Anda di halaman 1dari 146

1

PERSETUJUAN

1. Judul Buku Ajar : Sistem Peradilan Pidana


2. Bidang Ilmu : Hukum Pidana
3. Penulis :
a. Nama Lengkap : Lade Sirjon, SH.,LL.M
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. Nip : 198508172010121007
d. Pangkat/Golongan : Penata Muda/IIIb
e. Jabatan : Asisten Ahli
f. Fakultas/Jurusan : Hukum/Hukum Pidana
4. Biaya : Rp. 1.500.000,-
(satu juta lima ratus ribu rupiah)
5. Sumber Biaya : Fakultas Hukum

Menyetujui Kendari, Desember 2011


Pembantu Dekan I Penulis

Muh. Satria Muljabar, SH., Mkn Lade Sirjon, SH., LL.M


NIP. 196810013 200501 1 001 19850817 201012 1 007

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo

DR. H. Muntaha, SH., MH

KATA SAMBUTAN
2

Salah satu faktor yang menentukan peningkatan kualitas di perguruan


tinggi adalah kelancaran proses belaajar mengajar. Hal ini bisa terwujud apabila
ditunjang oleh tersedianya bahan ajar yang memadai, namun disadari bahwa
buku-buku yang tersedia di perpustakaan jumlahnya terbatas disamping harganya
belum terjangkau kemampuan ekonomi mahasiswa.

Adanya hand out Sistem Peradilan Pidana dapat mengantisipasi, salah satu
keterbatasan, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Haluoleo,
sebab materi yang disajikan dalam hand out tersebut diharapkan dapat
memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai Hukum Pidana
Internasional.

Harapan saya sebagai Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum


Universitas Haluolleo, agar karya ini dapat melengka[pi bahan ajar dalam proses
belajar mengajar bagi Dosen dan menambah referensi bagi mahasiswa dalam
proses perkuliahan.

Kendari, Desember 2011


Ketua Jurusan Ilmu Hukum

Heriyanti, SH., MH
NIP. 1975072720055012001

KATA PENGANTAR

Assalam alaikum Wr, Wb.


3

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan kenikmatan yang tiada tara, khususnya nikmat iman dan islam dalam
menyusun buku ajar untuk kepentingan mahasiswa. Salawat dan salam senantiasa
penulis kepada Nabi Muhammad SAW yang karena atas perjuangan beliaulah
kebenaran Islam mampu menunjukan eksistensinya di alam semesta.

Hukum Pidana Internasional merupakan mata kuliah kurikulum kosentrasi


dalam Fakultas Hukum Universitas Haluoleo. Hukum Pidana Internasional tidak
dapat dilepaskan daripada Hukum Pidana Nasional sebagai bagian dari penerapan
kaidah-kaidah hukum dalam rangka menciptakan tertib hukum yang berhubungan
dengan kepentingan internasional.

Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka dalam buku ajar ini mencoba
untuk mengemukakan mengenai Hukum Pidana Internasional baik secara
doktriner dengan mengacu pada konvensi internasional dan kebiasaan
internasional, maupun Hukum Pidana Internasional secara empirik yakni dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang merupakan hasil ratifikasi dari
peraturan Hukum Pidana Internasional yang didalamnya mengandung nilai-nilai
Internasional.

Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang
konstruktif demi penyempurnaan penyusunan buku ajar ini, semoga buku ajar ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Kendari, Desember 2011


Penulis

Lade Sirjon, SH., LL.M

DAFTAR ISI
4

BAB I
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
SISTEM PERADILAN PIDANA
5

TUJUAN KHUSUS PERKULIAHAN


1. Tujuan Instruksional Umum
2. Tujuan Instruksional Khusus
Adapun Tujuan Instruksional Khusus Dalam Permasalahan ini adalah
agar mahasiswa memperoleh pengetahuan tentang :
- Pengertian Dan Istilah Sistem Peradilan Pidana yang meliputi :
1. Peristilahan Sistem Peradilan Pidana.
2. Bentuk Pendekatan Dalam Sistem Peradilan Pidana.
3. Pendekatan Normatif Dalam Sistem Peradilan Pidana.
- Perkembangan Sistem Peradilan Pidana.

A. Pengertian dan Istilah Sistem Peradilan Pidana


1. Peristilahan Sistem Peradilan Pidana.
Istilah “criminal justice sistem” atau sistem peradilan pidana (SPP) kini
telah menjadi suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem.
Remington dan Ohlin mengemukakan sebagai berikut :
Criminal justice sistem dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan
pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.

Hagan (1987) membedakan pengertian antara “criminal justice process”


dan “criminal justice sistem”. “Criminal justice process” adalah setiap tahap
dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses
yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan “criminal
justice sistem” adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang
terlibat dalam proses peradilan pidana.
Mardjono (1993:1) memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan
sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang tediri dari
6

lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan


terpidana.
Dalam kesempatan lain, Mardjono (1994:84-85) mengemukakan bahwa
sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) adalah sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan
sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat.
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana dapat
dirumuskan :
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
dan
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa
empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan
dapat membentuk suatu “integrated criminal justice sistem”. Apabila
keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan terdapat
tiga kerugian sebagai berikut :
1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-
masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.
2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-
masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana).
3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas
terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memerhatikan efektivitas
menyuluruh dari sistem peradilan pidana.

Samuel Waker (1992) menegaskan bahwa paradigma yang dominan


dalam sistem peradilan pidana di Amerika Serikat adalah perspektif sistem
dimana administrasi peradilan terdiri atas serangkaian keputusan mengenai
suatu kasus criminal dari petugas yang berwenang dalam suatu kerangka
interrelasi antar-aparatur penegak hukum. Ledih jauh Samuel mengemukakan
7

bahwa, pendekatan sistem ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah
membentuk upaya pembaruan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun di
Amerika Serikat.
Upaya ini antara lain :
1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kesehatan.
2. Mengembangkan koordinasi di antara pelbagai komponen peradilan
pidana.
3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur
penegak hokum.
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil,
hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
bencana berupa ketidakadilan.
Muladi menegaskan bahwa makna integrated criminal justice sistem
adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan
dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang
bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyuluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

2. Bentuk Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana


Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu :
pendekatan normatif, administratif, dan sosial.
Pendekatan normative memandang keempat aparatur penegak hukum
(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai
8

institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga


aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem
penegakan hukum semata-mata.
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum
sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertical sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga
masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau
ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam
melaksanakan tugasnya.
3. Bentuk Pendekatan Normatif dalam Sistem Peradilan Pidana
Packer membedakan pendekatan normatif tersebut ke dalam dua model,
yaitu : crime control model dan due process model, dan pembedaan dua model
tersebut sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan structural (sobural)
masyarakat Amerika Serikat.
Polarisasi pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana gaya
Packer tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model
ini dilandaskan pada asumsi yang sama sebagai berikut:
1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu
ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seorang
tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law” atau asas
undang-undang tidak berlaku surut.
2. Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk
melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang
tersangka pelaku kejahatan.
3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi
dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.

Selain terdapat kesamaan antara kedua model tersebut, terdapat juga


perbedaan yang tampak dari nilai-nilai yang dijadikan landasan kerja kedua
model tersebut, yaitu mekanisme dan tipologi yang akan dijabarkan dalam
tabel berikut :
9

Crime control model Due process model


5 karakteristik Values 6 karakteristik
1. Represif 1. Preventif
2. Presumption of guilt 2. Presumption of innocence
3. Informal fact-finding Mekanisme 3. Formal-adjudicatif
4. Factual guilt 4. Legal guilt
5. Efisiensi 5. Efektivitas
Affirmatif model Tipologi Negatif model

Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah :


1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan
fungsi terpenting dari suatu proses peradilan.
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu
penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam
proses peradilannya.
3. Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah harus model
administratif dan menyerupai model manajerial.
4. “asas praduga bersalah” atau “presumption of guilt” akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien.
5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas
temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan
membawa ke arah : (a) pembebasan seorang tersangka dari
penuntutan, atau (b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya
bersalah atau “plead of guilty”.

Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah :


1. Kemungkinan adanya factor “kelalaian yang sifatnya manusiawi” atau
“human error” menyebabkan model ini menolak “informal fact-
finding process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitif
“factual guilt” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal
adjudicative dan adbersary fact-findings”. Hal ini berarti dalam setiap
kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak
memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yang
penuh untuk mengajukan pembelaannya.
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi
peradilan.
10

3. Model ini beranggapan bahwa menempatkan individu secara utuh dan


utama di jalan proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang
formal, sangat memerhatikan kombinasi stigma dan kehilangan
kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi
seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara. Proses peradilan
dipandang sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan
merendahkan martabat (demeaning). Proses peradilan harus
dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik
optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memiliki
potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif
dari negara.
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin : legal-guilt.
Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut :
a. Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukannya secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang
memiliki kewenangan untuk tugas tersebut
b. Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan
memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-
undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan
kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang
tidak memihak. Dalam konsep “legal guilt” ini tergantung asas
praduga tak bersalah atau presumption of innocence. “Factually
guilty” tidak sama dengan “legally guilty”.
5. Gagasan persamaan di muka hukum atau “ equality before the law”
lebih diutamakan berarti pemerintah harus menyediakan fasilitas yang
sama untuk setiap orang yang berurusan dengan hukum. Kewajiban
pemerintah ialah menjamin bahwa ketidakmampuan secara ekonomis
seorang tersangka tidak akan menghalangi haknya untuk membela
dirinya di muka pengadilan. Tujuan khusus due process model adalah
(factually innocent) sama halnya dengan menuntut mereka yang
factual bersalah (factually guilty).
6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana (criminal sanction).

Perbedaan lain dari kedua model ini terletak pada mekanisme dan
tipologi model yang dianutnya, crime control model merupakan tipe
“addirmative model” sedangkan due process model merupakan “negative
model”.
Pengertian “affirmatif model” selalu menekankan pada eksistensi dan
penggunaan kekuasaan pada setiap sudut dari proses peradilan pidana, dan
dalam model ini kekuasaan legislatif sangan dominan.
11

Pengertian “negatif model” selalu menekankan pembatasan pada


kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan kekuasaan tersebut.
Kekuasaan yang dominan dalam model ini adalah kekuasaan yudikatif dan
selalu mengacu kepada konstitusi.
Muladi mengemukakan kelemahan model-model sistem peradilan pidana
seperti tersebut di bawah ini :
1. Crime control model : tidak cocok karena model ini berpandangan
tindakan yang bersifat representatif sebagai terpenting dalam
melaksanakan proses peradilan pidana.
2. Dual process model : tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat
“anti-authoritation values”.
3. Model family atau “family model” (Griffiths) : kurang memadai karena
terlalu “offender oriented” karena masih terdapat korban (victims) yang
juga memerlukan perhatian serius.
Menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang cocok bagi
Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad-dader strafrecht” yang
disebut model kesinambungan kepentingan. Model ini adalah model yang
realistik yaitu yang memerhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi
oleh hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan
individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.
Sekalipun model sistem peradilan pidana Packer memiliki kelemahan-
kelemahan, namun Packer menegaskan hal-hal berikut:
1. Keberadaan sanksi pidana (criminal sanction) adalah mutlak, baik pada
masa kini maupun pada masa mendatang, dan kita tidak dapat mengisi
kehidupan ini tanpa sanksi tersebut.
2. Sampai saat ini kita terlalu bergantung pada sanksi pidana sedemikian
rupa sehingga melemahkan efisiensi sanksi pidana dan merupakan
ancaman atas nilai-nilai sosial karena melampaui batas-batas yang
berguna untuk mencegah kejahatan.
3. Kita harus tetap berpandangan bahwa dalam kenyataan penggunaan
sanksi pidana tersebut tidak sederajat/ sama bagi setiap orang dan kita
tidak akan mungkin mengingkarinya karena kejahatan merupakan suatu
rekayasa yang bersifat sosialpolitik dan bukan suatu fenomena yang
bersifat alamiah (crimr is a sosialpolitical artifact, not natural
phenomenon).
12

4. Kita dapat memiliki banyak atau sedikit kejahatan bergantung pada apa
yang kita pilih dan pertimbangkan sebagai penjahat dan kita hanya dapat
menghadapinya secara rasional apabila kita memahami benar kenyataan
mendasar ini sehingga kita dapat menerapkan kriteria yang relevan
dengan sanksi pidana yang (akan) digunakan.
5. Sanksi pidana merupakan sarana terbaik yang dimiliki untuk
mengahadapi ancaman seketika dan akibat yang serius dari suatu
kejahatan. Sarana tersebut kurang berguna apabila ancaman dan akibat
tersebut semakin berkurang dan akan menjadi tidak efektif jika
digunakan untuk memaksakan kesusilaan (enforce morality)
dibandingkan dengan tingkah laku yang secara umum dipandang sebagai
merugikan.
6. Revolusi dalam suatu proses penegakan hukum merupakan suatu reaksi
terhadap ancaman khusus yang melekat pada sanksi pidana terhadap
nilai-nilai pribadi dan kemandirian/kebebasan dan ke arah suatu tuntutan
untuk memelihara jarak yang layak antara individu dan penguasa,
7. Sanksi pidana merupakan penjamin/pelindung (prime guarantor) utama
dan juga merupakan ancaman utama (prime threater) terhadap
kemerdekaan manusia.

B. Perkembangan Sistem Peradilan Pidana


Tampaknya dikotomi dalam sistem peradilan pidana yang telah
berabad-abad yang lampau dijadikan studi perbandingan, dewasa ini telah
kehilangan ketajaman perbedaannya. Halmana lebih menonjol lagi dengan
ditemukannya sistem campuran (the mixed type) dalam sistem peradilan
pidana, sehingga batas pengertian antara sistem inkuisitur dan sistem
akusatur sudah tidak dapat dilihat lagi secara tegas. Untuk menghindarkan
kesimpangsiuran di atas tampaknya kini di daratan Eropa, terutama di
negara-negara yang menganut Common Law Sistem, sistem peradilan
pidana mengenal dua model, yakni : “the adversary model” dan “the non-
adversary model”.
Adversary model dalam sistem peradilan pidana menganut prinsip
sebagai berikut:
1. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu “sengketa”
(dispute) antara kedua belah pihak (tertuduh dan penuntut umum)
dalam kedudukan (secara teoritis) yang sama dimuka pengadilan.
2. Tujuan utamanya (prosedur) adalah menyelesaikan sengke ta yang
timbul disebabkan timbulnya kejahatan.
13

3. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings)


dan adanya lembaga jaminan dan perundingan.
4. Para pihak atau kontestan memiliki fungsi yang otonom dan jelas;
peranan penuntut umum ialah melakukan penuntutan; peranan
tertuduh ialah menolak atau menyanggah tuduhan.

Sedangkan “non-adversary model” menganut prinsip bahwa:


1. Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan
berkesinambungan serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa
kejahatan telah dilakukan (presumption of guilt);
2. Tujuan utamanya adalah menetapkan apakah dalam kenyataannya
perbuatan tersebut merupakan perkara pidana, dan apakah
penjatuhan hukuman dapat dibenarkan karenanya;
3. Penelitan terhadap fakta yang diajukan oleh para pihak (penuntut
umum dan tertuduh) oleh hakim dapat berlaku tidak terbatas dan
tidak bergantung panda atau tidak perlu memperoleh izin para pihak.
4. Kedudukan masing-masing pihak-penuntut umum dan tertuduh-tidak
lagi otonom dan sederajat;
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan
guna kepentingan pemeriksaan pendahuluan ataupun di persidangan.
Tertuduh merupakan obyek utama dalam pemeriksaan.

RANGKUMAN

LATIHAN

BAB II
ASAS DAN SUBKULTUR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

TUJUAN KHUSUS PERKULIAHAN


1. Tujuan Instruksional Umum
2. Tujuan Instruksional khusus
14

A. Asas Dalam Sistem Peradilan Pidana/hukum acara pidana


1. Asas perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi.
Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini
tegas tercantum pula dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman
Pasal 5 ayat (1) dan KUHAP dalam penjelasan umum butir 3a. Pasal 5 ayat
(1) tersebut berbunyi : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”. Untuk ini sering dipakai bahasa Sansekerta “tan
hana dharma manrua” yang dijadikan moto Persaja (Persatuan Jaksa).
2. Asas praduga tidak bersalah
Asas praduga tak bersalah ini menghendaki agar setiap orang yang
terlibat dalam perkara pidana harus dianggap belum bersalah sebelum
adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Pada semua
tingkatan berlaku hal yang sama, implementasinya dapat ditunjukan ketika
tersangka dihadirkan disidang pengadilan dilakukan dengan tidak diborgol.
Prinsip ini dipatuhi karena telah tertuang dalam UU No. 4 tahun 2004 jo UU
no 36 tahun 2009 tentang pokok-pokok keuasaan kehakiman, Pasal 8 yang
mengatakan “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan dituntut dan
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
3. Asas hak untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi
Maksudnya yaitu bahwa tersangka/ terdakwa memiliki hak untuk
memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi (pengembalian nama
baik).
4. Asas bantuan hukum
The International Covenant on Civil and Political Rights article 14 sub
3d kepada tersangka/terdakwa diberikan jaminan berikut : Diadili dengan
kehadiran terdakwa, membela diri sendiri secara pribadi atau dengan
bantuan penasihat hukum menurut pilihannya sendiri, diberi tahu tentang
hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum dan ditunjuk
15

penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu,
dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari
pembayaran.
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang
bantuan hukum tersebut di mana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan-
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai
berikut.
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan
b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan
c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan negara.
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/
terdakwa.

5. Asas kehadiran terdakwa di muka pengadilan.


Hak ini bermakna bahwa proses persidangan tidak boleh dilaksanakan
apabila tersangka/ terdakwa tidak hadir dalam persidangan.
6. Asas peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya murah.
Peradilan cepat artinya dalam melaksanakan peradilan diharapkan
dapat diselenggarakan sesederhana mungkin dan dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Sederhana mengandung arti bahwa agar dalam
penyelenggaraan peradilan dilakukan dengan cara simple, singkat dan tidak
berbelit-belit. Biaya murah berarti penyelenggaraan peradilan ditekan
sedemikian rupa agar terjangkau bagi pencari keadilan.
Hal ini ada didalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman pada pasal 4 ayat (2).
7. Asas peradilan terbuka untuk umum
Maksud dari asas ini adalah bahwa dalam setiap persidangan harus
dilakukan dengan terbuka untuk umum artinya siapa saja bisa menyaksikan,
16

namun dalam hal ini ada pengecualianya yaitu dalam hal kasus-kasus
kesusilaan dan kasus yang terdakwanya adalah anak dibawah umur. Dalam
hal ini dapat dilihat dalam pasal 153 (3 dan 4) KUHAP yang mengatakan
“untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka siding dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
8. Asas pelanggaran atas hak individu (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada UU.
Pada dasarnya setiap hal yang akan dilakukan oleh penyelidik maupun
penyidik terhadap harus didasarkan terhadap ketentuan UU, dalam hal ini
KUHAP.
9. Asas hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan
terhadapnya.
Yaitu kewajiban pengadilan untuk memberitahukan dan menjelaskan
terlebih dahulu kepada tersangka mengenai tindak pidana yang telah
dilanggar.
10. Asas kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Kewajiban yang diberikan kepada majelis hakim untuk
mempertimbangkan secara benar terhadap putusan yang akan diberikan
kepada terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

B. Sistem Peradilan Pidana dalam Peraturan Perundangan di Indonesia


Sebelum dikeluarkannya UU RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana di Indonesia
dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44).
Ternyata HIR menganut sistem campuran atau the mixed type, bukan
menganut inkuisitur. Kekeliruan pandangan telah terjadi terhadap isensi sistem
inkuisitur. Sebenarnya prosedur inkuisitur dalam perkara pidana melarang
17

dilakukannya penyiksaan untuk memperoleh pengakuan (confession). Sistem


ikuisitur ini muncul dan berkembang justru setelah cara penyiksaan sejak lama
dilarang dan dipandang sebagai melanggar hukum.
Setelah UU No. 8 tahun 1981 diundangkan pada tanggal 31 Desember
1981, maka HIR sebagai satu-satunya landasan hukum bagi proses
penyelesaian perkara pidana di Indonesia, telah dicabut.
Mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut
“criminal Justice Proses”, dimulai dari proses penangkapan, penggeledahan,
penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan, serta
diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.
Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981,
melalui pentahapan sebagai berikut:
Tahap pertama : proses penyelesaian perkara pidana dimulai dengan suatu
penyelidikan oleh penyelidik. Karena kewajibannya, penyelidik mempunyai
wewenang:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukti;
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanya kan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tahap kedua : dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah
“Penangkapan” (Bab V bagian kesatu). Pasal 16 sampai dengan 19 tentang
penangkapan mengatur tentang:
1. Laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan, dan
2. Siapa yang berhak menangkap; serta
3. Apa isi surat perintah penangkapan;
4. Bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.

Tahap ketiga : dari proses penyelesaian perkara pidana adalah “Penahanan”.


Berdasarkan seluruh ketentuan tentang penahanan, pembentuk undang-undang
memberikan perhatian pada 4 hal:
1. Lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan.
2. Aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan.
3. Batas perpanjangan waktu penahanan dan kekecualiannya.
4. Hal yang dapat menangguhkan penahanan.
18

Tahap keempat : dari proses pemeriksaan perkara pidana berdasarkan UU No.


8 Tahun 1981 adalah “Pemeriksaan dimuka Sidang Pengadilan”.
Pemeriksaan di muka sidang pengadilan diawali dengan pemberi tahuan
untuk datang ke sidang pengadilan yang dilakukan secara sah menurut
undang-undang (psl.145-146). Setelah surat pemberitahuan tersebut
disampaikan kepada tersangka, dan pihak penuntut umum telah melimpahkan
perkaranya ke pengadilan negeri menurut undang-undang yang berlaku (psl.
147) maka sekaligus noleh ketua pengadilan negeri setempat ditetapkan
kewenangannya untuk mengadili (psl. 148).
Apabila Ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara yang
diajukan termasuk dalam kewenangannya, maka ia menunjuk hakim yang
akan menyidangkan perkara tersebut (psl. 152). Selanjutnya proses
persidangan dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang diatur dalam pasal 153
dan seterusnya.
Evaluasi terhadap perkembangan kejahatan telah menghasilkan tiga
deminsi, yaitu: dimensi kepapahan (kemiskinan), keserakahan dan kekuasaan.
Kejahatan yang bermuara pada dimensi kepapahan akan menghasilkan
kejahatan konvensional seperti: pencurian, penganiayaan, pencopetan dan
lain-lain. Kejahatan yang bermuara panda dimensi keserakahan akan
menghasilkan bentuk kejahatan yang disebut “corporate crime” atau “white
collar crime”. Kejahatan yang bermuara panda dimensi kekuasaan, akan
menghasilkan bentuk kejahatan yang dikenal dengan sebutan korupsi atau
perbuatan penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan dalam segala aspek
pekerjaan dalam pemerintahan. Bentuk kejahatan terakhir ini dalam
kriminologi sering disebut “governmental crime”.
Konsekuensi logis dari dianutnya “due proses of law” atau proses
hukum yang adil atau layak dalam UU No. 8 tahun 1981, ialah bahwa sistem
peradilan pidana Indonesia selain harus melaksanakan penerapan hukum acara
pidana (sesuai dengan sepuluh asas) juga harus didukung oleh sikap batin
(penegak hukum) yang menghormati hak-hak masyarakat.
19

Kesepuluh asas dalam sistem peradilan pidana dalam praktik tidak


terlepas dari “desain prosedur” (prosedural design) sistem peradilan pidana
yang ditata melalui KUHAP. Mardjono telah membagi sistem ini dalam tiga
tahap, yaitu (a) tahap sebelum sidang pengadilan atau tahap pra-adjudikasi
(pre-adjudication), (b) tahap sidang pengadilan atau tahap adjudikasi
(adjudication), dan (c) tahap setelah pengadilan atau tahap purna adjudikasi
(post adjudication).
Romli Atmasasmita, berpendapat bahwa panda tahap adjudikasi ini,
dalam kenyataannya tidak jarang-sekalipun masing-masing pihak memperoleh
kesempatan yang sama dan adil- menghasilkan putusan yang justru tidak
dirasakan adil atau bahkan sama sekali menghasilkan suatu ketidakadilan
sebagai hasil dari suatu “rekayasa”.
Sistem peradilan pidana di Indonesia versi KUHAP telah
mempergunakan pendekatan “due proses model”, namun dalam praktik telah
mencerminkan”crime control model”. Sahetapy mengajukan konsep
pendekatan “sobural” (kacamata bawah) yakni dengan memperhatikan sosial
budaya dan struktural masyarakat Indonesia, yang sesuai dengan pasal 23 UU
No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana
hakim dalam memutus perkara, antara lain : Wajib memperhatikan nilai-nilai
yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Bukan hakim saja yang
mewujudkan pasal 23 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas namun juga
jaksa penuntut umum dan para penasihat hukum wajib ikut memper hatikan
dan mempertimbangkan nilai-nilai yang sama. Cara demikian akan
mendorong aparatur penegak hukum menuju suatu kebersamaan dalam
menegakkan hukum dan keadilan di negara ini, karena dalam menjalankan
tugasnya mereka memiliki acuan nilai-nilai yang sama yaitu nilai yang
tumbuh dan berkembang dalam sobural masyarakat.

C. Kepolisian sebagai Subsistem Peradilan Pidana


Peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan kepolisian
sebagai suatu subsistem peradilan pidana adalah uu no 2 tahun 2002 tentang
20

kepolisian Negara RI, uu no 3 tahun 2002 tentang pertahanan Negara , uu no


8 tahum 1981 tentang kitab undang- undang hukum acara pidana (KUHAP).
Tugas kepolisian yang terkait dengan dan sebagai subsistem peradilan pidana
adalah fungsi penyelidikan (pasal 1 ayat 4 KUHAP, psal 14 ayat 1 huruf a
KUHAP dan uu no 2 tahun 2002 ), walaupun sebagai selaian polisi juga di
kenal dengan pihak lain yang mempunyai kewenagan melakukan
penyelidikan, seperti komnas HAM (uu no 26 tahun 2000) TGPK dan
KPTPK dalam tindak pina korupsi (uu no 31 tahun 1999) KPPU untuk tindak
pidana di bidang ekonomi (uu no 5 tahun 1999). Di samping itu juga dalam
fungi penyelidikan kepolisian mempunyai wewenwang secara umum dalam
tindak pidana apapun (pasal 1 ayat 1 KUHAP dan UU no 2 tahun 2002),
tetapi disamping polisi di kenal ada pihak yang mempunyai wewenang untuk
melakukan penyidikan PPNS, dalam tindak pidana bidang perianan (pasal
3,12, uu no 9 tahun 1985)tindak pidana di bidang migrasi (pasal 47 uu no 9
tahun 1992), tindak pidana di bidang HAKI (pasal 130 uu no 6 tahun 1989)
tentang paten, (pasal 80 uu no 19 tahun 1990 tentang merk), tindak pidana
dalam pasar modal (pasal 101 ayat 2uu no 8 tahun 1995). Di dalam
menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan, polisi juga di bekali juga
dengan asas-asas hukum pidana formil. Berikut akan dikemukakan matrik
yang terkait dengan asas-asas tersebut :

Asas UU No. 2 Tahun 2002 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP)


Sederhana, cepat, Pasal 31 Pasal 50, 51, 110 (1), 119, 122
biaya murah
Due Process of Law Pasal 14 (1) huruf g; 15 (2); Pasal 7 (3), 18 (1), 21 (4), 32, 33, 47
16 (1) huruf l dan (2) huruf a;
17; 19 (1)
Efektif dan Efisien Pasal 14 (1) huruf j; 23 Pasal 18 (2), 34, 35, 38 (2), 40, 41
Mekanisme kontrol Pasal 10; 11; 18 (2); 27; Pasal 7 (2), 18 (3), 21 (2), 25 (1), 29
akuntabilitas publik 34;35;36; 37 (3), 29 (4), 29 (7), 30, 95, 96, 31 (1),
33 (3,4,5), 36, 47 (1,2), 49, 59, 71,
77, 79, 80, 109 (1,2,3), 110 (2), 124,
115, 77
Persamaan di muka Pasal 13; 28 (1) Pasal 21 (4), penahanan tersebut
21

hukum “equality hanya dapat dikenakan terhadap


before the law”, semua tersangka atau terdakwa yang
orang dihadapan melakukan tindak pidana dan atau
hukum sama percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana
tersebut dalam hal : a) tindak pidana
itu diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih; b) tindak
pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 282 (3).

