Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN


PIDANA INDONESIA

DISUSUN OLEH :

NAMA : ANDI REVANI OKTAVIANI PALLOGE

NIM : 002302532020

DOSEN : PROF. DR. H. HAMBALI THALIB, SH.,MH.

PROGRAM PASCASARJANA

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan menyebut nama  Allah SWT yang Maha Pengasih lagi


Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya,
yang melimpah kan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “KEBIJAKAN
PENEGAKAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
”.

Kami sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang


sederhana ini kami berharap makalah ini dapat menambahkan
pengetahuan. Makalah ini dapat diselesaikan dengan baik, tak lepas dari
sumber-sumber  yang terkait dengan makalah ini. Kami pun menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Semoga makalah sederhana ini dapat di pahami bagi siapapun yang


membacanya dan makalah yang kami buat dapat memberikan informasi
bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan
peningkatan ilmu agama bagi kita semua. Sebelumnya kami mohon maaf
apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan, oleh sebab itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang telah kami buat untuk kedepannya.

Wassalamu Alaikum warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, 29 Maret 2022

Penulis
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................. i
KATA PENGANTAR........................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 2
BAB II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Teori Hukum Progresif di Indonesia................... 3
B. Keterkaitan Teori Hukum Progresif dan Teori Hukum
Lainnya....................................................................................... 4
C. Penerapan Potensi Penyimpangan dan Penyalahgunaan
Teori Hukum Progresif............................................................... 6
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 11
B. Saran............................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penegakan hukum merupakan suatu keharusan yang dijalankan negara dalam melindungi
warganya, karena penegakan hukum adalah menegakkan nilai-nilai kebenaran dan
keadilan. Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya adalah
bagian dari usaha penegakan hukum pidana. Penegakan hukum pidana diwujudkan
melalui suatu kebijakan hukum yang merupakan bagian dari politik hukum nasional. Hal
ini melibatkan berbagai unsur dalam negara, mulai dari pembuat undang-undang, aparat
penegak hukum, sampai warga negara. Fokus pembahasan makalah ini adalah
bagaimanakah kebijakan penegakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan,
dan faktor apakah yang dapat menunjang penerapan kebijakan penegakan hukum pidana
terhadap penanggulangan kejahatan. Pembahasan makalah ini terdiri dari empat poin
utama, yaitu kebijakan penegakan hukum, faktor perundang-undangan, faktor penegak
hukum, dan faktor budaya hukum masyarakat. Kajian ini berkesimpulan bahwa kebijakan
penegakan hukum pidana dapat dimulai dengan pembentukan produk hukum yang tepat
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Adapun kendala yang dihadapi penegakan
hukum dapat bersumber dari perundang-undangan, aparat penegak hukum, dan budaya
hukum masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini :

1. Bagaimana sifat keadilan restoratif secara mendalam?

2. Bagaimana implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini :

1. Mengetahui sifat keadilan restoratif secara mendalam


1
2. Mengetahui implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana
3. Memahami gagasan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana Indonesia
4. Untuk menyelesaikan salah satu tugas sstem peradilan pidana.

BAB II

PEMBAHASAN

A. SISTEM PERADILAN PIDANA

Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah


mengatur mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah
perkara pidana. Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan
yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,
hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Dalam sistem peradilan pidana
pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum pidana melibatkan badan-badan yang

2
masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri. Badan-badan tersebut yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini
tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. 

Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan
normatif, administratif dan sosial.

1. Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian,


kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari sistim penegakan hukum semata-mata.

2. Pendekatan administratif, memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu


organisasi manajeman yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat
horisontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku
dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi.

3. Pendekatan sosial, memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian


yang tidak terpisahkan dari suatu sistim sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan
ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur
penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan
adalah sistem sosial.

Lebih lanjut menurut Romli Atmasasmita, ciri pendekatan sistim dalam peradilan
pidana, ialah :

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan).

