Anda di halaman 1dari 8

Nama: Joharlan Hutagalung

Nim: 197005181

Matakuliah: Sosiologi Hukum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA S2 ILMU HUKUM

UJI MATERI SOSIOLOGI HUKUM

1. JELASKAN MENGAPA SOSIOLOGI HUKUM DISEBUT ILMU YANG BERDIRI


SENDIRI!
2. JELASKAN BAGAIMANA KETRKAITAN ILMU SOSIOLOGI HUKUM DENGAN
FILSAFAT HUKUM!
3. JELASKAN MELIPUTI APA SAJA UNSUR-UNSUR SISTEM HUKUM!
4. JELASKAN MENGAPA ORANG PATUH PADA HUKUM MENURUT SOSIOLOGI
HUKUM!
5. JELASKAN DIMANA WUJUD PERKEMBANGAN HUKUM DAPAT DILIHAT
DAN SEBUTKAN APA HUBUNGANNYA DENGAN PEMBANGUNAN HUKUM!
6. JELASKAN APAKAH SEBABNYA NEGARA BERHAK MENGHUKUM
SESEORANG!
7. JELASKAN SATU PERSATU EMPAT MACAM HAK YANG TERSEBUT
DIBAWAH INI:
a) HAK DALAM ARTI SEMPIT
b) KEBEBASAN-KEBEBASAN (LIBERTIES)
c) KEKUASAN (POWER)
d) KEKEBALAN (IMMUNITIES)
8. SALAH SATU PANDANGAN DALAM CRITICAL LEGAL STUDI “BAHWA
HUKUM ADALAH POLITIK” JELASKAN MAKSUDNYA!
9. JELASKAN APA YANG MENJADI LAPANGAN KAJIAN DARI SOSIOLOGI
HUKUM!
Jawab:

1. Karena Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis. Soiologi Hukum
Sebagai Ilmu Pada lahirnya sosiologi hukum dipengaruhi oleh 3 (tiga) disiplin ilmu yaitu:

a. Filsafat hukum

Konsep yang dilahirkan oleh aliran positivisme (Hans Kelsen) yaitu “stufenbau des recht”
atau hukum bersifat hirarkis artinya hukum itu tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang
lebih atas derajatnya. Dimana urutannya yaitu :

 Grundnorm (dasar social daripada hukum)

 Konstitusi

 Undang-undang dan kebiasaan

 Putusan badan pengadilan

b. Ilmu Hukum

Yang mendukung ilmu soiologi hukum adalah ilmu hukum yang menganggap bahwa
hukum itu adalah gejala social.

c. Sosiologi yang berorientasi dibidang hukum

Menurut Emile Durkhain mengungkapkan bahwa dalam masyarakat selalu ada solideritas
social yang meliputi :

 Solideritas social mekanis yaitu terdapat dalam masyarakat sederhana dimana kaidah
hukumnya bersifat represif (yang diasosiasikan dalam hukum pidana)

 Solideritas social organis yaitu terdapat dalam masyarakat modern dimana kaidah
hukumnya bersifat restitutif (yang diasosiasikan dalam hukum perdata).

Max Weber dengan teori ideal type, mengungkapkan bahwa hukum meliputi :

 Irasionil materil (pembentuk undang-undang mendasarkan keputusan-


keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa menunjuk pada suatu
kaidahpun)

 Irasionil formal (pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman pada kaidah-


kaidah diluar akan, oleh karena didasarkan pada wahyu atau ramalan)
 Rasional materil (keputusan-keputusan para pembentuk undang-undnag dan
hakim menunjuk pada suatu kitab suci, kebijaksanaan-kebijaksanaan penguasa
atau ideologi)

