oleh pihak penguasa yang berwenang.
37. Hukum dalam arti proses pemerintahan, yaitu merupakan aktivitas dari lembaga administratif/eksekutif dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini yang dipentingkan adalah tertib aktivitas prosesnya itu sendiri.
38. Hukum dalam arti sebagai perilaku yang ajeg atau sikap tindak yang teratur, yaitu perilaku individu yang satu terhadap
yang lain secara biasa, wajar dan rasional, yang secara terus-menerus dilakukan dalam garis sama akhirnya menimbulkan suatu
ikatan yang diterima sebagai suatu keharusan, maka sikap tindak tersebut dapat menjadi hukum kebiasaan.
39. Hukum dalam arti sebagai jalinan nilai-nilai, tujuan hukum dalam kaitannya dengan jalinan nilai adalah untuk mewujudkan
keseimbangan / keserasian antara pasangan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, yaitu: antara nilai obyektif (yang universal
misalnya tentang baik dan buruk, patut dan tidak patut) dengan nilai subyektif (yang sesuai dengan tempat, waktu dan budaya
masyarakat), antara nilai kepentingan pribadi (sejajar dengan ketenteraman) dengan nilai kepentingan masyarakat (yang sejajar
dengan ketertiban), antara nilai kelestarian dengan nilai pembaharuan, semuanya demi terciptanya kedamaian hidup bersama.
40. Fungsi Hukum : melindungi kepentingan manusia. Dalam hubungannya dengan ke-3 kaidah sosial yang lain, hukum
mempunyai fungsi khusus, yaitu untuk mempertegas dan sekaligus juga melengkapi dalam memberikan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan manusia.
41. Tugas hukum untuk memberikan atau menjamin kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan
keadilan (Gerechtigkeit).
42. Kepastian hukum dapat diartikan kepastian bahwa setiap orang akan dapat memperoleh apa yang diharapkan dalam keadaan
tertentu.
43. Kepastian oleh karena hukum : kepastian yang tercapai karena hukum mengenal adanya lembaga kadaluwarsa (verjaring),
misalnya adanya ketentuan hukum yang termuat dalam Pasal 1963 KUH Perdata, Pasal 78 KUH Pidana.
44. Kepastian dalam atau dari hukum, adalah kepastian hukum yang tercapai apabila hukum sebanyak-banyaknya berbentuk
undang-undang. Dalam undang-undang tersebut tidak memuat ketentuan-ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu
dibuat berdasarkan keadaan hukum yang sungguh-sungguh, dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah
yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.
45. Aristoteles : 2 macam keadilan, yaitu : keadilan distributif dan keadilan komutatif.
46. Keadilan distributif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang bagian menurut jasanya masing-masing, tidak
menuntut agar setiap orang mendapatkan bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan kesebandingan.
47. Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya dengan tanpa mengingat jasa-jasa
perseorangan (Apeldoorn, 1971 : 24 – 25).
48. Keadilan distributif (distributive justice = justitia distributiva) lebih menguasai hubungan antara masyarakat atau pemerintah
dengan rakyatnya. contoh: Pasal 27 UUD 1945, yang berbunyi:
i. Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
ii. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
iii. Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
49. Keadilan komutatif (commutative justice = justitia commutativa) lebih menguasai hubungan antara perseorangan, hubungan
antara orang yang satu dengan yang lain. contoh: adalah hubungan-hubungan hukum yang bersifat keperdataan, misalnya
perjanjian jual-beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar, dan lain sebagainya. Harus ada persamaan antara apa
yang diberikan oleh pihak yang satu dengan apa yang akan diterima dari pihak lain.
50. Keadilan komutatif harus merupakan suatu perimbangan yang bersifat timbal balik atau bersifat timbal balik yang proporsional
(proportionate reciprocity). Pertukaran harus sama nilainya, mengingat keadilan komutatif lebih menguasai hubungan
keperdataan. keadilan komutatif sering disebut keadilan niaga (commercial justice). Keadilan komutatif bermaksud
memelihara ketertiban dan kesejahteraan masyarakat.
51. Hubungan antara “keadilan” (justice) dengan “persamaan” (equality) adalah bahwa persamaan merupakan unsur yang paling
penting dari keadilan. Persamaan berurusan dengan hubungan antar dua manusia atau lebih, di mana perlakuan yang tidak sama
antara mereka akan menghasilkan ketidakadilan.
52. Persamaan di sini tidak harus selamanya berarti “sama rata”, tetapi tergantung kondisi dan kualifikasi masing-masing individu
yang disebut juga “persamaan yang proporsional” (proportionate equality), yang artinya setiap orang yang diklasifikasikan ke
dalam kategori yang sama untuk suatu maksud tertentu, harus diperlakukan secara sama pula. Misalnya, jika yang dapat
diberikan hak pilih adalah orang yang cukup umur dan warga negara Indonesia, maka setiap warga negara Indonesia yang
sudah cukup umur masing-masing harus diberikan satu suara.
53. Dalam dunia hukum, banyak istilah “persamaan” yamg diungkapkan sesuai dengan penekanan dari masing-masing
penggunaannya. Untuk itu, ditemukan istilah-istilah sebagai berikut :
 Persamaan dal am hukum (equality before the law);
 Manusia diciptakan sama (all men are created equal);
 Persamaan antara sesama manusia (equality of men);
 Perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection of law).
54. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam kualifikasi berbeda, justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi,
kualifikasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu keadilan. Siapapun yang dapat memenuhi
kualifikasi yang sama, harus diberikan hak yang sama pula. Di situlah terletak keadilan.
55. Tujuan hukum adalah menjamin tercapainya kebahagiaan sebesar-besarnya untuk jumlah orang yang sebanyak-banyaknya.
Penganut teori utilitis antara lain adalah Jeremy Bentham, hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi
orang, tetapi mengingat apa yang berfaedah bagi orang yang 1 mungkin merugikan orang lain.(Utrecht, 1961 : 27).
56. Kaidah hukum : Sebagai peraturan hidup yang sengaja dibuat atau yang tumbuh dari pergaulan hidup dan selanjutnya
dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara.
57. Kaidah hukum bertujuan : melindungi dan memenuhi segala kepentingan hidup manusia dalam hidup bermasyarakat.
58. Fungsi khusus kaidah hukum dalam hubungannya dengan ketiga kaidah sosial lain : memberikan perlindungan secara lebih
tegas terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang telah maupun yang belum dilindungi oleh ketiga kaidah sosial tsb.
59. Dilihat dari segi isinya, kaidah hukum dapat berisi perintah /suruhan (hukum tata negara), perkenan/ perbolehan (perdata), dan
larangan (pidana).
60. Tidak setiap peraturan hukum merupakan kaidah hukum ( Satjipto Rahardjo ).
61. Untuk memastikan, apakah di situ kita menjumpai suatu norma hukum atau tidak, keduanya (perintah / larangan) bisa dipakai
sebagai ukuran (Zevenbergen).
62. Beberapa peraturan yang tidak mengandung norma hukum : Peraturan-peraturan yang termasuk ke dalam hukum acara, yang
berisi rumusan-rumusan pengertian yang dipakai dalam suatu kitab hukum, yang memperluas, membatasi atau merubah isi dari
peraturan lain, yang hanya menunjuk kepada peraturan lain.
63. Menurut sifatnya, kaidah hukum ada 2 : Kaidah hukum yang bersifat memaksa / imperatif, yaitu peraturan hukum yang secara a
priori mengikat dan harus dilaksanakan, tidak memberikan wewenang lain selain apa yang telah diatur dalam UU. Kaidah
hukum yang bersifat pelengkap / subsidair / dispositif, yaitu peraturan hukum yang tidak secara a priori mengikat, yang
sifatnya boleh digunakan boleh tidak, peraturan hukum yang baru berlaku apabila dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak
ada sesuatu hal yang tidak diatur (jadi bersifat mengisi kekosongan hukum). Biasanya peraturan hukum yang berisi perkenan
atau perbolehan bersifat fakultatif.
64. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang ”Perkawinan”. Pasal 8 (larangan), Pasal 16 (perintah), Pasal 29 ayat 1 (perkenan),
Pasal 31 (pernyataan hipotetis).
65. Masyarakat adalah kelompok manusia terorganisasi, yang mempersatukan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya baik selaku makhluk pribadi maupun makhluk sosial.
66. Yang mempersatukan diantara anggota masyarakat adalah sama, yaitu adanya kebersamaan tujuan.
67. Masyarakat terbentuk, apabila sedikitnya ada dua orang atau lebih yang hidup bersama, mereka saling berhubungan, saling
pengaruh-mempengaruhi, saling tergantung dan saling terikat satu sama lain.
68. Dalam hidup bermasyarakat antara ego (manusia yang beraksi) selalu berinteraksi dengan alter (manusia yang bereaksi),
hubungan tersebut disebut interaksi sosial.
69. Ciri-ciri interaksi sosial, yaitu: minimal ada dua orang, dalam interaksi menggunakan bahasa yang saling dimengerti, dalam
kurun waktu yang cukup lama, artinya tidak hanya sesaat, adanya tujuan-tujuan tertentu yang mempersatukan.
70. Hubungan suami istri adalah hubungan hukum yang memenuhi kriteria suatu hubungan kemasyarakatan.
71. Keluarga dianggap sebagai bentuk masyarakat yang terkecil yang terjadi dengan disengaja dan direncanakan.
72. Bentuk masyarakat yang sengaja dibentuk oleh para anggotanya atas dasar kepentingan tertentu disebut masyarakat budidaya.
73. Masyarakat merdeka, yang meliputi masyarakat alam dan masyarakat budidaya.
74. Masyarakat paksaan, yang terjadi karena ada pihak-pihak tertentu atau eksternal yang sengaja membentuknya, contoh
masyarakat tawanan dan negara.
75. Dilihat dari besar-kecilnya dan dasar hubungan kekeluargaannya, masyarakat dibedakan menjadi: keluarga inti (nuclear
family), keluarga luas (extended family), suku dan bangsa.
76. Dilihat dari dasar sifat hubungannya erat atau tidak, masyarakat dibedakan menjadi: masyarakat paguyuban (Gemeinschaft)
yaitu hubungan diantara para anggotanya didasarkan pada rasa guyub sehingga menimbulkan ikatan batin tanpa
memperhitungkan untung dan rugi (keluarga); masyarakat patembayan (Gesselschaft) yaitu yang hubungan diantara para
anggotanya sudah memperhitungkan untung dan rugi, atau mereka disatukan karena mempunyai tujuan untuk mencari
keuntungan material (PT, Firma).
77. Dilihat dari dasar perikehidupannya atau kebudayaannya, masyarakat dibedakan menjadi: masyarakat primitif dibedakan
dengan masyarakat modern, masyarakat desa dibedakan dengan masyarakat kota, masyarakat teritorial yang terbentuk karena
mempunyai tempat tinggal yang sama, masyarakat genealogis disatukan karena mempunyai pertalian darah, masyarakat
teritorial genealogis yang terbentuk karena diantara para anggotanya mempunyai pertalian darah dan secara kebetulan juga
bertempat tinggal dalam satu daerah.