2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

3. Efektifitas sistim penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian


perkara.

3
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan “The administration of
justice”

Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana adalah :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan

2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana

3. Mengusahakan mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi


kejahatannya.

Pelaksanaan peradilan pidana, ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-
cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat
diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil atau layak. Secara keliru arti dari proses
hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya dikaitkan dengan penerapan aturan-
aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang tersangka atau terdakwa.

Pemahaman tentang proses hukum yang adil dan layak mengandung pula sikap
batin penghormatan terhadap hak-hak yang dipunyai warga masyarakat meskipun ia
menjadi pelaku kejahatan. Namun kedudukannya sebagai manusia memungkinkan dia
untuk mendapatkan hak-haknya tanpa diskriminasi. Paling tidak hak-hak untuk didengar
pandangannya tentang peristiwa yang terjadi, hak didampingi penasehat hukum dalam
setiap tahap pemeriksaan, hak memajukan pembelaan dan hak untuk disidang dimuka
pengadilan yang bebas dan dengan hakim yang tidak memihak. Konsekuensi logis dari
dianutnya proses hukum yang adil dan layak tersebut ialah sistem peradilan pidana selain
harus melaksanakan penerapan hukum acara pidana sesuai dengan asas-asasnya, juga
harus didukung oleh sikap batin penegak hukum yang menghormati hak-hak warga
masyarakat

B. PEMAHAMAN PENDEKATAN KEADILAN RESTORATIF

Keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon


pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan
pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan mekanisme yang bekerja
pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Di pihak lain, keadilan restoratif

4
juga merupakan suatu kerangka berpikir yang baru yang dapat digunakan dalam
merespon suatu tindak pidana bagi penegak dan pekerja hukum.

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling mutakhir


dari berbagai modal dan mekanisme yang bekerja dalam sistem peradilan pidana dalam
menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB melalui basic principles yang telah
digariskannya menilai bahwa pendekatan keadilan restoratif adalah pendekatan yang
dapat dipakai dalam sistem peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan
pandangan G.P Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik criminal harus rasional (a
rational total of the responses to crime). Pendekatan keadilan restorative merupakan suatu
paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana
yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang
ada saat ini.

Keadilan Restoratif menurut Lode Walgrave menyatakan bahwa restorative


justice are not “alternative to punishment” but alternative punishment. Sementara
Stephen VP Grvey menyatakan keadilan restoratif sebagai a way of responding to crime.
Meskipun dinyatakan adanya perbedaan mendasar antara konsep keadilan restorative
dengan teori pemidanaan yang ada saat ini, namun tidak sedikit yang memandang bahwa
teori ini pada dasarnya hanya melengkapi teori lain dan berhubungan dengan elemen-
elemen yang ada dalam paradigma retributif, rehabilitatif, resosialisasi sebagai paradigma
pemidanaan lainnya yang telah ada terlebih dahulu.

Untuk dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci mengenai keadilan


restoratif, berikut ini dikutip pendapat beberapa orang ahli tentang hal tersebut :

1. Tony F. Marshall

Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk


memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan
masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hokum. Selanjutnya
dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif
mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:

a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat

5
b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk
pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada
umumnya) untuk menangani kondisi-kondisi sosial yang dapat menyebabkan
terjadinya kejahatan

c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian

d. Kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk


terjadinya keterlibatan secara personal. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk
merespon fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap
kasus

e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat
dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian
kasusnya.

f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak

2. Mark Umbreit

Meskipun tidak secara tegas menyebutkan pengertiannya, menurut Mark Umbreit,


keadilan restoratif merupakan suatu cara pemikiran atau pemahaman mengenai kejahatan dan
viktimisasi yang sangat berbeda dibanding dengan paham retributif. Pada paham retributif,
negara dianggap sebagai pihak yang paling dirugikan ketika kejahatan terjadi. Oleh karena itu,
dalam proses pemidanaan, korban dan pelaku ditempatkan pada peran serta posisi yang pasif.
Sedangkan dalam pandangan keadilan restoratif, kejahatan dipahami sebagai
konflik antar individu. Oleh karena itu, mereka yang terkait lebih langsung dengan terjadinya
kejahatan, yaitu korban, pelaku dan masyarakat, harus diberi kesempatan untuk secara aktif
terlibat dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.