 Rasional formal (hukum dibentuk semata-mata atas dasar konsep-konsep abstrak


dari ilmu hukum)
2. Kaitan Ilmu Sosiologi Hukum dengan Filsafat Hukum: Filsafat hukum adalah
cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia
ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan
masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal
kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan
berbagai macam lembaga hukum. filsafat adalah merupakan suatu renungan yang
mendalam terhadap suatu objek untuk menumukan hakeket yang sebenarnya, bukan
untuk mencari perpecahan dari suatu cabang ilmu, sehingga muncul cabang ilmu baru
yang mempersulit kita dalam mencari suatu kebanaran dikarenakan suatu pertentangan
sudut pandang. Sosiologi hukum adalah merupakan suatu disiplin ilmu dalam ilmu
hukum yang baru mulai dikenal pada tahun 60-an. Kehadiran disiplin ilmu sosiologi
hukum di Indonesia memberikan suatu pemahaman baru bagi masyarakat mengenai
hukum yang selama ini hanya dilihat sebagai suatu sistem perundang-undangan atau yang
biasanya disebut sebagai pemahaman hukum secara normatif. Lain halnya dengan
pemahaman hukum secara normatif, sosiologi hukum adalah mengamati dan mencatat
hukum dalam kenyataan kehidupan sehari-hari dan kemudian berusaha untuk
menjelaskannya. Sosiologi Hukum sebagai ilmu terapan menjadikan Sosiologi sebagai
subyek seperti fungsi sosiologi dalam penerapan hukum, pembangunan hukum,
pembaharuan hukum, perubahan masyarakat dan perubahan hukum,dampak dan
efektivitas hukum, kultur hukum.

3. Unsur-unsur Sitem Hukum Indonesia:


a. Peraturan yang mengatur tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat
b. Peraturan yang ditetapkan oleh badan-badan resmi Negara
c. Peraturan yang bersifat memaksa
d. Peraturan yang memiliki sanksi yang tegas
4. Dalam konteks kepatuhan hukum didalamnya ada sanksi positif dan negatif, ketaatan
merupakan variable tergantung, ketaatan hukum tersebut didasarkan kepada kepuasan
diperoleh dengan dukungan sosial. Menurut Satjipto Rahardjo ada 3 faktor yang
menyebabkan masyarakat mematuhi hukum:
a. Compliance, kepatuhan yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha
untuk menghidarkan diri dari hukuman yang mungkin dikenakan apabila seseorang
melanggar ketentuan hukum. Adanya pengawasan yang ketat terhadap kaidah hukum
tersebut.
b. Identification, terjadi bila kepatuhan terhadap kaidah hukum ada bukan karena nilai
intrinsiknya, akan tetapi agar keanggotaan kelompok tetap terjaga serta ada hubungan
baik dengan mereka yang diberi wewenang untuk menerapkan kaidah kaidah hukum
tersebut.
c. Internalization, seseroang mematuhi kaidah kaidah hukum dikarenakan secara
intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isinya sesuai dengan nilai nilainya dari
pribadi yang bersangkutan.

5. Wujud Perkembangan Hukum dapat dilihat dari berbagai Aspek yaitu:

a. Kesadaran Hukum (Legal Awareness)

Kesadaran hukum itu kiranya dapat dirumuskan sebagai kesadaran yang ada pada
setiap manusia tentang apa hukum itu atau apa hukum itu, suatu kategori tertentu dari
hidup kejiwaan kita yang membedakan antara hukum dan tidak hukum (on recht) antara
yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi
abstrak didalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang
dikehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering dikaitkan dengan pentaatan
hukum, pembentukan hukum, dan efektivitas hukum. Kesadaran hukum merupakan
kesadaran nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada. Kesadaran
berasal dari kata sadar. yang berarti insaf, merasa, tahu atau mengerti . Menyadari berarti
mengetahui, menginsafi, merasai. Kesadaran berarti keinsafan, keadaan mengerti, hal
yang dirasakan atau dialami oleh seseorang. Kesadaran hukum dapat berarti adanya
keinsyafan, keadaan seseorang yang mengerti betul apa itu hukum, fungsi dan peranan
hukum bagi dirinya dan masyarakat sekelilingnya.Kesadaran hukum itu berarti juga
kesadaran tentang hukum, kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan
manusia yang menyadari bahwa manusia mempunyai banyak kepentingan yang
memerlukan perlindungan hukum. Kesadaran hukum perlu dibedakan dari perasaan
hukum. Kalau perasaan hukum itu merupakan penilaian yang timbul secara serta merta
(spontan) maka kesadaran hukum merupakan penilaian yang secara tidak langsung
diterima dengan jalan pemikiran secara rasional dan berargumentasi. Sering kesadaran
hukum itu dirumuskan sebagai resultante dari perasaan-perasaan hukum di dalam
masyarakat. Jadi kesadaran hukum tidak lain merupakan pandangan-pandangan yang
hidup dalam masyarakat tentang apa hukum itu. Pandangan-pandangan hidup dalam
masyarakat bukanlah semata-mata hanya merupakan produk dari pertimbangan-
pertimbangan menurut akal saja, akan tetapi berkembang di bawah pengaruh beberapa
faktor seperti agama, ekonomi, politik dan lain sebagainya.