D. Kejaksaan sebagai Subsistem Peradilan Pidana


Lembaga kejaksaan dalam sistem peradilan pidana yang terpadu
merupakan salah satu subsistem. Undang- undang yang terakhir yang
mengatur tentang kejaksaan adalah uu no 5 tahun 1991. Dalam uu no 5 tahun
1991, di atur mengenai bagaiman lembaga kejksaan dalam memerankan
dirinya menjdi salah satu subsistem peradilan pidana di Indonesia.
Sebagaimana dalam lembaga kepolisian , maka salah satu aspek penting dari
aspek yang dapat menopang subsistem menjadi suatu sistem yang dapat di
maknai dan membentuk suatu sistem yang intergrative adalah asas. Berikut
akan di gambarkan mengenai asas – asas yang menjadi landasan dari lembaga
kejaksaan berdasarkan uu no 5 tahun 1991.

Asas UU No. 5 Tahun 1991 RUU Kejaksaan


Persamaan di muka  Psl. 10, tentang kewajiban  Psl. 10 tentang kewajiban
umum sumpah/janji bagi jaksa. sumpah/ janji bagi jaksa.
Menurut sumpah itu jaksa Menurut sumpah itu jaksa
berjanji antara lain bahwa berjanji antara lain bahwa dalam
dalam menjalankan menjalankan jabatannya tidak
jabatannya tidak akan akan membeda-bedakan orang
membeda-bedakan orang dan dan berlaku sebaik-baiknya dan
berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
 Psl. 30 disebutkan bahwa, dalam
seadil-adilnya.
 Psl. 30 disebutkan bahwa melaksanakan tugas dan
“dalam melaksanakan tugas wewenangnya, kejaksaan
22

dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerjasama


membina hubungan dengan badan-badan penegak
kerjasama dengan badan- hukum dan keadilan serta badan
badan penegak hukum dan negara atau instansi lainnya.
keadilan serta badan negara Dalam penjelasannya dinyatakan
atau instansi lainnya”. Dalam bahwa, kerjasama dengan
penjelasan pasal 30 penegak hukum lainnya ini
dinyatakan bahwa, kerjasama dimaksudkan untuk
dengan penegak hukum memperlancar upaya penegakan
lainnya ini dimaksudkan hukum sesuai dengan asas cepat,
untuk memperlancar upaya sederhana dan biaya murah serta
penegakkan hukum sesuai bebas, jujur, dan tidak memihak
dengan asas cepat, sederhana dalam menyelesaikan perkara.
dan biaya murah serta bebas,
jujur, dan tidak memihak
dalam menyelesaikan
perkara.
Due Process of
Law
Sederhana dan  Psl 9 tentang syarat menjadi  Psl. 30 disebutkan bahwa, dalam
cepat jaksa khususnya huruf b, c, h, melaksanakan tugas dan
yakni bertaqwa kepada Tuhan wewenangnya, kejaksaan
YME, setia pada dasar negara membina hubungan kerjasama
dan UUD 1945 serta dengan badan-badan penegak
berwibawa, jujur, adil, dan hukum dan keadilan serta badan
berkelakuan tidak tercela. negara atau instansi lainnya.
Dengan sifat-sifat tersebut Dalam penjelasannya dinyatakan
diharapkan jaksa dapat bahwa, kerjasama dengan
bersikap bersih dan jujur. penegak hukum lainnya ini
 Psl 10 tetang sumpah jaksa.
dimaksudkan untuk
Dengan sumpah ini jaksa
memperlancar upaya penegakan
bersumpah antara lain untuk
hukum sesuai dengan asas cepat,
bersikap jujur dalam
sederhana dan biaya murah serta
menjalankan jabatannya.
bebas, jujur, dan tidak memihak
 Psl 11, jaksa tidak boleh
dalam menyelesaikan perkara.
merangkap menjadi
 Psl 28 (1) huruf f terdapat
pengusaha, penasehat hukum,
ketentuan yang sama dengan
pekerjaan lain yang dapat
pasal 27 (1) huruf d UU no. 5
23

mempengaruhi jabatan. tahun 1991 tetapi dalam


Ketentuan ini juga perlu penjelasan umum tidak ada
untuk menjamin asas bersih penjelasan seperti dalam UU no.
dan jujur. 5 tahun 1991.
 Psl 30, menyebutkan bahwa,
dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, kejaksaan
membina hubungan
kerjasama dengan badan-
badan penegak hukum dan
keadilan serta badan negara
atau instansi lainnya. Dalam
penjelasannya dinyatakan
bahwa, kerjasama dengan
penegak hukum lainnya ini
dimaksudkan untuk
memperlancar upaya
penegakkan hukum sesuai
dengan asas cepat, sederhana
dan biaya murah serta bebas,
jujur dan tidak meihak dalam
menyelesaikan perkara.
Efektif dan efisien  Psl 9 tentang syarat menjadi  Psl 9 tentang syarat menjadi
jaksa khususnya huruf f, h, l jaksa, khusunya huruf f, h,l yaitu
yakni sarjana hukum, sarjana hukum, jujur,
berwibawa, jujur, adil, berkelakuan tidak tercela dan
berkelakuan tidak tercela dan lulus pendidikan dan latihan
lulus pendidikan dan latihan pembentukan jaksa. Syarat-
pembentukan jaksa. Syarat- syarat ini memenuhi asas efektif
syarat ini memenuhi asas dan efisien terkait dengan SDM
efektif dan efisien terkait yang memenuhi kualifikasi
dengan SDM yang memenuhi tertentu.
 Psl 19 (1) bahwa Jaksa Agung
kualifikasi tertentu.
 Psl 11, jaksa tidak boleh adalah jaksa karier. Dengan
merangkap menjadi ketentuan ini lebih dijamin
pengusaha, penasehat hukum, efektifitas dan efisiensi tugas
pekerjaan lain yang dapat Jaksa Agung karena ia lebih
mempengaruhi jabatan. menguasai bidangnya dan tidak
24

Ketentuan ini juga menjamin berasal dari salah satu partai


efektif dan efisien dari tugas yang dapat menghambat
sebagai jaksa. independensinya.
 Harus lebih jelas/ tegas  Pasal 27 (1) draft ini disebutkan
tentang pekerjaan yang tidak bahwa untuk mendukung
boleh dirangkap untuk pelaksanaan tugas dan
menghindari ketidakpastian wewenang kejaksaan dapat
atau penyimpangan. diangkat pegawai negeri sebagai:
 Psl 26 disebutkan bahwa pada
a) tenaga ahli; b) tenaga
kejaksaan dapat ditugaskan
fungsional tertentu; c) tenaga
pegawai negeri yang tidak
usaha. Pasal 27 (2) selai tenaga
menduduki jabatan funsional
ahli tadi dapat diangkat tenaga
jaksa … pegawai tersebut
ahli yang bukan pegawai negeri.
dapat dianggap sebagai
tenaga ahli atau tenaga tata
usaha untuk mendukung
pelaksanaan tugas dan
wewenang kejaksaan.
Akuntabilitas  Mekanisme control harus  Pasal 8 (1, 2) ada
dilakukan secara rasional, pertanggungjawaban secara
proporsional dan obyektif. hirarkis
 Perumusan dan penerapan  Pasal 19 (2) bahwa Jaksa Agung
sanksi terhadap pelanggaran diangkat dan diberhentikan oleh
ketentuan hukum yang Presiden selaku kepala negara
berlaku. atas usul DPR-RI. Dengan
 Pasal 12 tentang ketentuan ini maka asas
pemberhentian jaksa secara akuntabilitas public lebih
hormat, khususnya huruf d terjamin karena DPR merupakan
(tidak cakap menjalankan wakil-wakil rakyat (public)
tugas) dengan demikian tanggung
 Pasal 13 (1, 2, 3) tentang jawab kejaksaan kepada public
pemberhentian jaksa dengan yang lebih kuat lagi.
tidak hormat
 Pasal 12 dan 13 di atas
merupakan bagian dari
mekanisme control terhadap
jaksa dalam menjalankan
tugas/ jabatan.
25

 Pasal 8 (1, 2), intinya ada


pertanggungjawaban secara
hirarkis.

E. Pengadilan sebagai Subsistem Peradilan Pidana


Kedudukan lembaga peradilan dewasa ini mengalami pergeseran makna
yang signifikn daa konteks penegakan hukum dan keadilan untuk mewujudkan
supremasi hukum. Namun seiring dengan semagat reformasi di bidang hukum,
fluktuasi apresiasi msarakat terhadap keberdaan lembaga peradilan yang benar-
benar mandiri dan merupakan benteng terakhir dalam penegakan hukum dan
keadilan menjadi suatu keharusan (conditio sine quanon). Sementara di sisi
lain, fenomena degradasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan
lembaga peradilan semakin menunjukan kepada betapa masyarakat mulai
mencari alternative cara menyelesaikan masalah yang di alami. Alternative –
alternative ada yang dappat di pergunakan sebagai landasan did lam upanya
menyelesaikan permasalahan hukum yang timbul di antara masyarakat (hukum
dan peradilan adat setempat). Tetapi juga banyak alternative yang di pilih oleh
masarakt untuk masalah mereka yang hanya di dasarkan kepada luapan
perasaan emosianal dan kejengkelan, sehingga rasa frustasi sudah menjadi
landasan berpikir dan pertimbagan dalam menyelesaikan permesalahan
mereka. Kenyataan banyaknya kejadian yang menjurus pada perilaku anarkis
dan arogan yang bersifat massal adalah gambaran betapa luapan kekecewaan
terhadap kebrobrokan lembaga perdilan sudah mencapai titik ultimasi yang
tertinggi. main hakim sendiri merupakan menu wajib bagi masyarakat yang
mendasarkan keputusasaan pada emosi akibat kekkecewaan pada patronase
penguasa dalam memberikan “pendidikan” kepad raknyatnya melalui perilaku
anarkis dan arogansi penguasa dalam setiap keputusan dan kebijakanya.
Namun demikian dalam perspektif normative yuridis, keberadaan
lembaga peradilan sebenarnya sudah di lenggkapi dengan berbagai peraturan
perundanngan yang di harapkan dapat menjadi bingkai kerangka normative
kehaddiran lembaga itu sendiri. Sebagai suatu subsistem peradila pidana dala
sistem peradilan pidana terpadu,lembaga peradilan sudah di kawal dengan
26

berbagai macam peraturan perundangan ; uu no 14 tahun 1970 tentang


kekuasan kehakiman ; uu no 35 tahun 1999 tentang revisi terhadap uu no 14
tahun 1970; uu no 2 tahun 1986 tentang peradilan umum ; uu no 14 tahun 1985
tentang mahkamah agung.
Seperangkat peraturan perundang – undangan sebagaimana yang di
sebutkan di atas, memang tidak menjadi satu – satunya pranata untuk
menjadikan lembaga peradilan merupakan salah satu subsistem perdilan pidana
yang terpadu. Asas – asas yang menjadi pedoman keharmonisan dan
terintergrasi antar lembaga peradilan denga sunsistem peradilan pidana yang
lain adalah merupakan pranata yang juga penting.
Asas-asas tersebut merupakan bagian integral dalam tujuan perwujudan
sistem peradilan pidana yang terpadu dalam perspektif lembaga pengadilan.
Walaupun disadari asas – asas sebagaimana terse but di atas, memang tidak
berdiri sendiri, tetapi sangat tergantung bagaimana kultur dan watak dari
personil aparat penegak hukumnya . hal ini penting mengingat, asas – asas
merupakan simpulan dari beberapa ketentuan pasal peraturan perundang
tersebut, sangat mungkin menimbulkan banyak tafsiran (interpretable) justru
karena ketidakjelasan dan ketikjelasan dala umusan pasal – pasal itu sendiri.
Sementara itu dalam tingkatan asas, sesunguhnya pola pikir interpretasi yang di
di pergunakan harus berangkat dari landasan filosofis yang paradicmatic dari
kelahiran peraturan perundangan tersebut yang biasanya dapat di lihat dari
knsideraya. Gabaran asas tersebut yang tersebar dalam pasal – pasal peraturan
perundangan sebgaiman di jelaskan dalam matriks di atas, di sisi lain
mengharuskan adanya pemikiran dan kajian yang lebih mendalam akan
urgensitas dari perlunya alternative sistem peradilan pidana yang terpadu demi
efesiensi dan efektifitas penegakan hukum dan keadilan yang merupakan pilar
utama dari prinsip supremasi hukum yang di selaraskan dengan pola
perkembangan pemikiran dan diskursus mengenai sistem peradilaan itu sendiri.

F. Lembaga Pemasyarakatan sebagai Subsistem Peradilan Pidana


27

Pemasyarakatan merupakan bagian yang paling akhir dalam sistem


pemindnaan dalam tata atau sistem peradilan pidana. Sebagai suatu tahapan
pemindanaan yang terakhir, sudah semestinya dalam tingkatan ini harus
terdapat beberapa harapan dan tujuan dari sistem perdilan pidana terpadu yang
di topang oleh pilar-pilar proses pemindanaan dari mulai lembaga kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan.harapan dan tujuan tersebut dapat saja berupa aspek
pemindanaan dari penghuni lembaga kemasyarakatan (LAPAS) yang di sebut
sebagai nara pidana (NAPI). Dalam konteks dan pengertian yang komprehensif
mengenai istem peradilan pidana yang terpadu, semestinya kesadaran aspek
“pemindanaan” yang akhirnya bermuara di LAPAS, harus sudah timbul dan di
sadari selak mulai proses awal di tingka kepolisian, yakni penyelidikan,
penangkapa hingga samapai dengan penahanan dan penyidikan yang di
lanjutkan dengan proses pendakwaan, penuntutan, di tingkat lembaga
kejaksaan sampai dengan proses pemeriksaan, pembuktian, pengadilan dan
pemutusan oleh hakim di pengadilan.
Sesuai dengan perubahan nama dari sistem kepenjaraan menjadi sistem
kemasyarakatan, secara maknawi mengandung perubahan yang mendasar
secara paradigmatis terhadap sistim pembinaan yang menjadi patron dari
kehadran LAPAS itu sendiri. Pengaturan mengenai bagaimana pengaturan
sistem, organisasi, visi, misi dan tujuan dari sistem pemasyarakatantelah di atur
dalam lugas UU No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Sebagaiman di
sebutkan dalam bagian – bagian sebelumnya, bahwa prinsip penegakan hukum
dan keadilan dan keadilan tidak hanya tergantung dari bagaimana peraturan
perundangan yang ada sudah baik dari aspek subtansi, tetapi juga masalah
kultur dan mental aparat penegaknya menjadi factor yang tidak saja penting
tetapi dominan dalam implementasi peraturan perundangan yang ada. Pasal –
Pasal UU No 12 tahun 1995, tidak akan mempunyai makna yuridis jika tidak
ada upaya law enforcement yang baik dan tegas terhadap subtansi pasal – pasal
yang di maksud. Demikian juga pasal- pasal uu no 12 tahun 1995 bukan satu –
satunya pranata yang utama dalam prinsip perwujudan sistem peradilan pidana
yang terpadu. Namun kalau berbicara mengenai sistem hal yang paling
28

mendasar yang hars mendapat perhatian dan kajian adalah, asas-asas yang baik
secara tersirat maupun secara tersurat yang tersebar dalam pasal- pasal dan
bagian uu no 12 tahun 1995.
Secara universal, asas-asas yang terpenting dal konteks
perwujudan sistem peradila pidana yang terpadu adalah asas persamaan
di muka hukum, sederhana dan cepat, ddue proses of law, efektif dan
efisien serta akuntabilitas. Berkaitan dengan tersebut, berikut akan
dijelaskan kajian mengenai asas-asas dimaksud dalam perspektif UU no.
12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Asas UU No. 12 Tahun 1995
Persamaan di muka hukum  Psl 5 huruf b : sistem bimbingan pemasyarakatan
dilaksanakan dengan persamaan perlakuan dan pelayanan.
Due Process of Law  Psl 1 butir 6 : terpidana adalah seorang yang dipidana
berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
 Psl 14 (2) : ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan
Napi diatur dengan PP
 Psl 15 (2) : ketentuan mengenai program pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 (1) diatur lebih
lanjut dengan PP
 Psl 16 (2) jo psl 24 (2) jo psl 38 : program pemindahan
napi, anak pidana, anak negara anak sipil antar LAPAS
diatur dengan PP
 Psl 22 jo psl 29 jo psl 36 : hak-hak anak pidana, anak
negara, anak sipil diatur dengan PP
 Psl 30 (2) jo psl 37 (2) : kewajiban anak negara dan anak
sipil untuk mengikuti program pembinaan diatur dengan
PP
 Psl 44 : bimbingan klien diatur melalui PP
 Psl 47 (1) : kewenangan kepala LAPAS dalam menunda
atau meniadakan hak tertentu napi harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sederhana dan cepat
Efektif dan efisien
Akuntabilitas Psl 45 (4)

Dari penjelasan asas sebagaimana dalam matriks di atas, dapat di tarik


kesimpula sementara, bahwa dalam undang – undang no 12 tahun 1995 terkait
29

dengan asas adalah belum mengatur secara jelas dan cermat mengenai criteria
dan kualifikasi petugas/SDM yang menjadi penegak semua semua peraturan
perundangna mengenai kemasyrakatan. Kelengkapan sarana dan prasarana
pembinaan kualifikasi dan kriterinya juga tidk jelas, aspek kesahjetaraan
petugas LAPAS juga terkesan di abaikan dan di ikutkan dengan ketentuan
mengenai kepegawaian di Indonesia walaupun lingkup tugas dan tanggung
jawabnya sangat jauh dan lebih besar dari hanya sekedar sebagai pegawai
kantor pemda, prinsip punishment and rewards juga belum mendapatkan
perhatian yang serius dan khusus dalam peraturan perundangan mengenai
kemasyarakatan dan mengani koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak
yang sangat terkait untuk menunjang aspek proses keberhasilan dari tugas dan
kewenangan yang di emban oleh LAPAS juga sangat tidk jela di atur.
Hal ini penting mengigat bahwa LAPAS merupakan benteng dari
rangkaian proses penegakan hukum dan keadilan di bidang hukum pidana,
yang sekaligus menjadi penopang dan pilar utama dari bangunan sistem
peradilan pidana terpadu yang sangat di perlukan untuk mencapai prinsip
supremasi hukum.ibarat produksi sebuah barang kebutuhan pokok oleh suatu
perusahaan, maka gambaran sistem peradilan pidana terpadu itu adalah
bagaiman proses produksi barang tersebut mulai menyediakan bahan baku dari
sampai dengan hilir , sehingga melahirkan produk yang di sebut barang
kebutuhan pokok tersebut .
Sejak polisi melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan kekuatan
hukum apapun, jaksa melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan
ketentuan hukum apapun, hakim melakukan tindakan hukum yang sesuai
dengan ketentuan dengan ketentuan hukum apapun, demikian juga LAPAS
melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan ketentuan apapun, haruslah
bermuara pada satu produk, yakni bagaiman penjahat setelah keluar dari
LAPAS menjadi baik, dapat di terima di masyarakat, tidak di tolak masyarakat,
mempunyai keterampilan

G. Advokat sebagai Subsistem Peradilan Pidana


30

Fenomena kesewenang-wenangan, arogansi, anarkisme yang kerapkali


dilakukan oleh para penguasa dan penegak hukum, dalam banyak hal mampu
melahirkan fenomena ikutan yang berupa main hakim sendiri dan dendam
kesumat, kebencian yang mendalam, sikap apatise, pesimis, fatalis dari
masyarakat pencari keadilan. Sudah menjadi kamus public bahwa berurusan
dengan lembaga hukum, untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi
masyarakat, sering kali malah yang ditemui dan didapat bukan penyelesaian
hukum yang baik dan memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Tetapi
acapkali masyarakat menjadi semakin terlanggar hak-haknya sebagai warga
Negara yang harus dilayani oleh aparat penegak hukum. Ketidak mengertian
masyarakat akan proses hukum yang akan dilakukan jika mengalami
persoalan, adalah factor utama mengapa hak-hak mereka menjadi terabaikan
dari kewajiban aparat penegak hukum. Masyarakat mengadukan dan
melaporkan terhadap pelanggaran haknya oleh pihak lain, tetapi ketika sampai
di lembaga hukum public, malah justru hak-hak yang lain menjadi dilanggar
oleh aparatur hukum.
Dalam konteks perlindungan hak-hak tersebut, kehadiran pihak ketiga
menjadi sangat dibutuhkan oleh masyarakat yang mencari keadilan dan
kepastian hukum melalui lembaga hukum public. Kelaziman yang terjadi pihak
ketiga yang dimaksud adalah penasehat hukum/ advokat. Dari pihak inilah hak-
hak pencari keadilan dan kepastian hukum digantungkan. Namun demikian,
harapan dan gantungan hak tersebut tidak semudah yang diucapkan dan
ditentukan dalam peraturan perundangan saja. Dalam banyak hal kehadiran
advokat juga seringkali merepotkan dari pencari keadilan dan kepastian
hukum. Kerepotan tersebut mulai dari aspek cultural, strucktural, psikologis,
materi, politik, social. Kalau kurang teliti dan hati-hati maka, kesengsaraan
yang lebih berat juga akan menjadi penderitaan pencari keadilan dan kepastian
hukum.
Namun kenyataan yang kontrakditif mengenai keberadaan advokat, dan
segala sesuatunya hanya diatur secara administrative melalui substansi regulasi
etik, yang sering disebut dengan istilah ‘kode etik’ advokat (sebelum
31

diundangkannya undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat).


Persoalan yang urgen seputar pengangkatan menjadi advokat, penempatan dan
jumlah advokat, syarat menjadi advokat, hak dan kewajiban peraturannya
hanya didasarkan kepada ‘transaksi’ mekanisme pasar, dan kesepakatan-
kesepakatan semu yang profit oriented dari masing-masing asosiasi ‘etika’
jangkauan peraturan perundangan yang mengatur hal-hal sebagai mana tersebut
di atas, belum sampai pada pengaturan yang secara imperative dalam undang-
undang. Diskriminasi secara yuridis Nampak dari setidaknya adanya UU yang
mengatur mengenai lembaga dan profesi advokat yang merupakan salah satu
subsistem peradilan pidana yang terpadu. Polisi, jaksa, hakim, LAPAS semua
diatur dalam Undang-Undang serta advokat sudah diatur dalam undang-
undang, secara etikdibicarakan dalam bentuk UU no 18 tahun 2003 tentang
Advokat.
Kerangka normatif bangunan hukum yang dijadikan landasan ideologi
bagi terciptanya bangunan sistem paradilan yang terintegrasi, dituntut untuk
mempunyai paradigma yang legilistik substantive bukan legistik formalistic,
lebih mengutamakan kepastian teknis administrative dengan sekaligus
menegasikan kepastian keadilan. Konsepsi penegakan hukum dan keadilan
yang dibangun hanya berdasarkan simbol-simbol yang bersifat atributif.
Hubungan antara penegak hukum yang menjadi dan membangun sistem
peradilan yang terintegrasi, menggunakan parameter standart kontraktual.
Paradigma hukum legistik formalistic juga melahirkan praktik
otoritarianisme sistematis aparat penegak hukum yang menghamba dan
mengabdi kepada hukum formal dan bukan kepada keadilan. Reduksi makna
dan subtansi keadilan yang menjadi ruh hukum, menjelma dalam pasal-pasal
undang-undang yang bermakna teknis administrative. Keadilan procedural,
keadilan substansill, keadilan hasil, tidak dipandang dan menjadi landasan
filosofis lahirnya sebuah undang-undang. Abstraksi kepentingan simbolis dari
penegak hukum, menjadi ruh dan substansi undang-undang. Dalam kerangkan
berpikir demikian maka sebenarnya kelahiran UU no 18 tahun 2003 tentang
32

advokat menjadi landasan filosofis yang penting dalam upaya mewujudkan


profesi advokat yang bebas, mandiri dan bertanggungjawab.
Namun demikian, secara akademisi UU no 18 tahun 2003, jika dilihat
dari pasal-pasalnya masih menggunakan paradigm hukum yang legalistic
formalistic. UU yang diharapkan menjadi UU paying bagi profesi advokat di
Indonesia, justru banyak mengatur hal-hal yang terlalu bersifat teknis dan
administrative. Parsialitas substantive Nampak dalam ketentuan yang disana
seharusnya ada keseimbangan antara larangan kewajiban tidak imbang dengan
sanksi, yang merupakan cirri khas hukum tidak dimunculkan. Keseimbangan
tersebut kembali menegaskan bahwa UU no 18 tahun 2003 tentang advokat
merupakan UU yang mengatur persoalan teknis administrative dengan
mereduksi nilai-nilai keadilan yang menjadi prinsip dan landasan professional
yang dibungkus dengan etika profesi yang simplistic dan parsial.
Secara katagoris, Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang
Advokat tersebut, juga mempunyai makna sebagai media dan alat untuk
menciptakan proses kapialisasi dalam dunia profesi Advokat. Seseorang yang
telah lulus dari fakultas hukum (sarjana hukum), jika mempunyai minat
menjadi advokat, maka kepada yang bersangkutan wajib melakukan magang
selama dua tahun di kantor advokat yang direkomendasikan oleh organisasi
advokat yang di akui dalam undang-undang ini. Disamping itu harus
menempuh pendidikan profesi advokat lanjutan yang diselenggarakan oleh
masyarakat perguruan tinggi yang telah mendapat ijin dan diakui menurut
undang-undang no 18 tahun 2003.
Disamping persoalan financial yang sudah pasti besar nilainya, juga
dari model sistem rekrutmen yang menempatkan posisi organisasi Advokat
yang paling berwenang, juga tidak dapat dijamin proses tersebut tidak terdapat
praktik KKN. Ketertutupan dan ketidakterbukaan sistem dan mekanisme
rekrutmen calon advokat yang eksklisif dan mahal. Jika tidak dilakukan control
yang memadai terhadap sistem rekrutmen tersebut, sudah barang tentu akan
terjadi proses kapitalisasi terhadap profesi advokat yang justru dilakukan oleh
organisasi advokat sendiri.
33