3. Cornier

Cornier, memberikan pengertian keadilan restoratif sebagai suatu pendekatan


untuk menegakkan keadilan yang difokuskan pada perbaikan atau pemulihan penderitaan
yang ditimbulkan oleh kejahatan. Cornier juga mengatakan bahwa dalam keadilan
restoratif ini mekanisme untuk meminta pertanggungjawaban pelaku dilakukan dengan
memberikan kesempatan kepada para pihak yaitu korban, pelaku dan masyarakat untuk

6
mengidentifikasi dan menentukan kepentingan mereka yang terkait dengan akibat
kejahatan, mengupayakan penyelesaian yang bertujuan menyembuhkan, perbaikan dan
re-integrasi, serta pencegahan penderitaan di masa datang.

Dari pendapat-pendapat tersebut di atas tampak bahwa dalam keadilan restoratif,


pelaku, korban, dan masyarakat dianggap sebagai pihak-pihak yang berkepentingan
dalam penyelesaian tindak pidana, di samping negara sendiri. Keterlibatan pihak-pihak
tersebut, khususnya pelaku, korban, dan masyarakat dalam penyelesaian tindak pidana
dianggap bernilai tinggi. Selain itu, cara pandang keadilan restoratif menuntut usaha kerja
sama masyarakat dan pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang
memungkinkan korban dan pelaku dapat melakukan rekonsiliasi konflik dan
menyelesaikan kerugian mereka dan sekaligus menciptakan rasa aman dalam masyarakat.
Meskipun demikian, keterlibatan korban dalam proses pemidanaan perlu diatur secara
hati-hati supaya tidak menimbulkan viktimisasi sekunder yang akan menambah berat
penderitaan korban setelah yang bersangkutan mengalami penderitaan akibat tindak
pidana.

Tindak pidana menurut kaca mata keadilan restoratif, adalah suatu pelanggaran
terhadap manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan
melalui:

1. Mediasi korban dengan pelanggar

2. Musyawarah kelompok keluarga

3. Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.

Secara lebih rinci Muladi menyatakan bahwa model keadlilan restoratif


mempunyai beberapa karakteristik yaitu :

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui
sebagai konflik

2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa
depan

3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi

7
4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan
utama

5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil

6. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial

7. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif

8. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian
hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab

9. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap


perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik

10. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis

11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Keadilan restoratif menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang
langsung dari para pihak. Korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara
pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam
memperbaiki kesalahan yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun
sistem nilai sosialnya. Keterlibatan komunitas secara aktif memperkuat komunitas itu
sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling
mengasihi antar sesama. Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam
memonopoli proses peradilan sekarang ini. Restorative justice membutuhkan usaha-usaha
yang kooperatif dari komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi
dimana korban dan pelaku dapat merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki
luka-luka mereka.

Keadilan restoratif mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang paling


terkenal pengaruh korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka, dan memberikan
keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative justice juga menekankan
pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali dampak dari ketidakadilan sosial
dan dalam cara-cara yang sederhana untuk mengembalikan mereka daripada secara
sederhana memberikan pelaku keadilan formal atau hukum dan korban tidak
mendapatkan keadilan apapun. Kemudian restorative justice juga mengupayakan untuk
8
merestore keamanan korban, penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting
adalah sense of control.