b. Kepatuhan Hukum (Legal Obidience)

Kepatuhan berasal dari kata patuh, yang berarti tunduk, taat dan turut. Mematuhi
berarti menunduk, menuruti dan mentaati. Kepatuhan berarti ketundukan,ketaatan
keadaan seseorang tunduk menuruti sesuatu atau sesorang. Jadi, dapatlah dikatakan
kepatuhan hukum adalah keadaan seseorang warga masyarakat yang tunduk patuh dalam
satu aturan main (hukum) yang berlaku. Menurut penulis, Kepatuhan hukum adalah
ketaatan pada hukum, dalam hal ini hukum yang tertulis. Kepatuhan atau ketaatan ini
didasarkan pada kesadaran. Hukum dalam hal ini hukum tertulis atau peraturan
perundang-undangan mempunyai pelbagai macam kekuatan, kekuatan berlaku atau
“rechtsgeltung”. Kalau suatu undang-undang itu memenuhi syarat-syarat formal atau
telah mempunyai kekuatan secara yuridis, namun belum tentu secara sosiologis dapat
diterima oleh masyarakat, ini yang disebut kekuatan berlaku secara sosiologis. Masih ada
kekuatan berlaku yang disebut filosofische rechtsgetung, yaitu apabila isi undang-undang
tersebut mempunyai ketiga kekuatan berlaku sekaligus. Kepatuhan merupakan sikap yang
aktif yang didasarkan atas motivasi setelah ia memperoleh pengetahuan. Dari mengetahui
sesuatu, manusia sadar, setelah menyadari ia akan tergerak untuk menentukan sikap atau
bertindak. Oleh karena itu dasar kepatuhan itu adalah pendidikan, kebiasaan,
kemanfaatan dan identifikasi kelompok. Jadi karena pendidikan, terbiasa, menyadari akan
manfaatnya dan untuk identifikasi dirinya dalam kelompok manusia akan patuh.

6. Dasar mengikatnya hukum bagi Negara yang dapat menghukum seseorang terkait
dengan wewenang Negara untuk menghukum warganya yang melanggar hukum, dan
mengakibatkan goncangan dalam masyarakat, membahayakan masyarakat serta
meruntuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Membahas tentang dasar kekuatan
mengikat dari hukum sebagai jawaban atas pertanyaan, apakah sebabnya negara berhak
menghukum seseorang?. Kita mengenal berbagai teori kedaulatan sebagaimana diatas
tersebut, maka seseorang dapat dilihat sebab mengapa mereka tunduk dan taat hukum.

Adapun jawaban berbagai teori kedaulatan adalah sebagai berikut:


