PERSETUJUAN
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum Universitas Haluoleo
KATA SAMBUTAN
2
Adanya hand out Sistem Peradilan Pidana dapat mengantisipasi, salah satu
keterbatasan, khususnya bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Haluoleo,
sebab materi yang disajikan dalam hand out tersebut diharapkan dapat
memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai Hukum Pidana
Internasional.
Heriyanti, SH., MH
NIP. 1975072720055012001
KATA PENGANTAR
Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka dalam buku ajar ini mencoba
untuk mengemukakan mengenai Hukum Pidana Internasional baik secara
doktriner dengan mengacu pada konvensi internasional dan kebiasaan
internasional, maupun Hukum Pidana Internasional secara empirik yakni dengan
mengkaji peraturan perundang-undangan yang merupakan hasil ratifikasi dari
peraturan Hukum Pidana Internasional yang didalamnya mengandung nilai-nilai
Internasional.
Akhirnya Penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang
konstruktif demi penyempurnaan penyusunan buku ajar ini, semoga buku ajar ini
bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR ISI
4
BAB I
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
SISTEM PERADILAN PIDANA
5
bahwa, pendekatan sistem ini telah menguasai pengajaran dan riset serta telah
membentuk upaya pembaruan hukum pidana selama lebih dari 25 tahun di
Amerika Serikat.
Upaya ini antara lain :
1. Meningkatkan efektivitas sistem penanggulangan kesehatan.
2. Mengembangkan koordinasi di antara pelbagai komponen peradilan
pidana.
3. Mengawasi atau mengendalikan penggunaan kekuasaan oleh aparatur
penegak hokum.
Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil,
hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun
kelembagaan ini harus dilihat dalam konteks sosial. Sifat yang terlalu formal
jika dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa
bencana berupa ketidakadilan.
Muladi menegaskan bahwa makna integrated criminal justice sistem
adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan
dalam :
1. Sinkronisasi struktural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
2. Sinkronisasi substansial adalah keserampakan dan keselarasan yang
bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3. Sinkronisasi kultural adalah keserampakan dan keselarasan dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyuluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Perbedaan lain dari kedua model ini terletak pada mekanisme dan
tipologi model yang dianutnya, crime control model merupakan tipe
“addirmative model” sedangkan due process model merupakan “negative
model”.
Pengertian “affirmatif model” selalu menekankan pada eksistensi dan
penggunaan kekuasaan pada setiap sudut dari proses peradilan pidana, dan
dalam model ini kekuasaan legislatif sangan dominan.
11
4. Kita dapat memiliki banyak atau sedikit kejahatan bergantung pada apa
yang kita pilih dan pertimbangkan sebagai penjahat dan kita hanya dapat
menghadapinya secara rasional apabila kita memahami benar kenyataan
mendasar ini sehingga kita dapat menerapkan kriteria yang relevan
dengan sanksi pidana yang (akan) digunakan.
5. Sanksi pidana merupakan sarana terbaik yang dimiliki untuk
mengahadapi ancaman seketika dan akibat yang serius dari suatu
kejahatan. Sarana tersebut kurang berguna apabila ancaman dan akibat
tersebut semakin berkurang dan akan menjadi tidak efektif jika
digunakan untuk memaksakan kesusilaan (enforce morality)
dibandingkan dengan tingkah laku yang secara umum dipandang sebagai
merugikan.
6. Revolusi dalam suatu proses penegakan hukum merupakan suatu reaksi
terhadap ancaman khusus yang melekat pada sanksi pidana terhadap
nilai-nilai pribadi dan kemandirian/kebebasan dan ke arah suatu tuntutan
untuk memelihara jarak yang layak antara individu dan penguasa,
7. Sanksi pidana merupakan penjamin/pelindung (prime guarantor) utama
dan juga merupakan ancaman utama (prime threater) terhadap
kemerdekaan manusia.
RANGKUMAN
LATIHAN
BAB II
ASAS DAN SUBKULTUR DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
penasihat hukum untuk dia jika untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu,
dan jika ia tidak mampu membayar penasihat hukum ia dibebaskan dari
pembayaran.
Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP diatur tentang
bantuan hukum tersebut di mana tersangka/ terdakwa mendapat kebebasan-
kebebasan yang sangat luas. Kebebasan-kebebasan itu antara lain sebagai
berikut.
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau
ditahan
b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan
c. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua
tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.
d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar
oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang
menyangkut keamanan negara.
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum
guna kepentingan pembelaan.
f. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/
terdakwa.
namun dalam hal ini ada pengecualianya yaitu dalam hal kasus-kasus
kesusilaan dan kasus yang terdakwanya adalah anak dibawah umur. Dalam
hal ini dapat dilihat dalam pasal 153 (3 dan 4) KUHAP yang mengatakan
“untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka siding dan
menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
8. Asas pelanggaran atas hak individu (penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada UU.
Pada dasarnya setiap hal yang akan dilakukan oleh penyelidik maupun
penyidik terhadap harus didasarkan terhadap ketentuan UU, dalam hal ini
KUHAP.
9. Asas hak tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan
terhadapnya.
Yaitu kewajiban pengadilan untuk memberitahukan dan menjelaskan
terlebih dahulu kepada tersangka mengenai tindak pidana yang telah
dilanggar.
10. Asas kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusannya.
Kewajiban yang diberikan kepada majelis hakim untuk
mempertimbangkan secara benar terhadap putusan yang akan diberikan
kepada terdakwa sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
mendasar yang hars mendapat perhatian dan kajian adalah, asas-asas yang baik
secara tersirat maupun secara tersurat yang tersebar dalam pasal- pasal dan
bagian uu no 12 tahun 1995.
Secara universal, asas-asas yang terpenting dal konteks
perwujudan sistem peradila pidana yang terpadu adalah asas persamaan
di muka hukum, sederhana dan cepat, ddue proses of law, efektif dan
efisien serta akuntabilitas. Berkaitan dengan tersebut, berikut akan
dijelaskan kajian mengenai asas-asas dimaksud dalam perspektif UU no.
12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan.
Asas UU No. 12 Tahun 1995
Persamaan di muka hukum Psl 5 huruf b : sistem bimbingan pemasyarakatan
dilaksanakan dengan persamaan perlakuan dan pelayanan.
Due Process of Law Psl 1 butir 6 : terpidana adalah seorang yang dipidana
berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap
Psl 14 (2) : ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan
Napi diatur dengan PP
Psl 15 (2) : ketentuan mengenai program pembinaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 (1) diatur lebih
lanjut dengan PP
Psl 16 (2) jo psl 24 (2) jo psl 38 : program pemindahan
napi, anak pidana, anak negara anak sipil antar LAPAS
diatur dengan PP
Psl 22 jo psl 29 jo psl 36 : hak-hak anak pidana, anak
negara, anak sipil diatur dengan PP
Psl 30 (2) jo psl 37 (2) : kewajiban anak negara dan anak
sipil untuk mengikuti program pembinaan diatur dengan
PP
Psl 44 : bimbingan klien diatur melalui PP
Psl 47 (1) : kewenangan kepala LAPAS dalam menunda
atau meniadakan hak tertentu napi harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sederhana dan cepat
Efektif dan efisien
Akuntabilitas Psl 45 (4)
dengan asas adalah belum mengatur secara jelas dan cermat mengenai criteria
dan kualifikasi petugas/SDM yang menjadi penegak semua semua peraturan
perundangna mengenai kemasyrakatan. Kelengkapan sarana dan prasarana
pembinaan kualifikasi dan kriterinya juga tidk jelas, aspek kesahjetaraan
petugas LAPAS juga terkesan di abaikan dan di ikutkan dengan ketentuan
mengenai kepegawaian di Indonesia walaupun lingkup tugas dan tanggung
jawabnya sangat jauh dan lebih besar dari hanya sekedar sebagai pegawai
kantor pemda, prinsip punishment and rewards juga belum mendapatkan
perhatian yang serius dan khusus dalam peraturan perundangan mengenai
kemasyarakatan dan mengani koordinasi dan kerjasama dengan berbagai pihak
yang sangat terkait untuk menunjang aspek proses keberhasilan dari tugas dan
kewenangan yang di emban oleh LAPAS juga sangat tidk jela di atur.
Hal ini penting mengigat bahwa LAPAS merupakan benteng dari
rangkaian proses penegakan hukum dan keadilan di bidang hukum pidana,
yang sekaligus menjadi penopang dan pilar utama dari bangunan sistem
peradilan pidana terpadu yang sangat di perlukan untuk mencapai prinsip
supremasi hukum.ibarat produksi sebuah barang kebutuhan pokok oleh suatu
perusahaan, maka gambaran sistem peradilan pidana terpadu itu adalah
bagaiman proses produksi barang tersebut mulai menyediakan bahan baku dari
sampai dengan hilir , sehingga melahirkan produk yang di sebut barang
kebutuhan pokok tersebut .
Sejak polisi melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan kekuatan
hukum apapun, jaksa melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan
ketentuan hukum apapun, hakim melakukan tindakan hukum yang sesuai
dengan ketentuan dengan ketentuan hukum apapun, demikian juga LAPAS
melakukan tindakan hukum yang sesuai dengan ketentuan apapun, haruslah
bermuara pada satu produk, yakni bagaiman penjahat setelah keluar dari
LAPAS menjadi baik, dapat di terima di masyarakat, tidak di tolak masyarakat,
mempunyai keterampilan
Termasuk mereka penegak hukum yang sudah bersih hati dan nuraninya,
mempunyai kewajiban untuk menindak dengan tegas kolega mereka para
penegak hukum yang busuk. Sebab jika undang-undang nomor 18 tahun 2003
tentang advokat, hanya memandang tindakan advokat yang korupsi, kolusi dan
nepotisme akibat pelanggaran sumpah jabatan, sekedar sebagai pelanggaran
etika profesi tetapi disisi lain menghukum orang yang menolong orang miskin.
Tidak diakui sebagai advokat dengan hukuman pidana penjara 5 tahun, jelas
tidak saja UU tersebut sangat diskriminatif, tetapi kontradiktif dan sangat tidak
adil. Alas an klasik bahwa ketentuan tersebut untuk menghukum para prokol
bamboo adalah alas an yang tidak berdasar dan apologis.
RANGKUMAN
LATIHAN
BAB III
professionals. Keadilan yang tepat ini mengandung unsur precise and minute
fact-finding and minute fact-finding justice, similar to precision machine tools,
not only the degree of proff of substantial truth but the degree of repentance.
Ketiga: speedy disposition/national policy in favour of criminal justice
administration. Delay of justice is denied of justice. Keempat: rehabilitation
minded sentencing policy. Kelima: rate of recall to prison (reconfiction rate)
yang relatif kecil.
Sistem peradilan pidana harus dilihat dari sebagai the network of courts
and tribunals which deal with criminal law and its enforcement (Black’s law
Dictionary). Sistem peradilan pidana dalam konteks ini harus dilihat dari sisi,
yakni sisi fisik (sarana prasarana yang mendukung tegaknya sistem peradilan
pidana itu sendiri) dan sisi non fisik/abstrak (berupa ide-ide dan konsep serta
gagasan dalam kerangka dalam pengembangan sistem peradilan pidana yang
integratif dengan prinsip efektif dan efisien.
yang benar dan tidak benar, apa yang salah dan tidak salah. Penetapan melalui
cara demikian tampak mempergunakan pendekatan individual sedangkan
sistem peradilan pidana memerlukan pendekatan yang bersifat multivarian.
Persyaratan CSO :
- Tindak pidana tidak terlalu berat (terhadap harta benda/ crime
against property).
- Pidana penjara yang akan ditetapkan (expected prison sentence)
tidak melebihi waktu tertentu (Denmark 6-8 bulan, Norwegia dan
Luxemburg 9-12 bulan, Belanda 6 bulan, dan Portugal 4 bulan).
- Jumlah jam kerja social dan jangka waktu maksimum CSO
diselesaikan (Portugal 9 jam, Denmark, Inggris, Perancis 40 jam,
Norwegia 50 jam. Sedang maksimumnya adalah Portugal 180 jam,
Denmark dan Norwegia 200 jam, Perancis, Belanda, Inggris 240
jam, maksimum jangka waktu penyelesaian CSO di Inggris,
Denmark, Norwegia dan Belanda 12 bulan dan Perancis 18 bulan).
- Adanya persetujuan terpidana (consent of the accused) dinyatakan
secara eksplisit (Inggris, Denmark, Norwegia) dan sistem
diingatkan (Perancis). Belanda inisiatif CSO dari terpidana, di
Jerman dalam hal-hal tertentu tidak dipersyaratkan.
- Adanya laporan pribadi (personal report), apakah terpidana siap
atau tidak melakukan CSO (Inggris, Luxemburg, Belanda,
Denmark, Norwegia, sedang Perancis dan Jerman merupakan
opsional.
- Mengenai isi CSO meuat jumlah jam dan jangka waktu yang harus
dipenuhi, tempat dilakukan CSO.
55
RANGKUMAN
LATIHAN
56
BAB IV
KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN PENEGAKAN HUKUM
A. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat
mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor
X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka
Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi judikatif dan
eksekutif.
Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang
kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
57
a. Mahkamah Agung
Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat
(2) dan Pasal 24A ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan,
susunan, kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan
perkara di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di
ibukota negara Republik Indonesia.
Kewenangan Mahkamah Agung adalah :
a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus :
- Permohonan kasasi ;
- Sengketa tentang kewenangan mengadili ;
- Permohonan peninjauan kembali.
60
c. Peradilan Agama
Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang. Dalam undang-
undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan
hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama.
Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama
dilaksanakan oleh:
- Pengadilan Agama;
- Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan
Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan Agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus,
dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang
dimaksud “antara orang yang beragama Islam ” adalah orang atau
badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka
63
2. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara baru sebagai
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Wacana pembentukan
Mahkamah Konstitusi sebenarnya sudah ada pada saat pembahasan
Undang-Undang Dasar di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Prof Moh. Yamin sebagai salah satu
anggota BPUPKI telah mengemukakan pendapat bahwa Mahkamah
Agung perlu diberi kewenangan untuk membanding Undang-undang,
namun ide ini ditolak anggota lain yaitu Prof. R. Soepomo berdasarkan
dua alasan, yaitu Undang-Undang Dasasr yang disusun pada waktu itu
tidak menganut Trias Politica dan pada saat itu jumlah sarjana hukum
belum banyak dan belum memiliki pengalaman mengenai hal itu.
Pada saat pembahasan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
muncul lagi pendapat pentingnya Mahkamah Konstitusi karena adanya
perubahan mendasar dengan beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat kepada supremasi hukum maka perlu disediakan
71
4. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh
hakim konstitusi.
5. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
6. Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta
ketentuan lainnya terhadap Mahkamah Konstitusi diatur dengan
undang-undang.
2. Kekuasaan Penuntutan
Setelah proses penyidikan telah dinyatakan selesai, kemudian
dilanjutkan dengan proses penuntutan. Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP
Tahun 1981 tercantum definisi penuntutan sebagai berikut: "Penuntutan
adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
83
alasan baru tersebut ialah penyidik. Dalam KUHAP Tahun 1981 diatur
wewenang penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan merupakan
kesatuan, karena ia terdiri dari pejabat-pejabat yang tersusun secara
hierarkis. Pejabat tingkat atas berwenang memberikan perintah-perintah
kepada pejabat bawahannya di dalam melakukan tugas jabatan mereka.
Prinsip kejaksaan merupakan satu kesatuan inilah yang dikenal dengan
istilah “onsplitsbaar”.
Dalam sistem peradilan pidana yang didasarkan pada KUHAP
Tahun 1981, diatur hubungan koordinasi antara subsistem penyidikan dan
subsistem penuntutan sebagai berikut, Penyidik menyerahkan berkas
perkara kepada penuntut umum ( Pasal 8, Pasal 14 huruf a, Pasal 110
ayat 1 );.Penuntut Umum memberikan perpanjangan penahanan atas
permintaan penyidik ( Pasal 14 huruf c, Pasal 24 ayat 2 );.Dalam hal
Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan belum lengkap, ia segera
mengembalikan kepada penyidik disertai petunjuknya dan penyidik wajib
melengkapinya dengan melakukan pemeriksaan tambahan (Pasal 14
huruf b, Pasal 110 ayat 2 dan ayat 3 );.Dalam hal penyidik mulai
melakukan penyidikan/ pemeriksaan, memberitahukan hal itu kepada
Penuntut Umum ( Pasal 109 ayat 1 ); Dalam hal penyidik menghentikan
penyidikan, memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum (Pasal 109
ayat 2 ), sebaliknya dalam hal Penuntut Umum menghentikan
penuntutan, ia memberikan Surat Ketetapan kepada Penyidik ( Pasal 140
ayat 2 huruf c ); Penuntut Umum memberikan turunan surat pelimpahan
perkara, surat dakwaan kepada penyidik ( Pasal 143 ayat 4 ), demikian
pula dalam hal Penuntut Umum mengubah surat dakwaan ia memberikan
turunan perubahan surat dakwaan itu kepada penyidik ( Pasal 144 ayat
3 ); Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa Penuntut Umum
(demi hukum ) melimpahkan berkas perkara dan menghadapkan
terdakwa, saksi/ahli, juru bahasa dan barang bukti pada sidang
pengadilan (Pasal 205 ayat 2).Konsekuensi dari hal di atas, penyidik
85
bagi tersangka, dan juga terhadap kasus yang bersangkutan menjadi tidak
ada nilai kepastian hukumnya. Kedua hal tersebut merupakan kelemahan
KUHAP Tahun 1981 di bidang penuntutan dan sekaligus merupakan
sumber masalah yang berpotensi menjadi sebab tidak adanya
keterpaduan antara subsistem penyidikan dan subsistem penuntutan.
Masalah lain adalah dari sudut struktur kelembagaan dimana
lembaga kejaksaan dalam perkembangannya telah beberapa kali memiliki
payung hukum. Pada masa Orde Lama dengan Undang-undang Nomor
15 tahun 1961, pada masa Orde Baru dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 1991 dan yang sekarang berlaku (masa reformasi) dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004. Jika dibandingkan dari ketiga
undang-undang tersebut sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan
mengenai kedudukan dan kewenangan lembaga kejaksaan. Kedudukan
kejaksaan justru lebih mantap ketika masa Orde Lama bila dibanding
dengan masa reformasi. Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961
Pasal 1 ayat (1) ditegaskan bahwa kejaksaan adalah alat negara penegak
hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum. Dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1991 dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004
justru kejaksaan menjadi lembaga pemerintahan artinya kejaksaan adalah
lembaga eksekutif, padahal kalau dilihat kewenangan kejaksaan dalam
melakukan penuntutan jelas kejaksaan melakukan kekuasaan di bidang
yudikatif.
Disinilah terjadi ambivalensi kedudukan kejaksaan dalam
penegakan hukum di Indonesia. Memang dalam Undang-undang 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (3)
dinyatakan bahwa kekuasaan kejaksaan dilakukan secara merdeka,
namun bila dikaitkan dengan kedudukan kejaksaan sebagai lembaga
eksekutif maka adalah suatu hal yang mustahil bila kejaksaan diharapkan
dapat menjalankan kekuasaan dan kewenangan secara independen.
3. Kekuasaan Pengadilan
87
RANGKUMAN
LATIHAN
91
BAB V
KORUPSI DAN SISTEM PERADILAN KORUPSI
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah ;
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
uang sogok, uang gedog, uang kunker (kunjungan kerja), uang tahu sama tahu,
uang pelican dan lain-lain. Secara metodis, pemberian dan penerimaan uang
tersebutsangat beragam caranya, ada yang terang-terangan, sembunyi-
sembunyi, diam-diam, sampai dengan menggunakan, metode atau modus
secara legal structural, melalui prosedur resmi proyek, pengadaan barang,
permainan pengadaan dan promosi pegawai dan sebagainya.
Fenomena tersebut dalam kenyataan memang sangat sulit untuk dapat
dibedakan mana yang termasuk kategori perbuatan korupsi, dan mana yang
tidak termasuk kategori perbuatan korupsi yang dapat ‘dihukum’ oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika dilihat dalam perspektif
kultura, kendala utama untuk mengkriminalisasi suatu perbuatan menjadi
perbuatan korupsi yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku, juga lebih disebabkan oleh makna korupsi secara
budaya dan nilai ‘rasa keadilan’ masyarakat yang ada, sangat interpretable dan
tidak workable untuk akhirnya dapat dimasukkan dalam rumusan delik
korupsi secara yuridis normatif. Paradigma hukum yang diharapkan menjadi
sarana dan alat (tool) untuk merubah dan merekayasa (engineering) perilaku
dan budaya masyarakat yang mempunyai ideologi kapitalisme yang
mengutamakan pola hubungan contractual yang menjadi salah satu sebab
timbulnya korupsi menjadi kolegial kebersamaan, yang mempunyai hubungan
emosional. Inilah sesungguhnya paradigm hukum dan peraturan perundang-
undangan tentang korupsi harus dibuat.
Sementara itu rumusan delik atau tindak pidana korupsi yang ada dan
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dirasakan belum
memadaidan sangat interpretable (multi tafsir) sekaligus workable (sulit untuk
dilaksanakan atau ditegakkan) karena seringkali tidak dapat dipergunakan
untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi. Sehingga seringkali pula
korupsi di Indonesia hanya ada dalam rumusan pasal-pasal peraturan
perundang-undangan tentang korupsi, dan tidak pernah ada dalam kenyataan,
karena tidak dapat menghukum koruptor. Apalagi prinsip dan paradigma yang
dipergunakan dalam peraturan perundangan-undangan tentang korupsi
95
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh
juta rupiah).
diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan,
dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung
eletronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram,
teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronil, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Ketentuan mengenai
“pembuktian terbalik” perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai
ketentuan yang bersifat “premium remidium” dan sekaligus mengandung
sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.Pembuktian
terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan
terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal
dari salah satu tidak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk
mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang
disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang
disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal
dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana
dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat
103
orang lain. “Bahkan ketika orang lain melakukan kesalahan, saya ikut
bertanggungjawab,” kata Levinas. Gagasan Levinas itu dikembangkan lebih
lanjut oleh Zygmunt Bauman, seorang profesor dari Leeds University, Inggris,
pemikir kelahiran Polandia. Menurutnya, “being for others” mendahului
“being with others”, “hidup bagi orang lain” mendahului “hidup bersama
orang lain”. Secara eksistensial manusia memiliki tanggungjawab atas nasib
sesamanya. Orang lain adalah saudara atau adikku. Dan, saya penjaganya.
Fakta primordial itu mendahului peraturan moral dan hukum, karena terpatri
dalam kedalaman kodrat.
Tanggungjawab itulah yang agaknya hilang dari interaksi pada tataran
birokrasi dan politik di negeri kita. Maraknya judicial crime menandakan
betapa paradigma berpikir dan bertindak kita tidak berakar pada
tanggungjawab eksistensial itu. Makna hidup didangkalkan sampai ke titik
nadir di mana kekayaan material menjadi takaran. Keuntungan dan
kepentingan diri sendiri menjadi orientasi yang paling berdaya. Itulah
sebabnya, reformasi birokrasi dengan paradigma pengabdian pun tidaklah
cukup. Remunerasi bagi pegawai pun tidak segera menjawab persoalan.
Persoalan kita yang sesungguhnya terletak pada lapisan mentalitas, kesadaran
diri, keyakinan, dan gambaran diri. Maka gaji sebesar apa pun, keserakahan
tetap mendorong korupsi. Birokrasi serapih dan secanggih apa pun, kolusi
tetap dipraktekkan. Keyakinan Bentham tentang keadilan pun rasanya tak
mungkin terwujud di negeri ini. Mengutip Magna Charta, Bentham menulis,
“Justice shall be denied to no man, justice shall be sold to no man.” Dalam
judicial crime keadilan justru ditolak dan sekaligus dijual.
sebagaimana (nilai jahat) dalam tindakan jahat yang dimaksud dalam dan
oleh pembuat undang-undang.
Sedangkan judicial menurut kamus bahasa Indonesia,artinya dalah
menurut hukum(wojowasito dan purwodarminto).dalam pandangan
kriminologis, judicial di artikan sebagai yang menurut undang-undang atau
yang menurut peraturan perundang-undangan.
Jadi dengan demikian,yang dimaksud dengan judicial crime adalah
suatu perbuatan jahat yang melanggar peraturan perundang-undangan proses
peradilan.atau dengan kata lain adalah suatu perbuatan jahat yang melanggar
ketentuan hukum pidana formil
hakim yang bebas dari campur tangan pihak manapun dalam menerapkan
hukum.Kekuasaan ini memang mutlakdiperlukan olah hakim,agar ia dapat
menghasilan putusan-putusan yang jetnih menurut hukum dan adil.oleh
karena barang kali dapat dimengerti bilakelak kekuasaan ini kemudian
banyak menggoda hakim untuk menyalagunakan hukum. Asas kebebasan
hakim tersebut kian menggoda berkat dukungan asa lain yaitu asas ius
curiaNovit(hakim dianggap tahu hukumnya).dengan kedua asas
ini,wewenang hakim dalam menetapkan hukum menjadi sangat luar biasa.ia
seakan akan dapat menghitam putihkan semua persoalan yang dihadapkan
kepadanya.dengan kekuasaan semacam itu,maka adalah wajar apabila
hakim melakukan occupational crime menjadi tidak tersentuh oleh
hakim.adalah hamper tidak mungkin,menghukum hakim dikarenakan yang
bersangkutan menjatuhkan putusan atas suatu perkara yang dijatuhkan
kepadanya.
Dalam pandangan yang lain,istilah yudicial crime disebutnya sebagai
mafia peradilan.karena saking maraknya dan terbukanya fenomena mafia
peradilan ini,A.wahab Adinegoro,ketua cabang IKADIN
Malang,mengatakan bahwa mafia peradilan dimalang khususx akan
menjadikan fakta-fakta dan data-data mengenai mafia peradilan oleh
masyarakat tidak di laporkan(jawa pos,8 agustus 2000).
3. Judicial Crime dalam Praktek
Meskipun judicial crime secara konsepsional masih merupakan
perdebatan,tetapi sesungguhnya dalam dimensi substansial judicial crime
jelas-jelas merupakan suatu kejahatan atau tindak pidana . Berdasarkan pada
hasil pengamatan dan kajian peneliti,maka macam dan jenis jucial crime
dalam praktek adalah sebagai berikut :
a. Dalam proses penyidikan.
Modus operandi judicial crime dalam tahap ini,adalah dengan
cara melakukan manipulasi hukum dan bukti tertentu,playing time atau
mengulur ulur masa penyidikan.biasanya diawali dengan pendekatan-
pendekatan baik yang di lakukan oleh penyidik,tersangka,pengacara
113
tersangka maupun oleh pihak lainnya seperti keluarga atau orang lain
yang mempunyai kepentingan dengan kasus tersangka.
Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk melakukan negosiasi
adalah mengenai perkiraan berapa lama nantinya tersangka akan di jatuhi
hukuman oleh hakim ,pasal KUHP apa yang akan di kenakan atau
disangkakan kepada tersangka ,berapa lama tersangka ditahan ditingkat
penyidikan bahkan sampai dengan perlu atau tidak perlunya tersangka
ditahan atau tidak ditahan ,perlu dibebaskan atau tidak perlu di bebaskan
dengan alas an tidak cukup bukti untuk diproses lanjut termasuk di
dalamnya perlu diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan(SP-3)
atau tidak,singkat kata dalam negosiasi tersebut kasus tersangka
diselesaikan atau tidak diselesaikan.
Biasanya untuk keperluan semua itu pihak tersangka di haruskan
untuk membayar atau menyediakan sejumlah uang (jumlahnya relative
memberatkan tersangka)guna kelancaran proses pencapaian tujuan kedua
belah pihak. Wujud perbuatan tersebut misalnya, tersangka A Mencuri 10
kg kopi yang seharusnya disangka pasal 362 KUHP dimana ancaman
hukumannya maksimum 5 tahun penjara dan selama proses penyidikan
harus ditahan 30 hari. Maka penyidik dengan pengalamanya sudah dapat
diperkirakan berapa bulan hakim menjatuhkan hukuman kepada
tersangka tesebut. Taruh saja dalam kebiasaan hakim menjatuhkan
hukuman penjara 3 bulan.maka dibuatlah sekanario hukuman tersebut
dengan cara penyidik menghubungi penuntut umum dan hakim agar
dalam dakwaan penuntut umum unsure-unsur perbuatan tersangka
diarahkan kepada unsur perbuatan yang dapat meringankan nilai dan
kualitas perbuatan pidana yang di lakukan tesangka. Misalnya barang
bukti kopi tidak lagi dibuat 10 kg akan tetapi dibuat 1,5 kg saja,dan
tersangka masih sekali melakukan perbuatan nya dan lain-lain
.selanjutnya agar masa hukuman 3 bulan tersebut tidak perlu di jalani
tersangka nantinya,maka selama proses penuntutan maupun pemeriksaan
disidang pengadilan oleh hakim tersangka ditahan selama 2
114
untuk menilai alat bukti mana yang layak dan tidak layak dijadikan dasar
untuk membuat keputusannya.
Dalam banyak kasus pidana, pembuktian tindak pidana yang paling
rumit dan sulit adalah pembuktian tindak pidana korupsi. Sebab disamping
pelaku tindak pidana korupsi biasanya adalah orang yang memiliki tingkat
intelektual cukup tinggi dan dengan menggunakan modus yang memang
sudah direncanakan secara matang agar perbuatan tersebut tidak mudah
dilacak dan/atau diungkap.
Kenyataam bahwa banyak penguasa yang justru menjadi pelaku
tindak pidana korupsi tersebutlah, maka pembuktian tindak pidana korupsi
di pengadilan menemui hambatan tidak saja structural (birokrasi dilibatkan
menjadi bagian dari penciptaan sistem korup), maupun hambatan cultural
(budaya masyarakat yang nrabas, hedonis, kapitalis). Kesulitan
pembuktian tindak pidana korupsi tersebut tidak saja karena pelakunya
adalah para birokrat yang seharusnya menjadi pengawal dan panglima
terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi
memang aturan perunfangan yang mengatur tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, dirasa sangat kurang memadai. Pasal-pasal yang ada
sangat interpretable dan bermakna all embracing act di mata penguasa
yang korup tersebut.
Sistem pembuktian dan alat-alat pembuktian secara yuridis diatur
dalam ketentuan pasal 183-232 KUHAP dimana pembuktian adalah
merupakan bagian yang terpenting dalam perkara pidana, khususnya
dalam upaya menemukan barang bukti dan atau alat bukti yang saling dan
dapat mempengaruhi sifat dan bobot serta kualitas keputusan hakim
terhadap tindak pidana korupsi.
2. Teori Pembuktian
Ada beberapa teori pembuktian yang akan dikemukakan dibawah ini,
yang masing-masing teori mempunyai implikasi dan konsekuensi terhadap
pemeriksaan di persidangan pengadilan oleh hakim. Pembuktian adalah
118
pembuktian menurut cara dan alat bukti yang sah dalam pasal 183 KUHAP.
Dengan demikian pasal 183 KUHAP, untuk menentukan salah tidaknya
terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana pada seorang terdakwa, harus :
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah.
2. Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang salah telah melakukannya.
Dalam ketentuan pasal 184 KUHAP, telah ditentukan secara terperinci
alat alat bukti yang sah menurut undang-undang, yakni :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Jadi pasal 184 KUHAP tersebut secara kaku dalam menentukan alat
bukti yang sah menurut undag-undang sehingga tidak memberikan
kemungkinan peluang sedikitpun alat bukti lain selain kelima alat bukti
tersebut untuk dipertimbangkan menjadi alat bukti pelengkap atau
penunjang.
Selain itu KUHAP juga menganut prinsip minim pembuktian, yakni
minimum pembuktan yang dapat memadai untuk membuktikan kesalahan
seorang terdakwa paling sedikit dua alat bukti yang sah (Pasal 183
KUHAP). Pasal lain yang menjadi penegas terhadap pembuktian pasal
tersebut antara lain:
a. Pasal 185 (2) : Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
membuktikan bahwa seorang terdakwa bersalah terhadap perbuatan
yang didakwakan kepadanya. Asas ini lazim disingkat dengan istilah
unus testis nulls testis.
b. Pasal 189 (4) : Keterangan atau pengakuan terdakwa saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa.
Pasal 37 A:
Hak dan kedaulatan rakyat didistorsi, diserap dan diambil alih oleh
masing-masing kekuasaan yang ada. Hak dan kedaulatan rakyat dalam bidang
eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dihargai dalam buku peraturan perundang-
undangan dan konstitusi Negara. Proses hegemoni oleh setiap lembaga
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif telah ideologi struktural yang
dimaksudkan sebagai kamuflase perwujudan hak dan kedaulatan rakyat.
131
Dalam bidang peradilan, hak dan kedaulatan rakyat akan hukum dan
keadilan dihargai sebatas pada pencantuman pasal-pasal bermakna karet yang
syarat dengan kepentingan dan ambisi penegakan kekuasaan dengan motif
imbalan harta, tahta dan wanita. Substansi persoalan mengenai penegakan
hukum dan keadilan, menjadi isu dalam wacana publik dan bukan menjadi
kerangka pola piker dari para aparat penegak hukum yang seharusnya
mempunyai tugas pokok menegakkan hukum dan keadilan (speaker of justice)
tidak sekedar menjadi penyuara undang-undang (speaker of law).
a. Struktur dan administrasi sistem peradilan korupsi yang efektif dan efisien.
- Penyelidikan dalam rangka mengungkap tindak pidana korupsi, adalah
gabungan antara polisi, jaksa dan komisi pemberantasan korupsi
sebagai kordinatornya. Selanjutnya tim penyelidik gabungan ini
disebut dengan tim PK ( Tim Penyelidik Korupsi ). Selama ini
penyelidikan hanya dilakukan oleh jaksa yang memang secara social,
ekonomi, serta politik kekuasaan sangat tidak mendukung adanya
prinsip good government dan good governance dalam perwujudan
sistem peradilan korupsi yang efektif dan efisien. Kelahiran Undang-
undang No 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan korupsi, juga
135
tidak dapat lebih efektif disebabkan oleh pertentangan dan tarik ulur
kepentingan penguasa sehingga sampai saat inipun keberadaan komisi
pemberantasan korupsi tersebut masih disikapi dengan beragam
pandangan dan kepentingan penguasa.
- Penuntutan dan penyidikan tindak pidana korupsi adalah terdiri dari
jaksa dan komisi pemberantasan korupsi, yang selanjutnya disebut
dengan tim PPK ( Tim Penyidikan dan Penuntutan Korupsi ).
- Optimalisasi networking yang kuat oleh KPK dan memperlakukan
intitusi yang telah ada sebagai Counterpartner yang kondusif sehingga
pemberantasan korupsi berjalan secara efektif dan efisien. Adanya
pembatasan wewenang dari KPK yang mengarah fungsionalisasi
dalam pemberantasan korupsi (Trigger Mecabanism ).
- Sangat diperlukan political will dan good will dari penguasa, dalam
rangka optimalisasi kinerja komisi.
- Agar penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
dapat berjalan efektif dan efisien, maka hak imunitas, hak preference,
dalam wujud asas oportunitas jaksa sebagai penyidik dan penuntut
dalam perkara korupsi sebagaimana dalam KUHAP dan UU NO 5
tahun 1991 tentang Kejaksaan harus dicabut. Sebab tindak pidana
korupsi menimbulkan dampak yang sangat eksesif baik secara social,
ekonomi, hukum, budaya, keamana, pertahanan, dan politik. Secara
kriminologis tindak pidana korupsi memiliki nilai perbuatan yang
sangat nista dan jahat yang tidak saja dalam perspektif “mala in se’
tetapi juga mala in probibita.
- Selama proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan harus
menggunakan asas-asas dan prinsip yang membingkai kerangka
normative dari perwujudan asas good govermant dan asas good
governance dalam sistem peradilan korupsi.
- Independensi dan demokratisasi lembaga TPK harus menjadi prasyarat
utama dari perwujudan prinsip dan asas kekuasaan kehakiman yang
bebas dan merdeka secara subtansiil.
- Dalam proses pemeriksaan dibidang pengadilan, juga harus
menggunakan ukuran normative independensi dan demokratisasi .
pembudayaan dissenting opinion secara meluas, sehingga memberikan
ruang public yang memadai dalam melakukan control dan pengawasan
terhadap jalannya peradilan korupsi. Harus menjadi budaya yang
secara integral menjadi bagian dari sitem peradilan korupsi yang
berkelanjutan (continuity corruption justice sistem).
- Proses eksaminasi yang dilakukan oleh public terhadap setiap
keputusan hakim yang mengadili perkara korupsi , harus dipandang ,
harus dipandang sebagai bagian integral dari proses penegakkan
hukum dan keadilan tentang pemberantasan korupsi.
- Sistem majelis hakim dalam sistem peradilan korupsi harus optimal
maksimal yang proporsional ( 5 hakim, seorang menjadi hakim ketua,
seorang menjadi wakil ketua majelis hakim, sedang tiga orang anggota
menjadi hakim anggota ). Susunan demikian disamping untuk
136
‘tersebut’, jika untuk daerah dan untuk tingkat pusat,di ambil secara
nominatif dari wakil masing-masing daerah, secara adil, bebas, jujur
dan umum. Hal ini penting sehingga semua hasil dan produk keputusan
yang akan dibuat oleh TSVHK dalam melakukan seleksi hakim ad hoc
benar-benar mencerminkan kepentingan dan rasa keadilan masyarakat.
- Masa jabatan dan keanggotaan TSVHK adalah 5 tahun dan tidak dapat
dipilih kembali.Agar keberadaan TSVHK mempunyai legitimasi yang
kuat,maka ketentuan lebih lanjut mengenai TSVHK harus dituangkan
dalam UU no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
- Hakim ad hoc korupsi ditingkat daerah dan pusat terdiri dari seorang
ketua, seorang wakil ketua majelis dan tiga orang hakim anggota,
adapun unsure-unsurnya dari tokoh masyarakat atau ormas keagamaan,
tokoh kampus dan tokoh media yang memiliki integritas moral,
integritas keilmuan (hukum social, ekonomi, filsafat, teknologi),
integritas social (reputable) tinggi, dan mempunyai komitmen dan
konsistensi tinggi dalam penegakkan hukum dan keadilan.
- Masa jabatan hakim ad hoc korupsi adalah maksimum 3 kali
memeriksa , mengadili dan memutus perkara korupsi, dan tidak dapat
dipilih kembali untuk yang kedua kali.
- Terhadap putusan hakim ad hoc korupsi di daerah (pengadilan negeri)
dapat dimintakan upaya hukum banding , kasasi dan peninjauan
kembali sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan tidak
dapat dimintakan upaya hukum , grasi, amnesty, dan abolisi, tingkat
pengadilan tinggi dapat dimintakan upaya hukum kasasi dan
peninjauan kembali saja dan tidak dapat dimintakan grasi, amnesty,
dan abolisi. sedangkan keputusan hakim ad hoc ditingkat pusat tidak
dapat dimintakan upaya hukum apapun termasuk peninjauan kembali,
grasi, amnesty, dan abolisi, jadi yang pertama dan terakhir , serta
mempunyai kekuatan hukum yang eksekutorial.
- Setiap perkara korupsi yang diperiksa , diadili, dan diputus oleh hakim
ad hoc tingkat pengadilan negeri , pengadilan tinggi, mahkamah
agung, harus sudah diputuskan paling lama dalam waktu 6 bulan sejak
dimulainya penyelidikan . hal ini penting mengingat dampak yang
ditimbulkan bersifat eksesif., juga karena modus, subyek pelakunya
sudah memmpergunakan sarana prasarana canggih dan mutakhir,
sehingga kemungkinan untuk menghilangkan barang dan alat bukti
juga canggih. Selain itu juga dalam rangka memenuhi asas cepat
efektif dan efisien.
- Sistem pembuktian dalam perkara korupsi harus menggunakan sistem
pembuktian terbalik secara murni ( asas premium remidium ).
Sehingga efektifitas dan efisiensi sistem peradilan korupsi yang
dibangun secara demikian, akan dapat mengawal penegakkan hukum
dan keadilan sebagai pilar utama supremasi hukum dan keadilan.
- Hakim ad hoc korupsi menjadi penjamin hak-hak semuan pihak yang
dilindungi undang-undang dan tidak terlibat langsung dalam tindakan
138
penegakkan asas rule of law, secara konseptual karakter rule of law menurut
pandangan Santoso (2002:86-87), adalah sebagai berikut :
5. Kesimpulan
a. Bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan korupsi yang efektif dan
efisien sesuai dengan asas good government dan good governance adalah
apa yang oleh peneliti disebut dengan istilah Continuity Corruption Justice
Sistem (CCJS).
b. Bahwa untuk mewujudkan CCJS tersebut perlu dilakukan perubahan yang
mendasar dalam struktur organisasinya, yakni penyelidik terdiri dari polisi,
jaksa, , KPK atau disebut dengan TPK (Tim Penyelidik Korupsi). Penyidik
dan penuntut umum terdiri dari jaksa dan KPK atau disebut dengan istilah
TPPK (Tim Penyidik dan Penuntut Korupsi).
c. Kualifikasi SDM dari mulai TPK, TPPK Hakim ad Hoc Korupsi, sampai
pada TSVHK (Tim Seleksi dan Verifikasi Hakim Ad Hoc Korupsi) harus
memiliki integritas moral , keilmuan dan social yang tinggi.
d. Bahwa bangunan CCJS memerlukan perubahan paradigmatic yang
meliputi : struktur organisasinya, sistem sdministrasi peradilannya, sistem
pembuktiannya, sistem seleksi dan rekrutmen SDM, sistem penggunaan
asas dari ultimum remidium menjadi remium remidium, praduga tak
bersalah menjadi praduga bersalah sacara proporsional subtansiil.
6. Rekomendasi
145
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Lade Sirjon, lahir di Kosundano, Muna 17 Agustus Tahun 1985,
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) Negeri Bebele Tahun 1997, Tahun
2000 menyelesaikan pendidikan pada Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
Negeri 2 Parigi, Tahun 2003 meneyelesaikan pendidikan pada Sekolah Menengah
Umum (SMU) Negeri 1 Tongkuno Muna.
Selanjutnya menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Perguruan Tinggi
pada Fakultas Hukum Universitas Haluoleo Kendari (Unhalu) dengan minat
146
kosentrasi Hukum Pidana dan memeperoleh gelara Sarjana Hukum pada tahun
2007. Kemudian melanjutkan pendidikan pada tingkat Strata Dua (S2) pada
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) pada tahun 2008 dengan minat
kosentrasi Hukum Pidana dan memperoleh gelar Master Of Law (LLM) pada
tahun 2010.
Pada tahun 2010 sampai sekarang menjadi dosen pengajar pada Fakultas
Hukum Universitas Haluoleo (Unhalu) terutama kosentrasi Hukum Pidana,
dengan Mata Kuliah : Dasar-Dasar Komputer, Antropologi Hukum, Sosiologi
Hukum, Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana, Hukum Kesehatan, Hukum
Perlindungan Perempuan dan Anak, Sistem Peradilan Pidana, Praktek Peradilan
Pidana, Praktek Bantuan Hukum, Hukum Pidana Forensik, Perbandingan Hukum
Pidana, Hukum Pidana Internasional.
Penulis juga aktif pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan serta aktif
memberikan kuliah ilmu hukum pada universitas lain, maupun menulis melalui
media Lokal dan Nasional yang berhubungan dengan ilmu hukum.