BEBERAPA CATATAN TERHADAP UU 18 TAHUN 2003


TENTANG ADVOKAT

No PASAL, KETENTUAN DALAM CATATAN


AYAT PASAL-PERPASAL
1 Pasal 1 angka Jasa hukum adalah jasa Kata melakukan tindakan hukum lain
Ke 2 yang diberikan advokat untukkepentingan hukum klien
berupa memberikan bermakna abstrak dan interpretable.
konsultasi hukum, bantuan Dan oleh karenanya bertentangan
hukum, menjalankan kuasa dengan landasan filosofis keluarnya UU
mewakili, mendampingi, ini terutama ketentuan konsideren
membeladan melakukan menimbang pada huruf b yang
tidakan hukum lain untuk menyatakan bahwa: kekuasaan
kepentingan hukum klien kehakiman yang bebas dari segala
campur tangan dan pengaruh dari luar
memerlukan profesi advokat yang
bebas, mandiri, dan bertanggungjawab
untuk terselenggaranya suatu peradilan
yang jujur, adil dan memiliki kepastian
hukum bagi semua pencari keadilan
dalam menegakkan hukum,kebenaran,
keadilan, dan HAM. Oleh karenanya
bagaimana pencari keadilan yang tidak
didampingi oleh advokat, disamping itu
cita-cita peradilan jujur dst tersebut
didistorsi dengan profesi Advokat yakni
memberi jasa hukum yang didalamnya
termasuk melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan hukum klien dan
bukan untuk terselenggaranya peradilan
yang jujur tersebut.
2 Pasal 1 angka Pengawasan adalah Kata tindakan teknis dan administrative
5 tindakan teknis dan tidak menyentuh aspek substansiil
administrative thp profesi dalam upaya mewujudkan advokat yang
Advokat untuk menjaga bebas, mandiri dan bertanggung jawab
agar dalam menjalankan untuk mewujudkan peradilan yang jujur.
profesinya sesuai dengan Apalagi tindakan tersebut dimaksudkan
kode etik profesi dan sebagai tindakan pengawasan,
34

peraturan perundang- seharusnya pengawasan terhadap


undangan yang mengatur advokat diarahkan kepada pembentukan
advokat advokat yang memiliki integritas moral
tinggi, integritas keilmuan tinggi dan
integritas social tinggi karena advokat
menjalankan profesi memberikan jasa
hukum, dan jasa hukum bukan sekedar
persoalan teknis administrative. Makna
teknis administrative juga terdapat
dalam pasal 12 UU ini.
3 Pasal 1 angka Honorarium adalah imbalan Ketentuan ini dapat menimbulkan
7 atas jasa hukum yang praktik pemerasan sistematis dan legal
diterima oleh advokat oleh advokat terhadap klien. Perlu
berdasarkan kesepakatan dipikirkan kententuan honor
dgn klien berdasarkan prosentase minimum
(missal max 6% dari nilai objek
sengketa atau biaya perkara)
4 Pasal 1 angka Bantuan hukum adalah jasa Seharusnya: bantuan hukum adalah jasa
9 hukum yang diberikan oleh hukum yang wajib diberikan oleh
advokat secara Cuma- advokat secara Cuma-Cuma kepada
Cuma kepada klien yang klien yang tdk mampu “ sehingga dg
tdk mampu nada kata wajib maka tidak benar
advokat memilih-milih.
5 Pasal 2 (1) ….. dan setelah mengikuti Syarat tambahan ini dirasakan penting
pendidikan khusus profesi dan mendasar, sebab kurikulum yang
advokat dst diberikan di pendidikan tinggi secara
umum tidak diformat secara khusus
untuk melahirkan seorang lulusan calon
advokat. Namun demikian kurikulum
yang diformat dalam pendidikan khusus
profesis advokat tersebut harus lebih
diarahkan kepada pemberian
kemampuan tdk hanya skill tetapi lebih
kepada pembentukan perspektif.
6 Pasal 3 (1) Tidak berstatus sebagai Ketentuan ini agaknya perlu
huruf c pegawai negeri sipil atau diselaraskan dengan ketentuan pasal 1
pejabat negara angka 3 tentang klien. Sebab bagaimana
jika pengacara Negara misalnya jaksa
35

mewakili lembaga Negara, biro hukum


departemen atau kabag hukum pemda,
mewakili instansinya, apakah dapat
dikatakan sebagai advokat sementara
mereka ini juga melakukan fungsi
memberikan jasa hukum untuk
kepentingan lembaganya.
7 Pasal 3 (1) Magang sekurang- Kalau syarat ini dianggap penting, maka
huruf g kurangnya dua tahun terus orientasi magang harus tidak saja
menerus pada kantor diarahkan kepada kemampuan teknis
advokat administrative saja. Tetapi persoalan
kemampuan hukum global dan
integritas keilmuan, integritas social
menjadi penting diberikan kepada
advokat untuk kepentingan kedepan
dalam era ekonomi.
8 Pasal 3 (1) Tidak pernah dipidana Ketentuan ini mengandung makna
huruf h karena melakukan tindak ambiguitas dan interpretable sebab
pidana kejahatan yang antara kata: “ tidak pernah dipidana “
diancam dgn pidana penjara dapat bermakna sudah pernah dipidana
lima tahun atau lebih dengan pidana lima tahun atau lebih
sedangkan kata : “yang diancam dengan
pidana penjara lima tahun atau lebih”.
Kalau masih diancam berarti belum
pernah dipidana atau tidak terbukti
bersalah melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih.
Seharusnya : “tidak pernah dipidana
penjara lima tahun atau lebih karena
melakukan tindak pidana kejahatan.
Sehingga jelas dan tidak interpretable
serta ambiguitas. Walaupun batasan
lima tahun penjara atau lebih tersebut
juga masih diperdebatkan mengapa
tidak satu tahun.
9 Pasal 5 (1) Advokat berstatus sebagai Penegasan status bagi advokat
penegak hukum, bebas dan bermakna administrative teknis,
36

mandiri yang dijamin oleh sementara dalam upaya mewujudkan


hukum dan peraturan sistem peradilan yang terintegrasi
perundang-undangan advokat menjadi salah satu pilar
penyangganya disamping, hakim, jaksa,
polisi dan lembaga pemasyarakatan.
Dalam sistem peradilan yang
terintergritas kedudukan advokat sejajar
dengan hakim, jaksa, polisi dan LP, oleh
karenanya seharusnya mengenai fungsi
dan tanggungjawab sudah
seharusnyasejajar.
10 Pasal 6 Advokat dapat dikenai Kata dapat bermakna tidak harus dan
tindakan dengan alasan: dpt menimbulkan sikap pilih-pilih dari
organisasi advokat untuk melakukan
tindakan terhadap advokat yang karena
alasan tertentu harus ditindak. Padahal
alasan tindakan bisa saja karena alasan
advokat melanggar sumpah atau janji
advokat kode etik profesi advokat
sebagaimana pasal 6 huruf f bagaimana
misalnya ada advokat yang melanggar
sumpah keempat sebagaimana
ketentuan pasal 4 yakni: memberikan
atau menjanjikan sesuatu kepada
hakim,pejabat pengadilan atau pejabat
lainnya agar memenangkan atau
menguntungkan bagi perkara klien yang
sedang atau ditangani.
11 Pasal 6 huruf c Bersikap…… dst Alasan ini dpt saja menghambat
demokratisasi dan transparasi dalam
penegakkan hukum dan keadilan
dipearadilan. Sebab bagaimana
mungkin seorang advokat yang
membuat pernyataan dan pandangan
yang seharusnya dan senyatanya
berdasarkan hukum dan keadilan serta
peraturan perundangan, mengenai kasus
yang telah di ‘bela’ dimedia massa yang
37

dimaksud untuk membangun opini dan


mendorong terwujudnya peradilan yang
jujur, adil dan memiliki kepastian bagi
semua pencari keadilan, kebenaran,
keadilan dan HAM menuju pengukuhan
independensi kekuasaan kehakiman.
12 Pasal 7 (1) Jenis tindakan dst.. Sudah saatnya dipikirkan adanya sanksi
pidana khusus terhadap perbuatan
Advokat yang sifat dan nilai jahatnya
‘tinggi’ yakni memenuhi unsur tindak
pidana yang di atur dalam perundangan
yang berlaku.
13 Pasal 9 (1) Advokat dapat berhenti Kata dpt bermakna sukarela dan ini
atau diberhentikan dari dapat mereduksi makna dan substansi
profesinya oleh organisasi yang seharusnya yang menjadi
advokat kewenangan organisasi advokat untuk
melakukan pemberhentian kepada
advokat yang karena tertentu harus
diberhentikan
14 Pasal 10 (1) Advokat dapat berhenti Kata dpt dapat bermakna mereduksi
atau dapat diberhentikan makna alasan seperti dalam huruf b:
dari dsb. dijatuhi pidana dsb… sehingga terkesan
suka rela padahal sifat dan nilai jahat
perbuatanya layak Advokat dikenakan
sanksi
15 Pasal 10 (2) Advokat diberhentikan … Kata tidak berhasil bermakna bahwa
dst…. Tidak berhak tugas menjalankan profesi hukum
dalam bentuk jasa hukum adalah hak
dan bukan kewajiban. Padahal
semestinya jika seorang sudah memili
menjadi advokat maka kosekuensi yang
muncul adalah kewajiban menjalankan
jasa hukum untuk mendorong
inpendensi kekuasaan kehakiman0
16 Pasal 14 dan Advokat bebas……… dst Ketentuan ini penting dalam rangka
pasal 15 kehadiran advokat untuk mendorong
terwujudnya advokat yang bebas,
mandiri, dan bertanggung jawab dalam
38

upaya melakukan independensi


kekuasaan kehakiman dengan sistem
peradilan yang terintegrasi, jujur, adil.
17 Pasal 17 Dalam menjalankan…. Dst Seharusnya untuk kepentingan
yang diperlukan untuk terwujudnya peradilan yang jujur, adil
pembelaan kepentingan independensi kekuasaan kehakiman dan
kliennya… dst terwujudnya sistem peradilan yang
terintegrasi karena advokat merupakan
bagian integral dari sistem peradilan
yang terintegrasi
18 Pasal 18, 19, Advokat wajib… dst… Pasal-pasal tersebut mengatur tentang
20 advokat dilarang dst. kewajiban dan larangan tetapi tidak
mengatur tentang sanksi apabila
kewajiban dan larangan tersebut di
langgar dan tidak dipatuhi untuk
dilaksanakan.
19 Pasal 23 (1) Advokat asing dilarang Ketentuan ini bermakna terlalu protektif
beracara di sidang jika dikaitkan dengan tern
pengadilan, berpraktek. perkembangan ekonomi dan pasar
global yang membawa konsekuensi
pada perkembangan hukum global.
20 Pasal 23 (2) Kantor advokat …..dst…,. Kata pemerintah tidak ditemukan
atas ijin pemerintah…dst.. padanan dan defenisi, tetapi yang ada
adalah kata menteri sesuai dengan
ketentuan pasal 1 angka 10

Dengan berbagai kelemahan yang mendasar sebagaimana telah


diuraikan pasal per pasal diatas, maka sesungguhnya kehadiran undang-undang
no 18 tahun 2003 yang diharapkan menjadi pilar pelengkap kerangka normatif
dan sekaligus ideologi, bagi advokat sebagai bagian integral dari sistem
peradilan pidana yang terpadu, Nampak jauh api dari panggang. Bahkan justru
sebaliknya, keberadaan undang-undang no 18 tahun 2003 tersebut menjadi
salah satu factor penghambat terwujudnya sistem peradilan terpadu baik secara
structural maupun secara cultural, sebab keberadaan undang-undang no 18
tahun 2003 justru menjadi factor untuk memperkukuh dan melegitimasi
terjadinya perilaku advokat yang mewujudkan penegakan hukum dan keadilan,
39

baik melalui lembaga pengadilan (litigasi) maupun non letigasi (luar


pengadilan).

Padahal sesungguhnya kehadiran advokat apalagi diatur dalam ndang-


undang khsus tentang advokat, diharapkan menjadi wsalah satu saran control
(masyarakat), untuk membimbing dan mewarnai sistem penegakkan hukum
dan keadilan di pengadilan maupun diluar pengadilan. Sebab advokat adalah
salah satu profesi penegak hukum yang secara umum relative mudah diakses
oleh masyarakat dari golongan apapun tanpa harus membedakan status social,
ekonomi, dan lain-lain artinya kelompok-kelompok masyarakat yang secara
intensif melakukan upaya dan langkah advokasi dalam rangka pemberdayaan
masyarakat, dapat relative lebih mudah untuk memasuki jenis profesi advokat
tersebut.

Sehingga dengan demikian diharapkan kehadiran mereka dapat mampu


mewarnai dan membimbing penegakkan hukum dan keadilan di Indonesia.
Oleh karenanya kelahiran UU no 18 tahun 2003 tentang advokat tersebut, tepat
secara waktu tetapi tidak substansi. Tidak terdapat jenis sanksi dan hukuman
terhadap advokat yang melakukan tindak pidana berat tetapi justru menghukum
orang yang menolong rakyat miskin yang membutuhkan pendamping ketika
memiliki masalah hukum baik litigasi maupun non litigasi, yakni para dosen
dan kalangan LSM seperti LBH, Kontras, ICEL, dll. Sebab mereka yang
terakhir ini tidak diakui keberadaannya menurut UU no 18 tahun 2003, bahkan
diancam hukuman penjara lima tahun. Oleh karena mereka dianggap bukan
sebagai advokat dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.

Namun demikian, dengan lahirnya UU No 18 tahun 2003 tentang,


advokat tersebut setidaknya ada harapan baru bagi pengembangan dan
pembangunan sistem peradilan di Indonesia, karena ada pengakuan secara
resmi terhadap profesi Advokat sebagai bagian integral dari sistem peradilan di
Indonesia.
40

Kalau yang mempunyai perilaku koruptif, koluptif, dan nepotif adalah


polisi, jaksa, hakim, lembaga pemasyarakatn dan jajarannya, ada kelaziman
dan sudah menjadi bagian integral dari semangat reformasi rakyat untuk
melakukan control dan koreksi, bahkan dalam banyak hal ‘dihukumi’ sebab
mereka para penegak hukum tersebut memang digaji dari uang rakyat. Secara
sosiologis, rakyat mempunyai hak untuk menghakimi dan menghukumi
mereka, sebab mereka aparatur yang wajib menegakkan hukum dan keadilan
dengan gaji dari rakyat.

Kalaupun terdapat kasus-kasus perilaku Advokat yang koruptif, koluktif


dan nepotif, dianggap hanya wilayah privat antara Advokat dengan klien
semata. Sehingga harus pula diselesaikan antara mereka para advokat dengan
klien saja tanpa melibatkan peran serta masyarakat secara missal misalnya,
melakukan demo-demo dan atau tindakan lain yang dimaksudkan dapat
merubah perilaku dan perbuatan advokat yang koruptif, kolutif dan nepitf
tersebut.

Berdasarkan pada fenomena dan gambaran betapa tindakan dan


perilaku aparatur penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, lembaga
pemasyarakatan dan jajarannya, Advokat) yang sering menghambat
penegakkan hukum dan keadilan yang mana juga sangat sulit untuk dikontrol
dan dikendalikan oleh rakyat, maka pikiran untuk menghukum penegak hukum
busuk adalah salah satu cara untuk melakukan control terhadap aparatur
penegak hukum, dapat dipahami dan dilakukan.

Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui siapa-siapa yang


masuk katagori penegak hukum busuk dan siapa-siapa yang termasuk dalam
kelompok penegak hukum bersih. Walaupun langkah ini tidak lebih mudah
ketika masyarakat melakukan gerakan anti politisi busuk namun gerakan anti
penegakan hukum busuk, merupakan tindakan yang mendesak untuk dilakukan
dan harus mendapatkan jaminan dalam peraturan perundang-undangan,
sebagaimana gagasan saksi harus mendapat perlindungan hukum juga.
41

Termasuk mereka penegak hukum yang sudah bersih hati dan nuraninya,
mempunyai kewajiban untuk menindak dengan tegas kolega mereka para
penegak hukum yang busuk. Sebab jika undang-undang nomor 18 tahun 2003
tentang advokat, hanya memandang tindakan advokat yang korupsi, kolusi dan
nepotisme akibat pelanggaran sumpah jabatan, sekedar sebagai pelanggaran
etika profesi tetapi disisi lain menghukum orang yang menolong orang miskin.
Tidak diakui sebagai advokat dengan hukuman pidana penjara 5 tahun, jelas
tidak saja UU tersebut sangat diskriminatif, tetapi kontradiktif dan sangat tidak
adil. Alas an klasik bahwa ketentuan tersebut untuk menghukum para prokol
bamboo adalah alas an yang tidak berdasar dan apologis.

Hal-hal patut mendapat perhatian dalam penyempurnaan RUU advokat


adalah mengenai pengawasan, otoritas pihak yang mengawasi dan
menjatuhkan sanksi, optimalisasi fungsi organisatoris, kualifikasi dan integritas
keilmuan dan moral dari advokat, pengaturan yang tegas dan jelas mengenai
hak dan kewajiban advokat, maka sulit bisa diharapkan bahwa advokat mampu
menjadi salah satu pilar dari sistem peradilan pidana yang terpadu. Melalui
pemikiran alternative dari sistem peradilan pidana yang terpadu secara efektif
dan efisien, yang menyentuh aspek keadilan dan kepastian adalah kiranya
layak untuk mendapat ruang yang cukup dalam setiap kajian yang dilakukan
oleh pihak manapun. Integrasi kajian dan bahasan yang dilakukan oleh pihak
manapun. Integrasi kajian dan bahasan seyogyanya sejak dini harus diperluas
keterlibatan public dengan media dan mekanisme yang transparan dan
demokratis.

Demikianlah gambaran umum mengenai sistem peradilan pidana yang


terpadu dalam perspektif yuridis normative, yang disana sini dapat kita ketahui
kelemahan-kelemahan mendasar yang segera harus dilakukan perbaikan agar
asas mendasar yang dipergunakan untuk mewujudkan sistem peradilan pidana
yang terpadu efektif dan efisien dapat diwujudkan.
42

RANGKUMAN

LATIHAN

BAB III

SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM PERSPEKTIF AHLI

TUJUAN KHUSUS PERKULIAHAN

1. Tujuan Instruksional Umum

2. Tujuan Instruksional khusus

A. Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) atau Integrated Criminal


Justice Sistem (ICJS)

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan


suatu open sistem, dalam pengertian sistem peradilan pidana dalam geraknya
akan selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi)
dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat masyarakat : ekonomi,
politik, pendidikan, dan teknologi, serta subsistem-subsistem dari sistem
peradilan pidana itu sendiri (subsistem of criminal justice sistem)
43

(Muladi:vii:1995). Sistem peradilan pidana di dalamnya terkandung gerak


sistemik dari subsistem-subsistem pendukungnya, yakni kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat yang secara keseluruhan
dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasikan masukan
menjadi luaran yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana.
Menurut Hulsman, sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan
masalah sosial dengan alasan: 1)the criminal justice sistem inflicts suffering; 2)
the criminal justice sistem does not work in terms of its own declared aims; 3)
fundamental uncontrollability of criminal justice sistem; 4) criminal justice
sistem approach is fundamentally flawed (dalam Muladi:1995:1). Dalam
pandangan demikian sistem peradilan pidana menuntut adanya keselarasan
hubungan antar subsistem secara administrasi dalam implementasi sistem
peradilan pidana yang terpadu (the administration of justice). Secara pragmatis,
persoalan administrasi peradilan dalam sistem peradilan pidana menjadi faktor
yang signifikan dalam prinsip penegakan hukum dan keadilan melalui
subsistem sistem peradilan pidana yang terpadu. Sebab apabila masalah
administrasi peradilan tidak bagus dalam konsep dan implementasinya, tujuan
yang ingin dicapai oleh adanya sistem peradilan pidana terpadu, tidak mungkin
bisa terwujud dan yang terjadi justru akan sebaliknya, yakni kegagalan dari
prinsip-prinsip dan asas-asas hukum yang menjadi dasar dari kerangka
normatif sistem peradilan pidana yang terpadu.
Penyelenggaraan peradilan pidana yang sistematis dan terpadu (SPPT),
maka fungsi yang harus dijalankan adalah :
- Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan
kejahatan, dan melakukan upaya inkapasitasi terhadap orang yang
merupakan ancaman terhadap masyarakat.
- Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada
hukum, dengan menjamin adanya due process dan perlakuan yang
wajar bagi tersangka, terdakwa dan terpidana, melakukan penuntutan
dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan
kejahatan.
- Menjaga hukum dan ketertiban.
- Menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan falsafah pemidanaan
yang dianut.
44

- Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan (Malcolm


Devies, Hazel and ane Tyrer: Criminal Justice, London Longman, p.4-
6, dalam Tim FH-UI: 2001:23)

Pemahaman terhadap makna SPPT yang sesungguhnya, adalah bukan saja


pemahaman dalam konsep ‘integrasi’ itu sendiri, tetapi sistem peradilan pidana
yang terpadu juga mencakup makna substansiil dan urgensitas simbolis
prosedur yang terintegrasi tetapi juga menyentuh aspek filosofis makna
keadilan secara terintegrasi. Sehingga dengan demikian penegakan hukum
pidana materiil yang dikawal dan dibingkai oleh norma peraturan perundangan
yang menjadi wilayah hukum pidana procedural, dapat lebih didekatkan pada
prinsip dan substansi penegakan hukum yang sekaligus penegakkan keadilan.
Sejalan dengan pandangan ini adalah pandangan dari NV Pillai, bahwa “…..the
concept of an Integrated criminal Justice Sistem does not envisage the entire
sistem working as one unit or department or as different sections on one
unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in
diversity’, somewhat like that under which the armed forces function. Each of
the three main armed services owm its distinctif roles, its training schemes, its
own personnel and its own operational method (1982:p:31)

B. Model-Model Sistem Peradilan Pidana

Berbicara model sistem peradilan pidana terpadu, tidak dapat


dilepaskan dari ukuran atau karakteristik dari sistem peradilan pidana terpadu
itu sendiri. Dalam kaitan ini patut disimak pandangan dari Hiroshi Ishikawa
(dalam Muladi:1995:5-6), bahwa karakteristik yang dapat dijadiakn dasar
untuk memodifikasi model sistem peradilan pidana terpadu, menggunakan
indicator-indikator karakteristik sebagai berikut :
Pertama: clereance rate yang relatif tinggi, yang meliputi variabel: 1)
police efficiency (well trained, well disciplined and well organized police
force): 2) citizens corporation with law inforcement. Kedua: conviction rate,
yang relatif cukup tinggi. Konsep yang mendasari hal ini adalah apa yang
dinamakan precise justice, yang bertumpu pada substantial truth. Konsep ini
dapat terlaksana jika didukung oleh uniformly as well as highly trained
45

professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and minute
fact-finding and minute fact-finding justice, similar to precision machine tools,
not only the degree of proff of substantial truth but the degree of repentance.
Ketiga: speedy disposition/national policy in favour of criminal justice
administration. Delay of justice is denied of justice. Keempat: rehabilitation
minded sentencing policy. Kelima: rate of recall to prison (reconfiction rate)
yang relatif kecil.
Sistem peradilan pidana harus dilihat dari sebagai the network of courts
and tribunals which deal with criminal law and its enforcement (Black’s law
Dictionary). Sistem peradilan pidana dalam konteks ini harus dilihat dari sisi,
yakni sisi fisik (sarana prasarana yang mendukung tegaknya sistem peradilan
pidana itu sendiri) dan sisi non fisik/abstrak (berupa ide-ide dan konsep serta
gagasan dalam kerangka dalam pengembangan sistem peradilan pidana yang
integratif dengan prinsip efektif dan efisien.

1. Model Sistem Peradilan Pidana dalam instrument Internasional


Senada dengan pendapat mengenai model sistem peradilan berikut akan
dikemukakan model sistem peradilan dalam instrument internasional yang mengatur
tentang hal tersebut dalam berbagai literature sebagai berikut:

Crime control model Due process model


5 karakteristik Values 6 karakteristik
1. represif Mekanisme 1. representif
2. presumption of 2. presumption of
guilt innocent
3. informal fact- 3. formal adjudicatif
4. legal guilty
finding
5. efektif
4. factual guilt
5.efisiensi
Affirmatif model Tipologi Negatif model

a. Dalam bidang Kerjasama Internasional


1. Model Treaty of Extradition (General Assembly Resolution 45/116, 68th
Plenary meeting, 14 December 1990), meliputi: 1) extraditable offences;
2) mandatory grounds refusel; 3) optimal grounds for refusel.
2. Model Treaty on Mutual Assitance in Criminal Matters (General
Assembly Resolution 45/117 68th plenary meeting 14 December 1990).
46

b. Dalam bidang Peradilan dan Penegakan Hukum


1. Code of Conduct for Law Enforcement Officials (General Assembly
resolution 34/169). Merupakan pedoman kapan seorang penegak hukum
diijinkan menggunakan force, yakni when strictly necessary and only to
the extent required for the performance of their duty.
2. Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement
Officialls (Adopted by Eight Crime Congress, Hanava, 1990).
3. Basic Principles on Independence of the Juduciary (Adopted by the
Seventh Crime Congress, Milan, 1985 and endorsed by the General
Assembly in Resolution 40/32).
4. Basic principles on the Rule of Lawyers (Adopted by the Eight Crime
Congress, 1990).
5. Guideliness on the Role of Prosecutors (Adopted by the Eight Crime
Congress, 1990).

c. Dalam bidang Pembinaan Para Pelaku


1. Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoners (Adopted by
the ECOSOC , 1957, Resolution 663 CI (XXIV), on the recommendation
of the First Congress).
2. Standard Minimum Rules For Non-Custodial Measures (General
Assembly Resolution 45/110, the Tokyo Rules).

d. Dalam bidang Juvenile Justice


1. Undang-Undang standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice (the Beijing Rules, General Assembly resolution 40/33).
2. Yang berkaitan dengan Perlindungan Korban
a. Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and
Abuse Power (Power Assembly Resolution 40/34)
b. Implementation of the Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crime and Abuse of Power (ESOCOS Resolution 1987/57)
c. Victims of Crime and Abuse of Power (ESOCOS Resolution 1990/22)
d. Protection of the Human Right of Victims of Crime and Abuse of
Power.
3. Yang berkaitan dengan Pidana Mati
Pengaturan tentang hal tersebut dapat dilihat dalam the Safeguards
Guaranteening Protection of the Rights of Those Facing the Death
penalty (ESOCOS Resolution 1984/50).
4. Yang berkaitan dengan Treatment, Punishment and Extralegal
Executions
Pengaturan mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam Declarations
against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (Adopted by the General Assembly, 9 December 1975).

2. Crime Control Model and Due Process Model


47

Nilai-nilai yang mendasari crime control model adalah:

1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan


fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu
penegakkan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam
proses peradilannya;
3. Proses criminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality) dan model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah harus model
atau ‘presumption of guilt’ akan menyebabkan sistem ini akan
dilaksanakan secara efisien dan;
4. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas
temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut
akan membawa kearah :
a. Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan; atau
b. Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead of
guilty).

Nilai-nilai yang mendasari ‘due process model’ adalah sebagai berikut :

1. Kemungkinan adanya faktor ‘kelalaian yang sifatnya manusiawi’


(human error) menyebabkan model ini menolak ‘informal fact
finding process’ sebagai cara untuk menetapkan secara definitif
“factual guilt’ seseorang.
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventif measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin mekanisme administrasi peradilan.
3. Model ini beranggapan bahwa menetapkan individu secara utuh dan
utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang
formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan
kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi
seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh Negara.
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin: legal-guilt.
5. Gagasan persamaan dimuka hukum (equality before the law) lebih
diutamakan. Tujuan khusus due process model adalah, sekurang-
kurangnya melindungi meereka yang factual tidak bersalah (factual
innocent) sama halnya dengan menuntut mereka yang factual
bersalah (factually guilty).
6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana (criminal sanction).

3. Model sistem Inkuisitur


48

Proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan sistem inkuisitur


adalah dimulai dengan adanya inisiatif penyidik atas kehendak sendiri unutk
menyelesaikan kejahatan. Pemeriksaan dilakukan secara rahasia. Tahap awal
dengan meneliti apakah suatu kejahatan telah dilakukan, dan melakukan
identifikasi pelakunya. Apabila pelaku kejahatan telah diketahui dan ditangkap,
maka tahap berikutnya adalah memeriksa pelaku. Dalam tahap pemeriksaaan
ini pelaku diasingkan dan tidak diperkenankan berkomunikasi dengan pihak
lain atau keluarganya. Pemeriksaan pelaku dan saksi dilakukan secara terpisah
dengan dibawah sumpah dan dicatat dalam berkas hasil pemeriksaan.
Tersangka/pelaku tidak diberitahu isi tuntutan dan jenis kejahatan yang
dilakukan serta bukti yang memberatkan. Tujuan pemeriksaan ini hanya untuk
mendapatkan penakuan (confession) tersangka. Jika tersangka tidak mau
mengaku maka petugas pemeriksa akan memperpanjang penderitaan tersangka
melalui cara penyiksaan (torture) sampai mengaku. Setelah selesai hasil
pemeriksaan diserahkan ke pengadilan yang menjadi satu-satunya dasar
pemeriksaan pengadilan, penuntut umum tidak memiliki peranan, baik
mengenai pengajuan, pengembangan lebih lanjut maupun penundaan perkara.
Selama pemeriksaan tertuduh tidak di hadapkan ke pengadilan dan dilakukan
secara tertutup serta tidak didampingi pembela.

4. Model the Mixed Type

Gambaran proses pidana menurut model ini adalah sebagai berikut:


tahap pemeriksaan pendahuluan pada dasarnya menggunakan bentuk
inkuisitor, akan tetapi proses penyelidikan dapat dilaksanakan oleh ‘the public
prosecutor’. Dalam penyelidikan seorang ‘investigating judge’ yang netral
untuk mengumpulkan bukti. Aktifitas pengambilan bukti dihadiri oleh
tersangka dan jaksa. Tertuduh tidak wajib menjawab selama proses
pemeriksaan tertuduh dan pembela mendapat hak yang tak terbatas untuk
meneliti perkara dan pemeriksaan dilakukan secara terbuka. Tahap berikutnya
adalah menyampaikan berkas perkara kepada jaksa yang harus menentukan
apakah perkara akan diteruskan atau tidak ke pengadilan. Tidak terdapat proses
49

‘arraignment’ yakni tersangka hadir di pengadilan untuk memberikan


pernyataan bersalah atau tidak atas tuduhan, memilih sendiri sistem hakim atau
juri. Kedua pihak (jaksa dan tertuduh) diberi hak untuk mengajukan
argumentasi dan berdebat dalam sidang terbuka. Pelaksanaan pengujian
kebenaran bukti yang ada dilakukan oleh seorang hakim professional khusus
dalam kasus tersebut. Hakim aktif, berwenang, mengembangkan permasalahan
yang relevan dengan tuduhan, dapat mendengar dan memperhatikan bukti yang
tidak secara formal diajukan jaksa dan tertuduh. Selama pemeriksaan
pengadilan tidak dibedakan dalam fase penentuan kesalahan (built
determination) dan fase penghukuman (sentencing phase). Sistem the mixed
type ini merupakan campuran dari sistem inkuisitur dan akusatur atau secara
histories sistem HIR dapat dikatakan menganut sistem the mixed type ini
(peranan besar jaksa, terbuka, didampingi pembela, mempelajari berkas,
pengakuan).