C. IMPLEMENTASI KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PIDANA

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti
rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi
meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini
bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat
menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan
untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya.  Misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut
tidak akan bisa mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk terus meneruskan
perkara tersebut ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku
pidana. Proses formal pidana yang makan waktu lama serta tidak memberikan kepastian
bagi pelaku maupun korban tentu tidak serta merta memenuhi maupun memulihkan
hubungan antara korban dan pelaku, konsep restorative justice menawarkan proses
pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban secara langsung dalam penyelesaian
masalahnya.

Proses pidana konvensional hanya menjadikan korban nantinya sebagai saksi


dalam tingkat persidangan yang tidak banyak mempengaruhi putusan pemidanaan, tugas
penuntutan tetap diberikan terhadap Jaksa yang hanya menerima berkas-berkas
penyidikan untuk selanjutnya diolah menjadi dasar tuntutan pemidanaan, tanpa
mengetahui dan mengerti kondisi permasalahan tersebut secara riil, dan sang pelaku
berada di kursi pesakitan siap untuk menerima pidana yang akan dijatuhkan kepadanya.
Sedangkan proses restorative justice pada dasarnya dilakukan melalui diskresi
(kebijaksanaan) dan diversi ini, merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan
pidana ke luar proses formal untuk diselesaikan secara musyawarah. Penyelesaian
melalui musyawarah sebetulnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Sebelum
pendudukan Belanda, bangsa kita sudah memiliki hukum sendiri, yaitu hukum adat.
Hukum adat tidak membedakan penyelesaian perkara pidana dengan perkara perdata,

9
semua perkara dapat diselesaikan secara musyawarah dengan tujuan untuk mendapatkan
keseimbangan atau pemulihan keadaan atau kita kenal dengan istilah “penyelesaian di
luar pengadilan”.

Istilah “penyelesaian di luar pengadilan” umumnya dikenal sebagai kebijakan


yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang memiliki wewenang untuk melakukan
beberapa hal sebagai berikut: sebagai penentu keluaran akhir dari suatu kasus sengketa,
konflik, pertikaian atau pelanggaran, namun juga memiliki wewenang melakukan
diskresi atau pengenyampingan perkara pidana yang dilakukan oleh pihak tertentu,
dilanjutkan dengan permintaan kepada pelaku agar mengakomodasi kerugian korban.
Istilah umum yang populer adalah dilakukannya “perdamaian” dalam perkara
pelanggaran hukum pidana. Keuntungan dari penggunaan “penyelesaian di luar
pengadilan” dalam menyelesaikan kasus-kasus pidana adalah bahwa pilihan penyelesaian
pada umumnya diserahkan kepada pihak pelaku dan korban. Keuntungan lain yang juga
amat menonjol adalah biaya yang murah.

Sebagai suatu bentuk pengganti sanksi, pihak pelaku dapat menawarkan


kompensasi yang dirundingkan atau disepakati dengan pihak korban. Dengan demikian,
keadilan menjadi buah dari kesepakatan bersama antar para pihak sendiri, yaitu pihak
korban dan pelaku, bukan berdasarkan kalkulasi jaksa dan putusan hakim. Sebelumnya
perlu dikemukakan beberapa alasan bagi dilakukannya penyelesaian perkara pidana di
luar pengadilan pidana sebagai berikut :

1. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang
bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

2. Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).

3. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran, bukan kejahatan,


yang hanya diancam dengan pidana denda.

4. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum


administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

10
5. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan atau serba ringan dan
aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6. Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan
(deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.

7. Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat
yang diselesaikan melalui lembaga adat.

