DISUSUN OLEH :
NIM : 002302532020
PROGRAM PASCASARJANA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Teori Hukum Progresif di Indonesia................... 3
B. Keterkaitan Teori Hukum Progresif dan Teori Hukum
Lainnya....................................................................................... 4
C. Penerapan Potensi Penyimpangan dan Penyalahgunaan
Teori Hukum Progresif............................................................... 6
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum merupakan suatu keharusan yang dijalankan negara dalam melindungi
warganya, karena penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya adalah
bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana diwujudkan
melalui suatu kebijakan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional. Hal
ini melibatkan berbagai unsur dalam negara, mulai dari pembuat undang-undang, aparat
penegak hukum, sampai warga negara. Fokus pembahasan makalah ini adalah
bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan,
dan faktor apakah yang dapat menunjang penerapan kebijakan penegakan hukum pidana
terhadap penanggulangan kejahatan. Pembahasan makalah ini terdiri dari empat poin
utama, yaitu kebijakan penegakan hukum, faktor perundang-undangan, faktor penegak
hukum, dan faktor budaya hukum masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa kebijakan
penegakan hukum pidana dapat dimulai dengan pembentukan produk hukum yang tepat
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi penegakan
hukum dapat bersumber dari perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan budaya
hukum masyarakat.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :
BAB II
PEMBAHASAN
2
masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini
tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya.
Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normatif, administratif dan sosial.
Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan
pidana, ialah :
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).
3
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of
justice”
2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana
Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-
cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses
hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-
aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.
Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia
menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia
untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar
pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam
setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka
pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari
dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain
harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga
harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga
masyarakat
4
juga merupakan suatu kerangka berpikir yang baru yang dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.
1. Tony F. Marshall
a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat
5
b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk
pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada
umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan
terjadinya kejahatan
e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat
dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian
kasusnya.
2. Mark Umbreit
3. Cornier
6
mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat
kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan
re-integrasi, serta pencegahan penderitaan di masa datang.
Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran
terhadap manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan
melalui:
3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.
1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui
sebagai konflik
2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan
7
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama
8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian
hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab
10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis
Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling
mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam
memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha
yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi
dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki
luka-luka mereka.
Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi
meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini
bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan
untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya. Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut
tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan
perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku
pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian
bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan
hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses
pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian
masalahnya.
9
semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan atau kita kenal dengan istilah “penyelesaian di
luar pengadilan”.
1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang
bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
10
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan
aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.
6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.
7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.
11
1. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau
Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara
2. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang
memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.
Dari kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif, dalam
pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai
mekanisme penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai
filosofis pemidanaan baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya
berbeda dari jenis pidana konvensional yang dikenal selama ini.
Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restorative, proses dialog
antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan
keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat
mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-
hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses
dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari
kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang
12
dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut
serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau
pelaksanaannya. Dari nilai dasar inilah keadilan restorative sebagai implementasi dari
niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat.
Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang
jelas.
Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court
Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam
salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah
satu bentuk, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana.
Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan
dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang
ringan. Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian
perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku,
restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya
dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem
formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda.
Melihat permasalahan yang dihadapi oleh kedua lembaga penegak hukum baik
formal dan non formal pendekatan keadilan restorative menghadapi hambatan. Menurut
mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL bahwa hambatan
dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada
sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan
13
tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus
karena perdamaian.
1) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh
seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu
kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni
keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan
polisi melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian
yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku
maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian
melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan
dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya
damai tersebut ditempuh.
2) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya.
Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun
2004 dan 3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di
Pengadilan Negeri Bitung di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk
semuanya diputus dengan pidana denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat
memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian
suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan
hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan
utama.
14
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus
sebanyak 423 (clearance rate 75,13 %). Sedangkan pada tahun 2012 jumlah tindak
pidana yang terjadi sebanyak 2.659 kejadian dan tindak pidana yang diselesaikan (crime
clearance) adalah sebanyak 1.391, dengan clearance rate adalah 52,31%. Dari 2.659
kasus yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 364 kasus
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus
sebanyak 261 kasus (cleareance rate 71,7 %). Berdasarkan data statistik kriminal di atas,
terlihat bahwa jumlah perkara pidana yang dilakukan oleh anak yang ditangani oleh
Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda cukup tinggi dengan rata-rata 20% dari
seluruh jumlah kasus yang ditangani, dalam penyelesainnya pun cukup tinggi dengan
rata-rata penyelesaian sebesar 73%. Dalam proses penyelesaian kasus, baik pelaku
maupun korban cenderung memilih penerapan konsep restorative justice dengan jalan
kesepakatan untuk berdamai dari pada harus melalui jalur pengadilan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :
a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator
dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
15
b) Conferencing yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan
korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary
victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat
pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin
terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi
atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari
musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan
keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.
c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya
korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang
merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.
Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut
pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.
2. Penegak hukum khususnya polisa harus bekerja sama dengan lembaga adat atau
polisi adat yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi
atau aturan hukum yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi
diterapkan.
16
4. Jika pendekatan restorative diimplemantasikan maka sesuai dengan ide kesimbangan
yang ada di RUU KUHP, oleh karena itu perlu didorong pendekatan penanganan
tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan
pendekatan restorative justice dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
DAFTAR PUSTAKA
Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group.
Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Gadjah Mada
Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung.
Barda Nawawi Arief, 2008. Restoratif Justice: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister Semarang
17
Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. Depok:
Indie Publishing.
Eko Soponyono. 2012. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban.
Semarang.: Publikasi MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012
Eva Achjani Zulfa. 2010 Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia. Publikasi :
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010
G. Widiartana. 2011. Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dengan Hukum Pidana. Publikasi : Ringakasan Disertasi Universitas Diponegoro. Semarang
I made,dkk,.. 2011. Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Publikasi : Bali, Universitas Udayana
Muladi. 2012. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana. Publikasi : Jurnal : Seminar Nasional
Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Ke-59. Jakarta
Nugraheni. 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang:
Undip.
Sri Rahmi, 2013.Makalah. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Kota
Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Makassar: Universitas Hassanudin
Sukanegara. 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem emidanaan di Indonesia.
Semarang: Universitas diponegoro.
www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/muladi.pdf
http://www.anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justicem,
http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html,
anak-di-Indonesia
http://Kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/artikel-tentang diversi-dalam-sistem.html
18
19