a. Teori Kedaulatan Tuhan ( Teokrasi), mencoba menjawab orang dapat dihukum karena
dia dapat merusak dan membahayakan serta meruntuhkan sendi-sendi kehidupan
masyarakat. Negara adalah badan yang mewakili Tuhan (Allah) didunia yang mempunyai
kekuasaan penuh untuk menyelenggarakan ketertiban hokum di dunia.[1]
b. Teori Perjanjian Masyarakat, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negara
mempunyai otoritas negara yang bersifat monopoli pada kehendak masyarakat itu sendiri
adanya kedamaian serta ketentraman dalam masyarakat.
c. Teori Kedaulatan Negara, mencoba menjawab orang dapat di hukum karena negaralah
yang berdaulat sehingga hanya negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang
yang melanggar ketertiban dalam masyarakat. Negara dianggap sebagai sesuatu yang
mencipatakan peraturan-peraturan hukum.
Menurut Lili Rasjidi, negara memiliki tugas yang sangat berat, mewujudkan cita-
cita bangsa, sehingga negara akan memberi hukuman kepada siapapun yang menghambat
usaha mencapai cita-cita tersebut. Karena Negara yang memiliki kedaulatan , maka hanya
negara itu sendiri yang berhak menghukum seseorang yang mencoba mengganggu
ketertiban dalam masyarakat. Negara yang menciptakan hukum , jadi segala sesuatu
harus tunduk pada Negara. Adanya hukum karena adanya Negara . Hukum sendiri
sebenarnya juga kekuasaan. Dalam kaitan ini , van Aveldoorn membagi menjadi 2 yaitu:
a. Hukum obyektif – Kekuasaan yang bersifat mengatur. Dengan kata lain Hukum
merupakan salah satu sumber kekuasaan.
b. Hukum subyektif – kekuasaan yang diatur oleh hukum obyektif. Hukum merupakan
pembatas kekuasaan guna menghindari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam hubungan ini tersimpul kekuasaan untuk dipergunakan oleh Negara yang
berarti bahwa setiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam
menyelesaikan tindak pidana (perbuatan melanggar hukum = delik). Hak-hak Negara
untuk menghukum seseorang dalam arti subyektif (Ius Poeniendi), yaitu sejumlah aturan
yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang
dilarang. Hak untuk menghukum itu terdiri atas :
1. Hak untuk mengancam perbuatan dengan hukuman. Hak ini terutama terletak pada
negara. Ancaman hukuman ini adalah misalnya seperti apa yang tercantum pasal 62
KUHP.
2. Hak untuk menjatuhkan hukuman, yang juga diletakkan pada alat-alat kelengkapan
negara.
3. Hak untuk melaksanakan hukuman, yang juga diletakkan pada alat-alat kelengkapan
negara.

Dalam hal ini terdapat hubungan antara Ius Poenale dengan Ius Poniendi, yaitu
Ius Poniendi adalah hak negara untuk menghukum yang bersandar pada Ius Poenale,
sehingga hak untuk menghukum itu baru timbul, setelah di dalam Ius Poenale ditentukan
perbuatan yang dapat dihukum. Jelaslah dengan ini, bahwa negara tidak dapat
menggunakan haknya itu dengan sewenang-wenang, karena dibatasi oleh Ius Poenale.
Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa hak negara untuk memidanakan atau
menjatuhkan hukuman haruslah berdasarkan Hukum Pidana Materil dan adanya Hukum
Pidana Formil / KUHAP adalah untuk memungkinkan berlakunya Hukum Pidana secara
benar dan tidak sewenang-wenang. Negara hukum yang berdasarkan Rule of Law tidak
boleh hanya memiliki KUHAP yang menjamin Hak-hak azasi manusia belaka, namun
harus juga mempunyai KUHP dan/atau Hukum Pidana tertulis dan tidak tertulis lain,
yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip rule of law (prinsip asas negara hukum).
Adalah suatu kenyataan bahwa dibeberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan-
ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum ditempat-
tempat yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum patut
dipidana.