Sedangkan kelemahan dari penggunaan “penyelesaian di luar pengadilan”, dapat


menjadi sumber penyalahgunaan wewenang dari para penegak hukum, khususnya apabila
diskresi dibelokkan menjadi ”komoditi”. Ketidakmauan menghukum juga dapat
dipersepsi sebagai melunaknya hukum dimata para pelaku kejahatan atau pelanggar
aturan.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai prospek keadilan restorative baiknya


kita melihat terlebih dahulu penerapan keadilan restoratif di beberapa negara. Hal
bertujuan untuk mengetahui gambaran sedikit contoh dari banyak negara lain yang
mencoba menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana.
Trend yang berkembang menunjukan bahwa keadilan restoratif ini hanya terbatas pada
tindak pidana tertentu saja dan yang paling banyak diterapkan adalah pada kasus-kasus
tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja seperti di New Zealand, Inggris
dan Wales, Philipina dan Canada. Pandangan ini dapat menjadi berbeda jika melihat
kepada kasus di Afrika Selatan pasca aparheid. Pemerintah Afrika Selatan justru
mempergunakan pendekatan restorative justice dalam menyelesaikan kasus-kasus
kekerasan yang pernah dilakukan oleh rezim Aparheid. 

Keadilan restoratif telah diterjemahkan dalam berbagai variasi rumusan dengan


berbagai variasi nilai atau dasar filosofis, syarat, strategi, mekanisme, program, dan
bahkan jenis maupun tindak pidana dan terhadap siapa saja pihak yang dapat terlibat
didalamnya. Didalam beberapa regulasi bahkan mekanisme ini diterjemahkan secara
rinci. Namun yang menarik dari berbagai regulasi tersebut adalah bahwa :

11
1. Terdapat beberapa negara yaitu Australia, Canada, Finlandia, Ghana, Bulgaria, atau
Belgia, yang menerjemahkannya sebagai suatu konsep mediasi dimana dibuka peluang
penyelesaian perkara pidana diluar sistem peradilan sementara

2. Terdapat beberapa negara yaitu Inggris, Selandia Baru, atau Afrika Selatan, yang
memasukkan konsep ini sebagai bagian dari sistem pemidanaan.

Dari kedua hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa keadilan restoratif, dalam
pandangan pihak-pihak penyusun regulasi tersebut telah diterjemahkan sebagai
mekanisme penanganan perkara pidana diluar sistem peradilan pidana maupun sebagai
filosofis pemidanaan baru yang melahirkan bentuk-bentuk sanksi pidana yang sifatnya
berbeda dari jenis pidana konvensional yang dikenal selama ini.

Di Indonesia pendekatan keadilan restoratif meyangkut 2 pelaku utama penegak


hukum yang ada, yaitu :

1. Lembaga Musyawarah atau Lembaga Adat

Masyarakat Indonesia menganggap fungsionalisasi lembaga musyawarah sebagai


bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana. Musyawarah
baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau dengan melibatkan
institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui lembaga adat memperlihatkan
pola pikir masyarakat dalam melihat suatu permasalahan yang muncul. Penyelesaian
masalah termasuk didalamnya adalah tindak pidana melalui musyawarah merupakan pola
pikir yang terangkum dalam keadilan restorative sebagaimana didefiniskan diatas.
Karenanya tanpa mengabaikan mekanisme yang bekerja dalam sistem hukum formal,
mekanisme penyelesaian melalui lembaga musyawarah pun bekerja dalam masyarakat.

Dalam berbagai asas dan model pendekatan keadilan restorative, proses dialog
antara pelaku dan korban merupakan moral dasar dan bagian terpenting dari penerapan
keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat
mengungkapkan apa yang dirasakannya, mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-
hak dan keinginan-keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui proses
dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya untuk mengoreksi diri, menyadari
kesalahannya dan menerima tanggungjawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana yang

12
dilakukan dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut
serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau
pelaksanaannya.  Dari nilai dasar inilah keadilan restorative sebagai implementasi dari
niali dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki fondasi nilai yang kuat.
Sayangnya penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-undangan yang
jelas.

2. Lembaga Hukum Formal atau Lembaga Penegak Hukum

Polisi melalui diskresi yang dimilikinya, Jaksa melalui opportunitas-nya serta


hakim melalui kebebasannya. Dalam praktiknya pun sebenarnya di tingkat penyidikan
kepolisian sering terbentur dengan tata acara pidana formil apabila hendak
mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi yang dimiliki oleh polisi tidak
melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah perkara untuk terus dilanjutkan atau
dihentikan, takarannya hanya terbatas pada bukti tindak pidana yang cukup.

Terkait dengan Kepolisian, sebagai elemen awal dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, maka dapat disebutkan bahwa dalam Naskah Akademis mengenai Court
Dispute Resolution dari Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2003, dalam
salah satu kesimpulan terakhirnya antara lain disebutkan bahwa mediasi sebagai salah
satu bentuk, seyogyanya bersifat wajib untuk perkara kecil baik perdata maupun pidana.
Itulah yang menjadikan penanganan masalah secara alternatif ini relevan untuk dikaitkan
dengan proses penegakan hukum Polri, khususnya menyangkut perkara pidana yang
ringan. Beranjak dari pemikiran tentang keunggulan dan kelemahan dari penyelesaian
perkara pidana diluar system yang tidak diakui oleh hokum formal yang berlaku,
restorative justice telah menjadi suatu kebutuhan daam masyarakat. Hal ini erat kaitannya
dengan prinsip dan tujuan pemidanaan dari peradilan adat yang berbeda dengan sistem
formal yang ada sehingga dampak dari putusan yang dihasilkan pun akan sangat berbeda.

Melihat permasalahan yang dihadapi oleh kedua lembaga penegak hukum baik
formal dan non formal pendekatan keadilan restorative menghadapi hambatan. Menurut
mantan Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH, MCL bahwa hambatan
dalam melaksanakan perdamaian antara korban dan pelaku seringkali bersumber pada
sikap penegak hukum yang sangat formalistik dengan mengatakan proses hukum akan

13
tetap berjalan walaupun telah terjadi perdamaian, sifat melawan hukum tidak akan hapus
karena perdamaian. 

D. CONTOH KASUS PENERAPAN PENDEKATAN RESTORATIF YANG SUDAH


DILAKUKAN DI SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

1) Pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di daerah Jakarta Pusat oleh
seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban. Seminggu
kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni
keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan
polisi melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian
yang ancaman pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku
maupun korban yang tidak menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian
melalui proses peradilan pidana akan lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan
dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun telah memaafkan pelaku, maka upaya
damai tersebut ditempuh.

2) Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2 ribu lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya.
Dari 1076 perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun
2004 dan 3.904 Di tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di
Pengadilan Negeri Bitung di mana 13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk
semuanya diputus dengan pidana denda. Oleh karena itu terlihat bahwa masyarakat
memperhitungkan pengeluaran atau biaya yang akan dikeluarkan dalam penyelesaian
suatu perkara yang dihadapi. Dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan
hasilnya akan sama saja, maka penyelesaian langsung melalui polisi menjadi pilihan
utama. 

3) Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak Sebagai Pelaku Kejahatan di Wilayah


Hukum Polresta Samarinda. Berdasarkan data statistik kriminal di Satuan Reserse
Kriminal Polresta Samarinda jumlah tindak pidana yang terjadi selama tahun 2011
sebanyak 3.188 kasus (crime total) dan tindak pidana yang diselesaikan (crime
clearance) adalah sebanyak 2.014, dengan clearance rate adalah 63,18%. Dari 3.188
kasus yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 563 kasus

14
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus
sebanyak 423 (clearance rate 75,13 %). Sedangkan pada tahun 2012 jumlah tindak
pidana yang terjadi sebanyak 2.659 kejadian dan tindak pidana yang diselesaikan (crime
clearance) adalah sebanyak 1.391, dengan clearance rate adalah 52,31%. Dari 2.659
kasus yang ditangani oleh Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda, 364 kasus
adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan jumlah penyelesaian kasus
sebanyak 261 kasus (cleareance rate 71,7 %). Berdasarkan data statistik kriminal di atas,
terlihat bahwa jumlah perkara pidana yang dilakukan oleh anak yang ditangani oleh
Satuan Reserse Kriminal Polresta Samarinda cukup tinggi dengan rata-rata 20% dari
seluruh jumlah kasus yang ditangani, dalam penyelesainnya pun cukup tinggi dengan
rata-rata penyelesaian sebesar 73%. Dalam proses penyelesaian kasus, baik pelaku
maupun korban cenderung memilih penerapan konsep restorative justice dengan jalan
kesepakatan untuk berdamai dari pada harus melalui jalur pengadilan.