5. The Advesary Model

Dalam model ini prinsip yang dipergunakan dalam sistem peradilan


pidana adalah sebagai berikut:

1. Prosedur peradilan pidana harus merupakan suatu ‘sengketa’ (dispute)


antara tertuduh dan jaksa dalam kedudukan (teoritis) yang sama dimuka
pengadilan.
2. Tujuan utama prosedur adalah menyelesaikan sengketa yang timbul
akibat kejahatan.
3. Penggunaan cara pengajuan sanggahan atau pernyataan (pleadings) dan
adanya lembaga jaminan dan perundingan bukan hanya merupakan
suatu keharusan, melainkan justru merupakan hal yang sangat penting.
4. Para pihak mempunyai fungsi otonom dan jelas, yakni jaksa melakukan
penuntutan, tertuduh menolak/menyanggah tuduhan.
5. Peranan hakim sebagai wasit yang netral dalam sengketa agar
mematuhi aturan masin persidangan.
6. Lebih berorientasi pada perlindungan seseorang yang tidak bersalah.

6. The Non-Adversary Model


50

Dalam model ini prinsip yang dipergunakan dalam sistem peradilan


pidana adalah :

1. Proses pemeriksaan harus bersifat lebih formal dan berkesinambungan


serta dilaksanakan atas dasar praduga bahwa kejahatan telah dilakukan
(presumption of guilty)
2. Tujuan utama prosedur adalah menetapkan merupakan perbuatan
pidana atau tidak, dan apakah penjatuhan hukuman dapat dibenarkan.
3. Penelitian fakta yang diajukan para pihak oleh hakim dapat berlaku
tidak terbatas dan tidak bergantung pada atau tidak perlu ijin para pihak.
4. Kedudukan para pihak tidak otonom dan sederajat.
5. Semua sumber informasi yang dapat dipercaya dapat dipergunakan
untuk kepentingan pemeriksaan dan tertuduh merupakan objek utama
dalam pemeriksaan.
6. Lebih diorientasikan mencapai untuk kebenaran materiil.

7. Model Inggris, Irlandia Utara dan Singapura

Undang-undang baru di Inggris yang menganut sistem peradilan pidana


telah mengalami perubahan yang mendasar sejak 1995, melalui persetujuan
raja tanggal 3 November 1994 dan berlaku efektif tanggal 1 Maret 1995.
Undang-undang baru yang dimaksud disebut dengan The Criminal Justice and
Public Order Act. 1994, part III, ff 27-31.

Undang-undang Inggris tersebut memang bertujuan untuk membatasi


hak tersangka untuk tidak menjawab (the right to remain silent), dengan
memaksa tersangka mengaku yang akan mengefektifkan penuntutan. Hal yang
sama juga dilakuakn di Irlandia Utara maupun Singapura. Bahkan Undang-
undang acara pidana di Singapura telah menghapuskan hak tersangka untuk
memberikan kesaksian tanpa sumpah (unsworn tertimony) dan untuk menolak
pemeriksaan silang (cross-examination).

8. Perspektif Abolisionisme dalam Sistem Peradilan Pidana

Paham Abolisionisme mulai dikembangkan oleh Louk Hulsman dari


Belanda kitika ia menjadi Ketua Hukum Pidana dan Krimonologi di
Universitas Erasmus, Rotterdam, pada tahun 1964. Arah pemikiran Hulsman
yang secara eksplisit memiliki perspektif abolisionis tampak nyata dalam
51

sebuah pidato wisudanya, Handhaving van Recht (The Maintenence of


Justice). Dalam pidatonya ia sangat memperhatikan aspek kemanusiaan yang
dipandangnya dapat dikikis oleh keadilan yang dicapai melalui pelaksanaan
hukum pidana. Bahkan ia berpendapat bahwa, hukum pidana seharusnya
dipandang sebagai salah satu sarana untuk mencapai tujuan pencegahan dan
perbaikan terhadap ketidakadilan dalam masyarakat.

Karateristik abolisionisme dalam konteks sistem peradilan pidana


adalah bahwa, sistem peradilan pidana mengandung masalah dan paham ini
tidak yakin kemungkinan terdapatnya kemajuan melalui pembaharuan karena
sistem ini menderita cacat struktural yang tidak dapat diperbaiki. Satu-satunya
cara yang dianggap realistik dan paling baik ialah dengan mengubah dasar-
dasar struktur sistem tersebut. Dalam kaitan ini paham abolisionis melibatkan
yang negatif.

Dalam perspektif Hulsman, criminal justice sistem atau sistem


peradilan pidana dipandang sebagai masalah sosial. Ada empat pertimbangan
yang melandasi pemikiran Hulsman, yaitu :

1. Sistem peradilan pidana memberikan penderitaan,


2. Sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang
dicita-citakannya,
3. Sistem peradilan pidana tidak terkendalikan, dan
4. Pendekatan yang dipergunakan sistem peradilan pidana memiliki cacat
mendasar.
Keempat pertimbangan tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
Bahwa sistem peradilan pidana telah menjatuhkan pidana kepada pelaku
kejahatan; hal ini berarti terjadi pembatasan kemerdekaan terhadap pelaku
tersebut dan mereka dipisahkan atau diasingkan dari masyarakat
lingkungannya. Lebih dari itu, mereka dan keluarganya sudah dikenai stigma
dan direndahkan martabatnya sehingga kedudukan mereka dalam masyarakat
menjadi sangat marjinal.
52

Penjatuhan pidana terhadap para pelaku kejahatan ini memiliki pelbagai


tujuan, mulai dari tujuan memberikan pembalasan dan melindungi masyarakat,
sampai tujuan yang bersifat rehabilitatif dan sosialisasi. Akan tetapi, semua
tujuan tersebut tidak pernah dapat dicapai secara optimal karena masing-
masing tujuan memiliki berbagai kelemahan yang ternyata sangat menonjol
dan banyak memperoleh kritik tajam dibandingkan dengan hasil yang telah
dicapai dari tujuan pemidanaan tersebut.

Dalam mekanisme kerja sistem peradilan pidana ini, pelaku kajahatan


tidak pernah diikutsertakan sehingga pada gilirannya mereka tidak dapat ikut
menentukan tujuan akhir dari pidana yang telah diterimanya. Bahkan para
korban kejahatan juga tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu
sistem peradilan pidana.

Penderitaan atau kerugian korban diwakilkan kepada jaksa penuntut


umum sehingga pada esensinya, perwakilan tersebut dipandang sebagai
“mencuri kesempatan” dari konflik antara para pihak dan diwujudkan kedalam
dua pihak, pertama negara dan di lain pihak tersangka pelaku kejahatan.
Dalam konteks pertimbangan ketiga ini, Hulsman berpendapat bahwa, sistem
peradilan pidana tidak terkendali apabila menghadapi kebijaksanaan dari
pengambil keputusan sehingga sering rentan dan berubah-ubah, bahkan tiap-
tiap instansi memiliki kewenangan yang berbeda satu sama lain dalam
menangani mekanisme kerja sistem peradilan pidana yang sering merugikan
hak azasi tersangka pelaku kejahatan.

Pertimbangan keempat menunjukkan bahwa selama ini pendekatan


yang dipergunakan dalam sistem peradilan pidana mengandung cacat, karena
batasan tentang kejahatan dan proses seseorang memperoleh pidana kurang
tepat dan tidak layak. Sedangkan menurut Hulsman, konsep kejahatan dan
pidana berkaitan erat satu sama lain sehingga tidak mudah menetapkan apa
yang merupakan batasan kejahatan dan pidana. Selain itu, kejahatan
merupakan konsep yang kompleks dan tidak sekedar hanya menetapkan apa
53

yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah. Penetapan melalui
cara demikian tampak mempergunakan pendekatan individual sedangkan
sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian.

Selama ini menurut Hulsman telah terjadi kesalahan persepsi tentang


pidana dan kejahatan atau penjahat. Bahwa antara konsep-konsep tersebut
terdapat hubungan yang erat tidak selalu berarti bahwa jika ada kejahatan (dan
juga penjahat) harus selalu ada pidana sehingga dalam konteks inilah tampak
bahwa sistem peradilan pidana tidak luwes dan tidak kreatif dalam
pengendalian sosial (sosial control).

9. Model Plea Bargaining Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Amerika


Serikat
Sistem hukum acara pidana Amerika Serikat adalah “adversary
sistem”. Dalam menangani perkara pidana, pihak yang menjadi penggugat
adalah Negara yang mewakili korban dan kepentingan masyarakat, dan
tergugat adalah tertuduh. Si tertuduh biasanya diwakili oleh pembela (defense
attorney) sedang Negara diwakili oleh penuntut umum (prosecuting attorney).
Pihak yang bertugas menemukan kebenaran atas fakta dan tidak memihak
biasanya diwakili oleh para juri. Dan pihak yang bertugas menerapkan hukum
yang berlaku dan juga tidak memihak adalah hakim. Dalam hal seorang
tertuduh menolak diadili oleh juri, maka hakim juga berfungsi sebagai penemu
kebenaran atas fakta yang diajukan dalam persidangan, sistem demikian sering
juga dengan “accusatorial sistem” yang lebih menitikberatkan pada
perlindungan terhadap hak asasi seorang tertuduh yang berdasar pada “due of
law process” dan berbeda dengan “inquisitorial sistem”.
Plea Bargaining Sistem mempunyai makna : Dalam sistem ini
penanganan perkara pidana melalui beberapa tahapan, yakni : penyelidikan atas
penangkapan atau penahanan, penuntutan, penentuan kesalahan, penetapan
hukuman, dan pelaksanaan hukuman. Dari pengertian “plea bargaining sistem”
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :
54

- “Plea Bargaining Sistem” pada hakikatnya merupakan suatu negosiasi


antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya.
- Motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat
proses penanganan perkara pidana.
- Sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untuk
mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan
ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya.
- Keikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam
negosiasi dimaksud tidak diperkenankan (sebab akan memberikan citra
buruk terhadap peradilan yang independen).

10. Model Community Service Order (CSO)


Dimensi CSO dapat dipergunakan sebagai :
- Pidana bersyarat (suspended sentence, misalnya Denmark, Jerman,
Inggris, Prancis, Belanda, Norwegia, dan Portugal).
- Alternative sanksi/pidana pengganti apabila pidana denda tidak
dibayar (misalnya Italia, Jerman, Swiss).
- Sebagai syarat grassi (misalnya di Belanda, Jerman, dan
Luxemburg),
- Sebagai syarat pelepasan bersyarat (Jerman).

Persyaratan CSO :
- Tindak pidana tidak terlalu berat (terhadap harta benda/ crime
against property).
- Pidana penjara yang akan ditetapkan (expected prison sentence)
tidak melebihi waktu tertentu (Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan
Luxemburg 9-12 bulan, Belanda 6 bulan, dan Portugal 4 bulan).
- Jumlah jam kerja social dan jangka waktu maksimum CSO
diselesaikan (Portugal 9 jam, Denmark, Inggris, Perancis 40 jam,
Norwegia 50 jam. Sedang maksimumnya adalah Portugal 180 jam,
Denmark dan Norwegia 200 jam, Perancis, Belanda, Inggris 240
jam, maksimum jangka waktu penyelesaian CSO di Inggris,
Denmark, Norwegia dan Belanda 12 bulan dan Perancis 18 bulan).
- Adanya persetujuan terpidana (consent of the accused) dinyatakan
secara eksplisit (Inggris, Denmark, Norwegia) dan sistem
diingatkan (Perancis). Belanda inisiatif CSO dari terpidana, di
Jerman dalam hal-hal tertentu tidak dipersyaratkan.
- Adanya laporan pribadi (personal report), apakah terpidana siap
atau tidak melakukan CSO (Inggris, Luxemburg, Belanda,
Denmark, Norwegia, sedang Perancis dan Jerman merupakan
opsional.
- Mengenai isi CSO meuat jumlah jam dan jangka waktu yang harus
dipenuhi, tempat dilakukan CSO.
55

- Jika CSO gagal diganti denda (Inggris maksimum $100), atau


mengulang, atau dikenakan alternative pidana lain. Perancis
kegagalan melakukan CSO dikualifikasikan sebagai tindak pidana
yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan antara 2 bulan
sampai 2 tahun. Di Belanda kegagalan melakukan CSO
dikonversikan menjadi pidana penjara sampai 6 bulan dan di
Portugal kegagalan melakukan CSO dikonversikan pidana penjara
sampai 3 bulan. Apabila CSO sebagai pengganti pidana bersyarat
maka kegagalan melakukan CSO mengakibatkan diterapkannya
pidana penjara yang ditunda (Belanda, Norwegia, Perancis) atau
mengulanginya. Dan apabila CSO sebagai pengganti pidana denda,
maka kegagalan melakukan CSO akan berakibat ditetapkannya
pidana mati (original penalty).

Demikianlah beberapa model sistem peradilan pidana yang berkembang


dan diterapkan diberbagai negara, sementara Indonesia belum memiliki satu
model sistem peradilan pidana yang diperguanakan sebagai sarana penegakan
hukum dan keadilan, kecuali dalam wacana yang lebih mengarah kepada
model sistem peradilan pidana yang terpadu efektif dan efisien.

RANGKUMAN

LATIHAN
56

BAB IV
KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PENEGAKAN HUKUM

TUJUAN KHUSUS PERKULIAHAN


1. Tujuan Instruksional Umum
2. Tujuan Instruksional Khusus

A. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat
mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor
X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan
eksekutif.
Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang
kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
57

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai


penghapusan campur tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan
kehakiman (judikatif). Perubahan penting dalam kekuasaan kehakiman adalah
segala urusan organisasi, administrasi dan finansial Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah
Agung yang sebelumnya, secara organisatoris, administrasi dan finansial
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung berada di bawah
departemen.
Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami
perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen Undang-Undang
Dasar 1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang judikatif atau
kekuasaan kehakiman sebagaimana termuat dalam BAB IX tentang
KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C
dan Pasal 25.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, Kekuasaan Kehakiman yang semula
dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan
Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana kekuasaan kehakiman baru yang
disebut Mahkamah Konstitusi.
Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang
mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan
pula karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai
peraturan yang lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang
semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan
58

diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan


Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian diganti dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan karena Undang-
Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
diatur dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah
ini.
1. Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan di Bawahnya
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai
berikut :
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum;
59

- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha


Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

a. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat
(2) dan Pasal 24A ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan,
susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan
perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di
ibukota negara Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Agung adalah :
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
- Permohonan kasasi ;
- Sengketa tentang kewenangan mengadili ;
- Permohonan peninjauan kembali.
60

b. Menguji peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-


undang terhadap undang-undang.
c. Kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

Terdapat pengecualian dalam pengajuan permohonan kasasi, ada


perkara-perkara tertentu yang tidak dapat diajukan permohonan
kasasi, perkara tersebut adalah:
- putusan praperadilan;
- perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
- perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa
keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya
berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Mahkamah Agung berwenang juga :
- Melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di
bawahnya dalam menjalankan kekuasaan kehakiman;
- Melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan
peradilan yang ada di bawahnya;
- Meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan
teknis peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya;
- Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan
di semua badan yang berada di bawahnya;
- Memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam
permohonan grasi dan rehabilitasi;
- Dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah
hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah


Agung merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan
peradilan. Segala urusan organisasi, administrasi, dan finansial
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Peradilan Umum
Peradilan Umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan
dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
61

Umum. Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan


kedudukan hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum
dilaksanakan oleh :
- Pengadilan Negeri;
- Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri berkedudukan di di ibukota kabupaten/kota
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pengadilan
Tinggi berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah propinsi. Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan
Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan
Tingkat Banding, Peradilan umum sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding
yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang
diputus oleh Pengadilan Negeri dan merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama dan Terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Negeri
adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan
perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya kecuali undang-undang menentukan lain.
Pada lingkungan Peradilan Umum dapat dibentuk
pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang
sebagaimana tercantum dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 49
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum. Pengadilan khusus pada lingkungan
Peradilan Umum antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan dan
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
62

c. Peradilan Agama
Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang. Dalam undang-
undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan
hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh:
- Pengadilan Agama;
- Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan
Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang
dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka
63

rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan


Peradilan Agama.
Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
yaitu:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat:
g. infak;
h. sodaqoh;
i. ekonomi syari’ah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat


Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-
perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai sengketa
kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk
pengkhususan pengadilan yang diatur dalam undang-undang
sebagaimana tercantum dalam pasal 3A Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan peradilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Agama dan merupakan peradilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah termasuk
Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.
Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan
64

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi


Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
11 Tahun 2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan
Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah Syar’iyah Propinsi.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan
Agama diatur dalam BAB XVIII tentang MAHKAMAH SYAR’IYAH
Pasal 128 – Pasal 137. Pengadilan yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi Nanggroe
Aceh Darussalam di adalah:
- Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama);
- Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding);
- Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).
Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa,
mengadili dan memutuskan perkara-perkara:
- Ahwal syahsiyah (hukum keluarga);
- Muamalah (hukum perdata);
- Jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam
dan akan diatur dalam Qonun Aceh.
d. Peradilan Militer
Peradilan Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini
diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan,
kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata
Usaha Militer, dan ketentuan-ketentuan lain.
Peradilan Militer merupakan peradilan khusus bagi prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Prajurit adalah warga
negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang
65

berwenang untuk mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara


dengan menyandang senjata, rela berkorban jiwa raga, dan berperan
serta dalam pembangunan nasional serta tunduk kepada hukum
militer. Pengadilan di lingkungan Peradilan militer sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan
Militer Pertempuran.
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan
badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan
Bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Tertinggi. Kewenangan Peradilan Militer adalah
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan Peradilan Militer adalah sebagai berikut :
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang
pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan
Prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang
dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan
undang-undang;
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf
b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara
pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang
dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana
yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua
perkara tersebut dalam satu putusan.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:


a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
66

d. Pengadilan Militer Pertempuran.


Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di
Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Untuk pengadilan
lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima. Apabila perlu
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di
luar tempat kedudukannya. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer
Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas izin Kepala
Pengadilan Militer Utama.
Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat
pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah :
1. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah ;
2. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b
dan huruf c yang Terdakwanya “termasuk tingkat
kepangkatan” Kapten ke bawah ; dan
3. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili
oleh Pengadilan Militer.

Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah sebagai berikut.


Pada tingkat pertama:
a. Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah:
1. Prajurit atau salah satu prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2. Mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan
huruf c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya “termasuk
tingkat kepangkatan” mayor ke atas; dan
3. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili
oleh Pengadilan Militer Tinggi;
b. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Angkatan Bersenjata.

Pada tingkat banding memeriksa dan memutus perkara pidana


yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding. Pada tingkat pertama dan terakhir
memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili antara
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus
pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha
67

Angkatan Bersenjata yang telah diputus oleh Pengadilan Militer


Tinggi sebagai pengadilan tingkat pertama yang dimintakan banding.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili :
a. Antar Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum
Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan ;
b. Antar Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan
terakhir perbedaan perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
Perkara dengan Oditur tentang diselesaikannya suatu perkara di luar
Pengadilan atau diselesaikan di Pengadilan di lingkungan Peradilan
Umum atau di Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer.
Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap :
a. Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing ;
b. Tingkah laku dan perbuatan Hakim dalam menjalankan
tugasnya.
Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta
keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
dari Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan
Militer Pertempuran. Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk,
teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan
Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer
Pertempuran. Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang
dimohonkan kasasi, peninjauan kembali, dan grasi kepada Mahkamah
Agung.
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh
mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah
68

pertempuran. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil


mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum
di daerah pertempuran.

e. Peradilan Tata Usaha Negara


Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-
undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan
hakim serta tata kerja administrasi pada Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dilaksanakan oleh :
- Pengadilan Tata Usaha Negara ;
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan
Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Tata Usaha Negara sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Pengadilan Tata Usaha Negara berkedudukan di di ibukota
kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah
kabupaten/kota. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan
di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi.
Pembentukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai faktor baik yang
bersifat teknis maupun non teknis.
69

Kekuasaan dan kewenangan mengadili Pengadilan Tata Usaha


Negara adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah suatu sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Negara antara orang-orang atau badan hukum
perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Yang termasuk Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata
Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat kongkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
Tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara menurut
undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan
yang bersifat umum.
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan
persetujuan.
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum
pidana.
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar
hasil pemeriksaan Badan Peradilan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara
Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di
daerah mengenai hasil pemilihan umum.

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan Pengadilan


Tingkat Banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
70

perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan


merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara
di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama terhadap perkara
yang telah digunakan upaya administratif.
Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tertentu
dalam hal yang disengketakan itu dikeluarkan:
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Wacana pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada saat pembahasan
Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu
anggota BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah
Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-undang,
namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof. R. Soepomo berdasarkan
dua alasan, yaitu Undang-Undang Dasasr yang disusun pada waktu itu
tidak menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum
belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal itu.
Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
muncul lagi pendapat pentingnya Mahkamah Konstitusi karena adanya
perubahan mendasar dengan beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi hukum maka perlu disediakan
71

sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta hadirnya lembaga


negara yang mengatasi kemungkinan sengketa antarlembaga negara yang
mempunyai derajat yang sama serta saling mengimbangi dan saling
mengendalikan (checks and balances). Seiring dengan itu muncul desakan
agar tradisi pengujian peraturan perundang-undangan perlu ditingkatkan
tidak hanya sebatas pada peraturan di bawah Undang-Undang melainkan
juga atas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan
pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diberikan
kepada sebuah mahkamah tersendiri di luar Mahkamah Agung.
Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif
dan menjadi salah satu materi perubahan Undang-Undang Dasar, akhirnya
pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi kenyataan dengan
disahkannya Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C dan Pasal III Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan :
Pasal 24 ayat (2) :
Pelaksana kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan
Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer,
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 24 C ayat :
1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
3. Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim
konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.
72

4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi.
5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang.

Pasal 3 Aturan Peralihan :


Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003
dan sebelum dibentuk segala kewenangannya diakukan oleh Mahkamah
Agung.
Atas perintah Undang-Undang Dasar ini kemudian Pemerintah
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat membahas pembentukan
undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi. Kemudian pada tanggal 13
Agustus 2003 disahkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan disahkannya undang-undang
ini maka kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan sehingga
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekuasaan
kehakiman harus disesuaikan yang pada akhirnya disahkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang terakhir diganti
dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi mengatur tentang kedudukan dan susunan, sekretariat jenderal
dan kepaniteraan, kekuasaan, pengangkatan dan pemberhentian hakim,
hukum acara di Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibukota negara Republik
Indonesia.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili:
73

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik; dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat


DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Pengertian pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana
terhadap keamanan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan
sebagaimana diatur dalam undang-undang, tindak pidana berat lainnya
adalah tindak pidana yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat
presiden dan/atau wakil presiden. Tidak lagi memenuhi syarat presiden
dan/atau wakil presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam pasal 6
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk kepentingan pelaksanaan wewenang, Mahkamah Konstitusi
berwenang memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan. Mahkamah Konstitusi
mempunyai 9 (sembilan) orang anggota Hakim Konstitusi. Hakim konstitusi
diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga)
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 (tiga) orang oleh Presiden yang
akan ditetapkan dengan Keputusan Presiden yang mempunyai masa jabatan
3 (tiga) tahun. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh)
orang angota hakim konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final,
74

yaitu putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap


sejak diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum dan tidak
ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut.

B. Kekuasaan Penegakan Hukum


1. Kekuasaan Penyidikan
Menurut Pasal 1 butir 1 KUHAP Tahun 1981 disebutkan bahwa
penyidik adalah pejabat polisi negara RI atau Pegawai Negeri Sipil
( disingkat PPNS ) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan. Penyidik pegawai sipil diangkat oleh
Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahkan pegawai
tersebut. Wewenang tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri
Kehakiman.
Sebelum pengangkatan terlebih dahulu Menteri Kehakiman
meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kapolri.Pasal 3 PP No. 27 Tahun
1983 juga menegaskan bahwa penyidik pembantu adalah pejabat polisi
negara RI yang berpangkat Sersan Dua polisi dan pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan kepolisian negara. Kedua macam penyidik
pembantu ini diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas usul komandan
atau pimpinan kesatuan masing-masing.Wewenang pengangkatan ini dapat
juga dilimpahkan kepada pejabat kepolisian negara RI yang lain.
Penyidik Polri memonopoli penyidikan khususnya untuk tindak
pidana umum, yaitu tindak pidana yang tercantum dalam KUHP.
Sedangkan penyidik pegawai negeri sipil hanya menyidik tindak-tindak
pidana yang tersebut dalam perundang-undangan pidana khusus atau
perundang-undangan administrasi yang bersanksi pidana. ( non penal code
offences ).
75

Perundang-undangan khusus yang dimaksud adalah perundang-


undangan di luar KUHP yang dapat dibagi, pertama adalah perundang-
undangan pidana khusus seperti Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi,
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan sebagainya
dan kedua, perundang-undangan administrasi yang diberi sanksi pidana,
yang jumlahnya banyak sekali seperti undang-undang psikotropika,
narkotika dan lain-lain.
Kaitannya dengan sistem peradilan pidana terpadu, ruang lingkup
pengaturan penyidikan ini dalam KUHAP Tahun 1981 diatur tentang
hubungan koordinasi antara penyidik POLRI dan PPNS. Hal ini dapat
dilihat dalam ketentuan mengenai hubungan penyidik POLRI dengan
(PPNS) yaitu, PPNS dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah
koordinator dan pengawasan Penyidik POLRI (Pasal 7 ayat 2); Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada PPNS dan
memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan (Pasal 107 ayat 1);
PPNS melaporkan tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik
POLRI (Pasal 107 ayat 2); PPNS menyerahkan hasil penyidikan yang telah
selesai kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI ( Pasal 107 ayat
3 ); Dalam hal PPNS menghentikan penyidikan, segera memberitahukan
penyidik POLRI dan Penuntut Umum (Pasal 109 ayat 3 ).
Pada subsistem penyidikan ini, KUHAP Tahun 1981 juga mengatur
unsur penasihat hukum/advokat untuk bisa terlibat di dalam proses
penyidikan ini walaupun pengaturan yang dibuat belum seperti yang
diharapkan, karena aturan main yang ada dalam KUHAP Tahun 1981
dalam kenyatannya ternyata masih belum sempurna. Dikatakan belum
sempurna karena materi yang diatur di dalam KUHAP Tahun 1981 belum
menyeluruh atau karena masih bersifat terbatas. Sebagai gambaran tentang
belum sempurnanya pengaturan yang ada tersebut adalah bahwa dalam
KUHAP Tahun 1981 baru diletakkan suatu prinsip yaitu baru diletakkan
asas "hak" untuk mendapatkan bantuan hukum dan belum sampai pada
asas "hak" dan "wajib" bantuan hukum.
76

Perlu ditambahkan di sini bahwa masalah bantuan hukum ini juga


telah mendapat pengakuan internasional karena tercantum sebagai hak
tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam artikel 14 butir 3 huruf d
dari The International on Civil and Political Rights yang menegaskan
bahwa : “To be tried in his presence,and to defend him self in person or
through legal assistance of hisown choosing; to be informed, if he does not
have legal assistanceof his right; and to have assistance assigned to him.in
any case where the interests of justiceso require, and without payment by
him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it.”
Disamping itu juga ada dokumen internasional terkait dengan
bantuan hukum ini yaitu Basic Principles on the Role of Lawyer yang telah
diadopsi oleh Konggres PBB tentang The Prevention of Crime and
Treatment of Offender kedelapan di Havana Tanggal 27 Agustus sampai 7
September 1990 yaitu mengenai Prinsip-Prinsip Dasar Peranan Seorang
Pembela. Salah satu substansi yang penting adalah diberikannya hak bagi
mereka yang miskin atau malang yang tidak mampu memperjuangkan
sendiri haknya dibantu untuk memperoleh bantuan hukum secukupnya.
Di dalam KUHAP Tahun 1981 perihal bantuan hukum oleh
penasihat hukum baru tertulis sebagai hak dan hanya beberapa tindak
pidana yang wajib bantuan hukum artinya tersangka atau terdakwa wajib
didampingi oleh penasihat hukum. Asas hak dan sekaligus wajib bantuan
hukum hanya berlaku untuk tindak pidana-tindak pidana tertentu.
Mengenai hal ini bisa disimak ketentuan Pasal 56 KUHAP Tahun 1981
yang menegaskan sebagai berikut :
1. Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang
tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang
bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.
2. Setiap penasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya
dengan cuma-cuma.
77