7. Macam-macam Hak:
a. Hak dalam Arti Sempit
Hak dalam Arti Sempit menurut ahli John Salmond adalah hak yang
didapatkan seseorang dengan syarat melakukan suatu kewajiban tertentu.
b. Kebebasan (liberties)
Kebebasan secara umum dimasukan dalam konsep dari filosofi politik dan
mengenali kondisi di mana individu memiliki kemampuan untuk bertindak sesuai
dengan keinginannya. Individualis dan konsepsi liberal dari kebebasan
berhubungan dengan kebebasan dari individual dari luar keinginan; sebuah
prespektif sosialis, di sisi lain, mempertimbangkan kebebasan sebagai distribusi
setara dari kekuasaan, berpendapat kalau kebebasan tanpa kesamaan jumlah
ke dominasi dari yang paling berkuasa.
c. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok
guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang
diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang
diperoleh[1] [2] atau kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi
tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku
(Miriam Budiardjo,2002) atau Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi
pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).Dalam pembicaraan umum, kekuasaan
dapat berarti kekuasaan golongan, kekuasaan raja, kekuasaan pejabat negara.
Sehingga tidak salah bila dikatakan kekuasaan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan
tersebut. Robert Mac Iver mengatakan bahwa Kekuasaan adalah kemampuan
untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan jalan
memberi perintah / dengan tidak langsung dengan jalan menggunakan semua alat
dan cara yg tersedia. Kekuasaan biasanya berbentuk hubungan, ada yg
memerintah dan ada yg diperintah. Manusia berlaku sebagai subjek sekaligus
objek dari kekuasaan. Contohnya Presiden, ia membuat UU (subyek dari
kekuasaan) tetapi juga harus tunduk pada Undang-Undang (objek dari
kekuasaan).
d. Kekebalan (Immunities)
Kekebalan hukum atau Hak Imunitas adalah status hukum yang membuat
seseorang atau suatu entitas tidak dapat ditindak secara hukum. Kekebalan ini
dapat berupa kekebalan dari dakwaan pidana atau dari tanggung jawab perdata,
atau keduanya. Contohnya adalah kekebalan diplomatik dan kekebalan saksi.

8. Pokok-pokok pemikiran critical legal studies yaitu Hukum mencari legitimasi yang salah
Dibelenggu oleh kontradiksi-kontradiksi, Tidak ada Prinsip dasar dalam hukum; dan
Hukum tidak netral. Perkembangan critical legal studies digunakan untuk memahami
kebijakan dan struktur hukum yang menindas. Adapun kelebihan lain dari critical legal
studies adalah perhatiannya yang sangat besar terhadap pengakuan individu sebagai
subyek kehendak utama dalam tatanan sosial. Kelemahan sifat asli pemikiran kritis yang
selalu dalam dirinya sendiri melakukan dekonstruksi sehingga perubahan dan gejolak
selalu terjadi.

9. Lapangan Kajian dari Sosiologi Hukum:


a. Mengkaji hukum dalam wujudnya menurut istilah Donald Black (1976:2-4)
sebagai government social control.[2] Dalam kaitan ini, sosiologi hukum
mengkaji hukum sebagai seperangkat kaidah khusus yang berlaku serta
dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal
ini hukum dipandang sebagai dasar rujukan yang digunakan oleh pemerintah
disaat pemerintah melakukan pengendalian terhadap perilaku warga
masyarakatnya, yang bertujuan agar keteraturan dapat terwujud.
b. Dalam kaitan pengendalian social tersebut, oleh Sosiologi hukum dikaji
sosialisasi, yaitu suatu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat
sebagai makhluk social yang menyadari eksistensi berbagai kaidah social yang
ada di masyarakat mencakup kaidah hukum, kaidah moral, kaidah agama, dan
kaidah social lainnya, dan dengan kesadaran tersebut diharapkan warga
masyarakat menaatinya. Berkaitan dengan itu maka tampaknya sosiologi
memandang sosialisasi sebagai proses yang mendahului dan menjadi prakondisi,
sehingga memungkinkan pengendalian social dilaksanakan secara efektif.
c. Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Perlu diketahui disini,
bahwa stratifikasi yang menjadi bahasan sosiologi hukum bukanlah stratifikasi
hukum, misalnya dalam konsep Hans Kelsen dengan gurndnorm teorinya,
melainkan stratifikasi yang dapat ditemukan dalam suatu system kemasyaratan.
Dalam hal ini dibahas bagaimana dampak adanya stratifikasi social itu terhadap
hukum dan pelaksanaan hukum. Meskipun secara normatif, hukum senantiasa
dipandang sebagai “tanpa pandang bulu” dalam memberlakukan aturan-
aturannya, sehingga lahir pameo equal justice under law (semua orang sama
kedudukannya di bawah hukum.

Anda mungkin juga menyukai