BAB  III
PENUTUP
Kesimpulan

1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :

a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai coordinator
dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.

15
b) Conferencing yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan
korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary
victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat
pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin
terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang terjadi
atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil dari
musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan
keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.

c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya
korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang
merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.

Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut
pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.

1. Pendekatan restorative sebenarnya penjabaran dari ide kesimbangan yang ada di


RUU KHUP yang masih memiliki kekurangan, khususnya dalam perkara besar
apakah dimungkin keadilan restorative tersebut Maka perlu penyembpuraan agar
pendakatan ini dapat diterima oleh seluruh pemaku kepentingan hukum yang ada di
Indonesia

2. Penegak hukum khususnya polisa harus bekerja sama dengan lembaga adat atau
polisi adat yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi
atau aturan hukum yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi
diterapkan.

3. Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini


dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan
bahwa bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme
penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus
disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara
pidana melalui pendekatan ini.

16
4. Jika pendekatan restorative diimplemantasikan maka sesuai dengan ide kesimbangan
yang ada di RUU KUHP, oleh karena itu perlu didorong pendekatan penanganan
tindak pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan
pendekatan restorative justice dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.

DAFTAR PUSTAKA
Ali. 2009. Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan. Jakarta: Prenada Media Group.

Bambang Kesowo. 1995. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia.
Yogyakarta : Fakultas Hukum Gadjah Mada

Barda Nawawi Arief III, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung.

Barda Nawawi Arief, 2008. Restoratif Justice: Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan, Pustaka
Magister Semarang

17
Dewi dkk., 2011. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak di Indonesia. Depok:
Indie Publishing.

Eko Soponyono. 2012. Kebijakan Perumusan Sistem Pemidanaan Yang Berorientasi Pada Korban.
Semarang.: Publikasi MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012

Eva Achjani Zulfa. 2010 Keadilan Restoratif Dan Revitalisasi Lembaga Adat Di Indonesia. Publikasi :
Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 6 No.II Agustus 2010

G. Widiartana. 2011. Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga Dengan Hukum Pidana. Publikasi : Ringakasan Disertasi Universitas Diponegoro. Semarang

I made,dkk,.. 2011. Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.
Publikasi : Bali, Universitas Udayana

Muladi. 2012. Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana. Publikasi : Jurnal : Seminar Nasional
Hari Ulang Tahun Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Ke-59. Jakarta

Nugraheni. 2009. Sistem Pemidanaan Edukatif Terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana. Semarang:
Undip.

Sri Rahmi, 2013.Makalah. Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Kota
Makassar (Suatu Pembaruan Hukum Acara Pidana Anak). Makassar: Universitas Hassanudin

Sukanegara. 2007. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaruan Sistem emidanaan di Indonesia.
Semarang: Universitas diponegoro.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2004

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana 2008

www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/muladi.pdf

http://www.anjarnawanyep.wordpress.com/konsep-diversi-dan-restorative-justicem,
http://faturohmana/baintani.blogspot.com/p/pendekatan-restorative-justice-sebagai.html,

http:// ferli Hidayat 1982.wordpress.com/2013/03/05/diversi-dalam-sistem-peradilanpidana-

anak-di-Indonesia

http://Kmfh-unud.blogspot.com/2013/04/artikel-tentang diversi-dalam-sistem.html

18
19

Anda mungkin juga menyukai