Latar belakang pertimbangan bahwa tersangka dalam kasus yang


diatur dalam Pasal 56 KUHAP Tahun 1981 tersebut cukup logis dan bisa
diterima setidaknya mengingat tersangka yang berada dalam tahanan
memiliki kemungkinan menjadi sasaran pelanggaran hak asasi manusia,
misalnya saja beberapa haknya tidak diberitahukan atau tidak diberikan.
Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan tersangka yang tidak
dikenakan penahanan yang masih bisa menikmati hak-haknya secara
penuh sebagai manusia yang tidak dikekang kebebasannya.
Perlu ditambahkan bahwa ketentuan dalam Pasal 56 ayat (2)
tersebut di atas tidak secara tegas menyatakan bahwa penasihat hukum
yang ditunjuk itu wajib memberi bantuan hukum yang diminta dan juga
tidak ada sanksi jika hal itu diabaikan, sehingga rumusan ketentuan ini bisa
tidaknya berjalan dengan baik, sangat tergantung pada komitmen para
advokat yang menangani perkara tersebut.
Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa bila diperhatikan dengan
seksama, ketentuan dalam Pasal 56 tersebut memang tidak memuat sanksi
apa yang bisa dikenakan, jika petugas penegak hukum dalam praktek
ternyata mengabaikan ketentuan tersebut. Artinya jika petugas penegak
hukum mengabaikan atau tidak memenuhi apa yang ditentukan dalam
ketentuan tersebut di atas, di sini tidak ada atau tidak diatur upaya apa
yang bisa dilakukan oleh tersangka.
Menurut ketentuan Pasal 56 KUHAP Tahun 1981, maka kewajiban
untuk menunjuk penasihat hukum tersebut tidak hanya terbatas untuk
perkara yang diancam pidana mati, tetapi juga meliputi perkara pidana
yang diancam dengan pidana diatas lima belas tahun atau lebih serta
perkara pidana yang diancam dengan pidana diatas lima tahun tetapi
dibawah lima belas tahun, dalam hal tersangka/terdakwa tidak mampu
menyediakan penasihat hukum sendiri. Kewajiban untuk menunjuk
penasihat hukum tersebut juga tidak terbatas pada hakim, tetapi berlaku
juga untuk semua pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
78

peradilan pidana seperti kepolisian di tingkat penyidikan, kejaksaan di


tingkat penuntutan, dan hakim di tingkat pemeriksaan sidang pengadilan.
Rumusan yang disebut terakhir inilah yang merupakan suatu
kemajuan yang signifikan, karena penasihat hukum sudah diperkenankan
mendampingi tersangka sejak masih diperiksa dalam tingkat penyidikan.
Tampaknya model pengaturan yang ada dalam KUHAP Tahun 1981 ini
sedikit banyak mendekati pengaturan yang pada umumnya ada di negara-
negara yang sudah maju seperti di Amerika serikat.
Sekedar sebagai studi perbandingan mengenai ketentuan bantuan
hukum dengan model aturan yang agak berbeda yaitu yang ada di Amerika
Serikat. Hak untuk mendapat bantuan hukum dijamin oleh Konstitusi
melalui amandemen keenam seperti dikemukakan pleh P. Marcus bahwa :
“Under the sixth Amandement the accused shall enjoy the right…to have
the assistance of counsel for his defence”.
Di Amerika Serikat terdapat suatu ketentuan yang mengharuskan
setiap pejabat yang melakukan penangkapan untuk memberitahukan hak-
hak tersangka sebelum ia diinterogasi. Ketentuan ini disebut dengan
“Miranda Rule”. Ketentuan semacam ini dimaksudkan untuk melindungi
hak-hak individu dan sekaligus sebagai pedoman bagi pejabat penegak
hukum untuk menghindari melakukan kekerasan dalam proses
pemeriksaan. Apabila dilihat dalam literatur, terdsapat hak-hak tersangka
yang harus diperhatikan selama proses pemeriksaan sebagaimana jika kita
baca pada Black's Law Dictionary maka terdapat hak-hak tertentu yang
harus diperhatikan selama dalam proses pemeriksaan. Adapun hak-hak
yang harus diberitahukan tersebut meliputi :
1. That he has a right to remain silent, ia berhak diam;
2. That any statement he does make may be used as evidence against
him, setiap pernyataan atau ucapan dapat digunakan sebagai bukti
terhadapnya;
3. That he has a. right to the presence of an attorney,Ia berhak
didampingi oleh pembela;
4. That if he cannot afford an attorney one will be appointed for him
prior any questioning if he so desires, Jika ia tidak mampu, akan
ditunjuk seorang pembela baginya sebelum ia diinterogasi.
79

Konsekuensinya apabila petugas mengabaikan ketentuan seperti di


atas ini, maka akan ada akibat hukum yaitu: “No evidence obtained in the
interrogation may be used against the accused”, kecuali bisa dibuktikan di
sidang bahwa peringatan-peringatan itu sudah disampaikan.
Adanya akibat hukum inilah yang membedakan pengaturan
bantuan hukum yang ada di Amerika Serikat dengan model pengaturan
bantuan hukum yang ada di negara Indonesia seperti yang tertuang dalam
KUHAP Tahun 1981 tersebut di atas. Jadi jelaslah, bahwa menurut Hukum
Miranda tersebut, keberadaan seorang penasihat hukum/advokat memiliki
arti yang sangat besar bukan hanya dalam melindungi hak-hak yang
dimiliki oleh tersangka/ terdakwa selama dalam proses pemeriksaan, tetapi
juga memegang peranan penting bagi keseluruhan rangkaian proses
penyelesaian perkara pidana karena berdasarkan peranan yang dimiliki
dimungkinkan memberi warna dalam upaya penyelesaian perkara pidana
yang bersangkutan.
Ketentuan semacam di atas tersebut penting setidaknya untuk
memberikan kepastian tentang peran dan fungsi penasihat hukum
sekaligus merupakan wujud apresiasi terhadap fungsi dan peran mereka
dalam proses penanganan perkara yang melibatkan tersangka/terdakwa,
disamping untuk menjaga harkat dan martabat tersangka/terdakwa sendiri.
Berbeda lagi dengan ketentuan hukum acara pidana di Jepang.
Khusus mengenai penunjukan penasihat hukum untuk perkara pidana yang
tersangka/terdakwanya tidak mampu secara ekonomi, rumusan Pasal 56
KUHAP agak berbeda dengan yang ada di Jepang. Ketentuan mengenai
bantuan hukum dalam hukum acara pidana di Jepang memberi pengaturan
yang lebih luas terhadap tersangka/terdakwa yang tidak mampu secara
ekonomis, karena tidak dibedakan berdasarkan kriteria ancaman pidana.
Sebagaiman dikutip oleh Romli Atmasasmita ketentuan dimaksud adalah
sebagai berikut :
Pasal 30 ditetapkan sebagai berikut:
80

The accused or the suspect may appoint a counsel at any time.


Pasal 36 menyatakan sebagai berikut :
In case the accused is unable to appoint a counsel because of poverty or
any other reason, the court shall appoint a counsel for the accoused upon
request :
Provided, that nothing here in shall apply when there is a counsel
appointed by person other than the accused.
Hukum acara pidana Jepang juga mengatur secara jelas dan lebih
terperinci mengenai penunjukan penasihat hukum bagi yang cacat fisik.
Sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, hal tersebut terdapat dalam
Pasal 37 hukum acara pidana Jepang yang menegaskan sebagai berikut :
The court may appoint a counsel upon its own authority when there is
counsel for the accused in the case as mentioned here under :
1. When the accused is a minor;
2. When the accused is a seventy years old or more;
3. When the accused is deaf or mute;
4. When it is doubtful that the accused is mentally deranged or weak-
minded person;
5. When it deemed necessary for other reason.

Ketentuan seperti di atas tidak ada dalam hukum acara pidana


Indonesia. Hal ini termasuk hal yang membedakan antara hukum acara
pidana Indonesia dengan hukum acara pidana Jepang. Jadi pengaturan
mengenai keterlibatan unsur penasihat hukum/advokat dalam sistem
peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP disamping masih terbatas,
juga belum memberikan jaminan yang memadai untuk bisa akses dalam
sistem peradilan pidana khususnya pada tahap penyidikan ini.
Kembali pada masalah subsistem penyidikan yang diatur dalam
KUHAP Tahun 1981,dimana unsur penyidik POLRI dan PPNS menjadi
unsur utama di dalamnya. Dalam kenyataannya, produk hukum di luar
KUHAP Tahun 1981 telah menetapkan pejabat penyidik selain POLRI dan
PPNS yaitu perwira TNI AL berdasarkan ketentuan Pasal 33 Undang-
undang No.5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif ( ZEE ), Pasal
81

31 Undang-undang Perikanan No. 9 tahun 1990, Pasal 39 ayat 2 Undang-


undang Konservasi Hayati No. 5 tahun 1990, Pasal 99 ayat 1 Undang-
undang Pelayaran No.21 Tahun 1992. Dilihat dari kesatuan yang integral,
bervariasinya mekanisme tata kerja di bidang penyidikan itu, kurang
menggambarkan adanya lembaga penyidikan yang mandiri dan terpadu.
Berdasarkan pendekatan sistem, merujuk pendapat Lawrence Meir
Friedman dimana sistem hukum terdiri atas unsur struktur (structure) atau
kelembagaan, substansi (substance) hukum dan kultur ( legal culture)
hukum, maka dapat diuraikan sebagai berikut :
Mengenai substansi hukum, Friedman menyatakan bahwa , “the substance
is composed of substantive rules and the rules about how institutions
should be have” . Jadi yang dimaksud dengan substansi di sini adalah
aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia, sedangkan struktur
(structural) yang dijelaskan sebagai “the structure of a sistem is its skeletal
framework; it is the permanent shape, the institutional body of the sistem,
the tough, rigid bones that keep the process flowing witin bounds” yaitu
kerangka atau rangkanya, bagian yang tetap bertahan, bagian yang
memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. dan aspek
kultur hukum yang oleh Friedman diartikan sebagai sistem-their beliefes,
values, ideas, and expectations yaitu sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum-kepercayan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Dengan kata
lain kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang
menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.

Dilihat dari pendekatan sistem seperti dikatakan oleh Lawrence M.


Friedman di atas, untuk mengetahui sistem hukum itu perlu mendekati
unsur-unsur struktural, kultural dan substantifnya. Masalah sistem
peradilan pidana bisa dijelaskan dari sudut substansi, struktur maupun
kultur tersebut. Aspek substansi hukum menyangkut sinkronisasi baik
secara vertikal maupun horisontal berbagai produk hukum termasuk di
dalamnya adalah norma-norma dan perilaku nyata aparat penegak hukum
maupun hukum yang hidup dalam masyarakat. Segi struktur adalah
sinkronisasi dalam kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum,
sedangkan segi kultur berkaitan dengan pandangan, sikap-sikap dan nilai-
nilai yang dihayati bersama oleh aparat penegak hukum.
82

Berdasarkan pemahaman seperti tersebut di atas, khususnya dari


aspek substansi hukum terlihat bahwa kenyataan adanya instansi penyidik
di luar kepolisian menunjukan tidak adanya sinkronisasi dengan desain
yang ditata dalam KUHAP Tahun 1981 sebagai induk hukum acara pidana.
Sedangkan dari sudut kelembagaan, hal tersebut kurang menggambarkan
adanya sebuah struktur yang mandiri dan terpadu karena terdapat beragam
institusi yang masing-masing memiliki struktur organisasi sendiri dan
sudah pasti juga memiliki tujuan sendiri-sendiri karena faktor tekanan
organisasi itu sendiri dan lain sebagainya.
Dampak lebih jauh dari keadaan yang demikian itu adalah nilai-
nilai, pandangan-pandangan dan sikap-sikap dari mereka yang terlibat
dalam proses itu akan mempengaruhi kinerja yang cenderung bersifat
instansi centris, dan hal ini sangat tidak menguntungkan jika dilihat dari
sudut usaha membangun kultur masyarakat untuk sadar hukum yang bisa
berperan aktif dalam proses penegakan hukum pidana.
Kerugian yang timbul dari kenyataan di atas adalah kepastian
hukum tidak terjamin, karena proses penyidikan tidak melalui Polri selaku
penyidik umum, tetapi langsung kepada penuntut umum. Masyarakat
hanya tahu Polri selaku penyidik sesuai dengan KUHAP Tahun 1981 dan
akan terjadi satu kasus disidik oleh instansi-instansi yang diberi wewenang
penyidikan dan Polri selaku penyidik umum. Kerugian lain adalah bahwa
data kriminal tidak dapat terpusat dan terpencar serta sulit dievaluasi untuk
mengetahui keberhasilan dan kegagalan masing-masing subsistem
peradilan pidana dan sebagainya.

2. Kekuasaan Penuntutan
Setelah proses penyidikan telah dinyatakan selesai, kemudian
dilanjutkan dengan proses penuntutan. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP
Tahun 1981 tercantum definisi penuntutan sebagai berikut: "Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
83

diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan


diputus oleh hakim di sidang pengadilan."
Pasal 137 KUHAP Tahun 1981 menentukan bahwa penuntut
umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang
didakwa melakukan suatu delik dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Mengenai kebijakan penuntutan, penuntut umum yang menentukan suatu
perkara hasil penyidikan apakah dianggap sudah lengkap atau tidak untuk
dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili, hal ini diatur dalam
Pasal 139 KUHAP Tahun 1981.
Dalam hal menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara
tidak cukup bukti-bukti untuk diteruskan ke pengadilan ataukah perkara
terebut bukan merupakan suatu delik, maka penuntut umum membuat
suatu ketetapan mengenai hal itu ( Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP
Tahun 1981 ). Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka
dan bila ia ditahan, wajib dibebaskan (Pasal 140 ayat (2) butir b).
Turunan surat ketetapan tersebut wajib disampaikan kepada tersangka
atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara,
penyidik. dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c KUHAP). Ini biasa
disebut Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.
Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara
demi hukum seperti tersebut dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman
pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan bahwa "perkaranya ditutup
demi hukum" diartikan sesuai dengan Buku I KUHP Bab VIII tentang
hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76, 77, dan 78 KUHP' (ne
bis in idem, terdakwa meninggal dan lewat waktu/ daluarsa).
Menurut KUHAP Tahun 1981 bahwa jika kemudian ternyata ada
alasan baru untuk menuntut perkara yang telah dikesampingkan karena
kurang bukti-bukti. maka penuntut umum dapat menuntut tersangka
(Pasal 140 ayat (2) butir d). Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP
Tahun 1981 yang melakukan penyidikan dalam hal diketemukannya
84

alasan baru tersebut ialah penyidik. Dalam KUHAP Tahun 1981 diatur
wewenang penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan merupakan
kesatuan, karena ia terdiri dari pejabat-pejabat yang tersusun secara
hierarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah
kepada pejabat bawahannya di dalam melakukan tugas jabatan mereka.
Prinsip kejaksaan merupakan satu kesatuan inilah yang dikenal dengan
istilah “onsplitsbaar”.
Dalam sistem peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP
Tahun 1981, diatur hubungan koordinasi antara subsistem penyidikan dan
subsistem penuntutan sebagai berikut, Penyidik menyerahkan berkas
perkara kepada penuntut umum ( Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110
ayat 1 );.Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas
permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2 );.Dalam hal
Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera
mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidik wajib
melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14
huruf b, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3 );.Dalam hal penyidik mulai
melakukan penyidikan/ pemeriksaan, memberitahukan hal itu kepada
Penuntut Umum ( Pasal 109 ayat 1 ); Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109
ayat 2 ), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan
penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal 140
ayat 2 huruf c ); Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan
perkara, surat dakwaan kepada penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ), demikian
pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan
turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144 ayat
3 ); Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum
(demi hukum ) melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan
terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang
pengadilan (Pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik
85

memberitahukan hari sidang kepada terdakwa ( Pasal 207 ayat 1 ) dan


menyampaikan amar putusan kepada terpidana ( Pasal 214 ayat 3 ).
Sejak berlakunya KUHAP Tahun 1981, maka untuk tindak pidana
umum yaitu tindak pidana yang diatur dalam KUHP, kejaksaan tidak lagi
melakukan penyidikan terhadap tersangka. Ini berarti bahwa proses
pemeriksaan terhadap tersangka dilakukan oleh penyidik tanpa campur
tangan sama sekali dari penuntut umum. Satu-satunya ketentuan yang
memungkinkan kejaksaan selaku penuntut umum bisa memonitor proses
penyidikan hanyalah apabila setelah dimulainya penyidikan, penyidik
memberitahukan kepada penuntut umum melalui apa yang disebut
dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Keadaan seperti diuraikan di atas, berbeda dengan di Amerika
Serikat sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah dan R.M.Surachman,
bahwa dalam perkara-perkara yang berat sekali seperti pembunuhan,
jaksa bisa memimpin penyelidikan sendiri atau bersama-sama dengan
polisi mendatangi tempat kejadian perkara.
Karena penuntut umum tidak bisa intervensi dalam proses
penyidikan, maka dimungkinkan terjadi perbedaan pendapat tentang
ketentuan peraturan pidana yang akan dikenakan kepada tersangka.
Dalam hal terjadi demikian yaitu terdapat perbedaan penafsiran antara
penyidik dan penuntut umum mengenai ketentuan peraturan pidana yang
akan dikenakan kepada tersangka, maka apakah penuntut umum di
tingkat penuntutan ini diperbolehkan untuk merubah pasal-pasal tertentu
yang dalam berkas pemeriksaan penyidikan telah ditetapkan oleh
penyidik. Mengenai hal ini KUHAP Tahun 1981 juga tidak mengatur
dengan jelas.
Kelemahan lainnya adalah KUHAP Tahun 1981 juga tidak
mengatur mengenai berapa kali proses pengembalian berkas perkara
tersangka dari penuntut umum kepada penyidik. Berbagai kasus yang
terjadi selama ini seringkali terjadi bolak-baliknya berkas kasus tertentu
dari kejaksaan kepada kepolisian selaku penyidik, yang sangat merugikan
86

bagi tersangka, dan juga terhadap kasus yang bersangkutan menjadi tidak
ada nilai kepastian hukumnya. Kedua hal tersebut merupakan kelemahan
KUHAP Tahun 1981 di bidang penuntutan dan sekaligus merupakan
sumber masalah yang berpotensi menjadi sebab tidak adanya
keterpaduan antara subsistem penyidikan dan subsistem penuntutan.
Masalah lain adalah dari sudut struktur kelembagaan dimana
lembaga kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki
payung hukum. Pada masa Orde Lama dengan Undang-undang Nomor
15 tahun 1961, pada masa Orde Baru dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Jika dibandingkan dari ketiga
undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan
mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan
kejaksaan justru lebih mantap ketika masa Orde Lama bila dibanding
dengan masa reformasi. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961
Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak
hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah
lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang
yudikatif.
Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam
penegakan hukum di Indonesia. Memang dalam Undang-undang 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (3)
dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka,
namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga
eksekutif maka adalah suatu hal yang mustahil bila kejaksaan diharapkan
dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan secara independen.

3. Kekuasaan Pengadilan
87

Proses persidangan merupakan salah satu tahap terpenting dalam


keseluruhan sistem peradilan pidana. Dalam KUHAP Tahun 1981,
pemeriksaan dalam sidang pengadilan ada tiga macam acara pemeriksaan
yaitu acara pemeriksaan biasa, acara pemeriksaan singkat dan acara
pemeriksaan cepat yang terdiri atas acara pemeriksaan tindak pidana
ringan dan acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan.
Beberapa prinsip yang penting dalam proses pemeriksaan dengan acara
pemeriksaan biasa ini adalah :
a. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua
pengadilan;
b. pemeriksaan dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia,
secara bebas dan terbuka untuk umum;
c. Anak di bawah umur tujuh belas tahun dapat dilarang menghadiri
sidang;
d. Pemeriksaan dilakukan dengan hadirnya terdakwa, dan dapat
dipanggil secara paksa;
e. Pemeriksaan dimulai dengan menanyakan identitas terdakwa;
f. Pembacaan surat dakwaan;
g. Keberatan terdakwa atau penasihat hukum.
h. Pembuktian.

Selanjutnya untuk acara pemeriksaan singkat, Pasal 203 KUHAP


Tahun 1981 menentukan, (1) yang diperiksa menurut acara pemeriksaan
singkat ialah perkara kejahatan atau pelanggaran yang tidak termasuk
ketentuan Pasal 205 dan yang menurut penuntut umum pembuktian serta
penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana. Pada prinsipnya
ketentuan dalam acara pemeriksaan biasa berlaku juga untuk acara
pemeriksaan singkat dan cepat. Perkecualiannya yaitu dalam acara
pemeriksaan singkat penuntut umum menghadapkan terdakwa, saksi,
ahli, juru bahasa, dan barang bukti. Waktu, tempat, dan keadaan
melakukan tindak pidana diberitahukan secara lisan, dicatat dalam berita
acara sebagai pengganti surat dakwaan.Acara pemeriksaan cepat dibagi
menjadi acara pemeriksaan tindak pidana ringan, ialah perkara yang
diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama tiga bulan
88

atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah dan


penghinaan ringan.
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana, KUHAP Tahun 1981
mengatur hubungan Penyidik dan Hakim/Pengadilan yaitu :
a. Ketua Pengadilan Negeri dengan keputusannya memberikan
perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud Pasal 29 atas
permintaan penyidik;
b. Atas permintaan Penyidik, Ketua Pengadilan Negeri menolak atau
memberikan surat izin penggeledahan rumah atau penyitaan
dan /atau surat izin khusus pemeriksaan surat ( Pasal 33 ayat 1,
Pasal 38 ayat 1 );
c. Penyidik wajib segera melapor kepada Ketua Pengadilan Negeri
atas pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak
sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat 2 dan Pasal 38 ayat 2;
d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar
putusan telah disampaikan kepada terpidana ( Pasal 214 ayat 3 );
e. Panitera memberitahukan kepada penyidik tentang adanya
perlawanan dari terdakwa ( Pasal 214 ayat 7).

KUHAP Tahun 1981 juga mengatur hubungan antara pengadilan


dan jaksa di satu pihak dan Lembaga Pemasyarakatan di lain pihak yang
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 36 Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman No. 4 Tahun 2004 yang mengatur tentang Pengawasan
Pelaksanaan Putusan Pengadilan.Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 36 ayat :
1. Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh jaksa ;
2. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan
berdasarkan undang-undang ;
3. Pelaksanan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan; ayat (4)
putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai
kemanusiaan dan keadilan.

Secara umum pengaturan proses pemeriksaan dalam sidang


pengadilan yang ditata oleh KUHAP Tahun 1981 telah menempatkan
kedudukan terdakwa sejajar dengan penuntut umum, karena terdakwa
telah dilengkapi dengan hak-hak tertentu, diantaranya adalah hak untuk
89

didampingi oleh penasihat hukum. Menurut KUHAP Tahun 1981


Penasihat Hukum di dalam sidang pengadilan telah dilengkapi dengan
seperangkat hak yaitu hak untuk bertanya kepada saksi, hak untuk
mengajukan saksi yang meringankan, hak untuk mengajukan keberatan
terhadap surat dakwaan, hak untuk mengajukan pembelaan dan
sebagainya. Kesemuanya ini menjadikan tersangka memiliki kedudukan
sebagai subyek ( prinsip accusatoir ) dan tidak lagi sebagai obyek
pemeriksaan belaka.
Kelemahan yang menyangkut subsistem pengadilan ini adalah
bahwa di dalam KUHAP Tahun 1981 yang berasaskan peradilan cepat,
sederhana dan biaya murah, tetapi dalam KUHAP Tahun 1981 sendiri
tidak ada ketentuan mengenai jangka waktu penyelesaian perkara pidana
harus diputuskan oleh hakim. Tidak terdapat kriteria dalam hal
bagaimana pengadilan menolak atau menerima izin penggeledahan
rumah maupun penyitaan dari penyidik yang melakukan tindakan
penggeledahan atau penyitaan terhadap delik tertangkap
tangan.Disamping itu juga tidak terdapat pengaturan kriteria suatu
perkara yang bisa dihentikan proses pemeriksaannya karena alasan
tertentu. Selama ini jika suatu perkara sudah mulai diperiksa di sidang
pengadilan negeri, maka perkara yang bersangkutan hanya bisa
dihentikan pemeriksaannya kalau terdakwa meninggal dunia.
Dilihat secara umum, menurut sistem KUHAP Tahun 1981,
hakim memiliki posisi yang sentral dan sangat menentukan, karena
hakimlah yang menetapkan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan
terdakwa. Kegiatan pengumpulan bukti-bukti dilakukan oleh penyidik,
pemanfaatan alat-alat bukti menjadi tanggung jawab penuntut umum
karena dialah yang berkewajiban membuat dakwaan dan
membuktikannya melalui alat-alat bukti yang dikumpulkan oleh
penyidik. Keadaan demikian adalah konsekuensi logis dari sistem
peradilan yang dianut oleh negara kita yang mewarisi sistem hukum
90

Eropa Kontinental dimana menempatkan posisi hakim sebagai figur


sentral dalam proses peradilan pidana.
Kelemahan sistem demikian secara umum adalah kemungkinan
terpinggirkannya fungsi-fungsi lainnya dalam proses peradilan pidana
seperti fungsi penuntut umum maupun fungsi penasihat hukum dalam
proses penyelesaian perkara. Menurut pendapat Luhut MP Pangaribuan,
peranan hakim dengan sistem yang ada sekarang dapat dikatakan sentral,
lebih jauh dapat juga dikatakan “monopolistik” atas seluruh aspek-aspek
dari pemeriksaan suatu perkara di persidangan. Meskipun demikian,
menurut Adi Sulistiyono , di Indonesia yang sistem hukumnya
digolongkan ke dalam civil law, peranan hakim sebagai pembentuk
hukum memang tidak begitu menonjol, seperti di negara-negara dengan
sistem common law. Negara-negara yang mengikuti sistem tersebut
terakhir lebih mempercayakan pembentukan hukumnya melalui
keputusan-keputusan hakim daripada melalui perundang-undangan.

RANGKUMAN
LATIHAN
91

BAB V
KORUPSI DAN SISTEM PERADILAN KORUPSI

TUJUAN KHUSUS PERKULIAHAN


Tujuan Instruksional Umum
Tujuan Instruksional Khusus

A. Subyek Tindak Pidana Korupsi


1. Menurut UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang ini subyek yang dapat
dipertanggung jawabkan adalah orang. Hal ini dilihat dalam tumusan kata
“barang siapa” dalam setiap pasal-pasalnya. Namun demikian disamping
subyek pelakunya adalah orang, dalam ketentuan pasal 2, subyek pelaku
yang dapat dipertanggung jawabkan terhadap tindak pidana korupsi adalah
“pegawai negeri”.
Undang-undang ini tidak menyebutkan bahwa pelaku adalah orang
dan badan hukum suatu badan, hanya akibat yang ditimbulkan
menyebutkan suatu badan dan bukan pada penekanan subyek pelaku yang
dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya mengenai kecakapan dan
kualifikasi subyek pelaku tindak pidana korupsi yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah sesuai dengan ketentuan hukum pidana
umum yakni KUHP, khususnya orang-orang yang tidak termasuk dalam
kelompok orang atau subyek pelaku sebagaimana yang ditentukan dalam
92

pasal 45 sampai dengan pasal 51 KUHP. Di luar kelompok orang tersebut


dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana korupsi dan oleh karenanya
dapat dihukum atas kesalahannya telah nelakukan tindak pidana korupsi.
Kelemahan mendasar dari undang-undang ini adalah tidak
mengatur secara limitatif pelaku yang data dipertanggungjawabkan
terhadap kesalahan telah melakukan tindak pidana korupsi kecuali orang
yang muncul secara inherent dari kata “barang siapa” dalam Pasal 1.
Dengan demikian bagi pelaku suatu badan atau korporasi tidak dapat
dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan tindak pidana korupsi yang
telah dilakukannya.

2. Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan ketentuan undang-undang ini, subyek pelaku yang
dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana korupsi adalah, dengan
sebutan “setiap orang”. Setiap orang disini meliputi :
a. Manusia
b. Korporasi
c. Pegawai negeri
Yang dimaksud dengan korporasi dalam ketentuan pasal 1 angka 1
adalah Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang
terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam ketentuan Pasal 18, 19, dan 20 serta penjelasannya adalah
mengarah kepada persekutuan keperdataan dan bukan mengarah kepada
badan hukum atau persekutuan yang bersifat public. Sedangkan yang
dimaksud dengan pegawai negeri dalam ketentuan pasal 1 angka 2 adalah
meliputi :
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
tentang Kepegawaian ;
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana ;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah ;
93

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

Dengan sendirinya mengenai kualifikasi dan persyaratan


administratif kapan setiap orang dapat dipersalahkan telah melakukan
tindak pidana korupsi adalah sesuai dengan ketentuan KUHP, kecuali tidak
termasuk kelompok orang yang sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal
45 sampai dengan pasal 51 KUHP.
3. Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Undang-undang ini juga sama dengan undang-undang nomor 31
tahun 1999 bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dapat
dipertanggungjawabkan adalah dengan sebutan kata “setiap orang” yang
artinya orang perseorangan dan korporasi dan ditambah dengan pegawai
negeri.Sehingga dengan demikian jika disimpulkan ketiga undang-undang
tersebut mengatur mengenai siapa yang dapat dipertanggungjawabkan
terhadap tindak pidana korupsi adalah :
- Manusia atau orang perseorangan ;
- Suatu badan atau korporasi ;
- Pegawai negeri.
Ketiga subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap
tindak pidana korupsi tersebut secara fenomenal, sudah memenuhi Kriteria
pelaku dalam tindak pidana modern.

B. Rumusan Tindak Pidana Korupsi


Rumusan delik atau tindak pidana korupsi, dalam kenyataan sering
dikaburkan dengan makna dan rumusan delik tentang delik atau tindak pidana
lain dan atau perbuatan lain yang secara yuridis bukan merupakan tindak
pidana atau delik. Tindak pidana lain atau perbuatan lain dimaksud adalah
seperti, hadiah, suap (tindak pidana suap), hibah, ucapan terima kasih, angpao,
94

uang sogok, uang gedog, uang kunker (kunjungan kerja), uang tahu sama tahu,
uang pelican dan lain-lain. Secara metodis, pemberian dan penerimaan uang
tersebutsangat beragam caranya, ada yang terang-terangan, sembunyi-
sembunyi, diam-diam, sampai dengan menggunakan, metode atau modus
secara legal structural, melalui prosedur resmi proyek, pengadaan barang,
permainan pengadaan dan promosi pegawai dan sebagainya.
Fenomena tersebut dalam kenyataan memang sangat sulit untuk dapat
dibedakan mana yang termasuk kategori perbuatan korupsi, dan mana yang
tidak termasuk kategori perbuatan korupsi yang dapat ‘dihukum’ oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika dilihat dalam perspektif
kultura, kendala utama untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan menjadi
perbuatan korupsi yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, juga lebih disebabkan oleh makna korupsi secara
budaya dan nilai ‘rasa keadilan’ masyarakat yang ada, sangat interpretable dan
tidak workable untuk akhirnya dapat dimasukkan dalam rumusan delik
korupsi secara yuridis normatif. Paradigma hukum yang diharapkan menjadi
sarana dan alat (tool) untuk merubah dan merekayasa (engineering) perilaku
dan budaya masyarakat yang mempunyai ideologi kapitalisme yang
mengutamakan pola hubungan contractual yang menjadi salah satu sebab
timbulnya korupsi menjadi kolegial kebersamaan, yang mempunyai hubungan
emosional. Inilah sesungguhnya paradigm hukum dan peraturan perundang-
undangan tentang korupsi harus dibuat.
Sementara itu rumusan delik atau tindak pidana korupsi yang ada dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dirasakan belum
memadaidan sangat interpretable (multi tafsir) sekaligus workable (sulit untuk
dilaksanakan atau ditegakkan) karena seringkali tidak dapat dipergunakan
untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga seringkali pula
korupsi di Indonesia hanya ada dalam rumusan pasal-pasal peraturan
perundang-undangan tentang korupsi, dan tidak pernah ada dalam kenyataan,
karena tidak dapat menghukum koruptor. Apalagi prinsip dan paradigma yang
dipergunakan dalam peraturan perundangan-undangan tentang korupsi
95

menggunakan asas legisme (hukum adalah undang-undang), maupun asas


legalitas (rumusan tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana
korupsi adalah sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
korupsi, sehingga tiada suatu perbuatan korupsi yang dapat dipidana kecuali
berdasarkan peraturan perundangan-undangan tentang korupsi perbuatan
tersebut dapat dipidana).
a. Rumusan Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Pasal 1 : dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
a. Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau
perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya
bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara
langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-pasal 209,
210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.
d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti
dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau
sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya
atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan
atau kedudukan itu
e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan
kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal-pasal 418, 419 dan 420
K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang
berwajib.
2. Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan
tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal
ini.
2. Pasal 29 : Barangsiapa dengan sengaja menghalangi, mempersulit, secara
langsung tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dimuka
Pengadilan terhadap terdakwa maupun para saksi dalam perkara korupsi
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun dan/atau
denda setinggi-tingginya 5 (lima)juta rupiah.
3. Pasal 30 : Barangsiapa yang menurut Pasal 6, 7, 8, 9, 18, 20, 21, dan 22
Undang-undang ini wajib memberi keterangan dengan sengaja tidak
96

memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, diancam


dengan hukuman penjara selamalamanya 12 tahun dan/atau denda
setinggi-tingginya 5 (lima) juta rupiah.
4. Pasal 31 : Saksi yang tidak memenuhi ketentuan termaksud Pasal 10 dan
19 Undang-undang ini diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya
3 tahun dan/atau denda setinggitingginya 2 (dua) juta rupiah.
5. Pasal 32 : Pelanggaran Pasal 220, 231, 421, 422, 429 dan Pasal 430
K.U.H.P. dalam perkara korupsi diancam dengan hukuman penjara
selama-lamanya 6 (enam) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya 4
(empat) juta rupiah.

Menyimak rumusan tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal-


pasal sebagaimana tersebut di atas, jelas bahwa rumusan tersebut masuk
dalam kategori delik atau tindak pidana formil. Sebagaimana diketahui delik
atau tindak pidana formil adalah menegaskan suatu perbuatan menjadi
perbuatan yang dapat dipidana adalah harus secara tegas ditentukan dalam
rumusan pasal undang-undang sebagai tindak pidana. Artinya hakim dan
penegak hukum pada umumnya, tidak dapat memberikan tafsir yang jauh dan
tidak sesuai dengan rumusan normatif pasal-pasal undang-undang. Penegak
hukum menjadi corong pasal undang-undang dengan mengabaikan nilai-nilai
keadilan yang berkembang di masyarakat. Walaupun ada perbuatan yang
sesungguhnya memiliki nilai jahat dalam ukuran nilai-nilai keadilan yang
berkembang di masyarakat, akan tetapi kalau tidak dinyatakan secara tegas
sebagai perbuatan yang bisa dipidana oleh undang-undang, maka harus tidak
boleh dihukumi.
b. Rumusan Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Dasar pemikiran lahirnya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tersebut adalah bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat
pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, dan dapat menghambat pertumbuhan dan
kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. Di
tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi
97

masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya


makin meningkat, karena dalam kenyataan adanya pembuatan korupsi
telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar yang pada
gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai sidang.
Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin
ditingkatkan dan diintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk
memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif
setiap bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada
umumnya.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan
keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan
rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam Undang-undang ini
dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara
‘melawan hukum’ dalam pengertian formil dan materiil. Dengan
perumusan tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana
korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut
perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan
secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk
pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-
undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara,
pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap
dipidana.
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah
korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan
sanksi. Hal ini tidak diatur dalam undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
98

Adapun rumusan tindak pidana korupsi menurut undang-undang


nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
adalah sebagai berikut :
Pasal 2 :
1. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
2. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat
dijatuhkan.
Pasal 3 yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 4 yang berbunyi :
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 5 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 6 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah)
Pasal 7 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pasal 387 atau pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana
99

dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah).

Pasal 8 yang berbunyi :


Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (Tujuh ratus lima puluh juta
rupiah).
Pasal 9 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 10 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 11 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 13 yang berbunyi :
Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat
pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14 yang berbunyi :
100

Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegas


menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang
tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur
dalam Undang-undang ini.
Pasal 15 yang berbunyi :
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana
yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai
dengan Pasal 14.
Pasal 16 yang berbunyi :
Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan
bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak
pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak
pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5
sampai dengan Pasal 14.
Pasal 21 yang berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 23 yang berbunyi :
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 241, Pasal 422, Pasal 429 atau
Pasal 430 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan
atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24 yang berbunyi :
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dilihat dari rumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-pasal


sebagaimana telah dikemukakan di atas, sesungguhnya undang-undang
nomor 31 tahun 1999 relatif sudah baik dan lengkap, walaupun terdapat
banyak pasal yang justru dapat mengaburkan rumusan tindak pidana
korupsi yang tersebar dalam pasal-pasal undang-undang ini.
101

c. Rumusan Tindak Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun


2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau
penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai
penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang
terjadi sebelum Undang-undang No. 31 Tahun 1999 diundangkan, Hal ini
disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinayatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan
hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi
secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, maka pemberantasankorupsi perlu dilakukan
dengan cara luar biasa.
Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem
pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran,
dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu
diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenaii sumber perolehan alat bukti yang
sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai “petunjuk” selain
diperoleh dari keterangan aksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga
102

diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung
eletronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronil, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai
“pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai
ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung
sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.Pembuktian
terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan
terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk
mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang
disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang
disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal
dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana
dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat
103

menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.Selanjutnya dalam Undang-


undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara
dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk
menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi,
dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.Di samping itu, dalam Undang-
undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan
Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana
sebagaimana dimaksud dalam Psal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Pidana.
Berikut dikemukakan rumusan tindak pidana korupsi dalam pasal-
pasal sebagai berikut:
1. Pasal 1 : Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diubah sebagai berikut : Pasal 2 ayat (2) substansi tetap,
penjelasan pasal diubah sehingga rumusnya sebagaimana tercantum
dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini
sebagai berikut : Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam
ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan
pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan
krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11,
dan Pasal 12, rumusnya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung
menyebutkan unsur – unsur yang terdapat dalam masing –masing Pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi
sebagai berikut :
a. Pasal 5
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit
Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri
atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
104

sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan


kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima
pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf a
atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1.
b. Pasal 6
1. Dipidana dengan pidana paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus liam puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang
yang :
a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili; atau
b. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
2. Bagi hakim yang menerima pemberian pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang
menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
c. Pasal 7
1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan
paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratusjuta rupiah) dan paling banyak
Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat
bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu
menyerahkan bahan bangunan, melakuakn perbuatan curang
yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau
keselamatan negara dlam keadaan perang ;
b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau
penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan
curang sebagaimana dimaksud dimaksud dalam huruf a ;
c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan
Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisisan Negara
Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
105

membahayakan keselamatan negaradalam keadaaan perang ;


atau
d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang
keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian
Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
2. Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang
yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
d. Pasal 8 yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda sedikit Rp150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000,00
(tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara
terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan
uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan
oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
e. Pasal 9 yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (sati\u) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus
atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau
daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
f. Pasal 10 yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling
lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima
puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang
diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau
untuk sementara waktu, dengan sengaja :
a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya; atau
b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,
atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut, atau
106

c. Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan,


atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar
tersebut.

g. Pasal 11 yang berbunyi :


Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.
h. Pasal 12 yang berbunyi :
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
a. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang
diserahkan kepada pegadilan untuk diadili;
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum,
atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongann, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau
107

kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara


negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau
menyerahkan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu
menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya
terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perudang-
undangan; atau
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan,
atau pengawasan yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh
atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni


Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut :
1. Pasal 12 A ayat :
1. Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana
dimaksud Pasal 5, Pasal 6, Pasl 7, Pasal 8, Pasal9, Pasal 10, Pasal 11
dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya
kurang dari Rp5.000.000,00.
2. Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
2. Pasal 12 B ayat :
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran
negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan
jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan
suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan
oleh penuntut umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling
108

sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling


banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
3. Pasal 12 C ayat :
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak
berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya
kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Penyam,paian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja terhitng sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
3. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan
wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau
milik negara.
4. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-
undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dilihat dari substansi rumusan tindak pidana korupsi yang terdapat
dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tersebut, memang
mempunyai semangat untuk memasukkan perbuatan yang dalam undang-
undang nomor 3 tahun 1971 maupun undang-undang nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak diatur. Ada upaya
kriminalisasi terhadap perbuatan yang terhadap perbuatan yang secara
cultural oleh sebagaian masyarakat kita, tidak dianggap sebagai perbuatan
korupsi (hadiah, gratifikasi, dan lain-lain) tetapi dalam undang-undang
nomor 20 tahun 2001 ini dikategorikan menjadi tindak pidana korupsi.

C. Judicial Crime Wujud Lain Modus Korupsi


Emmanuel Levinas, seorang filsuf abad ke-20 keturunan Yahudi,
mengatakan bahwa kejahatan terhadap manusia pada level apa pun
mengisyaratkan hilangnya rasa tanggungjawab atas kehidupan dan
kesejahteraan sesama. Pada umumnya tanggungjawab dikaitkan dengan
kesadaran moral dan komitmen terhadap kewajiban atau tugas yang mesti
diemban. Namun Levinas menempatkan tanggungjawab sebagai ciri eksistensi
manusia. “Respondeo ergo sum,” katanya. Hanya ketika saya
bertanggungjawab atas hidup orang lain, eksistensi saya pasti dan bermakna.
Tanggungjawab merupakan ciri yang membedakan manusia dari hewan.
Hanya manusia yang bisa bertanggungjawab. Hewan tidak. Orang yang
menjahati atau merugikan sesamanya menyangkal kemanusiaannya sendiri.
Kebebasanku terbatas karena kewajiban untuk bertanggungjawab atas hidup
109

orang lain. “Bahkan ketika orang lain melakukan kesalahan, saya ikut
bertanggungjawab,” kata Levinas. Gagasan Levinas itu dikembangkan lebih
lanjut oleh Zygmunt Bauman, seorang profesor dari Leeds University, Inggris,
pemikir kelahiran Polandia. Menurutnya, “being for others” mendahului
“being with others”, “hidup bagi orang lain” mendahului “hidup bersama
orang lain”. Secara eksistensial manusia memiliki tanggungjawab atas nasib
sesamanya. Orang lain adalah saudara atau adikku. Dan, saya penjaganya.
Fakta primordial itu mendahului peraturan moral dan hukum, karena terpatri
dalam kedalaman kodrat.
Tanggungjawab itulah yang agaknya hilang dari interaksi pada tataran
birokrasi dan politik di negeri kita. Maraknya judicial crime menandakan
betapa paradigma berpikir dan bertindak kita tidak berakar pada
tanggungjawab eksistensial itu. Makna hidup didangkalkan sampai ke titik
nadir di mana kekayaan material menjadi takaran. Keuntungan dan
kepentingan diri sendiri menjadi orientasi yang paling berdaya. Itulah
sebabnya, reformasi birokrasi dengan paradigma pengabdian pun tidaklah
cukup. Remunerasi bagi pegawai pun tidak segera menjawab persoalan.
Persoalan kita yang sesungguhnya terletak pada lapisan mentalitas, kesadaran
diri, keyakinan, dan gambaran diri. Maka gaji sebesar apa pun, keserakahan
tetap mendorong korupsi. Birokrasi serapih dan secanggih apa pun, kolusi
tetap dipraktekkan. Keyakinan Bentham tentang keadilan pun rasanya tak
mungkin terwujud di negeri ini. Mengutip Magna Charta, Bentham menulis,
“Justice shall be denied to no man, justice shall be sold to no man.” Dalam
judicial crime keadilan justru ditolak dan sekaligus dijual.

1. Pengertian judicial crime


Berdasarkan encyclopedia of crime and juctice (Stanford H.Kadish :
301) yang dimaksud dengan crime adalah is not a natural phenomenom but
a legal one:what ever the lawmaker defines as crime.kejahatan bukan
sekedar merupakan fenomena alami,tetapi sebuah tindakan yang jahat
110

sebagaimana (nilai jahat) dalam tindakan jahat yang dimaksud dalam dan
oleh pembuat undang-undang.
Sedangkan judicial menurut kamus bahasa Indonesia,artinya dalah
menurut hukum(wojowasito dan purwodarminto).dalam pandangan
kriminologis, judicial di artikan sebagai yang menurut undang-undang atau
yang menurut peraturan perundang-undangan.
Jadi dengan demikian,yang dimaksud dengan judicial crime adalah
suatu perbuatan jahat yang melanggar peraturan perundang-undangan proses
peradilan.atau dengan kata lain adalah suatu perbuatan jahat yang melanggar
ketentuan hukum pidana formil

2. Judicial crime dalam pandangan ahli dan masyarakat


Penegakan hukum di Indonesia sepanjang sejarah relatif masih
memperantikan.padahal dari segi kuantitas dan kualitas peraturan
perundang-undangan yang telah dibuat oleh lembaga legislative sepanjang
sejarah republic ini dari tahun ke tahun sudah relative mengalami
peningkatan.
Terkait dengan pandangan judicial crime sebagaimana yang menjadi
focus kajian ini,berikut akan di paparkan pandangan dari ahli kriminologi
Tb.Ronny Nitibaskara sebagai berikut :
Dugaan sebagian orang termasuk saya,tampaknya meleset.perkara
Joko Tjandra yang semula kita duga sebagai perkara pidana,ternyata
menurut majelis hakim pengadilan negeri Jakarta selatan yang di
pimpin oleh soenarto adalah perkara perdata,padahal harian kompos
ini saja sudah terlanjur perna menulis,bahwa sekandal bank bali
termasuk kejahatan atau tergolong sebagai perkara pidana.Bahkan
dalam tulisan itu perkara Bank bali telah saya lihat sebagai kejahatan
terorganisir (ORGANISET CRIME).

Sebagaimana kita ketahui ,masih banyak lagi orang-orang yang


diduga sangat kuat telah merugikan Negara alias koruptor yang tidak
dikenai hukuman dengan semestinya.sikap pengadilan kita yang seakan
akan sengaja melawan rasa keadilan masyarakat itu,semakin memperkuat
111

dugaan,bahwa pengadilan tidak beres,dan hampir dapat dipastikan bahwa


hal itu sebagian bermuara pada hakim.
Menurut keyakinan agama tugas hakim yang utama adalah menegakan
hukum dan keadilan di bumi.setiap jabatan atau kekuasaan mempunyai
potensi untuk disalahgunakan (abuse of power) oleh yang menduduki
jabatan tersebut pada taraf tertentu dapat berubah menjadi tingkat kejahatan
yang telah dengah diemban, dalam literature sering di sebut sebagai
occupational crime. Dalam konteks perilaku, perbuatan hakim dalam
memutus suatu perkara bias saja menyimpang dari tujuan menegakan
hukum dan keadilan.
Adapun yang menyebabkan keyakinan hakim atas kebenaran tidak
selalu dapat diwujudkaAn dalam putusan ,manakalah yang bersangkutan
terkena oleh pengaruh dari luar dirinya yang cukup kuat. Dengan demikian,
tidak terealisasinya keyakinan hakim tentang benar, tidaknya semata-mata di
sebabkan oleh factor-aktor internal yang terdapat dalam dirinya,melainkan
juga unsure-unsur yang dating dari luar dirinya. Pengarug dari luar
ini,tentunya banyak sekali bentuk dan ragamnya. Apabila kepentingan
pribadi hakim dalam suatu perkara terlalu kuat, maka sudah dapat diduga
bahwa yang akan dihasilkannya adalah putusan yang sangat jauh dari
keadilan.segala pertimbangan hukum yang dituangkan dalam putusan
sekedar menjadi bumbu,atau menjadi factor pembenar bagi motif pribadi
hakim. Semua diarahkan untuk memenuhi tujuan pribadi.Tiada seorang pun
dapat menjadi hakim yang baik didalam kepentingan sendiri(Nemo iudex
indoneus in propria causa) (sadipun,1998).
Dilihat dari sudut peluang,jabatan hakim merupakan suatu jabatan
yang paling leluasa dalam mengunakan hukum dibandingkan dengan
profesi-profesi hukum lainnya.olehnya itu apabila hakim berkemauan
hendak menyalagunakan hukum,maka kejahatannya akan nyaris
sempurna.Tidak akan kasat mata,sebab kejahatan itu terbungkus rapat oleh
hukum,atau bahkan menjadi itu sendiri karena kemudian akan menjadi
jurisprudensi.kenyataan semacam ini disebabkan oleh factor kekuasaan
112

hakim yang bebas dari campur tangan pihak manapun dalam menerapkan
hukum.Kekuasaan ini memang mutlakdiperlukan olah hakim,agar ia dapat
menghasilan putusan-putusan yang jetnih menurut hukum dan adil.oleh
karena barang kali dapat dimengerti bilakelak kekuasaan ini kemudian
banyak menggoda hakim untuk menyalagunakan hukum. Asas kebebasan
hakim tersebut kian menggoda berkat dukungan asa lain yaitu asas ius
curiaNovit(hakim dianggap tahu hukumnya).dengan kedua asas
ini,wewenang hakim dalam menetapkan hukum menjadi sangat luar biasa.ia
seakan akan dapat menghitam putihkan semua persoalan yang dihadapkan
kepadanya.dengan kekuasaan semacam itu,maka adalah wajar apabila
hakim melakukan occupational crime menjadi tidak tersentuh oleh
hakim.adalah hamper tidak mungkin,menghukum hakim dikarenakan yang
bersangkutan menjatuhkan putusan atas suatu perkara yang dijatuhkan
kepadanya.
Dalam pandangan yang lain,istilah yudicial crime disebutnya sebagai
mafia peradilan.karena saking maraknya dan terbukanya fenomena mafia
peradilan ini,A.wahab Adinegoro,ketua cabang IKADIN
Malang,mengatakan bahwa mafia peradilan dimalang khususx akan
menjadikan fakta-fakta dan data-data mengenai mafia peradilan oleh
masyarakat tidak di laporkan(jawa pos,8 agustus 2000).
3. Judicial Crime dalam Praktek
Meskipun judicial crime secara konsepsional masih merupakan
perdebatan,tetapi sesungguhnya dalam dimensi substansial judicial crime
jelas-jelas merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana . Berdasarkan pada
hasil pengamatan dan kajian peneliti,maka macam dan jenis jucial crime
dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Dalam proses penyidikan.
Modus operandi judicial crime dalam tahap ini,adalah dengan
cara melakukan manipulasi hukum dan bukti tertentu,playing time atau
mengulur ulur masa penyidikan.biasanya diawali dengan pendekatan-
pendekatan baik yang di lakukan oleh penyidik,tersangka,pengacara
113

tersangka maupun oleh pihak lainnya seperti keluarga atau orang lain
yang mempunyai kepentingan dengan kasus tersangka.
Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk melakukan negosiasi
adalah mengenai perkiraan berapa lama nantinya tersangka akan di jatuhi
hukuman oleh hakim ,pasal KUHP apa yang akan di kenakan atau
disangkakan kepada tersangka ,berapa lama tersangka ditahan ditingkat
penyidikan bahkan sampai dengan perlu atau tidak perlunya tersangka
ditahan atau tidak ditahan ,perlu dibebaskan atau tidak perlu di bebaskan
dengan alas an tidak cukup bukti untuk diproses lanjut termasuk di
dalamnya perlu diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan(SP-3)
atau tidak,singkat kata dalam negosiasi tersebut kasus tersangka
diselesaikan atau tidak diselesaikan.
Biasanya untuk keperluan semua itu pihak tersangka di haruskan
untuk membayar atau menyediakan sejumlah uang (jumlahnya relative
memberatkan tersangka)guna kelancaran proses pencapaian tujuan kedua
belah pihak. Wujud perbuatan tersebut misalnya, tersangka A Mencuri 10
kg kopi yang seharusnya disangka pasal 362 KUHP dimana ancaman
hukumannya maksimum 5 tahun penjara dan selama proses penyidikan
harus ditahan 30 hari. Maka penyidik dengan pengalamanya sudah dapat
diperkirakan berapa bulan hakim menjatuhkan hukuman kepada
tersangka tesebut. Taruh saja dalam kebiasaan hakim menjatuhkan
hukuman penjara 3 bulan.maka dibuatlah sekanario hukuman tersebut
dengan cara penyidik menghubungi penuntut umum dan hakim agar
dalam dakwaan penuntut umum unsure-unsur perbuatan tersangka
diarahkan kepada unsur perbuatan yang dapat meringankan nilai dan
kualitas perbuatan pidana yang di lakukan tesangka. Misalnya barang
bukti kopi tidak lagi dibuat 10 kg akan tetapi dibuat 1,5 kg saja,dan
tersangka masih sekali melakukan perbuatan nya dan lain-lain
.selanjutnya agar masa hukuman 3 bulan tersebut tidak perlu di jalani
tersangka nantinya,maka selama proses penuntutan maupun pemeriksaan
disidang pengadilan oleh hakim tersangka ditahan selama 2
114

bulan.sehingga dengan demikian ketika hakim menjatuhkan putusan


kepada tersangka selam 3 bulan,maka saat itu pula tersangka langsung
bebas karena masa hukumannya 3 bulan sudah dia jalani ditahanan
selama proses penyidikan sampai dengan putusan hakim.Modus
demikian kalau dilihat dari dimensi KUHAP tidaklah ada pasal yang
dilanggar.namun demikian karena ada upaya untuk mengkondisikan dan
merekayasa kejadian tersebut apalagi dicapai dengan cara negosiasi
dengan imbalan sejumlah uang,maka perbuatan tersebut menjadi
perbuatan yang di larang.secara legal formal,tidak melanggar ketentuan
KUHAP tentang penahanan maupun penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di pengadilan,akan tetapi secara substansial nilai perbuatan
penyidik tersebut leh jahat dari pada perbuatan yang dilakukan oleh
tersangka A yang mencuri 10 kg kopi.
b. Dalam penuntutan.
Macam dan modus perbuatan yang masuk dalam kategori judicial
crime dalam tingkat penuntutan adalah dengan playing time,manipulasi
alat bukti dan barang bukti,manipulasi pasal.playing time,dilakukan
untuk menjadikan impas masa hukuman yang di jatuhkan oleh hakim
sebagaimana yang di jelaskan di dalam penyidikan. Manipulasi alat
bukti, dilakukan dengan cara mengkaburkan alat bukti dan barang bukti
yang ada, misalnya ukuran dan jenis pisau yang di pergunakan untuk
melakukan pembunuhan oleh tersangka D, dimana seharusnya jenis
pisaunya adalah terbuat dari baja tetapi diganti dengan jenis pisau yang
terbuat dari besi, ukuran panjang dan lebar pisau pun diganti tidak sama.
Disamping itu juga biasannya manipulasi barang bukti ini dilakukan
dengan cara mengurangi jumlah dan nilai barang bukti, misalnya
timbangan barang bukti ganja yang sebenarnya adalah 2,1 kg,tetapi
didalam surat dakwaan hanya dicantumkan 9,3 gram dan seterusnya.
Selain itu juga mereka juga sering memanipulasi pasal dilakukan dengan
mengembalikan BAP yang dibuat oleh penyidikagar di lengkapi
keterangan dana alat bukti serta barang bukti lainnya yang dapat
115

membuat kesan bahwa perbuatan terdakwa sesungguhnya bukan masuk


dalam kategori perbuatan sebagaimana yang disangkakan oleh penyidik
dalam BAP-Nya, perbuatan ini dilakukan melalui media pra penuntutan
sebagaimana yang ditentukan KUHAP.Perbuatan tersebut dilakukan oleh
penuntut umum bersama dengan pihak terdakwa dengan mewajibkan
pihak terdakwa untuk memberikan sejumlah uang kepada penuntut
umum.
c. Dalam persidangan
Secara metodis macam dan modus judicial crime yang dilakukan
oleh hakim,adalah meliputi playing time,perluasan interpretasi pasal dan
perbuatan terdakwa, pemahaman secara legal formil pasal-pasal yang
didakwakan/dituntutkan penuntut umum.playing time,hakim akan
menjatuhkan putusan yang di sesuaikan dengan masa lamanya tahanan
yang menjalani oleh terdakwa, sehingga ketikan putusan di jatuhkan
terpidana langsung bebas.perluasan interprestasi pasal,hakim dengan
berlindung di balik keyakinannya memberikan tafsir terhadap pasal yang
di dakwakan penuntut umum dengan secara luas dan sempit sehingga
pola piker hakim sudah terbentuk sedemikian sempit karena dibatasi oleh
pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum kepada terdakwa.
Dan dengan cara pandang demikian hakim akan mempunyai
ruang yang cukup untuk melakukan interprestasi perbuatan terdakwa
tersebut sungguh terbukti atau sungguh tidak terbukti.Biasanya hakim
mempunyai kecenderungan untuk mengambil kesimpulan dengan
mengambil interprestasi perbuatan terdakwa tidak terbukti dengan
sungguh-sungguh melakukan perbuatan sebagaimana yang di dakwakan
oleh penuntut umum sengga putusannya bebas.ataupun kalau dijatuhi
hukuman penjara biasanya hakim akan menjatuhkan hukuman yang
sangat jauh lebih ringan dari tuntutan penuntut umum.pemahaman secara
legal formal pasal-pasal yang didakwakan oleh penuntut umum adalah
hakim dengan kebebasan dan independensi yang dimilikinya
dipergunakan dasar untuk membuat keputusan .
116

Namun kebebasan dan independensi tersebut di pahami secara


sempit hanya dalam lingkup pasal-pasal yang didakweakan saja,tidak
berusaha untuk menilai kenyataan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat.
4. Konsepsi judicial crime dalam hukum pidana
Dalam paparan dan deskripsi mengnai macam dan jenis judicial
crime sebagaiman dalam sub F diatas selanjutnya dapat dikategoresasikan
kedalam di mensi perbuatan jahat yang dapat di hukum berdasarkan pasal-
pasal KUHP sebagai berikut :

1. Pasal 242 KUHP


2. Pasal 416 KUHP
3. Pasal 418 KUHP
4. Pasal 420 KUHP
5. Pasal 422 KUHP
6. Pasal 423KUHP
7. Pasal 425 KUHP
8. Pasal 318 KUHP
9. Pasal 335 KUHP
D. Hukum Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi
1. Perihal Pembuktian dan Sistem
Perihal pembuktian adalah bagian sangat penting dalam proses
pemeriksaan tindak pidana khususnya tindak pidana korupsi. Dalam proses
pembuktian ini hakim dengan keyakinannya dapat dengan “leluasa” dan
bebas untuk menemukan bukti dan alat bukti yang dapat dijadikan dasar
hakim dalam membuat keputusan. Dalam tahapan pembuktian ini hakim
memerlukan berbagai macam alat bukti. Dalam pasal 295 RIB ada 4 alat
bukti yang dapat diuji untuk dibuktikan di persidangan, yakni : keterangan
saksi, surat-surat, pengakuan tertuduh dan penunjukkan. Keempat alat
bukti ini oleh hakim dapat dipergunakan untuk memperkuat keyakinan
hakim. Dalam sistem RIB tersebut memberikan keleluasan bagi hakim
117

untuk menilai alat bukti mana yang layak dan tidak layak dijadikan dasar
untuk membuat keputusannya.
Dalam banyak kasus pidana, pembuktian tindak pidana yang paling
rumit dan sulit adalah pembuktian tindak pidana korupsi. Sebab disamping
pelaku tindak pidana korupsi biasanya adalah orang yang memiliki tingkat
intelektual cukup tinggi dan dengan menggunakan modus yang memang
sudah direncanakan secara matang agar perbuatan tersebut tidak mudah
dilacak dan/atau diungkap.
Kenyataam bahwa banyak penguasa yang justru menjadi pelaku
tindak pidana korupsi tersebutlah, maka pembuktian tindak pidana korupsi
di pengadilan menemui hambatan tidak saja structural (birokrasi dilibatkan
menjadi bagian dari penciptaan sistem korup), maupun hambatan cultural
(budaya masyarakat yang nrabas, hedonis, kapitalis). Kesulitan
pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tidak saja karena pelakunya
adalah para birokrat yang seharusnya menjadi pengawal dan panglima
terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi
memang aturan perunfangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, dirasa sangat kurang memadai. Pasal-pasal yang ada
sangat interpretable dan bermakna all embracing act di mata penguasa
yang korup tersebut.
Sistem pembuktian dan alat-alat pembuktian secara yuridis diatur
dalam ketentuan pasal 183-232 KUHAP dimana pembuktian adalah
merupakan bagian yang terpenting dalam perkara pidana, khususnya
dalam upaya menemukan barang bukti dan atau alat bukti yang saling dan
dapat mempengaruhi sifat dan bobot serta kualitas keputusan hakim
terhadap tindak pidana korupsi.

2. Teori Pembuktian
Ada beberapa teori pembuktian yang akan dikemukakan dibawah ini,
yang masing-masing teori mempunyai implikasi dan konsekuensi terhadap
pemeriksaan di persidangan pengadilan oleh hakim. Pembuktian adalah
118

ketntuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-


cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang
mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh
dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena
membuktikan kesalahan terdakwa. Sehingga dengan demikian pembuktian
mempunyai makna antara lain :
1. Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya
mencari dan mempertahankan kebenaran materiil. Bahkan hakim,
penuntut umum, terdakwa, atau penasehat hukum masing-masing
terikat pada ketentuan cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan
undang-undang.
2. Sehubungan dengan pengertian di atas, hakim dalam mencari dan
meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkannya dalam putusan,
harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
Teori pembuktian, diantaranya :
1. Teori Tradisional.
Menurut Bosch Kemper, ada beberapa teori pembuktian tradisional,
yaitu :
a. Teori Pembuktian Negatif (Negative Wettelijk)
Teori ini menegaskan bahwa hakim diperbolehkan menjatuhkan
pidana jika mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang syah bahwa
telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut
oleh Pasal 294 ayat (1) HIR yang menyebutkan keharusan adanya
keyakinan hakim dan keyakinan tersebut didasarkan pada alat-alat bukti
yang sah.
b. Teori Pembuktian Positif (Positive Wettelijk)
Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan
kesalahan terdakwa jika terdapat bukti minimum yang diatur oleh
119

undang-undang. Hakim diwajibkan memutus bersalah atas terdakwa


apabila terdapat bukti-bukti yang dimaksud oleh undang-undang.
Singkatnya, tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti harus dihukum.
Teori ini dianut oleh KUHAP, yakni pada pada Pasal 183 yang
menyebutkan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

c. Teori Pembuktian Bebas (Vrij Bewijst)


Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Inti dari teori
ini adalah hakim dapat memutus bersalah atas terdakwa berdasarkan
keyakinannya yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti
dan dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman. Teori irti tidak dianut oleh
sistem HIR maupun sistem KUHAP.
2. Teori Modern
Teori ini diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk (Yahya Harahap
(1993: 797-800), yaitu :
a. Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke
overtuiging atau conviction intime).
b. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijstheorie).
c. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke bewijstheorie).
d. Teori keyakinan atas alasan negatif (berenedeerde vertuging atau
conviction raisonnee).
e. Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief
wettelijke overtuiging).
f. Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).
120

Adapun penjelasan dari teori-teori pembuktian di atas adalah


sebagai berikut :
a. Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke
overtuiging atau conviction intime).
Menurut teori ini hakim boleh mendasarkan suatu keadaan dan
boleh memutuskan berdasarkan keyakinannya belaka dengan tidak
terkait oleh suatu peraturan. Dengan kata lain hakim boleh menyatakan
suatu keadaan telah dianggap terbukti dengan hanya berdasarkan
perasaan.
Kelemahan sistem pembuktian ini adalah terlalu memberikan
kekuasaan dan kepercayaan yang besar kepada hakim sehingga sulit
untuk melakukan control. Penggunaan sistem ini di peradilan Juri
Perancis mengakibatkan banyak putusan bebas yang tidak realistis dan
logis.
b. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijstheorie).
Dalam teori ini, undang-undang menentukan ragam alat bukti
yang dapat dipakai oleh hakim, bagaimana cara hakim mempergunakan
alat bukti serta kekuatan dari masing-masing alat bukti. Keadaan
dianggap terbukti apabila sudah dibuktikan dengan mempergunakan
alat bukti yang sudah ditetapkan oleh undang-undang meskipun hakim
berkeyakinan lain.
Menurut D. Simon, sistem positief wettelijke di benua Eropa
dipakai pada waktu berlakunya hukum acara pidana yang bersifat
inquisitor. Peraturan tersebut dianggap memperlakukan terdakwa
sebatas sebagai objek pemeriksaan dan hakim hanya sebagai pelengkap
saja. Sehingga kelemahan dari teori ini adalah tidak memberikan
kepercayaan terhadap hakim yang hal ini bertentangan dengan prinsip
hukum acara pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran
yang diyakini.
121

c. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief


wettelijke bewijstheorie).
Pembuktian menurut teori ini menghendaki alasan yang
disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti, serta tidak
diperbolehkan mempergunakan alat bukti lain yang tidak diatur oleh
undang-undang. Dalam mempergunakan alat bukti tersebut, hakim
harus mengacu pada undang-undang.
lstilah negatif dalam teori ini berarti belum cukup bagi hakim
dalam memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang melainkan
juga berdasarkan keyakinan hakim atas suatu kebenaran. Teori ini
dianuti oleh HIR Pasal 294 ayat (1) dan juga Hukum Acara Pidana
Belanda (Sv Ned).
Menurut pasal 294 HIR, pekerjaan hakim dalam beracara pidana
adalah meneliti apakah bukti yang disyaratkan oleh undang-undang
telah dipenuhi. Apabila sudah dicukupi, maka dengan mempergunakan
keyakinannya, hakim akan memutus keadaan tersebut telah terbukti
atau tidak.
d. Teori keyakinan atas alasan logis (berenedeerde vertuging atau
conviction raisonnee).
Menurut teori ini hakim menyebutkan alasan dalam mengambil
keputusan tidak terlihat pada penyebutan alat bukti dan penggunaan alat
bukti sesuai yang diatur oleh undang-undang, melainkan hakim bebas
mempergunakan alat bukti lain asal didasarkan pada alasan yang logis.
e. Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke
overtuiging).
Baik KUHAP maupun HIR menganut teori ini. Hal ini
tercantum dalam Pasal 183 KUHAP dan yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuahi
apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang syah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
122

Esensi yang terkadung dalam Pasal di atas adalah :


a. Disyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah.
b. Terdakwalah yang telah bersalah melakukannya.
Kata sekurang-kurangnya memberikan batasan pada alat bukti
minimum yang harus didatangkan pada saat pembuktian. Sedangkan
kata-kata alat bukti yang syah memberikan pengertian bahwa hanya
alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang yang dapat ditetapkan
sebagai alat bukti dalam proses pembuktian pada semua bentuk tindak
pidana termasuk korupsi.

f. Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).


Terdapat berbagai macam sistem pembuktian terbalik, di
antaranya; sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang
berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan
pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang
membebankan pembuktian secara penuh kepada terdakwa atau
pembuktian terbalik murni.

3. Sistem Pembuktian yang dianut KUHAP.


Dalam Pasal 183 KUHAP,menentukan bahwa hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang
kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya. Jika dibandingkan dengan pasal 294 HIR yang berbunyi:
tidak akan dijatuhkan hukuman pada seorangpun jika hakim tidak yakin
kesalahan terdakwa dengan upaya bukti menurut undang-undang bahwa
benar telah terjadi perbuatan pidana dan benar tertuduhlah yang salah telah
melakukan perbuatan itu.
Dari ketentuan pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 HIR tersebut dapat
disimpulkan bahwa kedua-duanya menganut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negative. Perbedaan penekanan pada syarat
123

pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah dalam pasal 183 KUHAP.
Dengan demikian pasal 183 KUHAP, untuk menentukan salah tidaknya
terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus :
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah.
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang salah telah melakukannya.
Dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, telah ditentukan secara terperinci
alat alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Jadi pasal 184 KUHAP tersebut secara kaku dalam menentukan alat
bukti yang sah menurut undag-undang sehingga tidak memberikan
kemungkinan peluang sedikitpun alat bukti lain selain kelima alat bukti
tersebut untuk dipertimbangkan menjadi alat bukti pelengkap atau
penunjang.
Selain itu KUHAP juga menganut prinsip minim pembuktian, yakni
minimum pembuktan yang dapat memadai untuk membuktikan kesalahan
seorang terdakwa paling sedikit dua alat bukti yang sah (Pasal 183
KUHAP). Pasal lain yang menjadi penegas terhadap pembuktian pasal
tersebut antara lain:
a. Pasal 185 (2) : Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah
unus testis nulls testis.
b. Pasal 189 (4) : Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa.

4. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
124

Sebagaimana dipahami dan diketahui bahwa peraturan perundang-


undangan yang mengatur tindak pidana korupsi dan berlaku diIndonesia
sampai saat ini adalah berlaku tiga undang-undang, yakni Undang-Undang
No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dan Undang-Undang No.20 tahun 2001 tentang Revisi Undang-Undang
No.31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Sebenarnya sejak
dikeluarkannya Undang-Undang No.31 tahun 1999, Undang-Undang No.3
tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sebagaimana ketentuan
pasal 44 Undang-Undang No.31 tahun 1999, yang menentukan bahwa: pada
saat berlakunya Undang-Undang ini maka Undang Undag No.3 tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun
19971 nomor 19,Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958),dinyatakan
tidak berlaku. Namun desakan masyarakat sangat kuat yang mengharuskan
para pelaku tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang
no.31 tahun 1999 agar dapat dihukum maka keluarkan undang-undang
nomor 20 tahun 2001 tentang revisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Khususnya pasal 34 A(1):
tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang no.31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan,diperiksa
dan diputus sesuai dengan ketentuan undang-undang no 3 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dengan ketentuan maksimum
pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan
dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10 undang-undang ini
dan pasal 13 Undang-undang nomor 31 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

a. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-


Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi.
125

Dalam sistem pembuktian tindak pidana korupsi menurut undang


undang nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi, dasar pijakannya adalah asas presumption of innocence(asas
praduga tak bersalah). Sebagaimana ketentuan undang-undang pasal 8
undang-undang nomor 14 tahun 1970. Pokok kekuasaan Kehakiman,
yakni setiap orang yang disangka, ditangkap,dituntut dan/atau
dihadapkan kedepan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ketentuan asas tersebut mempunyai makna bahwa dalam sidang


pengadilan maka yang mempunyai beban kewajiban untuk
membuktikan kesalahan seseorang yang telah dituduhkan melakukan
tindak pidana adalah penuntut umum (JPU). Ketentuan ini mengandung
maksud bahwa undang-undang nomor 3 tahun 1971 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi menganut sistem pembuktian biasa
atau konvensional. Hal ini dapat dilihat ketentuan pasal 17 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang bunyinya sebagai
berikut :

1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan


pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa
ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa


bahwa ia tidak bersalah seperti yang dimaksud dalam ayat :

a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa


perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak
merugikan keuangan atau perekonomian Negara; atau

b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan bahwa


perbuatannya iyu dilakukan demi kepentingan umum.
126

3. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang


pembuktian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) maka
keterangan tersebut digunakan sebagai hal yang setidak tidaknya
menguntungkan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum
tetap memiliki kewenangan untuk memberikan pembuktian yang
berlawanan.

4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang


pembuktian seperti yang dimaksud dalam ayat (1) maka
keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidaknya
merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umu tetap
diberikan kewenangan member bukti bahwa terdakwa benar
benar bersalah melakukan tindak pidana korupsi.

b. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi menurut Undang


Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi

Disamping tunduk pada KUHAP dalam undang undang ini sudah


sedikit lebih maju dibandingkan dengan undang undang nomor 3 tahun
1971 khususnya mengenai sistem pembuktian yang dianut. Dalam
undang undang nomor 31 tahun 1999, sistem pembuktian yang
dipergunakan adalah sistem pembuktian terbalik, berimbang dan
bersifat terbatas dan menggunakan sistem pembuktian negative menurut
undang undang.

Dalam penjelasan atas undang undang nomor 31 tahun 1999,


dikatakan bahwa pengertian pembuktian terbalik yang bersifat terbatas
dan berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan
bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan
keterangan terhadap seluruh harta bendanya dan harta benda
suami/istrinya,anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang
127

diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan dan


penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Kata terbatas dalam memori pasal 37 dikatakan bahwa, apabila


terdakwa dapat membuktikan dalilnya bahwa terdakwa tidak
melakukan tindak pidana korupsi,hal ini tidak terbukti terdakwa tidak
melakukan tindak pidana korupsi, sebab penuntut umum masih
berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Sedangkan kata berimbang diartikan sebagai berupa penghasilan


terdakwa atupun sumber penambahan harta benda terdakwa. Sebagai
income terdakwa dan perolehan harta benda terdakwa sebagai output.
Antar income sebagai input yang tidak berimbang dengan output atau
dengan kata lain input lebih kecil dari pada output. Dengan demikian
diasumsikan bahwa perolehan barang barang sebagai output tersebut
sebagai hasil perolehan tindak pidana korupsi yang didakwakan.
Sehingga dengan demikian dapat dikemukakan bahwa teori pembuktian
yang dianut dalam pasal 31 tahun 1999 adalah teori bebas yang dianut
oleh terdakwa dan teori negative menurut undang undang yang dianut
oleh penuntut umum.

Penjelasan tersebut diatas dapat dilacak dalam ketentuan pasal 37


undang undang nomor 31 tahun 1999 sebagai berikut:

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak


melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa terdakwa tidak


melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut
dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta


bendanya dan harta benda istri atau suami ,anak dan harta benda
128

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai kaitan


dengan perkara yang bersangkutan.

4. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan tentang kekayaan yang


tidak seimbang dengan penghasilannya, maka keterangan tersebut
dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada
bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat(2),


ayat(3) dan ayat(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk
embuktikan dakwaanya.

c. Sistem Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Menurut undang


undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang
undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Korupsi.

Dalam undang undang nomor 20 tahun 2001 juga menganut


sistem pembuktian semi terbalik dan berimbang sebagaimana ketentuan
dalam undang undag nomor 31 tahun 1999. Hal ini dapat dilihat dalam
ketentuan pasal 37 (revisi) yang berbunyi sebagai berikut :

1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak


melakukan tindak pidana korupsi.

2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan


tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan
oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan
tidak terbukti.

Pasal 37 A:

1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta


bendanya dan harta benda istri atau suami ,anak dan harta benda
129

setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai kaitan dengan


perkara yang bersangkutan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan
yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti
yang sudah ada bahwa terdakwa telsh melakukan tindak pidana
korupsi.

E. Model Sistem Peradilan Korupsi


1. Model Sistem Peradilan Korupsi Yang efektif dan Efisien Berdasarkan
Asas-Asas Good Government dan Good Governance

Lembaga Peradilan merupakan subsistem dari sistem birokrasi


kekuasaan dalam Negara apapun bentuk dan klasifikasinya. Sebagai sebuah
subsistem, maka keberadaannya menjadi penting, terlebih lembaga peradilan
dalam bentuk Negara Indonesia memang tidak menganut prinsip dan asas
pemisahan kekuasaan, tetapi menganut asas dan prinsip pembagian kekuasaan.
Perbedan mendasar dari keduanya adalah terletak kepada mekanisme kerja,
pertanggungjawaban, dan sistem kontrolnya. Pada sistem pemisahan
kekuasaan, mekanisme kerja suatu lembaga kekuasaan tidak dapat dicampuri
dan dikontrol oleh kekuasaan negara manapun yang bukan dari kekuasaan
tertentu. Misalnya mekanisme kerja kekuasaan atau lembaga yudikatif tidak
dapat dipengaruhi dan harus konsultasi dengan kekuasaan eksekutif maupun
kekuasaan legislatif dalam mengemban pelaksanaan tugas kelembagaannya,
jadi benar-benar independen dalam implementasi tugas dan kewenangannya.

Kekuasaan lembaga eksekutif hanya melaksanakan peraturan


perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif. Demikian juga
lembaga legislatif hanya mempunyai tugas dan kewenangan membuat
peraturan perundang-undangan, sedang lembaga yudikatif mempunyai tugas
menegakkan peraturan perundang-undangan yang membuat lembaga legislatif.
Dari aspek pertanggungjawaban dan kontrol kinerjanya, dalam sistem
130

pemisahan kekuasaan setiap lembaga (eksekutif, legislatif, dan yudikatif)


langsung kepada publik atau rakyat, tidak kepada atasannya, karena memang
setiap lembaga kekuasaan tidak mempunyai atasan secara langsung secara
struktural, kecuali mereka harus mempertanggungjawabkan semua kinerja
kelembagaannya langsung kepada rakyat yang mempunyai hak dan
kedaulatan. Sehingga baik buruknya kinerja lembaga eksekutif, yudikatif dan
legislatif sangat tergantung pada kematangan sifat dan kultur masyarakatnya
untuk lebih dapat menjadi pihak yang sangat menentukan dalam membentuk
kekuasaan yang accountable atau corrupt. Sisi negatif dari sistem pemisahan
kekuasaan tersebut adalah, kekhawatiran terjadinya praktek absolutisme dalam
masing-masing kekuasaan, jika kontrol yang dilakukan oleh publik tidak kuat
dan tidak terlembaga dengan baik sebab masing-masing lembaga kekuasaan
tersebut tidak dapat saling mengontrol dan secara struktural tidak mempunyai
atasan sebagai media dan sarana kontrol kelembagaan.

Sedangkan dalam sistem distribusi kekuasaan sebagaimana yang


diterapkan di Indonesia, masing-masing lembaga kekuasaan (eksekutif,
legislatif dan yudikatif) dapat saling berhubungan, berkonsultasi, mengontrol,
meminta pertanggungjawaban, dalam melaksanakan tugas dan
kewenangannya. Secara konsepsional, filosofi distribusi kekuasaan tersebut
dimaksudkan sebagai upaya sinkronisasi dan harmonisasi mekanisme kerja,
dalam implementasi tugas dan kewenangan yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan.

Hak dan kedaulatan rakyat didistorsi, diserap dan diambil alih oleh
masing-masing kekuasaan yang ada. Hak dan kedaulatan rakyat dalam bidang
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dihargai dalam buku peraturan perundang-
undangan dan konstitusi Negara. Proses hegemoni oleh setiap lembaga
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ideologi struktural yang
dimaksudkan sebagai kamuflase perwujudan hak dan kedaulatan rakyat.
131

Dalam bidang peradilan, hak dan kedaulatan rakyat akan hukum dan
keadilan dihargai sebatas pada pencantuman pasal-pasal bermakna karet yang
syarat dengan kepentingan dan ambisi penegakan kekuasaan dengan motif
imbalan harta, tahta dan wanita. Substansi persoalan mengenai penegakan
hukum dan keadilan, menjadi isu dalam wacana publik dan bukan menjadi
kerangka pola piker dari para aparat penegak hukum yang seharusnya
mempunyai tugas pokok menegakkan hukum dan keadilan (speaker of justice)
tidak sekedar menjadi penyuara undang-undang (speaker of law).

Good Governance Kaitannya dengan Sistem Peradilan Korupsi

Sebagai bagian dari sub sistem kekuasaan dalam sebuah Negara,


seyogyanya sistem peradilan (korupsi) juga menggunakan prinsip dan asas
bagaimana menjadikan sistem kekuasaan peradilan tersebut baik dan benar
dengan tetap memperjuangkan dan mewujudkan jaminan penegakan hukum
dan keadilan (good governance). Bahkan seharunya sistem peradilan korupsi,
harus menjadi semangat dan ruh perwujudan prinsip dan asas good
government dan good governance.

Secara umum dapat dikemukakan asas-asas Good Governance sebagai


berikut :

1. Transparancy (keterbukaan) dalam penyelenggaraan pemerintahan.


Transparansi merupakan asas penyelenggaraan pemerintah yang
bertumpu atas asas demokrasi (partisipasi), keterbukaan dapat
diidentifikasikan menjadi beberapa bagian sesuai dengan ruang lingkup,
meliputi :
- Keterbukaan informasi aktif yakni keterbukaan atas prakarsa
pemerintah.
- Keterbukaan informasi pasif, yakni keterbukaan atas permintaan
warga masyarakat.
- Keterbukaan prosedur, yang memungkinkan masyarakat untuk ikut
mengetahui (mecweten), ikut memikirkan (medenken),
132

bermusyawarah (messpreken) dan hak ikut untuk memutus


(medebeslissingrecht).

Asas tersebut jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka


setiap bentuk keputusan hakim yang menangani perkara korupsi,
seharusnya dibuat dalam proses yang demokratis, dimana masyarakat
dapat mengetahui tidak saja mengenai mekanisme proses pembuatan
keputusan (dissenting opinion), tetapi akomodasi terhadap nilai-nilai
hukum dan keadilan yang berkembang ditengah masyarakat juga harus
menjadi bagian integral dari substansi keputusan yang dibuat. Keputusan
penegak hukum mengenai korupsi mempunyai makna efektif dan efisien
jika secara substansial, prosedural dan psikologis sesuai dan selaras
dengan nilai-nilai keadilan yang berkembang di masyarakat. Sehingga
dengan demikian, ukuran efektif dan efisien suatu produk keputusan
hukum tentang korupsi yang dibuat oleh penegak hukum tentang korupsi
yang dibuat oleh penegak hukum bukan pada ketepatan dan kecepatan
dalam menerapkan hukum prosedur yang pembuatan dan penegakannya
menggunakan paksaan (divorced) penguasa.

2. Accountability/Responsibility (pertanggungjawaban). Menurut E. Master


terdapat dua macam accountability dalam penyelenggaraan
pemerintahan, yaitu :
- Obyektif Accountability, yakni pertanggungjawaban kepada atasan
mengenai kinerja yang dilakukan dalam organisasi, hal ini
dilakukan untuk menilai apakah yang dilakukan telah sesuai dengan
hukum yang melandasinya atau belum dan untuk waktu yang akan
datang.
- Subyectif Accountability, yakni mempertanggungjawabkan
kinerjanya siapapun diluar organisasi yang layak diberi
pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban seperti ini diberikan
dalam rangka demokratisasi dan membuka partisipasi kontrol
masyarakat sebagai bentuk akuntabilitas publik. Akuntabilitas
133

bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan


melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintahan,
sehingga mengurangi penumpukan kekuasaan, sehingga
menciptakan kondisi saling mengawasi (check and balance sistem).
Asas tersebut jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka
semua keputusan hakim tentang perkara korupsi harus
dipertanggungjawabkan tidak saja secara hukum kepada atasannya
dimana semua prosesnya tidak boleh bertentangan dengn hukum
acara pidana yang berlaku untuk perkara korupsi, tetapi juga harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik secara individual
maupun secara komunal melalui ormas-ormas yang ada, sebagai
proses saling mengawasi dan demokratisasi dalam bidang peradilan
korupsi, apalagi akibat yang ditimbulkan oleh tindakan korup
tersebut sangat eksesif, baik secara social, ekonomi, budaya,
hukum, keamanan, pertahanan, dan politik.
3. Fairness, (kewajaran atau kesetaraan). Asas ini bermakna memberi
kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk ambil
bagian dalam pengambilan keputusan publik. Asas ini jika dikaitkan
dengan sistem peradilan korupsi, maka posisi antara lembaga peradilan
atau hakim dengan masyarakat dalam proses pembuatan keputusan
untuk menegakkan hukum dan keadilan tentang korupsi, adalah setara
dan wajar. Publik discourse seputar kritikan dan kajian mengenai
keputusan hakim tentang korupsi yang dilakukan masyarakat adalah
merupakan bagian integral dari perwujudan proses asas kesetaraan dan
kewajaran dalam sistem peradilan korupsi dan bukan merupakan upaya
intervensi masyarakat terhadap independensi lembaga peradilan.
4. Sustainability, (kesinambungan). Asas ini dimaksudkan untuk
menciptakan kesinambungan pemerintahan yang baik, siapapun yang
berkuasa (lihat Hadjon 1993 dan Atmosudarso 1994).
Asas tersebut jika dikaitkan dengan sistem peradilan korupsi, maka
bermakna bahwa para aparat penegak hukumnya (polisi, jaksa, hakim,
advokat), harus mempunyai lembaga yang mempunyai fungsi simultan,
134

continuity corruption justice process. Antara lembaga kepolisian ‘dapat’


membantu Jaksa dalam melakukan penyelidikan tindak pidana korupsi,
demikian juga Kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan,
juga harus selalu memegang teguh prinsip bahwa terhadap
tanggungjawab penyidikan, penuntutan, dan eksekusi keputusan hakim
tentang perkara korupsi, tetap mendasarkan diri pada keutamaan
perwujudan keadilan. Demikian juga Advokat, dengan Undang-Undang
no.18 tahun 2003 tentang Advokat, mempunyai fungsi dan peran yang
sama dalam proses penegakan hukum dan keadilan di bidang korupsi.
Sehingga dengan demikian hubungan antara sub sistem peradilan
korupsi diharapkan merupakan satu kesatuan antara satu dengan yang
lain serta merupakan bagian integral dalam upaya penegakan hukum dan
keadilan dalam bidang korupsi, bukan justru masing-masing subsistem
peradilan korupsi tersebut membawa kepentingan dan tujuan yang
berbeda-beda, sehingga pola hubungan dan kaitan baik secara fungsional
maupun secara struktural dalam rangka mewujudkan sistem peradilan
korupsi yang efektif dan efisien serta berlandaskan pada asas-asas good
government dan good governance, dalam mewujudkan supremasi
hukum dan supremasi keadilan sebagai bagian integral dari semangat
reformasi hukum di Indonesia.

2. Kebutuhan Aspek Struktur, Administrasi Peradilan, SDM yang


diperlukan dalam membangun model sistem peradilan korupsi yang
efektif dan efisien.

a. Struktur dan administrasi sistem peradilan korupsi yang efektif dan efisien.
- Penyelidikan dalam rangka mengungkap tindak pidana korupsi, adalah
gabungan antara polisi, jaksa dan komisi pemberantasan korupsi
sebagai kordinatornya. Selanjutnya tim penyelidik gabungan ini
disebut dengan tim PK ( Tim Penyelidik Korupsi ). Selama ini
penyelidikan hanya dilakukan oleh jaksa yang memang secara social,
ekonomi, serta politik kekuasaan sangat tidak mendukung adanya
prinsip good government dan good governance dalam perwujudan
sistem peradilan korupsi yang efektif dan efisien. Kelahiran Undang-
undang No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi, juga
135

tidak dapat lebih efektif disebabkan oleh pertentangan dan tarik ulur
kepentingan penguasa sehingga sampai saat inipun keberadaan komisi
pemberantasan korupsi tersebut masih disikapi dengan beragam
pandangan dan kepentingan penguasa.
- Penuntutan dan penyidikan tindak pidana korupsi adalah terdiri dari
jaksa dan komisi pemberantasan korupsi, yang selanjutnya disebut
dengan tim PPK ( Tim Penyidikan dan Penuntutan Korupsi ).
- Optimalisasi networking yang kuat oleh KPK dan memperlakukan
intitusi yang telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi berjalan secara efektif dan efisien. Adanya
pembatasan wewenang dari KPK yang mengarah fungsionalisasi
dalam pemberantasan korupsi (Trigger Mecabanism ).
- Sangat diperlukan political will dan good will dari penguasa, dalam
rangka optimalisasi kinerja komisi.
- Agar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
dapat berjalan efektif dan efisien, maka hak imunitas, hak preference,
dalam wujud asas oportunitas jaksa sebagai penyidik dan penuntut
dalam perkara korupsi sebagaimana dalam KUHAP dan UU NO 5
tahun 1991 tentang Kejaksaan harus dicabut. Sebab tindak pidana
korupsi menimbulkan dampak yang sangat eksesif baik secara social,
ekonomi, hukum, budaya, keamana, pertahanan, dan politik. Secara
kriminologis tindak pidana korupsi memiliki nilai perbuatan yang
sangat nista dan jahat yang tidak saja dalam perspektif “mala in se’
tetapi juga mala in probibita.
- Selama proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan harus
menggunakan asas-asas dan prinsip yang membingkai kerangka
normative dari perwujudan asas good govermant dan asas good
governance dalam sistem peradilan korupsi.
- Independensi dan demokratisasi lembaga TPK harus menjadi prasyarat
utama dari perwujudan prinsip dan asas kekuasaan kehakiman yang
bebas dan merdeka secara subtansiil.
- Dalam proses pemeriksaan dibidang pengadilan, juga harus
menggunakan ukuran normative independensi dan demokratisasi .
pembudayaan dissenting opinion secara meluas, sehingga memberikan
ruang public yang memadai dalam melakukan control dan pengawasan
terhadap jalannya peradilan korupsi. Harus menjadi budaya yang
secara integral menjadi bagian dari sitem peradilan korupsi yang
berkelanjutan (continuity corruption justice sistem).
- Proses eksaminasi yang dilakukan oleh public terhadap setiap
keputusan hakim yang mengadili perkara korupsi , harus dipandang ,
harus dipandang sebagai bagian integral dari proses penegakkan
hukum dan keadilan tentang pemberantasan korupsi.
- Sistem majelis hakim dalam sistem peradilan korupsi harus optimal
maksimal yang proporsional ( 5 hakim, seorang menjadi hakim ketua,
seorang menjadi wakil ketua majelis hakim, sedang tiga orang anggota
menjadi hakim anggota ). Susunan demikian disamping untuk
136

menghindari upaya korupsi, kolupsi, dan nepotisme dalam proses


pembuatan keputusan, juga akan mempersulit bagi hakim dalam
membuat keputusan serampangan dan sangat tidak bermutu.formasi
dan struktur majelis hakim tersebut dapat mengatasi budaya
kompromistis yang berlandaskan pada kepentingan ideoligi kapitalis
yang sudah menjadi bagian integral gaya hidup hakim dan penegak
hukum lainnya. Sebab dilihat dari aspek apapun, baik dari kecanggihan
modus , kecerdasan subyek pelaku, akibat hukum yang ditimbulkan,
subtansi perbuatan yang dilakukan serta unsure-unsur perbuatan yang
sulit dan rumit untuk dibuktikan, maka banyaknya majelis hakim
merupakan salah satu upaya yang dapat mengatasi kerumitan dan
kecanggihan proses , modus dan pelaku tindak pidana korupsi tersebut.
- Selain formasi dan struktur majelis yang menangani korupsi tersebut ,
hal yang sangat penting dan harus diwujudkan adalah sifat majelis
hakim yang menangani tindak pidana korupsi harus dibuat sementara
(ad hoc), hal ini penting untuk menghindari budaya ewuh pakewuh,
sikap tenggang rasa, toleransi, tolong menolong, gotong royong dan
saling menghargai. Hal tersebut haru bias dilupakan untuk sementara
waktu dalam prose peradilan guna memberantas tindak pidan korupsi
yang efektif dan effisien.
- Majelis hakim korupsi ad hoc dibentuk dimasing-masing tingkat
pengadilan ( pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung).
Yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara korupsi
dalam semua jenis dan bentuknya.
- Majelis hakim korupsi ad hoc tersebut berwenang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara korupsi, baik dengan kehadiran
terdakwa maupun tanpa kehadiran terdakwa tindak pidana korupsi.
- Rekrutmen dan seleksi hakim ad hoc korupsi, dilakukan secara
demokratis , transparan, dan akuntabel, oleh tim seleksi dan dan
rekrutmen hakim ad hoc korupsi, yang selanjutnya disebut dengan
TSVHK ( Tim Seleksi dan Verifikasi Hakim Ad Hoc Korupsi), baik
dengan model calon diusulkan oleh ormas, lembaga pendidikan atau
komunitas lain yang reputable, atau calon ahkim ad hoc korupsi
(HAK) , langsung mendaftarkan diri pada TVSHK.
- TSVHK di bentuk secara ad hoc pula di tingkat pusat dan tingkat
daerah.Di tingkst pusat untuk hakim ad hoc korupsi di Mahkamah
Agung,sedang ni tingkat daerah untuk hakim ad hoc korupsi di
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
- TSVHK terdiri dari seorang ketua,seorang sekretaris,dan tiga orang
anggota.Unsur-unsur keanggotaan TSVHK terdiri dari tokoh
masyarakat/ormas keagamaan,tokoh kampus/perguruan tinggi,tokoh
media,yang mempunyai integritas moral,integritas
keilmuan/intelektual,dan integritas social tinggi,sehingga benar-benar
reputable dalam semua aspek.
- Model seleksi TSVHK di buat secara transparan, demokratis,
akuntabel, dan di pilih secara langsung oleh masyarakat di daerah
137

‘tersebut’, jika untuk daerah dan untuk tingkat pusat,di ambil secara
nominatif dari wakil masing-masing daerah, secara adil, bebas, jujur
dan umum. Hal ini penting sehingga semua hasil dan produk keputusan
yang akan dibuat oleh TSVHK dalam melakukan seleksi hakim ad hoc
benar-benar mencerminkan kepentingan dan rasa keadilan masyarakat.
- Masa jabatan dan keanggotaan TSVHK adalah 5 tahun dan tidak dapat
dipilih kembali.Agar keberadaan TSVHK mempunyai legitimasi yang
kuat,maka ketentuan lebih lanjut mengenai TSVHK harus dituangkan
dalam UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Hakim ad hoc korupsi ditingkat daerah dan pusat terdiri dari seorang
ketua, seorang wakil ketua majelis dan tiga orang hakim anggota,
adapun unsure-unsurnya dari tokoh masyarakat atau ormas keagamaan,
tokoh kampus dan tokoh media yang memiliki integritas moral,
integritas keilmuan (hukum social, ekonomi, filsafat, teknologi),
integritas social (reputable) tinggi, dan mempunyai komitmen dan
konsistensi tinggi dalam penegakkan hukum dan keadilan.
- Masa jabatan hakim ad hoc korupsi adalah maksimum 3 kali
memeriksa , mengadili dan memutus perkara korupsi, dan tidak dapat
dipilih kembali untuk yang kedua kali.
- Terhadap putusan hakim ad hoc korupsi di daerah (pengadilan negeri)
dapat dimintakan upaya hukum banding , kasasi dan peninjauan
kembali sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan tidak
dapat dimintakan upaya hukum , grasi, amnesty, dan abolisi, tingkat
pengadilan tinggi dapat dimintakan upaya hukum kasasi dan
peninjauan kembali saja dan tidak dapat dimintakan grasi, amnesty,
dan abolisi. sedangkan keputusan hakim ad hoc ditingkat pusat tidak
dapat dimintakan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali,
grasi, amnesty, dan abolisi, jadi yang pertama dan terakhir , serta
mempunyai kekuatan hukum yang eksekutorial.
- Setiap perkara korupsi yang diperiksa , diadili, dan diputus oleh hakim
ad hoc tingkat pengadilan negeri , pengadilan tinggi, mahkamah
agung, harus sudah diputuskan paling lama dalam waktu 6 bulan sejak
dimulainya penyelidikan . hal ini penting mengingat dampak yang
ditimbulkan bersifat eksesif., juga karena modus, subyek pelakunya
sudah memmpergunakan sarana prasarana canggih dan mutakhir,
sehingga kemungkinan untuk menghilangkan barang dan alat bukti
juga canggih. Selain itu juga dalam rangka memenuhi asas cepat
efektif dan efisien.
- Sistem pembuktian dalam perkara korupsi harus menggunakan sistem
pembuktian terbalik secara murni ( asas premium remidium ).
Sehingga efektifitas dan efisiensi sistem peradilan korupsi yang
dibangun secara demikian, akan dapat mengawal penegakkan hukum
dan keadilan sebagai pilar utama supremasi hukum dan keadilan.
- Hakim ad hoc korupsi menjadi penjamin hak-hak semuan pihak yang
dilindungi undang-undang dan tidak terlibat langsung dalam tindakan
138

yang dapat saja bertentangan dengan prinsip perlindungan dan


kewibawaan independensi lembaga peradilan.
- Hakim ad hoc korupsi dalam pembuatan keputusan harus dilakukan
dengan ekstra hati-hati untuk meneliti dan memeriksa kelayakan suatu
hasil keputusan yang mengukuhkan perannya sebagai penengah/ wasit
yang adil yang independent serta obyektif.
- Tugas hakim ad hoc yang lain adalah untuk memperoleh kepastian
tentang kelayakan disposisi pembinaan terpidana untuk menghindari
agar jangan terjadi usulan atau tuntutan hukuman yang terlalu ringan
akibat KKN antara TPPK dengan terdakwa.
- Sidang yang dilakukan dengan cara terbuka. Dan dalam sidang yang
terbuka tersebut hakim ad hoc korupsi menentukan menentukan
terlebih dahulu, bahwa setiap pernyataan yang diberikan oleh pihak
manapun dalam proses persidangan dapat dipublikasian secara luas
dan media.
- Hakim ad hoc korupsi dalam sidang pertama harus meyakinkan
terdakwa, bahwa terdakwa benar-benar mengerti sepenuhnya dakwaan
TPPK, hak-haknya untuk didengan dipersidangan, konsekuensi dari
pernyataan selama persidangan serta haknya untuk membela diri, baik
dilakukan sendiri maupun dengan bantuan advokat.
- Hakim ad hoc korupsi keyakinannya tetap menajdi bukti penguat
terhadap bobot kesalahan terdakwa yang didasarkan pada nilai
keadilan yang ada dimasyarakat maupun peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk membuat keputusan yang adil bagi
terdakwa huku (Negara dan rakyat), dan masyarakat.

Untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan lebih


memudahkan dalam memmahami kerangka pikir yang menjadi focus dari
studi ini, maka penjelasan sistematis terhadap bahasan sub ini dapat disajiakn
secara skematis alur sistem peradilan korupsi yang efektif dan efisien
( Continuity Corruption Justice Sistem Model atau CJJS ), seperti
digambarkan berikut :
139

REKOMENDASI PERUBAHAN TERHADAP :


UU NO. 3 TAHUN 1971
UU NO. 8 TAHUN 1981
UU NO. 5 TAHUN 1991
UU NO. 31 TAHUN 1999
UU NO. 20 TAHUN 2001
UU NO. 30 TAHUN 2002

HAKIM AD HOC KORUPSI DI TK.


KASASI
PENINJAUAN
BANDING KEMBALI
KASASI DAN PK
1. PENGADILAN NEGERI
2. PENGADILAN TINGGAI
3. MAHKAMAH AGUNG
TERAKHIR TDK ADA UPAYA
HUKUM APAPUN
TIM PENYIDIK DAN PENUNTUT
(TPPK) : TIM SELEKSI DAN VERIVIKASI
JAKSA DAN KOMISI PEMBERANTASAN HAKIM AD HOC KORUPSI (TSVHK)
KORUPSI SBG LEMBAGA NORMATIF BAGIAN
INTEGRAL DARI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
TIM PENYELIDIK KORUPSI
(TPK) KETERANGAN :
POLISI, JAKSA, KPK 1. MENERAPKAN SISTEM
PEMBUKTIAN TERBALIK
2. ASAS PRADUGA BERSALAH
(PREMIUM REMIDIUM)
3. PENCABUTAN ASAS
OPORTUNITAS

3. Sumber Daya Manusia Yang dibutuhkan


Dalam berbagai macam pandangan, macam-macam akuntabilitas,
dibagi menjadi lima, yakni akuntabilitas administrative/ organisatoris ( sama
140

dengan pengertian akuntabilitas obyektif), akuntabilitas legal


(pertanggungjawaban kinerja secara hukum), akuntabillitas politik
(pertanggungjawaban kinerja kepada lembaga lain dan masyarakat secara
umum), akuntabilitas professional (pertanggungjawaban kinerja secara
internal kedalam asosiasi profesi dan tuntutan terhadap sikap profesionalisme ,
selalu melakukan perubahan , inovasi dan penyempurnaan), dan akuntabilitas
moral (pertanggungjawaban kinerja secara moral, etika, dan agama/tuhan).
Kelima akuntabilitas tersebut nampaknya juga sangat penting untuk ditetapkan
dalam proses peradilan korupsi dalam rangka mewujudkan supremasi hukum
dan keadilan di Indonesia. Sebab untuk mewujudkan supremasi hukum dan
keadilan disamping aspek akuntabilitas menajdi sangat penting , yang tidak
kalah pentinggnya adalah karakter good governance yang menjadi pondasi
bagi aspek mekanisme pertanggungjawaban dari penegak hukum selama
menjalankan tugas penegakkan hukum dan keadilan, berikut dikemukakan
beberapa karakteristik yang dimaksud. Karakteristik good governance
meliputi :
1. Participation, yakni setiap warga Negara memiliki suara dalam pembuatan
keputusan yang terintegrasi dalam institusi legitimasi yang mewakili
kepentingannya.
2. Rule of law, kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang
bulu.
3. Tranparancy, seharusnya dilakukan dengan dasar kebebasan dalam
memperoleh informasi dan sekaligus menyampaikan informasi.
4. Consensus orientation, good governance merupakan perantara dan
katalisator kepentingan yang berbeda-beda untuk menciptakan consensus
dan tujuan bersama.
5. Equity, semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk
meningkatkan kesejahteraannya.
6. Efectiffeness dan efficiency, mekanisme dan proses bekerjanya lembaga-
lembaga seperti yang telah dilakuakn untuk menghasilkan dayaguna dan
hasil guna serta produktivitas.
7. Responsiveness, lembaga-lembaga harus berusaha dengan cekatan untuk
melayani stakeholder sesuai dengan fungsinya masing-masing.
8. Accountability, setiap keputusan dalam pemerintahan, sector swasta dan
masyarakat harus dapat dipertanggungjawabkan kepada public dan
lembaga stakeholder yang terkait.
9. Strategic vision, para pemimpin harus punya prospectif, good governance
dan pengembangan kehidupan dan penghidupan manusia jauh kedepan
(UNDP, AKIP:2000).
141

Karakteristik good governance tersebut apabila dapat diterapkan dalam


penegakkan hukum tentang korupsi melalui sistem peradilan korupsi, maka
tujuan reformasi hukum dan keadilan di Indonesia niscaya akan terwujud
secara simultan. Namun semua itu sangat tergantung dari kualitas sumber daya
manusia yang menjadi penegak hukum. Terkait dengan persoalan demikian,
tedapat pandangan bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,
aparatur Negara / penegak hukum harus mengindahkan dan dibatasi oleh asas-
asas sebagi berikut :

1. Asas Yuridicitas (rechmatigbeid)


2. Asas legalitas (wetmatigbeid)
3. Asas diskresi (fries ermessen), baik yang bersifat bebas maupun terikat.
4. Asas-asas umum pemerintahan yang baik (the general principles of good
administration), yang terdiri dari 13 asas, yakni :
- Asas kepastian hukum (principle of legal security)
- Asas keseimbangan (principle of proporcionality)
- Asas kesamaan (principle of equality)
- Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
- Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)
- Asas jangan mencampuradukan kewenangan ( principle of non
misuse of competency)
- Asas percaturan yang layak (principle affair play)
- Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness of
probibitation of arbitrariness)
- Asas menaggapi harapan yang ditimbulkan / diusulkan public
(principle of meeting raised expectation)
- Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal
(principle of undoing the consequence of annulled decision)
- Asas perlindungan atas pandangan hidup/ atau cara hidup pribadi
(principle of protecting the personal way of life)
- Asas kebijaksanaan (principle of sapiention/ policy)
- Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public
service , ( lihat hadjon 1993 dan Atmosudarso 1994).
Ketiga belas prinsip dan asas tersebut sangat diperlukan dalam rangka
mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang menjadi penegak hukum
khusunya yang menangani perkara korupsi di Indonesia. Salah satu asas dan
prinsip yang mendasar dari upaya menagakkan supremasi keadilan , adalah
142

penegakkan asas rule of law, secara konseptual karakter rule of law menurut
pandangan Santoso (2002:86-87), adalah sebagai berikut :

1. Supremasi hukum (the supremacy of law), yakni setiap tindakan


Negara harus dilandasi oleh hukum dan bukan berdasarkan pada
diskresi (tindakan sepihak berdasarkan kekuasaan yang dimilikinya )
2. Kepastian hukum (legal certainty), yakni kepastian hukum disamping
terkait dengan butir satu diatas, juga mensyaaratkan adanya jaminan
suatu masalah diatur secara jelas , tegas dan tidak duplikatif , serta
bertentangan dengan perundang-undangan lainnya.
3. Hukum yang responsive (hukum harus mampu menyerap aspirasi
masyarakat luas dan mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat
dan bukan dibuat untuk kepentingan segelintir elite).
4. Penegak hukum yang konsisten dan non diskriminatif masyarakat
adanya sanksi, mekanisme untuk menjalankan sanksi, sumber daya
manusia dan penegak hukum yang mempunyai integritas , serta,
5. Keberadaan independensi peradilan (independensi peradilan sebagai
syarat penting dalam mewujudkan rule of law karena kunci pengakkan
hukum terletak pada efektifitas peradilan).

Dari dimensi waktu dan oeristiwa (histories) penegakkan hukum dan


keadilan tentang korupsi melalui lembaga peradilan , terdapat hubungan yang
tidak terpisah dari masa lampau, kini dan akan dating. Namun satu hal yang
pasti adalah kesanggupan dan kemampuan penegak hukum untuk berubah
menjadi yang lebih baik (to change be better), sebab sesungguhnya hakekat
reformasi lembaga peradilan khusunya sistem peradilan korupsi adalah
reformasi peningkatan kualitas sumber daya manusia hukum secara teratur,
terarah dan terkendali menuju sasaran yang telah menjadi consensus nasional
sejak berdirinya republic Indonesia.

Sebagai bagian dari bangsa asia maka penegak hukum yang


menegakkan hukum dan keadilan dibidang korupsi seharusnya mempunyai
sikap mental sebagaimana yang dikemukakan oleh mytdal (1968), agar
berhasil membangun sistem peradilan terpadu yang efektif dan efesien .
143

Secara kualitatif SDM untuk menopang dan mengawal dinamisasi


penegakkan hukum dan keadilan melalui sistem peadilan korupsi di Indonesia
adalah meliputi hal-hal sebagai berikut :

- Kualifikasi kemampuan SDM yang menajdi ruh dari sistem peradilan


korupsi , selain mempunyai gelar formal sarjana hukum (SH), harus
merupakan orang-orang yang benar-benar terpilih secara moral,
keilmuan, manajerial, pengalaman.
- Setelah diperoleh hasil SDM yang diharapkan, maka selanjutnya akan
dilakukan/ dilaksanakan pendidikan lanjutan profesi bagi SDM yang
terseleksi tersebut. Pendidikan profesi lanjutan lebih diarahkan kepada
nilai dalil secara filosofis, religious, yuridis, sosiologis, psikologis,
ekonomis, cultural, sehingga dengan demikian out put dari
keputusannya nanti tidak saja memenuhi keputusan procedural tetapi
juga memenuhi keputusan substantive.

4. Konsekuensi hukum terhadap model sistem peradilan korupsi yang


efektif dan efisien dalam perspektif peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang peradilan korupsi di Indonesia.

Adapun beberapa pola dan kerangka pikir perubahan secara


paradigmatis tersebut adalah sebagai berikut :

a. Dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan yang mengatur


tentang korupsi secara paradigmatic, yakni UU No 3 tahun 1971
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No 31 tahun1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan UU No 20 tahun
2001 tentang perubahan UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi, serta UU No 5 tahun 1991 tentang pokok-poko
kejaksaan.
b. Perubahan secara paradigmatic tersebut adalah meliputi sistem
pembuktian konvensional sebagaimana dalam ketentuan UU No 3
tahun 1971 , menggunakan asas praduga tak bersalah secara legalistic
(Ultimum Remidium), sistem pembuktian terbalik berimbang,
sebaaimana dalam ketentuan UU No 31 tahun 1999 dan UU No 20
tahun 2001 (semi premium remidium). UU No 31 tahun 1999 dan UU
No 20 tahun 2001 , menggunakan sistem pembuktian terbalik
berimbang atau sistem pembuktian terbalik yang bersifat terbatas ,
144

dimana terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak


melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya, harta benda istri atau suami, anak dan
harta benda setiap orang yang diduga mempunyai hubungan dengan
perkara yang bersangkutan dan penuntut umum tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya.
c. Perubahan yang berikutnya adalah penghapusan ketentauan dalam UU
No 5 tahun 1991 tentang pokok-pokok kejaksaan (pasal 12) dan
penjelasan umumnya. Dimana jaksa diberikan hak istimewa untuk
tidak menuntut suatu perkara demi untuk kepentingan umum (asas
oportunitas ).
d. Unifikasi atau kodifikasi UU tentang penanggulangan (bukan
pemberantasan) tindak pidana korupsi, sebab jika menggunakan kata
penanggulangan, maka peran serta masyarakat dalam ruang public ,
maupun optimalisasi penggunaan kekuatan , sarana prasarana Negara
untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi menjadi
maksimal dan bersifat proaktif.
e. Secara subtansil, unifikaasi dan kodifikasi UU tentang
penyalahgunaan tentang tindak pidana korupsi, harus menggunakan
paradigm penegakkan hukum dan keadilan , sehingga rumusan
deliknyan tidak saja dapat mengakomodasi nilai perbuatan yang hanya
melawan hukum formil saja, tetapi lebih dari itu dengan sistem
pembuktian terbalik, maka lingkup perbuatan yang masuk dalam
kategori tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang melawan hukum
materil , dengan menggunakan delik formil maupun materil.

5. Kesimpulan
a. Bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan korupsi yang efektif dan
efisien sesuai dengan asas good government dan good governance adalah
apa yang oleh peneliti disebut dengan istilah Continuity Corruption Justice
Sistem (CCJS).
b. Bahwa untuk mewujudkan CCJS tersebut perlu dilakukan perubahan yang
mendasar dalam struktur organisasinya, yakni penyelidik terdiri dari polisi,
jaksa, , KPK atau disebut dengan TPK (Tim Penyelidik Korupsi). Penyidik
dan penuntut umum terdiri dari jaksa dan KPK atau disebut dengan istilah
TPPK (Tim Penyidik dan Penuntut Korupsi).
c. Kualifikasi SDM dari mulai TPK, TPPK Hakim ad Hoc Korupsi, sampai
pada TSVHK (Tim Seleksi dan Verifikasi Hakim Ad Hoc Korupsi) harus
memiliki integritas moral , keilmuan dan social yang tinggi.
d. Bahwa bangunan CCJS memerlukan perubahan paradigmatic yang
meliputi : struktur organisasinya, sistem sdministrasi peradilannya, sistem
pembuktiannya, sistem seleksi dan rekrutmen SDM, sistem penggunaan
asas dari ultimum remidium menjadi remium remidium, praduga tak
bersalah menjadi praduga bersalah sacara proporsional subtansiil.

6. Rekomendasi
145

a. Perlu dibuat unifikasi atau kodifikasi undang-undang tentang


penanggulangan tindak pidana korupsi, dan oleh karenanya Negara harus
melakukan kajian mendalam terhadap kemungkinan perubahan peraturan
perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi yang terkait misalnya,
UU No 3 tahun 1971, UU No 31 tahun 1999, UU No 20 tahun 2001,
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI, UU No
8 tahun 1981 tentang KUHAP, dan UU No 5 tahun 1991 tentang pokok-
pokok kejaksaan dan UU No 30 tahun 2002 tentang KPK, untuk
selanjutnya menjadi UU kodifiaksi atau unifikasi tentang penanggulangan
tindak pidana korupsi.
b. Untuk efektifitas dan efisiensi CCJS diperlukan langkah cermat, cepat dan
tepat, dalam pencabutan dan atau penghapusan asas oportunitas.
c. Hal tersebut mengingat urgensitas keberadaan sistem peradilan korupsi
yang konvensional diraasa belum memadai untuk disebut sebagai sistem
peradilan korupsi yang efektif dan efisien yang sesuai dengan asas-asas
good government dan good governance.
d. Mahkamah agung perlu membuat langkah terobosan hukum dengan cara
mengeluarkan sejenis surat edaran (SEMA) ataupun peraturan Mahkamah
Agung (PERMA), yang dapat mengatasi kekurangan.
e. Jika dipandang perlu agak menyulitkan dan memakan waktu yang lama
untuk membuat kodifikasi atau unifikasi Hukum dalam penanggulangan
korupsi, maka segera harus dilakukan amandemen terhadap UU No 3
tahun 1971, UU No 31 tahun 1999, UU No 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi, UU No 8 tahun 1981 tentang
KUHAP, UU No 5 tahun 1991 tentang pokok-pokok kejaksaan dan UU No
30 tahun 2002 tentang KPK, terutama tentang pasal-pasal pembuktian dan
alat bukti , penyidikan dan penuntutan , pemeriksaan dipersidangan
pengadilan , keputusan hakim, upaya hukum, pemidanaan untuk
diselaraskan dengan kebutuhan criteria dan ruang lingkup model CCJS
sebagaimana kemukakan di atas.

DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Lade Sirjon, lahir di Kosundano, Muna 17 Agustus Tahun 1985,
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri Bebele Tahun 1997, Tahun
2000 menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Negeri 2 Parigi, Tahun 2003 meneyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah
Umum (SMU) Negeri 1 Tongkuno Muna.
Selanjutnya menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Perguruan Tinggi
pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari (Unhalu) dengan minat
146

kosentrasi Hukum Pidana dan memeperoleh gelara Sarjana Hukum pada tahun
2007. Kemudian melanjutkan pendidikan pada tingkat Strata Dua (S2) pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2008 dengan minat
kosentrasi Hukum Pidana dan memperoleh gelar Master Of Law (LLM) pada
tahun 2010.
Pada tahun 2010 sampai sekarang menjadi dosen pengajar pada Fakultas
Hukum Universitas Haluoleo (Unhalu) terutama kosentrasi Hukum Pidana,
dengan Mata Kuliah : Dasar-Dasar Komputer, Antropologi Hukum, Sosiologi
Hukum, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Kesehatan, Hukum
Perlindungan Perempuan dan Anak, Sistem Peradilan Pidana, Praktek Peradilan
Pidana, Praktek Bantuan Hukum, Hukum Pidana Forensik, Perbandingan Hukum
Pidana, Hukum Pidana Internasional.
Penulis juga aktif pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan serta aktif
memberikan kuliah ilmu hukum pada universitas lain, maupun menulis melalui
media Lokal dan Nasional yang berhubungan dengan ilmu hukum.

Anda mungkin juga menyukai