Kaidah/norma sosial adalah pedoman tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat, yang fungsinya melindungi
kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai mahluk sosial dengan jalan menertibkan.

Kaidah sosial sifatnya tidak hanya menggambarkan (deskriptif) dan menganjurkan (preskriptif), tetapi sifatnya
mengharuskan (normatif).

3 macam kaidah sosial, yaitu : kaidah kesusilaan, kesopanan dan hukum (Mochtar Kusumaatmadja,1980).

3 macam kaidah sosial menurut Satjipto Rahardjo (1982 : 15): Kaidah/tatanan kebiasaan, hukum, kesusilaan.

Kaidah/tatanan kebiasaan sebagai tatanan yang dekat sekali dengan kenyataan, artinya apa yang biasa dilakukan orang-
orang setelah melalui pengujian keteraturan dan keajegan akhirnya menerimanya sebagai kaidah kebiasaan.

Kaidah/tatanan hukum, juga berpegang pada kenyataan sehari-hari tetapi sudah mulai menjauh, namun proses
penjauhannya belum berjalan secara seksama.

Kaidah/tatanan kesusilaan adalah sama mutlaknya dengan tatanan kebiasaan, dengan kedudukan yang terbalik. Kalau
tatanan kebiasaan mutlak berpegang pada kenyataan tingkah laku orang-orang, maka kesusilaan berpegang pada ideal
yang harus diwujudkan dalam masyarakat.

4 macam kaidah menurut Soerjono Soekanto (1980 : 67-68) : Kaidah agama, kesopanan, kesusilaan, hukum.

Kaidah agama adalah sebagai peraturan hidup yang oleh para pemeluknya dianggap sebagai perintah dari Tuhan,
Kaidah agama berisi perintah-perintah, larangan-larangan, dan anjuran-anjuran, yang memberi tuntutan hidup kepada
manusia agar mendapatkan kedamaian hidup di dunia dan akhirat.

Kaidah kesusilaan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada rasa kesusilaan dalam masyarakat dan berbagai
pendukungnya adalah hati nurani manusia itu sendiri.

Kaidah kesopanan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber pada kepatutan, kebiasaan, atau kesopanan dalam
masyarakat. Kaidah kesopanan dapat menjadi hukum kebiasaan. Kaidah kesopanan dinamakan pula kaidah sopan
santun, tata krama, atau adat.

Kaidah hukum adalah peraturan hidup yang sengaja dibuat atau yang timbul dari pergaulan hidup dan selanjutnya
dipositifkan secara resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara.
Seseorang yang melanggar larangan-larangan yang berlaku di dalam masyarakat dapat dikenakan dua macam sanksi,
yakni sanksi hukum dan sanksi sosial.

Kaidah hukum memberikan perlindungan terhadap kepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga kaidah
sosial yang lain. Contoh : masuk di Perguruan Tinggi Negeri harus melalui seleksi, setiap orang yang mengendarai
kendaraan bermotor harus membawa STNK dan SIM.

Pasal 8

”Perkawinan dilarang antara dua orang yang memiliki hubungan darah, semenda, susuan.

1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;


2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan
saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;
3) berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapak tiri;
4) berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
5) berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang
suami beristeri lebih dari seorang;
6) yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”

Pasal 16

1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ketentuan-ketentuan


dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi.
2) Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam
peraturan perundang-undangan.

Pasal 29 ayat (1)

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Pasal 31

1. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai